Diskusi Partner HPRP Lawyers dengan Media Jakarta, 21 Mei 2015
“MASYARAKAT EKONOMI ASEAN, DALAM HUKUM DAN BISNIS”. A. LATAR BELAKANG MEA Berdasarkan penetapan para kepala negara/ kepala pemerintah ASEAN pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember 1997, bangsa-bangsa ASEAN bercita-cita untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN pada tahun 2020. Cita-cita tersebut diikuti dengan pengesahan Bali Concord II pada KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003 yang menyepakati pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN Community) (“Bali Concord II”). Komunitas ASEAN terdiri dari 3 (tiga) pilar, yaitu: (i) ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (“MEA”); (ii) ASEAN Political Security Community (APSC) atau Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN; dan (iii) ASEAN Socio Cultural Community (ASCC) atau Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN. Aplikasi dari MEA sendiri adalah kerja sama negara ASEAN dengan melakukan integrasi di sektor ekonomi sebagai satu pasar tunggal dalam satu regional yaitu Asia Tenggara. Berdasarkan Bali Concord II sebagaimana ditindaklanjuti dengan penandatanganan Cetak Biru MEA di Singapura pada tahun 2007 (“Cetak Biru MEA”), negara-negara ASEAN bersepakat untuk mewujudkan MEA pada tahun 2015. B. KEDUDUKAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA ASEAN Indonesia sebagai negara ASEAN turut terlibat dalam pembentukan MEA. Pada prakteknya, Indonesia telah mengimplikasikan partisipasinya dengan berupaya mendukung peningkatan iklim investasi dan perdagangan serta meningkatkan daya saing nasional. Terlepas dari segala kekurangan atau kontroversi dari MEA bagi Indonesia, salah satu efek dari MEA adalah mempermudah masuknya investasi asing ke Indonesia, sehingga MEA diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Di samping itu, MEA juga diharapkan dapat mendukung peningkatan kualitas produk dalam negeri, dimana pelaku usaha bersaing secara ketat dengan produsen-produsen dari luar negeri di pasar yang bebas. Salah satu wujud komitmen pemerintah dalam mewujudkan pelaksanaan Cetak Biru MEA adalah dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi Association Of Southeast Asian Nations Tahun 2011 (“Inpres No. 11/2011”). Dalam Inpres No. 11/2011 Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam rangka menghadapi MEA. Sejalan dengan Cetak Biru MEA, tujuan dari Inpres No. 11/2011 adalah untuk mencapai: 1. Pasar Tunggal Dan Basis Produksi; 2. Wilayah Ekonomi yang Berdaya Saing Tinggi; dan 3. Kawasan dengan Pembangunan Ekonomi yang Seimbang, yang fokus kepada Pengembangan Sektor Usaha Kecil dan Menengah. 1
C.
PERSIAPAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI MEA Indonesia memiliki beberapa keunggulan yang dapat difungsikan menjadi modal dalam menghadapi MEA. Keunggulan-keunggulan tersebut antara lain adalah (i) jumlah penduduk Indonesia merupakan yang terbesar antara negara-negara ASEAN lainnya, (ii) Indonesia memiliki Sumber Daya Alam yang cenderung lengkap apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya dan (iii) Indonesia tergabung dalam forum kerjasama ekonomi G20. Diwaktu yang bersamaan keunggulan-keunggulan ini juga bisa dilihat sebagai tantangan karena Indonesia dapat hanya menjadi pasar dari jasa dan produk negara lain saat diberlakukannya MEA. Kondisi-kondisi ini yang merupakan tantangan bagi Indonesia: 1. 2. 3. 4.
Daya saing produk ekspor dalam negeri dengan produk impor dari luar negeri; kesiapan infrastruktur dalam negeri; Pembangunan yang cenderung terpusat di pulau Jawa; dan Tingkat pendidikan tenaga kerja dimana masih didominasi oleh lulusan sekolah menengah umum atau sederajat ke bawah. Ketidaksiapan dalam bidang Sumber Daya Manusia (SDM) dan modal merupakan hal penting yang perlu diperhatikan, mengingat kelemahan tersebut dapat membahayakan pelaku ekonomi lokal. Investor asing dapat mendominasi pasar di Indonesia dan pelaku ekonomi lokal tidak dapat bersaing dengan investor asing dalam rezim pasar tunggal. Saat ini sudah disetujui delapan bidang profesi yang akan mendapat kebebasan bekerja diantara Negara ASEAN, yaitu engineer, dokter, dokter gigi, perawat, surveyor, arsitek, profesi terkait turisme dan akuntan.
