MATERI KOMISI BAHTSUL MASAIL DINIYAH MAUDLU’IYAH Ketua : KH. Afifuddin Muhajir Sekretaris : KH. Arwani Faishal Anggota : H. Sa'dullah Affandi KH. Abdullah Kafabihi Mahrus Ali KH. Fuad Thohari Syafiq Hasyim H. Nahari Muslih Afdholi Ali Rahman KH. Nasrullah Jasam KH. Hudallah Ridwan KH. Imam Jazuli H. M. Taufiq Damas H. Fais Syukron Makmun H. Abdul Jalil KH. Muhibbul Aman Aly KH. Muqsith Ghazali
I.
METODE ISTINBATH HUKUM (Bayani - Qiyasi – Maqashidi)
Deskripsi : Kebutuhan bagi tersedianya metode istinbath hukum sederhana dan yang siap pakai adalah cukup mendesak. Ini karena banyaknya kasus-kasus fikih baru yang tak mudah ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab fikih keislaman klasik. Untuk menangani kasus-kasus baru tersebut, NU sudah membuatkan patokan, “Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka masalah /kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqulmasail bi nazha’iriha secara jama’i. Ilhaq dilakukan dengan mempertimbangkan mulhiq, mulhaq dan mulhaq bih. Namun, jika kasus fikih tersebut tak bisa ditanggulangi dengan prosedur ilhaq, maka NU memutuskan demikian, “Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya mulhiq, mulhaq dan mulhaq bih sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan instinbath secara jama’i, yaitu dengan mempraktekkan qawa’id fiqhiyyah untuk ilhaq. Dengan ini jelas bahwa NU telah memberikan mandat intelektual agar istinbath jama’i tersebut dilakukan.
Pertanyaannya, bagaimana istinbath jama’i dengan mempraktekkan qawa’id fiqhiyyah itu mesti diselenggarakan di lingkungan Nahdhatul Ulama. Dengan tetap mengacu pada kitab-kitab ushul fikih, tulisan ini coba membuat kerangka metodologi sederhana, bukan hanya untuk memenuhi mandat intelektual NU melainkan juga untuk menjawab persoalan-persoalan fikih baru dengan tetap mengacu pada bangunan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Metode itu adalah metode bayani, metode qiyasi, dan metode istishlahi atau maqashidi.1 A. Metode Bayani Yang dimaksud dengan metode bayani adalah metode pengambilan hukum dari nash (al-Qur’an dan al-Sunnah).2 Istilah lain dari metode ini adalah manhaj istinbaath al-ahkam min al-nushuush. Nash dimaksud dapat berupa nash juz’i-tafshili, nash kulli-ijmali, dan nash yang berupa kaedah umum. Dalam rangka istinbaath hukum dari nash dengan metode bayani, ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mengkaji sabab al-nuzul/wurud, baik yang makro atau yang mikro. Yang dimaksud asbāb al-nuzūl mikro adalah sebab khusus (asbāb al-nuzūl al-khāshsh) yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat atau hadits. Sedangkan yang 1 ‘Atha’ al-Rahman al-Nadawiy, “al-Ijtihad wa Dauruhu fi Tajdid al-Fiqh al-Islami”, dalam Dirasat al-Jami’ah al-Islamiyyah al-‘Alamiyyah, Desember 2006, Jilid III, h. 82. 2
‘Atha’ al-Rahman al-Nadawi, “al-Ijtihad wa Dauruhu fi Tajdid al-Fiqh al-Islami”, Jilid III, h. 82.
dimaksud asbāb al-nuzūl makro adalah sebab umum (asbāb al-nuzūl al-‘āmm) yang menjadi konteks sosial-politik, sosial-budaya, dan sosial-ekonomi dari proses tanzīl al-Qur'ān dan wurūd al-hadīts. 2. Mengkaji teks ayat/hadits dari perspektif kaedah bahasa (al-qawa’id alushuliyyah al-lughawiyah). Kajian teks dari perspektif kaedah bahasa ini meliputi tiga kajian secara simultan, yaitu kajian lafazh (al-tahlil al-lafzhi), kajian makna (al-tahlil al-ma’na), dan kajian dalalah (al-tahlil al-dalali), yang secara rinci akan dijelaskan pada beberapa paragraf berikutnya. 3. Mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan nash lain yang berkaitan (rabth alnushuush ba’dlu’ha bi ba’dlin). Nash yang sedang dikaji harus dihubungkan dengan nash yang lain, karena nushūsh al-syarī’ah (Alqur’an dan Hadis) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, ayat yang satu terkait dengan ayat yang lain, hadis yang satu terkait dengan hadis yang lain, ayat terkait dengan hadis dan hadis terkait dengan ayat. Suatu nash terhadap nash yang lain dapat berfungsi sebagai taukīd (penguat), bayān almujmal (menjelaskan nash yang bersifat garis besar), taqyīd al-muthlaq (membatasi lafal muthlaq), takhashīsh al-`āmm (membatasi keumuman lafal `āmm), atau taudlīh al-musykil (menjelaskan lafal musykil/ambigu). 4. Mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan maqashid al-syari’ah (rabth alnushush bi al-maqaashid). Maqāshid al-syarī`ah (tujuan umum syariat) yang sekaligus merupakan kulliyah al-syarī`ah (totalitas syarī`ah) memiliki hubungan saling terkait dengan nushūsh al-syarī`ah. Maqāshid al-syarī`ah lahir dan mengacu pada nushūsh al-syarī`ah, sementara nushūsh al-syarī`ah dalam menafsirinya harus mempertimbangkan maqāshid al-syarī`ah. Ini masuk dalam kategori mengaitkan yang juz’ī (partikular) dengan yang kullī (universal).3 Konkretnya, syariat Islam dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia zhāhir-bāthin dan dunia-akhirat. Maka, perumusan hukum dari nash hendaknya sejalan dengan kemaslahatan manusia yang menjadi tujuan syariat itu, dengan syarat apa yang diasumsikan sebagai maslahat tidak bertentangan dengan nash itu sendiri.
3 Al-Jizani, Manhaj al-Salaf fi al-Jam’i bayn al-Nushush wa al-Maqashid wa Tathbiqatuha alMua’ashirah, Riyadl: al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Sa’udiyyah Wizarah al-Ta’lim al-‘Ali, 2010, h. 4243.
Dengan mengaitkan nushūsh dengan maqāshid, maka rumusan-rumusan hukum yang ditarik dari nushūsh tidak sepenuhnya tekstual, tapi juga kontekstual. Maka kita menjadi maklum, mengapa fuqahā` membolehkan mengeluarkan qīmah (harga) pada zakat biji-bijian, kambing dan unta,4 padahal instruksi Nabi pada sahabat Mu`aż bin Jabal menjelang keberangkatannya ke daerah Yaman jelas mengatakan:
ِ َّ اْ َال ِ َّ ْا َّْ ال ِ اَّ َّ اِ َع ََّه ِ َّ ا ٍ أ ان ْا ال او ََ َس َ َع ْن ُم َع َ َُ ا َاوُ إِل َ اهَ ََ ِن َ ا َع ْ ُ ْْ اذ َ ِاْ َل ا َ اذل ُح َْ َ َّ ا َا ِن َبل ْ َن َر ُس َ اذ َة م َ ّْ َ ْان ال َ اْ م ِ الْغَن ِ َالْل ِعه 5 .اُ ِر َ َا َُ َرةَ ِم َن الْل َْ َ َ َا َر م َن اْ ِإلِْ ِ ََالْل
“Diriwayatkan dari Mu`adz bin Jabal bahwa Rasulullah mengutusnya ke Yaman
lalu beliau bersabda, Ambillah (zakat berupa) biji-bijian dari biji-bijian, seekor kambing dari kambing, seeokor unta ba`īr dari unta, dan seekor sapi dari sapi.” Fuqaha' memahami bahwa tujuan dari sabda Nabi tersebut adalah memberikan kemudahan kepada muzakkī (orang yang mengeluarkan zakat) dan mustahiq (yang berhak menerima zakat). Oleh sebab itu, bila suatu ketika zakat dengan mengeluarkan qīmah lebih mudah, tidak ada alasan untuk tidak membolehkannya. Dalam hal ini tanpa memperhatikan maqāshid di dalam menafsirkan nushush, kita tidak akan dapat memahami adanya larangan buang air besar di atas air yang tidak mengalir, dari sabda Nabi SAW.:
ِ َِح ُد ُك ْ َِ ال ََْ ِذء الدَّائ َّ ا ْْل َ َن أ ُال َالَ ي “Janganlah salah satu dari kalian kencing di air yang diam (tidak mengalir)” Maksud dari hadits di atas tidak hanya melarang seseorang membuang air kencing di air yang menggenang sebagaimana pendapat Ahlu al-Zhahir, tapi juga melarang mengotori air dan menjadikannya najis dengan cara apapun.6 5. Mentakwil nash (ta’wiil al-nushush) bila diperlukan. Pada prinsipnya, setiap lafal/nash yang multi makna atau interpretable harus dibawa pada makna dasarnya, yaitu makna yang jelas, hakiki dan rājih. Akan tetapi, kajian yang komprehensip terhadap nash bisa menggiring kita untuk melakukan ta`wīl, yakni memalingkan lafal/nash dari makna dasarnya yang jelas, hakiki dan rājih kepada 4 5
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 165 Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, Juz IV, h. 189.
6Al-Jizani,
Manhaj al-Salaf fi al-Jam’i.., h. 41.
makna lain yang tersembunyi, majāzī atau marjūh.7 Ta`wīl tidak boleh dipahami sebagai upaya menundukkan nash kepada kemauan hawa nafsu atau menyesuaikan syariat dengan situasi, karena ta`wīl hanya bisa dilakukan ketika ada dalil yang memicunya. Ulama ushul fiqh membagi ta`wīl kepada dua bagian:8 Pertama, ta`wīl
ِ qarīb (dekat/dangkal), seperti men-ta`wīl ْ ك ُ ُت َع ََّْه ُك ْ أ َُّم َهذت ْ ُح ّْرَمdengan ذح ُ ُح ّْرَم َع ََّْه ُك ْ ن َك ِ ِ ْ أ َُّم َهذت ُك. Men-ta`wīl ayat ini dengan menghadirkan semacam kata ذح ُ ن َكmerupakan tuntutan () اقتضذء, karena status hukum seharusnya disandangkan kepada perbuatan mukallaf sebagai mahkūm fīh (obyek hukum), sedangkan ayat tersebut menyandarkan hukum haram pada żat, yaitu ibu. Maka, tanpa ta`wīl, ayat tersebut tidak bisa dipahami dengan benar. Termasuk bagian ta`wīl ini adalah takshīsh al`āmm, taqyīd al-muthlaq, dan mengartikan lafal zhāhir dengan makna marjūhnya. Kedua, ta`wīl ba’īd (jauh/dalam). Ta`wīl macam ini tidak sembarang orang dapat melakukannya. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Ibnu Abbas ra.:
ِ َّْ الر ِاس ُخ ْْ َن َِ ال ِْع َّ ُا ْع ِرَُوُ ال ُْع ََّ ََذء َقِ ْس ٌ ت "ada bagian tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama yang mendalam ilmunya". Ta`wīl tidak bisa dipisahkan dari tafsir, karena ta`wīl terhadap suatu nash harus dilakukan setelah mengetahui tafsir nash itu. Jadi, ta`wīl itu setelah tafsir
(اه ر ا ْي ِس ا ْع )التَّأْ َِي. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa َّا َد الت ْا َْ ْ ا kajian teks ayat/hadits dari perspektif kaedah bahasa (al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyyah) harus bertumpu pada kajian lafazh, makna, dan dalalah dengan penjelasan: 1) Kajian Lafal ()الت َّه الَّيظي Kajian lafal berkisar pada hal-hal sebagai berikut: (a). antara `āmm dan khāshsh. (b). antara muthlaq dan muqayyad, (c). antara haqīqah dan majāz, (d). antara muhkam, mujmal dan mutasyābih, (e). antara zhāhir dan nash, (f). antara musytarak dan mutarādif, dan (g). antara amr dan nahy.
7Al-Suyūthī, 8
al-Kaukab al-Sāthi` Nazhm Jam’i al-Jawami’, Maktabah Ibn Taymiyyah, 1998, h. 212. Zakariya al-Anshāri, Ghāyah al-Wushūl, h. 83.
Setiap lafal dapat memiliki lebih dari satu kategori, misalnya lafal اد َ م. Lafal ini dari satu sisi masuk katagori khāshsh karena tidak memiliki cakupan makna yang luas, sementara dari sisi yang lain masuk kategori nash sebab tidak ada kemungkinan untuk diartikan dengan makna yang lain. Contoh lain yaitu lafal ار اد كله أس. Lafal ini dari satu sisi masuk katagori muqayyad karena lafal أسدber-qayyid (dibatasi) dengan lafal ار كله, sedangkan dari sisi yang lain masuk kategori zhāhir karena lafal اد أسtampak dalam makna singa dan ada kemungkinan untuk bermakna seorang pemberani, dan lafal ini ketika dimaknai singa, masuk kategori haqīqah, dan bila dimaknai pemberani masuk kategori majāz. Contoh konkrit dalam al-Qur’an adalah firman Allah SWT.; َ ا ا ِ الَّ َّْه ُ( قbangunlah pada waktu malam). Lafal ا قdari satu sisi termasuk kategori khāshsh karena cakupan maknanya terbatas, dan dari satu sisi disebut amr sebab berisi tuntutan untuk melakukan sesuatu (bangun). Sementara dari sisi yang lain, disebut zhāhir karena Shīghatul-amri tampak dalam makna wujūb (kewajiban) dan mungkin untuk ditarik pada selain makna wujūb. Yang pasti, lafal `āmm bukan khāshsh, muthlaq bukan muqayyad, muhkam bukan mutasyābih, haqīqah bukan majāz, zhāhir bukan nash, amr bukan nahy, dan musytarak bukan mutarādif. 2) Kajian Makna ()الت َّه الَعنْي Kajian makna dimaksudkan untuk bisa memastikan, apakah: (a). lafal dimaksud dimaknai secara haqīqī ataukah dipalingkan pada makna majaznya? (b). Lafal zhāhir dimaksud tetap pada makna rājih-nya ataukah dipalingkan kepada makna marjūh-nya? (c). Makna dimaksud adalah makna lughāwī, syar`ī ataukah `urfī? (d). Yang manakah diantara makna-makna lafal musytarak yang diambil, atau semuanya diambil? (e). Lafal dimaksud, disamping memiliki makna lughāwī, apakah memiliki makna syar`ī atau `urfī, dan makna yang manakah yang dipakai? (f). Shīghatul-amri dimaksud tetap pada makna primernya (اْب )َبataukah dipalingkan pada makna sekundernya
selain (اْب ( ?)َبg). Shīghatun-nahyi dimaksud tetap pada makna primernya ( )ت ريataukah dipalingkan pada makna sekundernya selain ( ?)ت ري 3) Kajian Dalālah ( )الت َّه الداللي Kajian ini menyangkut ketentuan hukum yang dapat ditarik dari nash. Dalam hal ini terdapat dua metode: Pertama, metode jumhūr al-ushuliyyun. Menurut jumhūr ushūliyyīn, makna (hukum) suatu nash, disamping bisa diambil dari manthūq-nya, kadang bisa diambil dari mafhūm-nya. Manthūq terbagi menjadi dua: (1) sharīh, dan (2) ghairu sharīh. Sedangkan Manthūq ghairu sharīh itu sendiri ada tiga : (1) isyārah; (2) iqtidlā`, dan (3) īmā`. Sementara mafhūm itu ada dua: (1) mafhūm muwāfaqah, dan (2) mafhūm mukhālafah. Kedua, metode Hanafiyah. Menurut Hanafiyah, makna (hukum) nash dapat diambil dari empat pendekatan: (1) `ibārah al-nash; (2) isyārah al-nash; (3) iqtidlā` al-nash; dan (4) dalālah alnash (mafhūm muwāfaqah dalam istilah Jumhūr).9 Sesungguhnya tidak ada perbedaan substansial antara pendekatan Jumhūr dan pendekatan Hanafiyyah, kecuali dalam soal mafhūm mukhālafah. Menurut Jumhūr, mafhūm mukhālafah menjadi salah satu jalan untuk mengambil makna dari nash, sedangkan menurut Hanafiyyah tidak. B. Metode Qiyasi Yang dimaksud dengan metode qiyasi adalah ijtihad melalui pendekatan qiyas.10 Dalam konteks ini, ada baiknya saya kemukakan pernyataan Imam Syafi’i: 11
َّ أ ا ْؤ َح َُّ إَِّال ِم ْن نَص أ ََْ حَ َع ََّ نَص َُح َك َذم َال ت ْ َن ْاْل
“Hukum (Islam) itu hanya bisa diambil dari nash atau dari penggabungan pada nash”. Salah satu isi surat Umar ibn al-Khatthab ra. kepada Abu Musa al-Asy’ari adalah:
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 143-152. Sunan al-Baihaqi, Juz IV, h. 189. 11 Sayyid Mubarak, Mashadir al-Fiqh al-Islami, (16 Maret 2012). 9
10Al-Baihaqi,
12
ِ اِ ْع ِر ِ ِذل ََق ك َ َ ف اْْلَ ْشلَذهَ ََاْْل َْم َ ِس اْْل ُُم َْْر ِعنْ َد ل
“Hendaklah kamu tahu tentang persoalan-persoalan yang serupa dan persoalan-persoalan yang sama, dan ketika itu lakukan qiyas menyangkut berbagai persoalan”. Terkait pernyataan tersebut, ada dua hal yang perlu dikemukakan. Pertama, dua pernyataan tersebut bukanlah dalil yang berposisi sebagai hujjah atas keabsahan qiyas, karena dalil yang sesungguhnya adalah nash kulli. Kedua, bahwa dua pernyataan tersebut mengandung makna bahwa hukum-hukum yang diambil secara langsung dari nash bisa diperluas jangkauannya pada kasus-kasus lain yang tidak manshush, salah satunya dengan cara qiyas. Namun, perlu digarisbawahi bahwa hukum-hukum yang bisa diperluas jangkauannya melalui qiyas hanyalah hukum-hukum yang ma’qul al-ma’na yang ditandai dengan adanya ‘illat sebagai landasan perluasan tersebut. 1. Pengertian Qiyās Qiyās bisa dijelaskan dengan definisi sebagai berikut: menyamakan kasus yang tidak memiliki acuan nash dengan kasus lain yang memiliki acuan nash dalam hal ketentuan hukumnya, ketika keduanya memiliki ‘illat yang sama.13 Sebagai contoh, minum khamr adalah kasus yang memiliki acuan nash tentang hukumnya yaitu haram. Sedangkan minum bir adalah kasus lain yang tidak memiliki acuan nash tentang hukumnya. Berhubung khamr dan bir memiliki illat yang sama yaitu memabukkan, maka minum bir disamakan dengan minum khamr dalam hukumnya, yaitu haram. 2. Rukun Qiyās Qiyās terdiri dari empat unsur (rukun) sebagai berikut : a. al-ashlu, yaitu kasus yang memiliki ketentuan hukum berdasar nash. Al-Ashlu disebut al-maqīs `alaih (yang di-qiyās-i) atau al-musyabbah bih (yang diserupai) seperti khamr dalam contoh di atas.
