-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
DIMENSI PROFETIK DALAM CERPEN-CERPEN YANUSA NUGROHO SEBAGAI PENGUAT JATI DIRI GENERASI BANGSA Septi Yulisetiani
[email protected]
Abstract This wraiting to describe representation prophetic dimension in short story by Yanusa Nugroho. Prophetic dimension can be reinforced self identity of the generation a nation to meet globalization negative cultural. Hermeneutics approach to analysis and discussion interpretation text. Prophetic dimension report on humanization, liberation and transcendence. Simultaneous prophetic dimension set up identity generation a nation that excellent intelectual and being intelegent. This generation will be success suport of the nation to face a challenges and opportunities the asean economic community. Keywords: Prophetic dimension, short stories, the identity
Abstrak Tulisan ini berupaya mendeskripsikan representasi dimensi profetik dalam cerpen-cerpen Yanusa Nugroho. Dimensi profetik dalam cerpen dapat dimanfaatkan sebagai penguat jati diri generasi bangsa dalam menghadapi arus budaya negatif akibat globalisasi. Analisis dan pembahasan dilakukan dengan pendekatan hermeneutika. Dimensi profetik dalam cerpen meliputi humanisasi, liberasi, dan transendensi. Secara simultanitas dimensi profetik dapat membentuk generasi bangsa yang memiliki intelektual unggul dan berbudi luhur. Generasi ini akan mendukung keberhasilan bangsa dalam menghadapi tantangan dan peluang Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kata kunci: dimensi profetik, cerpen, jati diri
Pendahuluan Dehumanisasi disinyalir tengah menggejala dalam sendi-sendi kehidupan. Berbagai persoalan seperti praktik kebohongan, korupsi, kolusi, nepotisme, agresivitas, keserakahan, dan bentuk kriminalitas lain mewarnai berita di berbagai media. Gejala dehumanisasi semacam ini, mengakibatkan perubahan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Muhammad A.R (2003: 17) memandang perubahan masyarakat dari aspek ideologi, ekonomi, politik, dan moralitas terjadi sangat signi ikan. Aspek ideologi; bergeser dari spiritualisme-religius menjadi materialismekapitalisme. Segi ekonomi; bergeser dari keperluan memenuhi kebutuhan hidup keluarga menjadi keserakahan dan nafsu menguasai sumber daya ekonomi. Sementara dari aspek politik; bergeser dari fungsinya sebagai sarana mengembangkan ajaran menjadi sarana untuk menguasai masyarakat. Dari segi moralitas; pandangan terhadap konsep moralitas masyarakat sudah mulai berubah. Akibatnya, banyak dijumpai pribadi yang miskin spiritual, materialistis, individualistis, dan berhasrat lebih untuk berkuasa. Hal tersebut terjadi karena perilaku hidup manusia lebih dikuasai bawah sadar daripada kesadarannya. Nilai humanisasi dalam berkehidupan mulai luntur. Manusia merasa dapat hidup sendiri dengan keberadaan teknologi dan material yang dimiliki. Liberasi tidak lagi bersimpul dengan transendensi, sehingga pencapaian kebebasan untuk kepentingan individu. Bahkan, spiritualisme manusia turut melemah; keyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa sebagai tempat kembalinya manusia telah tergantikan dengan paham keserakahan. Akibatnya, lahirlah individu yang merasa seolah akan hidup di dunia untuk selama-lamanya. Akibatnya, keseimbangan kehidupan dunia sulit terwujud. Kebahagiaan lahir batin sebagai tujuan hidup manusia pun sulit tercapai. Terbentuknya komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menguatkan arus globalisasi dan menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Sebagian besar generasi bangsa sampai saat 299
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
