-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
PERILAKU SINTAKSIS FRASA ADJEKTIVA SEBAGAI PENGUAT JATI DIRI BAHASA INDONESIA Munirah Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unismuh Makassar munirah.
[email protected]
Abstrak Setiap bahasa pada dasarnya merupakan simbol jati diri penuturnya, begitu pula halnya dengan bahasa Indonesia juga merupakan simbol jati diri bangsa. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus senantiasa kita jaga, kita lestarikan, dan secara terus-menerus harus kita bina dan kita kembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi modern yang mampu membedakan bangsa kita dari bangsa-bangsa lain di dunia. Bahasa merupakan sarana pembentukan jati diri seseorang. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga masyarakat. Dalam pertuturan, bahasa diwujudkan dalam bentuk satuan-satuan bahasa yang disebut kalimat. Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Salah satu sistem bahasa dalam sintaksis adalah frasa. Pemakaian frasa adajektiva membuat pengungkapan maksud dan tujuan menjadi lebih mengesankan, lebih hidup, lebih jelas dan menarik. Struktur frasa yang terdapat dalam penggunaan bahasa Indonesia, antara lain berstruktur KS + Ps, Ps + KS, KS + Pr + KS, dan KS + KS. Penggunaan frasa berstruktur KS + Ps, Ps + KS, KS+Pr+KS, dan KS + KS tersebut merupakan contoh pemanfaatan bentuk penggunaan frasa adjektiva yang menarik dan menimbulkan efek-efek estetis pada pembaca untuk membentuk jati diri bangsa. Dengan memilih dan memanfaatkan struktur frasa yang menarik sesuai dengan makna kalimat akan memperkuat jati diri bahasa Indonesia. Kata Kunci: frasa, adjektiva, pola
Pendahuluan
Peranan bahasa sebagai media komunikasi semakin terasa pentingnya. Hal ini sejalan dengan tingkat peradaban manusia yang semakin mengalami peningkatan. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga masyarakat. Dalam pertuturan, bahasa diwujudkan dalam bentuk satuan-satuan bahasa yang disebut kalimat. Sedangkan kalimat itu sendiri terdiri atas beberapa satuan kata yang dirangkaikan. Satuan pembentuk kalimat tersebut menempati satu fungsi tertentu. Fungsi-fungsi yang dimaksud adalah subjek (s),predikat (p), objek (o), pelengkap (pel), dan keterangan (k). Subjek merupakan bagian kalimat yang merupakan pokok pembicaraan; predikat merupakan bagian kalimat yang memberi penjelasan mengenai mengapa, bagaimana, atau apa yang terjadi terhadap pokok pembicaraan itu; objek merupakan bagian kalimat yang memberi penjelasan terhadap kejadian yang menyangkut pokok pembicaraan; pelengkap merupakan bagian kalimat yang berdiri langsung di belakang predikat jika tidak ada objek dan di belakangi objek jika unsur pelengkap ini hadir; dan keterangan merupakan bagian dari yang memberi penjelasan tambahan mengenai kapan, di mana, atau dalam keadaan apa peristiwa yang dialami pokok pembicaraan itu berlangsung. Setiap bahasa merupakan simbol jati diri penuturnya, begitu pula halnya dengan bahasa Indonesia juga merupakan simbol jati diri bangsa. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus senantiasa kita jaga, kita lestarikan, dan secara terus-menerus harus kita bina dan kita kembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi modern yang mampu membedakan bangsa kita dari bangsa-bangsa lain di dunia. Lebih-lebih dalam era global seperti sekarang ini, jati diri suatu bangsa menjadi suatu hal yang amat penting untuk dipertahankan agar bangsa kita tetap dapat menunjukkan keberadaannya di antara bangsa lain 106
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
di dunia. Oleh karena itu, bahasa perlu dibina dengan mengkaji satuan-satuan bahasa tersebut. Salah satu aspek yang membangun dari tataran kalimat adalah Frasa. Salah satu jenis frasa dalam pembahasan ini adalah frasa adjektiva yang dijadikan sebagai bahan acuan atau referensi tentang perilaku sintaksis dan frasa. Pembahasan
