MARI KEMBALI KE JATI DIRI MANUSIA RENUNGAN TAN SWIE LING, SEORANG MANTAN TAHANAN POLITIK INDONESIA BERKENAAN 83 TAHUN PERJALANAN PERISTIWA SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 1928 Tanpa janji sekarang ini bersama kita merenungi 83 tahun perjalanan peristiwa hari Sumpah Pemuda, yang berlangsung
pada tanggal 28 Oktober 1928. Apakah sebenarnya
Sumpah Pemuda itu? Sumpah Pemuda adalah manifestasi bangkitnya kesadaran masyarakat Indonesia , yang semasa itu diwakili oleh berbagai komunitas pemuda yang lazim diistilahkan dengan perkataan
J o n g..
Sehingga peristiwa Sumpah Pemuda merupakan kegiatan
bersamanya para pemuda yang berupa I k r a r atau S u m p a h
Pemuda
yang terdiri
dari Jong Java, Jong Ambon. Jong Selebes, Jong Sumateranen bond serta banyak lagi kelompok pemuda yang tumbuh
bangkit kesadarannya.
Kesadaran
bahwa
perjuangan
membebaskan diri dari belenggu penindasan dan penjajahan Belanda sejak datangnya VOC 1602-1928
ternyata tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Mengapa?
Sebab
rakyat Indonesia selama itu berjuang secara terpisah sendiri-sendiri. Sehingga mudah sekali perjuangan itu dipatahkan oleh kolonialisme Belanda. Sebuah kesadaran yang tumbuh dari buah pengalaman perjuangan beratus-ratus tahun lamanya. Kesadarn, bahwa agar perjuangan rakyat Indonesia berhasil
membebaskan diri dari belenggu penindasan dan penjajahan
Belanda semasa itu, maka segenap rakyat Indonesia apapaun suku bangsanya, bahasanya, tradisi
adat-istiadat
dan
budayanya,
mutlak
harus
mempersatukan
diri,
harus
mengintegrasikan diri, harus membangsakan diri ke dalam satu tubuh bangsa. Demikianlah, para pemuda yang mewakili tumbuh bangkitnya kesadaran tentang persatuan berikrar, bahwa sekalian diri mereka adalah S a t u N u s a, S a t u
Bangsa
dan S a t u B a h a s a , I n d o n e s i a. Kesadaran tentang mutlak perlunya sebuah P e r s a t u a n penjajahan .
untuk berjuang
bersama membebaskan diri dari belenggu penindasan dan
Yang dampaknya,
17 tahun kemudian dari ikrar Sumpah Pemuda itu
telahmendorong sepasang putera terbaik Indonesia , Soekarno- Hatta pada 17 Agustus 1945 mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan yang berbunyi: KAMI BANGSA INDONESIA dengan ini MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA. Demikianlah gaibnya, demikianlah saktinya sebuah semangat p e r s a t u a n yang belum dan tidak ternodai oleh egoisme kepentingan kelompok. sekali kegaiban dan kesaktian
Walaupun sungguh sayang
semangat persatuan itu ternyata tidak berlangsung lama.
Semangat persatuan bangsa ternyata cepat sekali luntur memudar. Sehingga kemerdekaan yang oleh Bung Karno diberi arti sebagai
J em batan 1
E m a s , yang diseberangnya
menjadi tempat bangsa muda Indonesia berbenah dan membangun diri menjadi sebuah bangsa yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan, sampai dengan sekarang belum bisa diwujudkan. Mengapa? Apa yang salah? Agar tahu
apa yang salah, Sebaiknya kita mengenali
kembali
sifat maupun watak
masyarakat kita yang kini menjadi bangsa Indonesia ini. Sifat maupun watak yang secara luas dikenal h a l u s , r a m a h , dan penuh t o l e r a n s i dalam keberagaman hidup bersama sebuah masyarakat yang majemuk. Sifat maupun watak masyarakat yang jauh dari semangat sangar dan penuh kekerasan.Sebagaimana demikian itu pulalah sejarah perjalanan bangsa Indonesia memperlihatkan sejumlah tradisi adat-istiadat kebiasaan serta budaya yang membuktikan kehalusan dan kedamaian. Semangat penuh e m p a t i dan toleransi. Sifat maupun watak masyarakat yang menjadi fondasi yang kemudian terangkat menjadi motto bangsa kita
Bhineka Tunggal Ika. Sehingga sudah selayaknyalah kita
bangsa Indonesia
mempelajari untuk mengetahui latar belakang sejarah dari semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangwra yang terabadikan dalam lambang Garuda Pancasila kita. Sejak abad ke 8 s/d abad terbentuknya kerajaan Majapahit, masyarakat negeri ini hidup bersama dalam damai-harmoninya hubungan agama besar Hindu Siwa dan agama Bhuda Mahayana yang ada pada masa itu. Harmoni hubungan agama yang berbeda, yang sampai pada masa hidupnya Mpu Tantular semasa Majapahit, telah mendorong lahirnya gagasan tantang perlunya negara menjembatani berbagai perbedaan aliran agama yang ada semasa itu di dalam masyarakat. Hal yang ternyata berdampak sangat positif, terutama dalam hal upaya bina negara. Sesuatu yang pengaruhnya demikian kuat memberikan nilai-nilai inspiratif yang mengilhami pada sistem
pemerintahan Indonesia di masa kemerdekaan sekarang ini. Oleh
kesadaran benarnya semangat yang terkandung dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika bahwa dengan tumbuhnya rasa dan semangat persatuan,kesatuan dan kebersamaan di seluruh wilayah negara kepulauan, maka keberadaan bangsa dan negara Indonesia akan dapat dipertahankan. Untuk itulah maka semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangwra yang termuat dalam kakawin Sutasoma yang digubah oleh Mpu Tantular di abad 14 tersebut diangkat menjadi semboyan bangsa Indonesia dengan diabadikannya kedalam lambang Garuda Pancasila kita. Benar, kalau
dalam kakawin
ditekankan pada perbedaan
Sutasoma, pengertian
agama saja, tetapi dalam
Bhineka Tunggal Ika lebih
lambang negara
Garuda Pancasila
pengertiannya diperluas. Tidak terbatas pada penjembatanan perbedaan agama saja, melainkan juga penjembatanan suku bangsa, adat-istiadat
dan budaya serta perbedaan
kepulauan yang menjadi wilayah hidupnya. Namun demikian ternyata rupanya kesemua itu belum cukup. Buktinya setelah hampir 70 tahun
lamanya Bhineka Tunggal Ika mengawal Republik
ini, kondisi kehidupan bangsa
justru terasa semakin jauh dari harmonis. Peristiwa Cikeusik di Banten, ledakan bom bunuh 2
diri di tengah khusuknya ibadah di dalam masjid Cirebon dan juga di Gereja Bhetel Injil Sepenuh, Solo menjadi faktanya. Sehingga dengan itu sifat maupun watak bangsa Indonesia sepertinya telah berubah menjadi s a n g a r dan h a u s d a r a h. Padahal, selain jiwa dan moralitas yang terkandung dalam tradisi Bhineka Tunggal Ika tersebut, masyarakat kita pada umumnya juga dalam waktu yang cukup lama mengenal tradisi hidup seperti yang tergambar dalam kisah mashur Maha Bharata, khususnya Bharatayudha. Sebuah kisah yang selain
menampilkan
tradisi
dan semangat hidup
kekesatriaan para
kasatria, juga memperagakan semangat hidup manusia yang sebenar-benarnya manusia. Yaitu bahwa manusia bukanlah binatang buas
dan bukan pula mahluk yang haus darah manusia
sesamanya. Semangat yang terperaga nyata melalui perilaku sepasang bijaksanawan sekaligus pemikir/ahli strategi baik Harya Sangkuni dari pihak Kurawa, maupun Batara Kresna dari pihak Pandawa. Di mana keduanya sepenuhnya memperagakan perilaku manusia yang sebenarbenarnya manusia. Bahwasanya manusia adalah mahluk sosial. Mahluk yang
kelangsungan