12 13
Khudlariy Bik, Thaarikh al-Tasyrii’ al-Islaamiy, h. 116. Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 52.
b. al-far`u, yaitu kasus yang tidak memiliki ketentuan hukum berdasar nash. AlFar`u disebut dengan al-maqīs (yang di-qiyās-kan) atau al-musyabbah (yang diserupakan), semisal masalah minuman keras (bir dalam contoh di atas). c. hukm al-ashli, yaitu hukum yang terdapat pada ashl yang ditetapkan berdasarkan nash, misalnya hukum haramnya khamr dalam contoh di atas. Keempat, adalah Illat (al-`illah), yaitu sifat yang menjadi titik persamaan (aljāmi`) antara al-ashlu dan al-far`u, seperti sifat memabukkan (al-iskār) dalam contoh di atas. Rukun ini merupakan unsur paling mendasar dalam qiyās. Sebab, dengan illat inilah hukum-hukum yang terdapat dalam nash dapat ditularkan pada kasus baru yang muncul kemudian. 14 3. Syarat-syarat Qiyās Tiap-tiap rukun qiyās memiliki syarat. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: a. al-ashlu harus memiliki ketentuan hukum berdasarkan nash. b. al-far`u harus tidak memiliki ketentuan hukum berdasarkan nash. c. hukm al-ashl harus memenuhi beberapa syarat: (a). berupa hukum syar’ī `amalī yang ditetapkan berdasar nash. (b). Berupa hukum yang ma`qūl alma`nā atau ta`aqqulī. (c). Berupa hukum yang tidak hanya berlaku pada ashl. Sebab itulah, tidak boleh meng-qiyās-kan umat Muhammad dengan kanjeng Nabi Muhammad dalam soal bolehnya mengawini perempuan lebih dari empat.15 d. Illat Illat adalah sifat yang menjadi titik persamaan (al-jāmi`) antara al-ashl dan alfar`u. Tidak semua sifat yang melekat pada al-ashl dapat dijadikan illat hukum, melainkan harus memenuhi beberapa syarat; (a). harus berupa sifat yang zhāhir seperti ījāb dan qabūl yang menjadi indikasi adanya kerelaan kedua belah pihak (mazhinnah al-tarādlī) merupakan illat bagi keabsahan transaksi. Sedangkan al-tarādlī sendiri sebagai hikmah al-hukmi tidak dapat dijadikan illat karena tidak zhāhir. (b). harus berupa sifat yang mundlabith (terukur), seperti al-safar yang menjadi indikasi adanya masyaqqah
14 15
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 60. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 60-61.
merupakan illat bagi bolehnya meng-qashar salat. Sedangkan masyaqqah sendiri tidak dapat dijadikan illat karena tidak mundlabith. Masyaqqah di sini tidak mundlabith karena dapat berbeda-beda intensitasnya dan beratringannya tergantung pada kondisi alam dan setiap indivividu yang menjalaninya. (c). harus berupa sifat munāsib (memiliki relevansi dengan hukum). Artinya menyandarkan hukum terhadap illat itu pada umumnya dapat mewujudkan maslahat. Misalnya, diharamkannya khamr, karena illat memabukkan dapat melahirkan kemaslahatan, yaitu hifzh al-`aql. Dengan demikian, al-iskār adalah sifat munāsib.16 4. Macam-macam Qiyās Illat sebagai unsur terpenting dalam mekanisme qiyās ada dua, yaitu manshūshah (diketahui melalui nash) dan mustanbathah (diketahui melalui upaya
penggalian).
Illat
manshūshah
lebih
jelas
daripada
illat
yang
mustanbathah. Qiyās dilihat dari segi illat ini dibagai kepada jalī dan khafī. Qiyās jalī adalah qiyās yang didasarkan atas illat yang manshūshah (jelas karena ada nash-nya) seperti meng-qiyās-kan nifās kepada haid dalam hal tidak bolehnya seorang wanita digauli oleh suaminya, dengan illat ażā; atau didasarkan atas illat mustanbathah, tetapi antara al-ashl dan al-far`u dipastikan tidak adanya fāriq (hal yang membedakan), atau ada fāriq tapi tidak signifikan.17 Contoh qiyās jalī pertama yaitu meng-qiyās-kan memukul orang tua kepada berkata “uff” dengan illat al-īżā` (meyakiti). Dengan illat ini diyakini tidak ada perbedaan antara perkataan “uff” dan memukul karena keduanya samasama menyakitkan orang tua. Contoh qiyās jalī yang kedua ialah meng-qiyās-kan budak perempuan kepada budak laki-laki dalam hal al-sirāyah (menjalarnya kemerdekaan sebagian kepada seluruhnya). Perbedaan jenis kelamin, secara syar’ī tidak memiliki pengaruh dalam ahkām al-`itqi (pemerdekaan). Qiyās jalī mencakup qiyās awlawī dan qiyās musāwī. Sedangkan qiyās khafī adalah qiyās yang didasarkan pada illat yang mustanbathah (illat yang digali dari al-ashl) ketika antara al-ashl dan al-far`u terdapat fāriq yang signifikan.18 Seperti men-qiyās-kan pembunuhan dengan Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 68-70. Wahbah al-Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islamiy, Dimisyqa: Dar al-Fikr, 1986, Juz I, h. 703. 18 Wahbah al-Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islami, h. 704. 16 17
menggunakan benda tumpul kepada pembunuhan yang menggunakan benda tajam dalam kewajiban adanya qishāsh dengan illat al-qatl al-`amdu al-`udwān (pembunuhan sengaja dan melanggar hukum). Dan sangat mungkin perbedaan antara al-ashl dan al-far’u memiliki pengaruh. Sebab itu, menurut Abu Hanifah, pembunuhan dengan benda tumpul tidak dikenakan qishāsh.
Qiyās khafī
semakna dengan al-qiyās al-adnā. 5. Mekanisme Qiyās Qiyās merupakan salah satu sumber hukum yang paling subur untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ketentuan hukumnya tidak termaktub secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi memiliki al-ashl (induk) di dalam nash dan atau ijmā` ulama. Contohnya yaitu pemberian kepada pejabat adalah kasus yang sudah ada ketentuan hukumnya yaitu haram berdasarkan nash hadis, 19
ِ ََّ َُى َد ايَذ الْع ذل َح َر ٌام ُك َُّّ َهذ
“Seluruh hadiah atau pemberian terhadap pejabat adalah haram.” Keharaman ini didasarkan pada illat (alasan hukum), yaitu khauf al-mail (tidak fair) (pemberian tersebut dapat memengaruhi penerima untuk memberikan perlakuan khusus terhadap pemberi, mengikuti keinginan pemberi, dan memberikan kebijakan yang tidak adil). Illat khauf al-mail itu tentu tak hanya ada pada hadaya al-`ummal melainkan juga pada kasus-kasus lain. Dengan demikian, membawa illat khauf al-mail pada kasus baru, maka banyak hal yang bisa ditangani. Money Politic adalah kasus baru (al-far`u) yang tidak ditemukan ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam nash atau ijmā`. Akan tetapi, kasus ini dapat disamakan dengan hadāyā al-`ummāl karena keduanya memiliki illat yang sama, yaitu khauf al-mail (dikhawatirkan terjadi kecenderungan pada salah satu pihak). Dengan demikian, hukum money politic adalah haram. Terlebih dalam negara demokrasi yang menerapkan sistem pemilihan pemimpin secara langsung, setiap warga negara yang punya hak pilih memiliki kedudukan yang
19
Al-Munawi, Faidl al-Qadir, Beirut: Dar al-Ma’rifah, Tanpa Tahun, Juz VI, h. 353.
sangat strategis (al-siyādah fī yadi al-sya`bi), tidak kalah strategis dengan pejabat negara atau hakim dalam menentukan putusan hukum. Qiyās dinilai benar secara metodologis bila memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas. Qiyās yang tidak memenuhi rukunrukun dan syarat-syarat tersebut adalah sebuah kekeliruan. Mekanisme inilah yang membedakan antara qiyās dengan dalil-dalil sekunder lainnya. C. Metode Istishlahi Ijtihad dengan metode istishlahi ialah ijtihad yang mengacu pada maqashid al-syariah, yaitu tujuan umum dari pensyariatan hukum Islam. Karena itu ia juga bisa disebut ijtihad maqashidi. Para fuqaha’ menyimpulkan bahwa syariat Islam dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) manusia lahir dan batin, dunia dan akhirat. Kesimpulan ini mereka peroleh dari hasil penelitian (istiqra’) yang mereka lakukan terhadap nash-nash tasyri’ (al-Quran dan al-Sunnah), hukum-hukum syar’iy, illat-illatnya dan hikmah-hikmahnya.20 Dengan demikian maqashid al-syariah tidak bisa dipisahkan dari nushush al-syariah, bahkan maqashid al-syariah tidak terwujud tanpa nushush al-syariah. Di pihak lain, nushush al-syariah dalam penafsiran dan penjelasan maknanya perlu/harus memperhatikan maqashid al-syariah sehingga ketentuan hukum yang digali daripadanya tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga kontekstual. Maqashid al-syariah tidak hanya penting diperhatikan dalam menafsirkan nash, tetapi juga sangat dibutuhkan untuk menggali hukum syar’i yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Dalil-dalil sekunder semacam istihsan, mashlahah mursalah, dan ‘urf pada hakikatnya merujuk pada maqashid al-syariah. 1) Istihsān Istihsan dalam pengertian sederhana ialah kebijakan mujtahid yang menyimpang dari ketentuan al-qiyas yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum umum. Secara lebih bagus, syeikh Abdul Wahhab al-Khallaf mengatakan: istihsan ialah kebijakan mujtahid dengan berpegang kepada qiyās khafī dengan meninggalkan qiyās jali; atau meninggalkan hukum kulli dengan berpegang pada
20
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, h. 173.
hukum juz’ī-istitsnā’ī (hukum pengecualian) karena ada dalil yang menghendaki demikian.21 Jika seorang mujtahid dihadapkan pada dua dalil qiyās yang satu jalī dan yang lain khafī, maka pada dasarnya mujtahid harus berpegang pada dalil yang rājih, yaitu qiyās jalī. Namun, atas pertimbangan-pertimbangan (dalil) tertentu, mujtahid bisa meninggalkan qiyās jalī yang rājih dengan mengambil qiyās khafī yang marjūh. Cara kerja inilah yang dikenal dengan istihsān. Begitu juga, jika seorang mujtahid dihadapkan pada dua ketentuan hukum, yang satu hukum kullī dan yang lain hukum juz’ī-istitsnā’ī, kemudian mujtahid mengambil hukum yang juz’ī-istitsnā`ī dan meninggalkan hukum kullī atas dasar pertimbangan kebutuhan (dlarūrah atau hājah), ini juga disebut istihsān. Contoh, dalam hukum (ketentuan) umum ditetapkan bahwa obyek transaksi (ma`qūd `alaih) harus berupa sesuatu yang telah nyata ada. Akan tetapi, dari ketentuan hukum ini ada beberapa transaksi yang dikecualikan atas dasar kebutuhan masyarakat, seperti ijārah, salam, istishnā’ (mirip akad salam), dan lain-lain. Kedudukan istihsān sebagai salah satu pertimbangan penetapan hukum adalah masalah khilāfiyyah (kontroversial), sebagian menerima dan sebagian lain menolak. Imam Syafi'i merupakan salah seorang yang menolak istihsān, dengan ungkapannya yang sangat terkenal ع َ ( َم ْن اِ ْستَ ْ َس َنbarang siapa َ ا َُ ْد َش َّر menggunakan istihsān sebagai dalil, berarti ia telah membuat-buat syariat baru). Walau demikian, istihsān dengan pengertian di atas sesungguhnya secara de facto diamalkan oleh hampir semua fuqahā`, termasuk Imam Syafi'I sendiri. Sedangkan istihsān yang ditolak al-Syāfi'ī bukan istihsān dengan pengertian di atas melainkan istihsān yang didasarkan atas keinginan subjektif seseorang tanpa pijakan dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.22 Istihsān sesungguhnya bukanlah keinginan nafsu seseorang dalam proses penetapan hukum. Sebaliknya, istihsān mempunyai pijakan dalil yang muaranya tak lain untuk memelihara kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Pada kenyataannya, dalam berbagai kasus hukum, penggunaan istihsān tidak dapat dihindari. 21 22
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 79-80. Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 83.
