DEKONSTRUKSI HUKUM ISLAM DAN KRISTALISASI DI INDONESIA Efrinaldi
Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang Jl. Mahmud Yunus – Lubuk Lintah Padang Sumatera Barat E-mail:
[email protected]
Abstract: Deconstruction and Cristalization of Islamic Law in Indonesia. The idea of Islamic law deconstruction in Indonesia in accordance with the subject matter that is consistent with the dynamics of social change becomes a mainstream with an obsession to establish puritani and modern Islamic style. Legislation contained in the Alquran is general principles and specific legal. The general principle is the meaning and reasoning behind the legal specific terms, sometimes it is stated explicitly to accompany specific legal expressions. There is substantial distinction between the teaching principal of Islam that is qath’I (absolute) and zhannî (relatively). The difference between qath’I and zhannî is clear since it is an open space for ijtihad.
Keywords: qath’i, zhannî, progressive Islamic law
Abstrak: Dekonstruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia. Gagasan dekonstruksi hukum Islam di Indonesia sesuai dengan subject matter yang selaras dengan dinamika perubahan sosial, menjadi suatu mainstream, dengan obsesi “membangun suatu corak keislaman yang puritan dan modern”. Dalam legislasi Alquran terkandung prinsip umum dan legal spesifik. Prinsip umum merupakan makna dan argumentasi di balik ketentuan legal-spesifik, terkadang dinyatakan secara eksplisit mengiringi ungkapan-ungkapan legal spesifik. Ada pembedaan pokok antara ajaran Islam yang bersifat qath‘î (yang absolut) dan zhannî (yang relatif). Distingsi antara qath‘î dengan zhannî begitu ditekankan, karena dalam hal inilah ruang untuk berijtihad itu terbuka.
Kata Kunci: qath’i, zhannî, hukum Islam progresif
Pendahuluan Dekonstruksi hukum Islam ini berupaya menemukan pengetahuan yang mengakar mengenai ilmu keislaman yang moderat dan adaptatif dengan perubahan sosial, untuk menghasilkan kepercayaan atau ke i manan yang kuat, yang selanjutnya terimplementasikan dalam tingkah laku yang dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis dengan mengacu pada hukum Islam yang elastis atau amal yang aktifprogresif. Hukum Islam yang progresif menjadi entitas paling substantif dan
paling menentukan untuk kebenaran sebuah proposisi Islam. Gagasan dekonstruksi hukum Islam di Indonesia terlihat makin signifikan. Gagasan dekonstruksi hukum Islam selaras dengan dinamika perubahan sosial, dengan obsesi “membangun suatu corak keislaman yang kuat dan modern”. Gagasan ini berkembang memasuki ruang, yang cenderung bersifat kultural, yuridis dan bahkan filosofis. Gagasan dekonstruksi hukum Islam di Indonesia, secara epistemologis, dihipotesakan dalam bentuk pemikiran sosial keislaman 1
2| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 para pembaru pemikiran hukum Islam. Kepercayaan dan pendapat yang kuat tentang Islam, serta menghilangkan kesangsian, untuk sampai pada tujuan ini, logika sangat berperan dalam menelaah rasionalitas Alquran untuk memperoleh pengetahuan, sebagai suatu kerangka dasar bagi kebenaran sebuah kepercayaan. Dengan demikian akan dapat dibuka tabir yang membungkus ke lahiran episteme-episteme tersebut dengan membaca ulang (i’âdah al-qirâ’ah/re-reading) atas teks-teks yang melahirkan formulasi epistemologi hukum Islam. Dengan cara demikian diharapkan umat Islam dapat membedakan antara Islam yang normatif dan historis, atau antara kebenaran sosiologis dan kebenaran hakiki, sehingga fenomena sakralisasi pemikiran (taqdîs al-afkâr) dan lebih-lebih lagi fenomena taqlidisme dan bermazhab yang mewarnai kehidupan umat Islam akan dapat diminimalisir. Hukum Islam yang progresif menjadi entitas paling substantif dan paling menentukan untuk kebenaran sebuah proposisi Islam. Pemikiran hukum Islam progresif ini berupaya menemukan pengetahuan yang mengakar mengenai ilmu keislaman yang moderat dan adaptatif dengan perubahan sosial, untuk menghasilkan kepercayaan atau keimanan yang kuat, yang selanjutnya terimplementasikan dalam tingkah laku yang dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis dengan mengacu pada hukum Islam yang elastis atau amal yang aktifprogresif. Islam progresif ini menjadi betulbetul progress dengan semangat kepeloporan, karena dalam progresifisme inklusif termuat sifat kritis, yang kritisismenya terlihat dalam tekanan yang kuat, dalam membuat distingsidistingsi, kategori-kategori, analisis, dan sebagainya - dengan penghargaan yang besar pada peran rasio. Landasan progresifisme ini sangat penting dalam menampilkan corak hukum Islam yang aplikatif dalam realitas kehidupan sehari-hari, responsif terhadap dinamika perubahan dan kemajuan, tanpa perlu kemasan Islam mistis yang rumit, atau
perwujudan yang simbolik. Secara khas, yang dimaksud dalam gagasan ini adalah pindahnya suasana Islam yang “pasif ” atau “agresif-radikalis” ke aktualisasi hukum Islam yang progresif dan dinamis. Epistemologi dan Sumber Hukum Islam Dalam konteks way of life bagi Muslim, Alquran dan Sunnah merupakan sumber utama pengetahuan, sumber pokok yuris prudensi hukum (mashâdir al-ahkâm) dalam Islam. Alquran telah sempurna diturun kan dan Hadis telah berakhir terbit dengan wafatnya Rasulullah Muhammad Saw. Firman Tuhan (Fox Dei) dalam Alquran digeneralisasikan kepada prinsip-prinsip moral dalam pelbagai aktifitas dengan cara mengaitkan ungkapan-ungkapan spesifik Alquran beserta latar belakang dinamika sosio-kultural dan politik dengan mem pertimbangkan ratio-legis (‘illat hukum) yang dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan Alquran.1 Hakekat Alquran sebagai ”firman Allah” (kalam Tuhan) bersandarkan pada aspek keyakinan dan karenanya menjadi dasar keimanan seseorang dan sumber acuan dalam kehidupan secara universal.2 Alquran sebagai mashâdir al-ahkâm pada dasarnya merupakan pernyataan-pernyataan Alquran yang bermuatan hukum, namun sekaligus juga merupakan kitab-kitab prinsip dan seruan-seruan moral dalam pelbagai aktifitas dan bukan dimaksudkan sekadar legislasi semata.3 Sebagai kebijakan-kebijakan moral Alquran mengangkat kedudukan Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: Chicago University Press, 1980), h. 6. 2 Efrinaldi, Reaktualisasi Hukum Islam, Suatu Kajian Metodologis dalam Pemikiran Fazlur Rahman, dalam Mimbar Hukum, No. 50 Thn. XII 2001 (Jakarta: Al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam Depag RI), h. 98. 3 Pencapaian maksud dari legislasi Alquran tersebut akan semakin jelas terlihat jika dipandang dari konteks dan dari latar belakang sosiologis masyarakat Arab ketika masa turun wahyu, yang mana kehidupan manusia ketika itu diwarnai kesenjangan pola hubungan dan eksploitasi kelompok “masyarakat kelas satu” terhadap kelompok masyarakat kelas dua. Lihat Efrinaldi, Reaktualisasi Hukum Islam, h. 99 1
Efrinaldi: Dekonstruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia |3
