MENDISAIN MEKANISME WHISTLEBLOWER YANG SESUAI UNTUK ORGANISASI ANDA Mas Achmad Daniri* dan Angela Indirawati Simatupang**
Maraknya berita mengenai investigasi terhadap indikasi penyimpangan (fraud) di dalam perusahaan dan juga pengelolaan negara di surat kabar dan televisi semakin membuat sadar bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk membenahi ketidakberesan tersebut. Walaupun saat ini sorotan utama sering terjadi pada manajemen puncak perusahaan, atau pejabat tinggi suatu instansi; namun sebenarnya penyimpangan perilaku tersebut bisa juga terjadi di berbagai lapisan kerja organisasi. Penyimpangan pengelolaan perusahaan akan mempengaruhi hilangnya pendapatan yang seharusnya diperoleh dan tentu saja berdampak pada berkurangnya aset perusahaan. Secara langsung hal ini akan merugikan perusahaan. Demikian juga, secara tidak langsung akan terbangun kultur yang tidak baik bukan hanya pada hubungan internal organisasi perusahaan, namun juga hubungan eksternal dengan para pihak yang menjadi mitra kerja perusahaan. Bisa kita bayangkan betapa signifikannya dampak yang terjadi, jika penyimpangan yang dilakukan terkait dengan keuangan negara. Sayangnya saat ini tidak terdapat data yang akurat mengenai besarnya kerugian yang dialami oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia akibat fraud yang dilakukan oleh orang dalam perusahaan, yang bisa dilakukan oleh seorang direktur atau pegawai biasa. Namun, untuk sekedar membuka wawasan kita mengenai potensi kerugian yang mungkin terjadi, sebuah asosiasi profesi yang berpusat di Amerika, Association of Certified Fraud Examiner (ACFE), melakukan studi terhadap 1,134 kasus fraud yang ditemukan di Amerika selama tahun 2004 – 2006, dan rata-rata kerugiannya adalah 159,000 USD per kasus; dimana hampir seperempat dari seluruh kasus yang dikaji menyebabkan kerugian setidaknya 1 juta USD per kasus, dan 9 kasus menyebabkan kerugian setidaknya 1 milyar USD per kasus. Setidaknya organisasi di Amerika telah kehilangan 5% dari pendapatan tahunannya akibat fraud. Jika dilihat dalam konteks Gross Domestic Product (GDP) di Indonesia per September 2007, maka nilai 5 prosen ini adalah sebesar 51 Triliun Rupiah. Sebuah jumlah yang sangat fantastis, dan sudah tentu membuat kita semakin yakin bahwa praktik kolusi, korupsi, suap, pemerasan, bukanlah sesuatu yang boleh dianggap enteng. Yang ironis adalah, seperti ditemukan didalam studi ACFE, setidaknya sepertiga dari karyawan dalam sebuah organisasi pernah menyaksikan perilaku yang tidak etis atau praktik fraud di lingkungan kerja mereka, namun tidak melakukan apapun.
1/6
Seiring dengan semakin meningkatnya perhatian berbagai pihak terhadap Corporate Governance, kini banyak organisasi di beberapa negara yang telah membuat saluran pengaduan tanpa nama, atau yang dikenal dengan sebutan “Whistleblower Mechanism”. Kenapa mekanisme Whistleblower dianggap penting? Selain karena di beberapa negara, sistem tersebut diwajibkan oleh peraturan, rupanya, informasi dugaan (“tips”) merupakan metode yang dianggap paling berhasil dalam menemukan adanya fraud, dibandingkan dengan metode lainnya, seperti terlihat pada tabel dibawah ini.
