MEDIATOR
Volume 3
Nomor 2
2002
ISSN 1411- 5883
Jurnal Komunikasi
Metodologi Penelitian dalam Sebuah Multi-Paradigm Science Dedy N. Hidayat Pengaruh Kepemimpinan Manajer Public Relations terhadap Kualitas Manajemen PR Neni Yulianita Pendidikan Life Skill Santoso S. Hamidjojo The Search for Meaning of Life: Existentialism, Communication, and Islam O. Hasbiansyah Kontribusi Komunikasi pada Teori Pembangunan Andy Corry Wardhani Pemberdayaan SDM melalui Komunikasi Organisasi: Suatu Pendekatan Subjektivis Dede Lilis Ch. Subandy SDM Komunikasi di Era Kompetisi Global Antar Venus “Bezoek Politik” dalam Perspektif Dramaturgis Ema Khotimah “Nude Photography”, Seni atau Pornografi? Ferry Darmawan Hubungan dalam Komunikasi Diadik Suami-Istri: Perspektif Sosiologi Keluarga Kiki Zakiah Komunikasi Nonverbal dalam Proses Pelatihan Rochajat Harun Pengaruh Terpaan Informasi Kesehatan di Televisi terhadap Sikap Hidup Sehat Keluarga Dadan Mulyana Feedback terhadap Aturan Pemerintah: Sebuah Studi Kasus Atie Rachmiatie Komunikasi Antarbudaya dalam Momentum Ibadah Haji Rini Rinawati Komunikasi Persuasif, Kohesi Kelompok, dan Apresiasi Seni Gamelan Sunda: Kasus di Kalangan Mahasiswa Anne Maryani Dakwah dalam Perspektif Modernisme Antisipasi Menuju Postmodernisme Nia Kurniati Syam M EDIATOR, Vol. 3 No.2 2002
i
MEDIATOR Jurnal Komunikasi
ISSN 1411-5883 Diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Fikom Unisba). Terbit pertama kali Desember 2000. Jurnal ini dimaksudkan sebagai media kajian ilmiah untuk mengomunikasikan visi, refleksi, pemikiran konseptual, hasil penelitian, pelbagai pengalaman menarik di lapangan, dan kajian analisis-kritis mengenai isu-isu komunikasi kontemporer. Terbit 2 (dua) kali setahun, setiap Juni dan Desember. Keterangan tentang persyaratan penulisan dan cara pengiriman tulisan dapat dilihat pada halaman kulit belakang dalam.
PEMBINA Dekan Fikom Unisba Pembantu Dekan I KETUA PENYUNTING
Alex Sobur DEWAN PENYUNTING O. Hasbiansyah Hj. Atie Rachmiatie Maman Suherman Septiawan Santana K. Santi Indra Astuti Dadi Ahmadi Satya Indra Karsa Oji Kurniadi Dede Lilis Ch. Subandy M.E. Fuady PENELAAH AHLI (MITRA BESTARI) Santoso S. Hamijoyo (Universitas Islam Bandung) H. Deddy Mulyana (Universitas Padjadjaran, Bandung) Hj. Nina W. Syam. (Universitas Padjadjaran, Bandung) Nasrullah Nazsir (Universitas Padjadjaran, Bandung) Hj. Neni Yulianita (Universitas Islam Bandung) Alamat Redaksi/Tata Usaha: Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116, Telp. (022) 4203368, Pes. 141; (022) 4264070, Faks. (022) 4264070. E-mail:
[email protected]
ii
Volume 3
Nomor 2
2002
ISSN 1411-5883
M EDIATOR Jurnal Komunikasi
Pembina Dekan Fikom Unisba (H. Aziz Taufik Hirzi, Drs., M.Si.) Pembantu Dekan I (O. Hasbiansyah, Drs., M.Si.) Ketua Penyunting Alex Sobur, Drs., M.Si. Penyunting Pelaksana O. Hasbiansyah, Drs., M.Si. Hj. Atie Rachmiatie, Dra., M.Si. Maman Suherman, Drs., M.Si. Septiawan Santana K., Drs. Santi Indra Astuti, S.Sos. Dadi Ahmadi, S.Sos. Satya Indra Karsa, Drs. Oji Kurniadi, Drs., M.Si. Dede Lilis Chaerowati, S.Sos. M.E. Fuady, S.Sos. Penyunting Ahli Prof. Dr. Santoso S. Hamijoyo, M.Sc. Prof. Dr. Barita Effendi Siregar, M.S. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D. Dr. Nasrullah Nazsir, Drs., M.S. Dr. Hj. Neni Yulianita, Dra., M.S. Alamat Redaksi/Tata Usaha Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba Jln. Tamansari No.1 Bandung 40116 Tlp. (022) 4203368, Pes.140, 141, 142 (022) 4264070, Fax.(022) 4264070 E-mail:
