Jurnal ILMU KOMUNIKASI
ISSN 1829 – 6564 Volume 1, Nomor 2, Desember 2004
Halaman 95 - 184
Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika André Hardjana (Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta)
(95-112)
Perkembangan Hubungan Perkawinan: Kajian Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan Antarpribadi pada Suami-Istri Katolik Anne Suryani (Universitas Indonesia)
(113-130)
Digitalisasi Masyarakat: Menilik Kekuatan dan Kelemahan Dinamika Era Informasi Digital dan Masyarakat Informasi AG. Eka Wenats Wuryanta (Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta)
(131-142)
Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi G. Arum Yudarwati (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
(143-156)
Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of Kompas and Republika Newspapers (157-170) Prayudi (Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta) Media Literacy: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan Rahayu (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
(171-184)
Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika1
André Hardjana2
Abstract: Being an interdisciplinary science, communication ows its key concepts and theoreties to other scientific fields. The body of communication knowledge grew out of research works undertaken by those scholars who were actively involved in the various activities related to the war information management, some of whom were then pronounced ‘founding fathers’ of communication research. This article briefly reviews the intensive interactions among those founding fathers during the war whose ideas were then drown together to constitute the communication field of study. Schramm was the institutionalizer of this new field of communication study. The development of communication theory now is largely depending on the various research works undertaken by those researchers affiliated with either the departments of communication or the schools of journalism mass communication in the US and Canada.
Key Words: Communication, mass communication, communication research, interdisci- plinary field of communication study.
Sebagai pangkal tolak dari pembicaraan tentang teori komunikasi di Amerika Serikat dan pengaruhnya pada pemahaman tentang konsep dan teori komunikasi dan komunikasi massa, akan dibuat kisah pengandaian seorang dosen ilmu komunikasi dengan gelar sarjana lengkap—kini disebut Sarjana 1
Disunting dari makalah yang disampaikan pada Penataran Teori Komunikasi bagi Dosen Ilmu Komunikasi se-Jawa dan Bali; yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1 Oktober 2003 di Yogyakarta.
2
André Hardjana adalah Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.
95
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
Strata Satu (S1) lulusan awal tahun 1970-an. Sebagai sarjana tahun-tahun awal 1970-an, penulis berkesimpulan bahwa nama paling besar dalam ilmu komunikasi adalah Wilbur Schramm. Nama itu dikenal berkat bukunya Mass Communications (1960)—sebuah buku tebal yang mencapai 696 halaman— yang menghimpun berbagai pembicaraan penting dan perspektif tentang media komunikasi massa, dinamika pertumbuhan, dan fungsinya dalam perkembangan masyarakat Amerika. Di mata penulis, nama Schramm makin melambung berkat The Process and Effects of Mass Communication (asli 1954 dengan edisi revisi 1972). Untuk edisi pertama, Wilbur Schramm menulis sebuah kata pengantar panjang berjudul “How Communication Works” yang menjelaskan proses kelangsungan komunikasi. Kata pengantar itu kemudian diubah menjadi “The Nature of Communication between Humans” dalam edisi revisi yang merupakan sebuah buku raksasa setebal 998 halaman. Dalam kata pengantar baru itu, Schramm memaparkan pemahaman yang mendalam tentang hakikat komunikasi sebagai proses dan keempat fungsinya, yakni “informing, instructing, persuasion, dan entertaining”. Separoh dari isi buku raksasa yang menghimpun 36 makalah penting tersebut berkaitan dengan masalah-masalah sosial makro. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan tujuh buah pengantar untuk masing-masing seksi, yakni (1) Media as Communication Institution, (2) The Nature of Audience, (3) Approaches to the Study of Mass Communication Effects: Attitutes and Information, (4) Social Consequences of Mass Communications, (5) Mass Communications, Public Opinion, and Politics, (6) Communication, Innovation, and Change, dan (7) Implications of the New Communication Technology. Sebagai dosen muda ilmu komunikasi dekade 1970-an, penulis harus melakukan “mind shift” dari “konsep publisistik” ke “konsep komunikasi”, mengapa begitu? Penulis tidak mengetahui alasan konseptual yang menjadi dasarnya. Dalam kegairahan pembangunan nasional dalam development era dunia, konsep komunikasi diperkenalkan sebagai pengganti konsep publisistik. Istilah “komunikasi pembangunan” sangat populer di kalangan akademisi dan birokrasi pemerintahan sebagai alat untuk perubahan sikap mental (mental attitude) di awal modernisasi bangsa Indonesia. Penulis tidak pernah mengerti mengapa tidak digunakan istilah “publisistik pembangunan”. Nampaknya istilah komunikasi pembangunan sengaja digunakan dalam artian sebagai “komunikasi massa pembangunan”, sehingga penulis harus berkenalan dengan buku Schramm lain—ini benar-benar buah karya Wilbur Schramm sendiri— yang diberi judul Mass Communication and National Development: The Role of Information in the Developing Countries (1964). Buku itu diterbitkan oleh UNESCO dalam kerjasama dengan Stanford University. Dari buku itu penulis belajar tentang fungsi kebijakan pemerintah dalam pengembangan komunikasi
96
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
nasional untuk mendorong akselerasi pembangunan nasional. Bagi penulis, Schramm tidak hanya memberikan pegangan teknis kebijakan, tetapi juga pegangan teori komunikasi pembangunan. Sebagai buku pegangan teori, buku ini mendapat sokongan empiris dari dua tingkatan, yakni level makro dan level mikro. Pada tingkat makro, buku penting pendukung kebijakan komunikasi adalah The Passing of Traditional Society (1958) karya Daniel Lerner yang diangkat dari rangkaian studi empiris di negara-negara Timur Tengah. Pada tingkatan mikro, buku yang menjadi pendukung empiris adalah Modernization among Peasants: The Impact of Communication (1969) dan buku Communication and Innovations: A Cross Cultural Approach (1962)—buku kedua ini dalam edisi revisi diubah judulnya menjadi Diffusion of Innovations (1995). Kedua buku ini merupakan karya Everett M Rogers. Pelaksanaan komunikasi pembangunan secara empiris mengikuti ajaran Rogers, yang terkenal dengan sebutan “model adopsi inovasi” (adoption of innovations). Bagi penulis, Everett M. Rogers menjadi nama terbesar kedua sesudah Wilbur Schramm sebagai tokoh ilmu komunikasi. Sesuai dengan ajaran modernisasi, adopsi inovasi mengandaikan bahwa ide dan praktek inovasi berasal dari sumber luar masyarakat—khususnya dalam pengenalan dan penggunaan teknologi pertanian. Model adopsi inovasi yang mengesampingkan “personal growth and development” ini, kemudian ditinjau kembali secara kritis di dalam Communication and Development: Critical Perspectives (Rogers, 1976). Pengertian-pengertian “teori komunikasi”, terutama bersumber pada dua buku, yakni The Process of Communication (1960) karya David Berlo yang memberikan dua konsep penting, yakni komunikasi sebagai proses dan pendekatan proses. Teori tersebut di kalangan mahasiswa terkenal dengan sebutan Model Berlo:
S M C R [E F] Model Berlo ini ternyata dibangun berdasarkan model proses komunikasi teknis yang dikembangkan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver untuk komunikasi teknologis yang dirumuskan sebagai teori matematik— Mathematical Theory of Communication (1949) yang dapat memudahkan pemahaman tentang proses komunikasi antarmanusia. Namun model Berlo itu tidak memasukkan konsep “arus komunikasi”(flow of communication). Di samping itu, elemen-elemen feedback dan interaction juga tidak dinyatakan secara eksplisit—hanya dapat diimplikasikan saja. Dari penjelasan dan rincian dari model tersebut, dapat dipahami bahwa komunikasi terjadi dalam dan
97
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
dipengaruhi oleh sistem sosial dan budaya. Akhirnya, komunikasi yang berhasil hanya terjadi bila terdapat kesepadanan antara source dan receiver dalam hal ketrampilan komunikasi dan nilai maupun sikap. Buku teori kedua adalah Four Theories of the Press (1956) karya Fred S. Siebert, Theodore B. Peterson, dan Wilbur Schramm. Buku “teori” ini berisi empat buah landasan-landasan filosofi yang berbeda tentang komunikasi, yakni libertarian dan authoritarian (Fred S. Siebert), social responsibility (Theodore Peterson), dan totalitarian (Wilbur Schramm). Berdasarkan pandangan dalam buku teori komunikasi ini, selanjutnya “komunikasi pembangunan” yang dirintis oleh Wilbur Schramm, Daniel Lerner, dan Everett M Rogers disebut sebagai “teori komunikasi kelima”. Perkembangan dan aplikasi teori kelima— komunikasi pembangunan nasional—dalam perkembangan selanjutnya sangat dipengaruhi oleh Wilbur Schramm dan Daniel Lerner melalui program EastWest Center Communication Institute di kampus University of Hawaii. Pemahaman tentang konsep dasar “the act of communication” dan “communication research” sangat dibantu oleh “rangkaian pertanyaan klasik” dari Harold D. Lasswell yang kemudian menjadi tersohor dengan sebutan Model Lasswell (1948). Model Lasswell meliput lima buah pertanyaan sebagai berikut:
Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?
Dengan pemahaman tentang kejadian komunikasi ini, para peneliti dapat memilih untuk menjawab salah satu pertanyaan. Dengan fokus pada “Who” peneliti dapat meninjau faktor-faktor yang mendorong dan membimbing “act of communication”; dengan begitu ia masuk bidang control analysis. Kemudian peneliti yang tertarik pada “Says What” masuk ke bidang content analysis. Selanjutnya, peneliti yang tertarik pada “In Which Channel”— radio, pers, film, dan saluran komunikasi lain, dapat memasuki bidang penelitian media analysis. Sedangkan peneliti yang berminat pada “To Whom”—orang-orang yang dicapai oleh media—ia memasuki bidang penelitian audience analysis. Akhirnya, peneliti yang berminat pada “With What Effect”—dampak dari yang
98
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
ditimbulkan pada khalayak—ia dapat melakukan penelitian effect analysis. Namun Lasswell tidak menganjurkan pemisahan bidang penelitian secara ketat, sebaliknya ia justru menganjurkan penggabungan beberapa bidang penelitian agar pemahaman tentang “communication act” itu menjadi lebih mendalam. Selain menunjukkan peluang-peluang penelitian yang dapat dipilih, Model Lasswell ini juga memberikan penjelasan bahwa “the act of communication” melaksanakan tiga fungsi dalam sistem sosial, yang meliputi “the surveillance of the environment”, the correlation of the parts of society in responding to the environment, and the transmission of the social heritage from one generation to the next”. Selain itu, juga dijelaskan bahwa sistem sosial memiliki “distinctive patterns” (institution) tentang “act of communication” dan tugas untuk menentukan “certain criteria of efficiency in communication”—lembaga dan kebijakan komunikasi yang menjamin efektivitas komunikasi. Namun dalam kaitan ini perlu ditambahkan bahwa rangkaian kelima pertanyaan Lasswell di atas tidak meliput pertanyaan tentang “Why”, sehingga para siswa komunikasi tidak memperoleh pemahaman tentang berapa besar makna komunikasi (massa) dalam masyarakat dan bagaimana mengukurnya. Salah satu konsep penting sebagai dampak dari komunikasi pembangunan adalah modernisasi (modernization), yang secara khusus meliput pembaharuan politik dan partisipasi sosial dalam pembangunan. Sebagai dosen yang percaya pada fungsi komunikasi dalam proses modernisasi sosial dan politik, penulis berkenalan dengan buku Modernization, yang disunting oleh Myron Weiner (ed, 1966)) dan buku Becoming Modern karya Alex Inkeles dan David H. Smith (1974). Buku Weiner adalah buku umum yang berisi makalahmakalah yang pernah disiarkan radio di Amerika Serikat tentang ide-ide pokok dalam perubahan sosial politik suatu bangsa, sedang buku Inkeles-Smith merupakan laporan riset ilmiah tentang pelaksanaan modernisasi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Secara singkat dapat dikatakan bahwa buku kedua merupakan pendukung empiris dari konsep-konsep yang termuat dalam buku pertama. Selanjutnya, khusus tentang komunikasi dan partisipasi politik penulis berkenalan dengan buku Communications and Political Development (1963) yang berisi hasil-hasil riset dan pengamatan tentang perkembangan komunikasi dan sosial-politik di Asia dan Afrika oleh Lucian W. Pye (ed., 1963). Pada dasarnya isi buku ini sejalan dan melanjutkan “teori demokrasi” di Amerika yang termuat dalam The Civic Culture (1963) karya Gabriel Amond dan Sidney Verba. Dari beberapa buku penting karya tokoh-tokoh komunikasi di atas— meskipun tidak semua makalah tentang berbagai persoalan itu dapat penulis
99
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
pahami—muncul kesan bahwa komunikasi adalah sebuah bidang studi yang interdisipliner. Namun bagaimana kaitan antara berbagai disiplin keilmuan membentuk jalinan dan membentuk teori-teori komunikasi, penulis tidak begitu paham. Demi pemahaman tentang pembentukan teori-teori itu, penulis merasa perlu melanjutkan studi Pascarjana ke Amerika, karena dari negeri itulah namanama besar di bidang komunikasi yang dikenal itu berasal, sehingga kisah pengandaian ini masih akan dilanjutkan di bagian berikutnya.
ILMU KOMUNIKASI: BIDANG STUDI INTERDISIPLINER Bagaimana ilmu komunikasi menemukan dirinya sebagai bidang studi “interdisipliner”? Pertanyaan ini langsung mengacu pada kenyataan bahwa banyak ahli dari berbagai bidang keilmuan, seperti psikologi, sosiologi, ilmu politik, cybernetics, matematika, retorika, lingusitik, seni, kebudayaan, dan sejarah, yang tertarik pada “komunikasi” karena “zaman menuntutnya”. “Tuntutan zaman” itu berkaitan dengan disorganisasi sosial dan disfungsionalisasi sistem, khususnya karena perang. Para ahli psikologi, misalnya, menggarap masalah-masalah psikologi dalam komunikasi dan ahli matematik mengembangkan teori informasi yang sangat dibutuhkan. Komunikasi dipandang sebagai bidang penelitian yang bermanfaat untuk memahami perilaku manusia dan perilaku sosial maupun dapat membantu menjelaskan teori-teori lain agar dapat diaplikasikan pada kehidupan nyata saat zamannya. Dari sejumlah ahli dari berbagai bidang keilmuan itu muncul sangat mencolok empat nama dari tiga bidang keilmuan—dua orang ahli psikologi, seorang ahli sosiologi, dan seorang lagi ahli ilmu politik—yang oleh Schramm (1962) dinyatakan sebagai “the founding fathers of communication research” dalam studi ilmu komunikasi. Dalam tulisannya yang berjudul “Communication Research in the United States” yang menjadi pengantar buku berjudul The Science of Human Communication (Schramm, ed., 1962) dengan tegas menyatakan Paul Lazarsfeld (ahli sosiologi didikan Vienna), Kurt Lewin (ahli psikologi didikan Vienna), Harold Lasswell (ahli ilmu politik didikan Universitas Chicago), dan bintang mati muda Carl Hovland (ahli psikologi didikan Yale University). Paul F. Lazarsfeld (1901-1976) yang berkebangsaan Austria, datang ke Amerika Serikat dan menjadi staf di Bureau of Applied Social Research di Columbia University, New York. Lazarsfeld mempunyai spesialisasi “survey research” dengan minat khusus tentang dampak-dampak media massa dan hubungannya dengan pengaruh pergaulan (personal influence). Baginya pengukuran khalayak
100
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
(audience measurement) dapat digunakan untuk memahami media. Pilihan atas jenis program menunjukkan sesuatu tentang orang maupun tentang programnya sendiri. Langkah berikutnya mencari tahu tentang mengapa orang-orang memilih program tersebut. Kemudian mengetahui bagaimana mereka menggunakan apa yang diperolehnya dari media, dan akhirnya apa dampak dari media atas perilaku dalam pemilihan umum, cita rasa, dan pandanganpandangan umum tentang kehidupan dan masyarakat. Di lembaga tersohor itu, selain Lazarsfeld juga bekerja Robert K. Merton, seorang ahli teori sosial moderen, yang mencetuskan konsep-konsep penting—latent and manifest functions, social effects, opinion leadership, parochialism, cosmopolitanism, dan popular taste—sebagai dampak dari penggunaan media massa. Kemudian dari lembaga tersebut muncul ahli-ahli kenamaan, seperti Elihu Katz, Joseph T. Klapper, dan Herbert Menzel. Tokoh kedua adalah Kurt Lewin (1890-1947), yang berkebangsaan Austria adalah seorang ahli psikologi Gestalt yang datang ke Amerika Serikat dan bekerja di University of Iowa. Minatnya adalah pada komunikasi dalam kelompok dan dampak dari tekanan kelompok, norma-norma kelompok, ikatan dan keutuhan kelompok, dan peran kelompok dalam perilaku maupun pada sikap-sikap anggota kelompok. Dari rangkaian riset yang dilakukan dengan beberapa staf mudanya, diperoleh pemahaman tentang perilaku kelompok dengan kepemimpinan demokratik dan kepemimpinan otoriter (democratic and authoritatian leadership), perubahan perilaku penting dengan komunikasi dan keputusan partisipatif kelompok—pembiasaan makan daging limpa, hati, dan ginjal sapi—jaringan informasi kelompok dan gatekeeping role (social network). Dengan berbagai riset kelompok yang dilakukan, ia diakui sebagai perintis Group Dynamics Movement. Di antara para ahli kenamaan yang kemudian melanjutkan minat Lewin adalah Leon Festinger dan William J. McGuire, Jack Brehm, dan David Manning White. Tokoh ketiga adalah Harold Dwight Lasswell (1902-1978), kelahiran Donnellson di Illinois, adalah seorang ahli ilmu politik lulusan University of Chicago. Minat awalnya adalah pada penelitian tentang propaganda dalam aliran riset kesisteman (systems research) tentang komunikasi di kalangan bangsa-bangsa dan masyarakat. Kemudian studinya makin terfokus pada tokohtokoh komunikasi politik yang sangat berpengaruh di Eropa, seperti Adolph Hitler. Dalam usaha tersebut ia menjadikan ilmu politik tidak terpisahkan dari komunikasi, dan selanjutnya komunikasi terkait dengan psikoanalisis. Singkatnya, ia berjasa karena telah berhasil meyakinkan bahwa komunikasi memang merupakan bidang studi interdisipliner. Dari riset-riset Lasswell tersebut dapt dipelajari tentang content analysis dan penggunaan statistik dalam riset komunikasi. Dampak komunikasi—propaganda sebagai komunikasi
101
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
politik—dapat dilihat pada bobot dan intensitas pola penggunaan kata-kata kunci dan lambang (symbol) di dalam pesan-pesan yang disebarkan melalui media massa. Dengan konsep propaganda itu Lasswell mengajukan pemikiran “pengubahan pandangan orang” sebagai strategi “managing public opinion”. Minatnya terhadap “public opinion” memperkuat kedudukan konsep “Public Opinion” di negara demokrasi yang mengandalkan media komunikasi massa yang sebelumnya dicetuskan oleh Walter Lippmann (1922). Bekerja sama dengan John Marshall, salah seorang pengurus The Rockefeller Foundation, ia membuat program “Rockefeller Foundation Seminar on Mass Communication” yang berlangsung selama sepuluh bulan (1939-1940). Rangkaian seminar itu antara lain melahirkan sebuah buku klasik, yang sangat penting dalam studi ilmu komunikasi, berjudul The Communication of Ideas (ed. Lyman Bryson, 1948). Buku klasik ini berisi enambelas artikel tentang berbagai aspek komunikasi—tiga di antaranya dikenal karena dimuat kembali dalam buku Wilbur Schramm, yakni “The Structure and Function of Communication in Society” (Harold D. Lasswell), “Mass Communication, Popular Taste, and Organized Social Action” (Paul F. Lazarsfeld dan Robert K. Merton) dan “Some Cultural Approaches to Communication” (Margaret Mead). Dua tokoh muda yang melanjutkan minat Lasswell di bidang “public opinion, mass communication, content analysis, and propaganda” adalah Ralph Casey lulusan dari University of Wisconsin dan Ithiel de Sola Pool lulusan University of Chicago. Bahkan selama Perang Dunia II Casey dan Lasswell sama-sama bekerja di Office of Facts and Figures yang kemudian menjadi lebih terkenal dengan sebutan Office of War Information (OWI) di Washington, D.C. Tokoh keempat adalah Carl Hovland (1912-1961), seorang ahli psikologi yang mempunyai reputasi sebagai ahli psikologi eksperimental. Sebagai dosen yang juga mempunyai pengalaman bekerja pada US Army Research Branch di bawah pimpinan Samuel A. Stouffer selama perang dunia, ia menunjukkan minat yang luar biasa pada “communication and attitude change”. Pada awalnya ia melakukan studi tentang “persuasion” yang bertumpu pada teori Carl Rogers tentang pentingnya “conclusion drawing by clients” dalam hubungannya dengan “credibility of the communicator” dalam proses perubahan sikap, dan teori tentang “mass communication and its effects”. Kemudian minat penelitiannya dilanjutkan dengan rangkaian eksperimen pembelajaran di kalangan militer, yang terkenal sebagai buku dengan judul Experiments on Mass Communication (1949). Dalam rangkaian eksperimen itu, ia menggunakan film melihat “the effects of the army’s morale films” yang dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan personil militer—tidak hanya mengandalkan ukuran kuantitatif. Film-film itu dibuat untuk meningkatkan semangat bertempur di kalangan militer. Dengan eksperimen-eksperimen yang
102
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
menggarap konsep-konsep Aristoteles—logos, etos, dan pathos—Hovland dapat dikatakan menghidupkan kembali pengembangan retorika moderen (modern rhetoric). Dalam riset-riset tersebut, misalnya, ia menggunakan konsep–konsep kredibilitas, pesan-pesan satu sisi dan dua-sisi, pengaruh rasa takut, dan inokulasi untuk melawan propaganda. Dalam literatur komunikasi, riset Carl Hovland terkenal dengan sebutan “message learning approach” (MLA), yang pada dasarnya menunjukkan bagaimana orang belajar tentang pesan-pesan komunikasi. Rangkaian riset eksperimen yang dilakukan oleh Hovland mempunyai implikasi sangat besar pada komunikasi massa, karena meskipun “persuasion experiments” itu dapat dikategorikan sebagai komunikasi antar pribadi namun juga berlaku untuk studi tentang perilaku komunikasi massa pada tingkatan mikro, yakni bagaimana orang “menyerap pesan-pesan” (reception of messages) dari media komunikasi massa. Dari seluruh rangkaian penelitiannya, “the credibility experiments” adalah yang paling tersohor dan menjadi model dalam penelitian-penelitian sejenis selanjutnya. Berkat rangkaian penelitiannya tersebut, oleh Schramm (1985), ia dijuluki sebagai “orang yang paling berjasa di bidangnya”. Julukan itu nampaknya tidak berlebihan, karena “setiap tahun sejak terbitnya buku Communication and Persuasion (1958) sampai akhir hayatnya (1961) Hovland dan stafnya di Yale University menerbitkan sebuah buku tentang perubahan sikap”. (Everett M. Rogers, 1994: 378-79). Para penerus kenamaan yang melanjutkan studi jalur ini adalah Irving L. Janis dan Nathan Maccoby. Dari Hovland dapat dipelajari tentang “teori perubahan sikap melalui komunikasi”— the theory of how to change attitudes by means of communication. Sumbangan keempat tokoh perintis ini sangat mewarnai teori dan metodologi dalam penelitian komunikasi—khususnya komunikasi massa—di Amerika kemudian. Dengan jelas tampak bahwa penelitian komunikasi mengandalkan pengukuran dengan angka-angka—quantitative rather than speculative—seperti “content analysis, audience measurement, group dynamics, message learning approach”, meskipun Carl Hovland juga menggunakan wawancara untuk membantu penjelasannya. Mereka pada dasarnya sangat peduli tentang pengembangan teori, namun bagi mereka yang penting adalah teori yang dapat diuji. Singkatnya, tampil sebagai “behavioral researchers”, mereka mencoba mencari sesuatu tentang “mengapa manusia bertindak begitu”—behave as they do—dan bagaimana komunikasi dapat membuat mereka hidup bersama secara lebih bahagia dan produktif. Dari pengamatannya tentang penelitian komunikasi di Amerika Serikat, Schramm akhirnya menjelaskan bahwa “pusat-pusat studi komunikasi bermunculan tidak saja terbatas pada Bureau of Applied Social Research (Columbia University) dan Communication and Attitude Change Program
103
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
(Yale University), tetapi juga menyebar ke Stanford, Illinois, M.I.T. , Michigan State dan Wisconsin” (Schramm, 1962: 6). Dalam kisah pengandaian ini penulis tentu saja kecewa menemukan kenyataan bahwa Wilbur Schramm dan Everett M. Rogers yang semula penulis anggap sebagai “dua nama paling besar” dalam studi komunikasi—khususnya komunikasi massa—tidak didudukkan sebagai “founding fathers”. Penulis baru merasa lega kemudian, ketika membaca bahwa Wilbur Schramm (1907-1987) mendapat julukan “institutionalizer”—pelembaga studi ilmu komunikasi—oleh Everett M. Rogers (1986: 107). Komunikasi menjadi bidang keilmuan secara penuh dan absah—terpisah dari ilmu politik, sosiologi, dan psikologi—berkat usaha dan jasa dari Schramm. Berikut ini adalah beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari kesaksian para ahli tentang jasa Wilbur Schramm sebagai “institutionalizer” dalam bidang studi ilmu komunikasi. “[It was his vision], “more than anyone else, that communication could become a field of study in its own right” (William Paisley, 1985: 2). Memang sejak ditunjuk menjadi Director of Education Division pada Office of Facts and Figures (OFF) oleh penyair Archibal MacLeish, yang saat itu menjadi kepala US Library of Congress, yang merangkap jabatan direktur OFF, Schramm membayangkan komunikasi sebagai sebuah bidang keilmuan … “Vision of Communication Study” yang menimba banyak konsep dan teori dari ajaran-ajaran psikologi, sosiologi, dan politik namun berdiri sendiri dan tidak merupakan bagian dari ketiganya. “He had a vision for founding the new field of communication study.” (Rogers, 1994: 16). Visi itu lahir dari pengalamannya selama lima belas bulan sebagai perencana “white propaganda … aimed at domestic audience”: menyebar informasi kepada rakyat tentang perkembangan perang dan himbauan agar rakyat rela melakukan pengorbanan tertentu untuk memenangkan perang.
