Menelusuri Married By Accident Penulis mengawali uraian ini dengan mengemukakan pemahaman pribadi tentang makna kata kudus. Penulis memahami kata kudus sebagai sesuatu yang suci, tanpa dosa dan tak bercacat. Kudus juga berarti sesuatu yang telah dikhususkan atau dipisahkan dari yang berdosa. Bagi orang Kristen kata kudus bukanlah merupakan kata yang asing. Secara umum kata kudus dipahami sebagai suatu keadaan tanpa kecemaran, tanpa kesalahan atau tidak bercacat dan jauh dari perbuatan berdosa.1 Dalam agama Kristen, diimani bahwa hanya Tuhan Allah yang Kudus. Tuhan Allahlah yang menguduskan orang beriman di dalam Kristus.2 Maka dapat dikatakan bahwa semua manusia di dunia bahkan yang memiliki iman kepada Kristus sekalipun adalah manusia berdosa. Hanya karena anugerah Allah melalui Kristuslah maka manusia yang berdosa itu, dikhususkan dan dijadikan kudus. Tanpa hidup yang kudus, tidak mungkin ada persekutuan dengan Allah yang kudus.3 Manusia yang berdosa tidak dapat menjadi kudus dalam arti yang sama dengan kekudusan yang dimiliki oleh Allah karena pada hakekatnya manusia adalah pendosa. Kekudusan Allah nampak di dalam Firman dan karya-Nya yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia. Melalui kesaksian Alkitab, misalnya di dalam 1 Samuel 2:2 yang mengatakan bahwa “tidak ada yang kudus seperti Tuhan, sebab tidak ada yang lain kecuali Tuhan,” nampak di dalamnya Tuhan Allah benar-benar dipisahkan dari dosa dan Ia adalah kudus.4 Oleh sebab manusia ialah pendosa dan Allah adalah kudus, maka manusia harus memelihara kekudusan yang telah diperolehnya melalui Kristus, dengan berusaha untuk hidup kudus yakni berlaku benar dan jujur di hadapan Allah. Bagaimana dengan permasalahan yang banyak terjadi dalam kehidupan orang Kristen sekarang ini khususnya dalam kehidupan pernikahan Kristen? Kenyataan yang dihadapi ialah bahwa banyak pasangan Kristen yang menikah karena accident atau istilah populernya married by accident. Accident adalah kehamilan yang dialami oleh pasangan-pasangan yang belum menikah. Pasangan-pasangan nikah ini cenderung dikucilkan dalam jemaat dan masyarakat. Kehidupan pernikahan mereka dipandang sebagai yang tidak kudus dan berdosa. Pernikahan Kristen bukanlah merupakan suatu eksperimen melainkan suatu hubungan atau ikatan seumur hidup antara laki-laki dan perempuan. Ia dibangun melalui satu proses panjang dan membutuhkan waktu yang lama. Dengan kata lain, pernikahan Kristen itu sendiri tidak bersifat main-main tetapi merupakan suatu komitmen yang serius antara pasangan yang 1
Paradigma tersebut berdasarkan pandangan penulis yang memiliki latar belakang agama Kristen. Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 91. 3 Ibid. 4 Ibid. 2
1
menikah dan juga dengan Allah. Allah menetapkan pernikahan atau pembentukan keluarga dengan maksud menjadikan keluarga sebagai pencerminan dari persekutuan antara Kristus dan jemaat. Hal ini nyata dalam surat-surat pastoral yang ditulis oleh Paulus. Dalam suratsuratnya, Paulus menasehati, mendorong dan mendoakan setiap suami, istri bahkan juga anak-anak untuk memelihara kekudusan hidup pernikahan. Misalnya dalam Efesus 5:22-33; 6:1-9 dan Kolose 3:18-21 yang berbicara tentang hubungan antar anggota rumah tangga yakni hubungan suami, istri dan anak-anak. Pernikahan Kristen merupakan inisiatif Allah oleh karena kesaksian Alkitab bahwa pada mulanya Allahlah yang berkarya untuk mendirikan lembaga pernikahan (Kejadian 2:18, 24).5 Mengakui bahwa pernikahan adalah inisiatif Allah berarti kita juga meyakini bahwa Allah memiliki rencana yang kekal dengan pernikahan. Yakub Susabda, seorang Pendeta yang belajar tentang christian education di Reformed Theological Seminary di Missisippi, yang menulis banyak buku tentang pembinaan keluarga Kristen berpendapat bahwa untuk memahami maksud Allah dalam pernikahan, pasangan Kristen harus mengalami keselamatan di dalam Kristus, mengalami kasih Allah, melahirkan anak-anak Allah, bertumbuh dalam kebenaran Firman Allah, serta menjaga kesucian dan kesatuan hidup suami istri yang diusahakan secara bersama.6 Dalam pengamatan penulis, kota Ambon juga merupakan salah satu kota yang cukup berpotensi terjadinya kasus-kasus married by accident. Salah satu alasannya ialah karena akses internet yang mudah dijangkau oleh semua orang bahkan anak kecil sekalipun. Perkembangan teknologi yang semakin pesat memungkinkan adanya akses akan situs-situs yang berkaitan dengan seksualitas oleh semua kalangan usia. Kemajuan ini mengakibatkan meluas dan terbukanya pengetahuan tentang seks sehingga pada masa sekarang seks tidak lagi menjadi hal yang tabu bagi sebagian besar orang. Kenyataan ini mempengaruhi dan bahkan mengakibatkan adanya peningkatan dalam kasus-kasus married by accident dalam kehidupan bermasyarakat dan secara khusus dalam kehidupan kalangan umat Kristiani. Alasan lain yang juga memungkinkan terjadinya kehamilan diluar pernikahan adalah karena kurangnya pengawasan dari orang tua terhadap pergaulan anak-anaknya. Menarik bagi penulis untuk meneliti tentang makna kekudusan pernikahan dalam perspektif etika Kristen karena kudusnya suatu pernikahan cenderung dilihat hanya dari satu aspek saja. Misalnya kekudusan pernikahan hanya dilihat dan dinilai dari kehamilan sebelum menikah. Sedangkan menurut pemahaman penulis, kekudusan pernikahan seyogianya harus dilihat secara holistik. Berdasarkan pengamatan penulis pasangan-pasangan nikah yang 5 6
Yakub Susabda, Marriage Enrichment, (Jakarta: Mitra Pustaka, 2011), 10. Ibid., 9-103.
2
married by accident ini mendapat perlakuan yang tidak adil dari jemaat dan masyarakat. Mereka cenderung diperlakukan berbeda dengan jemaat yang lain, tidak dilayani dalam peneguhan sidi, pemberkatan nikah di gereja, dan baptisan bagi anak-anak mereka. Dipandang sebagai yang berdosa dan tidak lagi kudus oleh jemaat dan masyarakat memungkinkan pasangan-pasangan nikah yang married by accident menjadi rendah diri dengan pernikahan mereka. Hal ini nampak dari kehidupan mereka yang cenderung tidak membaur dengan jemaat dan masyarakat namun tertutup bagi keluarga dan orang-orang terdekat saja. Penanganan yang diberikan oleh keluarga dan orang terdekat bagi pasanganpasangan ini pun hanya sebatas pada menyadari kesalahan yang telah dilakukan yakni seks diluar pernikahan dengan ditegur atau dipanggil secara pribadi, tetapi tidak ada penanganan untuk menuntun dan membimbing mereka pasca married by accident. Menurut hemat penulis, hal ini juga yang sekiranya menjadi salah satu faktor mengapa pasangan-pasangan nikah yang married by accident terus berada dalam keadaan dan perasaan rendah diri yaitu karena mereka tidak diberi pemahaman yang benar akan pernikahan yang kudus dalam iman Kristen. Apakah dengan hamil sebelum menikah, pernikahan itu menjadi tidak kudus? Penulis memandang perlu untuk meneliti makna kekudusan dalam pernikahan ditinjau dari perspektif etika Kristen. Makna kekudusan harus dipahami secara jelas oleh pasanganpasangan nikah agar mereka mampu untuk memanifestasikan kekudusan itu dalam kehidupan pernikahan dan keluarga mereka. Secara khusus dalam kehidupan keluarga pasanganpasangan nikah yang married by accident. Tempat penelitian yang penulis pilih adalah di Gereja Protestan Maluku yang berlokasi di Kota Ambon tepatnya Jemaat GPM Galala-Hative Kecil. Penulis memilih jemaat GPM Galala-Hative Kecil karena dalam jemaat tersebut terdapat banyak pasangan nikah yang married by accident. Penulis juga telah mempertimbangkan beberapa informan dalam penelitian ini yakni 15 pasangan nikah yang married by accident di Jemaat GPM GalalaHative Kecil. Karena itu penulis merumuskan judul penelitian ini sebagai berikut: Studi Etis Kristiani Terhadap Pemahaman Pasangan Nikah yang Married By Accident di Jemaat GPM Galala-Hative Kecil tentang Kekudusan Pernikahan. Fokus penelitian dibatasi pada pemahaman pasangan-pasangan nikah yang married by accident terhadap makna kekudusan dan manifestasinya dalam kehidupan pernikahan mereka di Jemaat GPM Galala-Hative Kecil ditinjau dari perspektif etika Kristen. Dua rumusan masalah yang akan diteliti oleh penulis dalam penelitian ini adalah tentang makna kekudusan pernikahan dan pemahaman pasangan-pasangan nikah yang married by accident di Jemaat GPM Galala-Hative Kecil, yang keduanya ditinjau dari perspektif etika Kristen. Penelitian ini 3
bertujuan untuk mendeskripsikan pemahaman kekudusan pernikahan dan pemahaman pasangan-pasangan nikah yang married by accident di Jemaat GPM Galala-Hative Kecil tentang makna kekudusan pernikahan secara etis Kristiani. Manfaat penelitian dibagi dalam dua bagian yakni secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada orang Kristen pada umumnya dan pasangan-pasangan nikah yang married by accident di Jemaat GPM Galala-Hative Kecil pada khususnya, dan bagi Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana tentang pemahaman makna kekudusan pernikahan dalam perspektif etika Kristen. Dan juga bagi Jemaat GPM Galala-Hative Kecil untuk memperdalam proses konseling pra-nikah bagi pasangan-pasangan yang hendak masuk dalam pernikahan kudus. Secara praktis, dapat menjadi pegangan bagi pasangan-pasangan nikah yang married by accident agar mereka tidak menjadi rendah diri terhadap kehamilan diluar pernikahan yang dialami, namun terus berjuang untuk hidup kudus. Dan dapat pula menjadi pegangan bagi orang Kristen agar terbebas dari pemahaman kekudusan pernikahan yang salah dan sebagai upaya untuk meminimalisir adanya penghakiman sepihak atau kecenderungan mengucilkan pasanganpasangan nikah yang married by accident. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian deskriptif yakni penelitian yang diarahkan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan, dengan cara memperhatikan dan menggunakan teori-teori dari para ahli yang sudah ada, yang diperoleh dari buku-buku dan tulisan ilmiah, serta menyesuaikannya dengan hasil studi etis dan studi lapangan yang penulis lakukan terkait topik penulisan. Sesuai dengan tujuan penulisan yaitu penulis ingin mendeskripsikan makna kekudusan pernikahan yang ditinjau dari perspektif etika Kristen dan bagaimana pemahaman pasangan-pasangan nikah yang married by accident tentang kekudusan pernikahan maka untuk mendapatkan data yang dapat menjawab tujuan tersebut, dalam metode yang digunakan penulis memakai tehnik wawancara mendalam. Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi.7 Pada awal tulisan ini penulis telah memaparkan uraian singkat yang memuat latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat dan metode penelitian. Kemudian penulis akan mendeskripsikan teori-teori para ahli yang akan digunakan dalam meninjau pemahaman pasangan-pasangan nikah yang married by accident
7
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: LP3ES, 1985), 145.