1. Pengertian Perilaku Sintaksis dan Frasa Adjektiva a. Perilaku Sintaksistem Bahasa sebagai fenomena yang memadukan bagian dunia makna dan bagian dunia bunyi yang terdiri tiga subsistem, yaitu subsistem fonologis, morfologis, gramatikal dan leksikal. Salah satu subsistem tersebut adalah tataran sintaksis. Kata sintaksis berasal dari kata Yunani (sun = ‘dengan’ + tattein ‘menempatkan’. Jadi, kata sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan. Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi menyangkut struktur gramatikal di dalam kata. Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah frase, kalusa, dan kalimat. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat. b. Frasa Adjektiva Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1994:22). Lebih lanjut, Alwi,dkk. (2000) mengatakan bahwa Frasa adjektiva adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih sedang intinya adalah adjektiva (sifat) dan satuan itu tidak membentuk klausa. Setiap kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat tersebut. Fungsi tersebut bersifat sintaksis, artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Frasa adjektiva merupakan frasa yang unsur intinya berupa kata sifat, sedangkan atributnya bisa berupa frasa atau pun kelas kata yang lain. Frasa adjektiva ini biasanya berkombinasi dengan adverbia agak, lebih, sangat, sekali, dan paling. Perhatikan contoh berikut: Mereka berdua sangat gembira walaupun sampai satu jam belum ada penumpang yang tertarik kepada opak yang dijajakan Euis dari luar jendela bis. Frasa sangat gembira dalam kalimat tersebut merupakan frasa adjektiva. Unsur intinya yaitu gembira, berkategori kata sifat (adjektiva) yang dikombinasikan dengan kata sangat berkategori adverbia. Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1994:22). Menurut Ramlan (1987:151) frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas unsur klausa. Adapun Verhaar (1999:292) mende inisikan frasa sebagai kelompok kata yang merupakan bagian fungsional dari tuturan yang lebih panjang. Sementara itu, menurut Koentjoro (dalam Baehaqie, 2008: 14), frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan pada umumnya menjadi pembentuk klausa. Contohnya adalah frasa-frasa dalam kalimat (1) Saya sedang menulis artikel kebahasaan. Dalam kalimat (1) terdapat dua frasa yakni sedang menulis dan artikel kebahasaan. Frasa adjektiva adalah satuan gramatikal yang terdidri atas dua kata atau lebih sedang intinya adalah adjektiva (sifat) dan satuan itu tidak membentuk klausa, misalnya (1) Ibu bapakku sangat gembira.(2) Baju itu sangat indah, (3) Mobil ferozamu baru sekali. Frasa adjektiva UP-nya berupa kata yang termasuk kategori adjektiva. UP-nya dapat diberi a iks ter- (paling), sangat, paling agak, alangkah-nya, se-nya. Frasa adjektiva biasanya menduduki fungsi predikat. Contoh: Rumahnya besar Contoh: menakutkan (memiliki a iks verba, tidak bisa diberi kata ‘sedang’ 107
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
atau ‘sudah’. Tetapi bisa diberi kata ‘sangat’). Hubungan struktur unsur-unsur pembentuk frasa adjektiva diperoleh beberapa struktur frasa yakni pola D-M (diterangkan-menerangkan), M-D (menerangkan-diterangkan) yang dijelaskan dalam bentuk struktur simpel (sederhana) dan struktur kompleks (rumit). Berikut bentuk struktur frasa yang diperoleh dari data novel” Keluarga Cemara. 1) Frasa adjektiva berstruktur KS + Ps Terdiri atas KS sebagai unsur pusat diikuti Ps (penerang sifat) sebagai atribut: (1) Abah pesan tidak boleh malu, Abah akan marah sekali kalau Ara malu dan takut. Frasa adjektiva marah sekali yang berstruktur KS + Ps yakni adjektiva marah dan sekali merupakan unsur atribut yang hanya menjelaskan lebih tegas adjektiva marah sebagai unsur inti, berdasarkan makna menurut KBBI (2008:1267), “marah adalah puas dan lega, tanpa rasa susah dan kecewa, dan sekali sebagai atribut yang menerangkan kata marah. Hal lain juga terlihat pada contoh berikut ini. (2) Ibu senang sekali, kalian sudah datang. Pada frasa senang sekali memiliki makna gramatikal “sangat” dan terlihat jelas bahwa yang menjadi unsur inti adalah adjektiva senang (diterangkan), dan kata sekali sebagai atribut yang menerangkan kata senang. Berdasarkan contoh tersebut dapat dilihat bahwa frasa pintar sekali, bersemangat sekali, dan bagus sekali memiliki makna gramatikal ‘sangat’. Pada frasa tersebut kata pintar, bersemangat, dan bagus merupakan unsur inti (yang diterangkan) yang menyatakan ‘sikap batin’ dari frasa tersebut dan diikuti oleh kata sekali yang berkategori adverbia untuk menyatakan keadaan atau tindakan yang bertaraf tertinggi. 