MAKALAH UTAMA SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA IV “Peran Riset dan Pembelajaran Kimia dalam Peningkatan Kompetensi Profesional” Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP UNS Surakarta, 31 Maret 2012
RISET DAN PENGEMBANGAN METODE SOLID-PHASE SPECTROMETRY (SPS) MENUJU GREEN CHEMISTRY Sulistyo Saputro Prodi Kimia, Jurusan PMIPA, FKIP Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Surakarta-57126 Telp./Fax: (0271) 648939 E-mail:
[email protected]
Abstrak Pengembangan metode analisis kimia yang bersih dan ramah lingkungan merupakan kebutuhan utama.Fokus kajian dipusatkan pada strategi dan instrumen yang memungkinkan untuk digunakan pada pra-perlakuan sampel dan metode analisis yang “lebih hijau”. Perlakuan diarahkan pada prinsip-prinsip mendasar untuk menggantikan reagen yang toksik, untuk minimasi dan juga automatisasi metode, sehingga akan mampu mereduksi penggunaan reagen dan limbah yang dihasilkan, yang juga berarti dapat menghindarkan efek samping suatu metode analisis. Kontribusi solid-phase spectrometry (SPS) sebagai salah satu metode yang termasuk green analytical chemistry (GAC) juga didiskusikan mulai dari metode batch dan perkembangannya hingga flow-analysis termasuk keuntungan-keuntungan di dalam aplikasinya. Kata kunci: green analytical chemistry, solid-phase spectrometry, ramah lingkungan
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini istilah green chemistry mendapatkan perhatian besar dari berbagai pihak. Pengertian dari green chemistry atau kimia hijau adalah berbagai teknik dan metodologi kimia yang berusaha mengurangi atau menghilangkan penggunaan atau produksi bahan mentah, produk, produk samping, pelarut, reagensia dan sebagainya, yang berbahaya bagi kesehatan manuasia dan lingkungannya (Anastas, 1998). Sehingga, green chemistry terdiri dari bahan dan proses kimia yang dirancang untuk mengurangi atau menghilangkan dampak negatif bagi lingkungan. Penggunaan dan produksi bahan kimia ini memungkinkan produksi limbah dan komponen tidak beracun menjadi berkurang dan terjadi peningkatan efisiensi. Green chemistry merupakan pendekatan yang sangat efektif untuk pencegahan polusi karena berlaku solusi
Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia IV
ilmiah inovatif untuk situasi dunia nyata di lingkungan. Konsep kimia hijau digulirkan semenjak adanya aksi pencegahan pencemaran (Pollution Prevention Act) tahun 1990 yang menetapkan kebijakan nasional Amerika Serikat untuk mencegah atau mengurangi polusi sejak dari sumbernya, bukan penanganan kembali atau remediasi pencemar. Aksi tersebut memberikan kesempatan untuk memperluas program EPA(Environmental Protection Agency) yang telah ada dan merancang strategi kreatif untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan. Segera setelah aksi tersebut, Kantor Pencegahan Pencemaran Bahan Beracun (Office of Pollution and Prevention and Toxics, OPPT) mengemukakan ide pengembangan produk dan proses kimia baru atau perbaikan terhadap produk dan proses kimia yang telah ada, dan membuatnya tidak berbahaya bagi
22
kesehatan manusia dan lingkungannya. Kemudian pada tahun 1991, OPPT menggulirkan suatu model program riset yang disebut "Alternative Synthetic Pathways for Pollution Prevention”, yang menyediakan dana penelitian yang berkaitan dengan desain dan sintesis bahan kimia.Pada tahun 1993, program ini diperluas ke arah topik lain seperti halnya pelarut yang “lebih hijau” dan bahan kimia yang lebih aman, yang kemudian dikenal luas sebagai “Green Chemistry”. Sejak saat itulah Program Kimia Hijau telah membangun berbagai kolaborasi antara akademisi, industri, instansi pemerintah dan oganisasi non pemerintah untuk memulai penggunaan kimia untuk pencegahan pencemaran melalui kemitraan yang benarbenar “voluntary” dan “non-regulatory”.