4
di Jemaat GPM Galala-Hative Kecil tentang makna kekudusan pernikahan yang dilihat dari perspektif etika Kristen. Tulisan dilanjutkan dengan uraian tentang pemahaman pasanganpasangan nikah tersebut mengenai makna kekudusan pernikahan yang didapat dari proses wawancara mendalam. Setelah itu penulis akan melakukan tinjauan etis terhadap pemahaman tersebut dengan memakai teori-teori para ahli. Tulisan ini ditutup dengan uraian singkat yang memuat kesimpulan dan saran. Kekudusan Pernikahan Menurut Dogmatika dan Etika Kristen I.
Kekudusan Pernikahan Dalam Tinjauan Dogmatika Etika Kristen merupakan bagian dari ilmu Teologi. Demikian ungkapan sederhana
yang sekiranya dapat menggambarkan hubungan antara etika dan dogmatika. Dogmatika menjelaskan mengenai apa yang harus dipercaya, sedangkan etika menjelaskan apa yang harus dilakukan. Oleh H. R. Niebuhr seorang etikus Kristen Amerika, dogmatika dan etika diberikan batasan yang memadai yakni dogmatika merenungkan akan tindakan dan sifat Allah, sedangkan etika merenungkan akan tanggapan manusia terhadap tindakan dan sifat Allah. Jelas bahwa etika Kristen bersatu padu dengan iman Kristen. Seperti yang dikatakan seorang teolog Kristen, Karl Barth: “Allah tidak hanya mengakui manusia sebagai milik-Nya, tetapi juga bertanggung jawab atasnya.” Perkataan ini dapat diinterpretasikan demikian: oleh anugerah kita diangkat sebagai anak Allah (pokok dogmatika) dan oleh anugerah pula kita disanggupkan agar dapat hidup sesuai dengan pengangkatan sebagai anak Allah itu (pokok etika).8 Maka anugerah Allah dalam Kristus sebagai tolak ukur, baik bagi dogmatika maupun bagi etika.9 Etikus Kristen J. Verkuyl memahami dogmatika sebagai credenda yang olehnya manusia mengetahui apa yang harus dipercaya, sedangkan etika sebagai agenda yang daripadanya manusia ditolong untuk mengetahui apa yang harus dilakukan. Menurutnya credenda dan agenda tidak dapat dipisahkan. Sebab credenda tak mungkin tanpa agenda dan sebaliknya agenda tak mungkin tanpa credenda. Pemahaman ini diterangkan dengan pernyataan yang mengungkapkan pokok-pokok dogmatis dan etis Kristiani yakni pembenaran dan pengudusan, pengampunan dan pembaharuan, iman dan tobat, yang adalah satu. Demikian menjadi jelas bahwa dogmatika memiliki hubungan yang erat dengan etika
8
Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! : Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 11. 9 Ibid., 10-11.
5
dan juga sebaliknya, karena apa yang dipercaya berdampak pada kelakuan dan apa yang dilakukan seyogianya bersandar pada apa yang dipercaya.10 Sama halnya dengan dogmatika, Alkitab adalah sumber utama etika Kristen. Alkitab menjadi satu-satunya sumber yang mutlak diperlukan baik bagi dogmatika maupun bagi etika. Meskipun demikian, Alkitab bukanlah kamus etika.11 Alkitab tidak memberi jawaban yang sudah jadi bagi permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Hal ini dikarenakan Alkitab bukan pertama-tama berisikan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus hidup.12 Alkitab terutama ialah buku kesaksian tentang perbuatan Allah demi manusia.13 Melalui pekerjaan Allah dan tanggapan manusia terhadap pekerjaan-Nya yang termuat dalam Alkitab, kita ditolong untuk mengetahui bagaimana tanggapan yang patut kita ambil dalam menanggapi permasalahan di masa sekarang ini.14 Untuk maksud tersebut, maka berikut akan dibahas tentang dosa, kudus, dan kekudusan pernikahan menurut pandangan dogmatika Kristen. A. Dosa Reinhold Niebuhr seorang teolog dan etikus asal Amerika Serikat mengemukakan pandangannya mengenai dosa dengan memberi makna yang berbeda yakni bahwa hal-hal tentang dosa merupakan produk imajinasi keagamaan belaka. Menyadari bahwa sesuatu itu adalah dosa merupakan tindakan yang sama-sama sadar ketika menyadari bahwa Tuhan itu ada. Niebuhr menambahkan bahwa cara selamat dari situasi yang penuh dosa adalah hanya oleh anugerah Allah.15 Seorang Etikus Kristen Malcolm Brownlee menjelaskan tentang dosa dengan membedakannya menurut tiga jalan etika.16 Dalam etika akibat, dosa dipahami sebagai tindakan yang tidak mengenai sasaran atau meleset, tindakan penyelewengan dan kegagalan.17 Dalam etika kewajiban, dosa dipahami sebagai pelanggaran dan pemberontakan
10
J. Verkuyl, Etika Kristen: Bagian Umum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 20. Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! : Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar, 90-91. 12 Ibid. 13 Ibid., 93. 14 Ibid., 93-109. 15 Reinhold Niebuhr, An Interpretation of Christian Ethics, (San Fransisco: Harper and Row Publisher, 1971), 39. 16 Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 41. 17 Ibid. 11
6
terhadap peraturan Allah.18 Sedangkan dalam etika tanggung jawab dosa dipandang sebagai suatu bentuk ketidakpercayaan manusia akan Allah.19 B. Kudus Harun Hadiwijono seorang teolog Indonesia mengatakan bahwa Tuhan Allah adalah kudus yang berarti Ia dipisahkan dari segala yang dosa. 20 Hal ini tidak berarti bahwa Tuhan Allah tidak berhubungan dengan umat-Nya. Justru dalam relasi Tuhan Allah dengan umatNya maka nampak Tuhan sebagai yang kudus dan tidak bersekutu dengan dosa. Kekudusan Tuhan Allah yang menuntut umat-Nya untuk berusaha hidup kudus (1 Petrus 1:16 “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.”).21 Pemahaman serupa yang dikemukakan juga oleh James M. Boice seorang teolog Reformed dan guru Alkitab bahwa sifat kudus yang dimiliki Allah, memisahkan diriNya dari ciptaanNya yakni manusia berdosa.22 Tanpa hidup yang kudus, tidak mungkin ada persekutuan dengan Allah yang kudus.23 Pernyataan ini mengindikasikan bahwa manusia dipahami sebagai yang berdosa, oleh sebab itu manusia harus berusaha untuk hidup kudus agar mereka dapat bersekutu dengan Allah yang kudus. Maksudnya ialah kekudusan harus diupayakan oleh manusia supaya dapat disebut sebagai yang kudus. Perlu dicatat bahwa, meskipun manusia dapat disebut sebagai yang juga kudus, tetapi kekudusan hidup manusia tidak setara dengan sifat kudus yang dimiliki oleh Tuhan Allah. Pada hakekatnya manusia dapat menjadi kudus karena Allah yang menguduskan,
maka
selaku
orang-orang
yang
telah
dikuduskan
manusia
harus
mengupayakan kekudusan (Efesus 5:8). Manusia berdosa dikuduskan oleh Kristus dan di dalam Kristus. Pengudusan dapat dilihat dalam dua segi. Pertama, orang yang telah dibenarkan oleh karena percaya kepada Kristus, serentak juga ia telah dikuduskan (1 Korintus 6:11). Pengudusan ini adalah suatu realitas di dalam percaya kepada Kristus, yang oleh firman-Nya yang berisi rahmat Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang dikuduskan. Sekalipun kita tinggal tetap orang berdosa, namun kita sungguh-sungguh telah dikuduskan. Kedua, pengudusan yang merupakan suatu realitas di dalam percaya itu, haruslah berbuahkan suatu kehidupan secara Kristen. Dengan perkataan lain, dalam dogmatika ada terkandung etika yakni kepercayaan
18
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 41. 19 Ibid. 20 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, 91. 21 Ibid. 22 James M. Boice, Dasar-dasar Iman Kristen, (Surabaya: Momentum), 133-140. 23 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, 91.
