MATERI PEMBELAJARAN BAHASA DALAM KONSEP PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN YANG UTUH Oleh Ika Rama Suhandra, M. Pd. (Dosen Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram) Abstrak Selaku subyek yang memiliki potensi untuk melakukan prakarsa, rasa, karsa, karya bahkan prestasi, manusia tidak bisa lepas dari proses ingin tahu akan sebuah fenomena. Salah satu cara untuk mencapai keingintahuan tersebut adalah melalui proses pendidikan dan pembelajaran baik formal maupun informal. Kebutuhan akan ilmu pengetahuan mengharuskan para penggiat, ilmuan dan filusuf pendidikan untuk melakukan rekonstruksi atau bahkan melakukan dekonstruksi ulang tentang pendidikan yang layak bagi umat manusia dari masa ke masa.
17
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang multidimensi atau biasa disebut dengan beragam istilah seperti: homo faber, homo sapiens, homo rationale, animale social. Penamaan tersebut berdasarkan pada potensi utama yang dimiliki manusia sebagai makhluk diantara makhluk-makhluk lain di dunia ini. Manusia lahir dengan potensi kodratinya berupa: cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah kemampuan spiritual yang mempersoalkan nilai ‘kebenaran’. Rasa adalah kemampuan spiritual yang mempersoalkan nilai ‘keindahan’ dan karsa adalah kemampuan spiritual yang mempersoalkan ‘kebaikan’. Dengan ketiga potensi ini manusia selalu terdorong untuk ingin tahu dan bahkan mendapatkan nilai kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang terkandung didalam segala yang ada (Suhartono, 2006: 53). Melalui nilai-nilai tersebut manusia dapat menentukan filsafat hidup, pedoman hidup, dan sikap serta perilaku hidup sehingga hidupnya senantiasa terarah ke pencapaian tujuan hidup. Muhammad Noor Syam (1988: 161-169) menjelaskan bahwa manusia juga dipandang sebagai satu organisme yang hidup di dalam antar hubungan dan antar aksi sosial baik terhadap lingkungan fisik, lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sehingga manusia itu bukan hanya sebagai makhluk pribadi tetapi sebagai makhluk yang aktif dan dinamis melakukan peranan sebagai subyek yang mempunyai potensi lahir bathin untuk melakukan prakarsa, rasa dan karsa bahkan karya dan prestasi karena dorongan yang komplek seperti karena faktor kebutuhan, cinta, pengabdian bahkan tanggung jawab, kewajiban, harga diri dan nilai-nilai. Dengan demikian manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk susila. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, selaku subyek yang memiliki potensi untuk melakukan prakarsa, rasa, karsa, karya bahkan prestasi, manusia tidak bisa lepas dari proses ingin tahu akan sebuah fenomena. Salah satu cara untuk mencapai keingintahuan tersebut adalah melalui proses pendidikan dan pembelajaran baik formal maupun informal. Kebutuhan akan ilmu pengetahuan mengharuskan para penggiat, ilmuan dan filusuf pendidikan untuk melakukan rekonstruksi atau bahkan melakukan dekonstruksi ulang tentang pendidikan yang layak bagi umat manusia dari masa ke masa. Havighurst dalam Musfah (2012: 51) menyatakan bahwa dalam memenuhi logika zaman, pendidikan akan selalu berubah seiring perubahan masyarakat. Artinya, Perubahan masyarakat dari waktu ke waktu bisa juga mempengaruhi tujuan pendidikan.
