Melihat status nilai konservasi terumbu karang dan ide pembuatan taman karang di Kawasan Lindung (Cagar Alam) Pulau Sempu, Malang Selatan
Oktiyas Muzaky Luthfi, ST., M.Sc 1,2*; Ir. Alfan Jauhari, MS 1 dan Dr. Ir. Guntur, MS 1 1
Faculty of Fisheries and Marine Science, University of Brawijaya Malang 2
Coral Reef Study Center, University of Brawijaya
Makalah ini disampaikan pada seminar nasional Conservation and Management of Marine Ecosystem Widya loka Universitas Brawijaya, Malang 28 Maret 2014
* Corresponding author:
[email protected]
ABSTRAK
Terumbu karang dapat diklasifikasikan menggunakan diagram segitiga yang disebut sebagai r-K-S ternary diagram. Penggunaan diagram ini akan mampu melihat nilai kelas konservasi yang dikategorikan menjadi 4 (CC=1-4). Nilai konservasi terumbu karang dapat memprediksi kondisi biodiversitas karang, invertebrate, ikan, potensi kelimpahan ikan dan habitat bagi hewan langka pada suatu wilayah perairan. Bagi pengambil keputusan dengan mengetahui nilai konservasi suatu wilayah dapat membuat kebijakan kawasan perlindungan (protection zone) bagi terumbu karang serta dapat mengambil keputusan menanggulangi atau mengurangi stressor pada ekosistem. Untuk mengetahui nilai CC terumbu karang P. Sempu maka telah dilakukan penelitian pada 5 stasiun di selat Sempu pada September-Nopember 2013. Terumbu karang di P. Sempu dalam kondisi “sedangrusa” dengan tutupan karang hidup 31, 79%. Rerata indeks mortalitas (IM) cukup tinggi yaitu 0,61 yang menandakan kondisi terumbu karang di P. Sempu dalam kondisi tertekan. Stasiun penelitian Waru-waru dan Teluk Semut 2 masuk kedalam CC=1 (S-strategist) dan Watu Mejo 1, Teluk Semut 1 dan Kondang Buntung (depan) masuk kedalam CC=2 (K-strategist). Kata kunci: terumbu karang, nilai konservasi, Pulau Sempu, indeks mortalitas dan kelas konservasi
2|M el i h a t s ta tu s …
1. PENDAHULUAN Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, moluska, krustacea bagi masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Selain itu bersama dengan ekosistem pesisir lainnya terumbu karang menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (Cesar, 2000; Hoegh-Guldberg, 2009). Potensi perikanan setiap kilometernya mencapai 15 ton (Dahuri, 1996) dan 16% dari total ekspor ikan Indonesia berasal dari ekosistem terumbu karang (Salm, 1984). Manfaat dari ekosistem terumbu karang yang lain adalah fungsi perlindungan pantai, sumber bahan aktif (bio kimia) dan penyedia jasa pariwisata (Reid et al, 2009). Luasan terumbu karang di Indonesia adalah 15% dari luasan terumbu karang dunia (Tomascik et. a.l., 1997). Potensi ekosistem terumbu karang yang luar biasa tersebut bukan berarti tanpa masalah. Kurang dari 3% terumbu karang di Indonesia yang tergolong dalam kondisi baik sekali (tutupan karang hidup >75%) dan sekarang ini kondisinya semakin berkurang kecuali dikawasan perlindungan (Chou, 1997). Summarco (2008) menyebutkan 5 hal yang menyebabkan kematian karang 30 tahun terakhir adalah (1) penyakit karang (coral desease), (2) pemutihan karang (coral bleaching), (3) pencemaran lingkungan termasuk sedimentasi (coastal nutrient enrichment and sedimentation), (4) adanya penangkapan ikan berlebih (over fishing) dan (5) kematian masal golongan echinoids (mass mortality of grazing echinoids). Suharsono (1999) menambahkan bahwa penyebab kerusakan karang yang utama di Indonesia adalah pemutihan karang (bleaching) dan aktivitas manusia (anthropogenic activities). Dan apabila terumbu karang di perairan Indonesia rusak, maka Indonesia akan kehilangan uang senilai 327 milyar USD/tahun (Cesar, 2000). Pulau Sempu ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan SK. GB No. 46 Stbl. 1928 No. 69 tahun 1988 dengan luas 877 Ha. Pada areal ini banyak terdapat biota endemik semisal rusa dan macan kumbang. Terumbu karang juga merupakan salah satu ekosistem yang dilindungi di pulau tersebut. Total luas terumbu karang di Pulau Sempu adalah kurang 10 ha tersebar di Segara Anakan, Teluk Semut dan Waru-waru dimana didua lokasi terakhir berhadapan langsung dengan pantai wisata Sendang Biru. Kondisi terumbu karang di Pulau Sempu ‘rusak-sedang’ dengan persen tutupan karang hidup sebesar 50% (Reef Check 2006). Kondisi terumbu karang di pulau ini dikhawatirkan semakin rusak, diakibatkan oleh pengaruh proyek reklamasi Pelabuhan Pendaratan Ikan Sendang Biru yang berjarak kurang dari 1 km dari ekositem terumbu karang Pulau Sempu. Reklamasi telah dimulai pada akhir tahun 2006, dengan target penambahan daratan seluas 10 hektar.