7
Kristen haruslah menghasilkan kehidupan secara Kristen. Melalui pengudusan yang dilakukan oleh Tuhan Allah di dalam Kristus, keadaan hidup kita diubah dan dibaharui.24 Dalam iman Kristiani dikatakan bahwa oleh anugerah di dalam Yesus Kristus dan melalui iman kepada-Nya, manusia telah dibenarkan (justificatio). Dan buah dari pembenaran itu adalah karunia Roh Kudus yang menghantar manusia kepada pengudusan (sanctificatio). Pembenaran itu berlaku sekali untuk selama-lamanya. Sedangkan pengudusan merupakan suatu proses yang berjalan terus menerus. Dikuduskan berarti, proses menjadi kudus yang tak kunjung selesai.25 C. Kekudusan Pernikahan Dalam Kamus Teologi, pernikahan diartikan sebagai suatu persatuan seumur hidup, yang diikat oleh perjanjian, antara seorang pria dan seorang wanita. 26 Melalui pernikahan mereka menjadi suami dan isteri, berbagi kehidupan secara utuh, saling mengembangkan diri secara penuh, dan dalam cinta melahirkan dan mendidik anak-anak.27 Berdasarkan kesaksian Alkitab dalam Kejadian 2 : 18 dan 24 dapat diketahui bahwa pada mulanya Allahlah yang berinisiatif untuk mendirikan lembaga pernikahan. Dengan mengakui bahwa pernikahan terbentuk karena inisiatif Allah, maka hal ini juga berarti bahwa Allah mempunyai rencana yang kekal dengan pernikahan. Yakub Susabda mengemukakan bahwa pernikahan terlebih dahulu harus ditempatkan dalam konteks keselamatan di dalam Kristus.28 Menurutnya, pasangan nikah perlu untuk mengalami keselamatan di dalam Kristus agar mereka dapat memahami maksud Allah dalam pernikahan.29 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Allah memiliki maksud yang kekal dalam setiap pernikahan, betapapun buruk keadaan pernikahan tersebut. J. L. Ch. Abineno seorang teolog Indonesia yang mengajar di bidang teologi praktika, dalam bukunya Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus mengatakan bahwa pernikahan adalah anugerah Allah dalam Kristus.30 Ia yang tidak berdosa telah “dijadikan dosa karena kita” (2 Korintus 5:21), maka pernikahan kita yang terletak dibawah kuasa dosa, dibebaskan dari kuasa itu dan diberikan kepada kita sebagai suatu anugerah yakni suatu persekutuan hidup yang baru.
24
J. Verkuyl, Etika Kristen: Bagian Umum, 168. Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua: Perkenalan Pertama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 106. 26 Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 252. 27 Ibid. 28 Yakub Susabda, Marriage Enrichment, 12. 29 Ibid. 30 J. L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 229. 25
8
Pernikahan yang Kudus adalah pernikahan yang kehidupannya sesuai dengan etika Kristen. Kekudusan pernikahan dilihat dan dinilai dari serangkaian proses panjang yang dialami oleh pasangan nikah dalam kehidupan pernikahannya. Mengingat pengudusan merupakan suatu proses yang berjalan terus menerus. Beberapa hal penting yang seyogianya harus dilakukan dalam kehidupan pernikahan Kristen sesuai dengan etis Kristiani ialah menyadari bahwa satu laki-laki diciptakan untuk satu perempuan (Kejadian 1:27-28; 2:1824), suami, istri, dan anak-anak yang hidup takut akan Tuhan (Mazmur 128), menjadikan kasih Kristus sebagai dasar hidup suami istri (Efesus 5:22-30; Kolose 3:19), tidak melakukan perzinahan (Keluaran 20:14; Ibrani 13:4), tidak ada perceraian (Matius 19:1-12; Markus 10:1-12) dan mendidik anak-anak menurut iman Kristen. Pasangan yang telah menikah harus menyadari bahwa lembaga pernikahan didirikan atas inisiatif Allah. Pernikahan terbentuk atas dasar pemikiran Allah sendiri berarti bahwa Allah memiliki rencana dan tujuan kekal dalam pernikahan. Oleh sebab itu, untuk mengetahui maksud Allah yang kekal atas pernikahan maka kehidupan suami dan istri harus dijalani dengan takut akan Tuhan. Allah harus diundang hadir dalam kehidupan pernikahan sehingga mereka dapat mengalami kasih Allah. Jika suami istri telah mengalami kasih Allah, maka dalam hati mereka muncul kerinduan untuk membangun pernikahan berdasarkan kebenaran-kebenaran Alkitab. Pernikahan Kristen adalah sesuatu yang kudus, namun kekudusannya diperoleh bukan sekedar karena pernikahan tersebut diberkati dalam ritual keagamaan di gereja. Kekudusan pernikahan Kristen hanya ada jikalau di dalam pernikahan tersebut ada kehadiran kasih Allah dalam Kristus Yesus.31 Suami dan istri menyatakan kasih dalam kehidupan berumah-tangga dengan meneladani kasih Kristus (Efesus 5:22-30). Teks ini sebenarnya menegaskan hubungan antara suami dan istri yang merepresentasikan hubungan Kristus dengan jemaat-Nya. Sebagaimana Kristus dan jemaat-Nya saling mengasihi, demikianlah pula suami dan istri. Kasih suami istri berpolakan kasih yang lebih besar yakni kasih Kristus kepada jemaat-Nya. Kristus rela tersalib dan mati di bukit Golgota demi umat berdosa yang dikasihiNya. Demikian pula manifestasi kasih jemaat kepada Kristus yang dinyatakan dengan sikap setia pada kehendakNya. Dalam teks ini, Paulus menyoroti hubungan suami istri dalam pernikahan dari hubungan Kristus dengan jemaat (gereja).32 Perzinahan merupakan pelanggaran terhadap hukum ketujuh dan ketidaktaatan kepada ajaran Yesus. Perzinahan didefinisikan sebagai tindakan ketidaksetiaan dalam pernikahan 31 32
Yakub Susabda, Marriage Enrichment, 7. Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 : Matius-Wahyu, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2010), 603-604.
