-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
MENGGALI POTENSI SASTRA DAERAH SEBAGAI MODAL DALAM MENEGUHKAN JATI DIRI BANGSA Abdul Aziz Hunai i Universitas Nusantara PGRI (UNP) Kediriazizhunai
[email protected] azizhunai
[email protected]
Abstract
Understanding a person against his nation’s identity is an important factor in maintaining the existence of the national culture in the midst of the onslaught of globalization. The rise of foreign culture began to impact on the existence of national culture, in particular the local culture that is rich in meaning. For that, it takes an effort to preserve the cultural treasures of locally owned. The phenomenon of people who began to idolize foreign culture should be wary of the lift and preserve local culture as an integrative part of the learning materials in school lessons. The local culture is the culture of a region and re lects social object in its territory. Some things, including the local culture including the folklore, folk songs, ritual regional, local customs, and everything that is regionalism. In this paper, the author tries to express the importance of making local wealth in the ield of literature in order to be used as a learning literature in school. This is done in order to embed the values contained in the local culture that includes values of honesty, moral, religious, and other national values. Thus, learning by using or integrating local culture with the subject matter can strengthen the culture of Indonesia.
Keywords: local literature, culture, national identity
Abstrak Pemahaman seseorang terhadap identitas bangsanya merupakan faktor penting dalam menjaga eksistensi budaya bangsa di tengah gencarnya arus globalisasi. Maraknya budaya asing yang masuk mulai berimbas terhadap eksistensi budaya bangsa, khususnya budaya lokal yang kaya akan makna. Untuk itu, diperlukan sebuah usaha untuk mempertahankan khazanah budaya lokal yang dimiliki. Fenomena masyarakat yang mulai menggemari budaya asing harus diwaspadai dengan mengangkat dan melestarikan budaya lokal sebagai bagian yang integratif dalam pemelajaran materi-materi pelajaran di sekolah. Budaya lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan keadan sosial di wilayahnya. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal diantaranya adalah cerita rakyat, lagu daerah, ritual kedaerahan, adat istiadat daerah, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan. Dalam makalah ini, penulis mencoba mengemukakan pentingnya menjadikan kekayaan lokal dalam bidang kesusastraan agar dijadikan bahan pemelajaran sastra di sekolah. Hal ini dilakukan dalam rangka menanamkan nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya-budaya lokal yang meliputi nilai kejujuran, moral, religius, dan nilai-nilai kebangsaan lainya. Dengan demikian, pemelajaran dengan menggunakan atau mengintegrasikan budaya lokal dengan materi pelajaran dapat memperkuat budaya Indonesia. Kata kunci: sastra lokal, budaya, jati diri bangsa
Pendahuluan Dengan banyaknya bahasa dan budaya yang dimiliki oleh suku yang ada, Indonesia termasuk dalam negara dengan masyarakat yang sangat multikultural. Sastra lokal atau daerah memiliki peran yang sangat penting di dalam menjaga nilai-nilai humanis yang ada di masyarakat daerah. Hal ini disebabkan sastra daerah dapat menjadi wahana pembelajaran kita untuk memahami masyarakat dan budayanya. Menurut Tuloli (dalam Didipu, 2010: 7) sastra daerah mempunyai kedudukan: (1) Sastra daerah adalah ciptaan masyarakat masa lampau; (2) Sastra daerah dapat dimasukkan dalam aspek budaya Indonesia yang perlu digali untuk memperkaya budaya nasional; (3) Sastra daerah melekat pada jiwa, rohani, kepercayaan, dan adat istiadat masyarakat suatu bangsa dan yang mereka pakai untuk menyampaikan nilai-nilai 549
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