hidupnya sepenuhnya tergantung dan bergantung pada sesama manusia yang lain. Sehingga karena itu, pada dasarnya hidup manusia mutlak memerlukan kedamaian. Hal yang membuat bahwa pada dasarnya kodrat manusia sama sekali tidak haus darah sesamanya. Semangat damba kedamaian yang jauh dari perilaku haus darah manusia sesama ini diperagakan secara tuntas oleh sepasang bijaksanawan Harya Sangkuni dari pihak Kurawa, juga oleh Batara Kresna dari pihak Pandawa dengan segala daya dan cara. Sampai-sampai demi itu keduanya menempuh cara-cara yang cenderung
licik dan bertentangan dengan martabat keduanya
sebagai para bijaksanawan baik Kurawa maupun Pandawa. Contohnya,
Setelah Harya Sangkuni menyadari sepenuhnya bahwa
niat Kurawa
merampas untuk memiliki negaranya Pandawa sudah bulat dan sama sekali tidak bisa berubah lagi, sejak itu Harya Sangkuni , berpikir keras. Bagaimana caranya jangan sampai niat kurawa merampas negara Pandawa
dilakukan dengan jalan perang. Sebab jalan tersebut akan
menumpahkan darah prajurit kedua belah pihak. Harya Sangkuni
sepenuhnya tidak
menghendaki hal itu terjadi. Ia berpikir keras mencari jalan. Bagaimana caranya di satu sisi sebagai kawula Kurawa ia bisa menunjukan keharusan bersetia kepada Kurawa yang menjadi junjungannya untuk mendapatkan negara pandawa menjadi milik Kurawa, namun di sisi yang lain bisa mempertahankan prinsipnya jangan sampai pelaksanaan hasrat kkurawa merampas negara Pandawa itu, menumpahkan darah prajurit baik Kurawa maupun Pandawa. Dalam pada itu, dalam kesadarannya sebagai seorang pemikir/bijaksanawan, Harya Sangkuni pun menyadari bahwasanya tidaklah mungkin melaksanakan prisip kesatria yang harus bersetia kepada junjungannya , merampas negara milik Pandawa di satu sisi serta bersetia pada prinsip keharusan manusia yang sebenar-benarnya manusia yang tidak haus darah di sisi yang lain dapat dilaksanakan tanpa ada hal yang harus dikorbankan. Maka demi terlaksananya kedua prinsip yang saling bertentangan tersebut, Harya Sangkuni tidak punya pilihan lain selain 3
mengorbankan martabatnya sebagai seorang bijaksanawan untuk dicaci maki sebagai seorang manusia yang licik. Maka sebagai seorang pemikir/ ahli strategi Harya Sangkuni memutuskan menempuh strategi memindahkan medan perang dari lapangan terbuka yang luas ke sebidang meja judi dadu, dengan taruhan pihak yang kalah berjudi harus menyerahkan negara miliknya menjadi milik yang menang. Dengan demikian pihak Pandawa yang sudah diatur harus dicurangi agar kalah dalam permaian judi dan karenanya harus menyerahkan negaranya kepada pihak Kurawa tidak perlu menambah lagi kekalahannya dengan tumpah mengalirnya darah prajuritnya. Demikianlah Harya Sangkuni, dengan taktiknya itu memperlihatkan kepiawaian pengetahuan kemiliterannya. Melalui keberhasilan melaksanakan
kewajiban kasatrianya bersetia kepada
Kurawa, melaksanakan hasrat kurawa merampas negara Pandawa tanpa meneteskan darah prajurit kedua belah pihak. Bandingkanlah ajaran moral kemiliteran Harya Sangkuni yang mengunduh kemenangan mengalahkan lawan tanpa setetes darah mengalir, dengan jenderaljenderal yang
melaksanakan hasratnya mengalahkan pihak yang dijadikan lawannya lewat
ladang pembantaian dalam medan perang
yang bernama
peristiwa G30S dan juga
mereka-mereka yang bersedia membunuh diri sendiri
demi
moral
bisa sebanyak-banyaknya
membunuh orang-orang lain, hanya oleh sebab menyembah Tuhan yang tidak sama.. Dan moral dalam arti semangat menghindarkan
sesama manusia yang bersaudara
berlomba saling membantai satu terhadap yang lain, ternyata dalam kisah Mahabarata tidak hanya menjadi milik Harya Sangkuni.
Akan tetapi juga menjadi semangatnya bijaksanawan
Batara Kresna dari pihak Pandawa. Perang Baratayudha di Padang Kurusetra yang membantai demikian banyak prajurit baik
Kurawa maupun Pandawa, dalam ketetapan hatinya harus
dihentikan. Sementara jalan untuk itu hanyalah harus memadamkan semangat bertempurnya senapati perang pihak Kurawa, yaitu Bagawan Drona.
Dalam pada itu diyakininya bahwa
semangat bertempur bagawan Drona hanya bisa dipadamkan apabila bagawan Drona meyakini gegap gempitanya kabar yang sengaja dihembuskan oleh Batara Kresna, untuk mengganggu mengacaukan konsentrasi bertempurnya
yang berbunyi: “Aswatama Mati”, benar adanya. Di
mana bagi Bagawan Drona, kebenaran kabar matinya Aswatama yang dalam anggapannya adalah Aswatama putera kesayangan sang Bagawan sendiri, ia harus dengar terucap dari mulut Puntadewa. Yaitu tetua Pandawa yang dikenal sebagai satria berdarah putih. Maksudnya berperilaku lurus dan tidak pernah berdusta. Sehingga apa boleh buat, demi agar berhasil memadamkan semangat bertempurnya bagawan Drona, Batara Kresna pun menempuh jalan yang bertentangan dengan martabat kebijaksanawanannya. Dengan sangat Batara Kresna membujuk Puntadewa
agar
apabila bagawan Drona
bertanya apa benar puteranya, Aswatama mati, agar menjawab benar: GAJAH ASWATAMA MATI dengan cara mengucapkan kata GAJAH selirih mungkin akan tetapi mengucapkan kata ASWATAMA MATI sekeras dan sejelas mungkin. Sehingga dengan demikian 4
Puntadewa
terjaga tidak mengucapkan perkataan dusta, akan tetapi berhasil membuat Drona percaya. Karena yang diucapkan Puntadewa: benar GAJAH ASWATAMA, bukan Aswatama putera sang bagawan, MATI. Dan benar saja. Kondisi mental bagawan Drona yang sudah dilanda rasa duka yang amat sangat sejak pertama kali ia mendengar kabar Aswatama mati, sudah tidak mampu mendengar ucapan Puntadewa secara jelas. Yang di dengarnya
hanyalah ucapan
Puntadewa yang mengatakan kata “benar aswatama mati Sehingga oleh rasa percayanya kebenaran ucapan Puntadewa yang tidak pernah berdusta, langsung saja jawaban Puntadewa membuat bagawan Drona
terduduk lemas dan tidak berselera lagi untuk meneruskan
peprangan. Sehingga membuat pertempuran Baratayudha berakhir d engan kemengan di pihak Pandawa. Demikianlah
seharusnya sifat maupun watak masyarakat yang kini menjadi bangsa
Indonesia. Yang selama berabad-abad tergambar nyata baik dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika maupun dalam kisah mashur Mahabarata, khusunya Baratayudha. Sifat maupun watak masyarakat yang halus, cinta damai dan tidak haus darah manusia sesamanya, yang namun kini telah berubah menjadi sangar serta demen sekali kekerasan dan haus darah! Sehingga mengulang pertanyaan dimuka, Apa yang salah?‟ Adapun
untuk mencari tahu apa yang salah itu, baik sekali kita coba mencari tahu
tentang apa dan siapakah manusia selaku pangkal dari hal-hal yang menimbulkan mencuatnya pertanyaan APA YANG SALAH tersebut! ? Untuk maksud itu marilah kita sejenak menengok kembali masa Perang Teluk sekitar 1990-an
di Timur Tengah. Di mana dalam peperangan tersebut
AS menerjunkan
Kapal
Perang Induknya yang penuh dimuati berbagai perangkat mesin perang di samping tentunya dimuati berbagai kesatuan tempur serdadu AS, termasuk tidak ketinggalan pula ke dalam Kapal Perang Induk tersebut dimuat pula pasukan kesatuan
Penyapu Ranjau Laut. Yang
Heibatnya bukan terdiri dari kesatuan serdadu manusia, melainkan terdiri dari kawanan satwa laut. Yaitu sekawanan besar ikan lumba-lumba. Bagaiman mungkin bisa kawanan ikan dibentuk jadi pasukan penyapu ranjau laut? Di situlah justru
kita dihadapkan pada
sebuah kenyataan.