104
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
Singkatnya, kampanye untuk “to boost domestic morale” yang menjadi tanggung jawabnya sebagai perencana “white propaganda” itu memaksa Schramm terlibat dalam sebuah jaringan interaksi yang intensif dengan berbagai ahli ilmu sosial yang menjadi pejabat atau penasehat pada tiga lembaga penting di Washington DC saat itu, yakni Research BranchInformation and Education Division (US Army) yang diketuai Samuel A. Stouffer, Survey Division-Office of War Information (OWI) pimpinan Elmo Wilson, dan Division of Program Surveys-US Department of Agriculture (USDA) pimpinan Rensis Likert. “Jaringan intensif selama Perang Dunia II itu “created the conditions for the founding of communication study”. Willard Grosvenor Bleyer (1934), yang kemudian terkenal dengan sebutan “Daddy Bleyer”, “the founding father of journalism education” menyermpurnakan pendidikan jurnalisme di University of Wisconsin—Departement of Journalism dibentuk tahun 1912—menjadi bidang studi ilmu sosial yang handal—bukan program teknik jurnalistik—dengan menggabungkan ilmu-ilmu sejarah, ekonomi, politik dan pemerintahan, sosiologi, psikologi, dan ilmu kemunusiaan. Dengan penyempurnaan tersebut, pendidikan jurnalisme mendapat tempat terhormat dan berkembang di universitas yang bangga sebagai Research University itu, karena dapat dilanjutkan dengan program doktor, yang kemudian terkenal dengan sebutan “School of Journalism and Mass Communication”. Hasil didikan Bleyer, seperti Ralph O. Nafziger, Fred Siebert, Chilten Bush, dan Ralph Casey kemudian menjadi motor penggerak dari program komunikasi yang dibangun oleh Wilbur Schramm. (Rogers, 1994: 466). Ralph O. Nafziger, seorang didikan Bleyer di University of Wisconsin, memperkenalkan “some communication study into his school of journalism” di University of Minnesota (1944)— mengembangkan jurnalisme menjadi komunikasi massa.
105
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
Singkatnya, langkah yang ditempuh Wilbur Schramm memang istimewa—berbeda dengan Nafziger dan Bleyer. Kalau kedua tokoh itu “memantapkan kedudukan ilmiah pendidikan jurnalisme” yang ada dengan mempersiapkan program pascasarjana dengan orientasi komunikasi massa, Wilbur Schramm mempersiapkan peluncuran program baru, yang belum ada sebelumnya—“launching a whole new field of academic study” . Hal itu mulanya dilakukan di University of Iowa, tetapi baru terlaksana beberapa waktu kemudian di Illinois dengan didirikannya Institute of Communication Research di University of Illinois (1947). Perkembangan ilmiah dan riset komunikasi—khususnya komunikasi massa—terkait dengan munculnya Communication Research Institute yang menopang program-program doktoral di universitas-universitas Iowa, (1943), Illinois (1947), Wisconsin (1949), Minnesota (1951), dan Stanford (1952). Pembicaraan tentang awal dari program pascasarjana ilmu komunikasi ini dibuat agak rinci karena hal itu sangat berpengaruh pada arah perkembangan ilmiah—teori-teori komunikasi umumnya berkembang sejalan hasil riset para penulis disertasi untuk gelar doktor, karena gelar tersebut memang merupakan gelar riset.
STATUS SEKARANG Pengenalan tentang keempat “bapak” ilmu komunikasi dan “perintis” program pendidikan pascasarjana di bidang ilmu komunikasi dapat memberikan bayangan pada kita, bagaimana perkembangan teori komunikasi selanjutnya. Teori komunikasi berkembang di kampus-kampus yang menyelenggarakan pendidikan pascasarjana yang dilengkapi pusat atau lembaga risaet komunikasi massa yang berawal di universitas-universitas di wilayah Midwest—dengan kekecualian universitas Stanford di California—yang kemudian diikuti oleh universitas di wilayah lain. Pengembangan teori-teori komunikasi merupakan hasil rangkaian kerja riset yang tidak mengenal lelah— baik melalui pendekatan positivism maupun subjectivism—sebagaimana tersirat dari riset para bapak di atas. Ilmu komunikasi yang dicita-citakan oleh Wilbur Schramm tidak terbatas pada bidang ”komunikasi massa” (mass communication) yang ternyata dikaitkan dengan Journalism, tetapi juga meliput “komunikasi antar manusia” (human communication), yang pada saat itu dipahami sebagai “komunikasi antar pribadi” (interpersonal communication) dan menjadi bagian dari Speech and Drama. Komunikasi massa cenderung berkembang sebagai profesi keilmuan sosial, sehingga umumnya dikelola sebagai “Sekolah” (School of Journalism and Mass Communication), sedang komunikasi antar pribadi dikembangkan sebagai ilmu kemanusiaan dalam
106
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
bentuk “Jurusan” (Departemen tof Speech Communication atau Communication Arts) yang berafiliasi dengan Department of English. Banyak universitas terkenal memiliki kedua-duanya—School of Journalisme and Mass Communication dan Department of Communication Arts. Dalam praktek, mahasiswa mempunyai kebebasan untuk mengembangkan program studinya dengan mengambil kuliah di kedua departemen tergantung pada minat khusus dalam penyusunan program pribadinya. Arah dan orientasi teoritik dalam studi ilmu komunikasi secara teratur dirangkum dan ditinjau ulang dalam buku-buku teori dan perkembangan dari saat ke saat dilaporkan dalam Communication Yearbook. Buku-buku teori yang beredar di Indonesia antara lain Theories of Human Communication (Stephen W. Littlejohn), Theories of Mass Communication (Melvin L. DeFleur), Mass Communication Theory (Denis McQuail),Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts (Katherine Miller), A First Look at Communication Theory (Em Griffin), dan Foundations of Communication Theory (ed. Kenneth Sereno dan C. David Mortensen). Perkembangan teori terutama menjadi pembicaraan dan topik penelitian dari jurnal-jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh ICA (International Communication Association), khususnya Communication Theory, Journal of Communication, dan Human Communication Research dan AEJMC (Association for Education in Journalism and Mass Communication), khususnya Journalism and Mass Communication Quarterly, Journal of Public Relations Research, dan Mass Communication and Society. Untuk memudahkan pemahaman dan pembedaan teori-teori yang kini dikembangkan dalam berbagai kegiatan penelitian dan dilaporkan dalam jurnaljurnal ilmiah, Robert Craig (University of Colorado) mencoba membuat peta teori (mapping the theory), yang meliput tujuh bidang, yang telah membentuk tradisi dalam penelitian komunikasi. Ketujuh teori adalah 1) sociopsychological theory: pengaruh antar pribadi (interpersonal influence); 2) cybernetics theory: pemrosesan informasi (information processing); 3) rhetorical theory: seni pidato (the artful public address); 4) semiotics theory: proses kebersamaan makna melalui tanda (the process of sharing meaning through signs); 5) socio-cultural theory: penciptaan dan pengungkap realitas sosial (creation and enactment of social reality); 6) critical theory: penelurusan reflektif tentang wacana yang timpang (reflective challenge of unjust discourse); dan 7) phenomenological theory: pengalaman pribadi dan orang lain melalui dialog.
107
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
Bila disimak menurut paradigma yang digunakan maka segenap penelitian yang disajikan dalam jurnal-jurnal ilmiah baku (mainstream communication journals) yang dimaksudkan untuk membangun teori tersebut dapat digolongkan menjadi tiga paradigma dasar yaitu 1) empirisisme, yang mencoba menjelaskan, meramalkan, dan melakukan kontrol atas fenomenafenomena yang teramati dengan menunjukkan hubungan-hubungan yang umum dan penting; 2) hermeneutika, yang mencoba memahami makna-makna perilaku manusia melalui penafsiran teks dan kerangka-kerangka pemahaman; dan 3) kritikisme, yang mencoba melakukan perubahan-perubahan emansipatoris melalui refleksi kritis atas kebiasaan sosial. Paradigma kedua dan ketiga menjadi sangat popular dalam pendekatan budaya (cultural studies) yang juga terkenal dengan sebutan media studies yang menunjukkan ciri khusus, yakni “naturism, social causation, and functionalism” (James Porter et al. 1993: 317-335). Bila buku-buku teori dan jurnal-jurnal tersebut disimak, dapat diperoleh sebuah gambaran bahwa teori fungsionalisme, terutama “communication effect” merupakan teori komunikasi yang tetap kokoh dan dimantapkan oleh rangkaian penelitian di berbagai lingkungan sosial. Teori ketergantungan (dependency theory) dan pembuatan jadwal (agenda setting) telah berkembang ke arah pembentukan kerangka pandang individual (framing). Namun perlu dicatat bahwa teori propaganda—termasuk kampanye politik—tidak lagi dianggap memiliki “super-influence” seperti dalam Era Perang Dingin, meskipun propaganda sudah menjadi roh komodifikasi informasi dan iklan bisnis. Salah satu aliran dalam teori besar fungsionalisme adalah teori normatif (normative theory) yang menjelaskan letak, kedudukan, dan fungsi komunikasi dalam konteks sosial budaya dalam artian luas—sosial, ekonomi, peolitik, psikologi, dan budaya. Teori kesisteman (systems theory), yang juga dikenal sebagai teori kesisteman dasar (general systems theory), termasuk teori informasi (information theory) dan sibernetika (cybernetics) secara khusus menjadi landasan bagi perkembangan komunikasi keorganisasian dan teori jaringan yang peka terhadap umpan balik, distorsi, kadar muatan (load capacity), saluran-media, dan interdependensi antar sistem—subsistem-sistemsuprasistem—melalui input, process, dan output plus feedback. Teori informasi dan pengaruh (information theory and influence) khususnya dikembangkan menjadi bidang kajian dan profesi hubungan masyarakat (public relations), yang juga meliput public opinion and the communication of consent.
108
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
Berkat pengaruh paradigma kritis sistem produksi komunikasi kini mendapat perhatian yang makin besar, karena media komunikasi massa dianggap sebagai alat dari kelas dominan untuk mempengaruhi kesadaran sosial palsu (false consciousness) dengan nilai-nilai materialistik dan hedonistik guna memupuk hegemoni. Dalam kerangka ini baik penguasaan media massa global maupun kebijakan isi mendapat perhatian khusus—terutama televisi yang telah tampil sebagai media massa yang paling global. Dalam kerangka paradigma kritis ini juga muncul pendekatan naturalistis yang menghasilkan etnometodologi dan fenomenologi postmodernisme yang cenderung menampilkan pemahaman pribadi atas fenomena yang tengah terjadi. Pada dasarnya ini merupakan manifestasi paling signifikan dari subjektivisme menuju konstruktivisme (social constructivist), yang antara lain memunculkan “post colonial communcation theory of development” dan dikotomi antara “lokalisme dan globalisme”. Teori kritis telah menunjukkan kekuatan analisis tradisional sejak dicetuskannya teori “structural imperialism” dan “underdevelopment dan dependence” dalam jaringan komunikasi internasional—termasuk cultural domination theory. Akhirnya, salah satu jasa besar dari teori kritis adalah lahirnya feminisme dalam teori komunikasi. Subjektivisme tentang pemaknaan pesan komunikasi—khususnya dari media komunikasi massa (mediated message)—gratification theory yang umumnya dipahami dalam pengertian “uses and gratifications” , yang dioperasionalisasikan sebagai kepuasan yang diharapkan dan kepuasan yang diperoleh, kini masih terus dikembangkan bahkan dengan kemungkinan “feedback” untuk memahami media khalayak yang aktif menghadapi pilihanpilihan media. Subjektivisme dalam pemaknaan dan pemaknaan sosial telah melahirkan interaksionisme simbolik yang akhirnya melahirkan konsep budaya sebagai alat kontrol pergaulan sosial—dalam sistem organisasi mendapat sebutan organizational culture atau corporate culture—karena budaya dipandang sebagai alat yang efektif untuk mengurangi “uncertainty” dari lingkungan. Teori terakhir yang kiranya layak dikemukakan adalah munculnya multikulturalisme komunikasi dalam teori maupun praktek. Multikulturalisme berkaitan dengan globalisme yang kini sedang melanda dunia—termasuk dunia bisnis—sehingga multikulturalisme dan diversitas budaya dalam teori komunikasi organisasi, public relations, maupun komunikasi internasional kini mendapat perhatian luar biasa.
109
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
DAFTAR PUSTAKA
Berelson, Bernard dan Morris Janowitz (eds). 1953. Reader in Public Opinion and Communication. Glencoe, IL: The Free press Berger, Charles R. dan Steven H. Chaffee (eds). 1987. Handbook of Communication Science. Newbury, CA: Sage Publications Inc. Bryson, Lyman (ed). 1948. The Communication of Ideas. New York: Harper and Brothers & Institute for Religious and Social Studies. Cherry, Colin. 1975. On Human Communication: A Review, A Survey, and A Criticism. Seventh printing. Cambridge, MA: The MIT Press. Delia, Jesse G. 1987. Communication Research: A History dalam Handbook of Communication Science, eds. Berber R. Charles dan Steven H. Chaffee. Newbury, CA: Sage Publications Inc. Griffin, Em. 2003. A First Look at Communication Theory. Fifth ed. Boston, MA: McGraw-Hill Book Co. Heath, Robert L. dan Jennings Bryant. 2000. Human Communication Theory and Research. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum associates, Publishers. Lerbinger, Otto dan Albert J. Sullivan (eds). 1965. Information and Influence. New York: Basic Book Co. Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co. Miller, Katherine. 2002. Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. Boston, MA: McGraw-Hill Book Co.
110
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
McQuail, Denis. 2000. Mass Communication Theory. London: Sage Publications Inc.
Fourth ed.
Rogers, Everett M. 1994. A History of Communication Study: A Biographical Approach. New York: The Free Press. Schramm, Wilbur (ed). 1960. University of Illinois Press.
Mass communications. Urbana, IL:
__________________. 1961. The Science of Human Communication. New York: Basic Book Co. __________________. 1972. The Process and Effects of Mass Communication. Revised ed. Urbana, IL: University of Illinois Press. Sereno, Kenneth dan David Mortensen (eds). 1970. Foundations of Communication Theory. New York: Harper & Row Publishers. Smith, Alfred G. (ed). 1966. Communication and Culture: Reading in the Codes of Interaction. New York: Holt, Rinehart & Winston. Sola
Pool, Ilthiel de, Wilbur Schramm (eds). Handbook Communication. Chicago, IL: Rand McNally Publishing Co.
of
Communication Theory: an official journal of ICA (International Communication Association) Communication Yearbook: an official publication of ICA Human Communication Research: an official journal of ICA (International Communication Association) Journal of Communication: an official journal of ICA (International Communication Association) Journalism and Mass Communication Quarterly: an official journal of AEJMC (Association for Education in Journalism and Mass Communication)
111
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
Journal of Public Relations Research: an official journal of AEJMC (Association for Education in Journalism and Mass Communication) Mass Communication and Society: an official journal of AEJMC (Association for Education in Journalism and Mass Communication)
112
Perkembangan Hubungan Perkawinan: Kajian Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan Antarpribadi pada Suami-Istri Katolik3
Anne Suryani4
Abstract: Focus of this research is the interpersonal relation growth phases in marriage at different marriage age. The analysis relies on the theory of The phases of interpersonal relation growth from Devito ( 2001), namely phase of Contact, Involvement, Intimacy, Deterioration, Repair, and Dissolution. Research shows that interpersonal relations of couple in Chatolic marriage develop through the phase: Contact, Involvement, Intimacy, Deterioration, and Repair phase. The Dissolution phase is not (yet) experienced by the informan because of principle of Chatolic marriage they believe. Marriage age does not relate to the relationship growth. The relationship growth itself varies in term of time, situation and process.
Key words: Contact, Involvement, Intimacy, Deterioration, Repair, Dissolution.
Penelitian ini berfokus pada hubungan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang terlibat dalam perkawinan. Topik perkawinan sangat menarik karena fenomena ini adalah hasil dari suatu hubungan sekaligus merupakan suatu proses yang terus berlangsung dalam kehidupan manusia. Ada pendapat bahwa perkawinan merupakan hal yang indah tetapi sekaligus bisa menimbulkan perasaan frustasi bagi pasangan yang menjalani perkawinan tersebut. Cecil G. Osborne (1970, 1988) mengatakan bahwa: 3
Tulisan ini merupakan ringkasan tesis bidang Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 4 Anne Suryani adalah staf pengajar tidak tetap pada Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia; dan mengajar bidang ilmu komunikasi di beberapa universitas swasta dan institusi pemerintah
113
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
"…tidak ada pernikahan yang sempurna dan tidak seorang pun dapat memenuhi semua kebutuhan orang lain. Kesulitan mencapai suatu pernikahan yang baik disebabkan oleh perbedaan genetis antara dua orang. Latar belakang lingkungan mereka berbeda, begitu juga kepribadian, kebutuhan-kebutuhan, tujuan, dorongan-dorongan dan reaksi-reaksi emosional mereka.”
Keunikan yang terjadi pada hubungan perkawinan adalah meskipun banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti perbedaan emosional, lingkungan, genetis dan kepribadian, selalu ada perkawinan yang berhasil. Perkawinan tersebut dinikmati oleh laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri yang bahagia. Mayoritas pasangan yang menikah memiliki tujuan utama hidup bersama, berbagi dukungan fisik dan komunikasi tentang berbagai kesenangan dan masalah (Osborne, 1988). Perkawinan adalah bentuk hubungan antarpribadi yang spesifik. Meskipun banyak orang yang akan atau telah mengalaminya tetapi terdapat beragam perbedaan tipe hubungan, model, tahapan, perkembangan dan proses yang berubah setiap waktu. Hollingshead (1950), Katz dan Hill (1956) menyatakan perkawinan umumnya dibentuk antarindividu yang memiliki kategori kebudayaan tertentu, seperti kesamaan latar belakang etnis, ras, agama, pendidikan dan sosial ekonomi. Perkawinan merupakan bagian dari sistem sosial. Jenis hubungan ini menjadi dasar pembentukan keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat. Keberhasilan, kebahagiaan, kegagalan, atau perpecahan perkawinan berdampak langsung pada kelangsungan kehidupan keluarga. Meskipun tingkat keberhasilan dan makna kebahagiaan bersifat relatif dan tidak sama bagi setiap orang, mencapai kebahagiaan dan perkawinan yang sukses merupakan keinginan semua suami-istri. Faktor kesamaan sangat penting bagi kedua individu yang terikat perkawinan. Umumnya kesamaan membawa hubungan menjadi lebih harmonis (Schmiedeler, 1946). Sementara perbedaan yang terlalu besar akan mengarah pada situasi yang memanas, pergesekan dan ketidakharmonisan hubungan. Kesamaan antarindividu umumnya terjadi pada latar belakang budaya. Budaya mencakup hal-hal seperti agama, ras, pendidikan, dan lain-lain. Budaya sangat mempengaruhi adat atau tata cara berperilaku, tujuan yang dicapai, perasaan, sikap, gagasan dan keinginan orang. Setiap perkawinan tak lepas dari pengaruh agama yang dianut oleh suami dan istri. Agama mempengaruhi prinsip, cara pandang dan dasar tindakan
114
seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan ini merupakan hasil pengamatan terhadap pasangan yang terlibat perkawinan secara agama Katolik. Ada beberapa alasan yang menyebabkan perkawinan Katolik berbeda dari perkawinan agama lain. Pasangan yang akan menjalani perkawinan menurut agama Katolik harus melalui beberapa tahap. Pertama, pihak laki-laki dan perempuan berkonsultasi dengan pastor selaku pemimpin gereja di lingkungan di mana salah satu pasangan tinggal. Lalu calon suami-istri mengikuti Kursus Persiapan Perkawinan di Gereja Katolik yang telah ditentukan. Materi dalam kursus antara lain tentang kesehatan, keluarga berencana, pengelolaan keuangan keluarga, komunikasi antara suami-istri, dan prinsip atau pandangan agama Katolik terhadap perkawinan. Pasangan juga harus mempersiapkan Surat Permandian yang telah dilegalisir oleh Gereja di mana surat tersebut dikeluarkan. Dalam lembaran surat itu tertera tanggal penerimaan Sakramen Permandian, Sakramen Penguatan dan Sakramen Perkawinan. Setiap orang yang dipermandikan secara Katolik hanya memiliki satu surat dan dicatat oleh Pusat Gereja Katolik di Vatikan. Sehingga jika seseorang telah kawin secara Katolik, dalam Surat Permandiannya tercantum tanggal penerimaan Sakramen Perkawinan pula. Aturan yang ketat ini dibuat oleh Gereja Katolik untuk menghindari terjadinya perkawinan lebih dari satu kali. Agama Katolik hanya mengijinkan perkawinan antara laki-laki dan perempuan terjadi satu kali seumur hidup dan melarang perceraian. Menurut kitab suci agama Katolik, awal suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai berikut, Tuhan Allah berfirman:"Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu (Kejadian 2:18, 21, 22).
Setelah hubungan antarpribadi berkembang dan memasuki bentuk perkawinan, Alkitab menyatakan: "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kejadian 2:24).
115
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
Artinya seorang laki-laki akan setia kepada istrinya melebihi ikatannya kepada orang tuanya. Namun pemaknaan kata "meninggalkan" bukan berarti "memutuskan hubungan". Ikatan harus juga timbul di antara keluarga yang baru dari laki-laki dengan istrinya itu dan orang tua mereka (Chong Kwong Tek & Chua Wee Hian, 1999). Mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terlibat perkawinan, Agama Katolik dalam kitab sucinya menjelaskan: “Hawa melengkapi kebutuhan Adam dengan sempurna. Ia memiliki segala sifat yang dibutuhkan untuk melengkapi kebutuhan fisik, emosi, intelektual dan sosial Adam. Hubungan saling melengkapi berawal dari suatu kekosongan yang dirasakan pria dan kemampuan wanita dalam mengisi kekosongan itu menjadi dasar dari suatu pernikahan.” (1 Korintus 11:9)
Setelah laki-laki dan perempuan memasuki jenjang perkawinan, ada prinsip penting yang tertulis dalam kitab suci dan diberlakukan secara ketat oleh Gereja Katolik yakni komitmen seumur hidup, sebagaimana kutipan berikut: "…karena itu apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:4-6). Laki-laki dan perempuan yang kawin secara Katolik mengikrarkan janji perkawinan di hadapan Tuhan. Berikut kutipan lain dari Kitab suci tentang perkawinan: “Janji pernikahan adalah ungkapan komitmen seumur hidup. Arti dari janji ‘mulai hari ini’ berlangsung seumur hidup seseorang. Itulah janji yang tidak dapat dibatalkan” (Pengkhotbah 5:4). Penelitian dilakukan dengan mengamati pasangan suami-istri yang kawin secara Katolik dengan usia perkawinan yang berbeda untuk melihat bagaimana proses perkembangan hubungan antarpribadi yang terjadi. Pasangan suami-istri yang memiliki usia perkawinan lebih muda cenderung memiliki komunikasi antarpribadi yang berbeda dengan suami-istri yang lebih lama terlibat perkawinan. Johan Suban Tukan (1999), seorang pembina Kursus Persiapan Perkawinan di Keuskupan Agung Jakarta yang telah berpengalaman selama 23 tahun mengungkapkan, "Seorang yang belum menikah seandainya berbicara tentang perkawinan pasti sangat lain dengan mereka yang telah menikah. Demikian pula pasangan suami-istri yang baru lima tahun menikah pastilah lain sekali cara memandang perkawinan dibandingkan dengan yang sudah menikah 20,30 bahkan 50 tahun. Rupanya banyak hal
116
tentang perkawinan yang ketika masa muda dinilai absolut, justru ketika dewasa dan tua dinilai semakin relatif. Semakin tua diharapkan orang semakin lebih arif."
Komunikasi berperan penting dalam kehidupan manusia. Ada perceraian yang terjadi karena kegagalan suami dan istri berkomunikasi. Penelitian ini memberi gambaran mengenai tahap-tahap perkembangan hubungan antarpribadi pada pasangan beragama Katolik dengan usia perkawinan lima, limabelas dan tigapuluh tahun. Juga dijelaskan temuan mengenai hal-hal yang terjadi selama perkawinan tersebut berlangsung.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bersifat kualitatif berdasarkan paradigma interpretif atau konstruktivis. Peneliti terlibat pengamatan langsung terhadap pelaku sosial dalam kehidupan sehari-hari sehingga mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial dapat menciptakan dan mengelola dunianya. Kriteria penilaian kualitas penelitian ini didasarkan pada authenticity dan reflectivity yaitu bagaimana hasil penelitian merefleksikan secara otentik suatu realitas sosial yang dihayati para pelaku sosial. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan studi kasus berdesain multicases single level analisys dengan strategi etnografi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan pengamatan. Untuk pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu tahap orientasi, eksplorasi dan "Member Check". Penelitian dilakukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan unit analisis pada tingkat pasangan. Informan adalah warga negara Indonesia, suami-istri yang kawin resmi secara Katolik dan merupakan pasangan yang kawin untuk pertama kali atau belum pernah mengalami perceraian. Pemilihan informan menggunakan cara Snowball Sampling. Data diperoleh dari 3 (tiga) kasus suami-istri yang berbeda usia perkawinan yakni lima tahun (Ant-Yyn), limabelas tahun (Har-Von) dan tigapuluh tahun (RobTin). Nama informan ditulis berdasarkan inisial. Pihak laki-laki adalah Ant (35 th), Har (45 th) dan Rob (57 th). Pihak perempuan yakni Yyn (41 th), Von (41 th) dan Tin (51 th). Pengumpulan informasi berlangsung mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2003.
