Jurnal ILMU KOMUNIKASI
ISSN 1829 – 6564 Volume 2, Nomor 1, Juni 2005
Halaman 1 - 94
Kebebasan Pers Dilihat dari Perspektif Konflik Tjipta Lesmana (Universitas Pelita Harapan, Jakarta) Budaya Poop dan Politik: Penampilan Iwan Fals di TRANS TV, 4 April 2004 Pawito (Universitas Sebelas Maret, Surakarta) Aspek Hukum dan Tanggung Jawab Pers Asnawi Murani (Universtias Atma Jaya Yogyakarta) Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan (Analisis Semiotika Iklan Cetak WRP Body Shape & Prolene Dwi Ratna Aprilia (Universitas Atma Jaya Yogyakarta) Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak pada Keluarga Jawa) Yuli Setyowati (STPMD “APMD” Yogyakarta Fenomena Alfred Schultz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial Stefanus Nindito (Universitas Atma Jayq Yogyakarta)
(1-14)
(15-28)
(29-40)
(41-66)
(67-78)
(79-94)
Kebebasan Pers Dilihat dari Perspektif Konflik, antara Kebebasan dan Tertib Sosial
Tjipta Lesmana1
Abstract: Press in this country is joying optimal freedom since the falldown of Soeharto regime. But western-style freedom of the press is echoing numerous negative impacts. Prominent among those impacts are reports or news that considered defamation. Several libel cases have been brought to the court. Defendants (publishers or chiefeditors) are frequently lost the cases, being nished by imprisonment and/or huge emount of fine, resulting in the outcry of some journalists. The judges are accused of obstructing press freedom, or no apprehension whatsoever on the vital role of the press in democracy.
Key Words: press freedom, freedom versus order.
Secara sederhana, demokrasi bisa didefinisikan sebagai kekuasaan di tangan rakyat, atau kekuasaan oleh rakyat. Demokrasi mempunyai dua aspek, yaitu aspek prosedural dan aspek substantif. Demokrasi dalam aspek prosedural mencoba menjawab masalah tentang bagaimana rakyat bisa ikut memerintah dan mengawasi pemerintah, seperti memilih pemimpin nasional dan wakilwakil rakyat dalam pemilihan umum, proses pengambilan keputusan dalam kebijakan publik, mekanisme pengawasan efektif terhadap pemerintah, parlemen, yudikatif dan sebagainya. Demokrasi dalam aspek substantif menyentuh masalah apa saja yang bisa diatur oleh pemerintah. Bolehkah pemerintah melakukan intervensi dalam urusan agama, sejauh mana kebebasan berserikat dan kebebasan menyatakan pendapat bisa dijalankan penduduk, sejauh mana pemerintah ikut campur dalam urusan pernikahan antar warganya dan lain sebagainya. Para penganut teori substantif demokrasi, umumnya, ' ! ! ! " %&! $#
1
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1 , JUNI 2005: 1-14
bersepakat bahwa pemerintah harus menjamin hak-hak dasar warganegara perlu mendapat jaminan dari pemerintah. Dalam konteks demokrasi di negara-negara Barat, yang sangat ditekankan adalah perlindungan terhadap civil liberties dan civil rights. Termasuk dalam kategori civil liberties, misalnya, kebebasan beragama dan kebebasan menyatakan pendapat secara terbuka, termasuk juga kebebasan pers. Sedangkan civil rights meliputi perlindungan terhadap asas praduga tak bersalah, memperlakukan setiap tersangka secara adil dan manusiawi, dihapuskannya segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan masyarakat, termasuk diskriminasi gender, hak warganegara untuk mendapat kehidupan yang layak dan sebagainya. Demokrasi sampai sekarang masih dipandang sebagai bentuk pemerintahan yang ideal, dibandingkan dengan pemerintahan otokrasi (dengan derivatnya yang disebut otoriter), monarki, aristokrasi, atau oligarki (Lippmann, 1967:278). Namun, ini tidak berarti bahwa demokrasi dalam pelaksanaannya tidak lagi menghadapi masalah atau hambatan. Pelaksanaan demokrasi di mana-mana, termasuk di Amerika Seriakat, ternyata menghadapi banyak tantangan yang tidak mudah dipecahkan. Soal kebebasan, misalnya, seberapa besar kebebasan bisa dinikmati oleh tiap--tiap warganegara? Apakah seorang terpidana bisa dikatakan sudah kehilangan kebebasannya? Kalau dikatakan masih dijamin, kebebasan mana yang masih bisa dinikmatinya dan kebebasan yang mana yang untuk sementara “dirampas” oleh negara? Jika porsi kebebasan warganegara terlalu besar, apakah ia tidak akan bertabrakan dengan order (tatanan sosialpolitik) yang juga menjadi salah satu prinsip pokok dari demokrasi, sehingga kepentingan masyarakat bisa terancam? Soal keadilan, keadilan yang bagaimana yang harus ditegakkan demi kepentingan masyarakat luas? Apakah keadilan harus ditegakkan sendiri oleh penduduk atau diserahkan kepada pemerintah? Apakah keadilan penduduk bisa kongruen dengan keadilan versi pemerintah?
TUGAS POKOK PEMERINTAH Pemerintah, secara teoritis, didirikan dengan tujuan pokok untuk melindungi kehidupan dan harta-benda penduduk, untuk memberikan rasa aman kepada setiap penduduknya. Negara dibentuk berdasarkan pengalaman hidup umat manusia yang merasa tidak aman dan dihimpit rasa takut karena selalu terancam agresi pihak luar dan kepunahan ketika mereka hidup terpencar-pencar dan tidak terorganisasi. Di bawah organisasi yang disebut negara, orang merasa lebih aman; segala permasalahan tidak lagi dipecahkan sendiri-sendiri, melainkan secara bersama, maka disusunlah sebuah pemerintahan di dalam negara tadi dengan tugas pokok untuk melindungi kehidupan dan kepemilikan penduduk. Dalam perkembangan selanjutnya,
2
kesejahteraan penduduk juga menjadi tugas pokok pemerintah. Pemerintah yang tidak mampu menyejahterakan rakyatnya, apalagi membawa kesengsaraan bagi rakyat, dipandang tidak layak untuk terus memerintah dan oleh sebab itu harus diganti. Dalam sistem demokrasi, tiga motto selalu dijunjung tinggi, yakni freedom (kebebasan), order (tertib sosial, tertib hukum) dan equality (persamaan). Tiga motto ini diyakini harus terus-menerus diperjuangkan oleh semua pihak, khususnya pemerintah. Namun, tiga motto ini pula yang kemudian melahirkan dilema dalam setiap negara demokrasi. Dilema pertama adalah konflik antara kebebasan dan order; sedang dilema kedua berupa konflik antara kebebasan dan persamaan (Janda dkk, 1989:17-19). Tulisan ini hanya memfokuskan pembahasan pada konflik pertama, yaitu kebebasan versus order yang dikaitkan dengan kebebasan pers di negara kita.
KONFLIK KEBEBASAN DAN TERTIB SOSIAL Order mengandung makna yang sangat luas. Talcott Parsons sebagaimana dikutip oleh Wrong (1994:38) memberikan definisi order “the absence of universal conflict among individuals maintaining social relations with each other, as the inversion or contrary, in effect, of the Hobbesian ‘war of all against all’”. Suatu kondisi tiadanya konflik dalam relasi manusia, itulah intisari order. Konflik tidak ada karena manusia satu sama lain terikat oleh norma-norma yang disepakati bersama. Tanpa order, manusia akan bakuhantam dengan sesama (war of all against all). Hanya dengan menegakkan dan memelihara order, manusia dapat hidup tenteram dan damai, tulis Marsiglio seperti dikutip oleh Curtis (1961, Vol. 1:181). Dalam bahasa Indonesia, order bisa diartikan tertib sosial, keamanan (tapi bukan dalam arti security), bahkan stabilitas. Order bisa juga diidentikkan dengan hukum, kalau hukum didefinisikan sebagai “A system of norms providing a method of settling disputes authoritatively”(Hart sebagaimana dikutip oleh Hampstead & Freeman, 1985), suatu sistem norma yang yang dipakai untuk menyelesaikan perselisihan secara sah’ atau “……rules for the guidance of official and citizens” (Raz seperti dikutip oleh Hampstead & Freeman, 1985), aturan-aturan sebagai pedoman bagi pemerintah maupun penduduk. Untuk mudahnya, dalam tulisan ini, order diterjemahkan sebagai “tertib sosial” sebab istilah “tertib sosial” mengandung nuansa hukum, atau lebih tepat, ketaatan indvidu pada hukum yang berlaku. Istilah “law” berasal dari kata “lex” dalam bahasa Latin. Istilah “Lex” sendiri berasal dari kata kerja “ligare” yang secara harfiah bermakna “mengikat”.Thomas Aquinas seperti dikutip oleh Mosmeyer (www.catholic-forum.com/churches/luxver/law1) mendefinisikan
3
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1 , JUNI 2005: 1-14
hukum sebagai “A rule and measure of acts whereby man is induced to act or is restrained from acting”. Artinya, hukum mengatur atau membatasi tindakan individu; ada tindakan yang harus dilakukan, ada pula tindakan yang dilarang dilakukan. Supaya tugas pokok pemerintah dapat dilaksanakan dengan baik, mutlak diperlukan seperangkat peraturan sebagai pedoman perilaku rakyat, sekaligus pedoman bagi pemerintah untuk menegakkan hukum. Dengan norma hukum, sesuai dengan asal-muasalnya, yaitu to bind (mengikat), kebebasan bertindak individu mengalami pembatasan. Di sisi lain, demokrasi juga mensyaratkan kebebasan yang mengandung makna “absence of constraints on behavior” (tindakan yang bebas dari hambatan/halangan) atau “the liberty of being able to choose otherwise than as we did (Adler, 1981:141). Maka sering timbul konflik antara kebebasan dan hukum. Dalam proses demokrasi, keduanya saling tarik-menarik. Individu menghendaki kebebasan yang optimal dan hukum yang minimal. Sebaliknya, pemerintah, terutama pemerintah di negara-negara berkembang seperti Indonesia -- dalam rangka pelaksanaan fungsi utamanya, yaitu melindungi jiwa dan harta-benda rakyat – cenderung memberikan porsi lebih besar pada hukum.
RULE OF LAW PADA ERA REFORMASI Pada era reformasi ini, bangsa kita tampaknya terjebak dalam situasi anomali. Di satu sisi tuntutan kebebasan di segala lapangan kehidupan sangat menggebu-gebu; di sisi lain aturan main untuk mengakomodasi kebebasan yang optimal ini belum ada atau belum disepakati bersama. Sebagian besar masyarakat pun sesungguhnya belum siap menerapan kebebasan ala barat yang bernuansa absolut, karena khawatir terhadap berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya. Di satu sisi ideologi Pancasila nyaris menjadi “sampah” yang berfungsi sebagai pemanis bibir semata; namun di sisi lain masyarakat belum menyepakati suatu “ideologi” baru sebagai pengganti Pancasila. Dalam situasi anomali seperti itu, rule of law menjadi mandul. Hukum tidak lagi berpihak pada keadilan, tapi lebih sering takluk pada uang dan kekuasaan. Siapa yang mempunyai uang lebih banyak, atau kekuasaan lebih besar, proses hukum bisa dimenangkan (Wolff, 1971:15-36). Ketika hukum mandul, order pun menjadi kacau-balau. Indonesia pascaOrde Baru menjadi panggung terbuka bagi tontotan runtuhnya order. Konflik berdarah antar-etnis di berbagai daerah, tawuran massal antar-kampung, copet yang tertangkap basah dan digebuki massa sampai mati, “hiruk-pikuk” pemilihan Bupati atau Gubernur, banyaknya calon anggota legislatif (caleg) yang menggunakan ijazah aspal (asli tapi palsu), praktek uang dalam pemilihan umum, praktek KKN yang semakin merajalela, para petinggi pemerintah yang ramai-ramai mencari gelar MBA dan doktor tanpa sekolah, bupati yang
4
melecehkan gubernur, walikota yang dipecat DPRD ketika baru menjabat dua bulan, sampai situasi lalu-lintas yang sangat semrawut, semua itu jelas merupakan cermin dari order yang kacau, bahkan nyaris runtuh.
KEDUDUKAN PERS Secara universal, pers diakui memainkan peran penting dalam proses demokrasi (Janda, dkk, 1989:218-220; Reilly, “World Press Freedom, www.cs.unb.ca; Gross, 1966:278-279; Siebert dkk, 1956:43-46). Dalam kacah politik, pers kerap berfungsi sebagai filter komunikasi politik antara elite politik dan rakyat, atau sebaliknya, sebab jarang sekali pemimpin negara berbicara langsung kepada rakyat. Begitu juga sebaliknya: pers menjadi wahana penting untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Dalam era reformasi, pers memiliki kedudukan sangat terhormat. Institusi ini benar-benar menikmati statusnya sebagai the fourth estate (pilar kekuasaan keempat). Di seantero dunia, pers selalu menjadi korban pertama, sekaligus korban paling berat, dari kekuasaan otoriter. Tetapi, jika kekuasaan otoriter jatuh, pers-lah yang pertama kali menikmati kebebasan. Semakin berat cekikan yang dialami pers dalam era otoritarian, semakin besar pula kebebasan yang dinikmatinya setelah pergantian rejim. Dalam teori pers libertarian (Siebert, 1956:45-46), terkesan bahwa pers sebagai pilar kekuasaan keempat berada pada posisi tertinggi. Pers menjadi watchdog dari kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kecuali itu, pers juga mengawasi roda kehidupan masyarakat secara keseluruhan (Kovach & Rosenstiel, 2001:17-18). Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers menandaskan bahwa ”Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum” (Pasal 2). Dengan klausul ini, jelas sekali bahwa pers memposisikan dirinya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, atau “kepanjangan tangan rakyat”. Karena negara ini milik rakyat, maka pers perlu diberikan kebebasan seluasnya untuk melaksanakan amanat rakyat tadi.
KEBEBASAN PERS SAAT INI Situasi kebebasan pers di Indonesia saat ini, bedanya seperti langit dan bumi jika dibandingkan dengan situasi pada era Orde Baru (Lesmana, Pilars, No 11 Thn VII). Dulu, ketika Tommy Soeharto mengalami kecelakaan di sirkuit Sentul (waktu latihan), pers tidak boleh mempublikasikannya karena
5
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1 , JUNI 2005: 1-14
berita seperti itu dikhawatirkan dapat menjelekkan martabat keluarga Kepala Negara. Pembajakan pesawat Garuda Wyola (1981) saja dilarang disiarkan oleh pers. Belakangan pers diziinkan menyiarkan, tapi harus bersumber dari pemerintah. Sebuah pos polisi di Cicendo, Jawa Barat, suatu hari diserang dan diobrak-abrik oleh sekelompok “orang bersenjata”. Sementara pers mencium berita ini, tapi segera diancam oleh aparat keamanan untuk tidak mempublikasikannya. Berita semacam ini, pada masa Orde Baru, amatlah sensitif, karena menyangkut persoalan “stabilitas nasional”. Jangankan bisnis anak-anak Pak Harto, bisnis petinggi pemerintah pun ketika itu untouchable oleh pers. Selain itu, pers yang bandel dan tidak mengindahkan “imbauan” pemerintah untuk tidak menyiarkan satu berita terancam breidel. Pada era reformasi ini, tidak ada obyek, apakah itu perorangan, instansi pemerintah, pejabat Negara atau Presiden sekali pun, yang tidak bisa disentuh dan dikecam oleh pers. Bahkan kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid pun diyakini, sebagian, adalah berkat kerja pers. Betapa banyak kasus KKN yang dibongkar oleh pers, baik yang dilakukan pejabat eksekutif, apalagi anggota legislatif. Betapa banyak perilaku buruk wakil rakyat yang ditelanjangi pers. Ketika konflik etnis di Sampit pecah, pers mengeksposnya habis-habisan. Sebuah penerbitan pers daerah pernah mempublikasikan foto kepala seorang korban yang sudah lepas dari badannya tatkala banyak santri NU yang dibunuh oleh “ninja-ninja” misterius. Kasus dugaan korupsi Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh, sudah marak diungkap pers jauh sebelum aparat hukum melakukan penyidikan. Pada era reformasi, tiga “tembok pers” berhasil dirobohkan: kini tidak ada lagi lembaga izin terbit, sensor dan breidel. Bahkan instansi pemerintah yang mengurus ketiga “tembok pers” ini, yaitu Departemen Penerangan R.I. sudah lenyap, dibubarkan oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid. Kini siapa pun, termasuk Presiden R.I., tidak bisa menutup sebuah penerbitan pers. Pelaksanaan kebebasan pers Indonesia dewasa ini mirip dengan kebebasan pers era tahun 1950-1959 yang dikenal dengan sebutan era demokrasi liberal yang bercorak libertarian (Lesmana, 8-102003). Pers libertarian mempropagandakan konsep “the open market place of ideas”. Substansi dari konsep ini adalah sebagai berikut: Biarkanlah pers bebas memberitakan apa pun yang dinilainya perlu diberitakan. Pemerintah atau masyarakat tidak boleh sekali-kali menginterupsi, apalagi menghambatnya. Pendapat yang benar, pada akhirnya, akan menang; sedang yang salah akan terpinggirkan, karena pembaca sendiri yang menentukannya. Kebebasan pers Indonesia yang begitu besar di era reformasi juga tercermin dari substansi Undang-Undang tentang Pers (UU No. 40 tahun 1999). Dalam Undang-undang tersebut., hanya tiga delik pers yang diatur (Pasal 5 ayat 1), yakni delik pelanggaran norma agama, norma susila dan asas praduga tak bersalah.
6
Padahal di Swedia, negara yang oleh Freedom House dikategorikan paling bebas persnya di seluruh dunia, UU Pers-nya mengatur tidak kurang 10 delik pers dengan sanksinya masing-masing. UU No. 40 tahun 1999 memang dibuat dalam suasana penuh euforia demokrasi; disahkan hanya satu setengah tahun setelah Orde Baru jatuh.
EKSES KEBEBASAN PERS Kebebasan pers yang demikian besar, bahkan cenderung kebablasan, telah menimbulkan berbagai ekses yang merugikan masyarakat maupun pers, antara lain berupa: Pelanggaran atas prinsip check-and-balance. Dalam masalah kontroversial atau melibatkan tokoh kontroversial, pers sering kurang memperhatikan prinsip check-and-balance sehingga berita yang dihasilkan tidak obyektif, bahkan kadang bersifat amatiran. Laksamana Sukardi, mantan Menteri Negara Pembinaan BUMN, oleh beberapa surat kabar ibu kota diberitakan “lari ke luar negeri” menjelang berakhirnya pemerintah Megawati. Pemberitaan tersebut. memberikan konotasi kepada masyarakat bahwa (a) Laksamana seorang menteri korup dan (b) ia takut ditangkap aparat penegak hukum setelah tidak menjadi menteri lagi. Pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah. Seorang perwira tinggi TNI-AD, misalnya, diberitakan terlibat dalam kasus bom Bali karena berada di Bali pada saat tragedi itu terjadi. Salah satu koran malah menyebutkan identitas sang Jenderal secara lengkap (Rakyat Merdeka, 29-10-2002). Pencemaran nama baik. Karena kurang teliti atau tidak melalui penelitian yang saksama, wartawan adakalanya terperosok dalam perangkap “libel” (pencemaran nama baik). Akibatnya, harian Sriwijaya Post dihukum oleh Pengadilan Negeri Palembang karena terbukti mencemarkan nama baik dan kehormatan Z.A Maulani, mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN); Koran Tempo dan Majalah Tempo diadili karena diadukan oleh Tomy Winata, harian Rakyat Merdeka pada waktu yang hampir bersamaan diganjar dua hukuman oleh pengadilan, masing-masing karena terbukti mencemarkan nama baik mantan Presiden Megawati dan mantan Ketua DPR, Akbar Tandjung. Dipengharuhi mind-set yang negatif. Memberitakan kinerja suatu instansi atau seseorang secara a priori, didorong oleh mind-set negatif yang sudah ada di kepala wartawan yang bersangkutan. Mind-set negatif ini mungkin timbul akibat pengalaman buruk pers dengan instansi atau petinggi pemerintah tersebut. di masa silam. Menjelang diterapkannya darurat militer di Aceh pada
7
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1 , JUNI 2005: 1-14
Mei 2003, misalnya, Koran Tempo (21-4-2003) menurunkan sebuah headline dengan judul yang amat provokatif: “TNI Siapkan Ladang Pembantaian GAM”. Istilah “ladang pembantaian” dapat mengingatkan pembaca kita pada perang saudara di Kampuchea pertengahan 1970-an tatkala tentara Pol Pot membantai secara keji rakyatnya sendiri. Tragedi kemanusiaan ini kemudian difilmkan dengan judul “Killing Field”. Seolah-olah melalui Darurat Militer, tentara kita pun siap membantai habis anggota GAM di Aceh. Berita seperti ini dikhawatirkan dapat memprovokasi masyarakat untuk menentang kebijakan darurat militer di Aceh. Memelintir informasi yang sebenarnya. Wujudnya dengan menggiring seseorang seolah-olah mengatakan apa yang sebenarnya menjadi pendapat wartawan sendiri. Salah kutip. Masih banyak wartawan yang berpendapat bahwa jika mereka mengutip pernyataan seseorang -- apalagi sumbernya sangat credible – dan kemudian pernyataan itu ternyata salah, wartawan tidak bisa disalahkan, apalagi dijerat hukum. Pandangan ini, tentu, keliru. Jika isi kutipan terbukti menghina pihak ketiga, pers dapat dituntut ke pengadilan dan dihukum ganti rugi kepada pihak yang merasa tercemar nama baiknya. (The Reporters’s Committee on Freedom of the Press) Ekses kebebasan pers telah menimbulkan reaksi keras anggota atau kelompok masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Perusakan kantor penerbitan pers menjadi fenomena yang cukup sering dalam era reformasi. Intimidasi, bahkan penganiayaan fisik terhadap wartawan juga sering terjadi. Tentu saja, tindakan-tindakan anarkis dan main hakim sendiri dari masyarakat tidak bisa dibenarkan, apa pun alasannya. Akan tetapi, semua itu merupakan penguat dari tesis mandulnya hukum kita dewasa ini, sekaligus rapuhnya order di negeri kita seperti telah dipaparkan di atas. Sebab dalam negara berasaskan hukum, semua perselisihan antar-warga, atau warga dengan pemerintah, mestinya diselesaikan secara hukum, jika perdamaian menghadapi jalan buntu. Di pihak pers, hal itu seyogyanya diterima sebagai cambuk untuk mawas diri dan introspeksi; bahwa kebebasan dan tanggungjawab tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
TUNTUTAN KEADILAN DARI PERS Konvensi Nasional Media Massa se-Indonesia yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) tanggal 9 Februari 2004 diwarnai oleh suasana keprihatinan wartawan sehubungan dengan semakin meningkatnya delik pers yang dibawa ke pengadilan dan berakhir dengan vonis terhadap pers (Kompas, 10-2-2004, hal.7). Yang menarik, sekaligus yang
8
diprotes keras oleh sejumlah wartawan, adalah penggunaan pasal-pasal KUHP oleh hakim dalam proses peradilan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: untuk apa ada UU Pers kalau hakim tetap menjerat wartawan dengan pasalpasal KUHP? Kenapa UU No. 40 tahun 1999 tidak bisa diberikan status “Lex Specialis”? Mengapa ancaman penjara masih menghantui wartawan? Salah satu peserta konvensi mengemukakan bahwa pers Indonesia kini menghadapi paradoks hukum (Kompas, 10-2-2004, hal 7). Di satu sisi ada aturan hukum yang melindungi kemerdekaan pers, tetapi di sisi lain lebih banyak aturan hukum yang justru membunuh kemerdekaan pers. Yang dimaksud dengan aturan hukum yang pertama, antara lain UUD 1945, TAP MPR No. XVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers; sedang aturan hukum kategori kedua disebutkan antara lain UU No. 23/1959 tentang Keadaan Bahaya, UU No. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas, UU No. 4/1999 tentang Kepailitan, UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. Belum lagi sejumlah pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), antara lain disebutkan apa yang disebut “pasal karet” (haatzai artikelen), yaitu Pasal 154 dan 155 KUHP. Peraturan perundang-undangan tersebut di atas, di mata sementara wartawan kita, mungkin dikategorikan sebagai “unjust law” atau hukum yang tidak adil. (Hart, 1986). Setidak-tidaknya, bertentangan dengan UUD 1945. Karena tidak adil, maka peraturan perundangan-undangan itu tidak perlu ditaati atau dilaksanakan. Mereka pun berdalih bahwa kebebasan pers di Indonesia kini kembali terancam, seraya menuduh bahwa ada upaya sistematis dari pihak-pihak tertentu (siapa?) untuk mengembalikan pers otoritarian di Indonesia, sebab pers yang bebas dinilai sebagai ancaman terhadap penguasa.
HUKUM HARUS DITEGAKKAN, JUGA TERHADAP PERS Suatu peraturan perundang-undangan, sepanjang masih merupakan hukum positif, tetap harus dijalankan walaupun oleh pihak-pihak tertentu dipandang tidak adil (Hart, 1986). Pandangan ini juga didukung oleh Aquinas ketika ia menulis bahwa “the law should be obeyed, when to break it would lead to scandal or civic disturbance.” Ahli hukum lainnya, Finnis seperti dikutip oleh Hart, mengemukakan, The good citizen may be morally required to conform to (an unjust) stipulation to the extent necessary to avoid weakening “the law”, the legal system….. as a whole”. Hukum apapun, apa pun bentuknya, termasuk yang dikategorikan tidak adil, tetap harus dilaksanakan. Jika tidak, sistem hukum secara keseluruhan akan menjadi lemah. Memang Finnis setuju bahwa terhadap peraturan perundangundangan yang dinilai tidak adil, seyogyanya dicabut oleh pemerintah. Dengan demikian, kalangan pers tidak mempunyai alasan untuk tidak tunduk pada
9
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1 , JUNI 2005: 1-14
peraturan perundanan-undangan apa pun yang didalamnya terdapat ketentuanketentuan restriksi atas kebebasan pers, sepanjang peraturan perundangundangan itu masih berlaku. Konsekuensinya, hakim juga tidak dapat disalahkan manakala ia menerapkan ketentuan hukum tersebut dalam pertimbangan hukumnya. Semua peraturan perundangan-undangan yang disebutkan di atas mengatur masalah-masalah spesifik (seperti penyiaran, keadaan bahaya, kepailitan dan lain-lain); sedangkan jaminan perlindungan terhadap kemerdekaan pers yang diatur dalam UU tentang Pers bersifat umum. Hal ini berarti, kemerdekaan pers di Indonesia memang dijamin oleh undangundang; namun pada tingkat pelaksanaannya, kemerdekaan itu tidaklah absolut sifatnya (Lesmana, Kompas, 23-10-2003). Tentang tuntutan agar kasus-kasus pers diselesaikan melalui mekanisme hak jawab atau mediasi Dewan Pers, hal ini memang patut dipertimbangkan oleh masyarakat. Namun, tuntunan ini tidak mutlak sifatnya. Masalahnya, kadang, tidak sesederhana itu. Jika ada pihak yang merasa sangat dirugikan, seperti tercemar martabatnya, atau difitnah yang tidak ada dasar sama sekali, oleh suatu tulisan atau laporan, sekadar koreksi atau bantahan mungkin dinilai tidak memadai. Maka, ia berhak menuntut ganti rugi materiil maupun immateriil. Pers sekali-sekali tidak dapat memaksakan solusi hak jawab. Pasal 5 ayat (2) UU No. 40 tahun 1999 mengatakan “Pers wajib melayani Hak Jawab”. Jelas, kewajiban itu ada di pihak pers, bukan di pihak masyarakat yang merasa dirugikan. Hal ini berarti masyarakat boleh menggunakan, boleh juga tidak menggunakan hak jawab. Dewan Pers sendiri mengakui bahwa hak jawab biasanya menyangkut kesalahan tidak fatal yang dilakukan oleh pers; sedang dalam kasus kesalahan fatal, masyarakat boleh langsung menggugat penerbitan pers yang bersangkutan? (Dewan Pers, 2002). Tentang tuntutan agar UU tentang Pers diperlakukan sebagai “Lex Specialis”, pers tidak usah risih, apalagi marah, jika hakim menolaknya. Wartawan Indonesia harus mengakui secara jujur bahwa UU No. 40 tahun 1999 belum bisa diberlakukan sebagai “Lex Specialis”, karena masih begitu banyak delik pers yang tidak diatur di dalam UU tsb. UU No. 40 tahun 1999 hanya mengatur tiga delik pers, yaitu pelanggaran terhadap norma agama, norma susila dan asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1). Bagaimana dengan delik kabar bohong? Delik pencemaran nama? Delik membuka rahasia negara, dan sebagainya? Karena delik-delik tersebut belum diatur dalam UU No. 40 tahun 1999, tepatlah kalau hakim mencari peraturan perundang-undangan di luar UU No.40 tahun 1999, khususnya KUHP (Lesmana, Pilars, No 11 Thn VII).