Bahwa di dalam
tangan dan
pengurusan manusia yang selalu taat dan setia pada jati diri kemanusiaannya, ternyata tidak ada hal yang mustahil untuk dapat berhasil dikerjakann oleh manusia. Dan inilah yang mendasari judul renungan ini. Lalu, apa rahasianya? Sehubungan dengan rahasia tersebut, Kamus Besar Bahasa Indonesia menerangkan ihwal manusia. Bahwa manusia adalah mahluk yang berakal . Yang dimaksud tentunya, bahwa manusia adalah mahluk yang berakal budi. Akal budi yang membedakan manusia dari mahluk berakal yang lain. Hal yang di tanah Pasundan seputar masalah ini ditutur-ajarkan melalui dongeng
kisah terciptanya
GUNUNG TANGKUBAN PERAHU.
Konon luas
terceritakan
BAHWA PADA SUATU MASA ADA SEORANG Ibu muda, yang oleh satu dan lain sebab, 5
hidup terpisah dari putera balitanya dalam waktu yang cukup lama. Sehingga pada suatu hari ketika si putera yang kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda
dewasa yang
gagah
berjumpa kembali dengan wanita yang melahirkannya, Sangkuriang , demikianlah nama pemuda gagah tersebut, ia
sama sekali tidak mengenali bahwa wanita dihadapannya adalah ibu
kandungnya sendiri.
Karena yang terlihat oleh mata
dijunpainya sepenuhnya
semata
yang membuatnya langsung
sesosok perempuan
jatuh cinta
Sangkuriang, perempuan yang
rupawan yang sangat menawan hati
dan berhasrat untuk mengawininya.
Sementara
dalam pada itu si Ibu yang segera mengenali pemuda dihadapannya adalah puteranya sendiri, dan lagi pula naluri keperempuannya segera menangkap hasrat kilaf pemuda gagah yang tak lain adalah puteranya sendiri, yang ingin mengawininya, membuatnya berusaha dengan berbagai cara
mencegah terjadinya
hubungan seksual
antara seorang anak dengan ibu
kandungnya sendiri. Hal yang membuat Sangkuriang yang mengalami kegagalan hasratnya, menjadi marah besar.
Di mana dalam kemarahannya ia menendang sebuah badan gunung
sampai runtuh. Reruntuhannya
menggunduk menyerupai dan selanjutnya
dikenal sebagai
gunung Tangkuban Perahu. Demikianlah gambaran
secara tradisional oleh masyarakat pada zamannya
seputar
masalah Akal Budi. Sebuah upaya pembedaan diri manusia yang berakal budi dari sesama mahluk berakal yang lain. Karena katakanlah kucing dan atau kambing jantan misalnya. Yang karena ketiadaan akal budi pekertinya, maka biasa saja
kapan saja
proses hormonalnya
mengelegak ke puncak libido yang menuntut penyaluran, lalu dikawininya betina mana saja yang ditemuinya, tidak soal itu induk yang melahirkan dirinya sendiri atau bukan. Tentu saja penggambaran akal budi manusia
dalam cara dongeng demikian, tidak mudah dipahami
maksudnya oleh kebanyakan orang. Mengingat masalah yang tampaknya sangat sederhana seputar akal budi tersebut, bahkan dikalangan para cendikiawan dan bijaksanawan pun, mereka yang sehari-harinya tekun baik di kampus-kampus atau pun di rumah-rumah ibadah, sejauh
yang saya tahu
juga belum menghasilkan kajian
sesungguhnya yang dimaksud dengan dilihat, dirasa dan dirabakah
yang menjelaskan
apakah
a k a l b u d i manusia itu. Benda kongkrit yang bisa
akal budi manusia itu? Ataukah akal budi manusia itu benda
abstrak yang bisa didekati dan dikenali hanya melalui jalan puja dan do‟a? Namun syukurlah atas perkenan yang maha kuasa, ada anak manusia yang diperkenankan untuk menjelaskan, bahwa akal budi manusia tidak lain adalah tiga semangat positif yang menjadi jati diri manusia. Yaitu : Semangat ANTI KEKERASAN,
semangat EMPATI, dan semangat KOMUNIKASI
SEHAT. Dan tiga semangat positif manusia tersebut sama sekali bukan hal yang absrak, melainkan suatu ihwal yang kongkrit. Hal yang bisa dibuktikan dan hal yang bisa dimanfaatkan kefaedahanya dalam kehidupan bersama manusia.
6
Adalah akal budi yang yang berupa tiga semangat positif manusia yang merupakan jati diri manusia itulah, yang menjadi rahasia keberhasilan Pawang ikan Lumba-lumba dalam Angkatan Perang AS menciptakan Perang Teluk dimaksud
Pasukan Penyapu Ranjau laut, yang diterjunkan dalam
dimuka. Dan tiga semangat positif manusia
berupa semangat
ANTI KEKERASAN, semangat EMPATI dan semangat KOMUNIKASI SEHATT itu pulalah yang memungkinkan manusia di pelosok belahan bumi manapun berhasil menggalang kerja sama
dengan kawanan satwa
apa saja.
Sehingga melalui bantuan peran TV, kita bisa
menyaksikan misalnya gajah bisa dan mampu
bermain sepak bola, bermain musik dan
bahkan bermain film! Bagaimana prosesnya? Proses utamanya, di atas segalanya adalah, harus ada manusia yang selalu taat dan setia pada jati diri manusianya, yaitu tiga semangat positif manusia tersebut. Tanpa manusia yang taat dan setia pada tiga semangat yang menjadi jati diri mnusia tersebut, jangan pernah bermimpi di dunia ini akan pernah terjadi bisa dan ada hubungan kerjasama antara manusia dengan satwa. Dan oleh sebab itu, Pawang hewan apapun pastilah ia seorang setia
yang selalu taat dan
pada jati diri manusianya, yaitu akal budi berupa tiga semangat positif manusia
tersebut. Sebutlah Pawang gajah, sebagai contoh. Ketika ia harus melatih gajah liar yang belum lama ditangkap. Yang pertama sekali ia lakukan ialah membuang kekerasan
yang
delman dungu
ada pada dirinya.
Mengapa?
semua semangat
Sebab, kalau ia berperilaku seperti kusir
yang setiap kali mana kala dirasanya kudanya berlari tidak sesuai dengan
keinginannya, lalu melecutkan cemeti ke
tubuh kuda, bisa-bisa Pawang dimaksud
akan
terbunuh mati oleh gajah yang marah, karena merasa disakiti oleh manusia. Itulah mengapa hal yang dilakukan oleh seorang Pawang gajah sebelum memulai menjinakkan gajah liar yang belum lama ditangkap, adalah membuang jauh-jauh semua sisa-sisa semangat kekerasan yang mungkin masih melekat pada dirinya. Karena dalam keyakinannya hanya dengan semangat ANTI KEKERASAN, semangat EMPATI dan semangat KOMUNIKASI SEHAT
sajalah
seorang manusia akan bisa diterima berdiri di samping seekor gajah liar yang belum lama berhasil ditangkap. Lalu, apakah setelah seorang Pawang berhasil diterima berdiri di samping gajah yang belum hilang sifat liarnya, hal itu otomatis berarti gajah tersebut serta merta siap menerima dan melaksanakan segala instruksi seorang Pawang untuk melaksanakan instruksi-instruksinya? Tidak! Gajah butuh kejelasan, apakah
Pawang dimaksud telah cukup mengerti hal-hal apa
saja yang paling tidak disukai dan disukai gajah dari seorang Pawang? Oleh sebab itulah bersamaan menterapkan
memberlakukan semangat
semangat
EMPATI
ANTI
KEKERASAN,
seorang
Pawang
juga
dengan sepenuh kesungguhan terhadap gajah yang
dilatihnya. Pawang dengan sepenuh hati mempelajari dan memperhatikan hal-hal apa saja yang disukai dan paling tidak disukai diberlakukan terhadap dirinya oleh seorang pawang, 7
sepenuhnya dari sudut pandang sang gajah, dan sekali-kali tidak dari sudut pandang subyektif seorang manusia. Maka dengan diterapkannya semangat ANTI KEKERASAN dan semangat EMPATI berlangsunglah hubungan kerjasama antara seorang pawang dengan seekor gajah yang belum sepenuhnya hilang sifat liarnya itu. Adapun lancar tidak lancarnya, langgeng tidak langgengnya hubungan kerjasama antara seorang pawang dengan seekor gajah, hal tersebut merupakan suatu masalah tersendiri.