117
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
Analisis data dilakukan melalui tahapan mereduksi data, menyusun data yang telah dikelompokkan dalam bentuk narasi-narasi sesuai dengan permasalahan penelitian; mengambil kesimpulan; dan memberi pembuktian hasil analisis data dari informasi yang didapat. Kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data kualitatif pada penelitian ini (Lexy J. Moleong 1998) adalah derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferbility), ketergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability).
HASIL PENELITIAN Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan Pembahasan mengacu pada Teori Perkembangan Hubungan dari DeVito (2001). Tahap-tahap ini diidentifikasi berdasarkan perilaku dan cara berkomunikasi yang terjadi. Suatu hubungan intim seperti halnya hubungan lain dibangun melalui serangkaian tahapan. Mayoritas hubungan meliputi enam tahap utama, yaitu Tahap Kontak, Tahap Keterlibatan, Tahap Keintiman, Tahap Penurunan dan Tahap Perbaikan atau Pemutusan. Namun tahap-tahap ini bersifat standar dan tidak semua pasangan mengalami hal sama. Setiap tahap memiliki fase awal dan akhir, menjelaskan sifat suatu hubungan dan bukan menilai atau memprediksi bagaimana seharusnya suatu hubungan. Pada Tahap Kontak, dua individu mulai berkenalan. Saat pertemuan pertama terdapat beberapa informasi atau kesadaran akan kontak (perceptual contact). Dari sini diketahui gambaran fisik seperti jenis kelamin, usia rata-rata, berat, dan lain-lain. Setelah persepsi ini, timbul kontak interaksional (interactional contact) yang bersifat 'tampak luar' (superficial) dan relatif tidak pribadi. Saat ini terjadi pertukaran informasi dasar yang mengawali keterlibatan selanjutnya. Menurut penelitian dalam lima menit pertama dari interaksi awal, seseorang memutuskan apakah ingin melanjutkan hubungan atau tidak (Zunin dan Zunin, 1972). Pada tahap kontak, penampilan fisik sangat penting karena lebih siap dilihat. Juga perilaku verbal dan non-verbal, kualitas seperti keramahan, kehangatan, keterbukaan dan dinamisme sangat menentukan. Berger (1979) membagi hubungan perkenalan menjadi tiga bagian. Pertama adalah tahap pasif di mana kedua orang yang bertemu untuk pertama kali saling mengutamakan perhatian kepada komunikasi yang berlangsung tanpa menanyakan apa-apa. Semua situasi dan kondisi terjadi secara alami tanpa dimanipulasi. Berikutnya yaitu tahap aktif ketika dua pihak yang bertemu
118
saling mengajukan pertanyaan, memperhatikan dan mendengarkan lawan bicara, pihak komunikan mulai memanipulasi situasi hubungan antarpribadi. Ketiga adalah tahap interaktif yaitu tahap memanipulasi komunikan agar komunikator memperoleh informasi melalui perilaku komunikan. Pada pasangan Ant dan Yyn pertemuan pertama terjadi dalam acara Kelompok Karyawan Muda Katolik (KKMK) tahun 1995 di Yogyakarta. Baik Ant maupun Yyn tidak tertarik satu sama lain. Satu setengah tahun kemudian keduanya bertemu kembali pada acara tahun baru 1997 dan tertarik untuk melanjutkan hubungan. Pasangan kedua, Har dan Von berkenalan secara tidak sengaja. Har adalah teman dari kakak laki-laki Von. Mereka berasal dari Kediri, Jawa Timur. Bagi pasangan ketiga, Rob dan Tin, pertemuan pertama sangat bermakna karena mereka saling menyukai satu sama lain. Keduanya bertemu saat mengikuti misa di Kapel Kanisius, Jakarta Pusat. Tahapan selanjutnya adalah Tahap Keterlibatan (involvement). Pada tahap ini muncul rasa saling ketergantungan, ingin melanjutkan hubungan dan berusaha mempelajari orang lain. Pertama, timbul semacam keinginan menguji apakah penilaian awal atau pendapat pribadi saat pertemuan pertama bisa terbukti dan beralasan. Seseorang yang tertarik melanjutkan hubungan antarpribadi mulai membuka diri sendiri dan ingin tahu informasi tentang mitra bicaranya (Tolhuizen, 1989). Sepanjang proses hubungan, terutama selama Tahap Keterlibatan dan Keintiman awal, seseorang sering menguji pasangannya untuk mengetahui perasaan pasangan tentang hubungan. Beberapa strategi yang digunakan (Baxter dan Wilmot, 1984; Bell dan Buerkel-Rothfuss, 1990) yaitu: 1) Langsung (directness), yaitu dengan cara langsung menanyakan pasangan bagaimana perasaannya atau menyatakan perasaan sendiri dengan asumsi pasangan juga akan membuka diri; 2) Ketahanan (endurance), yaitu berperilaku negatif terhadap pasangan dengan asumsi jika pasangan mampu bertahan maka ia serius pada hubungan; 3) Saran tidak langsung (indirect suggestion), yaitu mengajak pasangan untuk berhubungan lebih akrab melalui kata-kata atau sikap tertentu; 4) Penampilan publik (public presentation), yaitu tampil berdua dengan pasangan di hadapan publik; 5) Perpisahan (separation), yaitu berpisah secara fisik guna melihat respon pasangan; 6) Pihak ketiga (third party), yaitu menanyakan pihak ketiga seperti teman atau keluarga, tentang perasaan dan intensi pasangan; dan 7) Segitiga (triangle), yaitu mengatur dan mengatakan bahwa ada orang lain tertarik dengan diri sendiri untuk melihat reaksi pasangan. Pada Tahap Keterlibatan pada pasangan Ant dan Yyn, pihak laki-laki berinisiatif menelepon dan berkunjung ke rumah pihak perempuan. Selain informasi yang diperoleh langsung, Ant juga bertanya kepada pihak ketiga
119
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
yakni teman-teman Yyn. Mereka merasa ragu untuk melanjutkan hubungan antarpribadi karena perbedaan usia di mana pihak perempuan lebih tua enam tahun dari pihak laki-laki. Pasangan Har dan Von memasuki Tahap Keterlibatan dengan inisiatif pihak laki-laki. Meski tempat tinggal mereka berbeda kota, Har menemui Von setiap bulan. Informasi mengenai perasaan pasangan diperoleh dengan cara bertanya langsung dan dari pihak ketiga. Pada pasangan ketiga, saat pertama kali berjumpa, Rob menanyakan nama dan alamat Tin. Lalu mereka saling tertarik dan sepakat melanjutkan pertemuan berikutnya. Uniknya, Rob dan Tin sedang memiliki hubungan khusus dengan orang lain ketika mereka memasuki tahap keterlibatan. Menurut penuturan Tin, saat berkenalan masing-masing telah memiliki pacar dan saling tidak mengetahui hal tersebut. Setelah beberapa bulan mereka saling membuka diri sehingga informasi tersebut diketahui. Akhirnya mereka sepakat memutuskan hubungan dengan pacar sebelumnya dan meneruskan hubungan. Tahapan Keintiman. Pada tahap ini seseorang berkomitmen berhubungan lebih dalam dengan orang lain, mengukuhkan hubungan agar ia menjadi teman terdekat, kekasih atau pasangan. Keduanya saling berbagi jaringan sosial, bergaul dengan beragam anggota kebudayaan yang berbeda (Gao dan Gudykunst, 1995). Tidak mengherankan jika kepuasan hubungan juga meningkat sejalan pergerakan ke arah tahap ini (Siavelis dan Lamke, 1992). Tahap Keintiman terbagi dalam dua fase, yaitu, pertama, komitmen antarpribadi di mana dua orang saling sepakat dalam suatu cara khusus, dan kedua, ikatan sosial di mana komitmen ditunjukkan kepada publik, misalnya kepada keluarga dan kawan-kawan. Pada tahap hubungan dekat dan intim, terdapat peningkatan hubungan. Dua orang menganggap diri mereka sebagai unit khusus dan saling mendapat keuntungan lebih besar dari hubungan bersifat intim. Karena saling mengetahui lebih baik (seperti nilai-nilai, pendapat, sikap) maka ketidakpastian tentang orang lain menjadi berkurang secara signifikan, dan prediksi mengenai perilaku orang tersebut lebih akurat. Pada tahap ini, masing-masing pihak, pria dan wanita yang awalnya memiliki hubungan khusus sebagai pacar, mulai mengikatkan diri dalam hubungan perkawinan. Pada Tahap Keintiman, peneliti menelaah tahap ini dalam dua tahap, yaitu Tahap Keintiman Sebelum Perkawinan dan Setelah Perkawinan terjadi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pada Tahap Keintiman Sebelum Perkawinan, ketika seseorang jatuh cinta ia akan melebih-lebihkan kebaikan dan meminimalkan kekurangan pasangannya. Saling berbagi emosi dan
120
pengalaman, berbicara perlahan dengan tingkah laku santun dan penuh kesopanan. Komunikasi yang berlangsung bersifat sangat pribadi. Tipe komunikasi ini mencakup rahasia yang disimpan dari orang lain dan pesan yang memiliki makna dalam hubungan khusus (Knapp, Ellis dan Williams, 1980). Saat orang luar mencoba menggunakan istilah yang bersifat pribadi, ekspresinya tampak tidak tepat dan sering mengganggu privasi, muncul keterbukaan diri yang signifikan, terdapat konfirmasi dan diskonfirmasi di antara pasangan cinta dibandingkan dengan bukan pasangan atau pasangan yang akan putus cinta, antara lain kesadaran mengenai apa yang tepat untuk pasangannya, imbalan, hukuman, dan tindakan untuk memperoleh hal yang diinginkan. Sentuhan yang terjadi lebih sering dan intim (Guerrero, 1977). Tanda ikatan (tie signs) yaitu gesture non-verbal yang menunjukkan kebersamaan lebih banyak dilakukan. Sternberg (1986, 1988) mendefinisikan cinta sebagai kombinasi keintiman, gairah dan komitmen. Keintiman (intimacy) adalah aspek emosional cinta yang meliputi perilaku saling berbagi, berkomunikasi dan mendukung; yang merupakan rasa selalu ingin berdekatan dan berhubungan. Gairah (passion) adalah aspek motivasional yang terdiri atas ketertarikan fisik dan bersifat romantis. Komitmen merupakan aspek kognitif dan berisi keputusan yang berkaitan dengan perhatian terhadap pasangan. Cinta seutuhnya merupakan gabungan tiga komponen, yakni keintiman, gairah dan komitmen secara seimbang. Skala yang dibuat Hendrick dan Hendrick (1990) berdasarkan hasil penelitian Lee (1976) mengarah pada pembahasan tentang enam jenis cinta. Skala ini dirancang untuk mengidentifikasi gaya-gaya yang merefleksikan keyakinan tentang cinta, mengacu pada enam jenis cinta yaitu: 1) Eros (keindahan dan seksualitas), mengutamakan kecantikan dan ketertarikan fisik; 2) Ludus (hiburan dan kesenangan), cinta sebagai suatu permainan, kesenangan. Cinta bukan hal yang harus ditangani secara serius; Strorge (penuh damai dan perlahan), tidak secara khusus mencari kekasih tetapi lebih mengukuhkan hubungan persahabatan dengan seseorang yang dikenal dan kepada siapa mereka berbagi ketertarikan dan aktivitas; 4) Pragma (praktis dan tradisional), menginginkan compatibility dan hubungan yang bisa memuaskan kebutuhan dan keinginan yang penting, lebih memperhatikan kualifikasi sosial daripada kualitas pribadi dari pasangan potensialnya; 5) Mania (kegembiraan dan depresi), mencintai dengan sangat kuat dan pada saat yang sama sangat takut kehilangan cinta, sangat pencemburu, obsesif terhadap pasangan, kurang memiliki citra diri, dan harga diri diperoleh dari cinta yang diberikan; 6) Agape (penuh kebaikan dan tidak mengutamakan diri sendiri), cinta penuh kasih
121
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
sayang, cenderung spiritual tanpa memperhatikan imbalan atau keuntungan pribadi, tanpa mengharap bahwa cinta akan dibalas. Peneliti menemukan bahwa perilaku pasangan informan mengarah pada hubungan romantis, seperti saling bertemu dan menceritakan pengalaman masing-masing (Ant dan Yyn), saling berkirim surat (Har dan Von), pergi nonton dan makan berdua (Rob dan Tin). Para informan juga menyatakan perasaan kepada pasangannya. Sebelum mengukuhkan hubungan antarpribadi dalam bentuk perkawinan, para informan mengalami masa pacaran yakni keterlibatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam hubungan yang mengarah pada keintiman sebelum memasuki jenjang perkawinan. Lama waktu yang dibutuhkan dalam tahap keintiman sebelum perkawinan bervariasi. Pasangan Ant dan Yyn memerlukan waktu sekitar dua tahun, informan Har dan Von hanya membutuhkan delapan bulan sementara pasangan Rob dan Tin melewatinya dalam periode kurang lebih dua tahun. Para informan memiliki alasan beragam ketika ditanya mengapa mau berkomitmen dalam perkawinan dengan pasangannya. Bagi Ant dan Yyn, alasan utama adalah usia yang dianggap layak untuk membentuk keluarga. Pada pasangan Har dan Von, usia yang dianggap layak untuk segera berkeluarga juga menjadi alasan pertama memasuki suatu perkawinan. Sementara bagi pasangan Rob dan Tin, gagasan untuk berkomitmen dalam perkawinan dicetuskan oleh orang tua pihak perempuan. Pada Tahap Keintiman Setelah perkawinan, ketika keintiman menjadi hubungan seumur hidup, menurut Zimmer (1986), seseorang berhadapan dengan tiga jenis kekhawatiran (anxiety), yaitu: 1) Kekhawatiran keamanan (security anxiety), dalam perkawinan terkadang muncul rasa khawatir bahwa pasangan meninggalkan hubungan demi orang lain; 2) Khawatir akan pemenuhan (fulfillment anxiety), ada pula suami atau istri yang merasa khawatir tidak dapat memenuhi kebutuhan atau keinginan pasangannya; 3) Khawatir pada kegembiraan (excitement anxiety), ada pasangan yang khawatir bahwa kegiatan sehari-hari yang dilakukan dalam perkawinan mengakibatkan suamiistri terjebak dalam rutinitas yang membosankan serta kehilangan kebebasan untuk bertindak. Peneliti mengamati bahwa ada kekhawatiran yang bervariasi pada tiap pasangan informan. Pada pasangan Ant dan Yyn terjadi kekhawatiran akan pemenuhan kebutuhan berkaitan dengan anak. Suami-istri ini telah menikah selama lima tahun namun belum dikaruniai anak. Sementara bagi pasangan Har dan Von, pihak suami yakni Har merasa khawatir tidak dapat memenuhi
122
kebutuhan dan keinginan istrinya karena tidak mengetahui apa yang menjadi keinginan Von. Bagi pasangan Rob dan Tin yang melewati tigapuluh tahun hidup bersama dalam perkawinan, muncul setidaknya dua kali kekhawatiran akan rasa aman. Tin mengaku pernah merasa cemburu karena suaminya mengantar teman perempuan pulang. Di sisi lain, Rob mengakui khawatir kehilangan istrinya terutama setelah anak-anak mereka beranjak dewasa. Kemudian, pada Tahap Penurunan (deterioration) ditandai dengan munculnya ketidakpuasan intra pribadi—seseorang mulai mengalami ketidakpuasan interaksi sehari-hari dan memandang masa depan bersama pasangan dengan negatif—dan penurunan antarpribadi—seseorang mundur dan terus menjauh. Waktu luang bersama pasangan makin berkurang. Saat bersama saling berdiam diri, sedikit terbuka, sedikit kontak fisik dan kurang kedekatan psikologis. Konflik sering terjadi dan sulit diselesaikan. Deteriorasi hubungan adalah melemahnya ikatan kebersamaan antar dua orang. Penurunan hubungan timbul ketika seseorang menyadari pasangannya tidak lagi memiliki fisik dan kepribadian yang menarik, saat tidak lagi dirasakan adanya kedekatan, atau jika perbedaan menjadi lebih penting daripada kesamaan yang ada. Putus hubungan akan lebih menarik bagi orang yang pergi (Blumstein dan Schwartz, 1983). Sangat sulit menentukan penyebab khusus bagi tiap penurunan hubungan. Semua penyebab juga bisa menjadi akibat (efek) dari penurunan hubungan. Ketika tidak ada lagi faktor-faktor penting yang mendukung pengukuhan hubungan maka hubungan mungkin melemah (DeVito, 2001). Harapan yang tidak dipenuhi oleh orang yang tepat sering menjadi penyebab kesulitan hubungan (Lederer, 1984). Masalah yang berkaitan dengan pekerjaan dan finansial kadang juga mempersulit hubungan (Blumsteim dan Schwartz, 1983). Pada pasangan Ant-Yyn ketidakpuasan muncul setelah menemui kenyataan bahwa si pasangan bukanlah tipe ideal seperti yang diharapkan. Lain halnya dengan pasangan Har dan Von. Perbedaan sifat dalam kehidupan seharihari menimbulkan ketidakpuasan terutama bagi pihak istri. Namun keduanya menyadari bahwa perbedaan sifat tersebut bisa diterima dengan menyesuaikan diri. Selain ketidakpuasan, Tahap Penurunan hubungan mulai timbul dengan adanya konflik dalam perkawinan. Kadang konflik disebabkan hal-hal yang sifatnya tidak terlalu penting. Sementara pada pasangan Rob dan Tin yang telah menikah selama tigapuluh tahun, ketidakpuasan terhadap pasangan timbul karena perbedaan sifat, masalah pekerjaan dan anak.
123
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
Tahap Penurunan memiliki dua pilihan. Pertama pasangan suami istri melangkah ke Tahap Perbaikan. Pilihan kedua adalah Tahap Pemutusan hubungan suami-istri. Tahap Perbaikan (repair) hubungan bersifat optional dan dalam bagan digambarkan melalui lingkaran terpecah. Beberapa pasangan mungkin berhenti sejenak selama tahap deterioration dan mencoba memperbaiki hubungan. Sementara ada pula pasangan yang tanpa berhenti namun langsung memutuskan hubungan. Ada dua fase perbaikan, yaitu: 1) Perbaikan intra pribadi. Seseorang menganalisa kesalahan dan mempertimbangkan cara memecahkan kesulitan hubungan. Mungkin terjadi perubahan perilaku atau harapan terhadap pasangan. Juga dipertimbangkan imbalan dari hubungan yang sedang berlangsung dan imbalan yang diperoleh jika hubungan berakhir; 2) Perbaikan antarpribadi. Fase ini adalah saat membicarakan keputusan memperbaiki hubungan dengan pasangan, mencakup negosiasi kesepakatan dan perilaku baru. Saran memperbaiki hubungan dapat diperoleh dari teman, keluarga atau konseling dengan profesional. Dalam Tahap Perbaikan, suami-istri Ant dan Yyn menyadari dan mau menerima sifat yang ada pada pasangan. Mereka mengatakan bahwa setelah bertengkar atau mengalami konflik, dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk diam dan saling introspeksi diri. Keduanya sepakat agar suatu masalah selesai tanpa campur tangan pihak ketiga. Sementara itu pasangan Har dan Von yang melewati masa limabelas tahun perkawinan tidak menutupi bahwa konflik juga muncul dalam hubungan perkawinan mereka. Har berpendapat bahwa cara terbaik menyelesaikan pertentangan adalah menyadari sikap pemarah yang ia miliki dan meminta maaf kepada istrinya. Pada pasangan Rob dan Tin, ketika terjadi pertengkaran pihak istri cenderung memilih sikap diam dan mengalah karena tidak mau memperkeruh keadaan. Mereka berjanji menyelesaikan konflik dengan introspeksi diri dan masalah harus diselesaikan paling lambat sebelum tidur di malam hari. Akhir dari hubungan antarpribadi adalah pemutusan ikatan antarindividu. Suami dan istri yang merasa tidak dapat mempertahankan perkawinan bisa memutuskan untuk berpisah. Tahap Pemutusan ini terdiri dari dua fase yaitu: 1) Perpisahan antarpribadi (interpersonal separation) di mana pasangan tinggal terpisah satu sama lain; dan 2) Perpisahan sosial atau publik (social or public separation) yakni perceraian.
124
Penurunan atau pemutusan hubungan berakibat negatif dan positif. Dari sisi negatif, misalnya ada pihak yang kehilangan hal-hal menyenangkan yang dinikmati sebagai hasil hubungan, sedangkan dari sisi positifnya, hubungan yang tidak memuaskan telah hilang. Tidak semua hubungan harus dipertahankan. Tidak semua pemutusan hubungan merupakan hal buruk. Putus hubungan akan memudahkan orang mengembangkan pergaulan baru dan mengalami jenis hubungan berbeda dengan beragam orang. Peneliti menemukan keunikan pada tiga pasang informan yang diteliti, yakni mereka mengaku tidak pernah berpikir untuk memutuskan hubungan dengan pasangan bahkan ketika mereka menghadapi masalah dalam perkawinan. Pasangan Ant dan Yyn telah menikah selama lima tahun dan belum memiliki anak. Ant mengungkapkan bahwa ia tidak pernah berpikir untuk kawin lagi sebagai jalan keluar memperoleh anak. Ia telah berjanji kepada Tuhan sewaktu menikah di Gereja untuk setia dan menerima keadaan istri apa adanya. Prinsip hidup yang diyakininya adalah kawin hanya sekali seumur hidup. Di sisi lain Yyn berpendapat bahwa Ant adalah suami yang terbaik baginya. Tahap Pemutusan juga tidak terjadi pada pasangan informan kedua. Har dan Von dengan usia perkawinan limabelas tahun, lebih banyak melewatkan waktu dengan pasangan atau dengan anak-anak. Har merasa bahagia dengan kehidupan perkawinan yang dijalani selama limabelas tahun ini sehingga tidak pernah berpikir untuk bercerai. Ia yakin bahwa konflik seberat apapun bisa diselesaikan bersama istri. Ketidaksesuaian pendapat (pertengkaran) dalam perkawinan adalah hal positif karena suami-istri bisa saling mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai pasangannya. Alasan utama bagi pasangan Rob dan Tin yang telah menjalani masa tigapuluh tahun perkawinan untuk menghindari perceraian adalah kehadiran anak-anak. Rob mengakui bahwa ia telah berjanji kepada Tuhan saat pertama kali menikah untuk bertanggung jawab terhadap anak-anak. Mereka memegang prinsip agama Katolik tentang perkawinan yakni ‘suami dan istri bersama-sama dalam susah dan senang’.
125
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
Pergerakan Antartahap Tahap-Tahap Hubungan Antarpribadi dapat dilihat pada bagan di bawah ini. Dalam bagan tersebut digambarkan Tahap-Tahap Hubungan Antarpribadi terdiri dari tiga arah: 1) Arah keluar, di mana tiap tahap menawarkan kesempatan untuk keluar dari hubungan; 2) Arah vertikal atau pergerakan antartahap menjelaskan fakta bahwa seseorang dapat bergerak ke tahap lain, yaitu lebih intens (misal dari keterlibatan menuju keintiman) atau kurang intens (contoh dari keintiman ke arah penurunan). Juga dapat berpindah kembali ke tahap sebelumnya (Masheter dan Harris, 1996); dan 3) Arah refleksi diri, arah yang melompat kembali ke awal tahap (tingkat) yang sama, menandakan bahwa setiap hubungan bisa menjadi stabil tiap saat.
Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan Antarpribadi
• •
• •
• •
• •
•
•
• •
(Sumber: DeVito, Joseph A. 2001. The Interpersonal Communication Book, New York: Addison Wesley Longman Inc., 9th edition)
126
Pergerakan melalui beragam tahap biasanya merupakan proses perlahan (gradual), tidak dapat melompat dari Tahap Kontak ke Tahap Keterlibatan lalu ke Tahap Keintiman. Pada tiga pasang informan ditemukan Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan. Pasangan dengan usia perkawinan lima, limabelas dan tigapuluh tahun sama-sama melewati Tahap Kontak, Keterlibatan, Keintiman, Penurunan dan Perbaikan. Pengulangan ada pada Tahap Penurunan, Perbaikan dan Keintiman. Namun semua informan belum pernah memasuki Tahap Pemutusan.
KESIMPULAN DAN SARAN Lama atau usia perkawinan tidak berkaitan dengan Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan yang dialami. Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan pada masing-masing pasangan bervariasi dari segi waktu, situasi dan proses komunikasi yang berlangsung. Setelah memasuki masa perkawinan, suami-istri mengalami pengulangan pada Tahap Keintiman, Penurunan dan Perbaikan. Setelah Tahap Perbaikan, pasangan cenderung kembali berada pada Tahap Keintiman. Pengulangan yang terjadi bervariasi dari segi jumlah, jangka waktu, situasi, proses, latar belakang atau hal-hal yang menyebabkan pengulangan tersebut. Pada pasangan informan yang memiliki anak, topik mengenai anak, antara lain cara pengasuhan dan pendidikan anak, seringkali menjadi sumber perdebatan. Sementara bagi pasangan informan yang belum mempunyai anak, keinginan untuk memperoleh anak menjadi tema yang sering dibicarakan. Pada Tahap Kontak pihak laki-laki dan perempuan mendapatkan informasi yang diperoleh dengan usaha sendiri dan dari pihak ketiga. Informasi pada pertemuan pertama adalah ciri-ciri fisik yang menjadi alasan ketertarikan antara dua individu. Ketiga pasang informan melanjutkan hubungan ke Tahap Keterlibatan setelah melewati Tahap Kontak dan mendapat respon positif dari lawan bicara. Hubungan antarpribadi dalam Tahap Keintiman awal ditandai dengan kedekatan antara pihak laki-laki dan perempuan. Selanjutnya masing-masing mulai membicarakan komitmen hubungan dalam bentuk perkawinan. Alasan menikah berbeda-beda, diantaranya karena usia yang dianggap telah layak menikah dan permintaan pihak orang tua.