ini belum memiliki jati diri kebangsaan yang kokoh. Dalam hal ini, masih banyak generasi yang terombang-ambing oleh terpaan arus budaya asing. Bahkan, terbawa arus budaya negatif dan unsur budaya yang belum tentu sesuai dengan jati diri bangsa. Akibatnya, tidak sedikit di antara generasi bangsa yang lebih percaya diri mengekspresikan budaya asing dibandingkan dengan budaya bangsanya. Kehadiran sastra profetik sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai pembentuk karakter dan jati diri generasi bangsa; sebagai generasi khaira ummah yang unggul dalam intelektual dan berbudi luhur. Generasi inilah yang sesungguhnya siap menjadi generasi yang menopang peluang dan tantangan globalisasi. Generasi yang memiliki intelektual unggul dan berbudi luhur akan mampu menciptakan iklim persaingan yang sehat dalam berbagai aspek kehidupan. Semua bentuk kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan lainnya akan tetap berpayung pada nilai transendensi; sadar bahwa segala yang dilakukan di dunia atas kehendak Tuhan YME. Hal tersebut menunjukkan bahwa sastra profetik dapat turut berpartisipasi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dalam menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN, sastra profetik berperan sebagai solusi gejala dehumanisasi yang muncul akibat globalisasi. Serta berperan dalam memperkokoh jati diri generasi bangsa. Sementara itu, partisipasi sastra profetik untuk mewarnai peluang Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah sebagai karya sastra yang bernilai estetis dan bermanfaat. Sastra profetik dapat menjadi karya sastra yang turut berkiprah di kancah Asia Tenggara, bahkan dunia. Karya sastra yang berkualitas adalah karya sastra yang bermanfaat. Dalam proses penciptaannya, sastrawan mendayagunakan imajinasi dan emosi atas pengalaman yang dimilikinya untuk mengolah fenomena yang dilihat, didengar dan dirasakan menjadi sebuah karya yang memiliki nilai guna bagi pembaca. Sastrawan akan menyelipkan pesan dalam karya yang ditulisnya, melalui penokohan, setting, maupun alur cerita. Karya sastra yang baik dan bermutu identik dengan karya sastra yang dapat memenuhi kriteria dan fungsinya yaitu dulce et utile. Wellek dan Warren (1995: 316) menerjemahkan dulce et utile sebagai “hiburan” dan “ajaran”, atau “indah dan bermanfaat”. Fungsi dulce et utile ini, terdapat dalam karya sastra profetik. Sastra profetik dapat berperan dalam membentuk karakter pembaca ke arah positif. Yulisetiani (2015: 70-71) mengungkapkan bahwa karakter positif dalam diri manusia dapat terbentuk oleh adanya keseimbangan perilaku manusia. Sastra profetik telah mencerminkan keseimbangan kehidupan manusia dengan tiga etika yang melekat; humanisasi, liberasi dan transendensi. Sebagai karya sastra yang membawa misi dakwah, sastra profetik berupaya untuk menyampaikan ajaran bermanfaat yang berupa pesan-pesan kenabian. Kuntowijoyo (2013: 10) menarasikan sastra profetik sebagai senjata orang beragama untuk melawan musuh-musuhnya, materialisme dan sekulerisme. Sastra profetik juga disebut sebagai kaidahkaidah yang memberi dasar kegiatan bersastra, sebab sastra profetik tidak hanya menyerap dan mengekspresikan, tetapi juga memberi arah realitas. Renungan realitas merupakan asal sastra profetik. Sastra profetik, pada hakikatnya memiliki tiga pilar yang membuat sesuatu dapat berdiri sendiri dan mempunyai tujuan. Pilar tersebut adalah humanisasi, liberasi, dan transendensi. Pada saatnya pilar ini disebut sebagai dimensi profetik yang menjadi inti dari nilai-nilai profetik. Dimensi sastra profetik termuat dalam beberapa cerpen Yanusa Nugroho. Alamsyah (2014: 280) mengungkapkan tujuan menulis di antaranya untuk menyebarkan kebaikan. Cerita yang baik adalah cerita yang mempunyai pesan atau gagasan di dalamnya, bukan sekadar hiburan atau selingan semata. Di sinilah pentingnya cerpen Shalawat Dedaunan dan cerpen Tangga Cahaya karya Yanusa Nugroho yang bermuatan profetik. Penafsiran terhadap struktur cerita kedua cerpen 300