9
yang terjadi ketika salah satu dari mitra pernikahan dengan sengaja berhubungan seksual dengan seorang lawan jenisnya yang bukan mitra pernikahannya.33 Dalam pandangan hukum Yahudi perzinahan adalah kejahatan yang serius. Bahkan untuk menegaskan keseriusan hal ini dikatakan oleh William Barclay seorang Professor of Divinity dan Biblical Criticism, bahwa orang Yahudi lebih baik mati daripada melakukan penyembahan berhala, pembunuhan, dan perzinahan.34 Bertolak dari dasar Kesepuluh Firman (Keluaran 20:14; Ulangan 5:18), larangan mengenai perzinahan sebenarnya bertujuan untuk menciptakan kesetiaan pada hubungan pernikahan yang berpusat pada kehendak yang Allah untuk memelihara hubungan manusia.35 Salah-satu ajaran Yesus kepada para murid tentang pernikahan ialah tidak ada perceraian. Di Yudea orang Farisi bertanya kepada Yesus mengenai pendapat-Nya tentang suatu persoalan yang pada waktu itu banyak dibicarakan orang Yahudi yakni perceraian. Terhadap pertanyaan orang Farisi ini, Yesus menjawab dengan menguraikan apa arti pernikahan menurut maksud Allah (Kejadian 1:27; 2:24). Ia memaparkan bahwa dalam Kejadian 2:24 pernikahan dilukiskan sebagai suatu ikatan yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada ikatan keluarga. Menjadi satu daging berarti menjadi satu kesatuan, yang hampir dapat disebut satu orang saja. Melalui pengajaran-Nya tentang pernikahan, Yesus menerangkan bahwa menurut maksud Tuhan, suami dan istri harus senantiasa memelihara hubungan mereka.36 Pernikahan memiliki dasar dan kekuatannya di dalam Kristus sehingga cinta kasih antara suami istri bersifat tak terceraikan dan tak terputus (Efesus 5:25). Sama seperti cinta Kristus kepada jemaat-Nya, demikianlah suami istri harus saling mengasihi. Cinta kasih suami istri tidaklah berakhir pada diri mereka berdua, sebab cinta kasih suami istri membuat mereka mampu untuk memberikan hadiah yang paling besar, hadiah yang menjadikan mereka rekan kerja Allah karena memberikan hidup kepada manusia baru.37 Mendidik anak-anak menurut iman Kristen merupakan salah-satu tanggung jawab dari keluarga Kristen. Orangtua memiliki tanggung jawab istimewa untuk mendidik anak-anak mereka dalam iman Kristen. Keluarga sendiri merupakan tempat pembentukan primer bagi iman anak-anak, dan juga merupakan konteks yang berarti bagi kesinambungan pertumbuhan rohani mereka. Keluarga-keluarga Kristen menyadari dirinya sebagai sebuah komunitas yang 33
Bruce M. Mezger dan Michael Dcoogan, The Oxford Companion To The Bible, (New York: Oxford University Press, 1993), 10. 34 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 2. 35 Trent C. Butler, Holman Bible Dictionary, (Tennessee: Holman Bible, 1991), 21. 36 J. J. De Heer, Tafsiran Alkitab : Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 373-376. 37 A. Widyamartaya, Keluarga Kristen dalam Dunia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 33-34. Buku ini diterjemahkan dari Amanat Apostolik Familiaris Consortio Paus Yohanes Paulus II, 1981.
10
kudus, ketika mereka mengakui dan menyatakan berbagai wujud anugerah Allah dalam kehidupan mereka setiap hari.38
II.
Kekudusan Pernikahan Dalam Tinjauan Etika Kristen Etika merupakan ilmu yang menggumuli tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia berdasarkan norma-norma atau nilai-nilai tertentu. Etika berbicara tentang apa yang benar, baik dan tepat dari perbuatan atau tindakan manusia. Tugas etika ialah menguji, menimbang dan menilai perbuatan-perbuatan manusia untuk menetapkan benar, baik dan tepat tadi.39 Dalam pemahaman yang demikian, dapat dikatakan bahwa etika melakukan penyelidikan terhadap perbuatan-perbuatan manusia dan memberi bimbingan supaya manusia dapat memperbaiki perbuatan-perbuatannya. Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa etika menggumuli tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia berdasarkan nilai-nilai tertentu, maka secara sederhana etika Kristen dapat dimaknai sebagai penyelidikan yang akan menolong kita untuk memikirkan dan menimbang tindakan manusia yang dilakukan dari sudut pandang iman Kristen yakni dengan menggunakan Alkitab sebagai pedoman dan terutama sekali memperhatikan ajaran, teladan, dan karya Yesus Kristus.40 Etika Kristen berarti mengenal kehendak Allah, mendengarkan perintah Allah dan menerima anugerah Allah yang memungkinkan juga ketaatan kepada-Nya.41 Etika Kristen dapat diterangkan dengan mengamati cara Yesus mengajar para muridNya.42 Pengajaran etis Yesus biasanya melukiskan Kerajaan Allah atau sifat-sifat Allah dalam hubungannya dengan manusia yang kepadanya manusia wajib berteladan. 43 Melalui pengajaran-Nya, Yesus hendak mengatakan bahwa sudah sepatutnya manusia meneladani perbuatan atau tindakan Allah. Ciri inilah yang menjadi kekhasan dalam etika Kristen yakni cara memandang dunia dan Allah, cara melihat kita sendiri dengan sesama, sedemikian rupa sehingga sikap dan keputusan etis kita dapat diterangkan dan dijiwai oleh pemahaman akan
38
Marjorie J. Thompson, Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan : Sebuah Visi tentang Peranan Keluarga Dalam Pembentukan Rohani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 10-22. 39 Bdg. Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua : Perkenalan Pertama, 4-5. 40 Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! : Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar, 3. 41 Ibid., 12. 42 P. L. Lehmann, Ethics in a Christian Context, (London: SCM, 1963), 346-347. 43 Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! : Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar, 4.
11
kehendak Allah sebagaimana dinyatakan oleh dan dalam Yesus Kristus.44 Dengan kata lain, dapat diketahui dan dipahami bahwa kekhasan etika Kristen ialah bercorak Kristosentris.45 Etika yang bercorak Kristosentris yang oleh Reinhold Niebuhr disebut sebagai etika Yesus, dinilai bersifat relevan bagi setiap pengalaman moral. Nilai etika tertinggi dari sosok Yesus yang dibahas oleh Niebuhr ialah kasih (cinta).46 Etika Yesus menolak egoisme karena egoisme dianggap sebagai bentuk yang tidak mencerminkan kasih/cinta. Hal ini sangat nampak dalam pengajaran Yesus tentang hal mengasihi musuh. Pengampunan dipandang sebagai bentuk tertinggi dari kasih. Sehingga dalam etika ini dipahami bahwa manusia dikasihi/dicintai bukan karena mereka setara dengan Allah, tetapi karena Allah mengasihi mereka secara setara dan mereka diampuni karena bagi Allah semua manusia adalah samasama jauh dari-Nya dan sama-sama membutuhkan kasih karunia-Nya.47 Dari pengajaran dan teladan Yesus Kristus inilah yang menolong manusia untuk mengetahui bagaimana seharusnya menjalani kehidupan secara Kristen. Reinhold Niebuhr juga menjelaskan kasih (etika Yesus) sebagai wujud pengampunan. Ia mengatakan bahwa makhota etika Kristen adalah doktrin pengampunan.48 Kasih/cinta sebagai sebuah wujud dari pengampunan adalah hal tersulit dan hampir tidak mungkin terjadi dalam pencapaian moral. Pengampunan sebagai suatu pencapaian moral mungkin saja terjadi ketika moralitas dapat dikenali dan masuk dalam agama. Kasih yang penuh pengampunan dapat terjadi hanya kepada mereka yang mengenali dan mengakui kekurangan/kelemahan diri mereka yakni mereka yang merasa membutuhkan damai sejahtera Tuhan.49 Dalam etika Kristen, kita juga mengenal tiga jalan dalam etika yang oleh Malcolm Brownlee dikenal dengan istilah etika akibat, etika kewajiban, dan etika tanggung jawab. 50 Etika akibat menilai suatu tindakan dari akibatnya. Suatu tindakan dianggap benar apabila mengakibatkan hasil baik yang lebih besar daripada hasil buruk. Sebaliknya suatu tindakan dianggap salah apabila mengakibatkan hasil buruk yang lebih besar dari hasil baik. Etika akibat mengutamakan apa yang dianggap baik dan buruk. Dalam etika ini, kehendak Allah
44
Ibid., 5. Ibid., 2. 46 Reinhold Niebuhr, An Interpretation of Christian Ethics, 30. 47 Ibid., 22-30. “In the thought of Jesus men are to be loved not because they are equally divine, but because God loves them equally; and they are to be forgiven (the highest form of love) because all (the self included) are equally far from God and in need of His grace.” 48 Ibid., 137. “The crown of Christian Ethics is the doctrine of forgiveness.” 49 Ibid., 137-139. 50 H. R. Niebuhr, The Responsible Self, (New York: Harper and Row, 1963), 47-68. Pemahaman Brownlee banyak bergantung kepada pembahasan H. R. Niebuhr. 45
12