2) Al-Mashlahah al-Mursalah Mashlahah berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat. Mashlahah dan manfaat adalah dua kata yang se-wazan dan semakna. Mashlahah juga diartikan sebagai tindakan yang membawa manfaat. Seperti menuntut ilmu adalah mashlahah karena dapat mendatangkan manfaat, berdagang adalah mashlahah karena membawa manfaat, dan seterusnya. Sedangkan dalam terminologi ushūl fiqh, mashlahah adalah setiap hal yang menjamin terwujud dan terpeliharanya maksud tujuan syāri` (maqāshid al-syarī`ah), yaitu hifzh al-dīn, hifzh al-nafs, hifzh al-`aql, hifzh al-nasl/hifzh al-`irdl, dan hifzh al-māl.23 Para ulama membagi mashlahah ke dalam tiga bagian, yaitu24: Pertama, adalah mashlahah mu`tabarah, yaitu mashlahah yang diapresiasi syāri` melalui nash al-Qur’an atau Sunah, seperti diharamkannya setiap minuman yang memabukkan. Kedua, adalah mashlahah Mulghā, yaitu mashlahah yang dinafikan oleh syāri` melalu nash Alqur'an atau Sunah, seperti penyamaan pembagian harta waris antara anak laki-laki dan anak perempuan yang dianggap sebagai mashlahah. Ketiga, adalah mashlahah Mursalah, yaitu mashlahah yang tidak memiliki acuan nash, baik nash yang mengakui (i`tibār) ataupun yang menafikannya (ilghā`), seperti merayakan maulid Nabi Muhammad saw., penulisan dan penyatuan al-Qur'an dalam satu mushhaf, pencatatan pernikahan, dan lain-lain. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan mashlahah mursalah. Walau begitu, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, syariat Islam terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi `ibādah dan dimensi mu`āmalah. Ulama sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan acuan hukum dalam wilayah `ibādah. Sebab, `ibādah berbasis pada ketundukan dan kepasrahan secara total, karena nilai mashlahah-nya tidak dapat dinalar akal pikiran manusia.25 Sedangkan dalam wilayah mu`āmalah, ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan mashlahah mursalah. Ulama yang menerima mashlahah mursalah
23 24
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 197-205. Abdul Karīm Zaidan, al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh, Mu’assasah Qurthubiyyah, Tanpa Tahun, h. 236-
237. 25
Abdul Karīm Zaidan, al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh, h. 238.
sebagai acuan hukum menetapkan syarat-syarat sebagai berikut: (a). harus berupa mashlahah haqīqiyyah-qath`iyyah (faktual), bukan mashlahah wahmiyyah (semu). (b). harus berupa mashlahah `āmmah-kulliyah (kemaslahatan umum), bukan mashlahah fardiyyah-khāshshah (personal-subjektif). (c). harus tidak berlawanan dengan hukum atau prinsip-prinsip yang ditetapkan berdasar nash atau ijmā`.26 (d). Al-Ghazālī menambahkan satu syarat, yaitu: mashlahah dimaksud bersifat dlarūriyyah (keharusan).27 3) `Urf `Urf adalah sesuatu yang sudah dikenal bersama dan dijalani oleh masyarakat, baik berupa perbuatan (`amalī) ataupun perkataan (qawlī).28 `Urf dan `ādah adalah dua kata yang mafhūm-nya berbeda tetapi mā shadaq-nya sama. Artinya, dua kata tersebut memiliki akar yang berbeda. Akan tetapi sesuatu yang disebut `urf sekaligus juga disebut `ādah dan sesuatu yang bisa disebut `ādah sekaligus juga bisa disebut `urf. Dengan demikian, `urf dan `ādah merupakan kata yang sinonim yang dalam bahasa indonesia disebut tradisi.29 Para ulama membagi `urf dari segi wilayah berlakunya ke dalam dua bagian. (a). `urf `āmm, yaitu `urf yang berlaku pada seluruh atau mayoritas umat manusia pada masa tertentu. (b). `urf khāshsh, yaitu `urf yang berlaku pada masyarakat, komunitas atau daerah tertentu pada masa tertentu.30 Sementara dari segi kesesuaiannya dengan nash dan prinsip-prinsip syariat, `urf dibagi menjadi dua macam; (a). `urf shahīh, yaitu `urf yang tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau Sunnah dan tidak menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan yang halal. (b). `urf fāsid, yaitu `urf yang bertentangan dengan nash
sharīh
Alqur’an
atau
Sunah,
menghalalkan
yang
haram,
atau
mengharamkan yang halal.31
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 86-87. Abd al-Hayy al-Farmawi, “Syuruth al-‘Amal bi al-Mashlahah al-Mursalah” dalam Hadyu alIslam, (Selasa, 6 Juli 2010). 28 Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 89. 29 Abd al-Jalil Mabrur, Mabahits fi al-‘Urf, Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun, h. 86-87. 30 Muhammad Gharayibah, “Takhshihs ‘Aamm al-Nash al-Syar’iy bi al-‘Urf”, dalam al-Majallah alUrduniyyah fi al-Dirasat al-Islamiyyah, (2005), ke-1. 31 Muhammad Gharayibah, “Takhshihs ‘Aamm al-Nash al-Syar’iy bi al-‘Urf”, dalam al-Majallah alUrduniyyah fi al-Dirasat al-Islamiyyah. Lihat juga Mahmud ‘Abud Harmusy, al-‘Urf, Beirut: Jami’ah al-Jinan, Tanpa Tahun., h. 5. 26 27
Namun, ada pandangan tunggal tentang kebolehan berhujjah dengan `urf. Walau demikian, para ulama sepakat bahwa `urf fāsid tidak dapat dijadikan acuan dalam penetapan hukum. Sedangkan `urf shahīh diperselisihkan di kalangan mereka. Aimmah al-mażāhib al-arba`ah menjadikan `urf shahīh sebagai acuan penetapan hukum, tapi dengan kadar berbeda. Imam Mazhab yang dikenal paling banyak menggunakan `urf adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi’i.32 Contoh-contoh `urf. (a). Perempuan yang haid dengan teratur, dalam menentukan kadar haid dapat berpedoman pada `urf-nya. (b). Pemberian pranikah terhadap calon istri tidak dipandang sebagai bagian dari maskawin berdasarkan `urf yang berlaku di sebagian daerah di Indonesia. (c). kata “almarhūm” dalam `urf Indonesia hanya digunakan untuk orang yang meninggal dunia. Padahal arti asalnya (yang dirahmati Allah) bisa digunakan untuk orang hidup atau orang mati. Ada beberapa kaidah terkait dengan peranan `urf sebagai acuan hukum, di antaranya : 33
ُ َْالْ ََ ْع ُر ًف عُ ْرًَذ َكذل ََْ ْ ُرَْ ِط َش ْرطذ
“Sesuatu yang telah dikenal sebagai suatu kebiasaan, sama halnya dengan sesuatu yang dianggap sebagai syarat” 34
ِ ت ِْذلْع ر ِ ِْف َكذل َّذ ِ َّص ّْ ت ِْذلن ْ ُ ُ ْال َّذ
“Sesuatu yang telah ditetapkan oleh `urf sama halnya dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh nash” Di samping sebagai acuan hukum, sesungguhnya `urf dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menjabarkan (tafsīr) ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat ijmālī dan tidak memiliki standar praktis. Dalam kitab al-Asybāh Wa al-Nazhā‘ir dikatakan:
32
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 90. Lihat juga: Mahmud ‘Abud Harmusy, al-‘Urf, h.
33
Ahmad bin Muhammad al-Zarqā, Syarh al-Qawāid al-Fiqhiyyah, Dimisyqa: Dar al-Qalam, 1989,
34
Abdul Aziz Muhammad Azzām, al-Qawāid al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar al-Hadits, 2005, h. 196.
5. h. 237.
35
ِ ا رب ع َِ ِهو إلَ الْع ر ِ ِ ِ ِ َ ِْضذ .ف َ َََال،ُك ُّ َمذ َََر َد ِْ ِو ال َّ ْرعُ ُمطََّْ ًُذ ُ َ ْ ُ ي، َََال َي ال َُّّغَة،ط لَوُ َهو ُْ
"Setiap sesuatu yang datang dari syāri` secara muthlak dan tidak ada batasan baginya, baik dalam syari’at maupun dalam kebahasaan, maka sesuatu tersebut dikembalikan pada `urf (kebiasaan)" Dengan menjadikan `urf sebagai salah satu acuan hukum maka hukum Islam menjadi sangat dinamis. Sebab, hukum dapat berubah karena berubahnya `urf. Dalam kaidah ushūl fiqh dikatakan
ِ ْاْلْح َكذم الَْلنِهةُ َع َّ الْع ر َّاغَه ًاغَهُّ ِرهِ َزَمذنذً َََم َكذنذ َف ت َا ُر ِْت َات ُْ َ َ ْ َ ُ ْ
36
“Hukum-hukum yang didasarkan pada tradisi bisa berubah sebab perubahan waktu dan tempat keberadaan tradisi tersebut.” Istinbath hukum berdasarkan ‘urf masuk dalam lingkup ijtihad istishlahi. Ini artinya, menjadikan maslahah sebagai tujuan syariat berkonsekuensi logis pada keharusan memperhatikan ‘uf manusia, selama tidak bertentangan dengan syariat. ***
II.
KHASHAISH AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA'AH Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah adalah firqah yang memiliki khashaish (kekhususan)
yang membedakan dengan berbagai firqah yang lain di dalam Islam. Khashaish itu merupakan berbagai keistimewaan yang dimiliki oleh berbagai firqah yang lain. Khashaish sebagai keistemewaan itu, antara lain:
1.
Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah merupakan satu-satunya firqah (golongan) diantara berbagai firqah di dalam Islam yang disebut oleh Nabi SAW. sebagai firqah ahli surga. Mereka adalah para shahabat Nabi SAW. yang dikenal dengan sebutan AsSalafush Shalih yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Nabi. SAW. dan dilanjutkan oleh tabi'in dan tabi'it tabi'in, dua generasi yang memiliki keutamaan 35 36
Al-Suyūthi, al-Asybāh wa al-Nadlāir fi al-Furū`, Semarang: Toha Putra, Tanpa Tahun, h. 69. Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 91.
sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. Kemudian diikuti oleh para pengikutnya sampai sekarang.
2.
Menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai dua sumber pokok syari'at Islam, dan menerima dua sumber yang lahir dari keduanya, yakni ijma' dan qiyas.
3.
Memahami syari'at Islam dari sumber Al-Qur'an dan As-Sunnah melalui: a.
sanad (sandaran) para shahabat Nabi SAW. yang merupakan pelaku dan saksi ahli dalam periwayatan hadits serta manhaj seleksinya, dan berbagai pemikiran
yang diimplementasikan
dalam pelaksanaan
tugas
tasyri'
(penetapan hukum syar'i) setelah beliau wafat. Mereka terutama empat shahabat yang disebut oleh Nabi SAW. sebagai Al-Khulafa' al-Rasyidun telah menyaksikan langsung dan memahami dengan cermat pelaksanaan tasyri' yang dipraktikkan oleh Nabi SAW. b.
sanad dua generasi setelah shahabat, yakni tabi'in dan tabi'it tabi'in yang telah meneladani dalam melanjutkan tugas tasyri'. Mereka telah mengembangkan perumusan secara kongkrit mengenai prinsip-prinsip yang bersifat umum, kaidah-kaidah ushuliyyah dan lainnya. Mereka adalah para Imam mujtahid, Imam hadits dan lainnya.
4.
Memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah secara menyeluruh berdasarkan kaidahkaidah yang teruji ketepatannya, dan tidak terjadi mu'aradlah (pertentangan) antara satu nash dan nash yang lain. Dalam hal, diakui dan diterima: a. empat Imam mujtahid termasyhur sekaligus Imam madzhab fiqh dari kalangan tabi'in dan tabi'it tabi'in yang telah merumuskan kaidah-kaidah ushuliyyah dan menerapkannya dalam melaksanakan tasyri' yang kemudian menjadi pedoman bagi generasi berikutnya sampai sekarang. Empat mujtahid besar itu; a. Imam Abu Hanifah An-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H.), b. Imam Malik ibn Anas (93173 H.), c. Imam Muhammad ibn Idris Asy-Syafi'i (150-204 H.), dan Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H.). b. para Imam madzhab aqidah, seperti Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324), dan Abu Mansur Al-Maturidi (W.333 H.). c. keberadaan tashawwuf sebagai ilmu yang mengajarkan teori taqarrub (pendekatan) kepada Allah SWT. melalui aurad dan dzikir yang diwadahi dalam thariqah sebagai madzhab, selama sesuai dengan syari'at Islam. Dalam hal ini
menerima para Imam tashawwuf, seperti Imam Abul Qasim Al-Junaid alBaghdadi (W.297H.) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H.).
5.
Melaksanakan syari'at Islam secara kaffah (komprehensif), dan tidak mengabaikan sebagian yang lain.
6.
Memahami dan mengamalkan syari'at Islam secara tawassuth (moderat), dan tidak ifrath dan tafrith.
7.
Menghormati perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, dan tidak mengklaim bahwa hanya pendapatnya yang benar, sedangkan pendapat lain dianggap salah.
8.
Bersatu dan tolong menolong dalam berpegang teguh pada syari'at Islam meskipun dengan cara masing-masing.
9.
Melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dengan hikmah (bijak/arif), dan tanpa tindak kekerasan dan paksaan.
10. Mengakui keadilan dan keutamaan para shahabat, serta menghormatinya, dan menolak keras menghina, mencerca dan sebagainya terhadap mereka, apalagi menuduh kafir.
11. Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi SAW. adalah ma'shum (terjaga) dari kesalahan dan dosa.
