1
MATHLA’UL ANWAR DALAM KONSTELASI POLITIK NASIONAL PASCA ORDE BARU
Disusun Oleh : IIN SOLIHIN NIM: 105033201130
Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1430 H / 2010 M
2
3
4
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 01 Desember 2010
Iin Solihin
iii
5
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ...........................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................
iii
DAFTAR ISI....................................................................................................
iv
ABSTRAK .......................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vii
Bab 1 : Pendahuluan A. Latar belakang .................................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..............................................
6
C. Tinjauan Pustaka..............................................................................
6
D. Tujuan Penelitian.............................................................................
7
E. Metode Penelitian ............................................................................
8
F.Sistematika Penulisan .......................................................................
10
Bab II: Sekilas Tentang Mathla’ul Anwar A. Sekilas Berdirinya Mathla’ul Anwar...............................................
12
B. Sifat-Sifat Tujuan Mathla’ul Anwar................................................
16
C. Pengertian Khittah Mathla’ul Anwar ..............................................
19
1. Fungsi dan Tugas Organisasi Mathla’ul Anwar..............................
19
2. Landasan Operasional Organisasi Mathla’ul Anwar ......................
20
D. Tokoh-Tokoh Pendiri Mathla’ul Anwar..........................................
24
iv
6
Bab III: Mathla’ul Anwar Dan Partisipasi Politik A. Pengertian Dan Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik ..............................
29
B. Langkah-Langkah Perjuangan Mathla’ul Anwar.................................
35
1. Bidang Politik...................................................................................
35
2. Bidang Pendidikan ...........................................................................
41
C. Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar ......................................................
48
1. Di Era Orde Lama ...........................................................................
48
2. Di Era Orde Baru.............................................................................
52
Bab IV: Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru A. Realitas Politik Mathla’ul Anwar Pasca Orde Baru........................
65
B. Hubungan Mathla’ul Anwar Dengan Partai Politik ........................
74
C. Partisipasi Mathla’ul Anwar Dalam Politik Pasca Orde Baru.........
80
D. Masa Depan Mathla’ul Anwar, Antara Peluang dan Tantangan.....
87
Bab V: Penutup A. Kesimpulan......................................................................................
91
B. Saran ................................................................................................
92
C. Dafatar Pustaka................................................................................
94
Lampiran
v
7
ABSTRAK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
Iin Solihin, 97 halaman, 56 Daftar Pustaka, 105033201130 Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru Skripsi ini memfokuskan perhatian pada partisipasi politik organisasi Mathla’ul Anwar (MA 1916) dalam konstelasi politik nasional pasca Orde Baru sebagai salahsatu organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural (pendidikan, dakwah dan sosial). Pemilihan MA pada kajian ini karena ia dianggap sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Provinsi Banten dan terbesar ketiga di Indonesia setelah NU (1926) dan Muhammadiyah (1912). Sebagai organisasi gerakan kultural diawal pendiriannya pada perjalanannya dalam rangka mengisi setelah kemerdekaan untuk membangun permasalahn keumatan, kenegaraan dan kebangsaan mengalami degradasi dari awal sebagai gerakan dalam bidang kultural menuju gerakan politis yang terbawa oleh arus euphoria masa Orde Baru (Orba) yang melakukan strategi hegemoni kekuasaannya dengan memberlakukan Asas Pancasila sebagai satu-satunya Asas untuk seluruh organisasi. Kemudian, pada perkembangannya menyebabkan perpecahan dinternal organisasi MA dengan hilangnya independensi dan puncaknya mengadopsi sistem komando dibawah Orde Baru dan Golkar dengan menjadi onderbouw dari partai politik yang dinilai telah keluar dari Khitthah (1916) organisasi MA. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan melakukan survei untuk mendapatkan data primer, yaitu dengan jalan interview atau wawancara secara langsung dan mendalam, dengan pendekatan penelitian kualitatif dan pengumpulan dokumen lainnya (library research) untuk mendapatkan data skunder, yakni mengadakan studi kepustakaan melalui penelitian terhadap buku-buku, majalah dan lain sebagainya yang ada relevansinya dengan pembahasan tema penelitian. Skripsi ini berkesimpulan; Pertama, MA merupakan organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural dan bukan sebagai organisasi politik. Karena itu, partisipasi politiknya dalam konstelasi politik nasional dimasa Orde Baru telah menyimpang dari tujuan awalnya sebagai gerakan kultural yang berdampak buruk terhadap eksistensi organisasi. Kedua, organisasi MA di masa reformasi telah kehilangan daya tariknya dalam merespon permasalahan keumatan, kenegaraan dan kebangsaan. Selain itu, terjadinya demoralisasi para elit keagamaan yang terjebak dalam pragmatisme politik yang menyebabkan adanya dualisme antara kepentingan kultural dan kepentingan politis. vi
8
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan salah satu kewajiban akademik yang merupakan prasyarat dalam rangka meraih gelar Sarjana Sosial di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Ucapan terimakasih tak lupa penulis haturkan kepada berbagai pihak yang ikut memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi “Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru”. Adapun ucapan terimaksasih penulis haturkan sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.. 2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayarullah Jakarta. 3. Bapak Dr. Hendro Prasetyo, MA selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayarullah Jakarta. 4. Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, MA dan M. Zaki Mubarak M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Prodi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak Dr. Sirojuddin Ali, MA selaku Dosen Pembimbing atas dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan bimbingan selama proses penulisan skripsi.
vii
9
6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Ilmu Politik yang telah sangat banyak memberikan sumbangan ilmiah selama penulis menempuh proses perkuliahan. 7. Seluruh jajaran, staff dan petugas di Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas
Hidayatullah
Jakarta.
Ushuluddin Universitas
dan
Filsafat
Mathla’ul
UIN
Anwar
Syarif
(UNMA)
Cikaliung, Menes Pandeglang Banten. 8. Ucapan terimakasih dengan segala kerendahan hati tak lupa penulis ucapkan kepada kedua orang tua H. Sanusi, Hj. Saiyah yang telah melahirkan, membimbing sehingga penulis bisa menduduki bangku perguruan tinggi. Kepada kakak dan teteh, Arniah, Salmah, Sukron Ma’mun, Suherman. 9. Ucapan terimakasih penulis kepada mamang Drs. Sonhaji Ujaji yang telah memberikan inspirasi penulis untuk mengkaji terhadap organisasi Mathla’ul Anwar (MA), Herdi Sahrasad yang telah memberikan motivasi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skrispi. 10. Ucapan terimakasih kepada para narasumber yang telah banyak memberikan informasi dan masukan dalam proses penelitian skripsi, Dr. Asep Saepudin Jahar,Mhd, Mohammad Zen, MA, Ali Nurdin, MA, Drs. Herman Fauzi, Mohammad Idjen, Drs. H.A. Shihabuddin, MM, KH. Sadeli Karim, Lc, KH. Abdul Wahid Sahari, MA, Drs, Anang Ainul Yaqin, H. Lili Nahriri, MA, Aas Syatibi, SH.
viii
10
11. Kepada seluruh teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta, Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Ikatan Mahasiswa Mathla’ul Anwar (DPP HIMMA), Lingkar Studi Islam dan Kebudayaan (LSIK) Ciputat, koran online Rimanews.com, koran online Bantenpress.com, Forum Kajian Benoa Air Nusantara Jakarta, Forum Studi Jala Sutra Jakarta, Forum Kajian INCA Ciputat. 12. Ucapan terimakasih dan penghargaan secara tulus tak lupa penulis sampaikan kepada teman-teman sepermainan dan seperjuangan di Cipuat. Umar Hamdani, Teteh Bety, Duha Hediyansyah, Fahrurazzi, Ahyanuddin, Syahid, Mohammad Asrori Mulky, Mulyani, Ucu, Fikriyah, Zaenab, Melly, Guruh Tajul Arsy, TB. Hamid, Andi Rahman, Iyan Sopyan Hamid, Sukardi, Buluk, Asep. Serta seseorang yang saat ini belum bisa disebutkan.
ix
11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menurut Deliar Noer, sejarah munculnya berbagai organisasi masyarakat (ormas) di Indonesia adalah sebagai respon terhadap kondisi yang telah menjadi atmosfir di belantara bumi Nusantara. Kondisi bangsa yang memprihatinkan di tengah tekanan kaum imprealis, dengan sendirinya memunculkan jiwa patriotisme dan semangat memperjuangkan hak dan martabat kaum pribumi. Guliran semangat kejuangan ini, pada akhirnya melahirkan gerakan modernisasi di kalangan bangsa Indonesia.1 Ormas-ormas keagamaan seperti Mathla’ul Anwar (kemudian disingkat MA), merupakan cerminan suatu gerakan modernisasi Islam untuk menumbuhkan semangat kejuangan dan mempercepat proses pencerahan pemikiran di kalangan umat, agar memiliki kepekaan dan keluasan wawasan sehingga kondisi bangsa tidak direlakan untuk dieksploitasi oleh kaum imprealis. Semangat awal ormas-ormas yang ada di Indonesia yang dikategorikan sebagai gerakan modernisasi, setelah bergulirnya kemerdekaan dalam rangka mengisi dan membangun bangsa mengalami degradasi, dari orientasi awal pada gerakan kultur menuju gerakan politis. Sebagaimana fenomena yang terjadi pada MA sebagai organisasi masyarakat terbesar ketiga di Indonesia setelah NU dan Muhammadiyah. 1
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indoneseia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1995),
h. 121
1
2 12
Pada perjalananya, MA terbawa arus euphoria Orde Baru (Orba) yang melakukan strategi hegemoni kekuasaannya atas segala bentuk institusi yang ada di Indonesia. Strategi hegemoni ini terlihat ketika Rezim Orba memaksakan kepada seluruh institusi yang ada untuk menerima Asas Tunggal Pancasila. Institusi apapun yang tidak menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal secara sepihak oleh Rezim Orba dibubarkan dan dikucilkan dari tata dinamika konstelasi kehidupan nasional pada saat itu. MA pada masa Orba, tidak saja menerima Asas Tunggal tersebut, akan tetapi lebih jauh membuat statemen bahwa secara politis aspirasi warga MA diberikan dukungannya kepada Golkar sebagai partai Orba yang berkuasa. Dengan memulai gerakan politiknya pasca Muktamar XIV tahun 1985 di Jakarta, dengan jargonnya yang berani menerima Pancasila sebagai Asas organisasi dan menyatakan berafiliasi dengan partai politik.2 Menurut Didin Nurul Rosidin, bahwa keputusan Muktamar XIV (1985) merupakan keputusan paling menghebohkan dalam sejarah MA terkait dengan penerimaan Asas Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi yang sesuai dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang organisasi kemasyarakatan yang berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebijakan politik organisasi ini berdampak terjadinya perpecahan di internal sebagai akibat dari keputusan menjadi onderbouw dari partai politik telah keluar dari Khitthah (1916)
2
Syibli Sarjaya, dkk., Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 56-57
3 13
organisasi.3 Bagaimanapun Mathla’ul Anwar merupakan organisasi masyarakat terbesar di Provinsi Banten. Sebagai sebuah organisasi yang independent (mandiri) dan pada awalnya tidak berafiliasi politik praktis. Tentunya karena adanya intervensi dan intimidasi oleh pemerintah Orde Baru dan militer terhadap organisasi masyarakat (ormas) telah menghilangkan kemandirian organisasi dan menodai demokrasi dengan kata lain, MA telah mengadopsi budaya politik internal Partai Golkar yang menggunakan sistem komando (top-down) dengan menggunakan strategi merekrut beberapa tokoh MA menjadi pengurus dan kader di Partai Golkar. Dengan adanya pergeseran orientasi MA dari murni gerakan kultural ke arah gerakan politik, maka konsentrasi MA tidak lagi diarahkan semata untuk kepentingan rekonstruksi gerakan kultural ummat, akan tetapi gerakan-gerakan yang digulirkan terbingkai oleh kepentingan politik. Pada peta percaturan politik Orde Baru (Orba), hampir tidak ada ormas yang berani melakukan alienasi terhadap partai yang berkuasa pada waktu itu, yaitu Partai Golkar. Dengan adanya format politik yang diciptakan oleh Golkar, maka ormas manapun yang rela menjadi subordinasi partai Golkar akan terjamin kelangsungan (sustainability) dan kemudahan untuk mencari akses dalam rangka menjalankan aktivitas organisasinya. MA pada awal berdirinya merupakan kelompok pengajian lokal di Menes, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Jawa Barat (kini Provinsi Banten) dan pada perkembangan dan gerakannya di manifestasikan pada reformasi sosial religius, 3
Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007. Selanjutnya lihat. M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khitthah Mathla’ul Anwar (Jakarta: Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, 1996), h. 28
4 14
pendidikan, dakwah dan budaya, dengan melakukan pembaharuan (modernisasi) dan pemurnian (furifikasi) ajaran agama Islam. Gerakan Ormas MA sebagai gerakan kultural, yang mana kondisi ummat yang diinginkan adalah ummat yang melakukan pembaharuan di bidang kultur kehidupan. Semangat pembaharuan di bidang kultur, pada gilirannya membuahkan sebuah tatanan kehidupan penguatan masyarakat sipil (civil society). Kuatnya masyarakat sipil, secara langsung mempengaruhi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga masyarakat bangsa dapat keluar dari belenggu penjajahan kaum imprealis, maupun kekuasaan sebuah rezim yang tidak memihak terhadap kepentingan rakyat. Perkembangan sebuah organisasi masyarakat seperti MA pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat itu sendiri. Sebab, ormas dibentuk dan kiprahnya ditengah masyarakat. Maju mundurnya sebuah ormas sangat tergantung pada dukungan masyarakat. Jika dukungan masyarakat kuat, maka majulah ia. Sebaliknya, sulit bagi ormas untuk berkembang tanpa dukungan yang mantap dari masyarakat. Karena itu, memprediksi keadaaan sebuah ormas dimasa mendatang pada dasarnya adalah memprediksi dan menganalisa kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi pada masyarakat masa depan.4 Munculnya euphoria reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru (1998), berimplikasi terhadap perubahan paradigma berbagai institusi atau ormas di Indonesia seperti Mathla’ul Anwar (MA) sebagai salah satu “pendukung” rezim 4
M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 1
5 15
Orde Baru dengan mengubah cara pandang terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dengan mendukung pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Selanjutnya, terjadinya perpindahan Rezim Orba ke Rezim Reformasi eksistensi Orba dihujat dan diinjak-injak, maka secara tidak langsung keberadaan ormas-ormas yang merupakan subordinasi dari rezim Orba (termasuk di dalamnya MA) akan terkena dampak langsung kebencian, gunjingan dan dikucilkan sehingga pada akhirnya bukan tidak mungkin ditinggalkan. Maka euphoria reformasi diikuti oleh berbagai institusi-institusi, ormas-ormas ke-Islaman baik formal maupun non formal untuk melakukan perubahan paradigma baru terhadap perjalanan organisasinya yang lebih baik ke depan. Hal ini dilakukan bukan hanya sebagai strategi “cuci tangan” terhadap dosa-dosa Orde Baru, tetapi sebagai evaluatif dari ormas MA demi kemajuan dalam menghadapi tantangan institusi agar tetap sejalan dengan asas perjuangan. Perubahan paradigma MA, dengan berbenah dan menata diri agar tidak ketinggalan gerbong reformasi, MA melakukan perubahan-perubahan yang responsif terhadap permasalahan bangsa dengan mengarah pada substansi didirikannya organisasi ini, agar tidak menyalahi Khitthah (1916) awalnya. Dengan adanya perubahan iklim politik secara nasional, maka, MA melakukan evaluasi terhadap partisipasi politik Mathla’ul Anwar (MA) di tengah kancah konstelasi politik nasional, akan menjadi sesuatu yang signifikan.
6 16
Berdasarkan latar belakang inilah penulis ingin mengadakan penelitian tentang permasalahan-permasalahan di atas dengan judul: “Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah Agar pembahasan permasalahan dalam skripsi ini tidak melebar, maka permasalahannya dibatasi pada peran dan bentuk partisipasi politik MA dalam politik praktis yang tekait dengan dukungan terhadap salah satu kekuatan politik tertentu. Dan untuk memudahkan mengidentifikasi persoalan, maka penelitian difokuskan pada bentuk-bentuk peran politik yang telah dilakukan MA dalam kurun waktu pasca Orde Baru (1998). Untuk itu, maka muncul beberapa pertanyaan yang cukup fundamental sebagai rumusan masalah menyangkut eksistensi MA, yaitu; 1. Bagaimana bentuk kontribusi politik MA dalam politik praktis? 2. Apakah peran politik yang telah dilakukan oleh MA itu sejalan dengan Khitthah MA? 3. Bagaimana bentuk partisipasi politik MA dalam konstelasi kehidupan nasional?
C. Tinjauan Pustaka Sebelum penulis berniat untuk menyusun skripsi yang berjudul “Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru”, penulis telah melakukan tinjauan pustaka sebagai upaya preventif agar penulisan karya ilmiah
7 17
ini tidak sia-sia karena satu kelalaian sederhana. Dikarenakan sudah ada materi yang dibahas sehingga judul yang diajukan harus benar-benar selektif dan korektif. Hasil penelusuran penulis, dan sejauh yang penulis ketahui ada dua orang yang sudah lebih dulu membahas mengenai Mathla’ul Anwar, yaitu: Pertama. Aas Syatibi dengan judul skripsinya: Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar di Indonesia. Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Jinayah Siyasah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lulus tahun 2006. Di dalamnya membahas secara deskriptif tentang partisipasi politik Mathla’ul Anwar dalam Pemilu di Indonesia. Kedua. Didin Nurul Rosidin dengan judul disertasinya: Dari Kampung Ke Kota Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar Dari Tahun 1916-1998. Disertasi pada Leiden University (tidak di publikasikan) lulus tahun 2007. Di dalamnya membahas terhadap peran dan kontribusi Mathla’ul Anwar baik Dakwah, Pendidikan dan Sosial (ekonomi) di Indonesia Berdasarkan hal itu, Penulis melihat belum ada yang membahas secara spesifik tentang peran Mathla’ul Anwar dalam konstelasi politik nasional pasca Orde Baru. Untuk menambah khazanah, referensi atau pun literatur merupakan salah satu alasan penulis kenapa pembahasan tema ini perlu dikaji.
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk; 1. Mendapatkan informasi terhadap peran poltik MA dalam politik praktis.
8 18
2. Mengetahui bentuk dan kontribusi partisipasi politik MA dalam konstelasi politik nasional pasca Orde Baru (1998). 3. Bagaimana semestinya peran politik MA dalam politik praktis ke depan yang sesuai dengan kondisi dan situasi bangsa.
D. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tiga instumen pengumpulan data: 1. Wawancara Wawancara adalah suatu kegiatan komunikasi langsung dengan tujuan mendapatkan informasi. Selain itu, wawancara untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan memperoleh informasi yang penting. Menurut Denzin, wawancara dilakukan dengan tatap muka dimana seseorang memperoleh informasi dari yang lain.5 Penelitian dilakukan pada lokasi tertentu yang bersentuhan langsung dengan mayoritas komunitas MA. Sampai saat ini pusat MA terletak di Menes Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Di Menes inilah para tokoh dan putraputri pendiri MA dan bahkan sebagian orang yang mengabdi kepada perjalanan MA masih dapat dijadikan kunci informasi untuk menggali secara mendalam tentang permasalahan terhadap peran politik MA pasca Orde Baru (1998), tidak menyentuh aspek-aspek lainnya yang dilakukan oleh MA dalam menjalankan visi dan misinya. Dalam hal ini peneliti akan melibatkan beberapa komponen 5
James A. Black dan Dean J. Champion, Metodologi Dan Masalah Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2001, Cet: 3), h. 306
9 19
masyarakat MA yaitu: tokoh MA terutama sebagai pendiri organisasi, pengurus MA, pengurus perguruan MA dan orang-orang yang memiliki perhatian terhadap organisasi ini. 2. Observasi Observasi dalam suatu penelitian berarti pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap gejala yang terjadi dengan objek yang diteliti. Teknik ini memungkinkan peneliti melakukan penarikan kesimpulan terhadap makna dan sudut pandang responden, kejadian, peristiwa atau proses yang diamati. Lewat teknik ini peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang tidak terucapkan, langsung dan sudut pandang narasumber atau responden yang mungkin tidak didapati dari wawancara.6 3. Penelitian Kepustakaan Penelitian kepustakaan (Library research), yaitu penelitian dengan menelaah buku-buku, dokumen-dokumen, majalah, surat kabar, artikel yang relevan dan bahan-bahan lainya yang terkait dengan MA. Adapun analisi data dalam penelitian ini, menggunakan analisis data berkelanjutan, artinya data dimulai dengan penetapan masalah, pengumpulan data dan setelah data terkumpul. Menurut Mills dan Huberman, tahap analisis data seperti ini secara umum dimulai sejak pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan pengambilan kesimpulan.7 Metode ini dilakukan untuk mengetahui kekurangan data yang harus dikumpulkan dan mentode mana yang harus dipakai. Sedangkan teknik pengambilan dalam penelitian ini menggunakan teknik 6
A. Chaedar Alweilah, Pokoknya Kualitatif, Dasar-Dasar Merancang dan Melaksanakan Penelitian (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), h. 155 7 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Soaial Agama (Bandung: Rosda, 2002), h. 192
1020
sampling dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informan atau responden yang dianggap mengetahui informasi Kemudian dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”, CeQDa, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab dan masing-masing terbagi ke dalam sub-sub yang tersusun secara sistematis. Adapun bab-bab tersebut tersusun sebagai berikut: Bab Pendahulun: Bab ini menjelaskan tentang kerangka pembahasan dan gambaran isi skripsi ini secara keseluruhan. Bab ini terdiri dari penjelasan latar belakang masalah, batasan rumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Sekilas tentang Mathla’ul Anwar, bab ini akan menjelaskan terhadap sejarah berdirinya Mathla’ul Anwar tahun 1916 di Menes, Kabupaten Pandeglang sebagai salah satu organisasi masyarakat (Ormas) terbesar di Provinsi Banten dan untuk tingkat nasional terbesar ketiga setelah NU (1926) dan Muhammadiyah (1912). Selanjutnya akan di bahas tentang sifat-sifat tujuan dan pengertian Khittah Mathala’ul Anwar, berikut dengan penjelasan terhadap fungsi dan tugas organisasi Mathla’ul Anwar, landasan operasional organisasi Mathla’ul Anwar dan terakhir akan perkenalkan tokoh-tokoh pendiri Mathla’ul Anwar serta peranannya dalam membangun sebuah organisasi mayarakat.
