MAHADELTA
Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 2. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masingmasing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 3. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
P. SETIA LENGGONO
MAHADELTA
Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Kata Pengantar:
Prof. Dr. Endriato Soetarto, MA
STPN Press 2015
MAHADELTA
Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang Diterbitkan pertama kali oleh: STPN Press, November 2015 Jl. Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping, Sleman Yogyakarta, 55293, Telp/fax (0274) 587239/587138 Website: www.pppm.stpn.ac.id, e-mail:
[email protected] Penulis: P. Setia Lenggono Editor: Ahmad Nashih Luthfi Desainer Cover: Erik Armayuda Layout: Ahmadi Averoez DK56
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang STPN Press, 2015 xxvi + 230 halaman; 15 x 23 cm ISBN: 602-7894-24-5 978-602-7894-24-2
Tidak Diperjualbelikan
Kata Pengantar Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA
Buku berjudul ‘Mahadelta’: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang’ ini sebagaimana dinyatakan oleh penulisnya Dr. P. Setia Lenggono dipetik dari hasil penelitian doktoralnya pada Program Studi Sosiologi Pedesaan di IPB Bogor. Saya selaku salah satu anggota Komisi Pembimbing sang penulis, tentu bisa dengan dekat menilai betapa kaya data empiris hasil studi lapang yang berhasil dihimpunnya selama masa penelitian lapang. Dengan demikian sesungguhnya tidak akan ada kesulitan berarti andai aneka perspektif hendak dibangun mengikuti minat penulisannya, apakah akan mengikuti sudut pandang yang bersangkut paut, dalam hal ini, mengenai pembentukan ‘ekonomi lokal’ atau ‘transformasi agraria’. Apalagi disadari kedua perspektif tersebut begitu dekat keterhubungannnya satu sama lain, sehingga wajar jika mana saja pilihan sudut pandang dijatuhkan maka pendekatan lintas perspektif menjadi suatu keniscayaan. Sebagai hasil studi lapang yang mengambil lokus di salah satu belahan wilayah negeri yang komunitas sosialnya bercorak heterogen, dipicu utamanya oleh daya pikat sumber-sumber agrarianya yang amat kaya, tentu buku ini punya kontribusi khusus dalam melengkapi khazanah kepustakaan agraria. Wilayah dimaksud adalah di Delta Mahakam di Kabupaten Kutai Kertanegara, Propinsi Kalimantan Timur, dimana berhimpun aneka komunitas berbeda latar budaya, berhimpun pula Kata Pengantar
v
beragam para pihak, pemangku kepentingan, dari berbagai aras mulai dari desa, supradesa, nasional bahkan internasional. Dengan demikian, pokok masalahnya tentu menjadi amat menarik sekaligus penyaksi otentik tragedi sosial atas nasib yang menimpa kelompok masyarakat lokal paling lemah. Demi membulatkan alur cerita, menjadi penting bagi penulis untuk menyajikan lebih dahulu kepada pembaca latar historis kehidupan warga komunitas lokal dari suatu episode ke episode lainnya. Dilanjutkan dengan uraian konfigurasi ekonomi-politik supradesa yang berkelindan menyertai dinamika kehidupan panjang komunitas lokal, khususnya dalam menjawab kepastian keberlanjutan aksesibilitasnya terhadap sumber-sumber agraria yang kaya mencakup wilayah pertanian, perairan, pesisir, hutan, tambang, perkebunan, dan lain-lain. Sejauh kepentingan itu penulis secara analitis-historis telah berhasil menggambarkannya dengan baik. Diawalinya uraian dengan prosesproses sosial apa yang terjadi kala Kerajaan Kutai Kertanegara, pengemban adat asli, berhadapan dengan kehadiran konteks baru disekelilingnya yang perlahan namun pasti mulai merongrong dan menggerogoti kekuasaannya. Perubahan konstelasi sosial pun kian dinamis semenjak beberapa abad dan terutama dalam dasawarsa-dasawarsa terakhir mengikuti migrasi penduduk pendatang yang masuk dalam skala yang semakin masif dan ekspansif. Dari sini kemudian lahir terma ‘lokalitas’ yang bermakna adanya proses ‘pembauran’ yang melibatkan penduduk asli (kerajaan) dan pendatang (Bugis) berkat interaksi sosial yang panjang lintas generasi. Namun demikian sesungguhnya tetap ada ‘sekat sosial’ horizontal dan vertikal yang membayangi hubungan kedua kelompok sosial tersebut. Alasannya jumlah penduduk asli yang relatif jarang itu, lebih dulu terstruktur sebagai bagian dari penduduk kerajaan asli Kutai Kertanegara. Sementara penduduk pendatang, Bugis dalam hal ini, masuk sebagai orang-orang yang memandang Delta Mahakam semata sebagai ‘tanah seberang’ yang menjanjikan sumber kemakmuran baru. Pada suatu episode jauh di belakang, Delta Mahakam sebagai wilayah yang memendam kekayaan alam begitu besar, sejak semula juga menjadi incaran kuku-kuku kekuasaan berskala global seperti saat rezim kolonial vi
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Belanda dan di babakan waktu kemudian oleh rezim kolonial Jepang saat mereka berkuasa. Selanjutnya penulis juga telah menguraikan bagaimana era pasca proklamasi kemerdekaan yang melahirkan kebijakan Hak Menguasai Negara (HMN) atas sumber-sumber agraria ikut mewarnai pasang-surut kehidupan masyarakat lokal. Tak lupa berkat politik liberalisasi ekonomi yang dianut rezim penguasa Orde Baru yang diteruskan konsisten oleh rezim-rezim penguasa pasca reformasi, datanglah gelombang-gelombang penetrasi perusahaan-perusahaan besar perkebunan, tambang, perikanan, dan lain-lain yang mendesak kian kuat ketersediaan ruang-ruang kehidupan yang ada. Dalam kaitan ini atas nama pertumbuhan ekonomi berbondong-bondonglah para pemodal besar datang memperebutkan hak-hak konsesi pengelolaaan sumber-sumber agraria. Hal yang tak boleh abai pula adalah menyangkut posisi Delta Mahakam sebagai wilayah strategis terdepan yang pernah ikut terlibat penting dalam operasi politik konfrontasi menghadapi pembentukan Federasi Malaysia di awal 1960-an. Dengan demikian sekali lagi, Delta Mahakam dengan komunitas lokal yang hidup di dalamnya sungguh menjadi suatu lokus yang amat intens menerima terpaan dinamika ekonomi-politik dari berbagai aras berkat posisi geostrategik dan kekayaaan sumber-sumber agrarianya. Prosesproses integrasi dan disintegrasi sosial di berbagai aras menjadi penanda penting kehidupan di wilayah ini. Dengan tidak bermaksud mengulang aspek-aspek rinci transformasi struktur sosio-agraria komunitas sosial Delta Mahkam yang dengan mengalir dan menarik berhasil dideskripsikan dan ditelaah sang penulis, maka di kesempatan ini saya hanya akan mencoba mengabstrasikan transfomasi agraria macam apa yang sesungguhnya yang telah, sedang, dan akan terjadi dengan mengandaikan kasus Delta Mahakam sebagai Indonesia Mini yang kaya dengan kandungan sumberdaya alam. Pertama-tama, dengan lebih dahulu saya memberikan penghargaan tinggi kepada DR. P. Setia Lenggono atas jerih payah tulisannya ini, maka saya juga ingin menyatakan bahwa buku ini sungguh layak dirujuk dan sekaligus diposisikan sebagai bagian dari ikhtiar kuat sang penulis untuk Kata Pengantar
vii
memetakan gambaran seluk-beluk transformasi agraria terkini yang sedang mengiringi perjalanan hidup masyarakat Indonesia. Apalagi upaya ini dipusatkan pada studi komunitas lokal di wilayah yang menjadi salah satu simpul dari hubungan tarik-menarik kepentingan yang keras antar para pihak sehubungan cadangan sumber-sumber agrarianya yang kaya dan punya nilai strategis sebagai komoditi ekonomi nasional. Selanjutnya, dapat kita bayangkan ciri transformasi agraria macam apa yang telah terjadi dan pastilah teramat pelik dilalui karena seperti kita ketahui terlebih dahulu telah berlaku pola atau struktur dasar penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria warisan kolonial. Struktur penataan agraria ini sejak awal sudah sangat menekan hak dan kebutuhan ruang-ruang hidup masyarakat (lokal). Warisan ini di kemudian hari menjelma menjadi ‘pegangan pokok’ dalam politik penataan struktur penguasaan sumber-sumber agraria di zaman kemerdekaan, sehingga pada gilirannya kerap menuai ketegangan-ketegangan dan bahkan konflik-konflik sosial baik berskala laten maupun manifest, lokal maupun supralokal. Dalam kaitan ini dapat dicatat perolehan tanah-tanah Negara yang menggunakan dasar-dasar rasionalitan yang mirip dengan Domein Verklaring Agrarisch Wet 1870. Namun seraya dengan itu kepentingan pemenuhan hak dasar masyarakat lokal di bidang lapangan kerja, kesehatan, dan pendidikan seperti terabaikan begitu saja. Hak-hak atas tanah dan sumber agraria lainnya bahkan kian tercerabut dari tangan mereka yang paling lemah. Catatan seperti ini agaknya bisa kita asosiasikan dengan apa yang terjadi di Aceh, Riau, Bangka Belitung, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTB, Papua, dan sentra-sentra kegiatan ekonomi lainnya yang berkelimpahan sumberdaya alam. Tentu disini kita tidak hendak mengatakan banyak simpul-simpul wilayah di tanah air kita ibarat ‘wilayah takbertuan (baca: Negara)’. Mengapa, karena kita masih berharap ada pemimpin-pemimpin negara dan masyarakat yang bersedia bahu-membahu memastikan terpenuhinya hak–hak dasar ini, agar kesenjangan sosial teratasi, lebih jauh lagi kehadiran dan manfaat Otonomi Daerah terasa, dan kehadiran institusi negara nasional Indonesia merdeka terasa. viii
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Kemudian, pemetaan rinci penulis yang menyangkut dimensi sosial-budaya, kependudukan, dan transisi agraria yang berjalan pasca memasuki Indonesia merdeka penting untuk menggambarkan betapa ruang pembentukan ekonomi lokal, gerak penduduk (migrasi), dan politik agraria, begitu berhimpitan satu sama lain dalam dinamika lapangnya. Akibatnya sudah dapat diduga keruwetan apa saja yang disumbangkannya kala masa kolonial, masa pasca proklamasi kemerdekaan dan babakanbabakan waktu terkini yang menyusul di belakangnya. Tentu tak boleh dilupakan komplikasi sosial macam apapula yang muncul dan mendera nasib komunitas lokal yang bersangkutan. Dalam hubungan ini apa yang saya maksudkan adalah banyak manipulasi kekuasaan dijalankan begitu rupa sehingga menjadikan kelompok-kelompok masyarakat lokal tetap bagai entitas-entitas sosial yang a-politis semata. Masa Orde Baru yang mengoperasikan kebijakan ‘massa mengambang’ (floating mass policy) bagi masyarakat pedesaan kala itu hakekatnya masih terus dijalankan hingga sekarang. Mengapa, karena praktiknya ada politik ‘pembiaran’ (kasus Delta Mahakam) terhadap sepak terjang dan penetrasi kuasakuasa ekonomi politik supradesa yang nyata-nyata menekan dan mencerabut aksesibilitas sebagian warga masyarakat yang paling lemah. Di sini hampir tidak saluran-saluran partisipasi masyarakat lokal dalam proses-proses pengambilan keputusan dan memastikan adanya kontrol sosial yang efektif di ruang-ruang publik. Memang mengulang apa yang telah disinggung di atas dimana dan sejauhmana efektivitas otonomi desa, otonomi daerah, pilkada, pemilu, dan sebagainya dalam membuka sumbatan-sumbatan partisipasi masyarakat? Adakah kesemuanya masih terbelenggu dalam bingkai kepentingan politik prosedural semata? Untuk lebih konkrit kita dapat mengangkat fenomena lapangan kerja, kesehatan, dan pendidikan sebagai bagian dari hak-hak dasar rakyat yang dijamin janji pemenuhannya oleh negara. Seberapa jauh ketiga lapangan kehidupan tersebut menjalani pasang surut perkembangannya di lapang. Apakah ada tendensa kualitasnya semakin membaik atau justru memburuk?Tentu saja pertanyaan ini tidak hanya sekadar dijawab dengan menaruh tolok ukur angka-angka atau kuantitas sebagai penanda Kata Pengantar
ix
pentingnya. Namun yang lebih pokok lagi ialah adakah di ketiga kebutuhan dan hak dasar tadi tersemai proses-proses dan nilai-nilai yang mengejawantahkan prinsip kewajiban dan tanggungjawab layanan sosial negara. Lebih jauh lagi adalah apakah di ketiga bidang kehidupan dasar tadi tercermin prinsip-prinsip dan spirit negara untuk menjalankan fungi redistribusi harta dan kekayaan nasional sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, khususnya tentang kewajiban negara mengemban tegaknya prinsip Keadilan Sosial. Berikutnya, dari penelusuran historis dari berbagai pengalaman masyarakat dan bangsa di dunia kita dapat meraba mana jawaban yang tepat atas pertanyaan klasik: “kekayaan alam itu berkah atau kutukan?”. Dari sejarah kita dapat belajar mana kekayaan alam yang berbuah menjadi berkah, dan mana kekayaan alam yang justru menjadi buah kutukan. Negara yang abai terhadap usaha-usaha mendorong pembentukan masyarakat adil, terbuka, dan demokratis dengan ciri egaliter dan partisipatif dari warganya tentu berpotensi merusak sendisendiri kehidupan masyarakat itu sendiri. Namun sebaliknya, dengan berhasil membangkitkan masyarakat dengan ciri seperti itu, maka ini sama maknanya dengan tersedianya ikhtiar untuk menyajikan dasar penyusunan masyarakat yang modern. Sudah barang tentu secara formal Indonesia sejak tahun 1945 telah menyatakan dirinya berangkat menuju negara modern yang salah satu penandanya adalah terlepas dan melepaskan diri dari belenggu pengaruh ikatan-ikatan lama berbau primordialisme (SARA, dalam istilah populernya). Namun bagaimana dalam praktiknya? Semenjak diberlakukannya otonomi daerah dan digelarnya pilkada, nyatalah ciri dasar masyarakat oligarkhis dengan politik dinastinya masih menggejala kuat di negeri ini. Bahkan ada kecenderungan gejala yang disebut terakhir ini makin kuat. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah keadilan sosial bisa lahir dari struktur masyarakat yang masih menampilkan wajahnya yang sarat nilai feodal. Demikian pula bisakah keadilan sosial lahir dari karakter masyarakat yang masih didominasi oleh bayang-bayang politik negara yang mengedepankan pendekatan keamanan (security approach) dan x
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
integritas territorial (territorial integrity) negara sebagai tujuan, bukan sebagai sarana untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Hal terakhir ini sengaja ditekankan karena sebagai wilayah yang relatif terletak dekat dengan negara tetangga, dan pernah terlibat sebagai wilayah penting pendukung politik konfrontasi anti Malaysia di masa lalu maka bayang-bayang pendekatan keamanan tak pernah benar-benar lekang. Kini dengan Istilah lain namun tetap dengan rasa ‘pendekatan keamanan’ tadi sering disepadankan dengan istilah ‘daerah transit’, yang maknanya ada bayang-bayang kerawanan ekonomi-politik yang tinggi dibanding daerah lainnya. Julukan ‘daerah transit’ ini berkonotasi tidak semata pada proses migrasi penduduk antar lintas batas Negara namun lebih dari itu dinilai sarat dengan kerawanan ekonomi-politik tadi. Namun perlu ditegaskan bayangan ‘kerawanan keamanan’ yang satu ini tak pernah benar-benar menyentuh pada soal nasib penduduk lokal yang tergusur atau kehilangan ruang-ruang kehidupannya, utamanya oleh kehadiran penetrasi dan ekspansi para pengusaha besar. Artinya soal ketahanan hidup (livelihood security) masyarakat lokal tidak pernah masuk sebagai bagian dari pengembangan kebijakan agraria yang memiliki nilai geopolitik strategis. Dengan demikian, jika ‘adil’ dimaksudkan sebagai mengemukanya sikap negara yang seimbang dan menengahi (fair dealing) dalam semangat moderasi dan toleransi antar kelompok-kelompok sosial yang berlatar aneka budaya, termasuk mencari sikap yang sepadan atas penetrasi kuasakuasa ekonomi-politik supradesa maka gejolak-gejolak dan keteganganketegangan sosial yang kini makin menggejala kuat tentu akan lebih mudah dikelola bahkan diredam. Lebih dari itu kesenjangan sosial bisa lebih diatasi dan rasa keadilan pun akan mencuat ke luar, tak lain berkat kosekuensi kehadiran konkrit institusi negara pengemban amanat konstitusi di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Menutup kata pengantar ini, sekali lagi saya mengucapkan selamat kepada rekan Dr. P. Setia Lenggono atas terbitnya buku ini oleh STPN Press Yogyakarta, kampus yang begitu produktif mengisi berbagai publikasi
Kata Pengantar
xi
berbahasa Indonesia, melengkapi khazanah kepustakaan agraria nasional hampir dalam satu dasawarsa terakhir ini. Terimakasih.
Bogor, akhir November 2015 Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Guru Besar Politik Agaria IPB Bogor
xii
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Pengantar Penerbit
Dalam 8 (delapan) tahun terakhir 2007-2015 ini, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) yang merupakan perguruan tinggi kedinasan di bawah lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI mengembangkan diri menjadi salah satu institusi yang memainkan posisi sentral dalam memajukan pendidikan dan kajian-kajian pertanahan dan agraria di Indonesia. Dalam kerangka itu salah satu kegiatan yang diselenggarakan adalah memfasilitasi penerbitan-penerbitan karya terbaik di kalangan para pakar, akademisi, scholar, dan pegiat baik dari kalangan staf pengajar STPN sendiri maupun mitra jejaring lainnya melalui STPN Press. Salah satu yang STPN Press terbitkan adalah karya berkualitas yang diangkat dari disertasi bertopik agraria, yang kami himpun dalam ‘Seri Disertasi Agraria’. Kami berharap dengan publikasi seri ini, kajian agraria dapat ditekuni secara lebih serius, hasilnya tersebar luas dan memantik diskusi akademik serta dorongan melakukan perbaikan terhadap masalah agraria yang ada di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada rekan Dr. P. Setia Lenggono yang mempercayakan naskah disertasinya untuk ditulis ulang menjadi buku ini dan diberi judul “Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang”. Terima kasih pula kepada Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, M.A., guru besar IPB sekaligus mantan Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, yang berkenan memberi kata pengantar dalam buku ini. Semasa
Pengantar Penerbit
xiii
kepemimpinan beliaulah dirintis penerbitan buku di lingkungan STPN dan telah berkambang hingga saat ini. Atas semua jerih payah penulis yang telah merampungkan penulisan buku ini kami mengucapkan selamat dan penghargaan tinggi. Juga kepada para pengelola STPN Press yang bekerja keras menyiapkan terbitnya buku ini, kami ucapkan terima kasih. Harapan kami karya ilmiah ini dapat menjadi salah satu penyumbang penting dalam pengayaan sumber rujukan kajian agraria berbahasa Indonesia.
xiv
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Prakata Penulis
Alhamdulillah Ya Robbil Allamin, puji syukur penulis panjatkan pada Alloh SWT yang Maha Berpengetahuan atas segala nikmat ilmu yang telah dikaruniakanNya dalam penyelesaian buku ini. Buku ini dapat hadir ditengah-tengah pembaca sekalian, karena keinginan baik dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menerbitkan disertasi yang hampir empat tahun teronggok di lemari buku. Bagian terbesar dari materi buku ini merupakan “panggung cerita” dari disertasi “PONGGAWA DAN PATRONASE PERTAMBAKAN DI DELTA MAHAKAM: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal” yang telah dipertahankan penulis dalam Ujian Terbuka Sekolah Pascasarjana IPB, pada 2011. Ketika mas Ahmad Nashih Luthfi (STPN), saya serahi draf disertasi tersebut di awal 2015, sebenarnya saya berharap beliau bersedia membantu menyusun outline, hingga menuliskan ulang disertasi itu menjadi sebuah buku. Ini saya lakukan, untuk mengantisipasi “rasa penat” setiap kali saya membuka ulang disertasi yang telah saya “plototin” hampir lima tahun lamanya. Ketika itu saya benar-benar membutuhkan orang ketiga, untuk memecah kebuntuan – “macet pikir” – gagap menterjemahkan ide-gagasan – yang terus menghinggapi. Saya sempat berguman “sementara waktu tidak akan melanjutkan ide menerbitkan disertasi menjadi buku”, ketika mas Ahmad Nashih Luthfi menghubungi saya lagi pada pertengahan 2015. Dengan alasan kesibukan yang semakin padat, beliau malah menyarankan pada saya untuk Prakata Penulis
xv
menuliskan ulang disertasi itu dalam konteks “Transformasi Agraria”, sehingga dapat diterbitkan menjadi buku oleh STPN. Mengingat STPN pada 2015 memiliki program penerbitan Seri Disertasi Agraria. Tentu, hal itu menjadi sesuatu yang kontradiktif. Di satu sisi, menjadi sebuah kesempatan bagus bagi saya, untuk menerbitkan buku secara cuma-cuma. Tapi disisi lain, berarti penolakan halus. Apalagi dalam pemahaman saya, idealnya buku yang seharusnya mewujud dari penulisan ulang disertasi itu adalah tentang “Ekonomi Lokal” bukannya tentang “Transformasi Agraria” sebagaimana diusulkan STPN. Lebih satu minggu, saya menimbang-nimbang tawaran STPN. Mengingat “ketidakpedean” saya yang merasa bergantung pada pihak ketiga sebagai breaking ice. Ditambah tema buku yang ditawarkan STPN tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Jika tidak mampu berdamai dengan itu, tentu sulit bagi saya menerima tantangan tersebut. Sampai saya bertemu sdr. Alex Yungan Harahap dan Qiki Qilang, yang tidak hanya berkomitmen ingin membantu proses penyusunan buku ini. Namun lebih dari itu, mereka berhasil meyakinkan saya, betapa disertasi saya memiliki potensi untuk dibingkai menjadi dua buku dengan tema berbeda, yaitu; “Transformasi Agraria” dan “Ekonomi Lokal”, tanpa mengekang salah satu diantaranya. Proses “penyadaran” inilah, yang menjadi titik balik perjalanan penyusunan dan penulisan buku yang saat ini ada ditangan pembaca yang budiman. Hampir dua bulan lamanya, proses penyusunan buku ini kami lakukan. Meskipun terlambat dari jadwal yang ditentukan, saya benarbenar “merasa plong” ketika berhasil memenuhi komitmen pada STPN. Hingga segala kemungkinan selanjutnya saya serahkan pada STPN. Beruntung tidak menunggu lama, pihak STPN kembali menghubungi saya dan memastikan penerbitan buku “MAHADELTA: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang”. Mahadelta adalah kependekan kata Mahakam Delta, versi Bahasa Inggris dari Delta Mahakam. Sengaja saya gunakan sebagai judul buku ini, karena terinspirasi dengan sejumlah serial film India, seperti; Mahabrata dan Mahaputra yang begitu fenomenal.
xvi
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Berharap, siapapun yang melihat judul buku ini akan tersugesti ketenaran film-film tersebut, sehingga tertarik untuk membacanya. Hanya itu! Sementara subjudul “Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang” menjadi gagasan inti dari cerita Transformasi Agraria yang terpapar dalam buku ini. Tergambar jelas dari bab awal hingga akhir buku ini, betapa manifesto yang diartikan sebagai “pernyataan terbuka tentang tujuan dan pandangan seseorang atau suatu kelompok”, biasanya diumumkan kepada publik dan sering bermuatan politis. Realitasnya tidak harus bermakna demikian, sebagaimana digambarkan James C. Scott dalam “Senjatanya Orang-Orang Kalah”. Para petambak, hampir tidak memerlukan koordinasi atau perencanaan, menggunakan pemahaman implisit serta jaringan informal, sering mengambil bentuk mengurus sendiri dan mereka secara khas menghindari konfrontasi simbolis secara langsung dengan penguasa. Cara-cara seperti ini dalam jangka panjang justru terbukti paling efektif. Dengan cara seperti itu kelas petambak menyatakan kehadiran politisnya. Artinya, meski tidak didukung legalitas kepemilikan tanah yang mampu memperkuat kedudukan tanah bagi mereka, mengingat pemanfaatan sumberdaya agraria yang mereka lakukan dianggap “ilegal” oleh otoritas yang berwenang. Namun dengan “senjata” yang mereka pergunakan, masyarakat petambak lemah ini, melakukan perlawanan kecil-kecilan setiap hari dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian, menggarap seperlunya tambak-tambak yang dikuasainya, koordinasi tahu sama tahu, bersifat pura-pura (pura-pura bodoh dan pura-pura memenuhi permohonan), melakukan operasi sabotase, melarikan diri, bergosip menjatuhkan nama baik dan seterusnya, yang menyatakan kehadiran politisnya. Tindakan-tindakan perlawanan yang dilakukan secara perorangan, diperkuat dengan budaya perlawanan rakyat dan diperbanyak ribuan kali itulah yang pada akhirnya meneguhkan ‘batu karang’ kekuatan ekonomi dan politik mereka. Secara tersirat, mereka ingin mengatakan bahwa tanah-tanah “ilegal” yang mereka kuasai, sejengkalpun tidak akan “cuma-cuma” diserahkan pada siapapun! Sesuatu yang juga digarisbawahi Soekarno ketika merumuskan pendirian Prakata Penulis
xvii
Republik Indonesia, betapa “tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya”. Tak ada gading yang tak retak, ungkapan itu mungkin sedikit menenangkan kegelisahan yang saya rasakan, betapa buku yang ada dalam genggaman pembaca sekalian masih jauh dari sempurna. Beruntungnya, Kata Pengantar dari Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA., yang memberi sentuhan dengan ornamen khas dan polesan indah pada gading retak tersebut, mampu menghantarkan buku ini menjadi satu kesatuan yang lebih bermakna dan mudah dipahami. Menjadikannya bernyawa! Untuk itu, dalam kesempatan pertama ijinkan saya menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya pada Guru Besar Politik Agraria IPB, yang sekaligus juga mantan Ketua STPN yang low profile dan bersahaja ini. Beliau bukan sekedar pembimbing disertasi bagi saya, ‘kawan ngopi ataupun kuliner’ yang royal. Tapi lebih dari itu beliau adalah “mata air pengetahuan” yang tidak pernah kering, tempat bernaung ketika dahaga. Kemampuan dialektik dan kontemplasinya mengalir bak mata air yang selalu bisa menyentak kesadaran kritis saya. Dalam kesempatan yang membahagiakan ini saya juga ingin menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya pada Ketua STPN Yogyakarta, Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S., Drs. Abdul Haris Farid sebagai Kepala STPN Press, dan segenap jajaran yang telah berkenan memberikan kesempatan bagi penerbitan buku ini. Secara pribadi, saya ingin mengucapkan terima kasih pada mas Ahmad Nashih Luthfi yang “secara telak” berhasil mensugesti saya untuk memulai proses penyusunan dan menuliskan ulang draf disertasi menjadi naskah buku. Selanjutnya, ucapan terima kasih dan penghargaan setulusnya perlu pula saya haturkan kepada Komisi Pembimbing yang telah menghantarkan penyelesaian disertasi, yang di hadapan pembaca sekalian telah mewujud menjadi sebuah buku. Mereka bukan sekedar pembimbing yang menjadi ponggawa di bidang keilmuannya, mereka adalah “patron” yang memiliki komitmen untuk berbagi, tidak hanya pengetahuan tapi juga pengalaman hidup. Atas kesempatan emas menikmati indahnya panorama dari “pundak mereka” yang kokoh dan mulia, izinkan sekali lagi xviii
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
saya mengucapkan terima kasih pada para Maha Guru tersebut. Mereka adalah yaitu Dr. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr (selaku Ketua), Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA dan Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS. DEA (Selaku Anggota). Secara khusus dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Pimpinan Fakultas Ekologi Manusia, khususnya Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) dan segenap Staf Pengajar atas kesempatan belajar dan proses belajar yang telah diberikan. Penghargaan yang tulus pun perlu saya haturkan pada Prof. Dr. M. Amien Rais, MA, yang tidak hanya membuka cakrawala untuk merengkuh pendidikan tertinggi dengan menuliskan rekomendasi yang penuh optimisme, namun juga memberikan dukungan moral dan materil selama menempuh pendidikan S2 hingga S3. Ucapan terima kasih pun perlu disampaikan kepada Dr.Subiakto Tjakrawerdaja selaku Ketua Yayasan YPPIJ dan segenap Pimpinan Universitas Trilogi Jakarta yang telah mendukung penerbitan buku ini. Dalam kesempatan ini, saya juga mengucapkan terima kasih pada kawan-kawan SPD 2005, yang telah melewati masa-masa pendakian bersama yang panjang dan melelahkan, sekaligus menjadi teman diskusi yang tangguh. “Dalam ilmu pengetahuan memang tidak ada jalan raya dan hanya mereka yang tak gentar akan pandakian curam yang melelahkan itu yang mempunyai harapan untuk mencapai puncak-puncak pencerahan” (Karl Marx). Penghargaan yang tinggi pun perlu disampaikan pada kawansenior saya di Pokja Kajian Agraria, LPPM-IPB, Dr. Satyawan Sunito, Dr. Rillus Kinseng, M.A., Dr. Martua Sihaloho, M.Si., Dr. Heru Purwandari, M.Si., Bayu Eka Yulian, SP., M.Si., Tri Budi, SP., dan Kamerad Januar Usdek, juga Noer Fauzi Rachman, Ph.D., atas kesempatan diskusi dan kerja-kerja keagrariaan yang sangat konstruktif dan inspiratif. Ucapan terima kasih perlu pula saya ucapkan pada kawan-kawan di Pusat Studi Ekonomi Pancasila – Universitas Trilogi, khususnya M. Karim, S.Pi., M.Si. dan Lestari Agus Salim, S.E., M.Si., yang sudah mau “berbagi dan mengerti” kesibukan saya selama menyusun buku ini. Juga Erik Armayuda
Prakata Penulis
xix
SSn., MDs, atas bantuannya dalam menterjemahkan gagasan abstrak saya ke dalam desain cover buku yang sederhana namun berkarakter. Kapada saudara-saudaraku di Fisip Unmul ‘90, ucapan terima kasih mungkin tidak cukup untuk menunjukkan betapa besarnya perhatian dan dukungan mereka, tapi saya yakin Alloh SWT mempunyai cara sendiri untuk membalas kebaikan mereka. Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan setulusnya juga ingin saya sampaikan pada istri saya, Restu Padmasari, SPi yang dengan ikhlas dan tabah menyemangati dan selalu disisi saya menghadapi masa-masa sulit. Juga Samudra Fashih-Allisan (Andra), Prathivi Ruhul-Qisthi (Ivi) anak laki-laki dan perempuan kami yang menjadi inspirasi sekaligus sumber kekuatan bagi saya untuk bisa tegar menghadapi deraan cobaan dan berani mewujudkan mimpimimpi kami. Ucapan terima kasih yang tulus pun perlu saya sampaikan kepada para responden dan informan saya yang berdomisili di desa-kelurahan sekitar Kawasan Delta Mahakam ( Muara Jawa, Anggana, Muara Badak), Tenggarong dan Samarinda. Buku ini tidak akan pernah terwujud tanpa dukungan dan kerjasama mereka, karenanya saya ingin mempersembahkan buku ini untuk mereka. Sebagai “orang luar” Bugis, saya sangat beruntung bisa berkesempatan mendokumentasikan (hampir 10 tahun) petualangan menantang ini dan saya berharap bisa mengulangnya. Terakhir tapi terpenting adalah ucapan terima kasih saya kepada banyak pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu (sebagian ada yang saya kenal dan sebagian lagi tidak), yang telah dan mungkin akan memberikan komentar berguna bagi perbaikan buku ini ke depan. Jakarta, 10 November 2015 Penulis, P. Setia Lenggono
xx
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Daftar Isi
Kata Pengantar .................................................................................................... Pengantar Penerbit ............................................................................................. Prakata Penulis .................................................................................................... Daftar Isi ................................................................................................................ Daftar Tabel .......................................................................................................... Daftar Gambar .....................................................................................................
v xiii xv xxi xxiv xxv
BAB I TANAH SEBAGAI SUMBER KEMAKMURAN ........................ 1 1.1 KUASA TERITORIALISASI .............................................. 3 1.2 DILEMA KEBIJAKAN KEHUTANAN .......................... 11 BAB II DELTA MAHAKAM“YANG MAHA PEMURAH” ...................... 2.1 SEKELUMIT DELTA MAHAKAM .................................. 2.2 BONANZA MIGAS BLOK MAHAKAM ...................... 2.3 TUMPANG TINDIH KEPENTINGAN ..........................
15 16 20 23
BAB III MERAJUT SERPIHAN SEJARAH AGRARIA LOKAL ............ 27 3.1 PEMBERADABAN DELTA MAHAKAM .................... 28 3.2 SEJARAH PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA ................................................. 40 3.2.1 Pra-Kemerdekaan: Kesejahteraan Bagi Kaum Aristokrat Lokal dan Kolonial .................................. 43 3.2.2 Pasca-Kemerdekaan: Totalitas Hak Menguasai Negara ............................................................................. 50
Daftar Isi
xxi
3.2.3 Kondisi Mutakhir: Pelarangan Trawl, Illegal Fishing, hingga Pertambakan Ilegal ............ 62 3.3 SEJARAH MIGRASI ORANG BUGIS ........................... 70
BAB IV MIGRAN BUGIS DAN “PERTAMBAKAN ILEGAL” .............. 4.1 KARAKTER SOSIO-KULTURAL ORANG BUGIS . 4.1.1 Sistem Religi ................................................................... 4.1.2 Norma Yang Dianut ..................................................... 4.1.3 Etika-Moral Kemasyarakatan ................................... 4.1.4 Etika-Moral Ekonomi Ponggawa .............................. 4.2 PATRONASE PERTAMBAKAN ....................................... 4.3 PENGELOLAAN “PERTAMBAKAN ILEGAL” ........... 4.3.1 Pola Pengembangan Tambak Tradisional .............. 4.3.2 Tambak Satu Pintu Air ...............................................
77 79 79 81 85 87 89 97 100 109
BAB V SIASAT MENGURAS SUMBERDAYA PERIKANAN ............ 5.1 FASE INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP ............... 5.1.1 Ekspansi Industri Perikanan Jepang ...................... 5.1.2 Booming Produksi Perikanan Tangkap ...................
113 114 114 120
5.1.3 Penetrasi Lembaga Kapitalis dalam Kebijakan Perikanan ........................................................................ 5.1.4 Mensiasati Over Fishing ............................................. 5.2 FASE INDUSTRI PERIKANAN BUDIDAYA .............. 5.2.1 Reproduksi Kebijakan Penguasaan Sumberdaya Agraria ............................................................................. 5.2.2 Pola Pendudukan Tanah Negara ............................. 5.3 FASE KONSOLIDASI EKONOMI LOKAL ..................
126 129 132 132 140 145
BAB VI TERCERABUT ATAU TERAKUMULASI .................................... 151 6.1 PERUBAHAN SISTEM SOSIAL DAN EKOLOGI LOKAL ......................................................................................... 6.1.1 Oportunisme dan Pragmatisme Migran Bugis .... 6.1.2 Booms Udang dan Krisis Ekologi ............................. 6.1.3 Konflik Penguasaan Sumberdaya Agraria ............
xxii
152 156 162 167
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
6.2 TRAGEDY OF THE COMMON ...................................... 6.2.1 Fenomena “Absennya Negara” ................................. 6.2.2 Ketidakpastian Regulasi .............................................. 6.2.3 Ideologi Kapitalisasi Sumberdaya Perikanan ...... 6.3 “AKRESI KAPITAL” ................................................................
176 181 183 185 190
BAB VII MANIFESTO PENGUASAAN TANAH TERLARANG ............. 195 7.1 OPERASI KAPITALISME PERTAMBAKAN .............. 196 7.2 BERJALAN DALAM DIAM ............................................... 201 Daftar Pustaka ..................................................................................................... 209 Indeks ...................................................................................................................... 221 Profil Penulis ......................................................................................................... 229
Daftar Isi
xxiii
Daftar Tabel
Tabel 3.1 Sejarah Migrasi dan Penguasaan Kawasan Delta Mahakam ......................................................................................... Tabel 4.1 Perbandingan Tambak Tradisional dengan Tambak Semi Intensif dan Intensif ..................................................................... Tabel 5.1 Jumlah Cold Storage di Kaltim sampai dengan Tahun 1990 ....................................................................................... Tabel 5.2 Periode Kepemimpinan PT. Misaja Mitra di Sungai Meriam ............................................................................................... Tabel 5.3 Perusahaan Eksportir di Kaltim Yang Telah Kolaps ............ Tabel 5.4 Daerah Sebaran dan Potensi Sumberdaya Udang ............. Tabel 5.5 Praktek Kegiatan Pengelolaan Migas ..................................... Tabel 5.6 Pihak Yang Berkuasa Terhadap Lokasi Pertambakan di Desa Muara Pantuan ..................................................................... Tabel 6.1 Nilai Ekonomi Pemanfaatan Mangrove di Delta Mahakam ...........................................................................................
xxiv
33 107 116 118 123 124 137 143 177
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Daftar Gambar
Gambar 2.1 Peta Kawasan Delta Mahakam ............................................. 17 Gambar 2.2 Peta Pemanfaatan Lahan Kawasan Delta Mahakam .... 20 Gambar 3.1 Pembagian Konsesi Minyak Bumi pada 1971 menurut The Time 1971 ............................................................................ 59 Gambar 3.2 Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut Propinsi Kaltim ........................................... 63 Gambar 4.1 Perimbangan Pertukaran Tata Hubungan Patronase .... 95 Gambar 4.2 Lay-Out Pertambakan Tradisional Satu Pintu Air ........ 111 Gambar 5.1 Nilai Produksi Perikanan Laut Propinsi Kaltim .............. 120 Gambar 5.2 Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut Kabupaten Kutai Kartanegara ............... 122 Gambar 5.3 Volume dan Nilai Produksi Eksportir Kaltim 2009 ....... 146 Gambar 6.1 Sejarah Pertambakan di Delta Mahakam ......................... 154 Gambar 6.2 Piramida Interaksi Sosial Orang Bugis ............................... 160 Gambar 6.3 Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dan Segar Kaltim ............................................................................................ 163 Gambar 6.4 Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku Delta Mahakam ...................................................................................... 164 Gambar 6.5 Perbandingan RTP dan Luas Tambak dengan Produksi Perikanan Budidaya Delta Mahakam ................................. 166 Gambar 6.6 Skema Konflik dan Hubungan Produksi Pertambakan 172 Gambar 6.7 Peta Tutupan Hutan Mangrove dari Sebelum dikonversi hingga dikonversi sejak 1992, 1996, 1999 dan 2001 ..... 179 Daftar Gambar
xxv
Gambar 6.8 Perbandingan RTP dan Luas Area Tambak dengan Produksi dan Nilai Perikanan Budidaya Kaltim .............. 188 Gambar 6.9 Kebangkitan Kapital Lokal Via New-Tragedy of The Commons ....................................................................................... 192
xxvi
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
BAB I TANAH SEBAGAI SUMBER KEMAKMURAN
“Indonesia di masa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnya dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena tanah faktor produksi yang terutama, maka hendaklah peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya.” (M. Hatta, 1943) “Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada dibawah kakinya.... Apakkah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah-air. Tanah-air adalah satu kesatuan.” (Soekarno, 1945) “Dalam negara Indonesia baru, dengan sendirinya menurut keadaan sekarang, perusahaan-perusahaan sebagai lalu-lintas, electriciteit, perusahaan alas rimba harus diurus oleh negara sendiri. Begitupun tentang hal tanah. Pada hakekatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hidup dari kaum tani dan negara harus menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani.” (Soepomo, 1945)
2
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
1.1 KUASA TERITORIALISASI Sejumlah kutipan ide-gagasan dari para pendiri negara tersebut, jelas menunjukkan betapa masalah agraria (tanah) telah menjadi pokok bahasan utama dalam agenda pendirian NKRI. Para pendiri Republik Indonesia sedari awal telah menyadari bahwa suatu program pembangunan, terutama yang memihak rakyat banyak, perlu dilandasi lebih dahulu dengan “penataan kembali masalah pertanahan” sebelum jauh menjangkau industrialisasi. Itulah sebabnya, lanjut Wiradi (2000), walaupun umur republik masih sangat muda, namun pada 1948 telah dibentuk “Panitia Agraria”, untuk memikirkan secara serius masalah pertanahan. Proses inisiasinya dimulai dari Panitia Agraria Yogya (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia Suwahjo (1956), Rancangan Sunaryo (1958), hingga Rancangan Sudjarwo (1960) yang menjadi dasar penyusunan RUU Agraria baru menggantikan hukum agraria yang bersumber dari Agrarische Wet 1870. RUU inilah yang kemudian diterima dan disahkan oleh DPR-GR dan diundangkan pada 24 September 1960 dalam Lembaran Negara bernomor 104 Tahun 1960, sebagai UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (lebih dikenal sebagai UUPA). Dengan asumsi negara tidak harus bertindak sebagai pemilik tanah manapun, tetapi bahwa sebagai penguasa tertinggi masyarakat, negara harus mempunyai wewenang untuk mengendalikan hak-hak dan penggunaan yang efektif dari semua tanah, air dan angkasa dalam wilayah negara (Soemardjan, 1984). UUPA 1960 diharapkan mengganti azas domein negara yang diperkenalkan Thomas Stamford Raffles pada 1811-1816, dengan sebuah konsep politico-legal baru yang disebut “Hak Menguasai dari Negara” (baca: HMN). Yang menurut Rachman (2012), merupakan hukum agraria nasional pertama berdasarkan Pancasila dan sesuai dengan semangat Pasal 33, Ayat 3 UUD 1945. Dengan konsep HMN ini, Pemerintah Pusat memiliki kekuasaan untuk merencanakan, mengatur dan menata-guna tanah dan kekayaan alam, menentukan hubungan-
Tanah Sebagai Sumber Kemakmuran
3
hubungan kepemilikan dan menentukan tindakan mana yang legal dan illegal terkait dengan penguasaan, pemilikan, penatagunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam. UUPA 1960, menempatkan bangsa Indonesia sejajar dengan Korea Selatan dan Taiwan ataupun China dan Vietnam yang terlebih dulu melaksanakan land reform redistributif pasca PD II. Jepang, bahkan telah melakukan perombakan struktur penguasaan tanah jauh sebelum PD II, diikuti Korea Selatan dan Taiwan yang melaksanakan suatu kebijakan “tanah untuk petani” dan mendistribusikan hak kepemilikan tanah kepada rumah tangga dengan cara sangat egalitarian. Didasarkan pada pembelian tanah secara paksa oleh pemerintah dari mereka yang memiliki kelebihan dari ukuran yang ditentukan. Sebagai hasil kombinasi kebijakan pemerintah negara setempat dengan tentara pendudukan (US). China dan Vietnam juga mengikuti kebijakan redistributif secara radikal setelah “menelanjangi” kaum tuan tanah, tetapi kedua negara ini segera mengganti pertaniannya (peasant farming) dengan pertanian kolektif. Kolektivisasi tidak dibalik selama beberapa dekade, tetapi akhirnya dalam apa yang disebut land reform kedua, baik China maupun Vietnam menciptakan sistem peasant farming yang individual (Griffin, Khan dan Ickowitz, 2008). Di Korea Selatan, reforma agraria yang dilakukan menjelang meledaknya Perang Korea, meletakkan landasan internal bagi pembangunan industrialisasi pada masa-masa selanjutnya. Programprogram reditribusi setelah 1950 dikombinasikan dengan penjualan swasta, mengubah struktur tenurial tanah di negara itu. Dampak reforma agraria yang paling mencolok adalah kesetaraan redistribusi tanah yang dihasilkan. Tuan tanah, sebagai sebuah “kelas”, disapu bersih oleh reforma agraria (Putzel, 2008). Meski digaris bawahi Putzel, betapa seluruh sejarah diskusi dan debat mengenai kebijakan dan strategi reforma agraria dan tanah, dalam lingkaran pembangunan sarat dipengaruhi oleh sasaran dan program yang berbeda secara mecolok di negara-negara berkembang. Diikuti dengan berbagai dampak yang juga berbeda-beda.