dinyatakan dalam tujuan dan rencana-Nya.51 Kemudian manusia mengerjakan hal-hal yang mendekatkannya kepada tujuan itu. Hal ini memungkinkan manusia untuk melakukan apa saja guna mencapai tujuan yang dikehendaki oleh Allah. Etika kewajiban menilai suatu tindakan melalui cara atau metode yang dipakai. Etika ini memandang cara yang dipakai sama pentingnya dengan akibat yang dicapai. Yang menjadi dasar penilaian ialah normanorma atau peraturan-peraturan yang berlaku mutlak dalam situasi dan kondisi apapun. Etika kewajiban berbicara tentang apa yang benar dan apa yang salah. Dalam etika ini, kehendak Allah dinyatakan melalui hukum, perintah dan kaidahNya.52 Manusia diumpamakan sebagai warga negara yang diatur dan terikat oleh sejumlah peraturan. Fokus utama dalam hidup bukanlah “apa tujuan yang harus dicapai” melainkan “apa tuntutan yang harus ditaati.” Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa etika akibat mengutamakan tujuan perbuatan manusia, sedangkan etika kewajiban menyoroti metode perbuatan atau tindakan manusia. Berbeda dengan etika akibat dan etika kewajiban, etika tanggung jawab menolong orang mengambil keputusan dalam situasi dan konteks tertentu. Keputusan etis yang diambil waktu itu menunjukan nilai-nilai apa yang dipegang dan diyakini oleh yang bersangkutan, sehingga menekankan respon seseorang terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Dalam etika ini, kehendak Allah dinyatakan terutama bukan dalam rencanaNya atau hukumNya melainkan dalam pekerjaan, perbuatan dan kegiatanNya.53 Manusia diibaratkan sebagai penjawab. Allah menghendaki agar manusia menjawab atau merespon perbuatan-Nya dengan bebas berdasarkan kepercayaan kepada Allah. Oleh sebab itu, tugas orang beriman tidak hanya mencapai tujuan yang dikehendaki oleh Allah dan mematuhi perintah-Nya melainkan juga menanggapi pekerjaan-Nya. Tanggapan orang percaya tentu dipengaruhi oleh pertimbangan tentang unsur apa yang paling terpenting dalam suatu peristiwa. Bagi orang Kristen yang terpenting ialah bahwa Allah bekerja dalam setiap kejadian yang dialami oleh manusia. Pentingnya pekerjaan Allah dalam etika tanggung jawab membedakan aliran ini dengan etika situasi.54 Dengan iman, kita mempercayai bahwa Allah sebagai Bapa yang Mahakuasa dan Mahakasih. Karena itu kita mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi terlepas dari
51
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya, 31. Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya, 34. 53 Ibid., 38. 54 Ibid., 39. Situasi menurut Brownlee merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pengambilan keputusan etis. Situasi perlu dimengerti supaya kita dapat menerapkan norma-norma dan nilai-nilai etis kepada situasi itu. Situasi perlu dimengerti supaya kita dapat melakukan perbuatan yang tepat dan berguna dalam situasi tersebut. Situasi perlu dimengerti supaya kita dapat mengetahui masalah-masalah yang memerlukan perhatian. Pengertian tentang situasi yang sedang dihadapi sangat mempengaruhi keputusan etis yang diambil. 52
13
pemeliharaan-Nya sehingga kita menanggapi setiap peristiwa sebagai wadah pekerjaanNya.55 Masing-masing dari tiga jalan etika diatas memiliki kekuatan dan kelemahan. Etika akibat menekankan maksud atau tujuan sehingga mengabaikan aturan. Etika kewajiban terbelenggu dalam legalisme yang membuat manusia terkadang menilai suatu tindakan secara kaku. Sedangkan etika tanggung jawab yang bergantung pada situasi dan kondisi tertentu, dapat dengan mudah terjebak dalam etika situasional.56 Namun ketiga jalan etika tersebut dibuat bukan untuk dipilih salah-satunya melainkan untuk dimanfaatkan atau digunakan secara bersama. Oleh karena setiap tindakan etis selalu berhubungan dengan ketiga hal tadi yakni baik, benar, dan tepat. Tujuan dan aturan menolong kita untuk menentukan tanggapan yang tepat. Setiap tindakan etis yang dapat dipertanggungjawabkan sebenarnya adalah tindakan yang baik, benar, dan, tepat. Namun ketiganya tidak mungkin jika diperhadapkan dengan kehidupan manusia yang demikian kompleks. Iman Kristen memberikan penjelasan bahwa hal tersebut tidaklah mungkin, mengingat manusia adalah orang-orang yang berdosa. Ucapan Marthin Luther yang termasyur simul iustus et peccator, berarti orang percaya adalah orang yang dibenarkan dan sekaligus berdosa.57 Luther memahami bahwa iman kepada Kristus tidak membebaskan kita dari perbuatan, tetapi dari pandangan yang keliru sehubungan dengan perbuatan, yaitu praanggapan yang sembrono bahwa pembenaran diperoleh melalui perbuatan. Ia mengetahui bahwa orang Kristen tidak sedemikian sempurna sehingga mereka tetap merupakan orang berdosa yang selalu membutuhkan pengampunan. John Calvin juga menegaskan bahwa orang Kristen tetap merupakan seorang yang berdosa dan terus membutuhkan pembenaran dalam kemurahan kasih Allah. Mereka yang dibenarkan oleh iman yang sejati, membuktikan pembenaran mereka dengan ketaatan dan perbuatan baik. Kesabaran dan kemurahan Allah yang tak terbatas dinyatakan dalam penegasan Alkitab bahwa Allah akan mengampuni bukan tujuh kali, melainkan tujuh puluh kali tujuh kali. Ini merupakan penegasan bahwa kemurahan Allah adalah berkesinambungan dan tak kenal lelah. Pengampunan sendiri mengatur dan menuntut tanggung jawab manusia.58 55
Ibid., 47. Etika situasi menurut Franz Magnis Suseno adalah berlawanan dengan etika peraturan. Etika situasi menegaskan bahwa setiap orang dan setiap situasi adalah unik, maka tanggung jawab kita terhadapnya tidak dapat disalurkan melalui norma dan peraturan moral yang umum. Etika ini menolak adanya peraturan dan norma moral yang berlaku dengan mengembalikan moralitas pada tanggung jawab individual berdasarkan panggilan unik setiap situasi. 57 Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua : Perkenalan Pertama, 18. 58 Diambil dari John Dillenberger dan Claude Welch, Protestant Christianity, Interpreted through Its Development, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 35-42. 56
14
Pemahaman ini mengindikasikan bahwa keputusan etis apapun yang dilakukan oleh manusia tidak pernah sempurna (baik, benar, dan tepat), karena manusia merupakan orang-orang yang berdosa. Tindakan etis selalu harus dilakukan dengan penuh kerendahan hati dan dengan pengakuan dosa.59 Namun alasan sebagai pendosa ini haruslah tidak menjadi alat bagi manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak selaras dengan etis Kristiani. Berkaitan dengan fokus penulisan ini, penulis juga memperhatikan pandangan seorang etikus Kristen Johannes Verkuyl yang menjelaskan dan menegaskan bahwa berpegang pada Firman Tuhan, kenyataan bersetubuh sebelum menikah adalah perbuatan yang salah dan tidak dapat dibenarkan.60 Pernikahan adalah suatu tata tertib suci yang ditetapkan oleh Tuhan bahkan sebelum adanya dosa.61 Sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, nikah sudah ada sebagai peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. 62 Barangsiapa memasuki kehidupan pernikahan, hendaklah ia mengingat bahwa ia memasuki tanah yang kudus. 63 Oleh sebab itu, bersetubuh sebelum menikah bagaimanapun juga, jika dipandang dari sudut Firman Tuhan adalah suatu perbuatan merusak persetubuhan yang sungguh-sungguh.64 Persetubuhan adalah suatu perbuatan yang mengenai pribadi manusia seutuhnya.65 Persetubuhan merupakan suatu penyerahan tubuh dan jiwa seorang kepada yang lain. Karenanya persetubuhan yang dilakukan sebelum menikah dan yang dilatarbelakangi oleh dorongan seksuil semata, menurut Verkuyl adalah kelemahan manusia yang menyesatkannya ke dalam dosa.66 Berdasarkan uraian diatas, penulis menemukan sikap etis Kristen terhadap hubungan seks dan pernikahan. Pandangan etika Kristen terhadap hubungan seks ialah bahwa suatu persetubuhan antara seorang lelaki dan seorang perempuan haruslah dilakukan dalam hubungannya sebagai suami dan istri, yang telah diikat dalam pernikahan yang kudus. Hubungan seks diluar pernikahan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun juga. Sedangkan pernikahan dalam pandangan etika Kristen, merupakan kehendak Tuhan bagi manusia. Melalui pernikahan, seorang lelaki dan seorang perempuan dimungkinkan untuk saling menghargai, menghormati, mengasihi, dan melengkapi satu dengan yang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kekudusan pernikahan menurut pandangan etika Kristen
59
Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua : Perkenalan Pertama, 18. J. Verkuyl, Etika Seksuil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1960), 49. 61 Ibid., 57. 62 Ibid., 55. 63 Ibid., 54. 64 Ibid., 49. 65 Ibid. 66 Ibid., 38-39. 60
15
ialah suatu kehidupan suami istri yang dibangun sebagaimana-mestinya seperti yang dikehendaki oleh Tuhan yaitu karena manusia diciptakanNya laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi serta menjadi satu daging atas dasar kasih Kristus, yang memungkinkan mereka untuk saling mengasihi satu terhadap yang lain, serta mampu menjalani kehidupan pernikahan seturut dengan hukum dan perintah Tuhan.