3|M el i h a t s ta tu s …
Ancaman lain terhadap ekosistem terumbu karang diperairan P. Sempu adalah tumpahan minyak/ oil spilling dari kapal-kapal dipelabuhan Sendang Biru yang terbawa ke daerah karang, aktivitas wisata air yang meliputi snorkeling, memancing dan SCUBA diving, dan terakhir run off sedimen dari sungai disekitar Pulau Sempu. Nilai konservasi terumbu karang dapat memprediksi kondisi biodiversitas karang, invertebrate, ikan, potensi kelimpahan ikan dan habitat bagi hewan langka pada suatu wilayah perairan. Bagi pengambil keputusan dengan mengetahui nilai konservasi suatu wilayah dapat membuat kebijakan kawasan perlindungan (protection zone) bagi terumbu karang serta dapat mengambil keputusan menanggulangi atau mengurangi stressor pada ekosistem. Salah satu usaha aktif untuk memulihkan kembali ekosistem terumbu karang adalah “coral garden”. Konsep “gardening of coral” sekarang menjadi pilihan bagi para ilmuwan di dunia untuk mengembalikan ekosistem terumbu karang, beberapa negara yang telah melakukan gardening coral adalah Israel-Teluk Eilat dan Laut Merah, Thailand-Phuket, Singapura, Filipina-Laut Bolinao, Tanzania-Zanzibar dan Jamaica-Pulau Mafia (Rinkevich, 2008). Konsep pembuatan taman terumbu karang ini haruslah melalui 2 tahapan, pertama adalah pembuatan lokasi pembesaran “bibit” karang hingga ukuran tertentu dan kedua adalah rehabilitasi dengan cara penanaman karang transplan ke daerah yang diinginkan. Teknik rehabilitasi ekosistem terumbu karang menggunakan konsep “gardening of coral” ini akan menjadi studi yang menarik di Pulau Sempu dimana kondisi terumbu karang di kawasan lindung ini terancam mengalami percepatan kerusakan terumbu karang dikarenakan adanya proses reklamasi pembangunan pelabuhan dan kegiatan wisata, sehingga kegiatan ini merupakan starting point untuk pemulihan ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut sekaligus dapat menjadi fish sanctuary di masa yang akan datang.
4|M el i h a t s ta tu s …
2. METODE 2.1. Lokasi penelitian
Gambar 1. Lokasi penelitian Penelitian dilakukan diperairan P. Sempu dengan 5 stasiun yang menyebar disepanjang selat Sempu. Stasiun pertama dimulai dari sebelah timur pulau yakni Kondang Buntung (depan), Teluk Semut 1, Teluk Semut 2, Waru-waru dan Watu Mejo 1. Penelitian ini dilakukan pada SeptemberNopember 2013, dengan kedalaman bervariatif antara 3-7 m, mengikuti kedalaman alamiah karang berkembang diperairan tersebut. 2.2.
Tutupan karang Data tutupan karang diambil menggunakan metode line intercept transect (LIT) (English et
al., 1997) dengan panjang transek 50 m yang dibentangkan sejajar dengan garis pantai. Kedalaman transek setiap stasiun penelitian bervariatif antara 3-7 m. Kemudian dilakukan pencatatan terhadap spesies dan bentuk pertumbuhan karang dengan akurasi cm pada setiap transeknya. Juga dicatat pula keberadaan karang mati, karang mati dengan alga, kondisi substrat dan invertebrate lainnya. 2.3.