1121
Bab III: Partisipasi Mathla’ul Anwar dalam ranah politik, bab ini akan menjelaskan tentang pengertian dan bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai salah satu aspek demokrasi dan dilajutkan dengan membahas langkah-langkah perjuangan Mathla’ul Anwar baik dibidang pendidikan maupun dalam ranah politik yang dimaksudkan berupa kegiatan baik individu maupun kelompok. Terakhir tentang partisipasi politik Mathla’ul Anwar di Era Orde Lama dan Orde Baru. Bab IV: Bab ini merupkan isi substansi penelitian yang telah didapatkan dari penelitian pustaka dan lapangan. Dengan mengulas seputar realitas politik Mathl’ul Anwar terhadap konstalasi politik nasional pasca Orde Baru, dan hubungan MA dan partai politik, terakhir menelusuri sejauhmana partisipasi Mathla’ul Anwar dalam politik nasional pasca Orde Baru sebagai evaluatif terhadap perjalanan organisasi. Bab V: Bab ini merupakan kesimpulan dari penelitian ini, yang berisi komentar penulis dalam bentuk analisa kritis, komentar, masukan dan harapan terhadap bahasan yang telah dikupas dari penulisan skripsi ini.
22
BAB II SEKILAS TENTANG MATHLA’UL ANWAR
A. Sekilas Berdirinya Mathla’ul Anwar Tahun 1916 Di Menes Mathla’ul Anwar (MA) merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) terbesar ketiga setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang masih eksis hingga kini, MA secara kuantitas sudah tersebar di 26 pengurus wilayah dan 215 pengurus daerah.di Indonesia.8 Kelahiran MA, seperti juga ormas-ormas lain pada awal abad ke-20, telah menandai perjuangan kebangkitan nasional. Karena itu, semangat pendidikan, dakwah dan sosial yang dibangun pada periode tersebut menekankan semangat pembebasan atau rasa kemerdekaan, yang saat itu dibawah penindasan kolonialisasi Belanda dengan segala dampak politiknya. Organisasi kemasyarakatan (Ormas) atau keagamaan Mathla’ul Anwar (bahasa Arab, yang artinya tempat munculnya cahaya) sejak didirikannya pada tahun 1334 H atau 10 Juli tahun 1916 oleh sepuluh tokoh ulama lokal diantaranya adalah Kiyai Moh Tb Soleh, Kiyai Moh Yasin (1860-1937), Kiyai Tegal, Kiyai Mas Abdurrahman bin Mas Jamal (1868-1943), KH Abdul Mu’ti, KH Soleman Cibinglu, KH Daud, KH Rusydi, E. Danawi, KH Mustaghfiri di MenesPandeglang bagian selatan Banten.9 Tujuan didirikannya MA adalah membebaskan umat dari segala bentuk penindasan, kebodohan dan kemiskinan. Pada abad ke-19, kondisi masyarakat 8
Wawancara Pribadi dengan Ketua PBMA KH. Ahmad Sadeli Karim. Menes, 7 Agustus
9
M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 10
2010.
12
13 23
Banten Selatan dan khususnya Menes-Ujung Kulon merupakan masyarakat dengan tingkat buta huruf yang cukup tinggi. Dimana masyarakat Banten khususnya dari segi pendidikan dan sosial (ekonomi) memang sangat memprihatinkan, sekolah–sekolah yang dibangun oleh penjajah Belanda tidak disiapkan untuk pribumi, hanya golongan tertentu yang bisa masuk disekolah tersebut (politik etis Belanda).10 Selain itu, rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat (Menes-Ujung Kulon) terhadap pendidikan juga ajaran Islam, salah satunya disebabkan proses Islamisasi yang dilakukan di zaman Kesultanan Banten Selatan belum terbukti dalam mengamalkan ajaran agama Islam secara benar, karena proses dakwah tidak berlangsung secara gencar, konsep pengembangan Islam pada zaman Kerajaan atau Kesultanan Banten hanya gencar dilakukan ke daerah-daerah yang menyetorkan upeti (pajak).11 Karena itu Kesultanan atau Kerajaan justeru lebih tertarik dalam memperluas kekuasaan teritorialnya dengan cara menundukan kerajaan-kerajaan yang belum masuk Islam dibandingkan dengan upaya mengintensifkan dakwahnya.12 Hal itu terbukti, dengan masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat Menes terhadap ajaran agama Islam yang menyebabkan adanya penyimpanganpenyimpangan akidah seperti adanya TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat) dan percaya kepada benda-benda keramat (animisme) lainnya yang diyakini akan
10
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, Cet I ), h. 157 11 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010. 12 Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 63, 69
14 24
mendatangkan hal yang dianggap positif bagi masyarakat Menes terhadap segala macam kejahatan dan kenaasan.13 Kemudian, kondisi masyarakat di daerah Menes diperparah dengan situasi penuh kekacauan dan kerusuhan, dimana para jawara14 atau bandit sosial15 yang mempunyai ilmu-ilmu hitam pada saat itu telah menguasai daerah Menes seringkali membuat kekacauan, kemaksiatan, perjudian, pelacuran, pencurian, perampokan dan menindas masyarakat dan akhirnya mematikan kehidupan ruh keagamaan.16 Atas keprihatinan tersebut, para ulama atau kyai meresponnya dengan mengadakan musyawarah yang
bertempat di Kampung Kananga-Menes,
dipimpin oleh KH. Entol Mohammad Yasin dan KH. Tb. Mohammad Soleh serta ulama-ulama lainnya di sekitar Menes. Akhirnya musyawarah tersebut mengambil keputusan untuk mendirikan pendidikan formal yaitu berbentuk madrasah sebagai bentuk perjuangan untuk membawa umat keluar dari keterpurukan. Pendirian madrasah atau pendidikan formal selain untuk memberikan kesempatan belajar bagi masyarakat Menes, juga karena gagalnya sistem pendidikan Islam lama (pesantren) untuk menarik minat anak muda sebagai generasi penerus untuk masuk pesantren. Sehingga, pesantren tidak mampu untuk “mencetak” calon-calon pemimpin umat yang sadar akan tantangan zaman. Faktor 13 14
Wawancara Pribadi dengan Asep Saepudin Jahar, Ciputat, 17 Mei 2010. Jawara menurut orang Banten adalah istilah orang-orang yang mempunyai ilmu
kesaktian. 15
Bandit sosial Istilah lain Jawara, yaitu suatu golongan sosial yang terdiri dari orangorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan seringkali melakukan tindakan kriminal. Lihat. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, Cet I), h. 83. Selanjutnya lihat. Mohammad Hudaeri, ed., Tasbih dan Golok Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten (Serang: Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2007), h. 13 16 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 25
1525
lainnya adalah intensifnya gerakan pemerintah kolonial Belanda dalam mendirikan sekolah-sekolah rakyat di pedesaan dengan materi umum sebagai objek pelajarannya yang dinilai oleh para Kiyai Menes akan menghilangkan syariat Islam. Kedua faktor inilah yang diantaranya memainkan peranan penting dalam proses penerimaan sistem pendidikan madrasah oleh para Kiyai.17 Namun, rencana pendirian madrasah terhambat oleh ketidaktahuan dan keterbatasan keilmuan para ulama dalam mengelola sistem pendidikan modern (kurikulum madrasah). Kemudian, KH. Entol Mohammad Yasin dan ulama lainnya berinisiatif mengundang seorang pemuda bernama KH. Mas Abdurahman yang sedang menuntut ilmu di Mekkah selama 10 tahun pada seorang guru besar yang berasal dari Banten Syeh Mohammad Nawawi Al-Bantani. Tujuan diundangnya KH. Mas Abdurrahman untuk merumuskan dan mengelola sistem pendidikan modern (madarasah) yang akan dibangun di Menes. Pada tahun 1910 M, KH. Mas Abdurahman (42 tahun) datang di Menes, kemudian segera bergabung dengan para ulama lainnya untuk membantu mengintensifkan kembali gerakan dakwahnya dengan membentuk pengajianpengajian diberbagai tempat di Banten. Kemudian pada perkembangannya mereka mendirikan lembaga pendidikan yang kemudian diberi nama Mathla’ul Anwar (tempat terbitnya cahaya) yang berdiri pada tanggal 09 Agustus 1916/10 Syawal
17
Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007, h. 2-3. Menurut Karel A. Steenbrink bahwa, faktor pertumbuhan gerakan Islam di Indonesia melalui pendirian madrasah, pertama, faktor keinginan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah, kedua, semangat nasionalisme melawan penguasa kolonial Belanda, ketiga, untuk memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik, keempat, faktor untuk melakukan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 196
16 26
1334 H tahun 1916 M. Lembaga pendidikan MA untuk sementara beroperasi di sebuah rumah KH. Mustahgfiri di Menes yang dijadikan tempat belajar dan mengajar. 18 Setelah beberapa bulan madrasah dioperasikannya, situasi kehidupan masyarakatpun mulai pulih dari kekacauan, dan masyarakat merespon sangat baik dengan banyaknya para orang tua mengirim anak-anaknya sekolah di madrasah. Kemudian, untuk mendukung kemajuan lembaga pendidikan MA, Ki Demang Entol Djasudin seorang tokoh priyayi desa Menes menghibahkan tanahnya untuk membangun gedung dengan biaya atau dana diperoleh dari bantuan swadaya masyarakat dan donasi. Sehingga pada akhirnya, gedung pertama madrasah tahun 1920 terbangun berukuran seluas 1000 m2 (20 m x 50 m) yang dilengkapi dengan fasilitas seperti papan tulis, meja, kursi dan lain sebagainya, walaupun siswasiswinya saat itu tidak menggunakan seragam khusus, karena mereka masih menggunakan sarung, tetapi tidak mengurangi atau menggangu proses pendidikan. Gedung madrasah inilah kemudian menjadi pusat kegiatan pendidikan Islam dengan nama Mathla’ul Anwar Pusat mulai dari TK sampai Madrasah Aliyah yang terletak di Jl. Raya Labuan-Menes, Pandeglang Banten.
B. Sifat-Sifat Tujuan MA Organisasi MA ini bersifat keagamaan, independen, berakidah Islam menurut ahlussunah waljamah, dan berasaskan Pancasila. Tujuan MA adalah:
18
Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 8
1727
1. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang Pancasilais, bertakwa kepada Allah SWT, sehat jasmani dan rohani, berilmu pengetahuan, cakap dan terampil, serta berkepribadian Indonesia 2. Menumbuhkan
nilai-nilai
ajaran
Islam
pada
lembaga-lembaga
pendidikan, pengajaran dan kebudayaan 3. Membentuk keluarga dan masyarakat yang bahagia dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut, MA melakukan usaha-usaha 4. Mendirikan, membina, dan mengelola lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran serta melaksanakan dakwah 5. Mendidik, memupuk, dan menyalurkan bakat para pelajar, mahasiswa, dan pemuda agar dapat menjadi insan yang mandiri dan terampil 6. Membina dan menyantuni anak-anak yatim piatu, fakir miskin, orang-orang jompo, dan orang cacat 7. Membentuk, menjaga kesehatan dan kesejahteraan masyarakat 8. Mengadakan penelitian dan pengembangan terhadap ilmu-ilmu pengetahuan 9. Membangun kerja sama dengan badan-badan, lembaga-lembaga dan organisasi kemasyarakatan yang sejenis 10. Mengadakan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dan perundang-perundangan yang berlaku. Organisasi MA meliputi bidang organisasi/kaderisasi, bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan, bidang
ekonomi/keuangan,
bidang
sosial/kesejahteraan,
bidang
penerangan/dakwah, bidang pemuda, olah raga dan kesenian, bidang
18 28
pembinaan muslimah, bidang pembinaan hukum dan pembelaan, serta bidang hubungan luar negeri. Struktur organisasi MA terdiri atas: pengurus tingkat pusat, tingkat wilayah, tingkat daerah, tingkat cabang, tingkat ranting serta badan-badan otonom. Organisasi tingkat pusat terdiri atas: 1. Dewan Pembina, yang meliputi ketua, wakil ketua, sekretaris, .wakil sekretaris dan beberapa orang anggota 2. Majelis Fatwa, yang meliputi ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, dan 45 anggota (ulama pusat dan daerah) 3. Pengurus Besar, yang terdiri atas ketua umum, ketua-ketua, sekretaris jenderal, wakil-wakil sekretaris, bendahara umum, bendahara-bendahara, dan ketua-ketua departemen serta biro. Sedangkan keuangan organisasi diperoleh dari iuran anggota, sumbangan yang tidak mengikat, zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hadiah; dan usaha-usaha yang sah dan halal. Untuk lancarnya kegiatan pada masing-masing tingkat kepengurusan, biaya yang dipergunakan diambil dari kas masing-masing yang diperoleh dari bantuan-bantuan dan kerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah, swasta, perorangan, dan usaha-usaha lain yang dibenarkan oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).19
19
h. 204-205
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994, Cet: 2),
1929
C. Pengertian dan Khittah Mathla’ul Anwar Pengertian yang dapat ditarik dari Khittah Mathla’ul Anwar merupakan petunjuk atau pegangan yang dijadikan oleh organisasi Mathla’ul Anwar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai sebuah organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial.20 1. Fungsi dan Tugas Organisasi Mathla’ul Anwar a. Bidang Pendidikan MA memiliki tujuan untuk mencetak generasi Muslim yang menyadari akan tanggung jawabnya sebagai khalifah Allah di muka bumi untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Karenanya Mathla’ul Anwar mendidik putra putrinya dengan: 1) Menanamkan dan memantapkan aqidah Islamiyah yang disyariatkan yang benar 2) Membiasakan ibadah-ibadah yang disyariatkan 3) Membekali pengetahuan ke-Islaman serta berbagai disiplin ilmu dan skill yang berguna sesuai dengan tuntutan zaman 4) Menanamkan kesadaran agar dapat hidup mandiri membangun lingkungan dan masyarakat serta membentengi diri dan lingkungannya dari pengaruh budaya negatif (yang bertentangan dengan ajaran Islam) b. Bidang Dakwah Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam menjalankan tugasnya dalam bidang dakwah yang menjalankan “amar ma’ruf nahi mungkar” dengan 20
53
Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 8
2030
memperhatikan kondisi dan sasaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan dakwah itu sendiri. c. Bidang Sosial Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam yang bergerak dalam bidang sosial dengan berbagai usaha dan cara yang Islami agar masyarakat terhindar dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. 2. Landasan Opersional Organisasi Mathla’ul Anwar a. Memahami Kandungan ayat-ayat al Qur’an dan Hadits sebagai berikut: 1) Dalam bidang pendidikan Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam mempunyai kewajiban untuk mendidik dan mencerdaskan kehidupan keumatan, kebangsaan dan kenegaran. ∩⊇⊇∪ ×Î7yz tβθè=yϑ÷ès? $yϑÎ/ ª!$#uρ 4 ;M≈y_u‘yŠ zΟù=Ïèø9$# (#θè?ρé& t⎦⎪Ï%©!$#uρ öΝä3ΖÏΒ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# ª!$# Æìsùötƒ Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS: Almujadalah: 11) Ç⎯ƒÏe$!$# ’Îû (#θßγ¤)xtGuŠÏj9 ×πxÍ←!$sÛ öΝåκ÷]ÏiΒ 7πs%öÏù Èe≅ä. ⎯ÏΒ txtΡ Ÿωöθn=sù 4 Zπ©ù!$Ÿ2 (#ρãÏΨuŠÏ9 tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$# šχ%x. $tΒuρ
∩⊇⊄⊄∪ šχρâ‘x‹øts† óΟßγ¯=yès9 öΝÍκös9Î) (#þθãèy_u‘ #sŒÎ) óΟßγtΒöθs% (#ρâ‘É‹ΨãŠÏ9uρ Artinya: “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS: Attaubah: 122) 2) Dalam bidang dakwah
21 31
Organisasi Mathla’ul Anwar mempunyai tugas dan kewajiban untuk mendidik umat sebagai dakwah “amar ma’ruf nahi mungkar” yang sesuai dengan tujuan berdirinya MA untuk membangun kehidupan umat Islam. ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ 4 Ìs3Ψßϑø9$# Ç⎯tã tβöθyγ÷Ζtƒuρ Å∃ρã÷èpRùQ$$Î/ tβρããΒù'tƒuρ Îösƒø:$# ’n<Î) tβθããô‰tƒ ×π¨Βé& öΝä3ΨÏiΒ ⎯ä3tFø9uρ ∩⊇⊃⊆∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Mereka adalah orang-orang yang beruntung”. (QS: Ali Imran: 104)
3) Dalam bidang sosial a) Taat kepada para pemimpin yang beriman setelah taat kepada Allah dan Rasulnya Mathla’ul Anwar memiliki tujuan untuk mendidik dan membimbing umat untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, Nabi dan Rasul, serta para pemimpin. çνρ–Šãsù &™ó©x« ’Îû ÷Λä⎢ôãt“≈uΖs? βÎ*sù ( óΟä3ΖÏΒ Íö∆F{$# ’Í<'ρé&uρ tΑθß™§9$# (#θãè‹ÏÛr&uρ ©!$# (#θãè‹ÏÛr& (#þθãΨtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ ∩∈®∪ ¸ξƒÍρù's? ß⎯|¡ômr&uρ ×öyz y7Ï9≡sŒ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σè? ÷Λä⎢Ψä. βÎ) ÉΑθß™§9$#uρ «!$# ’n<Î) Artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan Ulul Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an dan) dan RasulNya (As Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS: An-Nisa: 59)
b) Bersatu dan berpegang teguh kepada Wahyu Allah
2232
Mathla’ul Anwar memiliki kewajiban untuk menciptakan dan menjaga kesatuan serta persatuan kehidupan keumatan, kebangsaan, kenegaraan.