4
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Meskipun demikian, menurut Lipton (2009) di banyak negara berkembang, reforma agraria merupakan isu yang hidup dan seringkali menjadi isu yang panas membara, dimana debat tentang reforma agraria sungguh berkobar dan berlangsung terus-menerus. Demikian halnya di Indonesia. Melalui UUPA, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memodernisasi hukum adat dan membuatnya lebih sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sebagai negara Indonesia Modern. Menempatkan Negara Indonesia sebagai ekspresi kekuasaan yang sah dari rakyat Indonesia dalam mengatasi ketidakadilan agraria. Sebagaimana Ghimire (2001), memandang land reform sebagai bagian esensial dari pemenuhan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya pemberian kepastian hak “human dignity”. Berbagai program dengan “penuh niat”, kemudian dirancang untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik, hingga membentuk wajah lingkungan, tata penghidupan, bahkan identitas masyarakat Indonesia kedepan. Sebagaimana dipahami Li (2007), sebagai the will to improve (kehendak untuk memperbaiki) – Indonesia sebagai negeri yang terus dililit kemiskinan dan kekerasan dengan berusaha memperbaiki keadaan hidup masyarakat dan meningkatkan kesejahteraannya – melalui upaya yang sering juga diberi nama “pembangunan”. Dengan pendekatan berbeda, Chatterjee (2004) menyebut rezim penguasa modern mengamankan legitimasinya bukan melalui partisipasi warga negara tapi dengan mengklaim sebagai penyedia kesejahteraan populasi dalam model gagasan analisis biaya dan laba. Namun ironisnya lanjut Li (2007), program-program tersebut, dalam kaitannya dengan berbagai proses dan tata hubungan lain – justru bertanggungjawab memunculkan persoalanpersoalan baru yang berkembang sekarang. Muncul kesenjangan antara rencana dengan apa yang nyata-nyata dihasilkan. Ketika Negara Indonesia modern menjelma menjadi organisasi politis yang dapat mengklaim dan memegang monopoli atas penggunaan yang absah dalam teritori fisik-geografis tertentu. Kedaulatan teritorial ini mendefinisikan identitas politik orang sebagai warganegara dan merupakan basis bagi negara untuk mengklaim orang dan sumber Tanah Sebagai Sumber Kemakmuran
5
daya alam yang di dalam teritorial tersebut ada dalam kedaulatannya (Vandergeest and Peluso, 1995). Konseptualisasi negara seperti ini disertai dengan kategori lainnya yang disebut sebagai rezim yang mengacu pada seperangkat pola dalam negara yang menentukan bentuk dan strategi akses pada proses pembuatan keputusan, aktor-aktor yang diizinkan dan yang tidak diizinkan dalam setiap akses, dan peraturan yang menentukan bagaimana keputusan dibuat secara absah. Dijalankan oleh pemerintah (government) yang terdiri atas aktor-aktor (politikus partai, administratur publik, administratur militer) yang menduduki posisi penting/dominan dalam rezim tersebut pada satu masa tertentu. Kehendak untuk memperbaiki yang terletak di gelanggang kekuasaan tersebut, oleh Michel Foucault disebutnya “kepengaturan” (Li, 2007). Ringkasnya, kepengaturan adalah “pengarahan perilaku”, yakni upaya untuk mengarahkan perilaku manusia dengan serangkaian cara yang telah dikalkulasi sedemikian rupa. Berbeda dengan pendisiplinan yang bertujuan memperbaiki perilaku melalui pengawasan ketat dalam kurungan (penjara, rumah sakit jiwa, sekolah). Kepengaturan berkepentingan dengan peningkatan kesejahteraan orang banyak. Tujuannya adalah untuk menjamin “kesejahteraan masyarakat, perbaikan keadaan hidup mereka, peningkatan kemakmuran, usia harapan hidup, kesehatan, dst”. Lanjut Li (2007), kepengaturan membentuk suatu keadaan “yang secara buatan sedemikian teratur, sehingga orang – didorong oleh kepentingan pribadinya masing-masing – akan berbuat seperti apa yang seharusnya mereka perbuat”. Bisa dilakukan dengan persuasi saat penguasa berusaha mendapatkan persetujuan masyarakat. Namun menariknya, ketika kekuasaan dioperasikan dari jarak jauh, masyarakat tidak selalu sadar bahwa sebenarnya perilaku mereka diatur dan mengapa demikian. Oleh karenanya persetujuan masyarakat tidak menjadi masalah di sini. Upaya memperbaiki kehidupan masyarakat memerlukan apa yang oleh Faucault dipandang sebagai rasionalitas khas kepengaturan (Li, 2007). Dimana kalkulasi diutamakan, karena kepengaturan menuntut dijabarkannya “cara yang tepat”, diprioritaskannya “hasil akhir” dan disesuaikannya taktik demi tercapainya hasil optimal. Kalkulasi pada 6
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
gilirannya, menuntut semua proses yang akan diatur, harus digambarkan dalam istilah-istilah teknis. Baru setelah itu rencana pembangunan yang pas dapat dirumuskan. Sebagaimana inisiatif pendefinisian, penetapan dan metode penataan serta pemanfaatan suatu wilayah yang telah berlangsung di Jawa-Madura sejak era kolonial melalui azas domein verklaring, meskipun baru disebagian besar pulau-pulau luar usai Perang Dunia II (Peluso, 2001; 2006). Hingga selanjutnya diteruskan oleh Negara Indonesia Modern. Rezim penguasaan tersebut terkait dengan adanya kekuasaan atas teritori tertentu sebagai indikasi sebuah negara, namun konsepsi mengenai teritori tersebut harus dilihat sebagai sesuatu yang taken for granted. Sebagaimana sebuah peta yang memang sudah ada tanpa perlu diperbantahkan lagi. Padahal bagi warganegara, teritorial tersebut tidak saja menyangkut areal jelajah, tapi juga menyangkut relasi kuasa yang menentukan akses sumber daya dalam teritori tersebut. Dengan kata lain, peta yang ditetapkan oleh negara bukan soal gambar dan garis areal tertentu yang diberi nama saja, tapi juga menyangkut siapa yang memiliki kuasa untuk menentukan, siapa boleh mengakses sumber daya yang ada di areal tertentu. Dalam pengertian inilah peta suatu teritori tertentu memiliki unsur politik kekuasaan atas sumber daya alam di dalamnya. Teritorialisasi diartikan sebagai proses yang dilakukan negara dengan membuat garis batas pada suatu wilayah geografis tertentu dengan mengeluarkan kategori individual terhadap wilayah ini yang kemudian secara spesifik menetapkan dan membuat aturan mengenai aktivitas tertentu yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam areal ini. Bentuk yang paling banyak dikenal dalam persoalan teritorial ini adalah tarikan garis pembagian wilayah dalam peta. Garis yang tergambar dalam peta tersebut merupakan konsep yang abstrak (Vandergeest and Peluso, 1995). Garis pada peta ini kemudian membagi negara modern ke dalam teritori yang kompleks dan tumpang-tindih antara zona ekonomi dan politik. Orang dan sumber daya kemudian dirancang ulang ke dalam pembagian ini dan melalui regulasi diatur dan ditetapkan bagaimana dan oleh siapa wilayah teritori ini dimanfaatkan. Proses ini mengandalkan pembuatan Tanah Sebagai Sumber Kemakmuran
7
peta, sensus, pendaftaran jumlah pemukiman, penetapan batas hutan dan penggolongan kawasan dengan penilaian tertentu dan penciptaan undang-undang (UU). Tarikan garis di atas kertas peta tersebut kemudian mengakibatkan hilangnya akses orang terhadap sumber daya alam yang secara tradisi sudah mereka lakukan jauh sebelum negara ada (Peluso, 2006). Padahal jauh sebelum negara-bangsa berdiri orang telah melakukan teritorialisasi sebagai individu maupun sebagai kelompok melalui sistem dan penandanya sendiri seperti areal perkebunan dan perladangan, kuburan, tanaman tertentu, atau pancang sebagai penanda areal kelola dan kekuasaannya yang memberi tanda pada orang lain untuk tidak mengakses sumber daya atau melakukan aktivitas di dalam teritori tersebut. Teritorialisasi baik oleh negara maupun oleh orang/ kelompok orang, melahirkan konflik dan negosiasi antara negara dengan warganegara, antara warganegara/kelompok dengan warganegara/ kelompok yang lainnya. Yang menarik adalah ketika ada konflik dan negosiasi antara warganegara dengan negara, regulasi teritorial yang dibuat oleh negara tersebut tidak secara telak mengeksklusi orang yang ada di dalamnya. Regulasi tersebut, ditafsir, ditawar dan dimanfaatkan untuk mempertahankan kepentingan aksesnya terhadap lahan dan sumberdaya alam di dalamnya (Wadley, 2003; Adri, 2007). Dampaknya, pergulatan tersebut meninggalkan jejak berupa rusaknya berbagai sumberdaya alam berbasis tanah yang sangat berharga dan rentan, termasuk juga wilayah yang sudah seabad mengenal apa yang disebut dengan kaidah ilmiah pengelolaan hutan (Peluso, 2006). Praktik sejarah politik penataan ruang melalui penguasaan negara dengan jalan pengambilalihan kawasan kehutanan, beserta sumberdaya alam, kerap diiringi dengan usaha-usaha sistematis mengingkari legitimasi sistem hak kepemilikan atas lahan (tenurial) dan sumberdaya alam lain berbasis tanah yang telah ada sebelumnya. Dimana penduduk yang bermukim di dalam hutan atau sekitar hutan dirugikan oleh penguasaan sentralistik negara atas hutan (Blaikie, 1985). Namun demikian, sejauh praktikpraktik kepengaturan membentuk kelompok yang memiliki pengalaman 8
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
sama dan bukan terbatas hanya pada individu-individu, maka wawasan kritis berpeluang untuk disebarkan. Hasilnya, sebagaimana dikutip Li (2007) dari Gavin Smith, akan melahirkan kelompok sosial yang mampu mengenali kepentingan bersama dan melakukan penggalangan demi mengubah keadaan mereka. Kolektivitas semacam itu mengandung retakan gender, etnik dan kelas tersendiri. Ruang pertemuan dengan program pembangunan pemerintah akan membentuk dasar bagi gagasan-gagasan dan aksi-aksi politik mereka. Sebagai “keterbalikan strategis”, dalam relasi kekuasaan, ketika diagnosa tentang kekurangan dan keterbelakangan yang dipaksakan dari atas “diambil alih” menjadi tuntutan yang seolah-olah dari bawah, didukung rasa memiliki hak. Di dalam kegiatan illegal logging, Tsing (2005), dengan sangat menarik menggambarkannya sebagai frontiers; jalan logging yang menghubungkan antara legal dan illegal dari pekerja lokal dan pendatang dengan kebutuhan kayu dunia. Di jalan itu korporasi besar melegalkan kayukayu yang illegal. Frontiers merupakan pemudaran peraturan (deregulated) yang dilakukan oleh mitra yang absah bersama dengan yang tidak absah. Pada gilirannya akan menyebabkan perubahan pada peraturan-peraturan yang memungkinkan mereka memperoleh laba ekonomi yang baru secara berlebihan. Semua ini berlangsung dalam ruang antara (interstitial space) dua kutub biner seperti legal dan tidak legal, privat dan publik, hukum dan pelanggaran. Di dalam ruang antara dua kutub inilah kemudian kebudayaan (culture) menjadi maju dan berkembang, diproduksi dan direproduksi, gagasan mengenai kapitalisme, globalisasi dan imperialisme berkembang dan ditanamkan – termasuk perlawanan (encountering) atasnya. Pilihan arahnya ditentukan melalui proses tawar-menawar, negosiasi dan renegosiasi antar dua kutub biner tersebut. Negara – Pengusaha, Warganegara – Negara, Pengusaha – Warganegara, yang berlangsung dalam proses-proses yang sangat kreatif. Kapitalisme dalam artian frontiers seperti itu menurut Adri (2007), selalu berusaha mencari ruang kosong diantara dua ruang yang saling berlawanan ini, sehingga legalitas atau illegalitas bukan persoalan utama sepanjang dia mendatangkan laba dan akumulasi modal. Sebagaimana Tanah Sebagai Sumber Kemakmuran
9
yang terjadi di kawasan Delta Mahakam, dimana kegiatan “pertambakan ilegal” berlangsung di dalam ruang antara yang memungkinkan terjadinya proses kebangkitan “ekonomi lokal”1 oleh para ponggawa2 (lihat Lenggono, 2012). Proses tersebut berawal dari kegiatan usaha pertambakan yang berlangsung diatas tanah-tanah negara. Ketika hutan mangrove, sebagai lokasi kegiatan pertambakan yang berlimpah, namun tidak memiliki nilai intrinsik, tidak dikelola secara memadai oleh otoritas yang berwenang. Berhimpitan dengan kepentingan pragmatis pemerintah dalam meningkatkan produksi udang nasional yang semakin menurun pasca pelarangan trawl pada 1982. Di dalam situasi seperti inilah hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam dikorbankan untuk pengembangan kegiatan budidaya pertambakan udang. Hingga terjadi proses pendistribusian secara massal area hutan mangrove yang menjadi alat produksi kunci dalam kegiatan budidaya pertambakan oleh otoritas lokal pada sejumlah pihak (khususnya ponggawa). Realitas yang kelak menempatkan sejumlah ponggawa dengan dukungan kuat modal finansial dari perusahaan eksportir dan memiliki hubungan dekat dengan otoritas lokal, memiliki kesempatan lebih besar 1. Ekonomi lokal merupakan hasil adaptasi dari beroperasinya sistem kapitalisme diaras lokal (berwajah solidaritas), dengan basis hubungan produksi patronase yang mampu mendorong kesadaran kolektif bagi terbentuknya lumbung kesetiakawasan sosial, dimana nilai-nilai solidaritas yang dihayati para pelaku dalam sistem ekonomi lokal jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme. Di dalam tulisan ini “ekonomi Lokal” didefinisikan sebagai suatu bangunan ekonomi hybrid yang mampu menopang tumbuh-kembangnya ekonomi sebuah masyarakat pada suatu wilayah berkarakteristik khas dan berakar pada kekuatan sosio-kultural dengan memanfaatkan semua komponen sumberdaya lokal secara efesien. 2. Ponggawa merupakan sebutan yang biasa digunakan masyarakat Bugis di pantai timur Kalimantan untuk memanggil seorang pemilik modal yang mengumpulkan dan membeli hasil produksi perikanan (tangkap maupun budidaya). Biasanya mereka juga pemilik aset produksi (menguasai hamparan tambak yang luas dan sarana produksi), selain memberikan pinjaman saprotam serta modal usaha dalam bentuk fasilitas/materi bagi klien mereka. Secara historis para pengusaha pertambakan (baca: ponggawa) lahir dari sebuah lingkungan yang khas, sebagian terbesar tumbuh dari kegiatan ekonomi di Kawasan Budidaya Kehutanan (baca: KBK) yang “terlarang” bagi kegiatan diluar sektor kehutanan, mengakumulasi kekayaan melalui monopoli produksi raw material.
10
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
dalam mengakumulasi alat produksi berupa “lokasi” hutan mangrove. Berkat “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai” meminjam istilah Mackie (1999), sejumlah ponggawa selanjutnya mampu melakukan mobilitas ekonomi vertikal yang menggerakkan proses diversifikasi usaha pertambakan yang semakin meluas, hingga munculnya cold storage, hatchery, pabrik es, mini market, industri pengolahan/ekspor udang dan seterusnya. Pada gilirannya, kondisi tersebut tidak hanya menyumbang dalam penyerapan tenaga kerja, namun juga memberikan sumbangan terhadap pendapatan asli daerah, hingga menciptakan berbagai peluang usaha ikutan dan memperbesar “perputaran uang” di aras lokal. Sebagai “golongan sosial strategis”, para ponggawa juga menjadi kekuatan sosial potensil dalam transformasi sosial tidak hanya bagi migran Bugis, tapi juga masyarakat lainnya di kawasan Delta Mahakam. Dari masyarakat perikanan tradisional menuju masyarakat industri (perikanan). Demikianlah, meskipun tidak didukung legalitas kepemilikan tanah yang mampu memperkuat kedudukan tanah bagi rakyat, namun pemanfaatan sumberdaya agraria yang dianggap “ilegal” tersebut, terbukti memberikan kemakmuran.
1.2 DILEMA KEBIJAKAN KEHUTANAN Sebagaimana disinyalir Hall, et all (2011) berbagai kebijakan dalam sistem pengelolaan hutan, ternyata setiap harinya tidak hanya menyebabkan tercerabutnya hak masyarakat (dispossession) atas klaim terhadap kawasan hutan yang telah mereka tradisikan, namun juga mendorong terjadinya akumulasi alat produksi dan kapital pada sejumlah pihak yang diuntungkan dengan beroperasinya kebijakan tersebut. Setidaknya menurut catatan World Bank, berbagai dilema kebijakan kehutanan di Indonesia mulai terjadi sejak rezim Orde Baru berkuasa. Ketika otoritas kehutanan saat itu melakukan klaim atas kawasan hutan yang menurut Chomitz (2007), mencakup sekitar tiga perempat luas negara, mengambil alih hak-hak masyarakat tradisional atas hutanhutan mereka. Tanah Sebagai Sumber Kemakmuran
11
Hubungan antara hutan dan penduduknya menjadi berbeda setelah keluarnya UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (UU Kehutanan). Hutan selanjutnya ditetapkan, dipetakan, dibatasi dan diketegorisasikan. Penduduk dikawasan hutan dihitung dan dimasukkan dalam tabel resmi (Darmanto dan Setyowati, 2012), dimana negara mengklasifikasikan penduduk dan landscape, serta menjadikan mereka sebagai objek observasi dan sasaran intervensi. Hal ini memberikan alasan bagi negara untuk lebih mengontrol penduduk dan sumberdaya alam. Negara melakukan perencanaan penetapan wilayah berskala besar untuk menjelaskan daerah-daerah perlindungan, pengelolaan hutan dan alih fungsi, yang seringkali diabaikan atau bahkan dimanipulasi (Chomitz, 2007). Hak-hak masyarakat atas hutan-pertanian yang ditradisikan diabaikan dan berbagai perencanaan yang telah menjadi kebijakan tidak mampu mencegah berlangsungnya penggundulan hutan di daerah-daerah yang dilindungi. Akibatnya, 40 juta orang Indonesia hidup di daerah yang ditetapkan sebagai wilayah hutan tetapi kekurangan pohon (hutan tanpa pohon), di daerah dengan larangan pertanian (termasuk perikanan), tanpa adanya jaminan hak penguasaan lahan. Dalam sisi normatif negara, pengelolaan hutan, penanganan – pemanfaatan, hingga penguasaan hutan oleh masyarakat diabaikan. Seolah hanya warganegara yang memiliki kewajiban menjalankan fungsinya untuk patuh pada peraturan perundang-undangan. Negara, melalui otoritas kehutanan misalnya, membuat regulasi mengenai KBK3 dan KBNK4 tanpa memandang keberadaan masyarakat lokal yang telah mendiami dan memanfaatkan kawasan hutan jauh sebelum kebijakan tersebut dibuat.
3. Kependekan kata dari Kawasan Budidaya Kehutanan, yang dalam wacana otoritas kehutanan dianggap sebagai kawasan terlarang untuk kegiatan apapun di luar aktivitas kehutanan. Aktivitas di dalam kawasan tersebut hanya boleh dilakukan jika telah mengantongi izin dari Menteri Kehutanan, jika tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan illegal/perambah hutan. 4. Kependekan kata dari Kawasan Budidaya Non Kehutanan, yang juga berarti kebalikan dari Kawasan Budidaya Kehutanan.
12
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Ironisnya, sejumlah studi mengenai praktik pengelolaan sumber daya alam menunjukkan, bahwa negara lebih berpihak pada bisnis (private sectors) dari pada terhadap warganegara kebanyakan, dimana negara lebih bertindak sebagai pemungut rente (Brown, 1999). Rente yang terkumpul di tangan negara, selanjutnya digunakan untuk menggerakan proses kapitalisasi (pembangunan) dengan mengembangkan sektor lain, baik industri ekstraksi sumber daya alam lainnya maupun sektor infrastruktur, pertanian, dan pendidikan (Seda, 2001). Dengan cara seperti inilah diharapkan terjadi trickle down effect. Namun dalam kenyataannya, orang atau kelompok orang yang memperoleh “kepercayaan” dari negara untuk mengelola modal (rente) dalam kas negara tersebut, membangun satu pola relasi kekuasaan dan kelembagaan yang menghalangi orang atau kelompok lain terhadap akses yang sama. Akibatnya menurut Blaikie (1985), kebanyakan sistem pengelolaan hutan di Dunia Ketiga, sebagaimana Indonesia telah gagal mengatasi kemerosotan hutan maupun kemiskinan pedesaan. Beberapa sistem pengelolaan hutan negara, bahkan memperparah kemerosotan hutan, sehingga memperparah kemiskinan penduduk desa yang tinggal di pinggiran hutan. Artinya keberadaan hutan negara telah menciptakan enclaves kemiskinan pada desa-desa di pinggir hutan. Seperti disinyalir Awang (2004) “pada 1994 sekitar 46 persen desa-desa miskin di Jawa berada di sekitar kawasan hutan negara”. Senada dengan hasil penelitian Purwanto, Dkk (2003) yang menemukan fenomena masyarakat desa miskin dan tertinggal di sekitar kawasan hutan Taman Nasional. Tidak berlebihan jika kemudian Ishak (2003), menyebut peranan kehutanan untuk menggerakkan ekonomi nasional masih belum berhasil mengangkat ekonomi mikro, terutama ekonomi rakyat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di sekitar hutan dan kemampuan ekonomi daerah, serta kemampuan pelestarian hutan untuk terus mendorong perekonomian nasional. Bagi Peluso (2006), krisis hutan tropis sekarang ini bersumber pada kelembagaan yang tidak pas, khususnya lembaga-lembaga yang membawahi sistem akses dan penguasaan sumberdaya. Tidak ada satu Tanah Sebagai Sumber Kemakmuran
13
sumber tunggal pun yang dapat dipersalahkan dalam hal musnah dan merosotnya hutan; kerusakan aneka sumberdaya berbasis tanah adalah puncak interaksi rumit dan meluas antara berbagai kepentingan yang selalu bergeser. Mustahil ada solusi lingkungan terhadap kemerosotan, jika hal itu dipisahkan dari orang-orang dan masyarakat yang memanfaatkan lingkungan itu secara legal maupun ilegal; kemerosotan itu sendiri – degradation – adalah istilah yang sarat nilai dan kepentingan (Dove,1984; Blaikie, 1985; dan Peluso, 2006). Di dalam konteks seperti itulah, hasil kajian dalam buku ini didudukkan. Ketika tidak banyak riset empiris atau motivasi teoritis untuk mencermati pola migrasi yang dilakukan secara berbeda yang mempengaruhi institusi common pool resource di dalam sebuah bioecoregion delta. Bagaimana mobilitas etnik dilakukan, ketika interaksi manusia di dalam area Hutan Negara (seperti KBK Delta Mahakam) semakin meningkat dalam 40 tahun terakhir? Apa yang memotivasi dan seperti apa pola penguasaan common pool resources, saling berhubungan dan mempengaruhi lingkungan dalam ekosistem yang lebih luas berlangsung? Bagaimana regulasi tersebut ditafsir, ditawar dan dimanfaatkan oleh para aktor untuk mempertahankan kepentingan aksesnya terhadap lahan dan sumberdaya alam didalamnya? Dus, mengapa perubahan landscape ekologi lokal, akibat transformasi agraria yang berlangsung, menjustifikasi secara telak dan terbuka penguasaan atas tanah-tanah negara oleh para aktor dengan berbagai modus? Betapa senandung lirih “Manifesto5 Penguasaan Tanah Terlarang” semakin nyaring terdengar!
5. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manifesto diartikan sebagai “pernyataan terbuka tentang tujuan dan pandangan seseorang atau suatu kelompok”, biasanya diumumkan kepada publik dan sering bermuatan politis. Istilah manifesto dikenal luas setelah dipopulerkan Karl Marx dan Friedrich Engels, dua guru besar Sosiologi dan aktivis pergerakan kaum buruh melalui tulisannya Das Manifest der Kommunistischen Partei yang ditujukan untuk Liga Komunis dan diterbitkan pertama kali pada tanggal 21 Pebruari 1848 di London, Inggris.
14
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
BAB II DELTA MAHAKAM “YANG MAHA PEMURAH”
2.1 SEKELUMIT DELTA MAHAKAM Judul Bab ini, tidak bermaksud memprovokasi pembaca. Sekedar memberikan gambaran, betapa sifat Tuhan “Yang Maha Pemurah” benarbenar menampakkan wujudNya yang sebenarnya pada sebuah wilayah geografis yang dikenal sebagai Delta Mahakam ini. Tidak hanya memberi berkah pada masyarakat yang hidup diatasnya tapi juga memberikan kelimpahan pasokan sumberdaya yang sangat penting bagi pembangunan lokal, nasional serta regional, bahkan internasional. Secara administrasi, kawasan Delta Mahakam berada dalam kewenangan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, terletak pada posisi geografis 117015’ BT – 117040’ BT dan 0019’ LS - 0055’ LS. Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Kartanegara, Kawasan Delta Mahakam melingkupi lima kecamatan yang terbagi menjadi dua Zona yang terdiri dari Zona I untuk pengembangan konservasi/ekologis dan Zona II untuk pengembangan budidaya kawasan perkotaan. Zona I meliputi 3 Kecamatan, Muara Badak, Anggana dan Muara Jawa, yang terdiri dari 7 desa dan 4 kelurahan dengan luas 107.974,13 ha. Sementara itu, Zona II adalah untuk pengembangan budidaya kawasan perkotaan. Zona II ini memiliki luas 216.909,82 ha yang meliputi 5 Kecamatan, Muara Badak, Anggana, Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Samboja. Ekosistem Delta Mahakam didominasi hutan mangrove yang terbentuk dari proses sedimentasi yang cukup lama dari Sungai Mahakam. Salah satu sungai terpanjang di Indonesia, memiliki panjang 770 km dengan debit aliran air 1.500 m/detik dan konsentrasi muatan padatan tersuspensi mencapai 80 mg/l. Proses sedimentasi yang berlangsung sejak 5.000 tahun lalu itulah yang pada akhirnya membentuk Delta Mahakam (Surachmat, 1999).
16
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Gambar 2.1. Peta Kawasan Delta Mahakam Sumber: Bappeda (2007)
Wilayah Delta Mahakam merupakan suatu kawasan yang berbentuk kipas, dengan pinggiran luarnya berbentuk hampir setengah lingkaran ‘fan-shaped lobate’, berupa kawasan dataran berlumpur ‘delta plain’, yang hampir keseluruhannya berawa-rawa dengan banyak alur sungai yang memotong bagian daratannya. Bagian dari delta yang berupa dataran berlumpur dan berawa-rawa tersebut luasnya kurang lebih 1.500 km², yang merupakan daratan dan perairan, sedangkan luasan daratannya Delta Mahakam“Yang Maha Pemurah”
17
sekitar 1.000 km². Sebagian besar kawasan Delta Mahakam ditumbuhi hutan nipah (Nypa fruticans Sp.), dan sebagian kecilnya merupakan hutan Bakau (Rhizopora Sp.) dan Api-api (Avicenia Sp.). Ekosistem mangrove yang memiliki sebaran zona Nypa fruticans ini, membentuk formasi murni dengan luasan 50 persen dari seluruh tutupan Delta Mahakam, yang menurut MacKinnon Dkk (2000) merupakan formasi nipah terluas di dunia. Namun ironisnya luasannya diduga hanya tersisa 11.000 Ha. Di atas kawasan hutan mangrove inilah, proses pemanfaatan dan pengalihfungsian secara massive oleh migran Bugis menjadi area pertambakan tradisional dilakukan. Padahal kawasan ini merupakan habitat potensial bagi berkembangnya benih alam khususnya benur udang (paneus monodon) yang diperkirakan mampu menghasilkan sekitar 18-20 juta ekor benur udang per musim (Djamali Dkk, 2000; dan Rachmawati Dkk, 2003). Selain menjadi salah satu tempat tersisa di Kalimantan sebagai habitat alami monyet bekantan (Nasalis larvatus) yang sangat endemik. Juga habitat bagi 146 jenis burung, termasuk 22 jenis baru di Kalimantan (Eve and Guigue,1989 dalam MacKinnon, Dkk, 2000). Di samping potensi hutan mangrove, kawasan Delta Mahakam juga memiliki sumberdaya non-hayati, yaitu minyak dan gas alam (Migas). Kawasan ini menjadi begitu penting secara ekonomis sejak ditemukannya minyak menjelang tahun 1897, ketika J.H. Menten memulai dengan pengeboran percobaan di sekitar daerah tersebut dengan hasil yang luar biasa. Menjelang tahun 1902, Shell dengan konsesi yang di peroleh dari J.H. Menten, maupun Royal Dutch telah menghasilkan minyak dari ladang-ladang di Delta Sungai Mahakam (Lindblad, 1988 dalam MacKinnon Dkk, 2000). Ekspolorasi yang dilakukan Bataafsche Petroleum Maatschapij (BPM) pada 1909, juga berhasil menemukan ladang minyak Samboja. Potensi minyak di wilayah Delta Mahakam saat ini dikelola oleh Pertamina, sedangkan operasionalnya dikontrakan dengan sistem bagi hasil pada perusahaan migas internasional, diantaranya: Total FinaElf Indonesie, VICO, UNOCAL dan Expan (habis masa kontraknya pada 2009). Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di sebagian besar wilayah 18
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
delta dilakukan oleh Total FinaElf Indonesie, dengan tiga pusat produksi yaitu dibagian daratan, lepas pantai bagian tenggara dan lepas pantai bagian timur delta. Keberadaan dan pengelolaan sumberdaya migas di dalam kawasan Delta Mahakam telah menempatkan kawasan ini pada posisi strategis secara ekonomi, sosial, keamanan, maupun arti strategis dalam konteks pembangunan. Kawasan Delta Mahakam menjadi semakin strategis posisinya karena berada dalam kawasan selat Makassar, yang merupakan jalur pelayaran domestik dan internasional (ALKI II) yang sangat ramai yang diapit oleh tiga kota besar di Kalimantan Timur, yaitu Samarinda (+25 km ke arah barat), Balikpapan (+115 km ke arah selatan), dan Bontang (+100 km ke arah utara). Kawasan Delta Mahakam menjadi “berkah” bagi daerahdaerah di sekitarnya. Sebagaimana Kota Bontang, yang saat ini dikenal sebagai penghasil LNG terbesar di dunia yang basis ekonominya banyak digerakkan oleh industri pengolahan LNG (mulai berproduksi sejak awal 1980-an) dan produk industri terkait lainnya (seperti pupuk urea, amoniak, methanol, metilen, olefin, dst.). Kota Bontang yang tercatat memiliki pertumbuhan paling pesat di Indonesia ini, sangat bergantung dari pasokan gas alam cair yang sebagian besar berasal dari kawasan Delta Mahakam. Begitupun Kota Balikpapan, yang basis ekonominya banyak digerakkan oleh industri pengolahan minyak mentah (mulai beroperasi sejak 1950), berikut produk industri ikutannya, juga memiliki ketergantungan yang tidak kecil terhadap keberlangsungan eksploitasi minyak di kawasan Delta Mahakam. Demikian halnya Kota Samarinda, mendapatkan pasokan hasil perikanan yang sangat melimpah dari kawasan ini. Sementara Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai pemilik otoritas administratif, tidak hanya mendapatkan “berkah” berupa pasokan hasil perikanan yang sebagian besar diantaranya diekspor ke mancanegara. Namun juga mendapatkan keuntungan dalam bentuk PAD maupun dana perimbangan bagi hasil migas, yang menempatkan daerah ini sebagai “kabupaten terkaya” di Indonesia. Sedangkan Pemerintah Pusat, memperoleh pemasukan devisa yang sangat fantastis dari berbagai kegiatan industri, khususnya migas Delta Mahakam“Yang Maha Pemurah”
19
dan industri turunannya di kawasan tersebut. Satu hal lain, yang sering terlupakan adalah besarnya benefit yang diterima berbagai perusahaan ekplorasi dan eksploitasi migas asing yang beroperasi di kawasan itu. Sulit membayangkan, apa yang akan terjadi jika kawasan seluas 216.909,82 ha ini, daya dukung lingkungannya tidak lagi mampu menopang aktivitas eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan atasnya?
2.2 BONANZA MIGAS BLOK MAHAKAM Kegiatan ekonomi besar berbasis migas yang sekarang ini berlangsung di Kawasan Delta Mahakam, terpusat terutama pada garis pantai timur Kalimantan. Mulai dari selatan di Balikpapan, kemudian Handil (Muara Jawa) di ujung selatan Delta Mahakam, Sanga-Sanga dan Tambora di mulut Sungai Mahakam, hingga Muara Badak di ujung utara Delta Mahakam. Hal ini dapat terlihat dari adanya satu jalur pipa yang terpasang sejajar dengan garis pantai timur Kalimantan di bagian daratan utama dari Lapangan Handil ke arah utara menuju kilang minyak Bontang. ##
k
Tg. Panjilatan k
Tg. Pari
k k
K
k
k
Tg. Barukang
k
k
k
k
KOTA SAMARINDA
P. Cook
k
Kec. Muara Badak k
Yg. Kaeli
k
P. Mangkok
k
R
[ % P. Tunu
k k
#
k
#
k
Tg. Sisi
k
P. Terantang k
k
#
k k
k
k
k
Kec. Anggana
k
A
Tg. Timbanglungun
S
#
Kec. Sangasanga
R
k
k
P. Kayumajarang
k
A
Tg, Timbangpasir P. Nubi Tg. Buntal k
k
A
Tg. Bayur
K
k
k k
k
k k
k
M
k
#
k k k
k
#
k
Tg. Sukeyan
k k
k
P. Datu P. Rinding k
k
T
Kec. Muara Jawa
k
k
k
k
k
P. Muaraulu P. Perangatan Tg. Layangan Tg. Parangatan k
k
k
k
k
Tg. Pamarung
E
P. Bukuan P. jawa
S
k
Tg. Barukang
P. Baru
k
L A
k
N ##
Kec. Samboja
W
E S
Gambar 2.2 Peta Pemanfaatan Lahan Kawasan Delta Mahakam Sumber: Bappeda Kutai Kartanegara, 2007 20
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Selain itu, jalur pipa yang lain terpasang di zona pipa tengah, yaitu mulai dari Lapangan Tunu berbelok melengkung ke utara Muara Badak terus menuju kilang minyak Bontang. Kawasan ini juga dilalui distributary Sungai Muara Jawa yang ramai digunakan untuk transportasi air di selatan, dan distributary Muara Berau – Muara Badak Utara. Pada kawasan ini berkembang pula kota Kecamatan Sanga-Sanga dan Sungai Meriam (ibukota Kecamatan Anggana) yang tepat berada di mulut Sungai Mahakam, dengan penduduk yang penghasilannya sangat bergantung pada ikutan industri migas dan kegiatan industri pertambakan, selain dari aktivitas pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Dalam kacamata dunia migas, Kawasan Delta Mahakam yang sangat potensial ini sering disebut “Blok Mahakam”. Blok ini merupakan lapangan penghasil lebih dari 30% produksi gas nasional. Semula saat ditemukan pertama kali, Blok Mahakam memiliki cadangan terbukti sekitar 26 trilyun cubic feet (TCF) gas dan 1,4 miliar barel minyak. Blok Mahakam dieksploitasi sesuai pola kontrak kerjasama (Production Sharing Contract/baca; PSC) antara Pemerintah RI dengan Total Exploration & Production Indonesie (TEPI, Prancis) dan Inpex Corporation (Jepang) yang ditandatangani pada 31 Maret 1967. Awalnya kontrak Blok Mahakam oleh Total dan Inpex berlaku mulai 1967-1997, selama 30 tahun, dimana pembagian keuntungan hanya berlaku untuk minyak saja. Dengan porsi pembagian, 67,25 persen untuk Indonesia dan 32,5 persen untuk kontraktor, sedangkan cost recovery hanya 40 persen (lihat Batubara, 2014). Dalam durasi kontrak pertama (1967-1997) puncak produksinya terjadi pada 1977 dengan produksi minyak mencapai 200 ribu barel/hari. Dalam perkembangannya, tingginya produksi gas di sejumlah ladang minyak Indonesia (termasuk Blok Mahakam), telah mendorong pemerintah melalui Menteri Keuangan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 267/KMK.012/1978 tentang sistem PSC. Salah satu isi kebijakan tersebut adalah mengatur split share keuntungan minyak di Indonesia yang naik hingga 85 persen dan gas 70 persen, belum termasuk pajak bagi kontraktor. Sedangkan cost recovery Delta Mahakam“Yang Maha Pemurah”
21
mencapai 100 persen. Saat kontrak pertama Blok Mahakam berakhir, keputusan inilah yang berlaku dalam perpanjangan kontrak kedua hingga tahun 2017. Menurut Batubara (2014), dalam kurun waktu 1997-2012, Total dan Inpex mengeluarkan dana operasional secara keseluruhan sebesar US$ 21,310 miliar. Dengan keseluruhan cost recovery yang diterima kontraktor dalam periode yang sama mencapai US$ 19,078 miliar. Keuntungan bagi hasil yang diperoleh Total dan Inpex hanya dalam 16 tahun periode Kontrak Kerja Sama (baca: KKS) II, adalah sebesar US$ 23,561 miliar atau setara denga 22 persen dari pendapatan kotor produksi migas Blok Mahakam. Artinya rata-rata keuntungan yang diperoleh kontraktor setiap tahun adalah 1,47 miliar atau sekitar Rp. 17,5 trilyun/tahun (pada kurs US$/Rp = 12.000). Belum termasuk keuntungan tambahan dari transfer pricing, serta dari sistem PSC dan pola cost recovery yang berlaku saat ini, dimana banyak anak perusahaan kontraktor memiliki peluang untuk mengerjakan berbagai pekerjaan yang dibutuhkan tersebut. Sementara total penerimaan negara untuk periode yang sama adalah US$ 64,035 miliar atau sekitar 60 persen dari pendapatan kotor produksi migas Blok Mahakam. Berbagai keuntungan yang diperoleh kontraktor tersebut, belum memperhitungkan bagi hasil selama 30 tahun periode KKS tahap I (1967-1997). Dimana keuntungan yang diperoleh kontraktor diduga bisa lebih besar lagi, mengingat jangka waktu eksploitasinya yang lebih lama (30 tahun). Realitas inilah yang kemudian mendorong Total dan Inpex untuk kembali mengajukan proposal perpanjangan KKS tahap III dengan mengusulkan konsep “kerjasama masa transisi 5-10 tahun” pada pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, Perdana Menteri Prancis, Francois Fillion pada 30 Juni 2011, datang ke Indonesia untuk meminta Pemerintah Indonesia memperpanjang ijin kontrak Blok Mahakam. Diikuti kunjungan CEO Inpex Corporation, Toshiaki Kitamura, pada 14 September 2012, yang secara khusus bertemu Presiden SBY dan Wapres Boediono, meminta perpanjangan Blok Mahakam.
22
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Di dalam situasi seperti inilah, Pertamina yang juga telah mengajukan proposal untuk ikut mengelola Blok Mahakam sejak 2008, berkeberatan dengan konsep yang diususung oleh Total dan Inpex. Penolakan yang didukung sejumlah kalangan ini, didasarkan pada keinginan untuk mulai mengelola lapangan migas nasional secara mandiri. Tidak hanya kemandirian energi yang disasar, namun juga nilai aset cadangan Blok Mahakam yang ditaksir masih berkisar Rp. 500 trilyun hingga Rp. 1.200 trilyun, benar-benar dapat diharapkan berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebagaimana Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/2012, yang menegaskan bahwa Pasal 33 UUD 1945, menghendaki “penguasaan negara itu harus berdampak pada sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat”. Dalam hal ini, “pengertian dikuasai negara” tidak dapat dipisahkan dengan makna untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, yang menjadi tujuan Pasal 33 UUD 1945.
2.3 TUMPANG TINDIH KEPENTINGAN Berbagai potensi yang dimiliki kawasan Delta Mahakam telah menempatkan kawasan ini tidak hanya sebagai kawasan yang sangat strategis secara sosio-ekonomi dan keamanan, namun juga memiliki potensi konflik laten yang sangat kompleks dan akut, akibat bertumpangtindihnya berbagai kepentingan stakeholders. Akumulasi berbagai potensi, sekaligus permasalahan, serta begitu banyaknya kepentingan itulah yang kemudian menjadikan kawasan ini memiliki stigma “sulit diatur”. Akibatnya “jalan pintas” yang terkesan illegal yang selanjutnya menjadi pilihan rasional dari para stakeholders yang merasa sulit bersaing secara legal dalam memperebutkan sumberdaya alam yang dimiliki Delta Mahakam. Sejumlah lembaga donor dilaporkan tidak berani mengambil resiko untuk mengembangkan programnya di kawasan ini. Program PMD Mahakam yang disponsori Depdagri dan UNDP, mungkin bisa disebut sebagai salah satu “program gagal” terakhir, yang pernah coba dikembangkan di Kawasan Delta Mahakam.
Delta Mahakam“Yang Maha Pemurah”
23
Begitu banyaknya kepentingan yang “bermain” di kawasan ini setidaknya terlihat dari begitu beragamnya sudut pandang dalam “menterjemahkan” kawasan Delta Mahakam, yang tentu saja akan mempengaruhi kebijakan ataupun konsepsi atas eksistensi kawasan ini. Untuk deliniasi kawasan saja, setidaknya terdapat beberapa sudut pandang. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kutai Kartanegara (2008), total keseluruhan kawasan Delta Mahakam adalah 108.251, 31 Ha, dengan luasan hutan mangrove mencapai 79 persen dari keseluruhan kawasan dan sekitar 60 persennya saat ini telah dibuka menjadi areal pertambakan. Sementara menurut catatan Dutrieux (2001), pada 1992 luas lahan yang terbuka akibat kegiatan pengkonversian lahan mangrove untuk budidaya perikanan adalah sekitar 3.700 ha dan terus meluas menjadi 15.000 ha pada tahun 1996 dan pada tahun 1999 luasan tersebut telah mencapai 67.000 ha. Bahkan menurutnya pada tahun 2001 luas areal mangrove yang telah dikonversi telah mencapai sekitar 85.000 ha dari luas Delta Mahakam yang mencapai 1500 km² atau sekitar 150.000 ha. Sementara Syahrani (2004), mengasosiasikan Delta Mahakam dengan 46 buah pulau kecil di muara Sungai Mahakam. Sedangkan menurut Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Delta Mahakam yang disusun Bapedda Kabupaten Kutai Kartanegara (2006), kawasan ini setidaknya memiliki luasan total 324.883,95 Ha, dengan perincian luasan Zona I (kawasan dalam pulau-pulau di luar daratan Pulau Kalimantan) mencapai 107.974,13 Ha dan Zona II (kawasan daratan Pulau Kalimantan di sekeliling pulau-pulau di kawasan Delta Mahakam) mencapai 216.909,82 Ha. Sementara PKSPL-IPB (2002), menggunakan pendekatan administratif untuk mendeliniasi kawasan Delta Mahakam yang melingkupi tiga kecamatan dan tujuh desa, yaitu; desa Saliki di Kecamatan Muara Badak, desa Sepatin, Tani Baru dan Muara Pantuan di Kecamatan Anggana serta desa Muara Kembang, Muara Jawa Tengah dan Muara Jawa Ulu di Kecamatan Muara Jawa. Sedangkan LAPI-ITB (2003), mendeliniasi kawasan Delta Mahakam secara fungsional dan geografis sebagai wilayah perencanaan yang
24
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
meliputi 20 desa/Kelurahan dalam wilayah administratif Kecamatan Muara Badak, Anggana, Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Samboja. Delineasi kawasan dengan menggunakan pendekatan administratif juga digunakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (2007) maupun Program PMD Mahakam yang diseponsori Depdagri dan UNDP sejak 2008, yang memanfaatkan RDTR kawasan Delta Mahakam yang disusun Bapedda Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2006. Meskipun dalam prakteknya dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan institusi bersangkutan, misalnya hanya mendeliniasi wilayah administratif Zona I dari RDTR Delta Mahakam sebagai “kawasan Delta Mahakam”. Namun demikian, seiring dengan banyaknya pemekaran wilayah yang terjadi di desa-desa dalam kawasan Delta Mahakam, deliniasi kawasan dengan menggunakan pendekatan administratif pun menghadapi konsekuensi labilitas perkembangan sebuah kawasan. Setidaknya hingga saat ini telah terjadi pemekaran pada beberapa kawasan administratif, seperti Muara Jawa pesisir yang telah dimekarkan dari Kelurahan Muara Jawa Pesisir dan Desa Gas Alam Badak Satu yang telah di mekarkan dari Desa Muara Badak Ulu6.
6. Isu paling mutahir adalah propaganda bermuatan politik-etnis terkait dengan wacana pendirian Kabupaten Kutai Pantai yang kaya sumberdaya alam terpisah dari Kabupaten Kutai Kartanegara. Sentimen politik-etnis tersebut bahkan sempat memposisikan vis-a-vis migran Bugis sebagai penduduk mayoritas di “kawasan pantai” dengan masyarakat Dayak sebagai penduduk asli yang secara kebetulan banyak berdomisili di “kawasan pedalaman”, pada Pilkada 2010. Delta Mahakam“Yang Maha Pemurah”
25
BAB IIi MERAJUT SERPIHAN SEJARAH AGRARIA LOKAL
3.1 PEMBERADABAN DELTA MAHAKAM Keberadaan permukiman di sekitar Kawasan Delta Mahakam, diduga telah ada jauh sebelum pemerintahan Kolonial Hindia Belanda menaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara, pasca Penandatanganan perjanjian 11 Oktober 1844. Hal tersebut dapat ditelusuri dari sejarah keberadaan Kerajaan Kutai Kartanegara yang pada awalnya berpusat di Muara Sungai Mahakam, tepatnya di Kampung Jahitan Layar. Kerajaan Kutai Kartanegara diperkirakan didirikan pada 1300-an oleh Aji Bhatara Agung Dewa Sakti, karabat dekat Kerajaan Singosari (Raja Kartanegara) yang menjadi salah seorang pemimpin ekspedisi Pamalayu. Ia beserta sebagian armada laut yang dipimpinnya terpisah dengan armada besar Singosari lainnya, karena kerusakan layar kapal dalam perjalanan. Rombongan tersebut akhirnya singgah di Muara Sungai Mahakam untuk memperbaiki kerusakan layar kapal yang mereka tumpangi, namun dalam perjalannya sebagian di antara mereka ada yang memilih menetap bersama Aji Bhatara Agung Dewa Sakti di tempat yang kemudian diberi nama Jaitan Layar. Karenanya Enci Muhammad Tayib (sejarahwan setempat), menyebut Jaitan Layar sebagai kolonisasi orangorang Jawa, berbeda dengan tiga perkampungan lainnya di sekitar Muara Sungai Mahakam (Hulu Dusun, Binalu dan Sambaran) yang didiami suku pribumi. Aji Bhatara Agung Dewa Sakti kemudian menikahi Putri Karang Melenu anak dari Kepala Kampung Hulu Dusun yang menurut cerita masyarakat Kutai lahir dari buih air Sungai Mahakam (Adham, 1979). Secara de jure pertumbuhan Kerajaan Kutai Kartanegara selalu berada di bawah kekuasaan kerajaan lain, untuk pertama kalinya kerajaan ini di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit sampai dengan mundurnya kekuasaan negara itu pada akhir abad-15 (Amin, 1975). Kekuasaan Imperium Majapahit atas Kerajaan Kutai Kartanegara selanjutnya berangsur berakhir seiring keberhasilan pemberontakan yang dilakukan kerajaan-kerajaan pesisir secara sporadis pasca masuknya Islam di Nusantara. Penguasaan atas Kerajaan Kutai Kartanegara kemudian jatuh pada Kerajaan Banjar di bawah Pangeran Samudra. Dengan bala bantuan
28
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
tentara Kerajaan Demak yang telah mengislamkan Kerajaan Banjar, diduga Pangeran Samudra yang berganti nama menjadi Sultan Suriansyah (1595–1620) berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara (Adham, 1979). Namun menurut Amin (1975) penguasaan Kerajaan Banjar atas Kerajaan Kutai Kartanegara hanya secara de jure, karena Kerajaan Banjar tidak pernah menempatkan petugas-petugasnya yang secara langsung mengontrol Kerajaan Kutai Kartanegara seperti halnya Kerajaan Majapahit. Pengaruh Kerajaan Kutai Kartanegara baru mulai terasa lebih dinamis, ketika Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Maharaja Dharma Setia, raja terakhir Kerajaan Kutai Martapura pada tahun 1636. Dengan jatuhnya Kerajaan Hindu tertua di Indonesia ini, maka wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara bertambah luas, Kerajaan Pasir, Berau dan kerajaan kecil/kelompok-kelompok suku dayak pedalaman yang tadinya tunduk pada Kerajaan Kutai Martapura secara tidak langsung telah menjadi wilayah kekuasaannya. Pasca penaklukkan atas Kerajaan Kutai Martapura, pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara sempat dipindahkan dari Jahitan Layar ke Tepian Batu (kini berganti nama menjadi Desa Kutai Lama). Sebelum dipindahkan lagi oleh Aji Dipati Tua pada 1636-an ke Pemarangan (Jembayan) sebelah hulu Sungai Mahakam, untuk menghindari serangan bajak laut dari Philipina Selatan. Namun pada masa pemerintahan Aji Muhammad Muslihuddin, ibukota Kesultanan dipindahkan lagi ke “Tangga Arung” ( Tenggarong), karena pusat pemerintahan sebelumnya dianggap sudah tidak “bertuah”, akibat pengkhianatan yang dilakukan Aji Muhammad Aliyeddin karena “merebut paksa” tahta kesultanan. Pasca pemindahan pusat Kerajaan Kutai Kartanegara dari Tepian Batu (Kutai Lama) ke Pemarangan (Jembayan), pemukiman-pemukiman di sekitar Kawasan Delta Mahakam yang terletak di pesisir mainland Pulau Kalimantan di duga masih sedikit jumlahnya. Sedangkan kawasan pulau-pulau di Delta Mahakam yang terletak diluar mainland Pulau Kalimantan hanyalah menjadi tempat persinggahan sementara bagi kapal-kapal dagang/bajak laut. Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
29
Banyaknya kerajaan-kerajaan di pantai timur Kalimantan sampai pertengahan abad-19, menurut Magenda (1991) rentan terhadap kegiatan eksploitasi dan pembajakan yang umumnya terjadi di Selat Makassar selama periode itu. Kondisi ini dapat berlangsung lama, sebagai akibat watak kerajaan Mulawarman dan Kesultanan Kutai, yang lebih menyerupai sebagai organisasi ekonomi ketimbang organisasi politik, sehingga memungkinkan komunitas pembajak dan perampok bisa leluasa merajalela. Sampai pada pemisahan pendudukan antara Inggris dan Belanda di Kalimantan pada tahun 1892 dan kesepakatan antara Inggris dan Spanyol pada tahun 1878, berkenaan dengan pendudukan atas pulaupulau di Sulu dan bagian utara Kalimantan. Jalur selat Makassar masih dipenuhi bajak-bajak laut, tausuk dari Jolo dan Sulu yang mendominasi jalur tersebut sampai Spanyol dapat memberantasnya. Menurut Magenda situasinya mirip dengan selat Malaka sebelum pendudukan Inggris di Singapura. Seorang pedagang Singapura bernama Dalton, mengisahkan saat dirinya pada 1827 berlayar dari Singapura ke Samarinda bersama satu armada Melayu Kutai dan perahu Bugis, bahwa “Bahaya besar muncul dari banyaknya perompak yang bermarkas di berbagai pulau di sekitar sini.... khususnya di Pulau Lingga.... yang menjadikan perahu Bugis dan Melayu sebagai sasaran kegemaran mereka” (Pelras, 2006). Sementara Zwager yang ditugaskan Pemerintah Hindia Belanda untuk menyelidiki Kesultanan Kutai dan pesisir timur Kalimantan pada 1853 juga mencatat bahwa “Perahu-perahu dagang hanya dapat sampai ke pedalaman (Sungai Mahakam) dengan agak aman, kalau dilengkapi dengan peralatan perang. Tanpa perlengkapan itu, mereka hanya akan menjadi mangsa perampokan dan perampasan yang tidak hanya dilakukan oleh suku-suku Dayak, tetapi juga oleh orang-orang Kutai yang secara sembunyi-sembunyi dihasut oleh tetua-tetuanya untuk melakukan kejahatan tersebut”. Zweger setidaknya mencatat, kekuatan bajak laut yang beroperasi di sekitar perairan Tanjung Silat hingga Sungai Mahakam mencapai 40 – 50 perahu yang ditempatkan di beberapa tempat strategis.
30
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Kondisi demikian, menurut Zweger terus berlanjut, akibat “ketidakmampuan Kesultanan Kutai untuk menghentikan kekacauan dalam pemerintahan, mengamankan kepentingan umum dan menjalankan ketentuan-ketentuan politik kontrak dengan lebih baik; karena mereka tidak dapat mempergunakan kekuatan militer, alat perlindungan lainnya pun bahkan tidak mereka miliki”. Selain karena minimnya alat kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda yang ditempatkan di pantai timur Kalimantan. Menariknya, aktifitas perompakan dan penjarahan yang marak dilakukan di sepanjang pantai timur Kalimantan oleh bajak laut dari Jolo dan Sulu, ternyata juga dipraktekkan oleh orang Dayak dan Kutai di sepanjang Sungai Mahakam. Yang dalam sejarahnya, praktek tersebut ingin dihindari oleh Aji Dipati Tua, dengan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Kutai dari Kutai Lama ke Jembayan. Baru ketika, tausok dari Jolo dan Sulu secara berangsur-angsur menarik armadanya dari selat Makassar bagian selatan, orang-orang Bugis mulai mengisi kekosongan tersebut, terutama dipertengahan abad-19. Meskipun taosug dari Jolo dan Sulu tetap melanjutkan dominasinya dibagian utara jalur selat Makassar, orang-orang Bugis memperluas cakupan pengaruhnya di Selatan. Mereka mengontrol titik-titik masuk di Sungai Mahakam sampai tingkatan tertentu, hingga penandatanganan perjanjian dengan pemerintah kolonial Belanda, dimana perjanjian tersebut memperkenankan Kesultanan Kutai mendapatkan kembali kekuasaan sebagai penguasa syahbandar pelabuhan Samarinda dari kelompok ponggawa-ponggawa Bugis. Penguasa di Samarinda saat itu adalah Aru Panekki dari Wajo, yang setelah penetapan penggantinya Pua Adu sebagai Syahbandar Samarinda kembali ke Wajo untuk mengatur persekutuan dengan Goa dalam menghadapi Kerajaan Bone. Jika mengacu pada laporan diatas, maka diduga komunitas Bugis telah menetap dikawasan pulau-pulau di Delta Mahakam, menjelang pertengahan abad-19, sesaat sebelum pemerintah Hindia Belanda menaklukkan kerajaan Kutai Kartanegara pada 1844. Dugaan tersebut diperkuat dengan peristiwa penyerangan dua kapal milik petualang Inggris, James Erskine Murray yang kemudian tertembak mati, serta Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
31
penghancuran sebuah kapal dagang Belgia yang terdampar di muara Sungai Mahakam oleh pasukan sepangan Kerajaan Kutai, dibantu orangorang Bugis dalam peristiwa “Perang Tembak Maris”. Peristiwa inilah yang kemudian dijadikan alasan Pemerintah Hindia Belanda menghancurkan Kerajaan Kutai Kartanegara dengan mengirimkan pasukan penaklukkan dibawah komando Letnan Laut D’Hooft pada 1844, yang mengakibatkan Sultan Muhammad Salehuddin menandatangani surat perjanjian takluk pada kolonialis Belanda. Dalam laporannya, Zweger bahkan menulis “Saudagar George Peacock King sudah mendirikan sebuah gudang barang di Muara Bayur (terletak di Muara Sungai Mahakam); dari gudang-gudang itu banyak kapal yang langsung mengambil muatan tanpa perlu memudiki sungai sampai Samarinda, sehingga aktivitas perdagangan dapat diperlancar dan dipercepat”. Artinya kawasan Delta Mahakam yang menjadi satu-satunya pintu pelayaran dari Samarinda dan daerah-daerah pedalaman Kutai menuju ke daerah lain di Nusantara, sejak lama memiliki fungsi strategis dalam kegiatan perdagangan, sehingga mustahil tidak perpenghuni. Setidaknya kampung Pamangkaran yang banyak disebut dalam tradisi lisan masyarakat setempat sebagai kampung pertama yang berhasil dibangun migran Bugis, bisa menjadi salah satu rujukan untuk mendiskripsikan secara lebih mendasar berbagai laporan tersebut, karena menurut perkiraan kampung tua yang kini masuk ke dalam wilayah Desa Sepatin ini, telah berdiri pada kurun waktu tersebut. Sesuai dengan temuan Lenggono (2004), yang berhasil menelusuri keberadaan sebuah nisan bertahun 1939 di area pekuburan yang masih relatif baru di belakang masjid Al-Anshor Desa Muara Pantuan. Padahal di kawasan yang dulunya merupakan area perkebunan milik penduduk Pemangkaran tersebut, juga terdapat area pekuburan yang lebih tua di Tanjung Tengah yang belum teridentifikasi. Peta rupa bumi terbitan tahun 1934 buatan Pemerintah Hindia Belanda-pun telah mencantumkan nama Pamangkaran dan Muara Pantuan sebagai salah satu area pemukiman yang ada di kawasan Delta Mahakam.