Kalau seorang Pawang menghendaki
hubungan
kerjasamanya dengan gajah berlangsung langgeng dan lancar, ia harus menyadari bahwa sebagai manusia dirinya adalah mahluk sosial, yang sejak terlahir ke dunia kelangsungan hidupnya sepenuhnya terjadi oleh sebab peran dan jasa sesama manusia yang lain. Sebagai Mahluk manusia, dirinya bukanlah
kucing atau kambing.
Mahluk yang setelah keluar dari
kandungan perut induknya, sejenak setelah kantung pembungkus dirinya terkoyak oleh jilatan lidah induknya dan bulu badannya mulai mengering serta keempat kakinya mampu mengangkat tubuhnya, segera pula mampu mengangkat/mendongakkan kepala dan membuka mulutnya untuk mencari dan menangkap puting susu induknya. Ya, sejak itu ia telah mampu mencari dan mereguk air kehidupan. Ia mampu menemukan puting susu induknya. Sedangkan
seorang
anak manusia, untuk dapat menemukan puting susu ibunya, sepenuhnya ia bergantung pada peran dan jasa ibu yang melahirkannya, yang mendukung dan mendekatkan mulut bayi ke puting susunya, barulah bayi manusia tersebut berhasil mereguk air kehidupan. Demikianlah kenyataannya. Bahwa manusia adalah mahluk sosial yang paling lemah di dunia ini. Manusia adalah mahluk sosial yang kelangsungan hidupnya sepenuhnya tergantung dan bergantung pada peran dan jasa sesama manusia yang lain. Karena itu sebagai mahluk sosial, manusia sangat memerlukan
komunikasi dengan
sesamanya agar bisa terus
mendapatkan peran
dan jasa yang menjadi gantungan kelangsungan hidup dirinya dari manusia sesamanya. Karena itulah , prinsip KOMUNIKASI SEHAT adalah kebutuhan kodrati manusia. Karena itu pula, kalau seorang Pawang menghendaki
bisa terus memperoleh peran dan jasa sang gajah yang
diajaknya bekerja sama, ia harus melaksanakan prinsip
KOMUNIKASI SEHAT, alias
komunikasi yang tidak curang terhadap gajah yang diharapkan peran dan jasanya. Kalau komunikasi yamg diterapkannya kepada gajah yang diharapkan peran dan jasanya ternyata curang, setelah gajah melaksanakan segala instruksi yang diberikan sang Pawang, ternyata sang Pawang pura-pura lupa tidak memberi imbalan sebagaimana diperjanjikan
diawal
kerjasama, sang gajah mulai bingung. Apa lagi kalau kelakuan pura-pura lupa tidak memberi imbalan sang Pawang ditradisikan, sehingga selalu ngemplang imbalan jasa yang seharusnya diterima gajah, maka gajah itu akhirnya mengambil sikap tegas! Persetan kau manusia! Aku tidak lagi sudi kau perintah-perintah melakukan instruksimu. Maka kerjasama antara manusia dan gajah pun bubar! Jadi, manusia memang berkewajiban semangat
KOMUNIKASI SEHAT
untuk selalu menjaga kodratnya
dengaN SEPENUH KEJUJURAN. 8
memelihara
Dengan demikian
semangat KOMUNIKASI SEHAT sebuah masyarakat manusia.
senyatanya adalah kunci bagi baik-buruknya kehidupan
Mengingat apabila kehidupan masyarakat bersandar kepada
semangat KOMUNIKASI SEHAT, kondisi demikian
niscaca akan melahirkan
rasa saling
percaya serta suasana keterbukaan yang selanjutnya akan menimbulkan hadirnya atmosfir EMPATIK alias suasana saling tenggang rasa para pihak yang saling berkomunikasi. Dan selanjutnya lagi, dengan tumbuhnya atmosfir EMPATI dalam sebuah masyarakat, hal ini akan membuat berangsur-angsur akan berkurang
untuk kemudian padam pulalah
semangat KEKERASAN para pihak dalam sebuah masyarakat. Di mana pada saat itu dapat dipastikan pula
akan mulai berseminya
suasana HARMONINYA
masyarakat manusia yang sebenar-benarnya manusia. Yaitu
kehidupan
sebuah
manusia yang tidak haus pada
darah manusia sesamanya. Demikianlah, sejauh manusia Pawang terus taat dan setia pada jati diri manusianya, yaitu teguh berpegang dan melaksanakan semangat ANTI KEKERASAN, semangat EMPATI serta semangat KOMUNIKASI SEHAT, maka baik gajah ataupun satwa lain, bahkan ikan pesut akan dengan sepenuh hati melaksanakan instruksi pawang, loncat menerobos lingkaran berapi dengan sempurna seperti diperagakan di Gelanggang Samudera Taman Impian Jaya Ancol, menghibur para pengunjung. Nah, kalau manusia yang selalu taat dan setia pada jati diri manusianya bisa berhasil dimengerti kemauannya
oleh hewan, oleh satwa, sampai-sampai
hubungan kerjasama yang sempurna
dengan
berhasil menggalang
satwa-satwa yang merupakan mahluk tidak
berakal budi, maka timbulah pertanyaan. Mungkinkah dengan
prinsip dan metode serupa
manusia akan gagal mengurus, gagal mengatur kehidupan bersama dengan manusia sesama mahluk yang berakal budi? Rasanya kok tidak! Bahkan seandainya bersedia mencoba melaksanakan
semangat
kita bangsa Indonesia
ANTI KEKERASAN, semangat
EMPATI dan
semangat KOMUNIKASI SEHAT yang tidak lain adalah wujud akal budi yang merupakan JATI DIRI MANUSIA Indonesia yakinlah seharusnya kita, apa yang didambakan Penggali Pancasila, Bung Karno, didalam pidato 1 Juninya di tahun 1945, di dalam Sidang BPUPKI ketika beliau mengatakan : “bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan yang hormat menghormati satu sama lain “, niscaya bisa terwujud. Karena dengan menterapkan akal budi manusia berupa tiga semangat positif yang sekaligus menjadi jati diri manusia Indonesia, maka tanpa kita sadari sesungguhnya ternyata, kita akan telah sama-sama meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada
Tuhan kita masing-masing.
Sehingga gambar atau
potret Indonesia tidak seperti adanya kita sekarang-sekarang ini. Di mana prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ternodai oleh semangat kekerasan. Dan kalau seandainya betul-betul tidak gagal menjauhkan semangat kekerasan dari diri kita, maka apapun adanya perbedaan antara kita sebagai sebuah bangsa, apapun perbedaan warna rambut dan kulit kita, apapun perbedaan 9
anutan agama kita, kita tidak akan menjadi manusia “BREIVIK”. Itu, pria Norwegia, yang merasa benar meledakkan bom dan melakukan pembantaian terhadap sesama manusia lain, hanya karena manusia-manusia yang dibantainya
tidak sepikiran dan tidak seiman dengan
dirinya senndiri. Alhamdullilah!
Apabila kita bangsa Indonesia berhasil
mencapai ini, patutlah kita
mengucap syukur pada Tuhan Yang Maha Kasih, karena dengan itu bangsa Indonesia telah menemukan PINTU KESADARAN
cara memahami dan melaksanakan Pancasila, falsafah,
landasan dan dasar hidup bangsa
dan
negara kita
sesuai
dengan
akal budi
manusia
Indonesia sendiri. Karena sesungguhnya, itulah kunci optimisme bagi siapa saja berkehendak bicara tentang masa depan Indonesia. mencapai
kondisi
hidup
SINERGI
yang
Karena dengan itu, bangsa ini telah
INDONESIA.