18
Tujuan pendidikan saat ini menurut Musfah (2012: 41) adalah mencakup dimensi nilai filosofis, psikologis, sosiologis, pribadi, dan budaya. Hal tersebut selaras seperti yang dijelaskan oleh Sukmadinata (2005: 27) bahwa tujuan pendidikan mencakup (1) Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia dengan kualitas pribadi yang terintegrasi, bermoral dan berakhlak mulia, berbudi luhur dan berilmu, (2) mewujudkan peran aktif dalam pembangunan masyarakat yang religius, demokratis, adil, dan makmur, cinta damai, cinta ilmu, dan bermartabat dalam keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dari tujuan tersebut dapat di simpulkan bahwa Pendidikan mempunyai makna lebih dari sekedar pengajaran, karena pendidikan adalah sebuah sarana yang dapat dimanfaatkan untuk membentuk kepribadian seseorang secara utuh, yang di dalamnya terdapat proses pembentukan aspek kognitif, keterampilan, dan internalisasi berbagai nilai positif dalam diri seseorang. Di sisi yang lain, abad ke-21 saat ini, pendidikan dihadapkan dengan kompleksitas perkembangan dunia yang sangat signifikan, artinya perkembangan teknologi dan informasi yang tiada batas mengharuskan para praktisi pendidikan untuk merancang sebuah desain atau model pembelajaran, teknik, dan pendekatan yang mampu mengakomodir semua kebutuhan manusia dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Jika dikaitkan dengan pendidikan dan pembelajaran bahasa, para praktisi yang fokus pada kajian pendidikan dan pembelajaran bahasa diharapkan mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan menciptakan model-model pembelajaran dan menciptakan materi pembelajaran bahasa yang sesuai dengan tuntutan zaman yang mencakup dimensi nilai filosofis, psikologis, sosiologis, pribadi, dan budaya. Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini akan memaparkan mengenai sumbangsih materi pembelajaran bahasa pada pembentukan kepribadian yang utuh. Makalah ini di harapkan mampu menjadi acuan bagi para penggiat pendidikan untuk menemukan solusi-solusi yang bermanfaat di dalam menciptakan sebuah karya. Secara praktis, makalah ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi pendidik dalam menciptakan materi pembelajaran bahasa yang fokus kepada peningkatan sumber daya manusia yang memiliki kepribadian yang utuh. Pendidikan; Pendekatan Filsafat Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika) serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika) (Suriasumantri, 1985: 32). Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta dan kata Sophos yang 19
berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Jadi philosophos berarti cinta kepada kebijaksanaan atau kebenaran. Sedangkan secara terminologi, Plato dalam Surajiyo (2007: 3) menyatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pegetahuan akan kebenaran yang hakiki. Dari beberapa pengertian filsafat tersebut, berfikir secara filosofis intinya adalah upaya secara sungguh-sungguh dengan menggunakan akal pikiran sebagai alat utamanya untuk menemukan hakekat segala sesuatu termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan. Ada banyak pendapat tentang hakikat dari pendidikan itu sendiri. Stern (1991: 420) menjelaskan bahwa, para filsuf memberikan pandangannya tentang pendidikan secara komprehensif, akan tetapi mereka menginterpretasikan pendidikan dengan cara yang berbeda-beda. Salah satunya yakni kaum tradisionalis yang memandang pendidikan sebagai sebuah fungsi yang menyediakan atau menghasilkan panduan intelektual untuk meningkatkan ketercapaian pendidikan. Walaupun pandangan kaum tradisionalis ditolak atau dikritisi oleh para filsuf pendidikan lainnya, O’Conor, (1957: 4 ) dalam Stern (1991: 420) menyatakan bahwa logika dan pandangan mereka masih menjadi acuan pendukung dan memberikan konstribusi yang kuat di dalam kemajuan pendidikan saat ini. Di sisi yang lain, Tilaar (2008: 20-21) menjelaskan bahwa, proses pendidikan menurut kaum Eksistensialis adalah proses untuk memberikan kemampuan kepada