DETEKSI AWAL FRAUD Pelaporan dari Polisi
5%
Audit Eksternal (Audit Umum Tahunan)
12 % 19.2 %
Pengendalian Internal
20.2 %
Audit Internal
25.4 %
Secara Tidak Sengaja
34.2 %
Tips
0%
5%
Jumlah Kasus
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Sumber: ACFE 2006, Report to the Nation
Sebenarnya di Indonesia mekanisme serupa sudah diterapkan, bukan hanya di perusahaan namun juga di pemerintahan, karena ada beberapa institusi yang memang menerima pelaporan dari masyarakat, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pedoman GCG Indonesia juga merekomendasikan agar Negara, sebagai salah satu pilar, harus dapat menciptakan situasi kondusif untuk melaksanakan GCG, dapat memberlakukan peraturan perundang-undangan untuk melindungi saksi pelapor yang memberikan informasi mengenai suatu kasus yang terjadi pada suatu institusi, baik perusahaan maupun bentuk lain. Memang saat ini belum ada peraturan yang mewajibkan keberadaan mekanisme “Whistleblower” dalam sebuah organisasi, namun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No.13/2006) untuk menjamin perlindungan kepada saksi korban dalam semua tahap proses peradilan pidana walaupun memang perlindungan ini belum mencakup saksi pelapor dan tidak memberikan insentif seperti pengurangan hukuman bagi pelapor yang terlibat dalam sebuah tindakan fraud. Meski efektivitas mekanisme yang ada saat ini belum diketahui dengan pasti, namun setidaknya sudah membuahkan hasil. Salah satu contoh nyata adalah pelaporan yang 2/6
dilakukan oleh mantan pengawas keuangan (financial controller) Asian Agri Group ke KPK akhir tahun 2006. Tanpa adanya info yang disampaikan tersebut, mungkin kita tidak akan tahu adanya dugaan manipulasi pajak yang mengakibatkan kerugian negara Rp 1,1 Triliun. Namun tentu saja pelaporan yang diperoleh dari mekanisme Whistleblower ini perlu mendapatkan perhatian dan tindak lanjut, termasuk juga pengenaan hukuman yang tepat agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku fraud dan juga bagi mereka yang terpikir melakukan hal tersebut. Tanpa adanya proses penegakan peraturan, semua upaya yang telah dicurahkan akan menjadi sia-sia. Terdapat beberapa pilihan model mekanisme Whistleblower yang dapat diterapkan pada organisasi, yang tentu saja harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi organisasi. Mekanisme Whistleblower adalah suatu sistem yang dapat dijadikan media bagi saksi pelapor untuk menyampaikan informasi mengenai tindakan penyimpangan yang diindikasi terjadi di dalam suatu organisasi. Si pemberi informasi ini dapat berasal dari manajemen, karyawan sebuah organisasi, ataupun pihak lain yang memiliki interaksi dengan perangkat organisasi. Sistem ini berfungsi sebagai salah satu alat kontrol dan monitoring mengenai perilaku tidak etis, seperti fraud, korupsi, kolusi, pelecehan, diskriminasi. Jika mekanisme ini dijalankan dengan benar dapat membantu meningkatkan integritas pengelolaan organisasi, serta dapat mendorong perubahan kultur organisasi ke arah yang lebih baik. Pedoman GCG Indonesia merekomendasikan kepada dunia usaha untuk melaksanakan fungsi ombudsman yang dapat menampung informasi penyimpangan yang terjadi pada perusahaan, dan fungsi ombudsman ini dapat dilaksanakan bersama pada suatu kelompok usaha atau sektor ekonomi tertentu. Mekanisme Whistleblower, umumnya harus dapat menerima informasi dari pelapor tanpa identitas (anonymous). Alasannya tentu saja agar pelapor dapat lebih bebas dan tidak takut untuk menyampaikan informasi. Namun walaupun tanpa identitas, diharapkan pelapor menyampaikan informasi secara obyektif dan bertanggung jawab. Untuk itu perlu ada sebuah sistem yang dirancang dengan baik, agar informasi yang dilaporkan dapat disaring dengan benar, sehingga tidak menimbulkan dugaan yang tidak beralasan atau bahkan rekayasa untuk menjatuhkan seseorang untuk kepentingan pribadi – serta untuk menjaga keamanan pelapor. Pedoman GCG Indonesia merekomendasikan kepada setiap perusahaan untuk menyusun peraturan yang menjamin perlindungan terhadap individu yang melaporkan terjadinya pelanggaran terhadap etika bisnis, pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan.
3/6
Stakeholders tergerak untuk mengadukan penyimpangan melalui mekanisme yang ada, dibandingkan melaporkan kepada pihak luar atau mendiamkannya
Kebijakan & Prosedur Mekanisme Whistleblower didisain mendorong stakeholders menyampaikan pengaduan, dengan jaminan kerahasiaan dan perlindungan
Kesuksesan sangat bergantung pada konsistensi “tone at the top”, kesadaran dan dukungan internal, serta aksesyang mudah untuk melakukan pengaduan
Pelaporan tanpa identitas meningkatkan kebebasan pelaporan, dan penerimaan pengaduan oleh pihak independen membantu terproteksinya identitas pelapor dari penerima laporan di dalam organisasi
Konsep Dasar Mekanisme Whistleblower
Karyawan harus teryakini bahwa kerahasiaan informasi yang disampaikan terjaga , dan disampaikan hanya kepada pihak yang berwenang, serta tidak ada retribusi ataspelaporan yang dilakukannya