Yaitu
kondisi hidup
yang membuat
sekalipun bangsa Indonesia ini terdiri dari masyarakat yang sangat majemuk, namun kemajemukannya
tidak akan jadi
faktor pengancam
persatuan
dan keutuhan
bangsa.
Karena dilihat dari sudut pandang semboyan bangsa Bhineka Tunggal Ika, di mana Bhineka menggambarkan
keanekaragaman suku, bahasa, tradisi adat istiadat dan agama sebagai
sosok jasmani bangsa Indonesia, maka Tunggal Ika yang merupakan gambaran rohani atau mental bagi bangsa Indonesia, haruslah merupakan gambaran tekad. Gambaran semangat dan gambaran cita-cita
bangsa Indonesia.
Yaitu menjadi bangsa yang bebas dan merdeka,
berdaulat, mandiri, mampu mengatur dan mengurus segala kepentingan dan keperluan sendiri tanpa campur tangan mandor asing dari manapun juga datangnya. Karena rumus bagi Sinergi Indonesia dalam konteks ini adalah, satu daya ditambah satu daya bukan sama dengan dua daya, melainkan satu daya ditambah satu daya sama dengan daya tidak terhingga. Sehingga Sinergi
Indonesia menjadi
gambaran sebuah
kegotong-royongan
sebuah masyarakat
Bhineka Tunggal Ika yang hidup dalam suasana damai, rukun dan tenteram. Sebuah kondisi hidup yang memungkinkan
segenap masyarakat di dalamnya bisa memusatkan perhatian
pada kegiatan bekerja meningkatkan kesejahteraan hidup bersama. Demikianlah! Seandainya bangsa kita pernah bisa mencapai kondisi hidup Sinergi Indonesia, dan kondisi Sinergi Indonesia tersebut misalnya saja telah
dicapai pada tahun-
tahun 60-an, niscayalah bangsa Indonesia tidak akan pernah mengalami bencana buatan manusia yang berupa peristiwa G30S.
Mengingat
sesungguh
dan sebenarnya , peristiwa
G30S 1965 adalah hasil atau buah dari adu domba yang dilakukan oleh bangsa asing demi untuk mencapai kepentingannya sendiri. Mengingat seandainya pada kurun masa itu bangsa Indonesia telah mencapai kondisi Sinergi Indonesia, itu artinya bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang dewasa. Dan sebagai bangsa yang telah dewasa, niscaya bangsa Indonesia tidak mudah dikutak-kutik menjadi sejenis “ BANGSA WAYANG” berada dalam genggaman
tangan dalang
asing.
10
yang nasibnya
Yang kepentingan sang dalang tentu
sepenuhnya untuk kepentingan negeri dan bangsanya sendiri dan sama sekali tidak mungkin untuk kepentingan negeri dan bangsa yang direkayasan menjadi WAYANG atau bonekanya. Kita memang mengenal dua macam bencana di negeri ini. Bencana alam seperti gunung meletus, tsunami, longsor sesuai dengan
mekanisme
dan atau bencana kekeringan. kerja
Dimana bencana alam tersebut
keberlakuannya hukum alam tersebut, otomatis dengan
sendirinya akan melalukan penyembuhan diri sendiri atas bencana yang ditimbulkannya. Sesuatu yang tidaklah demikian halnya dengan bencana
ciptaan sendiri manusia.
Dampak buruk bencana ciptaan manusia sungguh tidak mudah disembuhkan. Sungguh, tidak mudah diatasi tanpa kesadaran dan niat baik dari para pihak terkait peristiwa tersebut. Baik pihak yang menimbulkan kurban maupun pihak yang dijadikan kurban. Dan malah boleh ditandaskan di sini, bahwa
dampak
buruk peristiwa G30S 1965, tidak mungkin dapat
disembuhkan selama para pihak terkait sama-sama memelihara
“hobinya” berendam dalam
kubangan lumpur dendam dan kebencian. Karena perilaku yang ditimbulkan
dari “hobi”
semacam itu tidak lain adalah menjadi penebar dendam dan kebencian bagi kehidupan bangsa ke depan. Karena yang dilakukannya tidak lain hanya fitnah dan hasutan agar kehidupan damai di negeri ini tidak pernah bisa dicapai. Di mana salah satu contohnya, kita temukan pada program live “Suara Anda” Metro TV yang tayang pertengahan bulan Juli 2011. Di mana hadir salah seorang yang tidak pernah absen mengikuti acara tersebut . Di bawah sorotan kamera TV seseorang yang hadir tampil berdiri menerangkan dirinya lahir pada tahun 1950. Ia menceritakan kekejaman PKI yang terjadi pada tahun 1952. Di mana segala peristiwa kekejaman PKI yang diceritakannya di bawah sorotan kamera TV TERSEBUT,
diakui didengar dan dilihatnya sendiri pada tahun
1952. Jadi ketika usia “penebar fitnah dan kebencian tersebut” baru 2 tahun. Sesuatu yang sangat mustahil bisa dilakukan oleh betapa “ajaibnya” pun seorang bocah berumur dua tahun, kecuali dilakukan oleh seorang yang seiring waktu beranjak menjadi dewasa ia terus menerus teracuni oleh lingkungan yang rata-rata “hobinya” berendam dalam kubangan lunpur dendam dan kebencian
secara membabi buta.
Sehingga nilai ceritanya di bawah sorotan
kamera TV pun sama dengan cerita yang tidak jemu-jemunya
selalu didongengkan oleh
rezim Orba dan para pendukungnya seputar kisah cabul yang dikatakannya dilakukan oleh warga “Gerwani”
di Lubang Buaya, yang diberinya nama “Pesta Harum Bunga”.
Di mana
sejumlah perempuan bugil menari-nari sambil mensileti kemaluan para jenderal yang terbunuh di Lubang Buaya. Fitnah yang bernilai sampah, yang akan tetapi
karena terus menerus
disosialisasikan oleh sebuah kekuasaan yang bersemangatkan kekerasan dalam waktu yang sangat lama, membuat pada masanya dapat diterima juga oleh kebanyakan warga masyarakat. Padahal semua itu semata-mata fitnah bernilai sampah . Dikatakan “sampah” “murah” karena di mata orang yang sedikit saja mau berpikir akan segera merasa , bahwa selama dalam kehidupan masyarakat itu ada profesi seorang perempuan bersedia bertelanjang didepan 11
lelaki entah siapa dan dari mana karena barusaja ketemu, asalkan untuk itu ia dibayar, maka siapa pun bisa menyelenggarakan pertunjukan
“pesta harum bunga” dengan dilabeli nama
“Gerwani” atau “Ger-Geran” sesuai dengan maksud dan kepentingan yang ingin dicapainya. Yaitu untuk menghasut massa agar berani dan mau melakukan pembantaian kepada siapa saja yang dianggap sebagai PKI. Sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh si pencipta bencana berupa peristiwa G30S pada waktu itu. Karena sangat diyakini oleh arsitek bencana dalam peritiwa G30S tersebut, bahwa sangat tidak mungkin rakyat biasa, orang kebanyakan sekalipun
pekerjaan sehari-harinya menjadi jagal hewan lalu menjadi gampang saja tega
menjagal sesama manusia. Karena membunuh manusia, adalah satu perbuatan yang hanya bisa dilakukan orang-orang yang memang dilatih untuk itu. yang berprofesi
sebagai serdadu.