[email protected] Jurnal Komunikasi MediaTor diterbitkan dua kali setahun oleh Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Fikom Unisba), dimaksudkan sebagai wacana intelektualitas bagi pengembangan ilmu, khususnya Ilmu Komunikasi. Redaksi mengundang para pakar, akademisi, dan praktisi, untuk menulis secara kreatif. Naskah bisa berupa hasil penelitian/ tesis/desertasi, atau artikel ilmiah konseptual; ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, dilengkapi abstrak dengan jumlah antara 100-150 kata. Panjang tulisan keseluruhan berkisar antara 15-25 halaman; diketik dengan spasi ganda. Tulisan dikirim sebisa mungkin dalam disket berukuran 3,5” (menggunakan program pengolah kata MSWord) beserta print out-nya, atau dikirimkan melalui e-mail. Setiap kutipan harus menyebutkan sumbernya, dan ditulis dengan sistem endnotes. Naskah hendaknya juga disertai lampiran biodata penulis. Tulisan sedapat mungkin belum pernah dipublikasikan pada media cetak lain. Redaksi dapat meringkas dan memperbaiki tulisan yang akan dimuat, tanpa mengubah isi dan maksudnya. Bagi naskah yang dimuat, disediakan honorarium.
M EDIATOR, Vol. 3
No.2
2002
Daftar Isi Salam .......................................................................... iii-viii Metodologi Penelitian dalam Sebuah “Multi-Paradigm Science” Dedy N. Hidayat ........................................................... 197 Pengaruh Kepemimpinan Manajer Public Relations terbadap Kualitas Manajemen Public Relations ... Neni Yulianita ................................................................. 221 Menjelajah Ranah ‘Keterampilan Hidup’ Santoso S. Hamidjojo ..................................................... 241 The Search for Meaning of Life: Existentialism, Communication, and Islam O. Hasbiansyah ............................................................ 249 Kontribusi Komunikasi pada Teori Pembangunan Andy Corry Wardhani ................................................... 259 Pemberdayaan SDM melalui Komunikasi Organisasi: Suatu Pendekatan Subjektivis Dede Lilis Ch. Subandy ................................................. 267 SDM Komunikasi di Era Kompetisi Global Antar Venus ................................................................... 273 “Bezoek Politik” dalam Perspektif Dramaturgis Ema Khotimah ............................................................... 279 Nude Photography, Seni atau Pornografi? Ferry Darmawan .......................................................... 287 Hubungan dalam Komunikasi Diadik Suami-Istri: Perspektif Sosiologi Keluarga Kiki Zakiah ....................................................................
295
Komunikasi Nonverbal dalam Proses Pelatihan Rochajat Harun ..............................................................
305
Pengaruh Terpaan Informasi Kesehatan di Televisi terhadap Sikap Hidup Sehat Keluarga Dadan Mulyana ............................................................
309
“Feedback” terhadap Aturan Pemerintah: Sebuah Studi Kasus Atie Rachmiatie ............................................................
323
Komunikasi Antarbudaya dalam Momentum Ibadah Haji Rini Rinawati ................................................................