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
ini, menyadarkan adanya muatan dimensi profetik. Melalui cerpen yang berjudul Shalawat Dedaunan dan Tangga Cahaya, Yanusa Nugroho berhasil menyajikan cerita penuh perenungan untuk pembaca; segala perilaku dan perbuatan yang dilakukan di dunia akan dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan, kelak di kehidupan setelah dunia: akhirat. Maka segala bentuk kegiatan yang dilakukan di dunia hendaknya senantiasa berada dalam rambu-rambu yang telah ditetapkan Tuhan. Nilai-Nilai Profetik sebagai Penguat Jati Diri Konsepsi abstrak dalam kehidupan manusia mengenai hal-hal yang dianggap baik-buruk, maupun benar-salah disebut ‘nilai’. Pada saatnya, nilai dipandang sebagai esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Nilai yang berkenaan dengan kenabian yaitu nilai profetik. Terminologi profetik berasal dari bahasa Inggris “prophet” dan bahasa Yunani “prophetes”. Keduanya memiliki arti yang sama yaitu ‘nabi’. Profetik dapat dimaknai sebagai suatu yang berkenan dengan nabi, kenabian, atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Paradigma profetik dalam pandangan Kuntowijoyo (2007: 87) berkiblat pada kandungan Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 110. Di dalamnya menjelaskan bahwa “kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyeru kepada yang ma’ruf (kebaikan) dan mencegah dari yang mungkar (kejahatan), serta beriman kepada Allah SWT”. Ayat ini, oleh Kuntowijoyo dijadikan tiang utama konstruksi sastra profetik. Kemudian diejawantahkan dalam tiga etika profetik, yaitu humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi mungkar) dan transendensi yaitu beriman kepada Allah SWT (tu’minuna billah). Etika inilah yang kemudian menjadi konsep yang mendasari nilai-nilai profetik. Humanisasi dipahami sebagai kesadaran akan adanya hubungan manusia dengan sesama manusia. Kesadaran humanisasi dimaksudkan untuk mengembalikan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Kuntowijoyo (2013: 17) mengartikan humanisasi yakni memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia. Dengan kata lain, humanisasi berarti menghidupkan kembali rasa perikemanusiaan. Liberasi merupakan pengejawantahan dari ‘nahi mungkar’ yang berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan atau penindasan (Kuntowijoyo, 2007: 229). Liberasi dimaknai sebagai upaya pembebasan manusia dari sistem budaya yang menindas dan memperbudak. Transendensi merupakan kesadaran tentang ketuhanan terhadap makna apa saja yang melampaui batas kemanusiaan. Kuntowijoyo (2013: 30) memaknai transendensi sebagai kesadaran ketuhanan. Transendensi (tukminubillah) merupakan perlawanan kreatif, intelektual, religius, dan spiritual terhadap budaya sekuler dan kemudian membawanya ke dalam ruang keyakinan agama: Islam. Dengan mengingat kembali dimensi transendental yang menjadi bagian dari itrah kemanusiaan sebagai bentuk persentuhan dengan kebesaran Tuhan. Dalam pandangan Fromm (Achmadi, 2005) manusia saat ini telah melewati revolusi industri tahap pertama dan tengah memasuki revolusi industri tahap kedua yang tidak hanya mengganti energi hidup menjadi energi mekanik tetapi sampai pikiran manusia