Jurnal ILMU KOMUNIKASI
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
ISSN 1829 – 6564 Volume 3, Nomor 1, Juni 2006
Halaman 1 - 104
Iklim Organisasi: Lingkungan Kerja Manusiawi André Hardjana (Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta)
(1-36)
Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam Kajian Komunikasi A. Eko Setyanto ()
(37-48)
Menertawakan Kejelataan Kita : Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri Budi Irawanto (Universtias Gadjah Mada, Yogyakarta)
(49-62)
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye Sosial Ike Devi Sulistyaningtyas (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
(63-76)
Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif Hongkong dan Indonesia Tjipta Lesmana (Universitas Pelita Harapan, Jakarta)
(77-90)
Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja Sumbo Tinarbuko (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
(91-104)
Iklim Organisasi: Lingkungan Kerja Manusiawi
André Hardjana1
Abstract: Organizational climate is a major concept of human relations for understanding human behavior under different environmental influences. The climate affects employees’ productivity as well as job satisfaction. The right climate serves as one of the most effective tools of the leader for motivating his subordinates. This article is a critical review of the concept of organizational climate and its theoretical models which were developed by major scholars. More importantly, it shows the way organizational climate leads to the emergence of organizational communication climate, which in turn leads to the concept of organizational culture.
Key words: organizational climate, human relations, job satisfaction, productivity.
Di dalam bidang studi ’komunikasi keorganisasian’ (organizational communication, iklim organisasi (organization climate) dan iklim komunikasi (communication climate) adalah dua konsep penting yang harus dipahami dan tidak boleh dikacaukan, meskipun keduanya saling berhubungan. Kedua kosep ini merupakan strategi yang dibangun oleh manajemen sebagai upaya untuk menciptakan organisasi yang efektif, khususnya dengan pemberdayaan karyawan melalui kepuasan kerja. Iklim organisasi masuk ke dalam khazanah komunikasi keorganisasian, khususnya ’komunikasi manajerial’ (managerial communication), berkat jasa dari W. Charles Redding, direktur Industrial Communication Research Center di Purdue University, Indiana, dan bapak dari bidang studi komunikasi keorganisasian. Di dalam buku monumental setebal 538 halaman yang berjudul Communication within the Organization: An Interpretive Review of Theory and Research, Redding menyajikan tinjauan 1
Andre Harjana adalah Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta
1
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
kritis atas berbagai teori dan riset tentang komunikasi di kalangan organisasiorganisasi industri dan bisnis dan sampai pada kesimpulan yang antara lain berbunyi sebagai berikut (Redding, 1972: 111): “The climate of the organization is more crucial than are communication skills or techniques (taken by themselves) in creating an effective organization”. (Iklim organisasi’ adalah jauh lebih penting dari pada ketrampilan-ketrampilan ataupun teknik-teknik komunikasi (bila dilihat secara terpisah) dalam penciptaan organisasi yang efektif.
Kesimpulan tegas itu cukup mengejutkan bukan saja di kalangan ahli sejamannya tetapi juga kita semua yang menjadi siswa di bidang komunikasi keorganisasian. Setelah menyimak pernyataan Redding ini, kita pun tergerak untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Apa yang dimaksud Redding dengan iklim organisasi? Mengapa iklim organisasi dipertentangkan dengan faktorfaktor teknis ’ketrampilan’ atau ’teknik komunikasi’? Apa komponenkomponen yang membentuk iklim organisasi? Tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah upaya pemahaman tentang konsep iklim organisasi, termasuk asal-usul sejarah, perkembangan, kedudukannya sekarang dan implikasinya untuk riset.
PENGERTIAN DAN SEJARAH Tinjauan kritis terhadap perkembangan teori dan riset tentang iklim organisasi yang dilakukan oleh Redding dapat dilihat sebagai bagian dari ’gelombang usaha pemahaman yang simpang siur di kalangan ahli organisasi dan manajemen yang berlangsung sejak tahun 1966. (Hellriegel dan Slocum, 1974:289-312). Kesimpang-siuran pengertian tentang iklim organisasi— sebagaimana ditunjukkan oleh Lawrence R. James dan Allan P. Jones (1974: 1096-1112) adalah karena di satu pihak konsep itu dikacaukan dengan konsep ’iklim psikologi’ (psychological climate) dan di lain pihak digunakan untuk menggantikan ’komponen-komponen situasional organisasi’ (components of situational variance in an organizational model), yang meliputi komponen kontekstual, struktural, sistem nilai, dan lingkungan fisik. Singkat kata, iklim organisasi dianggap sebagai istilah baru yang ’serba menyelimuti’ segala faktor penting organisasi yang sebelumnya justru sudah dipisah-pisahkan di dalam bidang studi organisasi. Istilah iklim organisasi digunakan sebagai sebuah ’metafora’. Istilah ’metafora’ dipinjam dari bidang studi kesusastraan yang pada dasarnya berarti ‘kiasan’ atau ‘perbandingan’, yakni penyampaian sesuatu pengertian asing yang tidak dikenal melalui sesuatu ungkapan yang
2
sudah dikenal. Misalnya, kita melukiskan bagaimana ’kapal yang bergerak lambat menerjang ombak’ melalui ungkapan ‘kapal itu membajak samodera’, karena kita tahu bagaimana ‘kecepatan petani membajak sawah’. Dengan menggunakan metafora, makna pesan menjadi lebih mudah ditangkap dan mengesankan. Dengan menyatakan ‘iklim’ organisasi, kita membandingkan lingkungan organisasi dengan lingkungan fisik geografis yang sudah kita kenal sebagai gabungan dari kekuatan udara, suhu, awan, hujan, dan panas matahari yang mempengaruhi perilaku kehidupan dalam masyarakat, seperti jenis makanan yang dikonsumsi, jenis pakaian yang digunakan, bentuk rumah yang dibangun, alat transportasi yang digunakan, jenis tanaman dan binatang yang dipelihara untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bagaimana hubungan antaranggota masyarakat itu dibangun. Dengan menggunakan istilah iklim organisasi kita dapat mengerti bahwa perilaku dan hubungan antarkaryawan sebagai anggota organisasi dipengaruhi oleh gabungan sejumlah kekuatan yang membentuk ’lingkungan kerja’ organisasi. Studi tentang iklim organisasi dirintis oleh Kurt Lewin di tahun 1930an, ketika ia mencoba menghubungkan perilaku manusia dengan lingkungannya. Dalam studi tersebut Lewin (1951:241) memperkenalkan istilah ‘atmosfir’ (atmosphere) yang terkait dengan ’medan psikologi (psychological field) sebagaimana dapat dibaca dalam kutipan berikut ini: Untuk memaparkan ciri-ciri ‘medan psikologis’, kita harus memperhitungkan hal-hal khusus, seperti tujuan, stimuli, kebutuhan, hubungan sosial maupun ciri-ciri yang bersifat lebih umum, seperti atmosfir (misalnya, atmosfir yang ramah, tegang, atau permusuhan) atau tingkat kebebasan yang ada. Ciri-ciri medan ini secara keseluruhan sama pentingnya dalam ilmu psikologi, bila dibandingkan misalnya dengan medan berat (field of gravity) di dalam ilmu fisika klasik dalam penjelasan peristiwa-peristiwa. Atmosfir psikologis adalah kenyataan-kenyataan empiris dan merupakan fakta-fakta yang dapat diuraikan secara ilmiah. (Cetak miring ditambahkan untuk memperjelas, AH).
Dampak dari ‘atmosfir psikologis’ itu secara konkret dapat dilihat dalam rumus yang disusunnya sebagai B = f (P, E). Perilaku seorang perawat (B) di dalam rumah sakit merupakan fungsi atau dipengaruhi oleh kepribadian atau ciri-ciri pribadi perawat tersebut (P) dan lingkungan rumah sakit atau iklim (E). Singkatnya, ada hubungan yang kuat antara perilaku dan lingkungan kerja—atmosfir psikologis, seperti keramahan, permusuhan, dan ketegangan. oleh
Dalam perkembangan selanjutnya istilah ‘atmosfir’ yang diperkenalkan Lewin ini ditinggalkan dan diganti dengan istilah iklim organisasi
3
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
(organizational climate). Sayangnya istilah iklim organisasi yang sudah mapan itu kemudian sering juga dikacaukan dengan istilah-istilah lain seperti, ’iklim psikologis’ (psychological climate), ’kepribadian organisasi’ (organizational personality), dan bahkan istilah umum ’situasi organisasi’ (organizational situation) (James dan Jones, 1974). Istilah yang disebut terakhir dapat dikatakan cenderung ’mengaburkan’ konsep iklim organisasi, sedangkan istilah-istilah lain pada dasarnya hanya menonjolkan salah satu dimensi dari iklim organisasi. Lebih dari itu, istilah ’budaya organisasi’ (organizational culture) yang populer sejak kemunculannya di awal tahun 1980-an menambah keruwetan dalam upaya pemahaman kita tentang iklim organisasi ini (Goldhaber, 1993). Pada awal sejarahnya studi tentang iklim organisasi terfokus pada bidang pendidikan—kondisi dalam proses belajar-mengajar di ‘sekolah’, yakni dalam kaitannya dengan ’produktivitas’ siswa. Salah satu buku terkenal yang memuat rangkaian studi tentang iklim organisasi di sekolah adalah The Organizational Climate of Schools, karya Andrew W. Halpin dan D. B. Crofts (1963) dari University of Chicago. Dari pengertian iklim organisasi sebagai kondisi lingkungan kelas, yang berdampak pada ‘produktivitas siswa, muncul studi-studi tentang iklim organisasi dalam artian ’praktek lingkungan kerja’ yang berdampak pada ’produktivitas karyawan’. Aplikasi konsep iklim organisasi sebagai lingkungan kerja yang berpengaruh pada produktivitas karyawan menjadi populer berkat jasa George H. Litwin dan Robert A. Stringer, Jr. dari Harvard University. Kedua ahli ini melakukan serangkaian studi eksperimen dengan ‘kondisi kelas’ dan ‘lingkungan kerja’ organisasi bisnis yang hasilnya dilaporkan menjadi buku berjudul Motivation and Organizational Climate (1968). Mereka melakukan eksperimen di kalangan siswa-siswa sekolah menengah di dalam sebuah simulasi perusahaan dengan iklim yang berbeda-beda, yakni ‘struktur bisnis otoriter’ (autoritarian business structure), bisnis ‘demokratis’ (democratic friendly), dan bisnis ‘kejar target’ (achieving business). Dalam eksperimen itu peneliti bertugas sebagai pimpinan perusahaan yang harus mempraktekkan ‘gaya kepemimpinan’ (leadership style) yang berbeda-beda. Lingkungan bisnis ‘kejar target’ menunjukkan bahwa ‘karyawan’ mencapai kinerja tinggi, sedangkan bisnis ‘demokratik’ memberikan rasa kepuasan kerja yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, bila dilihat kaitannya dengan ‘kepuasan kerja’ (job satisfaction) yang meliputi unsur-unsur ‘hubungan antar pribadi, kekompakan-kelompok, dan keterlibatan kerja’, maka iklim organisasi yang berorientasi pada ‘demokratis-afiliatif’ mempunyai hubungan paling kuat, diikuti iklim ‘kejar target-prestasi’ dan terakhir ‘iklim kekuasaan-otoriter’. Riset Litwin dan Stringer kemudian dilanjutkan dalam tiga buah penelitian di kalangan
4
karyawan perusahaan. Hasil-hasil riset lapangan itu ternyata konsisten dengan hasil yang diperoleh dari riset eksperimen di atas. Hubungan positif antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja ternyata mendapat peneguhan dari hasil studi sejumlah peneliti lain (Hellriegel dan Slocum, 1974:296). Bahkan tidak kurang dari 90 buah studi menurut perhitungan Hellriegel dan Slocum (1974) juga menunjukkan bahwa iklim organisasi mempunyai hubungan yang positif dan konsisten dengan ‘kinerja organisasi’. Meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam hubungan kausal, umumnya disepakati bahwa iklim organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan ’kepuasan kerja’ ataupun ’kinerja organisasi’. Namun bagaimana konsep iklim organisasi itu harus ditafsirkan dan dijabarkan, ternyata tidak terdapat kesepakatan di kalangan para ahli. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa penafsiran dan penjabaran konsep iklim organisasi dalam berbagai penelitian tersebut sangat tergantung pada orientasi para peneliti itu sendiri. Namun perbedaan orientasi di kalangan para ahli itu dan variasi penafsiran dan penjabaran konsep ini tetap menunjukkan bahwa iklim organisasi sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari faham ’hubungan manusiawi’ (human relations) yang kini secara lebih tegas termanifestasi melalui ’perilaku organisasi’ (organizational behavior) (Davis, 1985). Faham ’human relations’ mengajarkan bahwa pimpinan organisasi mempunyai tanggung jawab atas penciptaan proses pengintegrasian para karyawan ke dalam lingkungan kerja yang dapat memotivasi mereka untuk bekerja bersama secara produktif, kooperatif, dan dapat memperoleh kepuasan ekonomi, psikologis, dan sosial. Demi pemahaman historis, di bawah ini akan disajikan tiga definisi berbeda yang dianggap penting dalam perkembangan pengertian konsep iklim organisasi dan dimensi-dimensi dalam penjabarannya menjadi semacam model, yakni definisi Garlie A. Forehand (1964), Litwin-Stringer (1968), dan John P. Campbell (1970).
Model Forehand Definisi Forehand menonjolkan dua aspek dasar yang khas dalam pengertian iklim organisasi, yakni ciri khas organisasi yang tidak mudah berubah dan pengaruh ciri khas tersebut pada perilaku segenap anggota organisasi. Rumusan definisi Forehand (1964: 362) berbunyi sebagai berikut: [Organizational climate is a ] set of characteristics that describe an organization and that (a) distinguish the organization from other organizations, (b) are relatively enduring over time, and (c) influence the bebavior of people in the organization].
5
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
[Iklim organisasi adalah] seperangkat ciri-ciri yang menggambarkan sebuah organisasi dan yang (a) membedakan organisasi tersebut dari organisasi-organisasi lain, (b) bertahan hidup cukup lama, dan (c) mempengaruhi perilaku orang-orang di dalam organisasi tersebut.
Dalam penjelasannya Forehand menegaskan bahwa dampak iklim organisasi pada perilaku individu dapat dilihat pada stimuli yang dihadapi para anggota organisasi secara individual, kekangan atau hambatan atas kebebasan memilih perilaku di kalangan karyawan, dan proses pemberian sanksi dan ganjaran. Untuk penjelasan yang lebih rinci dan lengkap dengan penjabarannya kemudian, Forehand (1968: 65-82) menulis artikel berjudul “On the Integrations of Persons and Organizations” yang dimuat dalam buku yang disunting oleh Renato Tagiuri dan George H. Litwin (1968) berjudul Organizational Climate: Explorations of a Concept. Dalam artikel itu Forehand menegaskan bahwa iklim organisasi meliput lima ciri asasi organisasi—juga terkenal dengan sebutan ‘dimensi’, yaitu: (1) ukuran dan struktur organisasi (size and structure); (2) pola kepemimpinan (leadership patterns); (3) kompleksitas sistem (system complexity); (4) arah tujuan (goal direction); dan (4) jaringan komunikasi (communication networks). ‘Ukuran dan struktur’ organisasi adalah sangat penting, karena sering menimbulkan salah pengertian di kalangan masyarakat. Di satu pihak ukuran organisasi sering dikaitkan dengan kualitas kemapanan organisasi—khususnya organisasi berukuran besar berarti kokoh dan stabil. Namun di lain pihak ukuran besar (complex organizations) juga dianggap sebagai tidak manusiawi, karena memperlakukan karyawan sebagai alat, sumber tenaga kerja, dan nomor—hubungan fungsional yang impersonal dan mekanistik. Secara keseluruhan besaran ukuran organisasi memang mempunyai dampak psikologis pada diri karyawan, namun lebih dari itu jenjang-jenjang organisasi menunjukkan makna psikologis yang jauh lebih penting bagi karyawan. Kedudukan karyawan sepanjang jenjang-jenjang hierarki organisasi mempunyai dampak yang jauh lebih besar di kalangan karyawan dari pada sekedar perbedaan ukuran organisasi, seperti perusahaan besar, menengah, atau kecil. Namun pada umumnya struktur organisasi menjadi penting karena terkait dengan ukuran organisasi. Semakin besar ukuran organisasi semakin jauh jarak antara para eksekutif di posisi puncak dengan karyawan operasional biasa di tingkat bawah. Jarak tersebut dapat menimbulkan hambatan psikologis yang menyebabkan karyawan yang berkedudukan jauh dari pusat pembuatan keputusan itu merasa terasing dan tidak masuk hitungan. Selain itu, jarak ini juga terkait dengan perasaan tidak manusiawi karena sulitnya menjalin interaksi dan hubungan sosial.
6
‘Pola-pola kepemimpian’ meliput berbagai gaya kepemimpinan (leadership styles) yang digunakan dalam perusahaan, rumah sakit, perguruan tinggi, atau badan pemerintah. Praktek kepemimpinan, yakni perlakukan pimpinan atas karyawan dalam kehidupan sehari-hari, merupakan kekuatan besar yang dapat menciptakan iklim yang menimbulkan dampak langsung pada kepuasan dan produktivitas. Pimpinan yang ‘dingin’ atau ‘hangat’, ‘sibuk kejar target’ atau ‘penuh pengertian dan pertimbangan’, ‘kontrol keras’ atau ‘dukungan’ akan ditanggapi berbeda-beda oleh karyawan—terkait dengan tingkat produktivitas karyawan. ‘Kompleksitas sistem’ merupakan wujud dari jumlah dan jenis hubungan antar bagian dari sistem. Kompleksitas sistem mengacu pada jumlah dan jenis hubungan yang terjadi di antara bagian-bagian—subsistemsubsistem yang biasanya disebut departemen atau divisi. Bila pembagian organisasi menganut sistem departemen, misalnya, maka yang menjadi pertanyaan pokok adalah bagaimana dependensi ataupun interdependensi di kalangan departemen-departemen yang ada. Bila sebuah departemen tergantung pada tiga departemen lainnya, maka intensitas interaksi antardepartemen tersebut akan sangat tinggi. Adapun bentuk interaksi tersebut akan ditentukan oleh jenis tujuan, teknologi, dan gaya kepemimpinan dalam departemen-departemen tersebut. ‘Arah tujuan’ berbeda menurut jenis organisasi. Perbedaan tujuan dapat digunakan sebagai dasar kriteria untuk membedakan organisasi menjadi kategori bisnis, layanan publik, dan filantropi. Bahkan di dalam kategori bisnis, yang sangat mementingkan laba, terdapat tujuan yang berbeda-beda dan sering tidak sejalan. Misalnya, dalam mencapai tujuan pokok yakni laba, perusahaan akan memberikan bobot yang berbeda-beda pada hubungan dengan tujuan perlindungan alam, pencemaran lingkungan, kerjasama dengan serikat kerja, hubungan komunitas atau CSR (corporate social responsibility) dan pusat-pusat riset di kampus. Tujuan yang bervariasi itu akan mempengaruhi perilaku karyawan karena pencapaian tujuan akan terkait dengan pemberian sanksi dan ganjaran. Maka prioritas tujuan-tujuan itu harus dibuat jelas di kalangan segenap pihak yang berkepentingan, karena kekaburan dan ketidak pastian dapat membingungkan, bahkan menimbulkan konflik. ‘Jaringan komunikasi’ merupakan dimensi iklim yang penting karena menunjukkan betapa jaringan komunikasi itu ‘silang menyilang’ antara jenjang-jenjang hierarki dan kelompok-kelompok karyawan. Dengan melihat jaringan komunikasi, kita dapat mengetahui jaringan antarstatus, pengaturan anta jabatan dan kewenangan, dan hubungan-hubungan antarkelompok. Jaringan-jaringan komunikasi yang menunjukkan arus informasi ke segala arah—ke atas, ke bawah, dan ke samping dan menyilang—dapat memberikan
7
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
pemahaman tentang bagaimana jaringan-jaringan status, kewenangan, keahlian dan tugas, dan kemitraan saling sentuh-menyentuh bahkan tumpang suh (overlapping) (Harold Guetzkow, 1965). Singkatnya, kita dapat menarik kensimpulan tentang filosofi manajemen yang dianut organisasi secara keseluruhan. Misalnya, setiap Senin pagi manajer perusahaan listrik negara memberikan informasi tentang apa yang harus dilakukan selama satu pekan. Karyawan-karyawan bawahan melaporkan di dalam wawancara lisan dengan konsultan bahwa ketentuan yang begitu rinci telah menghilangkan inisiatif mereka. Ketika atasan absen karena sakit seluruh unit kerjanya berantakan karena karyawannya pasif dan apatis. Ketika seorang manajer pensiun penggantinya dicari dari luar, karena segenap karyawan bawahannya tidak pernah diajak bicara tentang persoalan-persoalan yang dihadapi dalam divisi tersebut alias komunikasi berjalan hanya satu arah. Model Forehand ini oleh para pengritiknya dikategorikan sebagai ’pendekatan multi atribut organisasi’ (multiple measurement organizational attribute approach)(James dan Jones, 1974:1097). Model ini mengasumsikan bahwa komponen-komponen dari variasi situasi dalam organisasi ini dapat meliputi konteks organisasi, struktur, nilai-nilai dan norma-norma, proses, dan lingkungan fisik maupun berbagai konteks subsistem, misalnya departemen, ataupun konteks subkelompok, misalnya kelompok kerja. Komponenkomponen keseluruhan organisasi, subsistem, dan subkelompok ini umumnya dianggap sebagai ’variabel bebas’, yang dalam interaksinya menghasilkan variabel tak bebas yang terdiri dari ukuran-ukuran atau kriteria pada tingkatan individu, kelompok, susbsistem, ataupun organisasi. Untuk melengkapi model ini idealnya juga diperhitungkan ciri-ciri lingkungan sosial budaya dan individu. Secara konseptual kita dapat melihat bahwa ‘operasionalisasi’—daftar dimensi—yang dikembangkan oleh Forehand di atas jauh lebih luas dari pada cakupan rumusan definisi yang dibuatnya. Bila di dalam rumusan definisi iklim organisasi di atas Forehand pada dasarnya hanya menempatkan iklim organisasi sebagai ‘deskripsi ciri-ciri organisasi’ umum, yang di dalam literatur organisasi lebih terkenal dengan sebutan ‘komponen-komponen situasional’ atau ‘structural’ organisasi, namun di dalam operasionalisasinya, ternyata termasuk juga ‘komponen proses’, yang terdiri dari ‘pola kepemimpinan’ dan ‘jaringan komunikasi’. Konsepsi iklim organisasi yang dikembangkan oleh Forehand ini dianggap kurang berbobot teori, karena tidak menghasilkan temuan-temuan baru. N. Frederiksen (1968), misalnya, melakukan sebuah eksperimen tentang para manajer menengah dengan menggunakan variabel-variabel iklim organisasi yang terdiri dari ‘kelekatan pengawasan’ (closeness of supervision) dan ‘peraturan dan tata tertib’ (rules and regulations). Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja karyawan dapat
8
diramalkan di dalam ‘iklim inovatif’, namun lebih menonjol lagi di dalam ‘iklim yang konsisten’. Kesimpulannya, organisasi menggunakan ‘iklim berbeda-beda’ sebagai solusi atas masalah-masalah yang berbeda-beda. Eksperimen lain yang dilakukan oleh Litwin dan Stringer menggunakan tiga lingkungan bisnis: lingkungan otoriter dengan struktur yang tajam; lingkungan demokratik dengan interaksi bersahabat; dan lainnya lagi lingkungan bisnis agresif mengejar prestasi. Subjek dalam eksperimen itu diberi peluang untuk ‘memilih gaya kepemipinan’ yang cocok untuk masing-masing lingkungan bisnis tersebut. Temuannya jelas, iklim bisnis demokratik memberikan kepuasan kerja kepada segenap karyawan. Selain itu, persepsi karyawan tentang iklim organisasi dalam eksperimen itu ternyata sesuai dengan kenyataan kondisi lingkungan kerja. Secara umum dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi dalam ‘pendekatan multi atribut organisasi’ layak dikritik sebagai kurang membuka teorisasi baru, namun tidak berarti bahwa upaya konseptualisasi tentang iklim organisasi mengalami jalan buntu. Konsep-konsep ‘jaringan-jaringan komunikasi’ dan ’pola-pola kepemimpinan’ yang terliput sebagai dimensi iklim merupakan sumbangan yang penting untuk konseptualisasi iklim organisasi selanjutnya—bahkan mendorong pemahaman baru tentang ‘peran komunikasi’ yang dapat dimainkan oleh para pimpinan organisasi dalam poembentukan iklim organisasi agar karyawan bekerja produktif. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa iklim organisasi perlu diterima sebagai ‘metafora’ yang membutuhkan interpretasi yang lebih subjektif dari pada objektif. Dengan kata lain, iklim organisasi dianggap bukan semata-mata ’deskripsi’ dari lingkungan obyektif, melainkan hasil pemrosesan psikologis yang bersifat subyektif. Bagaimana upaya-upaya konseptualisasi iklim organisasi yang bersifat subyektif psikologis ini akan kita lihat di bagian berikut.
Model Litwin-Stringer Upaya-upaya konseptualisasi subjektif psikologis tentang iklim organisasi yang penting dapat ditemukan dalam dua buku yang masing-masing disunting oleh Renato Tagiuri dan George H. Litwin berjudul Organizational Climate: Exploration of a Concept (1968) dan oleh George H. Litwin dan Robert A. Stringer Jr. dengan judul Motivation and Organizational Climate (1968). Definisi yang kemudian dianggap klasik dan paling banyak dikutip adalah rumusan Renato Tagiuri (1968: 27), yang berbunyi sebagai berikut: [Organizational climate is] a relatively enduring quality of the internal environment of an organization that (a) is experienced by its members,
9
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
(b) influences their behavior, and (c) can be described in terms of the values of a particular set of characteristics (or attributes) of the organization. Iklim orgnisasi adalah kualitas lingkungan internal organisasi yang bertahan cukup lama dan yang (a) dialami oleh segenap anggota organisasi, (b) mempengaruhi perilaku mereka, dan (c) yang dapat digambarkan sebagai cerminan nilai-nilai dari seperangkat ciri-ciri (atau atribut) khas organisasi tersebut.
Definisi Tagiuri tersebut dikemukakan dalam artikel berjudul “The Concept of Organizational Climate” yang dimuat dalam buku Organizational Climate yang ia sunting bersama Litwin tersebut di atas. Sebagai salah seorang anggota dari kelompok human relations di Graduate School of Business, Universitas Harvard, Tagiuri melihat iklim organisasi sebagai seperangkat ‘variabel persepsi’ (a set of perception variables) yang muncul sebagai dampak utama dari organisasi. Dalam definisi di atas disebutkan bahwa ‘kualitas lingkungan internal organisasi’ tersebut ’dialami oleh para anggota’. Artinya, kualitas yang dimaksud adalah bukan deskripsi kondisi obyektif melainkan merupakan hasil proses pengalaman subyektif para karyawan. Jadi ‘kualitas’ yang dimaksud bukanlah ‘kondisi obyektif’ yang sama bagi semua karyawan, melainkan kondisi yang sudah diproses melalui persepsi sepanjang pengalaman subyektif. Selanjutnya pengalaman subyektif karyawan tersebut mempunyai pengaruh pada perilaku—bagaimana ia bekerja dan bertindak—di dalam organisasi. Akhirnya, perilaku karyawan—sebagai hasil dari persepsi tentang lingkungan kerja—tersebut dapat disimpulkan sebagai perwujudan nilai-nilai dari ciri khas organisasi. Singkatnya, definisi Tagiuri di atas menonjolkan persepsi subyektif karyawan tentang dimensidimensi dari pola perlakuan organisasi terhadap karyawan. Konsepsi Tagiuri tentang iklim organisasi itu kemudian dijabarkan secara operasional oleh George H. Litwin dan Robert Stringer, Jr (1968: 4565). Dalam rumusan operasionalisasi tentang iklim organisasi tersebut, Litwin dan Stringer memasukkan delapan dimensi yang telah mereka terapkan di dalam rangkaian empat buah penelitian mereka, yang selengkapnya adalah sebagai berikut: (1) Struktur (structure); (2) Tantangan dan tanggung jawab (challenge and responsibility); (3) Kehangatan dan dukungaan (warmth and support);(4) Ganjaran dan hukuman (reward and punishment); (5) Konflik (conflict); (6) Standar kinerja dan harapan (performance standards and expectations); (7) Identitas organisasi (organizational identity), dan (8) Risiko dan pengambilan risiko (risk and risk-taking).