Pandangan Pasangan Nikah yang Married by Accident di Jemaat GPM Galala-Hative Kecil Tentang Kekudusan Pernikahan Dalam penelitian ini, penulis telah mempertimbangkan 15 pasangan nikah yang married by accident di Jemaat GPM Galala-Hative Kecil. Namun yang berhasil penulis wawancarai hanyalah 15 orang istri dan 1 orang suami dari pasangan-pasangan nikah tersebut. Dalam penulisan ini, penulis tidak menggunakan nama asli para informan namun memakai nama samaran dengan alasan privasi. Dari keenambelas informan tersebut, lima diantaranya merupakan aktivis gereja yakni satu orang pengurus wadah pelayanan perempuan, dua orang pengasuh Sekolah Minggu, satu orang kolektan dan satu orang kantoria. Sedangkan sebelas informan yang lain terdaftar sebagai anggota jemaat biasa. Dari 16 informan yang diwawancarai, 15 informan mengatakan bahwa pernikahan mereka yakni married by accident adalah pernikahan yang kudus. Mereka mengemukakan beberapa alasan terkait pendapat tersebut, antara lain: pernikahan yang terjadi bukanlah sesuatu yang dilaksanakan begitu saja karena alasan kehamilan tetapi ada pergumulan yang dilakukan oleh pasangan dan keluarga sebelum melangsungkan pemberkatan nikah; dalam menjalani kehidupan rumah tangga, pasangan saling menghargai, menghormati, dan saling setia; mereka juga mendidik anak-anak sesuai dengan nilai-nilai Kristiani; lebih daripada itu mereka menyertakan Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan pernikahan dan rumah tangganya. Sedangkan salah seorang informan yang berbeda pendapatnya mengatakan bahwa pernikahan yang terjadi karena hamil adalah tidak kudus karena telah melanggar hukum dan perintah Tuhan.67 Keenambelas informan tersebut juga mengatakan bahwa pernikahan mereka adalah pernikahan yang diberkati oleh Tuhan. Mereka mengatakan demikian dengan alasan bahwa Tuhan memberkati semua pernikahan. Mereka memaknai pemberkatan nikah yang dilakukan oleh Pendeta di gereja sebagai bentuk dari Allah yang memberkati. Mereka 67
Yolanda (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 14 April 2014; 10.00 WIT).
16
juga memahami kerukunan dan keharmonisan dalam rumah tangga sebagai berkat Tuhan atas pernikahan. Oleh sebab itu mereka menjalani kehidupan pernikahan dengan takut Tuhan, beribadah kepada Tuhan, mendidik anak sesuai dengan kehendak Tuhan, serta hidup dengan rukun antara suami, istri, dan anak-anak. Dari proses wawancara yang dilakukan, keenambelas informan menyuarakan pendapatnya terkait perlakuan tidak adil yang mereka terima dari jemaat dan masyarakat. Menurut mereka, jemaat dan masyarakat setempat tidak mempunyai hak untuk menghakimi pasangan-pasangan yang menikah karena hamil. Para informan memahami bahwa semua manusia bukanlah orang yang kudus dan tidak pernah lepas dari dosa. Oleh sebab itu manusia tidak dapat menghakimi sesamanya yang berbuat dosa. Mereka mempunyai pemahaman yang senada bahwa hanya Tuhan yang mempunyai otoritas untuk menghakimi dan mengadili manusia berdosa. Dalam menelusuri makna atau pemahaman mengenai kekudusan pernikahan, salah seorang warga jemaat GPM Galala-Hative Kecil mengungkapkan pendapatnya bahwa kekudusan pernikahan adalah ketika pasangan mampu menjaga kehidupan keluarga yang tetap utuh yaitu kehidupan pernikahan yang saling setia.68 Kekudusan pernikahan tidak dapat dilihat hanya dari kehamilan yang dialami sebelum menikah, melainkan dari kehidupan pernikahan yang dijalani secara holistik.69 Kekudusan dalam pernikahan dipahami sebagai hubungan yang telah disatukan dan dikuduskan oleh Tuhan, ketika pasangan menerima pemberkatan nikah di gereja. Penumpangan tangan yang dilakukan oleh Pendeta dimaknai sebagai pemberkatan yang dilakukan oleh Tuhan sendiri.70 Pernikahan yang diberkati oleh seorang Pendeta di gereja merepresentasikan Tuhan yang memberkati dan menguduskan.71 Mereka memandang married by or not by accident sebagai pernikahan yang sama-sama kudus.72 Pernikahan Kristen adalah pernikahan yang diberkati oleh Tuhan. Terkait pemahaman ini, pasangan-pasangan yang menikah karena hamil sama sekali tidak membedakan antara married by or not by accident. Mereka mengatakan bahwa semua pernikahan pasti diberkati
68
Pamela (pihak perempuan dari pasangan nikah yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 14 April 2014; 17.45 WIT) 69 Vivian (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 15 April 2014; 19.00 WIT). 70 Claudia (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 15 April 2014; 12.00 WIT) 71 Bertha (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 16 April 2014; 17.40 WIT). 72 Dianne (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 14 April 2014; 19.20 WIT).
17
oleh Tuhan. Semua pasangan yang menikah, baik yang married by or not by accident jikalau mereka menyertakan Tuhan dalam kehidupan pernikahannya, maka pasti akan diberkati oleh Tuhan.73 Tuhan tidak memberkati sebuah keluarga hanya dilihat dari latar belakang pernikahannya. Tetapi bagaimana pernikahan itu dapat berjalan dan terus bertumbuh dalam kehendak Tuhan. Pernikahan yang diberkati oleh Tuhan adalah pernikahan yang kehidupannya dibangun dan dijalani dalam kehendak Tuhan serta bertumbuh dan berbuah dalam Kristus.74 Pernikahan yang karena hamil juga dapat diberkati oleh Tuhan ketika pasangan tersebut mampu untuk mengubah kehidupan yang dulunya salah, kepada kehidupan baru yang sesuai dengan kehendak Tuhan.75 Menurut Elizabeth, pernikahan yang diberkati oleh Tuhan adalah pernikahan yang dijalani dengan takut akan Tuhan, beribadah kepada Tuhan, mendidik anak sesuai dengan kehendak Tuhan, dan hidup rukun yakni dengan menciptakan kehidupan keluarga yang baik dan harmonis.76 Dalam pemahaman yang demikian, dapat dikatakan bahwa kekudusan pernikahan tidak hanya tergantung di awal, tetapi harus dilihat sebagai suatu proses yang utuh dari awal sampai akhir. Hal ini dibandingkan pula oleh Yolanda yang mengatakan bahwa pernikahan dalam kekristenan seharusnya dilakukan bukan karena alasan kehamilan.77 Namun karena kenyataan itulah yang dihadapi maka untuk menjadikan pernikahan itu kudus, pasangan yang menikah karena hamil harus menjalani kehidupan pernikahnnya dengan takut akan Tuhan.78 Kehidupan pernikahan yang takut Tuhan dan sesuai dengan kehendak Tuhan, menjadikan pernikahan Kristen menjadi istimewa di mata pasangan yang mengalaminya dan di mata Tuhan. Manusia laksana bejana tanah liat yang rapuh dan mudah pecah. Dalam kehidupan yang dijalani, manusia seringkali mengikuti kedagingannya, menjadi lemah dan berbuat dosa. Hal ini yang sekiranya dapat menggambarkan pandangan pasangan nikah yang married by accident di Jemaat GPM Galala-Hative Kecil tentang accident yang dialami. Kehamilan yang
73
Fransiska (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 24 April 2014; 10.15 WIT). 74 Melinda (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 17 April 2014; 18.15 WIT). 75 Claudia (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 15 April 2014; 12.00 WIT). 76 Elizabeth (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 15 April 2014; 18.23 WIT). 77 Yolanda (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 14 April 2014; 10.00 WIT). 78 Fransiska (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 24 April 2014; 10.15 WIT).
18
dialami dipandang sebagai suatu kejatuhan yang harus dipertanggung-jawabkan.79 Hamil diluar nikah diakui sebagai hal yang salah dan berdosa, yang juga mengharuskan pertanggung-jawaban dari pasangan yang mengalaminya. Kejatuhan yang dialami sebenarnya merupakan konsekuensi dari pilihan etis yang diambil oleh pasangan yang married by accident ketika mereka memilih untuk melanggar norma-norma Kristiani. Namun yang lebih penting bagi mereka ialah mempertanggung-jawabkan apa yang telah dilakukan dan berusaha menjalani hidup yang lebih baik seturut dengan kehendak Tuhan. Takut, kecewa, sedih, merasa bersalah, marah dan malu adalah perasaan yang dirasakan oleh para perempuan yang hamil sebelum menikah. Namun dalam keadaan yang demikian, mereka tetap berusaha untuk berpikir positif, bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah melalui accident yang dialami.80 Ketika mereka menyadari kesalahannya, meminta pengampunan dari Tuhan dan berkomitmen untuk kembali ke jalan yang dikehendaki oleh Tuhan, maka Tuhan yang Mahapengampun itu akan mengampuni mereka.81 Perasaan positif dirasakan ketika mereka berusaha untuk bersyukur dan hendak bertanggung-jawab dengan apa yang telah terjadi. Kenyataan hamil diluar nikah awalnya membuat mereka merasa bersalah, takut, malu dan sebagainya. Namun pada saat mereka menyadari hal tersebut sebagai bagian dari akibat yang harus diterima sebagai konsekuensi pilihan mereka melanggar norma-norma Kristen, kemudian bertanggungjawab dengan pilihannya itu maka mereka mengubah perasaan negatif tadi menjadi perasaan positif. Sehingga kehadiran anak dalam kehidupan mereka dimaknai sebagai berkat luar biasa yang diberikan oleh Tuhan.82 Albert memaknai kehadiran anak dengan pemahaman yang serupa yakni sekalipun anak hadir saat pasangan tersebut belum menikah, kehadirannya tetap merupakan suatu berkat.83 Married by accident pada dasarnya merupakan masalah, seperti suatu penyakit yang diderita oleh anak muda pada zaman ini. Kenyataan banyaknya pasangan yang hamil diluar nikah merupakan masalah bagi keluarga dan gereja untuk bagaimana membina anak-anak
79
Hellen (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 14 April 2014; 15.25 WIT). 80 Bertha (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 16 April 2014; 17.40 WIT). 81 Joanna (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 15 April 2014; 13.15 WIT). 82 Hellen (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 14 April 2014; 15.25 WIT). 83 Albert (pihak laki-laki dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 15 April 2014; 20.10 WIT).