∩⊇⊃⊂∪ 4 (#θè%§xs? Ÿωuρ $Yè‹Ïϑy_ «!$# È≅ö7pt¿2 (#θßϑÅÁtGôã$#uρ Artinya: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. (QS: Ali Imran: 103) c) Tidak hidup bergolong-golongan dan memilah-milah dinul Islam Mathla’ul Anwar sebagai organisasi keagamaan memiliki kewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan kehidupan umat Islam. $yϑÎ/ ¥>÷“Ïm ‘≅ä. ( $Yèu‹Ï© (#θçΡ%Ÿ2uρ öΝßγuΖƒÏŠ (#θè%§sù š⎥⎪Ï%©!$# z⎯ÏΒ t⎦⎫Å2Îô³ßϑø9$# š∅ÏΒ (#θçΡθä3s? Ÿωuρ ∩⊂⊄∪ tβθãmÌsù öΝÍκö‰y‰s9 Artinya: “Janganlah kamu menjadi orang-orang yang musyrikin, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. (QS: Ar-Rum: 31-32)
d) Tolong menolong dalam kebajikan dan takwa Mathla’ul Anwar memiliki tujuan untuk mecerdaskan dan mensejahterakan kehidupan umat Islam. ߉ƒÏ‰x© ©!$# ¨βÎ) ( ©!$# (#θà)¨?$#uρ 4 Èβ≡uρô‰ãèø9$#uρ ÉΟøOM}$# ’n?tã (#θçΡuρ$yès? Ÿωuρ ( 3“uθø)−G9$#uρ ÎhÉ9ø9$# ’n?tã (#θçΡuρ$yès?uρ ∩⊄∪ É>$s)Ïèø9$# Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwalan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran’. (QS: Al-Maidah: 2) e) Usaha bertahkim dengan syari’at Islam
33
34
2535
1891. Setelah selesai pendidikan pesantren, dia kembali ke kampungnya, dan kemudian menikahi seorang gadis bernama Sofrah. Dari pernikahan pertamanya dia dikarunia delapan orang anak yang terdiri atas satu anak perempuan dan tujuh anak laki-laki. Kemudian menikah lagi untuk kedua kalinya (berpoligami) dengan Artafiah dari Kampung Baru (Menes). Dari isteri keduanya dikarunia lima anak yakni tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan.21 Tahun 1902, Tb. Mohammad Soleh menunaikan ibadah haji ke Makkah dan sepulang dari sana, kemudian tahun1906 dia mendirikan pesantren di Kananga-Menes. Di tahun pertama, ia telah mempunyai 25 santri yang berasal dari penduduk sekitar. Jumlah santri bertambah dua kali lipat, dan pada akhirnya menjadi pondok pesantren terbesar di antara pesantren-pesantren di Pandeglang. Kiyai sepuh Kananga-Menes Tb. Mohammad Soleh berpulang kerahmatullah sebelum menyaksikan cita-cita besarnya terwujud mendirikan lembaga pendidikan MA yang diresmikan pada tanggal 09 Agustus tahun 1916 M. a. KH. Mohammad Entol Yasin KH. Mohammad Entol Yasin bin Demang Darwis lahir tahun 1860 di Simanying-Menes, Yasin merupakan salah satu keluarga ningrat yang cukup kaya, ayahnya Demang Darwis menjabat sebagai kepala Desa di Menes. Pendidikan dasar tentang agama, Yasin memperoleh dari beberapa orang guru agama yang diundang langsung kerumahnya. Selain itu, dia melanjutkan pendidikan agama di dua pesantren, yakni di Karamulya dan Soreang tahun 1875-1884. Sedangkan pendidikan formal atau umum pada sekolah Pemerintahan Belanda di Menes. 21
Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” (Disertasi Leiden University: Fakulty of Humanity, 2007), h.18-19
26 36
Yasin selain dikenal sebagai intelektual juga aktivis Sarekat Dagang Islam (SDI)22 yang cukup terkenal dimasyarakat karena kedermawanannya, karena telah membantu penderitaan rakyat, sehingga dengan kebaikannya itu masyarakat menyebutnya dengan kiayi. Ketika pada umur 17 tahun, ia bahkan membiayai pendidikan dan memberikan pakaian untuk fakir miskin sebanyak 20 anak di Tegalwangi. Kemudian pada umur 24 tahun, ia mampu mengubah prilaku para Jawara yang terkenal sebagai pembuat onar di Menes menjadi orang baik, yaitu dengan cara memberikan mereka sebidang tanah untuk tempat tinggal. Dengan latar pendidikan agama dan formal, Yasin telah memberikan kontribusi yang cukup besar baik diawal maupun setelah pendirian organisasi Mathla’ul Anwar. Mohammad Entol Yasin wafat sekitar tahun 1937-1938 pada usia 77 tahun. b. KH. Mas Abdurrahman Tokoh terakhir adalah KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal lahir sekitar tahun 1875-1882 di Kampung Janaka dekat kaki gunung Haseupan. Ayahnya (Mas Jamal) merupakan keturunan dua tokoh legendaris muslim lokal yang pertama masuk Islam di Banten yaitu Ki Jong dan Ki Jon. Karena garis keturunannya itu Abdurrahman bergelar Mas pada namanya. Seperti umumnya guru agama Islam lainnya di Banten, Mas Abdurrahman memperoleh pendidikan Islam dibawah bimbingan Mas Jamal. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan pesantren di Kiyai Shohib Kadu Pinang. Kemudian, ia selanjutnya meneruskan kembali di pesantren Kiyai Ma’mun untuk memperdalam ilmu seni baca Al-
22
Keterlibatan Yasin di SDI memilih dunia pendidikan sebagai strategi untuk membangun masyarakat. Sedangkan Samanhudi memilih peningkatan ekonomi. Lihat, M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 1516
27 37
Qur’an (qiro’a). Kemudian, ia berangkat ke ke Jawa Tengah sekitar tahun 1927 untuk memperdalam ilmu tentang al-Qur’an di pesantren Kiyai Afif di Sarang, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Sedangkan pendidikan sufi dan tarekat dia dapat Kiyai Tb. Bachri. Tahun 1930, ayahnya (Mas Jamal) berpulang kerahmatullah ketika melaksanakan ibadah Haji di Makkah. Dua tahun setelah Mas Jamal berpulang kerahmatullah, Abdurrahman berangkat ke Makkah untuk mengenang ayahnya dan meneruskan pendidikan tentang beragam ilmu ke-Islaman. Ketika di Makkah itulah, Abdurrahman berkenalan dengan beberapa tokoh agama Islam, seperti tokoh pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan dan Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Asy’ari. Kemudian tahun 1930, Abdurrahman kembali ke Menes dan menikahi Enong salah satu anak perempuan Tb. Sholeh. Namun pernikahannya yang pertama tidak berjalan lama karena isterinya berpulang kerahatullah ketika ia melaksanakan ibadah Haji. Kemudian menikah kembali dengan tiga istri (berpoligami) yakni, Menot Aminah, Ijot Khodijah dan Enjoh. Dari ketiga istrinya ia dikaruniai lima belas orang anak. Diantara para pendiri Mathla’ul Anwar, Abdurrahman merupakan tokoh yang berpengaruh dalam merumuskan konsep pendidikan madrasah dan memanjukan organisasi Mathla’ul Anwar (MA) selama hidupnya. Buah pikirannya itu ditulisnya dalam beberapa karya tulis seperti, Kitab Al-Jawa’is Fi ’Ahkam Al-Jana’iz, melalui Kitab-Kitab yang berisi tentang etika dan tatacara mengurusi jenazah, Ilm al Tajwid, yakni kitab yang mempelajari tentang aturan
28 38
baca Qur’an, Al-Takhfifi, metode mudah belajar bahasa Arab, Nahwu Al Jamaliyyah, kitab yang mempelajari tentang tata bahasa Arab, seperti AlAjrumiyya yang tersebar luas dipergunakan sebagai rujukan dasar tata bahasa Arab di Indonesia, Miftah Bab Alsalam, kitab tentang hukum Islam, dan Fi Arkan Al Iman Wal Islam, yaitu kitab tentang Tauhid. Kitab-Kitab tersebut ditulis dalam menggunakan bahasa Jawi dan pengantarnnya bahasa Sunda. Kecuali Al Jawa’iz Fi Ahkam Al Jana’iz, dan buku-buku itu dipersiapkan sebagai rujukan utama pelajaran agama Islam di madrasah-madrasah Mathla’ul Anwar. Abdurrahman berpulang kerahmatullah pada usia 68 tahun pada tahun 1943. Selain tiga tokoh-tokoh diatas, beberapa ulama lain yang terlibat dan berjasa dalam pendirian Mathla’ul Anwar diantaranya adalah, K. Tegal, KH. Abdul Mu’ti, Soleman Cibinglu, KH. Daud, KH, Rusydi, E, Danawi dan terakhir KH. Mustghfiri.23
23
Ada beberapa catatan perbedaan dalam jumlah orang yang terlibat dalam pendirian MA. Secara umum ada yang mengatakan bahwa jumlah pendiri MA berjumlah 10 orang nama yang disebutkan, sedangkan nama Tb. Tirtawinata dan Kiyai Muhammad Nur tidak dicantumkan sehingga berjumlah 12 orang. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” h. 158
39
BAB III PARTISIPASI MATHLA’UL ANWAR DALAM RANAH POLITIK
A. Pengertian Partisipasi Politik Ditengah-tengah masyarakat modern seluruh komponen masyarakat ikut terlibat dalam proses politik yang merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi. Partisipasi politik berasal dari dua kata, yaitu partisipasi dan politik. Menurut bahasa partisipasi adalah pengambilan bagian (didalamnya) atau peran serta bergabung.24Secara umum, partisipasi politik dapat dikatakan sebagai penentuan sikap seseorang atau kelompok dalam kegiatan untuk pencapaian tujuan organisasi, serta berperan dalam setiap pertanggungjawaban bersama dalam kehidupan politik. Menurut Miriam Budiarjo, partisipasi politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan juga turut serta dalam pembentukan kebijakan umum. Secara riil bentuk-bentuk kegiatan ini mencakup kegiatan memilih pada pemilihan umum, menjadi anggota partai politik, duduk di lembaga politik, berkampanye, menghadiri kelompok diskusi yang membahas persoalan politik dan sebagainya.25 Senada dengan Miriam Budiarjo, Michael Rush dan Philif Althoff, menyatakan bahwa partisipasi politik adalah usaha warga negara secara terorganisir dalam proses pemilihan para pemimpin dan mempengaruhi jalannya
24
Pius A. Partanto dan Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), h. 572 25 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet: 27, 2005), h. 161
29
3040
kebijakan umum. Hal tersebut sebagaimana menurut Rafael Raga Maran dalam Pengantar Sosiologi Politik bahwa yang dilakukan berdasarkan kesadaran akan tanggung jawab terhadap kehidupan bersama sebagai warga negara.26 Sementara Harbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Sosial Sciences seperti yang dikutip oleh Miriam Budiarjo, menyatakan: “Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela masyarakat untuk terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan seperti dalam proses pemilihan penguasa, baik secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”. Sedangkan menurut Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science, menyatakan: “Partisipasi politik adalah keterlibatan langsung seseorang atau pribadi warga negara dalam setiap kegiatan untuk tujuan mempengaruhi dan menyeseleksi pejabat-pejabat Negara dalam memutuskan setiap kebijakan”. Menurut Samuel Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choise: political Participation in Developing Countries, menyatakan: “Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individu atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau Ilegal, efektif atau tidak efektif”.27 Sedangkan Samuel Huntington dan Joan M. Nelson dalam Partisipasi
26
Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet: I 2001), h. 147 27 Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik (Jakarta: Yayasasn Obor Indonesia, 1998), h. 2-3
3141
Politik di Negara Berkembang membagi partisipasi masyarakat kedalam berbagai bentuk28 1. Elektoral activity, adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan melalui kampanye salah satu partai politik dalam pemilu dan memberikan suara serta ikut mengawasi berlangsungnya proses pemilu. 2. Lobbying, yaitu aktivitas seseorang atau kelompok dalam melakukan pendekatan pada pejabat pemerintah atau elit politik untuk tujuan mempengaruhi dan mendukung terhadap kegiatan mereka. 3. Organizational Activity, adalah partisipasi warga negara dalam berbagai kegiatan organisasi politik dan sosial dengan menduduki sebuah jabatan sebagai pemimpin, anggota maupu simpatisan. 4. Contacting, yaitu kegiatan warga negara dalam mempengaruhi elit politik dengan cara mendatangi dan menghubungi lewat telepon kepada pejabat pemerintah maupun elit politik lainnya. 5. Violence, adalah sebuah usaha yang dilakukan melalui cara-cara kekerasan atau intimidasi dan pengrusakan dalam proses mempengaruhi elit politik. Dari beberapa definisi diatas, partisipasi politik dapat disimpulkan sebagai bentuk sikap dan keterlibatan setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, kemudian mendorong individu tersebut untuk berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi serta ambil bagian dalam setiap tanggung jawab bersama.29 Hal tersebut dilakukan berdasarkan kesadaran terhadap bentuk tanggung jawab dalam kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu 28
Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 8 29 Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia (Surabaya: SIC, 2002), h. 127
3242
negara. Bagaimanapun, keputusan politik yang diambil oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat berhak untuk ikut serta dalam mempengaruhi setiap keputusan politik. Karena keterlibatan warga negara dalam keputusan politik akan menentukan baik buruknya setiap keputusan untuk kehidupan individu maupun masyarakat itu sendiri.30
B. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Sebagaimana di tulis di atas bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksaan kebijakan umum maupun ikut serta dalam menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan tersebut seperti antara lain, mengajukan tuntutan, kritikan, koreksi, melaksanakan kebijakan umum dengan cara melaksanakan atau menentang. Kemudian untuk merealisasikan berbagai bentuk-bentuk partisipasi politik, maka masyarakat dan negara memanifestasikan bentuk partisipasi politik melalui pembentukan sebuah organisasi masyarakat (ormas), kelompok kepentingan, partai politik, lembaga perwakilan rakyat baik tingkat pusat maupun daerah. Selanjutnya Jeffry M. Paige, membagi partisipasi politik menjadi empat tipe yaitu, partisipasi politik aktif, fasif, apatis dan militan.31 Partisipasi politik aktif adalah apabila tingkat kesadaran politik dan kepercayaan politiknya tinggi. Masyarakat dengan tingkat partisipasi aktif bisa mempengaruhi penentuan pejabat publik dan kebijakan yang dikeluarkannya. Mereka bisa
30
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia, Cet: 3, 1999), h. 140-
141 31
Jeffry M. Paige, Political Orientation and Riot Participation, dalam American Sosiological, Review, Oktober, 1991, h. 810-820
3343
berpartisipasi dalam pembuatan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pada setiap kebijakan publik. Pola partisipasi seperti ini tumbuh dengan baik dalam Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi, tingkat kehidupan ekonomi cukup, akses informasi bisa diperoleh dengan cepat. Biasanya pola ini berkembang dengan baik pada masyarakat perkotaan. Partisipasi politik pasif adalah partisipasi dengan tingkat kesadaran politik rendah dan pada saat yang bersamaan tingkat kepercayaan politik tinggi. Pola partisipasi seperti ini mendominasi pada masyarakat yang tingkat pendidikan renadah, tingkat ekonomi yang serba kekurangan, dan akses informasi yang sulit. Biasanya pola partisipasi model ini berkembang di masyarakat pedesaan. Dalam menentukan pilihan politik dan sikap terhadap setiap kebijakan yang berkaitan dengan hajat bersama, masyarakat mempercayakan kepada tokoh masyarakat atau kepala desa. Masyarakat menganggap dirinya tidak punya kemampuanapapun
dalam
menentukan
kepentingan
bersama.
Mereka
sepenuhnya percaya pada orang yang memiliki kharisma dan ketokohan, seperti :kiyai dan jawara, serta pada orang yang memiliki kekuasaan struktural, seperti kepala desa, camat, bupati dan lainnya. Partisipasi politik apatis (masa bodoh) adalah partisipasi politik dengan tingkat kesadaran dan kepercayaan politik yang rendah. Pola partisipasi seperti ini terjadi pada masyarakat yang tidak menyadari terhadap hak dan kewajibannya untuk melakukan penilaian pada kebijakan pemerintah. Walaupun mereka sadar, tetapi mereka lebih memilih diam dan mengabaikan dengan masalah-masalah yang menyakut kepentingan publik. Sedangkan partisipasi politik militan adalah pola partisipasi politik dengan tingkat
34 44
kesadaran politik tinggi dan pada saat yang bersamaan tingkat kepercayaan politik yang rendah. Partisipasi politik militan ini biasanya terjadi pada masyarakat dengan melakukan seperti demonstrasi dan aksi-aksi menentang kebijakan publik dengan cara merusak fasilitas umum, menganggu keamanan, melakukan kerusuhan atau kekacauan. Sedangkan Wasburn, membagi bentuk partisipasi politik kedalam dua kategori yakni konvesional dan nonkonvesional. Partisipasi konvesional sebagai bentuk yang sudah umum dilakukan pada negara-negara maju. Sedangkan di negara-negara berkembang cenderung menggunakan partisipasi yang berbeda karena tidak berjalannya sistem politik. Sehingga, menyebabkan Inputnya sulit berkembang dikompensasikan kedalam bentuk-bentuk kegiatan partisipasi yang tidak biasa dilakukan di negara-negara dengan sistem politik yang bekerja dengan baik. Gambar 1.32 Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Konvesional Pemberian Suara (voting, Pemilu) Diskusi Politik Kegiatan Kampanye Bergabung dengan Partai Politik
Membentuk dan/atau berbagung dalam Kelompok Kepentingan Komunikasi Individual/Kelompok dengan Pejabat Politik dan Birokrasi
Nonkonvesional Pengajuan Petisi Berdemonstrasi Mogok Tindakan Kekerasan Politik Terhadap Harta Benda (Perusakan, pemboman, penjarahan, pembakaran) Tindakan Kekerasan Politik terhadap Manusia (penculikan, pembunuhan, terror) Perang Gerilya dan revolusi Kudeta
32
Toto Pribadi dkk,. Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Universitas Terbuka, Cet: 1, 2006), h. 36
3545
B. Langkah-Langkah Perjuangan Mathla’ul Anwar 1. Bidang Politik Sebelum penulis membahas tentang peran atau partisipasi politik MA, terlebih dahulu akan dibahas tentang hubungan antara Islam dan politik di Indonesia. Keterlibatan Islam dalam politik, telah dimulai ketika adanya penjajahan kolonialisme Barat yang hegemonik secara politik, militer, ekonomi, dan budaya. Islam dijadikan sebagai kekuatan politik oleh para pemimpin-pemimpin Muslim Nusantara dalam menghadapi penjajah Portugis dan Belanda pada abad ke-13 dan 14 Masehi.33 Dalam konteks ini, Islam berfungsi sebagai lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi politik, sehingga menimbulkan kekuatan luar biasa yang memiliki kekayaan doktrinal dan pengalaman politik yang direkonstruksi menjadi
keyakinan
politik
seperti
gerakan
Sabilillah,
Perang
Jihad,
Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888 dan sebagainya. Maka dibawah pimpinan orang-orang Islam memperoleh kekuatan untuk melawan penjajahan Belanda. Fenomena distingsi "Islam politik" dan "Islam kultural" mencapai puncaknya ketika pada masa pasca runtuhnya kesultanan Banten oleh kolonialisme Belanda pada tahun 1813 oleh Gubernur Herman William Daendels.34 Menurut
Irsyad
Djuwaeli,
MA
sebagai
salah
satu
organisasi
keagamaan yang memiliki kepentingan untuk memajukan bangsa dan
33
Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di Indonesia, 1990-2000 (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005), h. 16 34 M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 15
3646
organisasinya, berusaha mencoba masuk ke wilayah kebijakan dan politik. Selanjutnya menyatakan diri secara teoritis ada dua peluang atau pintu masuk bagi MA untuk menentukan arah perkembangannya di masyarakat. Pertama, adalah pada tingkat kultural (pendidikan, dakwah dan sosial). Tingkat ini secara formal dilakukan oleh MA sejak kelahirannya tahun 1916, namun secara out put yang dihasilkan perlu dievaluasi. Kedua, adalah pada tingkat struktural, dimana MA dapat berperan dengan turut berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan, sehingga MA akan menjadi penentu kecenderungan (trend maker) masyarakat.35 Keterlibatan MA dalam politik cenderung untuk menggabungkan diri dengan kekuatan politik yang ada. Hampir bersamaan dengan pendirian MA, para pendirinya seperti KH. Entol Yasin dan KH. Mas Abdurrahman telah menjadi tokoh utama Sarekat Islam (SI)36 di wilayah Banten. Dalam fatwanya, KH. Mas Abdurrahman memberikan dukungan kepada SI sebagai salah satu wujud dari ibadah ke Allah SWT.37 Pada tanggal 01 September 1926, terjadi pemberontakan rakyat Menes dan Labuan melawan pemerintahan kolonial Belanda. Keterlibatan tokohtokoh MA seperti K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat dalam peristiwa pemberontakan melawan Pemerintah kolonial Belanda, menyebabkan mereka 35
Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 4 Sarekat Islam (SI) bermula dari sebuah organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI), yang didirikan oleh Samanhudi di Solo pada tahun 1911 pada perkembangnya menjadi organisasi politik nasional pertama di Indonesia sebagai satu-satunya kekuatan pemersatu bagi seluruh elemen bangsa dalam membawa aspirasi ke-Islaman dan kebangsaan. Lihat. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998, cet: 1), h. 63. Selanjutnya lihat. Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 63. 37 Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, h. 5 36
3747
(K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat) ditangkap dan kemudian dibuang ke Boven Digul, Tanah Merah dan Irian.38 Sedangkan KH. Tb. Mohammad Soleh (tahun 1916) diterbunuh dalam peristiwa pemberontakan tersebut untuk memperjuangkan terhadap adanya ketidakadilan dalam bidang ekonomi, politik dan lain sebagainya.39 MA dinilai menjadi salah satu organisasi yang dianggap berbahaya oleh Pemerintah kolonial Belanda semakin dicurigai perkembangannya, terlebih KH. Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin sebagai tokoh MA dan pengurus SDI atau Sarekat Islam (SI) bagian Banten untuk memperjuangkan umat Islam melawan kolonial Belanda. Kemudian KH. Entol Yasin dan tokoh MA lainnya pasca peristiwa tanggal 01 September tahun 1926 menyebabkan mereka selalu diawasi oleh PID (Polisi Rahasia Kolonial Belanda) dalam setiap aktivitasnya dalam membangun MA. Kemudian, akibat adanya perpecahan di tubuh SI40 pada tahun 1921 dan berdirinya Partai Komunis 38
Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 11 39 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 68. Menurut Chalwani Michrob dan A. Mudjahid Chudari, bahwa karakter para ulama di Banten dikenal berwatak keras dan suka memberontak, bahkan banyak dari para ulama-ulamanya menilai kepemimpinan dalam Sarekat Islam (SI) kurang berani dan tegas dalam melakukan pemberontakan melawan Belanda, hal tersebut dimanfaatkan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan cara infiltrasi keanggotaan ganda untuk mengajak para ulama bergabung dengan PKI, sehingga banyak tokoh-tokoh agama seperti K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat (tokoh MA) di Banten disamping sebagai anggota SI juga menjadi pengurus PKI. M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 18 40 Konflik diinternal SI terjadi pada kongres Luar Biasa Central Sarekat Islam pada tanggal 6-10 Oktober tahun 1921 di Surabaya. Akibat peristiwa tersebut Sarekat Islam pecah menjadi 2 aliran, yaitu: Sarekat Islam Merah (SI Merah) yang dipimpin Semaoen yang berasaskan sosial-komunis dan berpusat di Semarang dan Sarekat Islam Putih (SI Putih) yang dipimpin Agus Salim, Cokroaminoto dan Abdoel Moeis yang berasaskan kebangsaan dan keagamaan dan berpusat di Yogyakarta. Peristiwa tersebut terjadi akibat pengaruh dari paham sosialis revolusioner yang di bawa H.J.F.M. Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun 1913. Kemudian pada tahun 1914 Sneevliet bersama rekan-rekannya yaitu J..A. Bransteder, H.W. Dekker dan P. Bergsma mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) di
3848
Indonesia (PKI) tahun 1924 menjadi semakin tidak kondusif terhadap aktifitas politik, sehingga mendorong Kyai Entol Yasin dan Kyai Mas Abdurrahman untuk mengalihkan aktifitas politiknya pada NU. Pengawasan yang menimbulkan kecurigaan pemerintah kolonial Belanda yang ketat di Menes dan Labuan, menyebabkan para tokoh MA menjadi kendala untuk melakukan pembinaan keagamaan di masyarakat. Di bawah pengawasan pemerintah kolonial Belanda, tokoh-tokoh MA melakukan aktivitasnya
secara
sembunyi-sembunyi
dalam
melakukan
pembinaan
kehidupan masyarakat disekitar daerah Menes. Kemudian, untuk membantu mengintensifkan perjuangannya dalam pembinaan umat, para tokoh MA dibantu oleh para kader-kader dan lulusan atau alumni madrasah MA Pusat (Menes) yang dikirim ke berbagai daerah seperti Kabupaten Lebak, Serang, Bogor, Karawang dan Karesidenan Lampung. Tahun 1926, KH. Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin menghadiri sebuah rapat akbar NU di Jawa Tengah, dengan tujuan untuk bekerja sama dalam melakukan pembinaan kehidupan masyarakat. Selanjutnya, pada tahun 1936 akhirnya MA mengadakan musyawarah terbatas sebagai bentuk komitmen dan evaluasi dalam perjuangan dengan membentuk konsulatkonsulat MA yang membawahi kepengurusan di tingkat Kabupaten dan di tingkat Kecamatan. Para konsulat dan sub konsulat tersebut mengadakan kongres (Muktamar) MA ke-I tahun 1937 di Menes, pertemuan tersebut sebagai evaluasi tahunan bagi setiap pengurus mulai dari tingkat bawah Surabaya. Lihat Dewi Yuliati,. Semaoen: Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang. (Semarang: Bendera, 2000), h. 6-7
3949
sampai atas yang dihadiri oleh setiap utusan cabang, yang kemudian dilanjutkan dengan pemilihan ketua umum terpilih adalah KH. Entol Yasin dan wakil ketua adalah KH. Abdul Muthi’, sedangkan ketua bidang pendidikan adalah KH. Mas Abdurrahman. Pada
tahun
1938
ketua
umum
KH.