Seperti mereka orang-orang
Karena oleh profesinya, mereka memang dilatih untuk
menghadapi kondisi perang. Perang yang memang harus membunuh kalau tidak mau dirinya yang terbunuh. Maka bertujuan untuk
fitnah bernilai sampah
“pesta harum bunga” sepenuhnya
membakar hangus kesadaran massa
semata
agar bisa didorong melakukan
pembunuhan suatu perbuatan diluar kehendak yang bersangkutan. Demikianlah dalam tekadnya agar berhasil menciptakan bencana berupa peristiwa G30S, yaitu menghancurkan PKI, Maka untuk itu dihalalkanlah segala cara. Di mana salah satu caranya ialah dengan pertunjukan fitnah sampah “pesta harum bunga”. Nah, kalau alur fitnah bernilai sampah “pesta harum bunga” arah tujuannya demikian jelas sesuai dengan kepentingan
mendorong dan memberanikan
orang untuk melakukan
pembantaian dalam rangka menghancurkan PKI, bandingkanlah itu dengan fitnah bernilaI sampah yang dilakukan berdasarkan pengalaman/pengetahuan orang ketika dirinya berumur 2 tahun
atas segala kekejaman PKI. Seandainya
yang bersangkutan ingin mendaur ulang
keberhasilan fitnah sampah “pesta harum bunga”, bukankah sekarang PKI bukan lagi seperti PKI ditahun 1965 yang dianggap memiliki kekuatan? Bukankah faktanya PKI sudah jadi bangkai? Lalu, masih perlukah bangkai itu diseru-serukan agar dihancurkan? Apa fanfaatnya bagi kehidupan bangsa kedepan? Inilah faktanya kena apa dimuka dikatakan bahwa bencana ciptaan manusia sungguh tidak mudah mengatasinya. Karena faktanya seorang anak yang lahir pada tahun 1950, pada tahun 1952, dalam usia 2 tahun mengaku merasa melihat dan mendengar sendiri kekejaman yang dilakukan PKI. Padahal ini jelas sebuah pembualan! Hasil menghafal lagu dari kaset orang yang “hobinya” berendam dalam kubangan lumpur dendam dan kebencian, yang diputar orang-orang dewasa disekitarnya. Dengan bersandar pada segala paparan dimuka, apa lagi kalau semua itu bisa dimaknai, bisa dipandang dan dipercaya sebagai wajah semangat diri saya, maka konsisten dengan semangat
ANTI KEKERASAN,
EMPATI,
DAN KOMUNIKASI SEHAT, yang merupakan
pengejawantahan dari AKAL BUDI manusia yang adalah merupakan JATI DIRI manusia,
12
mari kita saling mencari
dan menemukan
kawan seperjalanan
agar bisa bersama-sama
melakukan hal-hal yang positif bagi bangsa dan negara bersama kita. Nah, sekarang
saya
ganti topik bicara dengan cerita sedikit
tentang diri sendiri.
Saya adalah bagian dari komunitas yang disebut PKI. Komunitas yang selama hampir genap setengah abad hidup di negeri ini dalam genangan limbah KEBENCIAN. Namun dengan segala yang saya paparkan dimuka, bahwa saya tidak
kalau
itu
bisa dipercaya,
terciprat noda, saya tidak terciprat
saya telah membuktikan,
kotornya air limbah kebencian
tersebut. Saya adalah warga negara Indonesia yang di masa lalu memegang KTP bertanda ET, karena saya pernah meringkuk di dalam penjara G30S selama 13 tahun + 2 hari. Siang dan malam. Waktu berharap, waktu menunggu yang sangat lama dan melelahkan. Bayangkan kalau dalam bepergian kita mengalami keterlambatan KA selama 30 menit saja, rasanya begitu lama duduk tersiksa. Nah cobalah bayangkan selama
seperti apa tersiksa rasanya
saya menununggu
4747 hari siang dan malam atau 113.928 jam menunggu untuk bisa
bertemu dan
berkumpul kembali dengan orang yang selalu dekat di hati. 13 tahun bukanlah waktu yang pendek. Karena 13 tahun itu pula waktu yang dihabiskan untuk menceritakan kisah berhasil
susahnya Pandawa
dalam menjalani hidup
dicurangi sehingga kalah habis-habisan
oleh pihak Kurawa
sengsara
setelah
di meja judi dadu.
Apakah penderitaan yang dialami Pandawa terjadi akbiat kesalahan yang dilakukan terhadap kurawa?
Tidak!
Penderitaan tersebut
terjadi oleh sebab
Pandawa kalah
dari Kurawa.
Bagaimana mungkin? Begitulah niscaya anggapan kebanyakan orang. Mengingat argumentasi yang meyakini
Pandawa itu kekasih para dewa
sehingga menjadi seperti diceritakan
bahwasanya Pandawa itu sakti mandraguna. Yang kesaktiannya tidak pilih tanding. Jadi, mana mungkin bisa dikalahkan oleh Kurawa? Tapi nyatanya Pandawa memang kalah dari Kurawa. Setidaknya
kalah serakah
dan kalah
licik!
Demikian halnya
dengan komunitas PKI,
terbuang, terpenjara, terbantai. Sama sekali bukan oleh sebab berbuat salah atau dosa seperti yang selama ini dituduhkan
pada dirinya!
Melainkan segala yang terjadi
dan
dialaminya sepenuhnya oleh sebab kalah. Kalah licik dan kalah serakah dari pihak yang berhasil mengalahkannya.
Kekalahan yang membuat jutaan rakyat Indonesia
mengalami
derita. Di mana saya merupakan salah seorang yang harus merasakan penderitaan itu. Sementara laksana langit dengan bumi beda penderitaan yang saya alami dari derita yang dirasa bahkan oleh Semar-Petruk-Gareng para punokawan Pandawa.
Karena dalam
masa 13 tahun Pandawa menjalani pengembaraan dalam pembuangan Pandawa bebas singgah pada kerajaan-kerajaan di mana saja mereka suka. Yang selalu memperoleh sambutan hangat penuh empati Di mana Semar-Petruk-Gareng
sang Punokawan
senantiasa
mengiringii
junjunganya. Sehingga Semar-Petruk-Gareng sekalipun kedudukan mereka adalah Batur alias Abdi, ikut pula mereka menikmati
kenikmatan yang dirasakan para ndoronya. Tentu saja 13
Semar-Petruk-Gareng para punokawan Pandawa itu tidak pernah merasakan derita yang para tahanan G30S rasakan yang oleh rezim yang berkuasa dianggap bukan manusia yang oleh karenanya sepenuhnya diperlakukan sebagai “hama”. Hama, yang kita ketahui dibumi negeri ini untuk waktu yang lama yang namanya “hama” wereng saja tidak ditenggang, apalagi “hama” komunis seperti para tahanan G30S. Mutlak hama komunis ini harus dibasmi sampai 7 keturunan anak-cucunya
agar tidak mengotori
halaman rumah penguasa rezim pencipta
bencana buatan manusia
berupa peristiwa G30S 1965. Adapun seperti apa rasanya hidup
diperlakukan sebagai “hama komunis” dalam waktu yang sangat lama, saya merasa tidak cukup waktu untuk menceritakannya. Maka seandainya diantara kita ada yang berpikir apa setelah segala perlakuan
tidak manusiawi
itu, saya memendam rasa dendam, jawabnya:
Dengan
semangat ANTI KEKERASAN, EMPATI dan KOMUNIKASI SEHAT yang adalah penjabaran AKAL BUDI yang merupakan JATI DIRI MANUSIA, saya merasa berhasil membersihkan diri dari semua kotoran jiwa berupa kebencian dan dendam. Silahkan nilai kebenaran ucapan ini dengan segala semangat dan nalar yang saya paparkan ini. Sehingga tinggalah sekarang menegaskan saja, bahwa saya memang bersih dari kotoran rasa dendam dan benci! Kok bisa? Bisa, sebab saya telah memiliki sandaran rohani, sandaran batin yang kongkrit berupa tiga semangat positif manusia tersebut di muka.
Di mana ketiga semangat positif
manusia tersebut pada kenyataannya berperan sebagai pencerahan jiwa, pencerahan batin pada diri saya. Yang membuat saya bisa berpikir jernih. Tidak menaruh rasa dendam dan benci pada mereka yang telah melakukan penganiayaan, penyiksaan dan penyengsaraan luar biasa dalam waktu yang sangat panjang untuk ukuran hidup manusia. Pencerahan batin yang menyadarkan saya, bahwa segala derita parianya nasib orang yang menjadi tahanan politik, terjadinya tidak bersangkut paut dengan alasan pribadi. Nasib tahanan politik sepenuhnya ditentukan oleh situasi, kondisi dan perilaku politik. Di mana dalam kaitan dengan para korban peristiwa G30S, nasibnya tercelakakan
oleh Kebijakan Politik
Pembendungan Perluasan
Pengaruh Komunisme yang diberlakukan oleh Komandan Perang Dingin AS & sekutunya. Itulah alasan yang menerangkan mengapa para oknum pelaksana siksa dan aniaya yang sama sekali tidak mengenal
diri saya, misalnya, mendadak, tiba-tiba saja
kesetanan melakukan
penyiksaan diluar batas kemanusiaan kalau bukan karena faktor X. Yaitu kondisi, situasi dan perilaku politik! Di atas, saya menyebut-nyebut kisah Baratayuda. Dengan mencuplik siasat dua tokoh pemikir pihak Kurawa maupun Pandawa, yang sama-sama terperangkap yang berlaku yang
situasi dan kondisi
memaksa keduanya selaku para bijaksanawan, bertentangan dengan
martabat kedudukan yang disandangnya mereka terpaksa mengemas kearifan dalam bungkus kecurangan.