luhur bagi generasi muda; (4) Sastra daerah mempunyai kedudukan yang strategis dan kerangka pembangunan sumber daya manusia, yaitu untuk memperkuat kepribadian keindonesiaan yang bhineka tunggal ika. Agar mudah diidenti ikasi, sastra daerah memiliki beberapa ciri sebagai berikut (Vansina via Didipu, 2010: 9). (1) Milik bersama seluruh masyarakat; (2) Diturunkan dari generasi ke generasi melalui penuturan; (3) Berfungsi dalam kehidupan dan kepercayaan masyarakat; (4) Bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk tingkah laku dan hasil kerja; (5) Diciptakan dalam variasi banyak sepanjang masa; (6) Bersifat anonim; mengandalkan formula, kiasan, simbol, gaya bahasa, dan berbagai gejala kebahasaan lain dalam penampilan atau pencitraannya atau komposisinya. Berdasarkan bentuknya, sastra daerah dibagi menjadi dua, yaitu sastra tulis dan lisan. Sastra tulis yang ada biasanya berupa naskah-naskah tua, manuskrip, dan prasasti-prasasti, sedangkan sastra lisan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu bahan bercorak cerita, bercorak bukan cerita, dan bercorak tingkah laku. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan oleh Hutomo (via Didipu, 2010:15) bahwa genre sastra lisan terdiri dari bahan bercorak cerita (tales, mitos, legenda, epik, cerita tutur, memori), bercorak bukan cerita (ungkapan, nyanyian, peribahasa, teka-teki, puisi lisan, nyanyian sedih pemakaman, undang-undang adat), bercorak tingkah laku (drama panggung dan arena). Sastra memiliki kontribusi terhadap perkembangan individu, baik secara nilai personal, maupun secara nilai pendidikan. Menurut Nurgiyantoro (2010: 35-47), sastra memiliki peran yang besar terhadap perkembangan nilai personal dan nilai pendidikan. Kontribusi sastra dalam nilai sosial terdiri dari perkembangan emosi, intelektual, imajinasi, pertumbuhan rasa sosial, dan pertumbuhan rasa etis dan religius. Di sisi lain, kontribusi sastra secara nilai pendidikan dapat berkontribusi dalam meningkatkan daya eksplorasi dan penemuan, memacu pemahaman dan perkembangan kemampuan bahasa, memberikan kepekaan terhadap nilainilai keindahan, memberikan wawasan multikultural, dan menggemarkan minat membaca. Dengan demikian, kontribusi sastra dalam pengembangan potensi diri seseorang sangat besar. Tentunya, manfaat-manfaat ini tidak bersifat parsial, tetapi kontribusi yang ada di dalam karya sastra dapat berjalan bersama di antara berbagai nilai personal dan nilai pendidikan. Selain itu, melalui bahasa, dalam hal ini karya sastra, dapat dinilai karakter dan jati diri sebuah bangsa. Di dalam bahasa tergambar secara lengkap segala ihwal tentang manusia dengan segala seluk beluk hidupnya. Tadjuddin (2013: 17) menyatakan bahwa bahasa sebagai cermin jati diri bangsa. Artinya, penilaian terhadap jadi tiri sebuah bangsa dapat dilakukan dengan melihat khazanah bahasa yang mereka miliki. Secara pragmatik, karya sastra mampu memberikan pencerahan batin dan intelektualitas kepada para pembacanya (Herfanda dalam Efendi, 2008: 131). Lebih lanjut Herfanda (dalam Efendi, 2008) menjelaskan bahwa dalam bahasa pers, sastra mampu membangun pemahaman dan wacana publik, sehingga apabila wacana itu meluas dan semakin menguat, maka proses perubahan sosial-budaya masyarakat akan dapat digerakkan. Dengan demikian, perubahan sosial-budaya dapat diilhami dari sebuah karya sastra yang diyakini kebenarannya oleh para pembacanya. Pengaruh kuat dalam merubah struktur atau pemahaman sosial-budaya tidak terlepas dari tujuan penciptaan karya sastra. Abrams (via Herfanda dalam Efendi, 2008: 131) membagi karya sastra berdasarkan tujuan penciptaannya menjadi empat. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekelilingnya, pembaca maupun penggemarnya. 550