127
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
Para informan telah mengalami konflik dan pernah merasa kecewa atau tidak puas dengan pasangannya dalam suatu hal sehingga mengalami Tahap Penurunan Hubungan. Topik yang menjadi sumber konflik antara lain pengasuhan anak, perbedaan sifat, sikap dan perilaku antarpasangan sehari-hari. Selanjutnya antara suami-istri menyadari apa yang menjadi penyebab masalah dan memperbaiki diri dengan berusaha tidak mengulangi hal tersebut di masa depan. Hal-hal ini termasuk Tahap Perbaikan. Setelah melalui Tahap Perbaikan, tiga pasang informan yang diteliti memiliki kesamaan untuk kembali berada di Tahap Keintiman. Sikap suami istri yang berada pada Tahap Keintiman ditunjukkan dengan kedekatan fisik, misalnya bersentuhan, memberi kado kepada pasangan, mencium pipi dan pergi berdua. Juga ditandai dengan kedekatan secara psikologis antara lain merasa rindu dan kesepian ketika tidak bertemu pasangan beberapa hari. Tiga pasang informan sepakat tidak berniat atau tidak pernah memikirkan untuk putus hubungan perkawinan dengan pasangannya. Jadi Tahap Pemutusan hubungan tidak terjadi pada suami-istri yang diteliti. Hal ini cenderung disebabkan prinsip agama Katolik yang mereka sadari, sehingga membentuk pola pikir bahwa perkawinan hanya sekali seumur hidup dan tidak bisa dipisahkan manusia. Informan Har berpendapat “perkawinan Katolik adalah perkawinan monogami”; Ant mengatakan "akan menjaga perkawinan ini seumur hidupnya."; dan Rob menyatakan "perkawinan Katolik tidak boleh diceraikan manusia". Sementara Tin, istri Rob, berprinsip "suami dan istri bersama-sama dalam susah dan senang." Pada pasangan informan dengan latar belakang budaya berbeda (Ant dan Yyn: budaya Jawa dan Cina), terdapat konflik pada awal masa perkawinan sehingga ada ketidakpuasan terhadap pasangan. Sumber konflik cenderung disebabkan oleh perbedaan kebiasaan yang dilakukan sehari-hari namun dianggap informan sebagai perilaku khas suku tertentu. Perbedaan antara pihak laki-laki dan perempuan yang terlibat perkawinan dapat diterima dan tidak dipermasalahkan oleh pasangannya. Perbedaan tersebut adalah usia dan tingkat pendidikan. Dukungan lingkungan kedua pihak yang menjalin hubungan antarpribadi turut mempengaruhi awal perkembangan hubungan terutama pada Tahap Kontak, Keterlibatan dan Keintiman. Lingkungan yang dimaksud adalah orang tua, teman-teman dan saudara. Hubungan pasangan informan dengan keluarga besar (orang tua, mertua, saudara dan saudara ipar) umumnya baik dan tidak mempengaruhi kelangsungan perkawinan.
128
Usia perkawinan atau lama hubungan antarpribadi yang terjalin, tidak berpengaruh pada perkembangan hubungan. Ada hal-hal yang mempengaruhi berlangsungnya tahap-tahap perkembangan hubungan seperti ketertarikan baik fisik maupun non fisik, dukungan keluarga dan teman-teman, situasi saat terjalinnya hubungan, sifat yang dimiliki seseorang, dan lain-lain. Suatu hubungan perkawinan tak luput dari konflik yang terjadi antara suami dan istri. Namun bagaimana menyikapi dan mengatasi konflik sangat berperan bagi perkembangan hubungan selanjutnya. Jika pasangan bisa menghadapi konflik dengan terbuka, mau memperbaiki kesalahan dan mencari jalan keluar secara bersama maka konflik yang terjadi tidak akan berlanjut. Penelitian ini tidak menitikberatkan pada topik konflik dalam perkawinan, namun peneliti menemukan bahwa konflik bisa menjadi hal yang positif bila pasangan mampu mengatasinya dengan tepat. Ada informan berpendapat bahwa melalui konflik, seseorang mendapat informasi tentang hal-hal yang disukai dan tidak disukai pasangannya, maka informasi tersebut bisa bermanfaat untuk menghindari terulangnya konflik dan menjaga hubungan perkawinan. Pihak-pihak yang berminat mengamati hubungan perkawinan dapat menggunakan metode atau pendekatan lain dan banyak hal yang menarik untuk dianalisis. Misalnya bagaimana analisis dari sudut pandang teori self disclosure, peran latar belakang budaya dalam perkawinan, atau pasangan informan yang diteliti beragama non-Katolik.
DAFTAR PUSTAKA Berger, Charles & Chaffee, Steven. 1975. Handbook of Communication Science, Newbury,CA: Sage Publication Inc. DeVito, Joseph A. 2001. The Interpersonal Communication Book. New York: Addison Wesley Longman Inc., 9th edition. Gudykunst, W.B. & Stella Ting Toomey. 1988.Culture and Interpersonal Communication. New Burry Park, Beverly Hills, CA : Sage Publications.
129
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
Miller, Gerald M. dan Steinberg, Mark. 1975. Between People: A New Analysis of Interpersonal Comunication, USA : Science Research Associates Inc. Moleong, Lexy. J.1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Remadja Karya. Osborne, Cecil G. 1988. The Art of Understanding Your Mate. Michigan : Zondervan Publishing House Grand Rapids, Schmiedeler, Edgar, O.S.B.,Ph.D.1946.Marriage and the Family, A Text for a Course on Marriage and the Family for use in Catholic Schools, 6th ed. New York: McGraw-Hill Book Company Inc. Swihart, Judson J. Ph.D. 1993. How Do You Say, "I Love You". Illinois: InterVarsity Press. Tek, Dr. & Ny. Chong Kwong dan Tn. & Ny. Chua Wee Hian. 1999. Kekasihku: Setelah Pernikahan. Terjemahan. Bandung: Lembaga Literatur Baptis. Tukan, Johan Suban. 1999. Membina Para Pembina Kursus Persiapan Perkawinan. Jakarta: Yayasan Putra-Putri Maria. Wahlroos, Sven. Komunikasi Keluarga. 1988. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia
130
Digitalisasi Masyarakat: Menilik Kekuatan dan Kelemahan Dinamika Era Informasi Digital dan Masyarakat Informasi AG. Eka Wenats Wuryanta5
Abstract: Some adagium which have been told by modern communications growth observer show that information become one of the vital element in society. Information become a fundamental requirement so that can be expressed as the lifeblood that sustains political, social and business decision. As a consequence, society has to expose themself with the growth and new media dynamics and global communications. The rotation in production, consumption and information distribution is faster experienced of and owned by global new society system supported by economic and extention power, global information system network and also contributed by digital technology. This Paper will explain some of alternative discourse to see the excess and weakness of information technologization process which finally instruct the society at digital era.
Key words: Digitalization, information society, media industry, political economics perpective, social transformation.
Para pakar komunikasi sekarang mulai sepakat bahwa era modern ditandai dengan era informasi. Penguasaan dan hegemoni informasi bisa menempatkan kekuasaan sebagai konsekuensi logis. Prediksi dan analisis Alvin Toffler (1980) menyatakan bahwa era kemanusiaan dibagi dalam tiga era 5
AG. Eka Wenats Wuryanta adalah staf pengajar di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta. Aktif sebagai koordinator Program dan Penelitian Departemen Kajian Media dan Trend Budaya Institut Kajian Sosial dan Komunikasi Strategis Jakarta
131
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
pokok, yaitu era masyarakat agraris, masyarakat industri dan masyarakat informasi, telah dan sedang menjadi kenyataan umum yang mau tidak mau diakui. Don Tapscott (1996), seorang pemerhati perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di Amerika Serikat—dalam bukunya yang berjudul The Digital Economy, Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence—menyatakakan bahwa perkembangan ekonomi dunia sedang mengalami perubahan dari dinamika masyarakat industri yang berbasis pada baja, kendaraan, dan jalan raya ke arah dinamika masyarakat ekonomi baru yang dibentuk oleh silicon, komputer, dan jaringan (networking). Beberapa adagium yang telah dikemukakan oleh para pemerhati perkembangan komunikasi modern memperlihatkan kepada setiap manusia bahwa informasi menjadi salah satu unsur konstitutif dalam suatu masyarakat. Straubhar menyatakan bahwa masyarakat informasi adalah masyarakat mempunyai aktivitas ekonomi politik-sosial melalui proses produksi, konsumsi dan distribusi informasi. Masyarakat informasi ditandai dengan intensitas yang tinggi atas pertukaran dan penggunaan teknologi komunikasi (Straubhar, 2002). Dapat dikatakan bahwa informasi menjadi kebutuhan pokok sehingga dapat dinyatakan dengan ungkapan “information is the lifeblood that sustains political, social and business decision”. Hal ini pula yang menyebabkan bahwa masyarakat mulai harus membuka diri dengan perkembangan dan dinamika media baru dan komunikasi global. Perputaran produksi, konsumsi dan distribusi informasi semakin cepat dialami dan dimiliki oleh sistem masyarakat baru yang global dengan didukung oleh kekuatan dan ekspansi ekonomi, jaringan sistem informasi global serta terakhir disokong oleh teknologi. Dengan mengukur perkembangan komunikasi dari pengaruh pra-lisan, tradisi lisan, tulisan, cetakan, media massa dan akhirnya telematika dapat disimak bahwa bagaimana lambannya gerakan proses kebudayaan komunikasi tersebut pada proses awalnya, tapi kemudian terakselerasi secara cepat dan massif pada era belakangan ini (Briggs, 2002). Teknologi dalam perkembangan arus produksi, konsumsi dan distribusi informasi memegang peranan penting. Urgensi peranan teknologi dalam proses massifikasi informasi terjadi ketika hasil teknologi membantu mengubah pola komunikasi yang dibatasi oleh ruang dan waktu menjadi pola komunikasi informasi tanpa batas. Dengan demikian, pada dasarnya teknologi bersifat baik, sehingga tidak mengherankan apabila terjadi perubahan dari media massa tradisional menjadi media massa baru. Pada akhirnya media baru dalam konteks teknologi dan globalisasi mengalami perubahan yang sedemikian
132
kompleks. Globalisasi menjadi salah satu faktor penting dalam industri dan teknologi media komunikasi. Dalam wacana media komunikasi baru muncul beberapa konsiderasi atau pertimbangan yang patut diperhatikan. Beberapa konsiderasi itu adalah pemahaman masyarakat informasi dalam era digital, perkembangan teknologi media kontemporer, wacana industri media pada era informasi digital, wacana ekonomi politik dalam konteks masyarakat komunikasi digital, dan beberapa catatan etis-kritis menanggapi beberapa janji—kemudahan sekaligus ketidakpastian masa depan industri media digital modern.
PEMAHAMAN MASYARAKAT INFORMASI DIGITAL Masalah yang jelas dalam pemahaman masyarakat informasi digital adalah sejauh mana definisi masyarakat informasi mendapat tempat dan porsi yang tepat dalam seluruh konteks perkembangan masyarakat. Pada dasarnya masyarakat informasi melekat dalam setiap tahapan masyarakat yang ada. Adalah sebuah kenyataan bahwa setiap komunitas sosial mempunyai kebutuhan dan tuntutan tindakan komunikatif-informatif. Hanya memang perkembangan dinamika sejarah kemanusiaan menempatkan komunikasi dalam konteks masyarakat informasi industrial yang dipicu dan dibantu oleh teknologi yang mampu memampatkan keterbatasan ruang dan waktu. Seperti sudah dikatakan bahwa, masyarakat informasi merupakan masyarakat yang melihat bahwa produksi, proses dan distribusi informasi sebagai bagian dalam seluruh aktivitas sosial ekonomi. Informasi dalam konteks ini dapat dikatakan sebagai bagian dari ”kapital”. Konstelasi kapital dan informasi lebih dilihat sebagai proses komodifikasi informasi sehari-hari. Artinya, masyarakat melihat bahwa modal ekonomi-sosial didasarkan pada informasi, sehingga informasi telah menjadi komoditas. Itulah sebabnya, dalam masyarakat pasca-industri—yang banyak ditandai oleh komodifikasi informasi—komoditas utamanya terletak pada produksi, distribusi dan konsumsi pengetahuan. Proses komodifikasi informasi dalam masyarakat informasi kontemporer dibantu oleh teknologi informasi. Teknologi dan media informasi pada akhirnya mempengaruhi kinerja dan pola komunikasi. Salah satu ciri dinamika teknologi informasi adalah ciri konvergensi.
133
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI MEDIA KONTEMPORER Perkembangan teknologi komunikasi modern yang bersifat konvergen merupakan proses konkruensi dari seluruh proses evolusi media massa. Ada beberapa pertimbangan yang perlu dilihat dalam wacana dinamis perkembangan teknologi media kontemporer. Pertama, perubahan komponen dalam proses komunikasi. Konvergensi media meliputi digitalisasi, perluasan teknologi serat optik dan networking technology. Pemampatan, digitalisasi, kompresi dan akselerasi distribusiproduksi dan konsumsi informasi mempengaruhi nilai mental yang berpengaruh dalam seluruh proses komunikasi. Pola S – M – C – R adalah model sederhana. Pola klasik komunikasi ini diubah melalui isu inovasi kapitalisasi pengetahuan, isu virtualisasi, isu molekularisasi, integrasi jaringan, isu dan permasalahan prosumsi dan perluasan isu diskordansi. Pertimbangan kedua adalah soal networking (jaringan). Jaringan memungkinkan adanya keterkaitan antara jaringan yang satu dengan jaringan yang lain. Jaringan teknologi komunikasi ini mempunyai tingkatan, baik lokal, nasional, maupun global. Tentu saja, adanya “jalan tol informasi” turut memperbaiki dan membuat jangkauan informasi menjadi lebih luas dan lebih baik. Konvergensi teknologi komunikasi ditandai dengan warna digitalisasi. Titik utama dari proses konvergensi pada tingkat teknologi informasi adalah digitalisasi. Digitalisasi adalah proses di mana semua bentuk informasi baik angka, kata, gambar, suara, data, atau gerak dikodekan ke dalam bentuk bit (binary digit atau yang biasa disimbolisasikan dengan representasi 0 dan 1) yang memungkinkan manipulasi dan transformasi data (bitstreaming). Teknologi digital mampu menggabung, mengkonversi atau menyajikan informasi dalam berbagai macam bentuk. Apapun isi yang ditampilkan, bit dapat dieksplorasi sekaligus dimanipulasi, termasuk cropping informasi asli dengan pengurangan maupun penambahan. Pertimbangan ketiga adalah teknologi multimedia. Teknologi multimedia tidak hanya mengubah cara berkomunikasi tradisional yang bersifat manual tapi juga bersifat digital, inovatif, cepat dan interaktif. Digitalisasi telah mengubah dan melakukan transfigurasi teknologi media dan komunikasi. Jaringan telepon otomatis yang sebelumnya dioperasikan secara manual sekarang bisa dioperasikan oleh perangkat jaring-intelek komputer dengan perangkat lunak yang mampu mengkonfigurasikan jaringan cerdas (intelligent network) dengan fitur-fitur kompleks digital.
134
Dalam industri film, meski hasil akhirnya berupa seluloid, sebagian besar editing dikerjakan secara digital, sementara suara dan efek khusus seluruhnya dilakukan secara digital. Contoh yang paling jelas dari penggunaan teknologi ini adalah hasil efek khusus dalam film “Independence Day”, “Lords of The Ring”, “Spider Man” atau serial “Matrix”. Digitalisasi juga mengarahkan konvergensi produk dan proses aplikasi informasi yang dapat melakukan berbagai fungsi audio-visual dan komputasi. Konvergensi produk komunikasi terjadi ketika televisi dan komputer menjadi satu produksi media sehingga akses ke internet dapat dilakukan dari pesawat televisi (lihat layanan Indovision yang menyediakan jaringan komputer dengan band-width yang cukup lebar atau yang bisa disebut broadband channel). Sebaliknya, siaran televisi dapat dinikmati lewat internet secara real time. Produk kombinasi lainnya bisa dilihat dengan hadirnya perangkat telepon selular yang disertai dengan berbagai macam layanan dan fasilitas modern. Telepon selular modern selain mempunyai kemampuan untuk melakukan hubungan telepon konvensional, media komunikatif tersebut juga bisa mengirim SMS (Short Message Service) atau MMS (Multimedia Message Service) dengan kemampuannya untuk memproduksi, menerima, mengolah atau mengirim gambar, suara, data, bahkan melakukan aktivitas “berselancar” dalam internet. Begitu juga dengan teknologi mencetak yang menggabungkan alat cetak, pemindai (scanner), fotokopi, mesin faksimili, dan telepon menjadi satu. Belum lagi teknologi telepon selular sudah masuk pada generasi ketiga dan selanjutnya, yang tentunya semakin banyak dan lebar band frekuensi yang dipunyainya. Konvergensi memungkinkan terjadinya penggabungan (merger) perusahaan yang terkait dengan industri komputer, telekomunikasi, dan media. Microsoft berinvestasi dalam bidang penyiaran, televisi kabel, satelit, penerbitan, dan industri internet. AT&T yang membeli televisi kabel TeleCommunication Inc (TCI). Singapore Technologies Telemedia membeli saham mayoritas PT Indosat Tbk. PT Indosat Tbk. sendiri juga mempunyai output produk dalam usaha sambungan langsung internasional, sambungan lokal di Indonesia, dan bisnis internet. Indosat sendiri telah mengembangkan hubungan antara sistem digital selular pada Matrix, Mentari dan IM3. Hal itu juga dikembangkan oleh PT Telkom yang tidak hanya melayani sambungan telepon dan internet (Telkomnet Instant). Dalam istilah konvergensi atau pemampatan industri digital akan tergambar ketika pada industri lama perusahaan komputer didefinisikan sebagai produsen perangkat lunak (soft-ware) dan keras (hard-ware), penerbit bergerak dalam teknologi cetak serta perusahaan telekomunikasi didefinisikan sebagai
135
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
penjual jasa telekomunikasi, mengoperasikan jaringan atau membuat perangkat. Momen-momen dinamis teknologi komunikasi semakin mengaburkan batasbatas media konvensional dan pengertian-pengertian yang dikonseptualisasi dalam ilmu komunikasi. Dalam industri media dan komunikasi digital yang ada serta berperan adalah peralatan informasi, sehingga produksi dan konsumsi media baru dibedakan pada tingkatan-tingkatan dari kreasi isi hingga konsumsi akhir. Industri yang dikembangkan oleh penerbit, studio film maupun stasiun televisi sudah merambah pada soal isi media. Hal ini terjadi karena dalam teknologi digital dapat dilakukan konversi data yang murah, cepat dan efisien dari media satu ke model media yang lain. Ini bisa dilihat dengan dijadikannya film menjadi permainan. Film terakhir James Bond “Die Another Day”, Lord of The Ring: The Return of King, atau rangkaian acara televisi yang berjudul “Smack Down” tersedia versi permainan virtualnya untuk bisa dimainkan di komputer atau dalam play-station sampai generasi ke-2. Permainan Street Fighter atau Tomb Raider produksi Eidos Interactive yang bisa dimainkan lewat perangkat seperti Playstation, komputer, kemudian dibuat filmnya. Penerbit buku kini dapat juga memasarkan bukunya dalam bentuk CD-ROM. Konvergensi televisi dan komputer disatukan dengan jaringan yang meruncingkan industri TV kabel, yang menggunakan coaxial cable dengan menggunakan teknologi Hybrid Fiber Coax. Teknologi ini memungkinkan layanan televisi dikonvergensikan dengan fasilitas akses internet berkecepatan tinggi dan IP telephone yang memungkinkan komunikasi suara ke PSTN, ISDN atau GSM. Selain TV kabel, teknologi digital juga memungkinkan untuk mengembangkan broadcasting television melalui sambungan satelit atau siaran televisi melalui alamat web internet.
WACANA INDUSTRI MEDIA DIGITAL MODERN Paradigma masyarakat informasi memberikan akibat yang tidak sedikit atas perkembangan industri media digital dan proses digitalisasi masyarakat. Setidaknya industri media digital memiliki karakter yang unik pada masalah produksi, distribusi dan proses komodifikasi pesan komunikasi masyarakat. Teknologi dalam industrialisasi media begitu krusial. Industrialisasi media komunikasi membutuhkan teknologi untuk menjadi perpanjangan tangan yang efektif menaikkan skala keuntungan ekonomi yang diperoleh, tapi tetap ada beberapa argumentasi yang perlu dikaji, selain argumentasi ekonomi. Pertama, adalah argumentasi budaya komunikasi yang berkembang. Argumentasi ini mau memperlihatkan adanya perkembangan atau perubahan
136
mobilitas manusia dan keterbatasan ruang dan waktu bisa mempengaruhi pola komunikasi manusia. Mobilitas manusia atau masyarakat diimbangi dengan proses teknologi digital yang dibantu oleh media massa modern. Kedua, adalah argumentasi perkembangan sistem ekonomi, sosial dan budaya yang dihidupi oleh manusia modern. Setidaknya perlu dikaji soal relasi signifikan antara perkembangan sistem ekonomi, sosial dan budaya dengan soal urgensi pemanfaatan teknologi dalam industrialisasi media digital. Ketiga, adalah argumentasi subjektif manusia yang selalu tidak merasa puas dengan perkembangan media komunikasi modern. Alat komunikasi perlu disesuaikan dengan pola pikir dan pola tindakan manusia setempat Beberapa keyakinan yang menyertai teknologi sebagai sebuah sistem dan praksis. Teknologi sebagai suatu sistem nilai dan praksis kerja yang mengikutinya berada dalam konstelasi proses progres. Dinamisasi efisiensi dan tujuan tertentu mau tidak mau mengandaikan progres dalam teknologi. Efisiensi industri dan teknologi mengakibatkan mekanisasi, otomatisasi, massifikasi produksi dan konsumsi, ekspansi distribusi dan stabilisasi sumber alam yang dipakai untuk perkembangan teknologi itu sendiri. Industrialisasi produksi isi dan ragam media komunikasi berproses untuk semakin: konvergen dalam hal teknologi media yang ada, digital, mengoptimalkan teknologi serat optik dan teknologi jaringan pada simpulsimpul teknologi komunikasi modern (Dahlan, 2000). Industrialisasi distribusi isi dan ragam media juga akan banyak dipengaruhi oleh soal perubahan yang terjadi pada perangkat dan sarana media komunikasi itu sendiri. Tingkat mobilitas yang tinggi dalam distribusi media modern sudah menjadi tuntutan yang wajar dalam masyarakat informasi. Tingkat mobilitas dan arus lalu lintas informasi telah menjadi pola perubahan sistem distribusi dalam media massa. Selain itu, media komunikasi modern juga memusatkan pola duplikasi, sistem satelit, digitalisasi informasi jarak jauh, tele-text dalam seluruh proses distribusi media komunikasi modern. Argumentasi hubungan teknologi dengan media informasi adalah logika perkembangan yang ekspansif proses komunikasi publik secara global. Masyarakat tidak bisa lagi mengelakkan diri dari proses komunikasi. Komunikasi sudah menjadi kebutuhan utama. Komunikasi membutuhkan media untuk menjadi penghantar (menyangkut teknologi informasi yang mempermudah manusia mengirim dan menerima pesan). Ketika ruang dan waktu menjadi faktor yang membatasi proses komunikasi maka diperlukan teknologi yang mengusahakan masalah tersebut. Teknologi komunikasi dibuat dan dikembangkan untuk menyokong proses komunikasi manusia.
137
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
Perkembangan komunikasi sangat luar biasa. Perkembangan dramatik teknologi komunikasi tidak terletak pada soal sistem perangkat kerasnya saja tapi sudah menyangkut soal bagaimana membuat interkoneksitas jaringan komunikasi. Teknologi komunikasi bukan sekedar soal barang tapi juga soal teknologi jaringan itu sendiri. Teknologi komunikasi merupakan perangkat yang membutuhkan biaya yang tinggi, dengan demikian hanya pemilik modal besar saja yang mampu menguasai teknologi, maka tidak mengherankan apabila industrialisasi dan teknologisasi media komunikasi membawa industri media pada usaha konglomerasi.