Analisa Segitiga r-K-S Data untuk mengisi segitiga r-K-S berasal dari data persentase tutupan karang hidup yang
dilihat dari morfologi dan bentuk pertumbuhan (life form) karang yang ditemukan dari setiap stasiun penelitian. kemudian dihitung persentase tutupan hidupnya (percent life cover). Hasil penjumlahan 5|M el i h a t s ta tu s …
percent cover dari life form karang selanjutnya dikategorikan kedalam 3 group strategi adaptasi karang yaitu: ruderals (r), competitors (K) dan stress-tolerator (S). Hasil penjumlahan dari ketiga kategori ini selalu 100% (Edinger dan Risk, 2000). 2.4.
Penilaian kelas konservasi (conservation class) Ada empat kelas konservasi yaitu CC=1 (conservation class 1) apabila tempat tersebut
memiliki >60% stress tolerators (S-strategist); CC=2 apabila memiliki >50% K-strategist; CC=3 apabila meiliki >50% r-strategist dan lainnya dikategorikan sebagai CC=4 (Edinger dan Risk, 2000). 2.5.
Pemetaan batimetri Pemeruman dilakukan dengan menggunakan alat GPS MAP 585 Garmin yang dapat
mengukur kedalaman perairan dan menentukan posisinya dengan metoda GPS, hasil ukuran direkam dengan interval perekaman data setiap 10 detik dengan pola pengambilan data zig-zag. Pemeruman dimulai dari stasiun 1 hingga stasiun 5. 3. HASIL 3.1. Tutupan Karang Hidup Sebaran persentase karang hidup diperairan P. Sempu dimana kondisi tutupan karang hidup di sebelah barat (Kondang Buntung, depan) dengan tutupan 53% dan terendah di sebelah timur pulau dengan tutupan 7% (Watu Mejo 1) (Tabel 2). 0.26%
3.64% 0.24%
0.28%
2.84%
CB
CE CHE CM DCA S
88.98%
Gambar 2. Persentase karang keras di Watu Mejo 1 dan substrat disekitarnya berdasarkan bentuk pertumbuhannya. Sebanyak 89% komposisi terumbu karang di stasiun Watu Mejo 1 merupakan daerah karang mati yang tertutupi alga, sedangkan karang hidup dengan bentuk bercabang didominasi poritiids
6|M el i h a t s ta tu s …
(Gambar 2). Di lokasi ini juga ditemukan karang keras non scleractinia yaitu karang biru (Heliopora sp). 3.34% 0.24% 32.64% CM
CMR DCA OT Sand
63.46%
0.32%
Gambar 3. Persentase karang keras di Waru-Waru dan substrat disekitarnya berdasarkan bentuk pertumbuhannya Substrat di stasiun Waru-Waru didominasi dengan substrat karang mati yang sudah ditumbuhi alga (DCA) sebesar 63%. Tutupan karang hidup dengan bentuk pertumbuhan massive yang terdiri dari faviid dan Galaxea (33%) (Gambar 3). Tutupan karang hidup di stasiun Teluk Semut 2 sebesar 16, 5% dengan dominasi Acroporiid dan Faviid. Sedangkan substrat di dominasi dengan pecahan karang (rubble) sebesar 21, 4% dan karang mati yang ditumbuhi alga sebesar (DCA) 52, 7% (Gambar 4). Persen tutupan karang hidup di Teluk Semut 1 cukup tinggi (50%) dengan dominasi dari Pocilloporiid (24%) dan Poritiid (25%) (Gambar 5).
7|M el i h a t s ta tu s …
1.9%
0.4%
11.6%
9.4%
ACT 2.6%
CB CM CSM
21.4%
DCA Rubble Sand
52.7%
Gambar 4. Persentase karang keras di Teluk Semut 2 dan substrat disekitarnya berdasarkan bentuk pertumbuhannya
21.42% 39.40%
CB CE CHL CM
CS 24.74%
S
10.94% 2.68%
DCA
0.12% 0.70%
Gambar 5. Persentase karang keras di Teluk Semut 1 dan substrat disekitarnya berdasarkan bentuk pertumbuhannya Gambar 6 menunjukkan penutupan karang di Kondang Buntung (depan) cukup tinggi (53%) dengan dominasi karang berbentuk foliose/seperti daun Echinoiid. Selanjutnya substrat lain di stasiun tersebut adalah DCA, karang mati yang ditumbuhi alga, dan merupakan competitor bagi karang.