“masyarakat kelas dua”: wanita, anak-anak yatim, fakir-miskin, dan budak menuju terwujudnya kondisi keadilan sosial dan persamaan esensial derajat manusia. Asas equality before the law (persamaan dihadapan hukum) sangat ditekankan betapa penting dalam Islam.4 Legislasi Alquran mencakup prinsip umum dan legal spesifik. Prinsip umum merupakan makna dan argumentasi di balik ketentuan legal-spesifik, terkadang di n yatakan secara eksplisit mengiringi ungkapan-ungkapan legal spesifik. Legislasi zakat dalam hal ini bertujuan untuk men ciptakan keadilan sosial bidang ekonomi. Prinsip-prinsip umum ini secara praksis dijabarkan ke dalam aturan legal spesifik. Formula legal spesifik dimaksudkan sebagai solusi alternatif yang sarat dengan muatan nilai-nilai ilâhiyyah transendental terhadap pelbagai permasalahan aktual yang makin kompleks. Dalam Alquran ada ayat-ayat yang bersifat prinsipil-definitif (qath‘î) dan kandungan general (zhannî ). Ayat-ayat yang qath‘î’ mengandung makna yang cukup jelas dan spesifik, tidak memerlukan kepada interpretasi lain dari makna zhâhir. Sedangkan ayat-ayat yang bersifat zhannî memerlukan interpretasi untuk bisa memahami kandungan maknanya. Porsi rasio sangat menentukan dalam me lakukan interpretasi dalam konteks ini. Rumusan interpretasi yuristik yang bersifat rasional yang termuat dalam “fiqh” menjadi mainstream dalam pola ritualistik tertentu. Ayat-ayat Alquran yang bersifat qath‘î dan zhannî itu memberi petunjuk syariat ditetapkan bukan untuk membebani pe laksana hukum (mukallaf ), tetapi guna memberi kemaslahatan bagi manusia. Tujuan nya adalah untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan kehidupan sejahtera bagi umat manusia secara universal. Sifat general dari ayat-ayat Alquran mengandung
makna bahwa Alquran membiarkan masalahmasalah mu‘âmalah, siyâsah (politik), dan qadhâ (peradilan) berkembang menurut kebutuhan masa, keadaan dan tempat.5 Dinamika kontemporer dan problematika manusia dewasa ini banyak termasuk dalam kategorisasi muamalah. Spektrum muamalah didominasi oleh ayat-ayat yang bersifat zhannî dibanding qath‘î. Oleh karena itu, paradigma ijtihâdiyah yang didasarkan pada epistemologi Islam sangat fleksibel sesuai dengan dinamika dan mobilitas perubahan sosio-kultural. Pengembangan kajian–kajian sebagai upaya reformasi dan reinterpretasi terhadap Islam sudah seharusnya mengacu pada analisis faktual terhadap implementasi konsep-konsep dalam dinamika perubahan sosial (social change) yang sangat cepat. Penafsiran Alquran yang faktual harus dilakukan. Bahaya besar dalam upaya seperti ini, tentu saja adalah timbulnya proyeksi ide-ide subyektif ke dalam Alquran dan menjadikannya sebagai objek perlakuan arbiter, namun konsekwensi ini dapat di minimalisir, maka suatu metodologi yang seksama untuk memahami dan menafsirkan Alquran harus digunakan. Dalam menafsir kan Alquran pertama kali harus dicari pen jelasannya pada Alquran. Sebab, seringkali ada ayat-ayat yang disebutkan secara ringkas pada suatu tempat, sedangkan penjelasannya mencuat pada ayat lain. Jika tidak ditemukan ayat yang menjadi penjelas bagi sesuatu yang hendak ditafsirkan, kemudian dicari penjelasannya pada Hadis. Sebab, Rasul lebih mengetahui makna hakiki suatu perintah atau berita yang disampaikan kepadanya. Jika dalam Hadis tidak ada penjelasan, dilihat pada penafsiran sahabat. Penafsiran ini lebih dekat kepada kebenaran, karena para sahabat secara langsung mendengar sendiri dari Rasul dan menyaksikan sebab-sebab turun (asbâb al-nuzûl) ayat.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), h.7-10, dan Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta: Tinta-mas, 1976), h. 24-26. 5
Fazlur Rahman, Mayor Themes of the Alquran, (MinneapolisChicago: Biblioteca Islamica, 1980), h. 68. 4
4| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Kajian terhadap aspek asbâb al-nuzûl dengan menggeneralisasikan respon-respon spesifik dan menyatakannya sebagai ungkap an-ungkapan yang memiliki tujuan moralsosial umum, yang dapat “disaring” dari ungkapan-ungkapan ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan dalam sinaran ratio-legis (illat) hukum yang sering dinyatakan. Alquran merupakan suatu kesatuan, sehingga setiap arti dari ayat tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koherensi dengan lainnya. Alquran sendiri mendakwakan secara pasti bahwa “ajarannya tidak mengandung kontra diksi, melainkan koheren secara totalitas”.6 Setelah Alquran, Sunnah adalah sumber kedua yurisprudensi Islam. Secara leksikal, Sunnah mengandung arti shawwara (mencipta) dan al-sîrah (perilaku kehidupan). Selain itu, Sunnah juga bisa berarti cara atau kebiasaan hidup (custom or habitual actions). Dengan demikian, Sunah dimaksudkan sebagai “tingkah laku yang merupakan teladan (exemplery counduct) baik berupa fi‘liyyah (doing: perbuatan), qauliyyah (saying: ucapan), maupun sukûtiyyah (unconducting: diam). Menurut Fazlur Rahman (intelektual Islam asal Pakistan), kurang tepat jika term Sunnah diartikan dalam konteks fi‘liyyah saja. Kepatuhan terhadap Sunnah (sifat normatif ) dalam tesa historis tidak merupakan bagian integral dari Sunnah, melainkan berasal dari otoritas di luar Sunnah, walaupun untuk menyempurnakannya, Sunnah tersebut perlu dipatuhi.7 Dalam konteks ini, Sunnah tidak diartikan sebagai “praktik normatif,” karena Sunnah yang berkembang pada masyarakat awal Muslim bukanlah Sunnah Nabi melainkan kebiasaan orang Arab pra-
Islam yang dimodifikasi Alquran. Dengan demikian, Hadis dengan Sunnah memiliki “diferensiasi” yang khas. Hadis secara orisinil berasal dari Nabi, bukan berasal dari Sunnah (praktik) yang hidup saat itu dan bersifat normatif.8 Dalam persepsi sebagian ahli Hadis (muhadditsîn), Sunnah sama dengan Hadis, tetapi pada hakekatnya ada perbedaan. Hadis ialah semua peristiwa yang disandarkan kepada Nabi, walaupun hanya sekali saja terjadi di sepanjang hayatnya, sedang kan Sunnah adalah ‘amaliyyah Nabi yang mutawâtir, lebih khusus dari segi maknanya. Sunnah mengalami evolusi historis menjadi Sunnah yang hidup dan selanjutnya di formalisir menjadi Hadis. Dalam perspektif mayoritas ahli ushûl fiqh, konsep Sunnah atau Hadis berkembang cukup bervariasi: Hadis mutâwatir, masyhûr, ahad, mawdhuî‘, dan lain-lain, dengan pelbagai peringkat kehujjahannya: shahîh, hasan, dha‘îf, dan lain-lain. Sunnah meskipun dari segi lafal penukilannya tidak mutawâtir yang me nyebabkan sanadnyapun menjadi tidak mutawâtir, namun karena pelaksanaannya mutawatir, maka tetap dinamakan Sunah. Kedudukan Sunnah selain sebagai bayân terhadap Alquran juga sebagai tasyrî‘ (legislasi Islam)9 dalam pelbagai persoalan. Otoritas bayân Sunnah Nabi antara lain dalam bentuk tafsîr al-mubhâm, tafshîl al-mujmâl, taqyîd al-muthlaq, takhshîsh al-‘âm.10 Semua bentuk bayân ini merupakan otoritas Sunnah sebagai tasyrî‘, yakni sebagai penetap hukum yang bersifat independen, dalam kasus-kasus yang Alquran tidak menetapkan hukumnya, 11 merupakan otoritas Nabi yang bersifat ekstra Alquran.12 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, h. 46. Konsep otoritas Sunnah dalam kajian ushûl fiqh dirumus kan dalam konteks istinbâth al-ahkâm. 10 Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthib, al-Sunah Qabla al-Tadwîn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1963), h. 23-26. 11 ‘Ajjâj al-Khâthib mengungkap contoh pada Sunnah Nabi yang melarang jual-beli buah-buahan yang masih muda dan belum tampak. Lihat: al-Sunah Qabla al-Tadwîn, h. 26. 12 Efrinaldi, Reaktualisasi Hukum Islam, h. 101 8 9
6 Fazlur Rahman, Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law, dalam “International Law and Politics”, (vol. 12, 1972,), 221-222. 7 Fazlur Rahman, Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law, dalam “International Law and Politics”, (vol. 12, 1972,), 221-222.