12. Tidak menuduh kafir terhadap sesama mukmin, dan menghindari berbagai hal yang dapat menimbulkan permusuhan.
13. Menjaga ukhuwwah terhadap sesama mukmin, saling tolong menolong, menyayangi, menghormati, dan tidak saling memusuhi.
14. Menghormati, menghargai, tolong menolong, dan tidak memusuhi pemeluk agama lain. Dasar Penetapan : 1.
Al-Qur'an
ِ َن ى ََّ ا َِر ( ﴾اُ ْْ َن َ َ ُالسل َّات َّ ََ ْ َلِ ُك.ا َي َّر َق ِْ ُك ْ َع ْن َسلِْه َِّ ِو ُّ اتَّلِعُ ْْا ََذ ُك ْ ِْ ِو ل ََع َّ ُك ْ ت َ ََالَ ت.ُاط ْي ُم ْستَ ُِ ْه ًَذ َذتَّلِ ُع ْْه َات َ َّ ﴿ ََأ َ )153 :اْلنعذم
الرس َ ِ ِ ِِ اتَّلِ ْع غَْه ِ ذءت هن ن ْ َِّ ِو َب َهنَّ َ ََ َس ْ اُ َْلّْ ِو َمذ تَ ا ْع ِد َمذ تَ ا َْلَّ ََنُ ْ اهَّ َن لَوُ ال ُْه َدى ََيَ الَ ْل من َْ ﴿ َََمن يُ َ ذق ِق َّ ُ ا َر َسله ِ ال َُْ ْؤمن َ مِ ْهراً﴾ ( النسذء)115 : َ ك َب َع َّْنَذ ُك ْ أ َُّمةً ََ َسطًذ لِتَ ُك ْنُْا ُش َه َد اءَ َع ََّ الن ِ ْل َع ََّْه ُك ْ َش ِهه ًد ا﴾ ( اللُرة)143 : الر ُس ُ َّذس ََيَ ُكْ َن َّ ﴿ََك ََّلِ َ َ اتَّلِعْا أَى ْاء قَ ٍ ﴿ قُ يآ أ َْى ال ِ ْكتَ ِ ض َُّّْا َع ْن اغْ َُّْا َِي ِدينِ ُك ْ غَْه ض َُّّْا ِم ْن قَ ذب الَ تَ َض َُّّْا َكِ ًهرا ََ َ ا ْل ُ ََأ َ ا ْْم قَ ْد َ ا َر الْ َ ّْق ََالَ تَ ُ ْ َ َ َْ َ السلِه ِ ﴾ (الَذئدة)77 : َس َْ ِاء َّ ِ ِ َض ُّ ِم ََّ َن اتَّ ا ْه ِدي ﴿ َِإ ْن لَ ْ يَ ْستَ ِجهلُْا ل َ اتَّلِ ُعْ َن أ َْى َْ َاء ُى ْ َََم ْن أ َ الَ َع َى َْاهُ ِْغَْه ِر ُى ًدى م َن اِ إِ َّن اَِ الَ يَ َك َذ ْع ََّ ْ أَنَّ ََذ يَ ِِ هن﴾ (الُْص.)50 : الْ َُ ْْ َم الظَّذلَ َ ﴿يذأَي َّ ِ ِ ِ هن﴾ (اللُرة)208 : ين ءَ َامنُْا ا ْد ُح َُّْا َِي ّْ الس َّْ ِ َكذ ََّةً ََالَ تَ اتَّلِعُْا ُحطَُْات ال َّ ْهطَذن إِنَّوُ لَ ُك ْ َع ُد َّّ ُملِ ٌ َ اُّ َهذ الَّ َ اِ إِالَّ الْ َّق إِنََّذ الَْ ِس ِ ْل ِ ِ ﴿يآأ َْى ال ِ اُ ْلُْا َع ََّ ِ ْكتَ ِ هس اْْ ُن َم ْريَ َ َر ُس ُ اغْ َُّْا َِي ِدينِ ُك ْ ََالَ تَ ذب الَ تَ اِ َََك َّ ََتُوُ َ َ َ ُ هح ع َ َ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ا ُهْا َح ْه اُْلُْا ثَالَثَةٌ انْ َح م ْنوُ َآمنُْا ْذِ ََُر ُس َّو ََالَ تَ ا ًرا لَ ُك ْ إِنَّ ََذ اُِ إِلَوٌ ََاح ٌد ُس ْل َ ذنَوُ أَ ْن يَ ُك ْ َن لَوُ اتَ أَلْ َُ َ ذىذ إِلَ َم ْريَ َ ََُر ٌ ِ ض ََك َي ِْ ِ َلَ ٌد لَوُ مذ َِي َّ ِ ذِ ََكِهالً﴾ (النسذء)171 : َ َ الس ََ َْات َََمذ َي اْْل َْر ِ َ َْ ْاْ ِْ ل ِ ِ ِ ا َي َّرقُْاْ﴾ (آل عَ ران)103 : اِ َب َِهعذً ََالَ تَ ﴿ ََا ْعتَ ُ َ ْ اهَّن ُّ ِ ذِ َ ِ ا ْؤِمن ِْ ِ ِ ك ِْذل ُْع ْرََةِ ال ُْْثْ ا َُ الَ ﴿الَ إِ ْك َراهَ َِي الدّْي ِن قَ ْد تَ استَ َْ َس َ ا َُد ْ الر ْش ُد م َن الْغَ ّْي َ ََ ْن يَ ْك ُي ْر ِْذلطَّذغُْت ََيُ ْ الَ َ ِ هع َع َِّه ٌ﴾ (اللُرة)256 : ذم ل ََهذ ََاُِ َس َِ ٌ َْ انْي َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ع إِلَ سلِه ِ رّْْ َ ِ ِ ض َّ َع ْن َسلِهَِّ ِو َح َس ُن إِ َّن َرَّْ َ ك ُى َْ أَ ْع ََّ ُ ِْ ََ ْن َ ﴿ا ْد ُ ك ِْذلْ ْك ََة ََال ََْ ْْعظَة الْ َ َسنَة ََ َبذدل ُْه ْ ِْذلَّتي ى َي أ ْ َ َ ِ ِ ين﴾ (الن )125 : ََ ُى َْ أَ ْع ََّ ُ ْذل َُْ ْهتَد َ ﴿إِنََّذ الَْ ْؤِمن ْ َن إِ ْحْةٌ َأ ِ َح َْيْ ُك ْ ََاتَّ ا ْر َح َُ ْ َن﴾ (ال جرات)10 : اُ ْا اَِ ل ََع َّ ُك ْ تُ ا ْه َن أ َ َ ُ ُ َ ْ ََ َّ ُ ْا َْ َّ ِ ْ ا ْن ا ُْ ِسطُْا إِل َْه ِه ْ إِ َّن اَِ يُ ِ ُّ َى ْ ََتُ ا َُذتَُُِّْك ْ َِي الدّْي ِن ََلَ ْ يُ ْخ ِر ُب ُْك ْ ِم ْن ِديَذ ِرُك ْ أَ ْن تَ ا ُّر ُ الَ ين لَ ْ يُ ﴿الَ يَ ا َهذ ُك ُ اُِ َع ِن الَّ َ ِِ هن﴾ (الَنت نة)8 : ال َُْ ُْ سط َ 2. As-Sunnah
ذل رس ُ ِ َعن َعل ِد ِ َ َّ اُِ َع ََّْه ِو ََ َس َّ َ( :لَهَأْتِهَ َّن َع ََّ أ َُّمتِي َمذ أَتَ َع ََّ َْنِي إِ ْس َرائِه َ َح َّْ ََ اِ ْْ ِن َع َْ ٍرَ قَ َ ْ ْ ْل اِ َ ذل :قَ َ َ ُ ِ ِ ِ ا ْع ِ َحتَّ إِ ْن َكذ َن م ْن َّع ِ ِْذلنَّ الن ت َع ََّ ا َي َّرقَ ْ كََ ،إِ َّن َْنِي إِ ْس َرائِه َ تَ ْنَ ُع َل َ ا ُه ْ َم ْن أَتَ أ َُّموُ َعالَنِهَةً لَ َكذ َن َي أ َُّمتِي َم ْن يَ ْ اْ ِ ِ ث َسل ِع ِ ِ ِ ٍ ِ ْل "ََم ْن ِى َي يَذ َر ُس َ هن ِم َّةً ََتَ ثِْنتَ هن م َّةًُ ،ك َُّّ ُه ْ َي النَّذ ِر إِالَّ م َّةً ََاح َدةً) قَذلُْاَ : ا ْيتَ ِر ُق أ َُّمتي َع ََّ ثَالَ َ َ ْ َ ا ْه ِن ََ َس ْلع َ ِ ِ ََ َ ذِْي) .رَاه الترمَّي اِ؟" قَ َ (مذ أَنَذ َع ََّْهو ََأ ْ ذلَ : ِ ْل ِ اْلَ َ َع ََّْه ا ٍْْم ثُ َّ أَق َ َّ ِْنَذ َر ُس ُ انَذ َ ا َْ َعظَنَذ َم ْْ ِعظَةً ََِّْهغَةً اِ ََّ اِ عَّهو َسَّ َ َ َع ْن الْع ْرَْ َ ذض ْْ َن َسذ ِريَةََ : ات يَ ْل ِ اِ َكأ َّ ذل: انَذَ ، ا ْع َه ُد إِلَْه ْب َ ت ِم ْن ت ِم ْن ا َُ َ ذل قَذئِ ٌ يَذ َر ُس َ ا َُ َ َن َى َِّهِ َم ْْ ِعظَةُ ُم َْد ٍّْع َ ََذ َ ا تَ ا َهذ ال ُْعهُْ ُن ََََ ِب ََّ ْ َ َرَ ْ ا َهذ الُْ َُّ ُ ذع ِة َإِ ْن َعل ًد ا حل ِ هِّذ َِإنَّو من ي ِع ش ِم ْن ُك ْ ِ ا ُْ ْى ِ ِ ِ ا َرى ا ْحتِالًََذ َكِ ًهرا َ اِ ََ َّ ُ َْ َ ْ ا ْعدى َ َسهَ ْ َ الس َْ ِع ََالطَّ َ َ ْ َ َ ا َع ََّْه ُك ْ (أََُه ُك ْ ْتَ َ ِ ِ ِ اَّْ ِاب َِّ َإِيَّذ ُك َم َدثَ ِ ِ ِ الر ِاش ِدين تََ َّس ُك ْا ِْ َهذ َ َعضُّْا َع ََّْه ِ ذت اْل ُُم ِْر َِإ َّن ُك َّ َ ْ َُ ْ َ هن َّ َ َ ْ ُسنَّت ََ ُسنَّة الْ ُخ ََّ َيذء ال ََْ ْهديّْ َ ا َهذ ْذلن َ ضالَلَةٌ) .رَاه أْْ داَد ُم ْ َدثٍَة ِْ ْد َعةٌ ََُك َّ ِْ ْد َع ٍة َ ِ َن رس َ ِ ٍِ َع ْن أَنَ ِ َ َّ اُِ َع ََّْه ِو ََ َس َّ َ قَ َ هن َِ ْرقَةً ا َي َّرقَ ْ ذل( :إِ َّن َْنِي إِ ْس َرائِه َ تَ ْل اِ َ س ْْ ِن َمذلك أ َّ َ ُ ت َع ََّ إِ ْح َدى ََ َس ْلع َ ِ اع ْ َن َِرقَةً َ َح ََّْ ْ ِ ِ ِ هن هن َِ ْرقَةً َ َ ا ْيتَ ِر ُق َع ََّ اثْ ا َه ََّ َك ْ ا ْه َِّ ُ اتَ انَتَ ت َ ْرقَةٌ ََاح َدةٌ ََإِ َّن أ َُّمتِي َستَ ت َس ْل ُ ْ َ َ ك إِ ْح َدى ََ َس ْلع َ ا ْه ِن ََ َس ْلع َ ْل ِ ذعةُ) .رَاه أحَد ْك ال ِْي ْرقَةُ؟ قَ َ ص َِ ْرقَةٌ) قَذلُْا :يَذ َر ُس َ اِ َم ْن تَِّ َ ْج ََ َ ْج ََ َ ذعةُ ال َ ذل ( :ال َ ََتَ ْخ َُّ ُ ِ ذل رس ُ ِ س ْْ ِن مذلِ ٍ ك قَ َ َ َّ اُِ َع ََّْه ِو ََ َس َّ َ( :إِ َّن َْنِي إِ ْس َرائِه َ ا َْ هن َِ ْرقَةً ا َرقَ ْ اتَ ْل اِ َ َع ْن أَنَ ِ َ ذل :قَ َ َ ُ ت َع ََّ إِ ْح َدى ََ َس ْلع َ ِ ِ ِ اه ِن َسل ِع ِ ِ ذعةُ) .رَاه اْن مذبو ْج ََ َ ََإِ َّن أ َُّمتِي َستَ هن َ ْرقَةًُ ،ك َُّّ َهذ َي النَّذ ِر إِالَّ ََاح َدةً ََى َي ال َ ا ْيتَ ِر ُق َع ََّ ث ْنتَ ْ َ َ ْ َ اهلةُ ْن س ِع ٍ َح َْ ِ عن قُ ا َر ِاىه َ ْْ ِن يَ ِزي َدَ ،ع ْن َعلِه َدةَ ي ،قَ َذالَ :ح َّدثَ الس ِر ّْ َّذد ْْ ُن َّ هد ََ َىن ُ ْ ٍْرَ ،ع ْن إِْْ انَذ أَُْْ ْاْل ْ صَ ،ع ْن َم ْن ُ اتَ ْ َ ْ ُ َ َّ ِ ا ر أ َُّمتِي الْ َُ ر ُن الَّ َِّين ي ِ ْل ِ الس ََّْذنِ ّْيَ ،عن َعل ِد ِ ِ َّ اِ َ َّ ين ذل َر ُس ُ ذل :قَ َ اِ ،قَ َ ْ ْ َ َ ْ ا َُّْني ،ثُ َّ الَّ َ َّ َ َ اُِ َع ََّْهو ََ َس ََ ( :ح ْه ُ اْم تَسلِ ُق َشهذدةُ أ ِ َّ ِ ِ ذدتَوُ» لَ ْ يَ َّْ ُك ْر َىنَّذ ٌد الْ َُ ْر َن َِي َح ِديِ ِو، ا َُّْنَ ا َُّْنَ َح ِدى ْ يَ َِهنَوُ ََيَ َِهنُوُ َش َه َ ََ َ ين يَ يَ ا ُه ْ ،ثُ َّ يَجيءُ قَ ْ ٌ ْ ا ُه ْ ثُ َّ الَّ َ ا َْْ ٌام) .متيق عَّهو ا ْهلَةُ :ثُ َّ يَ ِجيءُ أَق َقَ َ ذل قُ اتَ ذل رس ُ ِ ذف َع ََّ أ َُّمتِي اْلَئِ ََّةَ ِ ْل ذل َر ُس ُ ذلََ :قَ َ هن) ،قَ َ ا َْْْذ َن قَ َ َح ُ َع ْن ثَ َ َّ ال َّوُ َع ََّْه ِو ََ َس َّ َ( :إِنَّ ََذ أ َ ْل ال َّو َ ذل :قَ َ َ ُ الَض َّّْ َ ُ ِ ِ ِ ِ ِ ض ُّرُى ْ َم ْن يَ ْخ َُّل ُُه ْ َحتَّ يَأْتِ َي أ َْم ُر ال َّ ِو). َ َّ ال َّوُ َع ََّْه ِو ََ َس َّ َ( :الَ تَ ين َال يَ ُ ال َّو َ ا َز ُال طَذئ َيةٌ م ْن أ َُّمتي َع ََّ ال َ ّْق ظَذى ِر َ رَاه الترمَّي ِ ذل( :الَ يجَ ع ال َّوُ أ َُّمتِي َع ََّ َ ٍ ِ َع ِن اْْ ِن ُع ََ َر ،أ َّ ذع ِة َ َّ اُِ َع ََّْه ِو ََ َس َّ َ ،قَ َ ْج ََ َ َن نَلِ َّي اِ َ ضالَلَة أََْ ًد اََ ،يَ ُد ال َّو َع ََّ ال َ ََُْ الس َْ َاد اْلَ ْعظَ ََِ ،إنَّوُ َم ْن َش ََّّ َش ََّّ َِي النَّذ ِر» .رَاه ال ذك َى َك ََّ اَ ،ذتَّلِ ُعْا َّ
ِ ِِ ْ َ ا ََّ َُط ُ ْت لَوُ نَذ قَتو الُْ ْط لي َح ً َّذس ( َ ْذرُم ْا) ثُ َّ قَ َ ذل( :يَذ أَيُّ ا َهذ الن ُ
ذل رس ُ ِ َع ْن اْْ ِن َعلَّ ٍ ذس قَ َ َ َّ اُِ َع ََّْه ِو ََ َس َّ َ غَ َد اةَ ال َْع َُلَ ِة ََ ُى َْ َع ََّ ْل اِ َ ذل :قَ َ َ ُ ِ ا ُي ُ ِ ِ سل ع ح ٍ ىؤالَ ِء ا ْن ْل أ َْم َ َ اُ ُ ذل ُ ْهَذت ُى َّن َح َ َْ َ َ َ ض ُه َّن َي َك ّْيو ََيَ ْ الْ َخ َّْف َ َج َع َ يَ ا ََّ ُك ْ الْغَُُّ ُّْ َِي الدّْي ِن) .رَاه النسذئي َاْن مذبو (َالَّيظ لو)َ .أحَد ا ْل ك َم ْن َكذ َن قَ إِيَّذ ُك ْ ََالْغَُُّ َّْ َِي الدّْي ِن َِإنَّوُ أ َْى ََّ َ الْ َ ذَْةُ ُك َُّّ ُه ُع ُد ٌ َل) .رَاه اللههُي عن مذلك ْن أنس رضي اِ عنوَّ ( : اتُ ْ ) .رَاه رزين ُّج ِْم ِْأَيّْ ِه ُ ا ق عن عَر اْن الخطذب ،قَ َ ذل( :أ ْ اتُ ُ ْاىتَ َديْ اْتَ َديْ ََ َ ذِْي َكذلن ُ
ِ ذل رس ُ ِ ا ْي ِسي ا َرةَ ،قَ َ ََ َ ذِْيَ ، ا َْالَّ َِّي نَ ََ َ ذِْي ،الَ تَ ُسلُّْا أ ْ َ َّ اُِ َع ََّْهو ََ َس َّ َ( :الَ تَ ُسلُّْا أ ْ َع ْن أَِْي ُى َريْ ْل اِ َ ذل :قَ َ َ ُ ا َي َق ِم ْ أُح ٍد َ َىلذ ،مذ أَ ْدر َك م َّد أَح ِد ِى َ ،الَ نَ ِ ِْهَ ِدهِ ل َْْ أ َّ ْه َيوُ) .متيق عَّهو َح َد ُك ْ أَنْ َن أ َ َ ُ ً َ َ ُ َ ْ َ َن رس َ ِ َعن َعل ِد ِ ا َُ ْد اِ ْْ ِن ُع ََ َر َر ِض َي اُِ َع ْن ذل( :أَيُّ ََذ َر ُب ٍ قَ َ َ َّ اُِ َع ََّْه ِو ََ َس َّ َ قَ َ ذل ِ ْل َِح ِهو يَذ َكذَِ ُرَ ، ْ ْ ْل اِ َ ا ُه ََذ :أ َّ َ ُ َح ُد ُى ََذ) .منيق عَّهو ذء ِْ َهذ أ َ َْ َ 3. Aqwal al-Ulama آل رسْل اِ َأَلهذؤه ،م َد ْن علد الرحَن ْن م َد العذََي ال نلَّي ،ج ،1ص : 110 َاإلسنذد من حْذئص ىَّه اْلمةَ ،ىْ من حْذئص اإلسالم ،ث ىْ َي اإلسالم من حْذئص أى السنة. رسذلة إل أى ال غر ْلذب اْلْْاب ،أْْ ال سن عَّي ْن إسَذعه ْن إس ذق ْن سذل ْن إسَذعه ْن علد اِ ْن مْس ْن أْي ْردة ْن أْي مْس اْلشعري ،علد اِ شذكر م َد الجنهدي ،الَدينة الَنْرة ،عَذدة الل ث العََّي ،ج ،1ص :172 َأبَعْا عَّ الكف عن كر الْ ذْة عَّهه السالم إال ْخهر مذ يَّكرَن ْوَ ،عَّ أنه أحق أن ين ر م ذسنه ، َيَّتَس ْلَعذله أَض الَخذرجَ ،أن نظن ْه أحسن الظنَ ،أحسن الََّاىْ مَت َّهن َي لك لُْلو رسْل اِ ََّ اِ عَّهو َسَّ ( :إ ا كر أَ ذْي َأمسكْا)َ .قذل أى العَّ معن
لك ال تَّكرَى إال ْخهر الَّكر*** .
)III. PASAR BEBAS (FREE TRADE Deskripsi Sebagai bagian dari warga dunia, Indonesia tidak bisa menghindar dari system perdagangan global yang mempertukarkan barang dan jasa dengan mekanisme
tertentu. Ada banyak mekanisme perdagangan global, salah satunya adalah diberlakukannya pasar bebas, dimana penjualan produk antar negara tidak lagi dikenakan pajak, bea masuk atau hambatan perdagangan lainnya. Peran pemerintah kurang lebih seperti wasit yang memastikan tidak ada kecurangan, sementara aturan mainnya ditentukan oleh regulasi internasional seperti GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), WTO (World Trade Organisation), GATS (General Agreement on Trade in Services), TRIPs (Trade Related Intellectual Property Right), TRIMs (Trade Related Invesment Measures), AoA (Agreement on Agriculture) dan sebagainya. Dalam konteks lokal Asia Tenggara, Negara-Negara yang tergabung didalam ASEAN telah sepakat untuk memberlakukan pasar bebas yang disebut AFTA (Asean Free Trade Area) pada bulan Desember 2015. Beberapa point kesepakatan AFTA antara lain adalah penghapusan pembatasan komoditas dan penghapusan bea masuk impor komoditas yang berada dalam kategori General Exception (GE). Di luar GE, diberlakukan CEPT- AFTA (Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area), yakni tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif. Komoditas CEPT- AFTA umumnya adalah komoditas yang terkait dengan keamanan nasional, keselamatan, atau kesehatan manusia, binatang, dan tumbuhan, serta untuk melestarikan obyek-obyek arkeologi dan budaya. Dengan diberlakukannya AFTA, arus barang, jasa, investasi, tenaga terampil dan modal akan berputar secara bebas diantara Negara ASEAN. Mereka yang memiliki daya saing tinggi akan meraup keuntungan besar, sementara yang tidak memiliki daya saing akan menjadi pasar bagi pihak lain. Berdasarkan data, Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index/GCI) Indonesia tahun 2014 berada di peringkat 34, sementara Singapura berada di peringkat 2, Malaysia di peringkat 20, dan Thailand yang berada di peringkat ke-31. Sementara Filipina berada di peringkat 52, Vietnam di peringkat 68, Laos di peringkat 93, Kamboja di peringkat 95, dan Myanmar di peringkat 134. Dengan posisi ini, dapat dikatakan bahwa posisi Indonesia belum terlalu siap. Namun sekarang bukan waktunya mempertanyakan kesiapan Indonesia, karena AFTA akan dimulai beberapa bulan lagi. Pada aras inilah NU perlu tampil ambil bagian. Sebagai ormas keagamaan terbesar, NU diharapkan mampu memberikan landasasan syar’i agar penanganan pasar bebas (free trade) tetap mengacu kepada fitrah
kemanusiaan. Sementera di level praksis, NU diharapkan mampu menyodorkan konsep yang mampu mengayomi warga dari serangan modal yang kian masif. Pertanyaan 1.
