MARS Newsletter, vol.05, Maret 2013 MARS Newsletter, vol.05, Maret 2013...................................................................................... 0 78% Nasabah Masih Tertarik Kartu Kredit............................................................................ 1 Pelaku UKM Mayoritas Usia Produktif & Tamatan SMA .................................................... 4 34% Nasabah Sudah Melek Internet Banking........................................................................ 8 Awareness & Penetrasi Mobile Banking Melonjak Tinggi ................................................. 12 Kredit Mobil dan Motor, Sudahkan Overload?.................................................................... 16 Konsumen Indonesia Suka Barang Bermerek (Branded Item) ............................................ 19 52% Koneksi Internet Dilakukan dari Kantor...................................................................... 21 Menelisik Loyalitas Konsumen terhadap Merek ................................................................. 23 Alasan Utama Nasabah Menggunakan Mobile Banking ..................................................... 25 Menakar Perilaku Konsumen Multivitamin......................................................................... 27
78% Nasabah Masih Tertarik Kartu Kredit SIAPA yang tak kenal kartu kredit? Hampir setiap orang mengenal si kartu pintar atau kartu sakti ini. Kartu kredit seolah telah melekat dan menjadi simbol gaya hidup kaum urban masa kini. Di Indonesia kartu kredit boleh dibilang belum setenar di negara-negara lain. Padahal transaksi elektronik lewat kartu di luar negeri sudah dilakukan sejak 1995 lalu. Kini kartu kredit telah menjadi salah satu alat transaksi perbankan yang populer di kalangan masyarakat. Hal ini tidak lepas dari fakta, kartu kredit adalah produk yang paling menguntungkan bagi bank. Pesatnya pertumbuhan kartu kredit tercermin pada tren peningkatan jumlah kartu beredar tiap tahunnya. Bank Indonesia (BI) mencatat, selama lima tahun terakhir (2007-2011) volume maupun nilai transaksi kartu kredit di dalam negeri terus menanjak. Jika pada 2007 volume transaksi sebanyak 129,29 juta dengan nilai sebesar Rp72,60 triliun, maka pada 2011 meningkat menjadi 209,35 juta transaksi dengan nilai Rp182,60 triliun. Atau selama 5 tahun terakhir terjadi pertumbuhan sebesar 61,92% untuk volume transaksi dan 151,51% untuk nilai transaksi. Karena pasarnya yang terus tumbuh tersebut, MARS Indonesia tergerak untuk melakukan penelitian seputar industri kartu kredit. Penelitian tersebut dilakukan pada awal tahun 2012 (Februari-Maret) di 4 kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan) dengan sebaran sampel sebanyak 1.643 sampel. Alhasil, fakta-fakta mencengangkan seputar industri kartu kredit pun kami dapatkan. Pasca munculnya kasus kematian nasabah kartu kredit Citibank beberapa waktu lalu, banyak pihak berasumsi bahwa minat masyarakat terhadap kartu kredit akan anjlok secara drastis. Ternyata, berdasarkan hasil penelitian MARS terungkap: sebagian besar konsumen kartu kredit menganggap keberadaan kartu kredit saat ini masih menarik. Nasabah yang mengaku masih tertarik kartu sakti itu mencapai 78,4%. Sementara nasabah yang menganggap kepemilikan kartu kredit sudah tidak menarik lagi hanya sekira 21,6%.
Dilihat berdasarkan kota, sebagian besar nasabah di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan merasa kepemilikan kartu kredit saat ini masih menarik dengan persentase per masing-masing kota antara lain: Jakarta (79,2%), Bandung (65,8%), Surabaya (81,3%) dan Medan (85,4%).
1
Berdasarkan kelompok sosial ekonomi, di semua kelompok SES menganggap bahwa kepemilikan kartu kredit saat ini masih menarik, dengan porsi tertinggi ada pada nasabah SES B (80,0%).
Selanjutnya jika dilihat berdasarkan usia dan tingkat pendidikan, nasabah di semua kelompok usia dan tingkat pendidikan menganggap bahwa kepemilikan kartu kredit saat ini masih menarik, dengan persentase tertinggi ada pada kelompok usia 31-40 tahun (80,6%) dan tingkat pendidikan tinggi (80,0%).
Bagaimana dengan kepemilikan kartu kredit? Tingkat penetrasi (kepemilikan) kartu kredit dalam setahun terakhir sekitar 15,9%. Dilihat per kota, penetrasi penggunaan kartu kredit tertinggi terdapat di kota Jakarta yaitu 22,3%. Kemudian diikuti kota Surabaya (16,9%), Medan (15,6%) dan Bandung (6,0%). Berdasarkan status sosial ekonomi, terdapat kecenderungan bahwa penetrasi penggunaan kartu kredit tertinggi terdapat pada SES A, dimana persentasenya mencapai 24,1% sementara di SES B hanya sekitar 5,7%. Bila dilihat berdasarkan kelompok usia, penetrasi kartu kredit tertinggi terdapat pada kelompok usia 31-40 tahun yaitu sekitar 18,6%, diikuti kelompok usia 41-55 tahun (14,5%) dan 18-30 tahun (13,2%)
2
Dari segi pendidikan, konsumen dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki penetrasi kartu kredit tertinggi yaitu 31,7% sementara di tingkat pendidikan menengah hanya sekitar 11,5%.