Efrinaldi: Dekonstruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia |5
Sunnah Nabi secara otoritatif lebih cenderung sebagai konsep perilaku, yang jika dipandang dari sisi Alquran, Sunnah merupakan upaya operasional, karena itu lebih mencerminkan muatan situasional pada zamannya, kecuali yang menyangkut aspek religiositas dan moral Islam.13 Sifat otoritas Sunnah Nabi, seiring dengan ungkapanungkapan legal spesifik Alquran, yang seyogyanya pemikiran-pemikiran seputar ini makin dikembangkan agar situasi dan kondisi baru dapat tercakup ke dalamnya. Dalam konteks ketetapan legal spesifik Alquran, kedudukan Sunnah Nabi merupakan model atau pola aplikasinya. Sedang ketetapan legal spesifik Alquran merupakan penjabaran dari prinsip-prinsip umum Alquran. Perlu ada nuansa baru dalam reinterpretasi terhadap Alquran dan Sunnah, sebagai ultimate goal Islam progresif, sehingga lebih adaptatif dengan dinamika dan mobilitas sosial. Dekonstruksi Hukum Islam: Paradigma Progresif Fleksibelitas perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia sangat relevan dengan memperkenalkan etos progresivisme dalam dinamika dan kristalisasi hukum Islam. Implikasi dari corak pemikiran progresif ini adalah pembebasan manusia dari halhal yang bersifat mitologis, pasif maupun agresif-konservatif. Atas dasar etos progresif ini, diakui kapasitas manusia yang memiliki segenap kebebasan (free will, free act). Dalam gagasan pembaruan pemikiran Hukum Islam di Indonesia, secara substantif, ada pembedaan pokok antara ajaran Islam yang bersifat qath‘î (yang absolut) dan zhannî (yang relatif ). Distingsi antara qath‘î dengan zhannî sangat ditekankan, karena 13 Sebagai ilustrasi teoritis dari hal ini, misalnya, ketetapan Sunnah Nabi atas objek harta wajib zakat, atau Sunnah Nabi ketika harus mengambil keputusan meringkas dan menjamak (qahshar dan jama’) salat dalam suatu jarak safar (perjalanan), berkaitan erat dengan setting sosial masyarakat Arab pada masa itu. Telaah dalam Fazlur Rahman, Islamic Methodology ini History, h. 51.
dalam hal inilah ruang untuk berijtihad lebih terbuka. Ditinjau isi kandungan Alquran, se benarnya Alquran tidaklah mengandung segala-galanya. Dalam Q.s. al-Maidah [5]: 3, dikatakan bahwa Allah telah menyem purnakan agama, bukanlah di m aksud kan Alquran telah lengkap dengan segala ilmu pengetahuan, teknologi dan sistem kehidupan masyarakat dalam segala seginya. Konotasi ayat tersebut khusus dalam pe nyempurnaan dasar agama dan batasan halal dan haram. Dalam Alquran terdapat 6236 ayat, hanya ada 650 ayat yang berisi tentang iman dan ibadah; 500 ayat tentang kehidupan masyarakat; 150 ayat tentang ilmu pengetahuan. Dari sekitar 650 ayat itu, tidak semuanya bersifat jelas, tanpa perlu penafsiran. Meskipun secara keseluruhan Alquran bersifat qath‘î al-wurûdh (absolut dari Allah), tetapi ada pengklasifikasian kepada ayat-ayat yang jelas, absolut dan satu artinya (qath‘î al-dilâlah) dan ayat yang bisa mengandung pelbagai pengertian (zhannî al-dilâlah). Klasifikasi ayat-ayat yang terakhir ini, yang menimbulkan pelbagai mazhab dan aliran dalam Islam. Pembedaan ini, menuntut sikap toleran dalam menerima pluralitas aliran pemikiran keagamaan. Porsi ini merupakan kavling penafsiran sekaligus ruang ijtihad, dengan pemfungsian rasio secara optimal. Langkah dan strategi dekonstruktif dapat dilakukan dengan dua hal. Pertama, pola pemikiran Islam yang telah melahirkan formulasi tradisi keilmuan Islam harus ditelaah ulang (re-reading) secara benar sebagai upaya membongkar (dekonstruksi) sistem pemikiran (episteme) yang dominan dalam suatu tahap sejarah tertentu. Ha ini disebut dengan prosedur regresif. Kedua, karena teks yang diderivasi oleh tradisi tersebut kini masih aktif sebagai sistem pengetahuan, maka diupayakan adanya transformasi muatan-muatan dan fungsi awalnya kepada sesuatu yang baru.
6| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Dalam hal ini disebut prosedur progresif.14 Strukturalisme dan post-strukturalisme sebagai sebuah pendekatan kemudian di gunakan untuk membongkar keterkaitan antara ”bahasa-pemikiran-sejarah” dalam setiap konsepsi keilmuan Islam. Hal ini dilakukan untuk menyadarkan umat Islam yang telah melakukan distorsi atas realitas ontologismetafisis-substansial sendiri. Akibatnya, terjadi percampuran antara Islam sebagai agama dengan Islam sebagai kerangka historis. Atas dasar ini, kemudian dibedakan dua dimensi Islam, yaitu substansi keagamaan yang bersifat universal dan unsur tambahan dari realitas sosial yang dimasukkan atas nama Islam. Dalam kaitannya dengan epistemologi hukum Islam dekonstruksi akan menimbul kan beberapa implikasi. Pertama, dekon struksi epistemologi hukum Islam akan membangkitkan pola diskursus mengenai formulasi epistemologi hukum Islam yang selama periode klasik-skolastik bahkan hingga ini diabaikan, seperti epistemologi hukum Islam di kalangan Syi’ah dan Khawarij. Dengan demikian, dekonstruksi ini akan melahirkan pemahaman baru terhadap epistemologi hukum Islam sesuai dengan perkembangan historis-sosiologis masyarakat Muslim. Terbukti epistemologi hukum Islam klasik-skolastik sendiri selalu terkait dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik atau episteme periode formatif yang tidak lepas pertempuran-pertempuran idiologi saat itu. Kedua, dekonstruksi epistemologi hukum Islam akan melahirkan perubahan struktur hirarkhis formulasi sumber hukum Islam klasik. Perubahan struktur hirarkis ini disebabkan adanya perubahan alat analisis yang digunakan dengan dimasukkannya alat analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang berkembang pada abad 20-an, semisal 14 Ilyas Supena & M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gaya Media, 2002), h. 18.