8|M el i h a t s ta tu s …
2%
ACB CF 47%
47%
CHL CM CS DCA
2%
1%
1%
Gambar 6. Persentase karang keras di Kondang Buntung (depan) dan substrat disekitarnya berdasarkan bentuk pertumbuhannya 3.2.
Segitiga r-K-S (ternary diagram) dan Kelas Konservasi (CC) Tiga stasiun termasuk dalam CC=2, yaitu WM1, TS1 dan KB serta dua stasiun lain yaitu WW
dan TS2 masuk dalam CC=1 (Tabel 2, Gambar 7 dan 8). Karang di WM1, TS1 dan KB didominasi oleh Pocilloporiid (karang sub-masif), Poritiid (karang bercabang) dan Echinoiid (karang foliose). Sedangkan komposisi karang di WW dan TS2 didominasi oleh karang berbentuk massive dari Faviid dan Galaxea.
Tabel 1. Stasiun penelitian dengan potensi factor pengancam Site
Code
Watu Mejo 1
WM1
Sand, rock
Depth of reef (m) 5
Waru-waru
WW
Sand, rock
3
Anchor damage, tourism, sedimentation
Teluk Semut1
TS1
Rock
5
Fishing, sedimentation, oil pollution
Teluk Semut2
TS2
Rock, rubble
5
Fishing, sedimentation, oil pollution
Kondang Buntung (depan)
KB
Rubble, sand, clay
7
Fishing, sedimentation, oil pollution, run off
9|M el i h a t s ta tu s …
Substrate
Source of stresses Spear fishing, anchor damage, sedimentation
Tabel 2. Komposisi relative dari r-strategi, K-strategi dan S-strategi terhadap 5 stasiun penelitian Site
Code
Live Coral (%)a, b
Condit ion Indexb
Dead Coral (%)
Mortality Indexb
N rare species
%r
% K
% S
CC no.c
Watu Mejo 1
WM1
7.26
Poor
88.98
0.95
2
7.16
WW
32.96
Fair
63.46
0.66
0
0.00
Teluk Semut1
TS1
49.66
Fair
10.94
0.18
0
Teluk Semut2
TS2
16.50
Poor
74.10
0.82
0
31.8 2 2.42
Kondang Buntung (depan)
KB
52.56
Good
47.44
0.47
0
7.80
39. 12 99. 03 6.8 1 86. 06 2.6 6
2
Waru-waru
53. 72 0.9 7 61. 38 11. 52 89. 54
a English, et
1 2 1 2
al., 1997; b Gomez dan Yap (1988); c Edinger dan Risk (2000)
K (competitors)
90/10
KB
90/10
80/20
80/20
70/30
70/30 TS1
60/40
60/40 WM1
50/50
50/50
40/60
40/60
30/70
30/70
20/80
20/80
TS2 10/90
10/90 WW
r (ruderals)
10/90 20/80
30/70
40/60
50/50
60/40
70/30
80/20
90/10
S (Stress-tolerators)
Gambar 7. Ploting pada segitiga r-K-S dimana setiap stasiun penelitian menunjukkan karakteristik habitat penyusunnya 3.3. Indek Mortalitas Indeks Mortalitas tertinggi di WM1 dengan nilai 0,95; TS2= 0,82 dan terendah pada TS1sebesar 0,18 (Tabel 2). Tingginya indeks mortalitas di kedua tempat diatas didukung oleh kualitas perairan yang rendah (turbiditas tinggi) akibat substrat dasar perairan didominasi oleh pasir (Gambar 2). Juga di TS2 banyak ditemukan pecahan karang (rubble) dan karang mati dengan ditumbuhi alga (DCA) (Gambar 4).
10 | M e l i h a t s t a t u s …
K (competitors)
KB
TS1 CC=2
WM1 50%
50%
60%
CC=4
TS2 CC=3
CC=1 WW
r (ruderals)
50%
60%
S (Stress-tolerators)
Gambar 8. Ploting kondisi terumbu karang dari setiap stasiun penelitian pada klas konservasi 3.4.