Apa pasal mereka menganggap kartu kredit masih menarik? Terdapat beberapa alasan yang dijadikan landasan, antara lain karena (penerbit) kartu kredit suka bekerjasama dengan tempat belanja (merchant/outlet), kartu kredit menawarkan limit tinggi, kartu kredit memberikan reward besar. Selain itu, juga selalu menghadiahi point yang bisa ditukar dengan voucher belanja, dan kartu kredit bebas dari pajak.
Source: http://blog.marsindonesia.com/2013/03/14/78-nasabah-masih-tertarik-kartu-kredit/
3
Pelaku UKM Mayoritas Usia Produktif & Tamatan SMA PROSPEK usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia masih tetap kinclong. Selain populasinya yang memang besar (sekitar 55 juta unit per akhir 2011), perhatian pemerintah dan kalangan industri finansial pun tak henti-hentinya terhadap sektor yang satu ini. Daya tahannya yang luar biasa terhadap terpaan krisis dan tingkat kredit macetnya yang relatif rendah menjadikan kalangan perbankan ’jatuh cinta’ pada sektor UMKM. Seperti diketahui, Indonesia sudah tiga kali menghadapi krisis ekonomi, yakni 1997/1998, 2008/2009, dan krisis akhir 2011. Dari ketiganya, krisis 1997/1998 adalah yang paling berat, ditandai dengan begitu banyak bank yang terpaksa ditutup, perusahaan-perusahaan besar gulung tikar, dan pengangguran terjadi di mana-mana. Dalam kondisi yang tidak kondusif tersebut, justru UMKM tetap eksis, bahkan tampil sebagai penyelamat ekonomi nasional. Sejak saat itu peranan UMKM dalam menopang perekonomian nasional maupun regional dari tahun ke tahun baik eksistensi, ketangguhan maupun kontribusinya terus meningkat. Bagaimana sejatinya profil pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia? Atau dengan kata lain, siapa sesungguhnya pelaku UKM itu? Berdasarkan survei MARS pada awal 2012, para pelaku UKM ini sangat bervariasi dalam hal usia. Para pelaku usaha ini beberapa di antaranya telah terjun di bisnis UKM sejak usia yang masih relatif muda yaitu usia 17-20 tahun, walaupun jumlah hanya 0,6%. Tapi mayoritas pelaku UKM ini berada dalam rentang usia produktif (31-45 tahun), yang populasinya mencapai 57,5%. Sisanya adalah usia 46-55 tahun (28,5%) atau kalangan tua dan usia 17-30 tahun (14%) atau kalangan muda. Ini berarti bagi kalangan usia muda, sektor UKM belum terlalu menarik minat mereka. Agaknya mereka saat ini lebih tertarik memilih menjadi pegawai/karyawan baik di perusahaan swasta ataupun instansi pemerintah (PNS) dengan penghasilan yang pasti setiap bulannya, daripada memilih menjadi seorang entrepreneur atau pengusaha.
4
Jika ditelusuri, pelaku UKM yang berasal dari kelompok usia produktif dan muda tersebut rata-rata berasal dari kalangan usaha kecil. Sementara kelompok usia tua mayoritas merupakan pelaku usaha menengah.
Dilihat dari latar belakang pendidikannya, selama ini banyak yang mengira bahwa pelaku UKM rata-rata adalah jebolan/tamatan SMA ke bawah. Ternyata persepsi itu salah. Berdasarkan hasil survei ini, mayoritas pelaku UKM justru memiliki tingkat pendidikan yang lumayan tinggi, karena mereka rata-rata adalah tamatan/lulusan SMA atau yang sederajat, dengan porsi sebanyak 45,8%. Diikuti berikutnya adalah lulusan/tamatan sarjana dan pasca sarjana mencapai 22,1%, serta tamatan diploma/akademi sebanyak 10,5%. Sebaliknya, yang merupakan jebolan SMP ke bawah porsinya malah di bawah 11,5%.
5
Dilihat dari sebaran kotanya, terdapat 4 kota yang memiliki pelaku UKM dengan latar pendidikan jebolan SMA ke atas terbanyak, yaitu Medan (89,6%), Yogyakarta (88,3%), Makassar (82,5%), dan Surabaya (81,6%). Sebaliknya, kota yang memiliki pelaku UKM dengan latar pendidikan jebolan SMA ke bawah terbanyak adalah Jabodetabek (32,8%), Semarang (32%), Solo (22,8%), dan Bandung (22,6%).
Berdasarkan kategori usaha, pelaku UKM dengan tingkat pendidikan SMA ke atas terbanyak rata-rata berasal dari kalangan usaha menengah (80,2%). Sebaliknya, pelaku UKM dengan latar pendidikan SMA ke bawah terbanyak rata-rata berasal dari kalangan usaha kecil (23,5%).