339
Komunikasi Persuasif, Kohesi Kelompok, dan Apresiasi Seni Gamelan Sunda: Kasus di Kalangan Mahasiswa Anne Maryani ................................................................
349
Dakwah dalam Perspektif Modernisme, Antisipasi Menuju Posmodernisme Nia Kurniati Syam ........................................................
373
Telaah Buku: Televisi: Kotak Ajaib, bukan Kotak Dungu Santi Indra Astuti ...........................................................
379
Indeks ............................................................................
383
Biodata Penulis ...............................................................
391
iii
iv
Salam
Memilih Pendekatan dalam Penelitian: Kuantitatif atau Kualitatif? Di Barat, penggunaan metode penelitian kualitatif berkembang mulai tahun 70-an. Di negara kita, metode tersebut datang terlambat. Di Indonesia, buku-buku yang mengupas peneltian kualitatif, meski terus bertambah, hingga kini masih relatif jarang bila dibandingkan dengan buku-buku tentang penelitian kuantitatif. Terlebih lagi, secara khusus, dalam ilmu komunikasi. Yang ada pun masih dinilai sebagian kalangan sulit dipahami. Ketika Barat sudah ‘muak’ mempermasalahkan kedua pendekatan itu, hingga kini kita masih memperdebatkannya. (Mulyana, 2001:ix). Bahkan, bukan sekadar perdebatan, tetapi kadang seperti pertikaian dan debat kusir, satu sama lain saling berebut kebenaran. Dominasi penelitian kuantitatif di Indonesia memang dirasakan sangat kuat, bahkan amat mencengkram. Ketika metode kualitatif mulai hadir, sebagian akademisi kita – dosen, mahasiswa, penelitimerasa asing mengenalinya. Sebagian besar dari kita kurang menyadari bahwa metodologi yang sering kita pelajari di kampus, hanyalah salah satu jendela untuk memahami realitas, dan sayangnya, seakanakan hanya itulah satu-satunya metodologi yang andal yang masuk ke dalam peta kognitif kita. Sehingga, dalam memahami realitas melalui sebuah riset, kita hanya melihat dari satu world of view tertentu. Yang terjadi kemudian adalah para penganut taat metodologi kuantitatif menganggap metodologinyalah yang paling sahih, sambil menyepelekan metodologi kualitatif sebagai hal yang tidak ilmiah; sementara para peganut metodologi kualitatif menyerang habis-habisan metode kuantitatif sebagai metode yang usang, lapuk, dan menjemukan, seraya menyatakan metodenyalah yang akan lebih memberi pencerahan dalam memahami realitas. Jadi, muncul semacam fanatisme. Boleh jadi pertikaian demikian didorong oleh semangat pencarian kebenaran ilmiah yang sangat kuat dengan bekal pemahaman akar filosofis yang dalam, tapi boleh jadi juga hal itu timbul karena pemahaman orang masih sebatas kulit luarnya, ia silau dengan kelebihan dari metodologi yang dianutnya, seraya menonjolkan segudang kelemahan pada metodolog lain yang tidak dianutnya. Dalam situasi seperti itu, tidak mengherankan jika seorang penganut metodologi kuantitatif mengganyang hasil penelititan kualititatif dengan mempertanyakan ada tidaknya hipotesis atau operasionalisasi variabel. Sebaliknya, penganut metodologi kualitatif mengobrak-abrik hasil penelitian kuantitatif dengan mempertanyakan apakah sikap itu dapat diukur dengan angka, mengapa sangat setuju dari jawaban responden diberi skor 5, sedangkan setuju diberi skor 4, dst.? Sebetulnya, apakah penelititan kuantitatif dan kualitatif itu? Sesungguhnya, menurut Dedi N. Hidayat, yang menurunkan tulisan bertajuk “Metodologi Penelitian dalam Sebuah Multi-Paradigm Science”, isu pokok yang sebenarnya bukanlah pembedaan antara penelitian kuantitatif dengan kualitatif, tetapi perbedaan epistemologi, ontologi, dan aksiologi antarparadigma yang ada. Paradigma, untuk pemahaman praktis, sering disamakan dengan pedekatan atau perspektif, atau teori, yakni sebagai cara pandang (world of view), semacam jendela dari mana kita melihat suatu realitas. Ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi, sebenarnya merupakan suatu multi-paradigm science, di mana berbagai paradigma bisa tampil bersama-sama dalam suatu era. Para ahli ilmu sosial sangat bervariasi dalam mengelompokkan paradigma: Kinloch (1977) menyebut enam paradigma (perspektif teoretikal), yakni, paradigma organik, paradigma konflik, behaviorisme sosial, fungsionalisme struktur, M EDIATOR, Vol. 3
No.2
2002
v
teori konflik modern, dan paradigm sosial-psikologis; Michael Crotty (1994) mengelompokkan teoriteori sosial ke dalam positivism, interpretivism, critical inquiry, feminism, dan postmodernism; Burrel dan Morgan (1979) mengelompokkan pendekatan pada ilmu-ilmu sosial ke dalam: radical humanist paradigm, radical structuralist paradigm, interpretive paradigm, dan functionalist paradigm. Guba dan Lincoln (1994) mengajukan tipologi yang mencakup empat paradigma: positivism, postpositivism, critical theories et al., dan constructivism, masing-masing dengan implikasi metodologi tersendiri. Paradigma dalam ilmu-ilmu sosial tampak begitu bervariasi. Namun, menurut Hidayat, untuk kepentingan mempermudah bahasan tentang implikasi metodologi dari suatu paradigma, maka teoriteori dan penelitian ilmiah komunikasi cukup dikelompokkan ke dalam tiga paradigma, yakni: classical paradigm (yang mencakup positivism dan postpositivism), critical paradigm, dan constructivism paradigm. Antarparadigma itu dapat dibedakan atas dasar sejumlah hal mendasar, seperti asumsiasumsi tentang masyarakat, manusia, realitas sosial, keberpihakan moral, dan juga commitment terhadap nilai-nilai tertentu. Secara singkat, dari segi ontologi, paradigma klasik memandang bahwa realitas itu sebagai sesuatu yang objektif, terpisah dari si pengamat, sehingga berlaku umum; paradigma konsrtuktivisme melihat bahwa realitas itu sebagai hasil konstruksi si pengamat (masyarakat pelaku sosial), yang sama sekali tak dapat dipisahkan dari si pengamat, sehingga realitas itu bersifat kontekstual; paradigma kritis berasumsi bahwa realilitas merupakan hasil proses sejarah melalui kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam komunitas masyarakat yang bersangkutan. Masing-masing paradigma ini memiliki pilihan metodenya sendiri-sendiri dengan kriteria kualitas penilaian yang berbeda pula, bahkan di antaranya ada yang saling bertolak belakang. Karena perbedaan-perbedaan tersebut, kata Hidayat, tidak selayaknya kita mempergunakan kriteria yang berlaku dalam paradigma klasik untuk menilai kualitas sebuah penelitian yang berpijak atas paradigma lain, demikian pula sebaliknya. Di manakah posisi (metodologi, metode) penelitian kuantitatif dan kualitatif di antara paradigmaparadigma itu? Ada dua pandangan: pertama, konsep ‘kuantitatif’ dan ‘kualitatif’ itu sekadar sebuah ‘jenis’ atau ‘metode’ penelitian; kedua, konsep ‘kuantitatif’ dan ‘kualitatif’ itu sudah menunjukkan paradigma itu sendiri. Dalam pengertian pertama, penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digunakan dalam berbagai paradigma. Sebagai metode, perbedaan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif dapat dilihat, antara lain, dalam