Prinsip-prinsip Green Chemistry Menurut Anastas dan warner (1998), terdapat 12 prinsip di dalam green chemistry, yakni: 1. Pencegahan. Lebih baik mencegah daripada membersihkan limbah setelah dibuat, 2. Efisiensi atom. Metode sintesis seharusnya didesain untuk memaksimalkan penggabungan semua bahan yang digunakan dalam proses tersebut menjadi produk akhir, 3. Sintesis kimia yang kurang berbahaya. Apabila mungkin, metode sintetis seharusnya didesain untuk menggunakan dan menghasilkan zat yang memiliki toksisitas rendah atau tidak berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan, 4. Merancang kimia aman. Produk kimia harus dirancang untuk memperoleh fungsi yang diinginkan namun dengan meminimalkan toksisitasnya, 5. Pelarut dan zat tambahan yang aman. Penggunaan zat tambahan (misalnya, pelarut, agen pemisah, dan sebagainya) harus dibuat sedapat mungkin tidak berbahaya bila digunakan. 6. Desain untuk efisiensi energi. Persyaratan energi untuk proses kimia harus aman dan dampak lingkungan dan ekonomi harus diminimalkan. Jika memungkinkan, metode sintetis harus dilakukan pada suhu kamar dan tekanan ambient, 7. Penggunaan bahan baku terbarukan. Bahan mentah atau bahan baku harus terbarukan bukan bahan habis yang menipis setiap kali teknis dan ekonomis, 8. Mengurangi proses derivatisasi. Derivatisasi tidak perlu (blocking, deprotection, modifikasi proses fisik/kimia) harus dikurangi atau dihindari jika mungkin, karena langkah-langkah seperti ini membutuhkan reagen tambahan Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia IV
dan dapat menghasilkan limbah. 9. Katalisis. Reagen katalis(dipilih seselektif mungkin) seharusnya lebih unggul daripada reagen stoikiometri. 10. Desain untuk degradasi. Produk kimia harus dirancang sehingga pada akhir fungsi, produk tersebut terurai menjadi produk degradasi tidak berbahaya dan tidak bertahan di lingkungan. 11. Real-time analysis untuk pencegahan pencemaran. Metodologi analitis perlu dikembangkan lebih lanjut untuk memungkinkan untuk real-time, dalam proses monitoring dan control sebelum pembentukan zat berbahaya. 12. Kimia yang aman dan pencegahan kecelakaan. Zat dan bentuk zat yang digunakan dalam proses kimia harus dipilih untuk meminimalkan potensi kecelakaan kimia, termasuk buangan ledakan, dan kebakaran. Hasil pengembangan metode analisis kimia yang mendasarkan pada satu atau beberapa prinsip green chemistry di atas lebih lazim disebut sebagai green analytical chemistry (GAC). Salah satu metode analisis kimia yang dapat dikategorikan sebagai GAC adalah solidphase spectrometry(SPS). Solid-phase Spectrometry (SPS) Yoshimura, dkk. (1976) merupakan pioner yang mendiskripsikan suatu prosedur fotometrik yang berbasis pada immobilisasi suatu spesies target (analit atau suatu produk reaksi tertentu) dalam suatu padatan yang tepat (biasanya microbead dari suatu material sorben non polar atau polimerik, atau resin penukar ion) dengan melibatkan kesetimbangan antara spesies aktif dari sorben dan spesies target di dalam larutan. Bead kemudian dikumpulkan dan dipindahkan ke dalam sel/kuvet pengukuran yang sesuai sebagai suspensi dengan beberapa mL larutan tersebut. Metode ini memungkinkan untuk menentukan komponen ultra trace dalam sampel air alam dan lainnya tanpa prekonsentrasi, karena peningkatan sensitivitas mudah dicapai dengan meningkatkan volume sampel (Yoshimura dan Waki, 1976; Yoshimura dan Waki, 1985). Dengan menggunakan diphenylcarbazide (DPC) sebagai zat pewarna, SPS selektif untuk Cr(VI) juga telah dikembangkan (Yoshimura dan Ohashi, 1978; S.Saputro, dkk., 2009). Pada kondisi rasio distribusi dari spesies sampel cukup besar untuk adsorpsi secara sempurna, absorbansi spesies