10
‘Struktur’ menunjukkan tingkat penjenjangan kewenangan sebagai pelaksanaan dari pembagian pekerjaan. Khususnya, ‘pembatasan dan hambatan-hambatan’, yang dibuat oleh atasan langsung atau pimpinan organisasi, yang harus ditaati oleh karyawan di dalam pelaksanaan kerja— instruksi dan petunjuk merupakan alat kontrol atasan terhadap kerja bawahan—dalam hubungan impersonal birokratis. Kepatuhan buta terhadap struktur hirarki akan menghasilkan dunia manajerial yang takut resiko, tertutup, jaga jarak dan hampa keterlibatan karyawan; keseragaman, tunggu perintah, dan apatis; defensif—suka berdalih dan saling melempar tanggung jawab— dan persaingan tidak sehat antardepartemen dengan ketergantungan pada kelompok yang sangat tinggi. ‘Tantangan dan tanggung jawab’ merupakan persepsi karyawan tentang tuntutan kerja dan peluang untuk maju, yang mendorong pencapaian yang lebih tinggi dengan tanggung jawab yang lebih besar. Faktor tantangan terkait dengan perkembangan semangat untuk mengejar prestasi tinggi di kalangan karyawan. Motivasi karyawan untuk berprestasi dapat tumbuh subur bila organisasi, khususnya atasan langsung, memberikan peluang yang besar untuk bertanggung jawab. Berbagai penelitian oleh Douglas McGregor (1960), Rensis Likert (1961), Victor Vroom (1962), dan Frederick Herzberg (1966) menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan tingkat kinerja secara positif berhubungan dengan ‘ekspresi diri’, ‘kontrol diri’, ‘partisipasi’, ‘kebebasan individu’ dan ‘tanggung jawab’. Secara khusus, Likert menunjukkan bahwa ‘tanggung jawab individu’ sangat penting dan di dalam iklim kelompok yang ‘cocok’, penambahan tanggung jawab dapat meningkatkan loyalitas pada kelompok, menambah fleksibilitas kelompok, dan meningkatkan kinerja kelompok. Singkatnya, peningkatan tanggung jawab terkait dengan kerukunan kelompok, fleksibilitas kelompok, dan kinerja. ‘Kehangatan dan dukungan’ menonjolkan orientasi pada peneguhan positif ketimbang pemberian hukuman di dalam pelaksanaan kerja. Kehangatan dalam sikap dan dukungan dapat meredakan berbagai macam kecemasan dan kerisauan tentang pekerjaan. Karyawan baru, yang merasa mendapat banyak bantuan dari lingkungan kerjanya, cenderung punya pengertian, rasa kebersamaan, dan lebih loyal pada organisasi. Karyawankaryawan yang mempunyai tugas memberi dukungan lembaga, seperti guru, dokter, perawat, konselor, dan pelatih membutuhkan afiliasi yang tinggi dari lingkungan. Singkatnya, mereka membutuhkan iklim kerja yang mendukung. ‘Teori Y’ yang dikembangkan oleh Douglas McGregor dalam bukunya yang berjudul The Human Side of Enterprise (1960) yang dipertentangkan dengan ‘Teori X’ yang merupakan cerminan praktek tradisional, menunjukkan bahwa orientasi pada karyawan dalam bentuk kehangatan adalah sangat
11
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
penting untuk pelaksanaan kerja organisasi yang demokratis-partisipatif. Sejumlah penelitian secara konsisten menunjukkan dampak negatif jangka panjang dari ‘tindakan atasan yang tak tahu diri’ sehingga disarankan agar manajemen—khususnya atasan langsung—peduli terhadap suasana kerja karyawannya, seperti ‘sikap dan perilaku bersahabat, penuh pengertian, saling menghargai, dan saling mempercayai,’ dalam praktek penyeliaan, sehingga partisipasi karyawan dapat meningkat. ’Ganjaran dan hukuman, persetujuan dan penolakan’ merupakan ukuran tentang persepsi situasi yang membutuhkan penegasan tentang aplikasi penggunaan ganjaran atau sanksi. Paparan Litwin dan Stringer (1968: 54) tentang dimensi ganjaran ini menyatakan bahwa “iklim yang berorientasi pada hadiah melebihi kekuatan ancaman akan hukuman sebagai upaya membangkitkan niat untuk mencapai prestasi, dedikasi, dan kerukunan kelompok maupun sebagai upaya mengurangi perasaan takut-gagal.” Ganjaran di sini diartikan sebagai persetujuan atasan terhadap perilaku atau tindakan karyawan, sedangkan hukuman merupakan penolakan terhadap penyimpangan. Intinya ganjaran menunjukkan tingkat kepatuhan dan kerukunan para karyawan dalam organisasi, sedangkan hukuman menunjukkan penyimpangan dan keretakan hubungan antarkaryawan di dalam organisasi. Integrasi segenap karyawan dijunjung tinggi sebagai nilai yang dapat meningkatkan kinerja organisasi. ’Konflik’ merupakan ukuran persepsi tentang perbedaan kepentingan dan persaingan antarpribadi dan unit kerja. Organisasi selalu mencari solusi dalam situasi konflik agar dampaknya dapat ditekan sekecil mungkin. Konflikkonflik keras tidak hanya membuat suasana kerja menjadi ricuh tetapi juga dapat menimbulkan stres dan frustrasi di dalam lingkungan kerja. Solusi-solusi konflik sangat berpengaruh pada fungsi efektivitas dan integrasi organisasi. Jenis modus dalam penyelesaian konflik antarindividu atau unit kerja terkait dengan efektivitas integrasi dan fungsi-fungsi organisasi. Konflik dan resolusi konflik dapat menjadi petunjuk dari dinamika perkembangan organisasi. ’Standar kinerja dan harapan’ mengukur persepsi tentang pentingnya kinerja dan kejelasan pengharapan berkaitan dengan kinerja dalam organisasi. Teori ‘motif berprestasi’ (achievement motivation) dibangun seputar standar kerja yang secara ideal unggul (excellence). Maka karyawan selalu diharapkan mencapai kinerja yang sesuai dengan ‘motif berprestasi’ yang dimiliki, yakni keinginan untuk unggul. Dengan demikian standar-standar kerja yang ditentukan oleh para karyawan sendiri merupakan cerminan dari motivasi untuk berprestasi di kalangan karyawan yang bersangkutan. Singkatnya, standar kinerja tinggi tidak ditentukan oleh kebijakan atasan melainkan sebagai cermin dari dorongan untuk berprestasi mereka sendiri.
12
’Identitas organisasi’ merupakan ukuran untuk loyalitas kelompok di kalangan karyawan. Studi tentang loyalitas karyawan menunjukkan bahwa loyalitas terkait dengan keteguhan identitas dan perbaikan kinerja karyawan. Buku Saul W. Gellerman yang berjudul Motivation and Productivity (1963) menunjukkan bahwa karyawan tingkat manajerial dapat meningkatkan efektivitas kepemimpinannya melalui peningkatan ‘loyalitas kelompok’ yang terkait dengan peningkatan produktivitas. Para karyawan merasa bangga dengan prestasi yang mereka capai melalui jerih payah sendiri. Angka produktivitas yang tinggi merupakan feedback yang dapat memperbesar ego dan kerjasama kelompok. Karyawan yang merasa bangga sebagai anggota kelompok kerja dalam organisasi, akhirnya dapat mencapai kebanggaan sebagai anggota organisasi. Semakin besar jumlah karyawan yang memiliki kebanggaan sebagai anggota organisasi semakin tinggi kinerja organisasi tersebut, yang akhirnya mengangkat reputasi organisasi di mata segenap karyawan. Pimpinan yang efektif dapat memetik keuntungan dengan meningkatnya produktivitas, karena karyawan bawahan dapat bekerja produktif sendiri dan mereka sangat bangga atas prestasi tersebut. ’Risiko dan pengambilan risiko’ mengacu pada filosofi manajemen yang terkait dengan peluang dan resiko di dalam proses pembuatan keputusan. Menurut penelitian Litwin karyawan yang memiliki kebutuhaan untuk berprestasi yang tinggi—motif prestasi tinggi—cenderung mempunyai keberanian yang lebih besar untuk ambil resiko. Oleh karena itu, iklim ‘peluang ber-resiko’ dianggap sesuai untuk karyawan yang mempunyai motif berprestasi. Sebaliknya, iklim yang ‘konservatif’ akan membuat mereka frustrasi dan melembekkan semangat kerja. Kesimpulannya, iklim organisasi yang mendorong karyawan untuk ‘berani ambil resiko’ dapat merangsang kebutuhan untuk berprestasi di kalangan karyawan. Dalam pandangan Litwin dan Stringer kesemua dimensi iklim di atas bekerja dalam interaksi—tidak secara terpisah-pisah. Secara keseluruhan saling keterkaitan faktor-faktor iklim organisasi terkait dengan motivasi yang berkembang dalam organisasi, khususnya motivasi untuk membangun afiliasi kelompok, mencapai prestasi, dan menjalankan kekuasaan dan kewenangan. Kesimpulan yang dari riset Litwin dan Stringer yang disepakati oleh para ahli selanjutnya adalah bahwa ‘iklim memang mempunyai dampak pada kepuasan dan motivasi, tegasnya kepuasan dan produktivitas kerja karyawan.
13
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
Untuk melihat persamaan dan perbedaan dari dimensi-dimensi yang terliput di dalam kedua pendekatan di atas kita dapat dibuat tabel perbandingan sederhana (Lihat Gambar 1).
Gambar 1. Perbandingan Dimensi-dimensi Kedua Model Pemikiran Iklim Organisasi
Dari tabel perbandingan tersebut, kita dapat melihat bahwa dimensidimensi ‘pengambilan resiko’, ‘standar kinerja dan pengharapan’ dan ‘identitas’ yang merupakan dimensi lunak di dalam model pemikiran Litwin dan Stringer tidak mendapat padanan secara tegas di dalam model pemikiran Forehand. Mungkin konsep ‘identitas’ yang dikembangkan oleh LitwinStringer dapat dikaitkan dengan dimensi ‘jaringan-jaringan komunikasi’ yang merupakan salah satu dari dua dimensi lunak dalam model Forehand—dimensi lunak lainnya adalah ‘pola-pola kepemimpinan’. Singkat kata, sesuai dengan namanya, ’pendekatan multi atribut organisasi’ model pemikiran Forehand cenderung terbatas pada dimensi-dimensi keras, sedangkan model LitwinStringer lebih menekankan faktor-faktor lunak. Model Litwin-Stringer memang tidak memasukkan dimensi ‘pola-pola kepemimpinan’ namun sebagai gantinya menyebutkan tiga buah dimensi, yang dapat dianggap sebagai rincian dari konsep ‘pola-pola kepemimpinan’ yakni ‘tantangan dan tanggung jawab’, ‘kehangatan dan dukungan’, dan ‘ganjaran dan hukuman’. Dimensi-dimensi ‘identitas’, ‘tantangan dan tanggung jawab’, ‘pengambilan
14
resiko’ dalam pembuatan keputusan, dan ‘standar kinerja dan harapan’ semuanya terkait dengan ego dan pengembangan diri, yang menunjukkan bahwa kebutuhan-kebutuhan di jenjang yang lebih rendah—fisiologi dan keamanan—diasumsikan telah terpenuhi menurut persepsi para karyawan di dalam penelitian Litwin dan Stringer. Model Litwin-Stringer ini dalam kategori James dan Jones (1974) disebut ‘Pendekatan Perspepsi Atribut Organisasi’ yang merupakan pendekatan paling besar tentang iklim organisasi.
Model Campbell Konsepsi Litwin-Stringer ini kemudian ditinjau dan dikembangkan oleh John P. Campbell et al. (1970). Persepsi individu tentang organisasi dalam pandangan Campbell et al. merupakan elemen-elemen iklim yang sangat penting, karena persepsi itu selanjutnya mempengaruhi perilaku, sedangkan iklim sendiri dipandang sebagai variabel situasional atau dampak utama organisasi. Dalam pengembangan konsepsinya tentang iklim organisasi, Campbell et al. beranggapan bahwa iklim sebagai deskripsi situasi organisasi yang seharusnya meliputi unsur-unsur variasi antarkelompok. Selanjutnya Campbell et al. (1970) menjelaskan bahwa situasi organisasi dapat dikelompokkan menjadi empat kategori umum: (1) ciri-ciri struktural (structural properties); (2) ciri-ciri lingkungan (environmental characteristics); (3) iklim organisasi (organizational climate); dan (3) ciri-ciri peran formal (formal role characteristics). Maka ia membuat definisi iklim organisasi yang berbunyi sebagai berikut: a set of attributes specific to a particular organization that may be induced from the way the organization deals with its members and environment. For the individual member within an organization, climate takes the form of a set of attitudes and expectancies which describe the organization in terms of both static (such as autonomy) and behavior-outcome and outcomeoutcome contingencies. [Iklim organisasi adalah] seperangkat ciri-ciri khusus dari sebuah organisasi yang dapat disebabkan oleh cara organisasi itu memperlakukan anggota-anggotanya dan lingkungannya. Bagi masing-masing anggota organisasi, iklim adalah berbentuk seperangkat sikap dan pengharapan yang menggambarkan organisasi dalam artian ciri-ciri statis (seperti tingkatan otonomi) dan ‘hasil-perilaku’, dan kontingensi hasil-hasil.
15
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
Dalam definisi di atas, iklim organisasi dipahami sebagai ‘persepsipersepsi pribadi perorangan’ dan bahwa ’persepsi-persepsi tersebut mengatur perilaku karyawan’, sedangkan iklim itu sendiri dipandang sebagai variabelvariabel situasi atau dampak utama organisasi. Dari paparan tentang keempat kategori tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi pada dasarnya mempunyai empat dimensi sebagai berikut: (1) ’otonomi pribadi’ (individual autonomy; (2) ’derajat tekanan struktur pada jabatan’ (the degree of structure imposed upon the position); (3) ’orientasi tentang ganjaran’ (reward orientation); dan (4) ’pengertian, kehangatan, dan dukungan’ (consideration, warmth, and support). Keempat dimensi ini dalam pandangan Campbell et al. merupakan sintesis dari berbagai studi dan literatur sebelumnya. Dalam penjelasannya masing-masing dimensi dikaitkan dengan faktor-faktor yang mendasarinya. Dimensi ’otonomi pribadi’ dilandasi oleh tanggung jawab pribadi, kebebasan relatif sebagai karyawan, orientasi pada peraturan, dan peluangpeluang untuk melakukan tindakan inisiatif. Kemudian, ’derajat tekanan struktur’ didasarkan atas faktor-faktor struktur, struktur manajerial, dan kelekatan pengawasan atau supervisi—derajat bagaiamana atasan menentukan dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan pekerjaaan dan bagaimana cara mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sedangkan ’orientasi pada ganjaran’ didasarkan atas faktor-faktor imbalan, kepuasan secara keseluruhan, orientasi pada kemajuan prestasi, promosi, dan semangat ’mengejar’ laba atau tingkat penjualan—apakah karyawan merasa menerima ganjaran atas pekerjaan yang diselesaikan dengan baik. Akhirnya, ’pengertian, kehangatan, dan dukungan’ didasarkan atas dukungan manajerial, pembinaan dan pendidikan bawahan, sikap hangat, dan kesiapan membantu. Dalam penjelasannya, Campbell et al. menyatakan bahwa perbedaan tingkatan situasi dan individu menunjukkan kekuatan pengaruh yang berbedabeda pula. Penjelasan ini didasarkan pada model linkage yang menyatakan bahwa keterkaitan antara variabel indipenden organisasi yang obyektif (size) dan variabel dependen (partisipasi dalam organisasi) ditengahi oleh dua perangkat proses, yakni ’proses organisasi’ (organizational processes) yang terkait ’size’ (jumlah komunikasi, spesialisasi tugas-tugas) dan ’proses psikologi’ (psychological processess) antaranggota (perasaan tertarik, kepuasan kinerja). Iklim organisasi dipandang sebagai sesuatu yang secara situasional ditentukan oleh proses psikologi—variabel-variabel iklim organisasi dilihat atau sebagai faktor kausatif atau faktor penengah atas kinerja dan sikap karyawan. Titik ’penengahan’ (moderation)’ terdapat atau di antara ciri-ciri situasi obyektif atau proses dan perilaku, atau di antara ciri-ciri
16
individu dan perilaku. Iklim organisasi dipandang sebagai ukuran persepsi yang menggambarkan organisasi dan berbeda dari varibel-variabel sikap, evaluasi, dan kepuasan kebutuhan. Lebih dari itu, persepsi iklim organisasi dianggap dapat mempengaruhi valensi yang melekat pada hasil kerja, faedah untuk hasil-hasil kerja itu, dan berbagai strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan Campbell dan Beaty (1971) di kalangan buruh pabrik dapat ditarik tiga temuan penting. Pertama, di antara subyek penelitian terdapat perbedaan yang lebih jelas dalam hal persepsi tentang iklim kerja dari pada persepsi tentang iklim organisasi. Kedua, perbedaan persepsi tentang iklim organisasi ternyata lebih dipengaruhi oleh perbedaan unit kerja daripada individu. Akhirnya, perbedaan persepsi tentang iklim organisasi ternyata menunjukkan hubungan yang positif dengan kinerja kelompok, meskipun hubungan tersebut tidak termasuk kuat. Dalam penelitian itu digunakan tujuh dimensi iklim organisasi: struktur tugas, hubungan ganjaran/kinerja, sentralisasi keputusan, pengutamaan pencapaian kerja, pengutamaan latihan dan pengembangan, keamanan vs risiko, dan keterbukaan vs sikap defensif. Sebagaian besar dari dimensi-dimensi ini dapat dikatakan terkait dengan ’gaya kepemimpinan’ dan ’kerjasama kelompok’, yang oleh para ahli komunikasi nantinya dipandang sebagai muatan konsep iklim komunikasi. Konsepsi Campbell tentang iklim organisasi sebagai ‘ciri khas organisasi’ ini selanjutnya diperjelas oleh Robert D. Pritchard dan B. W. Karasick (1973: 126) dengan orientasi khusus pada manajerial. Definisi yang berperspektif manajerial itu dikemukakan dalam laporan penelitian mereka yang berjudul “The Effect of Organizational Climate on Managerial Job Performance and Satisfaction” (Pritchard dan Karasick, 1973: 126) dan berbunyi sebagai berikut: Organizational climate is a relatively enduring quality of an organization’s internal environment distinguishing it from other organizations; (1) which results from the behavior and policies of members of organizations, especially top management; (2) which is perceived by members of the organizations; (3) which serves as a basis for interpreting the situation; and (4) acts as a source of pressure for directing activity. Iklim organisasi adalah kualitas lingkungan internal organisasi yang relatif bertahan lama yang membedakannya dari organisasi-organisasi lain; (1) yang merupakan hasil dari perilaku dan kebijakan-kebijakan anggota organisasi, terutama manajemen puncak; (2) yang dipersepsikan oleh para anggota organisasi; (3) yang menjadi dasar peafsiran situasi; dan (4) yang menjadi sumber tekanan-tekanan dalam pengarahan kegiatan.
17
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
Perkembangan konsepsi iklim sebagaimana jelas dari definisi Pritchard-Karasick di atas selain menunjukkan orientasi manajerial juga mengacu pada perspektif psikologi. Mereka tidak menyebutkan bahwa iklim mempunyai dampak pada perilaku secara langsung melainkan pada penafsiran situasi dan membentuk sumber tekanan-tekanan psikologis dalam pengarahan kegiatan karyawan oleh manajer. Dari serangkaian penelitian Pritchard dan Karasick yang menggunakan pendekatan Campbell et al. (1970)—empat kategori situasi organisasi yang meliputi ciri-ciri struktural (structural properties); ciri-ciri lingkungan (environmental characteristics); iklim organisasi (organizational climate); dan ciri-ciri peran formal (formal role characteristics) sebagaimana telah dijelaskan di atas—dapat disimpulkan bahwa persepsi tentang iklim organisasi dipengaruhi baik oleh organisasi secara keseluruhan maupun oleh unit-unit kerja organisasi tersebut. Lagi pula angka skor iklim menunjukkan hubungan dengan kepuasan individu dan kinerja kelompok unit-unit kerja, namun ternyata angka skor iklim tersebut tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kinerja individu. Akhirnya, juga ditemukan bahwa beberapa dimensi iklim organisasi menengahi hubungan yang ada di antara ciri-ciri individu karyawan dengan kinerja dan kepuasan. Dari tinjauan maupun studi-studi yang dikutip di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi perlu dipahami dan diukur dengan persepsi. Namun kekuatan pengaruh tersebut perlu dilihat sesuai jenjangjenjang perbedaan dalam hal variabel-variabel struktur, seperti rentang kendali, dan dimensi iklim organisasi seperti persepsi tentang otonomi yang nampak cukup jelas. Variabel-variabel lain nampak agak kabur karena sukar dibedakan dari variabel-variabel yang jelas-jelas termasuk dalam kategori struktur, proses, sistem nilai, dan norma kebiasaan organisasi. Misalnya ’otonomi individu’ dan ’derajat tekanan struktur pada kedudukan’ dapat diukur dengan variabel struktur obyektif ’ formalisasi, standardisasi, dan spesialisasi’ atau dengan ukuran-ukuran kepemimpinan, pengendalian, dan proses pembuatan keputusan. Dimensi ’pengertian, kehangatan, dan dukungan’ pada dasarnya merupakan fungsi kepemimpinan dan proses kelompok.
Kedudukan Dewasa Ini Dari paparan di atas jelas bahwa iklim organisasi sangat populer sekitar tahun 1970-an. Model Litwin dan Stringer dengan definisi dari Tagiuri merupakan model yang paling terkenal dari semua konseptualisasi dan model
18
yang berkembang saat itu. Dalam perkembangannya model ini mendapat sambutan, kritikan, dan pengembangan di kalangan para ahli psikologi. Secara konseptual—sebagaimana telah disinggung di atas—iklim organisasi berpangkal pada pengertian dan gerakan human relations. Maka para ahli yang bergerak di bidang human relations dan organizational behavior, tetap menaruh perhatian besar pada konsep ini. Kemudian berkat muatan substansi yang terliput dalam konseptualisasinya, iklim organisasi juga mendapat perhatian khusus dari kalangan ahli komunikasi, khususnya industrial and organizational communication. Keith Davis, James M. Higgins, dan Richard Hodgetts adalah tiga orang tokoh terkenal yang telah menyebarluaskan dan menghidupkan konsep iklim organisasi sampai tahun 1990-an, meskipun bidang studi human relations itu kini telah berkembang menjadi human behavior yang secara teknis disebut organizational behavior. Konsep iklim organisasi mendapat perhatian besar dari kalangan para ahli komunikasi berkat rintisan W. Charles Redding, yang kemudian dilanjutkan oleh para siswanya, terutama Gerald M. Goldhaber dan Marshall Scott Poole yang cenderung menghubungkan konsep tersebut dengan ’budaya organisasi’ (organizational culture), konsep besar lain yang populer sejak kemunculannya di tahun 1980an. Keith Davis, yang tersohor dengan penelitian ECCO (Episodic Communication Channels in Organizations) untuk analisis internal communication dan grapevine, menulis buku berjudul Human Relations at Work: The Dynamics of Organizational Behavior (1957). Dalam perkembangannya judul buku yang sangat berpengaruh ini kemudian diubah menjadi Human Behavior at Work: Organizational Behavior (1972), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Perilaku Organisasi. Di dalam buku aslinya, iklim organisasi tampil sebagai konsep dasar yang membentuk ‘model perilaku organisasi’ sebagai bab khusus. Pada dasarnya Davis mengkonsepsikan ’iklim organisasi sebagai sistem perilaku’. Definisi Davis (1985: 120) tentang iklim organisasi cukup sederhana dan berbunyi sebagai berikut: Organizational climate is the human environment within which organization’s employees do their work. We cannot touch it, but it is there. Like the air in a room, it surrounds and affects everything that happens in an organization. In tern, climate is affected by almost everything that occurs in an organization. It is a systems concept. … The words by which one refers to employees (such as ‘hands’), the attitudes of top management, company policies , and other matters all combine to establish the organizational climate in each institution.
19
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
Iklim organisasi adalah lingkungan manusiawi dalam kerangka mana karyawan-karyawan organisasi melaksanakan pekerjaan. Kita tidak dapat menyentuhnya, tetapi nyata adanya. Seperti udara di sebuah ruangan, iklim organisasi mempengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam organisasi. Pada gilirannya, iklim dipengaruhi oleh segala yang terjadi di dalam organiasi. Ini betulbetul konsep kesisteman. .….Segala kata-kata yang ditujukan kepada karyawan (misalnya ’anak buah’), segala macam sikap pimpinan puncak, kebijakan-kebijakan organisasi, dan hal-hal lainnya semuanya ter-ramu membentuk ’iklim’ dalam setiap lembaga.
Dalam elaborasinya, konsep Davis (1985: 124) menyebutkan iklim sebagai kombinasi dari sepuluh unsur sebagai berikut: (1) Kualitas kepemimpinan; (2) Tingkat kepercayaan; (3) Komunikasi ke atas dan ke bawah; (4) Perasaan tentang pentingnya pekerjaan; (5)Tanggung jawab; (6) Ganjaran yang adil; (7) Tekanan kerja yang wajar (tidak berlebihan); (8) Peluang; (9) Pengendalian, struktur, dan birokrasi yang wajar; dan (10) Partisipasi karyawan. Kesepuluh elemen ini ditimba dari faktor-faktor yang dikemukakan dalam model Litwin-Stringer tersebut di atas dan model Sistem Empat yang dikembangkan oleh Rensis Likert (1961) dalam New Patterns of Management. Daftar elemen itu jelas meliput ’kondisi fisik’ organisasi—termasuk ukuran organisasi—dan tidak terkait dengan ’persepsi individu’. Hal ini dapat dimengerti karena faham human relations pada dasarnya adalah hubunganhubungan antarmanusia yang terjadi di antara jajaran manajemen dengan segenap karyawan untuk menumbuhkan kesadaran diri dan perasaan positif tentang harga diri di dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Lebih khusus lagi, Richard M. Hodgetts, salah seorang penulis buku terkenal berjudul Human Relations at Work (2002: 5) menyatakan bahwa “Human relations is the process by which management and workers interact and attain their objectives (Human relations adalah proses bagaimana jajaran manajemen dan karyawan berinteraksi dan bekerja mencapai tujuan-tujuan mereka). Dalam kerangka pengertian ini, iklim organisasi adalah ‘kondisi manusiawi’ yang terbentuk sebagai hasil pola hubungan timbal balik di antara jajaran pimpinan dan karyawan. Kondisi manusiawi ini mempengaruhi sikap dan perilaku karyawan, sedangkan aspek-aspek fisik organisasi tidak termasuk ke dalam ruang lingkup iklim organisasi. Berdasarkan konsepsi ini, Davis membedakan iklim organisasi menjadi empat kategori, yakni ’otokratik,
20
paternalistik, pendukung, sejawat’ (autocratic, custodial, supportive, collegial). (Lihat Gambar 2).
Gambar 2. Iklim Organisasi sebagai Sistem Perilaku Otokratik
Paternalistik
Pendukung
Sejawat
Model berbasis
Kekuasaan
Sumber daya ekonomi
Kepemimpinan
Kemitraan, saling membantu
Orientasi manajerial
Otoritas: Jabatan
Uang
Dukungan
Gugus kerja, kelompok
Orientasi karyawan
Patuh, taat
Keamanan dan fasilitas
Pelaksanaan tugas
Tanggung jawab
Dampak psikologis pada karyawan
Dependensi pada bos
Dependensi pada organisasi
Partisipasi
Komitmen, disiplin diri
Pemenuhan kebutuhan karyawan
Subsisten, bertahan hidup
Keamanan, pemeliharaan
Status dan penghargaan
Aktualisasi diri
Hasil kinerja
Batas minimum
Kerjasama Pasif
Tergugah Semangat
Antusiasme
(Sumber: Keith Davis, Human Behavior at Work. 8th ed. , New York: McGraw Hill, 1985: 129)
Catatan: Istilah ‘paternalistik’ merupakan terjemahan dari ‘custodial’; mungkin dapat diartikan sebagai ‘pamong’. Baik ’paternalistik’ maupun ’pamong’ menunjukkan bahwa pimpinan yang nampak baik hati itu juga otoriter.
Kategorisasi iklim sebagai sistem perilaku ini mengingatkan kita pada keempat sistem yang dikembangkan oleh Likert. Likert membedakan efektivitas pola manajemen menjadi empat, yang dapat dipandang sebagai sebuah garis kontinuum yang merentang dari ujung Sistem 1 (paling tidak efektif) ke Sistem 4 (paling efektif) sebagai berikut: (1) otoriter penindas (exploitative authoritative)—penindas, kejam; (2) otoriter baik hati (benevolent authoritative)—paternalistik; (3) konsultatif’ (consultative)— konsultatif, minta masukan; dan (4)’partitipasi kelompok (participative group). Kecenderungan ke arah model Litwin-stringer’ juga ditunjukkan oleh James M. Higgins, salah seorang pengajar ’human relations’ yang terkenal. Dalam buku berjudul Human Relations: Concepts and Skills yang sudah mengalami beberapa kali revisi, Higgins (1982: 204) melihat iklim organisasi
21
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
sebagai ’kombinasi antara pekerjaan organisasi dan lingkungan sosial’, sebagaimana jelas dari kutipan yang berbunyi di bawah ini. Ikim organisasi adalah gabungan persepsi-persepsi para karyawan, termasuk persepsi-persepsi karyawan jajaran manajerial, tentang kenyamanan kerja organisasi dan lingkungan sosial. (Organizational climate is the sum of employees’ perceptions, including those of managerial employees, of the desirability of the organization’s work and social environment).