individu untuk dapat memberikan makna terhadap dirinya dan lingkungan. Sedangkan kaum materialistik (pandangan Marxisme) menyatakan bahwa proses pendidikan merupakan proses yang memberikan kekuatan kepada individu untuk melawan kekuatan yang membatasi perkembangan dirinya yang diatur oleh kekuatan ekonomi kelompok yang berkuasa atau kelompok kapitalis, (Gutek, 2014: 85). Dari paparan tersebut dapat dipetik sebuah kesimpulan bahwa pendidikan adalah proses untuk memanusiakan manusia dan termasuk mendewasakan manusia terhadap keingin tahuannya tentang sebuah pengetahuan. Makna kedewasaan dalam asumsi pendidikan bukan hanya bersifat biologis jasmaniah atau rokhaniah juga secara moral bertanggung jawab. Namun dalam kenyataannya tidak semua manusia mampu seperti yang diharapkan, dari sini lahirlah pemikiran problemproblem dan pemecahannya dan adanya aktivitas lembaga pendidikan merupakan pemecahan atas problem-problem tersebut. Timbulnya problem dan pikiran pemecahannya inilah yang menjadi obyek filsafat pendidikan dan ini berarti pendidikan adalah pelaksanaan dari pada ide-ide filsafat. Seorang filosof pendidikan perlu memiliki pendapat yang tegas tentang hidup dan harus mempunyai sejumlah teladan dan prinsip-prinsip, keyakinan yang mantap untuk dijadikannya pedoman hidup sehari-hari, 20
terlebih lagi iapun harus memiliki pandangan yang jelas tentang bidang pendidikan dengan segala aspeknya dan serangkaian pandangan prinsip-prinsip dan kemantapan pendidikan atau cara-cara pelaksanaan pendidikan sehingga menjadi petunjuk bagi tindakan dan aktivitas pendidikan dan dalam meghadapi masalah-masalah pendidikan. Dengan demikian ide filsafat memberi kepastian bagi nilai peranan pendidikan atau peranan filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan (Syam, 1986: 41). Menentukan falsafah dalam pendidikan sangat penting agar semakin maju, karena pendidikan tidak akan tumbuh, berkembang dan selaras dalam bidang kemajuan selagi hal itu tidak bersandar pada pemikiran falsafah yang selalu disertai dengan pembaharuan dan daya cipta dalam dunia yang selalu bertarung dengan ilmu dan tekhnologi, karena itu pendidikan sangat memerlukan falsafah. Pendidikan dan Pengajaran Bahasa Halliday dalam Hult, (2010: 2) menjelaskan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar manusia untuk belajar, tidak hanya belajar secara alami, secara akal sehat (common sense) yang kita pelajari di dalam aktivitas sehari-hari, akan tetapi belajar secara terorganisir, progresif, dan sistematis terhadap pengetahuan yang ingin diketahui oleh manusia secara umum. Sedangkan, Pendidikan bahasa meliputi pengajaran bahasa sebagai alat komunikasi verbal, termasuk alat berfikir, alat untuk pengungkapan perasaan dan harapan, serta alat untuk mewariskan tata nilai (value) dan sikap sosial budaya baik secara lisan maupun tertulis, (Djunaidi, 1987: 5). Bahasa dan pendidikan memainkan peran yang sangat fundamental, artinya, konsep bahasa dan pendidikan diaplikasikan secara terintegrasi, teroganisir serta sistemik, dan memberikan penekanan kepada manfaat pendidikan bahasa sebagai sarana untuk melakukan komunikasi, pengungkapan perasaan, harapan, mewariskan nilai (value) dan sikap sosial budaya kepada peserta didik melalui proses pengajaran bahasa. Pada prinsipnya, pengajaran bahasa selama beberapa dekade terakhir mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Bahkan ratusan juta orang secara sukarela mencoba untuk belajar bahasa setiap tahun. Mereka termasuk orang dewasa dan anak-anak yang mencari kemahiran dalam bahasa baru untuk tujuan tertentu (Long, 2009: 3). Pentingnya memahami dan mempelajari bahasa dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya; Aspek Sosial yang meliputi aspek Kultural, Psikologis, Politik, Ekonomi dan agama (Religion) dan Aspek Informasi dan tekhnologi. Munculnya aspek-aspek tersebut disebabkan karena pergeseran pembelajaran bahasa yang menekankan pada unsur fungsinya yakni sebagai alat untuk melakukan interaksi dan media komunikasi.