pun diganti dengan mesin-mesin. Etika profetik merupakan pengimbang kehidupan manusia. Nilai-nilai humanisasi dan liberasi sesungguhnya berpangkal dari nilai-nilai transendensi. Artinya, kerja kemanusiaan dan kerja pembebasan harus didasarkan pada nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT. Dimensi Profetik dalam Cerpen Yanusa Nugroho Karya sastra yang berkualitas adalah karya sastra yang bermanfaat. Sastra profetik bermanfaat dalam pembinaan mental manusia dan pembentukan karakter generasi bangsa. Salah satu misi sastra profetik ialah memberikan pembinaan karakter berkenaan dengan usaha 301
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
peningkatan kesanggupan rohaniah untuk menghayati segala nilai kehidupan dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir batin. Beberapa cerpen yang diciptakan Yanusa Nugroho dapat dikategorikan sebagai sastra profetik yang menginterpretasikan dimensi profetik; humanisasi, liberasi, dan transendensi. Disinyalir dehumanisasi mulai menggejala di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Hal itu ditandai dengan maraknya manusia dari segi budaya, massa, dan negara dijadikan objek. Agresivitas yang ditandai dengan berbagai bentuk kriminalitas. Loneliness yang mengakibatkan maraknya privatisasi, dan individualisasi di kalangan masyarakat menengah ke atas. Bahkan merambah pada gejala spiritual aliantion, yaitu terbentuknya keterasingan spiritual di tengah masyarakat. Gejala dehumanisasi semacam ini, tampaknya tertangkap oleh kreativitas pemikiran Yanusa Nugroho dalam mengimajinasikan cerpennya yang berjudul Tangga Cahaya. Cerpen ini, menginterpretasikan keberadaan manusia yang serakah sebagai buah dari agresivitas. Manusia ini diwakili oleh tokoh si “pemerintah” sebagai penguasa yang bergelimang harta dan dapat melakukan apa saja dengan uangnya. “Suatu kali, entah berapa waktu silam aku diminta datang ke rumah seseorang. Aku dijemput oleh beberapa laki-laki bertubuh karang yang mengaku diperintah. Ketika aku sudah berada di rumah “si pemerintah” yang besar dan luas. Aku diminta menjawab pertanyaan. Di antaranya tentang berita bahwa aku dapat meramal kematian. Aku jawab tidak. Bahkan ketika “si pemerintah” memintaku meramalkan kematian sekelompok orang yang kematiannya telah dipersiapkan oleh “si pemerintah”. Aku menolak. Beberapa waktu kemudian berita televisi memberi pengertian bahwa “si pemerintah” adalah penguasa yang hendak menggusur tanah sebuah perkampungan” (Nugroho, 2013: 97-105). Pesan profetik dalam dimensi transendensi terwujud dengan adanya keyakinan bahwa setiap manusia akan kembali kepada Tuhan. Manusia dengan amal kebaikan akan meniti tangga kebaikan. Sebaliknya, manusia dengan amal keburukan akan meniti tangga keburukan. Artinya, perbuatan baik dan buruk akan mendapat ganjaran dari Tuhan Yang Maha Esa. Sekuat apapun manusia di dunia, pada saatnya ia akan kembali pada Tuhan dan yang dibawa bukan meteri tetapi amal perbuatan. Dalam cerpen ini, amal perbuatan disimbolkan oleh Yanusa Nugroho dengan ‘cahaya’. Konsep humanisasi pada hakikatnya berakar pada paham humanisme-teosentris. Kuntowijoyo (1998: 228) memberi pemahaman bahwa manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan hidup manusia sendiri. Artinya, keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris selalu dikaitkan dengan amal, yaitu tindakan atau perbuatan manusia yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Dalam hal ini, hubungan tokoh haji Beni dengan tokoh Aku, tokoh istri dengan tokoh aku, tokoh “pemerintah” dengan tokoh aku, serta tokoh orang kampung dengan tokoh aku didasarkan