Entol
Yasin
berpulang
kerahmatullah, yang seharusnya tahun tersebut diadakan Muktamar MA ke-II di Menes, kemudian jabatan ketua umum dijabat oleh wakil ketua umum yaitu KH. Abdul Muthi’. Selanjutnya tahun 1939 MA dapat melaksanakan Muktamar ke-III di Menes dengan agenda salah satunya adalah pemilihan ketua umum yang berhasil memilih dan menetapkan KH. Uwes Abu Bakar sebagai ketua umum Pengurus Besar Mathlaul Anwar (PBMA).41 Kemudian, muktamar dengan berjalannya waktu, diadakan setiap tahun umumnya tidak banyak yang dibicarakan dan dihasilkan. Terlebih dihadapkan pada situasi yang cukup sulit, sehingga diawal kepemimpinan KH. Uwes Abu Bakar
tidak banyak pula hasil yang diperoleh. Tahun 1940 dan 1941 MA
mengadakan Muktamar ke-1V dan V di Menes dengan terpilih kembali KH. Uwes Abu Bakar menjadi ketua umum untuk periode berikutnya. Tahun 1942, dengan meletusnya perang di Asia Timur dan masuknya Jepang untuk menghadapi Belanda dan menduduki Indonesia. MA pada saat itu berkonsentrasi untuk melakukan konsolidasi terhadap pengembangan dan penguatan solidaritas umat Islam. Setelah itu para tokoh MA berpartisipasi membuat barisan kesiapsiagaan dan aktif melakukan berbagai forum pertemuan
41
Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 12
4050
untuk mempercepat terciptanya kemerdekaan bangsa Indonesia. Kesibukan tokohtokoh MA diberbagai kegiatan sosial dan politik menyebabkan tidak bisa melaksanakan Muktamar ke-IV di Menes pada waktunya. Baru tahun 1943, dibawah kekuasaan Jepang, MA dapat melaksanakan Muktamar ke-VI di Menes. Bagaimanapun, saat itu MA merupakan satu-satunya organisasi keagamaan yang mampu melaksanakan Muktamar di bawah kontrol dan kekuasaan dan pendudukan Jepang. KH. Mas Abdurrahman termasuk salah satu tokoh organisasi keagamaan yang cukup tegas menentang para pegawai pemerintah Jepang yang berusaha memaksakan memberi hormat Sei kierei kepada Kaisar Tenno Heika dalam berbagai persitiwa publik maupun ditempat kerja pada pagi hari.42 Hal senada juga datang dari pendiri NU yakni KH. Hasjim Asy’ari yang menentang upacara penghormatan kepada Kaisar, sehingga menyebabkannya ditangkap dan dipenjara selama empat bulan.43 Kemudian, MA sebelum di jaman pemerintahan Jepang bersama-sama organisasi lainnya bergabung dalam pembentukan MIAI (Masjlis Islam A’la Indonesia) sebagai wadah untuk memobilisasi kaum muslim pada tahun 1935.44 Kemudian, MIAI pada kongres umat Islam Indonesia dirubah lagi menjadi menjadi Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) secara resmi berdiri pada 42
Banyak tokoh ulama yang menentang dipenjarakan dan mati terbunuh. KH. Mas Abdurrahman sedang sakit parah dan tidak tampil dipublik diwaktu dilakukan operasi penangkapan oleh pemerintah Jepang. Lihat: M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 16 43 Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim, Pencarian dan Pergulatan PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957) (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Cet: 1, 2004), h. 108-109. Selanjutnya lihat. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti), h. 25 44 M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 16
4151
tanggal 07-08 November tahun 1945 di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai satu-satunya partai politik Islam. Selain itu, Masyumi merupakan wadah untuk memobilisasi organisasi-organisasi muslim dan bertujuan untuk memperkuat persatuan semua organisasi Islam dalam membantu Dai Nippon untuk kepentingan Asia Timur Raya 2. Bidang Pendidikan Mathla’ul Anwar (MA) sejak pertama kali didirikan tahun 1916 memfokuskan gerakannya dalam bidang pendidikan Islam yang diwujudkan melalui madrasah berpusat di Menes, dengan maksud untuk membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia serta menjalankan syariat Islam. Namun, pada perkembangannya menjadi organisasi sosial kemasyarakatan yang tidak hanya terbatas menyelenggarakan pendidikan formal, tetapi juga pendidikan nonformal baik dakwah maupun sosial.45 Adanya kesadaran terhadap pentingnya mobilisasi umat untuk terbebas dari keterpurukan akibat kolonialisme, maka para pendiri MA yang merupakan Kiyai lokal Menes telah sepakat untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Sistem madrasah yang berbasis kelas sebagai alternatif terbaik bagi lembaga pendidikan yang akan dibangun. Model pendidikan modern merupakan hal yang baru bagi komunitas Muslim Nusantara. Hal ini mengingat model tersebut baru diperkenalkan pada dekade kedua abad ke-20
45
h. 204
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, Cet: 2, 1994),
4252
ketika sekolah/madrasah sejenis didirikan di beberapa tempat seperti sekolah Adabiyah di Padang serta Manba’ul Ulum di Solo.46 Aplikasi model pendidikan Islam ini merupakan terobosan sekaligus keberanian yang luar biasa karena masyarakat Muslim saat itu telah lama diyakinkan bahwa model-model seperti pangajian di musholla, langgar, surau dan pesantren47
merupakan model pendidikan yang paling sesuai dengan ajaran
agama Islam. Terkait dengan MA, tentunya patut dicatat secara khusus, yang justru pengelola model pendidikan lama tersebut. Hal ini tidak lepas dari sikap terbuka mereka akan gagasan-gagasan baru yang lebih tepat seperti terlihat dari pernyataan salah seorang tokoh pendiri, KH. Muhammad Sholeh menyatakan bahwa, dirinya bukan hanya tidak mampu mengelola lembaga pendidikan tersebut tetapi juga tidak mengenalnya dengan baik. Oleh karena itu, lembaga ini harus diserahkan kepada seseorang (Mas Abdurrahman) yang mengetahui dan mampu mengelola lembaga pendidikan baru tersebut. Menurut Zamakhsyari Dhofier, bahwa pesantren pada perkembangannya dari sistem tradisional ke sistem modern, maka proses transformasi pendidikan pesantren menjadi tiga pola: pertama, pola tradisional, kedua, pola transisional, ketiga, pola modern. Trasformasi ini terjadi karena ada di antara pesantren
46
Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007, h. 2-3. Selanjutnya lihat. M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern !912- 2008 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Cet: II, 2009), h. 366367 47 Pesantren berasal dari kata santri yang diawali dengan kata pe dan diakhiri kata an, yang berarti tempat tinggal para santri. Pengertian ini menggambarkan bahwa, pesantren dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar menyediakan asrama untuk tempat tinggal para santrinya. Namun bukan berarti setiap lembaga pendidikan yang menyediakan asrama bagi peserta didiknya dapat dikategorikan sebagai pesantren. Lihat. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3S, 1985), h. 14
4353
tradisional yang cenderung mengadaptasi sistem modern, sementara yang lainnya tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional.48 Tekad untuk melakukan perubahan pada umat lewat modernisasi sistem pendidikan Islam pada MA selanjutnya disebarkan pula ke wilayah lain di luar Menes bahkan di seluruh daerah Banten. Para aktifis dan tokoh pendidikan MA di Menes bekerjasama dengan warga lokal atau migran asal Banten mendirikan madrasah-madrasah modern sekaligus menjadikannya sebagai cabang madrasah pusat MA. Hanya dalam jangka 20 tahun, MA telah memiliki lebih dari 40 madrasah cabang yang tersebar di wilayah Banten, Bogor dan Lampung. Seperti halnya Hayatul Qulub di Majalengka, gerakan pembaharuan pendidikan ini memfokuskan pada masyarakat dan wilayah pendesaan sehingga gerakan ini termasuk pada kategori gerakan berbasis desa. Tujuan MA terhadap gerakan berbasis desa pada dasarnya untuk memberikan akses atau kesempatan yang sebanyak-banyaknya bagi seluruh warga negara untuk mengenyam pendidikan. Sehingga dengan demikian, MA membuka sekolah-sekolah dan madrasahmadrasah formal maupun informal.49 Tahun 1929, MA telah berhasil mendirikan sekolah khusus wanita yang dipimpin oleh Ny. Hj. Zaenab (Putri sulung KH. Mohammad Entol Yasin). Tentunya adanya madrasah khusus wanita MA membuktikan komitmennya bahwa pendidikan sangat penting. Sebagai pelajaran tambahan bagi para guru wanita dan pria, maka pada setiap hari kamis dilangsungkan studi umum di masjid Soreang Menes dibawah bimbingan KH. Mas Abdurrahman. 48
Abuddin Nata, ed., Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 129-130 49 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010.
4454
Kemudian tahun 1951 madrasah MA mengalami kemajuan dan perkembangan yang signifikan. Karena secara kuantitas, madrasah MA tercatat sebanyak 100 unit yang tersebar didaerah Banten, Lampung, Palembang, Bogor dan Karawang. Pada tanggal 17 Juli tahun 1951, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusan nomor: 17737/CV memutuskan bahwa Madrasah Mathla’ul Anwar (MA) mendapat pengakuan kesamaan derajat terhadap ijasahnya. Kemudian tanggal 28 Maret tahun 1959 Kementerian Kehakiman Republik Indonesia dengan surat keputusan nomor; JA.5/6/15 menyatakan MA sebagai organisasi yang berbadan hukum yang diakui oleh Negara Republik Indonesia.50 Selanjutnya, semangat modernisasi sistem pendidikan MA bertambah dengan memasukkan kurikulum umum dengan diperkenalkannya beberapa materi pelajaran seperti ilmu bumi, ilmu ukur dan lain-lain sejak kendali pendidikan MA masih ditangan kiyai Mas Abdurrahman. Usaha ini oleh KH. Uwes Abu Bakar kemudian dipertahankan pada saat menerima aturan pemerintah Indonesia yang menetapkan jenjang sekolah/madrasah menjadi SD (enam tahun), MTs (tiga tahun), Madrasah Aliyah (tiga tahun) dan perguruan tinggi. Kiyai Uwes juga menerima aturan untuk memasukkan materi-materi umum lainnya termasuk bahasa Inggris dalam kurikulum madrasah. Bahkan, kiyai Uwes berinisiatif untuk mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang pertama di wilayah
50
Selain MA, ada sepuluh organisasi lainnya yang mendapat pengakuan yang sama antara lain; Ma’arif Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, darul Ulum Majalengka (sekarang PUI), Daru Dakwah Islamiyah Sulawesi, Darunnajah NTB, Al-Ittihadyah Sumatera, Al-Wasliah Sumatera Utara, Al-Hidayah Kalimantan dan Thawalib Sumatera Barat. Lihat. Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 51
4555
Pandeglang dimana sebagian besar materi pengajarannya justru materi-materi umum sebelum kemudian sekolah ini berubah menjadi Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP). Ketika Departemen Agama (sekarang Kemenag) meluncurkan program Madrasah Wajib Belajar (MWB) untuk mengintensifikasi pengajaran materi umum pada siswa madrasah, MA termasuk organisasi yang paling mendukung dengan menyediakan seluruh madrasahnya sebagai tempat aplikasi program tersebut.51 Kewajiban untuk mengadopsi kurikulum umum yang ditetapkan pemerintah terhadap MA, justru menimbulkan keprihatinan di kalangan beberapa pendidik MA tentang hilangnya kekhasan karakter pendidikan MA. Pengadopsian mata pelajaran tersebut sebagai hasil dari kebijakan pemerintah yang baru di bidang pendidikan terhadap sekolah yang harus memberikan mata pelajaran yang bersifat umum. Padahal tidak semua pelajaran yang bersifat sekuler itu baru, MA sebelumnya juga mempelajari Bahasa Indonesia, aritmetika, sejarah dunia, geografi, pelajaran menulis huruf latin, IPA, tetapi sebagai bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Arab. Salah satu pelajaran yang paling kontroversial adalah mata pelajaran Bahasa Inggris yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, sedangkan mata pelajaran Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Selain Bahasa Inggris tidak dianggap tidak cocok juga sebagai salah satu bentuk penjajahan terhadap agama Islam. Bahkan untuk menunjukan ketidaksetujuannya setiap kali waktunya
51
Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 60
4656
pelajaran Bahasa Inggris para siswa dan guru MA melakukan pemboikotan (walk out) dari kelas masing-masing. Kemudian tahun 1956 MA mengadakan kongres ke-X di Menes dan menyepakati untuk mengajukan pernyataan yang meminta pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan tentang mata pelajaran agama sebagai pelajaran pilihan atau utama. Respon pemerintah yang lambat dalam merevisi kebijakan tentang pelajaran agama disekolah MA, selanjutnya sebagai wujud nyatanya dengan pendirian SMPI (Sekolah Menengah Pertama Islam). Tahun 1961 MA memiliki 3000 madrasah yang terdaftar di Departemen Agama. Secara kuantitas organisasi pendidikan Islam yang bergabung dengan MA, seperti, YPI Banten, Nurul Falah di Petir Serang, Yayasan Ihsaniyah Tegal, Yayasan Al-Iman Di Kebumen atau YPI Jawa Tengah dan Nurul Islam di Palu Sulawesi Utara menjadi cukup banyak. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1963 ketua umum MA mendapat undangan menjadi tamu kehormatan menghadiri Muktamar Rabithah Alam Islami. Pertemuan ini menyatakan MA menjadi salah satu organisasi Islam di Indonesia yang mendapat kehormatan dan memperoleh bantuan material untuk pengembangan organisasinya. Kemudian pada saat yang sama di Mekkah pula berhasil mendirikan perwakilannya, yang dipimpin oleh KH. Abdul Jalil Al-Mugaddasy. Sementara itu perwakilan MA di Jeddah dipimpin oleh Syeh Abdul Malik. Pada perkembangan selanjutnya, bila dilihat pendidikan MA dengan pendidikan lainnya tidak ada perbedaan yang sigifikan yang menjadi ciri khas MA. Padahal pendidikan madrasah MA sebelumnya telah dikenal dan banyak
4757
mencetak ulama-ulama atau intelektual Islam dengan menggunakan metode khusus pelajaran agama. Tetapi, pengadopsian kurikulum pemerintah disatu sisi menurunkan mutu pendidikan madrasah MA sebagai pencetak ulama. Terjadinya perpecahan di internal MA berakibat terhadap pendirian madrasah-madrasah sempalan atau pecahan seperti Maslahul Anwar yang didirikan oleh Kyai Junaedi, putra Kyai Yasin, di Kaduhauk yang terpisah dari struktur madrasah MA. Kemunculan madrasah ini merupakan titik mula munculnya madrasah-madrasah baru baik itu di pusat MA (Menes) maupun di beberapa wilayah/cabang tertentu seperti Al-Ma’arif sebelum kemudian berubah menjadi Ahlussunnah Wal Jama’ah pada akhir tahun 1970-an, Anwarul Hidayah, Malnu, Malinu dan Nurul Amal.52 Kemunculan madrasah-madrasah baru tersebut merupakan akibat dari adanya perbedaan persepsi dan kepentingan berbagai kelompok elit MA. Misalnya, pendirian madrasah Al-Ma’arif yang diprakarsai oleh KH. Abdul Latif, KH. Asrori dan KH. Hamdani merupakan akibat dari perbedaan orientasi politik antara apakah harus mempertahankan ikatan politik dengan Partai NU atau Masyumi. Selain karena perbedaan afiliasi politik, penolakan para Kyai senior terhadap upaya modernisasi sekolah dengan memasukkan materi-materi umum, khususnya Bahasa Inggris, mendorong para Kyai (tradisionalis) dan pengikutnya kelua dari madrasah MA. Suatu hal yang menarik dari peristiwa ini adalah bagaimana madrasah tidak hanya berfungsi sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan dari guru ke murid tetapi juga menjadi salah satu simbol identitas
52
Wawancara Pribadi dengan Asep Saepudin Jahar, Ciputat, 17 Mei 2010.
48 58
politik sekaligus alat memobilisasi masa pengikut. Hal yang tidak jauh berbeda ketika pada tahun 1980-an dan 1990-an ketika muncul lagi madrasah-madrasah baru seperti al-Ishlah, Al-Jannah dan lain-lain.53 Hingga tahun 1985, lembaga pendidikan yang didirikan oleh MA, memiliki 4.706 unit Madrasah Ibtidaiah, 737 buah Madrasah Tsanawiyah, 311 buah Madrasah Aliyah, dan 771 unit pondok pesantren. Jumlah siswa diseluruh lembaga pendidikan tersebut di atas tercatat sebanyak 344.614 orang.
54
Kemudian tahun
2010, MA memiliki sekitar 6000 madrasah yang terdiri dari TK, Tsanawiyah/SMPI, Aliyah/SMA diseluruh Indonesia. Disamping itu, MA memiliki satu Perguruan Tinggi yakni Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA) yang berada diatas tanah seluas 7 Ha, dilengkapi dengan asrama dan pondok pesantren. Peresmiannya dilakukan oleh wakil Presiden RI Tri Sutrisno tahun 1993 bertempat di Cikaliung Menes PandeglangBanten. Sebagai lembaga penujang dibuat Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH), Lembaga Pengembangan Koperasi dan Lembaga Bimbingan Haji dan Umroh 55
C. Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar 1. Era Orde Lama Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dan Masyumi selain memiliki anggota perorangan juga organisasi diantaranya Muhammadiyah, NU, Perserikatan Ummat Islam, PUSA (Persatuan Ummat Islam, 1949-1953), Al-
53
Wawancara Pribadi dengan KH. Wahid Sahari, Menes, 07 Agustus 2010. Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 205 55 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen. 54
49 59
Jamiyatul Washliyah, Al-Ittihadiyah (Sumatera Utara-1947), Persis (Persatuan Islam, Bandung-1948), Al-Irsyad (Jakarta-1950)56 dan Matha’ul Anwar (MA).57 Tahun 1945-1950, MA beserta segenap anggota ikut serta dalam perjuangan melawan Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali negara dan bangsa Indonesia. Keterlibatan MA secara organisasi maupun anggota yang ikut berjuang dalam mengangkat senjata menjadi anggota Hizbullah dan anggota badan kelaskaran-kelaskaran lainnya. Juga masuk dalam struktural pemerintahan menjadi Asisten Wedana (camat) seperti KE. Ismail (Sekretaris Pengurus Besar Mathla’ul Anwar pertama periode 1936-1939) kemudian diangkat menjadi Wedana Menes dan KH. A. Shidiq (Asisten Wedana Menes). Disamping itu, beberapa Pemuda MA yang gugur dalam perang kemerdekaan sebagai pahlawan bangsa antara lain Kiyai Abeh Habri (Putra KH. Mas Abdurrahman).58 Kemudian pada masa pemerintahan Orde Lama, partisipasi MA dalam kancah politik terlihat misalnya pada tahun 1950 dimana Ketua Umum atau Pengurus Besar MA (PB MA) KH. Uwes Abu Bakar menjadi anggota fraksi Masyumi. Keterlibatan MA dengan Masyumi telah memposisikannya sebagai organisasi Islam dalam konstituante untuk memperjuangkan Islam sebagai falsafah ideologi negara Indonesia setelah kemerdekaan. Partisipasi politik MA secara struktural ini diambil sebagai strategi untuk menentukan arah kebijakan yang menyangkut kepentingan ummat.