2) Frasa adjektiva berstruktur Ps + KS Terdiri atas Ps sebagai atribut diikuti ole KS sebagai unsur pusat. Dapat dilihat pada contoh berikut ini: (1) Rasanya bukan hanya Ara yang tidak mengenali dalam sekali pandang. Frasa sekali pandang berstruktur Ps + KS yakni adjektiva sekali dan pandang merupakan unsur atribut yang hanya menjelaskan lebih tegas adjektiva pandang sebagai unsur inti sedangkan sekali sebagai penerang sifat (Ps). Berdasarkan makna menurut KBBI (2008:1010), pandang adalah penglihatan yang tetap dan agak lama, dan sekali adalah satu kali. 3) Frasa adjektiva berstruktur KS + Pr + KS Menurut KBBI (2008:702) kiri merupakan arah, pihak, atau sisi bagian badan kita yang berisi jantung, selalu berbuat (bekerja) dengan tangan kiri. Sedangkan, kanan menurut KBBI (2008:615) merupakan arah, pihak, atau sisi bagian badan kita yang tidak berisi jantung, sisi (pihak) yang merupakan lawan dari kiri. Frasa adjektiva tersebut merupakan reduplikasi semantis. Dikatakan demikian karena kiri dan kanan merupakan arah yang berlawanan atau kata yang memiliki arti yang menunjukkan arah tapi berlawan (antonim). Contoh: Toh yang naik pesawat terbang hanya duduk di sayap, kiri dan kanan. Abah terlalu kaku dan keras. Hasil analisis tersebut menjelaskan bahwa frasa adjektiva kaku dan keras yang berstruktur KS + Pr + KS, yang mana KS adalah inti dari frasa, Pr adalah perangkai dan KS merupakan atribut, dengan kata lain frasa ini disebut adjektiva reduplikasi semantis. Dikatakan reduplikasi semantis, karena jika dilihat berdasarkan maknanya menurut KBBI (2008:606), “kaku adalah keras tidak dapat dilenturkan.” Sedangkan kata keras menurut KBBI (2008:676) adalah padat kuat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tidak mudah pecah.”
108
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
4) Frasa adjektiva berstruktur KS + KS “Baiklah,” Ibu Mariam menghela nafas. Tersenyum ramah. Hasil analisis pada contoh frasa tersebut menunjukkan frasa adjektiva yang berstruktur KS + KS. Yang menjadi inti yaitu tersenyum, sedangkan ramah merupakan unsur atribut. Bentuk lain struktur KS + KS adjektiva juga ditemukan, yakni adjektiva reduplikasi semantis. Reduplikasi semantis sebenarnya adalah reduplikasi sinonim. Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1994:22). Frasa adjektiva adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih sedang intinya adalah adjektiva (sifat) dan satuan itu tidak membentuk klausa. Penggunaan frasa adjektiva yang diuraikan pada makalah ini antara lain empat struktur yaitu berstruktur KS + Ps, Ps + KS, KS + Pr + KS, dan KS + KS. 2. Jati Diri Bahasa Indonesia Dalam kamus besar bahasa Indonesia jati diri mempunyai pengertian yaitu ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda, identitas, inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari dalam, spiritualitas. Jadi jati diri adalah segala sesuatu yang dapat menunjukkan identitas, ciri-ciri atau apapun yang dapat menggambarkan keadaan seseorang atau suatu benda. Jati diri—atau yang lazim juga disebut identitas—merupakan ciri khas yang menandai seseorang, sekelompok orang, atau suatu bangsa. Jika ciri khas itu menjadi milik bersama suatu bangsa, hal itu tentu menjadi penanda jati diri bangsa tersebut. Seperti halnya bangsa lain, bangsa Indonesia juga memiliki jati diri yang membedakannya dari bangsa yang lain di dunia. Jati diri itu sekaligus juga menunjukkan keberadaan bangsa Indonesia di antara bangsa lain. Salah satu simbol jati diri bangsa Indonesia itu adalah bahasa, dalam hal ini tentu bahasa Indonesia. Hal itu sejalan dengan semboyan yang selama ini kita kenal, yaitu “bahasa menunjukkan bangsa”. Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap ujaran bahasa memiliki makna. Bahasa berperan utama dalam pembentukan pengalaman atau pemahaman seseorang tentang alam semesta. Dengan pembentukan pengalaman dan pemahaman ini bahasa telah berperan dalam pembentukan jati diri seseorang atau suatu bangsa. Bahasa merupakan sistem arti dan bentuk yang diekspresikan dalam bunyi, tulisan, atau isyarat (Hallliday 2004, Martin 1992). Secara teknis linguistik ketiga elemen bahasa itu masing-masing disebut semantik (arti), tata bahasa atau leksikogramar (bentuk), dan ekspresi yang dapat berupa bunyi, tulisan, atau isyarat. Ketiga elemen itu merupakan strata dan membentuk hubungan semiotik. Dengan pengertian ini bahasa memiliki cakupan yang lebih luas dari pemahaman tradisional (yang memandang bahasa terfokus pada bunyi), yakni bahasa lisan, bahasa tulisan, atau bahasa isyarat. Setiap bahasa memiliki sistem semantik, leksikogramar dan ekspresi yang unik (di samping keuniversalan bahasa) yang membedakan satu bahasa dengan yang lain. Hal ini berimplikasi bahwa pengalaman atau pemahaman tentang realitas yang dibentuk dengan suatu bahasa berbeda dengan pengalaman atau pemahaman yang dibentuk dengan bahasa 109