6
Dengan fakta ini sebenarnya kita tidak bisa memandang sebelah mata pelaku UKM di negeri ini, mengingat mereka umumnya melek baca-tulis serta tentunya aware terhadap komputer dan internet, kendati mereka masih sulit mengakses kredit perbankan. Source: http://blog.marsindonesia.com/2013/02/27/pelaku-ukm-mayoritas-usia-produktif-tamatansma/
7
34% Nasabah Sudah Melek Internet Banking SAAT INI makin banyak bank yang menyediakan layanan internet banking. Hal ini seiring dengan semakin tingginya pengguna internet di dalam negeri. Internet banking akan meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas sekaligus meningkatkan pendapatan melalui sistem penjualan yang jauh lebih efektif daripada sistem konvensional. Kenyamanan dan kemudahan yang diberikan internet banking membuat sebagian nasabah perbankan yang telah menggunakan internet banking merasa kurang membutuhkan layanan di cabang (branch). Hal itu ditambah juga dengan penghematan biaya transportasi maupun waktu. Tentu juga didukung dengan fitur internet banking yang semakin komplit saat ini. Hanya saja, dengan makin maraknya internet banking saat ini, seberapa besar sesungguhnya awareness (tingkat popularitas) dan penetrasi (tingkat penggunaan) nasabah perbankan terhadap salah satu produk electronic banking tersebut? Berdasarkan hasil survei MARS belum lama ini terungkap bahwa dari 1.710 nasabah di 5 kota (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan) yang disurvei, sebanyak 34,7% menyatakan aware atau melek internet banking. Meski jumlah ini masih kalah dibandingkan dengan tingkat awareness mobile banking, tapi sudah ada tren peningkatan yang cukup signifikan.
Nasabah di Bandung merupakan nasabah yang paling aware terhadap internet banking dibandingkan kota-kota lainnya, dengan porsi 39,3%. Disusul tingkat awareness nasabah Jakarta yang beda tipis dengan Bandung (38,9%). Sedangkan tingkat awareness nasabah di Medan merupakan yang terendah, yaitu hanya 28,6%. Selanjutnya, dilihat dari sisi status sosial ekonomi (SES), nasabah kelas SES A memiliki tingkat awareness yang lebih baik ketimbang nasabah di SES B. Sedangkan berdasarkan tingkat pendidikan, nasabah berpendidikan tinggi (S1/S2/S3) memiliki awareness yang lebih unggul daripada tingkat pendidikan lainnya. Sementara dari sisi usia, nasabah yang paling aware terhadap internet banking adalah pada kelompok usia produktif (25-30 tahun) sebesar 43,1%. Dan yang paling rendah adalah kelompok usia tua (41-55 tahun) yang baru mencapai 25,6%.
8
Sayangnya, tingkat awareness internet banking yang sudah lumayan tinggi, tidak diikuti dengan tingkat penetrasinya, yaitu baru mencapai 8,1%. Masih ada 91,9% nasabah yang belum menggunakan atau memiliki akun internet banking. Ini juga masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat penetrasi mobile banking yang sudah mencapai 41,2%. Tapi sebenarnya hal ini cukup wajar, mengingat jumlah pengguna handphone atau telepon genggam maupun smartphone yang lebih banyak daripada jumlah pengguna internet, meski belakangan akses internet via handphone (fasilitas data) sudah mulai marak. Masih rendahnya tingkat penetrasi layanan self service ini, salah satunya karena nasabah belum sepenuhnya merasa aman dari tindak kejahatan ataupun kesalahan sistem internet banking yang merugikan nasabah. Ketertutupan perbankan demi menjaga kredibilitas dan kepercayaan nasabah membuat kasus-kasus perampokan melalui internet banyak yang tidak dilaporkan kepada polisi.
9
Berdasarkan pantauan ID-SIRTII, upaya gangguan terhadap sistem internet banking bisa mencapai puluhan kali per situs dalam satu hari. Kasus hanya terungkap apabila korban mengumumkan kerugiannya kepada publik.
Berdasarkan kota, nasabah di Medan terindikasi memiliki tingkat kepemilikan akun internet banking tertinggi (16,6%), jauh mengungguli kota-kota lainnya. Di Jakarta sendiri, sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, tingkat penetrasi internet banking baru sebatas 5,8%. Selanjutnya dari sisi pendidikan, SES dan usia, terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, status sosial ekonomi (SES) dan usia (35-40 tahun) nasabah, maka tingkat penetrasi internet banking juga semakin tinggi.
10
Sesungguhnya, seiring dengan penetrasi internet dan telepon seluler yang tumbuh dengan sangat cepat di Indonesia, bank perlu mengalokasikan sumber daya tersendiri dan upaya marketing untuk mendorong pertumbuhan penggunaan internet banking di antara nasabah dan calon nasabah yang ada. Tentunya juga diiringi dengan sistem pengamanan dan keamanan yang lebih canggih, sehingga terhindar dari tindak kejahatan dan kesalahan yang merugikan nasabah. Source: http://blog.marsindonesia.com/2013/02/14/34-nasabah-sudah-melek-internet-banking-2/
11
Awareness & Penetrasi Mobile Banking Melonjak Tinggi PERKEMBANGAN mobile banking di Indonesia tak dapat dilepaskan dari perkembangan bisnis handphone atau telepon genggam/seluler. Dari sisi pengguna seluler, tahun 2012 lalu tingkat penetrasi selular di negara kita mencapai 110%, sementara di tingkat global 86%. Pemanfaatan ponsel yang makin canggih ternyata memberikan kemudahan dalam pelayanan perbankan. Nasabah tidak perlu lagi ngantri di counter bank untuk menabung, mengambil uang, membayar tagihan, ataupun mentransfer. Tinggal menggunakan mobile banking, nasabah merasa nyaman dengan pelayanan yang cepat. Berdasarkan hasil survei MARS Indonesia tahun lalu di 5 kota (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan), tingkat awareness nasabah terhadap mobile banking melonjak tinggi mencapai 50,4%. Atau meningkat 14,9% dibanding tahun 2008 yang baru mencapai 35,5%. Dari 1.710 nasabah yang disurvei separuhnya mengaku telah aware dengan mobile banking. Ini berarti produk e-banking tersebut bukan sesuatu yang asing lagi bagi nasabah perbankan.