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Tanpa mengesampingkan tujuan pembentukan karya sastra sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, karya sastra merupakan sekumpulan sistem tanda yang bermakna, di mana menurut kontribusi secara pragmatis, karya sastra memiliki kemampuan tersembunyi untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan para pembacanya. banyak karya sastra yang diyakini oleh masyarakat memiliki peran penting terhadap terjadinya perubahan sosio-budaya yang ada di dalam masyarakat atau komunitas. Ada banyak contoh yang membuktikan bahwa pengaruh karya sastra terhadap perubahan sosio-budaya masyarakat sangat kuat, baik di masyarakat luar negeri, maupun di masyarakat dalam negeri. Seperti karya sastra Max Havelar (Multatuli) yang telah memberikan inspirasi terhadap gerakan politik etis di Hindia Belanda, sajak-sajak Tagore yang mampu memberikan dorongan terhadap lahirnya gerakan pembebasan bangsa India dari penjajahan Inggris, Uncle Tom Cabin yang telah menginspirasi gerakan anti-perbudakan di Amerika Serikat, masyarakat terhadap masyarakat. Sementara itu, untuk karya-karya dalam negeri, sebut saja di antaranya sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hadjar Dewantara yang memiliki andil besar di dalam memupuk semangat kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an. Bahkan, menurut Herfanda (dalam Efendi, 2008:132) karya-karya Mohammad Yamin dan Ki Hadjar Dewantara dimungkinkan menjadi salah satu factor penting dalam menginspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Selain itu, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar telah memberikan sebuah semangat juang kepada para generasi di era 1940-an dan menginspirasi gerakan-gerakan dalam meraih kemerdekaan dari tangan penjajah. Meskipun demikian, melihat kenyataan yang ada saat ini, menikmati karya sastra belum menjadi sebuah gaya hidup masyarakat Indonesia. Di tengah hiruk pikuk kesibukan yang semakin lama semakin menyita waktu, masyarakat dihadapkan pada sebuah rutinitas-rutinitas yang mekanistik. Mereka tidak ubahnya seperti mesin-mesin perusahaan yang setiap harinya harus berpacu dengan persaingan ekonomi. Gaya hidup seperti itu, secara perlahan, membuat masyarakat mulai mengutamakan kehidupan yang materialistis. Semua diukur dengan nilai ekonomis yang tampak secara materi. Hal-hal yang bersifat batiniah, seperti menikmati estetika karya sastra kurang dianggap sebagai sebuah kegiatan yang memberi manfaat. Hal itu diperparah dengan gempuran budaya asing yang mulai mendapatkan tempat di hati para kaum muda. Mereka lebih menikmati suguhan-suguhan budaya asing yang jauh dari nilai-nilai karakter bangsa Indonesia. Pada akhirnya, ketika semua masalah di atas tidak ditanggapi secara serius, persoalanpersoalan sosial masyarakat mulai bermunculan. Akhir-akhir ini, banyak disaksikan tindak kekerasan di masyarakat, sekolah, dan bahkan di tingkat paling kecil, keluarga. Pemerintah seolah tidak sanggup menghadapi perubahan pola tata sosial yang ada di masyarakat. Terlebih lagi, banyak disaksikan perilaku menyimpang lainnya, seperti korupsi, penyalahgunaan obatobatan terlarang, tindakan rasis, pengrusakan lingkungan, dan lain sebagainya. Pranowo (2009: 1) menyebutkan bahwa kesediaan untuk menerima orang lain seperti adanya empati, menghargai keberhasilan dengan tulus, menaruh rasa simpati atas penderitaan dan musibah orang lain masih menjadi gelojak batin yang besar dari dalam diri setiap orang. Melihat berbagai persoalan-persoalan di atas, membuat banyak pihak mulai tersadar bahwa terdapat sebuah kesalahan atas apa yang selama ini terjadi di masyarakat. Kesalahan yang mulai disadari adalah bahwa bangsa Indonesia mulai meninggalkan nilai-nilai budaya lokal yang dimiliki dan tidak apresiatif, serta acuh tak acuh dalam melestarikan dan memanfaatkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Rahardi (2009: 176) menyatakan penyeragaman budaya akan mematikan bahasa daerah (budaya daerah) dan pada akhirnya akan memiskinkan bangsa dari nilai-nilai budaya yang telah dimilikinya. Lebih lanjut, Alo Liliweri (2014: 1) menyatakan kekhawatirannya terhadap perkembangan budaya bahwa banyak orang bicara tentang hakikat budaya, namun pada saat yang sama muncul kekhawatiran tidak semua orang memahami secara benar makna kebudayaan yang sesungguhnya. Dengan demikian, studi tentang pengembangan 551