10
PENUTUP Tugas pokok pemerintah adalah melindungi nyawa dan harta benda rakyat, di samping memberikan kesejahteraan. Pemerintahan yang demokratis sering terjebak dalam dilema konflik antara kebebasan dan tertib-sosial, serta antara kebebasan dan persamaan. Ada kecenderungan bahwa manusia lebih menonjolkan kebebasan dari pada tertib sosial; meskipun mereka sebenarnya menyadari betul bahwa tanpa tertib sosial, atau tanpa hukum, kebebasan menjadi anarkis, bahkan merusak semua tatanan sosial yang sangat dibutuhkan bagi kepentingan masyarakat sendiri. Kebebasan pers memang mutlak ada dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Namun, semua pelaku pers harus menjunjung tinggi hukum. Kebebasan dan tanggungjawab perlu dilaksanakan secara berimbang; hak-hak pribadi warganegara tidak boleh dikorbankan hanya untuk teganya kebebasan pers (Putusan US Court of Appeals, Third Circuit, 1985 dalam perkara Coughlin lawan Westinghouse Broadcasting). Pelaksanaan kebebasan pers di Indonesia dalam era reformasi, tampaknya, telah terperangkap dalam benturan antara kebebasan dan tertib sosial. Sikap sementara wartawan yang tidak senang, bahkan menolak, jika delik pers dibawa ke pengadilan menunjukkan ketidakpatuhan mereka terhadap order yang ada, yakni UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, ketentuan-ketentuan mengenai pers di dalam KUHP serta semua peraturan perundang-undangan yang ada yang di dalamnya mengandung restriksi terhadap kemerdekaan pers. Akan tetapi, pakar-pakar hukum ratusan tahun lalu, umumnya, sepakat bahwa hukum positif, sekalipun bersifat tidak adil, harus dilaksanakan. Kalau tidak, sistem hukum menjadi goyah. Ketentuan-ketentuan hukum yang dirasakan tidak adil itu boleh saja diperjuangkan untuk secepatnya dicabut. Pers Indonesia tidak perlu terjebak dalam dilema kebebasan versus order. Semua pihak, termasuk pemerintah, perlu mengakui peran sentral yang dimainkan pers dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Oleh karena itu, semua pihak harus mendukung pelaksanaan kebebasan pers dengan segala atributnya. Namun, setiap insan pers hendaknya juga sadar bahwa kebebasan yang dinikmatinya tidak bisa lepas dari pertanggungjawabannya kepada masyarakat. Hal ini berarti wartawan harus selalu siap mengikuti proses hukum jika tulisannya dinilai bermasalah, sebab wartawan memang bukan warga negara eksklusif yang tidak bisa dijangkau hukum (Lesmana, Kompas, 23-10-2003). Tentang tuntutan agar Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers diberlakukan sebagai Lex Specialis sehingga peradilan atas delik pers hanya menggunakan UU ini, sebaiknya jajaran pers bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera mengupayakan penyempurnaannya. Sedemkian rupa sehingga UU tentang Pers memenuhi persyaratan juridis untuk menjadi Lex Specialis.
11
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1 , JUNI 2005: 1-14
DAFTAR PUSTAKA Chris,
Mosmeyer, “On the Essence forum.com/churches/luxver/law1.htm.
of
Law”,
www.catholic-
Curtis, Michael (ed.). 1961. The Great Political Theories. New York: An Avon Library Books. Dennis H. Wrong. 1994. The Problem of Order. What Unites and Divides Society. New York: The Free Press. Dewan Pers. 2002. Etika, Berita Dewan Pers, No 16/September 2002. Didi Nazmi Yunas. 1992. Konsepsi Negara Hukum. Padang: Penerbit Angkasa Raya. Everette E. Dennis dan John C. Merrill. 1991. Media Debates. Issues in Mass Communication. New York: Longman. Fred P. Graham. 1972. Press Freedoms Under Pressure. New York: The Twentieth Century Fund. Fred S.Siebert, Theodore Peterson, Wilbur Schramm. 1956. Four Theories of the Press. Urbana:University of Illinois. Gerald Gross (editor). 1966. The Responsibility of the Press. New York: Simon and Schuster. Hans Kelsel. 1978. Pure Theory of Law. Los Angeles: University of California Press. H.L.A. Hart. 1986. The Concept of Law. Oxford: Clarendon Press. Kenneth Janda, Jeffrey M. Berry, Jerry Goldman. 1989. The Challenge of Democracy Boston: Houghton Mifflin Company. Kovach, Bill, Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York: The Rivers Press. Lesmana, Tjipta. “Kebebasan dan Tanggungjawab Pers Harus Berimbang”. Sinar Harapan, 8-10-2003, hal 10 “Wartawan Bukan Profesi Eksklusif”. Kompas, 23-10-2003, hal 36. “Tidak Ada Paradoks Hukum Pers. Majalah Pilars, No 11, Tahun VII, 2004.
12
Lippmann, Walter. 1967. A Preface to Morals. New Yor: The Macmillan Company. Lord Lloyd Hampstead, M.D.A. Freeman. 1985. Introduction to Jurisprudence. London: Stevens & Sons. Mortimer J. Adler. 1981. Six Great Ideas. New York: MacMillan Publishing Co, Inc. Persatuan Wartawan Indonesia. 2001. PWI 55 Tahun. Menegakkan Profesionalisme & Etika Pers di Era Multimedia. Jakarta: Panitia Pusat PWI 2001. Putusan US Court of Appeals, Third Circuit, Coughlin v Westinghouse Broadcasting and Cable,Inc. www.Coughlin v. Westinghouse.htm. Robert Paul Wolff (editor). 1971. The Rule of Law. New York: Simon and Schuster. William A. Hachten. 1998. The Troubles of Journalism. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
13
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
14
Budaya Pop dan Politik: Analisis Semiotik terhadap Penampilan Iwan Fals di TRANS TV, 4 April 2004
Pawito2
Abstract: This reseach is aimed at examinig the meaning of Iwan Fals’ live music concert broadcasted by TRANS TV, 4 April 2004. The method of Semiotic Analysis is deployed scrutinizing the live concert. The concert was seen as an integrated text comprising a set of signs amplified by television. The reseach shows that the concert was fully loaded with moral values with regard to, primarily, power, politics, corruption, and performance of parliament members (DPR). The ideology of resistance was found significantly in the concert.
Key words: Pop culture, post-modernism, social critics, semiotics analysis
Berbagai corak budaya pop (pop culture) memperoleh amplifikasi media massa secara signifikan, termasuk tayangan musik secara langsung (live concert). Media massa, terutama televisi sangat berperan dalam hal ini. Berbagai stasiun televisi, TVRI maupun televisi komersial, sering menayangkan pentas musik secara langsung. Salah satu di antaranya adalah pentas musik Iwan Fals di TRANS TV tanggal 4 April 2004. Tayangan yang berdurasi selama 90 menit termasuk iklan ini (jam 20.15 – 21.45) menarik untuk dicermati karena beberapa hal: (a) Iwan Fals adalah seorang musisi dan penyanyi yang tergolong paling terkemuka di Indonesia, (b) lirik-lirik lagu Iwan Fals pada umumnya berisikan kritik sosial berkenaan dengan masalah-masalah yang aktual yang dihadapi masyarakat dan/atau bangsa Indonesia, dan (c) penampilan Iwan Fals biasanya mendatangkan histeria penonton. 2
Pawito adalah Staf Pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
15
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1 , JUNI 2005: 15-28
Penayangan pentas musik Iwan Fals kali ini dilakukan hanya 12 jam sebelum hari pencoblosan Pemilihan Umum 2004 (pemilihan anggota legislatif). Pada kenyataannya, Iwan Fals menyebut-nyebut masalah politik, seperti masalah wakil rakyat dan masalah pencoblosan (pemberian suara dalam pemilihan umum) baik dalam lirik lagu-lagu yang dibawakan maupun kata atau kalimat-kalimat yang diucapkan. Hal demikian tentu saja sangat menarik untuk diteliti. Pentas musik dan/atau tayangan pentas musik melalui televisi dapat dikatakan merupakan perwujudan (manifestation) dari budaya pop yang sangat diminati oleh kalangan muda, terlebih kalangan muda terpelajar di perkotaan. Hal ini bukan semata disebabkan oleh medium televisi yang memang merupakan medium yang sangat luas digunakan (ubiquitous medium) tetapi juga karena karakter pribadi Iwan Fals yang dapat mewakili serta menjadi simbol perlawanan atau perjuangan kaum muda terhadap berbagai penyakit sosial, seperti korupsi, kerakusan para pemimpin, kelicikan pada politisi kita, terabaikannya nilai-nilai etika dan moral, serta tercampakkannya kejujuran dan harkat kemanusiaan. Meneliti tayangan musik Iwan Fals dengan menempatkannya sebagai teks yang bersifat holistik sehingga dapat menangkap makna-makna yang lebih utuh, karena itu akan menjadi penting. Penelitian ini mengambil fokus pada pertanyaan sebagai berikut: Maknamakna apa yang dapat diberikan terhadap tayangan pentas musik Iwan Fals di TRANS TV, 4 April 200? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini peneliti menghadirkan pertanyaan-pertanyaan antara sebagai berikut: 1) Pesan-pesan apa yang menonjol yang disampaikan oleh Iwan Fals, baik dalam lirik-lirik lagu maupun ucapan-ucapan ketika tampil di televise; 2) Bagaimana gerak tubuh, shot dan pencahayaan dibuat selama penampilan sehingga memunculkan makna-makna tertentu, dan 3) Bagaimana karakter medium televisi secara integral mempengaruhi penampilan Iwan Fals sehingga menciptakan maknamakna tertentu. Untuk dapat menjawab pertanyaan dalam penelitian tersebut digunakan beberapa landasan pemikiran dari telaah pustaka tentang budaya pop (pop culture), dan pemikiran tentang budaya pop dan televise dilihat dari perspektif postmodernis.
16
KERANGKA TEORI Budaya Pop (Pop Culture) Memasuki dekade 1930-an, karya budaya terutama musik dapat dikelompokkan menjadi dua lapisan, yaitu (a) kebudayaan oleh dan untuk kalangan elite yang sering disebut dengan budaya elite (high culture), dan (b) kebudayaan oleh dan untuk kalangan orang kebanyakan (mass public) yang sering disebut dengan budaya populer (popular culture) atau kebudayaan massa (mass culture) yang dalam studi ini disebut dengan budaya pop (Mackey-Kallis, 1995:594). Konteks pemilahan ini mula pertama relevan untuk gejala di Amerika dan juga Eropa. Pemilahan demikian didasarkan pada keyakinan asumtif bahwa karakteristik kelas sosial yang berbeda-beda menentukan preferensi corak kebudayaan yang dikembangkan. Kendati pun banyak kalangan yang menerima keyakinan tersebut, namun di antara para ahli tidak ada kesepakatan mengenai dampak (impact) dari budaya pop pada khalayak, pada produksi budaya elite, serta pada masyarakat secara keseluruhan. Kritik yang tergolong konservatif umumnya mengatakan bahwa budaya pop cenderung bersifat lugas (profane), merendahkan martabat (dehumanizing), dan berpengaruh secara negatif (encroaches) terhadap budaya elite. Kritik demikian lalu berujung pada seruan untuk menjaga standar budaya elite, bahkan juga perlindungan terhadapnya, untuk konsumsi kalangan elite. Kritik lain mengatakan bahwa budaya elite (high culture) sebenarnya dikontrol atau dikembangkan oleh kalangan-kalangan tertentu untuk memelihara ideologi mereka melalui berbagai bentuk karya budaya (cultural productions) (MackeyKallis, 1995:594). Kritik-kritik yang lebih baru justru mengatakan bahwa kebudayaan, termasuk budaya pop, “was ideological and that cultural products shaped social and political consciousness and behavior.” Budaya pop pada perkembangannya kemudian, seperti dikatakan oleh MacDonald, justru banyak ditumbuhkan oleh kalangan atas. Ada petunjuk yang kuat bahwa budaya pop ditumbuhkan oleh kalangan pengusaha yang berkolaborasi dengan para insinyur yang kemudian mampu menciptakan kondisi di mana khalayak relatif tak berdaya, dalam arti kesempatan khalayak untuk memilih berpartisipasi atau tidak berpartisipasi cenderung dipersempit (Mackey-Kallis, 1995: 596). Barangkali apa yang dikemukakan di atas tidak seluruhnya benar. Urusan kebudayaan, tentu bukan hanya merupakan urusan para insinyur dan pengusaha, juga bukan semata urusan kaum elite, tetapi urusan seluruh elemen dalam masyarakat. Tarik-menarik antara elemen-elemen dalam masyarakat cenderung mewarnai pergumulan atau interaksi budaya yang terjadi terus-menerus. Dalam hubungan ini harus diterima kenyataan bahwa ada elemen yang relatif lebih
17
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1 , JUNI 2005: 15-28
kuat (powerful) yang berupaya mendominasi dengan memasukkan ideologiideologi tertentu, di sisi lain, ada elemen yang relatif kurang kuat (powerless) yang cenderung bertahan. Dalam proses tarik-menarik atau pergumulan budaya ini, media massa secara umum dan televisi secara khusus, mengambil peran. Televisi membantu menumbuhkembangkan budaya pop, menyebarluaskan, serta memfasilitasi debat publik mengenainya. Untuk konteks Indonesia maka dapat dikatakan bahwa penayangan secara langsung (life) konser musik musisi serta penyanyi terkemuka seperti Iwan Fals melalui televisi pada umumnya dimotori dan diminati oleh masyarakat luas, teristimewa kalangan muda dan terpelajar. Kalangan ini relatif lebih memiliki peluang untuk memasukkan atau memperjuangkan ideologi tertentu, terutama ideologi pendobrakan, perlawanan, perubahan dan pembaharuan melalui produk budaya seperti tayangan langsung konser musik. Dari sisi ini kelihatan jelas bahwa pendapat yang mengatakan bahwa budaya pop lebih banyak dikembangkan kalangan pinggiran (bukan elite) tidak dapat diterima sama sekali. Kendati pun begitu, walau konser musik Iwan Fals barangkali memang lebih banyak diminati kalangan muda terpelajar di perkotaan, namun nampaknya sulit untuk membela argumen bahwa budaya pop hanya milik mereka. Bentuk budaya pop lain seperti musik dangdut, kendati juga diminati oleh kalangan muda terpelajar di perkotaan, namun jenis budaya pop ini juga sangat diminati oleh kalangan pinggiran (kaum marginal) baik di perkotaan maupun pedesaan.
Budaya Pop dan Televisi: Perspektif Postmodernism Postmodernism dalam pengertian yang paling luas pada umumnya dipahami sebagai “a style of cultural production” (O’Shaughnessy, 1999:254). Pengertian demikian tadi relevan dengan segala bentuk estetika seperti film, iklan, acara televisi termasuk tayangan musik, dan bahkan juga gaya hidup (lifestyle) mulai dari bagaimana orang hidup, merasa, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata “style” (corak atau gaya) seperti di atas dikatakan maka postmodernism memiliki beberapa karakter penting, misalnya, sifat ironi, mengkaburkan batas atau sekat-sekat yang sebelumnya menjadi karakter pokok (blurring the boundaries), dan identitas yang cenderung cair atau longgar (fluid identity) (O’Shaughnessy, 1999:261-266). Atas dasar karakter demikian maka banyak kalangan mengatakan bahwa spirit postmodernism sebenarnya adalah anti kemapanan, semangat pendobrakan. Dalam ungkapan Pieterse, postmodernism dikatakan sebagai berintikan relativisme dan ketidakyakinan (disbelief) terhadap berbagai narasi
18
besar seperti emansipasi, kebebasan, kemanusiaan, dan kekuasaan. Dalam signifikasi dengan narasi-narasi besar inilah budaya pop di Indonesia berkembang dengan amplifikasi media, terutama televisi. Kalangan postmodernism pada umumnya menganggap bahwa televisi sebenarnya tidak pernah membuat suatu representasi realitas, tetapi televisi menciptakan atau mengkonstruksi realitas. Realitas tidak terletak pada obyektivitas empirik tetapi lebih merupakan produk dari wacana (discourse). Kamera televisi dan juga microphone pada dasarnya tidak merekam realitas, tetapi meng-encode realitas. Ini berarti kamera televisi menciptakan realitas tertentu yang tidak pernah merupakan realitas sebenarnya. Penciptaan realitas ini pada dasarnya bersifat ideologis. Apa yang direpresentasikan oleh televisi, sebenarnya “is not reality but ideology.” Televisi, karena itu, bergerak dalam domain semiotik seperti halnya sistem industri, termasuk industri media, bergerak dalam domain ekonomi. Selanjutnya, karena televisi bekerja bukan semata memproduksi dan mereproduksi komoditi tetapi juga, dan yang lebih penting lagi adalah modal (capital), maka televisi tidak memproduksi realitas obyektif tetapi memproduksi modal (Fiske, 1991:55-56). Apa yang dikemukakan di atas memberikan pijakan bagi pemahaman kenapa televisi sangat bersemangat untuk memfasilitasi budaya pop, bahkan yang bernuansa politik sekalipun, termasuk apa yang dibawakan oleh Iwan Fals melalui TRANS TV 4 April 2004 itu. Artinya, bukan realitas gemuruh serta kebingungan masyarakat yang hendak ditampilkan oleh TRANS TV dengan menyiarkan konser Iwan Fals, tetapi TRANS TV mencoba merepresentasikan ideologi pemberontakan – yakni semangat untuk melawan sistem atau tatanan yang dinilai counter-produktif untuk upaya pengembangan kemakmuran, keadilan, serta harkat manusia Indonesia. TRANS TV melihat karakter seperti itu pada diri Iwan Fals, kemudian memfasilitasinya, dengan memperhitungkan keuntungan modal, dan ternyata memperoleh sambutan luar biasa dari khalayak massa. Ideologi pemberontakan untuk konteks Indonesia memiliki akar sejarah yang sangat dalam. Ideologi pemberontakan bukan hanya tersemai ketika zaman penjajahan Belanda dengan segala kekejaman serta kesengsaraan yang diderita oleh manusia-manusia yang mendiami wilayah yang sekarang disebut dengan Indonesia, tetapi sudah tersemai jauh sebelum itu, seperti misalnya pemberontakan Ken Arok terhadap Tunggul Ametung yang tamak dan sewenang-wenang di Tumapel di abad ke-12.
19
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1 , JUNI 2005: 15-28
Metodologi Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis semiotik (sering disebut dengan analisis semiologi). Metode ini diyakini sesuai untuk meneliti tayangan televisi sebagai produk budaya, karena televisi, seperti telah dikatakan, sebenarnya bekerja pada domain semiotik. Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa analisis semiotik adalah suatu cara atau teknik meneliti teks. Teks dalam hubungan ini adalah isi media yang tampil dalam wujud apa saja, misalnya, tayangan televisi, berita suratkabar, konser musik, fashion, dan menu masakan (Berger, 1982:14; Pawito, 1997:18). Khusus dalam konteks penelitian ini, apa yang dimaksudkan dengan teks adalah keseluruhan sistem lambang yang terdapat pada tayangan langsung konser musik Iwan Fals di TRANS TV tanggal 4 April 2004. Tayangan tersebut dilihat sebagai suatu produk budaya (culture production) yang mengandung unsur-unsur lambang yang bersifat auditif (bunyi perkusi musik, suara dan/atau kata-kata Iwan Fals, dan teriakan histeris penonton) sekaligus visual (sosok Iwan Fals, kerabat pemain musik, dan penonton), bahkan juga shot kamera dan pencahayaan. Semua unsur ini dinilai sebagai suatu keseluruhan teks yang bersifat holistik. Penerapan metode analisis semiotik dalam penelitian ini lebih bersifat Saussurian dengan memfokuskan diri pada analisis sinkronik dan diakronik. Analisis sinkronik (synchronic) merupakan cara analisis yang dilakukan dengan menganalisis keberadaan teks, terutama berkenaan dengan struktur paradigmatik dari teks. Hal ini dilakukan untuk menemukan lambang-lambang (signs) yang menonjol serta signifier-nya, hubungan-hubungan serta oposisi dari lambang, dan sistem-sistem yang mengikat lambang. Sedangkan analisis diakronik (diachronic) digunakan untuk melacak struktur sintagmatik dari teks, yakni makna dari rangkaian lambang-lambang, konteks dari teks baik konteks situasi maupun konteks budaya atau ideologis. Validasi diupayakan dengan menggunakan triangulasi data dan triangulasi teori. Validasi data diupayakan dengan menguji dan/atau mengkonfirmasi data satu dengan lainnya, dan triangulasi teori dilakukan dengan membandingkan dan/atau mencocokkan teori-teori yang digunakan dengan temuan yang diperoleh.
HASIL DAN PEMBAHASAN Nasionalisme Penayangan konser Iwan Fals di TRANS TV pada tanggal 4 April 2004 memberikan kesan kuat bahwa di Indonesia, budaya pop (pop culture) memiliki
20
kaitan yang kuat dengan politik, dan bahwa televisi sangat berperan dalam memfasilitasi berkembangnya budaya pop dalam nuansa demikian. Di bagian awal dari konser ini dilantunkan lagu “Padamu Negeri” oleh Iwan yang diikuti oleh segenap penonton yang mulai histeris. “Padamu negeri kami berjanji // Padamu negeri kami berbakti // Padamu negeri kami mengabdi Bagimu negeri jiwa raga kami.”
Di penghujung lagu ini Iwan Fals bahkan menerima pemberian bendera merah putih – lambang nasionalisme bangsa Indonesia. Iwan menyapa bukan hanya audiens yang hadir di TRANS TV dan secara langsung menonton konser tetapi juga menyapa khalayak penonton TRANS TV dari Sabang sampai Merauke. Bertolak dari alur ini maka dapat dikatakan bahwa tayangan konser Iwan Fals ini bukan tayangan konser biasa tetapi tayangan konser seorang musisi kenamaan di Indonesia yang signifikan dengan nuansa politik. Sapaan Iwan Fals, senyum serta lambaian tangannya memberikan warna terhadap konser dan/atau tayangan, dan itu mencerminkan kedekatan Iwan Fals dengan penonton dan penggemarnya. Setelah alunan lagu “Padamu Negeri” Iwan lalu merangkainya dengan “Bangunlah Putra-Putri Pertiwi”. Lagu ini membawa histeria penonton. Cahaya yang menimpa wajah Iwan yang tertawa menyeringai, Iwan yang bergerak dinamik di atas panggung, penonton yang membludak dan berjingkrak disapu lensa; semua ini meyakinkan kita bahwa karakter Iwan yang dekat dengan kaum muda, akrab dengan rakyat, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap nasionalisme. Dalam hubungan ini nasionalisme memiliki makna terutama adalah kecintaan terhadap negeri, dan kerinduan akan persatuan seluruh anak bangsa.
Korupsi. Lambang-lambang (signs) yang ada pada tayangan konser Iwan Fals di TRANS TV pada dasarnya merupakan bauran dari unsur-unsur bahasa verbal (lirik lagu dan ucapan Iwan Fals, teriakan penonton), bahasa tubuh (gerak tubuh seperti senyuman, lambaian tangan, dan gaya ketika di panggung), shot kamera serta pencahayaan (lightning). Dilihat dari lirik-lirik lagu yang dibawakan, kita dapat mengatakan bahwa tayangan konser musik Iwan Fals di TRANS TV sangat bernuansa kritik sosial, bahkan kadangkala sangat terkesan tajam berkenaan dengan kekuasaan dan korupsi. Dalam lagu “Tikus-Tikus Kantor”, misalnya, Iwan mengangkat
21
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1 , JUNI 2005: 15-28
bagaimana korupsi dapat terjadi dalam pola simbiose mutualistis antara atasan dan bawahan. Iwan mengatakan hal tersebut lewat lirik-lirik sebagai berikut: “….Tikus-tikus yang tak pernah kenyang // Rakus-rakus bukan kepalang // Otak tikus memang bukan otak udang // Kucing datang tikus menghilang // Tikus tahu Sang Kucing lapar // Kasih roti jalan pun lancar.”
Kata-kata “Tikus-tikus yang tak pernah kenyang” dan seterusnya sebagai lambang (signs) dapat dimaknai sebagai pejabat korup di tingkat bawahan yang tamak yang senantiasa pandai memanfaatkan situasi serta menggunting dalam lipatan seraya mengambil hati atasan yang juga korup dengan cara memberi upeti atau keleluasaan melakukan korup dengan cara tak mau tahu apa yang dilakukan atasan. Kritik dari bawah ke atas tidak dikenal dalam hubungan ini, dan inilah sebagian dari konteks situasional maupun historis dari lagu ini. Gaya Iwan Fals yang memutar tubuh sambil tersenyum lebar sementara medium close up diambil dengan fokus yang bergantian antara Iwan dan para pendukungnya (pemain keyboard, drummer, gitar dan bass) mengisyaratkan kekompakan dalam penyampaian pesan sarkastis terhadap para pejabat korup di negeri kita: korupsi terjadi di segala level, level atas dan level bawah. Korupsi merupakan gejala patologis yang sangat akut yang menjangkiti masyarakat Indonesia. Dalam konteks birokrasi modern, maka masyarakat Indonesia mengenal korupsi sejak zaman VOC. Theodore M. Smith (1990:423440) mencatat bahwa para pegawai dan pejabat VOC cenderung korup karena gaji yang rendah serta kesempatan atau peluang yang memang leluasa untuk korupsi karena tidak adanya kontrol baik dari pemerintah Belanda maupun di Jawa sendiri. Hal ini menyebabkan, seperti ditulis oleh Smith: “Officials became rich by stealing from the companye [VOC]. Some forms of theft came in time to deserve a less harsh name, as they were so current and open that they could be regarded as legal” (Smith, 1990:425). Pada dekade 1960-an gejala korupsi sudah pernah disindirkan melalui gending dolanan (gamelan Jawa) berbunyi:
“Kuwi opo kuwi (itu apa itu) // Eh kembang melati (eh bunga melati) // Sing tak puja-puji (yang saya damba-dambakan) // Ojo do korupsi (jangan pada korupsi) // Margo yen korupsi (sebab kalau korupsi) // Negarane rugi (negara bakal dirugikan) // Piye mas piye (bagaimana mas, bagaimana mana) // Yo ngono, ngono ngono kuwi (ya begitu itu, ya begitu itu).”
