Membangkitkan Kehutanan Indonesia: Kristalisasi Konsep dan Strategi Implementasi 1 Oleh: Bagian Kebijakan Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB
Pengantar Setelah lebih dari empat dekade penyelenggaraan kehutanan, banyak kalangan menilai pembangunan kehutanan Indonesia secara relatif menunjukkan kinerja rendah. 2 Maraknya konflik di kawasan hutan negara, penegakan hukum yang lemah, kebuntuan negosiasi dan komunikasi diantara para pihak, kerusakan lingkungan semakin membuncah, dan menurunnya integritas, kualitas dan pengakuan profesi kehutanan, semakin mendistorsi asa peran kehutanan bagi kemaslahatan bangsa. Sadar terhadap kondisi yang memprihatinkan ini, maka sebagai bagian masyarakat rimbawan kami merasa terpanggil untuk berpartisipasi aktif mengupayakan kebangkitan kehutanan, melalui secuil ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Tulisan singkat ini ditujukan untuk berkontribusi mewujudkan kebangkitan itu. Kontribusi pemikiran ini didasarkan kepada hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dan pengalaman serta pengetahuan yang dimiliki oleh staf pendidik Bagian Kebijakan Kehutanan, juga memanfaatkan berbagai sumber acuan lain.
Kinerja Sektor Kehutanan Kehutanan sebagai salah satu sektor pembangunan memiliki tanggungjawab, yang diukur melalui kinerjanya. Wujud kinerja sektor yang lazim digunakan dalam pembangunan disebut dengan output sektor. Meminjam pendekatan pengelolaan hutan lestari, maka kinerja yang dimaksud disini diukur dalam dimensi prinsip kelestarian yaitu: ekonomi, sosial dan lingkungan, selanjutnya disajikan contoh kinerja pada setiap dimensi sebagai berikut. Dimensi ekonomi. Statistik kehutanan 2011 menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB menurun dari 1,18% tahun 2000 menjadi 0,70% pada tahun 2011. Sementara kawasan hutan yang dikuasai negara tetap sangat luas yaitu 131,28 juta hektar. Penguasaan sumberdaya lahan yang besar oleh sektor kehutanan ternyata tidak memberikan peran yang nyata bagi pembangunan, setidaknya jika dilihat dari perannya terhadap PDB. Walaupun perhitungan PDB sesungguhnya tidak serta merta menggambarkan sektor kehutanan dalam pembangunan karena nilai manfaatnya tidak semuanya dapat dikuantifikasikan secara ekonomi. Oleh karena itu, perlu dievaluasi apakah penurunan kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB paralel dengan kinerja yang semakin menurun, tolok ukur yang digunakan untuk menilai kinerja yang kurang 1 2
Makalah disampaikan pada Seminar dalam rangka 50 tahun Fahutan IPB 2013 Salah satu dokumen yang memuat berbagai contoh kasus, bahasan serta alternatif jalan keluar dapat dibaca pada Buku Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. 2013. (Kartodihardjo H: Editor) 1
tepat, ataukah kedua-duanya. Nurrochmat dan Hasan (2012) menegaskan bahwa nilai PDB bukanlah satu-satunya tolok ukur kinerja pembangunan sektor kehutanan. Selain PDB perlu pula diukur kontribusi sektor kehutanan terhadap berkembangnya sektor-sektor yang lain karena adanya keterkaitan ke depan (forward linkages) maupun keterkaitan ke belakang (backward linkages) serta efek pengganda (multiplier impacts) berupa output, pendapatan, maupun tenaga kerja yang dipengaruhi oleh kegiatan di sektor kehutanan (Nurrochmat dan Hasan 2012; Nurrochmat 2010). Dimensi Sosial. Kementerian Kehutanan telah menyelenggarakan program pengelolaan hutan negara oleh masyarakat berupa Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang telah diperkenalkan sejak lebih dari 15 tahun lalu, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Desa (HD) yang baru diinisiasi 5 tahun terakhir. Program-program tersebut merupakan implementasi dari slogan progrowth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment yang diharapkan dapat meningkatkan akses dan hak masyarakat pada hutan negara. Namun demikian, faktanya alokasi kawasan hutan untuk pemanfaatan hutan skala kecil sangat rendah. Ditinjau dari proporsi luas lahan hutan negara yang dialokasikan untuk HKm, HTR dan HD hanya sekitar 5% dari total kawasan hutan, jauh lebih rendah dibandingkan dengan alokasi kawasan hutan untuk pemanfaatan hutan skala besar yang mencapai 41% dari total luas hutan negara 3. Konflik penguasaan hutan sangat tinggi, illegal logging sangat tinggi, yang menunjukkan forest tenure security sangat rendah atau insecurity sangat tinggi (Suharjito 2013). Dimensi Lingkungan. Semakin menurunnya standing stock, sederet kegagalan program reboisasi, derasnya konversi lahan hutan, meluasnya daerah aliran sungai (DAS) yang kritis, dan tergerusnya keanekeragaman hayati, semuanya berkontribusi terhadap menurunnya kualitas lingkungan. Seluruh fakta tersebut merupakan bagian dari kinerja sektor kehutanan. Ilustrasi output dalam dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan tersebut tentu berkorelasi baik langsung atau tidak langsung terhadap kebijakan dan penyelenggaraan kehutanan. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja sektor kehutanan terus menurun, sehingga diperlukan upaya secara bersama-sama untuk membangkitkannya.