Bagaimana pandangan Islam tentang pasar bebas?
2.
Bagaimana keberpihakan Negara kepada rakyat dan ekonomi nasional?
3.
Apa yang perlu dilakukan oleh NU sebagai jam’iyyah?
Jawaban 1. Pandangan Islam Tentang Pasar Bebas Dalam pandangan Islam, manusia adalah alkaun al-jami’ yang diharapkan mampu ber-relasi secara baik secara intrapersonal (hubungan dengan diri sendiri), interpersonal (hubungan dunia sosial dan alam) dan transpersonal (hubungan dengan Allah). Oleh karena itu, setiap orang diperintahkan untuk hidup seimbang. Disamping harus berserah diri kepada Allah dengan beribadah (mahdlah), ia juga berkewajiban mencari penghidupan (ma’isyah) untuk mempertahankan hidupnya. Antara dunia dan akhirat, antara ibadah dan ma’isyah, antara masjid dan pasar, tidak berdiri secara diametral, namun berada dalam formasi keseimbangan
ِ ادَّار ْاو ِ ات ِ َا ْن س ن َّ ان ال َّ اذك ال ُّ ا ا ْل اوُ إِلَْه ا َح َس ا ََ ان َك َح ِس ان ال ك ِم ا ْ َح اوُ ال ا ا َه ِا َا ْادن َاك َََال ت َارةَ َََال ت َاذ َآت َا َ َاهل َ ْْ ََا ْ اذ أ ْ اهَذ ََأ ْا َا َا َ ا َ َ ِا َا َ ا ِِ ِ ذد َِي ْاْل َْر )77( ين ُّ ِ ُض إِ َّن ال َّوَ َال ي َ الْ َي َس َ ْ ال َُْ ْي سد ِ ِ ضه ِ اتَ ِ ُرَا َِي ْاْل َْر ا ْي َِّ ُ ْ َن َّ ت ْالْ َالةُ َذن ْ َ اغُْا ِم ْن ُض ِ ال َّ ِو ََا ْ ُك ُرَا ال َّوَ َكِ ًهرا ل ََع َّ ُك ْ ت َات ْْض ََا َ ُ َِإ َ ا ق اعَ لدنهذك كأنك تعهش اْدا َاعَ وحرتك كأنك تَْت غدا اذء ا اِ ) احه اَّة ال ََْاة ال الدين َالدنهذ َال نظذم الدين اال ْنظذم الدنهذ َذن الدنهذ مزرعة اْلحرة َى اول ِ َّ اه ج ِ ِ ِ ِ َََّذد من لَ يالَ ِزم َِي ط ِ ِالةَ اْ ِال قْت ض َ َان ْ ُ ْ َْ ْ َ ا ْنتَ ِه َ ََن ي ْ الس َد ا د ََل َ ْذل َرت ََن ي ْ ) ل117 ,4 ,عَّْم الدين َ َ ْ اْ َلَع ْه َ ة م ْن ِ ِ ِ آد ُّ ْ ,2 ,ا َع ِة ) احهذء عَّْم الدين اهَذ ََ ِس ْه ْالدن َ ِْ َّب َِي طَََّلِ َهذ ْ اتَأَد ْاب ال َّ ِري ْا ََّةً إِل َ اْوَح َرة ََ َ ِري َا َعةً َمذ لَ ْ ي َ ََََّم ْن ط )62 Mengingat bahwa kemampuan seseorang berbeda antara yang satu dengan lainnya, maka untuk memenuhi kebutuhan, mereka harus melakukan pertukaran. Pertukaran ini dilakukan oleh sebuah mekanisme yang dikemudian hari dikenal dengan istilah mekanisme pasar. Mekanisme pasar adalah proses yang berjalan atas
dasar gaya tarik-menarik supply dan demand sehingga terjadi kesepakatan pada titik equilibrium. Mekanisme pasar tersebut harus diakui telah terbukti berguna untuk memecahkan banyak permasalahan ekonomi. Oleh karena itu, Islam pada dasarnya mengakui keberadaan mekanisme pasar. Harga sebuah barang atau jasa diserahkan kepada keseimbangan permintaan dan penawaran. Keseimbangan ini terjadi bila antara penjual dan pembeli bersikap saling merelakan. Jadi, harga ditentukan oleh kemampuan penjual untuk menyediakan barang yang ditawarkan kepada pembeli, dan kemampuan pembeli untuk mendapatkan barang tersebut dari penjual. Dalam posisi pasar sempurna seperti ini, Negara tidak boleh melakukan intervesi pasar.
ان ُك ِْذلْل ِ اِ اذ الَّ ارا ٍ اْا ا اذرةً َع اْ َن تِ َج ا ذطا ِ إَِّال أَ ْن تَ ُك اأْ ُك َُّْا أ َْم ا ا اُّ َه اذ أَي ا ا َُّ ض ِما ْن ُك ْ َََال تَ ان تَ اْا َال تَ ين آ ََمنُ ا ُْتُ اْ ا ْها َ ْ َ اْالَ ُك ْ َْ يَ اَ اَّ َ اَ اَ ِ ِ هَذ ()29 أَنْ ا ُي َس ُك ْ إِ َّن ال َّوَ َكذ َن ْ ُك ْ َرح ً ِ ِ ا َهذ ) احهذء عَّْم الدين)410 ,1 , ذب ِم ْن اْْل ْ َس َْا ُق َم َْائ ُد اِ تعذل َ ََ ْن أَتذَ َىذ أ َ ََ َ
اة . ا اذ الزراع ا ان َهه ا اة اليَك ا اكنذن قري ا اذر ي س ا اداد َالنج ا اة َالج ا اذ اليالح ا اهس َهه ا اة ل ا اكن قري ا اذ ي س ا االح رَْ ا اذن الي ا َ او اأ حَّمن ا ي اده لالحرحت اَّل مذعن َلذلضرَرة يهتذج اليال ح الههَذَيهتذبذن ال اليالح َههتذج احدىَذان ي ل عرضو َ الك ْطريق الَعذَضة االان النجذرم ال ا اطَّْ من اليالح الغَّاءْذلتو رَْذال يهتذج اليالح َ
ا
اك اي ال اذم َ اده طع اذن عن اذ ك اذم رَْ اذر ْذلطع ان النج اة م لك الْقت ال التو َال يلهعو َاليال ح ا ا طَّْ اول اذحلهذارْذب انذعة لهترَدْهذَ الْقت َاليهتذج الهو َتعْق اْلغرا ض َذ ضطرَا ال حذنْت يجَع الة ك َ اذب ا ادْو ارْ ا اذت لهترَ ا اذحْ االْه ا انه َ ا اتريو م اْن َها ا اال ح ا اع الههذمذي َا الي ا اذت يجَ ا اذت َاليذْه ا ال ذب ا َن اذ ْ ال ذبذت َظهرت لَّالك االسْاق َالَخذزن َه َ اليالح ال لْب َذ ا ل يْذدف مهتذبذ ْذعه رحهص من اللذعة َه زن ْنهذ َ انتظذر أرْذب ال ذبذت طَعذ َ الرْح ) .احهذء عَّْم الدين)222 ,3 , الس ْع ر َع ََّ َع ْه ِد ر ُس ِ َ ع ْن أَنَ ٍ ذل ا َُ َ ا َُذلُْا يَذ َر ُس َ س قَ َ ْل ال َّ ِو َس ّْع ْر لَنَذَ . ْل ال َّ ِو ََّ -اِ عَّهو َسَّ َ - َ ذل غَالَ ّْ ُ اة َِ ا َِْظَََّْ ٍ إِ َّن ال َّوَ ى ْ الَْ س ّْع ر الْ َُذِْض الْل ِ ِ ِ ا َح ٌد ِم ذس ُ ط َّ سأَ ُ َ ا ْن ُك ْ يَطَُّْلُن َ َ َُ ُ َ ُ الرزَّا ُق ََإنّْ ْل َْر ُب ْ أَ ْن أَلْ َُ َرّْْ ََل َْه َ ِ ِ يث ح سن ِ َدٍم َالَ َم ٍ هح. ذل » .قَ َ هس َى ََّ ا َحد ٌ َ َ ٌ َ َ ٌ َ ذل أَُْْ ع َ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ َّ اد ، ا ِن ُم َ ََّ ا ِن الْ َُذس اذ ِر َ ،ع ََّ َ قَ َ اذل ٍح الت َّ َّر َاَْرد ُّ ا ِ ْْ ي َ ،ع ْن َد ُاَ َد ْْ ا ِن َ ذل ال َّ ذَع ُّي َرض َي ال وُ َع ْنوُ " :أَ ْحلَ ا َرنَذ الد َ ار ِْ ِ اِ اِ ا ِ ا ِن أَِْ اِ ار ،أَنَّ ان اأَلَوُ َع ْ َ َ ،س اذ َزِْه ا اذن َِه ِه ََ ْ اةَ ِْ ُس ا َع ا ذط اوُ َم ا ان ُع ََ َع او ِغ َر َارتَ ا َّْتَ اه َن يَ َديْ اْ اْ ْْ اْق ال َُْ َ اْ ا َّ َََْ اي َْ ا َّ َ اْ اٌ اَ اِ اٍ اذئِ ِ اديْ ِن ِْ ان الطَّ ا َّ ا ّْ اذ ُ ََ ،ى ا ف تَ ْ َِ ا اة ِم ت ِْ ِعه ا ْد ُح ار :لَ َُ اذل ُع ََ ا َُ اوُ ُم ا ا اع ِرِى ََذ َ َس ِس اَ اعَّ َر لَ ا ٍر ُم ُْلََِّ اد ْرَى ٍ َ ، ادثْ ُ اْ ا ُ َزِْهلً اْ اَ اُ اع َِ ِ اع ا ََّ ََّ اف ِش اتَلِ َهع اع ِر ََ ،إِ َّم اع َر َك َِ ،إ َّم تَ ، ات َ اي ّْ اوُ َك ْه َ اذ أَ ْن تُ اذ أَ ْن تَ ا ْد ِح َ َزِْهلَ َ اْ َ ا ْه َ الس ْ ا ْعتَلِ ُرَ َن س ْ اك الْلَ يَ اذ َر َب َ ا ْرَ َ ِ او :إِ َّن الَّ ِ اه س ِْع ِزيَ ٍ اذء ، اي َد ا ِرهِ َ اذ َِ اة ِمنّْ ا َُ َ اَّي قُ ْ نَ ا ْي َسوُ ،ثُ َّ أَتَ اي َََال قَ َ ات لَ َ ا َّْ ُ اذل لَ ُ ا َحذطلً ُع ََ ُر َح َ اك لَ ْ َ َ َ ضً ذس َ ت ِْ ِو الْ َخه ِ اذل ال َّ ا ََّ ا اذَِ ِع ُّي ) ََ َى اف ِش اع ( .قَ َ ا ََّ ِد ْ َ َ ،ه ُ اع َََك ْه َ إِنَّ ََذ ُى َْ َش ْي ءٌ أ ََر ْد ُ اْ َ ث ِشْ َ ْ ت َلِ ْ ت َلِ ْ ا َر ْل َْى ِ الْلَ ا ُْْ لَه ِ ٍ ف لَِذ رَى مذلِ ٌ ِ ض الْ ِد ِ يث ،أ ََْ َرََاهُ َم ْن َرََى َع ْنوُ َ ََ ،ى ََّ ا الْ َ ِد ُ ا ْع َ َ ك ََلَكنَّوُ َرََى َْ س ِْخ َال َ َ َ َ يث ُم ْستَ َ ْ َ
يث َ ِ َن النَّذس م س َّطُْ َن َع ََّ أَم ْالِ ِه ،لَه ِ آح ِرهِ ِ َِْ ،و أَقُ ُ ِ ِ ِ ِ ِ ْح ََّ َىذ َََال َش ْهًْذ َح ٍد أَ ْن يَأ ُ س ْل َ َ أَتَ ْأ َََّل الْ َ د َ ْل ْ :ل َّ َ ُ َ َْ ْ ْ َ ا ُي ِس ِه ،إَِّال َِي الَْ ْ ِ ا َهذ ِْغَْه ِر ِط ِ ا َهذ "(ال ذَي)407, 5 , س ِم ْن ِم ْن اض ِع الَتِي تَ هْ أَنْ ْ ََ ا َّ َْزُم ُه ْ ََ َى ََّ ا ل َْه َ
( تنلهو ) قذل َي الَغني ي رم التسعهر َلْ َي َقت الغال ء ْأن يأمر الْالي السْقة أن ال يلهعْا أمتعته إال اة ا اَّلك (اعذن ا اْ ك ا اة َى ا اتص ْذْلطعَ ا اك ال يخ ا ا أن ل اهة كالمه ا اْاله َقض ا اي أم ا اذس َ ا ا الن اههق ع َّ ا اَّا لَّتض ا ْك الطذللهن)25,3, pendapatan,
distribusi
soal
dimana mekanisme pasar tidak
misalnya
tertentu,
masalah
Dalam
ketidaksempumaam pasar, dan eksternalitas,
mampu menyelesaikan dengan baik, Pemerintah wajib turun tangan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi pasar untuk menjaga kesinambungan perniagaan dalam kehidupan masyarakat. Apabila penyababnya adalah perubahan pada permintaan dan penawaran, maka mekanisme stabilisasi pasar dilakukan melalui intervensi pasar. Sedangkan bila penyebabnya adalah distori terhadap permintaan dan penawaran, maka mekanisme pengendalian dilakukan melalui penghilangan distorsi.
ار ِْ ِ ِ ان س ِ ِ ِ ا ِن أَِْ ان الْ َخطَّ ِ ذط ِ اهَّ ِ ْ أ َّ اي ا ِن ال َُْ َس ْس َ اْ ْْ اعهد ْْ س ْْ اذب َم َّ َ اف َع ْ َ ا ِن يُ ُ ار ْْ َ َن ُع ََ َ َ ح َّدثَني َع ْن َمذلك َع ْن يُْنُ َ ا رَ ِ ذب إِ َّمذ أَ ْن تَ ِزي َد َِ ذلس ِ ذل لَوُ عُ ََ ر ْْ ُن الْ َخطَّ ِ اْقِنَذ ان ُس اع ِر ََإِ َّم ا َُ َ ْق َ هع َزِْهلًذ لَوُ ِْ ُّ اي ّْ الس ْ ا َّْتَ اع م ْ َْ اذ أَ ْن تُ ْ َ ا َعةَ ََ ُى َْ يَلِ ُ ُ (مْطأ)942,4, اة ، اة الَعرََ ا الُهَ اذدة ع َّ َ أمذ ال ذني ََ أن يَتنع أرْذب السَّع من ْهعهذ مع ضرَرة النذس إلههذ إال ْزي اذ اْا َْ اْ أن يَّتزم اة الَا َ ،هج ازامه ُْهَ اعهر إال إل ا لَّت س َهنذ يجْ عَّهه ْهعهذ ُْهَة الَ َ ،ال معن اْن ، اذس معرََ اره إال أن اذم أَ غه اع الطع اْا أن ال يله اد التزم اذس ق اْن الن اَّا أن يك ان ى ألزمه اِ ْو َ .أَّْ م التلذع تَّك السَّع إال له ،ث يلهعْنهذ ى ََّْ ،ا ْذع غهرى
ظََّذ لْظهية تؤحَّ من اللذئع لك منع ،إمذ ً
اة الَا ، اْن إال ُْهَ اث ال يلهع اهه ْ ه اعهر ع َّ اْ الت س ،أَ غهر ظَّ ،لَذ َي لك من اليسذد َ ،هنذ يج َال ي ترَن أمْال النذس إال ُْهَة الَ ْال تردد َي لك عند أحد من العََّذء (ال سلة)29, 1, اة انذعذته كذليالح ان َ اذس م او الن اذج إله َ الَُْْد ىنذ :أن َلي اْلمر إن أبلر أى الْنذعذت عَّ مذ ت ت اك َ ،ال ا ان ل ا اذنع ع ا ارة الْ ا اص أب ا ان نُ ا اتعَ م ا ان الَ س ا اال يَك ا ارة الَا َ ، ا ادر أب ا او يُ ا اة َإن ا اة َاللنذي ا َال هذك اَّلك اْ َ ،ك اعهر الْاب ان الت س اَّا م ا َ ،ى او العَ يَكن الْذنع من الَطذللة ْأك ر من لك حهث تعهن عَّه اأبرة اتعَ ْ اك َه س ار ل ار لَّارب َغه االح َب س ان س اذد م ا آالت الجه انع له إ ا احتذج النذس إل من يْ اهه . اة إل اع ال ذب ا م ا حُه الَ ،ال يَكن الَستعََّْن من ظََّه َال العَذل من مطذللته ْزيذدة ع َّ َهَّا تسعهر َي اْلعَذل ( .ال سلة)40, 1, Dalam kasus perdagangan internasional, pemerintah diperkenankan menerapkan tarif dan bea masuk impor. Disamping untuk menambah kas Negara,
hal ini juga dimaksudkan untuk menstabilkan harga barang yang beredar di pasar. Negara harus memastikan tidak boleh ada mekanisme pasar yang potensial melakukan ketidakadilan, sehingga mengganggu terpenuhinya hak dasar seseorang, baik yang sifatnya individual (private goods) seperti sandang, pangan dan papan, maupun yang bersifat publik (public goods) seperti pendidikan, kesehatan, kelestarian lingkungan, bebas polusi, dan lain-lain.