Faktor-faktor yang membentuk iklim organisasi menurut Higgins pada dasarnya terdiri dari dua kelompok, yakni kategori variabel organisasi dan variabel non organisasi. Kategori variabel organisasi meliputi pimpinanmanajemen, tindakan individu kayawan, tindakan-tindakan kelompok kerja, dan tindakan-tindakan organisasi. Sedangkan kategori non organisasi meliputi faktor-faktor eksternal, khususnya keadaan ekonomi, seperti inflasi, dan teknologi. Secara tegas Higgins menyatakan konsep iklim semakin populer di kalangan bisnis, karena telah ditemukan bukti-bukti empiris yang cukup kuat bahwa terdapat hubungan yang positif antara ’iklim’ dengan ’produktivitas dan kepuasan kerja’. Akibatnya, iklim organisasi harus ditinjau ulang dengan survei secara teratur, agar pimpinan dapat mengambil tindakan yang cocok untuk ’memperbaiki iklim’. Menurut Higgins pimpinan bertanggung jawab atas ’penyediaan iklim yang sesuai’ (providing the right climate), karena ’apapun yang dilakukan pimpinan pasti mempunyai dampak tertentu pada iklim.’ (Higgins, 1982: 206). Pengaruh pimpinan menurut Higgins bersumber pada kepribadian dan gaya kepemimpinan. Sesudah kepemimpinan, faktor lain yang mempengaruhi iklim adalah individu—kepribadian karyawan, khususnya kebutuhan dan tindakantindakan untuk memuaskan kebutuhan tersebut, terutama ’komunikasi antar sesama karyawan’ dan ’komunikasi dengan atasan’. Kekuatan ketiga yang berpengaruh pada ’iklim’ adalah perkembangan kelompok. Pengaruh ini terjadi melalui dua proses, yakni proses formal—dalam bentuk kelompok kerja—dan proses informal, yakni kelompok persahabatan dan kepentingan. Kedua proses ini membentuk pola perilaku sesuai dengan eskpektasi sebagai anggota kelompok-kelompok persahabatan dan kepentingan tersebut. Pola perilaku kelompok menunjukkan produktivitas tinggi bila terdapat motivasi untuk bekerja sama, saling mempercayai, terbuka, dan mendukung. Organisasi secara keseluruhan dapat mempengaruhi iklim melalui sistem-sistem manajemen yang dikembangkan. Sistem manajemen pada dasarnya berarti bagaimana perlakuan para menajer terhadap karyawan. Sistem manajemen meliputi sistem-sistem komunikasi, sistem imbalan/kinerja, sistem tunjangan dan jaminan, kebijakan
22
dan prosedur kerja, kebijakan-kebijakan perusahaan, dan struktur organisasi. Perlakuan organisasi terhadap karyawan ini membentuk persepsi karyawan tentang kenyamanan kerja dan lingkungan sosial—iklim organisasi. Akhirnya, iklim juga mendapat pengaruh dari kekuatan luar organisasi, seperti inflasi dan teknologi. Pemerintah dapat membatasi kenaikan gaji pegawai demi pengendalian inflasi dan kemajuan teknologi dapat meningkatkan persaingan. Dengan demikian, konsepsi Higgins tentang iklim organisasi dilandasi oleh asumsi bahwa pimpinan organisasi menyadari dan memperhitungkan kekuatan hubungan antara kondisi eksternal dan kondisi internal organisasi dalam membentuk dan memelihara iklim. Demi kepraktisan para penganut faham human relations mengikuti jejak Davis dengan lebih memusatkan perhatian pada faktor-faktor kebijakan organisasi dan cenderung mengabaikan faktor-faktor fisik. Mereka beranggapan bahwa praktek manajemen dalam lingkungan kerja sehari-hari sangat tergantung pada kebijakan. Berdasarkan pengertian ini, sekelompok peneliti yang dipimpin oleh G. de Cock di Universitas Katolik Leuven, Belgia, berhasil membuat Climate Index yang dikembangkan berdasarkan persilangan antara dua dimensi kebijakan, yakni dimensi orientasi organisasi pada karyawan— organisasi (Model Ohio State) dan dimensi keterbukaan—ketertutupan (Model Open System) terhadap lingkungan. Dari persilangan dua dimensi kebijakan ini dapat ditemukan empat iklim organisasi yang berbeda, yakni iklim inovatif (innovative), iklim arus informasi (information flow), iklim aturan buku alias birokratis (respect for rules), dan iklim suportif (supportive climate). Untuk jelasnya lihat Gambar 3. W. Charles Redding adalah orang pertama dari kalangan ilmu komunikasi, yang menanggapi iklim organisasi. Menurut Redding untuk memahami efektivitas organisasi,’iklim organisasi adalah jauh lebih penting dari pada ketrampilan atau teknik komunikasi’. Dalam buku monumental berjudul Communication within the Organization: An Interpretive Review of Theory and Research (1972), yang merupakan tinjauan kritis atas studi empiris dan teori yang berkembang tentang komunikasi industri dan bisnis saat itu, Redding menunjukkan bahwa pada dasarnya iklim organisasi mempunyai dua dimensi, yakni dimensi organisasi dan dimensi interaksi. Dimensi organisasi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku karyawan, bila diproses sebagai objek persepsi dan dimaknai. Proses persepsi dengan pemaknaannya itu adalah ’komunikasi intrapersonal’ (intrapersonal communication) yang mempengaruhi sikap dan perilaku—khususnya interaksi di kalangan karyawan, termasuk jajaran manajemen. Oleh karena itu dari iklim organisasi, yang telah dielaborasikan oleh Litwin dan Stringer, Redding mencetuskan konsep baru yang ia sebut sebagai ’iklim komunikasi keorganisasian’ (organizational communication climate)—kemudian terkenal dengan sebutan yang lebih
23
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
singkat sebagai iklim komunikasi (communication climate). Konsep iklim komunikasi menunjukkan bahwa persepsi-persepsi kognitif dan afektif karyawan tentang organisasi secara keseluruhan mempengaruhi perilaku formal di dalam organisasi. Pemahaman konseptual tentang iklim organisasi dan iklim komunikasi dapat menjadi lebih jelas dengan menghubungkan kedua konsep ini dengan ’budaya organisasi’ (organizational culture) sebuah konsep baru yang diperkenalkan oleh Andrew M. Pettigrew (1979) dan mendapat sambutan luas di bidang manajemen dan komunikasi sejak terbitnya buku berjudul Corporate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate Life karya Terrence E. Deal dan Allan A. Kennedy (1982).
Gambar 3. Dimensi-dimensi Iklim berdasar Kebijakan Organisasi
Sumber: de Cock et al. (1984)
Gerald M. Goldhaber et al. (1979) memahami iklim organisasi sebagai persepsi-persepsi anggota organisasi tentang (1) bagaimana mereka dapat berbuat atau berperilaku, dan (2) bagaimana secara bertanggung jawab bersikap dan bertindak terhadap orang-orang lain. Pengertian ini menunjukkan bahwa para anggota organisasi beranggapan bahwa beberapa aspek tertentu dari organisasi berpengaruh pada cara bagaimana mereka berperilaku dan menjelaskan alasan mengapa orang-orang lain berbuat seperti yang mereka alami. Dengan meninjau literatur sejaman yang ada, Goldhaber et al. menyimpulkan bahwa konsep iklim organisasi pada dasarnya mengajarkan ada enam organisasi yang mempunyai pengaruh sangat kuat pada pesepsi, dan pada
24
gilirannya persepsi tersebut berpengaruh pada perilaku. Keenam aspek organisasi tersebut adalah sebagai berikut: (1) manusia adalah penting dan perlu diperhatikan dalam organisasi; (2) arus informasi menjamin kecukupan informasi bagi segenap anggota; (3) praktek interaksi mempengaruhi motivasi karyawan; (4) praktek pembuatan keputusan interaksi antar karyawan;
terkait dengan tindakan dan
(5) teknologi dan kesediaan sumber daya terkait dengan sistem dan prosedur kerja dan kinerja karyawan; dan (6) karyawan mempunyai pengaruh dalam kehidupan organisasi.
iklim komunikasi dibahas dalam buku-buku pelajaran komunikasi keorganisasian sebagai bagian dari ’Organizational Communication Climate and Culture’ seperti yang dilakukan oleh Goldhaber dalam Organizational Communication (6th ed., 1993) atau “Organizational Communication Climate” di dalam buku Organizational Communication (3rd ed, 1994) karya R. Wayne Pace dan Don F. Faules. Namun para penulis buku komunikasi keorganisasian yang beraliran ‘interpretif’ atau ‘meaning centered’ tidak menyebut-nyebut iklim organisasi, karena secara konseptual iklim organisasi dianggap sebagai elemen dari budaya organisasi dan bukan sebuah konsep yang berdiri sendiri. Eric M. Eisenberg dan Harold L. Goodall, Jr. dalam buku Organizational Communication: Balancing Creativity and Constraint (3rd ed., 2001) maupun Pamela Shockley-Zalabak dalam Fundamentals of Organizational Communication: Knowledge, Sensitivity, Skills, Values (6th ed.,2006) tidak menyajikan pembahasan tentang iklim organisasi dalam kaitannya dengan iklim komunikasi dan ‘budaya organisasi’. Hal ini dapat difahami karena asumsi yang melandasi aliran interpretif adalah bahwa manusia pada hakekatnya adalah aktif—bukan responsif, apalagi reaktif—memaknai lingkungan dan tindakan dilakukan sebagai wujud dari pemaknaan tersebut. Dengan kata lain, manusia menciptakan lingkungannya sendiri meskipun dalam keterbatasan— termasuk menciptakan perilakunya sendiri sebagai interaksi dengan sesamanya dalam menegosiasikan peran. Nilai-nilai budaya dapat dihayati bersama melalui komunikasi dan komunikasi memelihara dan mengembangkan nilai budaya dalam praktek kerja organisasi.
25
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
Sebagai pengantar pembahasannya tentang ”Organizational Communication Climate and Culture” Goldhaber (1993: 61) menyajikan contoh perwujudan dari iklim organisasi yang ditemui oleh John Sculley (1976), saat pertama kali ia bergabung dengan perusahaan Apple Computer yang didirikan oleh Steven Jobs dan Stephen Wozniak. Menurut Goldhaber, Chuck Markulla yang digantikan oleh John Scully, telah berhasil membangun ’iklim yang mencerminkan nilai-nilai perusahaan Apple’, yang menonjolkan pentingnya manusia dengan segala sikap, perasaan, relasi, dan ketrampilannya”. Nilai-nilai Apple tersebut terkenal dengan sebutan ’corporate culture’ (budaya perusahaan) yang dirumuskan secara jelas dan disebarkan kepada segenap karyawan sebagai pegangan kerja: •
Empati pada pelanggan dan pengguna produk;
•
Kerja agresif/mengejar prestasi;
•
Sumbangan positif pada masyarakat;
•
Individu berkinerja tinggi—produktif sesuai potensi;
•
Semangat kerjasama—team spirit;
•
Kwalitas unggul;
•
Imbalan individu yang setimpal;
•
Manajemen yang sehat.
Meski menggaris bawahi pentingnya iklim sebagai cerminan nilai-nilai ’corporate culture’ sebagaimana dilaksanakan di Apple, Goldhaber tidak mengembangkan konsepsi yang khusus. Ia mengikuti pengertian iklim organisasi Model Litwin-Stringer dengan catatan bahwa ia memeras kedelapan dimensi yang diajukan oleh kedua ahli itu menjadi empat. Keempat dimensi hasil perasan itu adalah sebagai berikut: (1) Tanggung jawab (responsibility): derajat pendelegasian yang diterima oleh karyawan; (2) Standar kerja (standards): harapan tentang kwalitas kerja karyawan; (3) Ganjaran (reward): pengakuan dan ganjaran untuk kerja yang baik dan penolakan terhadap kinerja yang buruk; (4) Ramah, semangat kelompok (friendly, team spirit): bahu-membahu, saling mempercayai (trust).
Kutipan di atas jelas menunjukkan bahwa kekuatan iklim organisasi terutama terletak pada aspek ‘relasional’ dan ‘interaksi’ dengan implikasi
26
komunikasi. yang terkait dengan pelaksanaan dan pemeliharaan nilai-nilai dalam ‘budaya organisasi’(organizational culture). Oleh karena itu, Goldhaber (1993: 69) secara tegas melakukan pembedaan pengertian ’budaya’ dan ’iklim’ organisasi dengan sangat jelas sebagai berikut: Bila iklim merupakan ukuran tentang terpenuhi atau tidaknya harapan-harapan karyawan mengenai apa yang seharusnya di dalam kerjanya pada organisasi, budaya organisasi adalah menyangkut hakekat dari harapan-harapan tersebut. (Cetak tegak ditambahkan demi kejelasan, AH). ... Iklim sering bersifat jangka pendek dan dapat ditentukan oleh manajemen organisasi yang sedang berlangsung, tetapi budaya bersifat jangka panjang, mengakar dalam pada nilai-nilai, dan sering sangat sukar berubah.
Where climate is a measure of wether or not people’s expectations of what should be like to work in an organization are being met, organizational culture is concerned with the nature of those expectations. … Climate is often short term and may depend upon current management of an organization, but culture is usually long term, rooted in deeply held values, and often very hard to change.
R. Wayne Pace dan Don F. Faules, sebagaimana telah disinggung di atas tidak secara khusus membahas konsep iklim organisasi. Buku mereka yang berjudul Organizational Communication (3rd ed.,1994) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan (1998) menyajikan iklim organisasi sebagai bagian dari ‘Iklim Komunikasi Keorganisasian’ (Organizational Communication Climate). Hal ini dapat dimengerti, karena mereka menganut aliran interpretif sehingga selalu mencantumkan ‘a subjective reminder’ pada akhir bab-bab dalam buku mereka. Namun di dalam edisi sebelumnya, Pace dan Faules (1989:120-131) masih membahas iklim organisasi yang dikaitkan dengan iklim komunikasi dengan judul ‘Climate, Satisfaction, and Information Adequacy’, yang memuat pembedaan tentang kedua konsep ini sebagai berikut: iklim organisasi secara keseluruhan terdiri dari persepsi-persepsi angota organisasi tentang keenam dimensi kehidupan organisasi, yang meliputi arus informasi dan sejumlah kegiatan yang melibatkan komunikasi. ...
27
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
iklim komunikasi dalam organisasi merupakan gabungan evaluasi dan reaksi karyawan terhadap kegiatan-kegiatan tertentu yang terjadi dalam sebuah organisasi.
The overall climate of an organization consists of perceptions by organization members of six dimentions of organizational life, which includes information flow and some practices involving communication; … The climate of communication in an organization is a composite of evaluation and reactions to certain activities that take place in an organization.
Dalam penjelasanannya Pace dan Faules menyatakan bahwa iklim komunikasi melibatkan interaksi antara tiga bagian; yakni persepsi [termasuk sikap, dan harapan atau kepuasan karyawan]; ciri-ciri khas organisasi [kesediaan informasi, kondisi kerja, penyeliaan, imbalan, kemajuan, rekan sekerja, dan kebijakan organisasi]; dan kerjasama [saling mempercayai dan pengambilan risiko, dukungan dan tanggung jawab, keterbukaan dan kecermatan arus info kebawah, perhatian, tulus, dan pengertian terhadap arus info keatas, pengaruh bawahan dalam pembuatan keputusan, dan kepedulian tentang kinerja tinggi dan tantangan kerja]. Jadi ’iklim’ dimana komunikasi terjadi merupakan hasil dari persepsi anggota organisasi tentang ciri-ciri khas organisasi dalam artian bagaimana ciri-ciri khas ini menunjukkan kerjasama. Pemikiran dari kalangan ahli komunikasi keorganisasian yang masih perlu diperhatian adalah pendekatan ’strukturasi’ (structuration) yang dicetuskan oleh Marshall Scott Poole dalam ’Communication and Organizational Climates: Review, Critique, and a New Perspective’ yang dimuat dalam Organizational Communication: Traditional Themes and New Directions yang diedit oleh Robert D. McPhee dan Phillip K. Tomkins (1985). Sebelumnya bersama dengan Robert D. McPhee, Poole juga menulis artkel berjudul ‘A Structurational Analysis of Organizational Climate’ yang dimuat dalam buku berjudul Communication and Organizations: An Interpretive Approach yang diedit oleh Linda L. Putnam dan Michael E. Pacanowsky (1983). Pendekatan ‘strukturasi’ terhadap konsep iklim organisasi dimungkinkan dalam pendekatan interpretif yang menonjolkan ‘consensus’ ’coorientation’ dan ’dialoque’ dalam ’making sense’ untuk pembentukan ’shared meaning’. Dari pemikiran tersebut Poole berhasil menjelaskan posisi iklim secara lebih spesifik dan tegas. (Lihat Gambar 4).
28
Dalam praktek karyawan baru yang masuk sebagai anggota organisasi menemukan bahwa faktor-faktor struktural dan konstekstual organisasi sudah terbentuk. Faktor-faktor ini mempengaruhi kegiatan yang terjadi sehari-hari dalam organisasi. Namun pengaruh faktor-faktor tersebut tidak eksklusif, karena praktek kerja organisasi—interaksi antar segenap karyawan, termasuk manajemen—juga dipengaruhi oleh persepsi para karyawan atas faktor-faktor struktural dan kontenstual organisasi tersebut.Akhirnya praktek kerja organisasi berpengaruh pada kinerja atau hasil organisasi. Namun bila pendekatan interpretif yang memang valid untuk organisasi yang bersangkutan maka interaksi—saling mempengaruhi juga terjadi di antara komponen-komponen dalam model di atas. Oleh karena itu, hubungan-hubungan pengaruh tersebut di dalam gambar tidak dinyatakan secara satu arah (unidirectional) tetapi timbal balik (reciprocal). Kesimpulannya pendekatan interpretif ini memudahkan pemahaman tentang konsep restrukturasi.
Gambar 4. Hubungan antara Iklim, Struktur, dan Praktek Kerja Organisasi.
Sumber: Marshall Scott Poole, 1985: 92
Memasuki tahun 1990-an, konsep iklim organisasi seolah-olah tertelan ke dalam konsep ’budaya organisasi’, yang dikaitkan dengan sistem nilai dan praktek komunikasi. Sistem nilai muncul menjadi budaya melalui proses komunikasi, dan budaya organisasi terpelihara melalui kegiatan-kegiatan komunikasi. Pengertian sedemikian dapat ditemukan dalam artikel panjang berjudul ’Communication and Organizational Culture’ karya George A. Barnett yang termuat dalam buku Handbook of Organizational Communication yang diedit oleh Gerald M. Goldhaber dan George A. Barnett (1995) dan buku teks berjudul Communicating in Organizations: A Cultural Approach karya Gerald
29
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
L. Pepper (1995) dan Organizational Communication in an Age of Globalization: Issues, Reflections, Practices karya George Cheney et al. (2004). iklim organisasi yang mendapat perlakuan terpisah dari iklim komunikasi atau ’budaya organisasi’ tinggal di bidang ’komunikasi manajerial’ (managerial communication) yang condong ke pembahasan kompetensi dari pada konsep dan teori.
DISKUSI PENUTUP DAN KESIMPULAN Dari paparan di atas jelas kiranya bahwa konsep iklim organisasi pertama-tama muncul sebagai hasil penelusuran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku—khususnya perilaku produktif—semula di lingkungan sekolah kemudian dikembangkan untuk lingkungan perusahaan dan bisnis. Oleh karena itu, konsep ini penting terutama dalam bidang studi organisasi dan manajemen. iklim organisasi secara singkat dapat dikatakan sebagai wujud dari ’kebijakan organisasi dan manajemen’ terhadap karyawan tentang perilaku yang dianggap layak untuk mencapai tujuan organisasi. Singkat kata, secara sadar atau tidak ’cara-cara organisasi dan manajemen memperlakukan karyawan’ mempunyai dampak pada perilaku karyawan—ingat, perilaku pada hakekatnya adalah tindakan rasional yang dipelajari dan mempunyai alasan dan tujuan. Artinya perilaku digerakkan oleh motif. Karyawan berperilaku produktif atau kurang produktif tergantung pada cara-cara seberapa positif organisasi dan manajemen memperlakukan karyawan tersebut. Dengan demikian produktivitas karyawan tergantung pada bentuk motivasi yang diterimanya dari organisasi dan manajemen. Oleh karena itu, dalam perspektif manajemen iklim organisasi dapat dibentuk, dipelihara, diubah dan diperbaiki sebagai cara memotivasi karyawan. Meskipun karyawan sebagai anggota organisasi mempunyai kepribadian yang berbeda-beda namun secara umum mereka berperilaku berdasarkan pola yang dibentuk oleh organisasi dan manajemen, yang kemudian ditafsirkan dan dimaknai oleh para karyawan. Perilaku produktif adalah sebagai hasil dari penafsiran dan pemaknaan pribadi atas kebebasan dalam lingkungan—terutama sebagai akibat dari perlakuan organisasi dan manajemen yang ia alami. Tentang iklim organisasi, para ahli psikologi telah memberikan peringatan bahwa pada dasarnya konsep itu meliput dua unsur, yakni unsur deskripsi ’situasi yang objektif’ (global attribute) dan unsur persepsi situasi yang dapat disebut ’iklim psikologis’ (psychological climate) (James dan Jones, 1974). Maka iklim organisasi yang merupakan ’ciri khas keseluruhan organisasi’ (global attribute) perlu dibedakan dari ’iklim psikologis’. Pengukuran iklim organisasi sebagai persepsi menunjukkan bahwa konsepsi tersebut cenderung ke konsep ’iklim psikologis’ seperti jelas dalam model
30
Litwin-Stringer. Oleh karena itu, penjabaran dan pengukuran iklim organisasi mestinya bersifat ’deskriptif’—bukan evaluatif atau emotif. Situasi yang melibatkan dan terbentuk dari kegiatan bersama umumnya bersifat interaktif, sehingga dalam pengukuran perlu dimasukkan ’pertukaran’ (exchange) dan ’pengaruh’ (influence). Dengan demikian, pengertian ’tindak komunikasi’ (communicative act) yang cenderung ke arah ’koorientasi’ (coorientation) sebagaimana dijelaskan oleh Theodore M. Newcomb (1953) perlu masuk ke dalam pertimbangan. Lagi pula, dalam konsep interaksi termuat implikasi bahwa kegiatan saling mempengaruhi itu dapat menghasilkan ’konsensus’ atau ’kesamaan pengertian’ (shared meaning), sehingga konsep iklim tidak hanya merumakan akumulasi dari persepsi individu karyawan, tetapi lebih merupakan gambaran tentang ’konsensus’ yang dimanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan kelompok kerja. Oleh karena itu harapan bahwa iklim organisasi harus berwatak deskriptif—bukan evaluatif—dapat juga dipenuhi. Jadi dapat disimpulkan bahwa ’iklim’ memang merupakan ’ciri khas’ dari organisasi atau ’unit kerja’ dengan catatan bahwa ’sebagai hasil interaksi’ ’ciri khas’ itu juga cenderung dinamis—berubah dari waktu ke waktu. Akhirnya, dari paparan di atas juga dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi diakui mempunyai pengaruh terhadap perilaku para karyawan sebagai anggota organisasi. Sebagaimana dijelaskan oleh Benjamin Schneider (1975) ”iklim mempengaruhi para karyawan sehingga mereka dapat mengerti tatanan yang berlaku dalam lingkungan kerja dan memberi petunjuk kepada mereka dalam upaya penyesuaian diri ke dalam organisasi.” Maka konsep iklim organisasi dianggap mempunyai kedudukan sebagai ’jembatan’ yang menghubungkan faktor-faktor organisasi-manajemen dan perilaku karyawan dalam mewujudkan kinerja organisasi—hasil kegiatan pencapaian tujuan organisasi. (Lihat Gambar 5).
31
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
Gambar 5. Diagram Sistem dan Iklim dalam Efektivitas Organisasi ! ! ! !
! !
• ! • ! • "
Sumber: Dibuat berdasarkan James L. Gibson et al., Organizations: Structure, Processes, Behavior (1973: 328).
Gambar di atas ini menunjukkan bagaimana sistem organisasi berinteraksi dengan berbagai faktor individu dan menghasilkan iklim organisasi, yang pada gilirannya menghasilkan fenomena seperti macammacam kegiatan, interaksi, dan perasaan. Perilaku-perilaku itu menimbulkan berbagai dampak, yang secara populer dikenal dengan sebutan produktivitas, kepuasan karyawan, dan tingkat kemangkiran. Dalam gambar juga terlihat garis umpan balik yang menunjukkan bahwa berbagai dampak (output) tersebut kemudian menjadi masukan yang mempengaruhi kategori faktor kausal (causal input), iklim, maupun perilaku. Dimensi-dimensi iklim yang merupakan ’garis continuum’ dari ketergantungan—partisipatif (Higgins), defensif—suportif (Gibb), Otokratik—kolegial (Davis), birokratik—inovatif (Gibson). Berkat sumbangan kaum interpretif perdebatan konseptual tentang ’iklim’ yang ditarik dari tataran individu ke tataran organisasi dapat diredakan karena munculnya asumsi bahwa karyawan berada dalam jaringan interaksi lingkungan yang dinamis ke arah penentuan peran dan konsensus dalam rangka peneguhan nilai bersama. Pendekatan ini juga memudahkan pemahaman tentang adanya aneka iklim dalam sebuah organisasi, karena
32
intensitas komunikasi mengikuti sebuah pola yang berbeda-beda—menurut unit ataupun fungsi. Konsensus tidak hanya dicapai demi keserasian komunikasi, melainkan juga untuk mencapai kesamaan perilaku dan peneguhan nilai bersama—sistem nilai. Pendekatan ini juga memudahkan pemahaman tentang terserapnya konsep iklim organisasi ke dalam konsep budaya organisasi yang lebih besar dan menyeluruh. Pimpinan yang memainkan peran sangat besar dalam penentuan dan pemeliharaan bentuk iklim, pada dasarnya adalah tokoh yang mewujudkan sistem nilai menjadi pola perilaku di lingkungan kerja. Interaksi sebagai ’tindak komunikasi’ (communicative act) yang meningkatkan intensitas koorientasi adalah praktek sosialisasi nilai-nilai sehingga menjadi nilai bersama dan mewujudkan pola perilaku yang saling mendukung. Secara konseptual pendekatan ini mempermudah pemahaman konsep strukturasi dalam praktek kehidupan organisasi yang menampilkan iklim sebagai medan strukturasi karyawan, seperti yang dijelaskan oleh Poole. Lebih dari itu, pendekatan ini memperbaiki model teoretis efektivitas kinerja dengan memisahkan iklim dari faktor struktural dan kontekstual. Pemisahan ini memenuhi harapan para peneliti sebelumnya, khususnya James dan Jones, Campbell, dan Schneider yang menghendaki supaya iklim organisasi tidak diperlakukan sama dengan ’iklim psikologis’. Bagi para ahli komunikasi konsep iklim organisasi layak diperhatikan karena dua alasan, yang pertama karena memberikan pemahaman yang lebih baik tentang relevansi iklim komunikasi dan pemahaman budaya organisasi yang kini mendapat kedudukan makin mapan baik dalam komunikasi keorganisasian maupun dalam organisasi dan manajemen. Baik iklim komunikasi maupun budaya organisasi tidak dapat dipisahkan, karena iklim komunikasi pada dasarnya adalah proses manusiawi perwujudan budaya—baik dalam sosialisasi nilai budaya maupun dalam pemeliharaan dan peneguhan nilai budaya
33
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2006: 1-36
DAFTAR PUSTAKA Chris,
Mosmeyer, “On the Essence forum.com/churches/luxver/law1.htm.
of
Law”,
www.catholic-
Curtis, Michael (ed.). 1961. The Great Political Theories. New York: An Avon Library Books. Dennis H. Wrong. 1994. The Problem of Order. What Unites and Divides Society. New York: The Free Press. Dewan Pers. 2002. Etika, Berita Dewan Pers, No 16/September 2002. Didi Nazmi Yunas. 1992. Konsepsi Negara Hukum. Padang: Penerbit Angkasa Raya. Everette E. Dennis dan John C. Merrill. 1991. Media Debates. Issues in Mass Communication. New York: Longman. Fred P. Graham. 1972. Press Freedoms Under Pressure. New York: The Twentieth Century Fund. Fred S.Siebert, Theodore Peterson, Wilbur Schramm. 1956. Four Theories of the Press. Urbana:University of Illinois. Gerald Gross (editor). 1966. The Responsibility of the Press. New York: Simon and Schuster. Hans Kelsel. 1978. Pure Theory of Law. Los Angeles: University of California Press. H.L.A. Hart. 1986. The Concept of Law. Oxford: Clarendon Press. Kenneth Janda, Jeffrey M. Berry, Jerry Goldman. 1989. The Challenge of Democracy Boston: Houghton Mifflin Company. Kovach, Bill, Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York: The Rivers Press. Lesmana, Tjipta. “Kebebasan dan Tanggungjawab Pers Harus Berimbang”. Sinar Harapan, 8-10-2003, hal 10 “Wartawan Bukan Profesi Eksklusif”. Kompas, 23-10-2003, hal 36. “Tidak Ada Paradoks Hukum Pers. Majalah Pilars, No 11, Tahun VII, 2004. Lippmann, Walter. 1967. A Preface to Morals. New Yor: The Macmillan Company.
34
Lord Lloyd Hampstead, M.D.A. Freeman. 1985. Introduction to Jurisprudence. London: Stevens & Sons. Mortimer J. Adler. 1981. Six Great Ideas. New York: MacMillan Publishing Co, Inc. Persatuan Wartawan Indonesia. 2001. PWI 55 Tahun. Menegakkan Profesionalisme & Etika Pers di Era Multimedia. Jakarta: Panitia Pusat PWI 2001. Putusan US Court of Appeals, Third Circuit, Coughlin v Westinghouse Broadcasting and Cable,Inc. www.Coughlin v. Westinghouse.htm. Robert Paul Wolff (editor). 1971. The Rule of Law. New York: Simon and Schuster. William A. Hachten. 1998. The Troubles of Journalism. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
35
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
36
Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam Kajian Komunikasi
A. Eko Setyanto
Abstract: This article remind us to use experiment method in communication reserach. Experimental method has some characteristic especially that researcher can control reserach variables. Author explain design types in experimentasl methods and how to do experiemental method. There are classical and factorial types in experimental methods. Key words: experimental method, research design, classical design, factorial design
Topik tulisan ini sebenarnya hanya ingin mengingatkan kepada para peneliti bidang komunikasi bahwa metode eksperimen yang mempunyai sumbangan sangat besar terhadap perkembangan dan eksistensi ilmu komunikasi sudah mulai dilupakan orang, bahkan tradisi penelitian bidang komunikasi di Indonesia sangat sedikit yang mengenal, melakukan dan memperkenalkannya. Jika kembali menengok sejerah perkembangan ilmu komunikasi maka para tokoh dan pelopor ilmu komunikasi seperti Kurt Lewin, Carl Hovland, Paul Lazarsfeld dan F.E.X Dance serta tokoh-tokoh lainnya menggunakan metode eksperimen dalam kajian penelitiannya sehingga memberikan andil yang sangat besar dalam perkembangan ilmu komunikasi. Severin and Tankard (2001:42) menunjukkan bahwa Hovland and Weiss tahun 1951 melakukan penelitian dengan metode eksperimen untuk meneliti pengaruh kredibilitas komunkator terhadap penerimaan dan pemahaman isi pesan. Bahkan hingga sekarang dimana komunikasi sudah menjadi bagian dari industri komunikasi yang sangat maju, metode eksperimen tidak pernah surut sumbangannya dalam aktivitas keilmuan maupun aktivitas industri komunikasi (khususnya industri periklanan). Di Indonesia ada situasi yang kurang sinkron dalam hal ini, di satu sisi banyak yang mengatakan bahwa tradisi penelitian komunikasi di Indonesia di
37
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2065: 37 - 48
dominasi oleh riset-riset kuantitatif-positivistik (lihat tulisan-tulisan Jurnal ISKI Vol III, 1999). Akan tetapi dari banyaknya riset-riset kuantitatif-positivistik tersebut yang menggunakan metode eksperimen (salah satu metode paling positivistik) sebagai metode penelitian komunikasi dapat dikatakan amat sangat sedikit, sebagian besar penelitian menggunakan metode survey dalam penelitian komunikasi. Aneh rasanya ketika peneliti/akademisi komunikasi di Indonesia kemudian melupakan dan jarang menggunakan metode eksperimen sebagai metode penelitian, apalagi dalam pengajaran-pengajaran jenjang Strata1 bahkan jenjang S-2. Dalam pandangan penulis ada beberapa alasan kenapa peneliti komunikasi di Indonesia (dosen, mahasiswa dan akademisi komunikasi lain) jarang menggunakan metode eksperimen dalam penelitian. Pertama, secara dangkal banyak menganggap bahwa metode eksperimen adalah metode risetnya para akademisi eksakta (natural science). Kedua, akibat dari pandangan tersebut muncul pemikiran bahwa melakukan penelitian sosial (komunikasi) dengan metode eksperimen harus dan wajib menggunakan kaidah-kaidah kuantitatif secara ketat, utamanya dalam analisis data. Hal ini berarti menggunakan statistik sebagai alat analisis, dan ini yang banyak dihindari para peneliti komunikasi dan peneliti sosial pada umumnya. Ketiga, kurangnya landasan pemahaman analisis kuantitatif pada sebagaian besar peneliti komunikasi (khususnya di jenjang S-1) menjadi alasan jarangnya penelitian yang menggunakan metode eksperimen. Keempat, persoalan biaya penelitian dan kerumitan yang terarah dalam penelitian eksperimen sering dijadikan alasan keengganan melakukan penelitian dengan metode eksperimen. Padahal seperti dikemukakan oleh Severin and Tankard (2001:43) bahwa keuntungan utama dari metode eksperimen adalah adanya kendali ditangan peneliti dan ketepatan logika yang terkandung di dalamnya. Secara dikotomis perspektif metode penelitian sosial sering dikelompokkan dalam Positivistik-behavioristik dan Fenomenologis-kritis. Positivistik-behavioristik mendasarkan diri pada kepercayaan bahwa pengetahuan obyektif diperoleh melalui observasi dan pengukuran secara sistimatis dan hati-hati terhadap apa yang dikerjakan masyarakat. Perspektif ini mendasarkan diri pada trasformasi dan operasionalisasi konsep abstrak kedalam perilaku yang dapat dikuantifikasi secara tepat. Sedangkan Fenomenologiskritis mendasarkan pada keyakinan bahwa perilaku orang dipengaruhi oleh kepercayaan dan apa yang dipikirkannya, memfokuskan pada aspek internal, makna-makna psikologis mengarahkan perilaku, fenomenologis memberikan prioritas pada aspek subyektif kehidupan manusia (Frey, Boton, Freidman and Kreps, 1991: 27)
38
Setyanto, Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam Kajian Komunikasi
Selanjudnya Frey dkk menyebutkan bahwa dalam riset komunikasi mengelompokkan Behaviorisme mendasarkan pada definisi awal komunikasi yang melihat komunikasi sebagai perilaku menyampaikan informasi dari seseorang ke orang lain. Dalam hal ini Frey menyebut perspektif ’informationbased view’ yang bersifat kuantitatif, sedangkan kelompok riset fenomenologi, dimana pemahaman komunikasi sebagai proses ketika individu memberi arti atau makna terhadap stimulus dari luar maupun dari dalam, disebut perspektif ’meaning-based view’ yang bersifat kualitatif. Dari konsep tersebut dapat menjadi jelas bahwa dalam bidang komunikasi juga memiliki pengelompokan dikotomis dalam metodologi komunikasi sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya. Salah satu metode penelitian komunikasi yang memiliki perspektif kuantitaif adalah metode eksperimen.