WACANA EKONOMI POLITIK KRITIS-ETIS DIGITALISASI MASYARAKAT Dari bagian sebelumnya, wacana industri media digital modern dan proses digitalisasi masyarakat tidak bisa dilepaskan dari proses ekonomi politik media yang juga berkembang sampai sekarang. Dalam wacana ekonomi politik media digital modern, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, perkembangan teknologi digital, industri media digital, serta digitalisasi masyarakat informasi tidak bisa dipisahkan dengan proses komersialisasi dan massifikasi kapitalisme modern. Dengan demikian, seturut dengan proses kapitalisasi media digital, maka proses digitalisasi masyarakat melibatkan tiga proses utama ekonomi politik media modern, yaitu komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi. Digitalisasi informasi dalam masyarakat melibatkan proses komodifikasi, yaitu proses transformasi barangjasa, dalam hal ini informasi dan proses komunikasi, dari nilai guna menjadi nilai tukar. Nilai tukar informasi semakin direkonfigurasi melalui bilangan biner yang dikonversi dalam teknologi suara-gambar dan data. Digitalisasi informasi dalam masyarakat melibatkan proses spasialisasi, yaitu proses pemampatan batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Selain bidang teknis, spasialisasi juga mempunyai makna bahwa digitalisasi informasi memberikan perpanjangan institusi media dalam bentuk korporasi yang semakin besar dan efektif. Perpanjangan spasial industri media digital membawa konsekuensi pada ekstensi vertikal dan horizontal. Strukturasi media digital dan digitalisasi informasi masyarakat membawa hubungan yang semakin erat antara agen, proses struktural dan praktek sosial. Dalam media digital yang bersifat interaktif, terdapat proses interaksi yang semakin interdependen antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1996). Persoalan
138
dalam poin pertama ini berupa pertanyaan kritis yaitu sejauh mana akhirnya masyarakat bisa membentuk dirinya untuk menjadi pelaku aktif dan kritis atas seluruh proses dan teknologisasi media digital ? Teknologi dan media digital mempunyai kemampuan untuk memacu percepatan dan pembuatan jaringan baru. Laju pertumbuhan dan perkembangan informasi bersifat eksponensial (Dahlan, 2000). Ini berarti bahwa informasi yang diterima oleh masyarakat atau tiap orang bisa merupakan banjir informasi. Masyarakat semakin dibanjiri produks informasi yang dibawa oleh media digital dan jaringan media komunikasi massa, baik yang bersifat lokal-regional dan internasional. Proses komodifikasi, strukturasi dan spasialisasi membuat informasi seperti air bah yang menerpa masyarakat. Terpaan informasi di satu sisi bisa membuat manusia yang lapar informasi bisa mendapatkan informasi yang diperlukan, tapi di lain pihak terpaan informasi bisa membuat situasi beban berlebih atas seluruh proses informasi yang diterima oleh setiap manusia atau masyarakat. Dalam hal ini, muncul kontradiksi masyarakat informasi yaitu, di satu pihak terjadi banyak dan kebanjiran informasi dan pada saat yang saat yang sama terjadi kesulitan masyarakat untuk mencerna informasi yang diterima. Situasi kelebihan beban informasi yang dialami oleh masyarakat membuat masyarakat sendiri tidak mampu memanfaatkan informasi untuk membangun dan mengkonstruksi tata sosial yang lebih baik. Kedua, adalah masalah komodifikasi informasi. Perubahan nilai guna menjadi nilai tukar pada setiap informasi juga semakin menempatkan makna informasi sebagai sesuatu yang bersifat komersial. Informasi pada tataran wacana ilmu komunikasi diartikan sebagai sesuatu yang bersifat “entropi”. Informasi adalah sesuatu yang belum secara utuh diketahui dan tak terduga. Nilai informasi justru terletak pada soal ketidakpastian dari yang diinformasikan. Titik tolak nilai informasi justru dari derajat ketidakpastiannya (Littlejohn, 2002). Komersialisasi informasi menempatkan informasi sebagai barang atau jasa yang mampu memberikan pemenuhan rasa ingin tahu masyarakat. Dalam proses selanjutnya, informasi justru semakin membawa masyarakat pada ketidakcerdasan dalam membedakan mana yang hakiki dan mana yang semu, memilah mana yang gosip dan mana yang fakta. Komodifikasi digital mampu menyediakan ruang-ruang “simulacra”. Dalam perkembangan masyarakat kapitalisme modern, komodifikasi digital mengembangkan proses rekonfigurasi masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat konsumen informasi. Logika informasi telah berkembang dan mempengaruhi sikap konsumtif masyarakat. Ini berarti bahwa masyarakat tidak lagi membawa bentuk konsumsi informasi dalam bentuk nilai guna atau utilitasnya tapi lebih banyak akan berkaitan dengan logika sosial dan gaya
139
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
budaya baru yang semakin terisolasi dan teralienasi dari kebutuhan manusia yang sesungguhnya. Logika digital dalam berbagai macam bentuk isi pesannya memang memperkaya khasanah kebudayaan kontemporer, tapi di lain pihak terjadi pemutarbalikan logika episteme yang dipunyai oleh masyarakat. Sistem produksi media digital telah membawa struktur produksi dan konsumsi (produser, marketer, iklan) mampu membentuk struktur konsumen, bukan sebaliknya. Logika digital juga membawa pada situasi di mana terjadi “fethisisme komoditas informasi”, dalam arti bahwa informasi yang merupakan sesuatu yang abstrak dijadikan sumber interpretasi realitas yang bersifat konkret. Pencitraan yang dikonstruksi oleh media digital bisa dimanfaatkan untuk membentuk citra “sewenang-wenang” yang dilakukan oleh para pelaku media. Digitalisasi informasi yang dikembangkan oleh teknologi digital bisa membuat apa saja menjadi mungkin, telah menempatkan logika tanda dalam pencarian kebenaran manusia menjadi soal massifikasi permainan simbol. Tidak hanya sampai di situ saja, digitalisasi masyarakat semakin menempatkan masyarakat menjadi “penonton” kosong yang dibanjiri sejumlah besar informasi. Memang terjadi keterpesonaan atas kemajuan digital dan bentuk kenyamanan sensualistik, sekaligus rimba informasi digital tersebut justru membuat ruang personal dan privat yang semakin sempit. Reduksi digitalistik dalam ruang pribadi masyarakat tidak menutup kemungkinan menimbulkan kehampaan baru atas proses pemaknaan realitas yang seharusnya dilakukan oleh setiap pribadi. Ketiga, perubahan dalam industri teknologi digital membawa konsekuensi yang tidak sedikit dalam proses ekonomi politik media kontemporer. Setidaknya ada beberapa watak yang unik dalam proses digitalisasi industri media dan masyarakat. Watak konvergensi merupakan watak integrasi dari beberapa media menjadi satu media pokok. Watak demassifikasi media semakin nampak di mana komunikasi tidak mutlak dimulai dari sumber atau media yang menentukan isi pesan dan tujuan komunikasi, tetapi juga oleh penerima komunikasi yang berinteraksi satu sama lain. Watak divergensi media terjadi ketika media digital menjadi lebih personal. Ini berarti, media dalam arti tertentu, dituntut untuk semakin spesialistik. Hal ini membawa konsekuensi ekonomi dan politik tersendiri pula. Watak kompetisi dalam pasar media modern semakin tinggi dan membutuhkan bentuk networking yang semakin global. Watak variabilitas informasi dituntut oleh konsumen modern. Variabilitas ini mengakibatkan konglomerasi informasi untuk membuka peluang penyediaan informasi secara lebih massal dan luas.
140
Keempat, wacana ekonomi politik digitalisasi masyarakat juga harus dilihat dalam proses transformasi masyarakat itu sendiri. Artinya, bahwa digitalisasi masyarakat mengarah pada kekuatan pasar yang optimis untuk memasuki kompetisi teknologi baru. Selanjutnya transformasi digitalisasi masyarakat juga menekankan pemberdayaan dan penyebaran tanggung jawab sosial atas seluruh dampak yang diakibatkan oleh teknologi digital. Berikutnya, perubahan yang menyentuh komponen masyarakat dalam berbagai perannya di sekian skala yang mempunyai pertimbangan kesadaran atas informasi, pengetahuan, teknologi, imajinasi, komitmen dan kebebasan sebagai pertimbangan yang mengatasi teknologi. Artinya, teknologi digital mampu melayani kebutuhan manusia.
WACANA AKHIR: LANGKAH KE DEPAN Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah apakah memang orang Indonesia benar-benar siap melangkah menjadi masyarakat informasi serta bagaimana perkembangan citra dan budaya teknologi informasi di Indonesia. Dengan demikian, perkembangan teknologi komunikasi mencakup persiapan masyarakat informasi di Indonesia. Ada beberapa pertimbangan yang perlu ditarik dalam hal ini. Pertama adalah soal penentuan konsep teknologi dan masyarakat komunikatif macam apa yang mau dibangun. Pertanyaan tersebut bukan pertanyaan yang terlambat untuk dijawab sekarang ini. Masyarakat kita perlu mengadopsi teknologi komunikasi tanpa meninggalkan nilai budaya setempat. Perkembangan teknologi dan industri komunikasi memang harus dilihat secara paralel dengan proses industri dengan logika internal yang menyertainya, tetapi tetap saja teknologi dan industri digital harus dilihat secara kritis. Artinya, proses perkembangan digitalisasi masyarakat justru tidak semakin mengalienasikan manusia dari struktur yang lebih besar atau bahkan mereduksi manusia ke dalam residu teknologistik belaka. Kedua, perkembangan teknologi mempengaruhi transformasi sosial. Transformasi sosial yang seimbang dan sesuai dengan kekuatan sosial masyarakat. Transformasi itu meliputi integrasi optimisme industri dan teknologi komunikasi, pemberdayaan partisipasi masyarakat—kewenangan negara dan kekuatan swasta—untuk semakin bertindak dan bertanggungjawab secara sosial, transformasi regulasi yang diperlukan untuk aturan main bersama terutama dalam hal perkembangan industri dan teknologi media, aspek transformasi kepemimpinan dalam menemukan dan menciptakan ekonomi baru sebagai perluasan lapangan kerja dan akses informasi yang lebih luas.
141
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
Ketiga, perubahan citra teknologi komunikasi itu sendiri. Perubahan citra teknologi komunikasi didorong untuk bisa menciptakan adopsi inovasi. Adapun adopsi teknologi inovasi itu meliputi pemanfaatan komparatif praktek hidup, kompatibilitas nilai dengan kebutuhan masyarakat, kesederhanaan pemakaian, tersedia setiap saat, terbukti bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA Briggs, Asa. 2002. A Social History of The Media: From Gutenberg to the Internet. Cambridge: Polity Press Dahlan, Alwi. 2000. Perkembangan Industri dan Teknologi Media, makalah untuk pelengkap kuliah Industri dan Teknologi Komunikasi Semester Genap 1999/2000, Jakarta: Universitas Indonesia: Straubhaar, Joseph dan Robert La Rose. 2002. Media Now: Communication Media in the Information Age: Australia: Wadsworth Tapscott, Don. 1996. The Digital Economy Era: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence, New York: McGraw Hill. Toffler, A..1980. The Third Wave, New York: Morrow: Littlejohn, Stephen W. 2000. Theories of Human Communications. 7th Ed. Belmont: Wadsworth Publishing Company.
142
Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi
G. Arum Yudarwati6
Abstract: Community relations is performed as an institution’s planned, active, and continuing participation with and within a community to maintain and enhance its environment to the benefit of both the institution and the community. Community relations will reduce conflict and help to discover the best policy that lead to wellbeing community through the establishment of social capital as part of corporate social responsibility. At the macro level, the system approach and communitarian approach give perspectives to explain the interaction between organization with its environment. At the mezzo level, the community relations should be supported by its function in organization. Finally at the micro level, public relations practitioners should take a significant role in organizations.
Key words: community relations, responsibility, public relations
system
approach,
social
Relasi organisasi dengan publiknya semakin kompleks seiring dinamika lingkungan yang melingkupinya. Ada beberapa hal yang mempengaruhi relasi organisasi dengan publiknya, seperti yang terjadi di Indonesia. Yang pertama adalah adanya era reformasi yang menempatkan posisi publik setidaknya relatif lebih seimbang dan memiliki kekuatan tawar menawar dengan organisasi. Dengan posisi ini publik memiliki kebebasan berbicara dan mengkritik organisasi tanpa adanya tekanan. Kedua, jumlah media pembentuk opini publik juga semakin banyak. Dalam situasi seperti ini, organisasi perlu membuka ruang dialog dengan publik dan peka untuk selalu beradaptasi dengan lingkungannya. Perkembangan teknologi informasi ikut pula mempengaruhi 6
G. Arum Yudarwati adalah staf pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
143
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
relasi organisasi dengan publiknya. Teknologi mampu meniadakan batas ruang dan waktu antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Suatu peristiwa dapat dengan segera disebarluaskan dengan bantuan teknologi informasi. Sangat sulit bagi organisasi untuk menutup diri, sebaliknya harus cepat tanggap dan memberikan informasi terkini. Perdagangan bebas juga membuat organisasi untuk semakin berbenah diri dan menjalin hubungan dengan publik untuk mendapatkan reputasi yang baik. Reputasi sendiri, bagi beberapa pihak lebih dilihat sebagai bentuk keberhasilan organisasi dalam menggalang profit, sehingga ada istilah good profit means good reputation, namun sebenarnya tidak sesederhana itu. Pemahaman akan reputasi menyangkut dua hal, yang pertama, reputasi dipahami sebagai sebuah produk, yaitu sebagai kumpulan impresi individu terhadap organisasi. Sementara itu, pandangan kedua menekankan reputasi sebagai sebuah proses, yaitu proses pertukaran sosial berkaitan dengan berbagai elemen organiasi yang melibatkan komunikasi dan interaksi sosial. Reputasi ini menyangkut beberapa aspek, yaitu credibility, reliability, trustworthiness dan responsibility yang terkait satu sama lain dan ditentukan oleh penerimaan publik berdasarkan informasi dan pengalaman yang mereka miliki (Fombrun, 1996). Salah satu publik yang memberikan kontribusi terbentuknya reputasi organisasi adalah komunitas. Komunitas dipahami sebagai sekelompok orang yang memiliki kepentingan dan terkait dengan keberadaan organisasi, serta secara geografis berada di wilayah sekitar organisasi (Grunig & Hunt 1984). Keberadaan komunitas menjadi penting bagi kelangsungan eksistensi organisasi mengingat komunitas merupakan kelompok masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu, yang juga menjadi bagian dari lingkungan di mana organisasi itu berada. Kerangka hubungan organisasi dengan komunitas diletakkan dalam kerangka hubungan bertetangga yang baik dan memiliki rasa saling ketergantungan. Komunitas sekitar dapat berperan untuk menjaga perusahaan itu sendiri dari resiko atau peristiwa buruk yang mungkin dapat terjadi. Sebaliknya perusahaan juga dapat turut membantu mengembangkan potensi kehidupan sosial, budaya dan perekonomian komunitas setempat. Berkaitan dengan relasi perusahaan terhadap komunitas, selama ini bentuk relasi lebih banyak diwujudkan pada program-program bantuan yang bersifat material ataupun bangunan fisik. Hal tersebut dianggap cukup dalam menunjang kemajuan dan potensi ekonomi masyarakat setempat. Secara fisik maupun ekonomi barangkali bantuan menjadi nampak nyata, namun di sisi
144
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.
yang lain hal ini cenderung memanjakan masyarakat tanpa disertai kesadaran dari masyarakat untuk mandiri ketahanan hidupnya. Tulisan ini selanjutnya akan memberikan pandangan praktek community relations yang sejalan dengan konsep public relations yang mampu memberdayakan publiknya. Tulisan diawali dengan pembahasan pendekatan sistem untuk memahami relasi organisasi dengan publiknya, dilanjutkan pemaparan pendekatan communitarianism yang memungkinkan hubungan harmonis dengan komunitas. Berikutnya dipaparkan community relations dalam kerangka tanggung jawab sosial organisasi, dilanjutkan dengan fungsi public relations dalam community relations, dan diakhiri dengan bagaimana manajemen community relations dilakukan.
PENDEKATAN SISTEM DALAM PUBLIC RELATIONS Pendekatan sistem merupakan salah satu alternatif untuk melihat relasi organisasi dengan publiknya. Organisasi sendiri merupakan suatu sistem, yaitu “a set of interacting units that endures through time within an established boundary by responding and adjusting to change pressures from the environment to achieve and maintain goal states” (Cutlip et.al., 2000). Sebuah sistem ini terdiri dari beberapa sub sistem dan di kelilingi sistem lain yang saling tergantung satu sama lain. Pendekatan sistem diyakini mampu menjelaskan saling ketergantungan organisasi dengan lingkungannya dalam menjalankan aktivitas untuk mencapai tujuan. Menurut Kreps (1986), setidaknya ada empat implikasi penting dari pendekatan sistem untuk memahami organisasi. Implikasi pertama, bahwa saling ketergantungan menunjukkan antara satu bagian dan bagian lain saling berhubungan. Untuk mencapai kerja organisasi yang efektif maka seluruh bagian fungsional tersebut harus dikoordinasikan melalui komunikasi. Aktivitas komunikasi digunakan untuk berbagi informasi maupun saling mempersuasi agar mau bekerja sama. Implikasi kedua, dalam pendekatan sistem ditunjukkan bagaimana keterbukaan membawa implikasi bagi organisasi untuk menyadari adanya perubahan lingkungan. Implikasi ketiga, bahwa berdasar kerangka analisis mikro dan makro ditunjukkan adanya beberapa level organisasi dalam organisasi itu sendiri. Analisis mikro fokus pada kerja internal organisasi, sementara analisis makro lebih pada keterkaitan organisasi dengan lingkungannya. Ini termasuk arti penting saluran komunikasi internal dan eksternal serta bagaimana kedua saluran tersebut digunakan bersama. Implikasi keempat menunjukkan bahwa organisasi tidak bersifat statis, tetapi dinamis, dikarenakan adanya adaptasi dan inovasi dalam organisasi. Organisasi perlu
145
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
fleksibel dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Di sini terjadi pertukaran informasi melalui saluran eksternal komunikasi. Pendekatan sistem dipakai dalam pembahasan public relations dalam tataran makro, yaitu berkaitan dengan bagaimana interaksi organisasi dengan lingkungan yang melingkupinya. Praktek public relations dipengaruhi oleh bagaimana organisasi berinteraksi dengan lingkungannya, dalam hal ini dengan para stakeholder. Untuk melihat hal tersebut ada dua pendekatan sistem yang dapat digunakan, yaitu pendekatan sistem terbuka dan sistem tertutup. Dalam pendekatan sistem tertutup, organisasi memandang publik bukan sebagai bagian langsung organisasi, antara keduanya terdapat pembatas yang tidak dapat ditembus. Kebutuhan, harapan, maupun opini publik tidak dijadikan pertimbangan dalam pembuatan keputusan, sebaliknya publik dijadikan obyek organisasi. Interaksi bersifat searah, yaitu dari organisasi kepada publik. Dalam organisasi seperti ini, public relations lebih difungsikan sebagai corong organisasi untuk menyampaikan informasi dari organiasi kepada publik dan tidak sebaliknya. Program public relations dibuat untuk membentuk citra sesuai kehendak organisasi dan ditujukan untuk mempertahankan status quo. Public relations lebih sebagai eksekutor kebijakan organisasi dan tidak terlibat dalam pembuatannya. Peran teknis pada akhirnya yang lebih dominan. Sementara itu dalam pendekatan sistem terbuka, antara organisasi dengan publik dianggap tidak memiliki batasan pemisah yang tidak dapat ditembus. Pendekatan ini secara radikal mencoba mengubah pandangan dalam pendekatan tertutup dengan menempatkan publik sebagai bagian dari organisasi yang tidak terlepaskan. Organisasi melihat publik sebagai bagian organisasi yang ikut menentukan kehidupan organisasi. Organisasi berupaya untuk mengetahui kebutuhan, harapan maupun opini publik berkaitan dengan organisasi, yang selanjutnya dijadikan sebagai masukan dan pertimbangan dalam pembuatan keputusan organisasi. Dengan demikian kebijakan organisasi sesungguhnya merupakan hasil kesepakatan bersama dari kedua belah pihak. Dalam sistem terbuka, public relations berperan sebagai fasilitator komunikasi antara organisasi dengan publiknya. Public relations membantu organisasi untuk mengeksplorasi dan memetakan opini publik, kemudian menyampaikannya kepada organisasi. Demikian pula sebaliknya, bahwa public relations membantu menyampaikan dan mensosialisasikan kebijakan organisasi kepada publik. Dengan demikian, penyesuaian diri terjadi pada kedua belah pihak, baik organisasi maupun publik sebagai hasil kesepakatan bersama. Dalam menjalankan fungsi tersebut, tentunya public relations pada akhirnya tidak hanya berperan sebagai eksekutor kebijakan atau teknisi saja.
146
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.
Public relations lebih banyak menjalankan peran manajerial, dengan memberikan masukan pada pihak manajemen dan terlibat dalam proses pembuatan kebijakan. Public relations pun dapat membantu organisasi mencegah terjadinya krisis dengan memberikan masukan bagi perubahan yang diperlukan organisasi, sekaligus mengarahkan program untuk mengubah sikap maupun perilaku publik. Sifat public relations lebih pada upaya proaktif daripada reaktif. Pendekatan sistem terbuka dalam public relations dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Open System Model of Public Relations
(Sumber: Cutlip, Scott M, Allen H. Center, and Glen M. Broom. 2000. Effective Public Relations. 8th edition. New Jersey: Prentice Hall, p.244)
Berkaitan dengan community relations, pendekatan sistem terbuka diyakini mampu memberdayakan publiknya, mengingat publik ditempatkan pada posisi yang seimbang, saling tergantung dan tidak saling mendominasi. Pendekatan sistem terbuka dalam kaitannya dengan community relations dikembangkan lebih spesifik menjadi pendekatan communitarian (Wilson, 2001). Pendekatan ini menekankan bahwa hak setiap pihak diakui, namun dalam penerapannya perlu disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada satu pihak
147
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
yang akan dikorbankan untuk memenuhi hak pihak lain, namun masing-masing mengembangkan rasa tanggung jawab. Bellah (dalam Wilson, 2001) mengidentifikasi adanya empat nilai yang menjadi dasar communitarian relationship. Nilai yang pertama adalah kombinasi dari nilai individual dan penolakan terhadap berbagai bentuk dominasi dengan fakta bahwa keseluruhan komunitas yang berkualitas merupakan prasyarat bagi individu maupun organisasi yang berkualitas. Nilai yang kedua adalah solidaritas. Dalam hal ini, salah satu pihak ada karena relasi organisasi dengan pihak lain. Nilai yang ketiga adalah communitarian relationship yang merupakan penyeimbang dari adanya keanggotaan individu maupun organisasi yang beragam. Akhirnya, nilai yang keempat adalah partisipasi dalam komunitas yang merupakan sebuah hak sekaligus tanggung jawab. Relasi akan baik ketika seluruh anggota komunitas, baik individu maupun organisasi di dalamnya berpartisipasi mendukung komunitas dan membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi bersama.
COMMUNITY RELATIONS DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL ORGANISASI Community relations sebagai bagian dari public relations merupakan wujud tanggung jawab sosial organisasi. Seperti disampaikan Bernays (dalam Grunig & Hunt, 1984): "Public relations is the practice of social responsibility. Hal ini didukung pula oleh hasil riset Gildea (dalam Daugherty, 2001) yang menunjukkan bahwa responden menempatkan praktek bisnis, dukungan kepada komunitas dan perlakuan terhadap karyawan sebagai indikator penting dari tanggung jawab sosial organisasi. Lebih lanjut, Buchholz (dalam Daugherty, 2001) memilih menggunakan istilah public responsibility untuk mengganti social responsibility. Menurut Buchhloz, public responsibility berkaitan dengan niat baik organisasi untuk secara aktif terlibat dalam berbagai isu publik meskipun tidak berkaitan langsung dengan kepentingan organisasi. Keterlibatan ini dapat diawali dengan melakukan identifikasi dan riset isu publik, itikad baik untuk mendiskusikannya di arena publik dan kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak lain dalam memecahkan masalah yang ada. Perkembangan di masyarakat menuntut praktek public relations tidak hanya sebagai corong masyarakat dan bersifat satu arah, tetapi public relations diharapkan mampu menjembatani organisasi dalam mewujudkan tanggung jawab pada publiknya. Bentuk tanggung jawab itu sendiri dapat dikatakan tanpa batas. Organisasi sulit menentukan kapan tanggung jawab sosial itu dimulai dan berakhir.
148
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.
Davis & Blomstrom (dalam Grunig & Hunt, 1984) menggambarkan tanggung jawab sosial dalam dunia bisnis ke dalam tiga buah lingkaran sebagai berikut : Gambar 2. A Widening Circle of Business Social Responsibility
(Sumber: Davis & Blomstrom dalam Grunig & Hunt 1984:54)
Dalam upaya mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bentuk kontribusi public relations dilakukan melalui fungsi-fungsi yang dijalankan (Grunig & Hunt, 1984), yaitu internal reporting dan external reporting. Melalui internal reporting, public relations berperan sebagai pemberi masukan kepada pihak manajemen berdasarkan opini publik tentang "perilaku" organisasi yang dianggap bertanggung jawab maupun yang tidak. Secara lebih khusus public relations menjalankan proses yang disebut sebagai issues management, yaitu: … the capacity to understand, mobilize, co-ordinate, and direct all strategic and policy planning functions, and all public affairs/public relations skills towards the achievement of one objective: meaningful participation in creation of public policy that affects personal and institutional destiny (Chase, 1984).
External reporting dari public relations dapat berbentuk social report dan social audit. Social report berisi laporan kontribusi organisasi kepada publiknya. Laporan ini antara lain mencakup aktivitas hubungan dengan komunitas, partisipasi kayawan dalam aktivitas komunitas, konservasi lingkungan, adanya peluang yang sama bagi wanita maupun kelompok minoritas, serta aktivitas sosial yang lain. Sementara itu social audit lebih
149
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
melihat tanggung jawab sosial berdasarkan perhitungan keuangan yang digunakan untuk kepentingan publik. Hal ini biasanya dilakukan oleh pihak konsultan eksternal.
COMMUNITY RELATIONS Community relations sebagai salah satu wujud penerapan tanggung jawab sosial dimaknai sebagai "an institution’s planned, active, and continuing participation with and within a community to maintain and enhance its environment to the benefit of both the institution and the community" (Baskin, 1997). Setidaknya ada tiga dimensi dari relasi organisasi dengan publik yang menjadi bagian dari community relations, yaitu community investment, community involvement, dan community commitment (Ledingham & Bruning, 2001). Antara organisasi dengan komunitas terdapat hubungan saling ketergantungan, seperti dikemukakan oleh The Community Relation’s Section of Champion International Corporation’s Public Affairs Guide: We are important to those communities. Our payroll maybe the bulwark of the area’s economy. The taxes we pay support local schools and government. Our voluntary contributions, both financial both and in the form of employees’ personal services, help the communities grows and prosper. And these communities are important to us. Without public acceptance, no industry can realize its full potential. The goodwill of the people who live in our plant communities is essential and must be earned (Grunig & Hunt, 1984).