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
dan pelestarian budaya bangsa sangat diperlukan dengan didasarkan pada pelestarian dan pengembangan budaya-budaya lokal yang ada, termasuk di dalamnya adalah sastra lokal. Pembahasan Peran sastra lokal dalam memperkuat budaya bangsa tidak diragukan lagi. Sebagai salah satu pondasi kuatnya budaya bangsa, sastra lokal harus mulai dikembangkan dan dilestarikan. Satra lokal memiliki kontribusi yang besar dalam mengajarkan dan menjaga nilai keluhuran budi, kejujuran, tenggang rasa, toleransi, cinta kasih, dan lain sebagainya. Leslie Strata (via Wardani, 1981:2) menyebutkan fungsi sastra di antaranya melatih keterampilan berbahasa, mengembangkan kepribadian, memberi kenyamanan, keamanan, dan kepuasan batin melalui kehidupan manusia dalam iksi, serta menambah wawasan dan pegalaman dalam hal budaya, adat istiadat, agama, dan keyakinan masyarakat. Karya sastra lokal merupakan salah satu produk budaya masyarakat lokal yang menggambarkan perspektif nilai-nilai kemasyarakatan, kepercayaan, keluhuran yang diyakini kebenarannya di daerah. Begitu kuatnya pesan yang diberikan, karya sastra lokal setidaknya akan dapat melestarikan nilai-nilai budaya yang ada, sebagai sebuah bentuk dari kearifan lokal, jika karya sastra dikembangkan dan dilestarikan secara sinergis dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, dengan mengembangkan nilai budaya lokal, karya sastra, maka budaya nasional akan menjadi lestari. Pamungkas (2012: 190-193) menyatakan pelestarian produk budaya lokal, termasuk karya sastra, akan dapat melestarikan kebudayaan nasional. Memainkan peran sastra lokal tidak dapat dilakukan oleh satu pihak. Seperti sekolah misalnya. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang memiliki peran penting di dalam memberikan wawasan dan pengembangan keilmuan tidak akan mampu menjalankan tugasnya secara optimal jika tidak didukung oleh pemangku kebijakan di daerah, pemerhati sastra, dan masyarakat secara luas. Dengan demikian perlu adanya langkah-langkah konkret yang seharusnya segera dilakukan. Langkah-langkah yang perlu untuk segera adalah: 1. Tindakan penyadaran Tindakan penyadaran adalah sebuah tindakan massif yang ditujukan untuk memprovokasi masyarakat tentang kekeliruan, ketelodoran, dan keacuhtakacuhan terhadap sastra daerah yang sangat kaya sehingga menyebabkan berbagai konsekuensi yang serba tidak menguntungkan bagi generasi selanjutnya. Tindakan penyadaran penting dilakukan untuk membuat masyarakat sadar bahwa terdapat peninggalan sastra daerah yang banyak dan beraneka ragam yang sangat kaya akan makna-makna iloso i berkehidupan dan bermasyakat. Freire (1984) menyebutkan bahwa tindakan penyadaran akan adanya tindakan atau perilaku negatif yang ada di dalam masyarakt harus terus dilakukan sehingga tujuan perubahan yang diharapkan dapat direalisasikan dan bertahan dengan baik. Tindakan penyadaran dapat dilakukan dengan melibatkan sekolah sebagai institusi pendidikan dan pemerintah daerah sebagai instansi pemerintahan yang menaungi masyarakat. Dengan adanya tindakan penyadaran, diharapkan mampu menggerakkan masyarakat untuk kembali melihat budaya, sastra lokal, yang selama ini mereka abaikan. Tindak penyadaran ini dapat berupa menguak kembali budaya-budaya lokal, termasuk sastra, yang bernilai dalam menjaga tata nilai kehidupan bermasyarakat dan telah dilupakan keberadaannya sehingga lenyap di pusaran masyarakat. Kealpaan terhadap sastra lokal yang telah terjadi dihubungkan dengan kemerosotan nilai keadilan, kesopanan, kejujuran, dan lain sebagainya, yang semua itu sebenarnya telah lama ada di dalam pesan-pesan yang terkandung di dalam karya sastra lokal. 2. Mendialogkan sastra daerah Proses dialog yang diinginkan adalah dialog yang saling menghargai dan percaya akan potensi masing-masing pihak untuk menjaga nilai-nilai keluhuran yang menjadi tujuan. Paulo Freire (1984) menyatakan proses dialog akan berhasil jika komponen individu yang 552