hal data yang digunakan, perbedaan tahap penelitian (tahap eksploratif, deskriptif, dan eksplanatif), atau teknik analisis data. Dalam penelitian kuantitiatif, data utama yang digunakan tentu saja data yang bersifat kuantitatif atau data kualitatif yang dikuantifikasikan; data diolah melalui uji-statistik, baik statistik deskriptif maupun statistik inferensial; penelitian mendeskripsikan variabel per variabel yang diteliti, atau menguji hubungan antarvariabel. Dalam penelitian kualitatif, tidak dikenal kuantifikasi data dan uji statistik. Kekuatan penalaran peneliti dengan keluasan bantuan referensi dan sumber data, di sini, sangat diutamakan dalam mengolah data. Penelitian dalam paradigma klasik tidak semuanya merupakan penelitian kuantitatif, seperti yang sering diasumsikan orang. Kata Hidayat, banyak peneliti klasik yang juga menerapkan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bukanlah monopoli paradigma konstruktivis atau pun kritis. Suatu penelitian kualitatif bisa juga didasarkan atas paradigma post-positivism, mempergunakan struktur logika yang sama dengan penelitian-penelitian positivistik pada umumnya Namun demikian, harus diakui bahwa paradigma klasik (misalnya, positivisme), atas dasar asumsiasumsi epistemologis dan ontologis yang dipergunakannya, berorientasi pada suatu metodologi dengan
Memilih Pendekatan dalam Penelitian: Kuantitatif atau Kualitatif?
vi
goodness criteria (kriteria kualitas) yang lebih memungkinkan dicapai melalui aplikasi metode-metode kuantitatif. Sebaliknya, paradigma konstruktivisme lebih memungkinkan dicapai melalui metode kualitatif. Dalam hal ini, metode kuantitatif dan metode kualitatif hanyalah implikasi dari paradigma yang mendasarinya. Penelitian kuantitatif dan kualitatif sebagai suatu metode, oleh karenanya, dapat dikombinasikan selama berangkat dari paradigma yang sama, baik secara simultan maupun dalam waktu yang terpisah. Hidayat mencontohkan, penelitian mengenai pengaruh televisi terhadap anak bisa diawali oleh sebuah penelitian kualitatif, mempergunakan metode studi kasus, yang bertujuan untuk melakukan eksplorasi terhadap variabel-variabel yang perlu diteliti dalam skala penelitian lebih luas secara kuantitatif, dengan menggunakan metode survey. Atau, sebaliknya, dumulai dari penelitian kuantitatif. Dengan demikian, penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan dapat saling mengisi, melengkapi, dan mempertajam serta memperdalam pemahaman atas hasil penelitian. Tetapi, jika titik awalnya berangkat dari paradigma yang berbeda, keduanya tak dapat dipersatukan. Dalam pengertian yang kedua, perbedaan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif dalam kasus tertentu bisa pula merupakan perbedaan yang paradigmatik yang amat mendasar. Keduanya menyangkut perbedaan dalam elemen-elemen epistemologi, ontologi, dan metodologi. Dalam hal ini, secara sederhana, sering digambarkan bahwa penelitian kuantitatif identik dengan paradigma positivisme, sedangkan penelitian kualitatif identik dengan paradigma konstruktivisme. Atau, dalam garis kontinum, penelitian kuantitatif disamakan dengan pendekatan objektivis yang berada di satu ujung; sedangkan penelitian kualitatif disamakan dengan pendekatan subjektivis yang berada di ujung lainnya. Untuk memahami perbedaan penelitian kuantitaitf dan kualitatitf, kita ambil contoh sederhana, penelitian tentang religiusitas. Dengan pendekatan kuantitatif, si peneliti berangkat dengan alat ukur yang sudah ‘baku’. Dengan alat ukur