Kerangka Konseptual untuk Kebangkitan Kehutanan Kontribusi konsep yang diajukan melalui tulisan ini sebatas pada lingkup kompetensi Bagian Kebijakan Kehutanan, yaitu seputar kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lestari berbasis ekosistem. Mencermati penyelenggaraan kehutanan selama ini yang menujukkan kinerja dan output yang semakin menurun, berdasarkan kristalisasi pemikiran yang bersandar pada akumulasi pengetahuan dari hasil-hasil penelitian dan pengalaman, kami meyakini perlunya perubahan paradigma pengurusan sumberdaya hutan ke depan yang secara konseptual disarikan sebagai berikut: 1. Multipurpose use of forest. Pengelolaan hutan yang bersandar pada ilmu kehutanan konvensional pada umumnya memandang manajemen hutan identik ilmu produksi kayu. Ilmu kehutanan dalam perspektif demikian selama bertahun-tahun dipraktikkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Beberapa tahun terakhir mulai muncul pemikiran baru yang melihat hutan dalam perspektif yang lebih 3
Lihat Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN). 2011. 2
luas, dimana ilmu dan pengetahuan pengelolaan hutan berorientasi multiguna dan multi produk. Banyak negara seperti AS, Jepang, dan Korea telah mempraktikkan konsep ini. Di Indonesia, hingga saat ini upaya mewujudkan pergeseran paradigma pengurusan hutan secara institusional ke arah multipurpose use of forest masih berkutat pada tataran wacana karena dianggap sulit merealisasikannya. Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa nilai manfaat hasil hutan kayu hanya berkontribusi sekitar 5% dari nilai ekonomi total hutan 4. Dengan demikian, semestinya dalam unit manajemen pengelolaan dan pengusahaan hutan tidak boleh dibatasi hanya berorientasi untuk menghasilkan produk tunggal, yang kenyataannya sangat justru membelenggu efektifitas pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hutan 5. Implementasi pengelolaan hutan alam yang multiguna ini memerlukan perubahan tentang kelembagaan pengelolaan hutan, sistem perencanaan dan teknik pengelolaan hutan (Bahruni 2008; Bahruni et al. 2009; Bahruni et al. 2010). Disamping itu juga diperlukan sejumlah perubahan peraturan-perundangan yang kini cenderung menjabarkan kebijakan bahwa satu jenis izin hanya untuk satu jenis komoditas dari hutan. Dalam rangka perbaikan kebijakan izin untuk restorasi ekosistem, telah dikemukakan pentingnya melakukan perbaikan kebijakan ini (Kartodihardjo, 2013). Usaha jasa lingkungan seperti wisata alam masih belum banyak dilakukan, walaupun sederet fakta menunjukkan bahwa wisata alam memberikan kontribusi ekonomi yang besar. Wana Wisata Cilember adalah salah satu contohnya, dengan luasan sekitar 5.9 hektar dapat menghasilkan lebih kurang 1.5 milyar per bulan 6. Contoh lain hasil penelitian manfaat intangible rekreasi hutan menunjukkan bahwa nilai ekonomi rekreasi hutan Pangandaran adalah sebesar Rp 4,803 juta per-hektar atau total Rp 2,546 milyar per-tahun dengan total luas hutan Pangandaran 530 hektar. Nilai ekonomi manfaat rekreasi hutan Pangandaran jauh lebih besar dari nilai ekonomi kayu karena dapat diperoleh secara terus-menerus sepanjang tahun tanpa merusak ekosistem hutan alam Pangandaran (Hero 1993). Studi-studi sejenis tentang manfaat hutan untuk produk jasa, air, dan jasa lingkungan lainnya memberikan petunjuk bahwa semestinya pengelolaan hutan berorientasi kepada berbagai macam manfaat, tidak hanya berbasis kayu tetapi juga mengembangkan secara sungguh-sungguh pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (Sundawati dan Nurrochmat 2008; Suharjito et al. 2012) dan merealisasikan nilai ekonomi fungsi ekosistem seperti tata air dan karbon secara cerdas (Nurrochmat 2009; Nurrochmat et al. 2010). 2. Penguatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan industri pedesaan Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sejatinya bukan hal yang baru di Indonesia, bahkan “Forest for People” diangkat sebagai tema Kongres Kehutanan Dunia ke VIII di Jakarta tahun 1978. Walaupun sistem pelibatan masyarakat ketika itu dirasakan masih belum sempurna karena kurang memperhatikan aspek kesetaraan dan keadilan, namun hutan pada masa itu kondisinya relatif baik. Pada era sekarang, fakta yang dapat disaksikan adalah di satu sisi hutan semakin rusak, namun disisi lain pengelolaan hutan belum dapat menyejahterakan masyarakat. Dalam tatanan sosial-ekonomi-politik-budaya yang berbeda pada saat ini, diperlukan adanya suatu pendekatan baru dalam pengelolaan hutan, khususnya yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat. Peningkatan peran masyarakat adalah suatu keniscayaan dalam 4
Lihat Laporan Kajian Sistem Nilai Hutan, Kerjasama Departemen Kehutanan dan IPB (1999). Lihat Darusman (1995). Sistem Pengusahaan Hutan Sebagai Produsen Hasil Hutan Barang dan Jasa: Status, Isu dan Kendala. 6 Angka diperoleh dari Laporan Fieldtrip mahasiswa Pascasarjana Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan, Departemen KSHE, Fahutan IPB. Desember 2011 dibawah bimbingan Hardjanto. 5