sosiologi, sejarah, dan linguistik. Alat analisis inilah yang cukup memadai untuk memahami Islam saat sekarang yang hidup di tengah-tengah tantangan dunia modern. Ketiga, dengan bergesernya struktur hirarkhis formulasi epistemologi hukum Islam ini dan diperkenalkannya ilmu-ilmu sosial dan humaniora, maka dimungkin kan akan muncul logika pluralisme dalam pola pikir umat Islam, sehingga pelbagai dikotomi dalam pemikiran hukum Islam klasik yang memandang segala hal atas dasar hitam-putih, halal-haram, sah-tidak sah, dan sebagainya akan diganti dengan keanekaragaman pemikiran hukum Islam secara lebih terbuka. Hal ini disebabkan karena dekonstruksi itu sendiri berusaha menempatkan pelbagai diskursus dan in te r pretasi berada dalam posisi historis, sosiologis, dan epistemologis yang semestinya mengingat sistem aksiologis (value system) sangat terkait dengan kondisi kesejarahan tertentu. Keempat, dengan adanya logika pluralisme ini maka dimungkinkan me ngurangi atau bahkan menghilangkan fenomena dogmatisme dan ortodoksisme dalam pemikiran hukum Islam, baik di kalangan Sunni, Syi’ah, maupun Khawarij. Dalam hubungan ini dengan wacana Islam progresif, epistemologi fikih merupakan tema penting yang menarik untuk dikaji lebih spesifik mengingat pola pikir fiqh-oriented telah “menyejarah” dan hampir dominan di semua negara Muslim. Ada dua alasan mengapa fikih begitu dominan. Pertama, Islam mempunyai ajaran yang menuntut tindakan praktis berkenaan dengan norma perilaku dan aturan peribadatan yang secara lahiriah harus bisa diukur. Kedua, kebutuhan ulama dan umara dalam mengendalikan atau membimbing umat Islam dalam perilaku sosial dan politik. Dominasi pola pikir fiqh-oriented ini kemudian menjadi salah satu unsur kelemahan umat Islam dalam memahami masalah berpindahnya “agama
Efrinaldi: Dekonstruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia |7
yang benar” kepada “ortodoksi idiologi”. Atas dasar ini, sangat disesalkan lahirnya pembakuan dan pembukuan ajaran agama yang dianggap standar sehingga menyebabkan lahirnya kejumudan atau reifikasi ajaran Islam. Reformasi hukum Islam dewasa ini semakin signifikan sehingga lebih akomodatif dengan dinamika perubahan sosial. Dalam konteks ini untuk mengeksplorasi kajian terhadap hukum Islam digunakan sistem berfikir eklektif. Suatu dalil yang di prioritaskan, mengacu pada dalil mana yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dan didukung oleh dalil yang kuat yang selaras dengan perkembangan masyarakat. Metode analogi deduksi ini memuat kebebasan berijtihad amat penting dalam menganalisis masalah-masalah yang tidak diperintah dan tidak pula dilarang (mubah) yang belum ada ketetapan hukumnya. Selain itu, metode komparasi juga dipaparkan ter utama terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapan hukumnya, berupa produk ijtihad fuqahâ’ terdahulu, baik dari kalangan Sunni maupun Syi’ah atau Khawarij. Metode komparasi yakni suatu metode dengan mem bandingkan (muqâranah) antara satu pendapat dengan pendapat lain dari pelbagai latar aliran hukum, dan memilih yang paling baik dan lebih mendekati kebenaran serta didukung oleh dalil yang kuat (tarjîh). Metode komparatif itu kemudian lebih dikembangkan lagi dalam wacana pluralisme. Perbandingan kajian antara fikih dengan hukum adat dan hukum positif di Indonesia, serta dengan syariat-syariat agama lain, seperti dengan Yahudi, Nasrani, hukum Romawi (Barat). Wawasan yang luas dalam ilmu fikih sangat diperlukan untuk melakukan analisis perbandingan. Kajian perbandingan antara pelbagai mazhab, untuk melacak materi hukum yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat secara luas. Atas dasar itu, fanatisme mazhab merupakan suatu hal yang tidak logis lagi.
Dalam perspektif ilmu fikih, metode komparasi ini disebut dengan fiqh al-muqâran. Ini dirumuskan sebagai suatu ilmu yang mengkaji hukum syara’ dengan memaparkan pendapat-pendapat yang beragam terhadap suatu masalah dan dalil yang digunakan, antara kaidah-kaidah, membanding yang satu dengan yang lain, kemudian mengambil yang paling baik dan lebih dekat kepada kebenaran serta membandingkannya dengan peraturan yang berlaku dalam suatu negeri.15 Dengan metode komparasi terpadu, masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum dapat dikemukakan teori dan ke rangka dasarnya untuk menyorot apa yang telah dikemukakan fuqahâ’ terdahulu. Dengan metode ini, elastisitas hukum Islam (fikih) dapat makin tumbuh dan berkembang tanpa melepaskan diri dari apa yang telah dirumuskan fukaha’. Fikih akan selaras dengan perkembangan masyarakat modern. Fiqh yang adaptatif dan akomodatif dengan dinamika perkembangan masyarakat. Takhrîj, tahqiq, dan tarjîh merupakan hasil studi banding, yang berupa produk ijtihad. Ijtihad adalah dinamisator bagi eksisnya fikih. 16 Penggunaan metode komparasi ini akan memudahkan dalam perumusan kompilasi atau kemudian kodifikasi hukum Islam. Dengan mengkaji fikih secara komparatif akan memungkinkan memilih ketetapan hukum yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia.17 Dengan ini kelihatan jelas dalam mengkaji fikih sarat dengan pendekatan sosio-kultural dan sosio-historis dengan tetap mengacu pada dalil-dalil nas. Penetapan hukum oleh para fukaha’ terdahulu, dalam analisis sejarah per tumbuhan dan perkembangan tasyrî’, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan sosioM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 91. 16 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Perbandingan Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 37-40. 17 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam, Mempunai Daya Elastis, Lengkap, Bulat, dan Tuntas (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 39. 15
8| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 kultural. Dengan pendekatan sejarah (dirâsah târikhiyyah) dapat diketahui metode fukaha’ dalam menggali hukum, situasi dan kondisi yang mempengaruhi, serta maksud mendasar dari penetapan hukum (istinbâth). Dalam menelaah fikih warisan fuqahâ’, digunakan juga pendekatan târikhiyah ini, apalagi umumnya, para ahli fikih menetapkan hukum berdasarkan ‘illat. Selain itu, dalam menghadapi per kem b angan fikih di masa mendatang, pendekatan dirâsah waqî’ah (pendekatan sosio-kultural) juga amat penting. Dirâsah wâqî‘ah ini dimaksudkan adalah ilmu hukum kemasyarakatan.18 Dalam konteks reformasi hukum Islam, dua model pendekatan ini sangat penting. Dirâsah târikhiyyah dan dirâsah waqî’ah perlu dikombinasikan sebagai acuan metodologis dalam penataan kembali hukum Islam yang lebih adaptatif dengan dinamika per kembangan dan perubahan sosial. Dengan demikian, fikih bisa berubah sesuai situasi dan kondisi yang terjadi, dengan memperhatikan kemaslahatan masyarakat secara umum. Reformasi pemikiran hukum Islam tersebut harus selalu berpijak pada nas. Makna esensial dari pembaruan itu sendiri bukan berarti meninggalkan nas. Dalam hal ini, pembaruan itu dengan memperbarui barang lama yang telah usang dengan mengembalikannya seperti keadaan semula. Pembaruan hukum dilakukan dengan me ngembalikan pada muatan prinsip dan asasasas hukum, bukan dengan merombak atau menghancurkan sendi-sendi hukum. Pembaruan dilakukan dalam lapangan yang menjadi garapan ijtihad. Lapangan tersebut adalah masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang memerlukan pe netapan hukum yang prinsip-prinsip umum nya (mabâdi ‘ammah) telah ada dalam syariat, prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum
yang terinci mengenai masalah atau perkara yang mubah.19 Pembaruan hukum Islam malah tidak dapat dilakukan, jika sikap skeptis dan jumud masih melanda para ulama dan umat Islam. Sebaliknya, sikap progresif dan dinamis amat penting, tetapi sikap hati-hati tetap merupakan keharusan, di samping mempunyai otoritas yurisprudensi, sehingga sangat probabilitas untuk ber-istinbâth dan ber-istidlâl dalam merepresentasi makna substantif syara’. Signifikasi Ijtihad dalam Dinamisasi Hukum Islam Progresif Ijtihad merupakan suatu metode dalam penggalian makna dan materi hukum dengan kemaslahatan sebagai tujuannya. Dalam konteks sekarang, ijtihad dapat berarti sebagai kerja progresif untuk memperbarui aturan-aturan yang terkandung dalam teks Alquran atau Sunnah agar keduanya mampu mencakupi situasi dan kondisi baru dengan memberikan suatu solusi (aturan hukum) yang baru pula.20 Sudah merupakan suatu keniscayaan untuk menggali hukum terhadap peristiwaperistiwa hukum dalam pelbagai bidang, terutama yang menyangkut porsi dalildalil yang dzannî secara maksimalis, yang belum ada penetapan hukumnya berdasar nas. Fuqahâ’ kontemporer seyogyanya me reformulasi konsepsi fikih yang up to date yang akomodatif dengan perkembang an situasi dan kondisi dalam kehidupan masyarakat modern. Problematika hidup masyarakat memang makin beragam. Terhadap masalah yang berkenaan dengan hukum yang belum ada penetapan hukumnya, tidak ada jalan lain kecuali berijtihad. Ijtihad merupakan suatu M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam, H. 38. Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of Intellectual Traditions, (Chicago: Chicago University Press, 1982), h. 8. 19 20
18
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam, h. 158-159.
Efrinaldi: Dekonstruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia |9
tugas mulia sebagai upaya memberikan solusi alternatif dari pelbagai masalah hukum yang makin kompleks. Fleksibelitas struktur fundamental hukum Islam secara praksis kadangkala tidak diimbangi dengan produktifitas pemahaman substantif melalui metode ijtihad. Implikasinya, tradisi ilmu-ilmu keislaman, khususnya hukum Islam, terutama pasca abad 10 M cenderung legalformalistik dan stagnan. Asumsi bahwa fikih yang ada telah memuat pokok-pokok hukum Ilahi (syarî‘ah), telah menghambat interpretasi substantif ijtihad tersebut, lalu tradisi taqlîd menjadi tumbuh subur.21 Situasi ini menjadi semakin parah ketika teks-teks interpretatif hukum Islam dijadikan teks otoritatif. Padahal tidak jarang, teks tersebut hanya merupakan komentar (syarh) atau bahkan mungkin komentar atas komentar (hâsyiyah) sehingga teks pertama justru menjadi hilang. Pada gilirannya, rumusan hukum Islam kehilangan relevansinya dengan realitas kehidupan praktis. Pembaruan limitasi dan ruang lingkup ijtihad juga sangat perlu direkonstruksi. Dalam dinamika historisitas Islam, ijtihad sebagai media dinamisasi hukum Islam sangat progresif, bebas tanpa adanya aturan formal yang mengikutinya. Namun, dalam perkembangannya ulama ushûl fiqh membuat aturan-aturan yang diantaranya berupa pembatasan (limitation) ruang lingkup dan syarat-syarat ijtihad. Ulama Ushûl selanjutnya membuat pemilahan antara hukum-hukum yang menjadi wilayah ijtihad dan tidak menjadi kavling ijtihad. Secara garis besar, wilayah ijtihad ini meliputi dua hal: pertama, hukum-hukum yang tidak ada petunjuk nashnya sama sekali; dan kedua, hukum-hukum yang ditunjuk oleh nash zhanni. Sedangkan hukum-hukum yang telah ditunjuk dengan qath‘î dilalah tak ada sedikitpun peluang bagi ijtihad. Diakui atau tidak pembuatan limitasi 21 John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality?, terj. Alwiyah Abdurrahman, (Bandung: Mizan, 1994), h.46.
ijtihad tersebut ternyata dalam dinamika historisitas Islam membawa dampak ter hadap perkembangan pemikiran hukum Islam. Dibatasinya ijtihad dengan tidak boleh menyentuh nas qath‘î dalalah telah menyebabkan pembaruan hukum Islam bersifat parsial ad hoc. Karena untuk me wujudkan pembaruan secara universal di perlukan adanya pemberian ruang gerak ijtihad seluas-luasnya, termasuk yang qath‘î dalalah sekalipun. Implikasinya, rumusan syarat-syarat ijtihad harus fleksibel, elastis, dinamis, sesuai dengan kebutuhan mujtahid. Pembaruan pemikiran Islam tidak dapat dilakukan, jika sikap skeptis dan jumud masih melanda para ulama dan umat Islam. Sebaliknya, sikap progresif dan dinamis amat penting, tetapi sikap hatihati tetap merupakan suatu keharusan, selain mempunyai otoritas yurisprudensi, sangat probabilitas untuk beristinbâth dan beristidlâl dalam merepresentasi makna substantif syara’. Dalam ijtihad, teks Alquran dan preseden (Sunah) dapat dipahami untuk di g eneralisasikan sebagai prinsip-prinsip dan bahwa prinsip-prinsip tersebut lalu dapat dirumuskan menjadi aturan-aturan yang baru. Dalam mekanisme kerja ijtihad meliputi pemahaman teks dan preseden dalam keutuhan konteksnya di masa lampau, pemahaman situasi baru yang sedang terjadi sekarang, dan pengubahan aturan-aturan hukum yang terkandung di dalam teks atau preseden. Reformulasi konsepsi ijtihad ini difungsikan sebagai upaya pembaruan hukum Islam, demikian juga sebagai upaya men jawab tantangan situasi baru dalam konteks keindonesiaan. Ijtihad adalah satu-satunya cara untuk mengantisipasi perubahan sehingga nilainilai Islam dapat akomodatif dengan per kembangan masyarakat. Meskipun demikian, ijma’, qiyas, istihsan, ‘urf, dan istishhâb tetap ditempatkan dalam dua posisi yang berbeda. Di satu pihak, dalil hukum ini bersama
10| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Alquran dan Hadis sebagai sumber ijtihad, yang karenanya juga merupakan mashadir al-ahkam. Namun pada sisi lain, dalil hukum tersebut juga sebagai metode ijtihad (thurûq al-istinbâth al-masâlik). Dengan metode double ini kemudian direformulasikan fikih yang mengindonesia. Dalam aspek metodologis, dikemukakan metode perbandingan mazhab (muqâranah al-madzâhib). Metode komparatif ini, dalam kerangka kontekstualisasi pemikiran fiqh di Indonesia, digunakan kalau memang problematika yang dihadapi masyarakat sudah ada pemecahannya dalam mazhabmazhab tersebut, baik mazhab Sunni maupun non-Sunni, sejauh pengunaannya masih relevan dengan perkembangan dan perubahan sosial dalam masyarakat. Apabila problematika makin kompleks, sedangkan solusinya belum dirumuskan oleh para fuqaha’ terdahulu, dilihat pada ijtihâd bi al-ra’yi, yakni menentukan hukum berdasarkan pada maslahat, kaidah-kaidah kuliah, dan ‘illat hukum. Pada tataran implementatif, metode yang dipakai meliputi: qiyas, istihsan, istishlâh, ‘urf, dan istishâb. Metode-metode ini diaplikasikan selaras dengan kaidah-kaidah fiqh yang relevan. Pengambilan keputusan hukum secara materia dan forma diambil melalui ijtihad jama’i (ijtihad kolektif ) atau ijma’ (konsensus). Dalam konteks legislasi, dengan acuan pada Alquran, Sunah, atau ra’yu, ditempuh melalui konsultasi atas perintah kepala negara, bukan ijtihad fardi. Kristalisasi hasil ijtihad menjadi ijma’ tersebut dan kemudian kebijakan taqnin (penetapan hukum Islam menjadi undang-undang) merupakan upaya sosialisasi hasil ijtihad. Pola ijtihad yang ditempuh secara kolektif ini, atau lebih dikenal dengan sebutan ijtihad jama’i, karena dalam ijtihad ini akan menawarkan lebih banyak pilihan atau alternatif yang bersifat kualitatif. Sedangkan kalau semata diandalkan ijtihad fardi akan melahirkan banyak silang pendapat. Secara