22
Korupsi kenyataannya semakin bertambah parah dari periode Orde Baru sampai dengan periode kepresidenan Megawati Sukarnoputri. Karena begitu seringnya korupsi terjadi, sangat menggejala, dan bahkan kerapkali secara terang-terangan maka tindakan korupsi kerapkali dianggap sah (legal). Kaburnya batas korupsi dan bukan korupsi sebagai konsekuensi dari semakin menguatnya kecenderungan menganggap sah terhadap tindakan korupsi pada gilirannya menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan negara. Korupsi pada kenyataannya bukan saja tidak sesuai (incompatible) dengan demokrasi tetapi bahkan mengancam (undermine) demokrasi (Pawito, 2002:237). Ujung dari semakin membudayanya praktek korupsi di Indonesia adalah tendensi kondisi yang oleh Ma’arif (Kompas, 21 Februari 2004, h.8) disinyalir sebagai “kegalauan sistem nilai” yang kemudian mengarah kepada “kerusakan bangsa ini sudah hampir sempurna.” Sebagian dari perwujudan hal ini adalah hukum dan juga jabatan yang diperjualbelikan.
Politisi dan Kekuasaan Pada lagu “Asyik Nggak Asyik” Iwan malahan mengkritik para politisi sebagai makhluk yang seolah memiliki dunianya sendiri yang karenanya tidak harus memiliki kepedulian terhadap nasib rakyat. Dunia politik dianalogikan Iwan Fals sebagai dunia binatang karena sifat-sifat rakus dan tamak yang biasanya ada pada penghuninya, yaitu para politisi. Pandangan demikian dapat diasosiasikan dengan pandangan realisme politik yang bercorak Hobbesian yang mengatakan bahwa manusia, memiliki dorongan kuat untuk mencapai kemegahan dan kenikmatan sehingga kerapkali mengabaikan persoalan nilainilai moral dan etika. Thomas Hobbes dalam hubungan ini membagi tiga tingkat (hierarchy) dimensi kehidupan manusia: (a) the life of philosophy, (b) the life of politics, dan (c) the life of pleasure. Hobbes berpendapat bahwa apa yang lebih nyata kelihatan pada kecenderungan umum manusia adalah upaya mengejar kenikmatan (the life of pleasure) (Wiser, 1983:207). Kecenderungan demikian menggelincirkan manusia ke derajad yang hina, yakni apa yang oleh Iwan Fals dilambangkan dengan kata “binatang.” Iwan bertutur lewat lirik-lirik sebagai berikut: “…Dunia politik dunianya binatang // Dunia pesta poranya para binatang // Asyik nggak asyik politik // Asyik nggak asyik politik.…”
23
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1 , JUNI 2005: 15-28
Iwan mengatakan bahwa gurunya dulu pernah mengatakan bahwa politik seperti udara yang melingkupi dan sekaligus juga dihirup. Persoalannya adalah bahwa udara ini kerapkali kotor dan penuh dengan penyakit. “Maka perjuangan kita adalah membersihkan udara (politik) dari kotoran-kotoran dan penyakit ini,” demikian Iwan Fals mengatakan mengenai sisi moralitas (ber) politik. Tatapan wajah Iwan kepada penonton yang hanya sangat sekilas sambil tangan kirinya menggaruk jidat mengindikasikan keragu-raguan pada diri Iwan tentang upaya membuat politik menjadi bersih ini. Iwan adalah seorang seniman yang bergerak dalam tataran moral dan bukan seorang penguasa yang memiliki otoritas mengambil keputusan untuk kebijakan publik, dan Iwan juga bukan seorang aktivis pergerakan. Dalam lagu berjudul “Sumbang”, Iwan melantunkan lagi lirik-lirik lagu yang tak kalah sarkastisnya. “Sumbang” secara keseluruhan berisikan penggambaran yang, walaupun agak terkesan hiperbolik, namun mudah diverifikasikan ke dunia empirik, yakni mengenai betapa jahat serta liciknya para politisi dan/atau pemimpin kita. Simaklah sebagian lirik dari “Sumbang” di bawah ini. “….Maling teriak maling // Sembunyi di balik dinding // Terkejut lari terkencing-kencing // Tusuk dari belakang // Lawan lengah diterjang // Lalu sibuk mencari kambing hitam….”
Iwan malahan secara sangat sinis meneriakkan canda: “Kalau ingin masuk surga cobloslah saya.” Sementara shot benar-benar mendekati extreme close up dan pencahayaan sempurna yang kemudian diganti dengan shot tentang luapan pengunjung di TRANS TV yang benar-benar histeris. Hal ini dapat diartikan sebagai kegemasan Iwan Fals serta para pengunjung di TRANS TV dan penonton televisi terhadap kebejatan para elite dan politisi di negeri ini yang hanya mengejar kepentingannya sendiri serta golongannya tapi tak pernah berpikir dan berbuat untuk rakyat. Ada teriakan-teriakan pengunjung tapi tak sempat diperbesar dan diperdengarkan sehingga hilang begitu saja. Iwan dalam sekuen ini, sambil menunggu telepon dari pemirsa (karena tayangan ini bersifat interaktif) sempat menawarkan karakter ideal pemimpin meliputi: a) Anti korupsi, anti kolusi; b) Taat hukum; c) Percaya kepada Tuhan; d) Mampu memenej diri sendiri; e) Tidak tergoda untuk menjadi Tuhan yang lalu dengan seenaknya membunuh seperti Amerika; f) Mampu menjadi motivator; g) Mampu membuka lapangan kerja [untuk para penganggur]; h) Tidak minder ketika duduk bersama dengan pemimpin negara lain.
24
Menjawab pertanyaan dari penelepon mengenai kenapa Iwan tidak mendirikan partai politik saja, Iwan mengatakan: “Nggak, saya di sini sudah bahagia. Nggak pernah terpikir. Saya tidak menguasai politik.”
Wakil Rakyat Iwan juga mengkritik tentang rendahnya akuntabilitas para anggota DPR. Melalui lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” Iwan menyoroti betapa fungsi kontrol DPR terhadap kinerja pemerintah (ekskutif) sama sekali tidak berfungsi, terutama di masa Orde Baru, meskipun secara konstitusional DPR memiliki berbagai hak seperti hak inisiatif, hak bertanya, dan hak budget. Iwan melalui lagu ini bertutur: “… Saudara dipilih bukan di lotre // Meski kami tak kenal siapa saudara // Kami tak sudi memilih juara // Juara diam, juara he eh, juara ha…ha…ha…ha // ....Wakil rakyat seharusnya merakyat // Wakil rakyat bukan paduan suara // Hanya tahu nyanyian lagu setuju // Wakil rakyat seharusnya merakyat // Jangan tidur waktu sidang soal rakyat.”
Iwan Fals kembali menyapa seluruh anak negeri dengan mengucapkan terima kasih atas terselenggaranya kampanye dengan tertib. “Artinya, rakyat dapat diatur; tinggal para elitnya nih, bisa diatur apa tidak,” demikian Iwan Fals berkata sambil dengan senyumnya yang khas, sementara keringat benar-benar telah membasahi wajah. Situasi ketika konser musik ini ditayangkan sangat diwarnai oleh ketegangan terutama sehubungan dengan penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam situasi seperti ini, elite politik kebanyakan berpikir tentang kedudukan dan kekuasaan. Iwan Fals karena itu merasa perlu untuk mengingatkan tentang komitmen terhadap rakyat.
KESIMPULAN Tayangan langsung konser musik Iwan Fals di TRANS TV 4 April 2004 dapat dimaknai sebagai pesan moral, terutama tertuju kepada para elite politik dan para pemimpin bangsa. Substansi dari pesan moral meliputi isu yang bervariasi, beberapa yang sangat menonjol adalah kecintaan terhadap negara, betapa destruktifnya korupsi, betapa pentingnya kesatuan dan persatuan, dan juga dambaan yang amat sangat terhadap pemimpin yang berkarakter.
25
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1 , JUNI 2005: 15-28
Tendensi demikian dapat dikatakan diilhami oleh apa yang dalam penelitian ini diistilahkan dengan “ideologi pemberontakan” yang konsisten dengan esensi dari postmodernism, yakni semangat untuk melawan tatanan yang dinilai brengsek (counter-productive) untuk upaya pengembangan kemakmuran, keadilan, serta harkat manusia Indonesia. Gerak tubuh, shot kamera, serta pencahayaan pada umumnya mendukung pesan-pesan termaksud sehingga secara utuh televisi sebagai suatu medium dapat merepresentasikan aspirasi dari khalayak, terutama segmen kalangan muda perkotaan yang terpelajar. Kendati pun begitu sesekali Iwan Fals terkesan ragu ketika harus berbicara atau bermaksud hendak mendorong terciptanya apa yang kalau boleh diistilahkan dengan “politik bersih” – yakni cara-cara berpolitik yang dilandasi oleh nilai-nilai etika dan moral. Penelitian ini nampaknya mengimplikasikan adanya kecenderungan menolak pandangan dikotomik dari kebudayaan (high culture dan popular culture) dengan pengertian seperti dikatakan di bagian awal, dan cenderung memberikan penguatan terhadap pandangan kalangan post-modernist yang memang menolak anggapan tersebut. Budaya pop dalam perspektif postmodernism cenderung mengimplikasikan keniscayaan akan “the breakdown of the distinction between high culture (art) and popular culture” dalam ungkapan Dominic Strinati (1997:423) atau “blurring the boundaries” meminjam ungkapan O’Shaughnessy seperti telah disebutkan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA Berger, Arthur Asa. 1982. Media Analysis Techniques. Beverly Hills: Sage Publications. Fiske, John, 1995 “Post Modernism and Television” dalam James Curran (ed.). Mass Media and Society. London: Edward Arnold. Mackey-Kallis, Susan, 1995 “High Culture Versus Popular Culture” dalam Frank N. Magill (ed.). . International Encyclopedia of Sociology Vol. 1. London, Chicago: Salem Press Inc. O’Shaughnessy, Michael. 1999. Media and Society An Introduction. Oxford UK: Oxford University Press.
26
Pawito, “Analisis Semiologi: Sebuah Pengantar” dalam DINAMIKA, No. 2 Th. VII, April, 1997. _____, 2002. Mass Media And Democracy: A study of the roles of the mass media in the Indonesian transition period 1997-1999 (Ph D thesis School of Design, Communication and Information Technology The University of Newcastle, Australia). Pieterse, Jan N., 1999, “ Modernism and Postmodernism” dalam Phillip Anthony O’Hara (ed.). Encyclopedia of Political Economy. London: Routledge. Smith, Theodore M., 1990 “Corruption, Tradition, and Change in Indonesia” dalam Arnold J. Heidenheimer et. al. (eds.). Political Corruption A Handbook. New Brunswick, NJ: Transaction Publishers. Strinati, Dominic, 1997, “Postmodernism and Popular Culture” dalam Tim O’Sullivan dan Yvonne Jewkes (eds.). The Media Studies Reader. London: Arnold. Wiser, james L. 1983. Political Philosophy: A history of the search for order. Englewoods Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc. Kompas, 21 Februari 2004.
27
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
Aspek Hukum dan Tanggung Jawab Pers
Asnawi Murani3
Abstract: Press freedom in Indonesia is not apart from its accountabilities for particular delicts as set forth in Press Act and Criminal Law currently revised in line with the development of era and Indonesian cultures. Accountabilities of the press for delicts include humiliation, slandering, and pornography where such involved parties shall account for. Meanwhile, legal aspects for such involved parties include editor, writer, publisher, printing agency and distributors, with more advantageous legal position compared to the ones of non-press delicts.
Keyword: Press Freedom, accountabilities, legal position and legal aspects
Seperti diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah kitab undang-undang warisan dari pemerintahan kolonial Belanda dahulu. Saat ini KUHP sedang dalam revisi dan penyempurnaan untuk disesuaikan dengan perkembangan serta budaya masyarakat Indonesia. Di dalamnya terdapat pasal-pasal yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pers/alat percetakan atau dilakukan secara lisan di muka umum. Di samping KUHP masih terdapat Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999, undang-undang tersebut kemudian meniadakan Undang-Undang Pokok Pers nomor 11 tahun 1966 (lebih populer dengan nama Surat Izin Terbit/SIT) dan Undang-Undang Pers nomor 21 tahun 1982 (dikenal dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers/SIUPP. Pasal-pasal yang menyangkut persoalan-persoalan pers atau aspek-aspek hukum pidana terhadap pers di dalam Hukum Pidana Indonesia dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu yang dimuat dalam Buku I mengenai aturan umum; 3
Asnawi Murani adalah Staf pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta
29
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 29-40
dan yang termasuk dalam Buku II tentang kejahatan. Istilah delik pers adalah istilah sehari-hari, dan bukannya istilah teknis yuridis (Murani dan Kuhardjo, 1999:42). Menurut hukum pidana, penerbit (pasal 61) dan pencetak (pasal 62) mempunyai kedudukan hukum yang menguntungkan atau pertanggungjawaban pidananya menyimpang dari ajaran penyertaan (deelneming) yang aturannya termuat dalam Titel ke-V dari Buku I KUHP. Penyimpangan dari ajaran penyertaan ini di antaranya terwujud dalam pasal-pasal 61 dan 62 KUHP di atas, yaitu penerbit dan pencetak tidak akan dituntut apabila mereka memenuhi syarat-syarat dalam pasal-pasal tersebut (Lamintang dan Samosir, 1983:46). Dalam pasal 61 KUHP disebutkan bahwa “pada kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan alat cetak, penerbit tidak dituntut jika pada barang cetakan tersebut disebutkan nama dan alamatnya, serta diketahui nama pembuatnya atau diberitahukan oleh penerbit pada peringatan pertama setelah diberitahukan kepadanya, bahwa akan dilakukan tuntutan terhadap dirinya. Ketentuan ini tidak berlaku, jika pada saat penerbitan pelakunya tidak dapat dituntut secara hukum pidana atau bertempat tinggal di luar negeri”. Selanjutnya pada pasal 62 KUHP (Lamintang dan Samosir, 1983:47) disebutkan: “… pada kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan alat cetak, pencetak tidak dituntut jika pada barang cetakan itu disebut nama dan alamatnya serta diketahui siapa orang yang telah menyuruhnya untuk mencetak tulisan itu, atau diberitahukan oleh pencetak pada peringatan pertama setelah diberitahukan kepadanya, bahwa akan dilakukan tuntutan terhadap dirinya. Ketentuan ini tidak berlaku, jika pada saat tulisan itu dicetak, orang yang telah menyuruh mencetak itu tidak dapat dituntut secara hukum pidana atau bertempat tinggal di luar Indonesia”. Terhadap delik pers ini terdapat dua pendapat, yaitu pendapat yang sempit (de enge interpretatie) dan pendapat yang luas (de ruime interpretatie). Hukum Indonesia sendiri mengikuti pendapat yang sempit. Menurut pendapat yang sempit ada tiga syarat bagi suatu delik pers, antara lain apa yang dikatakan oleh Van Hattum, yaitu delik tersebut harus dilakukan dengan barang-barang cetakan; perbuatan pidana harus terdiri atas pernyataan-pernyataan atau pikiran; dan yang penting dari rumusan delik tersebut, yaitu harus nyata bahwa publikasi dari tulisan itu adalah satu syarat
30
Murani, Aspek hukum dan Tanggung Jawab Pers.
untuk dapat menimbulkan suatu tindak pidana (strafbaar feit). Sedangkan pendapat yang luas, menyebutkan delik pers adalah suatu pernyataan pikiran yang dapat dipidanakan, ditujukan kepada publik dan dilakukan dengan pers sebagaimana tercermin pada pasal 153 KUHP (Zainun, 1971:4-5).
KEDUDUKAN HUKUM REDAKTUR Berlainan dengan penerbit atau pencetak yang kedudukan hukum dan pertanggungjawaban pidananya termuat dalam Titel V Buku KUHP, berjudul pensertaan, maka di dalam judul itu tidak dijumpai satu perkataan pun tentang seorang redaktur. Di dalam titel tersebut ada jaminan terhadap penerbit atau pencetak, sedangkan redaktur tidak ada. Hal ini berarti bahwa berlainan dengan penerbit atau pencetak, maka kedudukan hukum dan pertanggungjawaban pidana dari seorang redaktur itu mengikuti ajaran biasa dari pensertaan. Oleh karena itu, tidak disebut, sedangkan yang disebut hanyalah yang menyimpang. Pensertaan terjadi apabila lebih dari satu orang yang tersangkut dalam suatu tindak pidana. Di dalam suatu tulisan yang mempunyai sifat pidana sedikitnya lima orang yang tersangkut, yaitu redaktur, penulis, penerbit, pencetak, dan pengedar atau verspreider (Murani dan Kuhardjo, 1999:6.6). Bagi seorang redaktur sebenarnya terdapat beberapa kemungkinan dalam melakukan suatu perbuatan yang berhubungan dengan pekerjaannya antara lain yaitu kemungkinan bahwa dia sendiri yang menulis karangan (yang mempunyai sifat pidana tersebut), perbuatannya ini dapat dikualifikasi sebagai plegen. Redaktur tersebut menerima tulisan dari orang lain dan kemudian dia mengadakan perubahan-perubahan sedemikian rupa, sehingga tulisan itu dapat dipandang sebagai hasil karyanya (werstuk) sendiri. Perbuatannya ini dapat dianggap sebagai pleger; tetapi bila redaktur menerima tulisan dari orang lain dan ia memuat tulisan tersebut dengan tidak banyak atau boleh dikatakan tanpa perubahan-perubahan. Dengan demikian tulisan tadi dipandang bukan hasil karyanya sendiri (Murani dan Kuhardjo, 1999:6.8). Di sini timbul persoalan, apakah perbuatannya itu dipandang sebagai perbuatan seorang medepleger (turut serta melakukan), ataukah sebagai perbuatan seorang medeplichtige (membantu biasa). Mengenai soal ini terdapat dua pendapat, yaitu pendapat Van Hattum yang menganggap perbuatan tersebut adalah perbuatan medepleger, sebaliknya Simons, Van Hammel dan juga jurisprodensi (pengadilan) berpendapat bahwa perbuatan itu adalah perbuatan seorang medeplichtige (Zainun, 1971:47-48).
31
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 29-40
Sementara itu Oemar Seno Adji, berpendapat bahwa perbuatan redaktur di atas merupakan seorang medeplichtige, sebab inisiatifnya timbul dari orang lain. Terlepas dari persoalan apakah perbuatan itu perbuatan seorang medepleger atau medeplichtige, maka untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka redaktur harus memenuhi dua syarat (Zainun, 1971:49-50) yaitu bahwa redaktur tadi harus mengetahui isi tulisan yang bersangkutan dan redaktur tersebut harus sadar tentang sifat pidana (strafbaar karakter) dari tulisan yang bersangkutan. Apabila mereka memenuhi kedua syarat di atas, maka barulah redaktur tadi dapat dipertanggung-jawabkan pidana.
DELIK PERS PENGHINAAN Suatu delik pers dapat berupa penghinaan yang dimuat dalam Buku II KUHP Titel XVI yang berjudul penghinaan. Penghinaan dapat ditujukan kepada perorangan, golongan penduduk, beberapa pejabat tertentu atau lembaga pemerintah dan orang yang sudah meninggal, atau dapat berupa pelanggaran terhadap delik susila, yang istilah sehari-harinya lebih dikenal dengan pornografi. Bentuk penghinaan lainnya yang sekarang dirumuskan sebagai pasalpasal penyebar benci (Haatzaai Artikelen), yaitu pasal 154, 155, 156 dan 157 KUHP. Pasal-pasal ini mendekati pasal penghinaan, tapi tidak sama menurut sejarah dan tempatnya Tidak sama menurut tempatnya, karena pasal-pasal penyebar benci dimuat dalam Bab V, Buku II KUHP, tentang kejahatan terhadap ketertiban umum (public order atau misdrijven tegen de openbare orde), sedangkan pasalpasal penghinan dimuat dalam Bab XVI Buku II tentang penghinaan. Tidak sama menurut sejarahnya, karena pasal-pasal penyebar benci ini mempunyai sejarahnya sendiri. Pasal 154 dan 156 mengenai delik-delik pokok, sedangkan pasal 155 dan 157 yaitu delik-delik yang dapat meringankan hukuman, karena delik ini terjadi sesudah delik pokok dilakukan. Sebagai contoh adalah perkara pembocoran rahasia negara. Pejabat yang membocorkan rahasia dianggap orang yang melakukan delik pokok, sedangkan penyiarannya dalam pers adalah delik yang meringankan hukuman atau verspreidings delicten atau begunstigings delicten (Murani dan Kuhardjo, 1999:8.9). Antara pasal 154 dan 156 terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya, bahwa keduanya mengandung perbuatan yang dapat dipidanakan, yaitu menyatakan perasaan permusuhan, benci atau meremehkan (strafbaarhandeling) yang sama. Sedangkan perbedaannya terletak pada
32
Murani, Aspek hukum dan Tanggung Jawab Pers.
obyeknya, yaitu pasal 154 adalah pemerintah, sedang pasal 156 terhadap golongan atau penduduk. Pasal 154 ini bersumber dari The British Indian Penal Code pasal 124a, sedangkan pasal 156 KUHP bersumber dari pasal 153a (Adji, 1974:24).
KASUS DELIK PENGHINAAN Ada beberapa kasus penghinaan yang dikualifikasi sebagai delik pers yang pernah terjadi di Indonesia antara lain penghinaan yang dilakukan oleh Goei Poon An, Pemimpin Umum/Penanggungjawab Harian Umum “Terompet Masyarakat” Surabaya. Harian Umum “Terompet Surabaya” dituduh oleh jaksa telah menghina pemerintah Indonesia dimuka umum dengan kata-kata antara lain ”…pemerintah Indonesia seakan-akan mata gelap… pemerintah Belanda lebih bijaksana….pemerintah Indonesia kurang taktis dan sentimen … dan seterusnya”. Tulisan tersebut dianggap oleh pemerintah Indonesia sebagai suatu penghinaan (mereka sangat terhina) karena dituduh lebih jelek dari pada pemerintah kolinial Belanda. Pengadilan Negeri Surabaya akhirnya pada tanggal 4 Desember 1951 menghukum denda 300 rupiah subsider 4 bulan kurungan atas Goei Poo An yang kemudian diperkuat oleh keputusan Mahkamah Agung (1955) dan Presiden Republik Indonesia (1956) karena dituduh melanggar pasal 154 dan 207 KUHP. Kasus penghinaan lainnya adalah penghinaan terhadap golongan penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam yang dilakukan oleh Majalah “Sastra” Jakarta terbitan nomor VIII bulan Agustus 1968 yang memuat cerita “Langit Makin Mendung” karya Ki Pandji Kusmin. Dalam perkara delik pers ini H.B. Yasin sebagai Penanggungjawab Majalah Sastra adalah sebagai terdakwa karena mempergunakan “hak tolak” dan mengambil alih pertanggunganjawab pidananya dari Ki Pandji Kusmin sebagai penulis cerita. Tulisan “Langit Makin Mendung” dianggap telah menghina golongan penduduk yang memeluk agama Islam di Indonesia (pasal 156 KUHP). Tuduhan jaksa kepada H.B. Yasin telah melakukan perbuatan-perbuatan antara lain: a.
Merendahkan kebesaran, kesempurnaan dan kekuasaan Tuhan karena menulis: “…Tuhan memakai kaca mata emas model kuno … Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala dan mengangguk-angguk …Buroq hancur luluh karena bertabrakan dengan Sputnik Rusia di atas Pasar Senen ….”
33
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 29-40
b.
Merendahkan kemuliaan/kesucian Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril karena menulis: “… Nabi dan Malaikat turun melihat-lihat dan masuk ke daerah P (pelacuran) di Planet, Pasar Senen Jakarta … Nabi menyarankan agar dipasang televisi di Sorga supaya bisa nonton praktek praktek wanita P …Jibril menjadi burung elang…”
c.
Menodai sendi-sendi ajaran/menghina agama Islam karena: “Islam melarang perbuatan-perbuatan yang bersifat memanusiakan Tuhan dan atau memper-Tuhan-kan manusia.
Untuk kasus penghinaan yang dilakukan oleh H.B. Yasin terhadap golongan penduduk/pemeluk agama Islam di Indonesia ini, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta menjatuhkan hukuman percobaan satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun (Zainun, 1971:10–16).
ASPEK HUKUM TERHADAP PERS Salah satu aspek hukum terhadap pers adalah tanggung jawab pidana terhadap suatu delik pers. Mengenai aspek hukum ini ada berbagai macam antara lain: aspek hukum Tata Negara yang berkaitan dengan jaminanjaminan kemerdekaan pers; aspek hukum pidana di antaranya berhubungan dengan delik pers; aspek hukum perdata yang menyangkut masalah penghinaan, pencemaran, dan aspek intern organisasi misalnya Persatuan Wartawan Indonesia, Serikat Perusahaan Surat Kabar atau etika pers seperti Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Perusahaan dan Kode Etik Periklanan. Pada umumnya, sanksinya bersifat moral. Adanya berbagai macam aspek hukum ini telah menimbulkan pula adanya bermacam-macam perundang-undangan mengenai pers di berbagai negara di dunia. Oleh sebab itu pengaruh perundangundangan yang ditujukan kepada pers tersebut juga berbeda satu sama lain di masing-masing negara. Sudah tentu hal itu akan banyak tergantung pada sejarah, ideologi (sistem politik), temperamen nasional dari negara-negara tersebut, satu sama lainnya mungkin berbeda. Aspek hukum terhadap pers berupa tanggung jawab, juga dijumpai di berbagai sistem, antara lain sistem air terjun (The Waterfall System). Sistem ini sering disebut juga dengan sistem Belgia, karena sistem ini pertama-tama dilakukan di Belgia, berdasarkan atas apa yang dinamakan the single liability, yaitu hanya penulis (satu orang) yang dapat dipertanggungjawabkan pidana dalam satu delik pers. Tetapi jika penulis tidak berada di tempat (pergi ke luar
34
Murani, Aspek hukum dan Tanggung Jawab Pers.
negeri), maka penerbitnya yang dituntut, dan jika penerbit tidak bisa diajukan ke depan pengadilan, maka pencetaknya, serta apabila ini juga tidak ada, maka pengedarnya. Pertanggungjawaban pidana seperti ini disebut pertangungjawaban urut-urutan. Sistem pertanggungjawaban pidana lainnya adalah sistem director of publication yang berlaku di Perancis. Sistem ini menekankan kepada pemilik modal yang besar mempunyai kepentingan yang banyak pada perusahaan surat kabar, sehingga dia dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab. Sistem responsible editor menekankan pertanggungjawaban pada editor, di mana editor mempunyai hak untuk menerima atau menolak suatu tulisan dimuat di dalam surat kabar. Sistem pertanggungjawaban ini dijumpai di Eropa Tengah, Norweia dan Mesir (Zainun, 1971: 50). Di Indonesia sendiri terdapat dua sistem pertanggungjawaban menurut hukum positif, yaitu sistem Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 dan Sistem KUHP yang berlaku sekarang ini setelah Undang-Undang Pokok Pers No. 11/1966 dan Undang-Undang Pers No. 21/1982 dicabut.