3
paradigma pengelolaan hutan karena (setidaknya) empat alasan (Darusman 2002), yaitu: 1) masyarakat merupakan bagian integral dari ekosistem hutan; 2) masyarakat sebagai bagian yang sangat besar dari subjek dan objek pembangunan Indonesia; 3) masyarakat sebagai pihak yang selama ini terpinggirkan dalam pembangunan; 4) masyarakat merupakan kekuatan yang sangat besar dan signifikan baik secara positif maupun negatif terhadap keberadaan hutan. Pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat sesungguhnya secara ekonomi sangat menjanjikan dan lebih dari itu, pengelolaan hutan skala kecil yang dilakukan oleh masyarakat telah terbukti sangat tahan atau resilien terhadap goncangan ekonomi pada saat terjadi krisis, bahkan dapat mendorong tumbuhnya sektor lain di pedesaan (Suharjito et al. 2000; Darusman 2001). Dari sisi kepastian hak-hak atas lahan, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan skala kecil melalui pembangunan hutan tanaman sangat prospektif. Menurut Nugroho (2011), paling tidak ada 3 (tiga) penjelas yang menguatkan prospek tersebut. Pertama, karakteritik hakhak (property rights) pada lahan tidak produktif yang secara de facto diakui oleh institusi lokal (local institutions) akan mampu menjaga dan menegakkan hak-haknya. Pembangunan hutan tanaman idealnya diarahkan untuk memperbaiki produktifitas lahan dengan menanami areal kosong dan hutan rawang (tidak produktif). Perubahan penutupan lahan dari hutan alam menjadi areal kosong dan hutan rawang umumnya terjadi karena adanya pembukaan lahan hutan untuk diusahakan. Berdasarkan institusi yang berkembang di pedesaan (local institutions) luar Pulau Jawa, siapa yang membuka hutan pertama kali maka dialah pemiliknya, sehingga lahan-lahan usaha (ladang) tersebut menjadi hak milik peladang (de facto). Bila lahan-lahan demikian oleh negara dikuasakan pada pengusaha besar (HTI dan perkebunan), maka risiko terjadinya konflik lahan menjadi besar. Hal demikian tentu akan dihindari oleh pengusaha besar, sehingga pengusaha besar akan lebih tertarik mengkonversi hutan-hutan alam dari pada mengusahakan lahan-lahan yang telah terdegradasi. Kedua, dengan adanya institusi lokal yang mengakui hak kepemilikan ladang baik berupa tanah kosong maupun hutan sekunder yang tidak produktif tersebut, menjadikan pengusahaan hutan tanaman berbasis masyarakat memiliki fondasi yang kuat dan dapat diharapkan akan lebih lestari, aman dari pencurian dan penjarahan (illegal logging misalnya) dan akan menjadi insentif untuk melaksanakan investasi jangka panjang. Ketiga, karakteristik padat karya (labor intensive) pada pengusahaan hutan berbasis masyarakat dapat membantu memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan di pedesaan. Ke depan, program HKm, HD, dan HTR, dan hutan rakyat pada lahan milik perlu diintegrasikan dengan pengembangan industri pedesaan berbahan baku hasil hutan. Integrasi program tersebut sangat penting bagi pembangunan ekonomi pedesaan. Namun demikian, kebijakan pemerintah untuk mendorong pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan masih terbatas pada target-target, namun miskin realisasi. Pemberian izin HKm hingga tahun 2011 baru mencapai 44.734 ha dari target 400.000 ha per tahun, untuk hutan desa (HD) baru terealisasi 11.517 ha dari target 100.000 ha per tahun dan untuk IUPHHK-HTR baru terbit 165.410 ha dari target seluas 200.000 ha per tahun sejak 2007 (Suharjito 2011a). Rendahnya realisasi diduga disebabkan oleh adanya hambatan regulasi, antara lain: 1) rumitnya perizinan; 2) biaya transaksi tinggi untuk pengurusan izin; 3) hak-hak yang diberikan tidak menjamin kepastian investasi; 4) pengelolaan hutan skala kecil yang dilakukan masyarakat diperlakukan mirip usaha besar; dan 5) kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada pemegang izin sebagian besar di luar kemampuan petani pada umumnya. Situasi regulasi yang sama juga terjadi pada pemberian kesempatan untuk memperoleh dukungan dana dari skema Pinjaman Dana Bergulir yang dikeluarkan oleh Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU Pusat P2H) (Nugroho 2011). Dalam hal ini, keterbukaan birokrasi terhadap pembaharuan pemikiran serta kerjasama dengan 4
berbagai pegiat kehutanan masyarakat di lapangan menjadi sangat penting, guna memperoleh keyakinan bagaimana kebijakan selama ini benar-benar membelenggu pelaksanaan usaha kecil kehutanan tersebut (Kartodihardjo, et all, 2013). Pengelolaan hutan dan industri hasil hutan di pedesaan dapat menjadi media untuk menguatkan hubungan-hubungan sosial serta meningkatkan produktivitas sumberdaya ekonomi (hutan dan tenaga kerja) pedesaan (Suharjito 2002; Suharjito 2011a; Ariyadi 2004; Eka Setiyadi 2004). Jika semua unit kegiatan ekonomi produktif kehutanan dapat diakses oleh warga masyarakat pedesaan, maka kontribusi kehutanan terhadap pembangunan pedesaan akan sangat signifikan. Dengan keberhasilan program kehutanan maka pendapatan keluarga meningkat, peredaran uang di pedesaan meningkat, dan urbanisasi dihambat. Upaya pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan urgensi dari pembangunan kehutanan dan pembangunan masyarakat pedesaan (Suharjito 2011a; Suharjito 2009). Pada aras ini masyarakat dapat memerankan pengetahuan dan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan, terutama hutan alam dengan memberikan kesempatan yang luas untuk pengembangan pengelolaan hutan skala kecil atau “small scale forestry” dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu penguatan dan pemihakan pada small scale forestry merupakan keniscayaan. Salah satu strategi implementasinya adalah dengan mengindari integrasi vertikal, konglomerasi dan pemusatan kekuatan ekonomi yang merusak pasar (Darusman 1993). 