-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
MEMAHAMI KEMBALI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL REYOG PONOROGO DALAM INTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Uswatun Hasanah SMAN I Purwantoro
Abstrak Saat ini, pelajaran di sekolah hanya ditekankan pada ukuran ketercapaian kognitif sebagai standar utama penilaian, ketercapaian afektif pun hanya sekadar isapan jempol belaka. Pendidikan karakter yang saat ini begitu dielu-elukan untuk diimplementasikan dalam setiap mata pembelajaran, sebagian masih merupakan atribut kelengkapan penyusunan perangkat dan pemenuhan standar nilai yang harus dikumpulkan secara administratif. namun implementasinya belum terdengar jelas dan berdampak berkurangnya angka kriminalitas di kalangan pelajar. Alternatif berupa kesenian reyog sampai saat ini telah berkembang ke seluruh kota-kota besar di Indonesia, sehingga setiap tahunnya diadakan festival (tahunan) nasional kesenian Reyog. Terkait dengan melemahnya kondisi karakter bangsa sekarang ini karena diakibatkan maraknya korupsi dan berbagai tindak kekerasan, maka nilai-nilai kesenian. Dari aspek mistis seni reyog Ponorogo yang telah dinuansai dengan nilai-nilai hidup luhur. Dari aspek ontologism,, seni reyog Ponorogo bermaksud keluar dari kungkungan lingkungan. Aspek fungsional mengupayakan sikap yang relatif aktual dengan kenyataan modern.
Pendahuluan Sebuah kekhawatiran yang saat ini menyeruak di Indonesia, dan cukup mengganggu orang tua, guru, maupun dunia pendidikan adalah menurunnya nilai-nilai moral pada anak. Beberapa kasus yang setiap saat hadir di media massa, misalnya di televisi, koran, internet maupun media lain yang kerap mengganggu pikiran. Sebenarnya apa yang salah dengan pendidikan di negeri ini. Kurikulum sudah terus berganti, mulai dari KBK, KTSP, sekarang Kurikulum 2013, sarat dengan muatan budi pekerti. Tapi mengapa kasus pembunuhan antarteman (SD, SMP, SMA), kasus palak yang kerap terjadi di hampir setiap sekolah, bahkan pemerkosaan, hamil di usia sekolah, sering mewarnai jagat pendidikan. Perlu dipertanyakan ikhwal kesuksesan implementasi pendidikan karakter. Ketercapaian pemerolehan nilai dalam menjawab soal dan lulus dengan predikat memuaskan. Ketertiban berseragam dan jam masuk sekolah sebagai bentuk ketegasan yang hadir di permukaan. Seringkali guru lupa untuk memahami karakteristik siswa, yang pada akhirnya, hal itu berujung pada anggapan homogenitas karakter anak didiknya. Padahal aspek afektif yaitu menanamkan nilai-nilai pada anak didik sangat penting perananya utamanya anak usia 3 s.d 12 tahun.. Zuriah (2008: 76) pendidikan karakter selama ini banyak dimaknai secara tradisional, kini telah direkonstruksi sebagai mata pelajaran yang tidak berdiri sendiri, yakni menjadi bagian yang integral dari mata pelajaran yang lain. Didukung pendapat Mulyana (2004:130) mengatakan bahwa anak usia 8 s.d. 9 tahun masih berjibaku dengan dunia mitos. Anak mudah tersugesti dengan bermain dan bercerita. Mereka bahagia dengan objek yang berupa mainan yang justru melibatkan perasaan. Pada tahap inilah nilai moral merupakan perhatian utama yang membedakan antara hitam putih, baik buruk, benci sayang. Di lain sisi, kualitas pengajar sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia jenjang masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru, yang notabenenya guru terserti ikasi, ternyata mereka mayoritas tidak memiliki bahan ajar yang relevan dengan pembelajaran bahasa Indonesia. Penggunaan LKS maupun modul lokal masih mewarnai jagad guru Indonesia. Karen & Beth (2007:1) mengungkapkan, materi pelajaran merupakan bagian terpenting untuk mencapai kesuksesan pendidikan karakter. Pada kenyataannya mayoritas 627