23
analit target di dalam fase padatan (ARC) dapat dinyatakan sebagai persamaan (1) jika analit dengan konsentrasi C0 di dalam 3 suatu sampel V cm yang dikonsentrasikan 3 ke dalam fase padatan v cm , ARC = εRCC0lRC V / v, (1) di mana εRC adalah absorptivitas molar dari spesies berwarna dan lRC adalah tebal lintasan di dalam fase padatan. Alternatif metode untuk meningkatkan sensitivitas SPS adalah dengan menggunakan volume sampel yang lebih kecil dan menggunakan lRC yang lebih besar dan/atau sistem v yang lebih kecil. Pada solution method, suatu -3 larutan dengan konsentrasi 1 mg dm Cr(VI) menunjukkan absorbansi 0.704, sehingga sensitivitas yang dicapai dengan batch method dengan volume sampel 20 ml adalah 277 kali lebih tinggi. Secara teoritis, besarnya peningkatan sensitivitas yang dapat diprediksi berdasarkan rasio V/v adalah 333 kali lebih tinggi dibanding solution method. Namun berbeda dengan spektrofotometri sistem larutan (konvensional), SPS pada dasarnya memiliki intensitas cahaya yang lemah karena berkas sinar yang tersebar oleh fase padat. Selain itu, lemahnya intensitas cahaya di dalam black flow cell juga harus dipertimbangkan jika area berkas sinar lebih lebar daripada area berkas sinar di dalam black flow cell. Untuk alasan ini, perlu untuk membuat beberapa perbaikan pada peralatan atau sistem pengukuran cahaya untuk mengurangi atenuasi oleh background dari fase padatan dalam sel, dan ini merupakan suatu kesulitan dalam menerapkan metode SPS secara luas untuk mikroanalisis berbagai sampel. Gambar 1 menunjukkan hasil pengembangan metode batch-method SPS yang telah dilakukan dengan penggunaan beberapa lensa di dalam sistem cell compartment suatu spektrofotometer UVtampak(Saputro, S., dkk. (2009). Performa ringkas hasil pengembangan
Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia IV
C B A
G I
A
F
E
D
H J
Gambar 1. Cell compartment dari suatu spektrofotometer SPS. Keterangan: A: Detektor sinar; B: Berkas sinar reference; C: Plat logam berlubang dengan harga atenuasi 1(Hitachi); D: Berkas sinar sampel; E: Lensa cekung (jarak fokus -200 mm, Sugitoh, Tokyo); F: Lensa silindris cembung (jarak fokus 25.4 mm, Sugitoh, Tokyo); G: Black flow cell; H: Lensa pemfokus (Jasco); I: pengatur arah XY; J: Disposal syringe. tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Sensitivitas dari metode ini adalah yang tertinggi di antara metode batch sebelumnya jika volume sampel adalah sama. Keterbatasan dari metode batch terutama dalam packing resin penukar ion ke dalam path-length di dalam black flow cell, namun, dengan menggunakan 0,06 3 cm penukar ion, yakni volume tiga kali dari path-length menunjukkan sensitivitas dan reprodusibilitas yang tinggi. Sensitivitas adalah sebanding antara metode batch ini dan metode alir (flow method) SPS (Matsuoka, dkk. (1999)), tetapi metode batch ini lebih mudah untuk merangkainya dan sederhana dalam pengoperasiannya, tanpa pompa atau aksesori lainnya seperti halnya pada sistem alir. Metode alir mungkin tepat untuk analisis rutin bagi banyak sampel, tetapi metode batch ini dapat sebagai alternatif untuk penggunaan di laboratorium. Secara umum, metode batch dan flow SPS menunjukkan performa yang mampu memperkecil volume pelarut, konsumsi volume sampel dan reagen, meminimasi pembentukan limbah, menghemat waktu analisis, fitur analisis yang bagus khususnya sensitivitas, selektivitas dan limit deteksi.