32
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Untuk mendapatkan gambaran lebih komprehensif tentang sejarah penguasaan agraria di kawasan Delta Mahakam, berikut akan disajikan hasil temuan Bourgeois (2002); Lenggono (2004); dan Lenggono (2011). Tabel 3.1. Sejarah Migrasi dan Penguasaan Kawasan Delta Mahakam Periode
Kondisi Delta Mahakam
Konstelasi Kekuasaan Atas Hutan Mangrove (Sejarah Penguasaan Agraria)
1300-an Kawasan belum Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri disekitar – 1844 tersentuh kawasan Delta Mahakam (jahitan layar dan Tepian Batu/Kutai Lama) pada awal 1300-an Raja Kutai Kartanegara yang berkuasa dikawasan ini, tidak menganggap diri mereka memiliki kekuasaan atas tanah (hutan mangrove) secara absolud, mengingat luasnya wilayah kerajaan ini dan sangat minimnya jumlah penduduk, sehingga tanah (hutan mangrove) bukan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan berarti sebagai unsur pembobot bagi sebuah kekuasaan Di masa pemerintahan Pangeran Dipati Tua, pusat pemerintahan Karajaan Kutai Kartanegara dipindahkan ke Pemarangan (Jembayan) sebelah hulu Sungai Mahakam, hal ini dilakukan untuk menghindari serangan bajak laut dari Philipina Selatan. Namun pada masa pemerintahan Aji Muhammad Muslihuddin, ibukota Kesultanan dipindahkan lagi ke Tenggarong. 1845 – Munculnya 1900 pemukiman pertama
Pada 11 Oktober 1844 pemerintahan kolonial Hindia Belanda menaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara. Kawasan ini menjadi begitu penting secara ekonomis bagi pemerintah kolonial sejak ditemukannya minyak menjelang tahun 1897, ketika J.H. Menten memulai dengan pengeboran percobaan di sekitar Sanga-Sanga dengan hasil yang luar biasa Pemukiman tertua yang tercatat adalah pemukiman nelayan Bugis di Pamangkaran yang telah dihuni sejak akhir atau bahkan menjelang pertengahan abad-19.
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
33
Pasca “Perjanjian Bongaja” pada 1667, sebagian orang Bugis Wajo pro Kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk pada pendudukan Aru Palakka tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda. Banyak diantara mereka yang bermigrasi ke pantai timur Kalimantan (di sekitar Pulau laut, Kalsel dan Taleke, Pasir). Generasi kedua/ketiga migran Bugis dari Taleke inilah yang diduga menetap pertama kali di Pamangkaran, karena pendudukan Belanda atas Paser dan ingin meningkatkan status sosial di tempat baru Mereka selajutnya berinteraksi dengan pedagang Bugis dari Pangkajene dan suku Bajo yang sebelumnya telah menguasai titik-titik perdagangan di Selat Makassar. Aktifitas ekonomi utama masyarakat sebagian besar bersandar pada kegiatan perikanan tangkap dan hanya sebagian kecil kawasan mangrove yang dialih fungsikan untuk kegiatan perkebunan kelapa. Di duga kawasan ini memiliki sumber-sumber mata air (payau) yang bisa dikonsumsi, sehingga menjadi salah satu daya tarik bagi para migran yang dingin menetap. 1901 – Munculnya 1945 pemukimanpemukiman baru di sekitar kawasan Delta Mahakam
34
Menjelang tahun 1902, Shell dengan konsesi yang di peroleh dari J.H. Menten, maupun Royal Dutch telah menghasilkan minyak dari ladang-ladang di Delta Mahakam Bataafsche Petroleum Maatschapij (BPM) pada 1909 juga berhasil menemukan ladang minyak Samboja Muara Badak baru mulai terdapat pemukiman sekitar tahun 1917 Muara Pantuan dan Sungai Patin (Sepatin) mulai didiami sebelum Perang Dunia II, masyarakatnya mengolah ikan asin dan udang ebi untuk di jual ke Samarinda atau dibarter dengan beras, gula dan kebutuhan lainnya. Setelah tahun 1925, Salo Palai mulai didiami imigran dari Sulawesi, sedangkan Saliki mulai didiami imigran Banjar dan Bugis. Handil 1 dibuka oleh petani Bugis dan Banjar pada 1934–1935 setelah dibukanya Handil 1 dan 2, sedangkan Handil 4 sampai 7 dibuka setelah itu, sementara Handil 8 sepenuhnya dibuka oleh migran Banjar. Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Pemukiman kecil juga mulai muncul di Tanjung Adjoe pada 1940-an (wilayah desa Tani Baru) Sungai Tiram adalah perkampungan tua yang dihuni etnik Bugis di Kecamatan Muara Jawa, sedangkan etnik Banjar dan Jawa baru bermukim di kawasan ini setelah kemeredekaan. Di awal abad-20 Handil 2 yang pada awalnya bernama Teluk Ladang merupakan wilayah pemukiman nelayan Bajo dan Bugis. 1946 – Kekacauan 1950 akibat perang dan revolusi fisik
Setelah Perang Dunia II Muara Jawa, Muara Pantuan dan Muara Badak menjadi lautan api. Satu tahun setelah kemerdekaan masih sedikit populasi dan ponggawa masih belum beraktifitas di Delta Mahakam. Nelayan menjual hasil tangkapannya langsung ke Samarinda dengan akses yang sulit dan hanya dapat menggunakan perahu.
Seperti orang-orang Bugis lainnya yang berpindah 1951 – Krisis ke daerah lain pada periode yang sama, di Sumatra 1965 ekonomi dan bagian selatan, di pinggiran kota Samarinda pemberontakan (disekitar Bukit Soeharto), serta di sekitar kota militer Bontang. Mereka yang bermigrasi ke kawasan Delta Mahakam memiliki alasan sama, yaitu menyelamatkan diri dari kekacauan ekonomi dan militer akibat pemberontakan Kahar Muzakkar serta mentaati nasehat yang diterima dari sanak saudara atau teman-teman yang memberitakan adanya lokasi lain dimana kawasan hutannya bisa diubah menjadi lahan pertanian/perkebunan yang menguntungkan. Masuknya migran baru dari Sulawesi (yang berlatar etnik dan daerah asal yang beragam) masih belum menimbulkan persaingan dalam penguasaan sumberdaya. Kedatangan para migran baru tersebut, bahkan dianggap sebagai berkah, karena diharapkan mampu “mendorong” peningkatan perekonomian kawasan. Aktifitas ekonomi utama masyarakat sebagian besar masih sebagai nelayan tangkap dan hanya sebagian kecil kawasan mangrove yang dialih fungsikan untuk kegiatan perkebunan kelapa dan pertanian. Sumbersumber mata air (payau) masih bisa dikonsumsi.
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
35
Penguasaan hutan mangrove berada di tangan para petinggi (kepala kampung), yang memiliki otoritas dalam mendistribusikan pemanfaatan dan penguasaannya. Mengingat jauhnya letak kawasan ini dengan pusat kekuasaan dan luasnya kawasan hutan mangrove yang ada, serta minimnya jumlah penduduk, keberadaan hutan mangrove masih belum menjadi sesuatu yang berharga dan berarti. 1966 – Penyelundupan Sejak awal kemerdekaan Delta Mahakam menjadi pusat dari penyelundupan internasional. 1970 – pembalakan Sejak 1967 sebagian pemilik perahu Bugis, tidak dan hanya melakukan kegiatan disektor perikanan penangkapan tangkap, namun juga menyelundupkan berbagai ikan bahan makanan dari dan ke Malaysia Timur. Pada 1970-an mulai diimplementasikan sistem konsesi dalam kegiatan kehutanan di bagian atas dari Kawasan Delta Mahakam Meskipun pada 1970-an populasi di Kawasan Delta Mahakam masih sangat kecil, namun kondisi ini mulai berubah sejak mulai beroperasinya kegiatan eksplorasi dan produksi minyak bumi. 1971 – Eksplorasi Banyak kebutuhan tenaga kerja dan mulai terjadi gelombang migrasi dari Sulawesi, akumulasi kejadian 1975 dan tersebut menciptakan pasar baru untuk produk produksi lokal, khususnya hasil perikanan dan makanan laut. minyak Muncul kebijakan yang mengedepankan bumi pertumbuhan ekonomi dengan ditopang investasi Gelombang modal asing melalui industrialisasi. Di sektor migrasi perikanan muncul industri ekspor udang beku multi baru dari nasional di kawasan Delta Mahakam, sebagai akibat Sulawesi besarnya permintaan produk perikanan di pasar Dibukanya global. fasilitas cold storage Pada 1974, mulai dibuka fasilitas cold storage yang memiliki akses ke pasar internasional, disusul pertama di dengan pembukaan cold storage lainnya di tahunKaltim tahun berikutnya. Kondisi ini memberikan dampak yang sangat mendasar bagi ekonomi lokal, sekaligus mulai memicu modernisasi dalam kegaitan perikanan di Delta Mahakam. Migran Bugis yang menguasai tehknik pertambakan, mulai mengembangkan milkfish pond pada 1974 – 1975 di Anggana dan Muara Jawa.
36
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
1976 – Berkembangnya Kehadiran cold storage ternyata mampu mendorong munculnya kelas entrepreneur yang kuat dalam sektor 1980 kelompokperikanan di Delta Mahakam yaitu, Ponggawa. kelompok punggawa Migran Bugis yang baru datang memulai terjadinya gelombang penggunaan trawl untuk menangkap ikan pada 1975, namun kegiatan ini dihentikan pemerintah dengan melarang penggunaan trawl dalam kegiatan perikanan pada 1982. Selanjutnya muncul kebijakan pertanahan yang ditujukan untuk memecahkan persoalan pertanahan yang menghambat pelaksanaan pembangunan, misalnya kompensasi pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan pasca pelarangan trawl bagi para nelayan lokal di sekitar kawasan Delta Mahakam. Ponggawa kaya dengan pengikutnya (client) serta para migran baru dari Sulawesi sejak akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an menjadikan kawasan daratan Delta Mahakam sebagai areal pengembangan pertambakan. 1981 – Tahun-tahun 1990 maraknya kegiatan pertambakan
Sejak dilarangnya trawl dalam kegiatan penangkapan ikan dan semakin besarnya kebutuhan akan udang dari pasar internasional telah memicu dibukanya areal tambak secara massal. Mereka kemudian mencoba membudidayakan bibit udang yang diperoleh dari alam dan mulai berhasil di awal 1980-an, yang kemudian banyak diikuti oleh migran Bugis lainnya. Ponggawa bekerjasama dengan perusahaan cold storage kemudian banyak memberikan bantuan finansial di awal kegiatan pertambakan. Mulai muncul kelas borjuis yang memiliki kedekatan dengan penguasa lokal dan perusahaan eksportir. Para ponggawa tersebut dengan mudah mendapatkan konsensi atas sejumlah area hutan mangrove yang sangat luas dan mampu mengakses modal dari para pengusaha eksportir perikanan. Dengan menggunakan hegemoni budaya dan sumberdaya yang dimilikinya para ponggawa semakin memperkokoh posisinya sebagai patron yang mampu mengontrol hasil produksi tambak yang sangat luas
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
37
Pendistribusian dan penguasaan hutan mangrove pada para ponggawa besar oleh Petinggi Kampung, menjadikan para ponggawa sebagai “pusat regulasi” pertanahan di aras lokal. Para ponggawa selanjutnya mendistribusikan tanah-tanah tersebut pada para petambak yang menjadi kliennya masing-masing dengan sejumlah persyaratan yang bervariasi. Aktifitas ekonomi utama masyarakat sebagian besar masih sebagai nelayan tangkap, namun sebagian mulai bergeser menjadi petambak tradisional. Konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai marak dilakukan Sumber-sumber mata air (payau) mulai tidak layak dikonsumsi Sejak 1990-an excavator mulai menggantikan 1991 – Eksploitasi tenaga manual dalam pembukaan tambak 2002 yang semakin cepat dan tidak Kegiatan perkebunan kelapa dan penangkapan ikan yang semakin menurun produksinya, memicu terkendali pengembangan tambak-tambak baru Tambak pertama di Tani Baru mulai di buka pada 1992 – 1993, pada tahun 1995 para migran mulai membuka tambak tanpa kendali Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi regional pada 19971998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “boom udang”. Kondisi ini memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya Terjadi proses aristokratisasi pertambakan yang menggerakkan kapitalisme lokal dalam bentuk diversifikasi usaha yang semakin meluas (munculnya cold storage, hatchery, pabrik es, mini market, industri pengolahan/eksportir, dst) Ironisnya sebagian besar punggawa yang berhasil adalah para migran yang datang belakangan, kondisi ini secara tidak langsung menciptakan disparitas dan marjinalisasi pada petambak kecil Aktifitas ekonomi utama masyarakat bergeser sebagai petambak tradisional dan penjaga empang.
38
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai tidak terkendali, bahkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian juga dikonversi manjadi hamparan tambak Tambak-tambak yang ada kecendrungannya dibangun dengan hamparan yang sangat luas, dengan asumsi akan mempermudah pengelolaan dan meningkatkan produksi Meskipun sebagian terbesar tambak di Delta Mahakam berstatus ilegal karena dibangun diatas area KBK, namun ironisnya pemerintah (Dephut) sebagai penguasa kawasan tidak mampu berbuat apa-apa Ketidakpastian hukum ini, menyebabkan para petambak tidak memiliki legalitas penguasaan, hanya mereka yang memiliki modal (punggawa) yang kemudian mampu mensertfikasi tambak-tambaknya 2003 – ”Tragedi Skarang Mangrove”: degradasi sumberdaya hingga konflik laten
Degradasi ekosistem mangrove, sehingga vegetasi mangrove hanya dapat dijumpai disepanjang 1 – 10 meter dari bantaran sungai Produktifitas tambak cenderung menurun Munculnya berbagai wabah penyakit yang menyerang udang Bibit alam semakin sulit diperoleh Banyak tambak menjadi terlantar Abrasi pantai dan sedimentasi semakin meluas Pencemaran oleh perusahaan pertambangan, aktifitas masyarakat dan kegiatan pertambakan Terjadi krisis air bersih, akibat hilangnya sumbersumber mata air payau Akumulasi keadaan diatas menyebabkan perusahaan eksportir kesulitan memperoleh pasokan hasil perikanan, sehingga terjadi pelumpuhan produksi yang memaksa mereka merelakan terjadinya take over atas perusahaan tersebut oleh punggawa yang sebelumnya mendapatkan modal usaha darinya Masyarakat lokal menjadi lebih apatis, individualis dan materialistik Kondisi diatas menguatkan motivasi/harapan oknum petambak/punggawa untuk mendapatkan ganti rugi lahan oleh perusahaan migas Penguasaan lahan semakin tidak jelas Konflik laten menjadi semakin terbuka
Sumber: Data Primer Diolah, 2011; Lenggono, 2004; dan Bourgeois et al, 2002 Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
39
3.2 SEJARAH PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA Berbicara tentang sejarah penguasaan dan pemilikan tanah di Kabupaten Kutai Kartanegara, khususnya di kawasan Delta Mahakam, tidaklah mungkin memisahkannya dengan keberadaan Kerajaan Kutai Kartanegara, yang ketika berkuasa teritorinya hampir meliputi semua wilayah administratif Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur, Kota Bontang, Samarinda, Balikpapan dan sebagian wilayah Kabupaten Paser dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Pada masa lalu sebelum diberlakukannya UUD Panji Selaten, diduga hak kuasa kampung atas tanah diatur oleh Petinggi Kampung yang bertindak atas nama dirinya sendiri selaku tokoh persekutuan hidup untuk mengatur rumah tangga persekutuannya secara otonom termasuk dalam pengaturan peruntukan tanah. Namun sejak diberlakukannya UUD Panji Selaten, Petinggi Kampung bertindak atas nama kerajaan selaku tokoh masyarakat yang mendapatkan legitimasi kerajaan untuk mengatur peruntukan tanah di wilayah teritorinya. Artinya sejak saat itu pengertian hak kuasa kampung mengalami perubahan yang cukup drastis, karena hanya Sultan-lah yang memiliki tampuk kekuasaan mutlak atas tanah di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Meskipun hingga kini masih terjadi kontroversi, sejak kapan UUD Panji Salaten dan UU Beraja Nanti mulai diterapkan di wilayah Kesultanan Kutai, karena ada pendapat yang menyebut UUD tersebut mulai diterapkan sejak 1635 ketika Pangeran Sinum Panji Mendapa berkuasa (Amin, 1975; dan Adham, 1979). Sementara laporan Zwager pada 1853 yang diterjemahkan Prof. Taufik Abdullah (1985), mencatat “hundang-ngundang” yang disusun dalam bahasa Melayu, bercampur dengan kata-kata Kutai dan Dayak tersebut, baru diperkenalkan pada masa pemeintahan Sultan Anum Aji Muhammad Muslihuddin (17821816). Namun yang pasti, UUD Panji Salaten yang terdiri atas 39 pasal, serta UU Beraja Nanti yang mengatur pelaksanaannya (terdiri atas 164 pasal) menjadikan Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura sebagai kerajaan yang berkonstitusi, jauh sebelum Belanda menaklukkan 40
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Kesultanan Kutai pada 1844. Di dalamnya diatur hak kuasa atas tanah diwilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, sekaligus menegaskan secara legal formal bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara sebagai penguasa tunggal atas “dusun, kampung, negeri dan teluk rantau”, dimana raja dikukuhkan sebagai penguasa di seluruh teritorial kerajaan. Hal ini sekaligus menjadi pembenar apa yang dikemukakan Tauchid (1952), bahwa sejak jaman raja-raja di Nusantara berkuasa, hampir semua hukum tanah berdasar sistem feodal, dimana segala isi negeri (terutama tanah) adalah milik mutlak sang raja. “Tanah dikuasai raja dan rakyat yang mengerjakan dengan kewajiban menyerahkan hasilnya”, akibatnya rakyat menjadi alat untuk kekuasaan dan kehormatan sang raja. “Perbudakan” model ini memposisikan raja sebagai wakil Tuhan di dunia, yang memberikan perlindungan dan rakyat diharuskan mengabdi pada raja sebagai bentuk pengabdiannya pada Tuhan dengan menyerahkan “bakti”. Raja mempunyai hak monopoli atas seluruh wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, dalam hal ini termasuk monopoli atas semua gua sarang burung, penggalian emas dan intan, serta pengambilan hasil-hasil hutan (Amin, 1979). Setidaknya pada masa berlakunya UUD Panji Selaten dan UU Beraja Nanti, status tanah di Kerajaan Kutai Kartanegara dapat di bagi dalam lima kategori (Sosronegoro, 1945 dalam Rachim, 1995). 1) Tanah Pengempoean, yaitu tanah milik sultan yang dipusakai secara turun temurun. 2) Tanah Limpah Kemoerahan, yaitu; a). Tanah yang dihadiahkan dengan surat raja (cap kuning) pada suku bangsa tertentu sebagai balas budi atas jasa-jasa yang mereka berikan pada kerajaan. b). Tanah yang dihadiahkan pada seseorang secara pribadi karena jasanya, dimana tanah tersebut dapat diwariskan. 3) Tanah Tajaran, yaitu tanah untuk perkebunan atau ladang yang menjadi milik kerajaan, jika diatasnya tidak terdapat ’tajar’ bahwa tanah tersebut sudah digarap seseorang. 4) Tanah Hoema, yaitu tanah perladangan yang dikerjakan penduduk kampung, jika selama tiga musim tanaman padi di tanah tersebut tidak dikerjakan, maka ia menjadi milik kerajaan dan boleh diserahkan pada penduduk kampung lain yang meminta izin untuk mengerjakannya. Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
41
5) Tanah Diam, yaitu tanah tempat tinggal untuk mendirikan rumah/ pondok, tanah tersebut menjadi milik perorangan yang mendirikan. Namun demikian, raja-raja Kutai Kartanegara saat itu tidak menganggap diri mereka memiliki kekuasaan atas tanah secara absolud, mengingat luasnya wilayah kerajaan dan minimnya jumlah penduduk. Sehingga tanah bukan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan berarti sebagai unsur pembobot bagi sebuah kekuasaan. Mengingat Kesultanan Kutai termasuk kategori yang disebut Van Leur sebagai kerajaan maritim, yang secara struktural berbeda dari kerajaan agraris (Abdullah, 1985). Di wilayah Kerajaan Kutai, menurut catatan Zweger bahkan tidak ditemukan tanah desa atau ulayat yang setiap tahun dibagikan pada berbagai golongan penduduk yang berhak untuk dikerjakan; peraturanperaturan yang mengikat kepentingan bersama kepada desanya dan hubungan yang mengutamakan kepentingan masyarakat umum, yang di Pulau Jawa sangat dikagumi. Meskipun demikian masyarakat setempat mengenal istilah “ rodi”, untuk kerja wajib bagi setiap penduduk yang memiliki tanah; istilah itu menjadi penjelas hak “yang dipertuan” atas sebagian dari semua hasil tanah yang dikerjakan, sebagai ganti rugi atas “kedaulatan raja” atau pajak atas tanah. Yang berhasil ditemukan Zweger di daerah ini hanyalah penerapan zakat (sesuai hukum Islam) dan hak perorangan yang melekat pada setiap orang yang pertama kali membuka tanah hutan. Umumnya sistem kepemilikan tanah di dalam wilayah kedaulatan Kerajaan Kutai Kartanegara pada masa lalu dilakukan dengan cara, meminta izin pada penguasa kerajaan (Sultan) melalui Petinggi Kampung dimana tanah tersebut berada, untuk mendapatkan hak membuka tanah, dengan jalan pewarisan dan memindah tangankan menurut hukum adat. Pada dasarnya setiap penduduk yang berdiam di dalam wilayah Kerajaan ini berhak untuk memiliki tanah perorangan. Tanah yang akan dimiliki tersebut syaratnya haruslah “tanah bebas”, artinya belum dimiliki oleh orang lain atau telah berpindah tangan karena dijual/diberikan. Tanah kerajaan yang diberikan sebagai tanah hak milik perorangan, adalah tanah
42
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
kosong atau telah ditinggalkan oleh penggarapnya sampai berpuluh-puluh tahun hingga sudah menjadi hutan rimba kembali.
3.2.1 Pra-Kemerdekaan: Kesejahteraan Bagi Kaum Aristokrat Lokal dan Kolonial Pasca penaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada 11 Oktober 1844 M, kebijakan atas pertanahan yang muncul kemudian merupakan produk campur tangan pemerintahan kolonial. Satu tahun setelah penaklukkan, Sultan Sulaiman mengeluarkan maklumat yang berbunyi: ”Segala tanah dan isinya seperti hasil hutan, pedulangan atau segala hasil dalam tanah dan di atas tanah yang ada dalam watas Kerajaan Kutai atau barang-barang yang menjadi peninggalan orang dahulu, yang terdapat dalam tanah yang disebut khazanah, semuanya seperti yang tersebut menjadi milik Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martapura beserta rajanya”. Artinya tidak seorangpun yang boleh mengambilnya, jika tidak dengan perkenan atau titah sultan yang memerintah Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martapura (Amin, 1975). Kebijakan ini menjadi dasar pijakan bagi Pemerintahan Kolonial Belanda sebagai yang dipertuan oleh Kerajaan Kutai Kartanegara untuk melakukan hegemoni penguasaan pertanahan atas daerah jajahan. Hal tersebut dilakukan pemerintah kolonial untuk menjamin kelancaran investasi modal-modal partikelir, khususnya dari Belanda dan sekaligus untuk membenarkan tindakan mereka dalam menguasai seluruh tanah di wilayah jajahan. Kondisi ini diperkuat dengan ditandatanganinya Lange contract antara penguasa Kerajaan Kutai, Sultan Sulaiman dan Everard Christian Frederick Happe, residen Kalimantan yang mewakili Pemerintah Hindia Belanda pada 17 Juli 1863. Sekaligus menandai dimulainya pemerintahan swapraja di daerah ini, yang kemudian dikenal dengan sebutan Landschap Kutai. Pemerintah Hindia Belanda kemudian membuat suatu dasar hukum, yang terkenal dengan istilah ”domeinler” yang tercantum pada Pasal 1 Agrarisch Besluit (1870), sehingga terbukalah kesempatan bagi pemerintah kolonial Hindia
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
43
Belanda untuk menguasai tanah-tanah, diluar yang sungguh-sungguh dipakai oleh rakyat. Jelasnya, dengan dicantumkannya ”domeinler” di dalam Agrarisch Besluit itu pemerintah kolonial menjadikan dirinya sebagai pemilik mutlak atas tanah jajahan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi pemberlakuan politik pintu terbuka, yang banyak memasukkan modal asing, termasuk modal dari Belanda di tanah jajahan. Namun demikian, Agrarische Wet belum diberlakukan di luar pulau Jawa dan Madura, sehingga sejumlah perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara pada masa itu, harus meminta izin atau konsesi dari Sultan. Akibatnya di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, hukum tanah bersifat dualistis, yaitu; terdapat wilayah-wilayah yang status tanahnya dikuasai hukum Eropa dan hukum adat (kesultanan). Hak atas tanah bagi modal partikelir di daerah pemerintahan tidak langsung dinamakan concessie dan untuk daerah pemerintahan langsung disebut erfpacht. Hak concessie pernah diberikan Aji Sultan Muhammad Sulaiman pada 1882 untuk kegiatan penambangan batu bara yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda selama 75 tahun. Juga diberikan pada J.H. Menten pada 1889 untuk kegiatan eksploitasi minyak Sanga-Sanga dan Mathilda Balikpapan. Pada tahun 1902, Sultan juga memberikan konsesi penambangan minyak kepada Koetei Exploratie Maatscappij (KEM). Pemberian konsesi penambangan minyak masih berlangsung terus hingga tahun 1922. Seiring dengan masuknya modal-modal partikelir yang membutuhkan hamparan tanah luas, pemerintah kerajaan mulai memungut pajak upeti pada rakyat serta daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya. Padahal sebelumnya pihak kerajaan hanya memungut pajak dan cukai “puluhan” dari pada pedagang, dengan memungut sepersepuluh persen dari barangbarang yang dibawanya. Namun dalam perkembangannya pajak yang dipungut kerajaan ternyata juga meliputi; uang kepala, sewa tanah, pajak perahu, serta pajak penghasilan (intan/emas). Meskipun saat itu penghasilan yang diperoleh kerajaan sudah sangat besar, berupa; gaji dari landschap Kutai, cukai dari hasil tanah milik pribadi sultan yang sangat 44
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
luas, hasil penjualan sarang burung milik sultan, ganti rugi penguasaan Mahakam Hulu dan Vierkante-Pall Samarinda oleh Pemerintah Hindia Belanda, juga cukai hasil hutan, pungutan barang-barang perdagangan, serta cukai tambang batu bara dan royalti minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschapij). Dari berbagai aktifitas pertambangan, kerajaan memperoleh keuntungan finansial yang luar biasa besarnya, sampai dengan tahun 1899 Sultan Kutai Kartanegara secara pribadi menerima penghasilan bagi hasil sebesar f. 2.000.000,-, belum termasuk hasil dari pungutan pajak (Magenda, 1994). Kondisi tersebut terjadi seiring ditemukannya minyak di Sanga-Sanga (kawasan Delta Mahakam) dan lapangan Mathilda Balikpapan oleh J.H. Menten yang mendapatkan konsesi pada 1889 dari Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Sejak saat itu keberadaan kawasan Delta Mahakam mulai dirasakan nilai manfaatnya oleh elit penguasa lokal saat itu. Situasi sejahtera tersebut, menurut Megenda (1994) memungkinkan para aristokrat Kutai Kertanegara memiliki standar kehidupan yang lebih tinggi dari aristokrat-aristokrat manapun di Nusantara bahkan dari orang-orang Eropa sekalipun. Dengan cara demikian Kesultanan Kutai Kertanegara memperoleh legitimasi dimata kerajaan-kerajaan yang telah ada sebelumnya, serta aristokrat-aristokrat di Jawa dan daerah lainnya di Nusantara. Namun ironisnya penghasilan yang diperoleh kerajaan tersebut menurut Amin (1975), sepenuhnya hanya dipergunakan untuk kesejahteraan pribadi raja beserta keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan istana yang indah dan modern di Kota Tenggarong, diadakannya perayaan erau setiap tahun untuk menyanjung-nyanjung kemegahan keluarga raja, serta melakukan ‘pesta’ bersama pejabatpejabat Pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kelak berbagai realita tersebut akan menjadi salah satu penyebab ”ketidaksenangan” rakyat yang mengkristal menjadi sebuah penolakan atas kembalinya model pemerintahan Swaparaja (feodal) di Kutai. Ironisnya pemerintahan yang berlangsung saat itu tidak disokong lapisan aparatus yang menyebar dan dapat menjangkau seluruh lapisan Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
45
wilayah beserta unit-unit sosialnya, akibat orientasi para penguasa Kutai Kartanegara yang lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Kondisi ini menyebabkan Sultan sulit mengontrol secara langsung pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya agraria dalam teritorinya, meskipun sultan telah mengangkat sejumlah Demang untuk mewakilinya. Seperti dilaporkan Levang (2002), sejumlah orang Banjar yang datang dan bermukim di Teluk Ladang (di sekitar kawasan Delta Mahakam) pada tahun 1930-an merasa perlu meminta izin dari Demang Sungai Tiram sebelum menetap di kawasan tersebut. Namun luasnya wilayah teritori kerajaan, menyebabkan banyak imigran, bahkan kegiatan usaha asing yang menetap/beroperasi dikawasan yang tidak “tersentuh” aparatur pemerintahan tidak melaporkan keberadaan mereka. Seperti dialami sejumlah migran Bugis yang menetap di sekitar kawasan Delta Mahakam sejak akhir abad-19. Meskipun menjelang kemerdekaan, para petinggi kampung Muara Pantuan dilaporkan selalu menghadap Sultan Kutai Kartanegara setiap tahunnya dengan membawa sejumlah setoran pajak uang kepala/belasting. Sebuah perusahaan Jepang dilaporkan juga membuka usaha penebangan kayu secara ilegal, karena merasa leluasa beroperasi tanpa meminta izin konsesi, sehingga terpaksa ditutup dan oleh pemerintah diberikan konsesi di Sangkulirang pada 1932. Sejak saat itu di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara setidaknya beroperasi dua perusahaan perkayuan milik Jepang, Nanyo Ringyo Kabushiki Kaisa di Sangkulirang dan Yamaka di dekat Delta Mahakam, selain keberadaan penggergajian uap pertama di Samarinda yang dibangun oleh Gray pada 1895 dan konsesi penebangan yang diberikan pada NV. Seliman Hout et Landbouw Maatschappij pada 1914 (Departemen Kehutanan, 1986). Pungutan pajak “warga swapraja” di seluruh wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara secara efektif mulai dilakukan sejak Sultan Aji Muhammad Alimuddin (1899–1910) berkuasa. Ketika pemerintah kerajaan memberlakukan UU tahun 1904 yang mengatur kegiatan pengumpulan pajak, dimana pasal pertamanya berbunyi; ” Mulai dari tahun ini yaitu 1321 H, Kepala Negeri musti menerima uang kepala dari orang-orang 46
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
yang kena bayaran itu menurut buku yang sudah ditetapkan oleh Sri Paduka tuan Sultan tersebut. Jikalau sudah menerima habis uang kepala itu maka Kepala Negeri atau suruhannya musti mengantar itu uang kepala ke Tenggarong. Buat kesusahan dari memungut uang kepala maka Kepala Negeri akan dapat pembayaran dari kerajaan”. Pada 16 September 1931, Sultan Aji Muhammad Parikesit juga memberlakukan Rondschrijven No: 1677/3-ZB, yang mengatur ketentuan hak-hak tanah untuk perkebunan tanaman keras. Selain peraturan mengenai tata cara penguasaan dan pemanfaatan tanah di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara yang dikeluarkan enam tahun sebelumnya (Rachim, 1985). 1. Barang siapa hendak membikin kebun tanaman yang bertahun, wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada Penjawat (Camat) dimana tempat tanah yang diminta. 2. Tanah yang diminta itu musti diterangkan satu persatu dengan sebenarnya dan disebutkan juga luas tanah tersebut. 3. Segala tanah yang diminta untuk dijadikan kebun harus diselidiki dengan seksama, apabila luasnya tidak sebanding dengan kesanggupan si pemohon atau dipandang tidak cukup mengerjakan dengan segera maka tanah yang diminta itu harus dikurangi dan ditentukan berapa luasnya tanah yang telah diusahakan. 4. Dari tanah-tanah yang diminta itu terlebih dahulu yang bermohon memeriksa bersama-sama ”Petinggi Kapung” supaya jangan sampai terambil hak orang lain, seperti tanah bekas huma (ladang) yang masih akan dikerjakan atau dibuat keperluan lainnya. 5. Tanah yang belum diperiksa oleh Kepala ”Penjawat” (Camat) tidak boleh dikejakan, sedangkan tanah yang telah diperiksa akan dibuktikan dengan sehelai surat keterangan. Manakala seseorang telah mendapatkan izin untuk menggarap sebidang tanah dan diatasnya terdapat kuburan, maka orang tersebut tidak boleh mencabut tanda-tanda yang ada, serta wajib menjaganya jangan sampai terbakar. Demikian pula jika di tempat tersebut terdapat pohon buah-buahan yang telah ditanam oleh orang yang terdahulu,
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
47
dibawah pohon tersebut tidak boleh ditanam tanaman keras (tahunan). 6. Manakala seseorang telah mendapatkan izin untuk menggarap sebidang tanah, maka ia harus segera mengerjakannya. Bila tanah tersebut belum dikerjakan dalam jangka satu tahun maka izin tersebut dicabut kembali dan kerajaan boleh memberi izin pada orang lain untuk mengerjakannya, sedangkan biaya yang sudah dikeluarkan tidak akan diganti. 7. Tanah belukar bekas perladangan yang tidak dikerjakan semala lima tahun berturut-turut izinnya akan dicabut dan akan diberikan pada orang lain untuk mengerjakannya, terkecuali ada tanda-tanda bekas dikerjakan oleh orang yang terdahulu. 8. Si pemilik kebun rotan atau kebun buah tidak mempunyai hak atas perwatasan di luar areal kebun tersebut. 9. Seseorang tidak berhak lagi atas tanah pusaka dari nenek moyangnya walaupun telah ada landasan hukumnya yang dikeluarkan oleh pemerintah kerajaan yang terdahulu, karena pemerintah Kerajaan Kutai telah mencabut kembali hak tersebut dari orang-orang yang pernah dikaruniai tanah (hak apanage). Ini berarti tanah jabatan telah ditiadakan dan kembali menjadi hak kerajaan. 10. Pengecualian dari hal tersebut di atas adalah mereka yang telah memperoleh hak erfacht di dalam tanag konsesi akan memperoleh hak milik atas tanah yang disyahkan oleh kerajaan. 11. Mereka yang belum memperoleh surat keterangan resmi dari Kepala Penjawat dilarang memasang tanda-tanda pemilikan atas tanah, sedangkan bagi mereka yang belum mengerjakan ladangnya lebih dari enam bulan setelah peraturan ini dikeluarkan, izin akan ditarik kembali oleh kerajaan. 12. Jika seseorang hendak menjual kebun, maka harus diperiksa lebih dahulu, supaya jangan terjual tanah kosong yang tidak ada tanamannya.
48
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
13. Mengenai tanah pekarangan rumah yang berada di ibu kota kecamatan dan yang diperoleh karena warisan atau pembelian, hak milik atas tanah tersebut diakui oleh pemerintah Kerajaan Kutai. Pada zaman pendudukan Jepang umumnya kebijakan pertanahan di Wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara dan khususnya kawasan Delta Mahakam tidak mengalami perubahan yang berarti, yang ada adalah pemanfaatan tanah untuk peningkatan pangan bagi kepentingan ekonomi dan pasukan pendudukan Jepang. Untuk mendukung program tersebut, pemerintah militer Jepang tetap mempertahankan status Swapraja Kerajaan Kutai, sultan tetap diperkenankan menduduki tahtahnya dan dinobatkan sebagai Koo. Artinya Sultan Kutai dianggap sebagai keluarga Raja Jepang yang diharapkan dapat mempergunakan pengaruhnya untuk mendukung ekspansi militer Jepang. Meskipun Swapraja Kutai tetap diakui dipimpin oleh seorang sultan, namun keberadaannya berada dibawah pemerintahan Militer Samarinda Ken dengan kontrol langsung dari Seibu Kutai Bunken. Untuk kepentingan ekspansi militernya, pemerintah militer Jepang menganjurkan rakyat membuka tanah-tanah hutan untuk perladangan dan persawahan seluas mungkin sesuai dengan kemampuan tenaga kerja yang tersedia, namun pemerintah militer Jepang, tidak memperdulikan status hukum tanah yang digarap oleh rakyat. Namun kebijakan pemerintah pendudukan Jepang, tidak dapat berlaku efektif di kawasan Delta Mahakam, akibat taktik “bumi hangus” Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yang membakar dan menghancurkan sarana-prasarana produksi pertambangan minyak dikawasan ini, dengan maksud tidak dapat digunakan musuh. Juga serangan Jepang ketika menduduki kota Balikpapan dan Samarinda, yang mengakibatkan kerusakan sejumlah rumah dan perahu-perahu penduduk di sekitar kawasan Delta Mahakam yang menjadi pintu masuk bagi penaklukan kedua kota tersebut. Akibatnya suasana perkampungan menjadi sepi karena penghuninya memilih mengungsi ke daratan Kalimantan yang lebih aman. Setelah tentara pendudukan Jepang berkuasa sepenuhnya di Indonesia, ditetapkanlah UU No. 1 tentang “Menjalankan Pemerintahan Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
49
Balatentara”. Di dalamnya diatur ketentuan, bahwa balatentara Jepang untuk sementara waktu menjalankan pemerintahan militer di daerahdaerah yang didudukinya, dimana wilayah Kalimantan Timur di kendalikan oleh Pemerintah Militer Angkatan Laut (Armada Selatan ke-2) yang berkedudukan di Makassar. Namun demikian, semua badan pemerintah dengan kekuasaannya, serta hukum dan perundang-undangan produk Pemerintah Hindia Belanda untuk sementara waktu tetap diakui sah, selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Militer Jepang. Pada prinsipnya Pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan politik “mengabdi pada kepentingan perang”, termasuk di dalam melaksanakan kebijakan pertanahan di daerah pendudukan.
3.2.2 Pasca-Kemerdekaan: Totalitas Hak Menguasai Negara Setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, daerah-daerah Swapraja warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang, masih mendapatkan tempat di dalam UUD 1945. Di dalam Bab IV, Pasal 18 disebutkan bahwa; ”Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Berdasarkan ketentuan tersebut, semua daerah Swapraja yang belum/tidak dihapuskan oleh pemerintah pendudukan Jepang, dianggap tetap berlangsung berikut peraturannya. Pemerintah kolonial Belanda dalam usahanya untuk mengembalikan sistem penjajahannya di Indonesia, melakukan berbagai macam upaya, baik dengan aksi-aksi militer maupun politik memecah belah. Van Mook melalui konfrensi Malino (Juli 1946), Pangkal Pinang (Oktober 1946) dan Denpasar (Desember 1946), berhasil membentuk negara-negara boneka, termasuk Negara Federasi Kalimantan Timur (FKT) melalui wadah Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur (DGKKT). Dewan ini terdiri dari Swapraja Kutai, Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Neo Swapraja Pasir, dengan Aji Muhammad Parikesit (Sultan
50
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Kutai Kartanegara) sebagai ketua eksekutifnya. Sedangkan pelaksana pemerintahan harian dibentuk Bestuurcollege yang diketuai Aji Raden Afloes. Negara Federasi Kalimantan Timur ini kemudian diresmikan oleh Letnan Gubernur Jenderal Van Mook pada September 1947. Sampai dengan pengakuaan kedaulatan bangsa Indonesia oleh Belanda, sebagian besar masyarakat Kalimantan Timur yang berjiwa “Republiken”, tidak pernah mendukung berdirinya Federasi Kalimantan Timur yang dianggap menghianati proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pemerintahan Belanda di Kalimantan Timur sendiri mulai berakhir setelah Hollestelle (residen Kalimantan Timur terakhir) menyerahkan kekuasaannya pada Aji Raden Afloes sebagai wakil Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Meskipun demikian secara de facto Federasi Kalimantan Timur, masih tetap eksis menguasai pemerintahan Kalimantan Timur. Pada masa-masa transisi tersebut, Kerajaan Kutai Kartanegara kembali turut ambil bagian dalam usaha pembentukan Negara Kalimantan, sebagai usaha untuk memperpanjang usia keswaprajaan mereka (panitia pembentukannya diketuai A.P. Kartanegara, adik Sultan Kutai Kartanegara). Kondisi ini menyulut ”kemarahan” dari sejumlah organisasi kemasyarakatan Kalimantan Timur yang menuntut dihapusnya swapraja dan digabungkannya Federasi Kalimantan Timur menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Tuntutan tersebut berhasil memaksa Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur (DGKKT), untuk menyetujui penggabungan daerah Kalimantan Timur ke dalam NKRI, hingga dikeluarkannya Keppres RIS No. 127 tahun 1950 pada 24 Maret 1950 yang menandai penghapusan Federasi Kalimantan Timur. Meskipun demikian, penguasa tradisional di wilayah ini yang terdiri atas empat kesultanan masih tetap diakui, sesuai Surat Keputusan Mendagri No. 186/OPB/92/14 tertanggal 29 Juni 1950, tentang pembentukan Daerah Istimewa/Swapraja Kutai, Bulungan dan Berau (meliputi Kesultanan Sambaliung dan Gunung Tabur). Sejak saat itu, Sultan Kutai menjadi Kepala Daerah Istimewa Kutai (setingkat daerah kabupaten), semantara ibukotanya dipindahkan dari Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
51
Tenggarong ke Samarinda, sebelum kembali dipindahkan ke Tenggarong melalui sebuah resolusi yang dikeluarkan DPRD Peralihan pada 1957. Di dalam status keswaprajaannya, pada 1 Oktober 1953 pemerintah Daerah Istimewa Kutai masih sempat mengeluarkan peraturan mengenai tata cara pinjam sewa tanah di dalam wilayah Swapraja Kutai. Pada periode ini, juga ditandai dengan maraknya kegiatan penyelundupan oleh kapal-kapal Bugis dari Tawau (Malaysia) ke kota-kota di pantai timur Kalimantan (khususnya ke Tarakan dan Samarinda) dengan menggunakan jalur perairan kawasan Delta Mahakam yang terlindung. Para penyelundup membawa peralatan rumah tangga, pecah-belah, pakaian, barang-barang elektronik, makanan kaleng hingga bawang putih. Sementara dari kawasan ini mereka mengangkut lada, karet, kelapa, produk hutan dan perikanan. Sejak masa perang revolusi, Delta Mahakam juga menjadi salah satu tempat persembunyian para pejuang kemerdekaan (Levang 2002). Kawasan ini pun dilaporkan pernah menjadi basis perompakan kapal-kapal dagang yang keluar-masuk Sungai Mahakam. Praktis sejak 1950, kawasan Delta Mahakam yang termasuk dalam Daerah Istimewa Kutai seolah-olah kembali ke masa kesultanan, karena diperintah secara tunggal. Sampai diundangkannya UU No. 27 Tahun 1959, ketika Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi tiga Daerah Swatantra Biasa, yaitu Daerah Tingkat II Kutai, Kotapraja Samarinda dan Balikpapan. UU ini sekaligus menghapus keberadaan tiga Daerah Istimewa/Kesultanan yang ada di Kalimantan Timur, mengingat tidak disebutnya status Daerah Istimewa Kutai, Bulungan dan Berau di dalamnya. Realisasi penghapusan Daerah Swapraja/Istimewa Kutai secara formal, dilakukan pada 20 Januari 1960, ketika Kepala Daerah Tingkat II Kutai pertama dilantik di Samarinda oleh Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Timur. Peristiwa tersebut menjadi penutup sejarah pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara yang telah berusia + 660 tahun. Sekaligus membawa konsekuensi beralihnya kewenangan memungut royalti kegiatan pertambangan dan pajak kegiatan ekonomi ke tangan Pemerintah Pusat.