Nasabah di Jakarta, Bandung dan Semarang relatif lebih aware terhadap mobile banking dibandingkan dengan nasabah di Surabaya dan Medan. Tingkat awareness nasabah di Jakarta merupakan yang tertinggi yaitu 58,4%. Sedangkan tingkat awareness nasabah di Medan merupakan yang terendah yaitu baru mencapai 36,4%. Jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya, tingkat awareness di Jakarta meningkat pesat. Dari hanya 34,2% di tahun 2008, meningkat 24,2% menjadi 58,4%. Artinya, per tahunnya terjadi peningkatan awareness rata-rata sebesar 8%.
12
Jika dilihat dari sisi status sosial ekonomi (SES), nasabah dengan kelas SES A memiliki tingkat awareness yang lebih baik terhadap mobile banking daripada nasabah SES B. Hal ini juga didukung oleh peningkatan awareness pada SES A lebih pesat daripada SES B. Selama 4 tahun terakhir, awareness nasabah SES A meningkat sebesar 17,0%, sedangkan awareness nasabah SES B hanya meningkat sebesar 14,8%.
Sedangkan dilihat dari tingkat pendidikan, kelompok nasabah berpendidikan tinggi (S1/S2/S3) lebih aware terhadap mobile banking ketimbang nasabah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Setelah awareness, lalu bagaimana dengan tingkat penetrasi atau kepemilikan akun mobile banking? Hasil survei menenukan bahwa tingkat kepemilikan nasabah bank terhadap akun mobile banking juga relatif tinggi, sudah mencapai 41,2%. Atau masih ada 58,8% nasabah yang menyatakan belum memiliki akun mobile banking. Penetrasi mobile banking sebenarnya sudah mengalami peningkatan sebesar 23,6% dibandingkan survei tahun 2008, dimana penetrasi terhadap mobile banking baru sebesar 17,6%. Temuan MARS tersebut seolah menguatkan data yang dirilis Bank Indonesia, dimana selama Januari-Mei 2012 total pengguna mobile banking sebanyak 5,5 juta nasabah dengan volume 13
transaksi 57 juta dan nilai transaksi Rp 8,7 triliun. Jumlah itu meningkat 43% dari transaksi pada periode yang sama 2011 yang mencapai Rp 6,1 triliun.
Berdasarkan kota, tingkat kepemilikan akun mobile banking tertinggi terdapat di Semarang dengan penetrasi sebesar 56,8%. Penetrasi tertinggi berikutnya yaitu di Medan (51,5%). Tingkat penetrasi di Jakarta, Bandung dan Surabaya masing-masing ternyata masih di bawah 40%. Kemudian jika dilihat berdasarkan SES, terlihat bahwa tingkat penetrasi lebih tinggi di nasabah kelas SES A daripada SES B. Berdasarkan tingkat pendidikan terdapat sedikit kecenderungan peningkatan proporsi akun mobile banking sejalan dengan peningkatan tingkat pendidikan. Hal yang menarik jika dilihat per kelompok usia, dimana kelompok usia antara 41-55 tahun merupakan kelompok dengan tingkat penetrasi terendah dibandingkan dengan kelompok usia lainnya yang lebih muda.
14
Berdasarkan data-data tersebut, potensi pasar mobile banking sebenarnya masih sangat terbuka. Hal ini tercermin dari jumlah nasabah yang belum memiliki akun mobile banking masih sebesar 58,8%. Jadi, mari genjot terus penetrasi produk yang satu ini!! Source: http://blog.marsindonesia.com/2013/02/06/awareness-penetrasi-mobile-banking-melonjaktinggi/
15
Kredit Mobil dan Motor, Sudahkan Overload? SETELAH tahun 2011 mencetak rekor terbesar di ASEAN, penjualan mobil sepanjang tahun 2012 berhasil menorehkan rekor baru sepanjang sejarah yang mencapai 1,11 juta unit, atau naik 25% dibandingkan pencapaian pada 2011 yakni sebanyak 894.164 unit. Sementara penjualan motor masih berhasil mencapai angka 7 juta unit, meski menurun sedikit. Dampak dari ciamiknya penjualan otomotif selama beberapa tahun terakhir itu industri pembiayaan di sektor otomotif pun makin booming. Alhasil, muncul kekhawatiran bakal terjadinya bubble kredit. Itu sebabnya per 15 Juni 2012 Bank Indonesia mengeluarkan aturan tentang penaikan uang muka (down payment/DP) untuk kredit kendaraan bermotor (KKB) dan juga kepemilikan rumah (KPR). Regulasi tersebut tertuang dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/10/DPNP. BI menginginkan kepada perbankan maupun perusahaan pembiayaan (multifinance) agar tidak terlalu gampang mengumbar KKB kepada masyarakat/nasabah dengan uang muka yang rendah. Dengan regulasi baru itu BI mewajibkan setiap KKB dikenai uang muka 25% untuk roda dua (motor) dan 30% untuk roda empat (mobil). Berkaitan dengan hal tersebut, pada awal 2012 MARS Indonesia melakukan survei tentang Kepemilikan Kendaraan Bermotor dan Pembiayaan Otomotif atau Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Penelitian tersebut dilakukan di 4 kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan) dengan sebaran sampel sebanyak 1.643 sampel. Betulkah bahwa penetrasi kredit kendaraan bermotor, baik kredit kepemilikan mobil (KPM) maupun kredit sepeda motor (KSM) telah overload, seperti sinyalemen dan kekhawatiran pihak regulator industri finansial? Alhasil, dari penelitian itu terungkap bahwa kepemilikan/penetrasi KPM saat ini masih sangat rendah. Karena secara total baru sebesar 6,5% masyarakat/konsumen yang menggunakan fasilitas kredit dari lembaga kredit, baik bank maupun multifinance. Artinya ada 93,5% konsumen yang belum menggunakan fasilitas KPM.