56
Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di Indonesia, 1990-2000, h. 41-42 57 M. Irsyad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 17 58 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Idjen, Menes, 03 Agustus 2010.
5060
Perdebatan dalam merumuskan dasar negara antara kelompok Islamis dan kelompok nasionalis sekuler dalam BPUPKI yang dibentuk tanggal 09 April tahun 1945 merupakan realisasi dari pemerintahan Jepang untuk memberikan kemerdekaan Indonesia yang diumumkan oleh Perdana Menteri Koiso pada 09 September 1944. Anggota BPUPKI sebelumnya berjumlah 62 orang kemudian bertambah enam orang menjadi 68, yang terdiri dari 15 mewakili dari kelompok Islam politik59 dan kelompok nasionalis sekuler60 secara tegas menolak Islam sebagai dasar negara.61 Menurut Ali Nurdin, bahwa keterlibatan MA dalam politik praktis hanya bersifat situasional, secara organisasi adalah independen dan non-afiliasi. Hal itu dipertegas dalam AD/ART MA.62 Pernyataan independensi MA ini tertuang dalam keputusan-keputusan Muktamar ke-VII, VIII tahun 1951-1952 di Bogor, dan Muktamar IX tahun 1953 di Bandung dan Muktamar X tahun 1956 dan XI tahun 1966 di Menes.63 Kemudian, Pemilihan Umum (pemilu) tahun 1955 KH. Uwes Abu Bakar terpilih menjadi anggota DPR RI yang sebelumnya sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dan DPRD Kabupaten Pandeglang, bersama kiyai Muslim Abdurrahman. Selain itu, KH. Uwes Abu Bakar juga pernah ditawari menjadi
59
Perwakilan dari kalangan Islam politik terdiri dari: KH. Ahmad Sanusi dan KH. Abdul Halim (PUI), K. Bagus Hadikusumo, KH. Mas Masjkur dan Ambdul Kahar Muzakar (Muhammadiyah), KH. A. Wahid Hasjim, KH. Masjkur (NU), Sukiman Wirjisanjojo (PII sebelum perang), Abi Kusno Cokrosojoso (PSII), Agus Salim (Penyadar senelum perang). 60 Perwakilan nasionalis sekuler dalam BPUPKI terdiri dari Dr. Radjiman, Soekarno, M. Hatta. Prof. Soepomo, Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Santono, RP Suroso, Dr. Buntaran Martoatmojo. 61 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 41-42. 62 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin, Ciputat, 20 Mei 2010. 63 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 72
51 61
Menteri Agama pada masa Orde Lama, namun ditolaknya dengan alasan ingin konsentrasi terhadap pengembangan dan kemajuan MA.64 Partisipasi politik MA melalui partai politik pernah mengalami kevakuman. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih merupakan kekuatan yang dominan di parlemen ketika Presiden Soekarno menunjuk formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan formartur kepada Sukiman tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai tindakan pelanggaran terhadap partai. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam tubuh Masyumi sendiri terjadi perebutan pengaruh politis Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama yang kemudian dimanfaatkan oleh Presidien Soekarno. Selanjutnya, Presiden Soekarno pada akhir tahun 1960 menerbitkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Keputusan tersebut kemudian sebagai salah satu pemicu terjadinya peritiwa pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI dan Permesta di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara akibat terjadinya dominasi kekuasaan antara Jawa (Jakarta) dan non Jawa.65
64 65
Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 70 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 21
52 62
Kedekatan politik MA ke Masyumi semakin kental manakala beberapa tokoh MA menjadi pendukung sikap oposisi Masyumi terhadap beberapa kebijakan Sukarno. Tidak heran jika setelah Masyumi untuk membubarkan diri pada tahun 1960, MA mendapat tekanan dari kelompok pro-Sukarno. Akibatnya, MA mengubah simbolnya dengan tujuan untuk menjelaskan tidak adanya hubungan yang khusus MA dengan Masyumi. Tidak cukup dengan itu, MA kemudian bergabung dengan pembentukan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII)66 dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar)67 yang bertujuan untuk merespon terjadinya peristiwa Gestapu (Gerakan Tiga puluh September) yang kemudian Sekber menjadi Partai Golkar.68 2. Era Orde Baru Mathla’ul Anwar (MA) seperti halnya organisasi muslim lainnya dibawah Orde Baru, mengalami perubahan yang hebat, baik dari dimensi internal maupun pengaruh langsung atau tidak langsung kebijakan Orde Baru. Berdasarkan fakta ini, perjalanan MA dapat dibagi kepada dua periode yang penting. Pertama, untuk 20 tahun pertama pemerintahan Orde Baru ditandai oleh tumbuhnya kekuatan MA penentang melawan pemerintah. Kepemimpinan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) dibawah KH. Uwes Abu Bakar ayng dilanjutkan oleh Nafirin Hadi yang radikal secara rutin menentang kebijakan Orde Baru-Soeharto.69 Kedua, ditahun66
DDII adalah organisasi keagamaan independen yang berdiri tahun 1967 di Jakarta, fokus gerakannya adalah dakwah Islam yang telah berjasa mencetak dan mengirim para da’i keseluruh pelosok Indonesia. Lihat. R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cet: 1, 1997), h. 105 67 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen. 68 Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru Ditengah Pusaran Demokrasi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet: 1, 2002), h. 252 69 Reaksi menentang kebijakan Orde Baru seperti, pernyataan kelompok muslim radikal sebagai Islam phobia, politik Islam secara umum memburuk oleh intervensi militer, menolak
5363
tahun terakhir pemerintahan Soeharto, MA mengadopsi pendekatan politik yang lebih akomodatif setelah pemimpin PBMA yang secara politis lebih pragmatis dan moderat mengambil alih kekuasaan kepemimpinan pengurus besar organisasi. Mengawali pemerintahan Orde Baru, sesuai dengan rencana pada bulan September tahun 1966, MA dapat melaksanakan Muktamar ke-XI dan Perayaan Ulang Tahun ke-50 di Menes, MA pada waktu itu satu-satunya organisasi yang bisa melaksanakan Muktamar dalam situasi politik yang tidak kondusif baik ekonomi maupun politik. Muktamar MA kali ini tidak dihadiri oleh sejumlah Dewan Pengurus Daerah (DPD) karena situasi ekonomi dan komunikasi yang kurang, menyebabkan peserta muktamar tidak mencapai qourum sebagaimana diatur dalam AD/ART dan akhirnya disepakati dan diputuskan sebagai Muktamar Luar Biasa (MLB).70 Hasil Muktamar menghasilkan beberapa keputusan yang menjadi fenomena baru yang kemudian menjadi arah penentu dinamika perkembangan MA dimasa depan. Para muktamirin secara mayoritas menyetujui untuk menambahkan dua lembaga baru, Dewan Pelindung dan Dewan Penasehat. Posisi Dewan Pelindung dipegang oleh Adam Malik (Menteri Luar Negeri) dan Dewan Penasehat oleh BM Diah (Menteri Penerangan) dan Baharsan ditunjuk sebagai anggota Dewan Pelindung. Lembaga penunjang lainnya seperti, Majlis Fatwa Wattabligh, Majlis Pendidikan, Bagian Keorganisasian, dan terakhir Bagian Kepanduan (Pramuka). merehabilitasi Masyumi, penolakan terhadap undang-undang pernikahan tahun 1973 dan penyatuan sistem pendidikan nasional dengan mengharuskan penggunaan satu kurikulum dan lainnya sebagainya. 70 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 3132
5464
Sedangkan M. Nur Atmadibrata dan tokoh-tokoh terpelajar MA (Banten) sebagai Anggota Dewan Penasehat, masuknya tokoh politik “bukan MA” dalam struktur organisasi MA disatu sisi dinilai sebagai strategi organisasi untuk mendapat akses dalam pencarian dana operasional, sedangkan sisi lain disebut sebagai “periode bulan madu” dalam membangun hubungan mutual antara pemerintah dan MA yang berjuang bersama dalam meruntuhkan pemerintahan Seokarno dan melawan kekuatan komunis.71 MA sebagai organisasi masyarakat (ormas) diawal pemerintahan Orde Baru berpartisipasi untuk menciptakan kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia. Sikap MA terhadap Orde Baru kemudian lebih akrab atau akomodatif dengan harapan Ode Baru dapat menyetujui untuk bisa merehabilitasi Masyumi yang akhirnya ditolak oleh Soeharto. Para tokoh MA dan organisasi keagamaan lainnya membentuk Badan Koordinasi Amal Muslimin Indonesia (BKAMI). Tahun 1967, tokoh MA dan sejumlah bekas pemimpin Masyumi atau ormas keagamaan lainnya bergabung mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) sebagai wadah aspirasi ormas-ormas Islam seperti ; Muhammadiyah, Persis, PUI, Al-Jamiatul Washliyah, Mathla’ul Anwar dan lain sebagainya. Hubungan antara Parmusi dan MA mendorong Ketua Umum KH. Uwes Abu Bakar dan tokoh-tokoh lainnya secara otomatis tarikan politiknya terbawa dalam organisasi. Bahkan ketika itu, ketua umum menginstruksikan semua Dewan Pengurus baik ditingkat provinsi maupun daerah pengurus MA untuk mendukung dan mendirikan Dewan-Dewan Parmusi lokal diwilayah masing-masing. Dalam 71
Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 77
55 65
waktu singkat, perkembangan cabang-cabang Parmusi diberbagai wilayah meluas, dan kemudian MA menjadi bagian dari Parmusi.72 Kebijakan KH. Uwes Abu Bakar dalam membawa organisasi MA kedalam afiliasi politik Parmusi dinilai telah menyalahi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta menghianati Khittah MA (sebagaimana dibahas sebelumnya diatas) adalah organisasi yang independen non afiliasi politik. Kebijakan KH. Uwes Abu Bakar terhadap organisasi menimbulkan reaksi perlawanan seperti Komari Saleh SG yang menjabat sekretaris PBMA dan koordinator Jawa Tengah bersama pengurus dan warga MA diberbagai provinsi dan daerah untuk menuntut kembali ditariknya instruksi afiliasi politiknya di Parmusi. Kemudian untuk menjaga kemaslahatan (kebaikan) organisasi MA, KH. Uwes Abu Bakar menginstruksikan untuk kedua kalinya keseluruh pengurus MA tidak harus mendukung Parmusi diatas kepentingan organisasi. Selanjutnya, warga MA dibebaskan pilihan politiknya yang mereka kehendaki, dan KH. Uwes Abu Bakar meminta maaf atas kekhilafannya baik secara tertulis maupun lisan diseluruh pengurus MA. Dengan keputusan tersebut, MA memutuskan hubungannya dengan Parmusi.73 Tahun 1973, Partai Parmusi kemudian digabungkan atau difusikan oleh Presiden Soeharto menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai wadah aspirasi politik Islam.74 Yang kemudian pada perjalanannya MA pada kepemimpinan ketua umum Nafsirin Hadi dan tokoh-
72
Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 77. Selanjutnya lihat. Syibli Sarjaya dkk, Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 34 74 Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, Lima Partai Islam Dalam Timbangan, Analis dan Prospek (Bandung: Pustaka Hidayah, Cet: 1, 1999), h. 96 73
56 66
tokoh lainya di Menes seperti Moh. Idjen dan KH. Abdul Wahid Sahari memperlihatkan kecenderungan politiknya di partai PPP.75 Pada bulan September tahun 1973, KH. Uwes Abu Bakar berpulang kerahmatullah secara mendadak. Selanjutnya, MA pada perkembangannya memiliki orientasi politik MA yang baru dan semakin radikal. Sifat pluralistik MA, akhirnya hilang setelah diganti oleh dua pemimpin yang terkenal sangat radikal, yakni Muslim Abdurrahman yang pernah dipenjara beberapa bulan pada masa Soekarno karena kedekatannya dengan pemipin DI/TII, dan Nafsirin Hadi. Setelah tidak ada pemimpin MA yang moderat yakni KH. Uwes Abu Bakar, untuk mengisi posisi Ketua Umum Pengurus Besar MA, selanjutnya dilaksanakan Rapat Kerja Luar Biasa di Bandung. Pada kesempatan tersebut, memilih dan menetapkan Muslim Abdurrahman sebagai ketua umum yang sebelumnya menjabat ketua satu, di Perguruan Madrasah MA Pusat (Menes) pada kongres 1966 di Menes, kepemimpinannya bertahan selama setahun karena meninggal dunia. Kemudian, Nafsirin Hadi menggantikan posisi Muslim Abdurrahman sebagai ketua umum. Menurut Didin Nurul Rosidin, bahwa Nafsirin Hadi dikenal sebagai figur yang kuat mendukung menerapkan hukum Islam dan menolak mengamalkan ideologi Pancasila, menurutnya, tidak saja dilarang oleh agama tetapi membicarakannya juga haram.76 Tahun 1975, MA melaksanakan Muktamar ke-XII di Asrama Haji Cempaka Putih Jakarta Pusat yang dibuka langsung oleh Menteri Agama RI, Prof. 75
Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 84-86 76
5767
Dr. Mukti Ali. Hasil Muktamar Nafsirin Hadi terpilih sebagai ketua umum PBMA. Terpilihnya Nafsirin Hadi sebagai tokoh penentang ideologi Pancasila menghasilkan keputusan yang paradoks. Pertama, masuknya Pancasila menjadi salah satu ideologi MA dalam AD/ART. Kedua, kuatnya intervensi pemerintah dan militer dalam mengontrol MA. Ketiga, adanya pengrekrutan tokoh-tokoh MA seperti M. Irsyad Djuwaeli dan yang lainnya menjadi pegawai pemerintah, sedangkan Entol Burhani dan KH. Uyeh Balukiya merupakan aktor utama dibelakang inklusi Pancasila sebagai dasar idelogi organisasi. Keempat, adalah dorongan kuat dari BM Diah yang memiliki posisi sebagai anggota Dewan Pengawas MA pertama yang diangkat pada kongres tahun1966.77 Keputusan tersebut diatas, menimbulkan reaksi kekecewaan para peserta Muktamar yang kontra (tidak setuju) dengan melakukan walk out (keluar) dan hanya meninggalkan sedikit peserta yang tersisa. Muktamar MA ke-XII selesai tanpa mengadakan resepsi penutupan. Disamping itu, peserta Muktamar menyepakati dihilangkannya badan-badan otonom dan bagian-bagian susunan pengurus hasil Muktamar ke-XI dan hanya bidang Majlis Fatwa yang tersisa. Sedangkan untuk para ketua terpilih menetapkan M. Irsyad Djuwaeli sebagai Sekretaris Umum, Moh. Rifa’I Sekretaris 1, Moh. Idjen Sekretaris II, dan E. Lukman Hakim Sekretaris III. Untuk jabatan bendahara ditetapkan BM. Diah yang waktu itu dinyatakan sebagai pembantu penyandang dana untuk kegiatan kesekretariatan. Damanhuri, M. Nahid Abdurrahman dan Hasan Muslihat sebagai pembantu. 77
Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 84
5868
Suksesi penerimaan Pancasila yang dimasukan kedalam AD/ART MA diikuti
oleh
perekrutan
secara
paksa
wakil-wakil
pemerintahan
dalam
kepengurusan pusat MA. BM Diah yang berperan aktif dalam memaksa peserta kongres untuk menerima beberapa orang seperti Yahya Nasution dan H. Burhanuddin yang keduannya orang-orang pemerintah atau Golkar. Inklusifisasi Pancasila kedalam AR/ART MA tidak dapat memperlemah para anggota MA. Pertama, posisi tertinggi MA dipegang oleh orang-orang (Muslim Abdurrahman dan Nafsirin Hadi) radikal sebagaimana diterangkan diatas. Kedua, tumbuhnya radikalisme pandangan politik MA dengan datangnya guru-guru muda MA (tahun 1950-1960-an) yang merupakan para aktivis seperti, Boman Rukmantara, Saleh As’ad (HMI), Abdul Salam Panji Gumilang (al-Zaitun) (GPI) dan Hudri Halim (PII) mereka seringkali memobilisasi siswa dan pemuda MA menentang kebijakan-kebijakan Orde Baru sebagai “poros utama anti Orde Baru, Golkar dan Pancasila” di Menes. Kemudian, sikap oposisi para pemimpin MA terhadap Orde Baru berdampak luar biasa pada eksistensi dan marginalisasi organisasi oleh pemerintah, termasuk kegagalan untuk menyelenggarakan Muktamar ke-XIII di Lampung tahun 1980. Hal tersebut terjadi karena. Pertama, kurangnya komunikasi antara pengurus MA di Provinsi dan Daerah. Kedua, banyaknya pengurus PBMA yang berpulang kerahmatullah, seperti KH. A. Syahroni (ketua I), KH. M. Kholid (ketua IV), KH. Damanhuri (anggota) dan H. Yahya Nasution (ketua III) yang mengundurkan diri dari kepengurusan. Ketiga, adanya perbedaan pemahaman keagamaan dan politik (Islam dan negara) di elit pengurus PBMA, sehingga
5969
menyebabkan pemerintah Orde Baru tidak memberikan izin penyelenggaraan Muktamar di Lampung. Kecuali, MA bersedia bergabung bersama Golkar dengan imbalan akan diberikan dana sebesar Rp. 250 Juta, namun dana yang dijanjikan pemerintah ditolak.78 Hal tersebut, menimbulkan konflik diinternal MA yang puncaknya terjadi pemecatan M. Irsyad Djuawaeli sebagai Sekretaris Umum PBMA dan mengalami pergantian sekjen sampai tiga kali antara lain oleh H. Nur Sanusi (Lampung) dan H. Abdul Sahari (Menes). Karena dicopot dari posisinya di organisasi, M. Irsyad Djuwaeli79 memobilisasi massa pendukung dari tingkat daerah dan provinsi akar rumput (bawah) untuk menentang kepemimpinan ketua umum Nafsirin Hadi. M. Irsyad Djuweli, yang mendapat dukungan penguasa Orde Baru untuk melakukan “kudeta” gaya kepemimpinan radikal Nafsirin Hadi dari posisi ketua umum PBMA. Hal tersebut selain menjadi alasan kelompok “oposisi” juga kegagalan Nafsirin Hadi untuk melaksanakan Muktamar ke-XIII di Lampung dan perbedaan orientasi politik PPP (Nafsirin Hadi, Moh. Idjen, H. Nur Sanusi, H. Dhoifun Kepuh) dan Golkar (M. Irsyad Djuwaeli, Uyeh Balukiya, KH. Entol Burhani, Imron Syuaidi), menyebabkan organisasi mengalami keadaan yang tidak menentu (statis). Untuk menghidupkan kembali organisasi tokoh-tokoh MA yang terdiri dari M. Irsyad Djuwaeli, KH. A. Syadli, M. Nahid Abdurrahman, H. Mubin
78
Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 75 M. Irsyad Djuwaeli, telah aktif di Golkar sejak tahun 1970-an dan meminta dukungan pemerintah Orde Baru dan tokoh-tokoh militer dibawah bendera GUPII seperti mantan Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara (mantan Menteri Agama tahun 1978-1983) dan mantan Jenderal Ibnu Hartomo (adik Ibu Tien Soeharto) untuk melakukan “kudeta” kepemimpinan Nafsirin Hadi. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 87. Selanjutnya Lihat Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 36-37 79
6070
Arshudin, H. Chowasi Mandala dan H. Aim, mereka menemui ketua umum untuk segera dilaksanakannya Muktamar ke-XIII, namun usulan tersebut kemudian ditolak oleh ketua umum. Kemudian, dibentuklah panitia yang terdiri dari M. Irsyad Djuwaeli cs untuk mempersiapkan pelaksanaan Muktamar ke-XIII di Menes, tanpa restu dari ketua umum Nafsirin Hadi.80 Tahun 1980, Muktamar ke-XIII berhasil dilaksanakan di Menes dengan menetapkan KH. Entol Burhani sebagai ketua umum baru menggantikan Nafsirin Hadi dan kembali naiknya M. Irsyad Djuwaeli sebagai sekretaris umum. Kuatnya intervensi Orde Baru dan Militer menyebabkan ketua umum Nafsirin Hadi dan tokoh-tokoh anti pemerintah Orde Baru tidak bisa mengikuti acara Muktamar. 81 Tahun 1985, Muktamar MA ke-XIV di Jakarta, menetapkan M. Irsyad Djuwaeli sebagai ketua umum terpilih menggantikan KH. Entol Burhani. Keputusan Muktamar memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai salah satu asas selain Islam yang dituangkan kedalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Keputusan tersebut menimbulkan perpecahan di internal MA antara yang menerima dan menolak yang puncaknya terjadi pemecatan pengurus PBMA seperti Moh. Idjen, KH, Abdul Wahid Sahari yang kemudian mendirikan 80
Sebelum Muktamar, Nafsirin Hadi telah memberikan surat keputusan kepada Entol Burhani atas nama ketua umum dengan mandat khusus untuk mengambil langkah-langkah penting dalam persiapan Muktamar, surat itu salah satunya berisi penolakannya atas pelantikan kembali M. Irsyad Djuwaeli sebagai Sekretaris Umum PBMA dan penunjukan Muhammad Amin sebagai ketua kedua. Namun, surat tersebut diabaikan oleh M. Irsyad Djuwaeli cs. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 19161998,”, h. 108 81 Penjagaan ketat yang dilakukan oleh militer di sekitar acara Muktamar ke-XIII di Menes menyebakan beberapa tokoh-tokoh MA yang di cap “pembangkang” pemerintah dicekal dan di asingkan kemudian dipecat, walaupun mereka sudah berada disekitar Menes. Tetapi, tidak diperbolehkan memasuki atau mengikuti acara Muktamar sebagaimana yang dialami oleh Nafsirin Hadi (ketua umum). Wawancara Pribadi dengan Mohammad Idjen.