52
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Sejak saat itu, hukum pertanahan di Kutai Kartanegara mengacu kembali pada rumusan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, bahwa; ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Konsepsi inilah yang kemudian disebut sebagai Hak Menguasai Negara, yang menjadi dasar perumusan UUPA 1960. Di dalam kebijakan pertanahan, “Hak Menguasai Tanah” menjadi hak tertinggi yang dikenakan terhadap tanah melebihi hak apapun, termasuk hak milik. UUPA memberi kewenangan yang kuat dan sangat luas pada Negara melalui ”Hak Menguasai Negara”, seperti dinyatakan UUPA. Meskipun telah menghapuskan asas domein, UUPA masih memberikan kekuasaan yang besar dan wewenang yang sangat luas bagi Negara untuk mengatur alokasi atas sumber-sumber agraria. Akibatnya eksistensi hak-hak rakyat atas sumberdaya agraria dan kebijaksanaan alokasi sumberdaya alam menjadi sangat tergantung pada suasana politik-hukum dan kepentingan Negara (kekuasaan). Panasnya situasi politik pada dasawarsa 1960-an di Indonesia, ternyata juga mengimbas pada kehidupan politik dan pemerintahan di Kalimantan timur. Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman, sebagai pemilik otoritas tertinggi pada masa darurat perang di Propinsi Kalimantan Timur, melakukan banyak intervensi terhadap kegiatan pemerintahan daerah. Pada masa itu banyak pejabat daerah yang berseberangan dengan kebijakan Penguasa Perang Daerah (Peperda) dijebloskan ke rumah tahanan, diantaranya adalah Bupati Kutai pertama, Aji Raden Padmo beserta keluarganya yang dituduh bekerjasama dengan subversif asing. Sikap Suhardjo sebagai Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman yang anti feodalisme tersebut, dimanfaatkan oleh Front Nasionalis yang berhasil mengorganisir massa untuk melakukan penghancuran terhadap Keraton Kutai di Tenggarong. Akibatnya sebagian besar patung-lambang kesultanan, gambar-gambar sultan beserta pakaianpakaian kebesarannya dibakar, tiang bendera kerajaan yang tingginya 30 meter ikut dirobohkan (Soetoen, 1975). Peristiwa pengganyangan
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
53
terhadap feodalisme ini, berlangsung berbarengan dengan aksi konfrontasi dengan Malaysia. Masyarakat melalui penguasa-penguasa setempat seperti camat dan petinggi/kepala kampung pun diwajibkan mengerahkan funds and forces-nya, untuk mensukseskan jalannya revolusi. Seperti menyediakan alat-alat pengangkutan, tenaga, serta kesediaan untuk selalu menghadiri rapat-rapat raksasa/akbar, ceramah-ceramah/indoktrinisasi dan seterusnya. Di bidang administrasi kedaerahan banyak ditunjuk pemimpin-pemimpin yang lebih banyak menonjolkan kekerasan dan kekuasaan daripada kebijakan yang berdasarkan hukum, kebijakan pertanahan pun mengalami couptasi. Menurut Soetoen (1975), “pada masa itu seorang bupati dapat diperintah oleh seorang sersan, demikian juga seorang camat yang tidak mampu melaksanakan tugas revolusi dapat diganti begitu saja”. Baru pada 1967 ketika rezim Orde Baru berkuasa, kondisi pemerintahan di Kabupaten Kutai mulai berjalan lebih kondusif. Pada masa tersebut muncul gagasan pemekaran wilayah, untuk mengantasipasi sulitnya pelaksanaan pembangunan, serta pengawasan dan pembinaan daerah, akibat luasnya wilayah Kebupaten Kutai. Berdasarkan resolusi DPRGR bernomor 5/Res/DPRGR/KK/1967, Kabupaten Kutai pernah diwacanakan dibagi menjadi tiga, Kabupaten Kutai (induk) dengan ibukota Tenggarong, Kabupaten Ulu Mahakam dengan ibukota Barong Tongkok dan Kabupaten Pantai yang wilayahnya meliputi kawasan Delta Mahakam dengan ibukota Samboja. Meskipun gagasan tersebut dimentahkan Gubernur Kalimantan Timur yang waktu itu baru dijabat A. Wahab Syahranie, yang lebih memilih mengoptimalkan peranan daerah Kotamadya Samarinda dan Balikpapan, sehingga dapat melaksanakan otonomi seluas-luasnya sesuai Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966. Namun ide tersebut hingga saat ini masih terus ”berkobar”, mewujud dalam tuntutan pemekaran Kabupaten Kutai Pantai yang wilayahnya juga meliputi sebagian besar kawasan Delta Mahakam. Atas dasar pengoptimalan peranan daerah Kotamadya Samarinda dan Balikpapan, dikeluarkanlah SK Gubernur Kalimantan Timur No. 55/ 54
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
TH-Pem/SK/1969, tentang Penyempurnaan dan Penegasan SK Gubernur Kalimantan Timur No. 18/TH-Pem/SK/1969, mengenai penetapan batas dan luas daerah Kotamadya Samarinda dan Balikpapan. Sejak saat itu wilayah Kabupaten Kutai seluas 2.947 Km², yang meliputi; Kecamatan Palaran, Kecamatan Sanga-Sanga dan sebagian Kecamatan Samboja, serta Kecamatan Muara Jawa yang wilayahnya melingkupi sebagian kawasan Delta Mahakam, diserahkan pada Pemerintah Kotamadya Samarinda. Artinya, kawasan Delta Mahakam secara administratif pernah berada di bawah dua otoritas pemerintahan, yaitu Kabupaten Kutai dan Kotamadya Samarinda, sebelum dikembalikan lagi ke Kabupaten Kutai pada 1987, sesuai PP No. 21 tahun 1987. Sementara di level pusat, pemerintahan Orde Baru “dipusingkan” oleh tingkat inflasi yang sangat tinggi dan hutang luar negeri yang amat besar. Keadaan ini sangat menghambat pelaksaanaan Tap MPRS No. XXIII/MPRS/1966, yang mengamanatkan pembaharuan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan, akibat keterbatasan dana, pengalaman dan penguasaan teknologi untuk menggali dan mengolah sumber-sumber ekonomi potensial yang dimiliki negara. Salah satu tindakan pertama pemerintahan Orde Baru adalah membuka lebar-lebar semua pintu ke dunia Barat, tidak hanya ke negara-negara Eropa tetapi juga ke Amerika dan Jepang. Pemerintah menempuh cara pemanfaatan modal, teknologi dan pengalaman luar negeri, dengan menetapkan UU No. 1 tahun 1967 (ditandatangani Presiden Soekarno sebelum lengser), tentang Penanaman Modal Asing. Untuk lebih menarik penanam modal asing undang-undang ini juga memuat ketentuan tentang pembebasan lahan, serta kelonggaran perpajakan dan fasilitas lainnya, yang diharapkan mampu mengundang secara besar-besaran penanaman modal besar, baik modal asing maupun dalam negeri. Selanjutnya melalui instrumen UU No. 5 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, penguasaan dan prosedur pengelolaan hutan pun diatur secara tegas oleh negara. Unifikasi hukum nasional ini memliki arti strategis dalam mengamankan kepentingan negara dan para pemodal besar, seperti diamanatkan UU No. Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
55
1 tahun 1967, karena akan menggantikan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, yang sebagian besar berasal dari zaman kolonialisme Belanda dan feodalisme lokal yang beranekaragam coraknya. Hasilnya seperti yang diharapkan pemerintah, sebuah konsorsium internasional (baca: IGGI) menyetujui penangguhan pembayaran hutang dan nilai rupiah dapat distabilkan dengan mengaitkannya dengan dollar AS. Sebagai gantinya, sebagian besar milik asing yang disita pada 1957 sedikit demi sedikit dikembalikan kepada pemiliknya dan konsesikonsesi baru diberikan, khususnya konsesi minyak bumi dan kehutanan (Lombard, 2005). Yang datang mengalir tidak hanya modal, tetapi juga para ahli yang kini bersifat “internasional”. Sementara konfrontasi dengan Malaysia segera dihentikan dan Indonesia menjadi anggota ASEAN, pengelompokan negara-negara pro-Barat. Berbagai prakondisi ‘pembangunanisme’ ekonomi politik Orde Baru tersebut menurut Damanhuri (2009), dilatarbelakangi oleh beberapa tesis berikut; pertama, memberikan prioritas utama untuk pencapaian target pertumbuhan ekonomi tinggi, yang dalam penafsiran dan implementasinya diserahkan pada beberapa tim khusus ekonomi (Tim Widjojo, Tim CSIS, Tim Sumarlin dan Tim Habibie), yang secara teknokratis menempatkan aliran modal Barat dan Jepang dalam rangka industrialisasi subtitusi import (ISI) maupun promosi ekspor (IPE). Kedua, membangun setting politik yang menempatkan presiden, ABRI, birokrasi dan Golkar, sebagai pencipta stabilitas politik yang monolitik untuk mendukung at-all-cost suksesnya program-program ekonomi. Ketiga, menempatkan target spesifik swasembada beras dengan memanfaatkan gelombang “revolusi hijau”, sebagai penyangga dasar terciptanya stabilitas ekonomi politik. Keempat, memberikan fasilitas dan perlindungan tarif maupun non tarif kepada kelompok big-businnes (konglomerasi) yang diasumsikan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi. Dan kelima, memilih langka represi politik dan militer dalam menghadapi setiap halangan, gangguan dan ancaman terhadap semua instrumen ekonomi dan politik yang tercipta.
56
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Di dalam prakteknya keberadaan UU No. 5 Tahun 1967, telah menyebabkan pemerintah daerah di Kalimantan Timur menikmati desentralisasi kewenangan pengelolaan hutan. Kala itu peraturan perundangan membolehkan Gubernur dan Bupati menerbitkan konsesi kayu dengan luas tidak melebihi 5.000 Ha. Sementara pemerintah pusat berwenang menerbitkan konsesi dengan luas 5.000 Ha s/d 10.000 Ha. Karena prosedur untuk mendapatkan konsesi hutan dari pemerintah pusat lebih sulit daripada yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati, dalam prakteknya kegiatan penebangan kayu lebih banyak yang menggunakan izin dari pemerintah daerah (Simarmata, 2008). Besarnya skala penebangan kayu melalui skema ini tidak lepas dari banyaknya penyimpangan dalam prakteknya. Konsesi lebih banyak diberikan kepada keluarga dekat para Gubernur dan Bupati. Namun demikian, sejumlah penduduk lokal yang tinggal di sekitar dan dalam hutan, walau hanya mendapatkan izin dari Camat, sudah berani menebang kayu di hutan (Magenda 1991). Kebijakan Dirjen kehutanan yang didasarkan atas pertimbangan, “pengusaha besar maupun kecil harus diberikan kesempatan yang sama, sesuai dengan kekuatannya masing-masing”, setidaknya ikut memperparah terjadinya penyimpangan yang terjadi. Ketika luasan area hutan yang dieksploitasi di setiap propinsi, 70 – 80 persen diberikan kepada pengusaha besar sebagai konsesi dan 20 – 30 persen diberikan pada pengusaha kecil, dengan izin tebang dan persil tebangan (Dephut, 1986). Setidaknya menjelang tahun 1970 di Kabupaten Kutai telah beroperasi 272 unit perusahaan (kappersil) dengan luas area penguasahaan mencapai 368.650 Ha, belum termasuk izin pengusahaan hutan seluas 497.600 Ha yang dikeluarkan Gubernur Kalimantan Timur (Soetoen, 1975). Kondisi inilah yang kemudian memicu munculnya fenomena penebangan kayu secara massal dan dapat dilakukan oleh siapapun dengan moda produksi tradisional, yang oleh masyarakat Kalimantan Timur dikenang sebagai masa banjirkap. Dimana penduduk menebangi kayu di dalam hutan, lalu menumpuknya di tepi sungai pada musim kemarau dan menghanyutkan kayu-kayu bundar tersebut ke log pond Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
57
yang berada di sepanjang Sungai Mahakam ketika musim penghujan datang, sebelum dikapalkan ke Jawa/luar negeri. Peristiwa pembabatan hutan secara kolosal tersebut, terjadi menjelang tahun 1970 hingga awal 1980-an. Menariknya seluruh konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan baik semasa banjirkap maupun setelah pemberlakuan PP No. 21/1970, tidak satupun yang berlokasi di delta Mahakam (Simarmata, 2008). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh minimnya potensi tegakan kayu di kawasan Delta Mahakam yang dianggap ekonomis untuk diperdagangkan, selain faktor pemberian izin pemanfaatan hasil hutan yang dikuatirkan bertumpang-tindih dengan kegiatan pertambangan yang dianggap lebih menguntungkan. Keberadaan konsesi pertambangan di kawasan Delta Mahakam juga tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan UU No.11 tahun 1967, tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. UU ini dimaksudkan untuk menjaring “para pemain asing” disektor pertambangan yang padat modal. Salah satu kawasan yang ditawarkan adalah pemberian konsesi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Blok Mahakam, yang pada 1970 dimenangkan oleh Total E&P Indonesie bersama Japex atau Inpex Coorporation. Setelah melakukan eksplorasi selama 2 tahun, pada tahun 1972, Total yang berkantor pusat di Paris dan mulai membuka kantornya di Jakarta pada 1968 ini, akhirnya menemukan ladang minyak Bekapai pada 1972 dan Handil pada 1974, di lepas pantai Delta Mahakam. Kedua lapangan minyak ini berproduksi pada 1974 dan 1975, puncak produksinya terjadi pada 1977 yang mencapai 230.000 barel minyak per hari (lihat Sub Bab 2.1.1 Bonanza Migas Blok Mahakam). Setidaknya pada 1971, di pantai timur Kalimantan telah beroperasi 8 buah perusahaan internasional, diantaranya Total (Prancis), British Petroleum (Inggris), Shell (InggrisBelanda), Roy Huffington (USA), Union Oil (USA), Kyusu (Jepang), Continental (USA) dan perusahaan minyak negara Pertamina (lihat Gambar 4.1) Pada tahap selanjutnya Total E&P Indonesie yang pada 1999 berganti nama menjadi Total Finaelf Indonesie ini (hasil merger Compagnie Francaise de Petroles yang didirikan pada 1924 dengan PetroFina yang 58
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
berdiri pada 1920). Menemukan potensi Hidrokrabon yang sangat besar di lapangan gas alam Tambora, Tunu, Sisi, Nubi dan Peciko. Produksi hidrokarbon dari Blok Mahakam yang dikelola Total Finalelf Indonesie, puncak produksinya terjadi pada Maret 2004, mencapai 566.500 boepd termasuk 2.725 MMscfd gas. Sampai tahun 2009, telah 1000 sumur yang di bor di blok Mahakam oleh Total Finaelf Indonesie, dengan total produksi 13 CTF gas dan lebih dari 1 juta barel minyak dengan investasi senilai US $ 13 Milyar. Setidaknya mempekerjakan 4.000 karyawan dan secara tidak langsung menghasilkan pekerjaan bagi 20.000 orang. Setelah beroperasi selama 20 tahun, pada 1991 Total Finaelf Indonesie kembali mendapatkan perpanjangan kontrak keduanya sampai dengan 2017 dari Pemerintah Pusat.
Gambar 3.1 Pembagian Konsesi Minyak Bumi pada 1971 menurut The Time 1971 Sumber: Lombard (2005)
Sementara itu besaran potensi perikanan di kawasan Delta Mahakam dan sekitarnya, ternyata juga menarik sejumlah PMA dan PMDN yang bergerak di sektor industri perikanan ekspor untuk menanamkan modalnya di wilayah ini. Di dalam prakteknya para pemodal asing biasanya mengajak pemodal nasional untuk “berbagi beban” dengan cara membentuk perusahaan joint venture. Setidaknya pada 1974 telah berdiri sebuah perusahaan industri perikanan ekspor (PMA) dari Jepang, Misaya Mitra di Sungai Meriam dan Samarinda Cendana Cold Storage
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
59
(PMDN) yang mulai beroperasi empat tahun setelahnya. Perusahaanperusahaan eksportir perikanan tersebut melakukan hubungan simbiosis mutualisme, bekerjasama dengan para nelayan lokal yang membutuhkan sokongan dana besar dalam kegiatan perikanan tangkap, mengeksploitasi hasil perikanan disekitar Kawasan Delta Mahakam dan Selat Makassar yang sangat melimpah. Upaya kerjasama dalam kegiatan pengusahaan perikanan ekspor dilakukan dalam bentuk yang khas. Perusahaan industri perikanan ekspor memberikan berbagai bantuan modal (sarana dan prasarana produksi) pada para nelayan setempat, sebagai imbalan pihak perusahaan akan menerima keseluruhan hasil produksi perikanan dari para nelayan tersebut, berikut pengembalian modal produksi secara bertahap hingga lunas. Meskipun para nelayan lokal mendapatkan berbagai kemudahan dan keuntungan dalam pola hubungan produksi seperti itu, namun keuntungan yang diperoleh melalui penanaman modal besar tersebut, tetaplah mengalir deras kepada para pemodal besar (perusahaan eksportir). Artinya para nelayan kecil atau buruh nelayan dan para buruh pabrik, selalu saja menjadi “alas struktur sosial” bagi kemakmuran lapisan sosial lainnya, yakni para pemodal besar (perusahaan eksportir). Akibatnya peningkatan produksi di sektor perikanan berjalan seiring dengan terjadinya ketimpangan kaya-miskin yang cenderung melebar, sementara keuntungan terdistribusi secara tidak adil, keluar dari kawasan Delta Mahakam. Meskipun demikian, kehadiran perusahaan-perusahaan cold storage yang memerlukan pasokan hasil perikanan dalam jumlah besar dan menawarkan harga yang lebih menarik tersebut, memiliki arti penting bagi perkembangan kegiatan perikanan tangkap di kawasan Delta Mahakam. Keberadaan industri perikanan skala ekspor tersebut, setidaknya mampu membangkitkan gairah usaha perikanan tangkap lokal, yang selalu di bawah bayang-banyak sektor pertambangan migas. Produksi perikanan di pantai timur Kalimantan melangalami peningkatan pesat. Sampai dengan tahun 1979, satu tahun sebelum diberlakukannya PP No. 39/1980, yang melarang penggunaan jaring 60
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
trawl, produksi perikanan tangkap Kalimantan Timur telah mencapai 37.433 ton. Penghapusan jaring trawl tersebut, diberlakukan pemerintah menyusul terjadinya beragam konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan jaring trawl yang beroperasi di Jalur Penangkapan I. Padahal sesuai SK Mentan No. 607/KPTS/UN/9/1976, tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan, pukat harimau/jaring trawl dilarang digunakan pada Jalur Penangkapan I. Pada 1999, Jalur Penangkapan I direvisi menjadi enam mil dari pantai berdasarkan SK Mentan No. 392 tahun 1999. Penghapusan jaring trawl tersebut dilakukan secara bertahap, dimulai dari daerah perairan laut yang padat nelayan di Pulau Jawa dan Bali, selanjutnya diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Penghapusan jaring trawl di kawasan timur Indonesia, seperti; Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Timur, serta Irian Jaya yang pada tahap kedua masih terdapat sekitar 1000 unit kapal jaring trawl, baru secara efektif terlarang penggunaannya sejak 1 Januari 1983 (Soewito, 2011). Dalam penerapan peraturan tersebut, pemerintah sepertinya menghadapi berbagai kendala dilapangan akibat lemahnya low enforcement, serta minimnya fasilitas dan aparat yang mampu diterjunkan untuk melakukan penertiban atas berbagai pelanggaran di laut. Mengingat luasnya perairan laut nusantara dan semakin canggihnya modus operandi yang dipraktekkan nelayan Indonesia ataupun kapal asing dalam mensiasati penerapan Keppres No. 39/1980. Di kawasan Delta Mahakam misalnya, meskipun penggunaan trawl telah ditindak dengan sangat tegas, namun tetap saja ada nelayan yang menggunakan alat tangkap trawl secara “sembunyi-sembunyi” sehingga tidak terlacak aparat. Menariknya pasca reformasi, alat tangkap trawl tidak lagi digunakan secara sembunyi-sembunyi, para nelayan di kawasan Delta Mahakam secara terang-terangan menggunakan “peralatan terlarang” ini secara massal tanpa kuatir untuk ditindak aparat, karena bagi mereka trawl telah menjadi salah satu solusi untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik ditengah lesunya produksi perikanan tangkap.
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
61
3.2.3 Kondisi Mutakhir: Pelarangan Trawl, Illegal Fishing, hingga Pertambakan Ilegal Penghapusan jaring trawl secara total yang pelaksanaannya mulai dlterapkan secara ketat menjelang tahun 1983, ternyata tidak berimbas pada penurunan produksi perikanan di pantai timur Kalimantan. Hal ini terlihat dari data statistik perikanan laut Propinsi Kalimantan Timur yang tetap menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun dan baru mengalami penurunan dan menunjukkan fluktuasi produksi menjelang tahun 1997. Data tersebut, sekaligus membantah kesimpulan berbagai penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa larangan penggunaan jaring trawl sejak 1983 telah memukul usaha penangkapan ikan di pantai timur Kalimantan. Yang ada, larangan penggunaan jaring trawl hanyalah memukul industri perikanan ekspor, yang sebagian besar produksinya ditopang oleh hasil tangkapan dari kapal-kapal pukat harimau bertonase besar milik mereka sendiri, maupun milik nelayannelayan modern yang menjadi klien mereka. Setidaknya sejak tahun 1980 hingga 1986, sebagian industri perikanan ekspor mengalami penurunan produksi dan baru mengalami peningkatan ketika perusahaan-perusahaan industri perikanan ekspor tersebut berhasil mendorong dilakukannya modernisasi armada perikanan tangkap milik nelayan lokal menjelang tahun 1986. Sementara jumlah RTP laut menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hanya sebagian nelayan tradisional yang merasa terpukul dengan pelarangan penggunaan jaring trawl, karena banyak diantara mereka yang sebelumnya tidak menggunakan jaring trawl, bahkan sebagian besar masyarakat di sekitar Delta Mahakam, seperti Sepatin dan Muara Pantuan diketahui sebagai nelayan-nelayan yang anti terhadap kapal trawl. Pelarangan trawl hanyalah sebuah momentum bagi masyarakat setempat untuk membangun strategi adaptasi baru dalam “mempertahankan diri”, ketika peningkatan taraf kehidupan tidak berhasil mereka capai. Setidaknya terdapat beberapa pilihan strategi yang mereka kembangkan; pertama, bertahan sebagai nelayan non trawl atau tetap menjadi nelayan trawl yang beroperasi secara “sembunyi-sembunyi” untuk menghindari 62
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
resiko penangkapan oleh aparat. Menariknya hingga saat ini, setelah 30 tahun PP No. 39/1980 diterapkan, penggunaan jaring trawl yang dapat dikategorikan “illegal fishing” tersebut, masih tetap ramai dipraktekkan nelayan setempat, tanpa mampu ditertibkan aparat penegak hukum. Jumlah RTP (KK)
Produksi (Ton)
120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000
08
05
04
06
20
20
20
03
20
02
20
99
00 01
20
20
20
98
19
96
95
94
97
19
19
19
19
93
19
92
19
90 91
19
19
19
88 89 19
86
85
84
87
19
19
19
19
83
19
81
19
19
19
80
0
Tahun
Keterangan:
- Luas area perairan laut Kaltim mencapai 44.893 Km² - RTP adalah Rumah Tangga Perikanan Gambar 3.2 Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut Propinsi Kaltim Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kaltim 1979 – 2009
Pilihan kedua, keluar dari kegiatan usaha perikanan, dengan beralih profesi menjadi petani atau pekebun kelapa, menggeluti kegiatan pelayaran tradisional atau perdagangan antar pulau, bahkan ada yang mengaku menjalani profesi sebagai penyelundup di kawasan perbatasan. Ketiga, beralih profesi sebagai petambak, membuka hutan mangrove menjadi area pertambakan dengan bantuan kucuran dana kredit pengalihan kegiatan ekonomi non trawl, serta pembinaan dan penyuluhan intensif yang berhasil dilakukan pemerintah, selain terpengaruh informasi adanya beberapa orang penduduk setempat yang telah sukses menjadi petambak. Meskipun cukup menarik, beralih profesi sebagai petambak dianggap nelayan setempat membutuhkan modal besar dan rawan kegagalan, sementara harga udang masih belum menjanjikan.
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
63
Karenanya pilihan strategi yang dianggap adaptif adalah beralih profesi menjadi petambak, namun tetap tidak meninggalkan profesi sebelumnya sebagai nelayan atau petani kelapa, seperti yang dilakukan Haji Alimuddin yang kini telah berhasil menjadi seorang ponggawa yang sukses. Menurut pengakuannya, “kebun kelapa yang selama ini menopang hidupnya tetap dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari, baru setelah tambak-tambak yang dibangun mulai mendapatkan hasil panen memadai, kebun kelapa yang masih tersisa dibukanya menjadi area tambak baru”. Hal ini dilakukan mereka untuk bisa tetap survive sampai tambak-tambak tersebut berhasil panen dan mampu menjamin kehidupan keluarga mereka. Karenanya pada masa-masa awal tambak di bangun oleh masyarakat setempat, banyak diantara mereka yang berprofesi ganda sebagai petambak sekaligus nelayan. Pengembangan kegiatan pertambakan dengan mengkonversi hutan mengrove di kawasan Delta Mahakam, dalam prakteknya nyaris tidak mengalami hambatan hukum-birokrasi yang berarti, karena dilakukan dengan dukungan dari Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah. Melalui berbagai kebijakan yang pada hakekatnya ditujukan untuk “mengamankan” Program Udang Nasional. Pemerintah bahkan, menyiapkan kucuran dana kredit untuk pengalihan kegiatan ekonomi non-trawl (khususnya dalam kegiatan pertambakan), selain menyiapkan bantuan kredit Intam, serta RCP, yang diikuti dengan pembinaan dan penyuluhan kegiatan pertambakan secara intensif. Pemerintah juga mulai mengembangkan infrastruktur yang diperlukan, baik melalui anggaran nasional ataupun bantuan asing. Sementara besarnya luasan hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambakan, namun tidak memiliki nilai intrinsik, menjadikan “transaksi penguasaan” atas kawasan Delta Mahakam semakin leluasa dilakukan. Meskipun area-area pertambakan tersebut dibangun diatas Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) yang mencapai lebih dari 90 persen dari luasan kawasan Delta Mahakam. Pasca pelarangan jaring trawl secara total pada tanggal 1 Januari 1983, terjadilah “kontraksi kebijakan”, ketika pada 15 Januari 1983, 64
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Menteri Pertanian mengeluarkan sebuah keputusan bernomor 24/Kpts/ Um/1983. Surat ini menentukan pembagian wilayah Kalimantan Timur berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) seluas 21.144.000 Ha, dimana kawasan Delta Mahakam hampir seluruhnya ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi. Status ini terus dipertahankan sampai tahun 1992, saat Departemen Kehutanan merampungkan peta TGHK kawasan hutan untuk Kalimantan Timur (Simarmata, 2008). Hal itu tidak terlepas dari pandangan penguasa yang menganggap kawasan hutan mangrove Delta Mahakam memiliki potensi sumberdaya alam yang menyimpan deposit migas, budidaya tambak, potensi kayu komersil dan perikanan pesisir. Karenanya kawasan hutan mangrove Delta Mahakam yang sebagian besar telah tereksploitasi, perlu dipertahankan kelestariannya sebagai kawasan hutan produksi terbatas, sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992, tentang Penataan Ruang, selanjutnya penamaan dan klasifikasi status hutan ditetapkan menjadi tiga ketegori besar, yaitu; 1) Kawasan Lindung; 2) Kawasan Budidaya Kehutanan; dan 3) Kawasan Budidaya Non Kehutanan. Anehnya sekalipun secara faktual pada tahun 2001 hampir 85.000 Ha dari 150.000 Ha luasan hutan mangrove di delta Mahakam telah berubah fungsi menjadi tambak. Namun melalui SK Menhut No. 79/ Kpts-II/2001, Departemen Kehutanan justru menetapkan kawasan hutan dan perairan wilayah Provinsi Kaltim, dengan peta lampiran yang tetap mempertahankan status hutan mangrove di Delta Mahakam sebagai hutan produksi. Artinya status kawasan hutan produksi (KBK) Delta Mahakam juga melingkupi area pemukiman dan area aktivitas ekonomi penduduk (perkebunan kelapa dan pertambakan tradisional), yang telah dikelola masyarakat secara turun-temurun. Di dalam kebijakan tersebut nampak sekali peran pemerintah yang dominan dalam mendefinisikan suatu wilayah/kawasan hutan. Tarikan garis di atas kertas peta oleh negara, secara mutlak telah mengakibatkan hilangnya akses masyarakat
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
65
lokal terhadap sumberdaya alam yang secara tradisi sudah mereka lakukan jauh sebelum negara ada. Meskipun sejak 1983 pemanfaatan di atas hutan mangrove Delta Mahakam harus melalui hak pengusahaan atau pemungutan hasil hutan, yang dimohonkan kepada Menteri Kehutanan secara perorangan, menggunakan badan hukum atau koperasi. Bahkan, SK Bersama Mentan dan Menhut Nomor KB. 550/246/Kpts/4/1984, telah melarang kegiatan budidaya perikanan di kawasan hutan pantai (mangrove) yang terletak di pulau yang luasnya kurang dari 10 Km². Selain memuat ketentuan lain yang menyatakan bahwa budidaya perikanan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Namun, pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan tetap saja belangsung tanpa ada penertiban dari otoritas yang berwenang. Bukan hanya melanggar peraturan formal, yang melarang budidaya perikanan di kawasan hutan mangrove, sebagian petambak juga tidak memiliki izin garap, izin pembukaan lahan atau izin usaha perikanan. Kebijakan tersebut tentu akan terasa janggal, jika dipandang secara sektoral hanya sebagai buah kepentingan Departemen Kehutanan semata, tanpa menyentuh aspek historis menyangkut esensi kemanfaatan (maksimasi keuntungan materil) dan utility bagi negara. Karenanya untuk mengurainya, kebijakan yang ada perlu ditelisik kebelakang, ketika Total E&P Indonesie pada 1970, mendapatkan konsesi pertambangan atas Blok Mahakam yang melingkupi sebagian besar kawasan Delta Mahakam oleh negara. Yang kemudian diikuti oleh kehadiran beberapa investor padat modal lainnya di kawasan Delta Mahakam yang kaya migas. Dari sini akan diperoleh kejelasan mengenai siapa sebenarnya subyek yang berhak mengeksploitasi kawasan Delta Mahakam menurut pandangan pemerintah. Sehingga dapat dipahami jika kemudian pemerintah melalui Departemen Kehutanan sebagai pemilik otoritas, menetapkan status hutan mangrove di Delta Mahakam sebagai hutan produksi hingga saat ini, meskipun sebagian besar kawasan hutannya telah beralih fungsi menjadi area pertambakan. Hal itu jelas terkait dengan keberlanjutan konsesi yang telah ada, sekaligus pengamanan 66
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
kepentingan investor migas bermodal besar yang telah memberikan pemasukan dana bagi hasil yang luar biasa besarnya bagi devisa negara. Tentunya jika dibandingkan dengan memberikan konsesi HPH pada perusahaan kehutanan atau memberikan hak legalitas atas penguasaan “tanah-tanah negara” yang telah dikelola masyarakat setempat secara turun-temurun. Penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi terbatas, merupakan bentuk “kamuflase kebijakan” oleh pemerintah untuk mengurangi efek sosio-politis atas beroperasinya kegiatan pertambangan migas di kawasan Delta Mahakam. Sekalipun ditunjuk sebagai kawasan lindung pun, “kamuflase kebijakan” untuk mengamankan operasi pertambangan migas di negara ini akan tetap berjalan, karena pemerintah telah menyiapkan PP No 51/1993 sebagai antisipasinya. Kebijakan tersebut kembali menegaskan bahwa, “dalam hal terdapat deposit mineral/kekayaan alam lainnya yang bila diusahakan dinilai amat berharga bagi negara, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung dapat diijinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku”. Namun, karena penetapan status sebagai hutan produksi terbatas efeknya jauh “lebih aman” dibandingkan menetapkan kawasan hutan mangrove yang terletak di pulau-pulau dengan luasan kurang dari 10 Km² tersebut, sebagai kawasan konservasi atau kawasan budidaya non kehutanan. Maka kebijakan tersebut dirasakan belum perlu dijadikan tameng atas berlakunya konsesi Blok Mahakam. Selain karena menguatnya kampanye di aras lokal maupun internasional yang menolak aktivitas pertambangan, apalagi di dalam kawasan konservasi. Ironisnya, meskipun telah menetapkan kawasan Delta Mahakam sebagai KBK yang terlarang bagi kegiatan lain diluar sektor kehutanan, namun pemerintah tidak pernah berniat menertibkan kegiatan pertambakan yang dalam perspektif kehutanan dikategorikan sebagai ilegal. Pembangunan tambak-tambak baru yang terus berlangsung dan ketidak-pedulian masyarakat atas berlakunya hukum formal, semakin menguatkan indikasi absennya negara sebagai pemilik otoritas tertinggi atas tanah-tanah negara, sehingga terjadinya praktek-praktek penguasaan Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
67
sumberdaya agraria secara ilegal. Absennya negara atas permasalahan agraria yang terjadi di kawasan Delta Mahakam bisa disejajarkan dengan absennya negara dalam perbagai permasalahan konflik yang terjadi di seantero negeri dewasa ini. Hal ini juga bisa berarti proses “mengelola hutan”, sekedar sebagai antisipasi munculnya gejolak dalam masyarakat. Kondisi tersebut mengingatkan pernyataan Barber (1989) yang melihat hutan di Jawa hanya memberikan “bagian yang sangat kecil dari pendapatan nasional yang berasal dari hutan”, makanya kemudian tujuan utama dari kegiatan pemerintah dalam mengelola hutan adalah mengontrol penduduk yang tinggal di daerah pedalaman/disekitar hutan dan bukan untuk mencari pemasukan uang atau keuntungan (Li, 2002). Alasan ini sangat relevan untuk menjelaskan keberadaan mega proyek industri migas yang perlu mendapatkan proteksi dan pengamanan optimal dari berbagai kepentingan yang ada disekitarnya, dengan menetapkan kawasan hutan Delta Mahakam yang telah kolaps sebagai kawasan hutan produksi. Ironisnya, konstruksi sosial tentang problem dan krisis lingkungan yang diwujudkan dalam produk kebijakan yang tidak mungkin dilepaskan dengan kepentingan dan kontrol aktor yang berkuasa dalam pemerintahan tersebut, tidak dibarengi dengan kehadiran otoritas negara dalam pelaksanaannya, baik yang mewujud dalam kewenangan pemprov, maupun pemkab. Akibatnya bentuk pengaturan tenurial yang faktual menurut Simarmata (2008), menjadi ditentutan oleh otoritas yang lebih rendah, dalam hal ini camat dan kepala desa beserta perangkatperangkatnya. Dengan segala keterbatasan pengetahuan, informasi, sarana pendukung serta balutan kepentingan, camat dan aparat desa mengembangkan tafsir yang karakternya membenarkan tindakan pembukaan tambak dan memberi kemudahan untuk mendapatkan legalitasnya. Bagi aparatur di aras lokal keberadaan kegiatan usaha pertambakan akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan asumsi pemberian izin garap oleh otoritas lokal bukan sebagai bentuk pelanggaran hukum karena tidak memberikan hak kepemilikan pada penggarap. Selain alasan pragmatis, melanjutkan kebijakan yang telah 68
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
ada sebelumnya. Dalam konteks tersebut pernyataan Dharmawan (2005) menjadi sangat relevan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di kawasan Delta Mahakam sebagai “ketimpangan pertukaran energi, materi dan informasi dalam suatu ekosistem yang tidak berkeadilan”, akibat tidak memadainya semangat pemihakan pada lingkungan yang terkandung dalam setiap keputusan politik tentang pengelolaan sumberdaya alam yang dihasilkan dan dijalankan oleh otoritas kebijakan lokal. Sementara persepsi masyarakat setempat yang menganggap tanahtanah yang mereka garap secara turun temurun sebagai tanah milik, akibat minimnya pengetahuan atas status lahan yang mereka kuasai dan manfaatkan, menjadikan pembukaan tambak-tambak baru di dalam kawasan hutan produksi tanpa izin terus berlangsung. Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan tersebut, mencapai puncaknya pasca terjadinya krisis ekonomi regional pada 19971998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “booms harga udang”. Berdasarkan data statistik perikanan Kalimantan Timur, peningkatan luasan tambak mencapai puncaknya pada 2001 seluas 36.634 Ha dan kembali mengalami peningkatan secara fantastik hingga mencapai 120.763 Ha pada 2006. Kondisi ini secara tidak langsung telah memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya, membuka hutan mangrove yang tersisa dengan cara merintis lahan tanpa melapor atau dengan meminta izin garap dari otoritas lokal atas “lokasi” hutan mangrove yang bisa dirintis menjadi area pertambakan baru. Kisah sukses petambak yang mampu meraup keuntungan besar, sehingga sebagian diantaranya mampu menjadi ponggawa beromset milyaran rupiah perbulan, juga memberikan pengaruh yang tidak kalah pentingnya dalam memotivasi perkembangan usaha pertambakan.
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
69
3.3 SEJARAH MIGRASI ORANG BUGIS Mekipun kawasan di sekitar Delta Mahakam telah memiliki peradaban, jauh sebelum orang Bugis bermigrasi ke kawasan ini, namun orang Bugis-lah yang pertama kali mengekspansi kawasan ini hingga ke pulau-pulau di dalam kawasan delta. Kampung Pemangkaran menjadi bukti keberadaan peradaban Bugis paling awal di kawasan Delta Mahakam. Pemukim awal tersebut adalah migran Bugis Wajo’ generasi kedua atau ketiga yang sebelumnya menetap di sekitar Talake – Pasir (Kaltim). Pada permulaan abad-18, seorang pangeran Wajo’ bernama La Ma’dukelleng yang tidak mau tunduk pada pendudukan Arung Palakka yang disokong Belanda (pasca perjanjian Cappaya ri Bongaya, yang telah disepakati pada 18 November 1667), meninggalkan Sulawesi Selatan bersama sekitar 3000 orang pengikutnya menuju Talake – Paser (Kalimantan Timur). Sebuah tempat komunitas kecil pedagang Bugis Wajo’ bemukim. Dalam kajian kontemporer, kepindahan orang Bugis Wajo ternyata juga disebabkan oleh penistaan dan penindasan yang dilakukan orang Bugis Bone atas mereka (yang membekas sebagai “dendam budaya”) dan ketidakmampuan mereka membayar ganti rugi peperangan sebesar 52.000 rijksdaalder (Andaya, 2004). Sambil berdagang, La Ma’dukelleng tinggal di pantai timur Kalimantan hingga 1737 dan kembali ke Wajo’ sebagai Arung Matoa yang baru terpilih untuk melanjutkan peperangan melawan Bone dan Belanda. Hebatnya, sebelum kembali ke tanah Wajo’, La Ma’dukelleng ternyata sempat membina hubungan politik dengan penguasa setempat melalui pernikahan salah seorang putranya dengan putri Sultan Paser, pasangan ini memiliki anak perempuan yang kelak menikah dengan penguasa Kutai, Sultan Idris. Sementara putranya yang lain ia nikahkan dengan putri bungsu penguasa otonom wilayah Samarinda yang bergelar Pua’ Ado. Ini berarti La Ma’dukelleng tidak hanya meninggalkan pengaruhnya di tanah Kalimantan, namun juga meninggalkan sejumlah besar pengikutnya di Talake. Keturunan mereka inilah yang kemudian
70
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
melakukan migrasi ke arah utara menuju Pamangkaran di sekitar Delta Mahakam yang strategis. Migrasi keturunan Bugis Talake diperkirakan berlangsung secara bergelombang sejak terjadinya kemelut pemerintahan di Kerajaan Paser, pasca campur tangan Belanda dalam pengangkatan Sultan Muhammad Ali Alamsyah sebagai Sultan Paser pada 7 Juli 1885. Hingga menyulut terjadinya konflik antara Sultan terdahulu (Sultan Abdurachman Alamsyah) dengan Sultan Muhammad Ali Alamsyah yang didukung Belanda. Penguasaan Belanda atas kerajaan Paser, telah memaksa sebagian migran Bugis Wajo’ yang tidak ingin tunduk pada Belanda, selain tidak ingin mengkhianati komitmen para pendahulu mereka, untuk hijrah ke tempat lain. Gelombang migrasi tersebut mencapai puncaknya, ketika seorang saudagar kaya keturunan Bugis Wajo’ bernama La Maraja yang memiliki hubungan dekat dengan Kerajaan Paser melakukan manuver politik, merencanakan “perebutan kekuasaan” dengan dukungan Belanda. Akhirnya pada 8 Juli 1900 ia berhasil menjadikan keponakannya Aji Meja bin Lataddaga sebagai Sultan Paser dengan gelar Sultan Ibrahim Khalihudin. Keadaan ini banyak memancing ketegangan di lingkungan kerajaan, banyak kaum bangsawan, kaum adat, serta ulama yang tidak menyetujui pengangkatan sultan, sehingga mempengaruhi rakyat untuk tidak membayar pajak, hingga terjadi pembangkangan yang digerakkan oleh para bangsawan. Pergolakan internal kerajaan tersebut mencapai titik nadir, ketika Kerajaan Paser di jual kepada Belanda seharga F. 327.267 melalui kontrak perjanjian pada 20 Juli 1906 (Pemprop Kaltim, 1992). Pada masa itulah terjadi gelombang migrasi besar-besaran keturunan Bugis yang telah menetap di Kerajaan Paser, karena merasa siri’ dengan keadaan tersebut, mereka kemudian memutuskan hijrah ke tempat lain. Banyak diantara mereka yang memilih bermigrasi kearah utara pantai timur Kalimantan, salah satu tempat yang menjadi favorit mereka adalah kawasan disekitar Delta Mahakam, karena lokasinya sangat strategis, memiliki banyak lahan yang bisa digarap menjadi Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
71
area pertanian/perkebunan kelapa, serta memiliki potensi perikanan yang melimpah. Secara bertahap, akhirnya para migran Bugis tersebut berhasil membangun peradaban pertama di kawasan Delta Mahakam yang kemudian mereka namakan Pemangkaran. Gelombang migrasi tersebut, terjadi hampir bersamaan dengan berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda secara total atas seluruh wilayah Sulawesi Selatan pada 1906, yang memicu terjadinya migrasi orang Bugis secara besar-besaran ke seluruh Nusantara. Sebagai daerah pertanian lahan kering, dulunya kawasan pesisir ini masih banyak dijumpai sumber-sumber air payau yang dapat digunakan untuk pengairan lahan pertanian bahkan dikonsumsi oleh komunitas setempat. Para migran Bugis pioner tersebut, mencoba mencari peruntungan dan bertahan hidup dengan cara berdagang, menjadi nelayan dan berkebun kelapa. Sebagian besar diantaranya membuka sebagian kecil hutan mangrove di pulau-pulau di sekitar Delta Mahakam yang relatif “terlindung” dan masih terjangkau dengan menggunakan perahu/kapal kecil, menjadi area pertanian palawija/perkebunan kelapa. Diduga, sebagian diantaranya ada pula yang berprofesi ganda, terlibat dalam kegiatan perompakan dan penyelundup, dengan memanfaatkan kawasan Delta Mahakam yang terlindung sebagai tempat penyergapan, sekaligus persembunyian strategis. Menurut catatan yang berhasil dihimpun, setidaknya hingga menjelang 1970-an aktivitas perompakan dan penyelundupan di kawasan ini masih sering terjadi. Kegiatan seperti itu menurut Acciaioli (1989) tampaknya sangat cocok dengan watak migran Bugis yang menggunakan kekuatan untuk membuka tanah yang secara khusus dilakukan untuk mendapatkan status yang lebih tinggi di wilayah lain. Sehingga tidak mengherankan bila saat itu banyak kaum ningrat Bugis yang membawa serta para pengikutnya, pergi dari tanah kelahirannya akibat keterbatasan lahan dan sumberdaya dengan mencari kemungkinan hidup yang lebih baik di daerah baru. Lanjut Acciaioli, sejak abad-16 orang-orang Bugis telah memiliki jiwa kewirausahaan yang kuat serta keberanian untuk berperang di luar daerah. Bahkan jauh sebelum pemerintahan kolonial Belanda, 72
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
orang-orang Bugis telah melakukan aktifitas mengarungi samudera dan bergabung dalam perdagangan dan kelompok-kelompok tani yang seringkali tidak permanen. Lenggono (2004) mengungkapkan, “banyaknya komunitas asli Desa Muara Pantuan (sebuah tempat pemukiman baru yang dibangun komunitas Bugis Pamangkaran) yang memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat Talake di Kabupaten Pasir, namun mereka tidak lagi memiliki hubungan kekarabatan (missing link) dengan orang-orang di tanah leluhurnya Sulawesi Selatan”. Mereka kemudian membaur dengan suku Bajo yang selalu berpindah-pindah dan migran Bugis dari Pangkajene yang diduga bermigrasi hampir bersamaan dengan kedatangan mereka ke Muara Pantuan menjelang abad-20. Kelak keturunan mereka inilah yang mengklaim sebagai penduduk pribumi Delta Mahakam, untuk membedakan mereka dengan migran Bugis yang datang belakangan. Baru pada masa revolusi fisik pasca kemerdekaan (1950 – 1965), mulai muncul lagi gelombang besar migrasi langsung dari Sulawesi ke kawasan Delta Mahakam. Motivasi kedatangan mereka ke Delta Mahakam adalah ingin menyelamatkan diri dari kekacauan ekonomi dan militer akibat pemberontakan Kahar Muzakkar serta mentaati nasehat yang diterima dari sanak saudara atau teman yang memberitakan adanya lokasi lain dimana kawasan hutannya bisa diubah menjadi lahan pertanian/perkebunan yang menguntungkan. Seorang Petambak yang juga narasumber bagi penelitian ini, mengakui bahwa orang tuanya dan beberapa orang koleganya yang saat ini menetap di Muara Pantuan adalah mantan anggota “gerombolan” Kahar Muzakkar, yang melarikan diri ke Kawasan hutan mangrove Delta Mahakam yang relatif terisolir untuk menyembunyikan diri, sekaligus mencari peruntungan akibat pembersihan “gerombolan pemberontak” di Selawesi Selatan oleh TNI. Alasan tersebut hampir sama dengan apa yang dikemukakan para migran Bugis yang berpindah ke Sumatera bagian selatan, seperti tersebut dalam Lineton (1975), juga di pinggiran kota Samarinda (disekitar Bukit Soeharto), seperti dijelaskan Vayda dan Sahur (1996) serta di sekitar kota Bontang. Kondisi ini menurut Matullada (1985; 1991), telah Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
73
menyebabkan rendahnya angka pertambahan penduduk Sulawesi Selatan akibat besarnya jumlah penduduk yang berpindah ke daerah lain, baik pada masa-masa kekacauan (1950 – 1965) maupun oleh tabiat penduduk yang memiliki sifat suka merantua dan lain-lain. Meskipun sama-sama dari Sulawesi Selatan, namun para migran yang kemudian menetap di kawasan Delta Mahakam ternyata memiliki latar belakang etnik dan daerah asal yang beragam. Mereka menggunakan ikatan emosional etnik (sebagai sesama orang Bugis) dengan para migran Bugis yang telah menetap jauh sebelumnya, sehingga mendapatkan kemudahan dalam mengakses sumberdaya yang ada. Para Petinggi Kampung (pemilik otoritas di aras lokal saat itu), dengan mudah memberikan izin bagi para migran baru tersebut untuk memanfaatkan kawasan hutan mangrove yang masih belum terjamah, dengan harapan mampu “mendorong” peningkatan aktifitas perekonomian kawasan yang masih sangat terisolir dan terbelakang. Namun demikian, tidak sedikit dari mereka yang menetap di kawasan Delta Mahakam melakukannya tanpa sepengetahuan otoritas setempat, karena alasan keamanan/mencari aman. Menurut sejumlah informasi, saat itu perebutan sumberdaya (konflik) masih belum banyak terjadi, mengingat luasnya hutan mangrove yang masih bisa dimanfaatkan untuk kegiatan perkebunan kelapa dan pertanian, serta masih melimpahnya stok sumberdaya perikanan di kawasan tersebut. Gelombang besar migrasi selanjutnya terjadi di awal tahun 1970-an hingga menjelang 1990, dilakukan tidak hanya oleh migran etnik Bugis dan Makassar yang berasal dari Sulawesi saja, namun juga melibatkan migran etnik Bugis dan Makassar yang telah menetap di Samarinda dan kota-kota lain di sekitar Delta Mahakam (pantai timur Kalimantan). Para migran tersebut berdatangan ke kawasan di sekitar Delta Mahakam, seiring perkembangan kawasan ini akibat aktifitas eksplorasi dan eksploitasi kegiatan migas, serta beroperasinya beberapa industri perikanan ekspor. Perkembangan tersebut, ditunjang oleh program pembangunan hingga kepelosok daerah yang dicanangkan pemerintah Orde Baru, yang berusaha menyelesaikan berbagai hambatan 74
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
pembangunan yang ada dengan berbagai strategi. Salah satu strategi yang dilakukan di kawasan pantai timur Kalimantan (Delta Mahakam) adalah dengan memberikan kompensasi pembukaan area hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan pasca penghapusan trawl bagi para nelayan lokal, serta pemberian sejumlah bantuan lunak untuk konversi dari kegiatan perikanan trawl ke dalam kegiatan perikanan non trawl seiring terbitnya Kepres No. 39/1980 dan Inpres No. 11/1982. Laju migrasi di kawasan Delta Mahakam mencapai puncaknya pasca terjadinya “booms udang”, yang memicu kenaikan harga udang secara fantastis pada 1987/1998 dan diikuti dengan terjadinya ledakan penduduk di dalam kawasan Delta Mahakam. Kondisi ini juga diperumit dengan adanya fenomena “migrasi instan” oleh penduduk dari Pulau Sulawesi, Pulau Jawa, Samarinda Seberang dan desa-desa lain disekitar delta Mahakam yang membuka/menjaga tambak-tambak baru dan berdomisili di dua tempat yang berbeda dengan memegang KTP ganda. Dari perbandingan data sekunder dan primer Lenggono (2004) berhasil menunjukkan terjadinya fenomena ”ledakan penduduk” di Desa Muara Pantuan, yang mengalami pertumbuhan sebesar 122 %. Dus, yang lebih mengejutkan adalah hasil temuan lapang di salah satu RT yang mengalami pertumbuhan hingga 831 % hanya dalam 8 bulan, dari 39 KK berkembang-biak menjadi 363 KK. Dapat dibayangkan laju konversi hutan mangrove untuk area pertambakan dikawasan tersebut, bila semua Kepala Keluarga di RT tersebut adalah migran petambak yang setidaknya memiliki/menjaga tambak seluas 2 – 10 Ha. Hanya dalam tempo delapan bulan disebuah RT terjadi konversi hutan mangrove menjadi area pertambakan seluas 648 – 3.240 ha. Para migran tersebut, tidak hanya berasal dari etnik Bugis dan Makassar di sekitar pantai timur Kalimantan dan Sulawesi, tapi juga etnik lain dari Sulawesi (Mandar dan Kaili), Timor, Flores, Madura serta Jawa (khususnya Lamongan) dan berbagai etnik lokal di pesisir pantai timur Kalimantan (Kutai, Tidung dan Banjar). Banyak diantara mereka berorientasi menjadi petambak, namun banyak juga yang berharap mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga empang atau kuli tambak dan Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal
75
pekerjaan lainnya yang mendukung kegiatan pertambakan. Akibatnya bisa diduga, konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan semakin meluas dan tak terkendali, bahkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian produktif yang kemudian dikorbankan manjadi hamparan tambak-tambak baru.
76
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
BAB IV MIGRAN BUGIS DAN “PERTAMBAKAN ILEGAL”
“Suatu ketika, diadakan perlombaan lari marathon dari Tenggarong ke Kota Samarinda. Pesertanya terdiri atas lima orang warga lokal yang berbeda etnis, si A beretnis Kutai, si B beretnis Dayak, si C Beretnis Bugis, si D beretnis Minang dan si E beretnis Jawa. Ketika perlombaan telah berlangsung hampir dua jam, panitia telah bersiap di garis finish, sementara penonton bersorak sorai karena seorang peserta telah nampak mendekati garis finis. Peserta yang sampai garis finish pertama ternyata adalah si B, menurut penonton hal itu wajar karena si B adalah seorang yang terbiasa lari jauh dalam setiap melakukan perburuan pelanduk/babi rusa. Pelari kedua yang sampai digaris finish ternyata adalah si A, menurut penonton hal itu bisa dipahami karena si A sudah sangat mengenal kondisi geografis/ alam di daerah tersebut. Selanjutnya si E pun menyusul sebagai pelari ketiga yang sampai ke garis finish, menurut penonton itu karena si E tidak berani ambil resiko berlari sekencang-kencangnya karena kurang mengenal medan, ‘alon-alon asal kelakon’ yang penting sampai garis finish. Setelahnya, panitia maupun penonton bingung dan resah, karena setelah ditunggu lebih dari lima jam si C dan D tidak kunjung sampai garis finish. Akhirnya panitia dan penonton memutuskan untuk mencari tahu, apa yang telah membuat kedua peserta tidak sampai garis finis, dengan ‘berjalan mundur’ menelusuri rute lari marathon. Sungguh terkejut panitia dan penonton setelah berjalan 10 Km dari garis finish, menemukan si D sedang membangun warung makan ditempat strategis, tidak jauh dari simpang empat jalan rute lari marathon. Sedangkan si C baru ditemukan tidak jauh dari garis start. Dengan bersimbah peluh si C mematoki sebidang tanah kosong tak bertuan, karena menggarap tanah dianggapnya lebih menguntungkan dibandingkan melanjutkan lari marathon hingga ke garis finish. Demikianlah, penonton tidak mampu memahami perilaku kedua peserta, sementara panitia hanya bisa mendiskualifikasi mereka”7. 7. Anekdot ini memberikan gambaran karikatif bahwa setiap etnis memiliki etika moral yang bersumber pada kultur masing-masing, memandu tindakan rasional pewarisnya, meskipun hal itu tidak pula terpisahkan dari konteks struktural yang melingkupinya.