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
guru masih mengajar dengan menganggap siswa adalah botol dengan ukuran yang sama, dan harus diisi dengan volume yang sama pada saat yang sama. Guru melupakan satu hal, mungkin siswa sudah pernah mendapatkan materi tersebut di kesempatan lain, baik dalam bentuk pengalaman langsung, membaca, menyimak, maupun cerita lisan. Boedhihartono (2009:3) sebagai catatan, perkembangan sosial (anak) perlu dibedakan antara sistem sosial yang bersahaja dari suatu masyarakat yang homogen dengan sistem masyarakat yang heterogen. Masyarakat homogen memiliki kesadaran tentang adanya ikatan kebersamaan secara mekanik (mechanical solidarity), sedangkan masyarakat yang heterogen mempraktikkan ikatan kebersamaan secara organik (organic solidarity), yakni setiap komponennya menjalankan fungsi yang berbeda, tetapi masing-masing komponen bekerjasama demi tercapainya satu tujuan bersama. Begitupun dengan dunia pendidikan. Masing-masing beda kebutuhannya, maka berikan yang diperlukan, perkaya keilmuannya, dan perbedaan itu justru menjadi satu keunikan yang dengan cara yang berbeda, akan mencapai tujuan yang sama. Edy Sedyowati (2009:5) mengungkapkan pada masa lalu, sistem pembelajaran formal di dunia dilakukan dengan sistem tatap muka antara generasi muda dengan generasi pendahulu. Akan tetapi pada masa kini kecanggihan elektronik mengubah budaya dari tatap muka yang intens kepada pemanfaatan media elektronik. Anak-anak lebih banyak menjalani alih budaya di depan layar televisi atau internet, daripada bersemuka seperti pembelajaran masa lalu. Tjahwid (2015) dalam makalahnya menuliskan warisan budaya tak benda ini ditransformasikan dari generasi ke generasi, merupakan tanggapan atas lingkungan mereka, interaksi mereka dengan alam serta sejarah kelompok atau komunitas mereka, yang akhirnya memberikan kepada mereka suatu rasa memiliki identitas dan keberlanjutan generasi. Contoh konkret warisan budaya tak benda ini: (1) tradisi dan ekspresi budaya lisan; (2) seni pertunjukan (musik, tari, teater dengan segala variannya); (3) adat istiadat, ritus dan acara tradisional yang bersifat “massa” dan “pesta”; (4) pengetahuan dan kebiasaan perilaku berkenaan dengan alam dan semesta; serta (5) teknologi tradisional yang memerlukan kemahiran khusus. Reyog diharapkan dapat dire leksikan untuk membangun karakter bangsa. Pemikiranpemikiran tentang nilai- nilai kesenian Reyog muncul saat Bathara Katong membangun masyarakat Ponorogo, dan menjadikan kesenian Reyog sebagai media mempersatukan masyarakat Ponorogo. Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu digali pendidikan karakter melalui warisan budaya lokal yang sudah mendarah daging pada suatu wilayah, maupun budaya lokal yang justru belum dipahami oleh sebuah komunitas. Hal ini seperti halnya dengan memberikan porsi yang berbeda pada siswa tentang pendidikan karakter budaya lokal, sesuai dengan tingkat kebutuhan. Dalam hal ini akan digali nilai-nilai karakter Reyog Ponorogo yang dapat diimplementasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pembahasan Gunawan (2012:55) berpendapat bahwa, budaya adalah sikap, sedangkan sumber sikap adalah kebudayaan. Agar kebudayaan dilandasi dengan sikap baik masyarakat perlu memadukan antara idealisme dengan realisme, yang pada hakikatnya merupakan perpaduan antara seni dan budaya. Ciri-ciri budaya masing-masing daerah tertentu (yang berbeda dengan daerah lain) merupakan sikap menghargai kebudayaan daerah sehingga menjadi keunggulan lokal. Menurut Kluckhohn dan Strodtbeck (Koentjaraningrat, 1990:78) konsepsi mengenai isi dari nilai budaya yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan menyangkut paling sedikit lima hal, yaitu 1) masalah human nature, atau makna hidup manusia; 2) masalah man nature, atau makna dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; 3) masalah time, atau persepsi manusia mengenai waktu; 4) masalah activity, atau soal makna dari pekerjaan, karya dan amal 628