19
dengan takut akan Tuhan.84 Yang paling penting ialah di dalam lingkungan keluarga. Orang tua harus mengarahkan dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Menanggapi kenyataan ini, Adela berpendapat bahwa kalau memungkinkan sebaiknya kita membuat suatu persekutuan atau organisasi No Hamil Sebelum Menikah guna memberikan pemahaman yang benar bagi generasi berikutnya.85 Pada dasarnya setiap manusia memiliki hak dasar untuk melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya. Namun dalam setiap kebebasan yang melekat pada dirinya, ia tetap berada dalam kontrol masyarakat, yakni oleh berbagai norma atau aturan yang berfungsi mengatur keseimbangan dalam masyarakat tersebut. Kenyataan inilah yang sekiranya memungkinkan selalu ada penilaian dan tanggapan dari jemaat atau masyarakat kepada pasangan-pasangan yang hamil sebelum menikah. Konsekuensi yang diterima oleh pasangan-pasangan yang hamil sebelum menikah adalah perlakuan tidak adil dari orang-orang disekitarnya. Perlakuan yang diterima dari jemaat dan masyarakat yang cenderung mengucilkan, tidak menghargai, memandang rendah, menggosipkan dan menganggap sebagai yang berdosa merupakan kenyataan yang diterima oleh pasangan-pasangan yang married by accident tersebut. Terhadap kenyataan ini, salah seorang jemaat GPM Galala-Hative Kecil yang hamil sebelum menikah mengungkapkan pandangannya bahwa manusia tidak mempunyai hak untuk menghakimi sesamanya yang melakukan dosa. Yang dapat menghakimi pasangan-pasangan yang married by accident hanyalah Tuhan.86 Semua manusia di muka bumi pasti berbuat dosa dan tidak ada manusia yang suci. Oleh sebab itu, manusia sama sekali tidak memiliki wewenang atau otoritas untuk menghakimi sesamanya yang berbuat dosa. Terhadap kenyataan diatas, Dianne mengemukakan pendapatnya bahwa pasanganpasangan yang married by accident tidak seharusnya dihakimi. Sebaliknya mereka harus dirangkul dan dibimbing. Perlakuan tidak adil yang diterima dari orang-orang di sekitar mereka, tidak akan menolong mereka menjadi pribadi dan keluarga Kristen yang lebih baik. Oleh sebab itu kesediaan hati jemaat dan masyarakat untuk menerima dan merangkul mereka juga diperlukan guna menolong mereka menciptakan kehidupan yang lebih baik.
84
Dianne (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 14 April 2014; 19.20 WIT). 85 Adela (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 16 April 2014; 17.10 WIT). 86 Yolanda (pihak perempuan dari pasangan yang married by accident) wawancara (Galala-Hative Kecil, 14 April 2014; 10.00 WIT).
20
Relevansi Kekudusan Pernikahan secara Etis Kristiani Terhadap Pemahaman Pasangan Nikah yang Married by Accident Pertama-tama penulis hendak melihat dan menilai married by accident melalui tiga jalan dalam etika Kristen. Menurut hemat penulis, jika dilihat melalui tiga jalan etika dalam etika Kristen maka hamil sebelum menikah jelas merupakan perbuatan yang melanggar dogma dan tidak sesuai dengan etis Kristiani. Menurut aliran etika akibat, kehidupan etis sama dengan proses membuat sesuatu. Kita diberi tujuan-tujuan oleh Allah dan kemudian mengerjakan hal-hal yang mendekatkan kita kepada tujuan itu.87 Dalam hal pernikahan Kristen, Allah menetapkan seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk dipersatukan dan diikat dalam perjanjian yang kudus. Allah sendiri memiliki tujuan yang kekal melalui lembaga pernikahan. Sehingga manusia harus mengusahakan hal-hal yang baik untuk mencapai rencana Allah itu. Menurut aliran etika kewajiban, kehendak Allah dinyatakan dalam hukum dan perintahNya. Kita harus mentaati perintah Allah yang terwujud dalam norma-norma yang diberikanNya kepada kita.88 Suatu tindakan adalah baik apabila tidak berlawanan dengan kewajiban yang diperintahkan dalam hukum Tuhan. Sehingga tugas manusia ialah mentaati Allah dengan mematuhi hukum dan perintahNya. Dalam kekristenan, persetubuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan diperbolehkan ketika mereka telah dipersatukan oleh Allah dalam ikatan pernikahan kudus. Persetubuan diluar pernikahan merupakan tindakan perzinahan yang melanggar hukum dan perintah Tuhan. Menurut aliran etika tanggung jawab, kehendak Tuhan dinyatakan terutama bukan dalam rencanaNya atau hukumNya, melainkan dalam perbuatanNya, pekerjaanNya dan kegiatanNya. Perbuatan kita dianggap baik kalau sesuai dengan pekerjaan Allah. Berdasarkan tiga jalan etika diatas maka kehamilan diluar pernikahan merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan etis Kristiani. Pertama, rencana Allah adalah menyatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam ikatan pernikahan yang kudus. Terhadap rencana Allah ini, tugas manusia ialah mengikuti rencanaNya dengan mewujudkan nilai-nilai Kristen melalui kehidupan yang selaras dengan tujuan Allah itu. Namun pasangan yang married by accident mengambil pilihan etis untuk tidak mengikuti rencana Allah tetapi mengikuti rencana mereka sendiri. Mereka tidak menunggu penyatuan yang dilakukan oleh Allah melalui lembaga pernikahan untuk mewujudkan rencana Allah tadi. Kedua, hukum Allah ialah jangan berzinah. Hal ini mengindikasikan bahwa persetubuan diluar pernikahan dilarang baik dalam dogma maupun etis Kristiani. Allah memang memerintahkan manusia 87 88
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya, 31. Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya, 34.
21
untuk beranak-cucu dan memenuhi bumi. Namun perintah ini baru boleh dilakukan setelah seorang laki-laki dan seorang perempuan telah masuk dalam pernikahan kudus yang diberkati oleh Allah sendiri. Hal inilah yang dilanggar oleh pasangan yang hamil sebelum menikah. Mereka tidak mentaati Allah dengan melanggar serta tidak mematuhi hukum dan perintahNya. Ketiga, kehendak Allah dinyatakan dalam pekerjaan dan perbuatanNya. Kehamilan sebelum menikah bukanlah merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh Allah, melainkan akibat yang diterima oleh pasangan yang married by accident atas pilihan etis yang mereka ambil sebelumnya untuk bersetubuh sebelum menikah. Karena alasan-alasan inilah maka married by accident secara etis Kristiani bukanlah merupakan pekerjaan Allah, melainkan perbuatan atau tindakan manusia yang tidak mengikuti rencana Allah serta melanggar hukum dan perintahNya. Married by accident secara dogma dan etika Kristen adalah tindakan yang salah dan tidak dapat dibenarkan. Secara dogma, tindakan tersebut dikatakan salah karena melanggar hukum dan perintah Tuhan. Secara etika, tindakan tersebut juga tidak dapat dibenarkan dan dinilai tidak etis karena merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai Kristiani yang termuat di dalam dogma Kristen. Hal ini pula yang disadari oleh pasangan-pasangan yang married by accident sebagai tindakan yang tidak sesuai dan melanggar nilai-nilai Kristiani. Pandangan Verkyul tentang persetubuhan yang dilarang sebelum menikah juga membenarkan tindakan pasangan yang married by accident sebagai suatu kesalahan dan perampasan rahasia hidup yang merusak pemberian Tuhan karena nafsu berahi yang tak terkendalikan.89 Akan tetapi pelanggaran ini dapat diperbaiki dengan cara menjalani kehidupan pernikahan yang takut akan Tuhan. Kekudusan pernikahan dilihat melalui proses panjang yang dijalani oleh suami dan istri dalam kehidupan pernikahan mereka. Jikalau pasangan yang menikah mampu menjalani kehidupan pernikahan sesuai dengan etis Kristiani, maka pernikahan mereka adalah pernikahan yang kudus. Misalnya dengan menjalani kehidupan pernikahan dalam terang Kristus, suami-istri saling menghargai dan menghormati, tidak melakukan perzinahan, tidak ada perceraian dan mendidik anak-anak menurut iman Kristen. Kekudusan pernikahan bukanlah legitimasi yang diberikan kepada pernikahan yang tidak karena hamil, melainkan lebih daripada itu kekudusan dalam pernikahan merupakan suatu proses dimana suami dan istri dapat terus menjaga kehidupan pernikahan mereka agar tetap berjalan sesuai dengan etika Kristen.