Idealnya, mekanisme “Whistleblower” mencakup adanya “hotline” yang menyediakan akses 24 jam – 365 hari setahun yang dilengkapi dengan interviewer yang handal. Jadi tentunya hotline yang disediakan bukan hanya searah saja dalam penerimaan informasi, dan lebih dari sekedar pelaporan tertulis melalui surat, email, atau sms. Untuk hasil terbaik, dan untuk menyederhanakan komunikasi, organisasi harus menyediakan hanya satu mekanisme untuk melaporkan berbagai permasalahan yang ada dalam organisasi, termasuk fraud, pelecehan, maupun diskriminasi. Dengan sentralisasi pelaporan, informasi kemudian akan disalurkan ke para pihak yang paling sesuai. Pedoman GCG Indonesia juga merekomendasikan bahwa Dewan Komisaris berkewajiban untuk menerima dan memastikan pengaduan atau pelaporan tentang pelanggaran terhadap etika bisnis, pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan, diproses secara wajar dan tepat waktu. Agar sesuai dengan rekomendasi ini, Dewan Komisaris dapat saja mendelegasikan aktivitas ini kepada perangkatnya, misalnya kepada Komite Audit atau Komite GCG. Namun, ada baiknya pelaporan tidak hanya diterima oleh satu pihak. Penyaluran pelaporan kepada lebih dari satu pihak dalam organisasi, terutama mengenai pelaporan indikasi fraud, merupakan bagian dari sistem “checks & balances”, karena dengan sistem seperti itu, dapat lebih diyakini bahwa informasi yang sangat sensitif tersebut tidak hanya dimiliki oleh satu pihak saja – hal mana dapat mengurangi risiko penyembunyian informasi tertentu dengan sengaja dan tentu saja menjaga integritas mekanisme pelaporan. Organisasi dapat memilih untuk menjalankan sendiri mekanisme Whistleblower, mulai dari penerimaan pengaduan hingga tindak lanjutnya, atau melakukan outsourcing fungsi 4/6
penerimaan pengaduan tersebut kepada pihak eksternal yang independen. Pihak tersebut bertanggung jawab untuk menyampaikan laporan hasil pengaduan yang ada kepada Dewan Komisaris, melalui tim khusus yang dibentuk untuk menangani pengaduan yang ada, dan tim ini sebaiknya beranggotakan wakil dari Komite Audit dan wakil dari setidaknya 2 fungsi lain di organisasi yang memiliki keterkaitan dengan perilaku dan kepatuhan, misalnya Komite GCG, Bagian SDM, Bagian Hukum, Bagian Audit Internal/Kepatuhan. Tentu saja, aktivitas tindak lanjut tetap merupakan tanggung jawab dari organisasi yang bersangkutan.
Pelapor melakukan pengaduan via hotline whistleblower yang ada (sms/email/telepon)
Fungsi Ombudsman (Kolektif perwakilan dari Komite GCG, Komite Audit, Audit Internal) menerima & menyaring pengaduan
Pihak eksternal independen menerima & menyaring pengaduan
Pihak eksternal independen menerima & menyaring pengaduan
Dewan Komisarismenerima laporan dan menentukan tindak lanjut
Fungsi Ombudsman (Kolektif perwakilan dari Komite GCG, Komite Audit, Audit Internal) menerima laporan pengaduan
Dewan Komisarismenerima laporan dan menentukan tindak lanjut
Dewan Komisarismenerima laporan dan menentukan tindak lanjut
MODEL 1 100%INTERNAL
MODEL 2 & 3 KOMBINASI INTERNAL & EKSTERNAL
Agar mekanisme Whistleblower ini efektif, tentu perlu dilakukan sosialisasi. Sosialisasi mengenai keberadaan mekanisme Whistleblower, juga dapat membantu menciptakan kondisi kerja yang dilandasi etika, melalui adanya pendadaran deskripsi yang jelas mengenai berbagai jenis perilaku yang diharapkan untuk diterapkan di dalam organisasi. Mekanisme tersebut harus diinformasikan kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk karyawan, mitra kerja, dan investor. Untuk mendukung implementasi mekanisme ini, tentu perlu disediakan database yang juga tersentralisasi untuk mendokumentasikan tindak lanjut apa saja yang telah diambil oleh organisasi untuk meng-investigasi pelaporan yang diperoleh dari mekanisme Whistleblower tersebut. Tanpa ada tindak lanjut, tentu akan timbul keraguan akan kesungguhan dan
5/6
komitmen dalam memberikan sangsi bagi para pelaku penyimpangan, jika memang terbukti bersalah. Selain itu, jika dimungkinkan, tersedianya sistem yang dapat secara otomatis memberikan nomor secara acak kepada telepon yang dilakukan oleh pelapor akan sangat bermanfaat untuk memfasilitasi dilakukannya peneleponan kembali. Termasuk sangat berguna untuk melakukan dialog lebih lanjut dengan pelapor dalam proses investigasi. Namun demikian, tentu harus tetap dipastikan terjaminnya kerahasiaan identitas pelapor dan juga perlindungan terhadap pelapor, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan atau bahkan membahayakan pelapor. Tanpa adanya kepastian ini, mekanisme “Whistleblower” akan sama sekali tidak bermanfaat dan hanya akan menjadi pajangan saja, karena tidak akan ada orang yang mau melaporkan sesuatu jika tindakan tersebut akan membahayakan dirinya atau bahkan keluarganya.
* Mas Achmad Daniri, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance. **Angela Indirawati Simatupang, Anggota Tim Penyusun Pedoman Umum GCG.
6/6