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
perbuatan manusia, dan 5) masalah relational, atau hubungan manusia dengan sesama manusia. Kelima masalah tersebut sering disebut sebagai orientasi nilai budaya (value orientation). Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi. Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu: Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas), Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut, Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat) . Achmadi (2010) mengungkapkan, salah satu kesenian yang terkenal dan melegenda yaitu ke- senian Reyog Ponorogo merupakan sebuah seni budaya oleh UNESCO (United Nation Educational Scienti ic and Cultural Organization) ditetapkan sebagai salah satu seni pertunjukan asli. Kesenian tersebut secara umum termasuk salah satu kekayaan kebudayaan Jawa yang sarat dengan nilai-nilai adiluhung (keutamaan). Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yaitu metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode sejarah. Kata Reyog dulunya adalah ”Reyog”. Berasal dari kata ”riyet”atau kondisi bangunan yang hampir rubuh. Perubahan kata ”Reyog” menjadi ”Reog” dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah daerah. Kebijakan Pemda menghapuskan huruf “y” pada kata reyog ini didasarkan pada Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Depdiknas pada tahun 1983. Di dalam kamus itu, kata reyog ditulis dengan reog, bukan reyog. Belakangan kata reog ini dijadikan slogan kota oleh Pemda, yang berarti resik, omber, dan girang gumirang. Sementara itu, kalangan kanca reyog, terutama Embah Bikan dan (alm) Embah Mujab serta tersirat dalam Babad Ponorogo menjelaskan bahwa reyog itu mereprsentasikan makna teologis-kultural masyarakat Ponorogo yang masih bernama Wengker waktu itu. Reyog mereka maknai (R) rasa kidung, (E) engwang sukma adilihung, (Y) Yang Widhi, (O) olah kridaning Gusti, dan (G) gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Jabaran ini sekaligus mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang Pocung. Penggantian “Reyog” dengan “Reog” sebenarnya bermakna hampir sama. Jika “Reyog” berarti (r) rasa kidung, (e) engwang sukma adilihung, (y) Yang Widhi, (o) olah kridaning Gusti, dan (g) gelar gulung kersaning Kang Moho Kuoso, maka diganti bapak Markum Singodimedjo menjadi Reog yang berarti (r) resik, (e) endah, (o) omber, (g) girang gumirang. Penggantian reyog menjadi reog-yang disebutkan untuk “kepentingan pembangunan”- saat itu sempat menimbulkan polemik. Bupati Ponorogo Markum Singodimejo yang mencetuskan nama Reog (Resik, Endah, Omber, Girang Gemirang) tetap mempertahankannya sebagai slogan resmi Kabupaten Ponorogo. Peranan pemerintah dalam pergeseran itu cukup signi ikan. Dengan berbagai instruksi bupati, wajah reog sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih teratur dan seragam. Namun pada masa jabatan Bupati H. Muhadi Suyono SH, M.Si. (tahun 2005 s.d. 2010), nama reog diubah kembali menjadi reyog sebagai upaya mengembalikan kesenian itu pada bentuk aslinya. Nama reyog itu bukanlah sebuah akronim atau singkatan, tetapi sebagai identitas atau nama kesenian semata. Jika ditilik dari sejarahnya, banyak sekali nilai edukatif yang diciptakan dari tarian reyog Ponorogo. Arti sebuah pepatah ”harimau mati meninggalkan belangnya, gajah mati meninggalkan gading”. Pada dasarnya pepatah tersebut menunjukkan bahwa barang siapa yang melaksanakan tugas hidup dan kehidupan sebagai kholifatullah (hamba Allah) di muka bumi ini 629