atas ketaatan pada Tuhan. Simpati haji Beni menjenguk tokoh Aku yang sakit, tokoh aku yang melayat dan mendoakan haji Beni yang meninggal, tokoh istri yang taat pada suami, tokoh aku yang memenuhi undangan si “pemerintah”, dan simpati tokoh aku terhadap orang perkampungan. Hubungan-hubungan tersebut terjadi karena adanya keyakinan bahwa kebaikan itu akan mendapat rida dari Tuhan Yang Maha Esa. Persoalan sosial merupakan persoalan yang ke depan semakin kompleks. Sebagai contoh dari ketimpangan sosial adalah kemiskinan struktural dan penindasan terhadap kaum tertindas. Dengan adanya ini, agama harus berperan. Meminjam pendapat Abdurahman (2003: 70) bahwa agama harus berani lebur memihak pada ajaran tauhid sosial dengan misinya yang paling esensial adalah sebagai kekuatan emansipatoris yang selalu peka terhadap kaum tertindas. Ini merupakan bagian dari liberasi. Tokoh si “pemerintah” sempat menekan tokoh 302
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Aku agar meramal kematian orang perkampungan yang tengah ditindas dan direncanakan kematiannya oleh tokoh si “pemerintah”. Namun, tokoh aku menolak. Sebab, ia yakin dengan kesadaran transendensi yang dimilikinya bahwa kematian adalah rahasia Sang Pencipta. Selanjutnya, cerpen berjudul Shalawat Dedaunan karya Yanusa Nugroho menampilkan pesan profetik yang bertalian dengan cerpen Tangga Cahaya. Persoalan yang diangkat ialah perihal perbuatan di dunia yang kelak di akhirat akan dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Satire tokoh nenek renta dihadirkan dengan sebuah persoalan mencari jalan ampunan. Pencarian jalan ampunan dimaksudkan karena adanya kesadaran transendensi akan pertanggungjawaban perbuatan manusia selama di dunia kepada Tuhan kelak di kehidupan setelah dunia: akhirat. Dimensi transendensi juga ditandai dengan pesan profetik bahwa Tuhan Maha Besar, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sehingga, tokoh nenek mencari jalan ampunan Tuhan dengan setulus hatinya berdasarkan kemampuannya. Sebagai makhluk sosial, tokoh nenek dalam mencari jalan ampunan diwarnai dengan interaksi dengan tokoh lain sebagai perwujudan dimensi humanisasi. Menurut Syariati (1996: 119) humanisasi merupakan ungkapan dari sekumpulan nilai ilahiah yang ada dalam diri manusia yang merupakan petunjuk agama dalam kebudayaan dan moral manusia. Tokoh nenek diceritakan tengah mencari jalan pengampunan dosa. Seseorang menyarankan dia untuk wudu dan salat. Akan tetapi ia memilih memungut daun-daun pohon trembesi yang berguguran di sekitar masjid sambil berselawat dan memohon ampunan kepada Tuhan. Berikutnya lagi, ketika seseorang memberinya saran untuk memungut menggunakan sapu lidi ia menolak. Bahkan, ketika seseorang memintanya untuk beristirahat karena hari sudah larut malam, ia pun menolak. Perhatian dari beberapa tokoh terhadap tokoh nenek merupakan fragmen humanisasi akibat keberadaan moral manusia untuk peduli terhadap sesamanya. Sementara keteguhan hati tokoh nenek merupakan perwujudan dimensi liberasi. “Alaikum salam... nek” jawab seorang pengurus, sambil mengangsurkan uang 500-an. Tapi si nenek diam saja. “ Ada apa? Tanya Haji Brahim. “Saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan.” Angin bertiup merontokkan dedaunan trembesi. “Silakan nenek ambil wudu dan salat,” ujar Haji Brahim sambil tersenyum. Namun, nenek itu justru memilih memunguti daun-daun trembesi yang berguguran di sekitar masjid. Ada yang melarang. Ada yang menyarankan memungut dengan sapu. Namun sang nenek memilih memungut dengan tangannya. “Nek, istirahatlah. Ini sudah malam.” “Kalau bapak mau pulang