6171
madrasah al-Islah yang dikelola secara independen dan keluar dari struktur Perguruan MA-Pusat.82 Menurut Syibli Sarjaya, keputusan Muktamar XIV (1985) merupakan keputusan paling berani dan kontroversial dalam sejarah perjalanan MA. Pertama, penerimaan Asas Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi UU Keormasan No. 81 tahun 1985.83Kedua, MA secara tegas mendeklarasikan Soeharto sebagai ”Bapak Pembangunan”.84 Ketiga, secara deklaratif mendeklarasikan dukungannya untuk mendukung Golkar dalam pemilihan umum tahu 1987.85 Keempat, perekrutan tokoh-tokoh Golkar seperti, Alamsyah Ratu Prawiranegara (Menteri Agama tahun 1978-1983), Ibnu Hartomo dan Moes Joenoes menjadi Dewan Pembina, dalam struktur kepengurusan PBMA yang secara eksklusif lebih diutamakan adalah orang yang berkedudukan pegawai pemerintahan atau pejabat seperti, Adam Malik dan BM. Diah yang posisi sebelumnya berada ditangan kiyai dan tokoh “asli” MA. Secara makro, dinamika perjalanan organisasi pada perkembangannya dan penyebarannya menggunakan fasilitas Partai Golkar di seluruh daerah-daerah di Indonesia. M. Irsyad Djuwaeli sebagai salah satu tokoh Partai Golkar menginstruksikan berbagai pengurus Partai Golkar diberbagai daerah dan provinsi untuk mendirikan cabang-cabang madrasah MA dan pengurus MA. Pertama, MA memanfaatkan 82
pengaruh
Alamsyah
Ratu
Prawiranegara
dalam
menarik
Wawancara Pribadi dengan KH. Abdul Wahid Sahari. Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 38 84 Gelar Bapak Pembangunan merupakan bentuk apresiasi terhadap Presiden Soeharto atas pembangunan dalam bidang sosial budaya, ekonomi dan politik. Lihat. Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983), h. 76 85 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 111 83
62 72
pemimpin-pemimpin besar regional untuk mendukung pendirian cabangcabangnya didaerah mereka dengan diberikan bantuan keuangan. Kedua, MA sebagai salah satu pendukung utama Partai Golkar, menggunakan jaringan partai untuk mempengaruhi basis di tingkat daerah tradisionalnya untuk memperkuat Golkar. Ketiga, adalah menggunakan jaringan Departemen Agama (sekarang Kemenag) yang memberikan jaminan para pegawai lokal departemen tersebut untuk membantu memperluas MA. Sedangkan untuk gedung atau kantor sementara bergabung (MA dan Golkar) di kantor Dewan Perwakilan Daerah Partai Golkar.86 Hal tersebut, sangat berbeda apa yang dilakukan oleh para senior MA (Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin) dalam pengembangan MA diberbagai daerah dan provinsi dengan mengirimkan para alumni atau lulusan madrasah MA untuk mendirikan madrasah dan cabang-cabang MA di seluruh Indonesia. MA pada Pemilihan Umum (pemilu) tahun 1987, sebagaimana hasil Muktamar MA ke-XIV (1985) menyepakati untuk menyalurkan aspirasi politiknya di Partai Golkar. Walaupun secara deklararatif tidak tertulis, tetapi MA siap mendukung dan memenangkan Golkar. Keputusan untuk menyalurkan aspirasi politiknya secara struktural di Partai Golkar telah memberikan kesempatan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli dalam Pemilu 1992 menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).87 Kemudian, pada Muktamar ke-XV tahun 1996 di Jakarta, kebijakan dan aspirasi politik MA yang diambil tidak jauh berbeda dari sebelumnya, dimana 86 87
Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen. Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 78
6373
Golkar menjadi pilihan untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Keputusan ini diambil dipengaruhi oleh kuatnya kecenderungan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli sebagai fungsionaris Golkar dan untuk strategi dalam mendapatkan segala fasilitas maupun dana material, sehigga secara pragmatis tidak sulit dalam melakukan mobilisasi massa MA untuk kepentingannya di Golkar.88 Sedangkan, bagi mereka yang aktif di PPP dan non-politik menolak bergabung bersama Golkar kemudian dikucilkan dan memilih untuk tidak aktif dalam organisasi MA, bahkan sebagian dari mereka keluar dan dipecat.89 Pada pemilu tahun 1997, dukungan diberikan lewat kampanye-kampanye yang menggiring warga MA kepada Golkar diberbagai daerah dan provinsi. Kampanye dilakukan selain terbuka juga terselubung dalam forum-forum seperti, pengajian, Majlis Ta’lim, pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah dan lain sebagainya. Peristiwa tersebut, menandai kembalinya sikap politik yang mendua di satu sisi MA menyatakan independen dari partai politik manapun tetapi di sisi lain justru seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ketergantungan Golkar. Sejarah
perjalanan
MA
dengan
segala
bentuk
kemajuan
dan
kemundurannya. Secara kuantitas, pada kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli, MA berhasil menyebarkan pengurus di daerah dan provinsi di Indonesia. MA sebelumnya berkembang di tiga wilayah seperti: Banten, Jawa Barat dan Lampung. Berbagai terobosan dilakukan lewat “kendaraan Golkar” selain untuk 88
Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi, Menes, 14 Juni 2010 Diantara tokoh MA yang tidak setuju dengan kebijakan mendukung Golkar, diantaranya KH. Abdul Wahid Sahari (Menes), Mohammad Idjen (Menes) dan tokoh-tokoh lain nya. Mereka selain melakukan penentangan dan memberikan pemahaman pada warga MA bahwa apa yang dilakukan dalam politik praktis telah menyalahi Khittah dan misi didirikannya MA. 89
6474
kepentingan pribadi dan kelompok, juga telah berpengaruh terhadap keberhasilan organisasi MA dalam pembangunan Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA), sebagai satu-satunya milik MA di Indonesia yang berlokasi di Cikaliung Menes tahun 1993. Lembaga-lembaga pendidikan (madrasah) yang sebelumnya menurunkan papan nama dan aktivitasnya dapat bangkit kembali secara perlahanlahan, organisasi penunjang lainya mulai bangkit melakukan aktivitasnya, seperti bangkitnya kembali organisasi pemuda melalui Generasi Muda Mathla’ul Anwar (GEMA-MA), Muslimat Mathla’ul Anwar (MMA) dan kegiatan Majelis Fatwa.90
90
Wawancara Pribadi dengan H. A. Shihabudin, Menes, 4 Agustus 2010.
75
BAB IV MATHLA’UL ANWAR DALAM KONSTELASI POLITIK NASIONAL PASCA ORDE BARU
A. Realitas Politik Mathla’ul Anwar Pasca Orde Baru Runtuhnya rezim Orde Baru ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, yang kemudian digantikan B.J. Habibi sebagai Presiden keempat Republik Indonesia (RI), dan selanjutnya digantikan Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden dalam Sidang Umum Majlis Permusyawaratan Rakyat (SU MPR) tanggal 20 Oktober tahun 1999. Kemudian, proses transisi ke arah demokratisasi yang lebih otentik di Indonesia yang sebelumnya terpenjarakan selama 32 tahun rezim Soeharto.91 Perubahan politik di Indonesia di era reformasi khususnya kebebasan ekspresi politik yang diwujudkan dengan adanya sistem multipartai pada pemilihan umum (pemilu) tahun 1999 langsung, secara luber jurdil (jujur, adil, bebas, dan rahasia). Selain itu, kekuasaan negara dan ideologi Pancasila di era reformasi tidak lagi menjadi momok yang menakutkan bagi organisasi masyarakat (ormas) dan partai politik yang sebelumnya secara ketat dikontrol oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Pasal 2 tentang organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Proses hegemoni ideologi Pancasila tidak hanya ditempuh melaui cara-cara legalistik, tetapi juga melalui sistem pendidikan. Penataran P4 91
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Hubungan Antar Umat., ed. Idris Thaha (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, Cet: 1, 2002), h. 20
65
66 76
(pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) adalah program yang disponsori negara untuk mendidik seluruh lapisan masyarakat memahami ideologi dan interpertasi resmi negara untuk menjamin keseragaman pemahaman Pancasila sebagai ideologi negara. Organisasi masyarakat (ormas) atau keagamaan merupakan salah satu bentuk pengorganisasian masyarakat sipil yang berlandaskan pada prinsip demokrasi, kemitraan, keswadayaan, dan partisipasi publik. Selain itu, ormas sebagai wadah dalam menyalurkan aspirasi kepedulian, kesadaran sosial dan politik masyarakat. Ormas-ormas nonpolitik memiliki peran penting sebagai penengah dan jembatan untuk kepentingan antara masyarakat pada satu pihak dengan negara pada pihak lain. Menurut Azyumardi Azra92 dan Bachtiar Effendi93 bahwa organisasi sosial keagamaan di era reformasi seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Mathla’ul Anwar (MA), al-Washliyah, Perti, Persis, Nahdlatul Wathan, DarudDakwah wal-Irsyad, al-Khairat, Hidayatullah dan lain sebagainya, mengalami penurunan dan kehilangan daya tarik terhadap peranannya dalam merespon masalah-masalah keumatan dan kebangsaan. Jika pada masa Orde Baru, organisasi keagamaan atau kultural dilarang terlibat dalam politik praktis justeru sangat besar kontribusi sosialnya seperti pembangunan madrasah, pesantren, rumah sakit dan bidang-bidang sosial yang lainnya. Selain organisasi keagamaan mengalami penurunan dalam bidang kultural juga terjadinya demoralisasi para elit
92
Azyumardi Azra, “Islam: Politik dan Kultural,” artikel diakses pada 12 Agustus dari http:// www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/834-islam-politik-dan-kultural-.pdf 93 Bachtiar Effendi, “Tokoh Agama Tak Lagi Didengar,” artikel diakses pada 12 Agustus dari http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=47286
6777
organisasi keagamaan yang terjebak dalam kepentingan politik praktis dalam konstelasi politik Nasional, Daerah maupun Provinsi yang menyebabkan adanya stigmatisasi buruk terhadap eksistensi organisasi keagamaan. Hal tersebut, sebagaimana yang terjadi secara realitas pada organisasi Mathla’ul Anwar (MA) sebagai salah satu organisasi keagamaan atau kultural (pendidikan, dakwah dan sosial) mengalami penurunan dalam merespon permasalahan keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Terlebih, para elit MA masih menyatakan dukungannya kepada Partai Golkar beberapa bulan setelah lengsernya Soeharto. Karena, proses konsolidasi yang dilakukan oleh organisasi MA terperangkap dalam skenario reformasi semu yang diperankan para elitnya. Dimana adanya proses dualisme antara kepentingan kultural dan politik, karena tidak ada upaya dari para elit MA untuk menarik diri dan menjaga jarak dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru dan Golkar.94 Untuk menjaga independensi organisasi agar tidak terjebak pragmatisme politik,
Muktamar MA ke-XVI pada 26-30 Oktober 2001 di Bojolali, Jawa
Tengah.95 Organisasi MA menegaskan perjuangannya dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial sebagai fokus gerakannya untuk meningkatkan mutu dan
94
Tahun 1998, MA mengeluarkan statemen moral untuk memaafkan dosa-dosa Soeharto dan menghukum mereka yang menyakitinya, yang ditanda tangani M. Irsyad Djuwaeli dan Usep Fathudin (Golkar). Tahun 1999, sejumlah madrasah MA diberbagai daerah di Banten Selatan seperti Pandeglang, Ujung Jaya, dan cabang Madrasah MA di Indramayu dan Cirebon menghentikan operasinya, akibat ketua umum Irsyad Djuwaeli tidak responsif terhadap aspirasi dana pendamping biaya operasional pendidikan. Tahun 2000-2003 para elit MA mendukung pembentukan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” (Disertasi Leiden University: T.pn., 2007), h. 152-156. Selanjutnya lihat. “Tutut, Siapa Capres Yang Bakal Kau Contreng,” artikel diakses pada 13 September 2010 dari http://www.indonesia-monitor.com/main /index.php? option=com_content &task=view&id=1494&Itemid=33 95 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 48
6878
kualitas kehidupan bangsa dan negara dengan keputusan “untuk tidak berafiliasi lagi dengan partai politik apapun”, dan menetapkan M. Irsyad Djuwaeli sebagai ketua umum MA untuk ketiga kalinya periode 2001-2005. Keputusan
Muktamar
tersebut,
secara
kelembagaan
memberikan
kebebasan terhadap pilihan politik dan menumbuhkan optimisme para kader dan warga MA khsususnya di Daerah Menes-Banten dan wilayah lainnya dalam menyalurkan aspirasi politiknya tanpa diskriminasi dari para elit MA (tidak seperti di era Orde Baru). Nilai-nilai keterbukaan dan independensi yang diperjuangkan walaupun tidak seratus persen, merupakan sesuatu yang positif bagi perkembangan dan kemajuan organisasi MA dalam medistribusikan para kader untuk menggunakan “kendaraan” manapun sebagai alat penyalur aspirasi politiknya yang sesuai dengan AD/ART yang menyatakan tidak boleh membawa kepentingan pribadi dan partai politik kedalam organisasi MA, tetapi sebaliknya untuk kepentingan organisasi MA.96 Menurut Ali Nurdin,97 perubahan paradigma organisasi MA di era reformasi selain memberikan peluang organisasi untuk menata dan melakukan instrospeksi diri yang sebelumnya afiliasi para elitnya terpusat di partai Golkar. Pertama, perubahan orientasi politik MA sebelumnya mengalami ekslusivisme politik dan stigmatisasi negatif ketika segala keburukan Orde Baru yang disandarkan pada Golkar berdampak pada MA sendiri. Kedua, menumbuhkan semangat dan memperkuat inklusivisme organisasi, para anggota MA diberikan keleluasan untuk aktif dipartai politik manapun yang sesuai dengan hati 96
Wawancara Pribadi dengan Ketua PBMA KH. Ahmad Sadeli Karim. Menes, 7 Agustus
97
Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin, Ciputat, 20 Mei 2010.
2010.
6979
nuraninya, terutama yang memperjuangkan kesejahteraan dan tegaknya keadilan. Ketiga, menjaga eksistensi organisasi yang bergerak dalam bidang kultural. Namun, menurut Mohammad Zen,98 walaupun organisasi MA menyatakan independen (mandiri tanpa adanya ketergantungan) dan tidak lagi berafiliasi dengan partai politik. Tetapi, secara realitas tidak ditunjukan oleh ketua umum M. Irysad Djuwaeli dan tokoh-tokoh lainnya yang masih mendominasi untuk membawa kepentingan diri dan kelompok (Golkar) di atas kepentingan organisasi MA. Misalnya, seperti yang terjadi pada acara perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) MA ke-87, dan Rapat Kerja Nasional (rakernas) Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) tanggal 28-30 Mei 2004 di Bandar Lampung. Kebijakan-kebijakan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli yang dinilai terlalu “politis” memaksakan kehendaknya dengan memutuskan dan mendeklarasikan diri (tetapi secara organisasi tidak) secara sepihak membawa organisasi MA untuk menyalurkan aspirasi politiknya yang kemudian menginstruksikan kepada pengurus MA yang ada di daerah dan provinsi untuk menjadi pendukung (tim sukses) pasangan Presiden dan Wakil Presiden H. Wiranto dan Salahuddin Wahid pada pemilihan umum (pemilu) tahun 2004.99 Keputusan tersebut, selain menimbulkan reaksi keras dari para pengurus MA yang berbeda partai maupun non partai yang diakibatkan oleh sikap kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli yang dinilai otoriter dan arogan, bahkan tidak segan-segan melakukan pengusiran
98
Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010. Kebijakan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli selain mengajurkan pilihan politiknya untuk pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid, juga memberikan waktu orasi politik Wiranto pada acara Rekernas dan HUT MA ke-87 di Lampung. Sehingga membuat para peserta kecewa dengan sikap Ketua Umum yang dinilai hanya mementingkan karir politiknya. 99
7080
peserta atau pengurus didalam forum (acara HUT dan Rakernas MA) bagi mereka yang menolak “syahwat” politiknya.100 Hal tersebut terjadi, selain untuk kepentingan pribadi (M. Irsyad Djuwaeli) dan kelompok, juga karena kuatnya cengkraman elit Golkar yang mempunyai kepentingan untuk menjaga massa yang begitu besar dari MA. Langkah yang dilakukan Golkar adalah mendekati dan mempertahankan beberapa elit di tubuh MA untuk tetap masuk kedalam Partai Golkar. Asumsi yang dipakai adalah dengan istilah “ekor mengikuti kepala” dimana pilihan politik individu warga suatu organisasi keagamaan akan ditentukan atau disinyalir akan sama dengan pilihan politik organisasi atau pemimpinnya. Sehingga asumsi yang dibangun kemudian dapat diterima, khususnya para pemilih (Partai Golkar) yang memiliki kedekatan emosional yang kuat dengan organisasi keagamaan dan pemimpinnya dapat menjaga hubungan yang telah lama dibangun sejak munculnya Orde Baru sampai pasca Orde Baru tetap terpelihara. Hubungan historis dengan Golkar dan ikatan emosional para elit yang masih ada dalam struktural organisasi MA yang berkiprah di dunia politik menyebabkan konsentrasinya bercabang dua; pendidikan keagamaan dan politik kenegaraan. Tentunya, sebagai sebuah kekuatan politik yang mapan Golkar bukan tidak mungkin menarik dan mempertahankan massa untuk memperkuat posisi para elit organisasi keagamaan di partai Golkar pasca runtuhnya Soeharto. Kemudian, sistem dalam tubuh MA telah melanggengkan hubungan yang harmonis antara elit MA dengan Partai Golkar. Sehingga menyebabkan para elit 100
Mohammad Zen, ”Diusir dari Sidang Mathla’ul Anwar,” artikel diakses pada 13 September 2010 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/06/21/SRT/mbm.20040621 SRT92296.id.html
7181
MA non partisan seperti akademisi dan lain sebagainya tidak dapat menembus sistem yang telah terbentuk, hal ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Gambar 2.101 Harmonisasi Mathla’ul Anwar dan Partai Golkar Harmonisasi di tubuh MA dengan Partai Golkar
Elit yang terlibat dalam partai Golkar Elit non partisan terdiri dari para akademisi dan lain sebagainya
…Elit yang masuk dalam Partai Golkar seakan-akan tidak tersentuh oleh elit non partisan, sehingga terjadi harmonisasi di tubuh MA. Elit non partisan dan lainnya tidak dapat menyentuh sistem yang telah dibuat oleh elit partai dan elit pengurus MA. Tidak terjadinya pergeseran yang dilakukan oleh elit masa terhadap elit.
Proses harmonisasi hubungan simbiosis mutualisme antara MA dan Partai Golkar terjadi akibat tidak adanya ketegasan (sanksi) dari organisasi MA untuk merealisasikan peraturan-peraturan (AD/ART) bagi para elit-elit MA yang memiliki kepengurusan ganda, menjadi pengurus MA dan pengurus di partai politik (Golkar). Kondisi tersebut secara tidak langsung telah melegitimasi para elit untuk menjadi pengurus partai politik yang lebih dominan. Sementara garis demarkasi yang terlihat di gambar tidak dapat ditembus oleh para elit non partisan, mengingat akan terjadinya pergeseran ketika elit-elit yang tidak memiliki afiliasi politik tidak dapat menembus garis tersebut yang akan dapat merombak atau merubah sistem yang telah lama terbentuk antara MA dan Partai Golkar.
101
Hardi Putra Wirman, “Menakar Peran Politik Organisasi Sosial Keagamaan di Sumatera Barat Pasca Orde Baru Studi Kasus Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, ” artikel diakses pada 10 September 2010 dari http://dualmode.depag.go.id/acis09/file/dokumen/ HardiPutraWirman.pdf
7282
Selain itu, tidak adanya ketegasan dari organisasi MA menyebabkan kondisi tersebut memperkuat legitimasi adanya “proses pembenaran”102 para elit MA untuk tetap aktif di partai politik (Golkar) yang secara tidak langsung adanya stigmatisasi buruk terhadap organisasi MA. Walaupun, aspirasi warga MA yang non partisan menginginkan agar organisasi untuk tetap menjaga independensinya. Namun, kondisi tersebut terkadang berbenturan dengan kuatnya kepentingan politis para elit MA yang menjadi pengurus partai politik, justeru melegitimasi diri dengan menyatakan yang mereka lakukan merupakan bagian dari hak asasi dari individu-individu di organisasi MA. Meskipun demikian, sikap oposisi dari kaum idealis atau non partisan diberbagai daerah dan provinsi yang menuntut ketua umum M. Irsyad Djuwaeli dan elit-elit MA (Golkar) untuk menghormati dan memberikan keleluasan terhadap pilihan dan aspirasi politik para kader MA yang aktif diberbagai partai politik (selain Golkar) dan organisasi lainnya. Sebagaimana kebebasan dalam menyalurkan aspirasi politik merupakan hasil keputusan Muktamar MA ke-XVI 2001. Kuatnya aspirasi para kader untuk diberikan kebebasan menyalurkan aspirasi politik, maka aspirasi tersebut kemudian akhirnya diberikan oleh para elit MA untuk para kader yang aktif di partai politik dan organisasi lainnya, diberikan keleluasan pilihan politiknya pada putaran kedua pemilu 2004 (untuk putaran pertama warga MA disarankan memilih pasangan H. Wiranto dan Salahuddin Wahid). Selain itu, untuk memberikan kesempatan dan keleluasan warga MA
102
Wawancara Pribadi dengan KH. Wahid Sahari, Mantan Ketua Majlis Fatwa PBMA Menes, 07 Agustus 2010.