Adanya saling ketergantungan ini memotivasi organisasi untuk mendesain program-program community relations. Menurut Grunig dan Hunt (1984), program community relations dapat dibedakan dalam dua tipe. Tipe program yang pertama merupakan program yang fokus pada aktivitas untuk membantu komunikasi organisasi dengan pemimpin komunitas lokal. Sementara itu program kedua fokus pada aktivitas yang melibatkan organisasi pada aktivitas komunitas, seperti dukungan terhadap proses pendidikan dan sekolah, maupun memberikan donasi pada organisasi lokal. Program community relations dilaksanakan untuk mencapai beberapa tujuan (Cutlip, Center & Broom, 2000), yaitu: 1) memberikan informasi pada komunitas tentang organisasi itu sendiri, produk yang dihasilkan, pelayanan
150
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.
yang diberikan serta aktivitas yang dilakukan; 2) meluruskan kesalahpahaman dan menanggapi kritikan publik disertai upaya menggalang dukungan dan opini yang positif; 3) mendapatkan dukungan secara hukum yang akan mempengaruhi iklim kerja komunitas; 4) mengetahui sikap, pengetahuan dan harapan komunitas; 5) mendukung sarana kesehatan, pendidikan, rekreasi dan aktivitas budaya; 6) mendapatkan pengakuan yang baik dari pemerintah setempat; 7) membantu perkembangan ekonomi lokal dengan membeli barangbarang kebutuhan dari wilayah setempat. Dari ketujuh tujuan tersebut nampak bahwa program community relations sesungguhnya tidak hanya masalah perbaikan ekonomi, namun disertai juga upaya pemberdayaan akses informasi dan komunikasi. Penentuan tujuan itu sendiri dipengaruhi oleh karakter komunitas. Ada beberapa karakter komunitas yang perlu diidentifikasi sebelum melaksanakan program community relations (Baskin et.al, 2004), yaitu: Pertama, struktur komunitas, meliputi: tingkat homogenitas atau heterogenitas; struktur kepemimpinan formal maupun informal; nilai-nilai yang ada dan berkembang dalam komunitas; dan media komunikasi. Kedua, kelebihan dan kekurangan komunitas, meliputi: identifikasi permasalahan yang dihadapi komunitas; situasi dan kondisi ekonomi politik; dan sumber daya yang dimiliki komunitas, baik sumber daya manusia, alam, maupun budaya. Ketiga, pemahaman dan sikap komunitas terhadap organisasi, meliputi: pemahaman komunitas akan produk, jasa, aktivitas maupun kebijakan organisasi; sikap dan perasaan komunitas akan keberadaan organisasi; adakah kesalahpahaman terjadi; dam harapan komunitas terhadap organisasi. Perlu ditekankan bahwa harapan komunitas terhadap organisasi tidak hanya sesuatu yang tangible seperti gaji, lapangan kerja, dan pajak namun juga intangible, seperti partisipasi organisasi, stabilitas dan keamanan, serta rasa bangga akan keberadaan organisasi. Selain itu, perlu pula mengidentifikasi pola hubungan komunitas dengan organisasi. Menurut Esman (dalam Grunig & Hunt, 1984) ada empat bentuk hubungan organisasi dengan komunitas, yaitu: 1) enabling linkage, merupakan bentuk hubungan antara organisasi dengan kelompok sosial yang memberikan otoritas dan kontrol yang memungkinkan organisasi eksis, termasuk hubungan dengan pemerintah lokal, khususnya dengan orang-orang kunci; 2) functional linkage, ada dua pola hubungan yaitu input linkage dan output linkage. Input linkage meliputi hubungan dengan karyawan lokal, kelompok/asosiasi lokal, dan penyedia bahan-bahan mentah, uang, yang
151
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
menyediakan input bagi organisasi. Output linkage berkaitan dengan hubungan organisasi dengan organisasi lain yang menggunakan produknya, seperti para konsumen; 3) normative linkage, merupakan hubungan organisasi dengan organisasi lain yang menghadapai masalah yang sama atau memiliki nilai-nilai yang sama, organisasi lokal dengan kepentingan yang sama dengan organisasi; 4) diffused linkage, merupakan bentuk hubungan dengan elemen dalam masyarakat yang berperan dalam penyebaran opini publik, seperti hubungan dengan media lokal dan para pemuka pendapat lokal. Pencapaian tujuan community relations juga akan dipengaruhi oleh cara pandang dan perlakuan organisasi terhadap komunitasnya. Dalam hal ini peran public relations dalam organisasi menjadi penting. Wilson (2001) mengidentifikasi adanya empat aktivitas penting yang perlu dijalankan seorang public relations. Yang pertama adalah mereka membantu organisasi agar para pimpinan memandang penting relasi dengan komunitas dan melihat pentingnya peran organisasi dalam komunitas. Mereka perlu meyakinkan tanggung jawab organisasi untuk terlibat dalam upaya pembangunan dan kemajuan komunitas. Tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas hidup komunitas ini perlu dilakukan bukan karena akan mendatangkan profit, namun merupakan tanggung jawab moral organisasi. Peran seorang public relations yang kedua adalah membantu menyadarkan organisasi bahwa komunitas tidak hanya sekedar terdiri dari para investor (stockholder), namun mereka juga terdiri dari para stakeholders, yaitu karyawan, konsumen, pesaing, pemasok bahan, dan kelompok publik lain di mana hubungan perlu dikembangkan. Selanjutnya, karena perspektif yang menekankan perlunya hubungan dengan komunitas ini termasuk hal yang baru, maka evaluasi terhadapnya pun belum banyak dilakukan. Di sini peran ketiga public relations adalah untuk meyakinkan organisasi bahwa evaluasi keberhasilan organisasi tidak hanya dari sisi finansial, namun juga dilihat dari aplikasi tanggung jawab sosial organisasi dan penerimaan komunitas. Akhirnya, peran keempat dari public relations adalah mengembangkan budaya dan nilai organisasi, termasuk menanamkannya pada seluruh anggota organisasi, yang menjamin berlangsungnya hubungan dengan komunitas yang baik. Peran public relations tersebut sejalan dengan pendapat Baskin dan Latimore (1997) tentang fungsi public relations dalam organisasi, meliputi: Pertama, fungsi manajemen. Untuk menjalankan fungsi ini maka Public relations memberi masukan kepada pihak manajemen dalam perumusan misi, visi, tujuan maupun kebijakan organisasi berdasarkan hasil eksplorasi opini publik; dan membantu organisasi dalam melakukan perubahan yang diperlukan, khususnya di masa krisis. Hal ini didasari oleh dua hal, yaitu: 1) public
152
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.
relations memonitor dan mengeksplorasi opini publik, maka kemudian public relations dapat mewakili kepentingan publik dan memprediksi reaksi publik terhadap kebijakan organisasi; dan 2) public relations berfungsi mengkomunikasikan kebijakan organisasi kepada publik. Kedua, fungsi komunikasi. Sebagai fungsi komunikasi public relations dapat dilihat dari empat hal, yaitu ketrampilan ataupun keahlian komunikasi yang perlu dimiliki public relations, aktivitas kerja yang biasa dilakukan, sistem yang dibentuk dan operasionalisasi penggunaan sistem yang sudah dibentuk, meliputi: 1) Kemampuan dasar komunikasi. Setidaknya ada tiga kemampuan dasar yang perlu dimiliki seorang public relations, yaitu kemampuan mendengarkan, menulis dan berbicara, baik dalam konteks komunikasi organisasi maupun berbicara di depan publik (public speaking). Selain ketiga hal tersebut, untuk menjalankan peran manajerial maka seorang public relations juga perlu memiliki kemampuan melakukan riset, menyusun perencanaan dan mengevaluasi hasil riset; 2) Public relations mencakup berbagai aktivitas kerja yang dilakukan berkaitan dengan proses komunikasi, seperti produksi media release, company profile, ataupun majalah internal, termasuk juga di sini, program kampanye untuk membentuk kesadaran akan isu tertentu ataupun membentuk image positif organisasi.; 3) Public relations berperan dalam membangun suatu sistem komunikasi, seperti sistem pengumpulan informasi dari publik, membentuk kelompok pelanggan ataupun komunitas untuk mendapatkan masukan, ataupun dengan menjalin hubungan baik dengan para editor dan wartawan; 4) Public relations berkaitan dengan aktivitas memanfaatkan sistem komunikasi yang sudah ada. Ketiga, fungsi mempengaruhi opini publik. Aktivitas public relations banyak bersentuhan dengan opini publik. Dalam hal ini ada tiga hal yang dapat dilakukan public relations, yaitu: 1) Public relations membantu organisasi untuk membangun relasi dengan publik; 2) Public relations menginterpretasikan opini publik dan menyampaikannya kepada organisasi sebagai input; 3) Ketika berbicara masalah opini publik, maka salah satu hal yang menjadi sorotan publik adalah masalah tanggung jawab sosial. Public relations membantu organisasi mewujudkan tanggung jawab sosial melalui program-programnya.
MANAJEMEN COMMUNITY RELATIONS Community relations merupakan suatu aktivitas yang terencana dari suatu organisasi. Ada beberapa alternatif tahapan manajerial yang ditawarkan, namun pada intinya adalah sama. Kelly (2001) misalnya mengemukan adanya
153
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
lima tahap manajerial, yaitu riset, penentuan tujuan, penyusunan program dan implementasi, evaluasi dan diakhiri dengan pendampingan. Lebih lanjut tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Cutlip et.al, 2000 & Kelly, 2001): Tahap penemuan fakta. Dalam tahap ini public relations melakukan riset untuk mendapatkan fakta yang ada berkaitan dengan organisasi. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diidentifikasi, yaitu: 1) Kondisi internal organisasi, meliputi identifikasi dan evaluasi kebijakan organisasi, aktivitas maupun produk (barang maupun jasa) yang dihasilkan, serta harapan organisasi terhadap komunitas. Setidaknya diidentifikasi ada lima harapan organisasi terhadap komunitas, yaitu pelayanan yang baik dari pemerintahan lokal, aturan pajak yang jelas dan adil, lingkungan yang nyaman bagi karyawan untuk bekerja, dukungan akan tenaga kerja, serta pada akhirnya dukungan terhadap bisnis dan produknya; 2) Fakta yang ada pada publik, dalam hal ini identifikasi komunitas; 3) Analisis peluang berkaitan dengan upaya membangun hubungan komunitas yang baik; 4) Berdasarkan fakta yang diperoleh, selanjutnya public relations mengidentifikasi permasalahan utama atau isu besar berkaitan dengan hubungan komunitas. Tahap perencanaan. Berdasarkan identifikasi masalah dan temuan fakta yang ada, public relations menentukan tujuan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Untuk mencapai tujuan tersebut dirumuskan program hubungan komunitas, yang pada dasarnya terdiri dari dua tipe program, yaitu program komunikasi dan program keterlibatan organisasi dalam komunitas. Tahap aksi dan komunikasi. Dalam tahap ini disusun dua strategi besar, yaitu: 1) Strategi aksi yang berkaitan dengan implementasi program, perubahan-perubahan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan 2) Strategi komunikasi yang berkaitan dengan upaya pengkomunikasian program, yang terdiri dari dua strategi, yaitu: a) Strategi pesan, berkaitan dengan pemilihan dan penyusunan pesan yang disampaikan kepada komunitas, dan b) Strategi media, berkaitan dengan pilihan media untuk menyampaikan pesan maupun mendapatkan masukan dari komunitas. Tahap evaluasi. Dalam tahap ini, evaluasi tidak hanya dilakukan terhadap output yang dihasilkan namun juga input, yaitu berkaitan dengan kelengkapan pemahaman akan komunitas, dan outcome, yaitu perubahan sikap maupun perilaku yang pada akhirnya memberikan gambaran akan reputasi organisasi di mata publik. Proses evaluasi menurut Cutlip, Center dan Broom (2000) dapat dilakukan terhadap tiga tahap proses public relations, yaitu: 1) tahap persiapan, seperti evaluasi terhadap kelengkapan informasi berkaitan dengan komunitas, pilihan media, maupun penyusunan pesan; 2) tahap implementasi, seperti jumlah partisipan, jumlah pesan yang disampaikan, maupun frekuensi kegiatan;
154
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.
3) dampak yang dihasilkan, seperti perubahan sikap, perilaku, atau bahkan perubahan sosial yang terjadi. Tahap pendampingan. Program hubungan komunitas merupakan program yang berkelanjutan, sehingga dalam hal ini public relations perlu melakukan beberapa hal berikut: 1) Selalu menginformasikan perkembangan terakhir yang terjadi dalam organisasi, seperti menyampaikan laporan tahunan ataupun kebijakan terbaru organisasi yang berdampak pada komunitas; 2) Mengembangkan komunikasi timbal balik yang memungkinkan komunitas menyampaikan opini dan memperoleh umpan balik; 3) Secara rutin melakukan kontak dengan komunitas untuk menjaga dan memupuk hubungan baik, seperti dengan menghadiri pertemuan rutin komunitas ataupun mengundang komunitas dalam kegiatan organisasi. Tahapan manajemen public relations tersebut dapat digambarkan sebagai siklus hubungan organisasi dengan publik yang aktif. Hasil evaluasi dengan disertai proses pendampingan akan menghasilkan input bagi perumusan program public relations berikutnya.
Melihat uraian di atas dapat disampaikan bahwa untuk memahami community relations perlu dilihat dari berbagai level analisis. Pada tataran makro, community relations dilihat dari relasi organisasi sebagai suatu sistem yang berhubungan dan saling tergantung dengan sistem yang lain. Aspek sosial, ekonomi, politik maupun budaya akan mempengaruhi pola hubungan yang ada. Reputasi organisasi tidak hanya dilihat dari sisi seberapa besar profit yang diperoleh, namun juga dilihat dari aspek tanggung jawab sosial organisasi dalam bentuk community investment, community involvement, dan community commitment. Selanjutnya dari level mezo, ditunjukkan bahwa aktivitas community relations tidak akan lepas dari pemahaman organisasi akan peran public relations. Posisi, kewenangan dan fungsi yang dijalankan dalam organisasi akan mempengaruhi model praktek yang dijalankan. Akhirnya pada level mikro, yaitu berkaitan dengan individu pelakunya, community relations akan dipengaruhi oleh kompetensi para pelaku yang membawa implikasi pada peran yang dijalankan, apakah peran manajerial ataukah teknis. Community relations akan memberikan benefit jangka panjang jika ditempatkan sebagai bagian dari strategi besar organisasi.
155
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
DAFTAR PUSTAKA Baskin, Otis, Craig Aronoff and Dan Lattimore. 1997. Public Relations: The Profession and The Practice. Edisi empat. Madison: Brown & Benchmark. Baskin, Otis, Dan Lattimore and Suzette T. Heiman, Elizabeth L. Toth, and James K. van Leuven. 2004. Public Relations: The Profession and The Practice. Edisi lima. Madison: Brown & Benchmark. Cutlip, Scott M, Allen H. Center, and Glen M. Broom. 2000. Effective Public Relations. Eight edition. New Jersey: Prentice Hall. Daugherty, Emma L. 2001. “Public relations and social responsibility” dalam Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public Relations. California: Sage Publication, Inc. (h. 389-402). Fombrun, Charles J. 1996. Reputation, Realizing Value from the Corporate Image. Boston: Harvard Business School Press. Grunig, James E & Todd Hunt. 1984. Managing Public relations. Chicago: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Kelly, Kathleen S. 2001. “Stewardship: the fifth step in the public relations process” dalam Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public Relations. California: Sage Publication, Inc. (h. 279-290). Kreps, Gary L. 1986. Organizational Communication, Theory dan Praktek. New York: Longman. Lauzen, Martha M. 1997. “Understanding the relation between public relations and issues management”. Journal of Public Relations Research. Vol. 9. No. 1. (h. 65-82). Ledingham, John A. and Stephen D. Bruning. 2001. “Managing community relationships to maximize mutual benefit: doing well by doing good” dalam Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public Relations. California: Sage Publication, Inc.(h. 527-534). McLisky, Chadd. 1999. “Indonesia, public relations and social responsibility”. Asia Pacific Public relations Journal. Vol. 1. No. 1. (h. 105-108). Starck, Kenneth and Dean Kruckeberg. 2001. “Public relations and community: a reconstructed theory revisited” dalam Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public Relations. California: Sage Publication, Inc. (h. 5160). Wilson, Laurie J. 2001. “Relationships within communities: public relations for the new century”. Dalam Heath, Robert L (ed). Handbook of Public Relations. California: Sage Publication, Inc. (h. 521- 526).
156
Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of Kompas dan Republika Newspapers
Prayudi7
Abstract: The reconceptualization of ethnicity came to its peak when the New Order regime introduced the policy of ‘suku’ (ethnic), ‘agama’ (religion), ‘ras’ (racial) or ‘antar golongan’ (inter-group). The policy, known as SARA, was meant to limit and control public interpretation over all socio-political conflicts that may endanger national stability and to restrict languages used in the news media. The policy had became the main foundation of all government policies related to society. Conflicts should be avoided and difference within society was intolerable. The Indonesian press then faced a dilemma when it came to reporting issues of ethnicity. On one side, they had an obligation to report the news to public; on the other side, the concept of SARA had become an unwritten law to restrict the press from reporting the issue. Further, the government could revoke the publishing permits without any warning it thought that the press had broken the law. The objective of the research was to define and analyze the usage of language in national newspapers in representing ethnicity issues. The analysis focused on the 1997 ethnic violence in West Kalimantan.
Key words: newspaper language, ethnic violence, SARA
Language plays significant role within the context of ethnic pluralism. It can unify as well as divide people of various ethnic backgrounds. Newspaper 7
Prayudi is a lecturer at the School of Communication Studies, Faculty of Social and Political Sciences, the University of Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Yogyakarta.
157
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ability in influencing its readers has brought to surface the issue of language used by newspaper institution in representing issue of ethnic violence. How the newspaper presents the issue, the perspectives used and reporting style all lead to the usage of newspaper language. An attempt to analyse how Indonesian newspapers used the language in representing the issue of 1997 ethnic violence strongly relates to some arguments. They include political context, press policies and news orientation. The 1997 ethnic violence itself occurred in West Kalimantan. It was claimed to be the biggest ethnic violence that involved the Dayak community as indigenous people and the Madura community, migrants of Madura Island. It is noteworthy that the violence occurred during the New Order era. First argument is the introduction of SARA policy as part of Suharto’s development political policy. SARA policy was introduced by the New Order regime in the early 1970s in order to limit and control public interpretation of all socio-political conflicts that may endanger national stability. The SARA acronym represents suku (ethnicity), agama (religion), ras (race) and antargolongan (inter-group) issues. Although ethnic, religious, race and intergroup diversity was integral to the character of Indonesian society; SARA issues were labeled as the 'embryo’ of disintegration. SARA policy was underpinned by the notion that conflict between groups within society will provide an opportunity for particular groups to secure their own interests, which might be at the expense of the national interest. Further, the conflict may lead to subversive actions (Katjasungkana, Kartika and Mahendra 1999). The state apparatus then created conditions to suppress issues of ethnic identity, religion, races and inter-groups. Meetings, discussions and writing about SARA were considered threats toward national integrity and were therefore banned. Krisnamurthi (2002) argues that the politics of SARA introduced by the New Order regime through repressive power, either directly or indirectly, was a politics of isolation of the elements of ethnic, religion, race and inter-group within the life of nation and state. SARA was used to ban any discourse of ethnicity as part of Suharto’s idea of reshaping Indonesia into a ‘big Java’. In the context of Javanese culture, ethnic groups outside Javanese are considered lower status. Therefore, they have no right to express their ethnic identity and purpose or make requests of their ruler. Meanwhile, the hierarchical system in Javanese culture has also created a condition where Javanese people from lower classes must, as part of their ethnic identity, obey their rulers. Thus, culturally there have already been some limitations on issues of ethnicity which were later legalized by Suharto's introduction of SARA.
158
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....
The policy of SARA had also affected the life of the press in Indonesia during the New Order era. A range of topics through which the discourse of SARA could surface was widely recognized as being off limits. Further restriction included prohibition of news that refers to anything deemed as seditious (menghasut), insinuating (insinuasi), sensational (sensasi), and speculative (spekulasi) (see, Hill. 1990). Thus, the policy of SARA had become a very effective instrument for the New Order government to pressure both ethnic groups and the press. In 1975, there was a clash that involved Chinese ethnic group and claimed many lives and properties. However, few newspapers reported the issue. If the press had to report SARA issues, they were required to report from the government point of view. This indicates the strength of the New Order regime which was fully supported by the military. Press policies as the second argument relates to how newspaper institution reports the issue of ethnicity. Principally the newspaper institutions should have been fair and objective in representing the violence and focused its coverage on public interest basis. However, government strong policy on ethnicity still restricted the press from presenting the news in a more objective way. In reporting the violence, the press still did not dare to report the issue explicitly. I conducted a content analysis of Kompas and Republika dailies in 2001 and found that principally both Kompas and Republika played a role as storyteller in reporting SARA issues or other sensitive issues. I found that the way the press reports news strongly relates to the interplay of various levels of influence from within press institutions (such as mission, vision, goals) and from political economy factors outside the press institutions (like government policy on SARA). The facts of events are thus written as information based on a set of frameworks which state that the news reported should not mislead its readers or condemn people or parties involved in the matter. It should hold the pre-assumption of innocence, place the matter in the way it really stands, involve the choice of relevant and balanced news sources, and always try to confirm the information gathered. The third argument is the orientation of news coverage. Issue of ethnic violence has high news values like frequency (time-span taken by an event), threshold (size of an event), meaningfulness (events that accord with the cultural background of the news gatherers) and so on (see, Hartley, 1995). Consequently, newspapers will certainly report the issue. Nevertheless, the orientation of news coverage strongly influenced by the interests the newspaper institutions have to serve. If they orient the news coverage based on public interest, it is likely that the newspaper institutions will use language that reduce rather than intensify the violence. However, if they orient the coverage to increase the newspapers exemplar, it is possible that the newspaper institutions
159
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
will use language that either purposely or not purposely contributes to the violence. In an interview with the editor in chief of a local newspaper in West Kalimantan province, I found that it was difficult for the local newspaper to be fair and balance in the coverage. Even if the newspaper institution had used the language that would not exacerbate the issue, still it had to face demands and demonstration from some ethnic groups who thought that the newspaper had taken aside to one particular ethnic group. In sum, the interplay of these arguments led to the newspapers institution perspectives in reporting issue of ethnicity. These perspectives were then reflected in the language used. To support this claim, two Indonesian national newspapers had been analysed: Kompas and Republika. The time period to be examined was from January until mid February 1997 which included the period of ethnic violence and its aftermath. Using textual analysis, I examined how the language was used by both newspapers in representing issue of ethnic violence, considering the complicity of the New Order regime. The analysis focused on the language and meanings implied in the headlines and text. This analysis was then followed by comments from editors of the respective newspapers and other sources to strengthen the arguments. The next section focuses on analysis of how the language was used by Kompas and Republika newspapers in representing the 1997 ethnic violence.
PRESENTATION AND INTERPRETATION OF DATA Ethnic Violence in West Kalimantan is a series of events which can be seen as a discourse over which many institutions contest the various approaches to the violence. Arguments regarding the source of the violence included surrounding political arguments, marginalisation, deforestation, and transmigration. The violence occurred as the result of the politics of development under the New Order regime, which incorporated the policy of SARA in its practice (see, Prayudi, 2003). The 1997 ethnic violence occurred in Sanggau Ledo sub district, which later spread to Ledo, Bengkayang, Samalantan and Tujuh Belas sub districts, all within Sambas Districts. In particular, the fighting that occurred over women indicated how fragile inter-ethnic relations within society were. Although the violence was related to the implementation of politics of ethnicity (SARA) associated with the New Order regime's politics of development, newspaper items were restricted to coverage of youth fighting amongst both ethnic groups and the proposal that the solution could be found through a traditional peace ceremony.
160
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....
From the analysis of more than a hundred articles of both newspapers that related to the issue, it was hardly to find language that tended to intensify the violence. Rather, both of the newspapers used the language intelligently to represent the issue from different perspective that put them in a neutral position. Within the context of reporting ethnic violence, newspapers basically can focus their coverage on the following perspectives: implication, causes and solution of the violence. It has to be admitted that many newspapers would prefer to report the process of the violence which may be full of bias and difficult to be fair and objective. These kinds of newspapers usually orient the reportage to enhance its newspaper selling, rather then informing the public through fair and balance coverage. Kompas tended to report ethnic violence from the humanitarian perspective. This is signified by the coverage of lives and properties lost in the violence, the condition of victims and the uncertain future they faced. The choice of this perspective strongly related to Kompas' editorial policies and vision to develop understanding within plural society. In particular, the influence came from the founder of Kompas, Jakob Oetama and late P.K. Ojong (About the humanism of Kompas newspapaer, see Sindhunata in St. Sularto, 2001). Further, it was another way to cover the issue without being afraid of control from government agencies like KOPKAMTIB or military headquarters as, since the beginning of the coverage, Kompas had already been told not to exacerbate the issue. By bringing up the human side of the unrest, which usually was abandoned by the press, Kompas presented the impact of the violence through the description of the victims. This can be seen from some of Kompas headlines, such as Keamanan Di Sanggau Ledo Terkendali(02/01/1997) Pengungsi Di Singkawang Kekurangan Pangan(04/01/1997), Kami Harus Tinggal Dimana? (12/01/1997), 1.094 Bangunan Rusak, Akibat Kerusuhan Di Sanggau Ledo (13/01/1997), and Kerugian Sanggau Ledo Rp 13,56 Milyar (28/01/1997). The emphasis on a humanitarian perspective, was evident in Kompas news items as follows:
Pengungsi di Singkawang Kekurangan Pangan Pengungsian ribuan penduduk daribeberapa desa di wilayah Kecamatan Bengkayang, Samalantan dan Kecamatan Tujuh Belas ke Kota Singkawang, masih terus berlangsung, sementara pengadaan pangan untuk para pengungsi mulai menipis…. Anggota DPRD II Sambas Haji Zainal selaku koordinator Posko Penanggulangan Pengungsi di Singkawang mengatakan, masalah besar yang dihadapi saat ini adalah kekurangan pangan, terutama beras.
161
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
Sejauh ini posko penanggulangan pengungsi di Singkawang baru menerima bantuan beras dua ton dari Pemda Kabupaten Sambas, juga gula, kopi dan mie instant dari para dermawan. Padahal untuk memberi makan seluruh pengungsi yang sudah berjumlah 5.678 orang, Posko Singkawang harus menyediakan beras 2,8 – 3 ton per hari dengan lauk seadanya seperti ikan asin. “Karena itu saya menghimbau semua pihak termasuk pemerintah untuk dapat meringankan beban para pengungsi,’ ujarnya. Dijelaskan Zainal, karena terbatasnya persediaan beras yang dimiliki Posko, pada Jum’at siang kemarin pengungsi di Singkawang terpaksa hanya diberikan makanan dengan bubur. (Kompas, 04/01/1997)
Kami Harus Tinggal di mana? Ketika diperbolehkan kembali melihat rumahnya di Dusun Sindu, Desa Beringin, Kecamatan Samalantan, Kabupaten Sambas, Minggu (5/1) lalu, Haji Abdullah (42) hanya bisa termenung lesu melihat rumah dan harta bendanya tinggal puing-puing belaka.…Padahal menurut pengakuan Haji Abdullah, selama ini pergaulan sehari-hari antarpenduduk desa itu sangat baik dan hidup rukun. *** “Secara jujur sulit saya memahami mengapa kerusuhan ini terjadi, sebab antara masyarakat Dayak, Madura dan Melayu di desa ini tidak ada masalah. Bahkan di antara warga kami sudah ada yang kawin campur,” kata Frans Adam, Kepala Desa Bagak Sahwa, Kecamatan Tujuh Belas. Frans Adam yang seorang tokoh masyarakat Dayak Bagak, sangat menyesalkan terjadinya peristiwa ini. (Kompas, 12/01/1997).