rasional, pandangan kolektif tentu akan lebih baik dari pandangan yang bersifat personal. Untuk membumikan ijtihad kolektif, betapa signifikannya pendirian lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd. Lembaga ini ditopang oleh dua sub lembaga. Pertama, hai’ah siyâsah (lembaga politik). Anggota-anggota lembaga ini terdiri dari orang-orang yang dipilih oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Kategori kapabilitas dalam konteks ini, mereka tidak mesti memenuhi persyaratan mujtahid, tetapi cukup menguasai bidang yang diwakilinya. Kedua, hai’ah tasyrî’iyah (lembaga legislatif ). Lembaga ini mencakup komponen ahl al-ijtihâd dan ahl al-ikhtishâs secara signifikan. Konfigurasi Politik bagi Revitalisasi: Hukum Islam di Indonesia Keberagaman mazhab fikih, juga dalam teologi dan filsafat Islam menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam itu multiinterpretatif. 22 Watak multiinterpretatif ini telah berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam dalam sejarah. Selebihnya, hal yang demikian itu juga mengisyaratkan keharusan pluralisme dalam tradisi Islam. Karena itu, sebagaimana dikatakan oleh banyak pihak, Islam tidak bisa dan tidak seharusnya dilihat secara monolitik. Politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang multi interpretatif semacam ini. Pada sisi lain, hampir setiap orang Islam percaya akan pentingnya prinsipprinsip Islam dalam kehidupan politik. Pada saat yang sama, karena sifat Islam yang multiinterpretatif itu, tidak pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam dan politik dikaitkan secara pas. Bahkan, sejauh anggapan yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus Telaah historis-sosiologis yang panjang mengenai hal ini dapat ditemukan dibeberapa buku, antara lain dalam Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World of Civilization, Volume I-III, (Chicago: U niversity of Chicago Press, 1974), h. 56. 22
Efrinaldi: Dekonstruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia |11
intelektual dan historisitas pemikiran dan praktik politik Islam, ada banyak pendapat yang berbeda mengenai hubungan Islam dan politik.23 Secara garis besar, dewasa ini ada be berapa spektrum pemikiran politik Islam yang berbeda. Sementara sama-sama meng akui pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan, keduanya mempunyai penafsiran yang jauh berbeda atas ajaran-ajaran Islam dan kesesuaiannya dengan kehidupan modern dan aplikasinya dalam kehidupan nyata. Pada ujung satu spektrum, beberapa kalangan Islam beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa syariah harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummat yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan; dan bahwa sementara mengakui prinsip syûrâ (musyawarah), aplikasi prinsip itu berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern dewasa ini. Dengan kata lain, dalam konteks pandangan semacam ini, sistem politik modern, di mana banyak negara Islam yang baru merdeka telah mendasarkan bangunan politiknya, diletakkan dalam posisi yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam. Pada ujung spektrum yang lain, beberapa kalangan Islam lainnya berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara atau sistem politik yang harus dijalankan oleh umatnya. Menurut aliran pemikiran ini, bahkan istilah negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan dalam Alquran. Meskipun “terdapat pelbagai ungkapan dalam Alquran yang merujuk Lihat Erwin I.J. Rosenthal, Islam in the Modren National State, (Cambridge: Cambridge University Press,1965), W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960), Qamaruddin Khan, Political Concepts in the Quran, (Lahore: Islamic Book Foundation, 1982), Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam, (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1961). 23
atau seolah-olah merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapanungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik”. Bagi mereka, jelas bahwa “Alquran bukanlah buku tentang ilmu politik.” Meski demikian, pendapat ini juga mengakui bahwa Alquran mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang “keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan.” Untuk itu, bagi kalangan yang berpendapat demikian, sepanjang negara berpegang kepada prinsipprinsip seperti itu, maka mekanisme yang diterapkannya adalah sesuai dengan ajaranajaran Islam. Selain kategori general di atas, ada sementara kalangan yang menilai bahwa di Indonesia ada beberapa mainstream (arus utama) pemikiran politik Islam. Arus utama ini dimaksudkan sebagai kategori analitik, karena itu tidak terlalu menunjukkan per bedaan absolut antara ide-ide dan orientasiorientasi dalam kerangkanya. Arus pertama dapat disebut formalistik/ skripturalistik. Istilah ini dimaksudkan untuk mengacu pada bentuk pemikiran mereka yang mempertahankan pelaksanaan yang ketat dari bentuk-bentuk Islam yang formal. Orientasi politik formalistik di satu pihak menunjukkan bahwa kulturalisasi Islam harus ditransformasikan ke dalam politisasi, yang kemudian memunculkan simbolisme Islam. Pemeliharaan secara formalis atas otentisitas bahasa wahyu bukan saja menunjukkan ikatan yang kuat pada skripturalisme-tradisionalis, di samping mempertahankan kecenderungan fundamentalis untuk menekankan konsep skriptural Islam, walaupun tanpa dibarengi kesesuaian dengan bentuk-bentuk lembaga dan ide-ide modern. Formalisme Islam nampak menggabung kan penafsiran literal atas kitab suci. Sama-sama menekankan skripturalisme
12| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 tradisional di satu pihak, dan pihak lain menekankan kecenderungan fundamentalis yang menekankan konsep skriptural Islam, walaupun bukan dalam pengertian konsepkonsep syariah dapat dipahami secara tradisional. Namun demikian, tidak sesuai dengan bentuk-bentuk dari ide-ide dan lembaga-lembaga modern. Beberapa unsur dari formalisme Islam moderat terlihat misalnya dalam ide-ide intelektual universalis. Pengelompokkan ini memasukkan Amien Rais ke dalam kelompok universalis. Di samping Amien, Jalaluddin Rahmat dan AM Saefuddin termasuk ke dalamnya. Universalisme Islam mendukung pan dangan bahwa hakikat Islam adalah universal dan menyeluruh. Pemikir-pemikir universal cenderung menekankan kedaulatan Ilahi dalam prinsip tauhid yang menurut mereka membantu membebaskan manusia dari ke kuasaan-kekuasaan non-Ilahi. Untuk mem buat Islam bagi kekuatan pembebas, kaum universalis melihat perlunya Islam yang di lembagakan. Menekankan keniscayaan adanya lembaga-lembaga sebagai badan formal untuk melaksanakan prinsip-prinsip Islam merupakan sifat dasar dari formalisme Islam. Selain itu, ada pula arus yang cenderung menekankan pentingnya tingkat makna substansial tertentu sambil menolak bentukbentuk pemikiran formalistik. Karena itu, arus ini dapat disebut substantivistik. Istilah ini dimasudkan untuk menunjukkan orientasi politik mereka yang menekankan tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai Islam dalam aktifitas politik, bukan sekedar manifestasinya yang formal, baik dalam ide-ide maupun kelembagaannya. Bagi pendukung orientasi ini, yang lebih penting adalah eksistensi intrinsik ajaran-ajaran Islam dalam arena politik Indonesia, dan untuk mendorong Islamisasi perlu dilakukan kulturalisasi, yaitu penyiapan landasan budaya, menuju terwujudnya masyarakat Indonesia modern.