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
penuh dengan nilai-nilai kebajikan sampai akhir hayatnya, maka kebajikan itu akan dikenang orang walaupun telah tiada. Nilai edukatif juga tergambar dari peralatan yang dipakai dalam pementasan. Dalam Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa (2004:6) tertuliskan bahwa, Sunan Kalijaga memanfaatkan kesenian purwa atau wayang. Begitu juga dengan alat musik reyog Ponorogo yang sarat dengan nilai edukatif. Analog tersebut sesuai dengan ajaran-ajaran dalam reyog Ponorogo, dari hasil penerjemahan alat musik yang digunakan dalam pementasan, seperti yang tertulis pada Pemkab Ponorogo (2004: 26). Barang siapa yang menginginkan ”Khusnul Khotimah” (kebaikan akhir hayat), maka orang tersebut harus mengamalkan : a. Menyadari bahwa hidup tidak lama. Semua yang hidup pasti akan mati dan kematian adalah gerbang akhirat. b. Bahwa untuk mencapai tataran khusnul khotimah, orang harus menyadari bahwa apa yang diperbuatnya tidak selalu benar c. Segala perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Semua ini sejalan dengan ungkapan kata katifun (ketipung=beban) dan kafulun (kempul=menanggung). Keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan. d. Senyampang hayat masih dikandung badan dan pintu taubat masih terbuka, kiranya belumlah terlambat untuk segera angkul (Angklung =pindah atau hijrah) dari perbuatan yang tidak benar menuju perbuatan yang benar atau luhur dan terpuji. e. Niat sudah ada, rencana telah tersusun, kegiatan amaliyah pun sudah dimulai, bahkan telah berjalan. Namun ketentuan akhir dari kesemuanya itu tetap berada dalam kekuatan Tuhan YME. Sebagai hamba yang lemah, inilah makna hakiki dari qonanga (Kenong = menerima apa adanya) f. Namun pada akhirnya semua itu dapat dilihat dari sejauh mana kemampuan manusia untuk mengendalikan diri dan kepentingannya secara serasi dan seimbang, terutama keselarasan dalam menjalin hubungan antarmanusia, dengan Tuhan, sebagai pencipta alam dan isinya. Dari uraian ini jelaslah kiranya makna yang hakiki dari peralatan qodanga (kendang = rentang kendali) dan usuusun”(usus-usus = dua kolor) sebagai lambang dari hablun minallah wahablun minannas. Nilai-nilai kesenian reyog Ponorogo apabila dilihat dari konsep nilai Max Scheler, meliputi: (a) Nilai-nilai kerohanian yaitu memuat unsur-unsur batiniah seperti penjiwaan pada setiap pemain reog (meliputi: nilai dakwah, nilai kelestarian, nilai kepercayaan, dan nilai magis); (b) Nilai spiritual yaitu memuat hal-hal yang melahirkan gairah dan getaran jiwa (meliputi: nilai budaya, nilai keindahan, nilai moral, nilai seni, nilai simbolik, dan nilai superioritas); (c) Nilai kehidupan yaitu memuat unsur-unsur lahiriah yang berkaitan dengan keperluan hidup keseharian (meliputi: nilai kepahlawanan, nilai keadilan, dan nilai kesejahteraan); (d) Nilai kesenangan yaitu memuat unsurunsur pada pembiasan hidup positif (meliputi: nilai hiburan, nilai kepuasan, nilai kompetitif, nilai material, dan nilai pertunjukan). Selain nilai edukatif yang terkandung dalam unsur alat musik yang digunakan, nilai edukatif lainnya juga tergambar dari pertunjukan reyog Ponorogo yang patut digali dan ditiru adalah sebagai berikut. a. Ketika pementasan, terjalin kerja sama yang luar biasa di antara pemain-pemainnya. Sebagai contoh, pembarong dalam pementasan, selalu bergantian manakala teman pembarong merasa lelah. b. Dalam sebuah kelompok seni, sering terjadi gonta-ganti personil karena permasalahan internal. Namun belum pernah terjadi dalam grup reyog Ponorogo didengar ada perselisihan antarpersonil. Hal ini sulit diungkapkan alasannya. Menurut kepercayaan narasumber, hal tersebut merupakan daya mistis yang Bathara Katong ( Bupati pertama Ponorogo) 630