silakan. Biarkan saya di sini dan melakukan ini semua.” “Nek, mengapa nenek menyiksa diri seperti ini” “Tidak, saya tidak menyiksa diri. Ini bahkan belum cukup untuk sebuah ampunan. Ucapnya sambil menghapus air matanya. Dua hari kemudian, tepat ketika waktu asar terdengar, si nenek tersungkur dan meninggal. Orang-orang terpekik. (Nugroho, 2013: 172-179). Seorang hamba (manusia) akan mencari jalan ampunan, ketika ia merasa telah melakukan sebuah kesalahan. Boleh jadi, kesalahan yang dimaksud ialah kesalahan yang dilakukan akibat melanggar perintah Tuhan atau melakukan larangan-larangan Tuhan. Manusia yang demikian itu akan mencari jalan ampunan. Jalan terbaik ialah dengan salat; bertaubat memohon ampun kepada Allah SWT dan bersungguh-sungguh untuk tidak melakukan perbuatannya lagi. Hubungan manusia dengan Tuhan menjadikan wudu dan salat sebagai jalan untuk memohon ampunan atas segala dosa. Sebagai tokoh yang digambarkan taat kepada Allah SWT, Haji Brahim memberi saran untuk berwudu dan salat ketika seorang nenek mendatanginya memerlukan jalan ampunan Allah. Akan tetapi, sang nenek memilih memungut daun-daun di sekitar masjid. Daun-daun yang tidak pernah dibersihkan oleh warga sekitar masjid. Memungutnya sambil melantunkan selawat dan taubat hingga akhir hayatnya. Sesungguhnya Tuhan yang Maha Pengampun akan memberi banyak jalan kepada hamba-hambanya untuk memperoleh jalan ampunan.
303
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Penutup Dimensi profetik merupakan pengimbang kehidupan manusia. Transendensi merupakan pangkal dari humanisasi dan liberasi. Nilai Transendensi menghendaki manusia meletakkan posisi Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Segala bentuk aktivitas kemanusiaan dan pembebasan harus didasarkan pada nilai-nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai pengimbang kehidupan manusia, nilai profetik memiliki peran yang besar dalam membentuk jati diri. Implementasi nilai profetik dapat membentuk generasi khaira ummah yang memiliki kesadaran humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanis, bebas dari sistem budaya yang memperbudak dan setiap tindakannya didasarkan pada keyakinan Tuhan Yang Maha Esa. Generasi ini akan memiliki intelektual unggul, berbudi luhur dan siap menjadi penopang keberadaan peluang dan tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Daftar Pustaka Abdurrahman, Moeslim. 2003. Islam sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Gramedia. Achmadi. 2005. Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Garaudi, Roger. 1986. Mencari Agama pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Garaudy. Jakarta: Bulan Bintang. Kuntowijoyo. 1998. Paradigma Islam: Interpreatsi untuk Aksi. Bandung: Mizan. Kuntowijoyo. 2007. Islam sebagai Epistemologi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kuntowijoyo. 2013. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Multi Presindo. Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press. Sari’ati , Ali. 1996. Humanisme: Antara Islam dan Mashab Barat. Terj. A if Hidayat. Bandung: Pustaka Hidayah. Shofan, Moh. 2004. Pendidikan Berparadigma Profetik: Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ircisod. Wellek, R dan Austin W. 1995.Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia. Almaysah, Isa. 2014. 101 Dosa Penulis Pemula. Depok: AsmaNadia Publishing House. Muhammad A.R. 2003. Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan. Yogyakarta: Prismasophie. Yulisetiani, Septi. 2015. Karakter Profetik dalam Buku Puisi Ulang Tahun Hujan Karya Teguh Trianton. Prosiding Seminar Nasional UMS. Pp. 67-76.
304