Dilihat penyebarannya, maka kepemilikan KPM terbesar terdapat di Surabaya (10,1%),
16
disusul Jakarta (9,4%), Medan (4,6%), dan Bandung paling rendah kepemilikannya, yaitu 1,9%. Sedangkan lembaga kredit yang paling banyak digunakan oleh konsumen saat ini adalah multifinance. Nasabah KPM yang menggunakan multifinance mencapai 76,3%. Sedangkan yang mengajukan kredit lewat bank hanya sebesar 27,4%.
Sebaliknya, penetrasi KSM lebih tinggi dari KPM, karena sudah mencapai 36,9%. Penetrasi tertinggi terdapat di Bandung (52,6%), disusul Surabaya (39,2%), Medan (35,0%) dan Jakarta (24,5%). Sementara menurut SES, penetrasi pada konsumen SES A tidak jauh berbeda dengan SES B. Penetrasi konsumen SES B sedikit lebih tinggi dibanding pada konsumen SES A. Yaitu terdapat selisih sekitar 1,5%. Artinya, sepeda motor ini memang sudah merupakan kebutuhan bagi semua golongan SES. Demikian pula jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, penetrasi KSM di semua tingkat pendidikan cukup merata. Hanya saja penetrasi konsumen berpendidikan menengah sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan nasabah berpendidikan tinggi, yakni terpaut sekitar 0,4%.
17
Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa penetrasi terhadap kredit kendaraan bermotor (KKB) masih dalam batas aman, lantaran angkanya belum melebihi 50%. Karena itu, tidak perlu timbul kekhawatiran yang berlebihan, apalagi ketakutan munculnya bubble. Source: http://blog.marsindonesia.com/2013/01/30/kredit-mobil-dan-motor-sudahkah-overload/
18
Konsumen Indonesia Suka Barang Bermerek (Branded Item) Barang bermerek (branded item) seringkali dikaitkan dengan status sosial atau prestise seseorang. Para pemakainya seringkali dipersepsikan sebagai pribadi kelas atas, elegan, dan terpandang. Bagi mereka, produk bermerek tersebut bisa mengangkat percaya diri dan memacu keberanian tampil dalam pergaulan. Di Indonesia produk branded item telah lama hadir. Di zaman “Politik Berdikari” Bung Karno (1950an -1960an) merek-merek semacam Shalimar (minyak wangi), Pyramide (saputangan), Arrow (kemeja) dan Patek Philllippe (alroji) telah banyak dikenal. Begitu pula merek New Look (gaun), Bally (sepatu) maupun aroma jantan Old Spice (parfum) telah menyemburatkan kesegarannya di bumi Jakarta. Dan setelah zaman Politik Berdikari berlalu, Jakarta benar-benar masuk dalam trend mode dunia dan menerima dengan tangan terbuka kehadiran merek terkemuka sejagat. Penggemar mode dan merek yang sadar akan mutu mulai mendapat kemudahan memperoleh produk tersebut di dalam negeri. Penjualan branded items marak dan memperoleh momentum ketika pembangunan pertokoan mewah dan mal melengkapi citra Jakarta metropolitan. Mereka diageni beberapa perusahaan yang sengaja dibentuk sebagai pemegang franchise di Indonesia. Nah, tentang perilaku belanja konsumen terhadap barang-barang bermerek (branded item), tidak hanya mode tapi juga consumer goods, food & beverage dan semua barang rumah tangga, belum lama ini MARS Indonesia melakukan survei di 8 kota (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Balikpapan, Palembang) dengan jumlah responden 5.476 orang. Hasilnya, sebanyak 43% konsumen Indonesia sangat percaya merek alias menyukai produk-produk bermerek, dan hanya 3,4% saja yang tidak percaya merek. Sedangkan yang mengaku biasa-biasa saja terhadap barang bermerek sebanyak 53%. Konsumen Medan menduduki peringkat teratas sebagai konsumen yang paling tinggi tingkat kepercayaannya terhadap barang bermerek, disusul konsumen Jakarta dan Semarang. Sebaliknya, konsumen Palembang menjadi yang paling rendah kepercayaannya pada barang bermerek, disusul Balikpapan. Sedangkan konsumen Bandung sebagai konsumen yang bersikap biasa-biasa saja terhadap produk bermerek. Dilihat dari usia dan status sosial-ekonomi (SES), konsumen yang percaya merek mayoritas berasal dari kelompok usia muda (18-25 tahun ) dan SES A. Sementara yang tidak percaya pada merek dan atau bersikap biasa-biasa saja terhadap merek rata-rata berasal dari kelompok usia tua (35-55 tahun) dan SES D&E.