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
memanfaatkan Reyog sebagai media dakwah. Menurut bupati pertama Ponorogo itu, kata reyog Ponorogo berasal dari kata riyoqun yang berarti Khusnul Khotimah. Menurutnya, walaupun seluruh perjalanan hidup manusia dilumuri dengan berbagai dosa dan noda, bilamana sadar dan beriman akhirnya bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikin pula instrumen alat musik untuk mengiringi tarian reyog Ponorogo. Masing-masing juga diberi nama yang bermakna oleh Bathara Katong. Tentunya semuanya mengarah pada satu tujuan dakwah. Kebesaran reyog Ponorogo secara langsung maupun tidak langsung telah mengangkat kebudayaan yang khas dengan corak kebersahajaan dan keindahan dengan simbol macan (harimau) dan burung merak itu, pada gilirannya menjadi inspirasi seniman atau budayawan pada zamannya, untuk memberikan penguatan-penguatan simbol ke arah penggalian jati diri dan karakter masyarakat Ponorogo. Perpaduan dua jenis karakter yang berlainan itu (harimau dengan karakter buas; ganas, dan burung merak dengan karakter mempesona), menyampaikan pesan yang kuat akan keberanian dan kebersahajaan masyarakat Ponorogo dalam menapaki kebenaran dengan sikap hidup yang serba menarik, indah, dan mempesona. Dengan berkesenian tradisional, sangatlah penting bahkan menjadi mulia mengingat berbagai pesan agung yang bisa dipetik darinya. Namun di atas semua itu, memahamkan pesan-pesan mulia berreyog bagi seluruh masyarakat kota reyog ini, terutama para konco reyog, ternyata jauh lebih penting, agar penghayatan menjadi konco reyog benar-benar bermakna dan karena itu mampu menebar kebermaknaan hidup bagi bumi reyog Ponorogo tercinta ini. Di sinilah seringnya muncul dilema. Satu sisi reyog Ponorogo maju pesat seolah tak terbendung, dengan salah satunya melalui even tahunan Festival Reyog Nasional, tetapi pada sisi yang lain nilai-nilai hidup mulia yang ditebarkan lewat simbol-simbol reyog Ponorogo itu, ternyata belum tertanam secara baik di dalam sikap dan kepribadian masyarakat pemiliknya, yaitu masyarakat Ponorogo khususnya, masyarakat pendidik dan anak didik pada umumnya. Dari aspek mistis, seni reyog Ponorogo telah dikreasi oleh sang kreator seni reyog Ponorogo dengan sangat menakjubkan. Pada zamannya, seni reyog Ponorogo yang telah dinuansai dengan nilai-nilai hidup luhur, terangkum dalam alam ilsafat para leluhur melalui simbolsimbol budaya, yaitu:Dhadak-merak; paduan harimau-burung merak melambangkan sikap hidup tegas tetapi penuh pesona; Penari kuda (Jathilan) kepang melambangkan sikap ksatria; Bujangganong (tari topeng) melambangkan ketabahan dan kesabaran di dalam menghadapi hidup, dan seterusnya. Dalam keseluruhan seni adiluhung ini terkandung pesan-pesan mulia dari berbagai aspek; iloso is, edukatif, religius, dan estetis. Dari aspek ontologis, seni reyog Ponorogo bermaksud keluar dari kungkungan lingkungan. Kekuatan mistis yang diwujudkan melalui simbol-simbol seni reyog Ponorogo itu sendiri, tidak lagi menjadi penghalang bagi kanca reyog (para pelaku seni reyog) untuk mengalami dunianya sendiri. Jika pada konteks mistis, seni reyog Ponorogo meyakini alam sebagai daya penggerak kehidupan, maka taraf ontologis ini sudah mengantar seni reyog Ponorogo ke dunia transenden (Sang Pencipta Yang Mahaagung). Seni reyog Ponorogo sudah dikaitkan dengan dunia spiritual yang lebih tinggi, sekalipun tarafnya masih dalam tataran pencarian hakikat. Sementara itu, dari aspek fungsional, seni reyog Ponorogo mengupayakan sikap yang relatif aktual dengan kenyataan modern. Sikap mitis,dan ontologis tidak lagi menjadi dasar pijak yang bersifat mutlak, tetapi dipakai landasan atau dasar pertimbangan merelevansikan seni reyog Ponorogo dengan konteks zaman (kekinian). Melalui integrasi antara aspek mistis-ontologis-fungsional, seni Reyog Ponorogo yang dikreasi oleh anak-anak kampus Unmuh Ponorogo, bersama dinas pemerintah terkait, diarahkan bisa memberikan pesan perwujudan generasi bangsa yang berbudi luhur melalui 631