ِ ِ ا َر َط اطََّر ََا ْش ض ا َه ان إلَْه ض اِإ ْن لَ اذ َ ا ْ نُ ْ ا ْؤ َح َُّ ِم ْن َح ْرِْي َد َح َ َد َارنَذ َر ُس ًْال ،أ ََْ ِْتِ َج َذرةٍ نُ ْ اتَ علَ َذرةُ ال َُْغْني َََال يُ اطَُّر نَ ْ ُ ٍ ا ر ِمن ع ْ ِر الت ِ ْز ُدَنَو ََِ ِْ ار ِم ا ْن نَ اي نَ اْ ٍع أَ ْك َ ذم َع ََّْه ِه ْ أَ ْح ََّ َش ْي ء ََل َْْ أَ ْك َ َ ْ ُ اْ أَ ْع َي ُ اإل َم ُ َ اْ ٍع ََلَ ْ اْ اْ اذى ْ ّْج َذرة َب َذز ََيَ ُج ُ ُ َ اَ اِ اٍ ا ِ اذج ا اة الَ ت ا اا (.ت ي اة .ا ى ا اة َّإال إ ْن ُشا ِر َط َع ََّْه ِه ََ ا اذرةِ ِ ّْم ان تِ َج اي ءٌ ِم ا ْؤ َحا َُّ َش َب اي َََال ِ ّْمهَّ اَ اع الْج ْزيَ اْ اذز َََال يُ اذ َم َ اَ اْ )220,40, او ( ارحو قْل اع ش قْلو ( ال يأحَّ منو شهْذ ) َال من غهر متجر دح ْأمذن َإن دح ال جذز مغني َرَض م َه رم اإل ن ) أي َمع لك لْ أ ن لو َدح ال شيء عَّهو أيضذ لعدم التزامو مذال اه ع ش قْلو ( إن كذن اي ا َ اذىر كالمه اذرة اْلَل َظ انهج عل مهذ إلخ ) ََذقذ لَّنهذية كَذ أشرنذ َحالَذ لََّغني َظذىر الرَض َالَ اي ال اذل إن ال رْ اَّمي َق اي ْذل او اللَُّهن اَّلك َإن حْ اْ ك اره َى اَّمي َغه اهن ال الدحْل لَّتجذرة أنو ال َرق ْ اطر يَكن من دحْل ال جذز ل َّتجذرة اه َعلذرة الَغني َال يؤحَّ من حرْي دح دارنذ رسْال أَ ْتجذرة نض ن ن إلههذ َإن ل نضطر َاشترط اإلمذم عَّهه أحَّ شيء َلْ أك ر من ع ر التجذرة بذز َيجْز دَنو ََي اة نْع أك ر من نْع َلْ أعيذى بذز َال يؤحَّ شيء من تجذرة مي َال مهة إال إن شرط عَّههَذ مع الجزي اه ََي الرَض ن ْىذ ََي شرحو سْاء أكذنذ ْذل جذز أم ْغهره قْلو ( َْ رط إلخ ) عطف عَّ
مهذ َكذن
اذعه اذرته أي مت ان تج اْلَل أَ ْدل الْاَ اه قْلو ( َهَهَّه لَّلهع ) أي ْخالف مذ إ ا شرط أن يأحَّ م ارط اإن ش اه مغني أي يَهَّه إل ثالثة أيذم َأق كَذ يأتي قْلو ( لْ ل نضطر إلخ ) مُْل قْله قْلو ( َ اْن ) او ( ال يكَّي عَّهه ع ر ال َن أمهَّْا إلخ ) أي ْخالف مذ لْ شرط أن يأحَّ من تجذرتهَذه أسن قْل أي اللهع اه ع ش قْلو ( ْدلو ) أي ْدل الَ رَط من ثَن متذع التجذرة قْلو ( عْضذ عنو ) أي الَ رَط اذن او ك اخ ) َإن اَّ إل او يأح اذل عن اي اِ تع من ال َن قْلو ( َي قدره ) أي الَ رَط قْلو ( كَذ كذن عَر رض اة ا ان ال نط ا ار م اف العا ا اَّ نْ ا اة َيأح ا اة كذلُطهي ا اض اْلمتع ا ار ْع اة عا ا ا الَدين ارَا إل ا الط إ ا اتج ا ان الُ ا اَّ م ا يأح َال عهر ترغهلذ له َي حََّهذ لَّ ذبة إلههَذ اه مغني (ال رَان )282 ,9 , 2. Keberpihakan Negara Kepada Rakyat dan Perekonomian Nasional Dalam pandangan Islam, negara sebagai artikulasi kekuasaan Allah di muka bumi, mempunyai tugas mewujudkan kemaslahatan di antara rakyatnya secara dhahir dan batin. Dalam soal ekonomi, Negara wajib menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan secara adil, mendistribusikan kekayaan negara secara merata kepada rakyat, sehingga tidak terjadi konsentrasi perputaran modal diantara mereka yang
kaya saja. Negara harus memastikan bahwa sumber daya (resources) yang ada dikelola untuk sebesar-besarnya memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Oleh karena itu, negara harus menciptakan struktur ekonomi yang sehat dan adil. Resources diprioritaskan untuk menutup kebutuhan dlaruriyat (necessities), dan hanya surplus resources yang dicurahkan untuk hal-hal yang hajiyyat (comforts) dan hal-hal yang tahsiniyyat (luxuries). Rakyat harus diberi akses yang sama untuk mengakses sumber daya alam, memproduksi, mendistribusi, dan mengambil keuntungan dari modal tersebut, asal dilakukan secara fair, adil, dan tidak menimbulkan mafsadah, baik secara mikro ataupun makro. Pada saat yang bersamaan, baik negara maupun rakyat harus sama-sama merevolusi mentalnya. Negara harus berkomitmen tinggi untuk menjadi pemerintahan yang bersih, jujur, adil dan konsisten memerangi segala tindakan yang menjadi virus bagi penyehatan ekonomi Nasional. Sementara rakyat harus meningkatkan kreativitas dan kapasitasnya agar mampu bebuat di pasar bebas. Tentu lagi-lagi negara harus turun tangan mendampingi mereka, melindungi, mendidik, meningkatkan skill dan memberinya akses yang luas terhadap permodalan. Apabila cara ini sengaja tidak dilakukan, atau dilakukan dengan mainmain, maka rakyat harus melakukan amar ma’ruf kepada pemerintah sesuai porsinya untuk menghindari tindakan anarkis. Mengharapkan orang terus bersabar menahan lapar, sementara lingkunganya bergelimang dengan segala kemewahan, tentu sangat tidak bermoral. Al-Qur'an menyebut manusia jenis ini sebagai pendusta agama.
ِ َادثَنِي ن ِ اه ِ َّ اد ال ِ ِ َّ ِ ان َعل َّ اي ال َّ َح:اذل اْل اوُ َع ْن َ أَ َّن َر ُس:ُاو َ َ ق،او َ َح َّدث، َح َّ ثَ َنا ُم َس َّد ٌد ْ ْ َع،اذَ ٌع ْ َ َع ْن ُعل، َانَذ يَ ْ ه َ اد الاو َرض ِ ِ َذْل َِم ُهر الَّ َِّي َع ََّ الن،ْل َع ْن َر ِعهَّتِ ِو ٌ َُّْذس َر ٍاع ََ ُى َْ َم ْس ٌ ُْ « ُك َُّّ ُك ْ َر ٍاع َ ََ ْس:ذل ْل َ ََ َّ اُِ َع ََّْه ِو ََ َس َّ َ ق َ ال َّو ِ ِ ِ ِ َاذ ََل ِ ْ ات ِ ْ ا ٌ ُْا اي َم ْس ا ْن ْل َع ا ْهتِ ِو ََ ُى َْ َم ْس َع ْن ٌاُْْلَة َّ ََ ، ْ ا ُه َ ا ْه َ ََّ اةٌ َع َارأَةُ َراعه َْ ِ الر ُب ُ َر ٍاع َع ََّ أ َْى ْ َال َ َ ا ْع َّ َه َ ََ ، ْ ا ُه َ اده ََى ِا ِان ر ِعهَّت ِا ٌ ُْا ٌ ُْا او» (رَاه ْل َع ا ا ْ َم ْس ا ْ َر ٍاع ََُك َُّّ ُك أَالَ َ ُك َُّّ ُك،ُاو ْل َع ْن ا اْ َم ْس اهّْ ِدهِ ََ ُى اذل َس ا َم الع ْل ا ْن َع ََّ ا ُد َر ٍاع َع َ ََ ، ْ ا ُه َ ْا َا )اللخذري ِ اْل م ِ ا َّْهت ِ ا َع ََّه ا َّْ َم ْن َّخ اوُ َم ْن او ََ َس َات ل َس ل ً ََ اذ َع ْ ا ِزًال أ ََْ ل َْه َس ُ َس َِ ْع َاي لَن ُاو ْ َاال ََل ْ َ َّ ال َّه َ ت النَّلِ َّي َ َ ا ِزٌل ْ َ ُ ُا َا َّ َ ي َ اه َ ان ََل ِ َ ٌت لَوُ َد اَّْة ِ َّخ َّْ َح ِ ا َّْهت ِ ك َ ٌَزَْ َبة ْ ذد ًمذ أ ََْ ل َْه َس َ ِذب َش ْهًْذ ِس َْى َل َا َّْهَت َ ا َّْهَتَّخ َّْ َد اَّْةً َََم ْن أ َ ََ َ َ س لَوُ َحذد ٌم َ ا َزََّ ْج أ ََْ ل َْه ّّ َا ُه ْ غ )ذل (احَد َ َ ِ اهذ أَمذم ِ ات لَرأَي ِ ِ َ ّْ َ ِْ ٌا ْغ ََّة )اِ (عَر ْن الخطذب ْ ا َر َ اِ ل َْْ َع ْ َ ط الْ ُي َر َ َ َ اتُن ْي َم ْس ُؤَْالً َع ْن َْ ت َ
ا او أَ عظ اة َبه اكَّو أَ مالح ان ش ان ح س اَو م او َب س اي ات ات َ اَّطذن له س اي ال س اعَّ أن مَّْ ة الرعهة َ اإن اهه َ ، اذَتة إل اث إض ان حه او م اَّ ته َه اذ مْ اوَ ،إنَ ب َذنو أَ اتسذع عََّو أَ بْدة حطو أَ ثُْب ىن الََّك َالسَّطذن من اْلمْر اإلضذَهةَ ،ىي نسلة ْهن منتس لهنُ َ .هُة السَّطذن أنو الَذلك لَّرعهة الُذئ ا اذَتو له اث إض ان حه او م اي ل اية الت اَّطذنَ ،الْ اذ س ان له َي أمْرى عَّهه َ ،ذلسَّطذن من لو رعهة َالرعهة م ا اذن حْ ا اْدة َْك ا ان الج ا اذ م ا اة َتْاْعه ا اَّه الََّك ا ات ى ا اإ ا كذن ا ا َ او يََّكه ا اي كْن ا اة َى ا اَ الََّك ا اي ت س ا اي الت ا ى ات ا َ ،إن كذن اَّ ة له الَُْْد من السَّطذن عَّ أت الْبْه َ ،إنهذ إن كذنت بَهَّة َذل ة كذن لك مْ سهْة متعسية كذن لك ضرراً عَّهه َإىالكذً لهَز (مُدمة) 96 , 1, اي اة َ اْق الدَل اظ حُ اذت َحي ا الجلذي اعَّ أن ىَّه الْظهية من الْظذئف الضرَرية لَََّّكَ ،ىي الُهذم ع َّ اي اْع َ اذَ ،الرب اي إْذنذته اذته َ ارف أعطه ا ََ الدح َالخرج َإحْذء ا لعسذكر ْأسَذئه َ ،تُدير أرزاقه اذىد ا اذب ش ا اي كت اطْرة َ ا اذ م س اي كَّه ا اةَ ،ى اة الدَل ا اذلَ ،قهذرم ا اك اْلعَ او ت َّ ا اذ قْم اي يرتله ا اْانهن الت ا الُ اك إل ل ْتيذَه
اك ا ت َّ ان أى ارة م او إال الَه اْم ْ لك َي الدح َالخرح ملني عَّ بزء كلهر من ال سذب ،ال يُ
اْلعَذلَ ،يسَ
لك الكتذب ْذل ديْان (مُدمة) 129 , 1,
َ ذنظر كهف سَّط اِ تعذل السالطهن َأمدى ْذلُْة َالعدة َاْلسلذب َألُ رعله َ قَّْب الرعذيذ حت ازاء أ عنْا له طْعذ َكرىذ َكهف ىدى السالطهن إل طريق إَالح اللالد حت رتلْا أبزاء اللَّد كأنهذ أب اذء اجن َزعَ شخص َاحد تتعذَن عَّ غرض َاحد ينتيع اللعض منهذ ْذللعض َرتلْا الرؤسذء َالُضذة َال س اذب اع ْذلُْ اذر الاداد ينتي ا َ اْلسْاق َاضطرَا الخَّق إل قذنْن العدل َألزمْى التسذعد َالتعذَن حت اع اذم َينتي َالخلذز َسذئر أى اللَّد َكَّه ينتيعْن ْذل داد ََذر ال جذم ينتيع ْذل راث َالاراث ْذل ج اذَن ا اذ يتع ا او كَ ا اَّطذن َبَع ا اْ ال س ا ات ترته الذطه تا ا اذعه َانض ا ارتهله َابتَ ا ا لْ ت اد ْ س ا ا َاح اد ْك ا ا َاح ك بَهع أعضذء اللدن َينتيع ْعضهذ ْلعض الُذعدة الخذمسة تْرف اإلمذم عَّ الرعهة منْط ْذلََّْ ة ) ىَّه الُذعدة نص عَّههذ ال ذَعي َ قذل منزلة اإلمذم من الرعهة من زلة الْلي من الهته قَّت َ :أَ
لك :مذ أحربو سعهد ْن منْْر َي سننو قذل حدثنذ أْْ
اْلحْص عن أْي إس ذق عن اللراء ْن عذزب قذل :قذل عَر رضي اِ عنو :إني أنزلت نيسي من مذل اِ َْنزلة َالي الهته إن احتجت أحَّت منو َإ ا أيسرت رددتو َإن استغنهت استعييت ال ان قذل َ َ -لي اْلمر مأمْر َْراعذة الََّْ ة َ ال مَّْ ة َي حَ النذس عَّ َع الَكرَه َ منهذ :أنو لهس لو العيْ عن الُْذص مجذنذ ْلنو حالف الََّْ ة ْ إن رأى الََّْ ة َي الُْذص اقتص أَ َي الدية أحَّىذ َ منهذ :أنو ال يجْز لو أن يُدم َي مذل ْهت الَذل غهر اْلحْج عَّ اْلحْج اْلشلذه َالنظذئر -شذَعي ( -ج / 1ص )233
أَرأَي َ ِ ض َع ََّ طَ َع ِذم ال َِْ ْس ِكه ِن (الَذعْن (3- 1 : ك الَّ َِّي يَ ُدعُّ الْهَتِه َ َََال يَ ُ ُّ ب ِْذلدّْي ِن َ ََّلِ َ َْ ت الََّّي يُ َك َّّْ ُ ا اْمذت َتعط ات الخْ ادل النُطع اذ ْذلع اْ تنذَلْى ازَد َ َّ اَّح لَّت اذ يْ َ حَّق الدنهذ زادا لََّعذد لهتنذَل منهذ م اه ا اَّطذن يسْس ا اة إلا س ا ات ال ذب ا اْمذت ََ س ا اذ الخْ ا ادت منه ا اهْات َتْل اذ ْذلا ا انه تنذ َلْى ا اذء َلك ا اليُه اق إ ا اهن الخ َّ اط ْ اق التْس اة َطري اذنْن السهذس اذل ُْ اْ الع َاحتذج السَّطذن إل قذنْن يسْسه ْو َذليُهو ى اتظ ا الطه لهن ا اق َض ا اة الخ َّ ا ارق سهذس ا ا ط اده إل ا اَّطذن َمرش ا ا ال س او مع َّ ا اذن اليُه ا اهْات َك ا الا اذزعْا ْ ك ا تن
ادنهذ اإن ال َ ادنهذ اطة ال ا ْْاس ْ او ان ال ْني س ادين لك اذ ْذل اق أيض َّ او متع اري إن َْذستُذمته أمْرى َي الدنهذ َلع ) 17 , 1 ,مزرعة اوحرة َال يت الدين إال ْذلدنهذ (احهذء عَّْم الدين ٍ ار ِا ِان م َّرمذت ِ ا ِ ْاْلَم: ا ٍر ) أَي ِ َِْ ( ا َّه ار ِع ََالن ان ُم ْن َك ا ٍي َع ا ْه َاو إ َ ا ل ََّ اف َع ْ ا ْ يَ َخ ََف ََن ْا ْ َ َ ُ ْ ا ِي َع َا ِر َِْْابل ْا ْ ْ َّ اذت ال َ ُ اأ َْم ٍر ْ ََ ْع ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ او َي ا َرى الْ َيذع َن َا ْنك ُر َّإال َمذ ي ُ َََال ي، ا ْي سو أ ََْ َمذلو أ ََْ َع ََّ غَْه ِره َم ْي َس َدةً أَ ْعظَ َ م ْن َم ْي َس َدة ال َُْ ْن َك ِر ال َْْاق ِع َ ا ُ تَ ْ ِر ِ ْا ِ ِ ِ ِ ا ْي ِس ِو) أ انهج َا ال َّ ا ع ا ِر إىا اللجهرم ا الْغَْه ََّ ف َع َ( ق َا ْْلُوُ َع ََّ ن ْ اع الْ َخ َ ارُم َم ْ ُ ْ َر أ ََْ َع ََّ غَْه ِره ََي.َى ََع ْرضو م 248 : الجزء الراْع ص ِ ِ ا َ ِع ر ِض ِ ِا ِْهِ َمذل ِ ا ْي ِس ِ اذ َش ِْ ْب ْاْل َْم ِر ِ ََ َش ْر ُط َُ ُب او اَ ََّوُ َك َال ُم ُه ََ ا َّ َك ََّ اأ َْم َن َع َاو ََإِ ْن ق ْ او ََ ُع َا ن ََ ض َاذل ََْ ْع ُرَف أَ ْن ي ْ َ ْ َْ ْ ا ِ ْ ا ر ِمن م ْي س َدةِ الَْ ْن َك ِر الْْاقِ ِع َي رم م ع الْ َخ ِ ِ َ ذى ر َ َع ََّ غَه ِرهِ ِْأَ ْن ي َخ ََّ ف َع ْ َ ْ َ َ ُُ ْ ََ َ ُ َ َ ْ َ َ ذف َع ََّْهو َم ْي َس َدةً أَ ْك َ ٌ ََك ََذ ُى َْ ظ ِ ِْ اَّهي عن ِاذد َنَا ِْه ِ ْ الْغَه ِر َي س ُّن م ع الْ َخ ِ اذء ِْذلْه ِ ِ اْص ِْغَه ِ َّه َُّ َك ِ ا ْي ا الت َّف َع ََّ الن َاد إل ْا ْ َ ا ِر الْج َه ْ ٌ ْ ُ اة َم ْخ َ َُ ْاإلل ْ َ ُ ْ س ََالن ْ َ َ َ َُ ْ ِ َّ ضذ أ اذ َََال ا َه اذج إلَْه ََك َُ ْك َرهٍ َع ََّ َِ ْع ِ َح َر ٍام غَْه ِر ِزنًذ ََق َا ُْطَ ُع ن ً ْا ْت ٍ ََأَ ْن يَأ َْم َن أَي َا َي َُت ٌ َاْ ُم ْ ت ََن ال َُْ ْن َك َر َع ََّْهو َال ي َ اوُ ََ ُى ِ َِ اْاء ََِن الَْاأْم ْر يَت ِْ از َِم ات ا َه ا اإلنْ َك ا اش ََ َس اذ ُى ا ا َم ُاي ل َا ْنتَ ُِا ُ إل َاذ ِر أَظ َّ ا ْا ُ أ َْم َال ان ْ ا ًا َيَ ِزيا ُد عن َات ُا ُ اْ أَََْا ْ َ َ ُ َ َّ ان أ َاذد ا َََال ي ٌ َا َا (182 : )حذشهة الجَ عَّ شرح الَنهج الجزء الخذمس ص