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
terlibat di dalamnya tidak memiliki rasa saling percaya dan cinta kasih. Oleh karena itu, pihak sekolah, dalam hal ini guru, harus memiliki keyakinan bahwa para siswa memiliki komitmen dan kemampuan untuk melakukan proses dialog dan menjalankan hasil dialog yang telah dilakukan. Selain itu, pemerintah daerah juga memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk dapat memberikan berbagai sumbangsih dalam rangka menghidupkan, melestarikan, dan mengembangkan sastra lokal yang ada. 3. Mengembangkan dan melestarikan Pengembangan dan pelestarian sastra lokal perlu dijaga bersama sebagai hasil dialog yang dilakukan. Di tengah gemburan globalisasi dan modernisasi, sastra lokal harus mampu bertahan dengan dikemas secara modern dan sesuai dengan perkembangan zaman sehingga generasi muda dapat menikmati sastra lokal yang ada. Selain itu, berbagai kegiatan, baik di sekolah, maupun di daerah, harus memberikan batasan terhadap masuknya budaya asing dan memberikan kesempatan yang luar biasa bagi perkembangan budaya-budaya daerah. Kesimpulan Pada era globalisasi, masyarakat dihadapkan pada kemudahan akses terhadap berbagai bentuk informasi yang ada, tidak saja di Indonesia, tetapi juga semua informasi yang ada di negara-negara lain. Hal itu memberikan dampak yang luar biasa bagi perkembangan daya personal dan pengembangan peradaban bangsa. Meskipun demikian, perkembangan era globalisasi juga membawa dampak negatif yang tidak sedikit. Adanya berbagai macam budaya asing yang mulai masuk dan menjadi gaya hidup para generasi muda menjadikan budaya bangsa menjadi terabaikan. Budaya bangsa yang didasari oleh budaya-budaya daerah seakan tidak mampu bersaing dengan budaya asing yang masuk ke Indonesia. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam budaya daerah yang menjadi pondasi pengembangan karakter bangsa mulai luntur. Akibatnya, banyak dijumpai berbagai penyimpangan sosial dalam masyarakat. Seperti maraknya tindak kekerasan, korupsi, narkoba, rasisme, dan lain sebagainya, yang sebenarnya jauh dari budaya bangsa. Oleh karenanya, usaha demi usaha perlu dilakukan bersama dengan menggali kembali budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Ada tiga cara yang diajukan untuk mengatasi permasalahan keterbelakangan dan ketertinggalan budaya lokal dalam menarik simpati masyarakat, yaitu (1) tindakan penyadaran, (2) mendialogkan sastra daerah, (3) pelestarian dan pengembangan. Dengan didukung oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari sekolah, pemerintah daerah, para pemerhati dan penggiat sastra, dan masyarakat, karya sastra lokal akan kembali berjaya. Akhirnya, budaya Indonesia akan menjadi semakin kokoh dan berkembang di tengah gempuran budaya-budaya asing.
Daftar Pustaka Efendi, Anwar. 2008. Bahasa & Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: FBS UNY & Tiara Wacana Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Rahardi, Kunjana. 2009. Bahasa Prevoir Budaya: Yogyakarta: Pinus Liliweri, Alo. 2014. Pengantar Studi Budaya. Bandung: Nusa Media. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: UGM Press.
553
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Pamungkas, Sri. 2012. Bahasa Indonesia dalam Berbagai Perspektif Dilengkapi dengan Teori, Aplikasi, dan Analisis Penggunaan Bahasa Indonesia Saat Ini. Yogyakarta: ANDI Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tadjuddin, Muh. 2013. Bahasa Indonesia, Bentuk dan Makna. Bandung: PT. ALUMNI Wardani, lg. AK. 1981. Pengajaran Sastra. Jakarta: P3G.
554