7383
yang mencalonkan diri di partai politik selain Golkar untuk menjadi wakil rakyat baik ditingkat Legislativ maupun di Eksekutiv. Kebebasan dan keleluasan untuk menyalurkan aspirasi politik pada akhirnya membuahkan hasil khususnya bagi para kader MA untuk mencalonkan diri di partai manapun. Para kader MA yang mendapat kesempatan duduk di Eksekutiv diantaranya adalah Andung Nitiharja (2004) sebagai Menteri Perindustrian pada kabinet Indonesia Bersatu, sementara kader-kader MA yang duduk di DPR RI adalah ketua umum organisasi Mathla’ul Anwar (MA) yakni M. Irsyad Djuwaeli (2004), Ali Yahya dan Usep Fathuddin menjadi anggota MPR RI (Fraksi Golkar-2004) yang ketiganya dari partai Golkar, Jajuli Juwaeni dari Partai Keadilan Sejahtera (2004-2010). Sedangkan untuk tingkat provinsi Banten dari PKS dan Partai Bulan Bintang (PBB) adalah KH. Sadeli Karim (2004), Mas’a Toyib (2004), Asnin Syafiuddin dan Jaenal Abibin Suja’i (2004), Bueti Nasir, Saris Priada Rahmat dan Babay Sujawandi dari Partai Bintang Reformasi (PBR2004). Untuk tingkat Kabupaten Pandeglang dan Serang adalah HM. Acang (2004-2010) dari Partai Golkar dan menjabat sebagai anggota DPRD, Aksan Sukroni dari Partai Amanah Nasional (PAN-2004)), Ace Zaenal Sholihin (PKS2004), A. Baehaqi (PBB-2004) dan Wahyudin Wahab (PBR-2004). Sedangkan ditingkat Kabupaten Serang terdapat tiga orang kader MA, yaitu H. Daifun dari Partai Persatua Pembangunan (PPP-2004) dan A. Basuni dari PAN, Mohammad
7484
Idjen (2004) anggota DPRD dari Fraksi PPP dan terakhir Ratu Tatu Chasanah (Wakil Bupati Serang periode 2010-2015).103 Realitas orietasi politik MA sebagaimana di atas, mengalami perubahan yang lebih akomodatif dari para elit MA untuk mentoleransi bagi anggota yang non Golkar maupun non partai. Sehingga anggota MA di era reformasi memiliki kebebasan dan keleluasan untuk menyalurkan aspirasi politiknya tidak hanya di satu partai maupun organisasi kemasyarakatn lainnya. Keleluasan dan kebebasan politik pada perkembangannya mendapat banyak keuntungan bagi organisasi MA yang lebih terbuka dan tidak lagi adanya stigmatisasi buruk. Selain itu, adanya kepedulian dari anggota dan warga MA untuk melakukan dan menata kembali kehidupan organisasi yang lebih maju dalam bidang kultural. Sehingga, beberapa anggota MA yang duduk dalam pemerintahan dapat membantu masalah pendanaan (sumbangan anggota) dan memperluas jaringan organisasi untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan pembangunan masyarakat.
B. Hubungan Mathla’ul Anwar Dengan Partai Politik Sesuai dengan rencana, tahun 2005 MA melaksanakan Muktamar ke-XVII dan Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) yang ke-89, di Pondok Gede Jakarta, dengan tema ”Revitalisasi Mathla’ul Anwar melalui tiga amal: Konsolidasi organisasi, Pendidikan, Dakwah dan Sosial (ekonomi)”. Muktamar secara resmi dibuka oleh Wakil Presiden RI. H. Muhammad Jusuf Kalla, dan ditutup oleh Ketua DPR RI H. R. Agung Laksono. Pada Muktamar MA ke-XVII, menetapkan 103
Wawancara Pribadi dengan Mohammad Idjen, Menes, 03 Agustus 2010. Selanjutnya lihat. Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 59-60
7585
M. Irsyad Djuwaeli sebagai Ketua Umum PBMA untuk keempat kalinya periode 2005-2010. Keputusan Muktamar MA ke-XVII, tidak menghasilkan keputusan yang signifikan dan tidak jauh berbeda dengan hasil Muktamar tahun 2001 (keXVII) yang memfokuskan gerakannya dalam bidang kultural yang bersifat independent. Menurut Herman Fauzi,104 terpilihnya kembali M. Irsyad Djuwaeli menjadi ketua umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) adalah: Pertama, proses kaderisasi ditubuh organisasi MA pada kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli selama lima belas tahun tidak berjalan dan cenderung eksklusiv (tertutup), hanya boleh dipegang oleh orang-orang dilingkungan ”Pemerintah dan Golkar”. Kedua, tidak adanya peraturan baik dalam AD/ART maupun Khittah MA (1916) yang menyatakan untuk berapakali periode seorang boleh menjadi Ketua Umum. Ketiga, sosok M. Irsyad Djuwaeli memiliki peran politik yang cukup besar utamanya dalam menyebarkan perkembangan MA di seluruh daerah dan provinsi di Indonesia (lihat Bab III). Selain itu, posisinya yang terhormat dan kharismatik menyebabkan dia mampu untuk mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau tanggapan (kritik) emosional warga MA sesuai dengan kepentingannya. Keempat, memiliki kekuatan baik secara finansial maupun jaringan diinternal dan eksternal (pemerintah), sehingga cukup menjadi alasan baginya untuk tidak memberikan peluang bagi orang lain menggantikan posisinya. Sedangkan menurut Syihabudin,105 sebelumnya sudah ada keinginan dari M. Irsyad Djuwaeli untuk tidak mencalonkan kembali dirinya menjadi Ketua 104 105
Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi, Menes, 14 Juni 2010 Wawancara Pribadi dengan H. A. Shihabudin, Menes, 4 Agustus 2010.
76 86
Umum. Pertama, adanya aspirasi dari Pengurus Daerah, Provinsi dan warga MA untuk mencalonkan kembali dirinya sebagai Ketua Umum PBMA periode 20052010, yang dinilai oleh beberapa kalangan pada kepemimpinannya cukup berhasil dalam membangun dan mengembangkan organisasi. Kedua, sebagai strategi untuk mencekal atau menghambat calon lain, karena sebagian dari Pengurus Daerah (khusus Banten) MA yang mengkhawatirkan dan keberatan apabila posisi Ketua Umum PBMA di pegang oleh dan dari kandidat lain yang mencalonkan diri seperti AS Panji Gumilang (Ma’had Al-Zaytun), yang memiliki kekuatan yang cukup kuat secara finansial, tetapi pemahaman
keagamaan “Islam” dan
“kenegaraannya” yang dinilai berbeda dengan mayoritas warga MA sendiri. Kemudian, untuk menghambat lolosnya Panji Gumilang menjadi Ketua Umum adalah melawan M. Irsyad Djuwaeli yang menjabat (icumbent) Ketua Umum PBMA memiliki massa pendukung dan berpengalaman. Selajutnya, M. Irsyad Djuwaeli selain sebagai Ketua Umum PBMA dan juga di DPP Partai Golkar sebagai Ketua Bidang Kerohanian, mempunyai ambisi yang cukup kuat untuk memperbesar kekuasaan yang puncaknya pada tahun 2006, Irsyad mencalonkan diri menjadi Calon Gubernur dengan menggandeng Mas Achmad Daniri sebagai Wakil Gubernur dari kalangan pengusaha pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Banten 2006.106 Pencalonan Irsyad dalam Pilgub Banten di 2006 mendapat Rekomendasi DPP Partai Demokrat (PD) dan DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). 106
Awalnya Provinsi Banten adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat. Sejak 4 Oktober 2000, Banten berdiri sendiri menjadi provinsi. Provinsi Banten terdiri dari empat kabupaten Serang, Tangerang, Pandeglang dan Lebak dan dua kotamadya Tangerang dan Cilegon. Lihat. Aat Royhatudin, ”Keterlibatan Jawara Dalam Pembentukan Provinsi Banten,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 2
7787
Sedangkan Partai Golkar yang justeru sebagai ”kendaraan” politik yang telah mengantarkannya menjadi Anggota DPR RI dalam Pemilu tahun 1992 dan 2004 tidak merestui dan menonaktifkan Irsyad dari DPR RI dari Golkar. Selain itu, keputusan hasil seleksi akhir diinternal Golkar dalam menentukan kandidat Pilgub Banten justeru pilihannya pada Ratu Atut Chosiyah (Plt Gubernur) yang dinilai secara politis lebih kuat baik secara finansial maupun jaringan yang sebelumnya pada 2001 menjabat sebagai Wakil Gubernur pada kepemimpinan Gubernur Djoko Munandar (PPP).
Kemudian, setelah melalui berbagai seleksi dan verifikasi oleh KPUD, akhirnya pada tanggal 3 Oktober 2006 sebagaimana tertuang dalam SK KPU Banten nomor 15/Kep-KPUD/2006, KPUD menetapkan 4 pasang calon untuk Pilgub Banten 2006.107 Pasangan M. Irsyad Djuwaeli- Achmad Daniri, walaupun tidak didukung oleh Partai Golkar dalam momentum Pemilukada 2006, tetapi pada dasarnya ia memiliki basis massa pendukung diakar rumput dari Pengurus Mathla’ul Anwar (MA) Banten yang secara kuantitas paling besar konstituen dan lembaga pendidikannya dibandingkan Daerah dan Provinsi lain sebagai modal kekuatan politiknya. Selain itu, Irsyad pun membentuk Laskar Muda Banten (LMB) yang dipersiapkan sebagai salah satu mesin politiknya untuk memobilisasi massa ditingkat bawah. Partisipasi politik atau dukungan di internal MA sendiri tidak 107
Susunan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Pilgub Banten 2006 dan Partai Pendukung dan Jumlah Kursi di DPRD. (1). Trjana Sam’un-Benyamin (PAN, 4 Kursi-PPP, 8 Kursi). (2) Ratu Atut Chosiyah-Masduki (Partai Golkar, 16 Kursi, PDIP, 10 Kursi, PBR, 5 Kursi, PBB, 3 Kursi, PDS, 2 Kursi, PKPB, 1 Kusi). (3). M. Irsyad Djuwaeli-Achmad Daniri (Partai Demokrat, 9 Kursi, PKB, 5 Kursi). Lihat. Laporan Penelitian “Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Provinsi Banten Tahun 2006 Regenerasi Sebuah Hegemoni Banten Institut,” artikel diakses pada tanggal 11 September 2010 dari http:// w ww .g oog le .co .id / se ar ch ?hl =id & cli ent=firefox-a&ie=UTF-8&q=laporan+akhir+pil kada+banten. pdf&lr=
78 88
bisa terlalu banyak diharapkan dalam memberikan suarannya untuk kemenangan Djuwaeli di Pilgub. Terlebih, Partai Golkar sendiri sudah cukup solid dengan dukungan untuk kemenangan pasangan Atut dan Masduki. Posisi MA, secara formal tidak terlibat langsung dalam politik praktis terkait dengan pencalonan M. Iryad Djuwaeli di Pilgub Banten. Tetapi secara umum, MA mengalami kondisi sebagaimana yang terjadi dalam organisasi Muhammadiyah dengan melakukan tidak adanya politik pemihakan atau political disengagement dari arus ”mabuk politik dan demokrasi” yang terjadi diseluruh masyarakat di Indonesia.108 Konsekuensi dari political disengagement adalah terjadinya penyebaran atau pemencaran warga MA dalam berbagai partai politik (parpol) baik yang berideologi nasionalis religius Islam (PBB, Partai Politik Islam Masyumi, PUI) maupun nasionalis ”sekuler” (PAN, Golkar, PDI dan lain sebagainya). Sehingga, hasilnya tidak ada satupun parpol yang dapat diidentifikasikan dengan MA (di era Orde Baru MA identik Golkar), maka, dengan adanya penyebaran tersebut, warga MA sebagai sebuah komunitas atau kesatuan tidak dapat memiliki peranan yang sigifikan dalam proses politik untuk kemenangan pencalonan M. Irsyad Djuwael dalam Pilgub Banten. Karena, penggabungan atau penyatuan para elite MA dalam satu partai partai politik merupakan hal yang tidak strategis dan demokratis, mengingat banyaknya dampak yang diterima oleh organisasi MA. Pertama, partai tersebut akan dicap sebagai partainya orang MA dan di luar MA akan menjaga jarak dan 108
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Hubungan Antar Umat., h. 97
7989
akhirnya partai tersebut tidak berkembang, karena hanya akan diisi oleh warga MA, dan mereka tidak dapat mengembangkan sayap kepada kelompok lain. Kedua, MA akan terkena imbas ketika beberapa tokoh yang ada di partai politik tersebut bermasalah sehingga akan merugikan MA secara kelembagaan. Ketiga, MA tidak mempunyai akses lagi kepada partai lain, sehingga perkembangan organisasi hanya akan terbatas pada satu partai politik saja.109 Sehingga, kekalahan yang dialami oleh M. Irsyad Djuwaeli dalam Pilgub Banten yang memiliki massa dari organisasi MA (Banten) yang terbesar di Indonesia. Tetapi, dalam kenyataannya mengalami kekalahan, karena MA merupakan organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural yang bersifat independent tidak berafiliasi dengan partai politik maupun salah satu calon di Pilgub sekalipun itu Ketua Umum PBMA. Secara realitas, MA sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas bahwa, hubungan antara MA dan Partai Politik hanya bersifat personal tak langsung dengan organisasi. Namun, Pada kasus-kasus tertentu, terdapat proses dalam tubuh organisasi MA sendiri yang menunjukkan keterlibatan dalam pembentukan dan dukungan partai politik yang dibidani oleh tokoh-tokoh MA. Pada kasus lain, keterlibatan itu bersifat praktis dan hanya melibatkan tokoh-tokoh MA.110 Dari kenyataan sosiologis di atas, hubungan MA dan politik tidaklah tunggal, melainkan menunjukkan pola yang beragam. Pola hubungan antara MA dan politik dapat ditunjukkan dalam tiga varian yaitu pertama, hubungan yang
109 110
Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010. Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi, Menes, 14 Juni 2010.
8090
bersifat formal dan langsung; kedua, hubungan yang bersifat personal dan tidak langsung; dan ketiga, hubungan yang lebih netral dan murni. Dinamika perjalanan MA secara politis dapat diklasifikasikan atas dua orientasi, yaitu orientasi politis struktural dan orientasi politis kultural. Orientasi politis struktural atau politik yang berorientasi kekuasaan dilakukan melalui alatalat kekuasaan dan mobilisasi massa. Dalam konteks Menes-Banten, keterlibatan MA dalam politik praktis dapat dilihat pada indikator kemenangan beberapa tokoh MA (Eksekutif dan Legislatif) di parpol selain Golkar. Walaupun MA dan parpol tidak memiliki hubungan organisasi. Tetapi, MA bersifat mengayomi partai politik manapun dan menjaga kedekatan dengan partai politik untuk berjuang bersama-sama dalam membangun masyarakat yang bersifat horizontal, yaitu MA melakukan strategi pengembangan amal usaha yang dikembangkan secara merata, dan juga melalui metode dakwah baik formal maupun informal.
C. Partisipasi Mathla’ul Anwar Dalam Politik Pasca Orde Baru Tahun 2010, MA melaksanakan Muktamar ke-XVIII dan Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-94 yang diselenggarakan pada tanggal 16-19 Juli di Hotel Sol Elite Marbela Anyer Serang-Banten yang dibuka langsung oleh Menteri Agama RI Suryadarma Ali, dengan tema "Reposisi Peran Mathla’ul Anwar dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang Unggul dan Berakhlakul Karimah," dengan tema tersebut diharapkan akan dapat melahirkan generasi-generasi muda yang kritis dan progresif yang mampu menjadi generasi muda MA sebagai mercusuar yang menerangi kehidupan bangsa dan negara.
8191
Selain itu, Muktamar MA ke-XVIII merupakan momentum untuk melakukan penataan organisasi melalui pergantian Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) untuk periode 2010-2015, dan melakukan konsolidasi antar pengurus dan ajang Silaturrahim Keluarga Besar MA dari 26 Pengurus Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota se-Indonesia.111 Pada Muktamar ke-XVIII, menetapkan KH. Ahmad Sadeli Karim sebagai Ketua Umum PBMA periode 2010-2015, Muktamar MA menghasilkan beberapa keputusan yang cukup signifikan, utamanya dalam melakukan perubahanperubahan yang tepat untuk menancapkan tonggak sejarah yang akan menentukan masa depan MA kembali menjadi ormas keagamaan yang sesungguhnya yang bermartabat dan kuat (solid). Pertama, MA menegaskan kembali sebagai organisasi keagamaan (kultural) yang independent dan tidak menjadi underbouw (antek) Partai Politik dan organisasi manapun. Kedua, menjalin dan membangun jaringan (network) dengan ormas-ormas keagamaan lainya seperti NU, Muhammadiyah dan lain sebagainya sebagai upaya untuk memperkenalkan dan menyebarkan MA di Daerah dan Provinsi yang belum ada baik pengurus cabang maupun lembaga pendidikan Mathla’ul Anwar seperti di Papua Barat, Gorontalo dan Bali. Ketiga, melarang Ketua Umum PBMA merangkap dua jabatan baik di Partai Politik Maupun organisasi lainnya. Keempat, membatasi masa jabatan Ketua Umum PBMA paling banyak 2 (dua) periode setelah terpilih.Kelima,
111
"Muktamar Mathla’ul Anwar Jadi Momentum," Radar Bamten, 18 Juli 2010
82 92
meningkatkan gerakannya dalam pembangunan pendidikan atau madrasah Mathla’ul Anwar yang berorientasi ke kota tidak hanya dipedesaan.112 Kemudian, independensi MA ditegaskan pula oleh M. Irsyad Djuwaeli113 bahwa, MA pasca Muktamar (2010) dan kepemimpinannya selama 20 tahun menjadi Ketua Umum PBMA, melarang Ketua Umum PBMA kedepan adanya dualisme antara kepentingan politik dan kultural, sedangkan untuk para anggota dan pengurus MA tidak ada sanksi (larangan) aktif di partai politik dan organisasi lainnya, dengan catatan tidak diperbolehkan membawa kepentingan pribadi dan kelompok kedalam organisasi MA (tidak seperti pada era kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli). Sejarah
perjalanan
MA
dengan
segala
bentuk
kemajuan
dan
kemundurannya, seringkali MA disuguhi "dramatisasi" elit politik dengan berbagai manuvernya bukan untuk memperjuangkan rakyat, terutama bagi kaum marginal, melainkan hanya mengikuti syahwat politiknya, yaitu kepentingan pragmatis-ekonomis kekuasaan. Hal tersebut yang telah melahirkan rasa skeptisisme dan rasa apriori bagi sebagian kalangan dimasyarakat terhadap kinerja para politisi, sebagaimana terlihat dengan adanya fenomena penurunan tingkat
112
Peraturan untuk calon Ketua Umum PBMA periode 2010-2015 tidak merangkap jabatan. Seperti, posisi Ahmad Sadeli Karim sebelum menjadi Ketua Umum PBMA adalah Ketua Majlis Pengurus Wilayah (MPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Banten. Kemudian, untuk mentaati aturan, akhirnya Sadeli membuat pernyatan pengunduran diri dari jabatan MPW Partai PKS baik secara tertulis maupun lisan. Wawancara Pribadi dengan Ketua Umum PBMA KH. Ahmad Sadeli Karim, Menes, 07 Agustus 2010. Selanjutnya Lihat. ”Mathla’ul Anwar Tidak Menjadi Bagian Partai Politik,” artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http:// banten. antara news.com/berita/13395/mathlaul-anwar-tidak-menjadi-bagian-partai-politik 113 Jaenal Abidin, ”Irsyad Siap Berhenti Pimpin MA,” artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http://mediabanten.com/berita-517-irsyad-siap-berhenti-pimpin-ma.html
8393
partisipasi masyarakat (khususnya MA) terhadap proses demokratisasi demi kemajuan bangsa Indonesia.114 Bagaimanapun, dewasa ini tidak dapat di pungkiri bahwa peran tokoh atau elit keagamaan (ulama, intelektual, cendikiawan) dalam sebuah organisasi keagamaan sangat membantu dalam menentukan pilihan politik konstituen seperti dalam Pemilu dan lain sebagainya. Karena, seorang tokoh tersebut menjadi panutan banyak orang atau minimal di puja karena ide-idenya dengan modal kharisma dan kekuasaan yang dimiliki.115 Maka tak heran apabila banyak partai politik yang memperebutkan dan mendekatinya dengan harapan memperoleh suara dari para konstituen yang memiliki hubungan emosional dengan para elit organisasi tersebut. Suryadharma Ali (Menteri Agama RI) dalam sambutan pembukaan Muktamar Mathla’ul Anwar ke-XVIII dan HUT MA ke-94 di Anyer SerangBanten mengatakan bahwa, keberhasilan para ulama (intelektual, cendikiawan) pada masa terdahulu, telah mampu memberikan kontribusi riil (nyata) kepada bangsa, negara dan umat baik dalam bidang pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat (sosial) tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih. Karena, keberhasilan para ulama tersebut bukan karena memiliki kekayaan harta atau melimpahnya dana yang dimiliki, tetapi kesuksesannya adalah oleh jiwa semangat idealisme dan keikhlasan dalam melakukan sesuatu. Bagaimanapun,
114
M. Irsyad Djuwaeli, Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus Besar Mathla’ul Anwar Periode 2005-2010, Makalah disampaikan pada Acara Muktamar MA ke-XVIII dan HUT MA ke-94 di Anyer-Serang Banten, 16-19 Juli 2010, h. 1 115 Haniah Hanafi, ”Transformasi Peran Ulama Dalam Pergerakan Politik,” Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. VIII, No. 1, 2006 (Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 49
8494
spirit keikhlasan dan tak kenal lelah itulah yang menjadikan ulama atau elit keagamaan memiliki peran strategis di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mesti diteladani dan dibangun oleh MA dewasa ini.116 Realitas yang ada menunjukan, umumnya ormas-ormas (keagamaan) di Indonesia disinyalir telah dimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan politik para elit ormas. Kepatuhan dan ketaatan terhadap Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) sebagai pondasi organisasi sudah tidak ditaati dan digubris oleh para elit ormas tersebut. Oleh karena itu, MA pada momentum Muktamar (2010) ini, diharapkan dapat kembali pada tujuan (Khittah) utamanya ketika pertama kali didirikannya (1916), MA harus kembali berfungsi sebagai pembangun keummatan, kenegaraan dan kebangsaan serta menjadi pengawal moral yang berdiri sendiri secara netral di atas semua golongan.117 Sedangkan peran politik MA yang dapat diambil dan dimainkan tanpa harus terperangkap dalam pergulatan politik praktis, yaitu ; MA dapat mengambil posisi sebagai kekuatan politik atau “kekuatan moral” yang memainkan fungsi selaku kelompok kepentingan atau sebagai kelompok penekan yang efektif yang berusaha mempengaruhi kebijakan negara atau pemerintah (Pusat dan Daerah) tanpa harus memperoleh jabatan-jabatan politik. Sebagaimana yang ungkapan Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Din (1933) yang dikutip oleh Ali Rahmena bahwa, dekatnya ulama (intelektual, cendikiawan) atau para elit kegamaan terhadap kekuasaan atau pemerintah, akan menghilangkan daya kontrol ulama terhadap penguasa. Sehingga, hilangnya daya kontrol ulama 116
“Spirit Ulama Harus Dihidupkan,” Radar Banten, 18 Juli 2010, h. 1. Iin Solihin, “Jelang Muktamar ke-18 Mathla’ul Anwar Kembali ke Khittah 1916,” Kabar Banten, 14 Juli 2010, h. 8. 117
8595
terhadap penguasa menyebabkan terjadinya demoralisasi terhadap ulama atau elit keagamaan yang dapat merusak moral pemerintah atau penguasa yang berdampak buruk bagi masyarakat, hal tersebut sebagaimana dewasa ini terjadi di Indonesia dengan adanya budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).118 Dari komitmen ini, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa partisipasi politik Mathla’ul Anwar pasca Muktamar 2010 dalam konstelasi politik baik ditingkat Nasional, Provinsi maupun Daerah, secara kelembagaan bersifat independent dan di atas semua golongan. Walaupun keterlibatan tokoh-tokoh MA dalam politik praktis merupakan bukan hal yang baru, karena memang sudah dijalani oleh tokoh-tokoh MA sejak awal berdirinya organisasi, seperti yang dilakukan oleh KH. Entol Yasin, KH, Mas Abdurahman (1916-1920), KH. Uwes Abu Bakar, KH. Nafsirin Hadi (1945-1970), M. Irsyad Djuwaeli (1980-2009) dan tokoh lainnya. Dewasa ini, beberapa tokoh MA (kecuali Ketua Umum PBMA) yang masuk dalam partai politik dilandasi oleh beberapa pemikiran. Pertama, karena mereka ingin menjadikan politik sebagai areal atau media dakwah yang mampu membawa perubahan bagi partai yang mereka masuki. Kedua, mereka melihat bahwa partai tersebut mampu mengembangkan potensi dan naluri politik yang mereka miliki. Ketiga, masuk dalam partai politik adalah upaya untuk memperoleh kekuasaan dan untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga menghasilkan pemerintahan yang kuat dan dapat mensejahterakan masyarakat.