3. Kehutanan skala besar (masih) diperlukan Jika pada masa lalu pungutan pemerintah sebagai rente ekonomi untuk negara dinilai terlalu rendah, pada saat ini jumlah pungutan kehutanan justru cenderung semakin meningkat baik jenis maupun nilainya sehingga perlu dievaluasi agar bisnis kehutanan tetap menarik dan kompetitif (Nurrochmat dan Hasan 2012; Sundawati dan Nurrochmat 2008). Terlepas dari aspek fiskal, perlu digarisbawahi bahwa salah satu faktor penting dalam keberhasilan pengusahaan hutan adalah profesionalisme (Nurrochmat 2012). Profesionalisme pengusaha meliputi dua sisi yaitu: profesionalisme kehutanan dan profesionalisme perusahaan. Profesionalisme kehutanan terkait dengan kemampuan dan kemauan pengusaha menerapkan ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi dan seni/manajemen) secara efisien dan menjamin efektifitas pengelolaan hutan (ekonomi, sosial, dan lingkungan); Profesionalisme perusahaan berhubungan dengan kemampuan pengusaha dalam memaksimumkan keuntungan dalam koridor kelestarian hutan dan lingkungan. Dalam hal ini peran pemerintah yang ideal adalah sebagai fasilitator yang mendorong kebangkitan usaha kehutanan, menjadi wasit bila ada pihak yang melanggar, atau memposisikan diri sebagai “dirigen” agar semua pihak bekerjasama seirama dan harmonis. Dalam kondisi pemerintah pusat/daerah masih belum mampu berperan atau belum peduli, bahkan cenderung menekan (kesengajaan/skenario politik) kebangkitan kehutanan, masyarakat masih kesulitan ekonomi, dan LSM masih cenderung berburuk sangka, maka: niat atau inisiatif pengusaha untuk berinvestasi adalah epicentrum pembangkitan ekonomi kehutanan. Heroisme dari pengusaha pantas untuk dikedepankan dan dengan strategi kebijakan yang tepat harapan ini bukanlah utopia. Kiprah pengusaha hutan sepatutnya didukung, namun dengan mengedepankan sifat dan sikap yang diharapkan, yaitu: 1) memperkuat profesionalisme melalui penguasaan ipteks kehutanan dan manajemen bisnis; 2) memiliki kemampuan dan kemauan keluar dari zona kemapanan untuk menjadi motor penghela kebangkitan kehutanan; dan 3) memiliki kemandirian dan kepedulian terhadap masyarakat. Pola kemitraan (dengan masyarakat) yang sudah dirintis selama ini oleh beberapa BUMS dan BUMN (PHBM Perum Perhutani, pola kemitraan pada hutan tanaman) perlu diperkuat dengan proses saling belajar, berbagi pengetahuan dan teknologi, 5
berbagi peran, meningkatkan transparansi informasi, dan meningkatkan intensitas dan kualitas komunikasi. Dalam pengembangan kemitraan tidak menjadikan masyarakat hanya sebagai tenaga kerja, melainkan sebagai pelaku pengelolaan hutan atau industri hasil hutan yang mandiri tetapi saling tergantung dalam hubungan peran (Suharjito 2004). Untuk merealisasikan itu semua perlu insentif pemungkin berupa kepastian usaha dan investasi, serta biaya transaksi yang murah. Tanpa mengabaikan pengembangan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan, dalam jangka pendek dan menengah produk kayu masih tetap menjadi andalan untuk kebangkitan kehutanan karena permintaan pasar dalam negeri dan ekspor yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan perangkat dan strategi kebijakan yang mendukung kebangkitan sumber bahan baku kayu dari berbagai sumber yang lestari. Dalam hal ini diperlukan ruang untuk penerapan sistim silvikultur yang adaptif dan dapat disesuaikan dengan kondisi lapangan serta memberikan opsi untuk menggabungkan penerapan dua atau lebih sistem silvikultur (TPTI, HTI/THPB, SILIN, Multisistem Silvikultur, dan variasi-variasinya) dengan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan (Darusman 2012; Suryanto et al. 2010). Dalam hal ini perlu dipertimbangkan apakah sistem silvikultur sebagai bagian dari tindakan manajemen perusahaan harus diikat menjadi peraturan yang dalam batas-batas tertentu tidak dapat diterapkan karena adanya variasi kondisi di lapangan (Kartodihardjo, 2010). Disamping itu, agar tindakan manajemen tersebut mempunyai jastifikasi kuat dengan kondisi finansial perusahaan, juga diperlukan kebijakan tarif yang sejalan dengan kondisi finansial dan situasi ekonomi kehutanan saat ini. Penyesuaian ini sangat penting terutama bagi usaha hutan alam produksi yang hingga saat ini secara nasional terus mengalami penurunan kinerjanya (Soedomo dan Kartodihardjo, 2013). 