PENGERTIAN METODE EKSPERIMEN Eksperimen menurut Kerlinger (1986: 315) adalah sebagai suatu penelitian ilmiah dimana peneliti memanipulasi dan mengontrol satu atau lebih variabel bebas dan melakukan pengamatan terhadap variabel-variabel terikat untuk menemukan variasi yang muncul bersamaan dengan manipulasi terhadap variabel bebas tersebut. Arboleda (1981: 27) mendefinisikan eksperimen sebagai suatu penelitian yang dengan sengaja peneliti melakukan manipulasi terhadap satu atau lebih variabel dengan suatu cara tertentu sehungga berpengaruh pada satu atau lebih variabel lain yang di ukur. Lebih lanjut dijelaskan, variabel yang dimanipulasi disebut variabel bebas dan variabel yang yang akan dilihat pengaruhnya disebut variabel terikat. Sementra itu Isaac dan Michael (1977: 24) menerangkan bahwa penelitian Eksperimen bertujuan untuk meneliti kemungkinan sebab akibat dengan mengenakan satu atau lebih kondisi perlakuan pada satu atau lebih kelompok eksperimen dan membandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. Pengertian yang hampir sama dengan itu diberikan oleh Rakhmat (1985: 44) bahwa metode eksperimen bertujuan untuk meneliti hubungan sebab akibat dengan memanipulasikan satu atau lebih variabel pada satu atau lebih kelompok eksperimen dan membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol yang tidak mengalami manipulasi. Sedangkan Robert Plutchik (1988: 213) mengemukakan definisi eksperimen secara lebih singkat, adalah merupakan cara mengatur kondisi suatu esperimen untuk mengidentifikasi variabelvariabel dan menentukan sebab akibat suatu kejadian.
39
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2065: 37 - 48
Dari berbagai definisi yang dikemukakan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Metode Eksperimen mengandung beberapa hal sebagai berikut: 1. Suatu penelitian yang berusaha melihat hubungan sebab akibat dari satu atau lebih variabel independen dengan satu atau lebih variabel kontrol. 2. Peneliti melakukan manipulasi terhadap satu atau lebih variabel independen. Manipulasi berarti merubah secara sistematis sifat (nilainilai) variabel bebas sesuai dengan tujuan penelitian. 3. Mengelompokkan subyek penelitian (lazim disebut responden) ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok konrol. Dalam desain klasik, kelompok eksperimen adalah kelompok subyek yang akan dikenai perlakuan (treatment). Sedangkan yang dimaksud dengan perlakuan (treatment) adalah mengenakan (exposed) variabel bebas yang sudah dimanipulasi kepada kelompok eksperimen. Sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok subyek yang tidak dikenai perlakuan. 4. Membandingkan kelompok eksperimen yang dikenai perlakuan dengan kelompok kontrol yang tidak dikenai perlakuan. 5. Pengaruh hubungan sebab akibat antara variabel independen dengan variabel dependen diperoleh dari selisih skor observasi masing-masing kelompok tersebut.
KARAKTERISTIK METODE EKSPERIMEN Terdapat beberapa karakteristik khusus dalam pelaksanaan metode penelitian eksperimen yang membedakan dengan metode penelitian lainnya. Seperti dijelaskan oleh Isaac dan Michael (1977: 24-25) sebagai berikut: 1. Menghendaki pengaturan variabel-variabel dan kondisi-kondisi eksperimen baik dengan kontrol maupun dengan manipulasi langsung dan randomisasi. 2. Secara khas menggunakan kelompok kontrol sebagai garis batas untuk dibandingkan dengan kelompok eksperimen. 3. Memusatkan perhatian pada pengontrolan varian: a. Dengan memaksimalkan varian variabel yang berkaitan dengan hipotesis penelitian. Cara untuk memaksimalkan varian variabel eksperimen ini adalah dengan menyusun desain penelitian dan membuat kondisi (kelompok) eksperimen menjadi sebeda mungkin satu dengan yang lainnya.
40
Setyanto, Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam Kajian Komunikasi
b. Dengan meminimalkan varian kesalahan, termasuk kesalahan pengukuran. Untuk mengatasi hal ini, perlu memberikan petunjuk secara jelas dan tegas kepada subyek penelitian (responden) serta menyingkirkan faktor-faktor situasi eksperimen yang tidak ada kaitannya dengan tujuan penelitian. Dalam hal ini menurut Kerlinger (1986:312) bisa dilakukan pula dengan meningkatkan keandalan (reliabilitas) alat ukur. c. Dengan mengontrol variabel pengganggu (extranous variable) atau variabel yang tidak diinginkan, yang mungkin mempengaruhi hasil erksperimen, tetapi bukan menjadi tujuan penelitian. Dalam hal ini Kerlinger (1986: 309) menjelaskan bahwa dalam hal meminimalkan varian variabel pengganggu dapat ditempuh: Pertama, jika mungkin mengiliminasi variabel tersebut (yang diduga mengganggu) sebagai variabel penelitian, dengan memilih subyek penelitian sehomogen mungkin. Kedua, dengan melakukan randomisasi atau pengacakan sempurna. Memasukkan subyek secara acak kedalam kelompok dan kondisi-kondisi, dan mengacak faktor-faktor lainnya dalam kelompok eksperimen. Ketiga, memasukkan variabel-variabel pengganggu tersebut ke dalam desain penelitian sebagai variabel bebas. Keempat, melakukan matching (penjodohan) terhadap subyek penelitian. 4. Validitas Internal merupakan suatu syarat yang tidak dapat ditolak (sine qua non) untuk rancangan ini, dan merupakan tujuan utama metode eksperimen. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah manipulasi eksperimen dalam studi ini benar-benar menimbulkan perbedaan ? 5. Validitas Eksternal yang menanyakan persoalan; seberapa jauh penemuanpenemuan penelitian ini hasilnya dapat digenerlisasikan kepada subyeksubyek atau kondisi-kondisi yang sama. (dalam hal validitas internal dan eksternal akan dibahas tersendiri) 6. Dalam desain eksperimen klasik, semua variabel penting diusahakan agar konstan kecuali variabel perlakuan yang secara sengaja dimanipulasikan atau dibiarkan bervariasi. Kemajuan dalam metodologi, misalnya dalam desain faktorial (Factorial Design) dan analisis varian telah memungkinkan peneliti untuk memanipulasikan atau membiarkan bervariasinya lebih dari satu variabel, dan sekaligus menggunakan lebih dari satu kelompok eksperimen. Hal demikian ini memungkinkan untuk secara serempak menentukan (1) pengaruh variabel bebas utama, (2) variasi yang berkaitan dengan variabel-variabel yang digunakan untuk mengklasifikasikan, (3) interaksi antar kombinasi variabel bebas dan/atau variabel yang digunakan membuat klasifikasi tertentu.
41
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2065: 37 - 48
7. Metode eksperimen adalah metode yang paling kuat, sebab metode ini memungkinkan peneliti untuk mengontrol variabel-variabel yang relevan (yang diinginkan dalam penelitian), namun cara ini juga sangat membatasi (restrictive) dan terkesan dibuat-buat (artificial). Inilah yang merupakan kelemahan utama dalam metode eksperimen, terutama jika digunakan untuk meneliti manusia dalam situasi dunia nyata. Karena sering manusia berbuat lain manakala dibatasi, dimanipulasi dan diobservasi secara sistematis.
EKSPERIMEN LABORATORIUM DAN LAPANGAN Menurut Kerlinger (1986:398) yang dimaksud dengan eksperimen laborartorium adalah suatu penelitian yang mengkaji varian-varian dari semua atau hampir semua variabel bebas yang mungkin berpengaruh, sedangkan variabel-variabel yang tidak relevan dengan masalah-masalah penelitian dibuat seminimal mungkin. Hal ini dilakukan dengan cara mengasingkan penelitian itu dalam situasi fisik yang terpisah dari rutinitas kehidupan sehari-hari dan dengan memanipulasi satu atau lebih variabel bebas dalam situasi yang dispesifikasikan, dioperasionalkan, dikendalikan dengan cermat dan teliti. Sedangkan eksperimen lapangan menurutnya adalah kajian penelitian dalam situasi nyata dengan memanipulasikan satu atau lebih variabel bebas oleh peneliti dalam kondisi apabila situasi memungkinkan Sementara itu Westley dalam Wimmer dan Dominick (1983:90) menjelaskan bahwa Eksperimen Laboratorium, peneliti membawa subyek penelitian kelaboratorium, sedanglan Eksperimen Lapangan peneliti mendatangi subyek penelitian. Lebih lanjut dikatakan, kontrol fisik yang terjadi terhadap subyek penelitian lebih kuat dalam eksperimen laboratorium dibandingkan dengan eksperimen lapangan. Keduanya dapat dibedakan oleh adanya prosedur-prosedur dan aturan-aturan untuk mengontrol kondisi subyek, sehingga subyek dapat merasakan atau tidak merasakan adanya kontrol tersebut. Jika peneliti melakukan kontrol yang ketat terhadap perilaku subyek dan subyek ditempatkan pada situasi dimana mereka merasakan adanya perbedaan yang mencolok dari kehidupan sehari-hari, situasi ini lebih tepat disebut sebagai eksperimen laboratorium (laboratory experiment). Sebaliknya jika kehidupan sosial keseharian serta lingkungan mereka (subyek) sedikit (minimal) mendapat campur tangan peneliti, situasi ini lebih tepat disebut sebagai eksperimen lapangan (field experiment). Pada kesempatan lain Kerlinger (1986:402) menegaskan bahwa eksperimen laboratorium dilaksanakan dalam situasi yang terkontrol secara
42
Setyanto, Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam Kajian Komunikasi
ketat, sedangkan eksperimen lapangan berlangsung dalam situasi alami, wajar dan terkadang longgar. Oleh karena itu nampak bahwa eksperimen lapangan mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan eksperimen laboratorium terutama dalam hal : 1. Eksperimen lapangan memiliki keuntungan dalam hal validitas eksternal. 2. Eksperimen lapangan bersifat non reaktif, karena subyek merasa tidak diteliti dan diukur perilakunya. 3. Eksperimen relatif murah dalam pelaksanaannya, membutuhkan perlengkapan dan peralatan khusus.
karena
tidak
4. Eksperimen lapangan hasilnya lebih realistis dengan situasi yang ada. 5. Eksperimen lapangan mungkin bisa menjadi alternatif pilihan dalam penelitian.
DESAIN PENELITIAN EKSPERIMEN Desain penelitian atau rancangan penelitian adalah perencanaan struktur dan strategi penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga akan mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian dan dapat mengontrol varian variabel (Kerlinger, 1986: 300) Dengan demikian melalui desain penelitian akan diperoleh dua keuntungan sekaligus. Pertama, mampu memberi jawaban (sementara) terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian dan kedua, mampu mengontrol varian variabel. Logikanya bahwa dengan desain penelitian berarti peneliti telah membuat kerangka dasar suatu penelitian dengan menunjukkan adanya relasirelasi antar variabel. Desain penelitian secara tidak langsung memberi petunjuk kepada peneliti bagaimana penelitian harus dialaksanakan, bagaimana observasi harus dilakukan dan bagaimana analisis terhadap hasil observasi harus dilaksanakan. Dalam suatu penelitian eksperimen dikenal beberapa bentuk desai eksperimen seperti dikemukakan oleh Stanley dan Campbell (1963: 8-40) sebagai berikut : 1. Pre Experimental Design: terdiri dari The One-Shot Case Study; The One Group Pretest-Posttest Design; Static Group Comparison. 2. True Experimental Design: terdiri dari Pretest-Posttest Control Group Design; Solomon Four Group Design, Posttest Only Control Group Design.
43
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2065: 37 - 48
3. Quasi Experimental Design: terdiri dari Time Sries, Equivalent Time Sample Design; The Equivalent Materials Design; The Nonequivalent Control Group Design; Couterbalanced Design, The Separate Sample Pretest-postest Design.
Desain eksperimen yang dikemukakan oleh Stanley dan Campbell tersebut ada yang menyebut sebagai Desain Klasik. Ada satu desain lagi yang lebih maju dan sekarang lebih banyak digunakan dalam penelitian yakni Desain Faktorial (Factorial Design). Desain ini memungkinkan peneliti melakukan penelitian dengan lebih dari satu variabel bebas dan melibatkan analisis secara serempak terhadap beberapa variabel penelitian tersebut, masing-masing variabel tersebut yang dimaksud dengan faktor (Wimmer dan Dominick,1983: 82). Sedangkan menurut Kerlinger Desain Faktorial adalah struktur penelitian yang dua atau lebih variabel independen disusun bersama-sama untuk mengkaji pengaruhnya secara sendiri-sendiri ataupun interaksinya terhadap variabel dependen. Agar lebih jelas memahami berbagai desain penelitian eksperimen, berikut ini akan disajikan beberapa model desain yang dimaksud. (untuk memahami lebih jauh keseluruhan model baca lihat Stanley dan Campbell (1963) dan buku Kerlinger (1986).
44
Setyanto, Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam Kajian Komunikasi
DESAIN EKSPERIMENTAL KLASIK
Berikut ini ditampilkan berbagai desain eksperimental klasik, yaitu:
!(
!(
!(
!(
!(
!( ))))))))))))
!( !( ))))))))))) !( ( ( ( ( !( *+ !( )))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))
" (( #*" ""+' ( ! $!'(!!
Desain Faktorial
!" (-%-
!
#
/
/
/
/
!" (-%.
#! "
,% &
-%
.%
/,%
/-%
/.%
/,%
/-%
/.%
45
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2065: 37 - 48
TAHAPAN EKSPERIMEN DALAM KOMUNIKASI Dilihat dari desain yang ada maka banyak sekali ragam desain yang dapat digunakan dalam penelitian eksperimen, penggunaannya sangat tergantung pada jumlah variable penelitian dan tujuan penelitian yang diinginkan (kegunaan hasil penelitian). Seperti penelitian yang dilakukan Pelsmacker dkk tentang “Media Context and Advertising Effectiveness: The Role of Context Appreciation and Context/Ad Similarity” (Journal of Advertising; vol 31, 2002: 49-61). Disini peneliti menguji dua variabel independen yakni ; jenis media dan konteks atau unsur penyajian dalam iklan. Disini peneliti mengajukan desain factorial 2 x 3, yakni: (1) Dua jenis media : Televisi dan Majalah, (2) Tiga jenis iklan yang mengandung unsur : Humorous; Warm dan Rational. Sedangkan Brad J.Bushman meneliti “Effect of Televison violence on memory for Commercial Messages” (Journal Experimental of Psychology; vol 4, 1998: 291 -301). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain eksperimen klasik yang disebut ‘Postest Only Control Group’, dimana peneliti hanya meneliti satu variabel independen yakni pengaruh tayangan film bertema kekerasan terhadap kemampuan mengingat merek produk dan pesan iklan. Berikut ini adalah tahapan-tahapan metode eksperimen dalam bidang komunikasi dengan desain faktorial 2 x 2. Tahap pertama, peneliti mengidentifikasi serta menentukan permasalahan penelitian, yang meliputi : (a) memilih media eksperimen dan pesan apa yang ingin diteliti pengaruhnya, (b) menentukan variabel penelitian, (c) merumuskan permasalahan. Sebagai contoh sebuah penelitian dengan rumusan masalah: Apakah film bingkai berwarna dengan narasi bahasa Indonesia lebih efektif dibandingkan dengan film bingkai hitam putih dengan narasi bahasa jawa dalam memberikan pemahaman tentang cara pencegahan penyakit AIDS pada siswa SMU ?. Peneliti menggunakan media eksperimen film bingkai. Variabel penelitian meliputi: variabel independen, yakni jenis warna film bingkai (yang terdiri film bingkai berwarna dan hitam putih) dan ragam bahasa yang digunakan dalam film bingkai ( terdiri dari Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia). Pesan dalam film bingkai adalah cara pencegahan penyakit AIDS. Variabel dependennya adalah tingkat pemahaman siswa tentang cara pencegahan penyakit AIDS. Dengan demikian jumlah film bingkai yang dibuat peneliti ada empat ragam film bingkai. (film bingkai berwarna dengan pesan/narasi menggunakan
46
Setyanto, Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam Kajian Komunikasi
bahasa Indonesia; film bingkai hitam putih dengan pesan/narasi menggunakan bahasa Indonesia; film bingkai berwarna dengan pesan/narasi menggunakan bahasa Jawa; film bingkai hitam putih dengan pesan/narasi bahasa Jawa). Selanjutnya peneliti dapat (1) Melakukan studi kepustakaan yang relevan dengan permasalahan penelitian. (menyusun hipotesis penelitian dan kerangka teori), (2) Mendefinisikan variabel penelitian (definisi konsepsional dan definisi operasional); (3) Menyusun instrumen/alat ukur (kuesioner) secara baik dengan melalui uji coba; (4) Uji validitas dan reliabilitas, untuk mengidentifikasi variabel-variabel pengganggu; (5) Menentukan desain penelitian, dalam hal ini desain faktorial 2 X 2; (6) Menyusun media eksperimen termasuk merancang pesan berdasarkan variabel-variabel penelitian. Dalam contoh, berarti membuat film bingkai dengan empat jenis sesuai kombinasi yang terjadi dalam desain. Setelah menyiapkan rencana penelitian, langkah berikutnya adalah melaksanakan penelitian, dimulai dengan: (1) Menyiapkan media film bingkai yang akan diteliti, instrumen, tempat, menentukan waktu treatment dan lainnya; (2) Mengelompokkan subyek secara random, menjadi empat kelompok eksperimen secara terpisah, (3) Melakukan pretest dengan instrumen pengukuran yang telah disiapkan kepada empat kelompok; (4) Memberikan perlakuan (treatment), yakni menayangkan film bingkai kepada tiap kelompok secara terpisah namun serentak dalam waktu yang bersamaan; (5) Setelah perlakuan selesai masing-masing kelompok diuji ulang (posttest) dengan instrumen yang sama ketika pretest dilakukan; (6) Melakukan koding data hasil pretest maupun hasil posttest; (7) Analisis data dengan alat analisis yang tepat. Desain faktorial biasanya menggunakan analisis varian, (8) Interpretasi dan pembahasan, kemudian menyimpulkan hasil penelitian; dan (8) Menuliskan laporan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Anderson J.A.. 1987. Communications Research, Issues and Methods. New York: Mac Graw Hill Book Company. Arboleda, Cora R. 1981. Communications Research.Manila: CFA Cammbell, Donald T.,and Julian C. Stanley. 1963. Experimental and Quasi Experimental Disigns for Research. Chicago: Ran McNally Publishing Company.
47
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI 2065: 37 - 48
Frey, Lawrence R., Carl H.Botan, Paul G.Friedman and Gary L. Kreps.1991. Investigating Communication. New Jersey: Prentice Hall. Isaac, Stephen, and Willim B.Michael. 1977. Handbook in Research and Evaluations. San Diego, California: Ediths Publisher. Jalaluddin Rakhmat. 1990. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Kerlinger, Fred. 1973. Foundations of Behavioral Research (2nd Edition) Holt, Rinehart and Winston. Plutcik, Robert. 1988. Dasar-Dasar Penelitian Eksperimen. Surabaya: Usaha Nasional. Severin, Werner J. and James W. Tankard Jr. 2001. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the Media. London: Addison Wesley Longman. Sumadi Surya Brata. 1986. University Press.
Metode Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada
Jurnal Journal Experimental of Psychology, Vol 4, 1998 Journal of Advertising, Vol 31, 2002
48
Menertawakan Kejelataan Kita2: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri
Budi Irawanto3
Abstract: Political transition in Indonesia since 1998 has created uncertain situation for most Indonesian people. Moreover, the hard economic condition has multiplied the number of people living below the poverty line. In these circumstances, the light entertainments such as situation comedy, which blends the portrait of ordinary people and their quaint life style, occupied the prime time of television programming in Indonesia. This paper discusses the popularity of the situation comedy Bajaj Bajuri (bajaj literally means “two-passenger pedicab motor with scooter machine”) in contemporary Indonesia. This series is about the daily life of Bajuri’s (bajaj’s driver) family and their lower class neighbours in the edge of metropolitan Jakarta (the capital city of Indonesia). Therefore, this paper focuses on the representation of the marginalised people and how television constructed the boundary of marginality. This paper argues that situation comedy is not only reinforcing stereotype of the lower class group but also transgressing the stereotypical image of the lower class by parodying and abusing popular discourse.
Key words: transgression, parody, marginalization, comedy film
2
Tulisan ini semula adalah makalah disampaikan dalam Seminar “Fisipol Update” dalam rangka Dies Natalis ke-50 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Ruang Seminar Fisipol UGM, 13 September 2005. Untuk keperluan pemuatan dalam jurnal ini telah dilakukan penambahan seperlunya. 3 Budi Irawanto adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta
49
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 49 - 62
Ketidakpastian ekonomi dan politik yang mengiringi proses reformasi tidak membuat sinetron komedi kehilangan pamornya. Beratnya beban hidup yang mesti ditanggung telah menjadikan banyak orang menghabiskan waktunya di depan pesawat televisi sebagai cara melepaskan kepenatan hidup serta kejenuhan dibombardir oleh berita-berita politik atau kriminalitas. Di sinilah sinetron komedi menemukan tempatnya yang dengan cerdik meramu hiburan ringan dengan potret dunia sehari-hari kaum jelata. Salah satu sinetron komedi yang popular dan menempati jam tayang utama itu adalah Bajaj Bajuri yang disiarkan oleh stasiun televisi TransTV sejak 2002 hingga sekarang. Kisah dalam Bajaj Bajuri berkisar pada kehidupan sehari-hari keluarga Bajuri, yang terdiri dari Bajuri, Oneng, Emak (mertua Bajuri), serta tetangga dekatnya yang tinggal di wilayah pemukiman padat kelas bawah di Jakarta. Popularitas sinetron komedi Bajaj Bajuri bahkan telah menggerakkan majalah berita prestisius Tempo memilih trio penulis skenario Bajaj Bajuri, Hardi, Aris Nugraha, dan Chairul Rijal, sebagai “Tokoh 2004 Pilihan Tempo” (Tempo Edisi Khusus, 27 Desember 2004). Forum Film Bandung (FFB), yang diprakarsai para pengamat, akademisi dan pecinta film di Bandung, mengganjar Bajaj Bajuri sebagai “Sinetron Komedi Terpuji 2004.” Di samping itu, pemeran pembantu dalam Bajaj Bajuri artis senior Nani Wijaya meraih penghargaan “Artis Pendukung Sinetron Terpuji.” (Kompas, 17 Apil 2005). Tak kurang sutradara film Indonesia terkemuka Garin Nugroho menyebut sinetron komedi Bajaj Bajuri sebagai “sastra rakyat hari ini” (Tempo, 24 April 2005). Yakni, sastra yang tak semata terungkap dalam tradisi lisan, melainkan dalam tradisi bertutur yang dilantunkan secara audiovisual di ruang-ruang keluarga. Tulisan ringkas ini pada dasarnya merupakan bagian dari studi saya tentang problem marginalitas yang dimediasi oleh media audiovisual.4 Selama ini problem marginaltas (dalam bentuknya yang popular isu “kemiskinan”) lebih banyak didekati lewat perspektif sosiologis dan antropologis. Dalam perspektif sosiologis, juga politis, marginalitas lebih banyak dilihat sebagai 4
Studi pertama saya tentang problem marginalitas merupakan projek penulisan tesis S-2 (Masters) dalam bidang kajian media (media studies) di Curtin University of Technology bertajuk “Negotiating Localised Identity in Betawi Television Serials” (2004). Dalam studi tersebut saya mengeksplorasi bagaimana sinetron Betawi, terutama yang diproduksi komedian Betawi Mandra Naih, yang secara cerdik mengapropriasi ikon-ikon budaya popular global untuk mengungkapkan marginalitas etnis Betawi. Saat ini saya juga tengah melakukan studi tentang marginalitas anak-anak jalanan di Yogyakarta melalui analisa tekstual terhadap film dokumenter yang mereka produksi sendiri. Dalam studi ini saya hendak melihat bagaimana anak-anak jalanan menegosiasikan identias mereka serta mengkaji dinamika ruang pinggiran (marginalised space) di perkotaan.
50
Irawanto, Menertawakan Kejelatan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam ....
akibat dari ketimpangan struktural yang lahir dari kebijakan pembangunan yang lebih menomorsatukan pertumbuhan ketimbang pemerataan. Sementara itu, dalam perspektif antroplogis yang menjadi perhatian utamanya lebih pada tumbuhnya “kultur”, atau persisnya “subkultur,” dari kondisi marginalitas ketimbang mencari sebab-musabab mengapa marginalitas itu lahir. Dalam studi ini saya hendak mengeksplorasi representasi kaum pinggiran dan bagaimana sinetron komedi menciptakan batas-batas marginalitas. Data dalam studi ini dihimpun dari rekaman program Bajaj Bajuri, skenario (TV script), surat elektronis penonton di website TransTV dan berbagai pemberitaan media massa tentang Bajaj Bajuri. Karena itu, studi ini bersandar sepenuhnya pada analisa tekstual. Argumen yang hendak dibangun oleh tulisan ini adalah Bajaj Bajuri tidak hanya memperkuat batas-batas marginalitas, tapi pada saat yang sama mentransgresi batas-batas itu dengan memparodikan dan membalik wacana yang popular tentang kaum pinggiran. Untuk mengelaborasi argumen di atas, tulisan ini akan dipilah ke dalam beberapa bagian. Bagian pertama mendeskripsikan pertumbuhan industri sinetron di Indonesia yang menjadi konteks lahirnya sinetron komedi. Bagian kedua menukik ke dalam imaji dan imajinasi yang lazimnya dibangun oleh sinetron Indonesia. Bagian ketiga secara khusus mendikusikan marginalitas dikonstruksikan dan representasi kaum pinggiran dalam sinetron komedi Bajaj Bajuri. Bagian keempat mendiskusikan proses transgresi batas-batas marginalitas melalui parody dalam Bajaj Bajuri.