21
Aspek sosial merupakan salah satu aspek utama kenapa bahasa dipelajari. Sandra Lee Mckay dan Rani Rubdy ( 2009: 9) menyatakan bahwa Kita hidup di zaman dengan beranekaragam bahasa dan keanekaragaman tersebut terus meningkat dengan pengaruh globalisasi, perpindahan manusia dari jalur perbatasan, dan pemerolehan bahasa yang dipengaruhi oleh masyarakat asing di negara mereka sendiri. Semua faktor ini telah menyebabkan peningkatan jumlah peserta didik. artinya, sebagai sarana atau media untuk berinteraksi dengan manusia yang lain, masyarakat sangat menyadari pentingnya mempelajari bahasa. Dalam ilmu bahasa, aspek sosial telah melahirkan cabang ilmu bahasa yakni Sosiolinguistik yang umumnya digunakan untuk mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat (Yule, 2006: 205). Selanjutnya aspek kultural. Perbedaan budaya dan bahasa pada masyarakat tertentu merupakan salah satu alasan pentingnya mempelajari bahasa. Pemahaman tentang aspek norma, ekspektasi laki-laki dan wanita, hubungan, serta identitas dalam hal pergaulan merupakan bagian yang harus didekati dengan mempelajari bahasanya, karena ”Bahasa dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan ... Bahasa dan kebudayaan kita ... mencerminkan jati diri kita, dari mana kita berasal dan kemana kita akan pergi” (Task Force on Aboriginal Language and Cultures dalam Spolsky dan Hult, 2008: 298). Di sisi lain Hall (2008: 45-55) menyatakan bahwa tidak ada dua konsep berbeda yang lebih intim dari pada bahasa dan budaya. Di dalam melakukan interaksi dengan sesama, bahasa tidak hanya digunakan untuk menunjukan aspek sosiokultural saja, namun menjaga eksistensi dan kebertahanan budaya di dunia. Pandangan Hall tersebut selaras dengan pendapat Brown (2000: 64) yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan saling terhubung satu sama lain. Hal tersebut berarti bahwa mempelajari bahasa, seseorang juga akan mempelajari tentang kebudayaan, nilai-nilai, cara berfikir, perasaan, dan cara bersikap. Hal tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada perkembangan atau pembentukan kepribadian seseorang. Aspek selanjutnya adalah Psikologis. Setiap individu memiliki karakter, semangat, motivasi yang berbeda-beda dalam menghadapi sebuah fenomena, seperti interaksi. Mimik dan wajah seseorang menunjukan seperti apa jiwa psikisnya. Relevansinya dengan mempelajari bahasa terletak pada hubungan manusia yang satu dengan yang lain. Perbedaan bahasa mengharuskan seseorang untuk mempelajari bahasa lawan bicaranya. Karena salah satu cara untuk menjaga perasaan, emosi dan hubungan baik dengan seseorang yang memiliki bahasa berbeda adalah dengan mempelajari bahasanya. Persaingan global mengharuskan diajarkannya bahasa dengan tujuan tertentu. Aspek ekonomi, politik serta informasi dan tekhnologi misalnya, dengan maraknya perdagangan dan hubungan politik antar bangsa yang 22
memiliki bahasa berbeda mewajibkan masyarakat atau para pengusaha dan pejabat di negara tertentu untuk mempelajari bahasa asing seperti bahasa Inggris. Bahasa Inggris merupakan bahasa dunia yang sudah mengglobal. Bahkan peran Amerika sebagai negara adidaya menjadikan bahasa Inggris sebagai supremasi budaya dan ekonomi. Dan, cara yang dilakukan untuk mempertahankan dominasi bahasa Inggris sebagai bahasa dunia adalah melalui bidang Musik, Film, Televisi; Bisnis dan Keuangan; Komputasi, Tekhnologi Informasi dan Internet; bahkan obat-obatan dan Pornografi. Pengaruh Amerika di seluruh dunia membuat bahasa Inggris sangat penting untuk di kengembangkan di pasar internasional, khususnya di bidang pariwisata dan iklan, dan penguasaan bahasa Inggris juga menyediakan akses ke ilmu pengetahuan, akademis, dan tekhnologi (http://www.thehistoryofenglish.com/issues_global.html).