Gagasan-gagasan bagi penekanan Islamisasi budaya telah diperjuangkan oleh mereka yang dikenal sebagai pemikir-pemikir indigenis (pemikir yang menekankan penting nya memperhatikan unsur-unsur pribumi atau lokal dalam memahami Islam), yang telah berupaya memperhatikan cita-cita Islam bagi budaya nasional Indonesia, yang membedakan secara jelas antara Islam dan negara. Salah seorang pencetus indigenisme adalah Abdurrahman Wahid, tokoh NU, yang ketika pada awal tahun 80-an terkenal karena gagasannya tentang “pribumisasi Islam” dalam menghadapi kultur Indonesia. Ide ini didasarkan pada postulat plural isme masyarakat Indonesia, di mana Islam hanya berfungsi sebagai salah satu faktor komplementer bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dalam hubungan ini penting bagi umat Islam mengembangkan kesadaran kebangsaan. Karena menurutnya, atas dasar kesadaran ini negara Indonesia didirikan. Arus utama lainnya dewasa ini adalah Islam Liberal. Istilah Islam Liberal pertama kali dikemukakan oleh Asaf Ali Asghar Fyzee (India, 1899-1981). Inti utama dari pemikiran Islam Liberal, menurut hasil penelitian Leonard Binder, Alquran adalah bahasa wahyu namun demikian makna dan esensi wahyu bukanlah hal yang bersifat verbal. Sehingga untuk mendapatkan makna wahyu tidak terbatas pada kata-kata yang terungkap dalam Alquran dan untuk me mahaminya melalui usaha yang didasarkan kata-kata, tetapi penafsirannya dapat me lampauinya sehingga menemukan arti sebenarnya. Maraknya gagasan Islam Liberal di Indonesia yang menurut Fauzan al-Anshari merupakan kelanjutan petualangan pemikiran Nurcholis Madjid24 sebagai alternatif wacana Islam, merupakan konsekwensi penolakan terhadap politisasi agama, seiring dengan 24 Fauzan al-Anshary, Koreksi atas Tafsir Liberal Syari’at Islam, Republika, 31 Agustus 2001.
Efrinaldi: Dekonstruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia |13
berkembangnya gerakan Islam “militan” dan politisasi agama. Penegakan syariat Islam, misalnya, kasus penerapan hukum rajam pada anggota Laskar Jihad yang di lakukan oleh kelompok itu sendiri me rupakan indikasi menguatnya gerakan Islam militan25, dan adanya keinginan untuk me masukkan syariat Islam ke dalam UUD dalam proses amandemen UUD 1945. Kehadiran Islam Liberal juga merupakan protes dan perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks. Dalam hubungan Islam dan negara, bagi Islam Liberal urusan negara adalah semata-mata urusan duniawi manusia. Tak ada ketentuan atau kewajiban dari ajaran Islam secara spesifik tentang bentuk pemerintahan manusia.26 Argumen lainnya adalah Nabi tak pernah menyatakan secara tegas bahwa sebuah sistem pemerintahan haruslah memiliki pola politik tertentu. Hubungan Islam dan negara menurut pandangan ini adalah bahwa Islam tidak secara jelas mengungkap masalah konsep negara, dan urusan negara adalah urusan duniawi serta tidak diatur oleh agama. Berkaitan dengan hal ini, kelompok Islam Literal jelas keberatan dengan pandangan ini. Kelompok Islam Liberal ditandaskan tidak melihat realitas sejarah. Dalam pandangan Islam Literal, sejak berdirinya negara Madinah yang memiliki konstitusi tertulis pertama di dunia (piagam Madinah), Nabi Muhammad Saw. sudah bertindak sebagai kepala negara, yang selain mengangkat pejabat-pejabat negara juga menjalankan hukum-hukum (syariat) Islam terhadap seluruh warga negara. Realitas di Indonesia juga begitu banyak syari’at Islam yang sudah diatur oleh negara, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pokok Perbankan, UU Zakat, UU Haji, dan sebagainya. Begitu
Gatra, No.24, April 2001. Luthfi al-Syaukani, Wajah Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: JIL, 2002), h. 43. 25 26
pula kemunculan gerakan-gerakan militan Islam di Indonesia, seperti Laskar Jihad, FPI, dan Hizbut Tahrir yang menguat, bisa dimaknai sebagai partisipasi mereka untuk terlibat merebut simpati publik. Dalam pandangan progresivisme, Islam memang tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara atau sistem politik yang harus dijalankan oleh umatnya. Bahkan istilah negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan dalam Alquran. Meskipun “terd apat pelbagai ungkapan dalam Alquran yang merujuk atau seolah-olah merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik”. Meski demikian, harus diakui bahwa Alquran mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial dan politik umat manusia. Mabâdi al-Siyâsy termaktub dalam nilainilai substansial Islam. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang “keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan.” Hukum Islam menjadi sumber dan kerangka dasar dalam dinamika politik. Kulturalisasi hukum Islam harus ditransformasikan ke dalam politisasi, yang dibarengi kesesuaian dengan bentuk-bentuk lembaga dan ide-ide modern. Orientasi politik dalam pandangan Islam progresif menekankan tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai hukum Islam dalam aktifitas politik, bukan sekedar manifestasinya yang formal, baik dalam ide-ide maupun kelembagaannya. Yang lebih penting adalah eksistensi intrinsik syariat Islam dalam arena politik Indonesia, dan untuk mendorong Islamisasi perlu dilakukan kulturalisasi, yaitu penyiapan landasan budaya, menuju terwujudnya masyarakat Islam Indonesia modern.
14| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Penutup Fleksibelitas perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia sangat relevan dengan memperkenalkan etos progresivisme (dekonstruksi hukum Islam) dalam dinamika dan kristalisasi hukum Islam. Implikasi dari corak pemikiran progresif dan dekonstruktif ini adalah pembebasan manusia dari halhal yang bersifat mitologis, pasif maupun agresif-konservatif, dengan mengacu pada hukum Islam yang elastis. Atas dasar etos progresivisme ini, diakui kapasitas manusia yang memiliki segenap kebebasan (free will, free act). Progressive menjadi entitas paling substantif dan menentukan bagi kebenaran sebuah proposisi Islam. Pemikiran hukum Islam progresif ini berupaya menemukan pengetahuan yang mengakar mengenai ilmu keislaman yang moderat dan adaptatif dengan perubahan sosial, untuk menghasilkan kepercayaan atau keimanan yang kuat, yang selanjutnya terimplementasikan dalam tingkah laku yang dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis dengan mengacu pada hukum Islam yang dekonstruktif-elastis atau amal yang aktif-progresif. Dalam paradigma hukum Islam progresif ini menjadi betulbetul progress dengan semangat kepeloporan, karena dalam progresivisme inklusif termuat sifat kritis, yang kritisismenya terlihat dalam tekanan yang kuat dalam membuat distingsi-distingsi, kategori-kategori, analisa, dan sebagainya dengan penghargaan yang besar pada peran rasio. Dengan demikian akan dapat ditampilkan hukum Islam yang aplikatif dalam realitas kehidupan seharihari, responsif terhadap dinamika perubahan dan kemajuan, tanpa perlu kemasan Islam mistis yang rumit, atau perwujudan yang terlalu simbolik, melainkan mewujud secara substantif. Pustaka Acuan Ahmad Khatib, Hasan, al-Fiqh al-Muqâran,
Al-Qâhirah: Mathba’ah Dâr el-Ta’lif, 1957. Ahmed, Akbar S. & Hastings Donnan, Islam, Globalization, and Postmodernity, London: Routledge, 1994. Asad, Muhammad, The Principles of State and Government in Islam, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1961. Anshori, al-, Abi Zakariya, Fath al-Wahhâb. Singapura: Sulaiman Mariy, t.t. Ayni, al-, Badr al-Dîn, Umdah al-Qâri Syarh Shahîh al-âri, vol. V. Constantinopel: Mathbaah al-Amirah, 1310 H. ‘Audah, Abdul Qadir, al-‘Amal al-Kâmilah, al-Qâhirah: al-Mukhtar al-Islâmy, 1994. Anshâry, al-, Fauzan, Koreksi atas Tafsir Liberal Syari’at Islam, Republika, 31 Agustus 2001. Begm, M.A.J, Social Mobility in Islamic Civilization, alih bahasa Adeng Mukhtar Al-Ghazali dan Thoriq A. Hinduan, Mobilitas Sosial dalam Peradaban Islam, Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo, 1987. Bello, Iysa A., The Medieval Islamic Controversy Between Philosophy and Orthodoxy, Ijma’ and Ta’wil in the Conflict Between AlGhazali and Ibn Rusyd, New York: E.J Brill, 1989. Benson, Purnell Handy, Religion in Contemporary Culture, New York: Harper and Brothers, 1960. Coulson, Noel J., Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence, Chicago: The University of Chicago Press, 1969. Deedat, Ahmed, Al-Alquran, The Miracle of Miracles, Durban: Islamic Propagation Centre International, 1991. Dârini, al-, Fath, al-Fiqh al-Islâmi al-Muqârin ma’a al-Madzâhib, Damaskus: Mathba’ah Tarbin, 1979.
Efrinaldi: Dekonstruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia |15
Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam, Mazhab Ciputat, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999. Efrinaldi, Reaktualisasi Hukum Islam, Suatu Kajian Metodologis dalam Pemikiran Fazlur Rahman, dalam Mimbar Hukum, No. 50 Thn. XII 2001. Jakarta: AlHikmah & DITBINBAPERA Islam Depag RI. Esposito, John L., The Islamic Threat: Myth or Reality?, terj. Alwiyah Abdurrahman, Bandung: Mizan, 1994. Fromm, Erich, Escape from Freedom. London: Routledge and Kegan Paul, 1942 Ghazâli, al-, Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad, al-Mustashfa Min ‘Ilmi alUshul. Beirut: Dar el-Fikr, 1991. Hâkim, Abdul Hamid, al-Mu’in al-Mubin, Jakarta: Bulan Bintang. 1976. Hodgson, Marshall G.S., The Venture of Islam: Conscience and History in a World of Civilization, Volume I-III, Chicago: U niversity of Chicago Press, 1974. Ibn al-Hummam, al-Kamal, Fath al-Qadir Syarh al-Hidayah, Bayrut: Dar al-Fikr, 1980. Ibn Hazm, al-Muhallâ, Bayrut: al-Maktab al-Tijâri li al-Thiba’ah wa al-Tawzî’, t.t. Jawad al-Mughniyah, Muhammad, al-Ahkâm al-Syakhsiya. Mesir: Dar al-Ilm li alMalayin, 1964 Jaziry, al-, ‘Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Qism alMu’amalah, al-Qâhirah: Istiqamah, 1970. Jurjâwi, al-, Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, al-Qâhirah: Mathba’ah al-Yusufiyah, 1931. Khâthib, al-, Muhammad ‘Ajjaj, al-Sunah Qabla al-Tadwîn, Mesir: Maktabah Wahbah, 1963. Khan, Qamaruddin, Political Concepts
in the Quran, Lahore: Islamic Book Foundation, 1982. Khallaf, ‘Abd al-Wahab, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Jakarta: al-Nasyr al-Majlis al-A’la alIndonesy I Dakwah al-Islâmiyah, 1392 H. Lewis, Bernard, The Political Language of Islam, London: The University of Chicago Press, 1988. Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987. Ibn Qudâmah, al-Mughnî, Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.t. Rosenthal, Erwin I.J., Islam in the Modren National State. Cambridge: Cambridge University Press,1965. Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Bayrut: Dâr al-Fikr, 1978. Rahman, Fazlur, Mayor Themes of the Alquran. Minneapolis-Chicago: Biblioteca Islamica, 1980. ____, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, C h i c a g o : Chicago University Press, 1980. ____, Islamic Methodology in History, Karachi: Institute of Islamic Research, 1965. ____, Mayor Themes of the Alquran, Minneapolis-Chicago: Biblioteca Islamica, 1980. ____, Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law, dalam “International Law and Politics”, (vol. 12, 1972,), 221-222. Salam, al-, Ibn Abd, ‘Izz al-Din, Qawâid al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm, Bayrut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t. Sarakhsi, al-, al-Mabsûth, vol. XII, alQâhirah: Mathba’ah Salafiyah, t.t. Supena, Ilyas & M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gaya Media, 2002.
16| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Syahawi, al-, Ibrahim Al-Suqy, Kitab alSyahawi fi Târîkh al-Tasyrî’ al-Islamy. al-Qâhirah: Syirkah al-Thiba’ah alFunniyah al-Muthahidah, 1969.
Shiddieqy, Ash-, M. Hasbi, Fiqh Islam, Mempunai Daya Elastis, Lengkap, Bulat, dan Tuntas, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Syahrastani, al-, Muhammad Ibn ‘Abd alKarim, Kitab al-Milal wa al-Nihal, alQâhirah: Dâr al-Ma’rifah, 1951.
Syaukani, al-, Luthfi, Wajah Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: JIL, 2002.
Syâthibi, al-, Abû Ishaq, al-Muwâfaqat fi Ushûl al-Syarî’ah, Jilid II, Bayrut: Dâr al-Fikr, 1973. Shiddieqy, Ash-, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Watt, W. Montgomery, Islamic Political Thought, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960. Woodward, Mark R. (ed.), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.