78
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
4.1 KARAKTER SOSIO-KULTURAL ORANG BUGIS Orang Bugis adalah salah satu etnik yang paling represif terhadap hal baru, terutama terhadap unsur luar yang mereka anggap bermanfaat. Meskipun pada aspek-aspek tertentu, jelas terlihat adanya unsur-unsur yang berkesinambungan selama berabad-abad. Hal ini mengindikasikan mereka sebagai suatu masyarakat yang lentur dan mampu menjalani proses perubahan terus-menerus sesuai kebutuhan zaman. Banyak unsur luar yang telah diserap ke dalam hampir seluruh aspek kehidupan orang Bugis yang memperkaya hukum adat, tatanan sosial politik, adat-istiadat, ritual dan kepercayaan, tingkah laku, teknologi, pengetahuan, hingga sastra dan pekerjaan sehari-hari. Akan tetapi, unsur-unsur serapan tersebut diolah dengan begitu apik, sehingga baik orang luar maupun orang Bugis sendiri menganggapnya sebagai suatu entitas budaya yang menyatu atau merupakan tradisi yang utuh dan padu. Tidaklah mudah memberikan gambaran yang komprehensif tentang motivasi dan ekspektasi dari tindakan ekonomi di dalam “kebudayaan” orang Bugis yang sarat nilai dan kepentingan. Keberadaan mereka tidak hanya perlu dilihat dalam konteks realitas sosial (dimana mereka berada), namun juga perlu dipahami sebagai sebuah pribadi yang memiliki latar belakang budaya Bugis dan tidak bisa begitu saja melepaskan ikatan tersebut. Karenanya untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang motivasi dan espektasi keberadaan orang Bugis di kawasan Delta Mahakam, kiranya perlu diungkapkan sistem budaya yang melingkupinya.
4.1.1 Sistem Religi Sejak awal abad-17, setelah agama Islam mulai dianut orang Bugis, mereka menjadikan agama Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat istiadat, serta budaya mereka. Dus, pada saat bersamaan, berbagai kepercayaan peninggalan pra-Islam pun tetap mereka pertahankan hingga saat ini. Dasar sistem religi Bugis pra-Islam sebenarnya bersifat pribumi, meski juga ditemukan adanya persamaan dengan konsep religi India, baik Hindu maupun Budha. Proses pengislaman yang mampu Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
79
menghubungkan dogma teologis–ajaran Tauhid8 dengan kepercayaan Bugis tentang Sawerigading9, menurut Pelras (2006) merupakan kunci keberhasilan penyebaran Islam pada orang Bugis. Para ulama penyebar agama Islam pertama di Sulawesi Selatan dengan sengaja memilih sinkretisme10 sebagai satu-satunya pilihan yang memungkinkan agama Islam diterima oleh penguasa Bugis (Pelras, 2006). Aspek-aspek syariat Islam kemudian diintegrasikan ke dalam rangkaian hukum dan norma adat, meskipun ajaran Islam hanya sekedar ditempelkan ke dalam berbagai praktik tradisional mereka. Setelah mengalami resistensi hebat, ternyata pemberlakuan syariat Islam mampu menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan Bugis. Meski demikian, sejumlah konsep dan norma pra-Islam tampaknya masih tetap dijadikan prinsip. Menurut aturan tak tertulis, jika orang terpaksa mengambil jalan kekerasan misalnya, orang Bugis disarankan untuk memilih lawan yang sebanding agar tidak kehilangan siri’11 atau dengan mengusahakan memiliki kekuatan gaib yang dapat digunakannya untuk melawan. Apabila lawan ternyata lebih kuat, orang boleh menyerang dari belakang atau menipunya. Hal yang sama bisa dilakukan jika ternyata pihak musuh lebih kaya atau lebih berkuasa. Disini keadilan bukanlah masalah etika sebagaimana konsep pemikiran Islam atau Barat. Artinya terdapat perbedaan pemahaman rasionalitas yang 8. Tauhid berarti alam semesta ini unipolar dan uniaxial, hakikatnya alam semesta berasal dari Allah (Inna Lillah) dan akan kembali kepada-Nya (Inna ilahi raji’un). 9. Cucu Batara Guru yang menjadi tokoh utama dalam epos La Galigo, merupakan figur sejarah yang kharismatik dan dalam tradisi lisan klasik dianggap sebagai sosok “Sang Juru Selamat”. 10. Sinkretisme adalah upaya untuk menenggelamkan berbagai perbedaan dan menghasilkan kesatuan diantara berbagai sekte atau aliran filsafat, sehingga dapat digunakan untuk menggambarkan upaya memadukan berbagai unsur yang terdapat di dalam bermacam pembicaraan sehubungan dengan masalah keagamaan, tanpa memecahkan berbagai perbedaan dasar dari prinsip-prinsip yang ada di dalamnya. 11. Siri’ adalah martabat dan harga diri, sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial, yang dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial, meskipun juga dapat terjadi penerapan siri’ yang salah sasaran, seperti pada banyak kasus balas dendam.
80
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
mendasar, dimana bagi orang Bugis keadilan dipandang sebagai masalah ditegakkannya fair play (Pelras, 2006).
4.1.2 Norma Yang Dianut Wujud kebudayaan yang selain mencakup pengertian sistem norma dan aturan-aturan adat, serta tata-tertib, juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia dalam bertingkah-laku dan mengatur prasarana kehidupan (berupa peralatan materiil dan non materill) orang Bugis, disebut panngaderreng12 (Mattulada, 1985). Konsep panngaderreng (adat istiadat) merupakan serangkaian norma yang berkaitan satu sama lainnya, yang terdiri dari ade’ (adat), bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari’ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat) dan sara’ (syariat Islam). Panngaderreng selain meliputi aspek-aspek dalam sistem norma dan aturan-aturan adat, sebagai hal-hal ideal yang mengandung nilai-nilai normatif. Juga meliputi berbagai hal dimana seseorang dalam tingkahlakunya, serta dalam memperlakukan dirinya di dalam kegiatan sosial, bukan saja merasa “harus” melakukannya, bahkan lebih jauh dari itu, karena terdapat semacam “larutan perasaan” bahwa ia adalah bagian integral dari panggaderreng. Berbagai unsur tersebut selanjutnya melebur ke dalam mentalitas orang Bugis yang dinamis dan didominasi oleh empat sifat utama (sulapa’ eppa’) yang harus dimiliki setiap pemimpin. Menurut Pelras (2006), selain berasal dari keturunan yang tepat, orang yang ingin menjadi pemimpin harus memiliki keutamaan dalam hal; keberanian (warani), kecerdasan (macca), kekayaan (sugi’) dan kesalehan (panrita). Di dalamnya Islam menyumbangkan warna baru terhadap prototipe orang Bugis modern, dengan memperkuat aspek-aspek etika serta membedakan secara tegas to-panrita dengan gambaran ambigu tentang to-warani, to-acca dan to-sugi yang berlaku dewasa ini. 12. Panngaderreng merupakan wujud kebudayaan yang mencakup pengertian sistem norma dan aturan-aturan adat, tata-tertib, juga unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia dalam bertingkah-laku dan mengatur prasarana kehidupan manusia Bugis. Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
81
Prototipe utama to-warani (orang berani) bisa kita lihat pada diri Sawerigading dan La Galigo13 sebagai dua sisi dari sekeping mata uang yang mewakili bangsawan Bugis masa lampau. Pada suatu ketika, mereka berperang demi kehormatan diri untuk menegakkan keadilan atau guna melindungi para pengikutnya. Di lain waktu, mereka mengobarkan perang hanya karena mereka memang gemar berperang atau untuk memuaskan ambisi, ketamakan dan pamrih pribadi. Tradisi lisan to-warani versi modern pun mengikuti tradisi yang sama. Kualitas keberanian tidak hanya dilihat dari segi kejiwaan atau tingkah laku, tetapi juga dikaitkan dengan kepemilikan kelebihan khusus. Salah satu diantaranya adalah memiliki ilmu gaib yang disebut pakeang woroane’ (pakaian laki-laki), yang membuat orang menjadi kebal (kebbeng) dan agresif. Juga memiliki senjata berkekuatan gaib. Tokoh cerita dalam tradisi lisan modern tidak memiliki alasan bertarung selain untuk membuktikan keunggulan atas “juara lain”. Adapun to-acca (orang pintar) dapat pula diartikan sebagai seorang yang “ahli” atau “cerdik”. Dalam tradisi bercerita orang Bugis, unsur “tokoh penipu” dalam cerita epos tidak begitu menonjol dibandingkan dengan yang terdapat dalam cerita-cerita lisan. Prototipe tokoh penipu dan pendusta dalam sastra semacam itu adalah tokoh lapong Pulando (si kancil/pelanduk cerdik), yang diadopsi dari cerita tradisional Melayu. Pulando kemudian diintegrasikan ke dalam tradisi lokal sedemikian rupa sehingga menghasilkan istilah ma’pulando’ (berkelakuan seperti kancil) yang suka menipu. Tokoh to acca lainnya termasuk tokoh fiktif yang dikaitkan dengan kerajaan tertentu, seperti La Pudaka di Wajo, La Mellong di Bone dan La Sallomo di Sidenreng yang terispirasi oleh tokohtokoh sejarah Bugis nyata. Cara penggarapan tingkah laku tokoh-tokoh cerita yang mencapai kekuasaan dan kekayaan dengan cara-cara tidak jujur, menipu, berbohong 13. La Galigo adalah naskah bersyair yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno dengan gaya bahasa sastra tinggi, merupakan salah satu epos terbesar di dunia, lebih panjang dari epos Mahabarata. Setidaknya dari 113 naskah yang berhasil dikumpulkan R. A. Kern pada 1931 dan 1954 terdiri atas 31.500 hal.
82
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
dan curang, dibuat sedemikian rupa sehingga mereka tampil sangat simpatik (seperti Robinhood dalam cerita lisan Barat). Sama halnya dengan konsep keberanian, konsep kepandaian juga bersisi ganda. Sebagaimana keberanian, kepandaian pun bisa digunakan untuk kebaikan bersama dan dapat pula dijadikan alat pemuas hasrat pribadi, namun dalam kedua kasus tersebut, kepandaian tetap dipandang sebagai alat untuk menegakkan siri’. Keutamaan ketiga yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang baik adalah harta kekayaan. Dalam siklus La Galigo, kekayaan yang hanya satu tingkat di bawah kekayaan dewata merupakan ciri khas semua tokoh utama, sesuai dengan status mereka sebagai pemimpin keturunan dewa. Kekayaan tersebut berwujud emas yang melimpah, serta aneka ragam barang impor berharga seperti kain patola sutra, parfum, porselen dan cermin yang dibawa oleh pedagang “Marangkabo” dari wilayah barat yang tidak dikenal yang mereka sebut Jawa dan Kelling. Orang Bugis agaknya tidak pernah melupakan kenangan akan zaman “keemasan” itu secara harfiah. Hal tersebut terwujud dalam keinginan untuk memperkaya diri yang menjadi motivasi paling kuat dan menjadi pendorong utama usaha perdagangan dan pelayaran, hingga ekspansi ke seberang lautan untuk mengeksploitasi sumberdaya yang bernilai ekonomis oleh sebagian besar dari mereka. Bahkan, banyak ulama yang menganggap usaha memperkaya diri sebagai suatu kewajiban, sepanjang dilakukan secara jujur dan halal (sappa’ dalle’ hallala’), karena memungkinkan seseorang membantu sesama yang kurang beruntung. Di Wajo misalnya, sejak lama seorang laki-laki kaya dapat mengawini perempuan yang lebih tinggi derajat kebangsawanannya (walaupun melanggar norma yang melarang hubungan semacam itu). Namun dengan syarat harus membayar “uang darah” (pang’elli dara), yang harganya sangat mahal dan ditetapkan sepihak oleh keluarga mempelai wanita, seorang laki-laki biasa namun kaya dapat mengawini perempuan “berdarah biru”. Sistem hierarki orang Bugis, meskipun membedakan orang berdasarkan asal-usul keturunannya, pada saat yang sama, juga memberi peluang yang sama kepada orang-orang dari status yang sederajat. Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
83
Walaupun garis batas antara orang-orang dari status berbeda terus dipertahankan, tetapi persaingan dikalangan orang-orang berstatus sederajat untuk memperoleh jabatan, pengaruh, maupun kekayaan tetap terbuka lebar. Jadi, persamaan hak dalam suatu sistem hierarki pada orang Bugis sekaligus merupakan bibit instabilitas, bahkan kadang-kadang merupakan benih konflik. Tidak mengherankan jika upaya mencari peruntungan untuk mengubah nasib, mendorong banyak orang Bugis berspekulasi dengan cara merantau ke seberang lautan. Seorang perantau akan merasa malu bila dia tidak bisa pulang untuk memperlihatkan bukti keberhasilannya di rantau, kadangkala sampai bertahun-tahun tidak mudik hanya untuk “mengejar” kekayaan. Di dalam konteks mencari kekayaan ini pun siri’ juga dipertaruhkan. Berbeda dengan ketiga unsur sebelumnya yang bersifat ambigu, unsur to-panrita sebaliknya hanya dapat dipandang dari satu sisi saja. To-panrita merupakan orang yang menguasai seluk beluk agama, bijaksana, saleh dan jujur. Prototipe to-panrita pra-Islam adalah We Tenriabeng, saudara kembar (perempuan) Sawerigading yang merupakan seorang bissu14, menikah dengan mahluk halus dan naik ke langit untuk tinggal bersama suaminya. Menarik disimak bahwa dalam tradisi lisan to-panrita sebagian besar adalah perempuan, hanya sedikit laki-laki. Bila to-panrita tersebut laki-laki, biasanya mereka digambarkan sebagai seorang yang lanjut usia, orang yang telah meninggalkan semua perbuatan buruk yang mungkin mereka lakukan di masa muda. Kronik Wajo menggambarkan bagaimana La Taddampare’, yang kelak dikenal sebagai Puang ri Ma’galatung, Arung Matoa Wajo yang harus meninggalkan tanah Bone akibat perilaku buruknya. Dalam konteks Islam dewasa ini, perubahan tau llao sala (orang lontang-lantung tanpa tujuan) menjadi to-panrita mungkin ditandai dengan keputusan menunaikan ibadah haji ke Mekkah sambil memperdalam pengetahuan agama. Dengan demikian, Islam telah menyumbangkan warna baru terhadap prototipe yang ada dengan memperkuat aspek-aspek etika serta 14. Bissu adalah dukun yang menjadi “penghubung” masyarakat tradisional dengan kekuatan supranatural.
84
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
membedakan secara tegas to-panrita dengan gambaran ambigu tentang to-warani, to-acca dan to-sugi.
4.1.3 Etika-Moral Kemasyarakatan Sebagai salah satu etnik yang represif terhadap hal baru, tentu saja dalam kurun waktu yang panjang tidak sedikit terjadi pergeseran nilai-nilai yang dianut masyarakat Bugis, yang kemudian terakumulasi sebagai etika moral yang diadopsi bersama. Sebagaimana digambarkan Faried (1999), bagaimana mungkin prilaku orang Bugis dewasa ini (yang bersaing dengan kasar, tidak adil, curang, membeda-bedakan orang di depan hukum), begitu jauh berbeda dengan ajaran leluhur mereka. Yaitu perilaku yang dibangun di atas semangat demokrasi, cinta keadilan, perlindungan atas kaum lemah dan rasa setia kawan. Menurut Faried kondisi ini merupakan akumulasi dari memudarnya nilai-nilai budaya orang Bugis akibat peperangan internal maupun eksternal. Sejak penaklukan oleh penguasa kolonial, penjajahan, pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, pemberontakan Westerling dan Kahar Muzakar atau TKR dan Darul Islam. Selain akibat kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakstabilan ekonomi. Kontradiksi semacam itu sebenarnya telah tampak dalam nilainilai ideal masyarakat Bugis, sebagaimana terlihat dalam tarik-menarik antara siri’ dan passe’15, persaingan dan solidaritas, juga sistem hirarki dan persamaan hak. Interaksi orang Bugis pada dasarnya terdiri atas beberapa lapis kelompok yang saling terkait (keluarga, wilayah kekuasaan dan patron-klien) yang berwujud suatu piramida saling berhubungan, sebagaimana halnya interaksi antar individu dalam persaingan atau solidaritas.
15. Passe’ berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap kerabat, tetangga atau sesama anggota kelompok sosial. Melambangkan solidaritas, tidak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah atau menderita sakit. Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
85
Hubungan antara keluarga yang satu dengan lainnya, wilayah yang satu dengan lainnya, serta kelompok patron-klien yang satu dengan lainnya, pada dasarnya adalah hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya. Setiap individu sekaligus merupakan anggota dari berbagai lapisan kelompok tersebut. Oleh karena itu interaksi antar kelompok, dengan sendirinya juga merupakan interaksi antar individu, tidak terlalu diatur oleh suatu standar moral universal, akan tetapi lebih banyak ditentukan oleh semacam aturan main atau lebih tepatnya oleh suatu aturan yang menyerupai pola interaksi antar negara (dimana kepentingan nasional/lebih besar, lebih dipentingkan dari tuntutan moral). Di dalam konteks seperti ini, tujuan utama seorang individu adalah mencapai prestasi pribadi, sekaligus ikut memberi kontribusi terhadap keberhasilan kelompok di mana ia menjadi anggota. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan mengikuti aturan main yang membuka peluang terjadinya persaingan ketat, tanpa harus tergelincir kedalam anarki atau tanpa harus membahayakan kehidupan masyarakat secara luas. Dalam kerangka seperti itu, sifat baik seseorang bukan lagi menjadi suatu hal yang mutlak ada, akan tetapi sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dikendaki. Demikianlah, orang Bugis memiliki sistem hirarkis yang sangat rumit dan kaku, namun pada sisi lain prestise dan hasrat berkompetisi untuk mencapai kedudukan sosial tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan, tampaknya tetap menjadi faktor pendorong utama yang menggerakkan roda kehidupan sosial-kemasyarakatan mereka. Ciri khas yang berlawanan (ambigu) itulah yang membuat orang Bugis memiliki mobilitas sangat tinggi serta memungkinkan mereka menjadi perantau ulung. Kemampuan mereka untuk berubah dan menyesuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan mereka dapat bertahan dimanapun selama berabad-abad. Bahkan, ketika mereka harus terus menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya, orang Bugis ternyata mampu mempertahankan identitas “keBugisan” mereka.
86
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Orang Bugis tidak hanya sekedar mengadaptasikan diri terhadap lingkungan, mereka bahkan mampu memberi warna tersendiri terhadap lingkungan yang baru. Sementara, kecenderungan mereka yang tampaknya saling berlawanan, berpandangan hierarkis sekaligus egalitarian, dorongan untuk berkompetisi sekaligus berkompromi, menjunjung tinggi kehormatan diri tetapi juga solider terhadap sesama orang Bugis. Dipadukan dengan nilai-nilai yang diutamakan, seperti; keberanian, ketaatan terhadap ajaran agama dan kelihaian berbisnis merupakan unsur-unsur penggerak utama dalam perkembangan kehidupan sosio-ekonomi dan politik mereka selama ini.
4.1.4 Etika-Moral Ekonomi Ponggawa Jika memperhatikan dengan cermat kegiatan pertambakan tradisional yang saat ini berlangsung di kawasan Delta Mahakam, dengan segala aspek biofisik dan lingkungannya yang rawan (streesed eco-system), tentu kita tidak akan mengatakan kehidupan menjadi seorang petambak adalah pekerjaan yang mudah dan “menjanjikan”. Di dalam kegiatan pertambakan, seorang petambak tidak hanya dituntut memiliki semangat pantang menyerah, kondisi fisik yang prima, namun juga harus siap menerima kenyataan pahit, yaitu kegagalan! Mengubah hutan mangrove menjadi sebuah hamparan tambak yang produktif bukanlah pekerjaan mudah, karena menuntut pengorbanan dan kerja-keras. Di satu sisi mereka harus pula memiliki kepasrahan, karena keberhasilan panen yang lebih banyak ditentukan oleh kemurahan alam. Kenyataan seperti inilah yang selalu dihadapi oleh para petambak di Delta Mahakam. Artinya, tidaklah mudah bagi seorang petambak untuk meningkatkan kehidupan sosio-ekonominya, apalagi bisa “naik kelas” menjadi seorang ponggawa. Keberhasilan usaha pertambakan di kawasan Delta Mahakam, tidak serta-merta membuat semua petambak sontak menjadi kaya mendadak, hanya mereka yang memiliki modal kuat dan lahan tambak yang luas lah, yang pada saatnya berhasil “naik kelas” menjadi ponggawa. Kondisi ini selain menciptakan jurang kesenjangan diantara para petambak, juga menyebabkan seorang petambak yang telah berhasil menjadi ponggawa
Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
87
mulai berani melakukan ekspansi perluasan area tambak dengan cara meminjamkan modal usaha pada patronnya untuk membuka hutan mangrove yang dikuasainya. Hal inilah yang melanggengkan pola hubungan pemimpin-pengikut (patron-clients) yang masih dipertahankan oleh sebagian wiraswasta Bugis dalam kegiatan sosio-ekonomi pertambakan. Kondisi ini diduga dapat terpelihara karena dalam pranata adat Bugis, dikenal istilah siri’ yang masih berlaku dalam konteks yang lebih lunak, meskipun semakin memudar dalam kehidupan bermasyarakat pada komunitas Bugis di Kawasan Delta Mahakam. Penelitian yang dilakukan Lineton (1975); Walinono (1979), tentang etnik Bugis dan Makassar membuktikan bahwa sistem patron-klien ternyata mampu bertahan di bawah kondisi politik dan historis yang relatif berbeda. Pranata adat siri’ ini sangat menekankan adanya sikap ksatria dari warga etnik Bugis untuk tetap menjaga konsistensi perkataan dan sikap sehingga menimbulkan rasa kepercayaan yang tinggi seseorang kepada orang lain. Pranata adat siri’ ini juga berlaku dalam sistem permodalan pengelolaan tambak yang dilakukan dari ponggawa kepada petambak/penjaga empangnya. ”Dalam kehidupan manusia Bugis-Makassar, siri’ merupakan unsur yang sangat prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi ini selain dari pada siri’. Bagi manusia Bugis-Makassar, siri’ adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri’ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka “manusia Bugis-Makassar akan bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri’ dalam kehidupan mereka” (Hamid Abdullah 1985). Selanjutnya menurut Pelras (2006), siri’ bukan semata-mata persoalan pribadi yang muncul secara sepontan. Siri’ lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial, hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis. Biasanya siri’ akan berlaku secara beriringan dengan passe’ atau lengkapnya passe’ babua, 88
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
yang berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri. Mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap kerabat, tetangga atau sesama anggota kelompok sosial. Melambangkan solidaritas, tidak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah atau menderita sakit keras. Passe’ bersama merupakan pengikat para anggota kelompok sosial, sehingga berhubungan erat dengan identitas, diantara sesama orang Bugis, terutama para pelaut atau perantau yang sedang berada di negeri orang, passe’ menjadi dasar rasa memiliki identitas ”ke-Bugis-an”. Selain kehormatan dan kekuasaan sebagai aspek yang mendasari hubungan patron-klien, faktor ekonomi juga tidak kalah pentingnya. Juga keterkaitan antara kekuatan politik dan kekuasaan atas lahan. Jelasnya solidaritas kelompok atau passe’ yang juga melekat dalam sistem patron-klien menjamin terjalinnya kohesi internal dalam suatu keluarga atau kelompok sosial. Etnik Bugis selama berabad-abad juga mengenal sebuah sistem yang mendukung terjadinya mobilitas sosial, persaingan diantara mereka yang sederajat, kerjasama antar strata sosial dan integrasi dalam berbagai kelompok yang biasanya tak memperhitungkan batas wilayah (Pelras, 2006). Suatu persaingan, bahkan dapat terjadi antar anggota keluarga atau suatu kelompok pengikut, jika seorang lelaki dalam suatu keluarga berhasil meraih prestasi, biasanya, saudara lakilakinya akan berusaha mencapai sesuatu yang lebih baik, demi siri’-nya sendiri. Persaingan seperti itu memiliki arti penting sebagai pendorong dilakukannya suatu usaha atau pergi merantau dalam rangka mencapai keberhasilan di bidang ekonomi.
4.2 PATRONASE PERTAMBAKAN Patronase merupakan suatu hal yang penting dalam masyarakat Bugis. Kondisi seperti ini dapat dilihat langsung dari jalinan hubungan yang berkembang dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam (lihat Lenggono, 2015). Seperti misalnya hubungan yang bersifat vertikal
Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
89
antara penjaga empang dan petambak (ponggawa), dimana ponggawa yang memiliki status sosial ekonomi jauh lebih mapan, mendominasi hubungan yang berlangsung. Selain digunakan untuk membangun aliansi strategis di dalam komunitasnya, jaringan patronase juga sangat fungsional untuk mendapatkan legitimasi sosial dalam rangka mengembangkan modal kapital yang dikuasai seorang ponggawa. Sebagaimana diketahui bahwa identitas “ke-Bugis-an” yang terlekat dalam pranata passe’ dapat menjadi pengikat anggota kelompok sosial yang sangat strategis di antara sesama perantau Bugis. Dengan basis nilai seperti itu, menjadikan hubungan aliansi strategis dalam komunitas pada awalnya akan lebih terfokus pada kelompok sosial terkecil yang hanya berisi anggota keluarga dan kerabat dekat, berpusat pada seorang patron. Biasanya adalah orang yang dianggap mampu secara finansial dan “dituakan” dalam memimpin keluarga. Hubungan aliansi strategis dalam komunitas akan semakin membesar dengan melibatkan tetangga dan masyarakat sekitar yang memiliki identitas sama, seiring terjadinya penguatan kapital pada diri sang patron. Pada tahapan selanjutnya, seorang patron yang kuat secara kapital, loyal dan memiliki klien banyak, cenderung akan memiliki kharisma tersendiri bagi anggota komunitas lainnya. Meskipun terkadang kharisma seorang patron diperoleh dari proses sosialisasi yang panjang dengan melebih-lebihkan kemampuan pribadinya. Kesohoran seorang patron bisa berpengaruh tidak hanya dalam komunitas, namun juga di luar komunitasnya, sehingga aliansi strategis yang terbangun menjadi lebih kompleks. Pada awalnya hubungan diadik yang terbangun dalam aliansi strategis dalam komunitas, berproses secara hierarkis seiring dengan penguatan kapital sang patron, namun hubungan diadik yang terbangun tidaklah ada dengan sendirinya. Melainkan sebagai keberhasilan ponggawa dalam mengindividukan hubungan yang terjalin, sehingga menghambat kekuatan tawar-menawar kolektif. Artinya, hubungan diadik berbungkus kepentingan tersebut dengan sengaja dibangun untuk kepentingan strategis berjangkauan luas. Sebagaimana diungkapkan Popkin (1986), bahwa sumberdaya-sumberdaya yang akan diinvestasikan oleh patron 90
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
bukan hanya untuk memperbaiki keamanan dan tingkat subsistensi klien, tapi juga untuk menjaga agar hubungan-hubungan itu tetap diadik, serta menghambat klien mendapatkan keterampilan/kemampuan yang bisa merubah keseimbangan kekuatan. Scott (1994) menyatakan bahwa hubungan patonase biasanya merupakan suatu kasus khusus dalam ikatan (dyadic) dua pihak yang menyangkut suatu persahabatan. Dimana seorang individu dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan dan/ atau keuntungan bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (klien), yang sebaliknya membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan pribadi pada sang patron. Meskipun menurut pendapat Scott hubungan pertukaran yang mewujud merupakan jalinan rumit yang berkelanjutan dan baru terhapus dalam jangka panjang. Namun dalam tradisi patronase pada masyarakat Bugis di Delta Mahakam hubungan tersebut ternyata dapat dihentikan setiap saat, selama klien tidak memiliki sangkutan16 pada sang ponggawa. Ini berarti, meskipun patron memiliki posisi yang lebih hegemonik dalam hubungan diadik yang berlangsung, namun setiap klien memiliki otonomi untuk memutuskan hubungan tersebut, jika tidak lagi terikat hutang-piutang. Begitu pun dengan patron, Ia pun bisa memutuskan hubungan secara sepihak dengan sanksi penggantian semua hutang. Hal ini terjadi jika klien dalam jaringan patronasenya terbukti berlaku tidak patuh pada patron dan curang atau pun tidak jujur dalam setiap transaksi. Misalnya, tertangkap basah menjual sebagian atau seluruh hasil panennya pada ponggawa lain. Jika pemutusan hubungan kerja seperti ini terjadi, maka ‘tamatlah riwayat’ klien dimaksud. Oleh karena sekali Ia di black list oleh ponggawa yang menaunginya, maka ponggawa lainnya akan enggan untuk menerimanya menjadi anggota. Sebuah hubungan patronase akan dapat tetap berlanjut secara lestari jika perimbangan pertukaran yang terjadi dianggap oleh kedua belah pihak bisa diterima, karena secara rasional
16. Sangkutan berarti hutang yang harus dilunasi dalam waktu tertentu. Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
91
masih dalam batas toleransi perimbangan. Di sini perimbangan tidak berarti harus adil, karena kedua belah pihak telah saling mengetahui bahwa sumberdaya yang mereka miliki untuk dipertukarkan tidaklah setara. Di sini berlaku ungkapan Bugis terkenal “Pontudanngi tudammu, puonroi onromu” (duduki kedudukanmu, tempati tempatmu). Umumnya patron selalu memiliki sumberdaya yang langka, dalam arti sumberdaya yang mereka miliki sukar dicari penggantinya, karenanya sumberdaya tersebut dinilai tinggi oleh kedua belah pihak. Sementara klien hanyalah memiliki sumberdaya yang nilainya berada di bawah, dalam arti sumberdaya tersebut dimiliki oleh kebanyakan orang, sehingga dengan mudah dapat tergantikan orang lain (misalnya tenaga yang dipertukarkan). Meskipun demikian, tidak satupun sumberdaya dapat dipertukarkan secara terpisah, karena pertukaran yang terjadi merupakan kombinasi dari berbagai sumberdaya. Akibatnya hubungan yang terjadi di antara keduanya pastilah bersifat vertikal, dimana ponggawa berkedudukan superior dan kuat, sedangan petambak dan penjaga empang menempati kedudukan inferior dan lemah. Namun kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan-keuntungan dalam hubungan tersebut. Ponggawa merasa beruntung karena selain mendapatkan keuntungan materi yang berlimpah, juga menjadi orang yang berkuasa dan dihormati di masyarakatnya atau setidaknya di kalangan anggota jaringannya. Sedangkan, petambak dan penjaga empang mendapatkan keuntungan berupa pendapatan dari bagi hasil kegiatan usaha atau pun kepastian berproduksi, serta terbukanya kesempatan untuk mendapatkan pinjaman tanpa bunga dan jaminan, dengan tempo pengembalian tanpa batas. Selain itu petabak juga mendapatkan berbagai fasilitas bantuan lainnya dalam menghadapi kesulitan hidup dan yang tidak kalah penting adalah jaminan keamanan subsistensi bagi keluarganya. Menariknya, komitmen atas hubungan yang terjalin dilakukan dengan semangat resiprositas dan sukarela, tanpa suatu ikatan perjanjian/ kontrak tertulis, sehingga tidak ada kekuatan hukum formal yang bisa memaksa kedua belah pihak untuk bisa tetap bertahan di dalamnya. 92
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Proses transaksi peminjaman dan pelunasan biasanya hanya diketahui kedua belah pihak tanpa disaksikan pihak lain dan bersifat lisan. Bagi ponggawa yang tidak buta huruf biasanya hanya akan menuliskan transaksi pinjaman pada hari itu di dalam buku catatannya untuk sekedar mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman. Hubungan produksi yang sifatnya sukarela dan tanpa perjanjian tertulis inilah yang menyebabkan kedua belah pihak merasa harus saling menjaga “perasaan” dan kepercayaan yang telah terbentuk, dengan cara melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing. Meskipun kecurangan atau pun ketidak-jujuran dapat berakibat fatal (pemutusan hubungan kerja), namun diakui sejumlah ponggawa, selama pelanggaran tersebut tidak melebihi batas kewajaran biasanya hanya akan didiamkan saja, untuk menjaga perasaan klien bersangkutan. Hal ini dilakukan tidak semata-mata untuk mengantisipasi hengkangnya klien, khususnya para penjaga empang berpengalaman yang semakin sulit diperoleh, melainkan juga demi menjaga perasaan klien. Mengingat pemutusan hubungan kerja yang dilakukan seorang ponggawa terhadap petambak atau pun penjaga empang, mengandung resiko berupa hilangnya uang/materi yang pernah dipinjamkannya pada klien bersangkutan. Selain itu menghilangkan pula “lumbung budi baik” yang telah tertanam dalam hubungan tersebut. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa walaupun kedua belah pihak terlibat dalam suatu hubungan dengan titik berat ekonomi, namun unsur perasaan tampaknya masih tetap memainkan peran penting. Terjadinya paradox, antara tujuan ekonomi di satu sisi dengan tenggang-rasa di sisi lainnya, merupakan manifestasi berlangsungnya proses adaptasi kultural yang kemudian membentuk rasionalitas ekonomi yang khas. Dimana nilai-nilai yang terkandung dalam siri’ dan passe’ memberikan pengaruh yang tidak kecil. Siri’ beroperasi dengan cara memanusiakan orang lain yang kehidupan ekonominya sedang terpuruk, sehingga tidak harus kehilangan martabatnya. Sementara passe’ beroperasi melalui rasa empati dan belas-kasih untuk bisa saling berbagi (tolong-menolong), sehingga solidaritas dan sikap saling percaya dalam kelompok dapat tetap Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
93
terpelihara. Meskipun demikian rasionalitas ekonomi yang mewujud, tidak berarti sebagai suatu hambatan menuju suatu tata cara pengelolaan perekonomian modern yang menuntut rasionalitas ekonomi yang tinggi. Dimana “hutang (materi ataupun non materi) berbalut kejujuran” tampaknya menjadi alat pengikat bagi mereka yang terlibat dalam hubungan patronase. Ini berarti orang Bugis sangat menghargai kejujuran sebagai sumber untuk mendapatkan kepercayaan, yang memiliki arti penting dalam melakukan kegiatan usaha dengan pihak lain. Prinsipnya, jika kejujuran tidak dimiliki seseorang, maka orang lain tidak akan menghargainya, bahkan keluarga dekat dan sanak familinya. Di sini siri’ sebagai milik bersama dalam keluarga dan lingkungannya akan ikut terbawa-bawa. Seseorang bisa saja memiliki kesempatan untuk berlaku curang, namun pihak keluarga dekatlah yang pertama-tama menentangnya atas nama siri’ keluarga, jika mereka mengetahui kecurangan tersebut. Di sini keluarga berfungsi sebagai alat kontrol sosial atas penyalahgunaan kepercayaan oleh anggotanya yang menciderai nilai-nilai kejujuran dalam masyarakat. Sadar akan bahaya yang setiap saat dapat menimpa, jika salah satu pihak tidak mempercayai pihak lainnya, menyebabkan kedua belah pihak berusaha membina hubungan kerjasama berlandaskan kepercayaan dalam jangka panjang, sehingga tetap dalam batas toleransi perimbangan. Keadaan tersebut pada Gambar 3.1, ditunjukkan dengan adanya batas toleransi perimbangan yang berada di bawah garis imajiner kualitas/ stabilitas hubungan kelas. Jika garis ‘pendulum’ tata hubungan patronase masih berada diantara ‘ruang’ batas toleransi perimbangan, maka dapat dipastikan transaksi pertukaran akan tetap berlanjut dengan lestari. Namun jika garis ‘pendulum’ tata hubungan patronase telah menyentuh batas bawah toleransi perimbangan, maka transaksi pertukaran yang berlangsung cenderung akan berdasarkan paksaan atau eksploitatif. Jika sebaliknya maka hubungan patronase cenderung akan menghasilkan transaksi pertukaran yang lebih sepadan. Seringkali pertukaran terkesan menjadi lebih eksploitatif. Hal ini terjadi ketika seorang klien yang tidak mampu membayar hutangnya 94
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
secara teratur (akibat ketidakpastian hasil penen ataupun untuk menutupi kebutuhan darurat rumah tangga), malahan menambah pinjamannya pada sang patron. Keadaan ini tidak hanya mengkondisikan petambak ataupun penjaga empang terikat hutang seumur hidup pada ponggawanya, bahkan dapat memaksa anak keturunannya mewarisi hutang-piutang tersebut. Hutang semacam ini biasanya tidak terhapus, walaupun yang berhutang sendiri telah meninggal, kecuali ada kebijaksanaan dari sang patron. Dalam kondisi seperti inilah seringkali seorang klien tidak berdaya menghadapai ‘eksploitasi’ yang dilakukan patronnya. Misalnya kewajiban menyerahkan semua hasil panennya pada sang patron dengan harga di bawah standar. Bahkan sering juga terjadi dengan cara memberikan potongan lebih besar dalam setiap transaksi penjualan hasil panen sebagai kompensasi pembayaran hutang. Potongan ini belum termasuk komisi penjualan bagi sang patron yang bisa mencapai 10 %. Patron Patron memberikan perlindungan sosial dan ekonomi
Kadar resiprositas tinggi Unsur patronase menguat Status patron diberikan dengan lebih iklas Klien memberikan sikap hormatnya
Tata Hubungan Patronase Pertukaran Cenderung Sepadan
Batas Toleransi
Garis Imajiner Kualitas/ Stabilitas Hubungan
P i b
Pertukaran Cenderung Berdasarkan Paksaan/ Eksploitatif
Klien menyerahkan dukungan tenaga, hasil produksi
Kadar resiprositas berkurang Unsur patronase melemah Unsur paksaan bertambah kuat Status tergantikan kekuasaan Sikap hormat berganti sikap tunduk
Klien Klien
Gambar 4.1 Perimbangan Pertukaran Tata Hubungan Patronase
Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
95
Meskipun sejumlah ponggawa mengeluhkan besarnya biaya pemeliharaan (maintenance) jaringannya, namun para ponggawa biasanya tidak kuasa untuk menolak permintaan bantuan dari anggotanya. Seorang ponggawa setidaknya harus mengalokasikan dana lebih dari Rp 100 juta setiap bulannya hanya untuk membantu biaya berbagai keperluan hidup anggotanya yang jumlahnya tidak lebih dari 50 orang. Alokasi dana yang harus disediakan akan berlipat jika ada anggotanya yang mengalami gagal panen, tambaknya mengalami kerusakan dan juga akibat desakan klien yang berharap mendapatkan bantuan untuk membangun area tambak baru. Akomodasi bantuan yang diberikan tidak hanya dilakukan untuk menarik simpati anggotanya, sehingga semakin menghormati dan mematuhinya. Melainkan juga menjaga sikap ketergantungan dalam hubungan yang terjalin sehingga memberikan jaminan kepastian pasokan raw material. Seorang ponggawa biasanya akan merasa malu bila anggotanya berpindah pada ponggawa lain, karena ia tidak mampu menolong kebutuhan anggotanya yang sedang mengalami kesulitan. Oleh karena hal itu dapat menurunkan prestige dan nama baiknya di mata anggota jaringan dan ponggawa yang lain. Selanjutnya para ponggawa akan berusaha membangun hegemoni kulturalnya melalui jaringan patronase yang dimilikinya untuk menopang kegiatan usaha pertambakan yang sarat dengan persaingan dan ketidakpastian. Para ponggawa berusaha membangun citranya dengan berbagai cara, terutama berlaku sebagai seorang patron yang dermawan dan ringan tangan, bahkan tidak sedikit yang suka “mempertontonkan” keunggulan kapitalnya pada khalayak. Dalam perkembangannya muncul fungsi serupa dalam kepemimpinan dan berbagai kegiatan sosial keagamaan yang diperankan oleh “orang saleh” yang saat ini tidak hanya bisa diperankan oleh tokoh-tokoh agama lokal (imam masjid/ penghulu/ulama). Melainkan juga mulai diperankan oleh tokoh-tokoh masyarakat dengan kemapanan ekonomi tertentu (seperti; ponggawa). Tentu pengakuan sebagai “orang saleh” secara sosio-religiositas juga dimaksudkan untuk memperoleh dukungan atas keberlangsungan kepemimpinan seorang ponggawa. Dengan demikian, transformasi 96
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
kehidupan keagamaan yang berporos pada agen, semakin memperkuat pola hubungan vertikal dalam budaya patronase pada masyarakat Bugis di Kawasan Delta Mahakam.
4.3 PENGELOLAAN “PERTAMBAKAN ILEGAL” Pelras (2006) dengan sangat antusias mencatat, bahwa sepanjang sejarah sosio-kultural orang Bugis, sejumlah ciri khas tertentu dengan sangat menakjubkan tetap melekat dalam diri mereka. Diantaranya adalah kecenderungan yang luar biasa untuk selalu mencari peluang ekonomi yang lebih baik dimanapun dan kapanpun. Selain itu daya adaptasi mereka terhadap keadaan yang dihadapi sangat mengagumkan, “dimana kaki berpijak disitu langit dijunjung”. Orang Bugis tidak hanya sekedar mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan mereka, bahkan memberi warna tersendiri terhadap lingkungannya yang baru. Sementara kecenderungan mereka yang tampak saling berlawanan – berpandangan hirarkis sekaligus egalitarian, dorongan untuk berkompetisi sekaligus berkompromi, menjunjung tinggi kehormatan diri tetapi juga solider terhadap sesama orang Bugis – dipadukan dengan nilai-nilai yang diutamakan seperti, keberanian, kecerdasan, ketaatan terhadap ajaran agama dan kelihaian berbisnis, merupakan unsur-unsur penggerak utama dalam perkembangan hidup mereka selama ini. Sebuah kualifikasi yang sangat baik untuk menjadi entrepreneur yang berhasil. Orang Bugis Delta Mahakam, meskipun memiliki persamaan bahasa dan budaya yang mengikat mereka sebagai orang Bugis, namun mereka tidaklah homogen. Karena para migran Bugis yang datang ke kawasan Delta Mahakam tidak hanya berasal dari satu daerah tertentu di Sulawesi Selatan, Selain itu selama beberapa generasi menetap di Kawasan Delta Mahakam, mereka tampaknya juga telah menarik batas perbedaan antara penduduk asli (keturunan Bugis generasi pertama) dan migran pendatang (keturunan Bugis dari sekitar pantai timur Kalimantan), maupun migran Bugis yang baru datang belakangan dari Sulawesi, serta orang Bugis yang terasimilasi atau terintegrasi dengan etnik lain. Juga
Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
97
fenomena pengelompokan orang Bugis yang cenderung membentuk kelompok berdasarkan daerah asal masing-masing (yang sering kali saling berhubungan), dimana orang Bugis Wajo sangat jarang berbaur satu sama lain dengan orang Bugis Bone. Sebuah alasan penting bagi bertahannya keberhasilan kegiatan industri perikanan orang Bugis di pantai Timur Kalimantan tampaknya berkaitan dengan pemanfaatan waktu (timing). Setelah mendapatkan kesempatan pengembangan usaha disektor perikanan budidaya pasca pelarangan trawl di awal 1980-an, para nelayan imigran Bugis menjadi komunitas yang mendapatkan kesempatan pertama dalam pengembangan pertambakan di sekitar kawasan Delta Mahakam dan kelak merambah hingga pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam. Menariknya, setelah program pertambakan yang pada awalnya didukung pemerintah tersebut berkembang pesat, pada periode selanjutnya kegiatan pertambakan di kawasan kaya migas tersebut dianggap otoritas berwenang sebagai kegiatan ilegal. Namun demikian, orang-orang Bugis sepertinya sukar digeser, meskipun telah dihalau dari dalam area KBK dengan penerapan berbagai peraturan-peraturan yang menekan. Pertama, yang berhasil dimainkan orang Bugis atas momentum tersebut adalah, menguasai “tanah-tanah negara” sebagai alat produksi yang menjadi kunci beroperasinya kegiatan usaha disektor pertambakan. Kedua, dengan bantuan perusahaan-perusahaan perikanan ekspor yang beroperasi disekitar kawasan Delta Mahakam, sebagian dari petambak yang telah berhasil “naik kelas” menjadi ponggawa, mendapatkan kesempatan untuk “bermitra”, melakukan akumulasi kapital dan penguasaan atas “tanah-tanah negara” yang masih tersisa. Sekaligus membangun industri perikanan dalam kesempatan pertama. Ketiga, dengan penguasaan atas sumberdaya yang sangat strategis tersebut, para ponggawa memanfaatkan komponen budaya lokal (patronase) untuk dapat menggerakkan kegiatan usaha disektor pertambakan dengan lebih efisien. Keempat, keberhasilan mereka dalam mengembangkan jaringan perdagangan yang terkoneksi dengan pasar regional dan internasional. Kelima, memberikan apresiasi tinggi terhadap nilai usaha dan hidup yang bersahaja, “dipameang pai dalle, 98
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
dileteangngi pai, andiang dalle, napole mettiroma, diang dalle mulolongan, da mugula gulai, andiang dalle, nasadia-dianna”. Artinya rezeki itu harus dicari, titian harus dibuat karena rezeki tidak akan pernah datang menyongsong kita, apabila rezeki telah terjangkau, janganlah hidup boros sebab rezeki yang ada itu suatu saat akan tiada. Sementara hirarki menjadi tulang punggung dan sokoguru dari tata moral kegiatan usaha orang Bugis. Inti sari hirarki sosial adalah perbedaan relatif diantara yang lebih dan yang kurang atas (ketidaksamaan) prinsipil diantara masing-masing orang. Dimana mereka yang lebih atas harus memimpin, mengajar, melindungi dan bertanggungjawab; yang lebih bawah mengikut, menerima dan bertanggungjawab, berterima kasih dan hormat, sementara kesadaran akan jenjang-jenjang kedudukan mereka itu diungkapkan dengan perilaku dan bahasa tertentu (Mulder, 1999). Berbagai komponen kultural yang selalu diaktualisasikan dengan situasi dan kondisi masa lokal itulah yang pada akhirnya mempengaruhi strategi pengembangan usaha pertambakan yang terbangun. Dengan pengertian bahwa ikatan-ikatan tersebut ditujukan “untuk memastikan bahwa mereka yang hidup dibawah akan dipenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk akses untuk mendapatkan tanah, sekaligus menawarkan kepada yang diatas akan ketersediaan pengikut yang diperlukan sebagai modal tenaga kerja (petambak atau penjaga empang), yang akan digunakan untuk ketahanan ekonomi maupun sebagai modal simbolik (pengikut) yang dipamerkan pada kesempatan khusus atau upacara-upacara perayaan” (Acciaioli, 1989). Menurut Vayda dan Sahur (1996), masyarakat Bugis menggunakan hubungan pemimpin-pengikut (patron-clients), bertindak tidak sebagai majikan yang berhadapan dengan para pegawai yang digaji seperti dijabarkan dalam sistem kapitalis. Karena mereka lebih bersikap sebagai kepala keluarga tradisional yang terus menolong menutupi kebutuhan para pekerja, seperti membayar biaya keperluan darurat dan biaya lain untuk memenuhi kewajiban upacara adat. Namun demikian, hubungan patron-clients yang terjadi dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam, secara fungsional Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
99
telah mengalami pergeseran. Para ponggawa tidak hanya memposisikan dirinya sebagai kepala keluarga tradisional, tapi juga sebagai produsen yang “memaksa” petambak-penjaga empang yang terikat padanya, untuk memberikan kepastian pasokan udang yang dibutuhkan pasar (Lenggono, 2004). Hal ini dilakukan untuk menjaga eksistensi kegiatan usahanya, yang selalu menghadapi persaingan dengan pihak lain. Selain menjaga keseimbangan perputaran dana segar – berupa hutang dari pihak perusahaan eksportir atau bank – dengan pinjaman pada para petambak/ penjaga empang yang menjadi kliennya.
4.3.1 Pola Pengembangan Tambak Tradisional Bagi sebagian besar petambak, hampir tidak ada pilihan yang lebih baik, selain meminjam modal pada ponggawa yang telah mereka kenal untuk menutupi besarnya biaya yang harus dikeluarkan serta resiko yang harus ditanggung dalam pembuatan tambak baru. Seorang petambak pemula yang kurang siap secara finansial maupun skill, akan lebih memilih untuk mendapatkan pinjaman modal yang prosesnya tidak rumit dengan pola pengembalian yang tidak membebani dalam menggarap tambak miliknya. Pilihan tersebut juga akan ditentukan oleh banyaknya referensi dan hubungan baik yang dimilikinya dengan sang pemilik modal atau ponggawa, yang selanjutnya akan menjadi patron bagi kehidupan sosioekonomi keluarganya. Dalam sistem pengusahaan tambak seorang ponggawa akan membiayai kegiatan operasional tambak client-nya, berupa modal pembukaan dan perawatan tambak, berikut suplai benur, pupuk dan racun yang diberikan sampai panen berhasil. Sebagai imbalannya, petambak (client) harus menjual hasil panen tambaknya kepada ponggawa yang telah memberikan modal usaha dalam pembukaan lahan tambak tersebut. Ponggawa juga akan berperan sebagai “pelindung” bagi keamanan dan permodalan usaha tambak dari petambak yang menjadi bawahannya. Sementara petambak akan berperan sebagai “pelayan” yang akan menyediakan suplai udang kepada ponggawa yang memodalinya.