19
Meskipun tingkat kepercayaan konsumen kita terhadap barang bermerek masih cukup tinggi, akan tetapi hal itu tidak berbanding lurus dengan tingkat pembelian. Faktanya, hanya sekitar 23% konsumen Indonesia yang menyatakan pasti beli barang bermerek. Sedangkan mayoritas konsumen (sebanyak 59%) menyatakan membeli kalau ada kebutuhan atau ada diskon. Adapun yang tidak pernah beli sama sekali sekitar 17%. Artinya, konsumen kita baru pada tahap awareness terhadap produk bermerek, dan belum sampai pada tahap penetrasi. Yang memiliki tingkat pembelian tertinggi terhadap barang-barang bermerek rupanya adalah konsumen Medan, disusul Jakarta dan Surabaya. Sedangkan konsumen yang tidak pernah membeli barang bermerek, peringkat tertinggi diraih konsumen Palembang dan Balikpapan. Sementara yang membeli kalau ada kebutuhan/diskon, mayoritas adalah konsumen Bandung. Berbeda dengan konsumen yang percaya, karakteristik konsumen yang suka beli barang bermerek mayoritas berasal dari kelompok usia dewasa (26-34 tahun). Sebaliknya, konsumen yang tidak suka beli barang bermerek adalah dari kelompok usia tua (35-55 tahun) dan SES D&E. Sementara konsumen yang beli barang bermerek kalau sedang ada diskon rata-rata berasal dari kelompok usia muda dan SES B. *** Source: http://blog.marsindonesia.com/2010/03/22/konsumen-indonesia-suka-barang-bermerekbranded-item/
20
52% Koneksi Internet Dilakukan dari Kantor Meskipun pengguna internet di Indonesia saat ini terus merangkak naik hingga disinyalir mendekati angka 50 juta, terutama pasca demam Facebook yang melanda sebagian besar anak muda kita, toh kepemilikan koneksi jaringan internet di rumah boleh dibilang masih biasabiasa saja. Penelitian MARS Indonesia yang dimuat dalam “Indonesian Consumer Profile 2009” menunjukkan bahwa kepemilikan koneksi jaringan internet di 8 kota (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Balikpapan, Palembang) yang disurvei baru sekitar 28,7%. Artinya, rumah tangga yang belum memiliki jaringan internet masih tinggi, yaitu sekitar 70,3%. Kalau begitu, dari mana para pengguna internet selama ini melakukan koneksi internet? Ternyata mayoritas mereka mengaku mengakses internet dari kantor. Disusul kemudian dari warnet/kafe internet/rental dan rumah. Setelah itu baru dari kampus, rumah teman/saudara, perpustakaan, hanphone dan hotel. Untuk akses dari warnet mengalami peningkatan cukup tajam, dari sebelumnya (2008) 17,0% menjadi 35,1%. Begitu pula akses dari rumah naik 4,1% menjadi 27,6% dari sebelumnya 23,5%. Kenaikan yang sama diikuti kampus, rumah teman/saudara, perpustakaan dan handpone. Sedangkan yang mengalami penurunan adalah akses dari kantor, dari sebelumnya 58,35 menjadi 52,4%, dan hotel dari 0,4% menjadi nihil (0%). Yang mencengangkan, meskipun pengguna handphone (ponsel) di Indonesia saat ini sudah di atas 140 juta orang, ternyata yang suka mengakses internet dari ponsel hanya 0,4%.
Dari penelitian itu juga terlihat bahwa frekuensi akses internet sudah cukup tinggi, yakni sebanyak 42,4% responden menyatakan akses setiap hari. Sedangkan yang seminggu tiga kali hanya 22,5%, begitu pula yang seminggu sekali lebih kecil lagi yakni hanya 13,2%. Dengan lama akses dalam sekali koneksi antara 1-2 jam (30,6% responden). Sementara waktu yang paling sering digunakan untuk melakukan koneksi internet adalah mayoritas pukul 10.00-12.00 (33,9%), selain juga pukul 20.00-22.00 (24,8%) dan 18.00-20.00
21
(23,5%). Dari sini makin jelas bahwa mayoritas pengguna memang masih melakukan koneksi internet dari tempat kerja atau kantor. Apa yang mereka cari dengan koneksi internet? Seperti yang sudah jamak diketahui bahwa mayoritas adalah untuk tujuan browsing (67,6%), lalu untuk kirim email (64,9%), download (48,6%), dan chatting sebesar 36,4 %. *** Source: http://blog.marsindonesia.com/2010/02/08/52-koneksi-internet-dilakukan-dari-kantor/
22
Menelisik Loyalitas Konsumen terhadap Merek Pentingkah loyalitas konsumen terhadap sebuah merek? Bagi marketer/perusahaan, loyalitas pelanggan (consumer loyalty) merupakan tujuan utama yang terus-menerus diupayakan, karena dengan itu dipastikan perusahaan akan menangguk keuntungan besar. Istilah loyalitas pelanggan sebetulnya berasal dari loyalitas merek (brand loyalty) yang mencerminkan loyalitas pelanggan pada merek tertentu. Menurut Aaker (1997), loyalitas merek (brand loyalty) adalah ukuran kedekatan yang dimiliki oleh seorang konsumen dengan sebuah merek. Loyalitas dimunculkan dari kepuasan yang diperoleh konsumen yang melibatkan komitmen konsumen itu untuk membuat investasi yang terus-menerus dengan merek atau perusahaan tertentu. Sedangkan Mowen dan Minor (1998) menggunakan definisi loyalitas merek dalam arti kondisi dimana konsumen mempunyai sikap positif terhadap sebuah merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang. Definisi ini didasarkan pada pendekatan perilaku dan pendekatan sikap. Pendekatan perilaku mengungkapkan bahwa loyalitas berbeda dengan perilaku beli ulang. Loyalitas merek menyertakan aspek emosi, perasaan atau kesukaan terhadap merek tertentu di dalamnya, sedangkan pembelian ulang hanya perilaku konsumen yang membeli berulang-ulang. Loyalitas konsumen terhadap merek mempunyai berbagai tingkatan, dari loyalitas yang paling rendah hingga loyalitas yang paling tinggi. Semakin tinggi loyalitas terhadap suatu merek makin sulit konsumen dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk harga. Tentang loyalitas terhadap merek ini, MARS Indonesia telah melakukan riset pasar seputar ”Perilaku Belanja Konsumen Indonesia 2009” di 8 kota (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Balikpapan, Palembang), terutama untuk produk makanan/minuman, kosmetika, toiletries, dan barang rumah tangga. Hasilnya, untuk produk makanan/minuman, konsumen mie instant memiliki loyalitas paling tinggi ketimbang konsumen teh hijau siap minum, minuman ringan bersoda, minuman energi cair, maupun konsumen teh siap saji sekalipun. Sedangkan konsumen yang loyalitasnya sangat cair (volatile), maksudnya jika ada produk lebih bagus mereka berpindah merek adalah kosumen teh hijau siap minum. Sementara, jika ada produk memberi diskon/hadiah mereka berpotensi pindah merek adalah konsumen minuman energi cair. Adapun konsumen yang loyalitasnya paling rendah lantaran suka gontaganti merek adalah konsumen minuman ringan soda.