Sistem Undang-Undang Pers Sampai saat ini Indonesia mengenal tiga Undang-Undang Pers, yaitu Undang- Undang Pokok Pers nomor 11 tahun 1966 (Surat Izin Terbit/SIT), Undang-Undang Pers nomor 21 tahun 1982 (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers /SIUPP) dan Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999. Sejak Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999 dikeluarkan, dua undang-undang pers dicabut karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan zaman. Alasan ini jelas disebutkan dalam pertimbangan dikeluarkannya UU Pers nomor 40 tahun 1999 tersebut. Seperti diketahui pada Undang-Undang Pokok Pers nomor 11 tahun 1966 mengharuskan setiap media cetak memiliki SIT dari Departemen Penerangan sebagaimana dimuat dalam pasal 20 ayat 1 yang menyatakan “dalam masa peralihan keharusan mendapatkan SIT masih berlaku”. Sebaliknya pada pasal 8 ayat 2 menyebutkan dengan tegas bahwa “terhadap pers nasional tidak diperlukan SIT”. Selain kedua pasal di atas saling bertolak belakang, SIT masih tetap dikenakan pada pers nasional di samping pemberangusan/pembreidelan dilakukan terhadap media cetak. Apa yang dijumpai pada Undang-Undang Pokok Pers nomor 11 tahun 1966 terdapat juga pada Undang-Undang Pers nomor 21 tahun 1982. Walaupun rumusannya berbeda tetapi maksud dan
35
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 29-40
tujuannya sama sebagaimana disebutkan pada pasal 13 ayat 5 yaitu “setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan SIUPP yang dikeluarkan pemerintah (Departemen Penerangan)”. Selain itu, tidak terdapat pasal yang menjamin “tidak adanya” pemberangusan/pembreidelan terhadap pers nasional. Sedangkan dalam Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999 jelas terdapat jaminan tersebut (pasal 4 ayat 2). Padahal sebagai jaminan adanya kebebasan pers itu, paling tidak harus memenuhi tiga syarat yang jelas dicantumkan di dalam Undang-Undang yaitu tidak adanya SIT/SUPP (dalam bentuk apapun); tidak ada pembreidelan; dan tidak adanya sensor, khususnya sensor preventif yang dilakukan terhadap media cetak sebelum media cetak tersebut diedarkan di masyarakat (karena dianggap tidak demokratis), kecuali sensor represif berupa pembatasan terhadap hal-hal tertentu yang diperkenankan oleh Undang-Undang. Pasal-pasal yang berhubungan dengan sensor represif tersebut berupa pembatasan-pembatasan haruslah jelas dimuat dalam Undang-Undang (clearly defined by law) yang sebelumnya telah disetujui oleh pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif). Sensor represif lebih bersifat demokratis karena dilakukan terhadap media cetak setelah diedarkan di masyarakat. Pasal-pasal yang berkaitan dengan pembatasan atau sensor represif tersebut hanyalah terhadap hal-hal tertentu (Adji, 1973:45-46) misalnya yang menyangkut penghinaan, pencemaran dan fitnah. Dengan kata lain pembatasanpembatasan yang dilakukan tidak terlalu luas sehingga akan mengekang kebebasan pers itu sendiri (Adji, 1973: 45-46). Ada perbedaan antara Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999 dengan Undang-Undang Pokok Pers nomor 11 tahun 1966 dan Undang-Undang Pers nomor 21 tahun 1982. Dalam Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999 tidak terdapat keharusan memiliki SIT dan SIUPP dari pemerintah sebagaimana dijumpai pada kedua Undang-Undang pers terdahulu. Dengan demikian lebih menjamin adanya kebebasan pers dan perkembangan media cetak di Indonesia, karena tidak ada pembreidelan dan sensor. Pasal 4 ayat 2 dan pasal 12 Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999 menyebutkan perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan. Pasal 12 di atas ada persamaan dengan pasal 61 dan 62 KUHP walaupun rumusnya berbeda dan tidak ada tuntutan jika memenuhi syarat-syarat dalam pasal 61 dan 62 KUHP. Walaupun tidak secara eksplisit pasal 13 ayat a Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999 mempunyai persamaan juga dengan pasal-pasal 281, 282 dan 283 KUHP yang mengatur delik kesusilaan. Pasal 13 ayat a melarang
36
Murani, Aspek hukum dan Tanggung Jawab Pers.
pemuatan iklan yang merendahkan martabat agama, mengganggu kerukunan hidup beragama dan bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat. Sedangkan pasal 281, 282 dan 283 KUHP dengan tegas melarang tulisantulisan yang melanggar kesusilaan atau pornografi, dan pasal 156 KUHP mengatur penghinaan terhadap agama/golongan penduduk pemeluk agama. Dalam Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 199 secara rinci dan eksplisit tidak mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pers atau tulisan-tulisan yang dimuat dalam media komunikasi/media cetak seperti kesusilaan, penghinaan atau fitnah sebagaimana dijumpai di dalam KUHP. Namun demikian, secara umum dalam Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999 terdapat pada pasal 5 ayat 1 yang menyebutkan “pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati normanorma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah” (presumption of innocence), di samping wajib melayani hak jawab (pasal 5 ayat 2). Mengenai ketentuan pidana, dalam Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999 terdapat pada pasal 18 ayat 2 yang menyatakan “perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat 1 dan ayat 2, serta pasal 13 ayat a dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Dengan kata lain pasal-pasal tersebut tidak ditujukan secara langsung kepada penulis/pelaku yang bersangkutan.
Sistem KUHP Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang mengatur terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh media cetak antara lain berupa delik-delik penghinaan, pencemaran dan fitnah yang dikualifikasi sebagai delik- pers. Semua pelanggaran jelas disebutkan dan diatur pada pasar-pasar tertentu di dalam KUHP. Pada sistem KUHP tidak ada pertanggung jawab urut-urutan (successive) dan tidak ada fiksi-fiksi dalam hukum pidana. Sistem ini tidak mengikuti sistem pertanggung jawab urut-urutan yang antara lain berlaku di Belgia. Juga tidak mengikuti sistem fiktif (kadang-kadang redaktur yang bertanggung jawab, kadang-kadang orang lain). Sebaliknya sistem KUHP merupakan suatu sistem yang berdasarkan “theory of activity” (apakah mempunyai peranan dalam tulisan tersebut), artinya hanya terhadap mereka terlibat dalam delik pers seperti redaktur, penulis, penerbit, pencetak dan pengedar. Selain itu menurut sistem KUHP, seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu tulisan di depan pengadilan haruslah memenuhi dua syarat yaitu redaktur harus
37
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 29-40
mengetahui isi tulisan yang bersangkutan dan dia harus sadar pula tentang sifat pidana dari pada tulisan tersebut.
SIKAP TERHADAP TULISAN Tulisan itu menjadi tanggungannya. Suatu tulisan dianggap mempunyai sifat pidana yang dimuat dalam surat kabar dan penanggungjawabnya menyatakan bahwa dialah yang bertanggung jawab atas tulisan tersebut. Tetapi pada waktu tulisan itu dimuat dalam surat kabar, penanggung jawabnya sudah lama berada di luar negeri, sehingga dia sendiri tidak mengetahui isi tulisan tersebut. Dia baru mengetahui isi tulisan itu setelah kembali dari luar negeri. Dalam hal ini, sekali pun dia menyatakan bahwa dialah yang bertanggung jawab atas tulisan tersebut, tetapi menurut hukum, dia tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana. Mungkin dapat dipertanggungjawabkan secara moral, tapi menurut hukum tidak (Murani dan Kuhardjo, 1999:6.7). Tulisan tersebut dianggap di luar tanggungannya. Sebaliknya walau pun sudah dicantumkan perkataan di luar tanggung jawab redaksi, tetapi apabila dua syarat di atas tadi dipenuhi, maka redaktur dapat dipertanggungjawabkan pidana. Dengan perkataan lain, tidak menjamin bahwa penyantuman menjadi tanggung jawab redaksi dapat di pertanggungjawabkan pidana. Karena yang menentukan dapat atau tidaknya dipertanggungjawabkan pidana ialah dipenuhi atau tidaknya dua syarat yang sudah disebutkan di atas. Tugas jaksa ialah untuk mencari orang yang dapat dipertanggungjawabkan pidana (Zainun, 1971:51).
PENUTUP Ada hal yang meringankan bagi pertanggungjawaban pidana terhadap suatu delik pers, yaitu adanya perbedaan-perbedaan akibat hukum bagi delik pers dan delik yang bukan delik pers, sebagaimana tercantum dalam pasal 78 KUHP. Di dalam pasal ini disebutkan bahwa tenggang kadaluwarsa bagi delik pers satu tahun, sedangkan terhadap delik yang bukan delik pers, tenggang kadaluwarsanya tergantung pada hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan kepada delik-delik yang bersangkutan. Salah satu contoh tentang kadaluwarsa ini misalnya pasal 160 KUHP di mana maksimum hukumannya adalah 6 tahun. Suatu tulisan yang melanggar pasal 160 ini merupakan suatu delik pers. Apabila pelanggaran itu dilakukan oleh pers, maka tenggangkadaluwarsanya adalah satu tahun, tetapi jika dilakukan dengan lisan (dengan kata-kata yang sama) maka tenggang kadaluwarsanya adalah 12 tahun (Lamintang dan Samosir, 1983:76).
38
Murani, Aspek hukum dan Tanggung Jawab Pers.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Oemar Sono. 1973. Mass Media dan Hukum. Jakarta: Penerbit Erlangga. . 1974. Pers dan Aspek-Aspek Hukum. Jakarta : Penerbit Erlangga. Lamintang, PAF dan Samosir, C. Djisman. 1983. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Penerbit Sinar Baru. Murani, Asnawi dan Nooroso Kuhardjo.1999.Hukum dan Etika Komunikasi Massa. Jakarta: Universitas Terbuka. Zainun, Marhaban. Ketentuan Hukum Pidana Indonesia Tentang Delik Pers Dalam Hukum dan Keadilan, Nomor 3, Tahun II, Maret / April 1971.
39
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
40
Iklan dan Budaya Popular: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan (Analisis Semiotika Iklan Cetak WRP Body Shape & Prolene)
Dwi Ratna Aprilia4
Abstract: Mass media is not only a channel to deliver messages but also is a channel to build a special image about the world, such as the beauty image of women. Advertisements create it in their messages. Most of them show women with white skin, slim and have long black hair. These cases are a part of popular culture or mass culture because it could be a homogen-standard value. Advertising is related with popular culture. Advertising is a reflection of popular culture and it is an inventor of popular culture.
Key word: Advertising, popular culture, mass media, beauty image of women
AMA (American Marketing Association) mendefinisikan iklan sebagai any paid form of non personal presentation and promotion of ideas, goods, or services by an identified sponsor (dalam Kasali, 1992:10). Pesan yang disampaikan dalam iklan umumnya adalah pesan-pesan yang berbentuk promosi dan bersifat membujuk atau merayu orang agar mau membeli atau menggunakan produk. Seperti yang dikatakan oleh Frank Jefkins, “ advertising aims to persuade people to buy” (dalam Kasali, 1992:10). 4
Dwi Ratna Aprilia adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIPUAJY, angkatan 2002.
41
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, JUNI 2005: 41-68
Tidak bisa diingkari bahwa fungsi iklan adalah mempersuasi orang agar orang mau membeli produk yang diiklankan. Pendapat itu sangat benar, tapi sekarang saatnya paradigma lama itu ditinggalkan. Kalau kita jeli sebenarnya iklan itu harus dipahami sebagai bagian dari beroperasinya mesin raksasa yang bernama kapitalisme, industri, dan akumulasi modal. Dengan kacamata seperti ini iklan bukan sekedar instrumen promosi atau soal jual beli. Iklan memiliki kekuatan ekspansi yang jauh lebih besar, dan tanpa tersadarkan iklan membentuk budaya konsumen (consumer culture) yang menjadi sendi utama pemasaran barang dan jasa. Akhirnya iklan pun menjadi bagian dari strategi dan rekayasa budaya yang mendasari kelangsungan hidupnya sistem ekonomi kapitalis. Singkatnya, iklan dibuat untuk merekayasa dan menciptakan secara terus menerus dan serempak kebutuhan-kebutuhan baru bagi konsumen. (Harry Roesli, 2004).
Teuku Kemal Fasya (http://mkb.kerjabudaya.org/mkb-102003/mkbrubtik-102003/esai-102003.htm) mengatakan bahwa iklan bukan hanya sekedar promosi sebuah produk, tetapi telah menjadi sebuah sistem ide yang memiliki nilai-nilainya sendiri secara otonom. Iklan menjelma menjadi sebuah ideologi di abad modern. Peranan iklan sebagai ideologi cukup mencengkeram. Iklan telah membentuk sebuah ideologi tentang makna atau image kecantikan. Iklan yang disampaikan melalui media massa memiliki peran yang sangat besar dalam memproduksi dan mengkonstruksi arti kecantikan. Dalam kebanyakan iklan, wanita dikatakan cantik apabila ia muda, berkulit putih, wajah mulus tanpa jerawat, berambut hitam lurus dan tidak berketombe, dan memiliki tubuh yang langsing. Secara tidak langsung iklan pun membentuk atau memperkuat image perempuan “cantik”. Identitas kecantikan yang dibentuk seperti itu adalah bagian dari popular culture atau budaya pop. Dalam berbagai tulisan tentang budaya popular di buku-buku, artikelartikel ataupun media massa seperti koran dan majalah, bisa ditemukan pembahasan tentang budaya sekolah, organisasi, wilayah, orientasi seksual, politik, etnisitas, dan sebagainya. Seluruh wilayah kebudayaan pada umumnya dipandang mengandung sebuah multisiplitas dari bentuk-bentuk dan relasi kemanusiaan, dari interaksi mikrointerpersonal sampai proses-proses dan nilainilai dalam norma-norma kelompok hingga bentuk-bentuk komunikatif, teks atau citra yang terberi, atau yang lebih luas sampai ke bentuk-bentuk dan batasan-batasan institusional, hingga representasi sosial dan angan-angan sosial, juga sampai pada determinasi ekonomi, politik, dan ideologis (Storey, 2004:v)
42
Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan ....
Seperti yang dikatakan di atas, wilayah kebudayaan sangat luas, dari interaksi mikrointerpersonal, persoalan determinasi ekonomi, representasi sosial dan angan-angan sosial hingga bentuk-bentuk komunikatif, teks atau citra yang terberi. Budaya, memang telah memberi pengaruh yang besar dalam pembentukan citra manusia. Misalnya dalam budaya Jawa, citra perempuan dibentuk oleh berbagai aturan yang ketat, hingga terbentuk citra perempuan Jawa adalah perempuan yang halus, penurut, sabar, tidak pernah mengeluh, dan lain sebagainya. Demikian pula sekarang, citra kecantikan seorang perempuan telah dibentuk oleh budaya massa. Benarkah seorang wanita dikatakan cantik apabila ia berkulit putih, berwajah mulus, berambut hitam lurus, muda dan bertubuh langsing? Bagaimana dengan mereka yang “jelek”? Yang bertubuh gendut, berkulit hitam, berambut keriting? Apakah mereka tidak dapat disebut “cantik”?
IDEOLOGI Ideologi merupakan salah satu konsep krusial dalam kajian popular culture atau budaya popular. Dalam bukunya yang berjudul Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies, John Storey (2004:4) menuliskan ada lima makna konsep ideologi. Makna yang dibahas hanya yang terkait dengan budaya pop, yaitu pertama, ideologi dapat mengacu pada suatu pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Kedua, definisi ideologi yang menyiratkan adanya penopengan, penyimpangan, atau penyembunyian realitas tertentu. Di sini, ideologi digunakan untuk menunjukkan bagaimana teks-teks dan praktik-praktik budaya tertentu menghadirkan pelbagai citra tentang realitas yang sudah didistorsi atau diselewengkan. Teks-teks dan praktik-praktik itulah yang kemudian memproduksi apa yang disebut sebagai “kesadaran palsu” (Storey 2004:4). Dengan menggunakan definisi ini, sangat mungkin dibicarakan tentang ideologi kapitalisme. Ideologi digunakan sebagai alat untuk menyembunyikan realitas sebenarnya, yakni realitas dominasi para penguasa (dalam hal ini pemilik modal) di mana kelas penguasa itu tidak merasa diri mereka sebagai pemeras dan penindas. Celakanya, kaum tertindas menggunakan ideologi sebagai cara untuk menyembunyikan realitas tersubordinasi mereka yang lemah dan tidak menyadari bahwa mereka tengah ditindas atau dijajah. Ada kepentingankepentingan tertentu dari kaum kapitalis dalam menggunakan ideologi, misalnya menciptakan image kecantikan, yaitu agar mereka dapat terus memproduksi kebutuhan-kebutuhan baru, dan “mempropagandakan” ideologi
43
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, JUNI 2005: 41-68
tersebut agar pasar mereka juga semakin luas. Tak ada hal lain yang mereka inginkan selain mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Ketiga, definisi ideologi yang terkait dengan definisi kedua. Istilah ideologi digunakan untuk mengacu pada “bentuk-bentuk ideologis”. Penggunaan ini dimaksudkan untuk menarik perhatian pada cara-cara yang selalu digunakan teks (media massa) untuk mempresentasikan citra tertentu tentang dunia (Storey, 2004:7). Karena teks-teks dalam media massa (film, TV, radio, koran, iklan, dan lain-lain) melibatkan sebuah cerita tentang dunia, pada akhirnya seluruh teks budaya bersifat politis. Teks-teks itu menawarkan berbagai penandaan ideologis. Oleh karena itu menurut Hall, budaya pop adalah sebuah situs di mana pemahaman sosial kolektif tercipta (dalam Storey, 2004:7). Ada sebuah pemahaman bersama yang menciptakan standarisasi pemahaman atau pengertian mengenai makna-makna tertentu. Ada sebuah budaya yang relatif terstandarisasi dan homogen di antara masyarakat. Misalnya tentang makna “cantik”, sebenarnya adalah suatu makna yang standar. Apa yang dipikirkan orang ketika mendengar kata wanita cantik? Kebanyakan orang akan membayangkan wanita yang bertubuh langsing, berkulit putih mulus, berambut hitam lurus, wajah tanpa jerawat, bukan wanita yang bertubuh gendut, berambut keriting dan berkulit hitam. Keempat, definisi ini dikembangkan oleh filsuf Marxis Perancis, Louis Althusser. Althusser melihat ideologi bukan hanya sebagai pelembagaan ideide, tetapi juga sebagai suatu praktik material (Storey, 2004:8). Artinya ideologi itu bisa dijumpai dalam praktik-praktik dalam kehidupan kita sehari-hari dan bukan hanya ide-ide saja. Pada prinsipnya, apa yang dipikirkan Althusser tentang ideologi adalah cara-cara di mana ritual-ritual dan kebiasan-kebiasaan tertentu menghasilkan akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan kita pada tatanan sosial, sebuah tatanan sosial yang ditandai adanya kesenjangan kesejahteraan, gap status yang menonjol. Kepercayaan seseorang atau ideologi seseorang terhadap hal tertentu akan diturunkan dalam bentuk-bentuk nyata, misalnya jika kita percaya akan Tuhan dan menjadi penganut agama tertentu, maka kita akan pergi gereja untuk mengikuti misa atau kebaktian, pergi ke masjid dan sembahyang lima waktu. Juliastuti menuliskan sebenarnya ada dua tesis Althusser. Tesis yang satu lagi mengatakan bahwa ideologi itu representasi dari hubungan imajiner antara individu dengan kondisi eksistensi nyatanya. Yang dipresentasikan di situ bukan relasi riil yang memandu eksistensi individual, tapi relasi imajiner antara individu dengan suatu keadaan di mana mereka hidup di dalamnya (www.kunci.or.id/teks/04rep2.htm).
44
Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan ....
Kelima, definisi ideologi menurut Roland Barthes. Barthes menyatakan bahwa ideologi berfungsi terutama pada level konotasi, makna sekunder, makna yang seringkali tidak disadari, yang ditampilkan oleh teks dan praktik, atau yang bisa ditampilkan oleh apapun (Storey, 2004: 8). Dari definisi kedua, ketiga, dan keempat di atas, diketahui bahwa ideologi menyiratkan adanya penopengan, penyimpangan dan penyembunyian realitas tertentu. Ideologi digunakan untuk menunjukkan bagaimana teks-teks dan praktik-praktik budaya tertentu menghadirkan berbagai realitas yang sudah didistorsi atau diselewengkan. Teks-teks itu kemudian menimbulkan apa yang disebut “kesadaran palsu”. Selain itu ideologi juga digunakan oleh media massa untuk mempresentasikan citra tertentu tentang dunia, dan menurut tesis kedua Althusser yang direpresentasikan di situ bukan situasi yang riil, tetapi relasi yang imajiner. Artinya apa yang ditampilkan di media massa tentang kecantikan adalah bukan hal yang sebenarnya, tetapi adalah suatu hal yang sudah direkayasa. Teks-teks yang ada dalam iklan telah didistorsi sedemikian rupa sehingga yang muncul dalam gambaran orang ketika mendengar kata cantik adalah wanita yang langsing tanpa tonjolan lemak di tubuh, berkulit putih mulus, berwajah mulus tanpa jerawat, berambut hitam panjang lurus tanpa ketombe, tidak punya masalah dengan bau badan maupun bau mulut, muda, pakaiannya fashionable. Padahal dalam kenyataannya, wanita-wanita yang ditampilkan dalam iklan bisa saja tidak secantik dalam iklan. Tubuh mereka bisa dilangsingkan dan kulitnya diputihkan lewat kecanggihan teknologi digital. Distorsi ini sengaja dibuat untuk memperlancar terwujudnya kepentingan kelompok penguasa dalam mengendalikan sepenuhnya pihak yang lemah. Di sini relevan dibicarakan tentang kapitalisme. Ideologi telah digunakan sebagai topeng bagi para kapitalis untuk terus-menerus menciptakan bukan hanya produk-produk baru, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan baru bagi sasaran pasarnya. Misalnya, dulu orang tidak butuh deodoran, tetapi iklan telah menciptakan bahwa berkeringat itu akan menimbulkan suatu masalah yang besar, yaitu bau badan dan bisa mengakibatkan krisis kepercayaan diri. Padahal dulu sebelum ada deodoran, mereka merasa baik-baik saja dengan kondisi mereka, tetapi sekarang ada semacam “kewajiban” untuk menggunakan deodoran. Konsumen mempunyai kebutuhan baru, yaitu menjaga bau badannya dengan menggunakan deodoran. Distorsi dan penyelewengan teks mengakibatkan suatu “kesadaran palsu”. Dalam hal kecantikan misalnya “kesadaran palsu” itu membuat orang berpikir bahwa mereka tidak cantik, sehingga mereka harus berusaha dengan berbagai cara seperti diet. Tak jarang wanita akan mengidap bulimia dan
45
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, JUNI 2005: 41-68
anorexia karena obsesi mereka untuk menjadi langsing, menggunakan lotion pemutih, krim anti penuaan, merawat rambut, hingga suntik silikon atau operasi plastik, agar bisa dikatakan cantik yang tentu saja menurut standar media massa. Selain itu ada juga “kesadaran palsu” yang diciptakan, misalnya masalah ketombe, jerawat dan proses penuaan seperti kulit berkerut, rambut memutih. Masalah-masalah itu adalah masalah yang secara alami timbul. Iklan telah membuat semua hal itu menjadi sebuah hal yang menakutkan, memalukan, sehingga harus “dilawan” dengan berbagai produk yang diiklankan. Akan tetapi konsumen seringkali tidak sadar, bahwa semua itu adalah suatu hal yang pasti timbul, sehingga mereka malu jika rambut mereka berketombe, atau wajah mereka berjerawat, dan selalu berusaha menyembunyikan kerutan di wajah. Bentuk-bentuk kemudaan, kecantikan, kesuksesan yang ditampilkan dalam iklan di media massa merupakan imaji yang dibangun dan berupa ideologi (bisa juga disebut ‘sistem makna’). Althusser berpendapat bahwa ideologi tergantung pada pembentukan daya tarik yang dilekatkan pada atensi individu. Kemudian jika daya tarik ini sukses, individu akan memaknai identitas mereka sebagai bagian dari sistem makna yang ditawarkan (dalam Pappilon Halamoan.M, 2004). Althusser juga mengatakan bahwa ideologi itu tidak hanya berupa ide-ide saja, tetapi juga berupa praktik. Sama halnya dengan identitas kecantikan. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak dijumpai perempuan-perempuan yang berdiet mati-matian dengan berbagai macam cara, menjauhi gula karena akan membuat tumpukan lemak; perempuan yang takut pada sinar matahari yang akan membuat kulitnya hitam; perempuan yang menggunakan berbagai macam suntikan agar kulitnya tetap kencang, menggunakan krim-krim pemutih, bahkan mengoperasi plastik wajahnya dan melakukan suntik silikon di hidung dan payudara; menggunakan shampoo tertentu atau perempuan yang rela antri di beauty center untuk memutihkan kulit dan meluruskan rambut. Semua itu mereka lakukan agar mereka bisa disebut “cantik”. Menurut Giacciadi, iklan adalah acuan. Artinya iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimulasikan sesuatu dunia mimpi yang hiper-realistik. Iklan tidak menghadirkan realitas sosial yang sesungguhnya. Apa yang tampak dan hadir dalam iklan tidak lebih dari ilusi belaka yang tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Tandatanda (citra) iklan tidak bercerita bohong, tetapi juga tidak bercerita yang sebenarnya (dalam Ibrahim (ed), 1998:324).
46
Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan ....
Sekali lagi, identitas wanita cantik yang ditampilkan oleh model-model dalam iklan bukanlah realitas yang sebenarnya. Semua yang ada telah direkayasa untuk mempersuasi orang. Identitas kecantikan kini telah banyak dipengaruhi oleh media massa dan budaya massa. Pada abad pertengahan, misalnya wanita dikatakan cantik apabila ia bertubuh gemuk. Masyarakat Dayak mengatakan wanita itu cantik apabila telinganya panjang, semakin panjang semakin cantik, tetapi media massa modern telah membentuk sendiri definisi atau makna kecantikan.
POPULAR CULTURE (BUDAYA MASSA) Menurut Storey (2004:10) ada beberapa cara untuk mendefinisikan budaya popular, antara lain yaitu yang pertama dilihat dari makna katanya. Cara kedua untuk mendefinisikan budaya popular adalah dengan mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah). Cara ketiga adalah menetapkannya sebagai budaya massa. Definisi keempat menyatakan bahwa budaya popular adalah budaya yang berasal dari “rakyat”. Dalam tulisan ini digunakan cara yang ketiga, yaitu dengan menetapkan budaya popular sebagai budaya massa. Oleh karena itu untuk pembahasan selanjutnya budaya popular dianggap sama dengan budaya massa. Budaya popular yang juga disebut budaya massa, menurut Dominic Strianati adalah budaya yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa yang diharapkan menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya (www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/ swara/293908.htm). David Jary dan Julia Jary (1991:380) dalam Collins Dictionary of Sociology mengatakan budaya massa adalah ”The relatively standardized and homogeneous cultural product, i.c. both goods and services and the associated cultural experiences, which are designed to appeal to the mass of the population”. Mereka lebih lanjut mengatakan ”One important conception of mass culture is the idea that goods mass produced for consumption (including even gramaphone records, reprints of great art, etc) provide inherently inferior experiences.” Dari definisi di atas kita bisa melihat jika budaya massa dilihat sebagai produk budaya yang relatif terstandarisasi, diseragamkan untuk dikonsumsi oleh banyak orang, maka ada sebuah mekanisme yang bekerja pada skala global dalam praktek standarisasi tersebut. Ada mekanisme yang mengatur budaya massa sehingga bisa diterima oleh sejumlah orang dalam jumlah yang sangat besar.
47
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, JUNI 2005: 41-68
Budaya massa bukanlah sesuatu yang sendirinya ada, ia adalah sebuah realitas yang memiliki hubungan-hubungan sosial dengan pelbagai realitas lain dalam perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat modern. (Budiman, 2002:51)
Seperti halnya makna kecantikan perempuan yang menjadi budaya massa, ada sesuatu yang mengatur agar makna itu diterima oleh banyak orang, ada yang mengatur bagaimana mekanismenya atau prosesnya, yaitu kapitalisme. Kapitalismelah yang bersembunyi di belakang hal ini. Kapitalisme lewat media massa telah menciptakan suatu “standar” kecantikan, dan dengan kekuatan modal (baca: uang) dapat membuat hal ini tersebar ke banyak negara. Tujuannya adalah agar para pemilik modal dapat menciptakan kebutuhan terusmenerus, dan agar produk yang mereka ciptakan laku di pasaran, tidak hanya di satu negara atau daerah saja, jika memungkinkan di seluruh dunia. Di jaman sekarang ini, sebagai masyarakat informasi, orang tidak bisa mengabaikan pengaruh media massa pada dirinya. Apa yang orang lihat dan dengar akan diikuti oleh banyak orang. Masyarakat tidak bisa betul-betul bebas dari intervensi media massa dan budaya massa. Selama orang menonton TV, membaca koran, mendengarkan radio, lewat jalan raya, surfing di internet, selama itu pula orang akan selalu mengalami realitas yang langsung atau tidak langsung dibentuk oleh media massa. Tidak banyak orang yang bisa selamat dari “serbuan” budaya massa tanpa “cedera” sedikit pun. Cocok pengandaian Hikmat Budiman, bahwa dunia, khususnya bangsa-bangsa di negara-negara berkembang bagaikan kumpulan bintang yang membentuk lubang hitam (black hole), seperti teori yang dipaparkan oleh Sthephen Hawking. Dengan gravitasi yang sangat kuat, lubang itu menyedot dan melumat apa saja yang mendekatinya. Budaya dan media massa telah membentuk sebuah lubang hitam kebudayaan yang menyerap siapapun ke dalamnya, tanpa pernah bisa keluar (Budiman, 2002:32). Sekarang tanpa sadar, kita sudah masuk ke dalam lubang hitam itu, dan menjadi bagian darinya selama-lamanya.