4. Tata Kelola Kehutanan Tata kelola kehutanan (forestry governance) Indonesia selama ini sangat lemah, antara lain ditunjukkan oleh ketidakpastian dan rendahnya legitimasi penguasaan kawasan hutan, merebaknya berbagai konflik, dan masih banyaknya peraturan-peraturan yang membelenggu pelaku pengelolaan/pengusahaan hutan. Proporsi kawasan hutan negara yang telah ditata batas dan dikukuhkan masih sangat rendah, sementara kawasan hutan yang telah ditata batas bahkan yang telah temu gelangpun banyak yang tidak dihormati keberadaannya oleh masyarakat. Kawasan-kawasan hutan disengketakan oleh para pemegang hak legal formal ataupun masyarakat lokal yang berpegang pada hukum adat, bahkan pendudukan kawasan hutan negara oleh warga masyarakat banyak terjadi sementara pemerintah belum mampu mengatasi. Dengan kata lain, land tenure security sangat lemah (Suharjito 2013). Masalah tenurial kehutanan semestinya tidak hanya dilihat semata-mata sebagai masalah tata batas, tetapi lebih dari itu juga harus menyentuh hak-hak masyarakat yang lebih luas termasuk diantaranya adalah hak penguasaan, hak akses, dan hak kelola. Oleh karena itu penyelesaian masalah tenurial kehutanan tidak boleh direduksi menjadi sekedar pengukuhan kawasan hutan, melainkan melekat dengan pengakuan terhadap hak dan kewajiban masyarakat serta para pihak lainnya (Nurrochmat 2012a). Klaim suatu pihak atas asset harus mampu membangkitkan kewajiban bagi pihak lain untuk menghormati klaim tersebut. Tanpa adanya penghormatan tersebut, klaim menjadi tidak bermakna. Ke depan persoalan land tenure insecurity harus dapat diatasi. Salah satu jalan yang harus ditempuh adalah devolusi pengelolaan hutan (Suharjito 2009).
6
Kajian tata kelola hutan dan lahan gambut yang dilakukan United Nations Development Programme (UNDP) tahun2013 7 menunjukkan secara keseluruhan indeks tata kelola hutan dan lahan gambut di Indonesia cukup rendah yaitu 2,33 (nilai maksimum 5), dengan indeks di tingkat Pusat 2,78, Provinsi 2,39, dan Kabupaten 1,8. Kajian tersebut juga memaparkan empat aspek yang perlu mendapat perhatian khusus terkait upaya peningkatan tata kelola hutan dan lahan gambut, yaitu: 1) Kelola hutan dan lahan 2) Akses terbuka kawasan hutan 3) Lemahnya penegakan hukum 4) Biaya transaksi tinggi Peran pemerintah hendaknya lebih difokuskan pada pengendalian prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari dan menghapus intervensi yang terlalu teknis seperti menentukan jenis tanaman dan pola tanam. 5. Politik Ekonomi Kehutanan Strategis Pilihan strategi politik ekonomi kehutanan yang tepat adalah salah satu faktor kunci kebangkitan kehutanan Indonesia. Dalam konteks politik ekonomi, perambahan kawasan hutan oleh masyarakat maupun penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan non-kehutanan hendaknya tidak disikapi sebagai “medan perang”, tetapi seharusnya dianggap sebagai perubahan dinamika (naik-turun, fluktuasi, siklus bisnis). Dalam konteks ini, pemerintah harus dapat mengelola dinamika sosial dengan baik dan terarah. Pengusaha tetap bekerja keras dan tekun berpacu dengan waktu membangun hutan di wilayah usahanya. Bagaimanapun “serbuan” perambahan itu ada batas keseimbangannya dan tidak mungkin “menghabiskan” wilayah usaha kehutanan. Oleh karena itu strategi politik yang paling cerdas bagi pengusaha saat ini adalah apabila dengan pemerintah pusat/daerah ada jarak, justru dengan masyarakat setempat harus dekat, bergandengan tangan, bahkan bersahabat dengan warga desa, dan dengan pengusaha lokal yang tertarik kehutanan baik sebagai pekerja/pegawai, rekan usaha, supplier atau pemasaran, investor, dan bentuk kemitraan lainnya. Realitasnya memang tidak mudah mewujudkan kemitraan yang “bebas konflik kepentingan”, apalagi dengan masyarakat lokal yang cara berpikir dan sudut pandang dalam melihat persoalan mungkin berbeda dengan pelaku usaha maupun pemerintah. Tata kelola sosial yang tepat, terarah, dan terpadu adalah tantangan sesungguhnya yang harus dihadapi pengelola hutan dan merupakan salah satu kunci terpenting untuk memastikan kelestarian pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pilihan politik ekonomi kehutanan Indonesia yang strategis sekarang adalah membangun hutan: cepat (fast growing species), hemat (kerjakan sendiri, langsung), dan aman (bersama masyarakat). Jika pilihan politik ini dikerjakan dengan sebaik-baiknya, maka pada saat yang tidak terlalu lama diprediksi ketersediaan bahan baku kayu akan kembali besar, lalu dilanjutkan dengan semakin berkembangnya industri hilir kehutanan. Produk non-kayu yang memiliki pasar prospektif secara bertahap harus dikembangkan. Demikian pula dengan produk yang selama ini dianggap sebagai komoditas “non-kehutanan” yang strategis seperti pangan dan energi juga perlu dikembangkan dan sedapat mungkin diintegrasikan ke dalam sistem pengelolaan hutan. Stimulus ekspor beragam produk kehutanan sangat diperlukan untuk menggairahkan industri kehutanan dari hulu sampai hilir. 7