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
simbol-simbol budaya dengan memanfaatkan penguatan aspek-aspek pesan iloso is, edukatif, religius, dan estetis. Penutup Reyog Ponorogo adalah sebuah kesenian tradisional yang masih satu rumpun dengan kebudayaan Jawa sarat dengan nilai-nilai keutamaan.Kesenian Reyog dilahirkan, melegenda, dan menjadi besar karena masyarakat Ponorogo sangat memelihara dari generasi tua diturunkan ke generasi muda. Dari aspek mistis, seni Reyog Ponorogo telah dikreasi oleh sang kreator seni Reyog Ponorogo dengan sangat menakjubkan. Pada zamannya, seni Reyog Ponorogo yang telah dinuansai dengan nilainilai hidup luhur, terangkum dalam alam ilsafat para leluhur melalui simbol-simbol budaya. Dari aspek ontologis, seni Reyog Ponorogo bermaksud keluar dari kungkungan lingkungan. Kekuatan mistis yang diwujudkan melalui simbol-simbol seni Reyog Ponorogo itu sendiri, tidak lagi menjadi penghalang bagi kanca reyog (para pelaku seni reyog) untuk mengalami dunianya sendiri. Sementara itu, dari aspek fungsional, seni reyog Ponorogo mengupayakan sikap yang relatif aktual dengan kenyataan modern. Sikap mitis,dan ontologis tidak lagi menjadi dasar pijak yang bersifat mutlak, tetapi dipakai landasan atau dasar pertimbangan merelevansikan seni reyog Ponorogo dengan konteks zaman (kekinian). Butuh pelestarian yang serius antarpihak untuk memperjelas status dan dasar hukum reyog agar memiliki landasan yang kuat. Setiap stakeholder perlu mendukung dan memberikan kesempatan eksistensi bagi kesenian tradisional ini. Daftar Pustaka Achmadi, Asmoro. 2010. Makalah: Aksiologi Reog Ponorogo Relevansinya dengan Pembangunan Karakter Bangsa. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Boedhihartono.2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia Sistem Sosial. Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA Budiman, Muhammad Arif. 2012. Reog: Unique Dance.Prosiding The 4th. Diunduh 17 Mei 2010 Huda, Muhammad Johan Nasrul. 2009. Imajinasi Identitas Sosial Komunitas Reyog Ponorogo. Ponorogo: Tips Karen, L. Parker & Beth, E, Ackerman.2007. “Character Education in Literature-BassedIntruction”. Faculty Publication and Presentation, Liberty University, Lynchbur, VA.Dalamhttp:// digitalcommonsliberty.edu/cgi/viewcontent.cgi? article=1040&contex=educ_fac_pubs. Diunduh 12 September 2015 Koentjaraningrat. 1984. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Cetakan ke-9. (60) Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan. Bandung: Alfabeta Prihantono, Onny, Natadjaja, Setiawan (2009) “Strategi Pembuatan Film Dokumenter yang TepatuntukMengangkatTradisi-Tradisi di BalikReogPonorogo” Jurnal.Vol 11 no 1. (Abstr.) (http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/view/18055.) Nirmana, Vol 11, No 1. Diunduh 9 Januari 2013 Sedyawati, Edi, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia.“ Seni Pertunjukan dan Seni Media”. Jakarta : PT Raja Gra indo Persada Widijanto, Tjahjono (Tjahwid). 2015.Makalah.Integrasi Program Pendidikan Dengan PelestariaanBudaya Daerah (Ngawi): Upaya Meneguhkan Kembali Identitas Dan Kekayaan Intelektual Serta Karakter Bangsa. STKIP PGRI Ngawi. Zuriah, Nurul. 2008. Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: PT BumiAksara 632