IKLAN DAN BUDAYA POPULAR Iklan adalah agen propaganda gaya hidup dan kecantikan. Sebagai bagian dari gaya hidup, budaya popular memaktubkan kekuatan provokasi dan seduksinya pada media massa, terutama iklan sebagai representasi citraan. Karena itulah banyak disebut iklan adalah karya seni pada abad 20
48
Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan ....
(www,pikiran-rakyat.com/cetak/0504/16/khazanah/lainnya02.htm). Budaya popular telah menjadikan media massa terutama iklan sebagai agen propagandanya. Sebagai propaganda kecantikan, iklan di tengah masyarakat kontemporer hari ini sesungguhnya tidak lagi berurusan dengan hal-hal yang sifatnya komersial, melainkan lebih menekankan pada kekuatannya memproduksi dan mereproduksi citraan tentang sebuah realitas, yaitu citra tentang wanita “cantik”. Iklan kini tidak hanya menawarkan produknya, tetapi menawarkan sebuah kebudayaan, sebuah image. Misalnya iklan sabun pemutih dan shampoo akan membawakan sebuah image tentang rasa cantik yang terpancar dari kulit putih atau rasa percaya diri karena rambutnya lurus dan berkilau. Di tengah citraan itulah identitas dan imajinasi tentang kecantikan adalah berkulit putih dan berambut lurus. Coba perhatikan iklan-iklan yang ada di tabloid atau majalah Indonesia, lihat model-model iklan yang ada di sana. Semua model wanita yang dikatakan cantik memiliki karakteristik yang hampir sama, yaitu berkulit putih, bertubuh langsing, berwajah mulus, berambut hitam lurus, muda, fashionable, dan terlihat sehat dengan senyum di wajahnya. Jarang sekali ditampilkan wanita yang bertubuh gemuk, berkulit hitam, memiliki rambut keriting yang kusut dan tidak bercahaya, berketombe, dan berkulit kusam. Jika mereka menjadi model dalam iklan, biasanya mereka diposisikan sebagai orang yang mempunyai masalah dan ditawarkan solusi dengan menyarankan untuk menggunakan produk yang diiklankan. Dalam My theory of how advertising work (www.ciaadvertising.org/ studies/ student/00_spring/theory/kwilliam/public_html/mytheory/page6.html) dikatakan bahwa iklan adalah refleksi budaya popular dan iklan juga membuat atau membentuk budaya popular. Orang banyak belajar dari iklan mengenai cara berpakaian, cara berbicara, gaya apa yang kini sedang tren, gaya hidup apa yang sekarang digemari, merek-merek baju atau sepatu apa yang dirasa “bonafide” dan bisa memberikan prestise pada orang. Perefleksian budaya popular terlihat jelas dalam pemilihan dan penggunaan perempuan sebagai model iklan. Pembentukan makna “cantik” semakin dikekalkan oleh iklan. Iklan juga membentuk budaya popular, misalnya tahun 1960-an, penggunaan parfum sebagai budaya popular dimulai dari adanya iklan sabun di Amerika, industri parfum lalu mulai menjamur. Gaya hidup yang lain seperti merokok bisa dibentuk oleh iklan, sebab banyak iklan rokok yang menggambarkan seolah-olah orang (pria) yang merokok adalah jantan, gagah dan berani, sehingga semakin banyak pria, terutama anak muda, yang merokok akibat iklan yang mereka lihat. Anak-anak muda banyak mengikuti gaya anak
49
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, JUNI 2005: 41-68
muda di Amerika dan Eropa dan menggunakan produk-produk luar negeri seperti Nike, Adidas, Bilabong, Rip Curl, Kuta Lines, atau Spyderbilt. Iklan telah membuat image tentang produk-produk itu sesuai dengan jiwa anak muda. Seperti dikatakan oleh Giacciadi, iklan adalah acuan. Apa yang ditampilkan dalam iklan adalah model acuan. Model acuan dibangun berdasarkan sejumlah “idealisasi” dan proses melebih-lebihkan (Rogers, 2003:23). Model acuan memberi inspirasi dan semangat kepada kita agar kita menirukan mereka, mengikuti apa yang dikatakan. Iklan berfungsi sebagai acauan yang lain, di mana masyarakat sebagai sasaran iklan belajar bertindak, berbicara, dan berpikir. Iklan dalam media massa telah membentuk suatu makna kecantikan. Semua yang kita tahu tentang distorsi citra tubuh, diet kronis, bulimia, anorexia, dan kebencian terhadap tubuh yang kegemukan, misalnya menunjuk pada adanya konsistensi di antara perempuan di semua kelas sosial, kelompok umur, orientasi seksual, dan kelompok ras serta etnik (Rogers, 2003:24).
TUBUH PEREMPUAN DAN PEREMPUAN DALAM IKLAN Sebagian besar iklan menggunakan perempuan sebagai modelnya. Kirakira 90% periklanan menggunakan wanita sebagai modelnya (Ibrahim (ed), 1998:348). Ada beberapa alasan menjadikan perempuan sebagai model dalam iklan, antara lain karena sosok perempuan dibutuhkan untuk memperkuat daya jual dari sebuah produk, perempuan dijadikan wahana promosi barang-barang produksi dan produsen, dan karena erotisme tubuh perempuan bisa dijadikan stoping power. Stoping power adalah sebuah ”kekuatan” yang digunakan agar orang memperhatikan iklan yang ada di TV, radio, majalah, koran, billboard, spanduk, dan lain sebagainya. ”Kekuatan” itu bisa berupa suara, warna, lighting, maupun model iklan Iklan Indonesia banyak yang mengukuhkan stereotype perempuan. Mulai dari stereotype yang positif, seperti lembut, sabar hingga stereotype yang negatif seperti iklan-iklan yang menggambarkan perempuan yang kental dengan tugas rumah semata, bahkan sebagai simbol seks. Iklan jarang menampilkan perempuan sebagai sosok pemberi pendapat, pemimpin yang mengambil keputusan, atau pemberi nafkah pada suami. Tubuh perempuan sering tampil sebagai model untuk iklan kosmetik, pelangsing badan, lotion (krim), shampoo, parfum, baik untuk pria maupun wanita. Selain itu tubuh perempuan sering tampil sebagai simbol kenikmatan minuman, keindahan produk furnitur, keanggunan dan kelincahan produk
50
Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan ....
mobil, dan image pada iklan sabun cuci yang seolah ingin mengatakan bahwa yang bisa mencuci bersih adalah perempuan, dan serangkaian iklan yang menampilkan sosok perempuan untuk pekerjaan di dapur dan merawat anakanak. Tubuh perempuan telah dieksploitasi dalam iklan, tetapi kita sering tidak menyadari hal itu. Mary Douglas melihat sistem tubuh sebagai suatu sistem simbol. Ia mengatakan “sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu.” Ia membagi tubuh menjadi dua, yaitu the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat. Ada pendapat lain yang mengatakan hal yang sama, yaitu pendapat dari Mike Featherstone yang mengelompokkan pembentukan tubuh atas dua kategori, yaitu “tubuh dalam” dan “tubuh luar”. Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh untuk kepentingan kesehatan dan fungsi maksimal tubuh dalam hubungannya dengan proses penuaan, sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (dalam Lazuardi, www. www.kunci.or.id/teks/01tubuh.htm). Dari pendapat Mary Douglas dan Mike Featherstone di atas, ada “sebagian” tubuh perempuan yang diperuntukkan bagi publik, dan tubuh itu dibentuk berdasarkan kategori-kategori yang telah ada dan nantinya akan mendapatkan pandangan atau penilaian dari masyarakat. Seperti halnya sekarang, perempuan berusaha membentuk tubuhnya menjadi bentuk yang ideal, yaitu langsing, bukan gemuk. Karena ada kategori-kategori yang secara tidak langsung telah ditetapkan dalam masyarakat yang terpengaruh media massa, pembentukan tubuh dan citra ideal itu telah menjadi suatu histeria massa. Para perempuan bersama-sama, berlomba-lomba membentuk tubuhnya agar bisa dikatakan ideal. Kapitalis membuat dan memanfaatkan hal ini dengan baik, produk-produk dan citra ideal perempuan cantik yang ditawarkan lewat iklan laris dikonsumsi orang. Tubuh telah menjadi sebuah simbol, tubuh yang langsing, rambut yang hitam, kulit yang putih mulus adalah simbol kecantikan seorang perempuan.
SEMIOTIKA Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeon” yang berarti tanda. Maka, semiotika berarti ilmu tentang tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan
51
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, JUNI 2005: 41-68
dengan tanda, seperti sistem tanda, dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1996:1). Jika Ferdinand de Saussure mengemukakan semiotika tingkat pertama, atau yang biasa disebut denotatif, Roland Barthes membuat semotika tingkat kedua dengan mengkaji mitos yang ada dalam masyarakat. Sistem semiotika tingkat pertama adalah sistem linguistik, sistem semiotika tingkat kedua adalah sistem mitos. Sistem kedua ini yang oleh Barthes disebut dengan konotatif yang secara tegas ia bedakan dari denotatif. Mitos berasal dari bahasa Yunani mutos yang berarti cerita. Biasanya dipakai untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak mempunyai kebenaran historis. Akan tetapi mitos tetap dibutuhkan agar manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya (Sunardi, 2002:103). Teori mitos dikembangkan Barthes untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa atau budaya media. Barthes menyatakan bahwa pada tingkat penandaan kedua (konotasi) inilah mitos diciptakan dan digunakan. Seperti pada mitos, Barthes juga mengartikan ideologi sebagai suatu bentuk ide dan praktik yang mempertahankan status quo dan secara aktif mempromosikan nilai-nilai dan kepentingan kelompok dominan dalam masyarakat (dalam Storey, 2004:116). Barthes mengatakan bahwa ideologi berfungsi terutama pada level konotasi, makna sekunder, makna yang seringkali tidak disadari, yang ditampilkan oleh teks dan praktik (Storey,2004:8). Ideologi berusaha untuk menjadikan apa yang pada faktanya parsial dan khusus menjadi universal dan legitimate, sekaligus juga suatu usaha untuk melewatkan hal-hal yang bersifat kultural sebagai hal yang alamiah. Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yaitu signifier, signified, dan sign. Untuk membedakan istilah-istilah yang dipakai dalam semiotik tingkat pertama, Barthes menggunakan tiga istilah yang berbeda, yaitu form, concept, dan signification. Berarti signifier=form, signified=concept, sign=signification. Sebagai sistem semiotik tingkat dua, mitos mengambil sistem semiotik tingkat pertama sebagai landasan. Jadi mitos adalah sistem yang terdiri dari gabungan sistem linguistik dan sistem semiotik (Sunardi, 2002:104). Semiotika tahap pertama (denotasi) tanda denotatifnya (denotative sign) terdiri atas signifier dan signified, sedangkan semiotika tahap keduanya (konotasi) tanda konotatif terdiri dari connotative signifier dan connotative signified. Dalam denotatif kita akan melihat gambar atau foto begitu saja, tanpa ada pemaknaan dibalik gambar (foto) itu. Denotatif kemudian menjadi landasan (pijakan) bagi semiotika tingkat kedua (konotasi dan mitos). Secara semiotik,
52
Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan ....
konotasi memang dibangun di atas denotasi. Dalam konotasi kita menguraikan makna apa yang ada dibalik foto itu baru kemudian kita bisa menarik mitos dari situ, dan setelah kita mengetahui mitosnya apa, kita dapat menentukan ideologinya.
ANALISIS SEMIOTIKA PADA IKLAN CETAK SUSU WRP BODY SHAPE Iklan cetak Susu WRP Body Shape menampilkan empat perempuan seperti terlihat pada gambar 1. Semuanya memakai baju berwarna putih yang hanya menutup sampai bagian dada, sedangkan bagian perut mereka terbuka sehingga memperlihatkan pusar dan perut. Mereka menggunakan celana pendek ketat berwarna putih yang panjangnya hanya sepaha. Panjang celana yang mereka gunakan, pada perempuan yang pertama dan keempat terlihat lebih pendek daripada celana yang digunakan oleh perempuan kedua dan ketiga. Kaki mereka dari bagian paha ke bawah tidak ditutupi apapun termasuk alas kaki. Keempat perempuan ini terlihat seperti bercakap berpasangan dengan posisi berdekatan. Mereka semua tersenyum memperlihatkan gigi mereka yang putih. Keempat-empatnya punya rambut panjang hitam dan semuanya dikuncir ke atas dalam satu ikatan berbentuk buntut kuda. Semuanya berkulit putih mulus, dan kulit wajah yang juga putih. Gambar 1. Iklan Cetak Susu WRP Body Shape
53
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, JUNI 2005: 41-68
Perempuan pertama (A) (urutan dari kiri ke kanan) tangan kirinya diletakkan lurus di samping tubuh, tangan kanannya memegang pundak perempuan kedua (B) kepalanya menengok ke arah kanan atau melihat B, kaki kirinya dimajukan, tumitnya dibengkokkan ke kiri; sedangkan tangan B kiri memegang bagian belakang pinggang A, dan tangan kanannya dijatuhkan lurus di samping kanan tubuhnya, kepalanya menengok ke arah kiri atau melihat A, kaki kanannya dimajukan. A dan B terlihat sedang bercakap-cakap. Perempuan ketiga (C) terlihat bercakap-cakap dengan perempuan keempat (D). Jari-jari tangan kiri C memegang jari-jari tangan kanan B, sedangkan tangan kirinya memegang pinggul D. Terlihat jari-jarinya di belakang pinggul D, kaki kirinya dimajukan, dan lututnya ditekuk ke depan, kepalanya menengok ke arah kanan atau melihat D, rambutnya menyentuh tangan B. Sedangkan tangan kiri D memegang pundak C, tangan kanannya dijatuhkan di sisi tubuh kanannya, kaki kanannya dimajukan agak serong ke kiri. Pada gambar terlihat ada beberapa kesamaan antara perempuan A dan D, celana mereka lebih pendek, dan sikap tangan mereka yang memegang bahu perempuan B dan C. Sedang perempuan B dan C juga punya kesamaan, tangannya yang satu memegang pinggul perempuan A dan D, dan tangan mereka bergandengan, padahal A berpasangan dengan B dan C berpasangan dengan D. Di bagian atas dan bawah terdapat sebuah gambar berwarna hijau yang melengkung. Gambar yang di atas lengkungan yang menonjol terdapat di sebelah kiri gambar, sedangkan yang bawah terletak di sebelah kanan. Di sebelah kiri terdapat tulisan ”What’s Your” yang berwarna hijau, di bawahnya terdapat tulisan ”Body Shape?” berwarna hitam dengan huruf besar (kapital) semua dan ukuran hurufnya lebih besar daripada tulisan di atas, tanda tanya dibuat lebih besar daripada tulisan. Di sebelah kiri bawah terdapat gambar kemasan WRP Body Shape, dan di sebelah kiri terdapat tulisan ”setiap perempuan diciptakan berbeda. Tak hanya warna kulit, jenis rambut ataupun warna mata, dalam hal bentuk tubuh pun tak sama. Ada pir, tabung, apel, dan jam pasir. Puaskah Anda dengan bentuk tubuh tersebut? Bentuk tubuh memang tidak dapat diubah, namun mesti disyukuri dan dimaksimalkan dengan olah raga dan nutrisi yang tepat. WRP Body Shape, susu tinggi protein, rendah lemak, tinggi kalsium yang dilengkapi CLA dan L-Carnitine, membantu membentuk tubuh kencang dan proporsional. Dengan WRP Body Shape dan latihan yang tepat, Anda pasti tampil memikat.” Semua tulisan itu berwarna hitam, kecuali tulisan yang digarisbawahi berwarna hijau, dan ukuran tulisannya semua sama. Pada bagian bawah kanan iklan ada
54
Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan ....
tulisan “Pertanyaan/tanggapan hubungi: 0800-1-818181 (bebas pulsa), (021) 4607777 Email :
[email protected], www.wrp-diet.com”. Uraian di atas menjadi pijakan untuk melakukan analisis semiotik tingkat kedua (konotasi). Makna yang ada dibalik gambar tersebut adalah adanya sebuah usaha penyeragaman bentuk tubuh dan citra perempuan. Perempuan ideal adalah mereka yang bertubuh langsing, berkulit putih mulus, berperut rata, berambut hitam panjang, kulit wajahnya putih, berkaki jenjang dan ramping. Ada semacam histeria massa, ketika para perempuan berusaha untuk mengubah tubuhnya agar sesuai dengan citra ideal tersebut. Pada gambar dapat dilihat ada semacam persengkokolan antara A dan D, B dan C. Mereka saling menarik dan menggandeng, tetapi dengan cara yang halus dan tidak kentara. Mungkin bisa dilihat dua kelompok itu adalah kapitalisme dan iklan. Mereka saling bergandengan tangan dan bekerja sama untuk mempropagandakan citracitra yang sudah didistorsi sehingga muncul ”citra palsu” tentang kecantikan. Kapitalisme dengan industrialisasinya menciptakan produk. Iklan bertugas menggaungkan produk itu dan membentuk image, sehingga tercipta keseragaman di antara konsumen. Dengan cara yang halus mereka mengajak orang melakukan apa yang mereka kehendaki, sehingga mereka bisa mengambil keuntungan yang sangat besar. Gaya berpakaian keempat wanita yang sangat minim dan terbuka bisa diinterpretasikan sebagai sebuah gaya hidup masa kini, simbol wanita modern. Juga bisa diinterpretasikan sebagai sebuah ”janji” iklan, jika kita mengkonsumsi produk ini, kita akan lebih langsing, terlihat menarik dan percaya diri menggunakan pakaian seperti itu, karena tidak ada lemak yang harus ditutup-tutupi. Gambar berwarna hijau muda di atas dan di bawah gambar yang melengkung itu adalah penggambaran bentuk tubuh yang seharusnya melengkung pada tempat yang tepat, yaitu di bagian pinggul, jika orang terlalu gemuk atau terlalu kurus, tubuhnya tidak akan punya lekukan-lekukan tubuh. Warna hijau bisa diartikan sebagai lambang kemudaan dan kesegaran. Jika kamu langsing, dan cantik, kamu akan merasa segar dan muda. Hal ini tidak berlaku bagi orang yang bertubuh gemuk. Gambar kemasan WRP Body Shape yang terletak di bawah berbentuk unik, tidak seperti kotak kemasan susu lainnya. Jika dilihat dari gambarnya yang berbentuk melengkung dapat diinterpretasikan sebagai bentuk badan ideal yang melengkung di bagian pinggul, dan gambar orang sebatas dada hingga lutut yang menggunakan baju putih yang hanya menutupi bagian dada dan celana ketat pendek yang panjangnya di atas paha, dan memperlihatkan perut yang langsing dan rata bisa diinterpretasikan sebagai hasil yang akan
55
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, JUNI 2005: 41-68
dicapai jika konsumen mengkonsumsi produk tersebut, sehingga ia menjadi langsing dan percaya diri untuk menggunakan pakaian minim. Di dalam tipologi lambang dari Peirce, lambang itu disebut rheme bilamana lambang itu terhadap interpretannya adalah sebuah first (van Zoest, 1996:89). Dalam artian suatu huruf atau kata akan mendapat artinya jika ia diberi tempat di antara huruf-huruf atau kata-kata lain. Bagaimanapun juga makna itu soliter, ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya makna lain. Katakata yang berdiri tunggal disebut rheme, dan ketika kata-kata tersebut disusun sebagai kalimat, maka rheme itu dapat diberi arti yang langsung oleh hubungan yang dibuat atau yang disebut proposition. ”Whats, Your, BODY, SHAPE” adalah sebuah rheme dan ketika kata-kata itu disusun menjadi ”Whats Your BODY SHAPE?” tulisan itu akan berarti, yaitu apa bentuk badanmu? Setiap gambar maupun tulisan selalu punya makna. Mereka bisa berbicara banyak. Tulisan ”Whats Your Body Shape?” dalam bahasa Inggris itu menandakan bahwa target konsumen WRP Body Shape ini adalah perempuan yang berasal dari kalangan menengah ke atas, yang mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup tinggi, dan social economic status-nya (SES) cukup bagus. Sekarang mengenai kalimat lainnya dalam body copy iklan tersebut ”setiap perempuan diciptakan berbeda. Tak hanya warna kulit, jenis rambut ataupun warna mata, dalam hal bentuk tubuh pun tak sama. Ada pir, tabung, apel, dan jam pasir. Puaskah Anda dengan bentuk tubuh tersebut? Bentuk tubuh memang tidak dapat diubah, namun mesti disyukuri dan dimaksimalkan dengan olah raga dan nutrisi yang tepat. WRP Body Shape, susu tinggi protein, rendah lemak, tinggi kalsium yang dilengkapi CLA dan L-Carnitine, membantu membentuk tubuh kencang dan proporsional. Dengan WRP Body Shape dan latihan yang tepat, Anda pasti tampil memikat”.
Melalui konteks linguistik bisa diinterpretasikan proposition di atas. ”Setiap perempuan diciptakan berbeda” bisa diinterpretasikan bahwa target produk adalah perempuan, bukan pria. Karena iklan ini tidak mengatakan ”semua orang diciptakan berbeda”, tetapi ”setiap perempuan diciptakan berbeda” Argument kedua ”Tak hanya warna kulit, jenis rambut, ataupun warna mata, dalam hal bentuk tubuh pun tak sama. Ada pir, tabung, apel dan jam pasir.” Proposition itu bisa diinterpretasikan produk ini bisa digunakan oleh
56
Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan ....
setiap wanita, baik wanita yang gemuk ataupun wanita yang sebenarnya sudah cukup langsing, tetapi merasa kurang percaya diri karena bentuk badannya. Iklan menciptakan suatu kebutuhan baru lagi bagi konsumen. Setelah melangsingkan tubuh, mereka butuh memaksimalkan bentuk badan mereka. Argument ketiga ”Puaskah Anda dengan bentuk tubuh tersebut?” bisa diinterpretasikan bahwa ada suatu hal yang belum dilakukan, jangan merasa puas memiliki tubuh yang sekarang dimiliki. Konsumen tidak bisa atau belum bisa dikatakan cantik apabila ia memiliki masalah dengan bentuk tubuhnya. Tanda tanya selain untuk menandakan bahwa itu adalah kata tanya juga bisa digunakan agar konsumen berpikir tentang bentuk tubuhnya. Rheme ”Anda” menunjukkan bahwa target sasaran iklan ini adalah wanita dewasa, yang kirakira berumur 20-40 tahun. Argument keempat ”Bentuk tubuh memang tidak dapat diubah, namun mesti disyukuri dan dimaksimalkan dengan olah raga dan nutrisi yang tepat.” Proposition ini sebenarnya kontradiksi dengan kalimat yang sebelumnya, kalimat sebelumnya mempertanyakan apakah perempuan puas dengan bentuk tubuhnya, dan berusaha untuk mempersuasi orang untuk berpikir ulang mengenai hal tersebut, tetapi pada kalimat tersebut, perempuan harus mensyukuri dan menerima kenyataan bahwa bentuk tubuh tidak bisa diubah, hanya bisa dimaksimalkan. Proposition ”namun mesti” diinterpretasikan sebagai sebuah cara membujuk yang sangat halus dan seolah-olah memberikan pilihan, ia tidak mengatakan dengan rheme ”harus”. Dengan apa? Tentunya selain olahraga, juga mengkonsumsi susu WRP Body Shape. Argument selanjutnya ”WRP Body Shape, susu tinggi protein, rendah lemak, tinggi kalsium yang dilengkapi CLA dan L-Carnitine, membantu membentuk tubuh kencang dan proporsional.” Proposition tersebut menguraikan keunggulan produk yang memiliki kandungan-kandungan yang disebutkan. Tulisan yang digaris bawah adalah tulisan yang berwarna hijau. Tulisan tersebut ingin menekankan kandungan-kandungan dalam WRP. Rheme ”yang dilengkapi” bisa diinterpretasikan bahwa dalam produk WRP yang sebelumnya tidak terdapat CLA dan L-Carnitine. Proposition ”tubuh kencang dan proporsional” berarti tidak banyak lemak yang bergelambir dan menonjol pada tubuh dan proporsional berarti ideal. Ideal menurut media massa dan iklan tentunya. Argument terakhir ”Dengan WRP Body Shape dan latihan yang tepat, Anda pasti tampil memikat” bisa diinterpretasikan pada akhirnya hal inilah sebenarnya yang menjadi tujuan iklan, yaitu membujuk konsumen untuk membeli produknya. Rheme ”dan” menunjukkan bahwa tidak ada jaminan jika hanya minum susu WRP ini badan bisa langsing, tetapi harus melakukan
57
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, JUNI 2005: 41-68
olahraga. Proposition ”lebih memikat” bisa diinterpretasikan bahwa ada perubahan dalam tubuh konsumen jika ia mengkonsumsi WRP Body Shape, yaitu ia akan berubah menjadi langsing dan kencang sehingga ia bisa dikatakan lebih ”cantik”. Rheme ”Lebih” menunjukkan suatu perubahan yang tingkatnya di atas hal yang sebelumnya.
ANALISIS SEMIOTIKA PADA IKLAN CETAK SUSU PROLENE Iklan cetak Prolene, seperti pada gambar 2, menampilkan gambar seorang perempuan muda berbaju biru lengan panjang yang sedang tertawa dengan mulut terbuka lebar. Perempuan ini mempunyai badan yang langsing, gigi putih, dan rambut hitam panjang yang terurai bebas, dan tingginya semampai. Ekspresi perempuan ini menunjukkan bahwa dia senang atau bahagia, hal ini terlihat dari cara dia tertawa. Perempuan tersebut berdiri di tengah dikelilingi oleh teman-temannya yang berjumlah empat orang, dua pria, dua wanita, satu pria dan satu wanita pada sisi kanan dan kiri. Akan tetapi gambar keempat orang ini kabur, hanya perempuan yang di tengah yang gambarnya terlihat jelas, dan mereka berlima terlihat sedang tertawa semua. Salah satu tangan perempuan ini maju ke depan, sejajar dengan perut, dengan tangan dan jari-jari terbuka menghadap ke atas.
58
Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan ....