D. KESEMPATAN BAGI PELAKU BISNIS DALAM NEGERI PADA MEA Pada dasarnya pelaku perdagangan dalam negeri dapat memanfaatkan momentum MEA dalam hal produk Indonesia tersebut mampu bersaing dengan produk dari negara-negara ASEAN lainnya. Terwujudnya MEA yang memberikan fasilitas atas bea masuk dan fasilitas pajak-pajak lainnya dapat dimanfaatkan oleh para eksportir dan importir. Produk UKM pun apabila kualitasnya baik diharapkan dapat berkembang, mengingat daya beli masyarakat di beberapa negara ASEAN tergolong tinggi, terutama Singapura dan Malaysia. Bagi Investor dalam negeri yang hendak berinvestasi di negara ASEAN lainnya juga dapat memanfaatkan momentum MEA. Dalam hal persyaratan dan pembatasan investasi antar negara semakin dipermudah, tentunya investor Indonesia yang memiliki modal cukup dapat menanamkan modal dan mengembangkan usahanya di negara ASEAN lainnya. Kebijakan fiskal dan bea yang tepat sangat penting untuk perkembangan dan kemampuan pelaku usaha. Juga pentingnya mekanisme sertifikasi dan standarisasi untuk perlindungan pengusaha nasional. 2
E.
IMPLIKASI MEA PADA INSTRUMEN HUKUM DI INDONESIA Setiap calon pelaku perdagangan atau Investor baik asing maupun dalam negeri yang hendak melakukan kegiatan usahanya di Indonesia perlu menyadari bahwa produk/investasi yang dilakukan di Indonesia akan bersaing dalam skala ASEAN dalam rezim MEA. Kebijakan-kebijakan dalam bidang investasi di suatu negara cenderung akan semakin ‘meringankan’ investor negaranegara ASEAN dengan modal yang lebih besar untuk berinvestasi di hampir seluruh lini usaha. Hal tersebut juga merupakan implikasi dari Inpres No. 11/2011 yang mempersiapkan terbentuknya pasar bebas di ASEAN. Lebih lanjut, perlu diketahui bahwa setiap negara ASEAN memiliki komitmen untuk mencapai MEA, dimana salah satu bentuk komitmen dari setiap negara adalah dengan menyesuaikan instrumen hukum di negara tersebut. Contoh nyata dari implementasi MEA tercermin pada Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2014 yang memuat Daftar Negatif Investasi di Indonesia (“DNI”), yang membedakan batas kepemilikan investor asing non-ASEAN dengan investor ASEAN. Beberapa perbedaan antara lain terdapat dalam bidang usaha seperti: Bidang Usaha Shipping (non cabotage) Pembuatan Sarana Promosi Film, Iklan, Poster, Still, Foto, Slide, Klise, banner, pamphlet, baliho, folder, dll Pelayanan Rumah Sakit Spesialis Pelayanan Klinik Kedokteran Spesialis
Batas Investor ASEAN 49% 0%
kepemilikan Asing non
Batas kepemilikan Investor ASEAN 60% 51%
67%
70%
67%
70%
Sekali lagi, kebijakan fiskal dan non fiskal yang tepat dari pemerintah akan menentukan daya saing dan kemampuan Indonesia untuk mendapatkan keuntungan dari MEA atau hanya menjadi pasar. Kebijakan non tariff termasuk sertifikasi dan standarisasi untuk perlindungan produk dan pengusaha nasional. Sebagai Negara terbesar di ASEAN dengan ekonomi yang juga termasuk terbesar di wilayah Asia, sudah waktunya kita sadar dan memperlihatkan daya tawar Indonesia. Negara-negara ASEAN lain seperti Singapura yang saat ini menjadi hub bagi banyak negara dalam memasuki pasar Asia dapat menjadi jalan bagi Negara diluar ASEAN untuk mendapatkan keuntungan dari pasar bersama ini. Perbaikan infrastruktur menjadi sangat penting bagi kemampuan bersaing Indonesia. Hilang atau berkurangnya industry manufaktur di Indonesia pada 10 tahun terakhir karena masuknya produk cina bisa menjadi ancaman bagi kemampuan industri dalam negeri dan kemampuan bersaing dalam pasar ASEAN.