Gambar 1 Sumber; (http://www.thehistoryofenglish.com/issues_global.html). A family tree representation of the spread of the English language around the world(from The Cambridge Encyclopedia of the English Language, after Peter Strevens)
23
Gambar 2 Sumber; (http://www.thehistoryofenglish.com/issues_global.html).Percentage of EU populations who claim to speak English (from InterSol) Aspek yang terakhir adalah aspek Agama (Religion). Pentingnya mempelajari bahasa tertentu dalam aspek agama bukan semata-mata untuk mengekspresikan diri dalam berinteraksi saja, melainkan juga menjadi salah satu simbol identitas keagamaan. Seperti yang dilansir pada laman http://aceh.tribunnews.com/2013/04/28/bahasa-dan-agama bahwa, yang lebih menarik adalah ketika agama menyematkan status tertentu pada sebuah bahasa dengan melabelinya sebagai bahasa resmi, istimewa, bahkan sakral dan transenden. Fenomena ini tampak pada Sankskerta bagi Hindu, Hebrew bagi Judaisme, Latin bagi Kristen, dan Arab bagi Islam. Mengingat-sebagaimana di singgung di atas, isu-isu keagamaan bersifat sensitif, maka wacana religiusitas atau status bahasa dalam perspektif keagamaan biasanya tidak saja melibatkan logika dan rasionalitas, melainkan juga menggugah tensi emosi, spiritualitas, kepentingan, dan berbagai isu lain sehingga melahirkan beragam isu, perspektif, sikap, dan perilaku berbahasa. Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, dengan mempertimbangkan aspek sosial yang meliputi aspek budaya, politik, ekonomi, psikologis dan Aspek informasi dan tekhnologi, akan menghantarkan kepada semakin beratnya beban para penggiat pendidikan untuk merancang dan 24
mengatur pemelajaran bahasa yang layak. Namun, ini merupakan pekerjaan rumah yang mesti harus dicarikan solusinya, apakah dengan mendesain ulang kurikulum ataukah dengan merancang materi pembelajaran dengan pertimbangan semua aspek tersebut?. Dengan mempertimbangkan semua aspek tersebut dalam mengembangkan materi ajar bahasa, penulis meyakini bahwa sasaran untuk menjadikan peserta didik dengan memiliki kepribadian yang utuh akan tercapai. Materi Pembelajaran Bahasa Bahan ajar merupakan salah satu komponen kunci dalam keberhasilan proses pembelajaran. Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai kompetensi yang telah ditentukan (http://www.academia.edu/3823058/A). Materi ajar juga memberikan kesan pada siswa adanya rasa mencapai sesuatu karena tujuan dalam materi ajar lebih khusus dan segera dapat dirasakan ketercapaiannya (Richards and Schmidt, 2002:339). Selain itu, Choudhury (1998: 154) menyatakan bahwa materi ajar berfungsi sebagai pengikat seluruh proses pembelajaran karena, apabila dikemas sebagai suatu sistem, materi ajar dapat digunakan sebagai kendali untuk menghindari adanya unsur yang hilang atau pengulangan yang tidak perlu. Berdasarkan pada penjelasan tersebut dapat simpulkan bahwa materi ajar merupakan sarana yang penting untuk mencapai tujuan pembelajaran karena materi ajar membantu guru dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran dan membimbing siswa dalam belajar, baik di sekolah maupun di rumah. Oleh sebab itu materi ajar harus disusun berdasarkan prinsipprinsip dasar dan langkah-langkah sistematis pengembangan materi ajar serta kriteria penilaian terhadap penggunaan di lapangan untuk menjamin mutu bahan ajar yang dikembangkan. Di sisi lain, peran materi pembelajaran bahasa menurut Cunningswort (1995: 7) adalah (a) sebagai sumber aktivitas interaksi di dalam kelas dan ajang praktik bagi siswa, (b) sebagai sebuah acuan untuk siswa dalam belajar, tata bahasa, kosa kata, pengucapan, dll. Sedangkan Graves (2000: 152-155) mengingatkan ketika membuat desain pengembangan materi, ada babarapa hal yang harus diperhatikan, antara lain: (1) aktivitas didalam materi harus menggambarkan apa yang diketahui oleh siswa ( pengalaman) dan relevan dengan mereka, (2) aktivitas di dalam materi harus fokus kepada kebutuhan siswa di luar kelas, (3) aktivitas di dalam materi ajar harus bisa meningkatkan kepercayaan diri siswa (confidence), (4) memberikan ruang gerak kepada siswa untuk menjadi penemu, penganalisa dan pemecah masalah, (5) aktivitas di dalam materi harus mampu meningkatkan skills siswa, (6) aktivitas di dalam 25