To achieve the humanitarian perspective, Kompas emphasized the interview with the opinion leaders and victims of both ethnic groups, the local government in terms of the total lives lost and properties damaged, and also the head of the coordinating post for refugees. From the two news items above, Kompas explicitly highlighted that principally both parties involved suffered from the violence. Further, the implied meanings of this representation are the failure of the New Order government politics of development and its security approach in preventing the violence from occurring and also the slowness in helping the victims of the violence. Thus, instead of using newspaper language
162
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....
to describe the violence, Kompas preferred to use the language to describe the impact of the violence. The implied meaning of some of the news items above does signify this. Jakob Oetama, General Manager of Kompas argued,
Information is not just presented. It is presented in such a way that its meaning and significance will gain clarity. Context, therefore, is the key word if one is to be able to present such information. There must always be a background, a process, the interrelationship, and the context. Context is two-sided. First, it directly relates with events and problems which constitute the sources of news and information. Context is also interrelated with a frame of reference. If context in this sense can be combined smartly and proactively and supplemented with critical reflection, it may help newspapers read and present trends. (Kompas Information Media. Kompas: A Friend in Changing Times)
It is clear that in understanding the language used in the newspaper, readers must see the context of the event being reported in attempt to understand the issue. Sometimes the meaning has to be understood implicitly. Unlike Kompas, Republika represented ethnic violence by emphasizing the current situation and steps taken by the government in managing the unrest. This was done through interviews with military officers and civil officials. These representations can be analysed from some of Republika headlines that state Komnas HAM Saksikan Perjanjian Damai di Sambas (06/01/1997), Panglima ABRI: Persoalan Sanggau Ledo Sudah Selesai (07/01/1997), Sanggau Ledo:Rusuh di Kampung Jagung(13/01/1997), Bupati Sambas Taryo Aryanto: Empat kali Kerusuhan Hanya Antardua Suku Itu(13/01/1997), and Kasus Sanggau Ledo Tak Ada Kaitan dengan Transmigrasi(27/02/1997). Most of the Republika headlines are statements made by both local and centre government officials, military and civil. News items exhibiting current situation and steps taken by the government in managing the unrest, for instance, are as follows:
Komnas HAM Saksikan Perjanjian Damai di Sambas Pihak-pihak yang bertikai di Sanggau Ledo, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Ahad siang mengadakan upacara perjanjian perdamaian secara adat. Pelaksanaan perjanjian tersebut disaksikan dua anggota Komnas HAM, Asamara Nababan, SH dan Muhammad Salim SH...
163
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
“Kami harapkan perdamaian semacam itu akan ditindaklanjuti sampai Pemda tingkat II,’ harap Pangdam XII/Tanjungpura Mayjen TNI Namuri Anoem S setelah menerima laporan adanya upacara itu, kemarin di Singkawang Dalam perjanjian tersebut – seperti yang dilakukan di Desa Pangmilang – antara lain disebutkan bahwa kejadian tersebut sebagai kesalahpahaman akibat informasi dan berjanji tidak akan saling dendam… (Republika 06/01/1997).
Panglima ABRI: Persoalan Sanggau Ledo Sudah Selesai Panglima ABRI Jenderal TNI Faisal Tanjung menyatakan, masalah kerusuhan antarkelompok yang terjadi 29 Desember 1996 di Sanggau Ledo, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, sudah selesai. Aparat keamanan sudah dapat mengatasi sepenuhnya. ‘Sudah selesai, sudah selesai’” kata Pangab kepada wartawan di Jakarta, Senin, ketika ditanyai tentang perkembangan kasus tersebut. ...Saat menjawab pertanyaan apakah ABRI melihat aksi kerusuhan massa akhir-akhir ini yang merebak di berbagai daerah, terdapat pola yang mengorganisasinya, Feisal mengatakan, “Pola apa, tidak ada pola-pola.” Meskipun demikian, Pangab minta wartawan menyampaikan berita yang benar.”Kalian dengar tadi apa yang dikatakan Pak Harto. Kalau tulisan kalian ‘ngaco’, itu sangat mempengaruhi orang lain, memutarbalikkan kenyataan. Janganlah memutarbalikkan pendapat orang,” katanya.... …Ditanyai tentang suasana saat ini, menurut Nababan, sudah jauh lebih baik dan bila meminjam istilah Pangdam VI/Tanjungpura, kondisinya makin mendekati titik nol. Adanya upacara adat sebagai peringatan perdamaian dari kedua kelompok yang bertikai, menurut dia, menunjukkan suasana yang menyejukkan bahkan di sebagian anggota kelompok sudah melepaskan ikatan kepala. Namun baik Nababan maupun Muhammad Salim sependapat bahwa untuk menyelesaikan persoalan tersebut secara tuntas tidaklah mudah. Upacara adat sebagai tanda perdamaian yang dilangsungkan di beberapa desa saat ini, semua itu sifatnya baru sampai tahap menyejukkan, kata Nababan. “Tindakan lebih lanjut harus ada partisipasi nyata dari kedua pihak.” (Republika 07/01/1997.
164
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....
Based on the two news items above, Republika stressed the government attempts to bring peace between the two groups through traditional peace ceremonies. The implied meaning signifies the unpreparedness of the military in analysing the violence before it occurred or when the violence was still in progress. Short statements from the commander of the armed forces also represented this. The facts later proved that the violence lasted for one and a half months. Whereas the quotation of statements from member of NHCR signifies that the government should not rely on traditional peace ceremonies to stop the violence without searching for the root of the problem. Although it did not clearly and directly criticize government efforts to solve the problem, Republika had tried to see the issue from critical perspective. The publication of the statement from the commander of the armed forces indicates that press must report the issue carefully. The policy of SARA had become a very effective political and legal instrument for the military to control the press. It is noteworthy that the military were active censors toward the press and did not merely rely on KOPKAMTIB and BAKIN which politically represented military monitoring and controlling bodies over political activities within societies, including the press. Nevertheless, there had been an attempt from the newspaper institutions to use the language cleverly and meaningfully in representing the issue. In summary, the use of covered, polite and euphemistic reportage style, as shown by Kompas, and the dominant use of government news sources whilst implicitly criticising the government, as shown by Republika, signify how the Indonesian newspapers institutions accommodated the political situation during the New Order government into their editorial policies in reporting ethnic violence. It is then reflected in the newspaper language. Another finding from the textual analysis of newspaper language in both Kompas and Republika newspapers was how both newspapers used the language to represent the causes of the violence. Basically, both newspapers portrayed two aspects of the violence. First, was the root of the violence, which was based on the New Order government politics of development that incorporated the policy of SARA. Second, was the way the government handled the violence. Kompas first coverage of the violence was on 2 January 1997 entitled ‘Keamanan di Sanggau Ledo Terkendali’ concentrated on the military approach to handling the violence. Kompas' care in reporting the issue can be seen from the placement of the article in page 15, which was set for national news articles, and the content of the article, which includes statements from government (military officers) and steps taken to prevent greater violence. At the end of this
165
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
article Kompas emphasized the existence of government companies in the area of violence as follow: Komoditas utama Kalbar tercermin di Sambas. Di situ ditemukan perkebunan karet, kopra, lada dan sawit. Sebagian perkebunan ini dikelola PT Perkebunan Nusantara XIII yang antara lain memiliki kantor di Kecamatan Samalantan. Hari Rabu malam banyak telepon yang masuk ke kantor redaksi Harian Kompas. Mereka umumnya menanyakan situasi di Sanggau Led. (Kompas, 02/01/1997).
Here, Kompas used covered, euphemism newspaper language which contained implied meanings. Rubber, copra, white and black pepper and oil palm plantations represented government development projects, which had overtaken tribal land of indigenous people through the Agrarian Law No.5. PT Perkebunan Nusantara XIII (a government-owned company) represented the government extension hand in exploiting the natural resources for the benefit of elite in Jakarta. In running the project, instead of using indigenous workers, the government preferred to use migrants (Madurese people) as workers. Thus, the policy had marginalized indigenous people and created social and economic gap between migrants and indigenous people. Meanwhile calls accepted at the editorial desk signifies that Kompas was pressured to carefully report the violence. Another way of reporting news about government complicity in the violence was by publishing opinions of political analysts or other sources like member of NCHR (National Commission of Human Right). Some of the news items are Amien Rais: People No Longer Stand with Economic Tyranny (06/01/1997), Kompleks, Ada Keterkaitan Berbagai Kerusuhan (19/02/1997), and Kekerasan Massa dan Kekerasan Struktural (20/01/1997). One of the news items above read as follow,
Amien Rais: People No Longer Stand with Economic Tyranny Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Amin Rais menyatakan,”…Republik ini yang berdasarkan kemajemukan agama, etnis, dan ras seperti sangat terancam. Sumbernya bukan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) itu sendiri, tapi kesewenang-wenangan dan kezaliman ekonomi yang berlangsung cukup lama sehingga rakyat banyak sudah tidak tahan lagi.”
166
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....
Amien melihat kerusuhan hanya bisa terkendali jika ada programprogram yang jelas untuk memberdayakan ekonomi masyarakat banyak. Menurut dia, program-program yang ada sekarang seperti proyek Jimbaran dan penyisihan dua persen dari keuntungan perusahaan memang akan berjalan, tapi kemungkinannya, “Doesn’t make any difference.” (Kompas 06/01/1997)
From the news item above, Kompas use newspaper language to represent the complicity of the New Order regime in the violence. Through opinions from some political analysts, Kompas implicitly criticized the New Order development SARA policies that had created the gap within society as the trigger of mass violence. Whereas Amien Rais, a figure that openly criticized the Suharto leadership and military involvement in the government structure, was represented as the leader of one of the biggest Moslem organization in Indonesia instead of a political analyst. By doing this, Kompas expected that the government would pay more attention to the issue being presented in the news. Thus, in using newspaper language to portray the government complicity in the violence, Kompas combined its reportage through formal, polite, covered and euphemistic reportage style and utilized the opinions of political analysts and other non-government sources. Republika, on the other hand, used different newspaper language in representing government complicity in the event. Republika represented this through the reportage of previous violence that involved both ethnic groups which had occurred several times. The reportage also emphasized the violence that occurred in places where many government projects were situated. To achieve this, Republika did not merely report what government news sources said. Rather, it used contradictive newspaper language by quoting statements from government officials regarding the violence to signify the possibility of political interests involved in the issue. Thus, quotation of government officials by Republika in its reportage of the violence contains two arguments: first, to deal with government policy in reporting SARA issues; and second, to represent the government as the source of ethnic violence. What is also significant is that Republika was founded with the involvement of Habibie, who was Suharto’s trusted man during the New Order era.
167
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
In one of its news items entitled Sanggau Ledo:Rusuh Di Kampung Jagung on 13 January 1997, Republika emphasized on how small cases of youth fighting could turn into mass SARA violence. Some parts of the news item states, Bagi Uray Faisal Hamid, orang Sambas yang menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Kalbar, akar persoalan adalah kesenjangan sosial yang menganga antara suku setempat dan pendatang… Melihat tiga peristiwa serupa pada 1977, 1979 dan 1983, memang tampak pertikaian selalu saja terjadi antara warga suku Dayak dan suku pendatang yang sama. Meskipun pertikaian selalu diakhiri ikrar damai, bara d iantara mereka rupanya tak pernah benar-benar padam. (Republika,13/01/1997).
By writing about violence that had been occurred for several times for quite long time, Republika sent a message to the government to seriously pay attention to this ethnic violence issue. In summary, both newspapers had represented the government complicity in the violence. From the two analysed newspapers, the press demonstrated how they set particular newspaper language in order to convey their message without transgressing government controls. This is what Jakob Oetama, the chairman of Kompas, said the press must know how to play. In relation to government's management of the violence, Kompas and Republika quoted statements from military officers and other figures like the Chairman of MPR and local opinion leaders. Both dailies avoided writing opinions and let its readers construct the meaning of the violence through the presentation of facts and contextual information which appeared in the language used.
CONCLUSION The usage of language in newspaper in representing issue of ethnicity principally relates to many factors. Some of them, as identified in this research, are political context, editorial policy, and news orientation. The interplay of these factors leads to perspective of a newspaper institution in representing the issue. The coverage of issue of ethnic violence is not merely about the position (intensify, neutral or diminish) of a newspaper in the violence. There are many other perspectives to report the issue of ethnic violence without exacerbating it.
168
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....
Kompas and Republika newspapers emphasized on humanitarian and sources of violence in representing the issue. The policy of SARA introduced by the New Order regime, editorial policies which were influenced by mission and vision of newspapers institutions, and orientation of news coverage which avoid to directly report the process of violence had resulted in the variety of language used in reporting the issue. However, it was done through cautious, polite and closed reportage style due to the maintenance of strong control over the press. The ramification of these findings is, in fact that the language used by the newspaper institutions during the New Order regime had been engaged in the struggle to give more balanced and fair coverage of the issue.
BIBLIOGRAPHY Hartley, John. 1995. Understanding New., London: Routledge. Hill, David. 1990. ‘Publishing within Political Parameters’. Inside Indonesia. Melbourne. No. 23, June, pp.16-7. Katjasungkana, Nug. 1999. ‘Konteks Sosial Historis SARA’ dalam Sandra Kartika & M Mahendra (Ed.). Dari Keseragaman Menuju Keberagaman, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan. Kompas Information Media. Kompas: A Friend in Changing Times. Krisnamurthi, Indra. 2002. Kerusuhan, Stigma SARA, dan Partai, [Online]. Available at: http://ww.bubu.com/kampus/juli98/lipsus.htm [2002, December 20] Prayudi. 2003. Press Coverage of Ethnic Violence. Unpublished Thesis. RMIT University, Melbourne, Australia. Sindhunata. 2001. ‘Menatap Masa Depan Humanisme di Indonesia Bersama Kompas’ dalam St Sularto. Humanisme dan Kebebasan Pers. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
169
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
Kompas’ news items: Keamanan Di Sanggau Ledo Terkendali
(02/01/1997)
Pengungsi Di Singkawang Kekurangan Pangan
(04/01/1997)
Kami Harus Tinggal Dimana?
(12/01/1997)
1.094 Bangunan Rusak, Akibat Kerusuhan Di Sanggau Ledo
(13/01/1997)
Kerugian Sanggau Ledo Rp 13,56 Milyar
(28/01/1997)
Amien Rais: People No Longer Stand with Economic Tyranny
(06/01/1997)
Kompleks, Ada Keterkaitan Berbagai Kerusuhan
(19/02/1997)
Kekerasan Massa Dan Kekerasan Struktural
(20/01/1997)
Republika’s news items: Komnas HAM Saksikan Perjanjian Damai Di Sambas
(06/01/1997)
Panglima ABRI: Persoalan Sanggau Ledo Sudah Selesai
(07/01/1997)
Sanggau Ledo: Rusuh Di Kampung Jagung
(13/01/1997)
Bupati Sambas Taryo Aryanto: Empat Kali Kerusuhan Hanya Antardua Suku Itu
(13/01/1997)
Kasus Sanggau Ledo Tak Ada Kaitan dengan Transmigrasi
(27/02/1997)
170
Media Literacy: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan Rahayu8
Abstract: The complexcity of the media’s problem in determining media policy can not be solved only by structural approach. The cultural approach is also needed in getting people participation and involvement to solve that problem. When the effect of media become an important issue in the relationship between media and the public, the media should not only be regulated, but the public should be involved and given the opportunity to play important role making the media to be part of public life and helping the public to solve their life. People’s empowerment in this cultural approach can be conducted through the program of media literacy. This movement as a public power and identity certainly has influence to the media.
Keywords: media effects, media literacy and public empowerment
Sejauh ini persoalan media massa dan masyarakat umumnya berkaitan dengan “intervensi” media dan ketidakberdayaan publik atas dampak media. Media massa digambarkan terlampau hebat dengan efek pengaruh yang sangat kuat, sementara publik dicerminkan sebagai makhluk tak berdaya dan korban dari “kebrutalan” media. Sejumlah teori dan kajian-kajian menyangkut media dan masyarakat memberikan legitimasi pada pandangan tersebut hingga terus saja direproduksi dari waktu ke waktu, bahkan kebijakan tentang media massa condong ditujukan untuk mengatur institusi media daripada masyarakat. Meski kebijakan pengaturan media dimaksudkan untuk melindungi hak-hak masyarakat namun kebijakan tersebut tidak sepenuhnya merefleksikan relasi media dan masyarakat. 8
Rahayu adalah Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM dan Koordinator Peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer
171
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
Relasi masyarakat dengan media tidak bersifat mekanis dan linear namun multidimensi, menyangkut berbagai aspek sosiologis. Dalam konteks ini masyarakat seharusnya dipandang sebagai pihak yang aktif dalam berhubungan dengan media massa. Namun sayangnya, sebagian masyarakat sendiri juga tidak memahami serta menyadari pentingnya persoalan ini dan justru “terbenam” dalam hingar bingar perkembangan media yang ada. Di sinilah orientasi kebijakan perlu bertumpu pada masyarakat untuk meningkatkan identitas diri dan kemampuannya dalam berhubungan dengan media. Kebijakan media literacy dalam kaitan ini semakin mendesak dan penting untuk meningkatkan kekuatan masyarakat ketika berinteraksi dengan media. Media literacy dapat diandalkan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana mengakses media, memilih pesan, memaknai bahkan mengkritisinya. Melihat arah perkembangan media massa yang semakin kompleks, baik dari segi format maupun content-nya karena dukungan teknologi informasi yang semakin canggih, media literacy dapat diharapkan mengatasi pengaruh media di masyarakat. Pada akhirnya masyarakat sendirilah yang seharusnya dapat menentukan sikap terhadap gencarnya pengaruh media. Tulisan ini mengurai bagaimana media literacy seharusnya menjadi agenda “pendidikan” nasional di Indonesia. Urgensi media literacy tidak saja terkait dengan prediksi perkembangan media massa dan teknologi informasi yang semakin canggih di masa depan, tetapi juga menyangkut problematik tayangan televisi yang kian meresahkan di kalangan masyarakat. Meski beberapa kelompok aktivis media telah memulai bahkan melakukan media literacy namun kegiatan tersebut terkesan parsial. Perlu dorongan yang kuat agar media literacy menjadi gerakan nasional untuk membebaskan masyarakat dari pengaruh media. Untuk memberikan uraian yang komprehensif, tulisan ini akan dimulai dari pemaparan refleksi kualitas program tayangan televisi yang kian hari kian tidak bermartabat. Kemudian bahasan pun menyentuh aspek kritik terhadap media yang sesungguhnya dapat dimaknai sebagai pengharapan publik. Uraian tentang Pervasive Presence Theory disajikan dalam dialog ini untuk memberikan penekanan bagaimana pertarungan memperebutkan private place menjadi isu penting saat ini. Bahasan terakhir akan dikaitkan dengan telaah kritis gerakan media literacy di Indonesia dan konsep-konsep sentral media literacy yang dapat diterapkan.
172
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
REFLEKSI RENDAHNYA “MARTABAT” TV KITA Pertelevisian Indonesia mulai awal tahun 1990-an menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Hingga saat ini tidak kurang dari 50 institusi penyiaran televisi beroperasi—baik di Jakarta maupun di sejumlah daerah lain di luar Jawa. Dari segi kuantitas, tentu saja jumlah tersebut sangat menggembirakan bahkan terkesan begitu fantastis untuk sebuah negara berkembang dan baru bangkit dari krisis. Namun, dari sisi kualitas, perkembangan televisi di Indonesia justru sangat memprihatinkan. Keprihatinan terhadap kualitas televisi di tanah air terkait dengan tayangan-tayangan program yang masih saja berkutat pada kekerasan, kisah cinta yang naif, ketimpangan si miskin dan si kaya, kekonyolan dan kebloonan serta hantu-hantuan. Tayangan-tayangan semacam itu nyaris dapat dijumpai di setiap waktu di semua stasiun-stasiun televisi swasta yang beroperasi saat ini. Acara-acara sinetron yang menampilkan tokoh antagonis dengan ekspresi yang ekstrim—mata melotot, bibir tersungging sinis dan gigi mengerat kaku— menghasut publik akan eksistensi manusia jahat dan mengerikan. Sinetron bertema anak dengan desain skenario ala remaja atau orang dewasa menumpulkan logika publik dan menjebaknya dalam realitas semu. Beberapa acara reality show yang menebar mimpi dan sebagian besar melanggar area privat memperdaya publik untuk memaklumi dan menghalalkan area privat menjadi konsumsi massa. Belum lagi menyoroti tayangan-tayangan berita kriminal yang tidak etis karena terlalu banyak menampilkan kekerasan, eksploitasi korban, darah dan kengerian-kengerian lainnya. Karakteristik tayangan televisi saat ini nampaknya kurang mendidik dan cenderung amoral Program televisi pun cenderung seragam. Keseragaman ini menunjukkan bagaimana sikap pengelola televisi yang kurang tanggap—atau kemungkinan besar tidak peduli—dengan nilai-nilai inovasi. Akibatnya, paritas program tidak beranjak dari sinetron, reality show dengan tema-tema yang nyaris sama, kuis, ngerumpi selebritis dan sebagainya. Sebagai ilustrasi, dapat disebutkan di sini acara hantu-hantuan yang nyaris serupa di beberapa stasiun televisi, mulai dari “Dunia Lain” (TRANSTV), “Gentayangan” (TPI) sampai “Pemburu Hantu” (LATIVI). Juga berita-berita kriminal yang nyaris sama seperti “Sergap” (RCTI), “Jejak Kasus” (INDOSIAR), “Buser” (SCTV) dan sebagainya. Kasus lain menyangkut program acara selebriti, dapat dijumpai di sini “Cek & Ricek” (RCTI), “Lipstik” (ANTEVE), “KISS” (INDOSIAR), “Kroscek” (TRANSTV), “Peri Gosip” (RCTI) juga “Kabar-Kabari” (RCTI). Tidak dapat dipungkiri sikap pengelola media yang kurang tanggap dengan inovasi disebabkan oleh ketergantungan mereka terhadap angka rating. Logika rating telah mencetak pengelola media menjadi follower handal dari
173
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
program-program yang terlebih dulu berhasil menembus angka rating tinggi. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana KDI (Kontes Dangdut Indonesia) yang disiarkan TPI dan juga KPI (Kontes Pelawak Indonesia) yang segera menyusul, mengikuti jejak keberhasilan AFI (Akademi Fantasi Indonesia) yang ditayangkan Indosiar. Nampaknya cara ini yang ditempuh oleh kebanyakan pengelola media untuk mengurangi resiko dari kegagalan produksi program. Beginilah kalau kapitalisme menggerakkan industri penyiaran, performa institusi penyiaran televisi pun selalu dikaitkan dengan kemampuannya meraup iklan dan urusan kualitas dinomorsekiankan. Bertolak dari fenomena tersebut, ketimpangan antara harapan publik dan harapan pengelola terhadap kualitas program televisi dapat ditelusuri. Publik dengan variasi karakter, kondisi, kebutuhan dan kepentingan yang beragam menuntut peran media yang bervariasi. Parameter yang digunakan publik untuk menilai kualitas program pun bisa jadi berbeda-beda karena ketidaksamaan latar belakang sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini yang kemudian menyebabkan respon publik terhadap tayangan televisi menjadi beraneka ragam. Sementara itu, logika rating justru mendorong pengelola media hanya tanggap pada program-program dengan audiens terbanyak. Hanya programprogram yang ditonton oleh sebagian besar orang—tergambar pada angka rating tinggi—yang akan diproduksi dan ditayangkan karena berkorelasi dengan pendapatan iklan. Program acara merupakan komoditas barang dagangan yang bernilai komersial tinggi. Bagaimana merancang program yang laik jual merupakan bagian terpenting dalam aktivitas industri media. Meski validitas penghitungan angka rating masih menjadi perdebatan di sejumlah kalangan media, namun hingga kini masih terus menjadi rujukan utama. Akibatnya, pengharapan publik di luar keinginan mayoritas (di luar selera pasar) dan orientasi terhadap nilai-nilai yang lebih bermanfaat bagi publik menjadi terabaikan.