24
Tabel 1 Perbandingan sensitivitas Volume sampel Volume resin Lebar sel 3 3 /cm /cm /mm Solution method 10 Batch method SPS 200 0.5 1 1000 0.5 1 1000 0.5 10 20 0.06 10 Flow method SPS 4.4 10 7.9 10
a
A
Batas deteksi -3 /µg dm 0.000704
Referensi
0.016 0.037 0.310 0.194
Yoshimura, dkk.(1976) Yoshimura & Waki(1987) Yoshimura & Waki(1987) 0.014 Saputro, S., dkk.(2009)
0.083 0.244
0.055 0.009
K. Yoshimura (1988) Matsuoka (1999)
a. Absorbansi larutan 1 µg dm-3 Cr(VI).
Aplikasi SPS Chemistry
dan
Green
SPS telah digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya: kajian spesiasi chromium dalam air alam di berbagai wilayah di Yamaguchi, Fukuoka, dan Jawa Tengah menggunakan batch SPS-ICP MS (Saputro, dkk. (2009), kajian oksidasi Cr(III) selama proses klorinasi air minum (Saputro, dkk. (2011). Secara umum, publikasi ilmiah terkait dengan green chemistry adalah meningkat secara eksponensial semenjak 1990-an, yakni 4 paper per tahun sebelum tahun 2000, 11 per tahun pada 2000 s/d 2005 dan 22 paper per tahun semenjak 2005 (Armenta, dkk., 2008). Peningkatan laju publikasi yang terkait kimia hijau tersebut berkaitan dengan meningkatnya perhatian komunitas ilmiah mengenai dampak lingkungan dari aktivitas para peneliti. Beberapa strategi yang dilakukan oleh para peneliti green chemistry untuk mengurangi atau menghilangkan penggunaan bahan-bahan toksik dan juga limbahnya, antara lain adalah dengan: memilih metode yang digunakan, mengganti reagensia toksik, minimasi limbah, recovery reagensia, dan dekontaminasi limbah secara on-line. Contoh prosedur penentuan Cr(VI) dengan SPS Untuk memberikan gambaran singkat mengenai prosedur penentuan ion target menggunakan metode SPS, berikut adalah suatu prosedur ringkas penentuan ion Cr(VI) dari air alam (umumnya -1 kandungan ion Cr(VI) kurang dari 1 µg L . Ke dalam 20 mL sampel air alam yang telah disaring menggunakan filter membrane 0,20 µm ditambahkan 1,0mL Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia IV
larutan H2SO4 dan 0,5mL larutan difenil karbazida 0.25%, sebanyak 0,06 mL penukar ion ditambahkan menggunakan perangkat aliquotting, dan campuran diaduk dengan stirrer selama 20 menit pada suhu 20°C. Setelah resin penuk arion dibiarkan untuk mengendap, supernatant kemudian dipindahkan, dan sekitar 1mL campuran ditransfer ke disposable syringePE(SS-10S2, Terumo, Tokyo) yang terhubung keblack flow cell. Absorbansi diukur secara langsung pada 540nm (panjang gelombang serapan maksimum) dan 700nm (panjang gelombang non-penyerapan), dan perbedaan antara kedua absorbansi digunakan untuk analisis Cr(VI) (Saputro, dkk., 2009). Setelah pengukuran absorbansi, resin penukar ion dikeluarkan dari black flow cel luntuk pengukuran berikutnya. Banyaknya resin penukar ion diukur dengan perangkat aliquotting, suatu tabung PTFE (1,0 mm id dan 7 cm panjangnya), yang dipasang di satu sisi ujung PP resin filter dan terhubung ke disposable syringe kapasitas 10 mL (Hase and Yoshimura, 1993).