89
J. Verkuyl, Etika Seksuil, 29.
22
Karena itu, penulis mengusulkan perubahan pemahaman untuk memahami kekudusan pernikahan. Ketika kita hendak menilai kekudusan suatu pernikahan, baiklah kita melihat kehidupan pernikahan itu secara holistik yakni sebagai suatu proses yang terus menerus dan tidak berhenti sampai maut memisahkan. Jikalau kita hanya melihat dan menilai dari awal pernikahan yang karena hamil, maka penilaian etis kita akan jatuh pada pemahaman yang sempit dan dangkal. Pemahaman tentang kekudusan pernikahan harus didekati dengan pendekatan yang berbeda yakni dengan pertama-tama menggunakan etika Yesus. Etika Yesus yang menekankan pada kasih (cinta) nampak jelas dalam doktrin pengampunan yang adalah makhota dalam etika Kristen.90 Melalui etika ini kita diajak untuk mengasihi sesama sebagaimana Allah telah mengasihi manusia yang berdosa dalam Kristus. Etika ini menolong kita untuk mengetahui bagaimana seharusnya kita bersikap kepada orang lain dan menjalani kehidupan secara Kristen. Ia membantu kita untuk mengasihi sesama yang melakukan dosa dengan tidak menghakimi tetapi sebaliknya merangkul dan menuntun mereka kembali kepada nilai-nilai Kristiani yang seharusnya ditaati. Dalam hal married by accident, etika Yesus ini membantu kita untuk menghasilkan pemahaman yang baik tentang bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap pasangan yang hamil sebelum menikah. Pemahaman yang dihasilkan juga berguna untuk menghindari penghakiman sepihak terhadap pasangan-pasangan yang hamil sebelum menikah. Singkat kata, kehidupan pernikahan (married by or not by accident) yang sesuai dengan etis Kristiani adalah pernikahan yang kudus. Penulis hendak mengakhiri bagian ini dengan mengemukakan ajaran Tuhan Yesus dalam kisah perempuan yang berbuat zinah (Yohanes 8:1-11). Cerita tersebut hendak mengatakan bahwa manusia sudah seharusnya menyadari dirinya sebagai orang yang berdosa dan tidak berbeda dengan manusia yang lain. Berita yang hendak disampaikan dalam Injil Yohanes ini ialah Tuhan mengasihi mereka yang didiskriminasi oleh mereka yang merasa dirinya benar dan kudus.91 Mengenai pesan tersebut, John Titaley mengatakan bahwa hakikat dari pekerjaan dan pelayanan Yesus Kristus selama hidupNya adalah menyatakan Injil Kerajaan Tuhan, yaitu menghadirkan kesetaraan antar manusia akibat diskriminasi yang dibuat manusia.92 Oleh sebab itu manusia tidak dapat menghakimi atau menghukum sesamanya yang melakukan dosa. Jika hal tersebut terjadi berarti manusia telah melakukan diskriminasi terhadap sesama. Jadi ketika kita menghakimi pasangan yang married by accident karena dosa yang mereka perbuat atas keputusan etis sebelumnya, maka kita telah 90
Reinhold Niebuhr, An Interpretation of Christian Ethics, 137. “The crown of Christian Ethics is the doctrine of forgiveness.” 91 John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 64. 92 Ibid., 65.
23
melakukan tindakan diskriminatif. Hal penting yang harus dilakukan ialah hidup secara etis Kristiani, baik pasangan yang menikah karena hamil maupun jemaat dan masyarakat yang berada bersama dengan mereka.
Penutup Studi etis Kristiani terhadap makna kekudusan pernikahan menghasilkan sebuah pemahaman bahwa kekudusan pernikahan harus selalu berhubungan dengan proses panjang yang dilalui oleh suami dan istri, dalam menjaga kehidupan pernikahan mereka agar terus sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Married by accident merupakan perbuatan yang bertentangan dengan dogma dan etika Kristen. Perbuatan tersebut tidak sesuai dengan rencana Allah dan merupakan pelanggaran terhadap hukum dan perintahNya. Oleh karena itu, tulisan ini tidak untuk membenarkan kehamilan diluar pernikahan, namun sebaliknya memberi pedoman bagi pasangan-pasangan yang married by accident untuk menjalani kehidupan pernikahan sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Tulisan ini terutama didedikasikan bagi pasangan-pasangan nikah yang married by accident untuk menopang pandangan mereka tentang kekudusan pernikahan yang tidak hanya dinilai sebatas hamil sebelum menikah. Pasangan-pasangan nikah yang married by accident tersebut tidak harus terbelenggu oleh pemahaman dan penilaian manusia bahwa hamil sebelum menikah membuat pernikahan menjadi tidak kudus. Melainkan mereka harus berupaya menegaskan kekudusan pernikahannya melalui tindakan nyata dalam hidup setiap hari. Allah telah memungkinkan pengampunan bagi orang-orang yang berdosa dan kini saatnya bagi pasangan nikah yang married by accident untuk terus bertanggungjawab terhadap kemungkinan yang dianugerahkan oleh Allah melalui Yesus Kristus. Bagi gereja, gereja perlu melihat pasangan-pasangan yang married by accident sebagaimana Allah melihat dan menyatakan kehendak-Nya melalui lembaga pernikahan. Memahami maksud Allah dalam pernikahan dan tanggungjawab suami istri dalam menjalani kehidupan pernikahannya, memungkinkan setiap pernikahan yang karena hamil bertumbuh dalam Kristus sebagaimana sejalan dengan etis Kristiani yakni dengan cara menjadikan Kristus sebagai dasar dalam rumah tangga, saling menghargai dan mengasihi sebagai suamiistri, tidak melakukan perzinahan, tidak ada perceraian dan mendidik anak-anak sesuai dengan iman Kristen. Oleh sebab itu, penting bagi gereja untuk memperdalam proses pendidikan atau persiapan bagi pasangan yang hendak masuk dalam pernikahan yang kudus. Bagi masyarakat dan jemaat GPM Galala-Hative Kecil yang masih terbelenggu dalam pemahaman yang keliru tentang kekudusan pernikahan, hendaknya menyadari bahwa 24
pernikahan menjadi kudus tidak sekedar dilihat dan dinilai dari kehamilan sebelum menikah. Melainkan kekudusan pernikahan dilihat dari kehidupan suami istri yang mampu menjaga pernikahannya agar sesuai dengan etis Kristiani. Pemahaman ini juga sebagai upaya untuk meminimalisir terjadinya penghakiman sepihak kepada pasangan-pasangan yang married by accident.
25
DAFTAR PUSTAKA
Abineno, J. L. Ch. Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981. Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Boice, James Montgomery. Dasar-dasar Iman Kristen (Foundations of Christian Faith). Surabaya: Momentum, 2011. Brownlee, Malcolm. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010. Bulter, Trent C. Holman Bible Dictionary. Tennessee: Holman Bible, 1991. Clark, Randy. Kuasa Kekudusan & Penginjilan. Yogyakarta: PBMR Andi, 2004. Clifford, Anne. Memperkenalkan Teologi Feminis. Maumera: Ledalero, 2002. Darmaputera, Eka. Etika Sederhana Untuk Semua: Perkenalan Pertama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002. De Heer, J. J. Tafsiran Alkitab : Injil Matius Pasal 1-22. Jakarta: BPK Gunung Mulia,2011. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (cetakan keempat). Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Eminyan, Maurice. Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Fletcher, Verne H. Lihatlah Sang Manusia! : Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007. Gulo, W. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002. Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010. Komisi Keuskupan Agung Semarang, A. Widyamartaya (Penerjemah). Keluarga Kristiani Dalam Dunia Modern. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Komisi Pemuda Sinode Am GKI. Seksualitas, Pornografi & Pernikahan. Semarang: Satya Wacana, 1988. Loekmono, J. L. Lobby (editor). Konseling Pernikahan. Salatiga: Pusat Bimbingan Universitas Kristen Satya Wacana, 1989. Magnis-Suseno, Frans. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. 1990. Mezger, Bruce M dan Michael Dcoogan. The Oxford Companion To The Bible. New York: Oxford University Press, 1993. Niebuhr, Reinhold. An Interpretation Of Christian Ethics. San Fransisco: Harper and Row Publisher, 1971. Niftrik, G. C van dan B. J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. 26
Nolan, Richard T. Living Issues In Ethics. California: Wadsworth Publishing Company, 1982. O’Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1996. OFM, C. Groenen. Perkawinan Sakramental. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1985. Smith, Hannah Whitall. Rahasia Kehidupan Kristen yang Bahagia. Bandung: Kalam Kudus, 1994. Suharyanto, Carolus (Koordinator Tim Penyusun). Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Susabda, Yakub. Marriage Enrichment: Pembinaan Keluarga Kristen. Jakarta: Mitra Pustaka, 2011. Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 : Matius-Wahyu. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2010. Thompson, Marjorie J. Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan : Sebuah Visi tentang Peranan Keluarga Dalam Pembentukan Rohani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001. Timo, Ebenhaizer I. Nuban. Umat Allah di Tapal Batas. Salatiga: Alfa Design, 2011. Titaley, John A. Religiositas di Alinea Tiga : Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-agama. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013. Tjandrarini, Kristiana. Bimbingan Konseling Keluarga (Terapi Keluarga). Salatiga: Widya Sari Press, 2004. Verkuyl, J. Etika Kristen: Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985. Verkuyl, J. Etika Seksuil. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1960.
27