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
lain. Dengan kata lain, bahasa merupakan sarana pembentukan jati diri seseorang atau suatu bangsa. Satu bangsa berbeda dengan yang lain karena persepsi bangsa itu terhadap alam dan sosial semesta berbeda dengan persepsi yang lain dan perbedaan persepsi itu akibat perbedaan bahasa. Bahasa merupakan elemen penting dalam kehidupan umat manusia. Karena bahasa merupakan alat komunikasi untuk berinteraksi satu sama lain. Itulah mengapa bahasa menjadi salah satu faktor krusial dalam kehidupan bermasyarakat di dunia. Secara historis, bahasa Indonesia merupakan bagian dari rumpun Melayu, karena bahasa Melayu merupakan cikal bakal adanya bahasa Indonesia. Bahasa Melayu sendiri mengalami penyebaran di beberapa Negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia bahkan Filipina. Dengan berbagai faktor geogra is serta antropologis yang berbeda di tiap negara, maka bahasa Melayu pun mengalami asimilasi karena berbagai faktor tersebut, demikian pula dengan bahasa Melayu yang terasimilasi oleh berbagai faktor di Indonesia, sehingga muncullah bahasa Indonesia. Sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, seharusnya bukan hanya menjadi bahasa pemersatu bangsa yang hanya dijadikan “alat” komunikasi antar daerah yang memiliki perbedaan bahasa dengan daerah lain. Lebih dari itu, bahasa Indonesia harus mampu menjadi sebuah simbol dari jati diri bangsa yang bermartabat. Penutup Pemakaian frasa adjektiva membuat pengungkapan maksud dan tujuan menjadi lebih mengesankan, lebih hidup, lebih jelas dan menarik. Struktur frasa yang terdapat dalam penggunaan bahasa Indonesia, antara lain berstruktur KS + Ps, Ps + KS, KS + Pr + KS, dan KS + KS. Penggunaan frasa berstruktur KS + Ps, Ps + KS, KS+Pr+KS, dan KS + KS tersebut merupakan contoh pemanfaatan bentuk penggunaan frasa adjektiva yang menarik dan menimbulkan efek-efek estetis pada pembaca untuk membentuk jati diri bangsa. Dengan memilih dan memanfaatkan struktur frasa yang menarik sesuai dengan makna kalimat akan menperkuat jati diri bahasa Indonesia. Sangat disadari bahwa pembahasan ini masih belum mendekati kesempurnaan. Perlu pengkajian lebih lanjut tentang penggunaan frasa adjektiva dalam sebuah karya sastra khususnya novel masih sangat banyak yang tidak mampu dibahas secara keseluruhan. Oleh karena itu, disarankan kepada civitas adakemik yang ingin mengangkat objek yang sama atau bahkan karya lain dari penulis tersebut agar kiranya kemudian dapat mengkaji permasalahan sehubungan dengan tingkat keterbacaan singkat dengan analisis yang berbeda. Misalnya saja melihat penggunaan adjektiva dalam novel segi perilaku semantik. Tingkat keterbacaan tersebut dikaitkan dengan konteks penggunaan menarik untuk dikaji dan hasilnya dapat menambah wawasan dalam tata bahasa, khususnya jati diri bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka Alwi, Hasan, dkk, 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Baehaqie, Imam. 2008. Sintaksis : Teori dan Analisisnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : PT Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Junus, Andi Muhammad & Junus, Andi Fatimah.2009.Pembentukan Kalimat Bahasa Indonesia. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar. Kridalaksana, Harimurti. 19855. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
110
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Kridalaksana, Harimurti. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gaja Mada Universitas Press. Ramlan, M. 1987. Sintaksis. Yogyakarta : CV Karyono. Veerhar, J.W.M. 1999. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
111