SNAPSHOT PERTUMBUHAN SINETRON INDONESIA Jauh sebelum sinetron menjadi primadona acara di televisi swasta saat ini, cikal bakal sinetron lahir dari Televisi Republik Indonesia (TVRI) sejak siaran rutin pertamanya pada 24 Agustus 1962. Istilah “sinetron” (akronim dari “sinema” dan “elektronik”) konon berasal dari penulis Arswendo Atmowiloto dan pengajar film Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Soemardjono untuk menyebut film yang diproduksi secara elekronis di atas pita magnetik. Kini sinetron digunakan secara generik untuk menyebut program film televisi yang terdiri dari beragam genre (drama, legenda, misteri, remaja dan sebagainya) dan beragam format (seri, serial, sinetron lepas, telesinema). Menurut dokumentasi TVRI, sinetron pertama (saat itu masih disebut dengan TV play) yang diproduksi pada 31 Desember 1962 berjudul Sebuah Jendela ditulis oleh Alex Leo Zulkarnain (Radio Televisi dan Film dalam Era 50 Tahun Indonesia Merdeka, 1995, hal.320). Gerhana merupakan sinetron
51
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 49 - 62
yang pertama kali syuting di luar studio, disertai dengan kilas balik film, diproduksi pada 7 April 1963. Tidak ada catatan mengenai cerita kedua sinetron itu. Akan tetapi, jika kita simak tujuan TVRI, menurut pasal 4 Keputusan Presiden No.215 tahun 1963, adalah “menjadikan alat hubungan masyarakat (mass-communication media) dalam melaksanakan pembangunan mental/spiritual dan fisik bangsa dan negara Indonesia serta pembentukan manusia sosialis Indonesia pada khususnya”, maka sulit membayangkan sinetron-sinetron itu tak membawa “pesan pemerintah”apalagi mereka lahir dari rahim televisi pemerintah. Dalam masa Orde Baru sinetron produksi TVRI senantiasa membawa “pesan pembangunan” atau mengangkat apa yang dikonstruksikan sebagai “kebudayaan nasional.” Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Penerangan Budiarjo pada ulang tahun TVRI ke-10, “TVRI bekerja dengan landasan falsafah setiap informasi yang berasal dari pemerintah harus merangsang potensi yang dimiliki masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap program nasional serta kegiatan lain yang memotivasi masyarakat melalui pendidikan dan persuasi” (Direktorat Televisi, 1972, hal.17). Sinetron Keluarga Rahmat dan Rumah Masa Depan, misalnya, ikut menyebarluaskan pesan program Keluarga Berencana (KB) dan transmigrasi. Industri sinetron mengalami pertumbuhan yang pesat awal tahun 1990an sebagai respon atas maraknya stasiun televisi swasta serta mati surinya industri perfilman di Indonesia. Pada pertengahan 1992 hanya ada 12 film yang mampu diproduksi dibandingkan 118 film pada tahun sebelumnya. Untuk memenuhi kebutuhan pasokan program lokal pada stasiun televisi swasta, hampir sebagian besar perusahaan film mengubah dirinya menjadi rumah produksi (production house). PT.Parkit Film, misalnya, yang dimiliki Raam Punjabi kini berubah menjadi PT. Tripar Multivision Plus dan menjadi salah satu rumah produksi yang paling mendominasi. Perubahan perusahaan film menjadi rumah produksi, tak pelak, dikuti ramai-ramai pindahnya para pekerja film ke rumah produksi. “Realistis saja, perfilman Indonesia sedang suram. Sinetron merupakan alternatif yang terbaik, “ kata Ratno Timur, ketua Persatuan Artis Fim Indonesia (PARFI) (Tempo, 20 Juni 1992). Dalam nada yang sama, penulis skenario terkemuka Asrul Sani mengatakan, “ Pesaing film Indonesia sekarang bukan hanya film impor, tapi juga sinetron. Sinetron telah menjadi primadona hiburan di rumah-rumah” (Tempo, 20 Juni 1992). Sinetron lantas menjadi episentrum persaingan program bukan hanya antar stasiun televisi swasta, tapi juga antara TVRI dan stasiun televisi swasta. Pada 1992, misalnya, TVRI menargetkan bakal menayangkan tak kurang 322 sinetron, padahal anggaran TVRI hanya 3,2 miliar per tahun. Ini karena bagi
52
Irawanto, Menertawakan Kejelatan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam ....
pengelola TVRI, sinetron merupakan kekuatan dan keahlian TVRI (mengingat TVRI-lah yang pertama kali melahirkan sinetron) dalam menghadapi gempuran program asing ber-rating tinggi yang ditayangkan oleh sejumlah stasiun televisi swasta (Kitley, 2000:104). Untuk memberi tempat yang luas bagi penayangan sinetron, TVRI secara rutin membesut program yang bertajuk “Sepekan Sinetron” dengan variasi tematik, seperti “Sepekan Sinetron Remaja, “ “Sepekan Sinetron Anak-Anak” dan sebagainya. Sementara itu, salah satu stasiun televisi swasta, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), menurut manajer program Sam Haesy, menayangkan tujuh sinetron setiap minggunya atau 468 sinetron setahunnya (Tempo, 20 Juni 1992). Jika ditilik dari sisi rating dan muatannya, sesungguhnya industri sinetron di Indonesia amat rentan terhadap krisis ekonomi dan perubahan politik. Misalnya, terjadi penurunan produksi yang cukup tajam (40 persen) pada akhir 1998 akibat krisis moneter yang bergulir sejak 1997 yang diikuti oleh merosotnya belanja iklan. Atas dasar alasan ekonomis, stasiun televisi swasta lebih memilih menyiarkan program yang murah seperti variety shows, talk shows atau menyiarkan ulang (rerun) program lama ketimbang membeli program sinetron yang saat itu harganya Rp 93-125 juta per episodenya. Sementara itu waktu siaran yang meningkat dari 2.781 jam pada 1996 menjadi 3.719 jam pada 1998, turun menjadi 2.939 jam (61 jam per minggu) pada 1998. Begitu pula yang terjadi ada PT. Mulivision Plus mengalami penurunan produksi dari 15 judul per tahun pada 1996, 22 judul per tahun pada 1997, menjadi hanya 12 judul per tahun pada 1998. Kedatipun pemulihan ekonomi makro akibat krisis moneter berjalan lambat, perkembangan industri hiburan (sinetron) agaknya justru sebaliknya. Sebagaimana diungkapkan oleh manajer poduksi Genta Buana Pitaloka, Sindu Darma, “Pada masa krisis ini pun orang [ternyata] tetap butuh hiburan. Maka sampai saat ini pun kami tetap berproduksi, karena memang ada permintaan. Dan, itu berlangsung sampai sekarang.” (Kompas, 4 Agustus 2002). Dalam seminggu pada 2002 tak kurang 70 jam siaran diisi oleh tayangan sinetron pada jam tayang utama (pukul 19.00-21.00). Menurut survai AC Nielsen pada pertengahan Februari 2002, 10 program televisi yang memiliki rating di atas 12 didominasi oleh sinetron (Kontan, 11 Maret 2002). Dari seluruh tayangan sinetron itu rumah produksi PT. Multivision Plus mengisi 16 jam siaran atau sekitar 15 judul dalam seminggu yang ditayangkan oleh empat stasiun televisi swasta setiap hari, kecuali hari Sabtu. Sementara rumah produksi lain, PT Prima Entertainment, mengisi 14 jam siaran dalam seminggu (Kompas, 4 Agustus, 2002).
53
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 49 - 62
MIMPI DAN IMAJI DALAM SINETRON INDONESIA Sejak sebermula televisi di Indonesia sejatinya memang medium yang menyebarkan “mimpi.” Inilah yang juga dilakukan oleh TVRI pada era 1970-an ketika Indonesia mabuk oleh program pembangunan. Menurut, antropolog Patrick Guiness (1994), “Imaji (image) tentang Indonesia modern yang dipromosikan lewat televisi dan media penyiaran pemerintah serta diperkuat oleh para pejabat pemerintah adalah gaya hidup kelas menengah kota dan terdidik.’ (Guiness, 1994:285). Mimpi yang lain adalah televisi mampu menihilkan (atau “mengintegrasikan”) perbedaan masyarakat Indonesia sebagaimana misi penting peluncuran satelit Palapa dan secara jelas terukir dalam semboyan TVRI “menjalin persatuan dan kesatuan.” Bagaimanapun, peran televisi atau media penyiaran dalam membentuk rasa kebangsaan sesungguhnya bukanlah gejala khas Indonesia (lihat, misalnya Servaes, 1998; Morley, 2000). Ini agaknya sekadar menggarisbawahi diktum klasik Benedict Anderson (1991) : bangsa adalah “komunitas yang terbayang” (imagined community) yang antara lain dibentuk lewat media massa. Televisi barangkali yang memvisualkan apa yang “terbayang” itu. Tidak aneh, jika pada masa kejayaan rejim Orde Baru, pemerintah menyediakan sejumlah pesawat televisi di desa-desa Timor Timur (kini Republik Timor Leste) agar masyarakat bisa menangkap siaran televisi nasional dan cepat “terintegrasi” ke dalam bangsa Indonesia (Guiness, 1994:284). Dengan kata lain, televisi pada era Orde Baru, terutama televisi pemerintah (TVRI), terlibat dalam menciptakan dan membentuk “mimpi” sebagai keluarga besar bangsa. Studi kasus yang dilakukan oleh Philip Kitley (2000) terhadap sinetron Keluarga Rahmat mengindikasikan betapa mimpi tentang komunitas Indonesia yang ideal dikonstruksi. Menurut sutradaranya Fritz G. Schadt, Keluarga Rahmat hendak menunjukkan “warna khas” Indonesia yang berbeda dengan kebanyakan serial televisi Amerika yang menekankan nilai individualisme (Kitley, 2000:147). Dalam sinetron komunitas ideal diimajinasikan ke dalam empat wacana utama : pentingnya nilai kekeluargaan, kerukunan, hidup sederhana dan wawasan nusantara. Ketika posisi TVRI kian menyurut, televisi swasta berlomba-lomba menciptakan “mimpi” tentang penonton sebagai konsumen yang berdaulat (Kitley, 2000). Dilihat dari sisi citra yang disebarluaskan oleh televisi swasta, terutama program sinetron, sesungguhnya tidak terlampau berbeda. Maka, benarlah apa yang dinyatakan oleh David T. Hill dan Krishna Sen (2000) bahwa kemunculan televisi swasta bukan pertanda terjadinya “pergeseran paradigma” dalam sistem komunikasi di Indonesia. Ini karena tidak hanya pemilik stasiun televisi swasta itu berasal dari lingkungan dekat Soeharto, tapi
54
Irawanto, Menertawakan Kejelatan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam ....
juga dasar pendirian stasiun televisi itu “dimotivasi oleh kepentingan kekuasaan dalam meregulasi masuknya layanan dan program televisi asing yang kian popular pada pertengahan 1980-an” (Kitley, 2000:331). Ketika jumlah stasiun televisi swasta (komersial) di Indonesia terus bertambah, memang imaji yang dibangun tetap saja kehidupan kelas menengah, urban dan modern yang tinggal di Jakarta atau kota besar di Indonesia. Imaji ini sesungguhnya tak jauh berbeda dengan umumnya film Indonesia. Ini tentu saja bukan hal yang kebetulan mengingat bahwa para produser sinetron, juga para pekerja kreatifnya, sebelumnya bergelut di dunia perfilman Indonesia. Karena itu, gerutuan bahwa sinetron “hanya menjual mimpi” hanyalah pengulangan gerutuan yang pernah dialamatkan pada film Indonesia. Meski demikian, tak semua sinetron Indonesia menciptakan imaji gemerlap kelas menengah perkotaan. Kehidupan etnis Betawi yang sederhana berhadapan dengan modernitas Jakarta juga menjadi imaji yang ditawarkan oleh sinetron Indonesia bahkan sukses secara komersial. Bersinarnya sinetron Betawi tidak bisa dilepaskan dari kian popularnya program lokal dibandingkan dengan program impor. Berdasarkan analisisnya terhadap sumber program dari Top 100 Program antara 1995-1997, Tuen-Yu Lan (1999) menyatakan, “Trend penting dalam televisi Indonesia adalah kian meningkatnya popularitas program lokal dan merosotnya popularitas program asing.” Misalnya, ketika pada awal pendiriannya stasiun televisi RCTI sangat bergantung pada pasokan program terutama dari Amerika meski pemerintah menetapkan 70 persen program lokal dan 30 persen program asing (impor). Situasi ini pada tahun 2001 telah mengalamai pembalikan di mana program lokal menguasai 63,06 persen sisanya 36,94 persen terbagi ke dalam Barat (20,19 %), Cina (3,9 %), India (4,70%), Jepang (3,56%), Amerika Latin (3,08%), Arab (0,68%) Asia lainnya (0,79%). Sukses komersial Si Doel Anak Sekolahan yang disutradarai Rano Karno sesungguhnya membuka kemungkinan bagi program lokal (sinetron) mengokupasi jam-jam utama televisi. Sukses Si Doel telah menjungkirbalikkan anggapan bahwa kisah tentang kehidupan mewah kelas menengah Jakarta menjadi resep sinetron yang berhasil. Bahkan dalam Festival Sineron Indonesia (FSI) 1998 – acara tahunan yang menggantikan Festival Film Indonesia yang mati suri sejak 1993 – tiga drama Betawi (Mat Angin, Fatima, Angkot Haji Imron II) dinominasikan dalam pelbagai kategori. Sinetron Betawi terus melejit sebagai program televisi yang sukses terutama sejak Mandragade dan Tarzan Betawi yang masuk dalam Top 10 program sinetron 2001. Sementara itu, Top 10 program per 11-17 Mei 2003
55
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 49 - 62
dari AC Nielsen menempatkan posisi tiga sinetron Betawi (Kecil-Kecil Jadi Manten, Jadi Pocong 2 dan Julia Anak Gedongan) dibandingkan dengan program televisi lainnya. Bahkan, sepanjang tahun 2003, media cetak mengisyaratkan popularitas sinetron Betawi atau yang mengangkat dunia masyarakat bawah sebagaimana tampak dari beragam judul, seperti “Warna Kultur Lokal Dominasi Sinetron 2003” (Media Indonesia, 19 Januari 2003), “Betawi Kagak Ada Matinye” (Tempo, 26 Januari 2003), “Sinetron Bertema Orang Pinggiran: Kalangan Bawah Menggusur Sinetron Mewah,” Citra, 20 Mei 2003), “Jualan Kultur Betawi Televisi Panen Iklan” (Media Indonesia, 1 Juni 203). Sebagian besar sinetron Betawi yang diacu oleh judul-judul itu mempunyai bentuk dan gaya yang relatif serupa. Oleh karena itu, dalam konteks popularitas sinetron yang mengusung tema Betawi dan orang-orang pinggiran berikut gaya hidupnya ini, sinetron komedi Bajaj Bajuri musti ditempatkan.
MENCIPTAKAN BATAS MARGINALITAS DALAM BAJAJ BAJURI Sejak ditayangkan pertama kali pada 2002, episode Bajaj Bajuri terus diperpanjang hingga sekarang. Pada 2005 sinetron komedi ini bahkan ditayangkan 6 hari berturut-turut selama satu minggu. Bahkan, kini Bajaj Bajuri muncul dalam dua versi yang berbeda yakni Bajaj Bajuri Baru dan Bajaj Bajuri Edisi Salon Oneng. Meski beberapa episode yang ditayangkan hanyalah rerun (penayangan-ulang) program sebelumnya, popularitas Bajaj Bajuri agaknya belum sepenuhnya surut di mata penonton. Menurut sineas Garin Nugroho, sukses Bajaj Bajuri tidak dapat dilepaskan dari ”kemampuannya menempatkan nilai kelokalan dalam memburu rating” (Tempo, 24 April 2005). Nilai kelokalan dalam Bajaj Bajuri itu tampak dalam berbagai aspek, seperti wajah, setting tempat, situasi yang muncul, nama hingga bahasa. Meski warna lokal sangat kental dalam Bajaj Bajuri, semua itu tetap dibahasakan dalam grammar televisi global. Yang membedakan Bajaj Bajuri dengan sinetron komedi Betawi lainnya, adalah sepenuhnya bertumpu pada naskah ketimbang improvisasi para pemainnya. Kisah dalam Bajaj Bajuri berkutat di sekitar Bajuri (sebagai penarik bajaj), istrinya Oneng (yang memiliki usahan salon kampung) dan Emak (ibu Oneng). Masing-masing tokoh utama ini memiliki karakter yang beragam, khas dan unik. Bajuri yang tinggal di rumah mertua selalu sial dan sangat takut pada Emak (mertuanya), Oneng yang sedikit bego-bego pintar namun tulus, dan Emak yang mata duitan, sok tahu serta cenderung seenaknya. Karakter utama
56
Irawanto, Menertawakan Kejelatan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam ....
ini masih ditambah lagi dengan para tetangga Bajuri yang memiliki karakter berwarna seperti Ucup (penarik ojek yang memimpikan punya pacar yang cantik), Said (keturunan Arab yang pandai berbisnis), Mpok Hindun (istri supir truk yang genit), Pak Yanto (supir truk yang mata keranjang), Mpok Minah (janda beranak satu yang selalu takut salah dan menyakiti hati orang lain) , Mpok Leha (pemilik warung yang punya banyak piutang pada pelanggannya), Mila (mahasiswi pondokan yang hobi bersolek dan bergosip), Sahili (anak Mpok Minah yang tengah tumbuh menjadi ”anak baru gede”), Pak RT (yang korup dan sering memanipulasi warganya) dan belakangan muncul karakter ibu Bajuri Nyak Ipah (yang senang ikut campur urusan rumah tangga anaknya). Daya tarik dan kekuatan cerita dalam Bajaj Bajuri, harus diakui, ada dalam kemampuannya melahirkan karakter yang unik tersebut. Ini juga diakui sendiri oleh penggagas dan penulis skenario Bajaj Bajuri Aris Nugroho, “ Saya memang memerinci setiap karakter secara detail. Setiap karakter saya uraikan hingga lima halaman supaya setiap pemeran tahu betul siapa si Oneng dan siapa si Ucup tanpa kesulitan berarti. Setiap tokoh sudah baku sehinga siapa pun sutradaranya tidak akan mengubah sedikit pun karakter tokoh-tokoh Bajaj Bajuri “ (Suara Merdeka, 8 Desember 2004). Dalam kenyataannya, sutradara Bajaj Bajuri kadangkala berbeda dari satu episode ke episode, namun penonton tetap berhadapan dengan karakter yang sama dan tak berubah. Inilah yang membedakan Bajaj Bajuri dengan sinetron komedi Betawi lainnya: kisah an kelucuannya sepenuhnya bertumpu pada naskah ketimbang improvisasi para pemainnya. Sebagaimana dikatakan Aris Nugraha, “ Jadi pemain harus patuh pada scenario dan dilarang berimprovisasi. Inilah yang saya sebut 90 % pekerjaan selesai di atas meja. Sebab sebuah cerita seharusnya dibangun dari naskah, bukan imajinasi yang liar. Di sini, yang saya butuhkan adalah aktor” (Suara Merdeka, 8 Desember 2004). Tipologi karakter, atau bisa juga disebut karakter yang stereotipikal, memang formula program televisi yang mengambil format seri atau serial. Di sinilah acapkali tercipta relasi yang bersifat emosional antara penonton dengan karakter-karakter dalam seri atau serial di televisi. Penanda dari marginalitas dalam Bajaj Bajuri tampak dari setting di mana seluruh cerita itu berlangsung. Rumah yang didiami tokoh-tokoh dalam Bajaj Bajuri tampak saling berimpit dindingnya satu dengan yang lain. Salon kampung sebagai usaha (bisnis) Oneng, misalnya, berada di ruang tamu yang dipakai sebagai ruang tunggu pelanggan sekaligus untuk menerima tamu. Kesempitan ruang yang didiami keluarga Bajuri, yang merupakan representasi kalangan pinggiran itu, tercermin dalam setting adegan yang terbatas: ruang tamu dan kamar tidur. Penanda ruang marginalitas lainnya adalah warung makan dan pangkalan ojek. Warung makan merupakan usaha
57
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 49 - 62
sektor informal yang menunjukkan keuletan kalangan bawah mensiasati sempitnya bidang usaha. Warung makan juga menjadi tempat bertemunya (meeting point) kalangan masyarakat bawah memperbincangkan Sementara itu, pangkalan ojek kini menjadi tempat pertemuan warga kampung di samping pos ronda. Pekerjaan menarik ojek sendiri adalah bidang usaha yang dipilih oleh kebanyakan orang Betawi yang menjadi korban penggusuran dan terus tersisih oleh warga pendatang. Dalam Bajaj Bajuri amat gampang kita menemukan ragam pekerjaan yang digeluti oleh kaum pinggiran. Ragam pekerjaan itu antara lain : sopir bajaj (Bajuri), penarik ojek (Ucup), sopir truk (Pak Yanto), tukang sayur (Bejo), pembantu rumah tangga (Parti) dan seterusnya. Penghasilan dari sektor informal semacam itu tentu saja tak mencukupi kebutuhan sehingga utang menjadi pilihan untuk bertahan hidup. Tokoh Emak (mertua Bajuri) adalah seorang pengutang yang piawai sampai akhirnya dijauhi oleh tukang sayur. Mpok Leha yang membuka usaha warung makan harus merelakan diutang oelh para pelanggannya. Tak jarang karena kekurangan uang mereka terjebak oleh lintah darat. Dalam salah satu episode yang berjudul “Bajuri Fried Chicken” dikisahkan ketika Bajuri dililit utang lintah darat yang keturunan Arab, ia mencoba ikut lomba makan bakmi di restoran Mie Betawi Sedap meski ia kalah. Kendatipun kadangkala pecah konflik-konflik kecil di antara keluarga Bajuri dan tetangga, solidaritas di antara mereka tak pernah pupus. Dalam beberapa episode acara peringatan kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus sering menjadi saat menunjukkan solidaritas warga yang menyelenggarakan secara gotong-royong. Menariknya, muncul sindiran terhadap ulah Pak RT yang mengkorup dana yang dihimpun dari masyarakat. Begitu pula dalam salah satu episode, Pak RT menipu masyarakat yang menarik iuran warga untuk kepentingan pribadi. Ini jelas hal yang biasa kita temui dalam keseharian kita di mana korupsi telah merambah sampai di tingkat bawah. Solidaritas yang tulus kalangan bawah dengan gampang dikhianati oleh birokrat yang korup.
MELAMPAUI MARGINALITAS Tak bisa dimungkiri salah satu kunci sukses Bajaj Bajuri adalah pilihan kehidupan kaum pinggiran (jelata) sebagai sumber kelucuan yang dibangun. Sebagaimana dinyatakan oleh Aris Nugraha, “Mungkin Bajuri diterima karena kita semua dapat menertawakan kejelataan di sekitar kita sendiri” (Tempo, 2 Januari 2005). Dalam nada yang serupa Garin Nugroho menyatakan sukses Bajaj Bajuri “karena peristiwa yang lahir adalah kejeliaan menangkap
58
Irawanto, Menertawakan Kejelatan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam ....
kehidupan sehari-hari yang mampu menjadi olok-olok bagi pemirsa televisi itu sendiri” (Tempo, 24 April 2005). Dunia sehari-hari kaum pinggiran yang tinggal di Jakarta agaknya tidak bisa dilepaskan dari latar belakang penulis cerita Bajaj Bajuri yang tinggal di pnngiran Jakarta. Aris Nugraha, misalnya, tinggal di perkampungan pada di Halim, Jakarta Timur. Sementara itu, Chairul Rijal, asal Beawi asli, berdiam di kawasan Buncit, Jakarta Selatan. “Olok-olok” atau “kemampuan menertawakan” adalah sebetuk cara melampaui batas-batas identitas yang acapkali keras membatu. Inilah yang disebut dengan istilah “transgresi” yakni tindakan melampau batas-batas juga otoritas yang telah ditetapkan sebelumnya serta oposisi terhadap batas yang telah dikonstruksikan. Karena itulah, untuk mengenali nilai-nilai simbolik yang berlaku dalam masyarakat, “transgresi” bisa dijadikan petunjuk yang berharga (Braendlin & Braendlin, 1996, hal. 1) Dalam Bajaj Bajuri proses transgresi terjadi tepat di jantung narasi yang menjadikan dunia kaum bawah sebagai bahan olok-olok. Dengan menjadikan hal-hal yang tengah berlangsung dalam masyarakat sebagai bahan olok-olok sebagaimana tercermin dalam judul beberapa episode, seperti: “Demam PS (Play Station)” dan “Bajuri Fried Chicken.” Dalam episode tersebut, usaha “fried chicken” yang dilakukan Bajuri secara kakilima menuai penggusuran dan bukan lagi menu yang biasa disantap kelas menengah perkotaan. Tempat bermain playstation juga menjadi para orang tua (dewasa) menghabiskan wktu dan berbohong dengan istrinya. Hampir semua hal yang selama ini dianggap wajar dan biasa menjadi sumber olok-olok. Dalam salah satu episode perkawinan antara Ucup (Yusup bin Sanusi) dan Parti menjadi taruhan antara Said dan Tatang. Perkawinan tak lagi menjadi sesuatu yang sakral tapi dipenuhi oleh banyak tipu muslihat. Begitu pula, muslihat Parti yang mengaku “telah hamil” agar bisa dikawinkan dengan Ucup. Imaji tentang batas marginalitas dalam Bajaj Bajuri kian sulit dipertahankan ketika salah satu pemainnya Mat Solar (pemeran Bajuri) ikut dalam kampanye yang mendukung kenaikan bahan bakar minyak (BBM), sementara pemain lainnya Rieke Diah Pitaloa (pemeran Oneng) melakukan kampanye anti-kenaikan BBM. Dalam salah sebuah mailing list keikutsertaan Bajuri dalam kampanye mendukung kenaikan BBM disebut sebagai “pembodohan ala Bajuri” karena memanfaatkan popularitas sinetron itu dan watak populisnya untuk mengelabui masyarakat bawah.
59
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 49 - 62
PENUTUP Di tengah arus besar sinetron Indonesia yang mengusung imaji tenang kelas menengah perkotaan yang serba gemerlap, menyeruak sinetron yang memotret ehidupan kaum pinggiran dan gaya hidupnya. Ini membalik anggapan selama ini bahwa sinetron entang kaum pinggiran akan menarik penonton dan memperoleh rating yang bagus. Kehadiran Si Doel Anak Sekolahan merupakan pembuka jalan bagi sinetron kaum pinggiran hingga kemunculan sinetron komedi Bajaj Bajuri yang ditayangkan sejak 2002 hingga sekarang. Berbeda dengan umumnya film Indonesia atau sinetron arus utama, marginalitas (kejelataan) dalam Bajaj Bajuri tidaklah menjadi sumber dramatisasi untuk menguras air mata penonton atau membangkitkan rasa iba. Kejelataan dalam Bajaj Bajuri adalah siasat melakukan parodi terhadap marginalitas dan sekaligus melakukan sindiran terhadap wacana yang dominan. Dalam Bajaj Bajuri kita menemukan Pak RT yang korup, suami (Pak Yanto) yang selalu berselingkuh dengan dalih pergi bekerja, sosok ibu (Emak) yang materilistis dan culas. Hampir tidak ada karakter dengan sisi yang sempurna dan ideal. Di samping itu, hal-hal yang tengah berlangsung dalam masyarakat seperti play station, fried chicken, pertandingan sepak bola dijadikan bahan olok-olok sekaligus menyindir perilaku masyarakat secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict . (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso. Braendlin, Bonnie & Braendlin, Hans . (1996). Authority ad Transgression in Literature and Film. Gaenesville: Universiy Press of Florida. Guiness, Patrick. (1994). “Local Culture.” Dalam Hall Hill (Ed.). Indonesia’s New Order. Singapore: ISEAS. Kitley, Philip. (2000). Television, Nation and Culture in Indonesia. Southeast Asia Series No.104. Athens: Ohio Center for International Studies.
60
Irawanto, Menertawakan Kejelatan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam ....
Lau, Tuen-Yuan. 1999. “Deregulation and Commercialisation of the Broadcast Media: Their Implicates for Public Service Broadcasters – the case of Indonesia.” In AMIC Compilation. Public service broadcasting in Asia: Surviving in the new information age. Singapore: AMIC. Hal. 72-86. Morley, David. (2000). Home Territories: Media, Mobility and Identity. London: Routledge. Sen, Krishna & Hill, David T. (2000). Media, Culture and Politics in Indonesia. South Melbourne: Oxford University Press. Servaes, Jan. (1998). “Media and Cultural Identity.” Dalam Anura Goonasekara & P.S.N. Lee (Eds.). TV Without Borders; Asia Speaks Out. Singapore: AMIC.
Surat Kabar, Majalah Kompas, 4 Agustus 2002 Kompas, 17 Apil 2005 Kontan, 11 Maret 2002 Tempo, 20 Juni 1992 Tempo, 24 April 2005 Tempo Edisi Khusus, 27 Desember 2004
61
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
62
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye Sosial
Ike Devi Sulistyaningtyas
Abstract:Corporate social responsibility as a paradigm establish and became an importantc roles of business entities. Corporate social responsibility activities is placed and mixing between organization’s goal and social conditions. Attitude of social responsibility have purposes to build the organization’s reputation. Some ways is used to reach attitude of social responsibility, one of them was doing from the social campaigns. Campaign programs agenda is used to empower public as well as organizational member itself.
Key Words: Corporate social responsibility, organizational reputation, social campaign, public
Topik mengenai corporate social responsibility (CSR) sedang banyak dibicarakan sebagai bagian dalam perjalanan kehidupan sebuah organisasi. Tulisan ini akan diawali dengan memaparkan berbagai macam faktor yang menjadi penyebab mengapa tanggung jawab sosial menjadi begitu penting dalam lingkup organisasi, diantaranya adalah: (1) Adanya arus globalisasi, yang memberikan gambaran tentang hilangnya garis pembatas diantara berbagai wilayah di dunia sehingga menhadirkan universalitas. Dengan demikian menjadi sangat mungkin perusahaan multinasional dapat berkembang dimana saja sebagai mata rantai globalisasi.; (2) Konsumen dan investor sebagai publik primer organisasi profit membutuhkan gambaran mengenai tanggung jawab organisasi terhadap isu sosial dan lingkungannya; (3) Sebagai bagian dalam etika berorganisasi, maka dibutuhkan tanggung jawab organisasi untuk dapat mengelola organisasi dengan baik (lebih layak dikenal dengan good corporate governance); (4) Masyarakat pada beberapa negara menganggap bahwa organisasi sudah memenuhi standard etika berorganisasi, ketika organisasi tersebut peduli pada lingkungan dan masalah social; (5) Tanggung jawab sosial
63
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 63-76
setidaknya dapat mereduksi krisis yang berpotensi terjadi pada organisasi; (6) Tanggung jawab sosial dianggap dapat meningkatkan reputasi organisasi Beberapa faktor tersebut, memunculkan kesadaran pentingnya memikirkan persoalan sosial dan kemasyarakatan. Upaya ini bukan saja upaya menunjukkan kepedulian sebuah organiasasi pada persoalan sosial dan lingkungan , namun juga dapat menjadi pendukung terwujudnya pembangunan yang berkesinambungan dengan menyeimbangan aspek ekonomi dan pembangunan sosial yang didukung dengan perlindungan lingkungan hidup
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN AGENDA GLOBAL ORGANISASI Wacana tentang keberadaan sebuah organisasi pada masa kini (dalam tulisan ini khususnya bagi organisasi profit) dirasakan menjadi kian kompleks. Kondisi ini pula yang memacu organisasi untuk bertindak dan berperilaku untuk kepentingan yang lebih luas, dengan melihat segala sesuatunya sebagai satu kesatuan yang holistik, sehingga setiap peristiwa yang dialami oleh sebuah organisasi tidak hanya disebabkan oleh sekelumit atau sebahagian hal saja, namun tiap bagian tersebut akan saling berpengaruh dan mempengaruhi. Berangkat dari kompleksitas tersebut, maka pertaruhan nama baik sebuah organisasi atau lebih dikenal dengan istilah reputasi, tidak hanya pada sisi kekuatan finansial dan manajerial saja. Dalam perkembangannya, perhatian khalayak sudah mulai menyentuh pada aspek sumbangan dan laporan organisasi terhadap perilaku tanggung jawab sosialnya (corporate social responsibility). Dalam agenda global organisasi, aktivitas tanggung jawab sosial dapat diartikan secara luas, yaitu sebagai tata kelola (good governance) yang baik dengan melaksanakan operasi organisasi yang jujur, transparan dan adil. Tanggung jawab sosial yang diberikan oleh organisasi tidak lagi berpijak pada paradigma tanggung jawab kepada investor saja, melainkan kepada publik yang lebih luas lagi. Sebagai sebuah konsep pengertian tanggung jawab sosial, dapat dimaknai sebagai komitmen organisasi untuk berperilaku etik dan memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi, kualitas hidup yang dihadapi di lingkungan pekerjaan, keluarga, sebagaimana yang ada pada komunitas dan masyarakat sosial yang lebih besar. Untuk memahami skema besar perkembangan perhatian organisasi terhadap perilaku tanggung jawab sosial, maka dapat dilihat pada bagan dibawah ini :
64
Sulistyaningtyas, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye ...