materi harus mengintegrasikan ke-4 skills (reading, writing, listening, speaking), (7)Aktivitas di dalam materi harus member ruang gerak kepada siswa untuk memahami bagaimana sebuah teks dikonstruksikan, (8) aktivitas di dalam materi harus memberi ruang gerak kepada siswa untuk memahami konteks budaya dan perbedaan budaya, (9) memberikan ruang gerak siswa untuk memahami social awareness, dan (10) Aktivitas di dalam materi harus autentik. Sementara itu, menurut Tomlinson (1998) menyatakan bahwa materi ajar bahasa yang baik harus memiliki karakteristik, diantaranya; (1) memiliki dampak positif, (2) membuat siswa merasa nyaman, (3) membantu siswa mengembangkan rasa percaya diri, (4) dipandang siswa sebagai sesuatu yang relevan dan bermanfaat, (5) membuat siswa rela berusaha karena merasakan manfaatnya, (6) sesuai dengan kesiapan atau bekal yang telah dimiliki siswa, (7) memuat fitur bahasa yang harus menjadi perhatian siswa, (8) memberi kesempatan kepada siswa untuk menggunakan bahasa Inggris untuk mencapai tujuan komukatif, (9) mempertimbangkan perbedaan-perbedaan siswa dalam gaya belajar dan sifat- sifat afektif mereka, (10) mempertimbangkan kemungkinan terjadi masa diam (siswa tidak boleh dipaksa berbicara) pada awal masa pembelajaran, dan (11)memaksimalkan berbagai potensi siswa dengan melibatkan kecerdasan intelektual, estetik, dan emosional yang dapat merangsang kegiatan otak kanan dan otak kiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyusun materi ajar tidak sekedar mengumpulkan materi untuk mengembangkan pengetahuan saja. Namun, Pengembangan materi ajar harus dipandang sebagai perancangan kegiatan atau pengalaman belajar dimana sasaranya adalah untuk meningkatkan kompetensi peserta didik. Selain itu, dalam implementasi pengembangan materi, aspek sosial, psikologis, budaya, agama, ekonomi, dan politik dapat pula menjadi bahan pertimbangan. Pentingnya aspek tersebut di sebabkan oleh fenomena perkembangan sosial yang sangat tinggi dan bahkan sangat komplek. Untuk menciptakan peserta didik yang memiliki kepribadian yang utuh, aspek-aspek yang disebutkan di atas harus dipertimbangkan dalam setiap pengembangan materi ajar khususnya bahasa. Hakikat Kepribadian yang Utuh Barenbeun dan Winter (2008: 16) menjelaskan bahwa pada awal abad ke20, studi tentang kepribadian muncul di bawah pengaruh faham behaviorisme dan berdasarkan dari hasil penelitian secara experimental terhadap pembelajaran Kemudian pada akhir 1960-an dan 1970-an, kritik situationist tentang kepribadian menyebabkan krisis besar di lapangan dan mengakibatkan pemeriksaan ulang terhadap dasar dalil dan bagaimana metode penelitiannya. Akhirnya, pada pergantian abad, dengan munculnya "psikologi budaya" dan 26
pengaruh kritis para ahli akhirnya mengakui konsep personalitas sebagai cabang ilmu baru. Kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku (Pervin dalam Winanti, 2012). Definisi yang luas ini memungkinkan untuk fokus pada banyak aspek dari seseorang. Pada saat yang sama, definisi tersebut mengisyaratkan pembahasan tentang pola konsisten perilaku dan kualitas dalam diri seseorang, yang berbeda dengan – misalnya – kualitas lingkungan yang memengaruhi kepribadian seseorang. Hal-hal yang menarik bagi kita antara lain pemikiran, perasaan, dan perilaku nyata orang-orang. Secara khusus, menarik untuk mengetahui bagaimana pemikiran, perasaan, dan perilaku nyata ini berkaitan satu dengan yang lain, atau bersatu membentuk individu yang unik dan berbeda. Menurut (Agam Bayu Suryanto, 2014) Orang yang berintegritas adalah pribadi matang yang berorientasi pada proses, bukan pada hasil semata. Pribadi yang berintegritas adalah seseorang yang mempunyai pendirian dan memegang prinsip. Makna integritas itu sendiri adalah satunya kata dengan perbuatan. Orang yang berintegritas adalah orang yang sudah memiliki kepribadian secara utuh. Ia menyadari kebutuhan sesuai dengan proporsinya. Ia selalu mampu mengendalikan diri dan berada dalam kecukupan serta tidak pernah berkekurangan atau berkelebihan. Ia memiliki konsep citra