100
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Menurut PKSPL-IPB (2002) pembukaan lahan hutan mangrove (lokasi) untuk pertambakan tradisional di kawasan Delta Mahakam biasanya dimulai dengan penebangan pohon. Terutama di sepanjang tempat yang akan dibangun tanggul tambak, selanjutnya dilakukan proses pemusnahan dengan mematikan pohon yang berada dalam tiap petak. Saat ini pembukaan lahan telah menggunakan teknologi alat berat seperti excavator, akibatnya laju konversi lahan hutan mangrove menjadi areal tambak meningkat dengan cepat. Umumnya para petambak menyadari bahwa tanah yang mewadahi air tambak di dalam kawasan rawa-rawa bersifat asam, sehingga mereka sering menaburkan bubuk kapur ke dalam petak-petak tambak. Prosedur pengisian tambak biasanya mempertimbangkan salinitas, keasaman, suhu dan kandungan mikroorganisme air tambak yang ada dalam air laut yang akan dimasukkan ke dalam tambak. Kawasan Delta Mahakam umumnya memiliki salinitas rendah, terutama di 2/3 kawasan sebelah hulu karena kuatnya pengaruh air tawar DAS Mahakam. Hanya 1/3 kawasan di sebelah hilir (muara-muara sungai) yang memiliki salinitas memenuhi syarat (15-25 ppt). Lahan yang cocok untuk tambak adalah lahan pasang surut yang memiliki salinitas moderat (15-25 ppt) yaitu zona atau daerah yang terdapat kira-kira setengah bagian dari delta mulai dari arah muara ke hulu delta. Oleh karena batas salinitas minimum setengah dari hulu delta, maka hanya sebesar 15 ppt yang merupakan batas maksimum pengembangan lahan usaha tambak. Untuk daerah bagian hulu delta dengan salinitas di bawah 15 ppt tidak layak dikembangkan sebagai lahan budidaya tambak, karena merupakan zona vegetasi fresh water mangrove dan hutan rawa air tawar yang umumnya dipadati dengan zona vegetasi nipah. Namun demikian, seiring dengan semakin langkanya “lokasi” yang bisa dikonversi menjadi area tambak-tambak baru, telah memaksa sejumlah ponggawa dan petambak mengkonversi kawasan bagian hulu delta yang secara profesional tidak layak untuk kegiatan pertambakan udang. Selain itu, parameter utama yang diperhatikan dalam pengembangan tambak adalah kualitas tanah dan air. Parameter kualitas tanah yang Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
101
utama adalah pH dan asam pirit, pH tanah yang terlalu rendah (<7) ataupun terlalu tinggi (>8), akan menghasilkan kondisi tidak nyaman bagi udang, karena terlalu asam sehingga bisa berdampak pada kematian udang secara massal. Petambak umumnya menyadari bahwa tanah yang mewadahi air tambak di kawasan Delta Mahakam umumnya bersifat asam, karenanya mereka akan menaburkan bubuk kapur ke dalam petakpetak tambak setelah melalui proses pengeringan tanah dasar tambak/ sebelum dialiri air. Hal ini dimaksudkan tidak sekedar untuk menetralisir pH tanah, tapi juga untuk merangsang pertumbuhan pakan alami bagi udang. Selanjutnya masa pemeliharaan mulai dilakukan pasca petak tambak terisi air, penaburan benih hingga udang siap panen. Adapun tahapan kegiatan pertambakan tradisional yang diterapkan, meliputi. 1. Tahap Prakonstruksi, meliputi; a. Pemilihan lokasi pembuatan tambak, pada prinsipnya pembudidaya tidak tidak menerapkan syarat yang ketat dalam pemilihan lokasi untuk calon lokasi pembuatan tambaknya. Mereka hanya berprinsip bahwa selama lahan yang akan dibangun tambak tersebut masih dapat menerima pasokan air melalui Sungai Mahakam atau percabangannya (anak sungai), mereka menyetakan bahwa lokasi tersebut layak untuk dijadikan tambak, b. Perijinan, ijin untuk memiliki hak garap tambak dilakukan melalui aparat pemerintah setempat yaitu persetujuan RT, Kepala Desa dan Camat. Hak garap juga diberikan oleh aparat setempat kepada warga komunitas Delta Mahakam dengan pemberian hak garap maksimal 2 ha/kepala. Namun juga ditemui lokasi tambak yang tidak memiliki hak garap, sehingga berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan ruang dikemudian hari, c. Pemilikan lahan, dilakukan dengan cara pembelian lahan masyarakat/milik perorangan maupun dengan aparat setempat yang dilakukan dengan perjanjian jual beli antara pemilik 102
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
lahan maupun aparat pemerintah desa dengan calon pemilik tambak, d. Mobilisasi peralatan, material dan tenaga kerja, untuk membangun tambak-tambak tersebut diperlukan beberapa alat dan bahan serta tenaga kerja yang di datangkan ke lokasi yang akan dibangun. Beberapa pemilik yang memiliki modal besar serta hamparan lahan yang luas, mampu mendatangkan alat berat berupa excavator maupun dozer untuk mempercepat kegiatan fisik tambak. Sedangkan para pemilik yang memiliki modal kecil/tradisional hanya mampu mengerahkan tenaga kerja manusia untuk kegiatan fisik tambak yang direkrut dari masyarakat lokal maupun dari luar. 2. Tahap Konstruksi, meliputi; a. Pembukaan lahan ( land clearing), merupakan kegiatan pembersihan dari pohon, tanaman dan material lainnya yang diperkirakan dapat menggangu kelancaran pembangunan tambak dan bangunan pendukung lainnya. b. Pembangunan fisik tambak, dilakukan penggalian (cut) dan penimbunan (fill) tanah dari lahan yang dibersihkan. Pemilik tambak bermodal besar akan menggunakan excavator untuk mempercepat penggalian dan penimbunan tanah dalam membangun pematang tambak, sedangkan penggunaan dozer akan mempercepat perataan tambak. Pada petambak tradisional kegiatan cut and fill dengan tanpa perataan tanah tambak memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Masyarakat lokal umumnya belum mengetahui cara membuat tambak yang baik, kolam-kolam yang dibangun umumnya berukuran besar minimal 3 ha/petak. Ukuran lebar parit bervariasi antara 5 – 10 m, sedangkan ke dalamannya berkisar antara 1,0 – 1,5 m, tanah hasil galian tersebut ditimbun di pinggiran dan berfungsi sebagai tanggul. Tanggul umumnya berukuran kecil, lebar atas berkisar antara 0,5 – 1 m dan lebar bawah antara 2 – 4 m dengan
Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
103
ketinggian antara 1,0 – 1,5 m diukur dari permukaan tanah aslinya. c. Penerimaan tenaga kerja, tenaga kerja yang akan dikerahkan antara lain pada saat pencetakan tambak, pembangunan saluran air dan pembuatan pintu air serta mengangkut bahanbahan yang diperlukan pada saat pembangunan tambak. Kebutuhan tenaga kerja dalam pembangunan tambak adalah 20 orang pekerja/lahan yang dikerjakan, sedangkan pada tahap operasional, kebutuhan tenaga kerja adalah 1 orang/petak lahan. 3. Tahap Operasi, meliputi; a. Kegiatan budidaya, pemeliharaan dan pembesaran, umumnya yang dibudidayakan adalah udang meski sebagian ada yang membudidayakan bandeng. Pembudidaya udang tradisional juga mengharapkan masuknya benih udang alam yang umumnya di sebut udang bintik, yang dibiarkan masuk bersama kegiatan pemasukan air. Berikut ini dijelaskan kegiatan budidaya udang yang dilakukan di Delta Mahakam; Pengeringan tanah dasar, walaupun merupakan prasyarat penting dalam persiapan lahan untuk budidaya udang, namun pembudidaya udang di Delta Mahakam tidak melakukan prosedur ini. Dengan harapan semakin mempersingkat siklus pemeliharaan setelah panen, kolam yang telah dipanen tanpa memperhitungkan baik buruknya hasil panen, langsung diisi kembali dengan air, Pemupukan, sebagian besar pembudidaya udang di Delta Mahakam menggunakan pupuk organik, berupa kotoran ayam atau kotoran ternak lainnya. Selain harganya murah, para pembudidaya udang merasakan bahwa pemakaian pupuk kandang ini dapat mempercepat dan menyuburkan pertumbuhan pakan alami udang. Pergantian air, pergantian air tambak dilakukan dengan mengandalkan pasang surut air laut, pengisisan air ini 104
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
b.
dilakukan pada sore hari saat air sedang pasang, dengan cara membuka pintu air yang tanpa dipasang penyaring. Pada saat air dimasukkan ke tambak, maka biasanya ikut terbawa masuk udang bintik, ikan dan kepiting yang akan menjadi hasil sampingan saat panen, walaupun berpotensi membawa bibit penyakit, Pemeliharaan dan pembesaran, berikut ini akan dijelaskan kegiatan pemeliharaan dan pembesaran udang yang dilakukan di Delta Mahakam; Penebaran benur, dilakukan sangat sederhana dengan padat penebaran sangat rendah yaitu sekitar 10.000 – 16.000 PL/ ha, benur yang ditebar berkisar pada stadia PL12 – PL15, selanjutnya penebaran benur biasanya dilakukan pada pagi atau malam hari, Pemberian pakan, selama pemeliharaan udang mendapat pakan alami, tidak diberi pakan tambahan, berupa organisme air yang kecil berbentuk plankton (fito dan zooplankton) pembuatannya dilakukan melalui pemupukan organik, Pengolahan air, untuk menjaga air dalam kondisi segar, maka dilakukan penggantian air di dalam tambak yang disesuaikan dengan masa pemeliharaan.Dalam pembuangan dan pemasukan air dikakukan pada pintua air yang sama, pergantian air tersebut dilakukan sesekali saja bilamana air sedang pasang, Pemanenan, dilakukan 2 kali dalam setahun, dimana panen sebagian dilakukan pada saat udang berumur 4 bulan dan panen total dilakukan 2 bulan setelahnya, pada umur-umur tersebut udang biasanya berukuran 30 – 40 ekor/kg. Panen hanya dilakukan jika ukuran udang telah mencapai diatas size 50, berdasarkan permintaan pasar lokal dan pasar luar negeri,
Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
105
c.
Produktivitas, pemeliharaan udang umumnya dilakukan hingga udang mencapai ukuran 25 – 30 ekor/kg, ukuran tersebut dapat dicapai pada umur 100 – 110 hari pemeliharaan dari saat tebar PL12 – PL15, ini dimungkinkan karena padat tebar yang sangat rendah yaitu 10.000 – 16.000 PL/ha atau hanya 1 – 1,6 PL/m². Produksi yang dicapai berkisar antara 50 – 75 kg/ha atau dengan kelangsungan hidup sekitar 20%.
Rata-rata biaya yang harus dikeluarkan untuk pembuatan satu petak tambak seluas 5 Ha menurut PKSPL IPB (2002) adalah, sebesar Rp. 48,8 – 69,8 Juta, sehingga rata-rata biaya pembuatan tambak per-hektar berkisar antara Rp. 9,76 – 13,98 Juta. Apabila nilai jual udang mencapai Rp. 100.000,-/Kg berarti dapat menghasilkan sekitar Rp. 75.000.000/ panen. Karena tidak melibatkan dana tambahan lainnya seperti biaya pakan dan solar seperti halnya budidaya udang intensif, keuntungannya menjadi cukup besar dan hal inilah yang merangsang banyak migran Bugis untuk membuka hamparan tambak secara besar-besaran. Meskipun tidak sedikit dari para petambak yang mengalami kegagalan, akibat udang yang dipeliharanya mati secara mendadak, hingga gagal panen.
106
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Tabel 4.1 Perbandingan Tambak Tradisional dengan Tambak Semi Intensif dan Intensif
Sumber: PKSPL – IPB, 2002
Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
107
Ketika alat berat (excavator) belum digunakan dalam kegiatan pertambakan, pembukaan lahan dilakukan dengan menebang pohon bakau ataupun nipah menggunakan peralatan sederhana, seperti kapak, parang, cangkul dan kong. Kong adalah alat gali tanah tradisional yang terbuat dari plat besi selebar + 30 Cm, setinggi lengan orang dewasa, dengan ujung tajam di sisi bawah dan pada sisi atas tersedia lubang yang bisa dimasukkan kayu (biasanya jenis ulin) sebagai pegangan. Pembukaan lahan pada hutan mangrove dimulai dengan menebang pokok pohon, terutama di sepanjang tempat yang akan digunakan untuk tanggul tambak. Selanjutnya dilakukan proses pemusnahan dengan mematikan pohon yang berada dalam tiap petak tambak dengan peneresan pangkal batang pohon hingga pohon tersebut mati. Selanjutnya konversi mulai dilakukan dengan penebangan batang pohon, pembakaran dan pembersihan/tebas ulang, serta pembakaran lagi hingga pencabutan akar-akar pohon yang masih tersisa. Sekat-sekat yang berfungsi sebagai pematang/tanggul kemudian dibangun sesuai dengan kebutuhan, sehingga berbentuk petak-petak persegi yang tidak beraturan. Umumnya pematang/tanggul dibiarkan tidak ditumbuhi tanaman, hanya pada kanal sungai yang memisahkan pematang/tanggul tambak dengan sungai, dibiarkan pepohonan tumbuh dengan kerapatan rendah, sehingga tanah pinggiran pematang/tanggul tersebut mudah longsor. Baru pada pertengahan 1990-an, pembukaan lahan mulai melibatkan penggunaan teknologi alat berat, seperti excavator. Penggunaan alat yang sangat efektif ini menyebabkan laju konversi lahan menjadi meningkat dengan cepat. Haji Samir misalnya, mengakui bahwa kemampuannya sebagai ponggawa dalam mengembangkan usaha, tidak terlepas dari keberhasilannya memanfaatkan tiga unit excavator yang dibelinya secara patungan dengan tiga orang anaknya pasca boom harga udang pada 1997/1998. Sejak itu mereka berhasil mengembangkan hamparan tambak dalam jumlah yang sangat luas, tidak hanya untuk memberikan kepastian pasokan produksi (udang) yang melimpah bagi eksistensi usaha mereka sebagai ponggawa, namun juga untuk memperbesar klien dalam jaringan mereka. 108
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
4.3.2 Tambak Satu Pintu Air Berbeda dengan pola pengelolaan tambak di daerah lain, hampir semua tambak di kawasan Delta Mahakam, selalu dipanen dua kali dalam satu bulan (setiap kali nyorong17), untuk mengambil udang bintik18 yang masuk ke tambak ketika pintunya dibuka pada saat air pasang. Sedangkan udang windu akan dipanen ketika usianya telah mencapai empat bulan (panen raya), meskipun ada pula yang dipanen sebelum memasuki bulan keempat. Pola pemanenan seperti inilah yang menyebabkan hasil produksi udang windu di kawasan ini tidak optimal, karena banyak udang windu yang belum waktunya dipanen ikut terjaring bersama udang bintik ketika nyorong. Pola pemanenan seperti itu, dilakukan para petambak sebagai salah satu bentuk adaptasi atas ketidakpastian hasil panen tambak yang dilakukan setiap empat bulan sekali (panen raya). Mereka kemudian melakukan “self defence” atas ketidakpastian tersebut, hasil panen udang bintik yang dilakukan setiap nyorong diharapkan masih bisa menutupi kerugian akibat hasil panen raya yang sering mengalami kegagalan, atau setidaknya mampu “menghidupi” para penjaga empang sehingga tambaktambak mereka pun masih bisa survive. Menariknya hampir semua tambak yang dibangun hanya menggunakan satu pintu sirkulasi air (lihat Gambar 4.2). Hal ini sepertinya dilakukan 17. Nyorong sebutan masyarakat setempat untuk menandai naiknya air muka laut (pasang tertinggi), berpedoman pada posisi bulan terhadap bumi dan matahari yang diperhitungkan dengan penanggalan bulan Hijriyah, biasanya berlangsung setiap dua minggu sekali. Berbeda dengan pola pengelolaan tambak di daerah lain, hampir semua tambak di kawasan Delta Mahakam, selalu dipanen dua kali dalam satu bulan (setiap kali nyorong), untuk mengambil udang bintik yang masuk ke tambak ketika pintunya dibuka pada saat air pasang tertinggi. Sedangkan udang windu akan dipanen ketika usianya telah mencapai empat bulan (panen raya), meskipun ada pula yang dipanen sebelum memasuki bulan keempat. 18. Udang bintik adalah istilah masyarakat setempat untuk menyebut berbagai jenis udang alam non udang tiger/windu (Penaeus Monodon), seperti udang pink, banana, white (Penaeus Indicus), loreng (Penaeus Endeavour), jerbung (Penaeus Merguensis), dst, yang tidak dibudidayakan dengan sengaja. Udang alam tersebut masuk ke dalam tambak, bersamaan dengan dimasukkannya air payau segar dari luar tambak mengganti air tambak yang sudah tidak layak. Meskipun nilainya lebih rendah dari udang tiger (windu), udang bintik juga memiliki pangsa ekspor potensial. Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
109
atas dasar pertimbangan mengehemat biaya pembangunan tambak dan mempermudah pengelolaannya. Biaya pembuatan satu unit pintu air untuk satu petak tambak diperkirakan mencapai Rp. 20.000.000,-. Pintu air tambak biasanya terbuat dari kayu ulin karena lebih kuat, tahan air dan cuaca ekstrem. Namun seiring dengan semakin langka dan ketatnya perdagangan kayu ulin yang saat ini harus didatangkan dari luar kawasan Delta Mahakam, menyebabkan harga per-unit pintu air tambak menjadi sangat mahal dan sulit diperoleh. Realitas inilah yang kemudian disiasati para petambak dengan hanya membangun satu pintu air pada setiap petak tambak seberapapun luasnya. Bahkan, banyak tambak yang baru dibangun merupakan hasil penggabungan tambak-tambak lama dengan satu pintu air. Kondisi inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa petakan tambak di kawasan Delta Mahakam berukuran sangat luas.
110
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Keterangan:
= Aliran Air Payau = Mangrove-Nypa Pelataran = Tanah belum tergali ditengah tambak (berupa akar-batang mangrove-nypa) Caren = Galian saluran air tambak yang juga berfungsi untuk media budidaya Tanggul = Tanah gundukan yang ditinggikan untuk pembatas tambak, sekaligus pematang Kanal = Saluran air buatan yang menghubungkan Sungai Mahakam/sungai kecil dengan tambak
Gambar 4.2 Lay-Out Pertambakan Tradisional Satu Pintu Air Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Di Muara Pantuan misalnya, dijumpai sepetak tambak yang luasnya mencapai 100 Ha, sehingga seperti sebuah danau. Selain Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”
111
untuk menghemat biaya, penggunaan satu pintu tambak sepertinya dimaksudkan agar setiap petak tambak menjadi lebih mudah dikelola. Mengingat sirkulasi air sebagai komponen terpenting dalam pengelolaan tambak cukup dilakukan di satu tempat (pintu air). Kondisi tersebut tidak terlepas dari pola pengelolaan tambak yang masih sangat tradisional dan tidak inovatif (mengikuti pola tertentu yang telah mapan), sehingga efisiensi pengelolaan sulit dilakukan. Padahal kondisi tanah yang sangat asam dengan PH air tinggi, serta pengetahuan yang minim dalam menanggulangi wabah penyakit yang mematikan, seperti; Mododon Baculo Virus (MBV); White Spot Syndrome Virus (WSSV); Infection Hypodermal Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV); dan Yellow Head; juga bakteri Vebrio serta beberapa parasit dari jenis protozoa semakin sulit diantisipasi. Realitas tersebut, menjadi penjelas betapa produktifitas tambak di kawasan Delta Mahakam, benar-benar hanya bersandar pada “kemurahan alam”. Seorang ponggawa kecil misalnya, produksinya terkadang sangat tinggi, jauh melampaui ponggawa menengah, karena hasil panen udang bintik miliknya atau kliennya sangat melimpah pada satu periode nyorong, namun pada periode nyorong lainnya ia bisa saja tidak mendapatkan hasil panen memadai. Hal seperti ini dialami oleh hampir semua ponggawa/ petambak, akibatnya, produksi sebuah tambak di kawasan Delta Mahakam menjadi sulit untuk diprediksi. Belum lagi adanya fenomena “market glut, yakni harga ikan/udang tinggi pada saat musim paceklik, lalu mendadak turun drastis ketika musim panen”, yang juga harus dihadapi para petambak. Kondisi ini “diperkeruh” oleh sistem manajemen usaha yang masih sangat sederhana dan tertutup, serta persaingan terselubung diantara para ponggawa.
112
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
BAB V SIASAT MENGURAS SUMBERDAYA PERIKANAN
5.1 FASE INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP 5.1.1 Ekspansi Industri Perikanan Jepang Misaja Mitra (PMA) yang didirikan pada 1974 di Anggana dan mulai berproduksi satu tahun setelahnya, merupakan perusahaan eksportir udang beku yang mempelopori dilakukannya modernisasi armada perikanan tangkap yang digunakan oleh para nelayan lokal. Perusahaan hasil joint venture antara anak perusahaan Mitsui Bussan, yaitu Toho Bussan Kaisha dari Jepang dengan perusahaan Pelindo Raya (milik pensiunan Angkatan Laut) ini, sebelumnya hanya beroperasi di Kota Baru, Pulau Laut - Kalsel. Setelah berhasil membangun pabrik perikanan (cold storage) terbesar di Asia Tenggara pada 1971 di Kotabaru, mereka selanjutnya melakukan ekspansi ke Sungai Meriam - Kutai Kartanegara, hingga ke Tarakan dan Pasir, bahkan pada 1987 berhasil membangun pabrik pengolahan hasil perikanan modern berskala internasional di Pati – Jateng. Mitsui Bussan didirikan pada 1876 oleh keluarga Mitsui dan saat ini merupakan salah satu perusahaan dagang terbesar di Jepang. Keberadaan perusahaan-perusahaan perikanan Jepang di Indonesia merupakan salah satu momentum terpenting dalam perbaikan hubungan Indonesia- Jepang pasca penjajahan, sebagai bagian dari komitmen pemerintah Jepang yang telah menandatangani “Perjanjian Damai dan Ekspansi Industri Perikanan” pada 20 Januari 1958 – Traktat Perdamaian San Francisco. Dimana Pemerintah Jepang bersedia menghapuskan hak atas aset-aset mereka di kawasan Asia Tenggara. Meskipun bantuan dan investasi Jepang ke Indonesia mulai berlangsung sejak Orde Lama, namun jumlahnya mulai meningkat pesat ketika Jepang mendapatkan tempat terbaik sejak awal kepemimpinan Orde Baru di tahun 1966. Bahkan, untuk menarik minat investasi Jepang, tidak hanya dilakukan melalui jalur formal, tetapi juga lobi-lobi informal, hasilnya aliran dana ODA (Official Development Assistance) dan investasi Jepang mengalir ke tanah air dan terus menguat, bahkan kemudian menjadi cukup dominan dalam perekonomian Orde Baru. Selanjutnya sektor pertambangan, khususnya migas, kehutanan dan perikanan menjadi sektor unggulan
114
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
yang dikembangkan dalam kerangka kerjasama pemanfaatan sumberdaya alam. Khusus untuk sektor perikanan, di awal rejim Orde Baru total investasi asing dalam sektor ini mencapai angka US$ 11,5 juta dari total komitmen investasi sekitar US$ 324 juta di bulan Oktober 1968 (Suadi,2008). Pada tahun 1968 investasi Jepang dipusatkan pada industri penangkapan udang dan ikan, khususnya di wilayah Sumatra dan Kalimantan. Beberapa perusahaan perikanan Jepang yang diberi izin untuk mengadakan survei penangkapan udang dengan jaring trawl, selain PT. Misaya Mitra adalah PT. Tofico dengan modal sepenuhnya dari Toyomenka Kaisha dan PT. Serio Kawai San. Perusahaan-perusahan tersebut, tentu saja mampu mengeksploitasi sumberdaya perikanan dengan hasil lebih baik, khususnya untuk komoditi udang yang menjadi komoditi ekspor utama, karena kemampuan teknologi yang dimilikinya. Sebagai hasilnya, ekspor hasil perikanan Indonesia meningkat fantastis, dari US$ 229 ribu pada tahun 1962, menjadi US$ 17,5 juta pada tahun 1971 (84 persen diantara ekspor ke Jepang), dan US$ 211,1 juta tahun 1980 dengan pangsa ekspor Jepang mencapai 77,6 persen dari total nilai. Sampai dengan 1995, jumlah perusahaan yang menanamkan modalnya di bidang perikanan tercatat sebanyak 289 buah, dengan rincian 28 perusahaan PMA, 121 perusahaan PMDN dan 134 perusahaan swasta nasional, serta 6 BUMN perikanan. Nilai investasinya mencapai US $ 93,5 Juta untuk PMA, Rp. 328.603,2 Juta untuk PMDN dan Rp. 865.240,0 Juta untuk Swasta Nasional, serta Rp. 19.650,0 Juta untuk BUMN perikanan (Soewito, Dkk., 2011). Dimana sebagian besar PMA berasal dari Jepang. Dari sisi ekonomi, periode antara 1970-an sampai menjelang pertengahan 1990-an dapat dikatakan sebagai periode emas hubungan ekonomi Indonesia- Jepang dalam bidang perikanan. Ekspor perikanan Indonesia terutama udang mencapai puncaknya dalam periode ini, salah satu diantara perusahaan yang berhasil menikmati manisnya keuntungan usaha disektor ini adalah Misaja Mitra, yang mulai mengeksploitasi pantai timur Kalimantan sejak awal 1970-an. Setidaknya Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
115
menjelang tahun 1990, di Propinsi Kalimantan Timur telah berdiri sepuluh buah perusahaan eksportir perikanan (lihat Tabel 5.1). Tabel 5.1 Jumlah Cold Storage di Kaltim sampai dengan Tahun 1990
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan Propinsi Kaltim, 1991
Keberhasilan Misaja Mitra dalam melakukan kegiatan eksploitasi perikanan tangkap, hingga ekspor produk udang beku dan olahan, menurut Untung Martono, mantan pimpinan Misaja Mitra di Sungai Meriam, tidak terlepas dari keberhasilan perusahaan dalam mengembangkan strategi usaha “saling topang”, dengan pola hubungan produksi yang diadopsi dari pranata lokal milik komunitas setempat. Pengembangan strategi usaha “saling topang” dilakukan dengan menerapkan manajemen subsidi silang, artinya kelebihan produksi cold storage di satu tempat akan mensubsidi cold storage yang produksinya rendah di tempat lainnya. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi hasil tangkapan yang tidak bisa diprediksi. Dengan mekanisme seperti inilah, perusahaan Misaja Mitra mampu bertahan hampir 40 tahun beroperasi di wilayah Indonesia, meskipun beberapa cold storage-nya ada pula yang collaps, seperti cold storage Pasir dan Sungai Meriam yang dijual pada 2008. Strategi usaha lainnya yang tidak kalah cemerlangnya adalah kemampuan perusahaan dalam “merangkul” komunitas setempat, dengan mengadopsi pranata lokal mereka, sebagai pola dasar dalam hubungan produksi, khususnya dengan etnik Bugis sebagai mayoritas pelaku perikanan tangkap di pantai timur Kalimantan. 116
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Mekanisme hubungan produksi perikanan tangkap yang karakteristiknya hampir menyerupai pola dasar hubungan kontemporer dalam masyarakat Bugis yang cenderung hierarkis dengan pola patronclient (pemimpin-pengikut) seperti inilah, yang kemudian mampu mendapatkan tempat secara kultural dalam komunitas nelayan setempat. Sebagai unsur kunci, pola hubungan patron-clients, bahkan dapat menumbuhkan kesetiaan yang lebih tinggi dari mereka yang terikat dalam hubungan ini. Pada masa jayanya, jarang ditemui nelayan “binaan” Misaja Mitra yang berpindah menjadi klien perusahaan lain, meskipun hal tersebut dimungkinkan. Karena terdapat kesepakatan tak tertulis “jika seorang nelayan tidak lagi memiliki sangkutan dengan pihak perusahaan, ia boleh menjual hasil tangkapannya pada perusahaan lain yang mampu memberikan harga lebih menguntungkan”. Di dalam prakteknya, pola hubungan produksi pemimpin-pengikut dikembangkan dengan cara; “pihak perusahaan akan bertindak sebagai pemimpin yang memberikan berbagai kemudahan dan bantuan, mulai dari perbaikan kerusakan hingga peremajaan/modernisasi armada, alat tangkap (trawl), biaya operasional ke laut, bahkan pinjaman finansial kepada para nelayan “binaan”, sebagai pengikut yang wajib menyetorkan semua hasil tangkapan mereka pada pihak perusahaan”. Tidak cukup sampai disitu, perusahaan juga memanjakan para nelayan dengan memberikan bonus es balok sebagai media pembekuan hasil tangkapan, dengan ketentuan setiap 100 Kg X 5 udang yang masuk ke cold storage akan memperoleh ½ Ton es balok, sementara untuk fishing ground yang jauh tempatnya berlaku ketentuan setiap 100 Kg X 3 udang yang masuk mendapatkan ½ Ton es balok secara cuma-cuma. Berbagai kebijakan tersebut, dapat terus dipertahankan dengan memanfaatkan sebagian kecil dari selisih keuntungan harga penjualan udang beku di tingkat nelayan dengan harga jual udang beku di tingkat buyers di Jepang yang selisihnya bisa lebih dari 100 persen.
Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
117
Tabel 5.2 Periode Kepemimpinan PT. Misaja Mitra di Sungai Meriam
Sumber: Wawancara Mendalam dengan Untung Martono, 2011.
Kejayaan Misaja Mitra pada masanya, tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan beberapa orang jendral pensiunan Angkatan Laut yang memiliki ideologi Marhaenisme di dalam pucuk manajemen perusahaan. Pada masa awal pendiriannya, struktur komisaris perusahaan ini banyak diisi para mantan petinggi Angkatan Laut, diantaranya Laksamana Yatijan, Tetet Sajimin dan Farid Ali (mantan kapten kapal Tampomas). Mereka memberikan pengaruh signifikan dalam pengembangan pola hubungan produksi yang berkonsep “bapak angkat – anak asuh” dalam kegiatan operasional perusahaan, sehingga aktivitas usahanya terkesan populis dan lebih “membumi”. Selain melakukan ekspor udang beku, Misaya Mitra Sungai Meriam juga memproduksi udang olahan berupa surimie, nobashi ebi dan pangko ebi (berupa tepung roti yang jika digoreng menjadi tempura). Hampir semua produk ekspor udang beku dan udang olahan Misaja Mitra masuk ke pasar Jepang, khususnya pada salah satu buyer tradisonal mereka, Maninaka. Bagi Misaja Mitra, hubungan kerjasama yang telah terjalin lama merupakan aset yang harus dijaga dan mendapatkan skala prioritas utama, sehingga hampir semua permintaan pasokan produksi dari buyers tradisional selalu mereka penuhi dengan tepat waktu, sehingga terkesan fanatik pada pasar tradisonal mereka. Sebuah sumber terpercaya menyebutkan, bahwa hal tersebut dilakukan tidak hanya karena menjaga hubungan baik dengan buyers tradisonal mereka, namun juga karena proses pembayaran buyers Jepang yang lebih tepat waktu (dibayar begitu barang dikapalkan). Berbeda dengan buyers Eropa (khususnya
118
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Belgia/Belanda) yang cenderung memberikan tempo pembayaran yang lebih lama. Strategi lainnya yang digunakan oleh Misaja Mitra dalam meningkatkan nilai tambah produknya, adalah dengan melakukan kebijakan memasok bahan baku dari Indonesia ke anak perusahaan Mitsui Bussan di penjuru dunia. Salah satunya, memasok pabrik pengolahan perikanan milik Mitsui Bussan di Cina untuk diolah menjadi produk modifikasi yang disesuaikan dengan “cita rasa tertentu”, sehingga mendapatkan tempat dipasar dunia (khususnya Jepang). Keberhasilan modus operandi Misaja Mitra dalam meningkatkan nilai tambah produknya, berbanding lurus dengan keberhasilan mereka dalam “menaklukkan hati” nelayan lokal, yang menjadi pemasok utama bahan baku. Kondisi seperti inilah yang selalu dipertahankan oleh manajemen perusahaan, sehingga bisa survive hingga saat ini. Tidak berlebihan jika kemudian keberhasilan Misaja Mitra juga mengilhami beberapa perusahaan eksportir produk perikanan (cold storage) lain, yang mulai beroperasi belakangan. Beberapa perusahaan, seperti Samarinda Cendana Cold Storage yang mulai beroperasi pada 1978 di Sungai Meriam pun mencoba mengadopsi strategi Misaja Mitra. Perusahaan cold storage yang dibangun melalui joint venture pemodal nasional dan lokal ini didirikan oleh seorang keturunan Cina Hongkong, Taipak, serta dua orang keturunan Cina Samarinda, Kwang Ling dan Khaerudin. Tidak seperti Misaja Mitra yang produknya lebih bertumpu pada ekspor udang beku dan olehan, produk ekspor Samarinda Cendana lebih bervariasi, karena tidak hanya melakukan ekspor udang beku (laut), namun juga udang galah (sungai), ikan betutu, ikan bawal dan sejumlah ikan segar lainnya ke Hongkong, Malaysia dan Jepang. Mereka juga melakukan ekspansi dengan membangun cold storage di Jakarta, Banjarmasin, Semarang dan Tarakan, serta pos pembelian di Balikpapan, Bontang dan Berau, bahkan hingga ke Muara Muntai di hulu Sungai Mahakam. Pada masa jayanya Samarinda Cendana selain memiliki
Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
119
“binaan” armada tangkap milik nelayan lokal, juga memiliki 12 kapal trawl yang mampu memberikan jaminan pasokan bahan baku.
5.1.2 Booming Produksi Perikanan Tangkap Booming produksi perikanan tangkap yang terjadi sejak akhir 1970-an s/d awal 1990-an, telah membuat perusahaan-perusahaan eksportir perikanan di pantai timur Kalimantan mengalami pertumbuhan yang sangat fantastis, sehingga mempu mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Hal ini terlihat dari program ekspansi perusahaan-perusahaan tersebut dalam membangun cold storage dan pabrik pengolahan hasil perikanan di berbagai tempat di Indonesia, yang dilakukan pada periode tersebut. Hal ini tercermin dari nilai produksi perikanan laut (tangkap) Kaltim yang cenderung mengalami peningkatan, meskipun terjadi pelarangan penggunaan alat tangkap trawl secara total menjelang tahun 1983 (Lihat Gambar 5.1).
Gambar 5.1 Nilai Produksi Perikanan Laut Propinsi Kaltim Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kaltim 1979 – 2009
Senada dengan data statistik produksi dan nilai perikanan laut Propinsi Kalimantan Timur yang cenderung fluktuatif sejak memasuki tahun 2000, data produksi perikanan Kabupaten Kutai Kartanegara pun menunjukkan kecenderungan yang sama. Kondisi ini diikuti dengan 120
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
terjadinya fluktuasi pada jumlah RTP laut Kebupaten Kutai Kartanegara, yang jumlah totalnya mencapai 28 persen dari total RTP laut Propinsi Kalimantan Timur. Seperti ditunjukkan pada Gambar 5.2, dimana penurunan produksi perikanan laut (tangkap) pada 2002 – 2004, ternyata berkorelasi dengan jumlah RTP laut yang juga mengalami penurunan. Hal ini terjadi, sebagai bentuk strategi survival nelayan tradisional dalam menghadapi “titik jenuh produksi perikanan tangkap”, dengan cara vakum semetara dan mengalihkan aktifitas usaha dibidang lain. Baru pada 2005, kembali terjadi peningkatan jumlah RTP laut di Kabupaten Kutai Kartanegara, ketika tekanan hidup “memaksa” mereka, untuk kembali menggunankan alat tangkap trawl secara massal yang dianggap lebih efisien dan efektif. Hal ini berbeda dengan kondisi produksi udang nasional, yang mencapai puncaknya pada 1979, satu tahun sebelum diberlakukannya larangan penangkapan dengan trawl. Setelah 1979 produksi udang nasional berfluktuasi, dimana pada 1980 turun sebesar 10,27 persen menjadi 148.109 MT, lalu terjadi peningkatan hingga 151.609 MT pada 1981 dan menurun lagi sebesar 6,07 persen, kemudian meningkat lagi sebesar 5,21 persen di tahun 1983. Selanjutnya turun lagi pada 1984 sebesar 3,26 persen dan meningkat lagi pada 1985 sebesar 8,51 persen, baru ada kecenderungan meningkat dengan stabil pada 1986. Fluktuasi produksi ini menurut Lusi Fauziah, Dkk (1993), berhubungan erat dengan fluktuasi produksi udang laut/tangkap, sehingga peningkatan produksi pada 1986,1987 dan selanjutnya, lebih disebabkan skala usaha intensifikasi pertambakan udang di Indonesia yang semakin meluas.
Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
121
Gambar 5.2 Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut Kabupaten Kutai Kartanegara Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Statistik DPK Kutai Kartanegara 2001 – 2008
Sampai dengan tahun 1990, sebenarnya telah ada sebuah perusahaan lokal yang ikut meramaikan pasar ekspor udang beku di kawasan Delta Mahakam, yaitu FA. Dardjat & Sons yang berkedudukan di Samarinda. Meskipun demikian perusahaan cold storage milik seorang “tuan tanah” pribumi ini, ternyata belum mampu bersaing dengan perusahaan cold storage milik pemodal besar yang lebih banyak menumpuk keuntungan usaha di sektor perikanan laut (tangkap). Perusahaan perikanan lokal ini, akhirnya kolaps pada pertengahan 1990-an, seiring tumbuh pesatnya industri perikanan berskala global di kawasan Delta Mahakam. Menurut informasi terpercaya, kolapsnya FA. Daedjat & Sons, tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan lobi yang dilakukan Misaya Mitra dan Samarinda Cendana yang meminta Dirjen Perikanan untuk tidak mengeluarkan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) bagi FA. Daedjat & Sons karena dianggap belum layak menjadi eksportir. Setidaknya sebelum munculnya konflik kepentingan antara “pemain lama” dengan “pemain baru”, di kawasan Delta Mahakam saat itu, telah berdiri tiga perusahaan industri perikanan ekspor, yaitu; PT. Misaja Mitra 122
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
dan PT. Samarinda Cendana Cold Storage, serta cold storage yang lebih kecil FA. Dardjat & Sons. Keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut di kawasan ini, tidak terlepas dari besarnya potensi perikanan tangkap yang dimiliki daerah estuari seperti Delta Mahakam. Seperti dinyatakan Ayodhyoa (1981), daerah penangkapan yang cocok untuk operasi penangkapan udang ideal dengan trawl adalah perairan yang mempunyai dasar laut datar atau rata, tidak terdapat karang atau tonggak-tonggak, bersubstrat lumpur atau lumpur bercampur pasir, kecepatan arus pasang pada midwater tidak besar dan perairan mempunyai daya produktivitas yang besar, sehingga menjadi tempat berkumpulnya ikan atau udang. Tabel 5.3 Perusahaan Eksportir di Kaltim Yang Telah Kolaps
Sumber: Wawancara Mendalam dengan Daulat A. Manalu (Staf Senior Diskanlut Kaltim), 2011
Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
123
Sementara di sisi lain terdapat kecendrungan peningkatan permintaan produk perikanan (khususnya udang) di pasar internasional. Pada tahun 1990-an, pasar ekspor utama udang Indonesia adalah negara Jepang, diikuti Amerika Serikat dan Hongkong. Ekspor ke Jepang tahun 1990 - 1994 meningkat 2,51 persen, ke USA meningkat 8,46 persen dan ke Hongkong meningkat 17,11 persen (Direktorat Jenderal Perikanan, 1995). Perkembangan volume impor udang oleh Jepang, sejak 1972 sampai 1990 menunjukkan peningkatan, dengan laju pertumbuhan rata-rata 9,19 persen pertahun. Volume impor udang Indonesia pada 1972 tercatat 13.824 MT dan pada 1990 telah mencapai 53,371 MT. Sementara volume impor udang Jepang total keseluruhan mencapai 58.120 MT pada 1972 dan meningkat menjadi 304.201 MT pada 1990, sehingga menjadikan Indonesia sebagai pemasok utama udang beku dan segar ke Jepang. Optimisme pemerintah juga ditunjukkan dengan stock assesment pada 1973-1974 yang memperkirakan potensi sumberdaya perikanan Indonesia mencapai 4.500.000 ton/tahun, selanjutnya juga dilakukan revisi estimasi potensi lestari sumberdaya udang pada 1983 yang diperkirakan mencapai 69.000 ton/tahun, menjadi 100.700 ton/ tahun pada 1991 (lihat Tabel 5.4). Tabel 5.4. Daerah Sebaran dan Potensi Sumberdaya Udang
Sumber: Soewito, Dkk., 2011
Kondisi inilah yang kemudian merangsang perusahaan-perusahaan cold storage, berikut industri pengolahannya mensponsori dilakukannya
124
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
modernisasi armada perikanan tangkap milik sejumlah nelayan lokal, selain mengoperasikan sejumlah armada penangkapan trawl modern bertonase besar milik mereka sendiri. Setidaknya di akhir tahun 1970-an, kegiatan eksploitasi perikanan tangkap (khususnya udang) dengan menggunakan armada trawl modern semakin intensif dilakukan di pantai timur Kalimantan. Sampai dengan tahun 1990, jumlah armada perikanan laut di Propinsi Kalimantan Timur telah mencapai 9.609 unit (Dinas Perikanan Propinsi Kalimantan Timur, 1991). Sebagian besar armada perikanan tangkap tersebut tidak dilengkapi dengan Izin Usaha Perikanan (IUP) sesuai Perda No. 3 tahun 1974 dan PP No. 15 tahun 1990. Pada periode ini juga ditandai dengan lahirnya ponggawa pengikut, sebagai konsekuensi logis atas semakin meningkatnya kegiatan usaha perikanan tangkap berikut jumlah produksinya, sehingga membuka peluang bagi kehadiran pedagang perantara baru pada area-area yang tidak mampu ditangani langsung oleh perusahaan eksportir, maupun para ponggawa perintis. Meskipun demikian, modernisasi armada perikanan tangkap dengan menggunakan trawl tersebut, pada awalnya ternyata menghadapi resistensi dari masyarakat di sekitar Delta Mahakam (khususnya masyarakat Muara Pantuan dan Sepatin), karena dianggap sangat eksploitatif sehingga cenderung merusak ekosistem kawasan dan keseimbangan sumberdaya perikanan. Artinya jauh sebelum pemerintah melakukan pelarangan penggunaan trawl dengan menerbitkan Keppres No. 39 Thn 1980, masyarakat lokal sebenarnya telah memiliki “kesadaran ekologis” untuk tidak menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan sustainable. Namun, penolakan tersebut tidak bertahan lama, sebagai konsekuensi terjadinya kesepahaman antara pihak perusahaan dengan elit masyarakat setempat yang menuntut pengoperasian trawl jauh dari pinggiran pantai/muara-muara sungai di sekitar kawasan Delta Mahakam dan pelarangan pengoperasian trawl di malam hari. Sejak saat itulah, nelayan setempat yang tadinya anti trawl mulai bergeser ikut memanfaatkan alat tangkap trawl yang lebih efektif dan efisien dalam
Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
125
menangkap udang/ikan, beberapa petinggi kampung setempat, bahkan ada yang kemudian berprofesi ganda sebagai nelayan trawl.
5.1.3 Penetrasi Lembaga Kapitalis dalam Kebijakan Perikanan Meskipun pelarangan trawl tidak secara langsung menyebabkan penurunan jumlah produksi perikanan tangkap di pantai timur Kalimantan (seperti terlihat pada tabel diatas), namun produksi udang hasil tangkapan nelayan tradisional dilaporkan cenderung menurun. Pelarangan trawl juga menyebabkan pengalihan kegiatan ekonomi nelayan lokal secara sepihak. Padahal pertimbangan penghapusan jaring trawl menurut Keppres No. 39 Thn 1980, adalah untuk mendorong peningkatan produksi yang dihasilkan oleh nelayan tradisional. Kebijakan kontra-produktif tersebut, dalam pelaksanaannya dilakukan dengan penertiban secara keras, bahkan diikuti penangkapan terhadap nelayannelayan trawl lokal oleh aparat Kodim. Menurut seorang saksi, mereka yang tertangkap tidak hanya diberikan sanksi badan, namun juga diikuti dengan penyitaan, bahkan pembakaran terhadap peralatan tangkap yang digunakan. Kondisi ini menurut Soetarto (2006), tidak terlepas dari semangat “Trilogi Pembangunan” yang diintrodusir pemerintahan Orde Baru, yang cenderung mengedepankan kepentingan unsur ‘stabilitas politik’ dengan kuat, namun dengan aksen yang bias kendali negara (state nationalism). Menariknya, penghapusan jaring trawl yang sudah diperkirakan akan berakibat pada penurunan produksi udang nasional tersebut, “disisipi harapan” dari pihak pemerintah untuk mengamankan kebijakan “Program Udang Nasional”, seperti tertuang dalam Pasal 7, Keppres No. 39 Thn 1980. Menurut mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, Rohmin Dahuri (2009), “Program Udang Nasional” yang mulai dicanangkan pada 1982, merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi udang nasional yang sempat anjlok akibat pelarangan penggunaan pukat harimau (trawlers) pada 1980. Kebijakan “turunan“ inilah, yang kemudian secara tidak langsung ikut menggiring para nelayan tangkap untuk beralih profesi sebagai pembudidaya udang. Setidaknya pada 1990, sebanyak 551
126
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
orang nelayan trawl di Propinsi Kalimantan Timur telah mendapatkan realisasi kucuran dana kredit sebesar Rp. 924.938.175,- untuk pengalihan kegiatan ekonomi non-trawl dari pemerintah pusat. Dana bantuan itu, belum termasuk realisasi kredit Intam yang mencapai Rp. 150.000.000,dan realisasi kredit RCP sebesar Rp. 156.379.400,- pada tahun anggaran 1990/1991 (Dinas Perikanan Propinsi Kaltim, 1991). Kebijakan tersebut, diiringi dengan pembinaan dan penyuluhan kegiatan pertambakan yang dilakukan secara intensif oleh berbagai instansi terkait, setidaknya hingga tahun 1988 telah dibina sebanyak 250 orang tenaga terlatih dalam bidang pertambakan. Berbagai kebijakan tersebut merupakan manifestasi dari obsesi pemerintahan Orde Baru, yang berupaya meningkatkan ekspor non-minyak, melalui kegiatan ekstraksi sumberdaya alam yang berkelanjutan dari sektor perikanan. Rintisan awalnya dimulai pada 1971 melalui proyek pembangunan perikanan yang didukung bantuan dari FAO selama dua tahun. Setelah itu disusul dengan proyek Brackishwater Shrimp and Milkfish Culture Research and Training di Jepara selama sembilan tahun (1972-1981), yang berhasil melakukan pelatihan regional dan nasional melalui pembangunan Balai Pengembangan Budidaya Air Payau. Selanjutnya juga diterapkan teknologi polikultur (udang dan bandeng) dalam pengembangan budidaya udang di Jawa Timur. Keberadaan proyek itu mendapatkan dukungan fasilitas kredit dari Bank Dunia dan IBRD sejak 1975, dilanjutkan pada 1979 dengan pemberian fasilitas kredit proyek pedesaan Bank Dunia. Setelah itu, berdasarkan Keppres No. 39 Tahun 1980, kredit yang tersedia untuk kegiatan budidaya tambak diterapkan melalui program INTAM. Dengan dukungan dari berbagai fasilitas kredit, beberapa petambak mulai dilatih melakukan kegiatan budidaya monokultur udang. Setidaknya pada 1988, sekitar 4.668 hektar tambak telah digunakan untuk budidaya udang secara monokultur maupun polikultur dengan ikan bandeng melalui program INTAM Swadana, yang berarti 74% dari 6.323 ha yang diproyeksikan
Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
127
(Dinas Perikanan Jatim dalam Shrimp Culture Development Project UNDP-FAO, 1990). Dalam rangka mendukung pengembangan tambak udang, pasca pemberlakuan Keppres No. 39 Tahun 1980, pemerintah kemudian mulai mengembangkan infrastruktur yang diperlukan, baik melalui anggaran nasional ataupun bantuan asing. Bantuan asing tersebut berasal dari Bank Pembangunan Asia (ADB) melalui Brackishwater Aquaculture Development Project (BADP) dan Bank Dunia melalui Fisheries Support Services Project (FSSP). Tahap I dari BADP dimulai pada 1983/1984 dan berakhir tahun 1989/1990. Kegiatan utama proyek ini adalah; 1) pembangunan/ rehabilitasi saluran pasokan air pertambakan untuk 12.140 hektar tambak di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur; 2) pengembangan lima unit pembenihan udang masing-masing dengan kapasitas 40 juta nener per tahun di Jawa Barat (satu unit), Jawa Timur (dua unit), Aceh (satu unit) dan Sulawesi Selatan (satu unit); 3) perluasan; dan 4) kredit. Sedangkan Bank Dunia melalui FSSP mulai bekerja pada 1987/1988 dan berakhir pada 1994/1995. Proyek ini mencakup 1) intensifikasi tambak udang seluas 18.000 Ha (Aceh 5.000 Ha, Sulawesi Selatan 11.000 Ha dan Sulawesi Tenggara 2.000 Ha). Sementara tahap II bantuan ADB melalui BADP berkaitan dengan ekstensifikasi tambak di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat. Kegiatan proyek ini akan melibatkan sektor swasta sebagai inti dan petani tambak sebagai plasma menggunakan konsep Tambak Inti Rakyat (Untung Wahyono dalam Shrimp Culture Development Project UNDP-FAO, 1990). Kontribusi utang luar negeri dari sektor ini diperkirakan mencapai Rp. 39,5 miliar per tahun, sejak 1983 hingga 2013 mendatang (Aliansi Manado, 2009). Meskipun dalam kenyataannya, program kompensasi pengalihan kegiatan ekonomi non-trawl yang telah dialokasikan, banyak mengalami hambatan teknis dilapangan, akibat keterbatasan dana kredit pengalihan usaha dan “ketidaktersediaan” lahan konversi untuk kegiatan perikanan budidaya yang akan dilakukan (lihat penuturan Haji Samir dalam kasus ponggawa perintis).