Gambar 2: Iklan Cetak Susu Prolene
Makna yang terkandung di balik gambar tersebut adalah wanita yang berada di tengah adalah wanita yang menarik perhatian, sedangkan wanitawanita yang lain ”tidak menarik”, karena itu gambar mereka dikaburkan. Wanita yang ”menarik” bisa meraih sukses dengan daya pikatnya. Iklan ini ditujukan untuk wanita muda dari kalangan profesional atau pekerja yang status sosial ekonominya menengah ke atas. Hal ini tampak dari gambar perempuan
59
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, JUNI 2005: 41-68
yang ada dalam iklan, ia menggunakan blaser yang merupakan pakaian wanita kantoran. Di bagian atas gambar tersebut ada sebuah tulisan ”Magnet Wanita Prolene” yang semuanya menggunakan huruf kapital, dengan latar berwarna biru. Tulisan ”Magnet” dan ”Prolene” ditulis menggunakan warna putih, sedangkan kata ”Wanita” ditulis dengan warna abu-abu. Melalui konteks linguistik bisa diinterpretasikan proposition kalimatkalimat yang ada dalam iklan ini yang berjumlah 10 kalimat. Kalimat pertama adalah: ”Magnet Wanita Prolene”. Rheme ”magnet” bisa diartikan sebagai daya tarik. Sebagaimana sifat magnet yang selalu menarik logam-logam yang punya kutub yang berbeda darinya. Kata ini bisa diartikan bahwa wanita yang mengkonsumsi Prolene bisa ”menarik” para pria. Sedangkan rheme ”wanita” menegaskan bahwa produk ini ditujukan untuk wanita. Dengan tulisan berwarna abu-abu, dan tulisan lain berwarna putih, hal itu digunakan untuk eye catching dan penegasan. Jika digabung dalam kesatuan kalimat, kalimat tersebut berarti bahwa wanita yang mengkonsumsi Prolene mempunyai daya tarik di manapun dia berada, terutama daya tarik terhadadap kaum pria. ”Menarik” di sini tentu saja adalah punya kelangsingan tubuh. Hal ini dilihat dari produk Prolene, yaitu susu untuk diet. Warna biru sebagai latar belakang bisa diartikan sebagai kemandirian perempuan dan kebebasan perempuan, sesuai sasaran produk ini. Di bawah gambar terdapat tulisan ”tampil menarik”, dan di bawahnya terdapat kalimat ”punya daya pikat unik”. Argument kedua adalah proposition. Ini bisa diartikan, jika perempuan tampil menarik (tentu saja sesuai standar: putih, langsing, mulus), maka dia akan punya daya pikat, sehingga ia bisa mempesona semua orang, baik wanita maupun pria. Perempuan yang bertubuh gemuk tidak mempunyai daya pikat karena mereka tidak menarik. Di bawahnya lagi terdapat tulisan yang semuanya berwarna putih dan berlatar belakang warna biru, yaitu: ”Kemanapuan ia pergi, aktifitas apapun yang ia lakukan, wanita Prolene selalu jadi pusat perhatian. Bukan sekedar keindahan ragawi, pesona dalam dirinya bagai magnet inspirasi. Untuk aktifitas sepanjang hari, PROLENE memberi manfaat lengkap susu rendah lemak berzat besi tinggi dan berkalsium tinggi. PROLENE 99% tanpa lemak, hingga mampu menjaga bentuk ideal tubuh. Kandungan zat besi-nya membantu tetap aktif dan energik, sedangkan kandungan kalsium-nya akan membantu meningkatkan kesehatan serta kesehatan tulang. PROLENE juga diperkaya vitamin A, C, dan E yang membantu memelihara kesehatan kulit dan melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan”.
60
Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan ....
Argument ketiga ” Kemanapun ia pergi, aktifitas apapun yang ia lakukan, wanita Prolene selalu jadi pusat perhatian.” Proposition ini bisa diartikan kapan pun dan di manapun perempuan yang mengkonsumsi Prolene berada, ia akan selalu menarik perhatian, karena ia punya bentuk badan yang langsing, yang sesuai dengan standar budaya massa. Argument keempat ”Bukan sekedar keindahan ragawi, pesona dalam dirinya bagai magnet inspirasi.” Proposition ini terkesan munafik, iklan ini adalah iklan produk susu untuk diet, jadi menurut iklan ini, perempuan yang menarik adalah perempuan yang langsing, perempuan yang bertubuh gemuk tidak menarik. Perempuan langsing biasanya dipandang lebih ”indah” dibanding perempuan yang gemuk, yang tidak menarik. Proposition ”bukan sekedar keindahan ragawi” diinterpretasikan tidak hanya daya tarik tubuh saja yang keluar dari wanita yang menggunakan produk ini, tetapi juga pesona dari dalam yang bisa berupa kesehatan, semangat, dan keceriaan yang dapat menimbulkan inspirasi bagi orang lain. Argument kelima ”Untuk aktifitas sepanjang hari, PROLENE memberi manfaat lengkap susu rendah lemak berzat besi tinggi dan berkalsium tinggi. Proposition ini bisa diinterpretasikan bahwa kandungan-kandungan yang ada dalam susu ini ”mendukung” perempuan yang mengkonsumsi Prolene untuk melakukan aktifitas-aktifitasnya. Dengan kandungan zat besi dan kalsiumnya, membuat konsumen lebih ”kuat”. Rheme ”Prolene” yang dibuat dengan huruf besar semua digunakan untuk menarik perhatian konsumen, dan untuk ”menegaskan” produk. Argument keenam ”PROLENE 99% tanpa lemak, hingga mampu menjaga bentuk ideal tubuh”. Proposition ini semakin menegaskan perempuan untuk menjauhi lemak, karena lemak akan membuat tubuh menjadi gemuk. Proposition ”99% tanpa lemak” bisa diinterpretasikan kandungan lemak dalam susu ini sangat sedikit, yaitu hanya 1%. Rheme ”menjaga” diinterpretasikan produk ini tidak membuat tubuh yang gemuk menjadi langsing karena tidak menggunakan rheme ”membuat”, tetapi membuat tubuh yang langsing tidak menjadi gemuk atau tetap langsing. Proposition ”bentuk ideal tubuh” mengacu pada kelangsingan badan. Tubuh dikatakan ideal bila perempuan punya tubuh yang langsing, tidak gemuk dan tidak terlalu kurus. Rheme ”ideal” menunjukkan suatu hal yang bagus untuk diikuti atau dicapai. Argument ketujuh ”Kandungan zat besi-nya membantu tetap aktif dan energik, sedangkan kandungan kalsium-nya akan membantu meningkatkan kesehatan serta kesehatan tulang. PROLENE juga diperkaya vitamin A, C, dan E yang membantu memelihara kesehatan kulit dan melindungi sel-sel tubub dari kerusakan” Proposition ini juga menjelaskan kandungan-kandungan yang
61
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 1, NOMOR 2, JUNI 2005: 41-68
ada dalam produk dan yang merupakan kelebihan produk ini. Dalam proposotion juga dijelaskan manfaat dari zat besi dan kalsium, juga vitamin A, C, dan E. Rheme ”juga” menunjukkan kandungan prolene tidak hanya zat besi, kalsium, dan 1% lemak saja. Di bawah tulisan tersebut, terdapat sebuah kalimat lagi, yaitu ”Jadilah wanita PROLENE. Miliki magnet pesona PROLENE”. Argument kedelapan ”Jadilah wanita PROLENE. Miliki magnet pesona PROLENE.” Bisa diinterpretasikan pada akhirnya hal inilah yang sebenarnya menjadi tujuan iklan, yaitu membujuk konsumen untuk membeli produk. Di sini konsumen dibujuk dengan cara yang halus. Hal ini ditunjukkan dengan menggunakan proposition ”Jadilah wanita PROLENE” seolah-olah dalam kalimat ini tidak terdapat ”paksaan”, kalimat ini membujuk ”jika kamu ingin mempunyai bentuk tubuh ideal dan punya daya tarik, maka belilah Prolene.” Dalam iklan ini tidak digunakan proposition ”jadi belilah Prolene” padahal maksudnya sama saja. Proposition ”miliki magnet pesona PROLENE” bisa diinterpretasikan jika pembaca mengkonsumsi Prolene maka ia akan mempunyai tubuh ideal, maka ia akan punya pesona dan daya tarik. Di bawah kalimat itu terdapat gambar kemasan Prolene yang terletak di tengah, dan di bawah gambar kemasan itu terdapat tulisan yang merupakan slogan produk ini, yaitu ”Look good, feel good|”, yang ditulis dengan huruf kapital semua. Argument kesembilan ”Look good, feel good.” Proposition ini menunjukkan bahwa sasaran yang dituju adalah perempuan yang berasal dari kalangan menengah ke atas dan berpendidikan tinggi yang mengerti Bahasa Inggris. Proposition “look good” menunjukkan bahwa tubuh yang langsing, yang ideal akan “bagus” untuk dilihat, atau jika wanita mempunyai tubuh langsing, maka ia akan terlihat “bagus” atau menarik. Proposition “feel good” bisa diinterpretasikan setelah mempunyai tubuh yang langsing dan “bagus” untuk dilihat, maka wanita akan punya rasa percaya diri. Kebenaran dari gambar dan kalimat-kalimat bersifat ekstern sehingga dapat dibuktikan benar-tidaknya, karena orang lain juga akan bisa melihatnya. Sedangkan kebenaran dari argument bersifat intern atau ditentukan oleh ideologi yang diikuti. Ideologi akan menentukan cara pandang dan bagaimana orang harus berpikir dan bertindak. Bagaimana melihat idelogi dalam teks? Menurut Aart van Zoest, di dalam semua teks pasti terdapat bagian gejala yang kelihatan aneh dan menarik perhatian. Sebelum masuk ke dalam ideologi, harus ditentukan dulu mitosnya, harus diketahui dulu mitos apa yang beredar di masyarakat. Mitos yang ada di masyarakat adalah wanita yang mempunyai tubuh gemuk akan membuat wanita tidak bisa tampil cantik (jelek). Setelah diketahui mitosnya, akan diketahui ada
62
Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan ....
sebuah ideologi yang hendak dimasukkan yaitu wanita yang cantik adalah wanita yang bertubuh langsing, dan ukuran langsing adalah bentuk tubuh yang kencang dan proporsional, tidak ada tumpukan lemak. Dalam masyarakat telah tertanam sebuah konstruksi ideologi ”cantik”, bahwa cantik itu langsing (ramping), putih, rambut hitam dan lurus, gaya berpakaian dan assesoris yang mengikuti trend, dan sebagainya. Identitasidentitas semacam itu membentuk keinginan untuk menjadi seperti apa yang dikonstruksikan serta menimbulkan ketakutan tersendiri jika tidak bisa menjadi seperti konstruksi tersebut, karena konstruksi telah menjadi sebuah gambaran yang ideal. Di sinilah iklan sebagai bagian dari budaya massa yang membuat konstruksi tersebut menampilkan konstruksi tersebut dalam iklan WRP Body Shop dan Prolene. Model dalam iklan WRP Body Shop dan Prolene ini sebetulnya mewakili semua citra kecantikan seorang perempuan, di mana citra itu dikonstruksikan oleh media massa, yaitu langsing, muda, berkulit putih mulus, punya kulit wajah yang putih, berambut hitam dan panjang, kaki ramping, dan berpakaian mengikuti trend. Jika iklan ini berhasil mempengaruhi pembacanya, maka pembuat produk ini berhasil menanamkan mitos dan ideologinya sehingga konsumen akan berpikir bahwa ia akan terlihat lebih ”cantik” jika menggunakan produk ini.
PENUTUP Dominic Strianati mengatakan bahwa budaya massa adalah budaya yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa yang diharapkan menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya (www.kompas.com/kompascetak/0305/05/swara/293908.htm). Makna ke- cantikan telah dihasilkan oleh teknik-teknik industrial produksi massa. Para penguasa, dalam hal ini pemilik modal, berusaha menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru dengan menciptakan sebuah standar kecantikan. Mereka membuat sebuah pola yang sama, wanita dikatakan cantik apabila dia berambut panjang lurus, berkulit putih, berwajah mulus, langsing, dan harum. Bisa dilihat, makna “cantik” telah menjadi suatu hal yang standar dan homogen. Di seluruh dunia, perempuan yang dikatakan “cantik” apabila ia sesuai dengan standar yang telah disebutkan, di luar itu mereka tidak bisa dikatakan cantik. Iklan dan budaya popular atau budaya massa saling berhubungan. Iklan merefleksikan budaya popular dan iklan juga membuat (membentuk) budaya popular. Selain itu, dalam hal kecantikan, iklan membantu “media massa”
63
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
untuk mengkostruksikan ditampilkan dalam iklan.
VOLUME 1, NOMOR 2, JUNI 2005: 41-68
makna
kecantikan
lewat
image-image
yang
Nobody is perfect. Mungkin itu adalah kata-kata yang klise, tapi itu memang kenyataan. Tidak ada manusia yang sempurna. Apa yang ditampilkan di media massa tentang wanita “cantik” yang telah menjadi standar ukuran seorang perempuan mengakibatkan suatu histeria massa dari para wanita untuk berusaha melakukan segala cara agar mereka bisa disebut “cantik”. Padahal para wanita yang ditampilkan dalam media massa terutama iklan adalah modelmodel yang telah direkayasa, sehingga mereka merepresentasikan citra “cantik” yang sesuai dengan harapan media massa. Hal tersebut dapat dilihat contohnya lewat iklan WRP Body Shop dan Prolene. Iklan ini menampilkan suatu citra kecantikan yang mana citra itu telah didistorsi, yaitu perempuan yang “cantik” adalah perempuan yang bertubuh langsing, berperut rata, wanita yang gemuk tidak bisa disebut cantik. Modelmodel yang digunakan dalam iklan ini, memang mewakili semua standar “cantik”, yaitu berkulit putih, langsing, dan berambut hitam panjang lurus.
DAFTAR PUSTAKA Budiman, Hikmat.2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta:Kanisius Fasya, Teuku Kemal. Iklan! Sihir Industri Kapitalisme. Ibrahim, Idi Subandy, & Suranto Hanif (ed). 1998. Wanita dan Media Konstruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: PT Rosdakarya Juliastuti, Nuraini. Tesis Althusser Tentang Ideologi. www.kunci.or.id/teks/04rep2.htm Jary, David & Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Harper Collins Publisher. Kasali, Rhenald. 1992. Manajemen Periklanan Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti Lazuardi, Luna. Studi Tentang Tubuh. www.kunci.or.id/teks./01-tubuh.htm Liliweri, Alo. 1992. Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
64
Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan ....
Manurung, Pappilon Halamoan. Membaca Representasi Tubuh dan Identitas Sebagai Sebuah Tatanan Simbolik dalam Majalah Remaja, Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 1, Nomor 1, Juni 2004. Yogyakarta: FISIP UAJY Roesli, Harry. 2004. Iklan dan Budaya Konsumtif. Unpublished Rogers, Marry F. 2003. Barbie Culture. Yogyakarta: Bentang Budaya Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal Van Zoest, Aart. 1996. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/1/4/opini.html www.ciaadvertising.org/studies/student/00_spring/theory/kwilliam/public_html/mytheo ry/page6.html www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/16/khazanah/lainnya02.htm www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/swara/293908.htm
65
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
66
Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak pada Keluarga Jawa) 5
Yuli Setyowati
Abstact: This research aimed to describing the communication pattern taking place inside Javanese families in Sleman regency and city of Jogjakarta. It also to discover the extent to which Javanese families understood and realized the importance of family communication and child emotional development, and the impact of family communication on child emotional development. This research was using descriptive–qualitative method and based on symbolic interactionism theory. Data were collected by using a passive observation technique and by conducting in-depth interviews with 18 informans. Informans were taken by employing a purposive sampling and selected based on their accessibility to the studied issue. Data were analyzed using interactive analysis model.
Key words : Family communication patterns, child emotional development
Setiap kali membicarakan tentang perkembangan anak, pokok bahasan tidak pernah lepas dari peran keluarga. Keluarga adalah lingkungan pertama 5
Yuli Setyowati adalah Staf pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta
67
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 67-78
yang dikenal anak dan sangat berperan bagi perkembangan anak. Melalui keluarga, anak belajar menanggapi orang lain, mengenal dirinya, dan sekaligus belajar mengelola emosinya. Pengelolaan emosi ini sangat tergantung dari pola komunikasi yang diterapkan dalam keluarga, terutama sikap orang tua dalam mendidik dan mengasuh anaknya. Dalam hal ini, orang tua menjadi basis nilai bagi anak. Nilai-nilai yang ditanamkan orang tua akan lebih banyak dicerna dan dianut oleh anak. Perlakuan setiap anggota keluarga, terutama orang tua, akan “direkam” oleh anak dan mempengaruhi perkembangan emosi dan lambat laun akan membentuk kepribadiannya. Pada kenyataannya, perkembangan emosi yang banyak dikenal dengan istilah kecerdasan emosional sering terabaikan oleh banyak keluarga, sebab masih banyak keluarga yang sangat memprioritaskan kecerdasan intelektual (IQ) semata. Padahal kecerdasan emosi harus dipupuk dan diperkuat dalam diri setiap anak, sebab kecerdasan emosi sangat erat kaitannya dengan kecerdasankecerdasan yang lain, seperti kecerdasan sosial, moral, interpersonal, dan spiritual. Dengan demikian, memperhatikan perkembangan emosi anak bukanlah hal yang mudah bagi orang tua. Cukup beralasan jika dikatakan bahwa menjadi orang tua masa sekarang memang tidak mudah, sebab masyarakat sudah mengalami perubahan, yakni perubahan yang membawa nilai-nilai baru yang kadang sangat berbeda dengan nilai-nilai yang diajarkan orang tua di masa lalu. Budaya berkomunikasi dalam keluarga kadang dianggap tidak cocok lagi dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Hal ini terjadi karena orang tua adalah produk dari suatu tipe masa yang berbeda dengan anaknya. Dalam suasana perubahan masyarakat dewasa ini, keluarga-keluarga dengan latar belakang budaya Jawa pun sering berbenturan dengan nilai-nilai baru yang dibawa oleh sistem sosial yang baru. Problem dalam mendidik anak menjadi suatu hal yang tak terelakkan. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan tertentu dalam usaha membangun pola komunikasi keluarga secara efektif sehingga mampu mengantarkan anak-anak yang memiliki perkembangan emosi yang baik. Dalam problem ini, keluarga dihadapkan antara nilai-nilai budaya yang masih dipertahankan dengan nilai-nilai budaya baru. Persoalan baru bisa muncul dalam keluarga, karena kehadiran orang lain selain keluarga ini, misal pembantu, nenek, kakek, maupun keluarga lain. Begitu pula dengan fenomena perkembangan teknologi komunikasi yang pada akhirnya memunculkan istilah “generasi televisi” karena begitu akrabnya anakanak dengan televisi.
68
Satyowati, Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak Studi Kasus...
Melihat fenomena tersebut, seiring dengan kemajuan dan dinamika masyarakat, pembahasan tentang upaya keluarga membangun pola komunikasi demi perkembangan emosi anak-anak merupakan hal yang penting sepanjang masih ada anggapan bahwa anak-anak adalah pribadi yang unik dan berharga. Bertolak dari persoalan tersebut, muncul beberapa pertanyaan, (1) bagaimana penerapan pola komunikasi yang dilakukan oleh keluarga-keluarga Jawa dalam kehidupan mereka sehari-hari, (2) bagaimana pemahaman dan kesadaran keluarga-keluarga tersebut mengenai pentingnya komunikasi dalam keluarga dan perkembangan emosi anak-anak mereka? dan (3) bagaimana pengaruh penerapan pola komunikasi keluarga tersebut terhadap perkembangan emosi anak berkaitan dengan latar belakang sosial ekonomi mereka? Berkaitan dengan masalah yang diteliti, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam tentang : (1) penerapan pola komunikasi yang dilakukan oleh keluarga Jawa dalam kehidupan mereka sehari-hari, termasuk usaha orang tua dalam menanamkan nilai-nilai budaya yang mendukung perkembangan emosi anak, serta alasan-alasan atas pemilihan pola komunikasi yang diterapkan; (2) pemahaman dan kesadaran keluarga tersebut mengenai pentingnya komunikasi dalam keluarga dan perkembangan emosi anak-anak mereka; (3) pengaruh penerapan pola komunikasi keluarga terhadap perkembangan emosi anak berkaitan dengan latar belakang sosial ekonomi mereka, yang dilihat berdasarkan tingkat pendidikan orang tua, kondisi ekonomi keluarga, jenis pekerjaan, status sosial, serta pengaruh lingkungan tempat tinggal. Beberapa pemikiran dasar untuk memahami fenomena komunikasi komunikasi dalam keluarga, maka perlu diketahui halhal di bawah ini. Keluarga didefinisikan sebagai hasil proses sosialisasi primer bagi seorang anak di mana pada saatnya anak tersebut akan dihantarkan untuk memasuki lingkungan masyarakat (struktur sosial) yang lebih luas (Morgan dalam Slamet Rahardjo, 1996). Sementara menurut Hildred Geertz (1983), keluarga merupakan tempat berlangsungnya sosialisasi dan transformasi nilainilai moral, etika, dan sosial yang intensif dan berkesinambungan di antara anggotanya dari generasi ke generasi. Dalam konteks inilah, Balson (1999) menyatakan bahwa seluruh perilaku seseorang seperti bahasa, permainan emosi, dan ketrampilan dipelajari dan dikembangkan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Melalui keluarga, pribadi anak akan terbentuk, sehingga mereka memiliki gambaran-gambaran tentang kehidupan mereka sendiri dan orang lain, serta gambaran-gambaran yang membentuk prinsip-prinsip yang akan ditunjukkan selama kehidupannya.
69
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 67-78
Keseluruhan proses tersebut sangat tergantung dari penerapan pola komunikasi dalam keluarga. Pola komunikasi tercermin dari cara orang tua membangun komunikasi dengan anak. Dalam bukunya Raising a Responsible Child, Elizabeth Ellis (Shapiro, 1997) menyatakan bahwa para peneliti yang mempelajari reaksi orang tua terhadap anak-anaknya menemukan ada tiga gaya atau cara orang tua menjalankan perannya, yaitu gaya otoriter, permisif, dan otoritatif. Orang tua otoriter memberlakukan peraturan-peraturan yang ketat yang harus dipatuhi oleh anak. Mereka menganggap bahwa anak-anak harus “berada di tempat yang telah ditentukan” dan tidak boleh menyuarakan pendapatnya. Pola ini dijalankan berdasarkan pada struktur dan tradisi yang penuh dengan keteraturan dan pengawasan. Sebaliknya, orang tua permisif, berusaha menerima dan mendidik sebaik mungkin tetapi cenderung sangat pasif ketika harus berhadapan dengan masalah penetapan batas-batas atau menanggapi ketidakpatuhan. Mereka tidak begitu menuntut, juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi anaknya, karena yakin bahwa anak-anak seharusnya berkembang sesuai dengan kecenderungan alamiahnya. Orang tua otoritatif berusaha mengembangkan batas-batas yang jelas dan lingkungan yang baik untuk tumbuh. Mereka memberi bimbingan, tetapi tidak mengatur, memberi penjelasan yang mereka lakukan serta membolehkan anak memberi masukan atau pendapat. Kemandirian anak sangat mereka hargai, tetapi anak juga dituntut untuk memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi kepada keluarga, teman, dan masyarakat. Sepanjang kehidupan manusia, masa balita merupakan saat terbentuknya pola dasar kepribadian karena pada masa itu terjadi perkembangan pesat dari semua potensi yang dimiliki anak, terutama potensi emosinya. Pada masa ini pula, seorang mencari untuk menemukan cara berperilaku hingga memperoleh pengakuan, merasa dirinya berarti dan merasa adanya keterlibatan dalam keluarga. Pencarian makna dan ruang dalam keluarga ini sangat fundamental bagi setiap anak, terutama pada usia empat hingga enam tahun (Balson, 1999). Kepribadian dan sifat-sfat anak terungkap dalam mekanisme hidup dalam keluarga. Karena keluarga merupakan faktor penentu, maka komunikasi keluarga yang efektif tidak hanya menyangkut berapa kali komunikasi dilakukan, melainkan bagaimana komunikasi itu dilakukan (Jalaluddin Rakhmad, 2002). Dalam hal ini diperlukan adanya keterbukaan, empati, saling percaya, kejujuran, dan sikap suportif.
70
Satyowati, Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak Studi Kasus...
Menjadi orang tua yang baik, kemudian membutuhkan lebih dari sekedar intelektualitas, melainkan juga menyentuh dimensi kepribadian dan melibatkan emosi (Gottman dan De Claire, 1998). Keterbukaan emosi berarti menyadari perasaan anak, mampu berempati, menghibur, dan membimbing mereka. Perlakuan yang demikian sering disebut kasih sayang afirmatif, yaitu bentuk kasih sayang yang menyediakan situasi yang baik bagi perkembangan emosi anak dan mendukung melalui cara yang dengan jelas dikenali oleh anak. Kasih sayang ini lebih dari sekedar memberi pujian, pelukan ataupun ciuman, tetapi melibatkan diri secara aktif dalam kehidupan emosi anak. Emosi adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Kecenderungan untuk bertindak ini dibentuk oleh pengalaman kehidupan serta budaya (Goleman, 1999). Emosi juga berarti seluruh perasaan yang kita alami seperti sedih, gembira, kecewa, semangat, marah, dan cinta. Sebutan yang diberikan kepada perasaan tertentu mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir mengenai perasaan itu, dan bagaimana ia bertindak (Albin, 1986). Kemampuan seseorang dalam memaknai perasaan tindakannya merupakan wilayah kecerdasan emosional. Salovey dan Mayer (Shapiro, 1997) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai : “himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosional ditandai dengan kualitas-kualitas: 1) empati; 2) kemampuan mengungkapkan dan memahami perasaan; 3) kemampuan mengendalikan amarah; 4) kemandirian; 5) kemampuan menyesuaikan diri; 6) disukai orang lain; 7) kemampuan memecahkan masalah antarpribadi; 8) ketekunan; 9) kesetiakawanan; 10) keramahan; dan 11) sikap hormat. Demi mencapai perkembangan dengan kualitas-kualitas emosi tersebut, orang tua yang dikatakan sebagai “pelatih emosi” perlu memanfaatkan sebaikbaiknya saat-saat berharga dalam keluarga dengan membangun pola komunikasi yang efektif, dengan mengambil peran aktif dan penuh makna dalam melatih anak mengenai ketrampilan manusiawi melalui empati dan pengertian. Dalam hal ini orang tua mengajarkan kepada anak-anak untuk menghadapi naik turunnya kehidupan, yaitu pelibatan semua emosi, baik emosi-emosi negatif maupun positif (Gottman dan De Claire, 1998). Pengaruh pelatihan emosi tersebut akan terlihat sampai anak menjadi dewasa. Seperti diungkapkan Albin (1986), bahwa reaksi orang tua terhadap
71
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 67-78
cara anak-anak mengungkapkan emosi mereka akan mempengaruhi emosi mereka sebagai orang dewasa nanti. Dalam proses interaksi tersebut, pengalaman yang diperoleh anak terbentuk melalui interpretasi atas makna yang ditangkap selama proses interaksi. Dalam penelitian ini proses interaksi keluarga dipahami dengan menggunakan teori interaksi simbolik. Teori interaksi simbolik menurut Cooley dan Mead (dalam Basrowi dan Sukidin, 2002) berasumsi bahwa “diri” muncul karena komunikasi. Adaptasi inidividu terhadap dunia luar dihubungkan melalui proses komunikasi. Ada tiga prinsip utama teori interaksi simblik, yaitu meaning (makna), language (bahasa), dan thought (pemikiran). Menurut Bumer, bahasa merupakan sumber pemaknaan. Sedangkan makna merupakan konstruksi realitas sosial. Pemikiran memainkan peranan di antara keduanya (Griffin, 2000). Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Manusia tampil sebagai diri dalam perilakunya sejauh dia sendiri mengambil sikap yang diambil orang lain terhadap dirinya. Jadi perilaku adalah produk penafsiran individu atas obyek di sekitarnya (Mulyana, 2002). Rom Harre (dalam Littlejohn, 1999) secara lebih jelas menyatakan bahwa pemahaman seseorang mengenai self (diri) merupakan suatu konsep teoritis yang berasal dari pengertian tentang kepribadian yang terdapat dalam budaya dan diekspresikan melalui komunikasi. Dengan demikian, konstruksi tentang diri tidak hanya ditentukan oleh diri kita sendiri, tetapi juga orang lain, bahkan masyarakat. Little John (1999) menyatakan bahwa teori konstruksi realitas sosial mencakup dua teori yaitu teori konstruksi sosial diri (the sosial construction of self) dan teori konstruksi sosial emosi (the social construction of emotion). Dua teori tersebut termasuk dalam aliran interaksi simbolik. Dalam teori-teori tersebut, konsep diri menjadi aspek yang sangat penting. Konsep diri bersifat pribadi dan terbentuk dari teori seseorang tentang dirinya di mana ia menjadi bagian dari budaya dan interaksinya dengan orang lain, termasuk di dalamnya pemikiran, perhatian, dan emosi. Hal ini lebih diperkuat lagi dalam teori konstruksi sosial emosi, yang menyatakan bahwa emosi adalah sistem kepercayaan yang membimbing diri kita dalam suatu situasi, yang meliputi empat aturan, yaitu: 1) aturan appraisal yang mengatur tentang “apa itu emosi”; 2) aturan perilaku, yaitu kapan emosi harus ditunjukkan, positif atau negative; 3) aturan prognosis yang mengatur berapa lama emosi ditunjukkan; dan 4) aturan distribusi yang mengatur bagaimana emosi harus ditunjukkan (Littlejohn, 1999).