3. Yang perlu dilakukan oleh NU sebagai jam’iyyah Umumnya, ekonomi warga NU tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumber daya alam, sumber daya manusia, serta peluang pasar. Oleh karenanya, NU perlu meningkatkan daya saing global jama’ahnya agar mampu bersaing di pasar bebas. Beberapa tindakan yang cukup mendesak untuk dilakukan antara lain adalah: 1. Perluasan akses warga NU terhadap sumber-sumber daya produktif (prasarana sosial ekonomi, permodalan, informasi, teknologi, dan inovasi teknologi, serta pelayanan publik dan pasar); 2. Pengingkatan kualitas SDM masyarakat NU; 3. Mendorong terciptanya perluasan lapangan kerja dengan meningkatkan produktifitas dan nilai tambah usaha pertanian dan penumbuhan aktivitas ekonomi non pertanian; 4. Peningkatan kualitas pelayanan-pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan, permukiman, infrastruktur ekonomi, dll); 5. Peningkatan partisipasi masyarakat NU dalam proses pengambilan keputusan Negara; 6. Pemantapan kelembagaan dan organisasi ekonomi berbasis masyarakat NU;
7. Peningkatan koordinasi lintas bidang, baik dalam internal NU, maupun dengan pihak terkait. *** IV. HUTANG LUAR NEGERI Deskripsi : Sejarah bangsa Indonesia ternyata sangat lekat dengan utang luar negeri. Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, utang luar negeri tidak pernah terlepas dari kita. Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir triwulan I-2015 mencapai 298,1 miliar dollar AS. Utang tersebut terdiri dari utang luar negeri pemerintah sebesar 132,8 miliar dollar AS (44,5%) dan utang sektor swasta sebesar 165,3 miliar dollar AS (55,5%). Posisi ini tumbuh melambat yakni 7,6 % (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya, yakni 10,2 % (yoy). Jika dibandingkan dengan data kekayaan sumber daya alam, kondisi tersebut sangat ironis dan mengkhawatirkan, walau pemerintah dengan indikator ekonomi makro masih menyatakan aman. Akumulasi hutang yang menumpuk membuat pertumbuhan ekonomi tidak bergerak, rawan resiko, dan menimbulkan disinsentif bagi pengelola ekonomi untuk mencapai kinerja baik akibat terlalu besarnya transfer keluar untuk memenuhi kewajiban hutang luar negeri. Sebagai bangsa yang mendambakan kemandirian dan bermartabat di mata dunia, kita menginginkan negara yang bebas utang. Walau tidak mudah, sudah saatnya kita merenungkan kembali kebijakan defisit anggaran yang digunakan untuk mendukung ekspansi fiskal dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita tidak boleh selamanya terjebak pada skema pembiayaan utang untuk membiayai pembangunan. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi baru agar pembiayaan pembangunan tidak lagi mengandalkan dari utang. Pertanyaan 1.
Dalam situasi apa negara boleh utang
2.
Untuk kepentingan apa uang hasil utang bisa digunakan
3.
Apa yang perlu dilakukan agar negara terbebas dari hutang?
Jawaban 1. Dalam situasi apa negara boleh utang
Allah menjadikan manusia secara berpasangan, ada yang kaya dan ada yang miskin. Lazimnya, utang dilakukan oleh si miskin karena adanya ketidakseimbang pengeluaran (out put) dan pemasukan (input). Oleh karena itu, mencari pertolongan berupa pinjaman kepada orang lain untuk menambal selisih input dan out put tidak dilarang. Sementara meminjami orang/pihak lain yang tengah tertimpa musibah “ketidakseimbangan input dan out put” dipandang sebagai kebaikan. Berkaitan dengan transaksi hutang, Islam mengajarkan sebisa mungkin dapat menahan diri dari berhutang. Jika terpaksa dilakukan, maka sejak awal harus selalu berusaha untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan waktu yang disepakati, atau seketika punya kemampuan untuk membayar. Sengaja mengulur pembayaraan dipandang sebagai sebuah kedzaliman. Dari sisi kreditur, Islam mengajarkan hendaknya dalam memberikan pinjaman, kreditur tidak bermaksud lain kecuali menolong, apalagi mencari utung. Jika sudah jatuh tempo, tapi pihak debitur benarbenar dalam kondisi tidak mampu, dianjurkan untuk memberi tenggang waktu dengan rescheduling atau membebaskannya. Demikian juga negara. Sejauh ia dapat membiayai dirinya sendiri, posisi tidak mengambil hutang adalah jauh lebih baik. Hutang hanya diperkenankan dalam posisi yang sangat membutuhkan untuk pembangunan yang sifatnya produktif sehingga dapar segera membayar kembali.
إال من يدين َي ثالث حالل الرب تضعف قْتو َي. إن الدين يُض من َذحلو يْم الُهذمة إ ا مذت َرب يَْت عنده مسَّ ال يجد مذ يكينو َيْاريو إال ْدين. سله اِ َهستدين يتُْى ْو لعدَ اِ َعدَه َإن اِ يُضي عن ىؤالء يْم الُهذمة ( اْن. َرب حذف اِ عَّ نيسو الع زْة َهنكح ح هة عَّ دينو. )مذبو ِ ِْذل َكذ َن لَِر ُب ٍ َع ََّ النَّلِ ّْ – ََّ اِ عَّهو َسَّ – ِس ّّن ِم َن ا ِإل َ َا َرَة – رض اِ عنو – ق َْع ْن أَِْ ُى َري ا َهذ َ ا ََّ ْ يَ ِج ُدَا لَوُ إِالَّ ِسنِّذ َ ، ُ َطَََّلُْا ِسنَّو. » ُذل – ََّ اِ عَّهو َسَّ – « أَ ْعطُْه َ ُذضذه َ َُ ا َا ْْق َ َُ ا َات َذءهُ ي َ َ َج ِ ِ َ َ ق. ك َََْ ذل أ َ . » ُذل « أَ ْعطُْه َ. َ َُ ا َ َُ ا َ ِْ ُ ََََّ ال َّو، ِا ْهتَن ْ ذل النَّل ُّ – ََّ اِ عَّهو َسَّ – « إِ َّن حهَ َذرُك ضذء َ ََح َسنُ ُك ْ ق ْأ
ِ َح ََّ أ َْم َْ َال الن َّذس يُ ِري ُد َ َا َرَة – رض اِ عنو – َع ِن النَّلِ ّْ – ََّ اِ عَّهو َسَّ – ق َ ذل « َم ْن أ َْع ْن أَِْ ُى َري َ ََح ََّ يُ ِري ُد إِتْال ْا َهذ أَت َ َََم ْن أ، َُد َاء َىذ أَدَّى ال َّوُ َع ْنو َأ ُا ََّ َيوُ ال َّو َّ ا َرةَ – رض اِ عنو – أ َِإ َ ا، ٌ َُّْذل « َمطْ ُ الْغَنِ ّْ ظ َ َْل ال َّ ِو – ََّ اِ عَّهو َسَّ – ق َ َن َر ُس َْع ْن أَِْ ُى َري ا َّْهَْتلَ ْع َ َِّ َح ُد ُك ْ َع ََّ َم َ أُتْلِ َع أ َ – ْ أَ ْن يُ ِظ َّوُ ال َّوُ َِ ِظ َّّْ ِو َّ َح َ َا ْن ِظ ْر ُم ْع ِس ًرا أ ََْ لِه ُض ْع لَو ُا َّْه َ َم ْن أ 2. Untuk kepentingan apa uang hasil utang bisa digunakan Sesuai dengan maqamnya, utang hanya diperkenankan untuk membiayai hal-hal yang sifatnya mendesak (hajiyyat), dan diprioritaskan untuk pendanaan halhal yang berimplikasi pada hajat hidup rakyat, seperti pembangunan energy dan infrastruktur. Hal ini karena tugas negara pada hakikatnya adalah menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua, terutama bagi kalangan rakyat lemah, tanpa membeda-bedakan latar belakang keyakinan agama dan kesukuan mereka. Rakyat kecil dan lemah itulah yang senantiasa harus menjadi prioritas kerja negara, baik dengan uang sendiri atau uang pinjaman. Dana utang sama sekali tidak diperkenankan untuk membiayai pos-pos yang menguntungkan sebagian kecil rakyat, apalagi dengan cara-cara yang tidak halal.
ِ َ َن رس ِ ا َّْْ الَْ ْؤِمن َِ َع ْه ِد ر ُس ِ ُ ُا ْل ال َّ ِو َْع ْن أَِْ ُى َري َ َكذ َن ي- َََّّ اِ عَّهو َس- ْل ال َّو ُ َ َّ ا َرَة أ َ ُ ُ َ ُ ُْل إ َ ا ت َّ ََ َع ََّْه ِو- َََّّ اِ عَّهو َسَ َّ َع ََّْه ِو َ الديْ ُن ُ اهَ ْسأ َ َِإ ْن قَذلُْا ن.» ض ٍذء ََل « َى ْ ت َ َا َر َك لِ َديْنِ ِو ِم ْن ق َ . ْ ا َع ِ َ ََّ ذل « َ َُّّْا ع ِِ َ ا ََّ ََّذ َ .» ْ ذحلِ ُك َ َْح ق َ َ ق.َََإِ ْن قَذلُْا ال َذل « أَنَذ أ ََْل َ َ َ َ ُاتَ َح ال َّوُ َع ََّ َر ُس ْلو الْ ُيت ِِ ِ ا ُه َْ لََِْرثَتِ ِو َ ًا َر َك َمذال َ ا َُّْْ َ ََ َع ََّْه ِو َديْ ٌن ْهن ِم ْن أَن َضذ ُؤهُ َََم ْن ت ُا ُي ِس ِه ْ َ ََ ْن ت َ َا َع ََّ َّ ق َ ْذل َُْ ْؤمن ِ ٍ ِس ْْ ِن مذل ُ ُا َ َك ق َّ ْل « ال َّ ُه ُ َ ُك ْن- َََّّ اِ عَّهو َس- َّ ِت أَ ْح ُد ُم النَّل ُ ذل ُك ْن ْتأ ََس ََعُوُ َك ًهرا ي َ ِ ََع ْن أَن ِ الر َب َّ ض َّْ ِع . ُّ َِ ا َّْه ض َمذ َ َك َرهُ الت ّْ الديْ ِن ََغَََّلَ ِة َ ِْ ُ ُْإِنّْ أَع َ ََ ك ِم َن ال َْه ّْ ََالْ َ َز ِن َ ا ْع َْ ََ َ َك َر.» ذل
َتكَّ ْلعض. عن اْن علذس قذل بذء رب يطَّْ نلي اِ ََّ اِ عَّهو َ سَّ ْدين أَ ْ ق َُذل رسْل اِ ََّ اِ عَّهو َ سَّ إن. الكالم َه َ ذْة رسْل اِ ََّ اِ عَّهو َ سَّ ْو َذحْ الدين لو سَّطذن عَّ َذحلو حت يُضهو 3. Apa yang perlu dilakukan agar negara terbebas dari hutang? Secara prinsip, negara harus berkomitment untuk segera melunasi semua hutangnya. Postur APBN harus ditata sedemikian rupa agar pembangunan tetap berjalan, namun pada saat yang sama hutang juga terbayar. Untuk kepentingan ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, pada dasarnya yang wajib kita bayar adalah utang-utang pokok, bukan beban bunga. Oleh karena itu sah apabila Pemerintah RI menuntut pembebasan bunga dari negara-negara kreditor. Kedua, Pemerintah harus secara tegas mengontrol anggaran agar tidak bocor, dan menarik kembali uang negara yang telah dijarah oleh para koruptor, baik dari kalangan pejabat atau pengusaha. Ketiga,
pemerintah
sedapat
mungkin
melakukan
efisiensi
dengan
menggunakan barang dan jasa dalam negeri yang dibarengi dengan kebijakan pro growth, pro job, pro poor, dan pro environment. Keempat, Pemerintah dianjurkan melakukan optimalisasi dana penerimaan pajak, cukai dan pembiayaan non utang dari keuntungan pengelolaan aset negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pembiayaan dari saldo rekening Pemerintah dari penerimaan Rekening Dana Investasi (RDI), Rekening Pembangunan Daerah (RPD), Rekening Pembangunan Hutan (RPH), Saldo Anggaran Lebih (SAL), dan rekening lainnya. *** V. HUKUMAN MATI DALAM PERSPEKTIF HAM Deskripsi Islam secara tegas mensyariatkan hukuman mati yang lazim disebut qishash. Yakni, hukuman mati sebagai sanksi hukum atas tindak kejahatan pembunuhan. Hukuman mati juga diterapkan untuk berbagai tindak kejahatan berat tertentu. Hukuman mati atas kejahatan berat yang sangat keji merupakan peringatan dan ancaman keras bagi siapa pun agar tidak melakukannya.