Kondisi Dasar Perairan Selat Sempu Hasil pemodelan menggunakan Surfer 8.0 menghasilkan peta dasar permukaan selat Sempu
3 D. Dasar perairan memiliki kedalaman bervariasi berkisar pada 4-36 m (Gambar 9). Kedalaman di enam stasiun titik penelitian memiliki kedalaman kurang dari 10 m. Stasiun 1 (Kondang Buntung (Depan)) memiliki substrat dasar pasir dengan tutupan karang diatasnya yang dapat ditemukan dari kedalaman 2 hingga 7 m. Kemiringan dasar perairan ini lebih dari 40 o dengan fisibilitas kurang dari 2 m pada kedalaman 7 m. Stasiun Teluk Semut 1 dan Teluk Semut 2 memiliki substrat dasar pecahan karang dan batuan karang mati (dead coral with algae) pada kedalaman 1 hingga 1,5 m dengan lebar sekitar 20 m dari pantai dan kemudian akan langsung drop hingga kedalaman 20 m dengan substrat pasir. Karang di kedua stasiun ini terletak secara spasial dikedalaman 2-7 m, berada pada kemiringan 40 o. Stasiun Waru-waru memiliki dasar perairan pasir dari pantai hingga 10 m menuju kelaut, kemudian substrat berganti dengan pecahan karang (rubble) dan karang mati (dead coral with algae)
11 | M e l i h a t s t a t u s …
dan kemudian drop hingga 25 m dengan kemiringan 30 o. Ditemukan komunitas karang diwilayah ini pada kedalaman 4 m.
Gambar 9. Gambar kontur kedalaman Selat Sempu
12 | M e l i h a t s t a t u s …
3.5.
Inisiasi coral garden Desain Frame Besi untuk Media Karang
Gambar 10. Rencana frame besi yang akan digunakan sebagai media tanam karang di coral garden Hasil desain bentuk rangka yang akan menjadi bahan utama pembutan taman karang ini. Model kerangka berbentuk doom dengan bahan besi ulir dengan diameter 19 mm. Tinggi rangka 1,5 m dengan lebar 1 m, juga setiap 50 cm terdapat besi penguat yang dikaitkan secara membujur. Ada delapan kolom dan dua besi melintang yang menyusun kerangka tersebut. Setiap pertemuan besi yang membujur dan melintang ini akan ditempelkan karang sebagai media tumbuhnya. 4. PEMBAHASAN 4.1. Kondisi terumbu karang dan status kelas konservasi Rerata tutupan karang hidup di Pulau Sempu adalah 31,79% (kategori rusak-sedang), kondisi ini tidak lebih baik bahkan kemungkinan lebih buruk ketika survey tahun 2006. Lokasi terumbu karang yang dekat dengan stressor diduga juga berperan pada rusaknya ekosistem terumbu karang diperairan Sempu. Waru-waru (WW) dan Teluk Semut 2 (TS2) termasuk dalam kelas konservsi 1 (CC=1) dengan stressor utama adalah sedimentasi, kerusakan mekanis karena jangkar, wisata dan aktifitas memancing. Waru-waru memiliki pantai pasir putih dengan lebar 8 m, sehingga lokasi ini menarik wisatawan untuk berkunjung distasiun dengan segala kegiatan airnya (mancing, snorkeling, dan kayaking). Ketika musim hujan sedimen dengan mudak akan langsung masuk keperairan karena tidak ada mangrove atau lamun disekitar perairan ini. Kondisi inilah yang menjadi salah satu tekanan pada karang di Waru-waru. Sama dengan WS, TS2 merupakan jalur utama menuju lokasi Segara 13 | M e l i h a t s t a t u s …