23
Lalu, untuk produk kosmetika, konsumen bedak wajah memiliki loyalitas merek paling tinggi (setia pada satu merek saja) dibandingkan konsumen lipstik, facial foam, dan hand&body lotion. Sedangkan konsumen hand&body lotion loyalitasnya sangat cair (volatile), mereka suka berpindah merek jika ada produk lebih bagus ataupun ada merek yang memberi diskon/hadiah. Mereka juga suka gonta-ganti merek, sehingga loyalitasnya bisa dibilang sangat rendah. Lain halnya dengan produk toiletries, konsumen pasta gigi yang paling tinggi loyalitasnya terhadap sebuah merek. Sementara konsumen sabun mandi cair mudah berubah jika ada merek yang lebih bagus. Begitu pula konsumen pembelut wanita gampang berganti jika ada merek yang memberi diskon/hadiah. Adapun yang paling rendah tingkat loyalitasnya adalah konsumen sabun mandi padat dan shampoo. Selanjutnya, untuk produk barang rumah tangga, yang memunyai tingkat loyalitas paling tinggi terhadap suatu merek adalah konsumen detergen bubuk. Sebaliknya, yang loyalitasnya paling rendah, juga suka ganti merek jika ada yang lebih baik atau yang memberi diskon/hadiah adalah konsumen minyak goreng. *** Source: http://blog.marsindonesia.com/2010/01/25/menelisik-loyalitas-konsumen-terhadap-merek/
24
Alasan Utama Nasabah Menggunakan Mobile Banking Dibandingkan layanan e-banking lainnya, perkembangan mobile banking (m-banking) terbilang paling cepat. Perkembangan ini lantaran kehadiran layanan m-banking mampu menjawab kebutuhan masyarakat modern yang sangat mengedepankan mobilitas. Dengan satu sentuhan, m-banking menciptakan kemudahan layanan perbankan dalam satu genggaman. Hasil survei lembaga riset keuangan internasional mengungkapkan, 35% dari seluruh kegiatan online yang dilakukan di setiap rumah di seluruh dunia akan beralih ke layanan m-banking. Diprediksi, nilai transaksi m-banking akan naik dua kali lipat per tahun. Selanjutnya akan meningkat menjadi empat kali lipat setelah 2011. Di Indonesia, dalam lima tahun terakhir pemakaian mobile banking oleh nasabah perbankan meningkat signifikan dengan rata-rata peningkatan 135,3% per tahun. Pada tahun 2003 pengguna mobile banking baru sekitar 315 ribu orang, namun empat tahun kemudian (2007) sudah menjadi 8,2 juta orang. Dan pada 2008 diperkirakan meningkat hingga 50% menjadi sekitar 12,32 juta orang. Saat ini hampir seluruh bank sudah mengaplikasikan layanan mbanking. Dengan makin populernya transaksi finansial/perbankan via ponsel (m-banking) maka harapan pemerintah untuk mengurangi penggunaan uang tunai (less cash society) tidak lama lagi akan dapat diwujudkan. Kenapa nasabah perbankan menyukai layanan transaksi m-banking? Berdasarkan hasil riset MARS Indonesia yang dimuat dalam “Studi Pasar & Perilaku Nasabah Mobile Banking 2008/2008” setidaknya terdapat 3 alasan utama nasabah perbankan membutuhkan layanan mbanking, yaitu (1) praktis karena tidak perlu datang ke bank/ATM (46,5%), (2) transaksi menjadi lebih cepat (32,7%), dan (3) mempermudah untuk cek saldo melalui HP (17,8%).