Beberapa negara ternyata menerapkan hukuman mati untuk tindakan tertentu yang membahayakan dengan berbagai tujuan. Namun, banyak lebih banyak negara tidak menerapkan hukuman mati. Pro dan kontra hukuman mati sampai sekarang menjadi perdebatan yang tidak berujung. Pihak yang setuju penerapan hukuman mati mempunyai argumen yang rasional dan faktual, tetapi pihak yang tidak setuju tentu tidak kurang alasan. Pertanyaan 1. Mengapakah Islam menerapkan hukuman mati? 2. Apakah hukuman mati tidak melanggar Hak Asasi Manusia? Jawaban 1. Islam Menerapkan Hukuman Mati Hukuman mati yang diterapkan dalam syari'at Islam merupakan bukti upaya serius untuk memberantas kejahatan berat yang menjadi bencana kemanusiaan. Misalnya, hukuman mati bagi pelaku pembunuhan. Sanksi hukuman mati itu merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Hukuman mati merupakan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, dan menjadi pelajaran paling efektif bagi orang lain supaya tidak berbuat hal yang sama. Dengan demikian, dapat difahami bahwa hukuman mati pada hakikatnya dimaksudkan untuk beberapa hal, antara lain; a. memberantas tuntas kejahatan yang tidak dapat diberantas dengan hukuman yang lebih ringan, b. orang lain akan terkendali untuk tidak melakukannya karena mereka tidak akan mau dihukum mati, c. melindungi orang banyak dari tindak kejahatan itu. 2. Hukuman Mati Tidak Melanggar HAM Hakikat disyari'atkannya hukuman mati sebagaimana paparan di atas telah jelas, bahwa hukuman mati tidak dapat dinyatakan melanggar HAM terkait dengan hak hidup seseorang. Akan tetapi hukumam mati justeru memberantas pelanggaran HAM yang menjadi bencana kemanusiaan terkait hak hidup banyak orang. Lebih jelas dan tegas, dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:
b. Hukuman mati merupakan hukuman yang setimpal dengan kejahatan berat yang telah dilakukan, yakni pembunuhan, atau kejahatan berat lainnya yang merebak dan sulit diberantas dengan hukuman yang lebih rendah. c. Hukuman mati yang seimbang dengan perbuatannya itu merupakan pelajaran yang paling efektif bagi siapa pun untuk tidak melakukan kejahatan berat yang serupa. d. Hukuman mati yang setimpal dengan kejahatannya itu merupakan cara yang paling tepat untuk melindungi masyarakat luas dari berbagai bentuk kejahatan berat khususnya. B.
Dasar Penetapan Al-Qur'an
ِ ِ َّ ﴿ يذأَي ِ )178 :ا ََّ ﴾ (اللُرة ذص َِي الْ َُ ْت َ ُْْ َع ََّْه ُك ُ ال َ ُ ْ َ َّاُّ َهذ ال َ ين َء َامنُْا ُكت ِ ِ ِ َذص َحهَذةٌ يَذ أَُلِي اْْلَلْل ِ ْ )179 :اُ ْ َن ﴾ (اللُرة َّات َذب ل ََع َّ ُك ْ ت َ ُْ﴿ ََلَ ُك ْ َي ال ٍ س أََ َس ِ ذد َِي اْْل َْر ﴾ َّذس َب َِ ًهعذ َض َ َكأَنَّ ََذ ق َ﴿ َم ْن ق َا ْي ًسذ ِْغَْه ِر ن َاتَ َ ن َ ََحه ْ ذىذ َ َكأَنَّ ََذ أ ْ َّذس َب َِ ًهعذ َََم ْن أ َ َحهَذ الن َ اتَ َ الن َ ْ ٍ ا ْي )32 :(الَذئدة Al-Sunnah يَ ْ َه ُد، ٍ َِّ (ال يَ ِ ُّ َد ُم ْام ِر ٍئ ُم ْس: َّ قذل رسْل اِ َ َّّ اِ عَّهو َس:َعن علد اِ ْن مسعْد رضي اِ عنو قذل ٍ َ إالَّ ِْإح َدى ث،ِْل ا ِ ا ْي َّ ال:الث ََالتَّذ ِر ُك لِ ِدينِو الَ َيذ ِر ُق،س َّس ِْذلن َّ ََالن،الزانِي ُ ََأَنّْي َر ُس،ُِأَ ْن الَ إلَوَ إالَّ ا َّ ْ ْ ُ ّْاه ُ ا ْي ِ . َّ متيق عَّهو َالَّيظ لَس.)ذع ِة َ ََ ْج َ َّ ل Al-Maraji' : تيسهر اللغْي/ ازي معذل التن ِ َُ َْن ال َّ ك أ ِ ُِْ ََلَ ُك ْ َِي ال: َا َعذل يَ َْتَنِ ُع َع ِن،ُ َا ُْت َذَ َد لَِّْ َُ ْت ِ إِ َ ا َع َِّ َ أَنَّوُ إِ َ ا ق َق َا ْْلُوُ ت َ ِ ََ َل،ٌا َُذء ُاتَ َ ي َْ :َي ْ أ،ٌْذص َحهذة ِِ ال سهن ْن مسعْد ْن م َد ْن، تيسهر اللغْي/ ازي (معذل التن.ا َُذءُ َم ْن َى َّ َُِْ ْت َِّ ِو َ ، ِ الْ َُ ْت َََْ ُا َُذ ُؤه َْ اهَ ُك ْ ُن َهو ،1 ج،ا ى1420 سنة،1 طلعة، دار إحهذء التراث العرْي، ْهرَت، علد الرزاق الَهدي: الَ ُق،اليراء اللغْي )210 ص
تيسهر الُرآن العظه /تيسهر اْن ك هر: ِ ِ ِ ذى ْ أَنَّوُ َم ْن اُ ُ َب ِ قَ ْل تَ آد َم أ َ ا ْت ِ اْْ ِن َ َي َش َر ْعنَذ ل َُه ْ ََأَ ْع ََّ َْنَ ُ ا َعذلَ :م ْن أ ْ يَ َحذهُ ظَُّ ًَْذ ََ ُع ْد ََانًذ َكتَْلنذ َع َّ َْني إِ ْسرائه َ أ ْ س أََ َ ٍ ِ سذد َِي ْاْل َْر ِ َي من ض َ َكأَنََّذ قَ قَ ا ْي سذً ِْغَْه ِر نَ اتَ َ نَ َّذس َب َِهعذً َََم ْن أَ ْحهذىذ َ َكأَنََّذ أ ْ ا ْي ٍ ْ َّذس َبَهعذً أ ْ َحهَذ الن َ اتَ َ الن َ ا ْي سذ ِْغَه ِر سل ٍ ِ ِ ذص أََ َس ٍ ا ََّ َهذ ِْالَ َسلَ ٍ ذد َِي ْاْل َْر ِ َّذس ا ْت ْ َََال ِبنَذيَةََ َ ،كأَنَّ ََذ قَ استَ َ َّ قَ قَ ضْ ََ ، ْ م ْن ق َ اتَ َ نَ ً ْ َ َ ا ْت َ الن َ ْ ٍ ْ َ ِ ب َِهعذِْ ،لَنَّو الَ َ ِ ِ ا ْي ٍ ا ْي ٍ كَ ، َي َح َّرَم قَ س ََنَ ا ْه َن نَ ا َُ َد َلِ َ َّذس ُك َُّّ ُه ْ م ْنوُ ُ ا ََّ َهذ ََا ْعتَ اتَ َحهَ َ سَََ ،م ْن أ ْ َ ً ا ْر َق ع ْن َدهُ َْ ذىذ ،أ ْ ا َُ ْد َس َّ َ الن ُ ذل ال َْع َِْْ ُّي َع ِن اْْ ِن َعلَّ ٍ َّذس َّذس َب َِهعذًََ ..... .قَ َ ِْ َه ََّ ا اْ ِال ْعتِلَذ ِرََ ،لِ َه ََّ ا قَ َ ا ْْلِ ِوَ َ :كأَنََّذ قَ ذس َِي قَ ذل َ َكأَنََّذ أ ْ اتَ َ الن َ َحهَذ الن َ ا ْي سذ َ ِاح َدةً ح َّرمهذ ال َّوِ َ ، اتَ النَّذس ب َِهعذَ ،قَ َ ِ ِ اُ ُ ْلَ :م ْن قَ استَ َ َّ َ ََ ُ ا ْه ٍرَ :م ِن ْ ذل َسعه ُد ْْ ُن ُبلَ َبَهعذً ،يَ ا ُه َْ م ْ ُ َم ْن قَ َ َ َ ً َ اتَ َ نَ ً َ ِ ِ َّذس َب َِ ًهعذَََ ،م ْن َح َّرَم َد َم ُم ْس َِّ ٍ َ َكأَنَّ ََذ َح َّرَم ِد َمذءَ الن ِ ذء الن ِ ا ْْ ٌل ََ ُى َْ َّذس َب َِ ًهعذَ ،ى ََّ ا قَ َد َم ُم ْس َّ ٍ َ َكأَنَّ ََذ ْ استَ َ َّ د َم َ ْاْلَظ َْه ُر( .تيسهر الُرآن العظه /تيسهر اْن ك هر ،أْْ اليداء إسَذعه ْن عَر ْن ك هر الُرشي ،الَ ُق :م َد ا ،ج ،3ص )84- 83 حسهن شَس الدينْ ،هرَت ،دار الكتْ العََّهة ،طلعة ،1سنة 1419ى أحكذم الُرآن ،أْْ ْكر أحَد ْن عَّي الرازي الجْذص : َقد يْح إطالق ليظ الَ ذرْة ِ َلرسْلو عَّ من عظَت بريرتو ْذلَجذىرة ْذلَعْهة َإن كذن من أى الََّة، َالدله عَّهو مذ رَى زيد ْن أسَّ عن أْهو أن عَر ْن الخطذب رأى معذ ا يلكي َُذل :مذ يلكهك؟ قذل سَعت رسْل اِ ََّ اِ عَّهو َسَّ يُْل( :الهسهر من الرْذ شرك َمن عذدى أَلهذء اِ َُد ْذرز اِ ْذلَ ذرْة)َ ،أطَّق عَّهه اس الَ ذرْة َل يَّكر الردة َمن حذرب مسََّذ عَّ أحَّ مذلو َهْ معذد ْلَلهذء اِ تعذل َّْلك( .أحكذم ا ،.ج ،4ص )51 الُرآن ،أْْ ْكر أحَد ْن عَّي ال رازي الجْذصْ ،هرَت ،دار إحهذء التراث العرْي 1405 ،ى الجنذيذت َي اليُو اإلسالمي : ِ س أََ َس ٍ ذد َِي ْاْل َْر ِ ض َ َكأَنَّ ََذ ك َكتَْل انَذ َع ََّ َْنِي إِ ْس َرائِه َ أَنَّوُ َم ْن قَ ا ْي ًسذ ِْغَْه ِر نَ اتَ َ نَ َب ِ َلِ َ ََي قْلو تعذل { :م ْن أ ْ ا ْي ٍ ْ َ َّذس َب َِ ًهعذ} (اوية 32من سْرة الَذئدة) إشذرة بَّهة ََاض ة إل أن قَ َحهَ َ ذىذ َ َكأَنَّ ََذ أ ْ َّذس َب َِ ًهعذ َََم ْن أ ْ َحهَذ الن َ اتَ َ الن َ الجنذية َي نظر ال ريعة اإلسالمهة ال تُع عَّ الَجني عَّهو َُطَ ،إنَذ تُع عَّ الَجتَع كَّو؛ ْلنهذ تنتهك حرمتو َتهدد مسهرتوَ ،تَُّق ىدَءهَ ،تعْق تُدموَ ،إ ا كذن ضررىذ عذمذ َإن العالج النذبع لهس َي ترك اليَّسيذت َاْلىْاء التي تعَ عََّهذ َي درء العُْْة عن الَجرمهن ْلسلذب َتعَّهالت ال ت ستند إل دله مَذ يؤدي إل إقالق شأن اومنهنَ ،إنَذ َي مجذْهة مْاطن الداء ْك حزم ( .الجنذيذت َي اليُو اإلسالمي ،حسن عَّي ال ذ لي ،دار الكتذب الجذمعي ،طلعة ،2ج ،1ص *** .)37
VI. ASAS PRADUGA TAK BERSALAH Deskripsi : Di antara hadis yang sangat popular di kalangan kaum santri adalah sabda Nabi saw.:
.ِاُ ْْلَ ُد َع ََّ ال ِْيط َْرة ُك ُّ َم ْْلُْْ ٍد ي “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.” Hadis ini mengandung arti bahwa pada dasarnya manusia itu putih, bersih, jujur, adil, baik, dan seterusnya. Sejalan dengan prinsip dasar ini adalah suatu asas yang di kalangan ahli hukum, baik hukum positif maupun hukum Islam, dikenal dengan istilah asas praduga tak bersalah, yakni bahwa manusia pada dasarnya tidak bersalah. Kaidah Fikih mengatakan;
ّْ ا َر َاءةُ ا .لَّ َّم ِة ْ اْل َْ ُ ََ “Pada asalnya, (seseorang) terbebas dari tanggung-jawab.” Dalam ibarat yang lain dikatakan;
.ُاتُو ال َُْت َت إِ َد ان ََّه ُ َْ ِر ْي ءٌ َحتَّ ت َ ُا ْل َا “Orang yang yang dicurigai bebas dari (kesalahan) sampai terbukti kesalahannya.” Berdasarkan asas ini, bila terjadi sengketa antara dua pihak yang satu berstatus sebagai pendakwa (
)مدعdan yang lain sebagai tersangka/terdakwa ()مدع عَّهو, maka
yang memiliki posisi kuat adalah tersangka/terdakwa. Sedangkan pendakwa berada dalam posisi lemah. Oleh karena itu, suatu gugatan/dakwaan tidak bisa diterima kecuali memiliki alat bukti kuat yang dapat mengalahkan asas praduga tak bersalah, yaitu bayyinah/saksi yang telah teruji integritasnya. Apabila pendakwa tidak memiliki alat bukti yang kuat, maka terdakwa bisa dimenangkan dengan hanya mengajukan hujah yang lemah, yaitu sumpah. Nabi saw. bersabda;
ِ ِ ِ ٍ َذل أَم ْ َال ق ِ لَ ْْ ي ََّ هن َع ّْاه َ َّذس ِْ َد ْع َْ ُاى ْ َال د َ ََلَك َّن الْل, ْ ذء ُى َ ََانَةَ َع ََّ ال َُْ َّدعي ََالْه َ ا ْْم ََد َم َ ْ ٌ َّع ِر َب ُ اُ ْعطَ الن .َم ْن أَنْ َك َر
“Andaikan seseorang dituruti berdasarkan dakwaannya, tentu semua orang akan menuntut darah orang lain dan hartanya, tetapi bukti adalah kewajiban pendakwa dan sumpah merupakan kewajiban pihak yang mengingkari (dakwaan).”37 Pertanyaannya: dalam soal apa/dalam wilayah apa asas praduga tak bersalah ini dapat menjadi pegangan? Pertanyaan ini muncul karena banyak persoalan dimana asas ini tidak bisa digunakan misalnya soal periwayatan ( )رَايةdan kesaksian ()شهذدة. Riwayat dan kesaksian seseorang tidak bisa diterima kecuali disampaikan/diberikan oleh orang yang telah teruji integritasnya melalui prinsip tazkiyyah (semacam fit and propertest) yang dilakukan secara jujur dan fair. Bahkan orang yang mastūr al-ʻadālah (orang yang secara lahir tergolong sebagai orang yang baik-baik, tetapi belum diuji) tidak dapat diterima riwayat dan kesaksiannya. Ini periwayat dan saksi. Lalu bagaimana dengan pemimpin dan pejabat? Di dalam kitab-kitab Fikih dijelaskan bahwa syarat-syarat pemimpin atau pejabat baik legeslatif, eksekutif, maupun yudikatif tidak kalah sulit untuk dipenuhi dibanding syarat-syarat periwayat dan saksi. Syarat terpenting adalah kapabelitas dan integritas, kejujuran dan keadilan yang sudah dibuktikan, tidak hanya berdasarkan kondisi lahir belaka. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa asas praduga tak bersalah hanya dijadikan pedoman dalam konteks tajrīm (untuk menghukum seseorang), bukan dalam rangka takrīm (memberi kehormatan) dengan suatu jabatan atau amanat publik. Orang yang sudah terlanjur memegang suatu jabatan kemudian terindikasi kuat melakukan penyimpangan selayaknya mengundurkan diri dan tidak terus bertahan dengan dalil asas praduga tak bersalah. *** ===== o0o =====
37
Al-Baihaqy, Al-Sunan al-kubra, X, 427, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, cetakan III.