Anakan dan menjadi tempat beristirahat/parkir kapal-kapal besar setelah mencari ikan dari Samudera Hindia. Sehingga substrat di TS2 didominasi oleh pecahan karang dan airnya terkadang berwarna hitam bercampur dengan buangan oli mesin dari kapal. Perubahan lingkungan seperti kenaikan temperature, salinitas dan sedimentasi akan mempengaruhi pertumbuhan dan sebaran karang keras disuatu wilayah (Crabbe dan Smith, 2005). Karang massif dari Faviids dan Poritiids memiliki mekanisme untuk bertahan dari sedimen yakni dengan mengeluarkan mucus dalam jumlah banyak, mucus akan menahan sedimen menutupi polip karang dan dengan bantuan arus mucus yang sudah dipenuhi sedimen akan dibuang ke perairan (Rogers, 1990). Mekanisme ini hampir sama dengan cara karang membuang oli dari permukaan karang (Bak dan Elgershuizen, 1976). Efek dari sedimen adalah menggangu pertumbuhan karang, energy untuk tumbuh karang akan dialokasikan untuk memproduksi mucus sehingga laju pertumbuhan karang akang berkurang (Edmunds, dan Davies, 1989). Tiga stasiun termasuk CC=2 (WM1, TS1 dan KB) dengan dominasi karang karang bercabang non Acropora (Pocillopora damicornis dan Porites cylindrica) dan karang folious (Echinopora lamellosa). Ketiganya termasuk karang yang mudah ditemukan di kawasan Indo-Pasifik dan terkadang mendominasi suatu wilayah perairan (Fan dan Dai, 1995). Echinopora lamellosa mendominasi sebesar 47% tutupan karang hidup di Kondang Buntung meskipun secara geografis KB berada dekat dengan muara sungai dan Pelabuhan Pendaratan Ikan Sendang Biru yang merupakan sumber stressor. Hal dimungkinkan karena karang ini mampu tumbuh didaerah kemiringan (reef slope) dan berstrategi dengan memiringkan koloninya pada sudut tertentu untuk mengurangi rejim sedimen. Echinopora sp biasa dapat ditemukan pada daerah reef slope dan reef flat suatu perairan (Dai, 2008). Echinopora sp juga mampu hidup pada daerah dengan nutrient tinggi hingga 5 µM, seperti daerah estuary, dan tidak akan menggangu pertumbuhan dari karang tersebut (Atkinson, et al., 1995). Pocillopora damicornis merupakan karang yang paling adaptif, mode reproduksi karang in merupakan jenis campuran yakni aseksual melaui fragmentasi dan menghasilkan planula didalam polipnya (brooding aseksual). Juga karang ini mampu melakukan reproduksi setiap bulannya (Miller dan Ayre, 2004). Karang bercabang dan foliose banyak ditemukan di Indonesia dan merupakan competitor bagi Acropora (Edinger dan Risk, 2000). 4.2.
Solusi ke depan Terumbu karang di Sendang Biru berada pada zona stagnan, dan ada kecenderungan terus
mengalami kerusakan. Indeks mortalitas diatas 0, 33 menandakan peran stressor sangat signifikan
14 | M e l i h a t s t a t u s …
untuk mengurangi persen tutupan karang hidup karang (Edinger dan Risk, 2000). Pada penelitian ini stressor yang mempengaruhi ekosistem terumbu karang di Sendang Biru lebih bersifat antropogenik: sedimentasi, limbah dari PPI dan domestic, run off dan sedimentasi (penebangan mangrove dan alih fungsi lahan dari tanaman keras ke tanaman musiman), kegiatan pariwisata dan kegiatan mencari ikan yang bersifat merusak. Masuknya stressor keperairan secara terus menerus dikhawatirkan akan merubah dari ekosistem terumbu karang ke dominansi alga (Richmond, 1993). Terumbu karang tidak akan melakukan recoveri selama stressor tersebut tidak dihilangkan. Namun konsep dari kelas konservasi ini lebih mengedepankan perbaikan dan proteksi pada CC= 2, 3 dan 4 (Edinger dan Risk, 2000). Oleh sebab itu perlu sebuah rekayasa perbaikan ekosistem karang yang dapat merehabilitasi dan memroteksi ekosistem karang dalam satu system. Pembuatan taman karang dan pembuatan zona perlindungan dalam wilayah perairan P. Sempu kemungkinan dapat mengurangi dampak dari stressor diatas dan tentu perlu ditunjang adanya legalitas dan rekayasa social terhadap masyarakat sekitar untuk mendukungnya.
5. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah 1. Ekosistem terumbu karang di perairan P. Sempu dalam kondisi “rusak-sedang” (fair) dengan tutupan karang hidup sebesar 31, 79% dan kondisi ini relative sama bahkan semakin menurun 2. Ekosistem terumbu karang diperairan Sempu adalah K-strategist dan S-strategist 3. Penilaian kelas konservasi (CC) dapat mambantu pengambil kebijakan menkaji dan menganalisis ekosistem terumbu karang di P. Sempu 4. Pembuatan kawasan terbatas (no fishing zone) dengan membuat coral garden diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah penurunan ekosistem terumbu karang di P. Sempu
15 | M e l i h a t s t a t u s …
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, M. J., Carlson, B., & Crow, G. L. (1995). Coral growth in high-nutrient, low-pH seawater: a case study of corals cultured at the Waikiki Aquarium, Honolulu, Hawaii. Coral Reefs, 14(4), 215-223 Bak, RPM dan Elgershuizen, J. 1976. Patterns of oil-sediment rejection in corals. Marine Biology. 37(2), 105-113 Cesar, H. 2000. Economic analysis of Indonesian coral reefs. In World Bank Enviromnetal Department Paper, Environment Economics Series. Washington, D.C.: The World Bank. Chou, L. M. 1997. The status of Southeast Asian coral reefs. Proceedings of the Eighth International Coral Reef Symposium 1, 317-322. Crabbe, MJC and Smith DJ. 2005. Sediment impacts on growth rates of Acropora and Porites corals from fringing reefs of Sulawesi, Indonesia. Coral Reef 24: 437-441 Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., and Sitepu. M.J. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (Integrated Coastal and Marine Resource Management). PT. Paradnya Paramita, Jakarta. Dai, C. F. C. C. 2008. Echinopora lamellosa (Esper, 1795) Edinger, E. N., & Risk, M. J. (2000). Reef classification by coral morphology predicts coral reef conservation value. Biological Conservation, 92(1), 1-13. Edmunds, PJ dan Davies, PS. 1989. An energy budget for Porites porites (Scleractinia), growing in a stressed environment. Coral Reefs. 8(1), 37-43 English, S.E., Wilkinson, C., Baker, V. 1997. Survey manual for tropical marineresources. Australian Institute of Marine Science, Townsville, Australia Fan, T. Y., & Dai, C. F. 1995. Reproductive ecology of the scleractinian coral Echinopora lamellosa in northern and southern Taiwan. Marine Biology, 123(3), 565-572 Gomez, E. D., & Yap, H. T. (1988). Monitoring reef condition. Coral reef management handbook UNESCO regional office for science and technology for southeast Asia (ROSTSEA), Jakarta, 171-178. Hoegh-Guldberg, O., Mumby, P.J., Hooten, A.J.,Steneck, R.S., Greenfield, P., Gomez, E., Harvell, D.R., Sale, P.F., Edwards, A.J., Caldeira, K., Knowlton, N., Eakin, C.M.,Iglesias-Prieto, R., Muthinga, N., Bradbury, R.H., Dubi, A.and Hatziolos, M.E. 2007. Coral reefs under rapid climate change and ocean acidification. Science, 318, 1737-1742. Miller, K. J., & Ayre, D. J. (2004). The role of sexual and asexual reproduction in structuring high latitude populations of the reef coral Pocillopora damicornis. Heredity, 92(6), 557-568
16 | M e l i h a t s t a t u s …
Reid, C., Marshall, J., Logan, D. and Kleine, D. 2009. Coral Reefs and Climate Change. The Guide for Education and Awareness. CoralWatch, University of Queensland, Brisbane. 256 pp. Richmond, R. H. (1993). Coral reefs: present problems and future concerns resulting from anthropogenic disturbance. American Zoologist, 33(6), 524-536) Rinkevich, B. 2008. Management of coral reefs: We have gone wrong when neglecting active reef restoration. Marine pollution bulletin, 56 (11), 1821-1824. Rogers, CS. 1990. Responses of coral reefs and reef organisms to sedimentation. Mar. ecol. Prog. Ser. Oldendorf, 62(1), 185-202 Salm. R. V. 1984. Marine and Coastal Protected Area. A Guide for Planner and Manager IUCN. Pp. 7380. Tomascik, T., Mah, TJ., Nontji, A., Moosa, MK. 1997. The Ecology of Indonesian Seas, Part II. Vol. VII. Dalhousie University, Canada
17 | M e l i h a t s t a t u s …