128
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Jika mencermati latar belakang sejarah penerbitan Keppres No. 39 Tahun 1980, hingga poses pelaksanaannya di lapangan, sulit untuk tidak mengatakan “penerbitan Keppres No. 39 Tahun 1980 sarat dengan berbagai kepentingan”. Tentunya kolaborasi kepentingan penguasa saat itu, serta pemodal disektor perikanan nasional dan asing, melalui penetrasi kapital lembaga keuangan internasional. Kelak, kebijakan ini tidak hanya berdampak pada konversi hutan negara (mangrove) secara massive untuk kegiatan pertambakan, namun juga mendorong kemunculan pengusahapengusaha pribumi yang berhasil memanfaatkan momentum tersebut, sehingga mampu mengembangkan pertumbuhan kapitalisme lokal yang berbasis perikanan budidaya.
5.1.4 Mensiasati Over Fishing Penggunaan alat negara dalam proses penghapusan trawl dilapangan, tidak dapat dipungkiri berhasil mengalihkan kegiatan ekonomi sebagian besar masyarakat setempat menjadi nelayan non trawl. Bahkan, cukup efektif dalam menggiring para nelayan tangkap untuk beralih profesi sebagai pembudidaya udang, yang diharapkan mampu mengamankan “Program Udang Nasional”. Namun demikian, tidak sedikit nelayan trawl yang tetap melaut meskipun harus “kucing-kucingan” dan menghadapi resiko penangkapan oleh aparat, sebagian kecil diantara mereka mengalihkan kegiatan ekonominya dalam pelayaran tradisonal/ perdagangan antar pulau, karena minimnya dana kompensasi yang tersalur dan stigma kegiatan perikanan budidaya yang kurang prospektif. Salah seorang yang berani mengambil resiko dan sukses menjadi milyarder di sektor pelayaran tradisonal/perdagangan antar pulau tersebut, adalah Haji Saraping yang sebelumnya merupakan nelayan trawl yang beroperasi di sekitar Delta Mahakam – Tarakan. Meskipun terlihat menjanjikan, namun kegiatan penangkapan udang di sekitar perairan Delta Mahakam dan sekitarnya, sejak akhir 1990-an diduga telah mengalami degradasi stok udang, hal ini “diamini” oleh hampir semua nelayan yang mengeluhkan minimnya hasil tangkapan mereka. Menurut Juliani (2004), potensi lestari perairan Delta Mahakam
Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
129
dan sekitarnya (pada kedalaman < 20 meter) mencapai 9.300 ton/tahun, dengan upaya penangkapan optimum lestari 38.875 trip/tahun. Kawasan pada kedalaman tersebut, menurut Yuliani telah mengalami kelebihan tangkap (over fishing), karena kondisi aktual menggambarkan upaya penangkapan optimal telah dicapai, begitu juga kecendrungan produksi yang menurun, bahkan telah melampaui tingkat keseimbangan akses terbuka (open acces). Temuan tersebut senada dengan analisa Dahuri (2009), yang menyatakan total produksi perikanan tangkap dari laut Indonesia pada 1999, telah mencapai 3,7 juta ton atau 58% dari MSY (Maximum Sustainable Yield). Kondisi inilah yang kemudian menjadi alasan “survival” nelayan setempat, sehingga kembali beramai-ramai memanfaatkan alat tangkap trawl yang telah dilarang, karena dianggap lebih efektif dan efisien dalam menangkap udang. Meskipun diyakini nelayan tradisional setempat, stok perikanan di sekitar perairan Delta Mahakam saat ini telah terdegradasi, sehingga berimbas pada hasil tangkapan mereka yang semakin minim, namun data statistik (seperti terlihat pada Tabel diatas), menunjukkan bahwa produksi perikanan tangkap cenderung meningkat meskipun peningkatannya fluktuatif. Hal ini mengindikasikan, peningkatan produksi perikanan tangkap lebih banyak ditopang dari hasil tangkapan nelayan-nelayan/ armada perusahaan-perusahaan eksportir yang memiliki kapal dengan tonase besar dan modern, sehingga mampu beroperasi efektif meskipun jauh dari pantai. Degradasi stok udang yang terjadi di perairan Delta Mahakam dan sekitarnya, tentu tidak hanya diakibatkan maraknya kegiatan illegal fishing karena penggunaan alat tangkap trawl oleh nelayan setempat, bersaing dengan kapal-kapal berukuran > 30 GT dan moderen dari luar Kalimantan Timur yang juga melakukan eksploitasi udang di kawasan yang sama. Namun, lebih disebabkan ketiadaan regulasi yang dapat diaplikasikan dalam mengatur jalur penangkapan, berikut pembagian zonasi sesuai ukuran kapal, penentuan dimensi kapal dan alat tangkap, daerah konservasi udang dan aturan pendukung lainnya. Akibatnya persaingan dengan “hukum rimba” dalam kegiatan penangkapan 130
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
udang tidak terhindarkan, hanya nelayan yang memiliki teknologi dan efisiensi usaha tingkat tinggi yang akan tetap survive dan memperoleh keuntungan optimal. Padahal, untuk menghasilkan satu kilogram udang membutuhkan biaya rata-rata sebesar Rp. 12.068, sehingga menurut Juliani (2004) usaha penangkapan udang di kawasan Delta Mahakam tergolong tidak efisien. Sementara kiriman air tawar pada musim hujan, dari daerah hulu Sungai Mahakam yang kondisi hutannya juga terdegradasi ke arah muara sungai, menyebabkan “terhambatnya” migrasi udang ke perairan dangkal, karena “terdorong” menjauhi muara sungai/pantai ke perairan yang lebih dalam. Selain itu selektifitas alat tangkap, penggunaan bahan peledak dan beracun dalam perikanan tangkap juga menyebabkan kerusakan ekosistem yang menimbulkan dampak lanjutan berkurangnya stok udang dan ikan. Sedangkan konversi hutan mangrove menjadi area pertambakan yang massive turut menghancurkan habitat alami yang menjadi spawning ground dan nurshery ground bagi perkembangbiakan udang. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada interaksi positif antara keberadaan hutan mangrove dengan produksi perikanan tangkap, khususnya udang dan pelagis kecil, sebesar 27,21%, artinya 27,21% produksi udang dan pelagis kecil dikontribusikan oleh adanya ekosistem mangrove (Indra, 2007). Hasil penelitian lainnya yang dirangkum Indra (2007) dari Paw and Chua (1989) juga menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara luas area mangrove dengan penangkapan udang penaeidae di Philipina. Begitupun temuan Martusobroto (1978) dan Naamin (1984), juga menyatakan adanya hubungan positif antara hasil tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. Hal yang sama ditemukan Ng (1985) dalam Supriharyono (2000) di Malaysia, di daerah semenanjung sebelah barat dengan tutupan mengrove sekitar 96% menghasilkan 433.988 ton produksi ‘ikan’ (termasuk udang dan kerang-kerangan), dibandingkan 133.226 ton produksi ‘ikan’ di semenanjung sebelah timur yang hampir tidak ada mangrovenya. Akibatnya bisa diduga, nelayan-nelayan tradisional yang hanya mampu mengoperasikan kapal < 5 GT, sulit bersaing dengan kapalSiasat Menguras Sumberdaya Perikanan
131
kapal > 30 GT yang mampu melakukan operasi penangkapan maksimal pada kedalaman > 20 meter (sekitar > 6 mil dari pantai), yang berbiaya besar. Padahal pada kedalaman tersebut, densitas udang belum optimal dieksploitasi, potensi udang yang tereksploitasi baru mencapai 6,5 ton/ bulan dari potensi keseluruhan yang mencapai 77,3 ton/bulan (Juliani, 2005). Ukuran udang pada kedalaman 20 – 50 meter, umumnya juga lebih besar dan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan udang di tempat dangkal, sehingga lebih menguntungkan dan mampu mendukung kelangsungan usaha di sektor penangkapan udang.
5.2 FASE INDUSTRI PERIKANAN BUDIDAYA 5.2.1 Reproduksi Kebijakan Penguasaan Sumberdaya Agraria Sampai dengan tahun 1980-an, sebenarnya aktifitas ekonomi utama masyarakat setempat sebagian besar masih ditopang oleh kegiatan perikanan tangkap (nelayan), sementara aktifitas pertambakan baru diintrodusir oleh sebagian kecil masyarakat di kawasan Delta Mahakam dari para migran Bugis yang datang belakangan. Seperti terungkap dalam penelitian Lenggono (2004), “kegiatan pertambakan di Kawasan Delta Mahakam sebenarnya baru dimulai sekitar tahun 1978, ketika beberapa orang pendatang dari Sulawesi menyampaikan informasi tentang tata cara pembuatan tambak secara tradisional. Diantara warga setempat yang berminat mencoba mempraktekkan informasi tersebut adalah Haji Beddu di Tani Makmur dan Haji Lamat di Muara Pantuan”. Lebih lanjut, Haji Lamat menuturkan bahwa ia memulai kegiatan usaha pertambakan dengan “membuka” 2½ Ha lahan mangrove yang ada di samping rumahnya, untuk membangun empang sedalam ½ M dengan peralatan seadanya. Karena keterbatasan tenaga ia hanya mampu memperdalam empang itu beberapa meter dari tanggul, sehingga menyisakan tanah timbul di tengah empang. Selanjutnya empang tersebut diisi dengan air dari laut yang kebetulan berhadapan dengan empang yang dibangunnya, tanpa proses penaburan benih, ia melakukan perawatan seperlunya. Sekitar 3 bulan setelahnya, ia mencoba mengeringkan
132
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
empang yang belum jadi tersebut, dari panen pertamanya, Haji Lamat mengaku berhasil memanen udang windu seberat ½ ton dengan harga sekitar Rp. 3.500/Kg. Sejak saat itu kegiatan pertambakan tradisional, mulai menarik minat banyak pemilik kebun kelapa dan nelayan di sekitar kawasan Delta Mahakam untuk mencoba peruntungan dengan membuka tambak-tambak baru. Kegiatan pertambakan dengan konversi hutan mengrove, semakin marak dilakukan pasca pemberlakukan Kepres No. 39 Thn 1980 dan Inpres No. 11 Thn 1982. Pekembangan kegiatan pertambakan di aras lokal tersebut, tidak terlepas dari “dukungan” Pemerintah Daerah setempat, melalui berbagai kebijakan yang ditujukan untuk “mengamankan” kepentingan Pemerintah Pusat, khususnya dalam Program Udang Nasional. Dimulai dengan penerbitan SK Gubernur Kaltim No. 66 Thn 1987, tentang Rencana dan Ketentuan-Ketentuan Pokok Usaha Intensifikasi Tambak Udang dan Bandeng Tahun 1988/1989; SK Gubernur Kaltim No. 83/590-IX/Um-38/1987, tentang; Pencadangan Areal Tanah Seluas ± 600 Ha di Pulau Letung Daerah Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai untuk Pengembangan Budidaya Udang dengan Pola Tambak Inti Rakyat (TIR); SK Walikotamadya/Ketua Satuan Pelaksana Bimas Kotamadya Samarinda No. 84 Thn 1987, tentang Intensifikasi Tambak dalam Kotamadya Samarinda; dst. Secara keseluruhan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah saat itu, telah ikut memicu terjadinya konversi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam menjadi area pertambakan secara massal dan massive pada masa selanjutnya. Sementara, peningkatan permintaan pasar internasional akan produk perikanan (khususnya udang windu), secara tidak langsung juga telah “memaksa” para pemilik modal, khususnya perusahaanperusahaan eksportir, semakin banyak mengucurkan modal usahanya untuk mendorong pembukaan tambak-tambak baru di sekitar kawasan Delta Mahakam. Seiring dengan semakin menurunnya hasil tangkapan udang nelayan setempat, pasca pelarangan alat tangkap trawl. Besarnya luasan hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambakan, namun tidak memiliki nilai intrinsik, menjadikan “transaksi Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
133
penguasaan” atas kawasan Delta Mahakam semakin leluasa dilakukan. Seketika kawasan common property, dirubah peruntukannya menjadi area-area pertambakan pribadi. Di dalam Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) yang diperkirakan mencapai 90 persen dari luasan kawasan Delta Mahakam yang mencapai 108.251,31 Hektar inilah, kegiatan pertambakan “ilegal” berlangsung. Klaim “Ilegal” mengacu pada perpektif Departeman Kehutanan yang mengkategorikan KBK sebagai kawasan “terlarang” bagi aktivitas apapun diluar kegiatan budidaya kehutanan, pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin dari instansi yang berwenang bahkan dapat dikategorikan sebagai “perambah hutan”. Istilah-istilah “mengelola hutan” seperti ini, tampaknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan kekuasaan dan ironisnya tidak pernah memperhitungkan kebutuhan masyarakat lokal. Secara legal formal keberadaan pemukiman di dalam KBK sekalipun, akan dikategorikan illegal oleh pemerintah, meskipun secara historis kawasan pemukiman tersebut telah berdiri jauh sebelum kebijakan tersebut ditetapkan. Sebagai konsekuensi logis atas penerbitan keputusan Menteri Pertanian bernomor 24/Kpts/Um/1983, yang secara sepihak menetapkan sebagian besar kawasan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi. Reproduksi pengetahuan yang berimplikasi pada reproduksi penguasaan atas sumberdaya alam menurut Bryant (1998), tercipta karena adanya konflik politik ekologi antara dua lapisan sosial masyarakat. Pertama, elit politik dan ekonomi yang memiliki kekuasaan untuk menjustifikasi kebijakan yang “dianggap jauh lebih baik” dan kedua, adalah kelompok subordinat (masyarakat lokal dan kelompok marjinal) yang berusaha melawan kelompok elit melalui “budaya resisten”. Proses produksi pengetahuan tersebut seringkali memperkuat ketidakadilan ekonomi dan sosial terhadap masyarakat tersubordinat. Sebagai akibatnya, rumah-rumah penduduk yang didirikan diatas tanah berstatus KBK tidak mungkin disertifikatkan, seperti yang terjadi pada sebagian besar kawasan pemukiman di Desa Muara Pantuan, Sepatin dan Tani Baru. Demikian halnya dengan keberadaan tambaktambak yang dibangun dengan memanfaatkan KBK di sekitar kawasan 134
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Delta Mahakam pun “dicap” ilegal oleh otoritas kehutanan. Namun anehnya, pemerintah (otoritas kehutanan) sebagai penguasa kawasan, ternyata tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengatasi kegiatan “ilegal” yang terus berlangsung di atas tanah-tanah negara tersebut. Begitu pula dengan keberadaan pemukiman di dalam KBK, tidak pernah sekalipun ditertibkan secara tegas oleh otoritas yang berwenang. Absennya negara sebagai pihak yang berkompeten dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul atas penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi, telah menjadi preseden buruk bagi terciptanya kesadaran kolektif dalam tubuh masyarakat yang patuh hukum. Akibatnya bisa diduga, tidak hanya kawasan pemukiman yang bertambah meluas, namun juga pembangunan tambak-tambak baru pun semakin tak terkendali, seiring dengan lemahnya penerapan low enforcement. Pada gilirannya permasalahan agraria di kawasan Delta Mahakam menjadi semakin kompleks dan sulit diurai. Pola relasi antara tanah dan kehidupan petambak tersebut sepertinya sesuai dengan gambaran Redfield (1985) “sebagai suatu dunia yang dipenuhi sikap hidup tipikal”. Artinya tanah (lokasi hutan mengrove untuk area pertambakan) merupakan sumber penghidupan utama bagi para petambak, walaupun bukan berarti kepemilikan tanah kemudian menjadi sesuatu yang secara khusus menjadi tuntutan. Mereka merasa bisa hidup tanpa memiliki tanah, karena bagi petambak di Delta Mahakam yang lebih penting adalah penguasaan tanah dimana mereka bisa tetap berproduksi (dengan menjalankan aktivitas pertambakan), sehingga mampu melanjutkan kehidupannya. Realitas tersebut sekaligus menjawab logika berpikir para petambak di kawasan Delta Mahakam yang sebagian besar tidak terlalu ambil pusing dengan status legal formal atas keberadaan tanah-tanah yang mereka kuasai. Perlu dicatat disini, sebenarnya melalui Proyek Operasi Nasional Agraria ( Prona) yang dimulai sejak 1981/1982, sejumlah tanah perkebunan kelapa milik penduduk di sekitar Delta Mahakam ada yang berhasil disertifikatkan. Menariknya kegiatan pensertifikatan secara massal, mudah, murah dan cepat tersebut terus berlangsung pasca Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
135
penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi. Menurut catatan Pemerintah Kotamadya Samarinda yang pada saat itu wilayah administratifnya meliputi sebagian kawasan Delta Mahakam, setidaknya pada tahun anggaran 1981/1982 s/d 1985/1986 sebanyak 15.353 sertifikat berhasil diselesaikan melalui program Prona. Sejumlah warga Sungai Perangat, Desa Sepatin dilaporkan juga berhasil mensertifikatkan lahan perkebunan kelapa mereka melalui program Prona di tahun yang sama. Menurut Haji Alimuddin, sertifikat tersebut diterbitkan dalam luasan maksimal dua hektar, sehingga bagi mereka yang memiliki kebun kelapa lebih dari dua hektar, terpaksa harus “memecah tanahnya” dalam beberapa sertifikat. Meskipun kawasan Delta Mahakam hingga saat ini masih berstatatus hutan produksi, menariknya sejumlah ponggawa dan petambak setempat juga mengaku berhasil mensertifikatkan tambaktambak mereka pada kurun 1990-an. Salah seorang kepala desa di kawasan Delta Mahakam, bahkan mengaku mendapatkan uang yang cukup besar setelah mengagunkan sertifat tambaknya pada sebuah bank negara. Fakta bahwa kegiatan pertambakan sudah sedemikian meluas dan melibatkan ribuan penduduk, telah pula mempengaruhi cara pandang aparatur pemerintah daerah. Menurut Simarmata (2008), umumnya aparat pemerintahan setempat menyadari bahwa secara hukum, tambaktambak di kawasan hutan adalah illegal, namun secara faktual jumlah mereka yang sedemikian banyak dan sangat menggantungkan hidupnya pada usaha pertambakan, menjadikan pengusiran mereka dari kawasan Delta Mahakam muskil dilakukan. Tidak berlebihan jika sikap pragmatis yang kerap mendasari penyelesaian berbagai permasalahan secara instan pun menjadi pilihan yang dianggap paling realistis. Pemerintah daerah dengan fungsi mediatornya, cenderung bersikap ambigu ketika dihadapkan pada penyelesaian sengketa agraria antara masyarakat setempat (petambak/ponggawa) dengan pihak perusahaan migas. Prinsipnya berbagai kepentingan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan kepentingan perusahaan migas akan diakomodasi, sebagai upaya meredam munculnya gejolak yang lebih besar dalam masyarakat. Entah 136
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
melalui kesepakatan ganti-rugi atau pemberian kompensasi dalam bentuk materil atas dampak negatif aktivitas perusahaan migas. Tabel 5.5 Praktek Kegiatan Pengelolaan Migas
Sumber: Disarikan dari berbagai sumber
Lazimnya kegiatan industri migas, selalu dimulai dari kegiatan sektor hulu berupa tahapan kegiatan eksplorasi dengan melakukan penyelidikan
Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
137
dan pencarian, yang dilanjutkan dengan kegiatan eksploitasi dan pengembangan lapangan-lapangan migas (diantaranya berupa kegiatan survey dan pengeboran), hingga kegiatan sektor menengah sampai hilir, yang umumnya berupa pengolahan dan pendistribusian minyak ke kilangkilang minyak dan gas dengan menggunakan pipa. Namun demikian, kegiatan usaha hulu industri migas tetap harus tunduk pada Pasal 33, UU No. 22/2001 yang menyatakan bahwa “hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi dan tidak pada tempat-tempat tertentu”. Di atas tanah permukaan inilah benturan kepentingan antara kegiatan usaha hulu migas dengan kegiatan usaha perikanan budidaya/ tangkap sering terjadi. Hal ini dikarenakan zona potensial penghasil migas meskipun berbeda “ruang” namun berada pada “area permukaan” yang sama dengan kegiatan perikanan, dimana kandungan migas berada di “ruang” bawah (dalam perut bumi), sedangkan potensi sumberdaya perikanan tangkap/budidaya berada di ruang atas dari permukaan tanah. Demikian panjang dan kompleksnya praktek kegiatan pengelolaan migas (lihat Tabel 5.5), telah menempatkan sektor strategis ini beresiko berbenturan dengan kepentingan berbagai stakeholder (khususnya kegiatan pertambakan). Pada tahap eksploitasi, kegiatan pertambangan migas yang terkonsentrasi pada usaha-usaha produksi migas, pengolahan lapangan, distribusi melalui pipa di lapangan, membutuhkan alokasi ruang permukaan yang besar. Di dalam ketentuannya, lokasi-lokasi yang akan digunakan untuk kegiatan tersebut haruslah mengantongi hak pakai sesuai dengan persyaratan keamanan instalasi migas dan harus bebas dari kepentingan atau pemakaian/pengunaan pihak lain pada jarak-jarak tertentu dari masing-masing jenis instalasi. Hal tersebut juga diatur dalam UU No. 22/2001 Pasal 36 ayat (1), “Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap telah diberikan Wilayah Kerja, maka terhadap bidang-bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan area pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut”. Dimana pihak perusahaan migas 138
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
diwajibkan mendapatkan pelepasan hak pakai atas kawasan hutan produksi yang akan mereka manfaatkan dari pemilik otoritas yaitu Departemen Kehutanan. Jika mendasarkan pada ketentuan normatif, perusahaan migas yang telah mengantongi izin hak pakai dari otoritas yang berwenang, sebenarnya tidak diwajibkan mengganti dalam bentuk apapun dan pada siapapun, atas aktivitas yang dilakukan dalam wilayah konsesi mereka, karena kawasan tersebut secara hukum formal berada di atas tanah negara. Namun menurut Simarmata (2008), perusahaan migas dan BP Migas lebih memilih menggunakan logika common sense, karena petambak dan nelayan dianggap telah mengeluarkan sejumlah uang untuk membuka tambak atau membuat dan memasang alat tangkap. Pihak perusahaan migas dan BP Migas bisa menerima tuntutan ganti rugi selama penggugat mampu menunjukkan surat legalitas kepemilikan lahan, seperti SPPT (Surat Pernyataan Penggarapan Tanah/Surat Pernyataan Penguasaan Tanah) yang ditandatangani ketua RT, kepala desa dan camat, tanpa keharusan menunjukan izin yang dikeluarkan oleh instansi kehutanan sebagai pemilik otoritas. Hal ini kemungkinan merupakan “jalan tengah” yang dianggap paling mudah dan murah dalam membebaskan lahan-lahan yang telah dikelola dan dimanfaatkan masyarakat, dibandingkan harus menggunakan “kekuatan negara” yang belum tentu mampu menghalau “pendudukan” atas tanah-tanah negara tersebut. Sekaligus menjadi penjelas bahwa penerapan mekanisme ganti rugi/kompensasi, telah ikut membenarkan tindakan “pendudukan” yang selama ini berlangsung. Perusahaan migas cenderung berlaku permisif, karena tidak berkepentingan mengendalikan pembukaan kawasan hutan sepanjang tidak mengganggu jalur pipa dan kompleks platform produksi migas. Karenanya sistem pengamanan tingkat tinggi yang diberlakukan mereka pun, tidak ditujukan untuk ikut mendukung pengamanan kawasan hutan produksi dimana area konsesi mereka berada, namun hanya diperuntukkan bagi pengamanan area-area produksi migas berikut instalasi penunjangnya. Tidak peduli dengan apapun yang terjadi diluar Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
139
wilayah operasi mereka. Apabila suatu saat tidak mampu mengamankan sendiri wilayah konsesinya, barulah mereka meminta bantuan pada aparat keamanan negara atau jika memerlukan lahan-lahan baru untuk kegiatan produksi, cukup dengan meminta bantuan BP Migas berunding dengan masyarakat pemilik lahan/tambak melalui pemkab/pemprop sebagai mediator. Pragmatisme yang ditunjukkan perusahaan migas juga terlihat dari mekanisme kompensasi/ganti-rugi materil yang lebih mereka sukai dalam berhubungan dengan masyarakat setempat, prinsipnya “lebih baik membagi sedikit untuk mendapatkan bagian yang lebih besar, dibandingkan menegakkan aturan yang membutuhkan bagian yang tidak kecil”. Sementara pemerintah daerah yang sejak awal tidak mampu memberikan kepastian hukum atas tanah-tanah negara tersebut, cenderung bersepakat dengan model kebijakan ganti-rugi/kompensasi yang diterapkan perusahaan migas dan BP Migas, sekalipun tanah-tanah negara yang akan diganti-rugi tersebut, secara formil tidak memiliki keabsahan.
5.2.2 Pola Pendudukan Tanah Negara Tanah-tanah negara di kawasan Delta Mahakam dikuasai dengan berbagai cara, seperti pewarisan dari orang tua, proses jual-beli, serta usaha merintis dengan mendapat izin garap dari otoritas setempat, namun tidak sedikit yang melakukannya tanpa izin garap. Umumnya masyarakat setempat mengaku bahwa tanah-tanah yang mereka kuasai pada awalnya diperoleh dari proses pembagian oleh RT/Kepala Desa. Mekanisme pembagiannya didasarkan pada jumlah KK dalam kelompokkelompok komunitas petambak, dimana setiap KK akan mendapatkan lokasi seluas dua hektar. Tidak hanya usaha merintis hutan mangrove menjadi area pertambakan yang bisa dilakukan tanpa sepengetahuan otoritas setempat, transaksi jual-beli pun banyak yang dilakukan tanpa sepengetahuan kepala desa dan camat. Transaksi jual-beli yang berusaha menghindari keterlibatan kepala desa ataupun camat tidak hanya didorong motif untuk terbebas dari kewajiban membayar biaya
140
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
pengurusan yang besarnya mencapai Rp. 350.000/dua Ha, seperti temuan Hidayati et all (2005) dan Simarmata (2008), namun juga akumulasi faktor psikologis-geografis akibat rendahnya pendidikan mereka yang melakukan transaksi, selain keterisoliran kawasan pertambakan di Delta Mahakam dari pusat pemerintahan. Akibatnya mereka yang bertransaksi cenderung menganggap urusan administrasi pertanahan sebagai sesuatu yang sulit dilakukan, sehingga terkesan menganggap remeh. Di dalam prakteknya pemilik/penggarap cenderung baru akan mengurus Surat Pernyataan Penggarapan Tanah (SPPT) setelah terjadi konflik atau bila akan berlangsung jual beli dan pemberian ganti rugi oleh perusahaan migas. Maksimal luasan tanah untuk satu bidang yang bisa mendapatkan Surat Pernyataan Penggarapan Tanah ini adalah dua hektar. Hanya saja tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai batasan maksimal lembar SPPT yang bisa dimiliki oleh seseorang, begitu pun dengan jangka waktu keberlakukan surat tersebut (Simarmata, 2008). Hal ini telah menciptakan peluang terjadinya penyalahgunaan atas penguasaan tanah-tanah negara, akibat ketidakpastian regulasi pertanahan di aras lokal. Pembatasan kepemilikan, kemudian ditafsirkan sedemikian rupa, oleh mereka yang bertransaksi, sebagai jalan tengah yang bisa “menguntungkan” kedua belah pihak, sehingga yang dimaksud dua hektar bukan lagi untuk setiap keluarga melainkan untuk setiap kepala atau setiap orang dalam satu keluarga ( Maifiansyah 2005; Simarmata, 2008). Sehingga muncul istilah “banyak anak banyak lokasi”, karena berapapun jumlah kepala dalam keluarga akan bisa dihargai dua hektar. Ketidakpastian regulasi pertanahan memungkinkan seorang penggarap memiliki belasan bahkan puluhan hektar lahan hutan, hanya dengan meng-SPPT-kan tanah-tanah yang dikuasainya per-dua hektar, menggunakan nama-nama berbeda dalam keluarga, bahkan dengan menggandakan nama mereka sendiri. Kemungkinan tersebut menemukan momentumnya, ketika regulasi pertanahan yang sampai pada aparatur pemerintahan di aras lokal mengalami transformasi subjektif, sehingga ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan persepsi Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
141
mereka yang terbungkus kepentingan pragmatis. Pemahaman seperti itu terus direproduksi secara berulang, sepanjang dianggap “aman dan menguntungkan” mereka yang bertransaksi, sebagai bentuk pensiasatan atas ketidakpastian penyelenggaraan hukum atas tanah-tanah negara yang sangat potensial ini. Meskipun menurut peraturan perundangan, pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin dari instansi yang berwenang dapat dikategorikan sebagai perambah hutan. Hasil penelitian Lenggono (2004), bahkan mengungkap terjadinya koalisi kepentingan antara aparatur pemerintahan di aras lokal dengan para ponggawa yang memiliki pengaruh sosial-ekonomi kuat dalam penguasaan tanah-tanah negara di Desa Muara Pantuan. Peristiwa pelepasan tanah-tanah negara secara massal oleh kepala desa dalam kurun waktu 1991 – 1999 ini, telah menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan tanah-tanah negara pada pihak-pihak tertentu yang memiliki modal dan pengaruh kuat (khususnya pada para ponggawa). Kebijakan lokal tersebut, muncul seiring dengan semakin besarnya kebutuhan lokasi-lokasi baru bagi perluasan tambak, sehingga memaksa otoritas lokal mensiasatinya dengan membuat “regulasi instan” atas penguasaan area hutan mangrove yang saat itu masih belum memiliki nilai intrinsik. Salah satunya dengan memberikan “konsesi” penguasaan sejumlah pulau dalam kawasan Delta Mahakam pada pihak-pihak tertentu dengan sejumlah kompensasi. Para pemilik “konsesi”, selanjutnya memiliki hak prerogatif dalam mengatur dan mengendalikan pulau/kawasan tertentu, bahkan memiliki otoritas dalam pelepasan hak penguasaan lokasi untuk area pertambakan pada orang lain (lihat Tabel 5.6). Pembagian kuasa secara sepihak oleh oknum kepala desa, tidak hanya menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan area hutan mangrove untuk lokasi pertambakan pada pihak-pihak tertentu, namun secara tidak langsung telah ikut mengokohkan posisi para ponggawa sebagai “tuan tanah”. Kemampuan penetrasi kapital mereka, bahkan mampu mengakuisisi lokasi-lokasi baru diluar “konsesinya”, sehingga beberapa diantaranya menguasai hamparan tambak hingga ribuan hektar. Haji Maming dan Haji Halim adalah beberapa ponggawa senior yang 142
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
paling diuntungkan dengan kebijakan tersebut, Haji Maming dikenal sebagai ponggawa yang menguasasi hamparan tambak paling luas di Muara Pantuan hingga saat ini. Begitu pun Haji Halim yang juga orang tua angkat Haji Mangkana (eksportir terbesar di kawasan Delta Mahakam), tidak hanya memilik hamparan tambak luas di Muara Pantuan namun juga di Sepatin. Berbeda dengan (alm.) Haji Uton yang mendapatkan “konsesi” karena jabatannya sebagai kepala desa, saat ini ia hanya bisa meninggalkan beberapa petakan tambak yang diwariskan pada anakanaknya. Tabel 5.6 Pihak Yang Berkuasa Terhadap Lokasi Pertambakan di Desa Muara Pantuan
Sumber: Lenggono, 2004 (Wawancara Mendalam dengan Mantan Kades Muara Pantuan)
Pendistribusian penguasaan hutan mangrove juga telah menjadikan para ponggawa sebagai “agen regulasi” pertanahan di aras lokal, selain para kepala desa. Para ponggawa dan sejumlah tokoh kunci dalam masyarakat inilah yang selanjutnya berperan mendistribusikan tanah-tanah yang berada dibawah konsesinya pada para petambak yang menjadi kliennya dengan sejumlah ketentuan yang mengikat. Tanah-tanah negara yang dikuasai secara tidak prosedural inilah yang kelak menjadi aset produksi kunci yang dimanfaatkan dan didistribusikan para ponggawa sebagai alat untuk meraih kekuasaaan, kekayaan dan status sosial. Namun demikian, penguasaan hutan yang tidak prosedural ini kelak juga menjadi cikal-bakal terjadinya banyak kasus tumpang tindih penguasaan lokasi pertambakan. Seperti, kasus perebutan hak penguasaan atas lokasi pertambakan yang melibatkan dua ponggawa besar di Muara Pantuan antara Haji Maming dengan Haji Onggeng pada pertengahan tahun 2003.
Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
143
Penyerahan “konsesi” penguasaan lokasi hutan bisa pula dilberikan pada kelompok-kelompok komunitas melalui tokoh masyarakat setempat, seperti terungkap dalam wawancara dengan Haji Baharuddin, seorang petambak Bugis dari Handil Terusan. Ia menuturkan bahwa izin merintis lokasi untuk membuka tambak pada 1999 (hanyalah berupa tulisan tangan di secarik kertas), didapatnya dari Kepala Desa Tani Baru. Ia mengaku, mendapatkan izin garap hingga 1000 Hektar di Sungai Banjar (Tanjung Pimping) tanpa biaya satu sen pun, setelah mengajukan permohonan izin merintis lokasi hutan untuk kegiatan pertambakan pada sang kades yang secara pribadi ia kenal. Tanah-tanah itu, kemudian dibagikannya secara cuma-cuma pada sekitar 300 orang warga lokal dan pendatang Bugis, seluas 2 – 20 Hektar/KK, dengan harapan kawasan disekitar tambaknya menjadi semakin ramai. Ia tidak merasa menyesal telah membagi-bagikan “konsesinya” pada sejumlah orang, meskipun saat ini ia hanya bisa menguasai 20 Hektar tambak yang telah di SPPTkannya dengan biaya Rp 250.000/2 Hektar pada 2002. Sementara di Kelurahan Muara Kembang penyerahan “konsesi” penguasaan lokasi hutan, dilakukan otoritas lokal bersama LKMD yang mendistribusikan hutan nipah ex. konsesi PT. Nira Kertabuana pada masyarakat. Berdasarkan pengakuan Haji Yusuf yang juga merupakan pelaku sejarah dituturkan, bahwa pada 1990/1991 terjadi kesepakatan antara Perusahaan Gula Indonesia dan Pemda Propinsi Kalimantan Timur untuk mendirikan pabrik gula PT. Nira Kertabuana. Perusahaan ini diharapkan dapat mengeksloitasi hutan nipah di kawasan Delta Mahakam menjadi gula nira dengan memanfaatkan tenaga transmigran (penyadap) yang akan didatangkan dari Jawa dan lokal. Setidaknya saat itu ororitas berwenang telah mengalokasikan lahan hutan nipah di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam seluas 25 Ribu Hektar, sebagai area operasi perusahaan. Namun sayangnya, karena berbagai alasan program pemerintah tersebut akhirnya harus terhenti ditengah jalan dan menyisakan masalah “lahan tidur”. Atas inisiatif sejumlah tokoh masyarakat dan pemerintahan desa, tanah seluas 25 Ribu Hektar yang seharusnya kembali menjadi hutan negara tersebut, akhirnya dibagi144
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
bagikan pada warga Muara Kembang dan sekitarnya. Pemerintah Desa dan LKMD, memberikan ijin garap pada setiap keluarga seluas 5 Hektar, bahkan tidak sedikit yang mendapatkan ijin garap lebih dari 5 Hektar. Menariknya, menurut Haji Yusuf kesempatan untuk menadapatkan ijin garap lahan ex. konsesi PT. Nira Kertabuana tersebut, malah lebih banyak dimanfaatkan “orang luar” Muara Kembang.
5.3 FASE KONSOLIDASI EKONOMI LOKAL Fase integrasi ekonomi lokal ditandai terakumulasinya alat produksi hingga terkonsentrasinya raw material pada kelompok-kelompok ponggawa. Ketidaktersediaan raw material inilah yang kemudian menyebabkan colapse-nya industri perikanan ekspor, tidak terkecuali PMA Jepang, yang kemudian di take over oleh salah seorang ponggawa besar di Delta Mahakam. Tahun 2007 merupakan masa-masa kebangkrutan perusahaan eksportir perikanan pioner di kawasan Delta Mahakam, Misaya Mitra (PMA) dan Cendana Cold Storage (PMDN), yang secara pasti tereliminasi oleh kehadiran perusahaan eksportir lokal (Syam Surya Mandiri). Setidaknya hingga akhir tahun 2009, seperti ditunjukkan Gambar 5.7. Tujuh (44%) dari enam belas perusahaan industri pengolahan udang ekspor yang masih aktif beroperasi di Kalimantan Timur dimiliki orang Bugis, yang tidak hanya mampu bersaing dengan pengusaha keturunan Cina (mencapai 31%) dan “pemain” asing lainnya (mencapai 25%), namun juga memiliki keunggulan komparatif, karena didukung jaringan patronase pertambakan yang kokoh dan penguasaan sumberdaya yang memberikan jaminan pasokan material raw secara berkelanjutan. Fase ini pun ditandai dengan terintegrasinya ekonomi lokal yang disokong oleh kegiatan perikanan budidaya ke dalam tatanan perekonomian kapitalisme global. Gejala kebangkitan ekonomi lokal, setidaknya merupakan hasil dari beroperasinya keunggulan komparatif dan kompetitif produk yang diproduksi pengusaha lokal di pasar global. Hal ini ditandia dengan pertama, adanya kecendrungan peningkatan permintaan produk udang windu di pasaran regional-global yang
Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
145
tidak mampu diproduksi oleh produsen lain yang telah beralih hanya memproduksi udang vanamei secara massal. Kondisi ini juga tidak terlapas dari gaya konsumsi masyarakat negara maju yang cenderung lebih menyukai produk udang organik yang sebagian besar produksinya disumbang oleh usaha pertambakan tradisional seperti di kawasan Delta Mahakam. Selain itu tidak banyak produsen di negara lain yang bisa memproduksi udang windu yang hanya hidup di daerah tropis. Kedua, para pengusaha lokal memiliki keunggulan kompetitif atas kebutuhan pasar yang sedikit demi sedikit dikumpulkan dari mitral lokal, akses khusus pada kelembagaan lokal (patronase) dan keluwesan berproduksi yang merupakan hasil negosiasi dalam jaringan yang tidak membutuhkan biaya tinggi. Ketiga, kuatnya posisi tawar pengusaha lokal atas produk spesifik, seperti udang windu telah menempatkan mereka “tidak tunduk” secara absolud terhadap tekanan kapitalis pusat.
Gambar 5.3 Volume dan Nilai Produksi Eksportir Kaltim 2009 Sumber: Data Primer Diolah (2011)
Disini perlu dinyatakan, meskipun kawasan Delta Mahakam sebagai suatu komunitas lokal, namun keberadaannya bukanlah suatu entitas 146
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
sosial yang murni terisolir, melainkan terintegrasi ke dalam sistem sosial yang lebih luas yaitu sistem nasional dan global. Jika merujuk pada gagasan Wallerstein tentang struktur “pusat – semi-pinggiran – pinggiran, maka sistem ekonomi kapitalisme di Indonesia adalah negara pinggiran, sedangkan negara-negara industri maju seperti Eropa Barat, Amerika Utara, Australia dan Jepang adalah negara yang memiliki status pusat dan diantara keduanya tampil negara-negara industri baru, seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura sebagai semi-pinggiran. Teori ini beranggapan bahwa dalam konteks sistem kapitalis dunia, negara miskin dapat disamakan dengan orang miskin yang tidak memiliki alat-alat produksi, sehingga betapapun mereka bekerja keras, struktur ekonomi dunia tidak memungkinkan mereka berkembang beriring dengan negara maju (Budiman, 2006). Di dalamnya perkembangan ekonomi Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ekonomi negara-negara semi-pinggiran dan pusat yang telah lebih dulu maju, sebagai konsekuensi terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam sistem kapitalisme global. Dimana penguasaannya, menurut Budiman (1996) tidak harus dalam bentuk pengendalian secara ketat, tetapi cukup dengan sistem upeti sebagai tanda takluk dan ataupun sejauh mana negara pusat (“kerajaan dunia”) tersebut bisa menguasai secara politis negara dimaksud. Meskipun demikian, secara riil berbeda dengan kelangsungan industri tekstil di Indonesia yang diasumsikan Sitorus (1999) terkait dengan kelangsungan industri tekstil di negara-negara semi-pinggiran dan pusat, industri perikanan di Indonesia praktis tidak terkait secara langsung dan total dengan kelangsungan industri perikanan di negara semi-pinggiran dan pusat. Hal ini tidak terlepas dari adanya kepastian pasokan material raw berupa produk udang windu yang tidak membutuhkan pengolahan dengan teknologi tingkat tinggi, karena sebagian besar hanya diolah sebagai udang beku. Selain tidak banyak produsen di negara lain (semi-pinggiran ataupun pusat) yang bisa memproduksi udang windu yang hanya hidup di daerah tropis. Realitas tersebut, sekaligus ingin menegaskan bahwa pola konsumsi terhadap produk tertentu, seperti Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
147
udang segar organik yang dianggap memiliki nilai protein tinggi dan menyehatkan tubuh, merupakan faktor penting di dalam mengubah nilai dan tatanan simbolis dari pembentukan gaya hidup yang pada gilirannya akan ikut menentukan tingkat permintaan produk tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sub-sektor industri perikanan di Indonesia bukanlah merupakan sub-ordinat dari sub-sektor industri perikanan negara-negara semi-pinggiran ataupun pusat. Tidak seperti sub-sektor industri tekstil yang menunjukkan gejala ketergantungan, khususnya dalam hal bahan baku terutama serat kapas (juga sintetis) dan benang seperti disinyalir Sitorus (1999). Meskipun harus diakui bahwa industri perikanan lokal yang saat ini mampu melakukan take over atas perusahaan perikanan internasional pada 2007 dan manjadi salah satu perusaahan eksportir perikanan terbesar di pantai timur Kalimantan ini, pada awalnya dibangun melalui sebuah kerjasama dengan perusahaan perikanan dari negara semi-pinggiran (Taiwan). Namun demikian, kenyataan bahwa struktur ekonomi dunia merupakan struktur dominasi, yang menjadikan Indonesia sebagai sub-ordinat dari negara-negara semi-pinggiran dan pusat, telah menyebabkan industri perikanan di Indonesia pun harus mengakomodir kaidah-kaidah yang diterapkan secara sepihak oleh negara-negara maju. Kondisi tersebut ditandai dengan terjadinya berbagai kesepahaman dan kerjasama internasional yang melibatkan para pengusaha lokal (produsen) dalam pembinaan mutu produksi, yang dalam sektor perikanan telah berlangsung sejak 1975 (lihat Tabel 5.7)
148
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Tabel 5.7 Konsolidasi Kerjasama Internasional dalam Pembinaan Mutu Produk
Sumber: Disarikan dari Soewito Dkk (2011)
Seperti diketahui kegiatan pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan badan internasional dan Negara yang menjadi mitra dagang Indonesia. Sejak tahun 1975 hingga saat ini, kerjasama telah dilakukan antara lain dengan FAO/WHO, ASEAN, Australia, Kanada, Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Program kerjasama dengan FAO/WHO diwujudkan dalam Proyek Bantuan untuk mengikuti sidang Codex/Standarisasi Komoditas Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan
149
Pangan termasuk perikanan. Sedangkan program kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan Australia, antara lain diwujudkan dalam bentuk Proyek Penanganan ikan di TPI dengan Penanganan ikan di TPI dengan fish tray oleh nelayan di TPI dan bantuan sarana angkutan untuk fish tray oleh nelayan di TPI dan bantuan sarana angkutan untuk uji coba penanganan pengangkutan ikan hidup. Hingga akhirnya setelah melalui tahapan yang panjang pada 19 Mei 1994, Uni Eropa mengeluarkan Commision Decision No. 94/324/EEC berisi penetapan Indonesia sebagai Negara yang mempunyai kesamaan sistem pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan dengan Uni Eropa (Soewito Dkk, 2011). Ketentuan tersebut tentu saja sangat penting artinya bagi keberlanjutan, bahkan penciptaan peluang ekspor bagi produk udang lokal, mengingat selama ini Uni Eropa merupakan salah satu pangsa pasar yang sangat potensial bagi produk udang lokal. Selain karena kebijakan Uni Eropa yang sering dijadikan rujukan bagi negara-negara lain yang melakukan impor produk perikanan dari negara-negara eksportir perikanan. Secara sistematis, berbagai mekanisme global yang telah berlangsung pada tataran lokal tersebut, tidak sekedar menyebabkan tereliminasinya pengusaha lokal (ponggawa) yang tidak siap menghadapi era globalisasi perdagangan yang mensyaratkan ketentuan-ketentuan kualifikasi produk dengan sangat ketat, sehingga tidak mampu bersaing di pasar bebas. Namun juga menyebabkan terjadinya konsolidasi kekuatan ekonomi lokal pada sejumlah kecil pengusaha lokal (ponggawa besar), yang digerakkan industri perikanan budidaya dengan pasokan material raw yang berkelanjutan. Dan yang terpenting, mekanisme seperti ini pun sangat fungsional dalam memberikan “tekanan” pada sejumlah pihak (khususnya elit ekonomi lokal) untuk dapat lebih ramah lingkungan dalam berproduksi. Mengingat, sampai sejauh ini para pelaku usaha pertambakan (khususnya ponggawa) masih “tersandera” oleh berbagai isu global terkait dengan udang yang diproduksi pada area hutan produksi dan klaim udang organik yang dikelola tanpa mengindahkan kaidahkaidah ekologis, sehingga mengorbankan eksistensi lingkungan.
150
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
BAB VI TERCERABUT ATAU TERAKUMULASI
6.1 PERUBAHAN SISTEM SOSIAL DAN EKOLOGI LOKAL Kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam secara besarbesaran sebenarnya baru dimulai sejak awal tahun 1990-an dan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-1998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “boom udang”. Yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya “ledakan penduduk” akibat mobilitas etnik Bugis dalam membuka area tambak baru dikawasan tersebut. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari keberadaan beberapa perusahaan perikanan global yang telah beroperasi di sekitar kawasan Delta Mahakam jauh sebelum terjadinya “boom udang”. Tentu saja ini sebagai reaksi para pemilik modal atas besarnya permintaan pasar global terhadap hasil perikanan (khususnya udang windu). Sebelum tahun 1980, kawasan hutan mangrove di Delta Mahakam nyaris masih belum terjamah oleh kegiatan eksploitasi pengembangan pertambakan. Meskipun pada 1974 telah berdiri cold storage, namun produksi perikanan multinasional tersebut masih mengandalkan hasil tangkapan nelayan-nelayan tradisional di kawasan tersebut. Besarnya permintaan pasar perikanan internasional, setidaknya telah memicu dilakukannya modernisasi dalam kegiatan perikanan tangkap, dengan introduksi penggunaan alat tangkap trawl (pukat harimau). Beriringan dengan kebijakan Orde Baru yang menekankan peningkatan produktifitas di berbagai sektor usaha. Meskipu keadaan tersebut mampu mendorong munculnya kelas entrepreneur lokal dalam sektor perikanan tangkap yaitu; ponggawa, namun keberadaan mereka masih sebatas sebagai suplayer, kepanjangan tangan dari eksportir. Munculnya Inpres No. 11/1982, yang melarang penggunaan pukat harimau di seluruh Indonesia sejak 1Januari 1983, telah memicu diberlakukannya kebijakan lokal yang memberikan kompensasi pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan pada para nelayan lokal dan masyarakat di sekitar kawasan Delta Mahakam. Di satu sisi kebijakan tersebut, dimaksudkan untuk mengantisipasi gejolak dalam masyarakat, pasca pelarangan trawl. Sementara disisi lainnya untuk
152
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
“mengamankan” kebijakan Pemerintah Pusat, sekaligus mendukung Program Udang Nasional. Kondisi tersebut mendukung pernyataan Mac Andrew (1986), yang menyebut kebijakan pertanahan di Indonesia sejak tahun 1980-an lebih ditujukan untuk memecahkan persoalan pertanahan yang menghambat pelaksanaan pembangunan. Meskipun kebijakan pelarangan trawl yang diterapkan pemerintah, ternyata juga tidak dapat dilaksanakan secara efektif karena operasi kapal trawl masih tetap berjalan hingga saat ini, bersaing dengan nelayan-nelayan tangkap tradisional (kecil), akibat lemahnya pengawasan dari pihak-pihak terkait. Kondisi ini pada gilirannya akan semakin mempercepat pengurasan sumberdaya perikanan (over fishing) di sekitar kawasan Delta Mahakam, yang selanjutnya akan memaksa nelayan-nelayan lokal yang tidak mampu bersaing dengan nelayan-nelayan yang lebih modern untuk beralih profesi sebagai petambak atau setidaknya berprofesi rangkap sebagai petambak sekaligus nelayan tradisional untuk bisa tetap survive. Sebagian diantara mereka berhasil membudidayakan bibit udang yang diperoleh dari alam di dalam empang yang dibuat dengan sangat sederhana, sehingga menarik minat migran Bugis lainnya untuk ikut mencoba peruntungan. Sementara perusahaan cold storage melalui para ponggawa yang sangat membutuhkan pasokan hasil perikanan yang berkelanjutan dan lebih banyak, mulai mengucurkan bantuan finansial pada para petambak tersebut untuk menjamin pasokan bahan baku udang segar. Pentingnya nilai ekonomis hutan mangrove bagi peningkatan produksi perikanan perusahaan-perusahaan cold storage, telah menempatkan para ponggawa memiliki nilai strategis dalam hubungan kerjasama yang terjalin, karena memiliki akses langsung dalam penguasaan sumberdaya agraria. Kepentingan yang sama, telah menjadikan para ponggawa yang memiliki kedekatan dengan penguasa lokal, sekaligus dengan perusahaan eksportir, mampu mendapatkan dana segar untuk melakukan kegiatan ekspansi bagi perluasan tambak-tambak mereka. Sebagian ponggawa tersebut bahkan dengan mudah mendapatkan konsensi atas sejumlah area hutan mangrove yang sangat luas, yang pada saatnya akan didistribusikan pada para klien mereka untuk menjamin pasokan produksi. Dengan Tercerabut Atau Terakumulasi
153
menggunakan hegemoni budaya dan sumberdaya yang dimilikinya para ponggawa semakin memperkokoh posisinya sebagai patron yang mampu mengontrol hasil produksi tambak yang sangat luas. Kelak akumulasi penguasaan alat produksi (lahan tambak) ini akan menjadi penjelas, mengapa perusahaan eksportir tidak mampu bersaing dengan para punggawa lokal. Sejak 1990-an, para ponggawa bahkan mulai menggunakan excavator, menggantikan tenaga manual dalam pembukaan tambak. Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi regional pada 19971998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “boom udang”. Kondisi ini memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya. Akibatnya konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai tidak terkendali, sementara semakin minimnya hutan mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak-tambak baru telah menyebabkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian produktif yang kemudian dialih-fungsikan manjadi area pertambakan.