3
F. PERKEMBANGAN INVESTASI DI INDONESIA Berdasarkan data Realisasi Investasi Asing dan Investasi Dalam Negeri Kuartal I dari BKPM yang diperoleh dari perbandingan investasi antara kuartal I tahun 2014 dengan kuartal 2015 terdapat peningkatan sebesar 10,1 Triliun Rupiah pada kuartal I tahun 2015 dari 72 Triliun Rupiah menjadi 82.1 Triliun Rupiah.1
Peran Serta Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP Lawyers) Menyambut MEA HPRP ditunjuk oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai konsultan hukum untuk melakukan pengkajian atas Bilateral Investment Treaty (BIT atau Perjanjian Kerjasama Bilateral) yang digunakan saat ini. Dipimpin oleh Partner Al Hakim Hanafiah dan Giovanni Mofsol Muhammad, tim HPRP membuat template BIT baru yang memberikan keuntungan kepada Indonesia sebagai host country. Dengan berlakunya MEA, perlindungan yang dapat diterapkan adalah dari segi non-tariff. HPRP juga merupakan satu dari sedikit kantor hukum di Indonesia yang memiliki praktek International Trade. Harry Prabawa adalah Partner yang membawahi bidang ini. Dengan adanya MEA, perusahaan dan tenaga kerja Indonesia juga harus mampu memenuhi standar global. HPRP melalui anak usahanya, RHT Solusi Indonesia, memberikan advis terkait kepatuhan 1
http://www7.bkpm.go.id/contents/p16/statistics/17#.VVxfOLmqpHw
4
(compliance) bagi perbankan dan perusahaan terbuka, termasuk kepatuhan di bidang IT system dan data center. Andre Rahadian dan Erwin Winenda adalah Partner yang membawahi kegiatan ini. Selain itu HPRP juga aktif memberikan saran kepada calon investor asing maupun investor asing yang sudah menjalankan usahanya di Indonesia dalam aspek hukum investasi dan hukum perusahaan sesuai ketentuan peraturan di Indonesia. Tentang Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP Lawyers) Diawali sebagai kantor hukum L. Hanafiah tahun 1953, kantor hukum ini merupakan salah satu dari kantor hukum Indonesia paska kemerdekaan yang pertama. Disusun kembali pada tahun 1990, kantor hukum ini kemudian mengalami beberapa kali reorganisasi sebelum menjadi struktur Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP Lawyers) yang saat ini, berkantor pusat di Jakarta. Untuk memenuhi harapan pasar, HPRP Lawyers berupaya kuat untuk memberikan pada para klien bantuan advis yang aktif, advis strategis, dengan dukungan yang kreatif, di area praktek: Korporasi dan Komersial, Perburuhan dan Litigasi, layanan finansial, intellectual property, real property, sumber daya dan infrastruktur, dan perdagangan internasional. Untuk dapat memberikan layanan hukum yang menyeluruh secara global, HPRP Lawyers bergabung dengan Meritas Alliance, sebuah aliansi global dari kantor-kantor hukum mandiri. HPRP Lawyers juga bekerja sama dengan RHTLaw Taylor Wessing LLP, sebuah firma hukum di Singapura yang telah berafiliasi dengan Taylor Wessing LLP, sebuah kantor hukum berkantor pusat di Inggris. Untuk akses regional yang lebih luas dan meningkatkan layanan, HPRP Lawyers bersama 8 kantor hukum terkemuka di Asia Tenggara dan Utara telah berinisiatif membentuk ASEAN Plus Group. Informasi lebih lanjut mengenai HPRP dapat dilihat di website www.hprplawyers.com --Kontak Media Andre Rahadian, S.H., LL.M., M.Sc. Partner E:
[email protected]
Rachmawati Marketing and Communications Manager E:
[email protected]
Hanafiah Ponggawa & Partners Wisma 46 Kota BNI, 41st floor Jl. Jend Sudirman Kav 1 Jakarta 10220 – Indonesia T: +6221 5701837
5