diri yang jelas dan mendapatkan kepribadian utuh melalui proses pembelajaran dari pengalaman hidup yang dilaluinya. Ia tidak perlu menempuh pendidikan kepribadian ala barat yang banyak berkembang dewasa ini. Menurut Priharyanto Budi Raharjo (2014), ciri-ciri dari Sutu Pribadi Yang Utuh adalah; (1) Pribadi yang utuh biasanya percaya pada kemampuan diri sendiri. Ia tidak terus menerus diliputi ketakutan bahwa ia akan berbuat salah. Apakah anda mempunyai kemampuan sendiri dalam menghadapi situasi seharihari, ataukah anda selalu menghitung-hitung dan merencanakan segala tindakan anda, berusaha menghindari kegagalan?, (2) Pribadi yang utuh itu spontan.Ia melakukan segalah sesuatu dengan bebas. Apakah anda merasa nyaman menghadapi situasi-situasi secara umum, ataukah anda merencanakan cara-cara untuk melarikan diri, (3) Pribadi yang utuh hidup pada masa sekarang. Apakah anda berbuat seperti itu? ataukah anda mengharapkan anda berada "pada suatu saat dalam masa lampau" atau menunggu sampai anda, "tiba pada suatu saat dalam masa yang akan datang?" apakah arti hari ini bagi anda, dapatkah anda benar-benar memberikan diri anda untuk hari ini, (4) Pribadi yang utuh mempunyai wawasan yang sangat luas.Ia dapat tertawa dan menangis. Ia tidak takut menyatakan emosinya yang sesungguhnya, ia tidak akan membiarkan dirinya dilumpuhkan oleh definisi kebudayaan yang salah tentang apa yang patut dan benar, (5) Pribadi yang utuh kreatif, tidak selalu menyesuaikan diri. Ia berani 27
berpikir sendiri, tidak hanya meniru orang lain atau selalu berusaha untuk berada "di tengah-tengah secara aman." Biarlah anda berdiri – seorang diri – mempertahankan apa yang menurut anda benar. Apakah anda membuat keputusan-keputusan pribadi atas dasar apa yang akan dipikirkan "mereka", atau atas dasar kekuatan keyakinan anda sendiri. Sumbangan Materi Pembelajaran Bahasa pada Pembentukan Kepribadian yang Utuh Ketika pembelajaran bahasa bergeser dari model tradisionalis ke model fungsionalis. Maka tujuan pengajaran bahasa adalah untuk menolong siswa mencapai kemampuan komunikatif. Para penganut komunikatif (Halliday, 1970, 1979; Brumfit dan Jhonson 1979; Savigon 1983) mengakui adanya tujuh fungsi dasar dari suatu bahasa yaitu: (1) fungsi Instrumental; untuk mendapatkan sesuatu, (2) fungsi pengatur; untuk mengatur tingkah laku orang lain, (3) Fungsi interaksional; untuk interaksi dengan orang lain, (4) fungsi personal atau pribadi; untuk menyatakan makna dan perasaan pribadi, (5) fungsi heuristik atau penemuan sesuatu; untuk belajar dan menarik suatu kesimpulan, (6) fungsi imaginatif; untuk menciptakan imajinasi, dan (7) fungsi representasional; untuk mengkomunikasikan informasi (Djunaidi, 1987: 45). Dari ketujuh fungsi bahasa tersebut dapat diambil intisari bahwa bahasa adalah sebuah sistem untuk menyatakan makna serta mengadakan interaksi dan komunikasi dengan lingkungan masyarakat atau society. Artinya ketercapaian output yang memiliki kepribadian yang utuh bukan isapan jempol semata. Penekanan kepada pengembangan materi ajar juga harus mengikuti kearah fungsi dengan memperhatikan aspek sosial yang meliputi aspek kultural, psikologis, politik, ekonomi dan agama, dan aspek Informasi dan tekhnologi. Untuk mencapai kepribadian yang utuh melalui sumbangsih materi ajar bahasa, semua aspek yang dijelaskan diatas harus direpresentasikan dalam materi-materi ajar yang hendak digunakan di sekolah-sekolah, karena semua aspek tersebut memiliki dapat memberikan dampak positif bagi peserta didik. Jenis atau model pengembangan materi ajar bisa mengadaptasi atau mengadopsi model apa saja selama semua aspek tersebut terwakili. Misalkan; aspek keagamaan; materi-materi ajar bahasa harus memberikan informasi tentang hal-hal keagaman dimana sasarannya adalah untuk memberikan pengaruh positif terhadap siswa. Materi keagamaan yang diinformasikan melalui rancangan-rancangan teks (sastra atau jenis teks bacaan yang lain) memiliki pesan-pesan moral, budaya, ideologi, karakter, etika bahkan estetika. Bila peserta didik diberi ragam bacaan menyangkut agama; contohnya melalui media satra maka hal tersebut akan membantu peserta untuk memahami nilai-nilai budaya, moral, karakter, ideology, etika, dan hal positif lainnya. Karena sebagai 28