Yang namun demikian toh
kita masih tidak terhalang
untuk dapat melihat
dengan jelas JATI DIRI manusia berupa kehalusan budi pekerti kedua tokoh pemikir
14
Kurawa maupun Pandawa, yang pada intinya tidak haus untuk menumpahkan sesama darah Barata. Hal yang tidak demikian dengan yang terjadi semangat kekerasan
kesetanan untuk melakukan
pada peristiwa G30S 1965.
Di mana
pembantaian
manusia
pada sesama
berdarah Indonesia yang skalanya berpuluh dan bahkan beratus kali lebih besar dari perang sesama darah
Barata
dalam kisah Mahabarata/Baratayuda.
Seandainya saja
keluhuran dan kehalusan budi pekerti yang terajarkan melalui epos besar Mahabarata bisa bangsa Indonesia serap
sebagai
pedoman dan landasan moral, sehingga logikanya
telah
mencerahkan batin kita semua, saya rasa kita semua akan sependapat menyatakan bahwa peristiwa G30S 1965 tidak mungkin bisa terjadi hanya oleh karena ada rasa kebencian satu sama lain anggota masyarakat Indonesia.
Peristiwa G30S tersebut jelas terjadi oleh
adanya faktor dalang yang mengadu domba sesama warga bangsa Indonesia. Dalang inilah yang harus kita cari kalau kita ingin membicarakan masalah peristiwa G30S 1965. Peristiwa G30S adalah sebuah peristiwa politik besar yang berdampak tidak saja bagi terjadinya perubahan tatanan kehidupan secara nasional, tetapi juga secara Hal ini terasa sekali pada kenyataan
bahwa hilangnya seorang
internasional.
tokoh gerakan non blok
seperti Bung Karno akibat peristiwa G30S telah menimbulkan dampak sangat besar pada perjalanan Gerakan Non Blok tersebut. sedikit tokoh pejuang dunia
yang vokal
Mengingat Bung Karno adalah seorang dan konsisten melakukan perjuangan
diantara melawan
penjajahan. Tapi bagaimana setelah Indonesia terseret masuk ke dalam lingkaran pusaran Perang Dingin? Coba kita lihat lagi. Gerakan Non Blok adalah merupakan sebuah kekuatan politik dunia yang sangat berpengaruh atas jalannya proses Perang Dingin yang merebak seusai Perang Dunia II.
Perang Dingin
yang sejauh pengetahuan saya, nyaris tidak ada peneliti
peristiwa G30S yang menyentuhnya. Karena tanpa sadar para peneliti itu terseret ke medan magnit yang disediakan oleh pemrakarsa perististiwa G30S itu sendiri. Sehingga fokus para peneliti sebatas mencari jawab singkat A atau B yang disodorkan oleh pemrakarsa peristiwa G30S
untuk menjawab pertanyaan
“dalang peristiwa G30S itu
PKI atau bukan?
Tidak
tersedia pilihan jawab yang lain. Padahal sumber penyebab timbul terjadinya peristiwa itulah yang seharusnya dicari dan digali. Karena tanpa mengetahui sumber penyebab terjadinya peristiwa, akibatnya bangsa Indonesia tidak kunjung berhenti dari terus menerus membangun dan melakukan tradisi mencabik-cabik diri sebagai sebuah bangsa seperti yang berlangsung terjadi sejak meletusnya peristiwa G30S
peristiwa G30S sampai dengan sekarang. Penderitaan akibat
bukan diarahkan
untuk mendorong penggalian sumber penyebabnya,
melainkan un tuk saling tuding satu terhadap yang lain sebagai pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya malapetaka tersebut. Tuding-menuding yang sebagaimana nyatanya hanya semakin mengkoyak-koyak tubuh bangsa Indonesia seperti yang terjadi selama ini. Bahkan 15
Bung Karno pun digelarinya sebagai “Gestapu Agung” Padahal
sumber penyebab terjadinya
peristiwa G30S sesungguh dan sebenar-benarnya, adalah Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dunia II selain ditandai dengan berlangsungnya Perang Dingin, juga ditandai oleh
berlahirannya banyak bangsa baru beserta negaranya,
sebelumnya terbelenggu oleh
penjajahan.
Hal
yang mendasari
dari yang
timbulnya semangat
penolakan mereka terhadap kolinialismd/imperialisme para tokoh bangsa negara tersebut sangat kuat. Di mana semangat demikian itu mengkristal ke dalam wujud
terbentuknya
Gerakan Non Blok. Banyak tokoh vokal di dalam Gerakan Non Blok tersebut. Salah seorang diantaranya adalah Bung Karno. Kevokalan Bung Karno sangat mengganggu gendang telinga kubu kolonialisme/imperialisme. Maka jadilah kubu kolonialisme/imperialisme
Presiden Soekarno menjadi sasaran tembak
untuk dilenyakpan
dari panggung politik dunia.
Peristiwa
Cikini (1957) adalah salah satu upaya untuk melenyapkan Bung Karno secara fisik. Hal yang dapat ditelusuri jejaknya pada kesepakatan Presiden Kenedy dari AS dan PM Macmilan dari Inggris (1962) untuk melenyapkan Bung Karno secara fisik, jika ada peluang untuk itu. Menurut Dubes AS untuk Indonesia, setalah peristiwa Cikini, masih ada 3 kali percobaan untuk membunuh Presiden Soekarno yang hampir saja berhasil. Namun rupanya, dalam rangka melenyapkan Bung Karno dari panggung politik tersebut, pihak kolonialisme/imperialisme terbentur pada kenyataan. Bahwa ternyata di Indonesia terdapat kekuatan politik lain yang membentengi/melindungi
Soekarno
dari maksud jahat
kubu imperialis, yaitu
kekuatan
politik PKI. Maka melenyapkan Bung Karno tidaklah mungkin berhasil tanpa terlebih dahulu melenyapkan/menghancurkan kekuatan politik PKI. Dan memang demikian itu fakta sejarahnya. Setelah PKI berhasil dihancurkan, barulah kewibawaan kekuasaan dan keselamatan
jiwa-
raga Bung Karno pun berangsur berhasil dirampas dari pemiliknya. Perang Dingin adalah Perang Idiologi antara Blok Barat yang terdiri dari negerinegeri bekas penjajah yang rata-rata bernaung di bawah panji kapitalisme dan dikomandani oleh AS, dengan Blok Timur yang khususnya terdiri dari negeri-negeri yang melepaskan diri dari pengaruh kapitalisme dan mengibarkan
panji sosialisme yang dikomandani oleh
Uni Soviet. Perang Dingin adalah Perang Idiologi, Upaya kapitalisme menumpas sosialisme yang dimulai
segera setelah selesainya Perang Dunia II. Perang Dunia yang menghasilkan
berdirinya sejumlah negara baru yang diperintah
oleh
pada umumnya bangsa Baru hasil
perjuangan membebasakan diri dari kolonialisme selama berabad-abad lamanya. membuat
AS
dan semua
negara serta bangsa-bangsa bekas penjajah
Hal yang sangat
mengkhawatirkan munculnya bangsa dan negara baru hasil perjuangan membebaskan diri dari belenggu kolonialisme yang di satu sisi membawa semangat kebencian pada kapitalisme dan disisinya yamg lain bersimpati pada sosialisme. Hal yang dipandang oleh dunia Barat akan memperbesar pengaruh komunisme di dunia. Maka kebijakan politik pertama dan terutama yang dilakukan AS dan sekutunya seusai Perang Dunia II, adalah melakukan pembendungan 16
perluasan
pengaruh
komunisme,
sebelum bisa
menekuk-lututkan Uni Soviet
beserta
negara-negara yang menjadi satelitnya. Dalam pada itu wilayah Asia pada umumnya, khususnya Asia Tenggara dan Indonesia yang membebaskan diri dari kolonialisme Belanda, Malaya yang membuat ancang-ancang melepaskan diri dari Inggris, Indocina yang membebaskan diri dari kolonialisme Perancis, Naga Merah yang menggeliat bangkit untuk berkuasa di Tiongkok, serta Perang Korea, mendorong AS dan sekutunya menjadikan wilayah Asia Tenggara khususnya sebagai wilayah Pembendungan Perluasan Pengaruh Komunisme yang amat penting. Usai Perang Dunia II, AS merasa sangat terganggu
dengan bermunculannya
pemerintahan yang menganut politik anti kolonialisme/imperialisme di Asia. Mengingat hal itu
dianggapnya
akan membuka
jalan bagi
berkembang
dan meluasnya
pengaruh
komunisme.. Untuk mencegah itu, AS aktif memberi bantuan pada kolonialisme Belanda di Indonesia, Inggris di Malaya dan Perancis
di
Indocina.