72
Satyowati, Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak Studi Kasus...
METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian ini mengambil strategi atau metode kualitatif deskriptif dengan interpretasi mendalam terhadap temuan-temuan lapangan berdasarkan fakta yang ada mengenai informasi perkembangan emosi anak yang dihasilkan dari penerapan pola komunikasi keluarga. Penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati (Bogdan Taylor dikutip Basrowi dan Sukidin, 2002). Bentuk penelitiannya adalah studi kasus tunggal karena sasaran yang diambil mempunyai karakteristik yang sama yaitu keluarga Jawa (Sutopo, 2002). Sumber data utama adalah informan atau narasumber dari 18 keluarga yang dipilih berdasarkan keragaman karakteristik status sosial ekonomi dengan tujuan menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber yang memiliki akses informasi mengenai berdasarkan permasalahan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, peneltian ini menggunakan teknik pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling) atau sering disebut teknik (criterion-based selection (Sutopo, 2002). Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dan observasi langsung berperan pasif. Analisis data dilakukan dengan menggunakan model analisis interaktif (Miles dan Huberman, 1992) yang terdiri dari tiga komponen pokok yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Dalam pelaksanaannya, tiga komponen analisis tersebut saling berkaitan dan berinteraksi. Validitas data dilakukan dengan teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan, keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut (Moleong, 2001). Dalam penelitian ini, yang digunakan adalah teknik triangulasi sumber atau data, metode, dan teori.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada dasarnya, kemampuan emosional anak sudah ada sejak lahir, bahkan berlangsung sejak dalam kandungan. Dengan demikian, sebenarnya setiap individu memiliki emosi dasar. Namun seiring dengan bertambahnya usia anak, perkembangan emosinya akan sangat tergantung dari interaksinya dengan orang lain. Artinya, emosi yang merupakan proses mental ini akan berkembang tergantung dari proses belajar dengan lingkungannya.
73
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 67-78
Dalam proses belajar tersebut, anak akan menyerap setiap perilaku, penilaian dan perlakuan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sementara itu, temperamen atau faktor bawaan juga berpengaruh terhadap terbentuknya emosi dasar anak. Faktor bawaan ini merupakan pengaruh dari gen yang dibawa oleh orang tuanya, dan akan sangat dominan terlihat dari ibu yang sedang hamil. Hormon-hormon yang berkembang saat ibu hamil itulah yang akan membentuk temperamen anak. Proses belajar anak pada awalnya berlangsung dalam keluarga, sehingga keluarga menjadi faktor penentu bagi perkembangan emosi anak. Dalam hal ini pola komunikasi keluarga yang diterapkan akan menentukan pembentukan dan perkembangan emosi tersebut. Seiring dengan bertambahnya usia anak, proses belajar tersebut tidak hanya sebatas pada keluarga, melainkan juga lingkungan di luar keluarga, sehingga perkembangan emosinya juga dipengaruhi oleh pola interaksinya dengan orang lain. Penerapan pola merupakan gambaran interaksi antar anggota keluarga, dan yang terutama adalah interaksi antara orang tua dengan anak. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor sosial ekonomi keluarga yang terdiri atas faktor tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan, status sosial keluarga, lingkungan tempat tinggal, serta keyakinan yang dianut. Faktor-faktor tersebut tidak dapat dipisahkan dari faktor budaya, dalam hal ini adalah budaya Jawa terlihat dari nilai-nilai, norma-norma, pola-pola tindakan, serta ide-ide atau gagasan-gagasan yang merupakan simbol-simbol bermakna yang saling dikomunikasikan dalam lingkup keluarga serta lingkungannya. Dengan adanya faktor-faktor tersebut, terdapat banyak variasi penerapan pola komunikasi keluarga. Pada dasarnya terdapat tiga pola komunikasi keluarga. Pada dasarnya terdapat tiga pola komunikasi yang dilakukan orang tua terhadap anak, yaitu pola otoriter, permisif, dan otoritatif atau demokratis. Ketiga pola ini sering diterapkan secara situasional. Artinya pada saat-saat tertentu, salah satu pola komunikasi bisa lebih dominan daripada pola komunikasi yang lain. Dalam hal ini, proses komunikasinya senantiasa tergantung pada konteks ruang dan waktu. Ketika anak berusia dini, pola komunikasi otoriter dipandang lebih efektif diterapkan dengan tujuan menanamkan nilai-nilai moral pada anak. Selanjutnya, pola komunikasi demokratis menjadi tuntutan untuk diterapkan dengan tujuan menanamkan nilai-nilai moral pada anak. Selanjutnya, pola komunikasi demokratis menjadi tuntutan untuk diterapkan dalam keluarga seiring dengan bertambahnya usia anak dengan tujuan melatih kemandirian, keberanian berpendapat, mengasah kemampuan menyelesaikan permasalahan antarpribadi, keberanian mengungkapkan perasaan, dan tanggung jawab.
74
Satyowati, Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak Studi Kasus...
Seperti diungkapkan oleh Gover (dalam Tubbs dan Moss, 1996) bahwa setiap individu memperoleh identitas diri dengan memperhatikan dan diperhatikan oleh orang lain. Lebih jauh lagi, kita menumbuhkan identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain. Sampai batas tertentu, setiap manusia dapat dikatakan melakukan komunikasi dalam pengertian berbagi pengalaman dan memahami pengalaman orang lain dengan cara menciptakan dan menggunakan lambang-lambang yang saling dipertukarkan. Perkembangan emosi yang menjadi bagian dari proses pembentukan kepribadian tidak pernah bisa kita pahami secara terpisah dengan kebudayaan. Clifford Geertz (1992) mengungkapkan bahwa respon atau tindakan-tindakan kita pada taraf tertentu ditentukan secara genetis, tetapi juga bisa bersifat kultural. Gagasan-gagasan, nilai-nilai, dan tindakan-tindakan, bahkan emosiemosi kita, seperti sistem syaraf kita sendiri merupakan hasil-hasil kebudayaan, yaitu hasil-hasil yang diciptakan. Sistem syaraf pusat kita, secara khusus neokorteksnya, tumbuh sebagian besar dalam interaksinya dengan kebudayaan. Sistem itu tidak dapat mengarahkan tingkah laku kita atau menata pengalaman kita tanpa pengarahan yang diberikan oleh sistem-sistem simbol yang bermakna. Simbol-simbol tersebut bukan sekedar ungkapan-ungkapan, alat-alat bantu, atau hal-hal yang berhubungan dengan eksistensi biologis, psikologis, dan sosial kita, melainkan merupakan prasyarat untuk eksistensi kita yang terjadi melalui bentuk-bentuk kebudayaan yang sangat khusus, seperti kebudayaan Jawa. Pengaruh kebudayaan ini dapat dilihat dalam penerapan beberapa pola komunikasi keluarga. Hildred Geertz (1985) menyatakan bahwa dalam masyarakat manapun keluarga adalah jembatan antara individu dan budayanya. Terutama pengalaman masa kanak-kanaknya diberi bentuk fundamental oleh bangunan kelembagaan di dalam keluarga dan dengan pengalaman itulah dia memperoleh pengertian, perlengkapan emosional, ikatan-ikatan moral yang memungkinkan baginya, sebagai seorang dewasa bertindak selaku seorang anggota dewasa di dalam masyarakatnya. Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa pemahaman dan kesadaran keluarga mengenai pentingnya komunikasi keluarga dan pengaruhnya terhadap perkembangan emosi anak masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluarga yang tidak menganggap penting, bahkan tidak memiliki pemahaman yang benar tentang hubungan antara kedua hal tersebut. Pada kenyataannya, banyak keluarga yang lebih mengutamakan kemampuan kognitif anak daripada kemampuan emosionalnya, dan banyak keluarga tidak memiliki batasan serta komitmen yang jelas mengenai komunikasi keluarga dan perkembangan emosi anak, sehingga komunikasi keluarga sering hanya
75
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 67-78
dipahami sebagai rutinitas, bukan sebagai sesuatu yang memiliki arti bagi perkembangan anak. Pengaruh penerapan pola komunikasi keluarga terhadap perkembangan emosi anak akan bersifat positif apabila di dalam keluarga terdapat budaya komunikasi yang demokratis. Demokratisasi di dalam keluarga ditandai oleh adanya peraturan dan kebebasan, sehingga setiap anak akan mengetahui bahwa setiap tindakan mengandung konsekuensi. Jadi perkembangan emosi yang baik sangat memerlukan adanya suasana kebebasan individu yang bertanggungjawab, terbiasa hidup mandiri, dan kebiasaan yang mengikuti keteraturan dalam hidup bermasyarakat. Guna mencapai tahap tersebut, perlu dilakukan sosialisasi nilai sejak anak usia dini. Dalam konteks budaya Jawa, untuk saat ini perlu kombinasi antara penerapan nilai-nilai Jawa dan nilai-nilai modern yang banyak mengedepankan kemandirian dan ketangguhan anak. Dalam arti bahwa ada nilai moral Jawa tertentu yang termasuk nilai inti tetap harus dipertahankan, seperti tatakrama, sopan-santun, dan sikap hormat. Penanaman nilai-nilai tersebut tentunya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak, daya tangkap dan daya serap mentalnya. Sementara itu, nilai-nilai tentang kemandirian, sikap konsisten, konsekuen, dan bertanggung jawab juga harus ditanamkan sejak usia dini. Proses sosialisasi tersebut sangat ideal jika didukung oleh faktor kehidupan beragama dalam keluarga, sebab pada dasarnya spiritualitas seseorang akan sangat mewarnai pola berpikir, berperasaan, dan bertingkah laku. Keluarga yang membiasakan melaksanakan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, manfaatnya luar biasa. Anak-anak menjadi tahu nilainilai yang baik dan buruk, tidak egois, terbiasa bersikap empati dan mengasihi sesamanya, jujur, konsisten, mampu menyelesaikan masalah dengan hati yang jernih tanpa amarah. Hal-hal ini akan tumbuh subur dalam suasana komunikasi yang demokratis, ineteraktif dan terbuka.
KESIMPULAN Penerapan pola komunikasi keluarga sebagai bentuk interaksi antara orang tua dengan anak maupun antaranggota keluarga memiliki implikasi terhadap proses perkembangan emosi anak. Dalam proses komunikasi tersebut, anak akan belajar mengenal dirinya maupun orang lain, serta memahami perasaannya sendiri maupun orang lain.
76
Satyowati, Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak Studi Kasus...
Pola komunikasi yang demokratis dan interaktif secara kultural pada akhirnya akan menentukan keberhasilan proses sosialisasi pada anak. Proses sosialisasi menjadi penting karena dalam proses tersebut akan terjadi transmisi sistem nilai yang positif kepada anak. Sistem nilai dalam budaya Jawa yang disosialiasikan kepada anak, banyak memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan dan perkembangan emosi anak. Dalam hal ini adalah sistem nilai yang berhubungan dengan kualitas-kualitas emosi anak, antara lain nilai-nilai tentang sikap hormat, tata krama atau sopan-santun, kesabaran dalam menyelesaikan masalah masalah, serta toleransi yang menjadi dasar terbentuknya sikap empati anak. Dengan demikian, anak-anak akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang cerdas, baik secara intelektual maupun emosional, yang akhirnya menjadi dasar bagi kecerdasan yang lain, yaitu kecerdasan sosial, moral, dan spiritual.
DAFTAR PUSKATA Albin, Rochelle Semmel. 1986. Emosi, Bagaimana Mengenal, Menerima, dan Mengarahkannya. Terjemahan Dr. M. Brigid, OSF. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Balson, Maurice, 1999. Menjadi Orang Tua yang Sukses. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia. Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Terjemahan Hersri, Jakarta : Grafiti Pers. Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Terjemahan Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Goleman, Daniel. 1999. Kecerdasan Emosional, Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ. Terjemahan T. Hermaya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gottman, John dan Joan de Claire. 1998. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki kecerdasan Emosional. Tokoh. Hermaya : penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
77
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 67-78
Griffin, EM. 2000. A First Look At Communication Theory. Fourth Edition. Boston: Mc Graw-Hill Companies. Litlejohn, Stephen W. 1999. Theories of Human Communication. Sixth Edition. New Mexico: Wadworth Publishing Company. _______, 2002. Theories of Human Communication. Seventh Edition. New Mexico: Wadworth Publishing Company. Miles, Mathew B dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rosidi. Jakarta: UI – Press. Mulyana, Dedy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Moleong, Lexy J..2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Bandung: Remadja Karya Shapiro, Lawrence E. 1997. Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Terjemahan Alex Tri Kantjono. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta : UNS Press. Tubbs, Stewart L dan Moss, Sylvia. 1996. Human Communication Prinsipprinsip Dasar. Buku Pertama. (Terjemahan Deddy Mulyana dan Gembirasari). Bandung : Remaja Rosdakarya.
78
Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial
Stefanus Nindito6
Abstract: Alfred Schutz phenomenology is one of the important thougt in phenomenology development as philosophical movement. Simultantly, Schutz’s phenomenology critizes and modifies Husserl concept of phenomenology and Weber concept of ideal type actions.This paper uses Friedrich concept to give a map of mode scientist in order to clarify Schutz phenomenological position in development of social science. In context of social science Schutz phenomenology position implies to qualitative methods research especially in observation structure to the object of research social emphasize by phenomenology.
Key word: Phenomenology, prophetic mode, priestly mode, adequate causation, accidental causation
Dalam peta tradisi teori ilmu sosial terdapat beberapa pendekatan yang menjadi landasan pemahaman terhadap gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat. Salah satu dari pendekatan yang terdapat dalam ilmu sosial itu adalah fenomenologi. Fenomenologi secara umum dikenal sebagai pendekatan yang dipergunakan untuk membantu memahami berbagai gejala atau fenomena sosial dalam masyarakat. Peranan fenomenologi menjadi lebih penting ketika di tempat secara praxis sebagai jiwa dari metode penelitian sosial dalam pengamatan terhadap pola perilaku seseorang sebagai aktor sosial dalam masyarakat. Namun 6
Stefanus Nindito adalah dosen Program Studi Sosiologi, FISIP, Univeristas Atma Jaya Yogyakarta
79
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 79-94
demikian implikasi secara teknis dan praxis dalam melakukan pengamatan aktor bukanlah esensi utama dari kajian fenomenologi sebagai perspektif. Fenomenologi Schutz sebenarnya lebih merupakan tawaran akan cara pandang baru terhadap fokus kajian penelitian dan penggalian terhadap makna yang terbangun dari realitas kehidupan sehari-hari yang terdapat di dalam penelitian secara khusus dan dalam kerangka luas pengembangan ilmu sosial. Dengan demikian, fenomenologi secara kritis dapat diinterpretasikan secara luas sebagai sebuah gerakan filsafat secara umum memberikan pengaruh emansipatoris secara implikatif kepada metode penelitian sosial. Pengaruh tersebut di antaranya menempatkan responden sebagai subyek yang menjadi aktor sosial dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya pemahaman secara mendalam tentang pengaruh perkembangan fenomenologi itu sendiri terhadap perkembangan ilmu sosial belum banyak dikaji oleh kalangan ilmuwan sosial. Pengkajian yang dimaksud adalah pengkajian secara historis sebagai salah satu pendekatan dalam ilmu sosial. Salah satu ilmuwan sosial yang berkompeten dalam memberikan perhatian pada perkembangan fenomenologi adalah Alfred Schutz. Ia mengkaitkan pendekatan fenomenologi dengan ilmu sosial. Selain Schutz, sebenarnya ilmuwan sosial yang memberikan perhatian terhadap perkembangan fenomenologi cukup banyak, tetapi Schutz adalah salah seorang perintis pendekatan fenomenologi sebagai alat analisa dalam menangkap segala gejala yang terjadi di dunia ini. Selain itu Schutz menyusun pendekatan fenomenologi secara lebih sistematis, komprehensif, dan praktis sebagai sebuah pendekatan yang berguna untuk menangkap berbagai gejala (fenomena) dalam dunia sosial. Dengan kata lain, buah pemikiran Schutz merupakan sebuah jembatan konseptual antara pemikiran fenomenologi pendahulunya yang bernuansakan filsafat sosial dan psikologi dengan ilmu sosial yang berkaitan langsung dengan manusia pada tingkat kolektif, yaitu masyarakat. Posisi pemikiran Alfred Schutz yang berada di tengah-tengah pemikiran fenomenologi murni dengan ilmu sosial menyebabkan buah pemikirannya mengandung konsep dari kedua belah pihak. Pihak pertama, fenomenologi murni yang mengandung konsep pemikiran filsafat sosial yang bernuansakan pemikiran metafisik dan transendental pada satu sisi. Di sisi lain, pemikiran ilmu sosial yang berkaitan erat dengan berbagai macam bentuk interaksi dalam masyarakat yang tersebar sebagai gejala-gejala dalam dunia sosial. Gejala-gejala dalam dunia sosial tersebut tidak lain merupakan obyek kajian formal (focus of interest) dari fenomenologi sosiologi.
80
Nindito, Fenomena Alfred Schlutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas ...
Selanjutnya akan disinggung mengenai elemen-elemen pemikiran fenomenologi sosiologi yang merupakan landasan pendekatan fenomenologi sosiologi sebagai sebuah metodologi dalam ilmu sosial. Elemen-elemen tersebut adalah konsep berpikir fenomenologi sosiologi yang relevan dengan in situ perkembangan fenomenologi sebagai sebuah paradigma yang memegang peranan cukup penting dalam sosiologi. Berbicara mengenai pemikiran fenomenologi Schutz tidak dapat lepas dari relevansinya terhadap tokoh-tokoh fenomenologi pendahulunya. Walaupun pada kenyataannya pemikiran tokoh pendiri fenomenologi (founding fathers) sangat bernuansa filsafat sosial dan psikologis, tetapi untuk memberikan gambaran terhadap pelacakan jalur-jalur epistimologis perkembangan pendekatan ini maka perlu kiranya dikaji lebih lanjut pada bagian selanjutnya pada tulisan singkat ini. Pengkajian terhadap pemikiran pendiri fenomenologi, atau yang lebih dikenal sebagai bapak fenomenologi yaitu Edmund Husserl akan dibahas pada pokok bahasan selanjutnya. Di samping itu pembahasan mengenai tokoh ilmuwan sosial menjadi titik kritis dan unik pada kajian tentang pemikiran fenomenologi sosiologi adalah pemikiran Max Weber. Pada tulisan singkat ini permasalahan tersebut akan dikaji secara khusus pada bahasan tersendiri. Selain posisinya sebagai ilmuwan yang memberikan sumbangan besar terhadap ilmu sosial dan fenomenologi sebagai sebuah pendekatan maka tulisan singkat ini akan memberikan pemetaan keilmuwan Schutz. Pemetaan tersebut terdapat dalam buku berjudul Sociology of Sociology. Dalam buku ini terdapat pemikiran Friedrich tentang model keilmuwan. Model keilmuwan yang pertama adalah model keilmuwan nabi. Dalam salah satu petikan kalimat pembukaan dalam bukunya, Friedrich mengungkapkan gagasan E.A. Ross tentang pemetaan ilmuwan tersebut. Model pertama pemetaan yang di tawarkan oleh Friedrich seperti yang telah disebutkan di atas adalah model kenabian. Definisi E.A. Ross yang merupakan alinea pembuka dalam Sociology of Sociology adalah ”One prophesies… because persuading others to anticipate the future which he foretells his present design” (Friedrich, 1970:57). Petikan kalimat tersebut di atas bermaksud mengilustrasikan sebuah kemampuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan untuk memberikan desain ramalan yang dapat menyebabkan orang lain mengantisipasi masa depan yang dikemukakan jauh dari gambaran saat ini. Kalimat di atas menggambarkan pemikiran Friedrich dalam memperkenalkan sebuah model keilmuwan. Model keilmuwan ini ia sebut sebagai model kenabian (prophetic mode). Dalam model
81
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 79-94
ini ilmuwan diharapkan dapat melahirkan suatu paradigma baru dalam sebuah ilmu. Penemuan ide-ide baru dan kerangka berpikir baru oleh tokoh ilmuwan model ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada ilmu yang bersangkutan. Kontribusi yang seterusnya dapat dijadikan kerangka dasar pemikiran dalam melakukan pengamatan terhadap problematika yang terdapat dalam masyarakat. Sosiologi sendiri mempunyai banyak sekali tokoh yang dapat dikategorikan sebagai anggota model kenabian. Tokoh-tokoh ini juga yang sering disebut sebagai para pencentus teori besar (grand theories) yang melahirkan aliran baru atau mazhab-mazhab yang dianut oleh ilmuwanilmuwan penerusnya. Konsekuensi logis dari pokok pikiran bagi ilmuwan sosial model tersebut harus dapat menciptakan inovasi yang terjadi pada pendekatan ilmu sosial. Inovasi tersebut berupa terciptakan pendekatan baru yang tidak terpengaruh aliran-aliran pemikiran yang kuat – aliran positivisme – bergejolak dalam ilmu sosial pada saat itu. Dalam buku What is Phenomenology? karya Pierre Thevenaz (1962) sebagai sebuah kalimat penegasan terhadap pentingnya sebuah inovasi dalam ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan sosial dinyatakan sebagai berikut: “ Here we are verifying, more over, that truly profound revolution in philosophy proceed more from innovations of method than from metaphysical illuminations. At the same time we observe once again that what is originally concieved as a purely methodological innovation, without presuppositions, carries with it fundamental metaphysical options which sooner or later are bound to manifest themselves. The value of the method will then show itselves. The value of the method will then show itself to be strictly proportionate to the breadth of the philosophy or to the number of philosophies it has inspired and nourish.”
Pernyataan yang pada dasarnya menyatakan bahwa fenomenologi sebagai sebuah revolusi dalam filsafat. Pembaharuan dalam pendekatan ilmu sosial ini bersifat mundane. Sebuah revolusi yang murni merupakan hasil inovasi metodologi yang tanpa syarat dan tanpa mengandung pola pemikiran yang mengandung konsep praduga. Metodologi fenomenologi ini dianggap mampu membawa unsur metafisik fundamental. Dalam perkembangan lebih lanjut, bersifat mengikat dan kemudian termanifestasi pada metodologi tersebut.
82
Nindito, Fenomena Alfred Schlutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas ...
Apabila ditinjau dari sisi waktu kemunculan pendekatan fenomenologi maka pendekatan ini relatif baru, karena diperkenalkan pada sekitar akhir abad 19 oleh Husserl. Pengenalan terhadap pemikiran ini terjadi jauh sesudah teoriteori sosial lain yang lahir pada masa sebelumnya. Teori-teori sosial lain yang populer jauh sebelum fenomenologi seperti teori struktural fungsional (organis) yang dipopulerkan oleh Herbert Spencer pada awal abad 19. Teori populer lain seperti teori konflik yang pertama kali dipopulerkan oleh Karl Marx seiring dengan revolusi industri di Jerman pada pertengahan abad ke-19. Dalam khasanah metodologi ilmu sosial, fenomenologi merupakan salah satu bentuk inovasi karena mampu meninggalkan syarat dalam sebuah penelitian yang termanifestasi dengan menggunakan sebuah hipotesa dalam kerangka penyusunan. Pendekatan model ini sedikit banyak terpengaruh oleh aliran positivistik. Pemikiran kritis yang selanjutnya muncul adalah bagaimana perkembangan fenomenologi sebagai sebuah pendekatan dalam ilmu sosial mensejajarkan posisinya. Dengan kata lain, pemikiran kritis dari tinjauan historis hermeneutis yang akan ditinjau dari tulisan singkat ini sedikit banyak juga akan membicarakan perjalanan fenomenologi sebagai sebuah pendekatan untuk secara akademis memperjuangkan kepentingan emansipatorisnya. Implikasi dari wujud perjuangan emansipatoris tersebut termanifestasi dalam inovasi pemikiran Edmund Husserl tentang fenomenologi. Pemikirannya meletakkan tradisi berpikir fenomenologi yang bersifat transendental. Pemikiran transendental ini dibangun berdasarkan konstruksi berpikir yang terpengaruh logika positivistik seperti aritmatika dan geometri. Alasan penggunaan logika berpikir fisik positivistik bagi Husserl hanya dijadikan jalan menuju ke pemikiran metafisik transendental. Tradisi pemikiran ini akhirnya diteruskan oleh Martin Heidegger dan Max Scheler yang juga akan dipaparkan pada bagian selanjutnya sebagai bahan yang memperkaya perspektif pemikiran fisafat fenomenologi. Pemikiran-pemikiran fenomenologi Schutz terutama banyak dilandasi oleh pemikiran Husserl. Dasar pemikiran Husserl dari fenomenologi yang menggunakan unsur metafisik fundamental merupakan kekuatan legitimasi sebagai landasan berpikir dari penerus metodologi ini (Tevenaz, 1962:38). Sebagai bahan perbandingan dari kategorisasi yang dilakukan oleh Friedrich, kategorisasi yang diberikan oleh Poloma tentang beberapa ahli dalam ilmu sosial. Kategorisasi tersebut terdapat dalam buku Contemporary of Sociology. Poloma mengemukakan seorang ilmuwan sosial seperti Amitai Etzioni dengan salah satu karyanya berjudul Complex Organization adalah salah satu nabi dalam aliran naturalis. Golongan yang dikategorisasikan oleh Poloma dalam Contemporary Sociology Theory sebagai nabi dari aliran
83
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 79-94
humanis adalah ilmuwan sosial bernama C. Wright Mills dengan karya populernya Sociological Imagination. Selain Poloma sebenarnya Friedrich juga sudah mengukuhkan posisinya sebagai salah seorang nabi dari model yang menjadi kategorisasinya (Friedrich, 1970:68). Model lain yang ditawarkan oleh Friedrich adalah model keimaman atau priestly mode. Dalam petikan bab pembuka bukunya, ia mencoba mendefinisikan model ini sebagai berikut: “Scientist as ‘priest’ is commited to an end that he as both a truth and a good in and of itself. The truth and the good are, as with all faith that have moved our world, institutionalized within a highly dedicated culture or sub-culture and inovolve a specialized frame of discourse, common symbols, an elaborate communal ethis, a complex herarchical organization, and a variety of other features commonly found in the established “churches” of our day.” (Friedrich, 1970:108)
Dalam paragraf tersebut Friedrich mencoba mengungkapkan tentang komitmen ilmuwan model keimaman. Komitmen ini dapat diharapkan menjaga kelestarian kebenaran, kebaikan, dan “iman”. Komitmen inilah yang membuat suatu perubahan yang termanifestasi dalam dunia institusionalisasi. Proses institusionalisasi ini berdedikasi pada budaya, unsur budaya yang terlibat di dalamnya. Selanjutnya proses tersebut diikuti oleh kerangka diskursus, simbol bersama, sebuah kerjasama etik komunal, sebuah hirarkhi organisasi yang kompleks dan varitas/bentuk lain yang didirikan pada “gereja” masa sekarang. Gereja dalam hal ini merupakan representasi dari institusi akademik. Ilmuwan model imam ini mempunyai tugas meneruskan dan melestarikan sebuah aliran atau maszhab para pendahulunya yang termasuk dalam kategori ilmuwan model nabi. Lahir sebuah kerangka teori yang digolongkan oleh Poloma sebagai nabi dari aliran naturalis yaitu Amitai Etzioni yang kemudian teorinya diteruskan oleh para penerus yang disebut oleh sebut para imam ilmuwan sosial seperti nama-nama Robert K Merton, Lewis Coser, George Homans, Peter Blau, Ralf Dahrendorf, Gerhard Lenski, dan Talcott Parsons. Sedangkan pada aliran humanis, Margareth menyebutkan seorang nabi yaitu C. Wright Mills yang kemudian diteruskan oleh Peter Berger, Herbert Blumer, Erving Goffman, dan Harold Garfinkel. Dalam sosiologi peta ilmuwan, Alfred Schutz berada pada kategori model keimaman. Dalam Phenomenology and Social Relation yang diedit oleh Helmut Wagner
84
Nindito, Fenomena Alfred Schlutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas ...