produk kreatif secara fungsional, karya sastra diyakini akan mengembangkan potensi dan kreativitas anak. Selain itu sastra juga mampu merangsang perkembangan psikologis anak (Laspida Harti, 2013; 172). Begitu juga dengan aspek-aspek lainnya (psikologis, ekonomi, budaya, kultural, psikologis, politik, ekonomi, dan aspek informasi dan tekhnologi). Jenis dan ragam bacaan yang dituangkan dalam materi ajar bahasa harus sesuai dengan tujuan dan kegunaannya. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut fungsi pengajaran bahasa akan lebih bermakna dan berguna bagi kehidupan peserta didik. Daftar Pustaka Agam Bayu Suryanto. 2014. Upaya Membentuk Pribadi yang Berkarakter dan Berintegritas melalui Implementasi Nilai-Nilai Pendidik. Diunduh dari http://itjen.kemdiknas.go.id/berita-101-upaya-membentuk-pribadiyang-berkarakter-dan-berintegritas-melalui-implementasi-nilainilai-pendidik.html pada 28 Oktober 2014. Baun Thoib Soaloon Siregar. Bahasa dan Agama. Di akses melalui laman; http://aceh.tribunnews.com/2013/04/28/bahasa-dan-agama pada hari Sabtu 28 Oktober 2014, Jam 03.26 WIB. Barenbaum, N.B., Winter, D.G. 2008. History of Modern Personality Theory and Research. John, O.P.,Robin, R.W., Pervin, L.A (Eds). 2008. Handbook of Personality; Theory and Research. New York: The Guilford Press. Brown, H. D. 2000. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. New York: Longman. Choudhury, N.R. 1998. Teaching English in Indian Schools. New Delhi: S. B. Nangia APH Publishing Corporation. Cunnigsworth, A. 1995. Choosing Your Coursebook. Oxford: Heinemann. Gutek, G. L. 2004. Philosophical and Ideological Voices in Education. Boston: Allyn & Bacon. Graves, K. 2000. Designing Language Courses: A Guide for Teachers. Boston: Heinle & Heinle Publisher. Hall, J.K. 2008. Language Education and Culture. Dalam Encyclopedia of Language and Education (Volume 1-3). Hornberger, N. H (Eds). Philadelphia: University of Pensylvania. Jejen Musfah (ed). 2012. Pendidikan Holistik; Pendekatan Lintas Perspektif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Jujun S. Suriasumantri. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. Laspida Harti. 2013. Sastra Berkarakteristik Anak dan Pembelajaran. Prosiding SEMNAS: Implementasi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia 29
Berdasarkan Kurikulum 2013. STKIP Siliwangi Bandung. Long, M.H. 2009. Language Teaching. Dalam The Handbook Of Language Teaching. Long, M.H., Doughty, C.J. (Eds). USA: Wiley-Blackwell Mckay, S.L., Rubdy, R. 2009. The Social and Sociolinguistic Contexts of Language Learning and Teaching. Dalam The Handbook Of Language Teaching. Long, M.H., Doughty, C.J. (Eds). USA: Wiley-Blackwell. Muhammad Noor Syam 1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya :Usaha Nasional. Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Priharyanto Budi Raharjo. 2014. Kepribadian yang Utuh. Diunduh dari http://www.akhirzaman.org pada 28 Oktober 2014. Richard, J. C. & Schmidt, R. 2002. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. 3rd Edition. Edinburgh: Pearson Education Limited. Spolsky, B., Hult, F.M (Ed). 2008. The Handbook of Educational Linguistics, New York: Blackwell Publishing. Stern, H.H. 1991. Fundamental Concept of Language Teaching. Oxford: Oxford University Press. Suhartono Suparlan. 2006. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruz Media Surajiyo. 2007. Filasafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Tomlinson, B. (Ed.). 1998. Materials Development in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press. Winanti. 2012. Psikologi. Diunduh dari http://winanti5599.blog.esaunggul.ac.id pada 28 Oktober 2014. Yule, G. 2006. The Study of Language. Cambridge: Cambridge University Press. http://www.thehistoryofenglish.com/issues_global.html. Language IssuesEnglish as a Global Language. (Di akses pada tanggal 28 Oktober 2014, jam 01.25 WIB). http://www.academia.edu/3823058/A._Karakteristik_Bahan_Ajar. Karakteristik Bahan Ajar. (di unduh pada tanggal 28 Juni 2014, jam 04.34 WIB).
30