Kesimpulan dan Rekomendasi SPS (baik metode batch maupun flow) merupakan metode analisis kimia yang mendukung dan berkontribusi positif terhadap pengembangan metodologi Green Analytical Chemistry. Secara umum, SPS dapat meminimalisir penggunaan reagensia dan dan limbah yang dihasilkan, menggunakan pelarut yang aman berikut zat pendukungnya, meminimalisir kecelakaan kimia, dan membuat sistem menjadi lebih kecil (miniatur). Penggunaan metode green analytical chemistry merupakan strategi
25
cerdas dalam memberikan keuntungan secara ekonomi dan pelestarian lingkungan. Pendidikan dan pembelajaran kimia serta riset-riset terkini hendaknya sudah disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam kimia hijau. Jika perlu sejak di jenjang Sekolah Dasar, siswa sudah harus diperkenalkan dan diajari prinsip-prinsip tersebut, sebagaimana telah dilakukan di beberapa negara lain.
Referensi [1] Anastas, P.T. and Warner, J.C., 1998, Green Chemistry: Theory and Practice, Oxford University Press, New York. [2] Anastas, P.T., 1999, Crit. Rev. Anaytical Chemistry 29, 167. [3] Armenta, S., Garrigues, S., de la Guardia, M., 2008. Green Analytical Chemistry. Trends in Analytical Chemistry 27, 497-511. [4] Hase, U., Yoshimura, K., 1993. Determination of silicic acid in highly purified water by improved gel phase absorptiometry. Analytical Sciences 9, 111-115. K. Yoshimura and H. Waki, 1987, Enhancement of sensitivity of ion exchanger spectrophotometry by using a thick ion exchanger layer, Talanta34, 239 [6] K. Yoshimura, 1988, Application of ion exchanger phase absorptiometry to flow analysis,Analyst113, 471-474. [5]
[10] Saputro, S.; Yoshimura, K.; Takehara, K.;Matsuoka, S., Narsito, 2011. Oxidation of Chromium(III) by Free Chlorine in Tap Water during the Chlorination Process Studied byan Improved Solid-phase Spectrometry. Analytical Sciences 27, 649-652. [11]Tsuruhara, T., Takehara, K., Yoshimura, K., Matsuoka, S., Saputro, S., Aizawa, J., 2007. Kinetic study on Cr(VI) reduction in natural water by means of flow injection-solid phase spectrometry (FI-SPS). Journal of Ion Exchange18, 524-529. [12] Yoshimura, K., Waki, H., Ohashi, S., 1976. Ion exchanger colorimetry-I: Microdetermination of chromium, iron, copper and cobalt in water. Talanta23, 449-454. [13]Yoshimura, K., Ohashi, S. 1978. Ion exchanger colorimetry II: Microdetermination of chromium in natural waters. Talanta25, 103-107. [14] Yoshimura, K., Waki, H., 1985. Ion exchanger phase absorptiometry for trace analysis. Talanta32, 345-352.
[7] Molina-Diaz, A., Garcia-Reyes, J.F., Gilbert-Lopez, B. 2010. Solid-phase spectroscopy from the point of view of green analytical chemistry. Trends in analytical chemistry 29, 654-666. [8] Matsuoka, S., Tennichi, Y., Takehara, K., Yoshimura, K., 1999. Flow analysis of micro amounts of chromium(III) and (VI) in natural water by solid phase spectrophotometry using diphenylcarbazide. Analyst 124, 787791. [9] Saputro, S., Yoshimura, K., Takehara, K.,Matsuoka, S., Narsito, 2009. Improved solid-phase spectrometry for the microdetermination of Cr(VI) in natural water. Analytical Sciences 25, 1445-1450.
Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia IV
26