25
Dengan kata lain, perkembangan mobile banking di Indonesia sedemikian cepat tak lain karena layanan m-banking mampu memberikan keleluasaan dan kepraktisan/kemudahan transaksi keuangan dalam hal cek saldo, pembayaran tagihan, transfer uang, maupun layanan keuangan lainnya dalam satu “sentuhan jari”. Cukup pencet PIN dari ponsel, maka transaksi bisa dijalankan dari mana saja sejauh jaringan connected. Selain itu, layanan m-banking relatif aman karena memakai sistem pengamanan berlapis, yakni dari provider telekomunikasi seluler, serta dari jaringan sistem perbankan yang bersangkutan. Sehingga nasabah tidak perlu merasa khawatir dalam penggunaannya. Itulah beberapa faktor yang menjadikan layanan m-banking begitu cepat berkembang, menyaingi layanan e-banking lainnya, serta akan menjadi layanan alternatif perbankan di masa depan. *** Source: http://blog.marsindonesia.com/2010/01/13/alasan-utama-nasabah-menggunakan-mobilebanking/
26
Menakar Perilaku Konsumen Multivitamin Untuk menjaga kebugaran tubuh agar tetap sehat dan mampu melaksanakan aktivitas seharihari secara prima, maka mengkonsumsi vitamin (multivitamin) mutlak diperlukan. Vitamin dalam banyak hal sangat berperan dalam proses penyegaran tubuh. Ia tidak hanya menghasilkan kalori yang digunakan sebagaimana lemak, hidrat arang atau protein, tetapi mempunyai kegunaan yang mutlak bagi semua zat yang hidup. Vitamin C, misalnya, mempunyai fungsi sebagai antioksidan yang dapat meningkatkan fungsi daya tahan tubuh. Sedangkan Vitamin B berfungsi sebagai penambah nafsu makan, menyempurnakan pencernaan, serta menjaga kesehatan secara umum. Begitu pula vitamin A, D, E dan lain-lain sangat bermanfaat bagi tubuh kita. Memang kebutuhan vitamin bagi tubuh sedikit sekali, hanya beberapa miligram saja atau kurang dari satu miligram. Tetapi jika kekurangan salah satu vitamin dapat menyebabkan penyakit-penyakit tertentu. Penyakit tersebut akan sembuh bila kebutuhan vitamin ini dilengkapi kembali. Bagaimana dengan perilaku mengonsumsi multivitamin di masyarakat kita? Saat ini tingkat konsumsi multivitamin masyarakat lumayan baik. Parameter itu dapat dilihat dari survei yang dilakukan MARS Indonesia di Jakarta dan Surabaya bahwa hampir 64,7% masyarakat di kedua kota besar tersebut mengonsumsi multivitamin dalam tiga bulan terakhir. Yang lebih mencengangkan lagi, frekuensi konsumsi pun cukup tinggi. Dalam satu bulan terakhir rata-rata mereka mengkonsumsi multivitamin lebih dari 10 kali dengan porsi 61,9% untuk masyakarat Jakarta dan 33,4% untuk masyarakat Surabaya. Lalu merek multivitamin mana yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat kedua kota tersebut? Terdapat lebih dari 45 merek multivitamin yang sekarang beredar di pasaran, namun hanya sekitar 10 merek saja yang mampu bersaing memperebutkan ceruk pasar. Peringkat pertama berhasil diraih Enervon C dengan total porsi 17,9%. Menempel ketat di belakangnya adalah Hemaviton (17,0%), lalu Redoxon (16,6%), CDR (11,5%), Ester C (5,2%), Sangobion (3,9%), Supradyn (2,1%), Sakatonik Liver (1,8%), Fatigon (1,7%), dan Natur E (1,7%). Sedangkan merek-merek lain porsinya di bawah 1,5%.
27
Dari kesepuluh merek di atas, Enervon C, Ester C, Sangobion, dan Sakatonik Liver leading di Jakarta. Sebaliknya Hemaviton, Redoxon, Supradyn, Fatigon dan Natur E unggul di Surabaya. Sementara CDR berbagi angka yang sama untuk kedua kota tersebut yaitu 11,5%. Alasan mereka mengkonsumsi multivitamin mayoritas karena ingin meningkatkan stamina tubuh (63,7%) ketimbang sekadar untuk meningkatkan daya tahan tubuh (56,4%), penyembuhan dari sakit (6,4%), ataupun ingin menambah darah (1,1%). Ihwal keberhasilan Enervon C menjadi produk multivamin paling digemari adalah lantaran produk PT Medifarma Laboratories, Inc. ini mengandung Vitamin C 500 mg dan Vitamin B kompleks. Preposisi yang terdapat dalam Enervon C ini dapat memperkuat daya tahan tubuh (imunitas) dan dapat menjaga stamina. Dari hasil consumer insight, kekuatan terbesar Enervon C terletak pada kepercayaan terhadap produk (loyalitas), karena sejak dulu ia selalu direkomendasikan oleh para dokter. Enervon C dengan slogan “Menjaga Daya Tahan Tubuh Agar Jangan Gampang Sakit” dan endorser group band GIGI memang cocok bagi yang aktif, dinamis, tough, dan ingin kebal terhadap penyakit.*** Source: http://blog.marsindonesia.com/2010/01/13/menakar-perilaku-konsumen-multivitamin/
MARS Newsletter, vol.05, Maret 2013 (Mars Indonesia Blog) Catatan dari: "MARS Newsletter"
Apabila Bapak/Ibu tertarik untuk mendapatkan laporan lengkapnya, silahkan menghubungi langsung: • Firman Kristiyono (08158215607) atau email: [email protected] • Satria Afandi (085777615815) atau email: [email protected]
28