Kajian ini dilaksanakan di 10 provinsi dan 2 kabupaten di setiap provinsi tersebut, sehingga melibatkan 20 kabupaten serta Pusat. Provinsi yang dijadikan contoh dalam kajian ini, yaitu Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Papua, dan Papua Barat. 7
Berbagai inisiatif global yang terkait dengan pengelolaan hutan di Indonesia hendaknya dapat digunakan untuk menguatkan kapasitas dalam melakukan pembaruan kebijakan dan langkahlangkah konkrit di lapangan. Sebaliknya, diperlukan kehati-hatian dalam mengadopsi ide-ide global tersebut, karena dalam banyak hal persoalan yang hendak dipecahkan tidak sesuai dengan persoalan yang dialami pada tingkat lokal maupun nasional. 6. Penutup Rendahnya kinerja pengelolaan hutan disebabkan oleh berbagai macam faktor. Setidaknya ada tiga persoalan elementer yang diduga menjadi akar permasalahan karut marutnya pengelolaan hutan di negeri ini, yaitu: 1) paradigma pengelolaan hutan di Indonesia hingga saat ini masih bersifat parsial; 2) otoritas kehutanan lebih mengedepankan status kawasan hutan daripada fungsi hutan, serta 3) pembangunan kehutanan terkungkung dalam sekat komoditas sektoral daripada pengembangan nilai manfaat sumberdaya hutan yang adaptif dan menyejahterakan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan-kebijakan pemungkin (enabling policies) dengan mengedepankan arah strategi implementasi sebagai berikut: Pertama, mengubah orientasi pengelolaan hutan yang bersifat parsial menjadi pengelolaan hutan terpadu. Pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan secara parsial tidak hadir secara kebetulan karena hal ini digariskan dalam Undang Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 yang tidak mengenal terminologi Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPH) melainkan Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan, Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, dan Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan sebagai suatu bentuk rezim perijinan parsial. Bahkan, ijin usaha tersebut dipecahpecah lagi dalam bentuk yang lebih kecil seperti Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Alam (IUPHHK-HA), Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), dan sederet ijin usaha lainnya. Akibatnya, banyak terjadi tumpang tindih perijinan atau “ijin di atas ijin” di suatu kawasan hutan yang menyebabkan eskalasi konflik regulasi yang tak berujung. Pada kondisi demikian, ragam manfaat hutan tidak ditempatkan sebagai bagian-bagian yang saling terkait satu sama lain melainkan faktor-faktor yang saling lepas. Praktik kehutanan seperti ini tentu sangat berbahaya dan harus segera dikoreksi. Pengelolaan hutan harus berbasis ekosistem, sehingga perlu didorong Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPH) terpadu untuk mengelola hutan secara intergratif yang dapat merajut sebanyak mungkin nilai manfaat hutan. Oleh karena itu, pada tataran implementasi diperlukan kebijakan pemungkin (enabling policy) yang membuka ruang pengelolaan hutan multisistem dan multiguna. Kedua, menggeser orientasi rezim tenurial kehutanan yang berfokus pada status kawasan hutan menjadi pengelolaan yang berorientasi pada fungsi hutan. Kebijakan pengelolaan hutan berbasis ekosistem membawa konsekuensi yang mendasar terhadap perubahan konsep tenurial kehutanan. Pola pikir dan pola tindak rezim tenurial kehutanan saat ini yang cenderung mengedepankan status kawasan hutan menjadi kurang efektif. Pengabulan uji materi oleh Mahkamah Konsitusi terkait definisi kawasan hutan dan hutan adat yang dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat, misalnya, menunjukkan bahwa pola penguasaan kawasan hutan yang menekankan “status kawasan hutan” saat ini tidak hanya memiliki legitimasi yang sangat lemah di akar rumput tetapi secara esensial juga telah kehilangan pegangan legalitas. Oleh karena itu, pengelolaan hutan ke depan perlu diarahkan pada kelestarian fungsi kawasan hutan (produksi, lindung, konservasi) terlepas dari apapun status kawasannya (hutan negara, hutan adat, hutan hak). Pengelolaan kawasan hutan berbasis fungsi mempersyaratkan adanya tata ruang yang legal dan memiliki legitimasi kuat. Dengan demikian, ke depan Rencana Tata Ruang 8
Wilayah (RTRW) harus didorong menjadi satu-satunya sumber rujukan keruangan berbasis fungsi yang mempertemukan dan menyinergikan berbagai kepentingan sektoral di tingkat tapak. Ketiga, melepaskan jerat pengkotakan komoditas sektoral dan mendorong kegiatankegiatan yang menciptakan optimalisasi manfaat dalam pembangunan kehutanan. Strategi pembangunan kehutanan yang masih terbelenggu sekat komoditas kehutanan dan komoditas non-kehutanan merupakan persoalan serius yang menempatkan sektor kehutanan sebagai “musuh bersama” bagi sektor-sektor pembangunan lainnya. Di sisi yang lain, walaupun faktanya hutan tidak hanya menghasilkan kayu tetapi juga jasa lingkungan, sumber pangan, obat bahan alam, energi dan manfaat lainnya, tetapi yang tercatat sebagai kontribusi sektor kehutanan hanya komoditas dasar berbasis