• • • •
Gambar 1 : Bagan Piraminda Tanggungjawab Sosial
Penjelasan dari bagan di atas adalah sebagai berikut: (1) Tanggung jawab sosial filantropy merupakan upaya sebuah organisasi untuk dapat menjadi bagian warga organisasi yang baik (good corporate citizen), sehingga organisasi memiliki kontribusi untuk memperbaiki kualitas hidup dilingkungan komunitasnya. Ide filantropi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa segala permasalahan yang terjadi baik dari segi sosial, lingkungan dan kemasyarakatan bukan hanya menjadi tanggung jawab negara. Ketika sebuah organisme hidup dalam sebuah kehidupan, maka perlu juga untuk memikirkan permasalahan disekelilingnya; (2) Tanggung jawab etik menunjukkan perilaku yang benar dan adil sesuai dengan norma yang harus diemban oleh sebuah organisasi yang peduli terhadap lingkungannya. Etika menjadi pedoman yang normatif terhadap sebuah kebebasan yang dimiliki oleh organiasme tertentu; (3) Tanggung jawab legal meniscayakan bahwa hukum merupakan kodifikasi terhadap baik atau buruknya aturan main sebuah organisasi. Dengan adanya pelegalan maka menjadi jelas imbalan (reward) ataupun ganjarannya (punishment); (4) Tanggung jawab ekonomi menempatkan sebuah organisasi bisnis pada rel pencari keuntungan, untuk kemudian keuntungan itu diberdayakan bagi kepentingan masyarakat melalui berbagai bantuan pendanaan.
DISAIN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY Tidak ada satu ukuran yang sahih untuk menyatakan aktivitas tanggung jawab sosial yang benar. Sebab realitas yang terjadi adalah bahwa setiap
65
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 63-76
organisasi memiliki karakteristik dan keunikan yang khas dimana didalamnya tentu tertuang aspek tanggung jawab sosial menurut pemahamannya sendiri. CSR dalam sebuah aktivitas menjadi sebuah rangkaian yang sistematik yang diturunkan dari visi dan misi organiasasi, sensitivitas budaya organiasasi, lingkungan dan perasionalisasi organiasasi. Dimana kesemuanya itu dalam kerangka menciptakan harmonisasi antara aspek manajerial dan publik yang terlibat dengan organisasi tersebut. Aspek yang mendasari terwujudnya aktivitas CSR adalah inti dari organisasi yaitu pembuat kebijakan, strategi, proses manajemen dan aktivitas yang komprehensif. Kerangka dari implementasi CSR idealnya diejawantahkan dalam sebuah perencanaan yang strategis dan dipahami oleh berbagai pihak di organisasi (familiar), kemudian dipetakan dalam berbagai program, pada akhirnya dilaksanakan dengan strategi komunikasi yang tepat agar sesuai dengan tujuan program CSR tersebut. Pada sisi yang lain, diharapkan agar tidak pernah melewatkan tahap monitoring dan evaluasi. Sebab pada tahap inilah organisasi dapat melihat sejauh mana efektivitas program CSR. Disain yang ideal bagi terwujudnya program CSR pada organisasi profit adalah integrasi antara organisasi dengan pihak pengambil kebijakan pada masalah ekonomi, sosial dan lingkungan, sebab ketiga hal ini yang biasanya saling terkait dalam sebuah wacana tata kelola organisasi. Sedangkan dalam organisasi sendiri dari jajaran top manajemen hingga petugas ofisial di garda depan menjadi satu kesatuan mata rantai yang tidak terpisahkan. Sebuah organisasi dapat memaksimalkan keuntungan baik bagi organisasi itu sendiri ataupun bagi publiknya, dengan berbagai kegiatan yang memungkinkan untuk dilaksanankan. Investor, karyawan, pemerintah, komunitas dan berbagai publik lain yang menjadi bagian penting organisasi membutuhkan keterbukaan dan transparansi dari organisasi. Disamping itu perlu juga diperhatikan standarisasi tata kelola organiasi yang harus berasaskan pada etika dan norma yang berlaku tidak hanya dalam organiasasi tersebut, namun juga yang berlaku di lingkungan. Dalam kaitanya dengan kegiatan organisasi, maka berbagai aspek yang telah disebutkan setidaknya dapat diimplementasikan dalam program CSR. Kepekaan terhadap program CSR ini harus dimiliki oleh pembuat kebijakan dalam organisasi untuk menunjukkan kepedulian terhadap masalah sosial sehingga efek dari kegiatan tersebut menjadi performa organisasi dan membuat interaksi organisasi dengan publiknya menjadi lebih luwes.
66
Sulistyaningtyas, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye ...
KAMPANYE SOSIAL: SEBUAH UPAYA PENGEJAWANTAHAN AKTIVITAS CSR Pada saat organisasi menyadari bahwa dinamika organisasi akan terus mengalami perubahan dari masa kemasa dan generasi ke generasi, pada saat itulah pemahaman tentang keberlanjutan organisasi (life long corporation) menjadi sarat makna. Sebuah organisasi ketika disentuh dalam perspektif sosial, dapat mengkombinasikan pandangan tradisional dan manajemen serta teknologi paling modern sekalipun. Apapun pandangan yang disertakan dalam evolusi organisasi, kesemuanya mengarah pada tujuan yang sama yaitu keberhasilan organisasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial juga merupakan bagian dari dinamika perubahan lingkungan. Para pekerja yang berkecimpung untuk menangani tanggung jawab sosial pada sebuah organiasasi juga ditantang untuk selalu peka terhadap isu-isu sosial dan beradaptasi dengan lingkungan namun tanpa mengorbankan prinsip organisasi. Implikasinya adalah bahwa pekerjaan organisasi tidak hanya pada menyeleksi inisiatif yang berhubungan dengan isu-isu sosial saja, namun juga mengembangkan dan mengimplementasikan rencana program dan mengevaluasi pelaksanaannya. Berkaitan dengan isu sosial tersebut, jika kita mau sedikit berpaling pada kondisi sosial yang mengitari kita saat ini, maka betapa tampak berbagai isu, seperti isu teroris yang mengemuka diseluruh dunia, belum lagi bencana alam terjadi disetiap negara dan wabah flu burung yang diindikasikan dapat menular antar manusia. Menjadi tidak mustahil ketika berada dibawah situasi yang terus menerus berubah, tidak ada pilihan lain kecuali menciptakan strategi adaptif yang mampu membuat organisasi tetap relevan dan kompetitif. Bahkan bisa jadi kondisi perubahan sosial dan pergeseran paradigma justru menjadi penggerak perubahan itu sendiri. Pada organisasi bisnis, pergeseran dari era ekonomi industri menuju era informasi merubah orientasi persaingan pada percepatan dalam meluncurkan inovasi-inovasinya yang berpangkal dari peredaran informasi. Semakin cepat bergerak maka semakin banyak pula organisasi yang bergerak di sektor bisnis menangkap peluang masa depan. Agar berhasil, organisasi bisnis belajar melalui kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Namun dibalik itu semua, masyarakat yang berada pada masa kini terdiri dari berbagai pengaruh yang kuat, dan kelompok yang berbeda-beda ini dimotivasi oleh kepentingan pribadi.
67
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 63-76
Sementara itu kelompok masyarakat di Indonesia merupakan kelompok masyarakat yang pluralistik. Dalam masyarakat tersebut terdapat banyak pusat kekuasaan dengan tingkat kebebasan tertentu, dan organisasi memiliki suatu tanggung jawab untuk mencapai hubungan kemasyarakatan yang dapat diterima. Dalam organisasi bisnis hubungan antara produsen dan konsumen lebih luas dari hanya sekedar hubungan bisnis. Hubungan bisnis berkembang dan berubah menjadi hubungan kepercayaan. Kepercayaan adalah puncak yang ingin dicapai dalam hubungan antara produsen dan konsumen. Dalam rangka merespon perubahan dan menciptakan hubungan kepercayaan, maka upaya yang kini dilaksanakan oleh organisasi (khususnya organisasi bisnis) adalah merancang dan mengembangkan serangkaian program yang mengarah pada bentuk tanggung jawab sosial. Program ini menjadi parameter kepedulian organisasi dengan mengembangkan sayap sosial kepada publik. Kepedulian dan pengembangan sayap ini bukan dalam kerangka membagi-bagi “harta” sehingga dapat menyenangkan banyak pihak, tetapi lebih pada bagaimana memberdayakan masyarakat, agar bersama-sama dengan organisasi dapat peduli terhadap ranah sosial. Praktek tanggung jawab sosial organisasi yang terintegrasi dengan manajemen organisasi dan publiknya, tidak cukup hanya dengan melakukan kegiatan filantropis, melainkan melangkah lebih maju dengan penyadaran dan pengembangan publik untuk terus bersentuhan dan terlibat dalam isu-isu sosial. Praktek semacam ini bisa berlangsung baik dalam sebuah organisasi, melalui aktivitas kampanye sosial. Kampanye itu sendiri diartikan sebagai keinginan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku orang lain dengan daya tarik yang komunikatif, dengan tujuan menciptakan perubahan atau perbaikan dalam masyarakat. Esensi komunikasi dalam sebuah program kampanye, dapat dijabarkan dalam berbagai alasan untuk diperhatikan (Argenti,1998:31), antara lain: (1) kita hidup dalam era komunikasi, dimana informasi berjalan begitu cepat dengan adanya teknologi; (2) masyarakat (publik) menjadi begitu skeptik dan berpendidikan; (3) informasi pada masa kini dapat dikemas menjadi lebih baik dan indah, dan (4) permasalahan pada organisasi telah demikian kompleksnya, sehingga dengan komunikasi organisasi diharapkan tiap-tiap masalah mendapatkan satu pengertian (mutual understanding).
68
Sulistyaningtyas, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye ...
PROGRAM KAMPANYE SOSIAL DAN PUBLIK ORGANISASI Praktek penyelenggaraan program kampanye sosial merupakan rangkaian dari program strategik sebuah organiasasi. Sedangkan kegiatan tanggung jawab sosial adalah bagian integral dari manajemen strategik. Program kampanye sosial diarahkan untuk membentuk dan mengajak perilaku sosial masyarakat, namun untuk merubah seseorang atau masyarakat kearah perilaku “sosial“ ternyata tidaklah mudah. Konstruksi sosial yang sudah sampai pada tahap budaya, bahkan diyakini sebagai sebagai sebuah kebenaran, bisa merupakan kekuatan atau hambatan dalam proses kampanye. Mempelajari dengan seksama seperti melakukan penjajakan pada kelompok yang akan dituju merupakan prasyarat utama. Memahami kelompok atau dalam hal ini adalah publik menjadi tidak terelakkan. Agar dapat memahami publik secara spesifik, Grunig memperkenalkan program segmentasi dalam konsep segmentasi nest, sebagaimana bagan dibawah ini.
Gambar 2 : Konsep Segmentasi Nested
(Sumber: Grunig, 1992 :133)
69
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 63-76
Dalam gambar 2, Grunig menekankan bahwa nest yang berada disekitar pusat jala sebagai segmen mikro dan yang berada di lapisan luar nest adalah segmen makro. Semakin menjauh dari pusat nest, maka semakin bersifat umum dan kurang berpengaruh. Bagi Grunig segmentasi yang terbaik dilakukan pad lapisan kedua sebelah dalam yaitu publik. Robinson (dalam Goldhaber, 1990:89) mendefinisikan publik sebagai sekelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama. Sementara pesan publik adalah yang ditujukan untuk mencapai banyak orang atau yang berpotensi mencapai banyak orang. Organisasi dijelaskan sebagai sebuah sistem terbuka yang membutuhkan energi sebagai input, mengubahnya menjadi output dan menyalurkannya kembali kepada lingkungannya. Model sistem terbuka menuntut adanya interaksi antara organisasi dan lingkungannya. Tushman dan Scanlan menyebut orang-orang yang membawa informasi kedalam sebuah organisasi dan menyebarkannya sebagai “individu-individu yang melebarkan batas”. Mereka menyatakan bahwa pelebaran batas terjadi dalam sebuah proses dua langkah oleh individu-individu yang mampu untuk mengumpulkan informasi dari area eksternal dan menyebarkan informasi tersebut kepada rekan-rekannya. Individu-individu utama ini dipandang sebagai individu yang paling kompeten dalam unitnya, dan mereka memiliki karakteristik spesial untuk memfasilitasi komunikasi dengan area eksternal tertentu. Kehidupan sebuah organisasi selalu dipengaruhi oleh lingkungan, dengan demikian organisasi tersebut sudah semestinya dapat beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa organisasi merupakan suatu sub dari sistem yang besar, namun dapat juga diterjemahkan bahwa organisasi merupakan sistem yang memiliki sub sistem didalamnya. Dengan menempatkan organisasi sebagai sebuah sub sistem, maka menjadi perlu untuk melihat lingkungan internal dan eksternal dari suatu organisasi yang menjadi faktor utama dan mempengaruhi efektifitas organisasi, dengan demikian organisasi punya konsekuensi terhadap lingkungan atau publik, sebaliknya lingkungan dan publik yang punya konsekuensi terhadap suatu organisasi, seperti yang diungkapkan oleh Grunig, J.E & Hunt, T. (1992: 59). Grunig dan Hunt membagi publik ke dalam tipe-tipe publik: (1) Latent Public, yaitu kelompok orang yang menghadapi suatu masalah yang diciptakan oleh konsekuensi organisasi, tetapi mereka tidak mengetahui adanya masalah tersebut; (2) Aware public, yaitu sekelompok orang yang menghadapi masalah yang sama dan mereka menyadari adanya masalah tersebut; (3) Active public, kelompok orang atau anggota komunitas yang mengorganisir diri untuk mendiskusikan dan melakukan sesuatu dengan masalah tersebut.
70
Sulistyaningtyas, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye ...
Efek dari publik aktif akan lebih terasa dari pada publik yang pasif, karena mereka dapat menunjukkan perilakunya secara langsung terhadap konsekuensi atas tindakan organisasi. Mereka mungkin dapat memboikot produk, mendukung aturan pemerintah dan menentang tarif yang diberikan. Publik aktif lainnya dapat pula mendukung misi organisasi dengan membeli produk, mendukung kebijakan pemerintah, memberi uang atau mengadopsi perilaku yang disarankan oleh organisasi. Mereka juga bergabung dengan kelompok aktivis untuk menekan organisasi atau memutuskan permasalahan. Publik yang aktif dapat dikelompokkan dalam tiga kategori berikut: (1) Publik semua masalah (all issue public) sangat aktif terhadap semua masalah yang mempengaruhi organisasi. Misalnya, publik mungkin akan menentang prinsip-prinsip organisasi dan mencoba untuk mengganggu kegiatan organisasi tersebut; (2) Publik masalah tunggal (single-issue public) sangat aktif terhadap satu masalah atau sekelompok kecil masalah, Sebenarnya secara umum mungkin mereka mendukung organisasi, tetapi tidak setuju dengan salah satu aktivitas organisasi tersebut; (3) Publik pada isu tunggal (hot issue public) adalah mereka yang telibat dalam suatu masalah yang memiliki dukungan publik luas dan biasanya mendapatkan liputan khusus dari media, dan (4) Publik yang apatis, yaitu publik yang tidak peduli dengan segala masalah dan tentunya sama sekali tidak dapaat digolongkan sebagai publik. Namun beberapa penyusun teori berargumentasi bahwa publik ini adalah kelompok yang harus diperhatikan oleh praktisi public relations—setiap orang berpotensi untuk menjadi tertarik terhadap suatu masalah. Tanggapan terhadap suatu permasalahan sangat tergantung pada kondisi yang mengelilingi individu-individu yang terlibat. Grunig memberikan beberapa penjelasan mengenai kapan dan bagaimana manusia berkomunikasi serta kapan komunikasi efektif untuk dilaksanakan. Terdapat 3 faktor utama yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (1) Mengenali masalah, pada dasarnya, manusia tidak akan berpikir tentang suatu situasi kecuali jika mereka percaya bahwa mereka perlu melakukan sesuatu terhadap situasi tersebut, atau ketika mereka menghadapi suatu masalah; (2) Mengenal adanya hambatan, terdapat suatu hal yang menghambat kemampuan mereka untuk melakukan tindakan yang mereka inginkan; (3) Tingkat Keterlibatan, seberapa jauh seseorang merasa terlibat dalam suatu situasi. Berdasarkan 3 faktor tersebut, publik dapat didefinisikan dari dua sudut pandang, yaitu: (1) Dengan mempertimbangkan secara cermat siapa yang akan terpengaruh dengan kebijakan dan kegiatan organisasi; (2) Dengan memantau lingkungan, publik yang menunjukkan minat tertentu terhadap suatu permasalahan dapat diidentifikasikan.
71
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 63-76
Pembagian publik kedalam berbagai tipe menimbulkan perspektif komunikasi yang sangat kuat dan membantu penyusunan prioritas atas tindakan komunikator.
PEMBENTUKAN PERSEPSI PUBLIK TERHADAP PROGRAM KAMPANYE SOSIAL DAN KEBERADAAN ORGANISASI Terkait dengan aspirasi publik, sebuah organisasi harus lebih dulu mengubah pandangan lama yang mengganggap publik butuh organisasi, menjadi pandangan baru bahwa organisasi membutuhkan publik. Dengan pijakan pandangan baru tersebut maka faktor aspirasi publik menjadi penting dalam wacana ini, bahkan mampu memelihara citra positif dan reputasi yang baik di mata publik. Aspirasi ini dapat dibedakan menjadi dua hal yaitu aspirasi yang dibutuhkan (need) dan yang diharapkan (want). Berbagai program yang didisain oleh organisasi termasuk program kampanye sosial, menjadi aset untuk membentuk reputasi. Kegiatan ini seperti disebutkan pada bagian sebelumnya, bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat dan berakar dari isu-isu sosial yang ada di masyarakat. Penajaman perhatian pada keberhasilan program kampanye sosial dapat ditinjau dari berbagai hal, antara lain: (1) Input , lebih melihat pada bagaimana “produk” kampanye tersbut didistribusikan; (2) Output, bagaimana “produk” tersebut dipergunakan; (3) Outcome , melibatkan pengukuran efek akhir dari komunikasi. Pengukurannya adalah kognitif (perubahan pada tingkat pemikiran atau kesadaran), afektif (perubahan dalam sikap dan opini), dan konatif (perubahan dalam perilaku). Ketika organisasi berupaya untuk mengetahui persepsi publik, maka terdapat beberapa faktor yang turut menentukan adanya persepsi, yaitu: Latar belakang budaya, Pengalaman masa lalu, Nilai-nilai yang dianut, dan Beritaberita yang berkembang. Ramuan dari keempat hal diatas, dapat disimpulkan bahwa persepsi publik terhadap program kampanye sosial yang akhirnya berimplikasi pada organisasi pembuat “produk“ kampanye tersebut, tidak didasarkan pada pesan program kampanye itu saja, namun lebih kepada proses yang melibatkan segala unsur yang dimiliki oleh objek tersebut. Untuk mengetahui bagaimana persepsi publik terhadap program kampanye sosial dari suatu organisasi, dibutuhkan beberapa perspektif riset (VasQuez, 2000 :141), yaitu: (1) Perspektif massa. Publik sebagai keseluruhan entitas dari seluruh masyarakat yang memiliki kewajiban sipil sampai
72
Sulistyaningtyas, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye ...
partisipasi pada seluruh masalah sipil. Publik dalam perspektif ini bertanggung jawab untuk mengidentifikasi perhatiannya pada masalah sipil, mencari informasi dan debat yang merupakan artikulasi penilaian terhadap kerja pemerintah. Riset yang dapat dilakukan dalam perspektif massa misalnya riset pada saat pemilu, untuk mengetahui apa yang ada dibenak publik mengenai pemilu; (2) Persektif situasional. Berangkat dari perspektif psikologi sosial melihat publik sebagai bentuk perilaku kerumunan yang spontan seperti demonstrasi, yang berada pada wilayah sosiologi dan memiliki perhatian terhadap hubungan manusia dan perubahan sosial. Jenis penelitiannya sering digunakan pada ranah periklanan dan public relations untuk mengidentifikasi dan segmentasi perilaku konsumen; (3) Perspektif Pembentukan Agenda. Berangkat dari kegagalan teori demokrasi tradisional, yang melihat publik dari pendekatan isu dan partisipasi publik. Dimana dari isu tersebut akan dihasilkan agenda tertentu. Persepsi publik terhadap suatu organisasi dimasa depan juga amat bergantung bagaimana informasi yang diperoleh mengenai organisasi, ataupun bagaimana publik menyampaikan apa yang dirasa mengenai organisasi. Dengan demikian yang perlu diperhatikan adalah bagaimana naluri organisasi ini dalam memperhatikan penilaian publiknya yang berpengaruh terhadap reputasi organisasi. Intinya adalah bagaimana relasi yang telah dibangun oleh organisasi terhadap publiknya.
AKTIVITAS CSR DAN PEMBENTUKAN REPUTASI ORGANISASI Bentuk-bentuk tanggungjawab sosial yang ideal tentunya bukan hanya muncul semata-mata untuk mencari nama baik sehingga bisa membangun reputasi, namun justru sudah muncul sejak sebuah organisasi berdiri. Sehingga turut pula tertuang dalam visi, misi dan tujuan organisasi. Sehingga seperti sudah diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa pada akhirnya aktivitas tanggung jawab sosial adalah bagian integral dari manajemen stratejik. Dengan turut ambil bagian dalam isu sosial, maka organisasi menunjukkan cerminan dari realitas organisasi yang peduli terhadap fenomena sosial. Sebuah organisasi dalam menjalankan aktivitas tanggungjawab sosial, sudah pasti akan melibatkan publiknya. Dengan demikian harmonisasi dari sebuah hubungan yang dibina oleh organisasi memperoleh wujud nyata yang akan memberikan manfaat bukan hanya bagi nama baik organiasi namun juga kepada masyarakat secara luas.
73
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1, JUNI 2006: 63-76
Keberhasilan organisasi dalam menjalankan tanggung jawab sosial akan memberikan efek “domino” bagi organisasi lain, artinya ada pengaruh yang positif yang akan dipetik oleh organisasi lain untuk melakukan hal yang sama. Komitmen untuk melakukan tanggung jawab sosial bukan semata-mata untuk investasi sebuah organisasi, namun sudah merasuk pada nafas kehidupan dan keberlanjutan organisasi. Untuk itu setidaknya terwujud setiap keputusan penting dan operasi organisasi, sehingga menjadi bagian dari setiap jenjang dalam organisasi. Pada akhirnya wacana tanggung jawab sosial akan menjadi pemikat bagi semua pihak untuk mewujudkanya secara konkrit dalam tindak nyata.
DAFTAR PUSTAKA Argenti, Paul A. (1998). Corporate Communication. Boston : Irwin McGraw Hill Co. Goldhaber, Gerald M. (1990) Organizational Commmunication 5th ed. Dubuge, IA : Wm C Brown Publisher Gregory, Anne. (2002) Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public Relations. Jakarta : Erlangga Grunig, J.E. and Hunt, T. (1992) Exelence Public Relations & Communication Management. Hillsdale, NJ : Lawrence Erlbaum Associate Inc. VasQuez, Gabriel M. (2000). Research Perspective on “ the Public”. Chapter 10 dalam Heat, Robert L. (2000). Handbook of Public Relations, Thousand Oak. California : Sage Publications Inc. Leitch, Shirley; David Neilson. (2000) Bringing Public Into Public Relations, New Theoritical Frameworks for Practice. Chapter 9 dalam Heat, Robert L. (2000). Handbook of Public Relations, Thousand Oak. California : Sage Publications Inc.
74
Sulistyaningtyas, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye ...
Tesis Sulistyaningtyas, Ike. D (2005). Reputasi Organisasi Yang Dibentuk Oleh Media Cetak. Jakarta : Tesis pada Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
75
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
76
Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif Hongkong dan Indonesia
Tjipta Lesmana5
Abstract: Hong Kong is widely acknowledged as one of the busiest financial and economic center in the world. Hundreds of world-class companies establish their representative offices in this former British colony. For the effectiveness of their operations, the companies, using newspaper advertisement, actively recruits intelligent and smart employees. Current research was designed to investigate how companies appreciate interpersonal communication skills when hiring new employees announced in the advertisements. Content of weekend edition of South China Morning Post, called “Classified Post” (about 100 pages), was scrutinized. To gain a little insight of the same phenomenon in Indonesia some editions of “Klasika” section of daily Kompas was analyzed. It was found that awareness of interpersonal communication skill, in general, was fairly high in the case of Hong Kong (38.2%), but only 9.83% for Indonesia. The top two professions in Hong Kong requiring this skill was public relations official (38.1%) and sale persons (32%). In the case of Indonesia, it was secretary and finance officials.
Key words: interpersonal communication skill, ranking,
Baik Julia Wood (2004) maupun Brent D. Ruben (1992) sama-sama mengemukakan bahwa kita mempelajari ilmu komunikasi karena ada 3 (tiga) values yang bisa dipetik sekaligus. Ketiga nilai atau manfaat itu adalah (a) academic value, (b) professional value, dan (c) personal value. 5
Tjipta Lesmana adalah staf pengajar program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP-Universitas Pelita Harapan, Jakarta
77
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
Academic value mengandung arti bahwa ilmu komunikasi dipakai oleh banyak ilmu lain–khususnya ilmu-ilmu sosial – dalam pengembangannya. Lagi pula diakui bahwa komunikasi sebagai suatu disiplin ilmu sebenarnya termasuk yang tertua. Aristotle (384-322 SM) sudah mengajarkan retorika di sekolah yang didirikannya, Lyceum, pada tahun 335 SM. Retorika kemudian diakui sebagai cikal-bakal ilmu komunikasi. Tullius Cicero, salah satu pembantu dekat Julius Ceasar (100–44 SM) juga sudah menerapkan prinsip-prinsip propaganda untuk menetralisir lawan-lawan Kaisar (Grant, 1975). Komunikasi, menurut Ruben (1992), “functioning as the glue in the development of every social science discipline”. Dengan mempelajari ilmu komunikasi, masih menurut Ruben, kita memperoleh kesempatan “to study a single discipline that combines the liberal arts and professional tradition.” Kemahiran atau keterampilan berkomunikasi akan sangat menunjang pelaksanaaan profesi seseorang. Apakah Anda seorang dokter, insinyur, eksekutif bank, manajer operasi dari sebuah manufaktur, apalagi seorang dosen, jurnalis atau pelaksana hubungan masyarakat, kemahiran berkomunikasi, khususnya komunikasi antar-pribadi (interpersonal communication) tampaknya berguna sekali. Itulah yang dimaksud dengan professional value ilmu komunikasi. Suatu penelitian mengungkapkan bahwa seorang dokter yang “mau” diajak berkomunikasi atau selalu siap menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien tentang penyakit yang dideritanya, kerapkali, mempunyai pasien yang lebih banyak daripada dokter yang enggan berkomunikasi, apalagi dokter yang tidak senang jika pasien terlalu banyak bertanya (Moffic, 1997). Semakin ketat persaingan dalam dunia bisnis, professional value dari ilmu komunikasi tampaknya, semakin tinggi pula. Human approach dalam berbisnis atau menjalin relasi bisnis dirasakan lebih efektif daripada technological atau mechanical approach. Mungkin karena fakta inilah jurusan ilmu komunikasi selalu mempunyai peminat yang besar dari calon mahasiswa. Di Indonesia pun semakin banyak universitas yang menawarkan program komunikasi, entah sebagai satu fakultas atau satu jurusan. Bukan itu saja, jumlah universitas yang membuka program S2 ilmu komunikasi pun akhir-akhir ini memperlihatkan kecenderungan meningkat. Tidak sedikit eksekutif yang pendidikan strata satunya bukan Ilmu Komunikasi kemudian melanjutkan studinya di bidang komunikasi untuk strata dua (Magister). Pertanyaan yang menarik untuk dikaji adalah: Apakah semua profesi menuntut kemahiran berkomunikasi? Apakah antara satu dan lain profesi terdapat gradasi perbedaan kemahiran berkomunikasi? Tulisan ini merujuk pada penelitian yang mengambil obyek penelitian koran yang diterbitkan di Hongkong dan di Indonesia. Hongkong adalah salah
78
Lesmana, Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif ....
satu eks koloni Inggris. Sejak pertengahan 1997 wilayah ini dikembalikan kepada pemerintah RRC, namun Hongkong tetap diizinkan melaksanakan sistem pemerintahan yang sudah berlangsung selama satu abad. Sebagai eks koloni Inggris, selama puluhan tahun Hongkong menjadi salah satu pusat perdagangan dunia, khususnya di Asia. Hampir semua perusahaan raksasa kelas dunia mempunyai perwakilan di sana. Hongkong juga menjadi kantor pusat ratusan perusahaan multi-nasional yang beraktivitas di kawasan Asia. Hongkong menjadi salah satu kawasan terpadat di dunia dengan tingkat kegiatan bisnis yang sangat tinggi. Sebagian besar perusahaan raksasa kelas dunia mempunyai kantor perwakilan di eks koloni Inggris ini. Aktivitas bisnis yang demikian tinggi dengan sendirinya membutuhkan human resources yang banyak dan berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari iklan lowongan kerja yang setiap hari membanjiri koran-koran terbitan Hongkong, khususnya South China Morning Post (SCMP), harian dengan tiras terbesar di Hongkong. Bahkan setiap akhir pekan SCMP menerbitkan edisi khusus berisikan iklan semata setebal kurang-lebih 100 halaman yang diberikan nama ”Classified Post”. Edisi khusus itu, 90% berisi iklan lowongan kerja. Tampaknya, sebagian besar lini bisnis yang ada di Hongkong beramai-ramai mencari calon pegawai yang dibutuhkannya melalui koran tersebut. Menarik untuk diamati bahwa dari ratusan lowongan kerja yang ditawarkan SCMP edisi khusus, tidak sedikit yang mensyaratkan kemahiran berkomunikasi antarpribadi bagi calon yang berminat. Istilah yang dipakai di dalam iklan memang beragam, seperti “Good interpersonal skills”, “Good interpersonal and communication skills”, “Excellent communication and interpersonal skills”, “Strong communicator”, “Motivational and interpersonal skills”, atau “Good negotiation and presentation skills”. Melalui penelitian ini, peneliti bermaksud melihat kaitan antara tuntutan kemahiran berkomunikasi, khususnya komunikasi antarpribadi, dengan profesi. Profesi yang dimaksud adalah profesi yang diiklankan oleh perusahaanperusahaan di SCMP; sedang kemahiran berkomunikasi diketahui berdasarkan persyaratan yang dicantumkan secara eksplisit di dalam iklan. Tulisan ini juga dilengkapi deskripsi dari penelitian serupa pada harian Kompas, khususnya iklan-iklan yang dimuat dalam lembaran “Klasika” (terjemahan dari istilah “classified”) yang sebagian isinya memuat lowongan kerja. Tulisan ini akan menjelaskan tentang (1) bagaimana peringkat profesi di Hongkong yang mensyaratkan kemahiran berkomunikasi antarpribadi? (2) bagaimana pula peringkat profesi di Indonesia yang mensyaratkan kemahiran berkomunikasi antarpribadi? Tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat (1) Untuk memperkuat indikasi bahwa komunikasi antarpribadi semakin lama
79
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
semakin penting perannya, khususnya dalam pelaksanaan profesi seseorang; (2) Studi banding antara Hongkong dan Indonesia diharapkan dapat memotivasi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi UPH untuk lebih tekun dalam studi; setidaknya mereka menyadari bahwa di negara yang sudah maju, tuntutasn penguasaan ilmu komunikasi semakin besar. Bukan tidak mustahil, tuntutan tersebut juga mulai menjadi kecenderungan di Indonesia, dan (3) secara akademis, untuk lebih memahami teori naratif Walter Fisher.
a. Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi (KAP) merupakan salah satu konteks atau tataran komunikasi. Menurut West (2004:28-31), ada 6 tataran komunikasi, yaitu komunikasi intrapribadi, antarpribadi, komunikasi kelompok, organisasi, komunikasi publik, dan komunikasi massa. Para ahli komunikasi, tampaknya, tidak mempunyai pandangan yang seragam tentang apa itu komunikasi antarpribadi. Maka, lahir pula macammacam definisi. Namun, aneka ragam pandangan itu dapat “diperas” menjadi 2 (dua) kelompok, yakni antara mereka yang menganut contextual view dan mereka yang melihat komunikasi antarpribadi dari sudut developmental view. Menurut pandangan kontekstual (West & Turner, 2000:26): Interpersonal communication differs from other forms of communication in that there are few participants involved, the interactants are in close physical proximity to each other, there are many sensory channels used, and feedback is immediate. It doesn’t take into account the relationship between the interactants”.