religiusitas, yang berupa angket, peneliti memotret religiusitas responden yang ditelitinya. Hasil penelitiannya dapat digeneralisasikan untuk populasi, sebagai the truth (kebenaran yang berlaku umum). Bila berangkatnya dari pendekatan kualitatif, si peneliti tidak membawa alat ukur yang dirumuskannya sedari awal, baik hasil penalarannya sendiri maupun atas teori tertentu, tetapi ia akan mengobservasi dan mewawancarai responden terlebih dahulu, apa saja menurut mereka kriteria religiusitas itu. Berdasarkan kriteria menurut responden itulah kemudian si peneliti “mengukur” religiusitas mereka. Peneliti tidak dapat menggeneralisasikan hasil peneltian ini, karena hanya berlaku untuk konteks situasi di mana ia meneliti; ia hanya mencari a truth (sebuah kebenaran spesifik). Harap dicatat, contoh ini sangat disederhanakan. Dalam jurnal edisi ini, diakui memang, hasil penelitian yang ditampilkan masih didominasi oleh metode dan penedekatan kuantitatif. Hal ini dapat dilihat pada tulisan-tulisan Neni Yulianita, Dadan Mulyana, dan Anne Maryani. Sementara itu, yang menggunakan metode kualitatif dapat disimak pada tulisan Atie Rachmiatie. *** Di tengah paradigma ilmu sosial (komunikasi) yang begitu bervariasi, ketika dominasi paradigma klasik masih sangat kuat dalam dunia keilmuan di Tanah Air, penelitian manakah yang akan kita pilih: kuantitatifkah, kualitatifkah? Tentu banyak hal yang perlu kita pertimbangkan: masalah yang akan kita teliti, tujuan penelitian, penguasaan kita atas paradigma ilmu beserta metodologi penelitiannya, permintaan ’pemberi proyek’, kesediaan pembimbing, dsb. Idealnya, kita memahami seluruh paradigma itu. Kata Hidayat, untuk bisa memahami metodologi dari perspektif lain, dan juga untuk mampu bersikap kritis terhadap metodologi klasik, maka pertamatama metodologi klasik itu sendiri harus benar-benar dikuasai atau dimengerti. Peneliti kualitatif dalam M EDIATOR, Vol. 3
No.2
2002
vii
kelompok kritis dan konstruktivis yang berkualitas umumnya adalah peneliti yang benar-benar menguasai metode-metode kuantitatif dalam tradisi klasik. Pemahaman yang komprehensif mengenai berbagai paradigma ilmu dapat membuat kita lebih toleran dalam menghadapi keanekaragaman pendekatan, serta dapat menunjukkan titik-titik keunggulan dan kelemahannya secara jernih. Kita dapat menyadari bahwa realitas itu tidak akan dapat ditangkap secara utuh hanya dari satu jendela paradigma ilmu. Bila kita sudah terbiasa dengan cara pandang positivistik, misalnya, perlu membuka diri akan adanya paradigma kritis dan lainnya di luar yang kita anut. Begitu pula sebaliknya, ketika kita menjadi penganut paradigma konstruktivisme, perlu pula membuka ruang diskusi untuk paradigma lainnya. Ilmu akan berkembang dan kaya apabila berbagai gagasan diberi ruang untuk didiskusikan. Sebagai dosen atau pembimbng, misalnya, kalau kita menolak pendekatan penelitian yang disodorkan mahasiswa, seharusnya bukanlah karena arogansi keilmuan, tetapi karena pertimbangan profesionalitas, katakanlah karena kita tidak menguasainya atau pendekatan itu bukan bidang minat kita. Sebagai contoh adalah pengalaman Deddy Mulyana, penulis buku Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, di Monash University, Australia. Seorang dosennya, yang fenomenolog, menolak jadi pembimbing untuk penelitiannya yang menggunakan metode kuantitatif. Sang dosen itu menawarkan pilihan, mencari dosen pembimbing lain yang menguasai metode kuantitatif atau menggunakan pendektatan fenomenologis yang dianut