KRITIK, EKSPRESI PENGHARAPAN PUBLIK Ribut-ribut tentang kualitas program televisi dapat dimaknai merefleksikan pengharapan masyarakat yang cukup tinggi terhadap institusi penyiaran tersebut. Sikap masyarakat yang demikian dalam perspektif struktural berhubungan dengan pengharapannya terhadap fungsi media sebagai institusi sosial. Media massa, termasuk televisi, dipersepsikan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat dalam meningkatkan informasi dan pengetahuan, hiburan serta sarana yang mendukung kemampuan sosialisasi dengan lingkungannya. Dalam kerangka praktis, media dipercayai mampu membantu masyarakat merancang agenda, menetapkan tujuan dan memaknai
174
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
perubahan lingkungan hingga memudahkannya beradaptasi dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Media massa sebagai sebuah institusi sosial antara lain menjalankan fungsi-fungsi institusi sosial tradisional. Fungsi institusi pendidikan misalnya dapat dijalankan oleh televisi karena kemampuannya mentransmisikan pesanpesan edukasi kepada khalayak luas. Program-program “Discovery Channel” misalnya memberikan informasi dan pengetahuan kepada publik secara jelas dan gamblang mengenai berbagai fenomena alam semesta. Kekuatan televisi dalam menyuguhkan pesan-pesan audio visual telah menjadikannya media hiburan yang sangat popular di masyarakat. Fungsifungsi teater, gedung bioskop, pagelaran musik dan sebagainya hadir di layar kaca hingga masyarakat tidak perlu beranjak dari ruang privatnya untuk dapat menikmati hiburan. Tidak hanya itu, televisi memiliki kekuatan menciptakan rasa membership in group tanpa seseorang harus melakukan kontak fisik. Tayangan program AFI dan KDI perlu diakui telah melahirkan komunitaskomunitas audiens yang cukup solid. Partisipasi mereka dalam memberikan dukungan via sms kepada tokoh pujaannya menunjukkan bagaimana televisi berhasil mengembangkan “identitas” kelompok. Lebih strategis lagi, masyarakat juga sangat mengharapkan media dapat memberikan referensi dalam menata atau mengatasi problem kehidupannya. Melalui informasi yang disajikan, media memiliki kekuatan dalam memetakan isu-isu tertentu hingga tidak menutup kemungkinan audiens menjadikannya acuan dalam mengambil keputusan. Melihat fenomena ini Potter menyatakan: “We all live in two world: the real world and the media world. The real world is where we come in direct contact with other people, locations and events. Most of us feel that the real world is too limited, that is, we cannot get all the experiences and information we want from just the real world. In order to get those experience and information, we journey into the media world”. (Potter, 2001: vii)
Harapan masyarakat yang sedemikian besar terhadap fungsi televisi menuntut tayangan-tayangan program yang berkualitas. Sayangnya, fungsi tersebut masih saja jauh dari harapan. Ketika tayangan-tayangan tersebut menyodorkan selera rendah, tidak mendidik dan jauh dari nilai-nilai sosialbudaya, masyarakat menjadi kecewa, “marah” bahkan frustasi. Sikap demikian sekaligus menunjukkan bagaimana masyarakat begitu peduli dengan rendahnya “martabat” penyiaran televisi saat ini.
175
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
PERVASIVE PRESENCE THEORY DAN PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN PRIVATE PLACE Meski persepsi akan buruknya kualitas tayangan televisi menyebar luas di kalangan masyarakat, masih saja media berlayar kaca tersebut menjadi tontonan yang “menarik” dan ditunggu-tunggu. Ada sebagian acara yang ditonton lalu dipuji-puji karena mampu menghadirkan hal baru dari tayangan biasanya (misalnya: “Bajaj Bajuri”) tetapi ada pula tayangan yang (tidak mungkin tidak) ditonton meski juga dicaci maki karena jauh dari kualitas yang diharapkan (misalnya: tayangan berita kriminal dan hiburan reality show). Kehadiran televisi di masyarakat nampaknya sulit dibendung. Tragisnya, sementara orang tua dapat menghindari televisi karena kesibukan bekerja, anakanak di rumah justru keranjingan mencari program tayangan yang menggembirakannya tanpa disadari oleh orang tuanya. Pervasive Presence Theory mengisahkan bagaimana televisi menerobos masuk dalam private place tanpa peringatan dan menjangkau baik anak-anak maupun orang dewasa tanpa mampu mereka menghindar dan menghentikannya (Dominick, 2004:230). Layaknya public place, televisi hadir mengoyak-oyak private place dengan membebaskan “orang-orang asing” memasuki area tersebut. Masyarakat tidak dapat menghindar karena tidak memiliki alternatif lain. Beralih program berarti mengkonsumsi hal yang sama di channel lain. Televisi (terutama yang privat) yang beralih fungsi menjadi etalase produk-produk kapitalis dan karakter teknologinya yang canggih hadir menerobos private place tanpa ampun. Dalam situasi demikian regulasi penyiaran sangat penting untuk mengendalikan program-program tayangan televisi. Regulasi di sini tidak hanya mengatur masalah seleksi isi media namun juga perlu menyentuh aspek sosiologis yang mempertimbangkan bagaimana masyarakat berinteraksi dengan media. Perilaku masyarakat menonton televisi mulai dari memilih, mengakses dan memaknai program televisi berhubungan erat dengan relasi-relasi sosial. Pemberian kode pada tayangan program televisi pada dasarnya merupakan kemajuan dan merefleksikan bagaimana kontrol media seharusnya dalam masyarakat yang dimulai dari keluarga—termasuk bagaimana orang tua membimbing anak-anaknya ketika mengkonsumsi media. Pada tataran inilah peran aktif masyarakat justru menjadi penting. Ketika isu kontrol terhadap media diharapkan datang dari masyarakat, sikap masyarakat sendiri terhadap media perlu diperjelas. Komitmen, kesadaran dan kegairahan masyarakat untuk mempertahankan private place-nya perlu dibangun. Dalam konteks ini bekal pengetahuan untuk menjadikan masyarakat
176
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
kuat dan berdaya menghadapi media perlu direalisasikan. Salah satu solusi adalah dengan gerakan media literacy.
URGENSI MEDIA LITERACY DI INDONESIA Bertolak dari kecemasan akan dampak media sekaligus pengharapan publik atas kualitas tayangan program serta semakin tak terhindarkannya “serbuan” tayangan program televisi dalam kehidupan masyarakat, perlu kiranya agenda media literacy disosialisasikan dan direalisasikan secepatnya di Indonesia. Luis V. Teodoro, seorang profesor bidang jurnalistik dari University of the Philippines, mengingatkan: “The power of the media and their omnipresence require a public that can distinguish fact from fiction and propaganda from truth. The public must be media literate if it is not to be manipulated by the various interest, biases and failings that drive the media even in –some argue specially in- regimes of media freedom.” (Teodoro, 2002: 134).
Pesan ini menekankan betapa pemberdayaan publik merupakan kunci penting dalam menyikapi media. Diisyaratkan, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, perkembangan media dari waktu ke waktu semakin dinamis dengan variasi dan desain isi (program) yang amat beragam. Perisai pertahanan hanya dapat mengandalkan diri individu sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, perlu pembekalan pengetahuan tentang media melalui media literacy. Dalam menangani keresahan publik atas tayangan televisi pada dasarnya dapat juga diharapkan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga independen ini bahkan telah membuat keputusan tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang seharusnya menjadi acuan bagi Lembaga Penyiaran dan Komisi Penyiaran untuk menyelenggarakan dan mengawasi penyiaran di Indonesia. Pedoman Perilaku Penyiaran merupakan panduan tentang batasan-batasan mengenai apa yang diperbolehkan dan/atau tidak diperbolehkan berlangsung dalam proses pembuatan program siaran. Sedangkan Standar Program Siaran merupakan panduan tentang batasan apa yang diperbolehkan dan/atau yang tidak diperbolehkan ditayangkan dalam program siaran. Kedua keputusan tersebut menjadi panduan bagi Lembaga Penyiaran dalam menentukan standar isi siarannya. Meski kebijakan tersebut telah dicetuskan dan disahkan, namun sejauh ini belum diketahui tingkat efektivitasnya dalam memandu tayangan-tayangan program yang ada.
177
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
Jauh sebelum KPI dan kebijakannya lahir, aktivitas media watch sudah sangat popular dalam melakukan monitoring, kritik terhadap media dan advokasi publik. Berbagai hasil pantauan media pada dasarnya telah cukup memberikan pencerahan bagi publik dalam menilai kinerja media. Namun sayangnya aktivitas media watch masih menjadi fenomena elit karena berkembang di kalangan aktivis dan akademisi media, sementara masyarakat cenderung pasif. Posisi masyarakat sekedar mengetahui hasil monitoring tentang media—mana saja yang tidak profesional dan melanggar etika—atau sebatas mengadukan media-media yang tidak profesional dan melanggar etika pada institusi yang relevan. Lain halnya dengan media literacy, aktivitas ini menekankan aspek edukasi di kalangan masyarakat agar mereka tahu bagaimana mengakses, memilih program yang bermanfaat dan memaknai serta menyerap pesan media. Tanpa mengesampingkan peran media watch, media literacy merupakan altrenatif solusi bagaimana “mencerdaskan” masyarakat dalam menyikapi media. Bahkan media watch harus terus dikembangkan karena berfungsi mengontrol performa media dan membantu publik dalam advokasi ketika hak-haknya sebagai warga negara dilanggar. Mendesaknya gerakan media literacy juga terkait dengan perkembangan media massa di Indonesia yang pesat dengan variasi isi media yang semakin beragam. Kemajuan media massa sejauh ini justru tidak membawa pengaruh pada banyaknya informasi yang didapat oleh masyarakat. Isu diversity of content dalam demokratisasi media yang diorientasikan mampu memberikan berbagai alternatif variasi isi dan perspektif media nampaknya tidak (semoga saja belum adanya) membuat masyarakat kaya informasi. Masyarakat tetap saja tidak mendapatkan informasi multiperspektif dari ragam media dan tayangan program yang ada. Kondisi ini jelas dipicu oleh homogenitas program dan keseragaman perspektif dalam penyajian informasi. Gejala lain menunjukkan adanya paradoks, di satu sisi keberadaan informasi berlipat ganda baik secara kuantitatif (jenis dan item) maupun kualitatif (topik yang diangkat semakin luas), namun di sisi lain ada kecenderungan individu-individu yang berinteraksi dengan media justru tidak mampu mengolah, memilah dan memanfaatkan informasi yang mereka peroleh. Bagaimana masyarakat berkeluh kesah tentang pemberitaan televisi, mengecam acara-acara hiburan dan mengkambinghitamkan media sebagai stimulator tindak asosial menunjukkan gejala tersebut. Di sinilah media literacy penting artinya bagi individu untuk secara aktif menafsirkan pesan dan menguatkan individu dalam menghadapi atau mengakses media. James Potter mendefinisikan media literacy sebagai:
178
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
“A perspective that we actively use when exposing ourselves to the media in order to interpret the meaning of the messages we counter. We build our perspective from knowledge structure. To build our knowledge structures, we need tools and raw material. The tools are our skills. The raw material is information from the media and the real world. Active use means that we are aware of the messages and are consciously interacting with them” (Potter, 2001: 4).
Pengertian tersebut menekankan pentingnya struktur pengetahuan yang dimiliki individu agar dapat aktif menafsirkan makna pesan yang disampaikan oleh media. Di mana struktur pengetahuan tersebut dibangun dari keahlian yang dimiliki dan informasi yang diterima baik dari media maupun dari lingkungan (dunia) nyata. Keahlian di sini diklasifikasikan oleh Potter dalam dua bentuk. Keahlian pertama merupakan keahlian dasar yang meliputi aspek: 1) Expore, berupa keahlian memutuskan pajanan pesan yang dipilih dari suatu media; 2) Recognize symbols, merupakan keahlian untuk mengidentifikasi dan memilah simbol-simbol; 3) Recognize patterns, menyangkut keahlian mengenali polapola merangkaikan simbol-simbol sehingga dapat ditafsir atau dimaknai; dan 4) Matching meaning, merupakan keahlian untuk menghubungkan simbol dengan makna yang telah mereka miliki sebelumnya (Potter, 2001: 40-42). Keahlian kedua disebutnya sebagai keahlian lanjut yang sangat diperlukan untuk memaknai pesan-pesan media yang lebih kompleks yang bisanya memiliki banyak lapisan-lapisan makna. Keahlian ini terdiri dari message focused skill dan message extending skill. Message focused skill merupakan keahlian menafsirkan makna pesan media massa. Keahlian ini meliputi aspek: 1) Analysis, keahlian menjabarkan pesan ke dalam elemenelemen yang bermakna dengan cara menggali lapisan-lapisan makna di dalam pesan yang tersaji di media; 2) Compare/contrast, merupakan keahlian untuk membuat klasifikasi pesan-pesan yang memiliki persamaan dan perbedaan; 3) Evaluation, menunjukkan keahlian menilai elemen pesan dengan membandingkannya dengan kriteria-kriteria tertentu; dan 4) Abstraction, merupakan keahlian untuk menyusun sebuah deskripsi pesan media yang tepat yaitu singkat, jernih dan akurat (Potter, 2001: 44-49). Message extending skill merupakan keahlian menjelaskan dan menyimpulkan pesan-pesan media massa yang diterima. Keahlian ini terdiri dari: 1) Deduction, keahlian menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan hal-hal khusus; 2) Induction, keahlian untuk menarik kesimpulan mengenai pola-pola umum melalui pengamatan terhadap hal-hal khusus; dan 3)
179
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
Synthesis, keahlian untuk menyusun kembali elemen-elemen menjadi suatu struktur baru (Potter, 2001: 50-52). Kesemua keahlian tersebut yang pada akhirnya menentukan tingkat media literate individu. Menurut Potter, media literacy merupakan suatu kontinum. Semua orang pada dasarnya melek media, tidak ada yang benar-benar tidak melek media dan tidak ada pula yang benar-benar melek media. Semua pada dasarnya melek media meski berada pada tingkatan yang berbeda-beda. Porter menilai, semakin tinggi tingkat media literacy yang dimiliki seseorang, maka semakin banyak makna yang dapat digalinya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat media literacy seseorang, semakin sedikit atau dangkal pesan yang didapatnya. Seseorang yang tingkat media literacy-nya rendah akan sulit mengenali ketidakakuratan pesan, keberpihakan media, memahami kontroversi, mengapresiasi ironi atau satire dan sebagainya. Bahkan kemungkinan besar orang tersebut akan dengan mudah mempercayai dan menerima makna-makna yang disampaikan media apa adanya tanpa berupaya mengkritisinya. Ungkapan senada disampaikan oleh Patricia Aufderheide (Berg, 2004: 219-228), media literacy diorientasikan untuk meningkatkan kemampuan individu dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan menyusun informasi dalam variasi format media. Menurutnya, media literacy meliputi kemampuan warganegara dalam mengakses, menganalisis dan memproduksi informasi untuk suatu outcome yang spesifik sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya. Karena itu, Aufderheide menghubung-hubungkan media literacy dengan critical autonomy di tingkat individu dalam mengakses media. Kedua definisi ini menolak pemahaman sempit media literacy yang hanya berkaitan dengan kemampuan membaca (memahami) dan memproduksi media. Jauh dari itu, media literacy mencakup aktivitas mempertanyakan, menganalisis, mengevaluasi dan mengkritisi informasi yang disampaikan media. Teodoro menegaskan: “media literacy campaign is to create a public knowledgeable on the mass media—their professional and ethical values, standards, and biases, as well as the legal, economic and political constraints that impinge on media practice”. (Teodoro, 2002: 137)
Upaya mewujudkan media literacy di kalangan masyarakat di sejumlah negara dilakukan dengan mengenalkan konsep-konsep utama tentang media agar individu dapat memahami media secara utuh. Konsep-konsep yang dimaksud meliputi:
180
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
Pertama, media merupakan hasil konstruksi. Masyarakat atau dalam hal ini individu yang berinteraksi dengan media perlu memahami adanya korespondensi antara kenyataan (real world) dengan kenyataan yang direpresentasikan oleh media. Bahwa media dalam merepresentasikan fakta telah melakukan serangkaian kegiatan mulai dari mendesain, memilih, menyeleksi dan mengedit fakta yang akan disajikan sebagai pesan media. Memang media telah menyajikan kenyataan namun perlu ditekankan kenyataan yang disajikan media telah melalui serangkaian proses produksi. Tidak terbatas dalam pengertian ini, Aufderheide menambahkan, “media are constructed and construct reality” (Christ, 2004: 92-96). Eksistensinya di masyarakat sebagai alat komunikasi menjadikan media dikonstruksi oleh lingkungannya, baik itu lingkungan sosial maupun ekonomi. Kedua, representasi media mengontruksi realitas. Perlu disadari ketika individu tidak memiliki informasi tentang suatu peristiwa dari sumber atau referensi lain selain media, besar kemungkinan individu tersebut beranggapan peristiwa tersebut sama dengan realitasnya. Padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Dalam hal ini penting artinya mengajak individu bersikap “terbuka” untuk memperluas pengetahuannya agar individu memiliki alternatif pilihan bagaimana memahami peristiwa yang ditampilkan di media. Ketiga, pesan media berisi nilai dan ideologi. Masyarakat perlu tahu bahwa media mengkonstruksi nilai dan kepercayaan tertentu, termasuk menjadi alat ideologis bagi penguasa untuk melontarkan pesan propaganda politik atau pun pemodal yang mendidik masyarakat sebagai konsumen produk-produk kapitalis. Dengan begitu, masyarakat akan kritis menanggapi pesan-pesan politik dan juga siaran niaga yang disampaikan oleh media. Keempat, pesan media berimplikasi sosial dan politik. Media sering dipahami hanya merefleksikan realitas sosial karenanya dinilai netral dan bebas nilai. Namun sesungguhnya media ikut mengkonstruksi realitas—yang kemudian diterima dan dipahami masyarakat—sehingga memiliki konsekuensi sosial dan politik. Setiap versi realitas yang ditampilkan media merupakan hasil seleksi atau serangkaian proses produksi berdasarkan ideologi tertentu dan merupakan gambaran parsial dari realitas yang sesungguhnya (www.ci.appstate.edu/program/ edmiden/medialit/article.html). Dalam artikelnya berjudul “Media Literacy Key Concepts” John Pungente (www.media-awarness.ca/English/teachers/media_literacy/ key_ concept.cfm) menambahkan empat konsep lainnya, yaitu: 1) Makna media merupakan negosiasi audiens. Perlu disadari oleh masyarakat bahwa media menyodorkan banyak materi pesan untuk dapat membangun gambaran realitas. Masyarakat melakukan negosiasi terhadap makna pesan media berdasarkan
181
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
pada kebutuhannya, kesukaannya, latar belakang budaya dan nilai-nilai yang dianutnya; 2) Media memiliki implikasi komersial. Masyarakat perlu memahami bahwa pertimbangan komersial mempengaruhi isi media, teknik produksi dan distribusinya. Perlu disadari (untuk kategori privat) produksi media merupakan bisnis dan diorientasikan untuk mendatangkan keuntungan; 3) Bentuk dan isi memiliki kaitan erat di media. Mengadopsi ungkapan Marshal McLuhan, Pungente menyatakan “each medium has its own grammar and codifies reality in its own particularly way”. Masyarakat perlu menyadari bahwa kategori kejadian yang sama jika menggunakan media berbeda akan melahirkan impresi dan pesan yang berbeda; dan 4) Masing-masing media memiliki keunikan bentuk estetis yang disebabkan oleh karakteristiknya yang beragam. Konsep-konsep tersebut merupakan bagian penting dalam media literacy karena membantu masyarakat memahami tiga esensi media massa, yaitu: teks media, proses produksi dan cara memaknainya. Pengetahuan tentang tiga esensi tersebut akan menentukan daya kritis masyarakat dalam menghadapi media. Di berbagai negara seperti di Amerika, Eropa bahkan sebagian Asia seperti halnya di Philipina, program media literacy diorientasikan untuk mendidik masyarakat agar memahami persoalan tentang sejarah media, media dan masyarakat, kepemilikan media, konsep berita, nilai-nilai media massa, kebebasan pers dan hak publik atas informasi serta dinamika media baru. Cakupan tema tersebut terkesan luas dan umum, namun memiliki peran besar dalam membangun struktur pengetahuan masyarakat tentang media. Meski media literacy merujuk pada pengertian konsep yang lebih spesifik dibanding media education, namun keduanya saling berhubungan. Bahkan pilar mewujudkan masyarakat yang melek media antara lain dapat dirancang melalui kegiatan media education. Blake memerinci “Key Concept for Media Education” meliputi (www.media-awarness.ca/english/ teachers/media_literacy/keyconcept.cfm): 1) Analisis Produksi Media. Materi ini mengungkapkan tujuan produksi media, nilai-nilai pesan yang bersifat eksplisit dan implicit, representasi media, proses produksi media dan sebagainya; 2) Interpretasi Audiens dan Pengaruhnya. Materi ini mengungkapkan berbagai hal menyangkut bagaimana proses menginterpretasi pesan media dalam diri audiens, pengaruh media pada audiens baik di level attitude, behavior maupun value, serta pengaruh audiens pada institusi media dalam memproduksi dan menstransmisikan pesan-pesan; 3) Media dan Masyarakat. Topik ini menjelaskan bagaimana relasi hubungan kekuasaan antara media dan masyarakat terjadi. Termasuk dalam paparan ini adalah peran
182
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
kekuasaan dalam mempengaruhi penyusunan kebijakan dan aktivitas institusi media serta perubahan teknologi media dalam mempengaruhi dinamika politik, ekonomi, sosial dan dimensi intelektual masyarakat. Konsep-konsep tersebut diperkenalkan untuk target efek yang lebih umum berupa pengetahuan khalayak terhadap media dilihat dari sisi teks, makna dan relasinya dengan masyarakat. Target inilah yang membedakannya dari media literacy yang berfokus pada kemampuan khalayak dalam menyikapi media. Media education berperan besar dalam media literacy karena memperkaya struktur pengetahuan masyarakat sehingga tanggap bagaimana seharusnya membangun relasi dengan media massa. Uraian di depan secara spesifik menghubungkan media literacy dengan pemberdayaan masyarakat, namun gerakan ini sesungguhnya memiliki target yang lebih luas, termasuk untuk kalangan praktisi media. Dalam tulisan artikel berjudul “Assessment, Media Literacy Standards and Higher Education”, William G. Christ (2004) mengungkapkan dua kelompok yang menjadi target pendidikan media literacy, yaitu praktisi media dan warga negara. Menurut Christ, media literacy education yang ditujukan untuk kalangan praktisi media dimaksudkan agar mereka lebih profesional. Melalui media literacy pengelola media diharapkan menjadi semakin tahu dan menyadari program apa yang layak disampaikan dan ditonton oleh masyarakat termasuk nilai-nilai dan kelayakan sosial dari program tersebut. Bertolak dari paparan tersebut, gerakan media literacy sangat penting dan mendesak untuk disosialisasikan dan direalisasikan di Indonesia untuk menjaga agar masyarakat tidak menjadi korban dan “bulan-bulanan” media. Gerakan ini pun perlu diperkenalkan di kalangan praktisi media untuk dapat memproduksi pesan—termasuk menyajikan tayangan program—yang lebih berkualitas dan esensial bagi masyarakat. Persoalan selanjutnya, bagaimana merancang model media literacy sesuai dengan konteks Indonesia perlu pembahasan serius.
PENUTUP Perkembangan media massa khususnya televisi di tanah air yang sangat dinamis menghadirkan kontroversi di berbagai kalangan. Kontroversi tersebut masih saja terkait dengan kualitas program (content) dan kekhawatiran dampak media. Meski pengaturan media telah ditetapkan oleh KPI melalui kebijakan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, namun perlu ditopang oleh kegiatan media literacy. Aktivitas inilah yang mampu menyentuh masyarakat bahkan sampai pada level individu untuk bertindak kritis terhadap
183
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
media. Media literacy membuat masyarakat tahu bagaimana menyikapi media, baik pada tataran memilih media, menyeleksi pesan, memaknai dan mengkritisinya. Keteraturan praktek media termasuk concern pengelola media terhadap kualitas program pada akhirnya akan banyak ditentukan oleh kekuatan masyarakat dalam menjaga dan memperjuangkan identitas dan integritas dirinya.
DAFTAR PUSTAKA Berg, Leah R. Vande, Wenner, A. Lawrence & Gronbeck, E. Bruce. “Media Literacy and Television Criticism: Enabling an Informed and Engaged Citizenry”. American Behavioral Scientist. Vol. 48 No. 2 October 2004. Christ, William G.“Assessment, Media Literacy Standars and Higher Education”. American Behavioral Scientist. Vol. 48 No. 1 September 2004. Dominick, R. Joseph, Messere, Fritz & Sherman, L. Barry. 2004. Broadcasting, Cable, the Internet and Beyond: An Introduction to Modern Electronic Media. Fifth Edt. New York: McGraw-Hill. Potter, W. James. 2001. Media Literacy. Second Edition. New Delhi: Sage Publication. Teodoro, Luis V. 2002. “Empowering The Public”. Dalam Cecile C.A. Balgos (Edt). Watching the Watchdog: Media Self-Regulation in Southeast Asia. Bangkok: SEAPA (Southeast Asian Press Alliance) & Friedrich Ebert Stiftung. www.ci.appstate.edu/program/edmiden/medialit/article.html http://www.mediaawarness.ca/English/teachers/media_literacy/key_concept.cfm
184
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL ILMIAH 1. Artikel merupakan hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian (artikel konseptual) di bidang ilmu komunikasi. 2. Artikel ditulis dengan bahasa Inggris/Indonesia sepanjang 20 halaman kuarto spasi ganda dilengkapi dengan abstrak Bahasa Inggris (75-100 kata) dan kata-kata kunci dalam Bahasa Inggris juga. 3. Penulisan kutipan dengan catatan perut yang memuat nama belakang pengarang tahun dan halaman dan ditulis dalam kurung. Contoh Satu Penulis : (Littlejohn, 2000:12) Lebih dari satu penulis : (Severin, dkk, 1998:25) 4. Penulisan daftar pustaka dengan menggunakan model: Nama Belakang, Nama Depan. Tahun Penerbitan. Judul Buku (cetak miring). Kota: Penerbit. Contoh Dominik, Josep R. 2002. The Dynamics of Mass Communication, Media in Digital Age. New York, McGraw Hill. 5. Biodata singkat penulis dan identitas penelitian dicantumkan sebagai catatan kaki dalam halaman pertama naskah. 6. Artikel juga dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam Microsoft Word dengan format RTF menggunakan jenis huruf Times New Roman, font 12. 7. Artikel hasil penelitian memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5) Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang masalah, dan sedikit tinjauan pustaka serta tujuan penelitian), (6) Metodologi Penelitian, (7) Hasil Penelitian, (8) Pembahasan, (9) Kesimpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel). 8. Artikel konseptual memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), (7) Penutup, (8) Daftar Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel). 9. Print-out artikel dan softcopy dikirimkan paling lambat 1 bulan sebelum penerbitan kepada: Jurnal Ilmu Komunikasi d.a. Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari No. 6 Yogyakarta 55281 Telp. (0274) 487711 ext 3124, Fax. (0274) 487748 Email:
[email protected] 10. Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahukansecara tertulis. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak lima eksemplar. Artikel yang dimuat, tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.
Jurnal ILMU KOMUNIKASI