Salah satu definisi KAP menurut pandangan ini adalah: “Interpersonal communication refers to face-to-face communication between people” (West & Turner, 200:26). Yang lebih unik lagi adalah definisi yang berikut: “Interpersonal communication refers to communication with another person. This kind of communication is subdivided into dyadic communication, public communication, and small-group communication”. Dengan demikian, komunikasi dua orang (dyadic communication), komunikasi kelompok kecil dan komunikasi public, semua, dikategorikan KAP. Onong Uchyana Effendi, mungkin, seorang ahli komunikasi penganut pandangan kontekstual. Sebab menurut Effendi (1993:57), komunikasi pribadi terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu (a) komunikasi intrapribadi, dan (b) komunikasi
80
Lesmana, Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif ....
antarpribadi. Selanjutnya, Effendi (1993:57) mengutip definisi Devito bahwa, “Komunikasi antarpribadi dapat berlangsung antara dua orang yang memang sudah berdua-duan seperti suami-isteri yang sedang bercakap-cakap atau antara dua orang dalam satu pertemuan, misalnya antara penyaji makalah dengan salah seorang peserta suatu seminar”. DeVito seperti dikutip oleh Onong (1993:57) dengan tegas mengemukakan bahwa “Interpersonal communication is the process of sending and receiving messages between two persons, or among a small group of persons with some effect and some immediate feedback.” Namun, pendapat Devito di kemudian hari mengalami perubahan secara signifikan. Dapat dirangkumkan bahwa hakikat KAP, menurut pandangan kontekstual, adalah (a) jumlah pesertanya sedikit, (b) ada keterdekatan fisik antara para pelaku komunikasi, (c) menggunakan panca indera sebagai medianya dan (d) umpan balik bersifat langsung. KAP tidak mempermasalahkan sifat relasi dari para interaktan: apakah kedua orang itu sudah mempunyai hubungan yang dekat atau tidak. Berbeda dengan pandangan kontekstual, pandangan pengembangan (developmental) melihat KAP sebagai komunikasi antar-individu yang sudah mengenal satu sama lain untuk jangka waktu tertentu. Mereka memandang satu sama lain sebagai individu yang unik, “not as people who are simply acting out social situations”. Di atas sudah dikemukakan bahwa pandangan Devito tentang KAP kemudian berubah. Dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1995, Devito menulis “Interpersonal communication is communication that takes place between two persons who have an established relationship; the people are in some way connected” (1995:7). Dari definisi ini, bisa dikatakan bahwa Devito sesungguhnya kini menganut pandangan pengembangan. Komunikasi yang terjadi antara dua orang yang sebelumnya telah memiliki hubungan yang mapan (established). Dengan demikian, jika dua orang itu baru kenal, atau komunikasi antara dua orang yang hanya berlangsung sesekali (occasional), tidak dapat dikategorikan sebagai komunikasi antarpribadi. Sementara itu, Stewart dan Logan (1998:56) memberikan penjelasan tentang KAP sebagai berikut: We use the term “interpersonal” to label the kind of communication that happens when the people involved talk and listen in ways that maximize the presence of the personal. When communicators give and receive or talk and listen in ways that emphasize their uniqueness, unmeasurability, responsiveness, reflectiveness, and addressability, then the communication between them is interpersonal.
81
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
Ciri khusus dari KAP, menurut Stewart dan Logan adalah bahwa yang berbicara dalam komunikasi tsb. merupakan pribadi-pribadi interaktan. Hal itu berarti mereka sudah harus saling kenal, bahkan kenal secara dekat. KAP merupakan proses untuk lebih mendekatkan pribadi-pribadi itu. Sedikit berbeda, tapi masih dalam kubu “developmental view”, adalah pendapat Gerald Miller yang mengemukakan bahwa apakah komunikasi dapat dikatakan interpersonal atau non-interpersonal, sangat tergantung pada sifat data yang dipakai untuk memprediksi hasil komunikasi. Jika prediksi hasil komunikasi terutama didasarkan atas data sosiologis atau kultural, maka komunikasi dikatakan non-interpersonal. Namun, jika data psikologis yang diandalkan untuk memprediksi hasil komunikasi, komunikasi itu baru dikatakan interpersonal (Miller: 1975:20-23). Analisis hasil komunikasi dengan data psikologis menunjukkan bahwa komunikator maupun komunikan sama-sama dipandang sebagai insan yang unik dan sudah memiliki hubungan pribadi dalam tingkat tertentu. Sedang fungsi utama KAP ialah “to serve personal growth and the development of self-concept” (Giffin & Patton, 1971). Melalui proses KAP yang terus-menerus, diharapkan pertumbuhan diri dan pengembangan konsep diri seseorang dapat dicapai. Agar fungsi tadi bisa direalisir, KAP menuntut beberapa kompetensi, yaitu motivasi, pengetahuan dan keterampilan (Littlejohn, 1992). Littlejohn membedakan knowledge dengan skill. Pengetahuan merupakan “sense of how to accomplish an objective“; sedang ketrampilan (skill) adalah kemampuan seseorang untuk merealisir sasaran yang sudah direncanakan itu.
b.
Paradigma Naratif Walter Fisher
Menurut Fisher seperti dikutip oleh West (2004:345-359), manusia pada hakikatnya adalah storyteller. Dunia tempat kita hidup tidak lebih forum terjadinya rangkaian cerita (set of stories). Tiap-tiap orang harus pandai-pandai memilih dan memanfaatkan cerita-cerita yang ada di sekitarnya, kemudian berupaya menyempurnakannya atau menciptakan yang baru sesuai kebutuhan hidupnya. Perspektif naratif, sebetulnya, mempunyai banyak persamaan dengan teori retorika Aristotle yang terkenal dengan tema “ethos, pathos dan logos” dalam berkomunikasi. Sama dengan Aristotle, Fisher juga menekankan kemampuan individu untuk memikat komunikan dalam berkomunikasi, tidak
82
Lesmana, Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif ....
terkecuali dalam komunikasi antarpribadi. Elemen “pathos” – kemampuan komunikator membangkitkan emosi komunikan – sesungguhnya juga menjadi satu kunci keberhasilan komunikasi antarpribadi.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode analisis isi (content analysis), menggunakan pendekatan kuantitatif. Data yang diteliti iklan-iklan yang dimuat dalam harian South China Morning Post (SCMP) terbitan Hongkong. Lebih konkret lagi, SCMP edisi khusus – yang disebut “Classified Post” -- hari Sabtu, 4 Juni 2005 yang 90% berisikan iklan. Setiap Sabtu, koran ini memang menerbitkan “Classified Post” berisi sekitar 100 halaman, terbagi atas 5 bagian (sections). Hal ini peneliti ketahui dari pembicaraan dengan penjaga kios di terminal penyeberangan Ferry di Harbor View, Hongkong. Yang diteliti hanya satu edisi, yaitu edisi 4 Juni 2005. Ketika itu, peneliti melakukan kunjungan 3 (tiga) hari di Hongkong dalam perjalanan pulang dari Republik Korea untuk memberikan ceramah di 3 (tiga) universitas negeri tersebut. Dengan demikian, unit analisis penelitian adalah teks, yakni isi iklan secara keseluruhan. Sebanyak 745 iklan lowongan kerja (berisi 814 pekerjaan yang dicari) yang dipublikasikan dalam “Classified Post” SCMP edisi 4 Juni 2005 diteliti satu per satu. Yang diteliti adalah iklan reguler, sedang iklan baris tidak. Proses koleksi data dan analisis data sebagai berikut: (1) Mencatat semua lowongan kerja (profesi) yang diiklankan; (2) Kategorisasi profesi (akuntan, staf keuangan, pemasaran, pembelian, pendidikan/guru, public relations officer, human resources manager/staff dan lain-lain) berdasarkan frekuensi munculnya iklan yang mencari calon yang memiliki profesi itu; (3) Dilihat ada tidaknya syarat kemahiran komunikasi antarpribadi untuk profesi tersebut; (4) Komputasi berapa yang mensyaratkan kemahiran komunikasi antarpribadi dan berapa yang tidak untuk tiap-tiap profesi; (5) Dibuat peringkat profesi yang terkait dengan kemahiran berkomunikasi antarpribadi, dilihat dari total iklan yang mensyaratkan kemahiran itu pada profesi yang bersangkutan. Berdasarkan frekuensi pemunculan iklan, maka kategorisasi pekerjaan dilakukan sebagai berikut: keuangan, pemasaran, penjualan, akuntansi, HRD, produksi, PR (termasuk costumer relation), pendidikan (termasuk dosen/guru), teknik (engineering), IT/komputer, administrasi, supervisi/pengawas, media/pers, sekretariat (sekretaris direksi), business development, dan lain-lain. Sebagai pembanding, penelitian juga dilakukan pada harian Kompas, khusus lembaran “Klasika“-nya. Seperti diketahui, sejak ulang tahunnya yang
83
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
ke-40 pada 28 Juni 2006, Kompas mengubah “wajah“ dan formatnya. Salah satu bentuk perubahan formatnya terletak pada penerbitan “Klasika“, bagian (section) yang khusus berisikan iklan-iklan. Di dalamnya juga dimuat rubrik “Karier“, yakni iklan-iklan tentang lowongan kerja. Memang tidak semua iklan lowongan kerja dimuat dalam “Karier“. Sebagian iklan itu juga tersebar di halaman-halaman lain. Namun, agar ”matching“ dengan sumber data dari South China Morning Post, yaitu “Classified Post”, maka penulis hanya mengambil bagian “Klasika” harian Kompas. Yang diteliti sebanyak 7 edisi “Klasika” terbitan tanggal 24 hingga 30 September 2005. Penentuan ke-7 edisi tersebut semata-mata dengan pertimbangan pragmatis. Prosedur yang sama juga ditempuh untuk koleksi data dan analisis data yang bersumber dari ”Klasika“ harian Kompas. Iklan lowongan kerja di 7 (tujuh) edisi “Klasika” yang diteliti berjumlah 221. Kategorisasi profesi yang dibuat agak berbeda, disesuaikan dengan kenyataan (artinya, yang terdapat pada iklan-iklan). Konsep utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) Komunikasi antarpribadi: Mengikuti definisi Devito (1995:7), yaitu komunikasi yang terjadi antara 2 (dua) orang yang telah menjalin relasi, sehingga mereka pada tingkat tertentu sudah “connected” satu sama lain; (2) Profesi: pekerjaan yang (a) membutuhkan pendidikan/latihan khusus, (b) terikat oleh kode etik yang dibuat oleh (c) masyarakat/asosiasi yang terdiri atas sesame anggota yang menjalankan pekerjaan itu, dan (d) terkait dengan kepentingan umum; (3) Kemahiran komunikasi antarpribadi: Kompetensi dalam hal (a) communication skills, (b) interpersonal, (c) negosiasi, dan (d) presentasi.
HASIL PENELITIAN Tabel 1 memperlihatkan distibusi lowongan pekerjaan yang diiklankan dalam lembaran “Classified Post” SMCP edisi 4 Juni 2005.
84
Lesmana, Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif ....
Tabel 1. Distribusi pekerjaan yang diiklankan dan syarat kemahiran KAP pada “Classified Post“ harian South China Morning Post, 4 Juni 2005 (N = 814)
(
(
-,
%%-
%'&
%'
-&
'(
'*-
),
*'%
,)
'%
'*(
)(
*'*
,%
&*
'&$
))
*,$
+,
&-
'+&
(-
*&,
+'
'$
(%%
('
),-
(,
'&
***
%*
''(
'&
+
&&(
&)
++*
&+
%%
($%
%*
)--
&(
+
&-&
%+
+$,
&%
,
',%
%'
*%-
%+
%%
*(+
*
&)'
%$
(
($$
*
*$$
%$
&
&$$
,
,$$
,
)
*&)
'
'+)
!
+*
&*
'(&
)$
*),
%!
$#
%
" %
#%
-%&
$ % & ' ( ) *
85
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
Dari tabel ini diketahui bahwa: Pertama, iklan mencari pekerja bagian teknik (engineering) -- baik mekanik, elektro dan sebagainya – paling banyak, hingga berjumlah 132. Hampir semua sektor usaha, apakah itu property, manufaktur, perbankan, sekolah, garment, bahkan asuransi, semua membutuhkan orang-orang teknik. Kedua, di bawah teknik kita menemukan bagian akuntansi. Bagian ini pun rupanya diperlukan oleh semua sektor bisnis; disusul oleh business development, pemasaran, penjualan, keuangan dan seterusnya. Ada sejumlah profesi yang tidak dicantumkan dalam tabel di atas, dengan pertimbangan karena lowongan yang diiklankan sedikit jumlahnya, misalnya sopir, bagian keamanan, atau administrator pabrik. Semua itu dimasukkan dalam kategori ”dan lain-lain”. Ketiga, Secara total, syarat kemahiran KAP yang dicantumkan dalam iklan lowongan kerja kiranya cukup besar, yaitu 38,2%. Prosentase untuk masing-masing profesi sangat variatif. Keempat, prosentase tertinggi bagi persyaratan kemahiran KAP adalah pekerjaan di bagian HRD, yakni 66,6%, disusul oleh bagian produksi (64,7%), sekretaris (62,5%), keuangan (41,1%), media/pers (40%) dan penjualan (37,2%). Terendah adalah mereka yang bekerja sebagai pengawas (supervisor). Bagaimana dengan Indonesia? Tabel 2 memberikan ilustrasi itu.
Tabel 2.Distribusi pekerjaan yang diiklankan dan syarat KAP pada lembaran “Klasika“ harian Kompas, 24 s/d 30 September 2005 (N = 266)
! " # $
86
$
" #
" " $ $
$ ! # ! # ##
Lesmana, Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif ....
! "
% " ! ""
!
! $ %$
# " !
%!# $%! %! %
Ternyata, perusahaan kita umumnya masih tidak mensyaratkan kemahiran KAP bagi stafnya di hampir semua lini profesi. Secara keseluruhan, tidak sampai 10% dari 266 pekerjaan yang diteliti (dalam iklan Kompas) yang mensyaratkan kemahiran KAP. Sekretaris dan bagian keuangan menduduki peringkat tertinggi. Namun, karena N sangat kecil, masing-masing hanya 5, prosentase ini kiranya belum bisa menggambarkan sesuatu yang sifnifikan.
PEMBAHASAN Kegiatan bisnis, umumnya, untuk meraih keuntungan materi. Upaya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, tampaknya, sudah menjadi prinsip dagang di mana-mana. Profit diperoleh dari selisih harga jual produk (apakah barang atau jasa) dengan total biaya produksi dan biaya investasi. Beberapa profesi memainkan peran yang besar dalam hal ini, yakni bagian P.R., penjualan, pemasaran. Mereka inilah yang sehari-hari bertugas membujuk dan memikat calon pembeli. Jika KAP dilihat dari sudut-pandang developmental, para petugas di bidang P.R., penjualan dan pemasaran penting memahami, bahkan menguasai KAP. Maka, logis kalau perusahaan mensyaratkan kemahiran KAP ketika mencari orang-orang untuk menduduki posisi-posisi itu. Tapi, data dalam Tabel 1 menunjukkan hanya 38,1% perusahaan yang mensyaratkan kemahiran KAP untuk posisi PR, 37,2% untuk bagian penjualan dan 32% untuk pemasaran. Sebaliknya, untuk profesi yang kegiatannya lebih ke dalam – artinya berinteraksi dengan sesama pekerja di perusahaan -- seperti bagian produksi, keuangan dan akuntan, angkanya lebih tinggi, masing-masing sebesar 64,7%, 41,1% dan 36,9%. Mengapa orang-orang yang terlibat dalam produksi membutuhkan KAP, ini mungkin suatu pertanyaan yang menarik untuk diteliti. Hasil penelitian ini cukup mengejutkan, mengingat staf PR, pemasaran atau penjualan perlu menampilkan kemahirannya dalam berkomunikasi atau bernegosiasi atau presentasi; paling tidak, perlu kemahiran
87
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
storytelling seperti dikatakan oleh Fisher. Tapi, kenapa bagian produksi, keuangan dan akuntasi dituntut kemahiran KAP yang tinggi? Bisa saja hal itu karena mereka sehari-hari memang sangat intensif terlibat dalam interaksi dengan berbagai bagian yang menopang proses produksi. Mengapa pula bagian keuangan dan akuntansi? Di Indonesia kerap kita amati bahwa orang-orang yang bekerja di bagian keuangan, apalagi akuntasi, lebih banyak diam dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini didukung pula oleh data dalam Tabel 2. Hanya 3 dari 20 iklan mencari akuntan yang mensyaratkan kemahiran KAP. Namun, di bagian keuangan, angkanya cukup baik, yaitu 2 dari 5 perusahaan yang mencari tenaga keuangan meminta syarat KAP. Yang juga layak diteliti lebih dalam ialah rendahnya di Hongkong prosentase KAP yang diperoleh di bidang pendidikan (29.2%) Seorang guru yang baik bukan hanya bertugas mengajarkan murid-muridnya, tapi yang lebih penting adalah mendidik mereka. Untuk itu, kemahiran KAP mestinya penting. Untuk jabatan sekretaris, angka 64,7% tampaknya tidak terlampau mengejutkan. Seorang sekretaris sehari-hari memang sangat intensif berkomunikasi dengan atasannya, sedemikian rupa sehingga ia dituntut untuk cepat menangkap meaning setiap ucapan dan tindakan atasannya, maka, mereka butuh KAP. Kesamaan pandang, rupanya, juga ada pada perusahaan di Indonesia. Dua dari 5 iklan mencari sekretaris meminta persyaratan kemampuan KAP. Begitu juga orang-orang yang duduk di bagan HRD (66,6%). Ke dalam mereka terus-menerus membina dan meningkatkan moril karyawan; ke luar mereka pun menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, misalnya untuk merekrut tenaga baru yang kapabel serta melakukan pelatihan eksternal bagi karyawannya. Tapi, untuk Indonesia, hanya 2 dari 19 iklan mencari tenaga HRD yang meminta kemampuan KAP. Mungkinkah pengusaha atau pimpinan perusahaan di Indonesia kurang memahami KAP, atau apresiasi mereka terhadap KAP masih rendah ? Di Indonesia, syarat yang umum dicantumkan ketika perusahaan mencari tenaga kerja adalah syarat berpengalaman dan kemahiran berbahasa Inggris. Di Hongkong, syarat mampu berbicara dalam “potung hwa“ (bahasa sehari-hari) atau bahasa “konghu“ juga banyak dicantumkan dalam iklan lowongan kerja. Namun, untuk “jabatan-jabatan serius“ seperti direktur atau manajer keuangan, akuntasi, HRD, fund manager dan sebagainya, syarat “excellent interpersonal skill“ atau “interpesonal and communication skill“ kerap diminta. Untuk Indonesia, persyaratan kecakapan KAP untuk suatu profesi umumnya diminta oleh perusahaan asing atau kantor perwakilan perusahan asing di Jakarta.
88
Lesmana, Tuntutan Kemahiran Komunikasi Antarpribadi dalam Profesi: Perspektif ....
Penelitian ini diakui jauh dari lengkap, apalagi sempurna. Penyebabnya, karena cukup banyak keterbatasan yang dihadapi peneliti. Data yang hanya bersumber dari satu edisi koran SCMP seolah-olah mengasumsikan bahwa bagian isi “Classified“ edisi-edisi akhir pekan SCMP yang lain kurang-lebih sama. Toh, jumlah iklan yang diteliti, yaitu mencapai 745, kiranya juga menguras waktu dan tenaga. Itu kira-kira identik dengan survai yang dilakukan atas “745 sampel“ yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling. Tambahan penelitian atas suplemen “Klasika“ harian Kompas diharapkan dapat memperkecil kelemahan penelitian; setidak-tidaknya pembaca disajikan gambaran komparatif antara kasus Hongkong dan Indonesia, jika apa yang dimuat dalam “Classified“ SCMP dan “Klasika“ harian Kompas masing-masing dapat diasumsikan mewakili kedua negara. Kekurangan lain dari penelitian ini, peneliti hanya sampai pada sasaran membuat peringkat profesi yang memerlukan kemahiran KAP. Aspek “why“ dari hasil penelitian sama sekali tidak disentuh.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa 5 (lima) peringkat terbesar dari profesi yang dituntut kemahiran KAP untuk Hongkong adalah: (1) HRD (66,6%); (2) Produksi (54,7%); (3.) Sekretaris (62,5%); (4) Keuangan (41,1%) dan (5) Media/pers (40%). Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian pada lembaran “Klasika“ harian Kompas 24 sampai 30 September, 5 (lima) peringkat terbesar itu adalah: (1) Keuangan (40%); (2) Sekretaris (40%); (3). IT (20%); (4). Administrasi (18,2%), dan (5). Akuntan (15%) Namun, secara keseluruhan, angka yang diperoleh untuk kasus Indonesia sangat rendah. Di hampir semua jenis pekerjaan umumnya tidak dituntut persyaratan kemahiran KAP. Apa sebabnya, hal ini mungkin menarik untuk diteliti lebih lanjut. Juga, jika kita cermati pengertian KAP dari developmental view, hasil penelitian pada kasus Hongkong juga menarik untuk diteliti, yakni untuk mencari jawaban atas pertanyaan “Mengapa demikian?“
89
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2005: 77-90
DAFTAR PUSKATA Borchers, Tim. “Definition www.abacon.com
of
Interpersonal
Communication”.
Devito, Joseph A. The Interpersonal Communication Book. 7th edition. New York: Harper Collins College Publishers, 1995. Effendi, Onong Uchyana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993. Giffin, Kim, Bobby R. Patton. Fundamentals Communications. New York: Harper & Row, 1971.
of
Interpersonal
Grant, Michael. The Twelve Ceasars. New York: Barnes and Noble, 1975. Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company, 1992. Miller, Gerald R. & Mark Steinberg. A New Analysis of Interpersonal Communication. Chicago: Science Research Associates, Inc., 1975 Moffic, H. Steven. The Ethical Way. Challenges and Solutions for Managed Behavioral Healthcare. San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1997. Ruben, Brent D. Communication and Human Behavior. New Jersey: Prentice Hall, 1992. Stewart, John, Carole Logan. Communicating Interpersonally. 5th edition. Boston: McGraw Hill, 1998. West, Richard, Lynn H. Turner. Introducing Communication Theory.Mountain View, CA: Mayfield Publishing Company, 2000. Introducing Communication Theory. 2nd ed. Boston: McGraw Hill, Inc., 2004.
90
Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
Sumbo Tinarbuko
6
)
Abstract: In the name of fun and being made without any burden the product of Dagadu Djokdja freely rockets in the air, and yet keep staying on the earth. The uniqueness as well as the strength of this product is, firstly, that it gives aesthetic to the daily subject, simple, even trivial, and sometimes, forgotten already. For that reason the design section counts on the graphic design aspect as its deadly weapon in order to convey and to reveal the approved themes. Secondly, it emphasizes the aspect of specific graphic design by joining the localism, humor, and the sense on fun into the pop art world in order to create attractiveness as the selling point of the product. Thirdly, it chooses the manufacture image instead of craft, both by material and by any other graphic design element. Fourthly, the distinctiveness as well the characteristic of all T-shirt designs of Dagadu Djokdja are the use of poster approach (poster style).
Key Words: poster style, localism, plesetan, graphic design.
Apa yang akan Anda katakan ketika melihat goresan garis elips dengan lingkaran bulat di tengahnya, kemudian bagian atas dari obyek tersebut dihias enam goresan garis ekspresif yang menengadah ke atas, sedangkan bagian bawah ditutup dengan garis lengkung sejajar torehan garis elips?Bagi Anda masyarakat Yogyakarta, warga di luar pagar nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, atau setidaknya pernah bertandang ke kota pelajar dengan serta merta akan mengatakan, ‘’Dagadu Djokdja’’. Jawaban seperti itu memang benar-benar betul dan betul-betul benar. Mengapa? Karena gambar lingkaran 6
Sumbo Tinarbuko, Konsultan Desain LSKdeskomvis, Dosen Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta
91
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
elips yang membentuk ikon mata semacam itu dikenal khalayak luas sebagai logo sekaligus merek dagang perusahaan kaos oblong milik PT. Aseli Dagadu Djokdja Menurut risalah ‘Dagadu Djokdja: Perjalanan Empat Tahun’ disebutkan bahwa nama Dagadu Djokdja digunakan sebagai merek dagang sekaligus nama produsennya. Dagadu dalam bahasa walikan (slank) anak muda Yogyakarta berarti ‘matamu’. Filosofi idealnya, dalam wacana rancang grafis, ikon mata adalah idiom yang berkait erat dengan citra kreativitas. Dagadu Djokdja yang dipresentasikan melalui logo berbentuk dasar mata diharapkan dapat mewakili pandangan kelompok yang selalu berusaha menempatkan kreativitas sebagai aspek utama dalam setiap kegiatannya. (Dagadu Djokdja, l997: 1-2)
DAGADU DJOKDJA DAN FENOMENA PERDAGANGAN KAOS OBLONG Membicarakan perihal Dagadu Djokdja, berarti kita harus memperbincangkan sebuah fenomena. Mengapa? Karena Dagadu Djokdja adalah fenomena dagang kaos oblong dengan pendekatan budaya yang berhasil mengangkat ikon-ikon visual yang ada di seantero kota Yogyakarta sebagai label bisnisnya. Dengan semangat bermain-main, iseng-iseng menghasilkan, dan dikerjakan tanpa beban, maka keberadaan produk Dagadu Djokdja melejit lepas, bebas mengawang namun tetap terkontrol dan membumi. Keunikan sekaligus kekuatan dari produk ini, pertama, ia selalu memberi bingkai estetika pada hal-hal yang bersifat keseharian, selalu menekankan kesederhanaan, bahkan remeh temeh (sangat biasa, fenomena keseharian) yang terkadang sudah dilupakan orang. Untuk tetap mengedepankan hal tersebut maka departemen desain mengambil kendali dengan mengandalkan aspek desain grafis sebagai senjata pamungkas guna mengangkat dan mengungkap tema yang telah disepakati bersama. Kedua, karena desain grafis maupun desain produk merupakan aspek yang sangat diutamakan, maka pengadaan desain secara konsisten dan berkesinambungan amatlah penting. Uniknya, penciptaan desain untuk produkproduk Dagadu tidak dipandang sebagai ekspresi individual melainkan justru diupayakan muncul dan berkembang sebagai hasil karya kolektif berdasarkan semangat kerja kolektif pula. Kolektivitas ini menyangkut pemunculan gagasan hingga pengembangan rancangan awal atau preliminary design. Sementara
92
Tinarbuko, Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
pengembangan rancangan lebih lanjut hingga penyelesaian akhir merupakan tugas para desainer. Ketiga, secara teknis visual senantiasa menekankan aspek desain grafis yang spesifik dengan menggabungkan unsur lokal, kedaerahan, humor, plesetan yang diramu semangat eksperimen dalam konteks seni dan budaya populer. Strategi semacam itu dilakukan agar tercipta unsur attractiveness sebagai titik jual produk. Keempat, dengan kesadaran tinggi memilih citra fabrikan ketimbang craft, baik melalui material yang selama ini digunakan atau lewat unsur-unsur desain grafis lainnya. Kelima, karakteristik desain yang sekaligus menjadi ciri khas semua karya Dagadu Djokdja adalah menggunakan pendekatan poster alias bergaya ’moster’ Memilih tipografi dari keluarga sans serif (tidak berkaki) dan biasanya menggunakan jenis huruf Futura. Karakter huruf Bold. Banyak mengunakan warna populer yang disusun dengan teknik blok, kontras namun manis. Ilustrasi menggunakan pendekatan idiom estetik dekoratif. Setiap obyek visual dari elemen desain grafis selalu didampingi dengan garis kontur bahkan sangat tergantung pada outline. Posisi desain kebanyakan disusun secara vertikal dengan komposisi simetris.