menyebutkan bahwa sebenarnya Alfred Schutz bukanlah orang yang pertama melahirkan konsep-konsep fenomenologi, tetapi dialah yang pertama kali menyusun konsep-konsep fenomenologi menjadi lebih sistematis dan komprehensif. Pendahulunya yang sangat berpengaruh terhadap pemikirannya adalah seorang filsuf Jerman yang berkomunikasi dan banyak mempengaruhi pemikiran yang menjadi dasar dari fenomenologi yaitu Edmund Husserl. Di samping Husserl, tokoh yang sangat berpengaruh dalam pengembangan pemikiran tentang fenomenologi adalah Max Weber. Walaupun tidak secara khusus memberikan pemikirannpada pendekatan ini, Weber dengan konsepkonsep sosialnya telah memberikan landasan fenomenologis pada pengembangan pendekatan ini. Pengembangan pendekatan ini terutama karena inspirasi melalui pemikiran Weber yang menjadi modal utama Schutz untuk mengembangkan sebuah pendekatan fenomenologis yang lebih komprehensif dengan mensintesakan pemikiran Husserl. Dalam karya-karyanya lebih lanjut akan menjadi topik bahasan yang menarik karena pengaruh-pengaruh konsep berpikir dari pendahulunya seperti Husserl dan Weber yang terlihat kontradiktif, bergabung menjadi sebuah harmoni antara konsep-konsep dan selanjutnya bergabung untuk membangun sebuah metodologi yaitu fenomenologi sosiologi
INSPIRASI PEMIKIRAN MAX WEBER BAGI FENOMENOLOGI SCHUTZ Semenjak nuansa realitas sosial berada pada tingkat interaksi individual maka semua analisa sosial yang valid harus menunjuk pada perilaku individual. Perilaku individual ini terbentuk oleh arti subyektif yang intensif dari individu. Perilaku individual terbentuk berdasarkan pada tindakan. Tindakan dapat didefinisikan dengan mengartikan makna subyektif yang terkandung di dalamnya melalui pengamatan terhadap tindakan individu dan semua tindakan yang berkaitan dengan individu yang lain dalam konteks perilaku sosial berkaitan di dalamnya. Kelengkapan mendasar dari tindakan sosial adalah makna secara subyektif berkaitan dengan tindakan dari individu yang lain. Pendekatan interpretative menunjuk pada penjelasan tentang masyarakat pada khususnya dan harus dapat dipastikan menjadi obyek dari kognisi yang memiliki makna subyektif yang kompleks dari tindakan. Implikasi dari konsep pemikiran yang dilontarkan oleh Weber adalah sebuah tujuan untuk mengungkapkan akibat psikologis dari perilaku. Sehubungan dengan itu, maka sifat dari pendekatan ini adalah subyektif dan tidak berhubungan dengan fakta empiris. Sudut pandang ini sering digunakan
85
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 79-94
oleh pengguna metode yang memiliki orientasi psikologis yang menggunakan wacana seperti tinggal kembali (reliving/nacherleben) dan empati (einfuhlun). Selain menggunakan wacana yang telah disebutkan di atas maka wacana lain yang tidak kalah populernya dalam menggunakan pendekatan verstehen adalah tingkat (tahapan) psikologi di dalam. Intensitas teori yang dikemukakan oleh Weber merupakan teori yang paling eksplisit dalam kontribusi pemikiran yang mengagumkan darinya. Dalam wacana perdebatan positivis-intuisionis, kontribusi pemikiran Weber memberikan sebuah metode yang memiliki derajat yang sama pada keunikan subyektivitas dari perilaku manusia dan kepentingan untuk memahami perilaku secara ilmiah. Walaupun demikian pemikiran Weber tidak dapat menampung semua persyaratan mutlak validitas dari sebuah ilmu pengetahuan secara ketat dan sebagai sebuah metode yang empiris. Teori yang dikemukakan oleh Weber ini hanya merupakan modifikasi dari ide-ide yang pernah dilontarkan oleh Dilthey dan digerakkan oleh roh kaum neo-kantian yang terobsesi untuk membawa ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial ke dalam satu atap atau “to bring along natural science and social science under one roof”. Meskipun demikian, individu sebagai pemerhati masalah sejarah perkembangan ilmu pengetahuan sosial tidak dapat memposisikan pendekatan verstehen sebagai sebuah pendekatan yang mutlak dapat diterapkan dan mendapatkan hasil yang valid tanpa didukung oleh adanya data-data empiris yang mendukung kepentingan emansipatoris untuk mensejajarkan pendekatan intuisionis dengan pendekatan hukum-hukum umum yang bersifat absolut dan empiris. Pemikiran Weber selanjutnya adalah penjelasan mengenai pengetahuan sosial yang otentik. Pengetahuan sosial yang dimaksud adalah memiliki nilai yang berkaitan dan obyek material serta memiliki perhatian pada makna subyektif yang kompleks dari tindakan sosial. Pemilikan sifat-sifat ini dapat disatukan ke dalam kerangka pemikiran yang obyektif yang akan menimbulkan pengendapan sejarah pengetahuan yang valid dan data sosial yang empiris. Permasalahan yang sulit dari pemikiran Weber timbul karena penterjemahan dari semua fenomena yang ada pada masyarakat. Kesulitan yang muncul bukan disebabkan oleh tingkat keunikan dan khususnya sebuah fenomena yang terjadi masyarakat, melainkan akibat dari kondisi yang saling berkaitan. Kenyataan yang muncul dalam masyarakat harus muncul sebagaimana adanya kenyataan dalam masyarakat yang harus diungkap dengan menggunakan pendekatan yang didukung oleh pendekatan yang memang dapat diterima validitasnya. Konsekuensi logis dari kenyataan pengetahuan ini menunjukkan realitas yang sedang diobservasi mendukung kenyataan yang terjadi sehingga dapat diterima validitasnya. Selanjutnya penekanan pada obyektivitas dan kaitan empiris bersifat konfirmatif. Sifat ini merupakan aspek-aspek yang juga
86
Nindito, Fenomena Alfred Schlutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas ...
berkaitan dengan proses perjuangan menuju kepada pencapaian validitas bagi pengetahuan sosial. Pengetahuan sosial yang telah disebutkan harus memiliki aspek-aspek tambahan yang sangat penting dan telah dipaparkan di atas diharapkan dapat menjelaskan tindakan sosial secara ilmiah dengan tanpa mengabaikan akibat-akibatnya. Pada dasarnya Weber tidak menekankan pada sebab akibat balik seperti yang menjadi persyaratan mutlak dari hukum alam. Hal yang menjadi penekanan menurut Weber adalah jalan yang dipergunakan dalam mempelajari masyarakat. Sebuah pemahaman yang abstrak dari realitas sosial dan bagian yang unik serta merupakan konsekuensi dari fenomena yang menjadi obyek kajian. Keseluruhan realitas sosial bersifat sangat kompleks bagi pengembangan hukum sebab akibat secara inklusif. Dasar dari pemikiran di atas adalah keterkaitan antara kondisi yang terdapat di sekitar fenomena sosial yang bersifat khusus. Hukum timbal balik hanya mengungkapkan sebagian kecil dari keseluruhan sosial. Pada saat ini dalam membicarakan konsep pengetahuan sosial Weber merupakan suatu kebetulan dari pada sebuah akibat dari belantara realitas sosial yang ada. Kekuatan dan kemampuan seseorang sebagai ilmuwan sosial hanya pada tingkat memberikan prediksi, karena pada kenyataan ada kemungkinan lain yang dapat menjadi kenyataan. Kemungkinan antara kesesuaian dalam waktu penyebab tidak terdapat pada belantara kejadian-kejadian yang ada. Tatkala kemungkinan dari prediksi yang tepat berasal dari penemuan sebuah peristiwa yang mendahuluinya, maka kekuatan atau kemampuan dari ilmuwan sosial ini terlihat lebih tinggi. Apabila kita menggunakan istilah Weber maka hubungan yang kuat antara sebab akibat disebut adequate causation, sedangkan hubungan sebab akibat yang lemah disebut sebagai accidental causation. Selanjutnya Weber tidak menyebutkan adanya keharusan penggunaan hukum sebab akibat dalam ilmu alam. Pada dasarnya apabila kita melihat dari pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Weber maka sepintas kita akan mengira bahwa Weber sepenuhnya menggunakan kemungkinan prediksi empiris yang ditunjang dengan dasardasar pemikiran positivisme. Walaupun demikian penggunaan dasar pemikiran di atas akan menyebabkan kita melupakan penekanan pemikiran Weber yang lain seperti keunikan yang terdapat dalam perilaku sosial yang selalu menjadi faktor utama dalam pendekatan yang ditawarkannya menuju kepada perjuangan pendekatan non-positivistik kepada validitas ilmu sosial. Perjuangan Weber sebagai ilmuwan sosial dalam upayanya untuk mendapat sebuah terobosan baru dalam menciptakan suatu pendekatan terhadap fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah dengan cara mengenal lebih mendalam kejadian yang mendahului sebuah fenomena yang
87
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 79-94
merefleksikan makna subyektif yang bersifat kompleks. Fenomena di atas dipengaruhi oleh aktor yang berperan di dalamnya. Penjelasan dari pemikiran Weber di atas dapat digolongkan ke dalam pemahaman tentang hukum sebab akibat yang adequate causation. Dalam penjelasan mengenai pemikiran Weber di atas juga dijelaskan bahwa dalam pendekatan terhadap perilaku sosial yang dikemukakan oleh Weber mengandung dua unsur dari hukum sebab akibat seperti yang terdapat dalam ilmu pengetahuan alam. Demikian juga ilmu alam, ilmu sosial menurut Weber juga tidak mengabaikan keberadaan hubungan sebab akibat yang adequate causation (Gorman,1977:5). Selanjutnya Weber mengungkapkan konsep yang sangat penting untuk perkembangan fenomenologi yang kemudian dijadikan landasan ontologis bagi Schutz untuk membuahkan konsep-konsep fenomenologi. Konsep-konsep pemikiran Weber mengenai relevansi nilai, pemahaman verstehen, dan konsep mengenai tipe ideal, sebagai berikut: “The three main element in Weber’s methodology – the concept of value relevance, the process of, verstehen, and the use of ideal types to link empirical factwith subjective meaning – Schutz agrees, at least in principle, that all are valuable and necessary tools for building a theoretical bridge connecting science and subjectivy” (Gorman,1977:17).
Konsep-konsep pemikiran Weber itu merupakan pengaburan makna yang sebenarnya sudah ambigu. Hal ini pada akhirnya dikritik oleh penerusnya, yaitu Schutz. Banyak pertanyaan muncul ke permukaan di antaranya mengenai makna yang dapat diinterpretasikan dari berbagai sudut pandang, secara epistimologis penguasaan terhadap makna motivasi, tindakan, dan proses verstehen. Pertanyaan-pertanyaan tersebut ditambah lagi dengan pelaksanaan pada tingkat lapangan. Dengan kata lain, dialektika penerimaan konsep Weber oleh Schutz dengan kritik yang dilontarkan diharapkan dan menghasilkan sintesa pemikiran fenomenologi. Pemahaman secara teoritis pemikiran Weber oleh Schutz selanjutnya dijadikan landasan berpikir untuk mengembangkan pendekatan fenomenologi yang lebih valid dan komprehensif oleh Schutz. Pemikiran mengenai makna subyektif digunakan oleh Weber dalam mengeksplorasi perilaku individu. Penggunaan intuisi pada penelusuran dunia sosial yang merupakan dunia arti yang intersubyektif merupakan suatu makna dan simbolik di antara makhluk hidup yakni manusia yang bertindak. Pemikiran konsep intersubyektif bagi Weber sendiri adalah konsep berdasarkan
88
Nindito, Fenomena Alfred Schlutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas ...
hubungan antarmanusia yang akhirnya membangun obyektivitas bagi mereka sendiri.
IMPLIKASI FENOMENOLOGI SCHUTZ PADA METODE PENELITIAN SOSIAL Bertitik pangkal pada pemikiran Schutz yang menekankan pembedaan yang dilakukan pada penelitian sosial dan penelitian pengetahuan fisika. Pembedaan ini justru dilakukan dengan langkah menyetaraan taraf berpikir dalam melakukan interpretasi pada dunia yang “kita” sepakati secara umum. Langkah ini tentu saja sangat berbeda dengan penelitian ilmu alam yang meskipun menekankan diri pada penyelidikan gejala yang terjadi di alam namun justru menggunakan model alat penelitian yang dibangun dari sudut padang peneliti ilmu pengetahuan alam tersebut. Namun dalam mencoba memahami perilaku, tindakan, maupun pemikiran manusia tentu saja seorang peneliti dituntut secara fleksibel mampu menyesuaikan taraf pemikiran ilmiahnya dengan individu lain yang secara simultan menjadi obyek dan subyek penelitian— sebagai pihak yang sekaligus melakukan pemaknaan terhadap tindakannya sendiri. Selanjutnya dalam proses pemaknaan tersebut terjadi suatu kesepakatan yang intinya tidak mau terjebak hanya pada pemikiran ilmiah sosial tetapi lebih pada interpretasi terhadap kehidupan keseharian dasarkan kesepakatan kita sebagai peneliti dengan “obyek penelitian” yang sekaligus sebagai subyek yang menginterpretasikan dunia sosial dalam kerangka besar proses pencarian dalam proses pemahaman terhadap konstruksi makna dari suatu proses yang bernama intersubyektivitas. Berkaitan dengan pemikiran Schutz di atas dalam menelaah tindakan seseorang yang umum dalam dunia kehidupan tidak dapat lepas dari pengaruh situasi biografinya. Makna yang terbangun dari setiap interaksi yang terbangun tidak lepas dari latar belakang biografis. Proses pemaknaan di atas ini membentuk sistem relevansi yang menjalankan proses interaksi dengan lingkungan. Dengan kata lain, pembentukan sistem relevansi dalam proses interaksi sosial ini dapat dijadikan elemen pembentuk tujuan dalam setiap tindakan sosial yang dilakukan oleh individu. Tujuan pembentukan sistem relevansi dari tindakan yang terkait dengan interaksi sosial ini memberikan pilihan bagi peneliti. Pilihan tersebut berkaitan dengan kesempatan peneliti untuk dapat memfokuskan kajiannya didasarkan sekelompok relevansi keilmuan dengan perilaku dalam kehidupan sehari-hari sekaligus menjadi topik dari sisi kognitif peneliti.
89
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 79-94
Berdasarkan pemikiran di atas maka muncul tawaran tiga model konstruksi makna terhadap tindakan sosial: (1) Model konsistensi tindakan yang menjadi validitas obyektif dari konstruksi peneliti yang menjadi jaminan dan pembedaan dengan konstruksi makna dari realitas kehidupan sehari-hari; (2) Model interpretasi subyektif, tempat di mana peneliti dapat mendasarkan kategorisasi jenis tindakan manusia dan hasil makna subyektif dari tindakan atau hasil tindakan yang dilakukan oleh aktor; (3) Model kelayakan (kesesuaian) antara makna yang dikonstruksi oleh peneliti dengan aktor sosial individual dan lingkungan sosialnya. Selain itu untuk menjamin kelayakan pemaknaan yang dilakukan oleh seorang peneliti, makna harus sejalan dengan proses pemaknaan dari pengalaman umum dalam kehidupan sosial keseharian. Tawaran tiga model tindakan manusia ini tidak lepas dari konsep dasar pemikiran fenomenologi Schutz yang dipengaruhi oleh pemikiran Husserl dan Weber yang mengarahkan fenomenologi Schutz pada gabungan analisis tindakan pemikiran model tipe ideal ala Weber dan model tipifikasi tindakan model Husserl. Gabungan pemikiran fenomenologi Schutz yang dijadikan dasar membangun pemikiran umum tentang dunia yang didasarkan pada tipifikasi tindakan Husserl. Tipifikasi Husserl ini menjadi dasar terbangunnya tipifikasi tindakan yang didasarkan pada tipe tindakan dari aktor-aktornya, tipe tindakan dari tindakan itu sendiri, dan tipe tindakan yang didasarkan karakter sosial dari aktor dalam realitas kehidupan sehari-hari. Berdasarkan penggabungan konsep pemikiran tentang tindakan sosial tersebut fenomenologi membantu mengkonstruksi metode ilmu sosial untuk mencoba identifikasi, mengklasifikasi, dan memperbandingkan model tindakan sosial secara luas namun sebagai sebuah fenomena menuju terbangunnya sebuah model tindakan baru. Model tindakan baru yang tidak yang secara komprehensif menggabungkan motif tindakan ala Weber dan jenis tindakan melalui tipifikasi ala Husserl (Wilson, 2002:4).
IMPLIKASI MODEL TINDAKAN TERHADAP METODE PENELITIAN SOSIAL: STRUKTUR PENGAMATAN FENOMENOLOGI SCHUTZ Konsekuensi dari sinergi pemikiran tentang konsep tindakan dalam Fenomenologi Schutz melahirkan konsekuensi pada tingkat metode penelitian yang utamanya sangat berpengaruh terhadap sistem pengamatan atau observasi khususnya pada penelitian yang mendasarkan diri pada penelusuran tentang pemaknaan tindakan. Salah satu tawaran dari konsekuensi metode yang
90
Nindito, Fenomena Alfred Schlutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas ...
ditawarkan melalui model pengamatan yang dibagi berdasarkan cara pengamatan yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Pengamatan langsung biasa dilakukan oleh banyak metode penelitian yang dilakukan oleh peneliti sosial, khususnya yang ingin mengeksplorasi pengamatan secara detail mengenai obyek penelitian menurut perspektif penelitinya sebagai instrumen utama dalam penelitian sosial. Sedang dalam pengamatan tidak langsung peran peneliti dengan menggunakan perspektif fenomenologi lebih didasarkan pada observasi diri dari responden. Secara teknis, metode observasi dalam pengambilan data ini dapat dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan atau panduan wawancara untuk mendapatkan hasil observasi diri dari tindakan responden yang bersangkutan. Selain itu, wawancara dapat dilakukan dengan lebih fleksibel dengan cara yang bersifat informal sehingga pandangan tentang observasi diri responden sesuai dengan sistematikanya sendiri dapat muncul ke permukaan.
Skema: Pengaruh Fenomenologi pada Observasi
(Sumber: TD Wilson , Alfred Schutz,Phenomenology and Research Methodology for Information Behavior Research, www.informationr/net/tdw/publ/papers/schutz02.html)
91
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 79-94
Pemikiran tentang penggunaan metode yang sesuai dengan pemikiran metodologi fundamental dalam fenomenologi yaitu menuntut penemuan akan dunia yang sesuai dengan yang dialami oleh yang bersangkutan. Semua ini didasarkan pada sifat alamiah dari pengalaman manusia dan makna yang menyertai. Makna tersebut didasarkan pada pengalaman hidup manusia yang bersangkutan. Pengungkapan makna dalam perjalanan pengalaman hidup manusia tidaklah mudah dilakukan karena terdapat kendala di mana peneliti cenderung terdistorsi oleh kehadiran latar belakang pengetahuan, pandangan, dan pengalamannya sendiri dalam mencoba menelaah proses pembentukan makna pengalaman respondennya. Oleh karena itu, terdapat suatu konsep dalam metode penelitian sosial yang mensyaratkan penelitinya untuk mengurung (bracket) atau boleh dikatakan menahan dulu semua latar belakang pengalaman dan pengetahuan yang menyebabkan distorsi dalam melakukan observasi terhadap pandangan responden atau pada suatu gejala yang kemudian muncul. Suatu gejala merupakan dunia eksternal yang menempatkan mereka (responden) pada dunia yang berjauhan. Pengambilan jarak ini dimaksudkan untuk membuat fokus pada kesadaran dari dunia yang akan diobservasi dalam penelitian oleh peneliti. Namun demikian pembagian model observasi didasarkan pada metode penelitian sosial yang berperspektif fenomenologi bukan merupakan model penelitian sosial untuk menguji hipotesis walaupun pada akhirnya penelitian yang bersangkutan menghasilkan hipotesis yang secara tidak langsung diuji oleh penelitian yang bersangkutan. Penelitian yang dimaksud mengarahkan pada terbangunnya model teoritis didasarkan pada pembentukan makna berdasar pengalaman dalam kehidupan sosial dari aktor yang menjalani dunia yang bersangkutan. Langkah menuju ke arah pencapaian penelitian dari pengalaman dalam kehidupan sosial adalah dengan mendekatkan diri peneliti sebisa mungkin sebagai partisipan dalam tindakan yang memiliki kepentingan yang dibangun berdasarkan pada pengalaman. Konsep dasar dalam penelitian sosial mengarah pada struktur observasi yang lebih memberikan ruang untuk dapat menangkap secara menyeluruh pembentukan makna dari proses pengalaman hidup individu yang lebih komprehensif dilihat dari sisi responden yang sekaligus menjadi aktor dalam dunia kehidupan sosialnya.
PENUTUP Dalam kaitan dengan pemikiran tentang metode penelitian sosial, khususnya mengenai tawaran yang merupakan konsekuensi dari penelitian
92
Nindito, Fenomena Alfred Schlutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas ...
kualitatif, menempatkan ide dasar fenomenologi Schutz bukan sebagai suatu teori atau pendekatan, melainkan lebih merupakan gerakan filosofis pada abad 20-an yang menjadi perhatian dari ilmu sosial sebagai ilmu humaniora. Penempatan responden sebagai aktor sosial yang menjalankan peran simultan sebagai pengobservasi sekaligus sebagai subyek pembangun makna dalam proses penelitian bersifat fenomenologis merupakan gerakan filsafat sosial yang tidak sekedar bergulat pada tataran konseptual namun juga memiliki agenda emansipatoris untuk memberikan nilai lebih pada setiap interaksi dalam proses penelitian sosial. Pemikiran dasar fenomenologis Schutz ini tidak asing lagi bagi kalangan ilmuwan sosial karena memang sudah menjadi jiwa dan semangat dalam setiap produk teknik penelitian sosial kualitatif atau metode yang berkembang selama ini. Pemikiran fenomenologis memberikan ide dasar yang menjadi fondasi kokoh dari setiap aliran pemikiran sosial yang menekankan pemikirannya pada penyelidikan proses pemahaman. Penyelidikan terhadap pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman yang dibangun dari makna yang melekat pada setiap individu dari setiap tindakannya. Semua tindakan teknis penelitian ini dilakukan dalam kerangka pemahaman akan setiap tindakan dan perilaku secara umum. Selanjutnya perkembangan tradisi pemahaman terhadap pembentukan pemaknaan dari tindakan ini diteruskan dalam tradisi konstruktivisionis. Tradisi ini melahirkan ilmuwan sosial besar sekelas Peter L. Berger dengan Konstruksi Sosial atas Realitasnya yang menggabungkan diri secara massal ke dalam ke dalam rumpun sosiologi pengetahuan. Namun sebelumnya tokoh ilmu sosial seperti George Herbert Mead dan Herbert Blumer juga meneruskan tradisi filsafat ini dengan secara tekun mengkaitkan pemikirannya dengan pemikiran pendahulunya yaitu Husserl yang menempatkan fenomenologi sebagai disiplin filsafat. Muara dari tulisan singkat ini ingin memberikan gambaran tentang akar tradisi berpikir fenomenologi ke dalam ruang perdebatan yang besar tentang pemikiran perilaku informasi. Hal ini tentu saja tidak lepas dari kepentingan tulisan singkat ini untuk secara ilmiah mengkaitkannya dengan perkembangan metode dalam penelitian ilmu komunikasi sebagai bagian integral dari ilmuilmu humaniora.
93
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 2, NOMOR 1,JUNI 2005: 79-94
DAFTAR PUSTAKA Berger, Peter L dan Thomas Luckman. 1966. Social Construction of Reality: A treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Double Day & Company, Inc Bordieu, Pierre. 1990. Essay Towards A Reflexive Sociology. Cambridge: Blackwell. Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial: Perbandingan.Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sketsa,
Penilaian,
dan
Friedrichs, Robert W. 1970. A Sociology of Sociology. New York: The Free Press Gier, Nicholas F. 1981. Wittgenstein and Phenomenology : A Comparative Study of Later Wittgenstein, Husserl, Heidegger, and Marleau Ponty. New York: State University of New York University Press, ALBANY Gorman, Robert A. 1977. Dual Vision. London: Routledge and Kegan Paul. Ltd Husserl, Edmund.1962. Ideas : General Introduction to The Phenomenology, United State of America: Collier Books Edition
Pure
Horton, Paul B dan Chester L Hunt. 1991. Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mills, C Wright. 1959.The Sociological Imagination.U.K.:Oxford university Press, Poloma, Margareth M.1992. Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta:Yayasan Solidaritas Gadjah Mada. Schutz, Alfred. 1970.On Phenomenology and Social Relations. Chicago: The University of Chicago Press _____________, 1972.The Phenomenology of The Social World. London: Heinemann Educational Books Thevenaz, Pierre.1962. What is Phenomenology? Chicago: Quadrangle Books Wilson, TD, Alfred Schutz, Phenomenology and Research Methodology for Information Behavior Research, www.informationr/net/tdw/publ/papers/schutz02.html
94
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL ILMIAH 1. Artikel merupakan hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian (artikel konseptual) di bidang ilmu komunikasi. 2. Artikel ditulis dengan bahasa Inggris/Indonesia sepanjang 20 halaman kuarto spasi ganda dilengkapi dengan abstrak Bahasa Inggris (75-100 kata) dan kata-kata kunci dalam Bahasa Inggris juga. 3. Penulisan kutipan dengan catatan perut yang memuat nama belakang pengarang tahun dan halaman dan ditulis dalam kurung. Contoh Satu Penulis : (Littlejohn, 2000:12) Lebih dari satu penulis : (Severin, dkk, 1998:25) 4. Penulisan daftar pustaka dengan menggunakan model: Nama Belakang, Nama Depan. Tahun Penerbitan. Judul Buku (cetak miring). Kota: Penerbit. Contoh Dominik, Josep R. 2002. The Dynamics of Mass Communication, Media in Digital Age. New York, McGraw Hill. 5. Biodata singkat penulis dan identitas penelitian dicantumkan sebagai catatan kaki dalam halaman pertama naskah. 6. Artikel juga dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam Microsoft Word dengan format RTF menggunakan jenis huruf Times New Roman, font 12. 7. Artikel hasil penelitian memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5) Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang masalah, dan sedikit tinjauan pustaka serta tujuan penelitian), (6) Metodologi Penelitian, (7) Hasil Penelitian, (8) Pembahasan, (9) Kesimpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel). 8. Artikel konseptual memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), (7) Penutup, (8) Daftar Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel). 9. Print-out artikel dan softcopy dikirimkan paling lambat 1 bulan sebelum penerbitan kepada: Jurnal Ilmu Komunikasi d.a. Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari No. 6 Yogyakarta 55281 Telp. (0274) 487711 ext 3124, Fax. (0274) 487748 Email:
[email protected] 10. Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahukansecara tertulis. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak lima eksemplar. Artikel yang dimuat, tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.
Jurnal ILMU KOMUNIKASI