dosen itu. Tentu, sikap dosen tersebut didasarkan pada pertimbangan profesional. Di sebuan PTN di kawasan Jawa bagian tengah, pernah ada mahasiswa S2 yang proposal penelitiannya ditolak mentah-mentah karena menggunakan metode kualitatif. Akhirnya, ia dapat ‘penghiburan’ dari kawannya: “Sebaiknya mengembiklah di kandang kambing jika studi kita ingin lancar!” Apakah penolakannya didasarkan pada profesionalisme? Entahlah .... Kini, keterbukaan terhadap paradigma selain pardigma klasik, di beberapa perguruan tinggi, sudah mulai maju. Minat dan perhatian orang pada penelitian kualitatif, baik sebagai metode maupun sebagai paradigma, semakin meningkat. Bahkan, di sebuah PTN, Jawa Barat, konon proposal penelitian mahasiswa ilmu sosial pada Program Pascasarjananya mulai diarahkan ke dalam penelitian kualitatif. Mahasiswa yang sudah berjalan melakukan penelitian dengan metode kuantitatif pun, di antaranya, ada yang diminta menggantinya dengan metode kualitatif. Namun, cara seperti ini, apakah nantinya tidak terjadi penyeragaman paradigma? Dengan adanya penyeragaman paradigma, bukankah itu malah membunuh kekayaan perkembangan ilmu pengetahuan? *** Tetapi, ada arus lain! Jika di beberapa kalangan yang menggeluti ilmu sosial sudah mulai mengalihkan perhatiannya dari penelitian kuantitatif (pada tradisi klasik) ke penelitian kualitatif (pada pendekatan kritis atau konstuktivis), Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya - Lembaga Penelitan Universitas Indonesia malah sebaliknya. Pada tanggal 13-18 Mei 2002, lembaga tersebut, bekerjasama dengan Pusdiklat BPS Jakarta, menyelenggarakan pelatihan “Metode Penelitian Kuantitatif untuk Ilmu Sosial-Budaya” yang dibuka untuk umum. Alasan penyelenggaraan pelatihan tersebut tampak pada tulisan di brosurnya: “Penelitian dalam ilmu sosial dan budaya selama ini lebih banyak menggunakan metode penelitian kualitatif, sedangkan metode penelitian kuantitatif jarang dan bahkan tidak pernah digunakan. Sementara itu, dalam perkembangan ilmu sosial dan budaya dewasa ini peneliti dituntut tidak saja menguasai metode penelitian kualitatif, tetapi juga diharapkan menguasai
Memilih Pendekatan dalam Penelitian: Kuantitatif atau Kualitatif?
viii
metode kuantitatif. Penguasaan kedua metode itu tidak hanya berguna untuk memperluas wawasan tetapi sekaligus menambah keampuhan analisis dan menafsirkan data. Kenyataan yang banyak dihadapi oleh peneliti ilmu sosial dan budaya adalah kurangnya bekal pengetahuan yang cukup untuk menerapkan metode kuantitatif, sehingga sering menimbulkan persoalan bila dalam penelitiannya dituntut untuk menggunakan analisis statistik atau paling tidak anggapan bahwa penelitian kuantitatif lebih “ilmiah”, karena ciri ilmu pengetahuan harus memiliki objektivitas. Untuk objektif, maka setiap gejala yang diteliti harus dapat dan mampu diukiur dan dikuantifikasi.” Dua macam arah arus peralihan perhatian paradigma penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, sebaiknya kita pandang sebagai bagian dari dinamika perkembangan dan pengayaan khasanah ilmu pengetahuan, bukan untuk arena debat kusir – saling menyalahkan. Penelitian kuantitatif atau penelitian kualitatif, sekali lagi mengutip pendapat Dedy N. Hidayat, bukanlah isu pokok. Yang paling penting adalah pemahaman peneliti atas paradigma yang melatari penelitian itu beserta perangkat metode dan goodness criteria-nya. M
O. Hasbiansyah
M EDIATOR, Vol. 3
No.2
2002
ix
Memilih Pendekatan dalam Penelitian: Kuantitatif, atau Kualitatif?
x