DAGADU DJOKDJA DAN FENOMENA PARODI BERGAYA POSTER Jika diamati secara komprehensif, maka desain kaos oblong Dagadu Djokdja dapat dipilah dalam dua kelompok besar. Kategori pertama, desain dengan dominasi huruf dan tipografi sebagai kekuatan teks. Dalam hal ini susunan teks bisa dibaca sebagai sebuah ilustrasi. Kategori kedua, desain yang mengedepankan unsur tipografi dan ilustrasi sebagai kekuatan daya ungkap kaos oblong anggitan Dagadu Djokdja. Kedua kelompok desain tersebut selalu mengedepankan unsur humor, parodi, plesetan sebagai unique selling preposition dari produk kaos oblong Dagadu Djokdja. Sementara itu, parodi menurut The Oxford English Dictionary seperti dikutip Yasraf A. Piliang (l999:154), didefinisikan sebagai sebuah komposisi dalam prosa atau puisi yang di dalamnya kecenderungankecenderungan pemikiran dan ungkapan karakteristik dalam diri seorang pengarang atau kelompok pengarang diimitasi sedemikian rupa untuk membuatnya absurd, khususnya dengan melibatkan subyek-subyek lucu dan janggal, imitasi dari sebuah karya yang dibuat modelnya kurang lebih
93
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
mendekati aslinya, akan tetapi disimpangkan arahnya, sehingga menghasilkan efek-efek kelucuan. Terkait dengan itu Linda Hutcheon dalam tulisannya berjuluk A Theory of Parody, seperti disitir Yasraf A. Piliang (l999: 155), mengungkapkan parodi sebagai sebuah relasi formal atau struktur antara dua teks. Dijelaskannya, sebuah teks baru diciptakan sebagai hasil dari sebuah sindiran, plesetan atau unsur lelucon dari bentuk, format atau struktur dari teks rujukan. Artinya, sebuah teks atau karya parodi biasanya lebih menekankan aspek penyimpangan atau plesetan dari teks atau karya rujukan yang biasanya bersifat serius. Dengan demikian, parodi adalah salah satu bentuk representasi. Uniknya, representasi tersebut selalu ditandai dengan sifat pelencengan, penyimpangan, dan plesetan makna, atau jamak disebut dengan representasi palsu. Sedangkan sifat dan metode yang digunakan untuk menghasilkan pelencengan makna dan lelucon tersebut, menurut konsep Mikhail Bakhtin (l981:52) dalam risalahnya berjudul The Dialogic Imagination, sangat kaya dan beragam. Ditegaskan Bakhtin bahwa parodi adalah suatu bentuk dialogisme tekstual. Artinya, dua teks atau lebih bertemu dan berinteraksi antara yang satu dengan lainnya dalam bentuk dialog. Dalam perspektif Hutcheon (l985:6), dialog bisa berwujud kritik serius, polemik, sindiran, lelucon atau hanya sekadar permainan dari bentuk yang sudah ada. Selain menggunakan pendekatan humor, parodi, dan plesetan, sebagai verbalisasi ungkapan teks, kaos oblong Dagadu Djokdja secara visual dirancang, dikemas, dan dihadirkan dengan tampilan desain poster atau lebih merakyat dengan sebutan gaya moster. Hornby (l974:799) mengartikan poster sebagai plakat atau tempelan pengumuman yang dipasang di tempat umum. Bisa juga dikatakan sebagai sebuah pemberitahuan untuk khalayak ramai yang berbentuk gambar. Sedangkan unsur yang ditekankan dalam pengertian poster di sini adalah pesan atau pemberitahuan. Karena poster mengemban tugas untuk menyampaikan pesan verbal maupun visual, maka keberadaannya harus dikemas sedemikian rupa agar menarik dan mampu membangkitkan rasa tertarik pribadi, sehingga dapat menimbulkan stimulus dan reaksi untuk memberikan keputusan. Untuk itu, pesan verbal maupun visual yang ditampilkan dalam desain poster harus dinyatakan dalam bahasa yang sederhana dan benar. Hal ini menjadi penting agar pesan-pesan tersebut mudah dimengerti oleh pembaca tanpa ada kesalahan interpretasi makna dari pesan tersebut. Pendeknya, poster adalah salah satu media komunikasi visual berbentuk dua dimensi. Kehadirannya bertujuan menyampaikan suatu keinginan, mengumumkan sesuatu agar diketahui masyarakat dan mengingatkan mereka tentang hal-hal yang dianggap penting.
94
Tinarbuko, Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
Sebagai media komunikasi visual, maka keberadaan poster menjadi media yang sangat efektif. Artinya, poster bisa membawa masyarakat untuk berkomunikasi dengan cara timbal balik, selanjutnya mengadakan suatu tindakan atas pengaruh komunikasi tersebut. Hal itu terjadi karena ditunjang oleh unsur-unsur poster yang menjadi faktor terpenting dalam mencapai keberhasilan dari poster tersebut sebagai media komunikasi visual. Dalam perencanaan sebuah poster yang baik, peran desainer sangatlah penting dan menentukan dalam merencanakan penempatan kombinasi warna dan komposisi bidang. Selain itu, desainer harus memperhatikan masalah titik pusat, garis perspektif, penempatan horison, dan white space atau ruang kosong. Jadi, secara umum poster merupakan salah satu media publikasi mengandung tujuan: (1) Memberitahukan suatu keinginan, seperti: ingin menjual, ingin membeli, dan ingin mendapatkan sesuatu baik barang ataupun jasa; (2) Mengumumkan sesuatu hal yng dianggap penting agar diketahui oleh masyarakat luas; (3) Mengingatkan masyarakat tentang hal-hal yang penting bagi masyarakat itu sendiri; (4) Memberikan informasi yang positif kepada seluruh lapisan masyarakat dalam waktu yang relatif singkat dan tepat pada sasarannya. Dalam perkembangannya, keberadaan poster bermetamorfosa menjadi sebuah bentuk komunikasi visual yang dirancang sangat simpel. Sederhana dalam konteks desain komunikasi visual menurut Mawardi dan Nizar berarti tidak ruwet, jelas atau mungkin yang disederhanakan dalam garis-garis, bentukbentuk dan warna-warna yang sedikit mungkin. Agar unsur tersebut dapat menggambarkan suatu arti kepada yang melihat dalam sekilas pandang, unsurunsur tersebut jangan sampai hilang dalam suatu liku-liku penggambaran yang tidak mengena dan tidak perlu, sehingga terciptanya saling hubungan yang satu dengan yang lainnya (Mawardi dan Nizar, l972:3). Hal itu terjadi karena apresiasi masyarakat semakin meningkat dan poster sendiri mengemban fungsi sebagai medium komunikasi yang dilengkapi unsur ilustrasi, teks, dan warna mencolok sebagai visualisasi dan daya tarik dari pesan yang akan disosialisasikan. Dengan meminjam idiom parodi, humor dan plesetan yang dikemas lewat pendekatan desain poster bergaya idiom estetik dekoratif ini, karya kaos oblong Dagadu Djokdja mampu menempati posisi orbit yang cukup terhormat di antara pesaing sejenis yang bermain pada pasar yang sama.
95
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
DAGADU DJOKDJA DAN FENOMENA DESAIN DENGAN DOMINASI TIPOGRAFI Melirik rancangan oblong Dagadu Djokdja pada kategori pertama, yakni desain dengan dominasi huruf dan tipografi sebagai kekuatan teks, terlihat di antaranya pada tema ’Malio-Boro Malio-Boros’. Desain kaos oblong—yang layout dan kemasan visualnya menggunakan pendekatan poster—ini ditata dalam posisi vertikal. Kata Malioboro dan Malioboros dipenggal menjadi dua bagian. Masingmasing berbunyi ‘Malio-Boro’ (secara visual menggunakan warna coklat, memakai huruf kapital, masing-masing huruf diberi bayangan hitam dan outline kuning) dan ’Malio-Boros’ (huruf kapital, warna biru tua, bayangan hitam dan kontur kuning). Di sela-sela kata ‘Malio-Boro’ dan ‘Malio-Boros’ terselip teks ’berangkat naik andong, belanja pernak-pernik, jajan lesehan, mBORONG OBLONG!!, pulang kecopetan’. Masing-masing teks tersebut dimasukkan dalam sebuah lingkaran berbentuk elips warna biru muda dengan bayangan hitam dan garis kuning sebagai outlinenya. Warna teks, putih. background desain secara keseluruhan berwarna putih dengan clossing ASELI BIKINAN DAGADU DJOKDJA yang dihiasi titik-titik kuning membentuk garis vertikal, berujung pada anak panah untuk menunjukkan nama produsen kaos oblong tersebut. Pada karya desain dengan tema ’Malio-Boro Malio-Boros’ terlihat jelas upaya bermain-main dengan keisengan kreatif sambil mencoba memberikan aksentuasi dan penambahan huruf ’s’ pada kata ‘Malioboro’ yang bermuara perbedaan makna sangat signifikan. Konotasi kata ‘Malioboro’ plus huruf ‘s’ menjadi bermakna negatif dan kenegatifan ‘Malioboro’ ini sengaja dieksploitasi dan dijual oleh PT. Aseli Dagadu Djokdja demi menangguk rupia Dalam pandangan ide pihak Dagadu Djokdja, tema ‘Malio-Boro MalioBoros’ dimaksudkan bahwa belanja di kawasan Malioboro itu marai (menyebabkan) boros. Lewat pendekatan poster, para desainer Dagadu mencoba menyampaikan uneg-uneg kolektifnya untuk menyampaikan suatu keinginan sekaligus mengingatkan kepada kita betapa borosnya belanja di kaki lima sepanjang kawasan Malioboro. Pedagang lesehan yang menjual dagangannya tanpa memasang harga tarif secara wajar, ditambah pula dengan perilaku penjaja cinderamata yang menawarkan harga sangat tinggi. Belum lagi copet yang siap menggerayangi dompet kita. Teks di antara kata ‘Malio-Boro Malio-Boros’ mengacu pada konsep parodi dari Bakhtin, bertujuan untuk mengekspresikan perasaan tidak puas, kurang nyaman dengan kondisi sosial budaya di sekitar Malioboro. Dalam
96
Tinarbuko, Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
konteks ini, desain kaos oblong Dagadu Djokdja mencoba membentuk semacam oposisi binner atau memunculkan kekontrasan di antara berbagai teks yang ada. Hal itu terlihat dari keberadaan teks ’Malio-Boro’ dibenturkan dengan kata’Malio-Boros’. Makna yang ingin dimunculkan adalah makna dengan semangat menyindir sekaligus membuat lelucon tentang fenomena ’Malioboro’ yang semakin sumpek, kotor, macet, bikin pusing dan bising. Di balik semuanya itu, yang pasti kawasan Malioboro adalah aset dan sampai sekarang masih menjadi primadona para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Bahkan sampai muncul mitos, serasa belum sampai Yogyakarta kalau belum menginjakkan kaki dan menghirup udara Malioboro. Dengan demikian, meski pun Malioboro dibenci dan dicaci maki, tetapi keberadaannya tetap dirindukan. Karya lain dengan tema ’As You Wish! As Yo Wis! TerSeRah!’. Desain yang disusun vertikal, berlatar warna kuning gading, dan dibungkus dengan komposisi simetris ini juga menggunakan pendekatan desain poster. Pada kata ‘’s You Wish!’ dikemas dalam ramuan warna kuning. Background teks berbentuk elips yang dirancang seperti balon dialog dari sebuah adegan komik dan dibalut goresan ekspresif warna coklat. Hal yang sama dilakukan pada kata ‘As Yo Wis!’, namun warna balon berbeda, yakni warna hijau muda ngadun ngora. Sedangkan kata ‘Ter-SeRah!’ berwarna coklat. Clossing bagian bawah tertulis aseli bikinan Dagadu Djokdja dalam kemasan huruf kapital. Menyimak desain ini, ternyata sarat dengan plesetan makna akibat dari kesamaan pelafalan bunyi dari sebuah teks. Hal itu terjadi karena faktor kecenderungan dari sebuah idiom parodi. Dalam konteks ini, bahasa yang pertama, ‘As You Wish!’ mengontrol bahasa kedua, ’As Yo Wis!’. Menurut Yasraf A Piliang, mengutip pendapat Bakhtin, adalah sifat dari setiap parodi untuk menukartempatkan nilai-nilai gaya yang menjadi sasaran parodi, menyorot elemen-elemen tertentu, sementara membiarkan elemenelemen lain di dalam bayang-bayang. Parodi selalu di-pleset-kan ke berbagai arah dan plesetan itu didiktekan oleh sifat bahasa parodi, sistem logatnya dan strukturnya pun jauh berbeda. Dalam konteks ini, kata ’As You Wish!’ karena sistem logat dan bunyi pelafalannya ditukartempatkan pada kata ‘As Yo Wis!’ mempunyai makna konotasi: ketimbang terus repot berdebat mending tidak terlibat atau melibatkan diri sama sekali. Prinsip semacam itu menjadi sikap hidup orang Yogyakarta dalam bermasyarakat dengan tetap mengutamakan asas keharmonisan. Mengamati desain kategori pertama yang mengutamakan huruf dan tipografi sebagai kekuatan utama verbalisasi teks mengingatkan kita pada
97
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
desain bergaya populer. Desain bergaya populer itu ditandai dengan warna populer yang cenderung bersandar pada kecerahan atau sifat cerah dari pada kelembutan atau hal-hal yang bersifat lembut. Bentuk desainnya dirancang secara sederhana dengan warna menyala dan datar serta dipisahkan oleh outline warna hitam tebal. Kesan populer biasanya berkonotasi dengan citra anak muda dan berkesan hiburan alias santai riang gembira. Kombinasi warna populer berciri kurang ajar, slengekan, nakal, dan humor tercermin pada warna merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu yang dipisahkan, ditegaskan, dan dikunci garis kontur warna hitam. Tipografi gaya populer umumnya lebar dan gemuk, umumnya berjenis Futura dan Gothic yang ditebalkan (bold) dengan warna kuat beroutline hitam, keberadaannya akan tampak terpisah dari latar berwarna kuat.
DAGADU DJOKDJA DAN FENOMENA KODE BAHASA ESTETIK POST-MODERNISME Kategori kedua, bisa kita saksikan berbagai karya desain yang lebih mengedepankan unsur tipografi dan ilustrasi sebagai kekuatan daya ungkap rancangan kaos oblong Dagadu Djokdja. Gambar pertama (lihat gambar 1) dengan tema ’DJOK DJA, DJOK SADJA more tea, please’ menggambarkan ikon sebuah cangkir dengan gantungan kemasan teh celup dalam keadaan panas mengepul. Di bawahnya tertera teks ‘DJOK DJA’ (warna coklat bata dengan kontur garis hitam tebal dan dikontur lagi dalam bauran warna abu-abu), pada huruf ’o’ dalam kata ’DJOK DJA’ dihias dengan pendekatan dramatisasi huruf bergambar ikon poci tempat menyedu teh, diberi label ‘Tjap JAHE’ dan diisi warna hitam. Bagian bawah dari kata ‘DJOK DJA’ dituliskan kata ’DJOK SADJA’ dan bagian paling bawah digoreskan kata ‘more tea, please’ warna hijau. Desain oblong ini dikemas dengan gaya poster. Visualisasi desain oblong ini sangat sederhana. Ilustrasi desain ini menggunakan idiom estetik dekoratif. Tanda visualnya, hanya menampilkan ikon cangkir, poci, gantungan teh celup dan lingkaran asap yang digambarkan dengan gaya dekoratif. Kekuatan desain ini terletak dari pemanfaatan ruang lebar (white space) sisa dari ilustrasi dan tipografi yang secara global berbentuk segitiga sama sisi. Tipografi diambil dari keluarga huruf sans serif yang ditebalkan (bold). Ciri huruf ini, garis tubuhnya sama-sama tebal, tidak berkaki dan memiliki karakter lugas, kokoh, dan kuat.
98
Tinarbuko, Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
Secara visual, desain kaos oblong ini meminjam berbagai kode. Menurut Umberto Eco dalam bukunya berjudul Theory of Semiotics, kode adalah seperangkat aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi (Eco, l976:2). Dengan demikian, kode merupakan cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Dalam konteks ini, kode yang digunakan antara lain kode narasi (proairetik) yang oleh Roland Barthes dalam bukunya S/Z dikatakan sebagai sebuah kode yang mengandung cerita atau narasi ( Barthes, l974:17-26). Desain dengan tema ‘DJOK DJA’ ini membeberkan cerita perihal seduhan teh kental dalam sebuah poci, yang dioplos dalam aroma teh nasgithel (panas, legi tur kenthel) yang disruput hangat kicot-kicot memberikan nuansa kehangatan, kedamaian, dan kenikmatan sambil ditingkahi obrolan santai dalam komunitas wedangan warung angkring atau warung koboi.
Gambar 1. Desain ‘Djok Dja. more tea, please’
Selain kode narasi, visualisasi kaos oblong bertemakan ‘’DJOK DJA’’ juga menggunakan kode kultural atau kode kebudayaan, khususnya aspek sejarah dan mitos. Kode kebudayaan yang dimaksudkan oleh Roland Barthes di sini adalah pada pemaknaan kata ‘Djokdja’ yang berarti sebutan singkat dari sebuah kota yang bernama Yogyakarta. Kota pelajar milik Sri Sultan Hamengkubuwono IX, raja dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini mempunyai peran sejarah yang amat penting terkait dengan keberadaan negara Republik Indonesia melawan penjajah.
99
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
Sementara itu ’DJOK DJA’ di mata desainer Dagadu Djokdja mempunyai makna konotasi yang sangat sederhana. Dalam imajinasi mereka, kata ’DJOK DJA’– meminjam konsep kirata basa atau mengacu pada ilmu gothak-gathuk mathuk - maka kata ‘DJOK DJA’ diartikan dengan di-jok saja (‘DJOK’=di-jok, ‘DJA’=saja) atau dalam frame bahasa Indonesia dimaknakan sebagai ‘ditambah lagi’. Tambah lagi wedang teh nasgithel-nya, wedang teh panas legi (gula batu) tur kenthel. Fenomena wedangan teh nasgithel lengkap dengan gula batu dan kepulan rokok kretek ini sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan kaum pria yang suka nongkrong, begadang, ngobrol, melepas lelah dalam suasana santai di warung angkring atau warung koboi sambil menunggu lingsir wengi. Secara umum desain kaos oblong Dagadu Djokdja dengan tema ’DJOK DJA’ ini menarik perhatian secara visual. Terjemahan kata-kata di dalam susunan teks membuat orang mengulum senyum. Sayangnya, dalam konteks wedang teh nasgithel, desainer Dagadu Djokdja kurang jeli dalam memvisualkan seduhan (com-coman) teh kenthel, yang digambarkan justru com-coman teh celup. Atau ‘kekeliruan’ itu sengaja dihadirkan dengan pertimbangan mengejar aspek artistik agar terlihat bahwa cangkir itu berisi teh hangat kicot-kicot.
Gambar 2. Desain ‘RID: Rest in DJOKDJA
100
Tinarbuko, Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
Gambar kedua bisa kita lihat pada karya lucu dengan tema ‘RID: Rest in DJOKDJA’. Ilustrasi dari desain oblong ini menggunakan idiom estetik dekoratif. Tanda visualnya berupa ikon laki-laki berkumis yang sudah purna tugas alias pensiunan, menggenakan busana kejawen lengkap dengan blangkon, jarik dan surjan, duduk terkantuk-kantuk di kursi goyang sambil menikmati hidup. Saking nikmatnya bergoyang-goyang di kursi goyang, sampai-sampai sandal selopnya njepat meloncat dari ujung kaki sang ikon laki-laki tersebut. Tampilan desain ‘RID: Rest in DJOKDJA’ ini menggunakan kode seperti yang diungkapkan Roland Barthes dalam bukunya S/Z di antaranya kode hermeneutik, kode simbolik, kode narasi atau proairetik dan kode kultural. Pada kode hermeneutik ini mengandung makna provokatif. Hal ini terlihat pada argumentasi konsep desain yang menyebutkan, ‘kembali ke Djodja siapa takut?’ Sekian tahun menjadi mahasiswa di Djokdja, mencari pekerjaan di belantara ibukota, saat Lebaran mudik ke Yogya. Menjelang usia senja, lagilagi ke Djokdja bermukimnya. Mengapa begitu? Tingkat harapan hidup di Djokdja lebih lama dari kota lain menjadi daya tarik utama bagi para pensiunan untuk menetap di Yogya. Kode simbolik terlihat pada ikon kursi goyang yang mempunyai konotasi santai, sembari mengedepankan kenikmatan badani dan jiwani. Sedangkan kode narasi atau proairetik berisi cerita sebuah obsesi sementara orang yang pernah mencicipi nikmatnya hidup di kota Yogyakarta. Bahwa kembali ke Yogyakarta dan menikmati hari tua di kota budaya ini selalu menjadi buah impian dan cita-cita mereka yang pernah singgah di kalbu kota Yogyakarta. Dalam kode narasi dan kode kultural disinggung pula informasi gaya masa lampau dengan mengedepankan makna nostalgia dan aspek sejarah kota Yogyakarta. Sedangkan teks ‘RID: Rest in DJOKDJA’ adalah sebuah ekspresi bentuk parodi dan plesetan makna dari kata ’RIP: Rest in Peace’, beristirahatlah dalam damai. Di mata tim kreatif Dagadu Djokdja, kata ’damai’ itu identik dan selaras dengan keberadaan kota ‘Yogyakarta yang berhati nyaman’ Sebuah kota yang tenang, damai, inspiratif, inovatif, dan kreatif. Menilik karya desain kaos oblong Dagadu Djokdja yang dikategorikan dalam kelompok kedua, yakni lebih mengedepankan unsur tipografi dan ilustrasi sebagai kekuatan daya ungkap, lebih banyak mengacu pada pendekatan desain modern. Bentuk desain modern ini senantiasa mengedepankan unsur kesederhanaan dengan white space yang luas, sehingga memberikan kesan keseimbangan yang terkontrol. Penekanannya pada bentuk horisontal, vertikal, dan diagonal. Pola modern bercirikan keteraturan, sederhana, dan kerapian
101
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
geometri. Desain ini menunjukkan perpaduan yang seimbang antara elemen latar belakang dan latar depan, dengan warna, bentuk ilustrasi dan tipografi. Ilustrasi yang diposisikan sebagai aspek penjelas ungkapan pesan dari desain kaos oblong Dagadu Djokdja ini menggunakan bentuk idiom estetik dekoratif. Idiom estetik yang dimaksudkan di sini adalah suatu cara tertentu dalam mengkomposisikan elemen-elemen bentuk (ilustrasi, tipografi, layout dan bidang) dengan menghasilkan bentuk-bentuk tertentu. Sedangkan idiom estetik dalam konteks ini adalah gaya pengungkapan ilustrasi sebagai visualisasi tanda visual. Dengan demikian, idiom estetik dekoratif adalah sebuah istilah yang ditujukan pada perwujudan karya seni rupa dan desain yang menonjolkan segi hiasannya. Pada ilustrasi yang bercorak dekoratif, seperti terlihat pada karya kaos oblong Dagadu Djokdja bertema ’DJOK DJA’ dan ’RID: Rest in DJOKDJA’, bentuk obyek yang digambarkan sering dideformasikan dalam bentuk-bentuk yang bersifat hias, disesuaikan dengan segi fungsinya sehingga akan dapat dijumpai beberapa tingkatan deformasi bentuk, mulai dari mendekati realistis dengan kesan-kesan plastisitas dan volume, sampai bentuk yang jauh dari sifat realis, yakni bentuk yang mempunyai kesan datar. Agaknya, desainer Dagadu Djokdja memilih pilihan terakhir, yakni mengangkat idiom estetik dekoratif yang jauh dari sifat realis dengan merekayasa bentuk ikon sehingga mempunyai kesan yang datar-datar saja. Dengan memilih idiom estetik dekoratif dalam visualisasi berbagai ilustrasi desain, maka posisi karya desain tersebut menjadi sangat aman dan tenteram. Hal semacam itu disadari sepenuhnya oleh tim kreatif Dagadu Djokdja, karena sejak awal melempar karya desain di pasar oblong bebas, niat luhurnya menggunakan semangat parodi, semangat nyindir dan semangat ngenyek. Pemilihan idiom estetik dekoratif menjadi sangat semanak manakala Dagadu melontarkan guyonan pari keno. Artinya, berupaya melakukan sindiran tetapi tidak melukai perasaan sang sasaran tembak. Dan apalah jadinya jika tim kreatif memilih idiom estetik realis. Bisa dipastikan akan bermunculan berbagai somasi atau tuntutan akibat side effect dari karya desain tersebut.
PENUTUP Mengamati sekian banyak desain kaos oblong Dagadu Djokdja yang dalam perkembangan terakhir juga diaplikasikan pada media kartu pos, kalender, gantungan kunci, gelas mug, ternyata sarat dengan tanda-tanda visual. Tanda yang dimaksud di sini adalah unsur dasar dalam semiotika dan komunikasi, yaitu segala sesuatu yang mengandung makna, yang mempunyai
102
Tinarbuko, Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja
dua unsur penanda (bentuk) dan petanda (makna). Pierce membedakan jenis tanda menjadi tiga kategori, yakni: ikon, indeks, dan simbol. Pada desain kaos oblong Dagadu Djokdja ini ketiga jenis tanda tersebut digunakan secara maksimal. Tetapi jenis tanda tertentu – dalam hal ini ikon dan simbol – hampir secara keseluruhan dimanfaatkan, karena ikon adalah tanda yang menyerupai obyek (benda) yang diwakilinya atau suatu tanda yang menggunakan kesamaan atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Hal itu terlihat pada ikon cangkir, gantungan teh celup, asap mengepul yang divisualkan pada desain bertema ’DJOK DJA’. Hal yang sama terlihat pula pada ikon laki-laki tua, duduk dikursi goyang, mengenakan busana kejawen lengkap dengan surjan, blangkon, jarik, dan sandal selop. Penggambaran ikon tersebut bisa kita saksikan pada desain kaos oblong dengan tema ‘RID: Rest in DJOKDJA’ Semua ikon yang dimanfaatkan oleh desainer dan tim kreatif Dagadu Djokdja ini mengandung idiom estetik dekoratif sebagai gaya ilustrasinya dan idiom estetik naratif sebagai gaya ungkap pesan verbal. Kerabat kerja PT. Aseli Dagadu Djokdja ternyata juga cukup konsisten dalam melakukan eksperimen kreatif dengan mengolah tanda dan simbol melalui medium desain grafis. Lewat tangan ‘jahil’ desainer dan tim kreatif kaos oblong Dagadu Djokdja berhasil memunculkan trend penggunaan huruf sans serif yang ditebalkan (bold). Mereka sukses mengemas desain poster yang diejawantahkan dalam sebidang kaos oblong dengan meminjam idiom estetik dekoratif sebagai gaya ungkap bentuk ilustrasinya. Garis outline tebal menjadi ciri utama desain ini yang diposisikan untuk membungkus obyek ilustrasi maupun tipografi. Lewat wacana parodi pada setiap teks verbal maupun visual yang digelembungkan oleh tim kreatif Dagadu Djokdja, diyakini mampu menambah perbendaharaan dan memperkaya kosa kata plesetan di tengah carut-marut perkembangan bahasa Indonesia yang ’tidak baik dan tidak benar’ dalam konteks bahasa gaul. Hal ini terjadi karena kelenturan relasi pertandaan dan berbagai kode yang dipinjam oleh pemikir-pemikir Dagadu dalam menggambarkan seni post-modernisme sebagai suatu karya terbuka yang membuka pintu lebar-lebar bagi kombinasi dialog dan permainan tanda, kode, dan idiom-idiom yang tidak terbatas namun mampu menembus batas. Selain itu, karya desain kaos oblong Dagadu Djokdja berikut pernakpernik aplikasinya berhasil memberikan sentuhan dan aksentuasi baru bagi pengembangan disiplin ilmu desain komunikasi visual atau desain grafis. Artinya, desain Dagadu Djokdja sudah memasuki sebuah wacana yang siap untuk dikaji, diperdebatkan, dibongkar, diuji dan kemudian didokumentasikan sebagai sebuah teori. Sebab sebuah karya desain komunikasi visual dan kajian
103
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 3, NOMOR 1,JUNI 2006: 79-94
teori desain grafis sulit berkembang jika tidak ditemukan karya-karya eksperimen yang dibidani oleh praktisi-praktisi yang kreatif, inovatif, dan ‘agak gila’ dalam konteks menggali hal-hal baru dari yang paling baru.
DAFTAR PUSTAKA Bakhtin, Mikhail. l981. The Dialogic Imagination. Massachussets: Harvard University Press. ‘Dagadu Djokdja: Perjalanan Empat Tahun Pertama’. l997. Yogyakarta: PT Aseli Dagadu Djokdja. Eco, Umberto. l976. Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Barthes, Roland. l974. S/Z. New York: Hill & Wang. Hornby, A.E. (ed). l974. Oxford Advanced Learner Dictionary. London: Oxford University Press. Hutcheon, Linda. l985. A Theory of Parody, The Teaching of Twentieth Century Art Form. Methuen. Piliang, Yasraf Amir. l999. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS. Nizar, M dan Mawardi. l972. Saduran Basic Design. Yogyakarta: STSRI ‘’ASRI’’.
104
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL ILMIAH 1. Artikel merupakan hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian (artikel konseptual) di bidang ilmu komunikasi. 2. Artikel ditulis dengan bahasa Inggris/Indonesia sepanjang 20 halaman kuarto spasi ganda dilengkapi dengan abstrak Bahasa Inggris (75-100 kata) dan kata-kata kunci dalam Bahasa Inggris juga. 3. Penulisan kutipan dengan catatan perut yang memuat nama belakang pengarang tahun dan halaman dan ditulis dalam kurung. Contoh Satu Penulis : (Littlejohn, 2000:12) Lebih dari satu penulis : (Severin, dkk, 1998:25) 4. Penulisan daftar pustaka dengan menggunakan model: Nama Belakang, Nama Depan. Tahun Penerbitan. Judul Buku (cetak miring). Kota: Penerbit. Contoh Dominik, Josep R. 2002. The Dynamics of Mass Communication, Media in Digital Age. New York, McGraw Hill. 5. Biodata singkat penulis dan identitas penelitian dicantumkan sebagai catatan kaki dalam halaman pertama naskah. 6. Artikel juga dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam Microsoft Word dengan format RTF menggunakan jenis huruf Times New Roman, font 12. 7. Artikel hasil penelitian memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5) Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang masalah, dan sedikit tinjauan pustaka serta tujuan penelitian), (6) Metodologi Penelitian, (7) Hasil Penelitian, (8) Pembahasan, (9) Kesimpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel). 8. Artikel konseptual memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), (7) Penutup, (8) Daftar Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel). 9. Print-out artikel dan softcopy dikirimkan paling lambat 1 bulan sebelum penerbitan kepada: Jurnal Ilmu Komunikasi d.a. Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari No. 6 Yogyakarta 55281 Telp. (0274) 487711 ext 3124, Fax. (0274) 487748 Email:
[email protected] 10. Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahukansecara tertulis. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak lima eksemplar. Artikel yang dimuat, tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.
Jurnal ILMU KOMUNIKASI