Bahkan setelah nyata-nyata
pasukan pembela Perancis di Benteng Dien Bien Pu digilas tuntas oleh prajurit rakyatnya Ho Chin Min,
AS malah terang-terangan
Vietnam. Semua itu dilakukan AS
mengambil alih peran Perancis, memerangi rakyat
dengan tujuan pokok
agar masing-masing pihak yang
dibantunya bisa mempertahankan eksistensi kolonialisme di masing-masing wilayah yang menjadi jajahannya.. Karena dengan itu diyakininya Kebijakan dasar Politik Luar Negeri AS: PEMBENDUNGAN PERLUASAN PENGARUH KOMUNISME akan berhasil. Dan sejak itulah, AS
yang sebelum Perang Dunia II
tidak punya kaitan apa-apa dengan Indonesia,
oleh
kebutuhan kebijakan politik Pembendungan Perluasan Pengaruh Komunisme di Indonesia, datang, masuk ke dalam kehidupan politik Indonesia, yang baru saja merdeka waktu itu. Bertopeng sebagai Juru Penengah Konflik RI >< Kerjaan Belanda, AS memposisikan diri sebagai Ketua KTN , dengan Australia dan Belgia sebagai anggota Komisi Tiga Negara tersebut. Sebagai Ketua KTN AS aktif melakukan pendekatan dan berhasil menjalin dan merekrut
elite politik
Indonesia
Perluasan Pengaruh Komunisme. kedalam
Pusaran Perang Dingin.
menjadi pelaksana
kebijakan Politik Pembendungan
Demikianlah, sejak itu definitif
Indonesia telah masuk
Perang Idiologi kapitalismenya
AS, untuk menghancur-
leburkan idiologi sosialismenya kubu Uni Soviet. Di mana sejak itu pula AS dalam rangka melaksanakan Kebijakan Politik Pembendungan Perluasan Pengaruh Komunisme khususnya di Indonesia dengan CIA-nya, memposisikan dirinya sebagai
dalang yang berangsur-angsur
mengubah Indonesia menjadi sejenis “BANGSA WAYANG”
Di mana di bawah Kebijakan
Politik Pembendungan Perluasan Pengaruh Komunisme yang menjadi dasar politik Luar Negeri AS,
bangsa
Indonesia berhasil
dibelah
Pandawa dalam wujud/sosok PKI dan
menjadi dua
golongan.
Golongan Kurawa dan
AD, yang keduanya terus digiring ke Kuru Setra
alias medan perangnya darah Barata alias Barata- yudha, dalam wujud peristiwa G30S 1965. Karena itu saya kuat berkeyakinan bahwa peristiwa G30S 1965 tidak akan pernah terjadi di 17
Indonesia kalau saja: Pertama, di dunia tidak ada Perang Dingin.
Kedua, Pada waktu itu
Indonesia merdeka sudah berhasil membawa masyarakatnya ke dalam kondisi Sinegergi Indonesia seperti disebut di muka. Di mana dengan itu berarti bangsa Indonesia
sudah
menjadi bangsa yang dewasa. Kedewasaan yang akan membuatnya tidak mudah dijadikan sejenis „BANGSA WAYANG‟ oleh dalang asing dari manapun juga datangnya. Entah berapa ribu tahun sudah
epos
Maha Barata
dikenal masyarakat manusia
Indonesia. Di mana cermin ajaran moral dan perilaku hidupnya terpeta nyata pada peragaan semangat
ANTI KEKERASAN sepasang bijaksanawan Harya Sangkuni dan Batara Kresna.
Para Juru Pikir dan penasehat Agung dari dua kubu yang saling bermusuhan, akan tetapi saling berempati. Sehingga sama-sama seberapa bisa berupaya mencegah robeknya kulit dan muncratnya darah prajurit dari kedua pihak yang saling berlawan. Dan kurang-lebih 650 tahun sudah sejak Mpu Tantular (1365) di masa kerajaan Majapahit, menuliskan Kakawin Sutasoma yang didalamnya mengangkat seloka Bhineka Tunggal Ika. Bhineka Tunggal Ika yang di zaman Indonesia merdeka sampai sekarang ini dijadikan semboyan bangsa dalam lambang Garuda Pancasila kita. Di mana kesemuanya itu dengan jelas menggambarkan karakter bangsa Indonesia yang toleran dan cinta damai, jauh dari perilaku haus darah. Akan tetapi tiba-tiba, mendadak sontak, di tahun 1965 jutaan nyawa dicabut paksa dari masing-masing raganya! Ini semua tidak mungkin terjadi kalau saja ke dalam karakter bangsa yang demikian itu tidak berhasil disuntikan
racun
perpecahan
oleh kebijakan politik Pembendungan
Perluasan Pengaruh Komunisme Perang Dingin yang dikomandani oleh AS. Tidak asal Bunyi (asbun)-kah pernyataan ini? Mari kita periksa melalui dokumen CIA. Dokumen CIA, yang di sana-sini banyak kalimatnya yang tidak utuh, yang niscaya oleh AS selaku Komandan Perang Dingin dimaksudkan agar tidak semua kejahatan dan dosa CIA tetap tidak diketahui oleh masyarakat luas, yang tertulis dalam buku berjudul Dokumen CIA Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965, edisi Indonesia , Redaksi Hasta Mitra, memuat di dalamnya DEPARTEMEN”
“MEMORANDUM
DIPERSIAPKAN CIA
denga kode 248, bertanggal
Washington,
UNTUK
18 September
STATE
1964, perihal
“PROYEK UNTUK AKSI TERSEMBUNYI” yang akan menerangkan segala pernyataan di muka a s b u n
atau tidak! Di mana dalam paragraf 16-nya antara lain ditekankan sebagai
berikut: “Harus dipahami sejak dari awal bahwa tujuan dari
seluruh pelaksanaan ini adalah
agitasi dan „dorongan perselisihan‟ internal antara elemen komunis dan non komunis. Pola aktifitas cukup sederhana cakupannya, namun ukuran keberhasilan program adalah untuk mendapatkan momentumnya”. Dan sejarah mencatat bahwa momentum dimaksud ternyata tak lain dan tak bukan adalah peristiwa G30S 1965.
Kesimpulan tersebut menjadi demikian kuatnya
mencuatnya pertanyaan pada paragraf 16 tersebut sebagai berikut: 18
setelah
“Seberapa jauh kita dapat melakukan usaha memecah dan lebih penting lagi, untuk mengadu PKI melawan elemen non komunis, khususnya dengan Angkatan Darat?” Pertanyaan yang jelas menerangkan mengapa ada atau mengapa di negeri ini terjadi peristiwa G30S, di samping cukup jelas menerangkan, siapa yang merancang dan mendalangi terjadinya peristiwa peristiwa G30S 1965 tersebut. Demikianlah,Semoga
pemaparan
sejumlah masalah ini punya nilai guna bagi yang
memerlukannya. Jakarta, 28 Oktober 2011.
19