kayu dan hasil hutan bukan kayu yang secara “tradisi” telah dianggap sebagai komoditas kehutanan seperti rotan, getah pinus, getah damar, atau satwa liar. Sementara manfaat hutan sebagai sumber pangan walaupun nilainya sangat besar secara sadar tidak pernah dianggap sebagai kontribusi sektor kehutanan. Demikian pula produk-produk yang bernilai ekonomi tinggi seperti karet, kopi, coklat, kelapa, teh, porang, dan berbagai komoditas ekspor walaupun tumbuh di dalam kawasan hutan tidak pernah dicatat sebagai hasil hutan. Padahal, faktanya tanaman tersebut telah dibudidayakan oleh masyarakat, mendongkrak perekonomian masyarakat, dan secara teknis dapat dikembangkan di dalam kawasan hutan melalui pola agroforestry. Praktik-praktik penanaman komoditas yang bernilai ekonomi tinggi di dalam kawasan hutan cenderung dianggap pemerintah dan sebagian rimbawan sebagai bentuk “perambahan” yang harus diberangus, bukan diakomodir, diregister, dan diarahkan untuk dikelola secara lebih baik dan lestari dalam skema agroforestry. Sepanjang tidak membahayakan fungsi kawasan, penanaman komoditas bernilai ekonomi tinggi yang diterima oleh masyarakat justru harus dikembangkan karena faktanya dalam banyak kasus keberadaan komoditas yang mengandalkan hasil non-kayu seperti getah karet atau kopi justru menyelamatkan lebih banyak tegakan hutan karena masyarakat tidak lagi menebang kayu sebagai sandaran hidup. Pada aras ini, jelas bahwa yang diperlukan dari seorang rimbawan bukan “melarang” tetapi membantu masyarakat menentukan jenis dan komposisi tanaman-tanaman dalam pola agroforestry secara tepat sesuai dengan fungsi hutan melalui kegiatan penelitian, pengembangan, dan pendampingan. Apabila hal ini dilakukan, maka ke depan berbagai persoalan sosial kehutanan akan sangat berkurang dan peran sektor kehutanan dalam pembangunan nasional dari berbagai indikator seperti PDB, linkages, multplier impacts, pengentasan kemiskinan, dan tolok ukur lainnya dapat dipastikan akan menguat. Daftar Rujukan Ariyadi. 2004. Hubungan Nilai Sosial dan Karakteristik Pengusaha dengan Perilaku Kewirausahaan pada Industri Kecil Berbahan Baku Kayu di Tasikmalaya. [Skripsi]. Jurusan Manajemen Hutan IPB, Bogor. Bahruni. 2008. Pendekatan Sistem dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan: Studi Kasus Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bahruni. Hero Y, Rusolono T, Kartono A, Trison S, Purwawangsa H, Darusman D. 2009. Business Development of Ecosystem Restoration Concessions. Jakarta: Fakultas Kehutanan IPB, l’ Agence Française de Développment (AFD) dan Burung Indonesia. Bahruni, Munawir, Rahadian NP, Ichwandi I, Triyaka. 2010. Environmental Services Valuation of Krueng Aceh & Krueng Peusangan Watershed Nanggroe Aceh Darussalam Province. 9
Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan, Ekonomi & Sosial dan UNESCAP. Bahruni. 2011. Analisis Kerangka Insentif Ekonomi Pengelolaan Hutan Lestari sebagai Pilihan Penting dalam Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Kehutanan. Jakarta: Kementerian Kehutanan RI dan ITTO. Darusman D. 1993. Small Scale Forestry and Forest Product Industry. Jawaban Komprehensif Terhadap Masalah pembangunan di propinsi Berlahan Marjinal. Di dalam: Darusman. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Darusman D (editor). 2001. Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Kerajasama Fakultas Kehutanan IPB dan The Ford Foundation. Yogyakarta.Debut Press. Darusman D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Debut Press. Darusman D., Bahruni. 2004. Economic analysis of Sustainable Forest Manajemen at the Level of management Unit. ITTO Project PD 42/00 REV I (F)-APHI. Darusman D. 2012. Kehutanan Demi Keberlanjutan Kehutanan Indonesia. IPB Press, Bogor. Haeruman H, Abidin R, Hardjanto, Suhendang E. 1990. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat. Institut Pertanian Bogor. Lembaga Penelitian. Haeruman H, Abidin R, Hardjanto, Suhendang E. 1991. Studi Kemungkinan Pengembangan Konservasi Lahan melalui Hutan Rakyat. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Kehutanan. Hardjanto. 2001. Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter Terhadap Usaha Kehutanan Masyarakat: Kayu Jati dan Sengon di Jawa. Di dalam Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Kerajasama Fakultas Kehutanan IPB dan The Ford Foundation. Yogyakarta.Debut Press. Hardjanto. 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat di Pulau Jawa. [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.Hardjanto, Trison S. 2010. Pengembangan Hutan Rakyat untuk Penyediaan Kayu Energi dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Hardjanto, Hero Y, Trison S. 2011. Desain Kelembagaan Usaha Hutan Rakyat untuk Mewujudkan Kelestarian Hutan dan Kelestarian Usaha Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pedesaan. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Kehutanan. Hero Y. 1993. Evaluating Social Benefits of Forest Recreation in Pangandaran. A Case Study. [Master Thesis]. Gottingen: Georg August University.Kartodihardjo, H. 2013. Input bagi Kebijakan Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi dan Verifikasi Kinerjanya. Paper disampaikan dalam Seri Diskusi mengenai Konsep, Kebijakan dan Implementasi Restorasi Ekosistem: Lesson Learned, Prospek dan Tantangan. Kampus IPB Darmaga. Kartodihardjo, H, Nugroho, B, Suharjito, Dermawan, A, 2013. Constraints in policy renewal of forest utilization for local community: Case of Development of People Plantation Forests. Kerjasama penelitian antara Fahutan IPB dan CIFOR. Bogor. Kartodihardjo, H. 2010. Esei Persoalan Kebijakan Kehutanan: Kebijakan Penetapan Sistem Silvikultur Telaah Kelemahannya sebagai Secondary Rules. Buku Seri I. Kebijakan Produksi Pengelolaan Hutan Alam dan Silvikultur. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Samarinda. 10
Kartodihardjo, H. (Editor). 2013. Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta. Forci Development dan Tanah Air Kita. Kementerian Kehutanan RI. 2011. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030. Jakarta. Nugroho B. 2011. Analisis Perbandingan Skema Pinjaman untuk Pembangunan Hutan Tanaman Berbasis Masyarakat di Indonesia. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XVII (2): 79-88. Nugroho B. 2011. Land Rights of Community Forest Plantation Policy: Analysis from an Institutional Perspective. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XVII (3): 111-118. Nurrochmat DR. 2005. Strategi Pengelolaan Hutan. Tersisa. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Upaya Menyelamatkan Rimba yang
Nurrochmat DR. 2009. Mengantisipasi Perangkap REDD. Kolom. Majalah Tempo. 21 Desember 2009, Hal. 178-179. Jakarta. Nurrochmat DR. 2012. Menakar Beleid Pemutihan Kawasan Hutan. Opini. Koran Tempo. Edisi Cetak Hal. A8. Sabtu, 03 November 2012, Jakarta. Nurrochmat DR. 2012a. BUMN Kehutanan di Simpang Jalan. Opini. Majalah Tropis. Edisi 06/Tahun V/2012, p. 16-17. Jakarta. Nurrochmat DR, Solihin I, Ekayani M, Hadianto A. 2010. Neraca Pembangunan Hijau. Konsep dan Implikasi Bisnis Karbon dan Tata Air di Sektor Kehutanan. IPB Press, Bogor. Nurrochmat DR, Hasan MF (editor). 2012. Ekonomi Politik Kehutanan. Mengurai Mitos dan Fakta Pengelolaan Hutan. INDEF, Jakarta. Nurrochmat DR, Sudradjat A, Ramdan H, Haryadi D, Irawanto DS (editor). 2007. Reposisi Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan, Jakarta. Setiyadi E. 2004. Hubungan Religiusitas dan Kekerabatan dengan Ketahanan Industri Kecil Berbahan Baku Kayu di Kabupaten Wonosobo. [Skripsi]. Bogor (ID):Jurusan Manajemen Hutan IPB. Soedomo, S dan Kartodihardjo, H. 2013. Kajian Peningkatan Tarif Dana Reboisasi. Bahan diskusi perubahan kebijakan dengan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Jakarta Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. P3KM, Fakultas Kehutanan IPB. Suharjito, D., Khan A., Djatmiko W.A., Sirait M.T., Evelyna S. 2000. Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Pustaka Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta. Suharjito D. 2002. Kebun-Talun: Strategi Adaptasi Sosial Kultural dan Ekologi Masyarakat Pertanian Lahan Kering di Desa Buniwangi, Sukabumi, Jawa Barat. [Disertasi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Suharjito D. 2004. Pengelolaan Hutan Negara Pola Kolaboratif Perusahaan HPH (TI) dan Masyarakat Lokal: Prospek dan Kendala. Jurnal Kehutanan Masyarakat Vol. 2 No. 1. FKKM. Bogor. Suharjito D. 2009. Devolusi Pengelolaan Hutan di Indonesia: Perbandingan Indonesia dan Philipina. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol. XV No. 3. Suharjito D. 2011a. Integrating Community Forestry and Forest Products Based-Rural Industrialization for Enhancing Rural Community Welfare and Sustaining Forest 11
Resources. Paper presented at the International Conference of Indonesia Forestry Researchers, Bogor 5-7 December 2011. Suharjito D. 2011b. Tradisi dan Perubahan Budidaya Pohon di Desa Rambahan Kuansing dan Desa Ranggang Tanah Laut. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vo. XVII No. 3. Suharjito D., Bahruni, Hero Y., Muhdin, Purwawangsa H., Mulyana D., Rahayu S. 2012. Laporan Model Pengelolaan Kawasan Hutan Babakan Madang Bogor. Kerjasama Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Suharjito D. 2013. Reforma Agraria di Sektor Kehutanan: Mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari, Keadilan Sosial dan Kemakmuran Bangsa. Dalam Hariadi K (Editor). Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta. Forci Development dan Tanah Air Kita. Sundawati L, Nurrochmat DR (editor), 2008. Pemasaran Produk-Produk Agroforestry. IPBSEANAFE-ICRAF, Bogor. Suryanto, Nurrochmat DR, Priyono H, Suyana A, Budiaman A. 2010. Multisistem Silvilkultur. Menjadikan Pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi Menjadi Lebih Baik. Policy Brief. Kementerian Kehutanan, Jakarta. UNDP, 2013. Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan dan REDD+ 2012 di Indonesia. UNDP Indonesia. Jakarta.
12