118
Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, Cet: II, 1996), h. 11
8696
Secara personal orang-orang MA dituntut memainkan peran-peran politik itu secara efektif dan produktif dan jangan sampai melakukan uzlah (keluar dari komunitas) politik. Karena politik hendaknya dipandang secara positif dan dijadikan media dakwah yang dimainkan secara beradab dan bermoral untuk pencerahan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan secara universal Sedangkan secara institutional, MA dituntut untuk merevitalisasi peran politik sebagai kelompok kepentingan yang memainkan berbagai macam fungsi politik tanpa harus terperangkap pada permainan riel politik atau politik praktis. Pertama, mengenai politik dalam konteks ajaran Islam sebagai ajaran yang menyeluruh yang menyangkut aspek aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat dunyawiyah. Politik sebagaimana aspek-aspek kehidupan lainnya termasuk ke dalam bagian dari ibadah dalam artian umum atau merupakan wilayah dari mu’amalah, yang harus dijamah dan dikelola oleh MA sebagai bagian tedak terpisahkan dari misi membentuk masyarakat utama dan mengemban pesan rahmatan lil ‘alamin. Kedua, politik sebagai bagian penting dari kehidupan dan merupakan instrument dakwah. Bahwa politik sebagai bagian dari al-amr ad-dunya (urusan dunia) merupakan komponen kehidupan yang penting dan strategis sebagaimana bidang kehidupan lainnya, yang tidak kotor, hina dan jahat sebagaimana kesan umum dalam pandangan yang negative tentang politik. Politik itu dapat menjadi baik, mulia dan bersih manakala dibingkai oleh moral dan diperankan oleh orangorang yang juga bermoral sehingga melahirkan politik yang berkeadaban.
87 97
Ketiga, masalah implikasi dari sikap negative terhadap politik, selain bertentangan dengan pandangan dasar keagamaan MA sebagai pembangun atau pengawal moral keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Tentunya, partisipasi politik MA akan berpengaruh dan bermanfaat untuk mempengaruhi suatu kebijakan pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Karena, hal tersebut jika tdak dilakukan selain bertentangan dengan hakikat MA sendiri sebagai pengawal moral, juga berdampak terjadi marginalisasi bagi organisasi MA dari dunia kultural maupun struktural yang pada akhirnya tidak mustahil MA sendiri akan menjadi korban politik kekuatan-kekuatan lain. Keempat, menyangkut tuntutan dan pertanggungjawaban atas moralitas politik. Bahwa jika kekuatan-kekuatan sosial-keagamaan yang memiliki misi luhur dan didukung massa yang besar seperti MA tidak mengambil bagian dalam proses politik nasional secara aktif, maka dunia politik pada khususnya dan nasib bangsa pada umumnya akan merasa rugi karena tidak memperoleh sentuhan moralitas nilai-nilai keagamaan yang dibawa oleh gerakan-gerakan keagamaan seperti MA.
D. Masa Depan Mathla’ul Anwar, Antara Peluang dan Tantangan 1. Peluang Sebagai organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial (ekonomi), MA telah melewati masa-masa perjuangannya yang cukup panjang. Kini diusianya yang ke- 94 tahun, MA berjuang dan berkhidmat kepada masyarakat dengan senantiasa menebar cahaya, berupaya secara terus
8898
menerus dan konsisten merubah kondisi masyarakat yang diliputi kebodohan dan keterbelakangan menjadi masyarakat maju dan cerdas yang bertakwa kepada Allah SWT. Ormas keagamaan baik secara teoritis-normatif maupun historis-empirik, menempati posisi strategis dalam melakukan pemberdayaan kultural dan politik masyarakat. Secara historis, posisi yang pernah dimainkan memiliki effektivitas melebihi peran dan posisi yang dimainkan oleh organisasi politik formal (Partai Politik). Karena itu, organisasi politik formal sulit memperlihatkan konsistensi pada suatu prinsip, antara lain karena strategi politik yang dilatari oleh kepentingan-kepentingan politik yang terkesan pragmatis. Kekuatan-kekuatan kultural yang dimiliki oleh ormas keagamaan pada era reformasi, tetap menawarkan peluang yang besar untuk memainkan peran penting dalam melakukan pemberdayaan kultural dan politik masyarakat. Sekalipun ormas keagamaan memiliki ketangguhan kultural, ini tidak berarti bahwa hanya mampu bermain diseputar lingkar wilayah kultural, karena wibawa serta potensi kultural yang dimilikinya tetapi diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan struktural (pemerintah). Sehingga dengan demikian Ormas keagamaan memiliki kekuatan dan potensi untuk melakukannya dengan pendekatan kultural maupun struktural sekaligus. Dengan demikian, peran ormas keagamaan selain memperluas perannya dalam proses menciptakan kesejahteraan keumatan, kenegaraan dan kebangsaan, juga akan memperkuat organisasi untuk lebih maju dan dituntut untuk mererspon setiap permasalan-permasalahan kekinian.
8999
2. Tantangan MA sebagai organisasi keagamaan terbesar di Banten dan terbesar ketiga di Indonesia setelah NU (1926) dan Muhammadiyah (1912). Tetapi, MA merupakan salah satu organisasi keagamaan yang kurang dikenal baik dikalangan akademisi maupun dikalangan masyarakat muslim umumnya. Menurut Ali Nurdin,119 ada tiga alasan yang menyebabkan MA kurang dikenal. Pertama, MA sejak awal pendiriannya (1916) hingga dewasa ini memfokuskan gerakangerakanya (kultural) di wilayah pedesaan atau pinggiran. Kedua, akibat kurangnya perhatian publik (media cetak dan elekronik). Ketiga, kontribusi MA dalam politik mempunyai pengaruh yang relatif kecil. Hal senada juga diungakapkan oleh Herman Fauzi,120 selain MA masih orientasinya ke pedesaan, akibatnya tak jarang warga MA tidak mendapatkan informasi. Pertama, MA kedepan dalam gerakannya harus berorientasi kota, karena akses untuk mendapatkannya berada diwilayah perkotaan. Sehingga hal ini tentunya turut memandekan dunia pendidikan yang merupakan unsur penting dalam membangun sebuah peradaban besar. Kedua, MA saat ini mengalami degradasi menyangkut persoalan ideologi yang tidak pernah dievaluasi dalam konteks hubungan sosial, tetapi MA lebih fokus kepada soal-soal fiqiyah. Ketiga, pada kepemimpinan Ketua Umum. Irsyad Djuwaeli selama 20 tahun telah menghilangkan independensi MA yang terkooptasi untuk kepentingan politik praktis dan untuk kepentingan pribadi. Sehingga, menyebabkan warga MA kehilangan sebagian hasrat warga MA untuk membangun dan bergabung dengan 119 120
Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin. Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi.
100 90
MA lagi. Keempat. rendahnya aksebilitas terhadap pemerintah baik Pemerintah Daerah maupun Pusat untuk menjalin kerja sama dalam program pemberdayaan masyarakat secara luas. Kelima, tidak adanya kesinambungan komunikasi antara pengurus ditingkat Pusat (PBMA), Daerah, Provinsi dan konstituen sebagai sarana untuk memperkuat institution building. Maka dari itu, sudah selayaknya organisasi MA meninjau kembali untuk meningkatkan kiprahnya disegala aspek.
101
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Mathla’ul Anwar (MA) sebagai salah satu organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural (pendidikan, dakwah dan sosial) memiliki posisi yang strategis dan khas dibandingkan dengan organisasi lain umumnya. Pertama, bahwa secara khusus ormas keagamaan dibentuk bukan untuk mencari keuntungan apalagi yang bersifat material financial. Kedua, organisasi sosial keagamaan berada di luar wilayah organisasi pemerintah dan nonpolitik. Ketiga, bahwa dalam gerakan atau kegiatannya lebih memusatkan sasarannya pada kepentingan untuk kemajuan keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Secara umum, peran ormas keagamaan dalam pemberdayaan terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat muslim di Indonesia. Pertama, ormas keagamaan telah memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat muslim. Kedua, sebagai media atau menjadi “kendaraan” untuk memobilisasi sosial untuk melakukan identifikasi keagamaan dimana umar Islam menegaskan kerjasama sosialnya dan pandangan keagamaanya. Ketiga, ormas keagamaan memberikan rasa aman untuk pelarian politik dan kelompok solidaritas diluar etalase politik. Keempat, ormas keagamaan membentuk makna yang efektif untuk mengekspresikan ide-ide dan pilihan politik mereka. Kelima, melalui struktur organisasi yang ekstensif, network, dan hiraki mereka memberikan pelayanan sebagai sarana latihan kepemimpinan dan untuk
91
102 92
melahirkan pemimpin-pemimpin muslim yang siap menghadapi tantangan jaman.121 Maka, keterlibatan organisasi keagamaan dalam bidang politik praktis yang diperankan baik secara organisasi maupun oleh para elit keagamaan (ormas) selain telah menyalahi atau mengkhianati Khittah dan AD/ART sebagai pondasi dari visi dan misi didirikannya organisasi keagaman untuk menciptakan kesejahteraan dan mencerdaskan masyarakat secara umum yang bersifat independent yang berdiri diatas semua golongan. Secara umum, tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi keagamaan adalah untuk mencapai tujuan yang bersifat makro yang meliputi: faktor ekonomi, politik, hukum, budaya, ekologi (lingkungan) dan faktor Sosial.
B. Saran-Saran Dalam penghujung tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa buah saran, yaitu: Pertama, MA sebagai organisasi keagamaan kultural terbesar di Banten dan ketiga di Indonesia setelah NU dan Muhammadiyah. Secara kuantitas tidak dikenal oleh masyarakat secara umum, MA dimasa depan tidak hanya memfokuskan gerakannya diwilayah pedesaan atau pinggiran, tetapi juga harus diperkotaan untuk mendapatkan dan meningkatkan akses atau jaringan serta segala informasi.
121
Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” (Disertasi Leiden University: T.pn., 2007), h.3-4
93103
Kedua, MA dimasa depan tidak hanya bergerak dalam bidang kultural dan juga sekaligus peran struktural yang terorganisir. Peran struktural, sebagai strategi untuk berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan kebijakan-kebijakan untuk menjadi trend maker (penentu kecenderungan) dalam merespon terhadap permasalahan keumatan, kenegaraan dan kebangsaan Ketiga, MA harus lebih meningkatkan komunikasi antar Pengurus Pusat (PBMA), Daerah, Provinsi dan konstituen untuk memperkuat institution building. Selain itu, MA sebagai organisasi nasional, diawal pendiriannya hingga dewasa ini, adanya primodialisme atau dominasi dari masyarakat Banten dalam perebutan jabatan atau kursi baik posisi Ketua Umum PBMA, Dewan Pengurus Pusat dan Dewan
Majlis
Fatwa.
kedepan,
MA
seharus
dapat
mengayomi
dan
mengedepankan integritas dan kapasitas seorang pigur atau ketokohan dari berbagai latar belakang kedaerahan dan kesukuan. Kelima, MA harus meningkatkan kualitas pendidikan (madrasah), dakwah dan sosial (ekonomi) untuk mencetak generasi muda MA yang sesuai dengan Imtak (iman dan takwa) dan iptek (informasi dan teknologi). Demikian penutup dari skripsi ini. Semoga dapat memberikan manfaat. Amien
104
DAFTAR PUSTAKA Al-Qu’ran dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2000 Azra, Azyumardi Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Hubungan Antarumat., ed. Idris Thaha. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002 Alweilah, A. Chaedar Pokoknya Kualitatif, Dasar-Dasar Merancang dan Melaksanakan Penelitian Jakarta: Pustaka Jaya, 2002 Black, James A. dan Champion, Dean J Metodologi Dan Masalah Penelitian Sosial Bandung: PT Refika Aditama, 2001 Badudu, J.S. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996 Budiarjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasasn Obor Indonesia, 1998 . Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005 Dhofier, Zamakhsyari Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai Jakarta: LP3S, 1985 Djuwaeli, M. Irsyad. Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI. Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996 . Sejarah dan Khitthah Mathla’ul Anwar. Jakarta: Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, 1996 Ecip, Sinansari. NU Khittah dan Godaan Politik. Bandung: Mizan, 1994 Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998 Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim, Pencarian dan Pergulatan PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004 Gaffar, Afan. Merangsang Partisipasi Politik Rakyat Dalam Demitologisasi Politik Indonesia Mengusung Elitisme dalam Orde Baru. Jakarta: Cidesindo, 1998 Hudaeri, Mohammad, ed.. Tasbih dan Golok Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten. Serang: Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2007 94
105 95
Huntington, Samuel P dan Nelson, Joan. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta, 1990 Islam, Ensiklopedi. Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994 Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984 Kazhim, Musa dan Hamzah, Alfian Lima Partai Islam Dalam Timbangan, Analis dan Prospek. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999 Liddle, R. William. Islam, Politik dan Modernisasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997 Maran, Rafael Raga. Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001 Nata, Abuddin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo, 2001 Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam Di Indoneseia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1995 . Islam Pancasila dan Asas Tunggal. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983 Paige, Jeffry M. Political Orientation and Riot Participation. dalam American Sosiological, Review, Oktober, 1991 Pribadi, Toto dkk. Sistem Politik Indonesia Jakarta: Universitas Terbuka, 2006 Partanto, Pius A. dan Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994 Rahardjo, Dawam (ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1985 Rahman, Arifin. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: SIC, 2002 Rahmena, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan, 1996 Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004 Suprayogo, Imam Metodologi Penelitian Soaial Agama Bandung: Rosda, 2002 Sarjaya, Syibli. dkk. Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar. Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996
106 96
. Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar. Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996 Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1999 Tanthowi, Pramono U. Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di Indonesia, 1990-2000. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005 Yulianto, Arif. Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru Ditengah Pusaran Demokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 Yuliati, Dewi Semaoen: Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang. Semarang: Bendera, 2000
Artikel Koran, Makalah, Jurnal, Skripsi, Disertasi dan Websate: Abidin, Jaenal. ”Irsyad Siap Berhenti Pimpin MA,” artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http://mediabanten.com/berita-517-irsyad-siap-ber henti-pim pin -ma.html Azra, Azyumardi. “Islam: Politik dan Kultural,” artikel diakses pada 12 Agustus dari http:// www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/834-islam-politik-dankultural-.pdf
Djuwaeli, M. Irsyad. Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus Besar Mathla’ul Anwar Periode 2005-2010, Makalah disampaikan pada Acara Muktamar MA ke-XVIII dan HUT MA ke-94 di Anyer-Serang Banten, 16-19 Juli 2010, h. 1 Effendy, Bahtiar. “Tokoh Agama Tak Lagi Didengar,” artikel diakses pada 12 Agustus dari http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=47286 Hanafi, Haniah. ”Transformasi Peran Ulama Dalam Pergerakan Politik,” Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. VIII, No. 1, Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006 Hasan, Amirul ”Pengaruh Media Terhadap Tingkat Partisipasi Politik Studi Kasus Partisipasi Politik Masyarakat Ciputat Pada Pilkada Provinsi Banten Tahun 2006,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007 Rosidin, Didin Nurul. Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007.
107 97
. “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” Disertasi Leiden University: Fakulty of Humanity, 2007 Royhatudin, Aat. ”Keterlibatan Jawara Dalam Pembentukan Provinsi Banten,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004 Solihin, Iin. “Jelang Muktamar ke-18 Mathla’ul Anwar Kembali ke Khittah 1916,” Kabar Banten, 14 Juli 2010, h. 8. Syatibi, Aas. ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” Skripsi S1 Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006 Wirman, Hardi Putra. “Menakar Peran Politik Organisasi Sosial Keagamaan di Sumatera Barat Pasca Orde Baru Studi Kasus Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah,” artikel diakses pada 10 September 2010 dari http://dualmode.depag.go.id/acis09/file/dokumen/ Hardi Putra Wirma n.pdf Zen, Mohammad. ”Diusir dari Sidang Mathla’ul Anwar,” artikel diakses pada 13 September 2010 dari http :// majalah .tempointeraktif .com/id/arsip /2004 /06/21/SRT/mbm.20040621 SRT92296.id.html "Muktamar Mathla’ul Anwar Jadi Momentum," Radar Bamten, 18 Juli 2010 “Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Provinsi Banten Tahun 2006 Regenerasi Sebuah Hegemoni Banten Institut,” artikel diakses pada tanggal 11 September 2010 dari http:// w ww .g oog le .co .id / se ar ch ?hl =id& cli ent=firefox-a&ie=UTF-8&q= laporan +akhir+pil kada + ba n t en. pdf&lr= “Spirit Ulama Harus Dihidupkan,” Radar Banten, 18 Juli 2010, h. 1. “Tutut, Siapa Capres Yang Bakal Kau Contreng,” artikel diakses pada 13 September 2010 dari http://www.indonesia-monitor.com/main /index.php? option=com_content &task=view&id=1494&Itemid=33 ”Mathla’ul Anwar Tidak Menjadi Bagian Partai Politik,” artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http:// banten. antara news.com/berita/13395/mathlaulanwar-tidak-menjadi-bagian-partai-politik