Pertambakan – Tahun Pembukaan MiGas
Pembukaan Lahan Tambak
Cold Storage 14%
Krismon
12% 10%
Masuk Ekskavator
8% 6%
Trawl Dilarang Arus Pendatang
4% 2% 0%
76
19
78
19
80
19
82
19
11% 6 has
84
19
86
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
19
34% 9 has
00
20
02
20
54% 9 has
Gambar 6.1 Sejarah Pertambakan di Delta Mahakam Sumber: Bourgeois et al, 2002 154
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Dari Gambar 6.1 dapat dilihat bahwa sejarah kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam ternyata mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi, namun secara aktual dapat dipastikan bahwa pertumbuhan kegiatan pertambakan akan selalu mengalami lonjakan ketika terjadi momentum penting terkait dengan faktor eksternal. Momentum penting pertama adalah terjadinya pelarangan trawl pada 1981, yang membuka peluang bagi terjadinya pembukaan area pertambakan oleh para nelayan di sekitar kawasan Delta Mahakam. Momentum kedua adalah mulai dilakukannya mekanisasi dalam pembuatan hamparan tambak-tambak baru menjelang tahun 1990, dengan memanfaatkan excavator. Dan ketiga, merupakan momentum terpenting atas terjadinya degradasi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam, ketika masyarakat pendatang dari berbagai kalangan membuka tambak-tambak baru secara massal dan massive, akibat “terprovokasi” harga udang yang melesat naik saat terjadi krisis moneter pada 1997/1998. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa tempo pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan pun, cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Proses kapitalisasi dalam kegiatan pertambakan selanjutnya memicu terjadinya arus migrasi dari etnik Bugis, Makassar dan Jawa ke desadesa yang berada di pulau-pulau dalam Kawasan Delta Mahakam. Dipekerjakan oleh para petambak ataupun ponggawa untuk menjaga empang-empang yang yang tidak lagi bisa mereka kelola sendiri karena luasnya tambak yang mereka miliki. Selain membuka kesempatan kerja bagi buruh tambak, untuk membangun tambak-tambak baru ataupun memperbaiki konstruksi tambak secara tradisional. Pemusatan penguasaan area pertambakan, selain menciptakan jurang kesenjangan diantara para penjaga empang – petambak – ponggawa, juga mendorong dilakukannnya ekspansi perluasan area tambak dengan cara meminjamkan modal usaha pada patron-nya masing-maisng untuk membuka hutan mangrove yang mereka kuasai. Hal inilah yang melanggengkan pola hubungan pemimpinpengikut (patron-clients), yang masih dipertahankan oleh sebagian wiraswasta Bugis dalam kegiatan sosio-ekonomi pertambakan. Ironisnya Tercerabut Atau Terakumulasi
155
sebagian besar ponggawa yang berhasil tersebut adalah para migran yang datang belakangan, kondisi ini secara tidak langsung telah menciptakan disparitas ekonomi, sekaligus kecemburuan.
6.1.1 Oportunisme dan Pragmatisme Migran Bugis Kecendrungan yang luar biasa untuk selalu mencari peluang ekonomi yang lebih baik dimanapun dan kapanpun tampaknya menjadi ciri khas yang tetap melekat dalam diri orang Bugis. Begitu kuatnya motif ekonomi dalam setiap mobilitas yang dilakukan orang Bugis, memberikan kesan bahwa peranan uang atau hartalah yang banyak menentukan nasib dan status seseorang. Sangat banyak ulama yang menganggap usaha memperkaya diri sebagai suatu kewajiban, sepanjang dilakukan secara jujur dan halal (sappa’ dalle’ hallala’), karena memungkinkan seseorang mampu membantu sesama yang kurang beruntung (Pelras, 2006). Orang Bugis, bahkan mempertaruhkan siri’-nya ketika merantau, mereka “merasa malu bila tidak bisa pulang untuk memperlihatkan bukti keberhasilannya di rantau”. Setelah meninggalkan tanah kelahirannya, kadangkala hingga bertahun-tahun mereka tidak kembali, hanya untuk mencari kekayaan hingga berhasil. Menjadi orang yang berharta, setidaknya juga menutup kemungkinan terjerumus menjadi Ata19 dan kehilangan siri’. Dalam sejarahnya, nasib seorang Ata bahkan dapat dirubah seketika menjadi To Maradeka20 hanya dengan membayar sejumlah uang denda/tebusan. Lebih jauh, Pelras (2006) bahkan menyebut para perantauan Bugis bukan sekedar petani tradisional, akan tetapi mereka adalah pengusaha berorientasi ekonomi. Berbeda dengan orang Jawa yang memiliki konsep keberhasilan yang diukur berdasarkan kemampuan untuk semakin memperluas sawah atau kebun guna mengintensifkan dan meningkatkan produk pertanian, para petani Bugis justru memiliki pemikiran jauh kedepan. Menurut Tanaka (1986), jika petani Bugis memperoleh uang 19. Budak/sahaya, bagi orang Bugis tidak ada siri’ yang lebih memalukan dibandingkan terjerumus menjadi Ata. 20. Kelompok masyarakat non elit/masyarakat kelas bawah/masyarakat ekonomi marginal, terutama dari kalangan orang kebanyakan dalam struktur feodal Bugis.
156
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
yang cukup besar, mereka berencana menginvestasikan kembali uang itu dalam bidang lain, seperti transportasi, perniagaan atau menyewakan lahan kepada petani Jawa atau orang Bugis yang baru tiba dan selanjutnya mereka akan mencari tempat-tempat yang lebih menguntungkan. Bagi migran Bugis, sepertinya ikatan mereka dengan tanah yang dikuasainya hanyalah sebentuk “ikatan instrumental”, jika mereka menganggap tanah-tanah yang dikuasainya tidak lagi “menguntungkan”, mereka akan segera menyewakan ataupun jika dikalkulasi tidak rugi akan dijualnya dengan harga layak. Meskipun demikian, sejumlah migran Bugis diketahui enggan menjual tanah miliknya yang dianggap memiliki nilai historis tertentu. Selanjutnya mereka akan berusaha mencari tanah-tanah yang lebih “menguntungkan” dan seringkali mengikuti jejak keberhasilan orang lain (meskipun berbeda etnis). Hal ini bisa dilihat dari kemampuan adaptasi para migran Bugis di Kelurahan Muara Kembang dan Pendingin yang mampu mengadopsi kegiatan pertanian padi dengan sistem handil yang dikembangkan migran Banjar ataupun sistem perladangan berpindah yang dipraktekkan penduduk asli setempat (Kutai). Tidak berlebihan jika kelak, kegiatan perkebunan kelapa untuk kopra yang memiliki harga menarik dipasaran ataupun perikanan tangkap bagang21 yang baru diintrodusir dari luar pun dengan sangat antusiasnya mampu dikembangkan migran Bugis di sekitar kawasan Delta Mahakam. Selama usaha baru tersebut dianggap mampu memberikan keuntungan lebih baik. Pragmatisme usaha yang ditunjukkan migran Bugis, juga terlihat dalam kegiatan budidaya tanaman coklat di Sulawesi Selatan (Mamuju, Polewali dan Luwu’) yang mengalami booming pada 1980-an. Menariknya banyak diantara mereka ternyata berasal dari Soppeng setelah berakhirnya boom tembakau. Penanaman coklat sepenuhnya bermula dari inisiatif 21. Bagang adalah sebutan masyarakat lokal terhadap tempat penangkapan ikan, yang umumnya berupa pondokan sederhana di tengah laut dengan bentangan jaring dibawahnya. Cara kerjanya dengan memasang jaring dimalam hari, dibantu lampulampu yang sangat terang untuk memancing ikan agar berkumpul dan “bermain” di bawah bagang. Saat banyak ikan berkumpul barulah jaring di tarik ke atas, hingga ikan terperangkap. Tercerabut Atau Terakumulasi
157
spontan petani kecil yang termotivasi informasi mengenai besarnya keuntungan coklat dari hubungan perdagangan langsung ke Sabah Malaysia. Menurut Ruf (1991), peran utama yang berhasil dimainkan orang Bugis dalam boom coklat karena mereka memiliki jaringan informasi penanaman dan perdagangan coklat, sehingga mampu menangani sendiri seluruh tahapan pemasaran produksi. Fenomena seperti itu pun dijumpai dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam, sikap oportunis dan pragmatis ditunjukkan oleh para migran Bugis yang datang dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan maupun mereka yang telah menetap di sepanjang pantai timur Kalimantan. Mereka berbondong-bondong datang ke kawasan Delta Mahakam pasca pelarangan trawl – pemberian “kompensasi” pembukaan area hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan. Umumnya mereka berasal dari Wajo, Bone, Pangkep dan Makassar, tidak sedekit diantara mereka adalah migran Bugis yang sebelumnya telah menetap di pantai timur Kalimantan, seperti Samarinda, Talake-Paser, Balikpapan, Samboja, Muara Jawa, Anggana, Muara Badak, Marang Kayu dan Bontang. Menariknya dalam dasawarsa terakhir, migrasi keluar dari tanah Bugis ataupun perpindahan orang Bugis dari satu pemukiman ke pemukiman lainnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik, banyak dilakukan dalam kelompok-kelompok keluarga/kekarabatan dengan dipimpin seseorang yang dituakan. Seperti yang dilakukan banyak migran Bugis yang datang di kawasan Delta Mahakam dalam tiga dasawarsa terakhir, meskipun ada pula migran yang datang secara perorangan. Berbeda dengan migran Bugis berorientasi perdagangan yang cenderung tidak terlibat secara langsung dengan komoditas yang mereka perdagangkan, migran Bugis berorintasi tanaman keras (kopra) – pertanian (beras) mulai berbagi peran, sejumlah migran mulai mengkhususkan diri untuk melakukan kegiatan usaha budidaya tanaman keras/pertanian sawah dan selanjutnya membatasi aktivitas mereka dengan hanya memetik kelapa dan membuat kopra/bertani padi sawah dan memproduksi beras. Sementara sejumlah migran lainnya yang berpengalaman dalam kegiatan perdagangan (biasanya pemilik 158
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
kapal) bertindak sebagai agen penyalur ataupun pemasaran kopra/beras. Menariknya, dalam empat – tiga dasawarsa terakhir, terjadi perubahan orientasi migran Bugis dalam mengembangkan usahanya. Hal ini bisa dilihat dari peran yang dimainkan orang Bugis dalam boom coklat di Indonesia yang memanfaatkan jaringan informasi penanaman dan perdagangan coklat, sehingga mampu menangani sendiri seluruh tahapan pemasaran produk mereka. Fenomena tersebut, tampaknya juga diperankan dengan sangat baik oleh migran Bugis dalam kegiatan usaha pertambakan udang di kawasan Delta Mahakam, hingga terjadinya boom udang di tahun 1998. Mereka mampu memanfaatkan momentum melemahnya mata uang nasional atas US $, pasca krisis ekonomi yang melanda Asia pada 2007/2008 dengan “memainkan” jaringan informal produksi pertambakan udang lokal dan perdagangan udang di tingkat internasional, sehingga usahanya berkembang dengan pesat, bahkan mampu bersaing dengan “pemain luar”. Itu berarti, keberhasilan ponggawa Bugis dalam kegiatan usaha pertambakan, juga tidak dapat dipisahkan dengan kemampuan mereka dalam mengelola komoditas yang diperdagangkan secara berkelanjutan, sekaligus kelihaian mereka dalam memperdagangkan komoditas berorintasi pada dinamika pasar dan menguntungkan Pragmatisme dan opurtunisme orang Bugis tidak bisa dipisahkan dengan sistem hierarki yang mereka tradisikan, meskipun membedakan orang berdasarkan asal-usul keturunannya, pada saat yang sama, juga memberi peluang yang sama kepada orang-orang dari status yang sederajat. Walaupun garis batas antara orang-orang dari status berbeda terus dipertahankan, tetapi persaingan dikalangan orang-orang berstatus sederajat untuk memperoleh jabatan, pengaruh, maupun kekayaan tetap terbuka lebar. Jadi, persamaan hak dalam suatu sistem hierarki pada orang Bugis sekaligus merupakan bibit instabilitas, bahkan kadang-kadang merupakan benih konflik.
Tercerabut Atau Terakumulasi
159
Interaksi Individu
Interaksi Individu
Persaingan Keluarga/ Klpk. Patronase
Persaingan
Solidaritas
Interaksi Kelompok
Solidaritas
Keluarga/ Klpk. Patronase
Persaingan
Solidaritas
Gambar 6.2 Piramida Interaksi Sosial Orang Bugis Sumber: Pelras (2006)
Kontradiksi semacam itu sebenarnya telah tampak dalam nilainilai ideal masyarakat Bugis, sebagaimana terlihat dalam tarik-menarik antara siri’ dan passe’, persaingan dan solidaritas, juga sistem hirarki dan persamaan hak. Interaksi orang Bugis pada dasarnya terdiri atas beberapa lapis kelompok yang saling terkait (keluarga, wilayah kekuasaan dan patron-klien) yang berwujud suatu piramida saling berhubungan, sebagaimana halnya interaksi antar individu dalam persaingan atau solidaritas. Hubungan antara keluarga yang satu dengan lainnya, wilayah yang satu dengan lainnya, serta kelompok patron-klien yang satu dengan lainnya, pada dasarnya adalah hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya. Setiap individu sekaligus merupakan anggota dari berbagai lapisan kelompok tersebut. Oleh karena itu interaksi antar kelompok, dengan sendirinya juga merupakan interaksi antar individu, tidak terlalu diatur oleh suatu standar moral universal, akan tetapi lebih banyak ditentukan oleh semacam aturan main atau lebih tepatnya oleh suatu aturan yang menyerupai pola interaksi antar negara. Dimana kepentingan nasional/lebih besar, lebih dipentingkan dari tuntutan moral. Di dalam konteks seperti ini, tujuan utama seorang individu adalah mencapai prestasi pribadi, sekaligus ikut memberi kontribusi terhadap keberhasilan kelompok di mana ia menjadi anggota. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan mengikuti aturan main yang membuka peluang 160
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
terjadinya persaingan ketat, tanpa harus tergelincir kedalam anarki atau tanpa harus membahayakan kehidupan masyarakat secara luas. Dalam kerangka seperti itu, sifat baik seseorang bukan lagi menjadi suatu hal yang mutlak ada, akan tetapi sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dikendaki. Karenanya menurut Mattulada (1985), watak dagang dan wirausaha pada diri orang Bugis yang potensial baru dapat berkembang semestinya, jika disertai dengan pengembangan prinsipprinsip usaha yang bebas, dengan pengorganisasian usaha melalui bimbingan dan perlindungan penguasa. Jika tidak, watak niaga/“usaha bebas” yang ada pada diri orang Bugis dapat tersalur melalui jalan-jalan lain, seperti kegiatan usaha penyelundupan dan usaha-usaha semacamnya yang cenderung negatif. Sejumlah motif ekonomi diketahui juga mendasari tindakan sejumlah nelayan di pantai timur Kalimantan yang berani mengambil resiko melakukan kegiatan illegal dengan menjadi penyelundup di kawasan perbatasan. Sebelum pada akhirnya berubah haluan menjadi wirausahawan disektor perikanan, diantaranya yang sangat fenomenal adalah (alm.) Haji Muhiddin dan Haji Saraping. Latar belakangnya tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan pelarangan trawl yang dilakukan tanpa memperhitungkan solusi alternatif bagi mereka yang tidak terserap dalam kegiatan usaha non-trawl yang digagas pemerintah. Banyak diantara pelaku “usaha ilegal” tersebut, merasa kecewa dengan kebijakan sepihak yang mematikan usaha mereka, sementara usaha alternatif yang ditawarkan dianggap belum mampu memberikan keuntungan yang lebih baik dibandingkan usaha sebelumnya. Akibatnya motif-motif instan yang dapat memberikan keuntungan lebih besar atau setidaknya setara dengan keuntungan usaha sebelumnya, meskipun oleh pemerintah dikategorikan ilegal menjadi pilihan yang dianggap pantas. Menurut Berger (1991), konsepsi tentang motif yang disebutnya sebagai pragmatic motive, terjadi ketika pengetahuan manusia ditentukan oleh kepentingan pragmatis individu setiap hari. Manusia melakukan tindakan berdasarkan atas pengetahuannya ada atau tidaknya kepentingan. Jadi semakin besar kepentingan dibalik tindakan, maka Tercerabut Atau Terakumulasi
161
akan semakin besar pula usaha untuk melakukan tindakan tersebut. Motif pragmatis inilah yang sesungguhnya memicu berbagai benturan di antara individu. Namun demikian, karena realitas keseharian hakikatnya adalah terbagi dengan yang lain, maka manusia mengembangkan pengetahuan untuk berbagi dengan yang lain. Manusia mengembangkan pengetahuan, kesadaran dan pengalaman untuk berbagi dengan yang lain, melalui proses transformasi dan sosialisasi. Melalui pengetahuan seperti itulah, terjadi keteraturan dan keseimbangan dalam dinamika hubungan sosial, melalui proses pelembagaan dan institusionalisasi sebagai tindakan sehari-hari.
6.1.2 Booms Udang dan Krisis Ekologi Udang menempati urutan pertama pada perolehan nilai ekspor perikanan Indonesia tahun 1995, dengan nilai ekspor mencapai US$ 1.137.540 atau dengan volume ekspor sebesar 110.070 ton. Dari total volume dan nilai eskpor tersebut dalam bentuk udang beku volumenya sebanyak 92,28 persen dengan nilai 95,89 persen dari total nilai ekspor udang (Gappindo, 1996). Pasca krisis tahun 1998 – 2001, kontribusi ekspor udang dalam perolehan devisa Indonesia tergolong cukup besar, khususnya dari kelompok sektor non-migas, bahkan terbesar bila dibandingkan dengan kelompok komoditas ekspor sektor pertanian, seperti; kopi, teh, rempah-rempah, tembakau dan biji coklat. Dalam kurun waktu tersebut, ekspor udang memberikan kontribusi sebesar 22,03-48,9 persen dari total ekspor kelompok pertanian (Tajerin dan Muhammad, 2004). Seperti ditunjukkan Gambar 6.3 volume dan nilai ekspor udang beku dan segar dari Kalimantan Timur pun, terlihat meningkat dari tahun ke tahun. Puncak kenaikan volume dan nilai ekspor udang beku dan segar dari Kalimantan Timur terjadi booms udang akibat terjadinya krisis moneter pada 1998/1999, ketika volume produksinya mencapai 10.080 Ton dengan nilai mencapai US $ 69.369.73. Meskipun mengalami penurunan pada 1999, namun sejak 2001 volume maupun nilainya cenderung mengalami peningkatan, puncaknya terjadi pada 2007, ketika
162
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
volume produksinya mencapai 16.685 Ton, dengan nilai mencapai US $ 141.715.251. Peningkatan volume produksi udang Kalimantan Timur tersebut, banyak disumbang oleh produksi udang tambak, yang luasannya telah mencapai 138.179 Ha. Akibatnya bisa diduga jika luasan hutan mangrove Kalimantan Timur pun mengalami penyusutan. Setidaknya pada 2006, lebih dari 833.379 Ha luas kawasan mangrove yang ada di provinsi Kalimantan Timur, hanya 511.722 Ha yang masih berupa hutan (BP DAS Mahakam Berau 2006).
Gambar 6.3 Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dan Segar Kaltim Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kalimantan Timur 1980 – 2009
Menurut catatan Dutrieux (2001), kegiatan konversi lahan mangrove untuk budidaya perikanan terus meluas, meskipun pada 1992 luas lahan yang terbuka hanya sekitar 3.700 ha. Namun luasnya meningkat menjadi 15.000 ha pada 1996 dan pada 1999 luasan tersebut telah mencapai 67.000 ha. Bahkan pada 2001 luas areal mangrove yang telah dikonversi telah mencapai sekitar 85.000 ha dari luas Delta Mahakam yang mencapai sekitar 150.000 ha. Rendahnya pemahaman komunitas petambak dalam mengelola tambak yang lestari dan ramah lingkungan, telah menyebabkan orientasi ekonomi lebih mengemuka dalam kegiatan pengelolaan tambak. Menurut Lenggono (2004), tingkat produksi tambak yang relatif rendah, cenderung memicu
Tercerabut Atau Terakumulasi
163
prilaku petambak menjadi lebih agresif dalam mengeksploitasi hutan mangrove untuk dikonversi menjadi area tambak baru, dengan harapan dapat lebih meningkatkan hasil produksi. Meskipun pada kenyataanya volume dan nilai ekspor udang beku Kabupaten Kutai Kartanegara, yang sebagian besar berasal dari kegiatan pertambakan udang di kawasan Delta Mahakam telah mengalami penurunan sejak 2007 (lihat Gambar 6.4). Akibatnya, gejala tersebut menjurus pada perilaku yang destruktif terhadap lingkungan dan represif dalam kehidupan sosial. Tambaktambak baru cenderung dibangun dengan hamparan yang sangat luas, dengan asumsi akan mempermudah pengelolaan dan meningkatkan hasil produksi. Mendorong digunakannya peralatan berat (seperti excavator) dalam pembukaan tambak-tambak baru tersebut, hingga terjadi pond encroachment.
Gambar 6.4 Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku Delta Mahakam Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Statistik DPK Kutai Kartanegara 2001 – 2008
Selanjutnya, konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai tidak terkendali, bahkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian produktif yang kemudian dikonversi manjadi tambak. Namun demikian, kecendrungan peningkatan luasan area pertambakan secara
164
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
fantastik di kawasan Delta Mahakam, ternyata tidak sebanding dengan peningkatan volume produksinya yang cenderung mengalami stagnasi. Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-1998, dipicu oleh tingginya nilai tukar US $ terhadap Rupiah sehingga terjadi “boom udang”. Kondisi ini selanjutnya memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para migran pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya, dengan membuka hutan mangrove yang tersisa. Para migran tersebut tidak hanya berasal dari etnik Bugis dan Makassar dari Sulawesi, tapi juga etnik lain dari Sulawesi, serta berbagai etnik di pesisir pantai timur Kalimantan dan Pantura Jatim. Jika migran Bugis banyak dipekerjakan oleh para petambak ataupun ponggawa untuk menjaga empang-empang yang tidak lagi bisa mereka kelola sendiri karena luasnya tambak yang mereka miliki. Maka pendatang dari pesisir utara Jawa Timur sebagian besar menyediakan tenaga sebagai buruh tambak untuk membangun tambak-tambak baru ataupun memperbaiki konstruksi tambak secara tradisional. Para migran dari Jawa ini pada awalnya didatangkan oleh para ponggawa, karena upahnya lebih murah dan berpengalaman dibidang rekonstruksi tambak.
Tercerabut Atau Terakumulasi
165
Gambar 6.5 Perbandingan RTP dan Luas Tambak dengan Produksi Perikanan Budidaya Delta Mahakam Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Statistik DPK Kutai Kartanegara 2001 – 2008
Menariknya, meskipun banyak tambak di Delta Mahakam berstatus ilegal karena dibangun diatas area KBK, namun ironisnya pemerintah ( Dephut) sebagai pemilik otoritas tidak mampu berbuat apa-apa. Ketidakpastian hukum, tidak hanya menyebabkan petambak/ponggawa tidak memiliki legalitas penguasaan atas lahan-lahan tambak yang mereka garap. Tarikan garis di atas kertas peta oleh negara tersebut, bahkan telah mengakibatkan hilangnya akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam yang telah mereka tradisikan, bahkan jauh sebelum negara ada. Dalam kesimpulan studinya, Peluso (2006) mengingatkan, bahwa berbagai kebijakan penguasaan dan pengendalian negara semakin menjauhkan penduduk desa di sekitar hutan dari negara dan menjuruskan mereka pada alternatif-alternatif “ilegal” menurut definisi negara dalam pemanfaatan tanah hutan. Masa depan dibayangi dengan naiknya biaya ekonomis, sosial dan politis di pihak perhutani (Dephut), sulitnya upaya-upaya lain untuk “membangun” perekonomian desa hutan dan berlanjutnya perusakan serta kemerosotan hutan. Hal serupa
166
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
dapat diduga akan muncul pula di kawasan-kawasan lain di dunia, ketika kuasa dan kendali negara atas hutan atau tanah hutan gagal membenahi kemerosotan hutan dan memperparah kemiskinan rakyat yang menggantungkan hidup pada hutan. Kerusakan lingkungan hidup akibat aktifitas manusia ataupun kegiatan berbagai industri disekitar kawasan Delta Mahakam menjadi semakin riskan, jika pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang beragam tersebut dilakukan secara eksploitatif tanpa memperhitungkan ambang batas daya dukung (carrying capacity). Seperti disinyalir Peluso (1990) dalam “Networking in the Commons: A Tragedy for Rattans?”, bahwa eksploitasi sumberdaya hasil hutan alam non kayu (rotan) telah berdampak terhadap “ledakan penduduk” yang terlibat dalam jaringan perdagangan rotan di desa-desa sepanjang hulu sungai Mahakam, sehingga berpotensi menimbulkan “tragedy of the common”. Berdasarkan perhitungan PKSPL-IPB, dampak konversi hutan mangrove (land clearing) seluas 85.000 Ha untuk pembangunan tambak di Delta Mahakam, dengan asumsi luas vegetasi nipah yang telah ditebang diperkirakan mencapai 47.000 Ha dan vegetasi non nipah (api-api, bakau dan tancang) seluas 38.000 Ha, maka kerugian langsung yang ditimbulkan adalah sebesar Rp. 922.920.000.000,-. Angka tersebut belum termasuk manfaat langsung lainnya dari keberadaan tegakan mengrove, seperti nilai satwa liar (burung dan mamalia) dan nilai-nilai tak langsung dari keberadaan ekosistem hutan mangrove, seperti jasa-jasa lingkungan dari ekosistem mangrove di Delta Mahakam.
6.1.3 Konflik Penguasaan Sumberdaya Agraria Berbeda dalam menangani konflik agraria yang melibatkan perusahaan migas, dimana pemerintah daerah cenderung berlaku proaktif, namun dalam penanganan konflik horizontal terkait masalah agraria, antara petambak dengan petambak ataupun ponggawa dengan ponggawa, pemerintah daerah terkesan kurang peduli, jika tidak ingin disebut “membiarkan”. Di dalam sebuah konflik horizontal pada pertengahan 2003 yang melibatkan ponggawa kuat, Haji Onggeng dengan
Tercerabut Atau Terakumulasi
167
Haji Maming misalnya, pemerintah daerah tidak pernah terlibat secara aktif atas penyelesaian konflik tumpang tindih dalam penguasaan “lokasi” pertambakan ini. Lokasi adalah sebutan masyarakat setempat terhadap area hutan/tanah kosong yang dapat dirintis untuk dikembangkan menjadi petakan tambak-tambak baru, namun berada dalam penguasaan seseorang. Konflik tersebut, bermula dari protes Haji Maming yang merasa hak penguasaannya atas sebidang “lokasi” yang luasnya mencapai ratusan hektar di Lagenting (Muara Pantuan), dikuasai secara sepihak oleh Haji Onggeng yang tanpa sepengetahuannya merintis dan menggarap “lokasi” tersebut. Dengan alasan “lokasi” tersebut tidak ada yang mengelola sehingga tidak terurus, Haji Onggeng akhirnya membangun tambak-tambak baru, diatas “lokasi” yang menurutnya tak bertuan tersebut, hingga berhasi mendapatkan SPPT. Konflik agraria tanpa kehadiran penengah dari pihak pemerintah ini, akhirnya semakin meruncing ketika kedua belah pihak tidak menemukan kata sepakat. Akibatnya kedua belah pihak menggunakan semua sumberdaya yang dimilikinya, dengan segala cara untuk memenangi konflik. Meskipun menurut sejumlah sumber, mereka masih terikat hubungan kekarabatan, karena Haji Onggeng pernah “diasuh” oleh Haji Maming, namun ikatan historis tersebut tidak mampu merubah keadaan. Dengan menggunakan kekuatan massa klien yang berada dibawa pengaruhnya, Haji Maming akhirnya berhasil menguasai area pertambakan yang disengketakan. Sementara Haji Onggeng, tidak tinggal diam dengan kekuatan modal dan lobby, berhasil mendatangkan pasukan arteleri Angkatan Darat ke lokasi sengketa untuk mengamankan aset-aset yang ada dan menjaga kemungkinan konflik yang lebih luas. Hingga terjadi kesepahaman diantara kedua belah pihak untuk tidak melanjutkan konflik fisik, namun disepakati dilanjutkan ke pengadilan. Penyelesaian pertikaian (resolusi konflik) yang cenderung dilakukan dengan pendekatan formal tersebut, terjadi karena normanorma sosial yang menyediakan sebuah bentuk kontrol sosial informal yang mengelakkan seseorang dari sanksi hukum terorganisir dan lebih 168
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
formal sudah tidak mampu lagi menjembatani penyelesaian konflik yang ‘memuaskan’ semua pihak. Kondisi ini selanjutnya memaksa warga komunitas setempat untuk bersikap rasional dalam meyelesaikan pertikaian yang terjadi diantara mereka melalui jalur kelembagaan formal, yang didasarkan pada norma-norma yang universal dan bersifat terbuka. Sehingga menempatkan jalur kekeluargaan sebagai pilihan terakhir dalam penyelesaian pertikaian. Ironisnya, lembaga kepolisian relatif tidak banyak menjadi pilihan, mengingat keberadaan mereka yang “tidak jelas” dalam komunitas serta persepsi warga petambak yang sudah terlanjur memvonis “berurusan dengan pihak berwajib harus menyiapkan biaya besar dan rumit”. Kecenderungan untuk menyelesaikan pertikaian dengan pendekatan formal tanpa didukung dengan keberadaan aparat penegak hukum atau kepolisian ini, telah menyeret warga komunitas untuk melakukan tindakan anarkis bila resolusi konflik yang dilakukan tidak bisa memuaskan pihak-pihak yang bertikai. Setelah melalui proses hukum yang cukup panjang, akhirnya pihak pengadilan tinggi menetapkan Haji Onggeng sebagai pemenangnya. Yang menarik dari proses hukum tersebut, kemenangan Haji Onggeng di dalam pengadilan lebih dikarenakan ia memiliki SPPT, sebagai bukti legalitas atas penguasaan/penggarapan tanah-tanah tersebut. Pihak pengadilan secara tidak langsung, telah me-syahkan tanah-tanah yang telah memiliki SPPT sebagai bukti legalitas atas penguasaan/penggarapan tanah-tanah secara perorangan, meskipun tanah-tanah tersebut berstatus sebagai tanah negara yang dikuasai/digarap tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini jelas menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan penertiban penguasaan tanah-tanah negara yang tidak prosedural di kawasan Delta Mahakam. Meskipun demikian, konflik vertikal relatif jarang atau boleh dikatakan belum pernah terjadi secara terbuka. Hal ini menjadi keunikan proses produksi dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam, sehingga menghasilkan pola hubungan sosial khas berbalut ikatan patron-klien. Meskipun kegiatan pertambakan di kawasan ini memiliki sumberdaya yang bersifat tetap (walau lokasi pertambakannya Tercerabut Atau Terakumulasi
169
berada diatas tanah-tanah negara) dan relatif dibawah kontrol para petambak, layaknya kegiatan pertanian pada umumnya, namun pola hubungan produksi yang terbangun hampir menyerupai pola produksi pada kegiatan perikanan tangkap. Dimana penghasilan yang diperoleh sangat fluktuatif dan penuh ketidakpastian, akibat komoditi yang diproduksi yaitu udang sangat dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar, bahkan banyak ditentukan oleh “kemurahan” alam. Akibatnya, mereka yang terlibat dalam kegiatan pertambakan tradisional, secara vertikal cenderung saling menggantungkan diri antara satu dan lainnya untuk mensiasati ketidakpastian, selama hal itu dianggap menguntungkan kedua-belah pihak. Seorang petambak akan menggantungkan dirinya pada ponggawa yang menjadi patronnya untuk mendapatkan berbagai bantuan “lunak” bagi kegiatan pertambakan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian, bahkan batuan lain diluar kegiatan pertambakan, seperti biaya berobat, perkawinan ataupun hajatan keluarga, serta untuk kebutuhan rumah-tangga, dst. Begitupun sebaliknya seorang ponggawa sangat menggantungkan harapannya pada kesetiaan dan loyalitas petambak yang menjadi kliennya untuk bisa mendapatkan kepastian pasokan udang. Hal serupa pun dirasakan oleh para penjaga empang yang menjadi klien dari para petambak ataupun ponggawa, sehingga dalam kegiatan pertambakan tradisional selalu diwarnai oleh hubungan yang bersifat personal, dengan komunikasi yang cenderung interpersonal dan tatap muka. Layaknya hubungan produksi pada kegiatan perikanan tangkap, dimana hubungan diantara nelayan pemilik dan buruh nelayan tidak didominasi oleh pola hubungan yang semata-mata bersifat bisnis dan impersonal, seperti pada hubungan buruh dan majikan di dunia industri (Kinseng, 2007). Selain faktor kultural, yang masih dipertahankan oleh sebagian wiraswasta Bugis dalam proses produksi pertambakan tradisional, yang cenderung menggunakan jalur hubungan kekerabatan (faktor kekeluargaan ataupun etnisitas) sebagai sumber utama dalam perekrutan tenaga kerja. Pilihan untuk mempekerjakan saudara sendiri sesuai dengan peribahasa Bugis, “apabila kamu mempekerjakan seorang saudara 170
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
dari keluargamu, maka kamu hanya buta satu mata, tetapi dengan mempekerjakan orang yang bukan saudara kamu, maka butalah kedua matamu” (Lineton, 1975). Lebih jauh Acciaioli (1989), menyebut “tali kekeluargaan merupakan jalur primer, meskipun bukan satu-satunya dari struktur pengumpulan tenaga kerja dengan cara kerjasama dan melalui ketergantungan, juga untuk menumbuhkan kesetiaan yang lebih tinggi dari mereka yang terikat dalam hubungan ini”. Hal inilah yang melanggengkan pola hubungan pemimpin-pengikut ( patronclients), sehingga dapat tumbuh subur dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam. Meskipun fenomena mempekerjakan tenaga kerja dari luar daerah dan berbeda etnik sebagai penjaga empang, saat ini telah dianggap sebagai sesuatu yang wajar, akibat semakin sulitnya mendapatkan tenaga kerja yang jujur dan setia dari jalur primer. Dapat dipahami jika kemudian konflik manifes yang muncul dan selalu berulang adalah konflik horizontal, sementara konflik vertikal hanya terjadi secara laten seperti ditunjukkan Gambar 6.6
Tercerabut Atau Terakumulasi
171
Keterangan:
= Menunjukkan Konflik Manifes = Menunjukkan Konflik Laten Posisi kelas petambak mandiri/pekerja profesional diletakkan dibawah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah kelas otonom yang hanya terikat secara instrumental oleh kelas diatasnya dan tidak berarti posisi mereka lebih rendah dibandingkan penjaga empang/kuli tambak dan buruh pabrik (seperti ditunjukkan garis hubungan produksi dan konflik)
Gambar 6.6 Skema Konflik dan Hubungan Produksi Pertambakan Sumber: Diolah dari Data Primer, 2011
Skema tersebut selain menunjukkan pola konflik dalam kegiatan pertambakan tradisional di kawasan Delta Mahakam, sekaligus juga menggambarkan moda-produksi kapitalis yang telah menempatkan 172
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
struktur kelas pengusaha (ponggawa) menjadi penguasa atas modaproduksi yang lain. Kondisi ini menghasilkan dua kelompok kelas sosial yang berkuasa (atas) dan yang dikuasai (bawah), dimana kelas atasnya diisi oleh kelompok kapitalis dan kelas bawahnya diisi oleh kelompok proletar/buruh. Namun demikian, peneliti melihat adanya polarisasi kelas yang terbentuk akibat distribusi kepemilikan alat produksi ataupun keahlian yang tidak merata, sehingga membentuk kelas petty bourgeoise (untuk menyebut pemilik alat produksi ataupun bidang keahlian tertentu yang hanya mampu mencukupi dirinya sendiri tapi tidak bisa membayar buruh). Meskipun penyambang dan pekerja profesional dengan keahliannya lebih mandiri dan obyektif dibandingkan petambak berlahan kecil tanpa pengikut yang cenderung terikat secara emosional di dalam sebuah klik ponggawa, namun keberadaan mereka tetaplah sama, menjadi perangkat ideologis bagi perkembangan moda-produksi kapitalisme pertambakan. Selain terbentuk kelas atas dari moda-produksi yang dominan (kapitalis besar), juga terdapat kelas atas dari modaproduksi yang tidak dominan (kapitalis kecil). Menurut Wright, tidak semua posisi ekonomi dalam masyarakat kapitalistik modern merupakan pola produksi kapitalisme murni. Beberapa diantaranya merupakan pola produksi komoditi sederhana, di dalamnya keuntungan berasal dari usaha produksi yang dilakukan individu sendiri. Keuntungan-keuntungan tersebut terlalu kecil sehingga tidak bisa terakumulasi. Di dalam pola produksi komoditi sederhana ini terdapat sebuah kelas selain kelas borjuasi dan proletar, yaitu kelas borjuasi kecil. Kelas borjuasi kecil beranggotakan para pengusaha kecil dan pengrajin yang tidak mempunyai karyawan, tidak mengeksploitasi tenaga kerja dan tidak mendominasi apapun dalam hierarki kewenangan. Sementara menurut Poulantzas, beberapa cara produksi terdapat bersama-sama dalam formasi kapitalis, kerena artikulasi tingkat-tingkat perkembangan historis setiap tingkat mempunyai urutan-urutan waktunya sendiri, maka dominasi suatu cara produksi kapitalis tertentu dan formasi kapitalis terhadap cara produksi kapitalis yang lain tidak diwujudkan dalam suatu perkembangan sederhana. Dalam suatu formasi sosial, kita mungkin Tercerabut Atau Terakumulasi
173
menekankan suatu tingkat yang di dominasi oleh kapitalisme monopoli dan campur tangan negara sebelum di dominasi oleh kapitalisme peseorangan dan negara liberal. Artinya kelas dominan dalam masyarakat kapitalis bisa berubah sesuai dengan tata produksi dominan. Asumsi yang sering mendasari pembahasan tentang transformasi kelas baru di negara berkembang adalah runtuhnya tata produksi feodal agraris sebagai akibat tata produksi dominan. Tentunya hal tersebut akan menyebabkan kelas aristokrat feodal kehilangan legitimasinya yang tergantikan oleh kelas borjuasi sebagai kelas dominan dalam tata produksi kapitalis. Atau terbentuk formasi kelas baru dimana kaum tuan tanah merupakan wakil feodalisme di pedesaan, sedangkan kaum borjuasi industri merupakan hasil hubungan produksi kapitalis di perkotaan. Namun menurut Roxborough, bukti-bukti empiris meragukan pendapat adanya dua kelas yang berbeda, sering kelompok-kelompok keluarga industrialis dan produsen bahan pertanian benar-benar saling tumpang tindih, sehingga anggotanya memiliki kepentingan baik dibidang industri maupun pertanian. Ini memperlihatkan adanya transformasi kelas, dari kelas aristokrasi feodal ke kelas borjuasi industri. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan yang sama untuk tetap mendominasi dalam struktur sosio-ekonomi yang baru, sehingga terjadi proses “aristokratisasi borjuasi”, dimana kaum aristokrat feodal akan mendapatkan legitimasi baru. Dengan pola hubungan patron-klien seperti seperti terlihat dalam gambar diatas, dapatlah dipahami jika konflik yang mewujud tidak selalu bersifat antagonistik. Di dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam, sejauh ini belum pernah terjadi konflik manifes antara kelas pemilik (ponggawa/petambak) dan buruh/penjaga empang. Konflik vertikal yang terjadi sering bersifat laten dan personal yang tidak mengarah pada pertentangan kolektif antara kelas pemilik dengan buruh pabrik. Kondisi ini mengingatkan hasil penelitian Mather di Tangerang yang menyebut nilai-nilai patriarkal yang berasal dari Islam sebagai variabel kunci dalam menjelaskan tidak adanya militansi buruh. Dimana pola-pola dominasi patiarkal dalam keluarga direproduksi atau setidaknya diperkuat di pabrik-pabrik, status perempuan yang dianggap rendah 174
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
dalam Islam sebagai sumber utama dari nilai-nilai tersebut, padahal seperti diketahui mereka mendominasi pekerjaan sebagai buruh pabrik. Kaum perempuan berpindah secara tidak kritis dari satu lingkungan subordinasi ke lingkungan subordinasi lainnya; pertama dalam keluarga, kemudian ke pabrik dimana figur otoritas laki-laki mengawasi pekerjaan mereka (Mather, 1983 dalam Hadiz, 2005). Begitupun konflik yang terjadi antara ponggawa besar dengan ponggawa menengah/kecil ataupun antara ponggawa dengan para petambak dan penyambang/pekerja profesional yang mereka pekerjakan cenderung tidak manifes. Konflik manifes cenderung potensial terjadi pada mereka yang berbeda klik dan memiliki sumberdaya yang sepadan, seperti yang terjadi antara ponggawa Haji Maming dan Haji Onggeng yang telah kami kemukakan diatas. Dimana konflik horizontal tersebut, dapat berlangsung dengan melibatkan seluruh komponen di dalam klik ponggawa bersangkutan. Menariknya, meskipun diakui oleh sejumlah kalangan hubungan dalam usaha pertambakan telah terjadi kesenjangan sosial-ekonomi dan eksploitasi secara “terselubung”, namun hampir tidak pernah terjadi perlawanan oleh para petambak/penjaga empang atas “ketidakadilan” yang terus berlangsung. Mungkin saja petani kaya atau petani kelas menengah telah berhasil mengambil alih ideologi perlawanan dan menjuruskan ketegangan antar kelas yang disebabkan oleh kesenjangan distribusi sumberdaya lokal ke arah perlawanan terhadap pemerintah sebagai “musuh” bersama yang lebih besar. Tidak aneh jika kemudian konflik manifes yang sering terjadi di kawasan Delta Mahakam adalah konflik antara masyarakat lokal (petambak) dengan perusahaan migas yang dianggap sebagai bagian dari pemerintah. Ataupun antar kelompok ponggawa yang tidak memiliki kedekatan kultural dan emosional. Juga terlihat adanya kecenderungan konflik manifes yang antagonistik, jika terjadi konflik vertikal yang melibatkan beberapa kelompok ponggawa dengan perusahaan eksportir yang secara primordial tidak memiliki kedekatan kultural dan emosional. Seperti diungkapkan Haji Sukri, seorang ponggawa dari Muara Jawa, yang secara kolektif Tercerabut Atau Terakumulasi
175
(bersama para ponggawa lain) pernah melakukan tindakan keras terhadap sebuah perusahaan eksportir yang melanggar “aturan main”. Perusahaan PMDN milik seorang keturunan Cina ini, akhirnya “gulung tikar” karena di blokade oleh para ponggawa, dengan cara tidak memberikan suplai udang, setelah diketahui melakukan “transaksi ilegal” membeli udang secara langsung dari para petambak melalui penyambang-penyambang yang mereka sebar di lapangan. Para penyambang tersebut, bahkan mendapatkan intimidasi secara fisik. Gejala konflik serupa pun, dapat terjadi dalam hubungan produksi antara pengumpul/penyambang mandiri (peran ini tidak hanya dimainkan para “pedagang bebas” Bugis tapi juga pedagang keturunan Cina) yang kedapatan melakukan transaksi pembelian udang ilegal dengan penjaga empang milik para ponggawa ataupun petambak berlahan luas. Menariknya konflik manifes yang antagonistik, akan cenderung mewujud pada hampir semua kelas ketika terjadi konflik dengan perusahaan migas.
6.2 TRAGEDY OF THE COMMON Sumberdaya yang ada di Delta Mahakam sangatlah beragam. Sumberdaya tersebut berupa sumberdaya alam yang dapat diperbaharui maupun yang tak dapat diperbaharui. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui meliputi sumberdaya non migas seperti, usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, penangkapan benur, hingga beragam industri pengolahan perikanan tradisional, serta pembuatan atap nipah, pertanian, perkebunan kelapa dan kelapa sawit, sedangkan yang tidak dapat diperbaharui yakni migas dan batu bara. Tidak hanya itu, Delta Mahakam juga telah menjadi kawasan pemukiman yang cukup padat dan manjadi “urat nadi’ moda transportasi sungai di Kalimantan Timur. Besarnya potensi sumberdaya alam yang dimiliki dan begitu beragamnya stakeholders yang memanfaatkan sumberdaya Delta Mahakam, telah menjadikan kawasan ini rentan terhadap perusakan dan konflik kepentingan.
176
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Hasil penelitian Rachmawati Dkk (2003) mengungkapkan, bahwa pemanfaatan nipah, penangkapan benur dan perikanan tangkap di Kecamatan Anggana dan Muara Jawa saja, setidaknya memiliki nilai ekonomi sebesar 37.111.526.045 (US $ 4,123,503). Tingginya nilai ekonomi mangrove di kawasan Delta Mahakam inilah yang kemudian memicu terjadinya “pengurasan sumberdaya”, akibat pemanfaatan sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Tabel 6.1 Nilai Ekonomi Pemanfaatan Mangrove di Delta Mahakam
Sumber: Rachmawati Dkk, 2003 Catatan: Lokasi Kecamatan Anggana dan Muara Jawa
Kerusakan lingkungan hidup akibat aktifitas manusia ataupun perusahaan disekitar kawasan Delta Mahakam jelas akan terjadi sepanjang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang beragam tersebut dilakukan secara eksploitatif tanpa memperhitungkan ambang batas daya dukung (carrying capacity). Tekanan ekologis yang begitu hebat telah menyebabkan kawasan yang dulunya memiliki tegakan hutan mangrove yang sangat lebat dan luas ini, menjadi terdegradasi dengan cepat. Tingginya angka deforestasi mangrove berimplikasi pada permasalahan fisik, ekologi dan lingkungan, seperti kerusakan tekstur, dan struktur tanah, erosi, abrasi, sedimentasi, dan pencemaran air serta penurunan keanekaragaman hayati. Perlakuan eksploitatif tersebut, menariknya cenderung terjadi dalam pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya alam yang termasuk kategori “milik bersama” (common property resources), seperti laut lepas, danau, rawa-rawa, sungai, padang pengembalaan, hutan belantara, bahkan hutan mangrove disekitar kawasan pesisir; seperti yang terjadi di kawasan Delta Mahakam.
Tercerabut Atau Terakumulasi
177
Tindakan eksploitatif tersebut menurut Hardin (1968), akan melahirkan suatu situasi yang disebutnya tragedy of the commons. Yang bagi Korten (1987; 1993), berpangkal dari paradigma yang sangat materialistik, dimana prinsip maksimasi (maximization) dijadikan patokan dasar dalam memandang dan menentukan mode pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang semata-mata direduksi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah terjadinya degradasi ekologi, marjinalisasi peran komunitas lokal bahkan pengingkaran terhadap kompetensi mereka dalam mengelola sumberdaya secara lestari. Sebagaimana ditunjukkan Bourgeois et all (2002) yang melihat rusaknya hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam sebagai akibat pembukaan lahan tambak yang tidak terkendali. Lihat Gambar 6.7, ketika pada 1980-an, belum banyak petambak yang tertarik untuk bertambak di Delta Mahakam, namun pada 1992 menjadi awal dibukanya kawasan ini untuk budidaya pertambakan, selanjutnya mengalami pembukaan secara besar-besaran sejak 1996 dan mencapai puncaknya pada tahun 2001. Pada tahun 2003, luas Delta Mahakam yang diinterpretasi mencapai 108.152,5 hektar, hanya memiliki komposisi luas mangrove 60.818,4 hektar, tambak 45.297,4 hektar dan calon tambak seluas 2.036 hektar. Dan, tentu saja luasannya akan semakin menyusut, seiring dengan pengalihfungsian hutan mangrove Delta Mahakam untuk kegiatan pertambakan secara massal.
Sebelum
178
1992
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
1996
1999
2001 Gambar 6.7 Peta Tutupan Hutan Mangrove dari Sebelum dikonversi hingga dikonversi sejak 1992, 1996, 1999 dan 2001 Sumber: Bourgeois et al, 2002
Secara umum model pertambakan yang berkembang di Delta Mahakam termasuk tambak ekstensif (1,5-30 ha) dengan model sangat sederhana (tradisional), apabila dilihat dari ketentuan standar model tambak yang ada baik yang berada pada lingkungan salinitas 0-10 ‰, 10-20 ‰, ataupun di wilayah salinitas 20-30 ‰. Produktivitas tambak di Delta Mahakam berada di bawah standar dari produktivitas tambak tradisional (secara nasional) yaitu sebesar 600-1000 kg/ha (PKSPL-IPB, 2002). Kisaran produktivitas udang windu di tambak Delta Mahakam dari ketiga kondisi lingkungan salinitas adalah 41,48 – 47,86 kg/ha/tahun dengan produktivitas rata-rata sebesar 45,19 kg/ha/tahun. Ikan bandeng yang dihasilkan berkisar antara 4,51-15,86 kg/ha/tahun dan kepiting
Tercerabut Atau Terakumulasi
179
berkisar 2,07-15,42 kg/ha/tahun. Sementara udang bintik sekitar 38,2259,60 kg/ha/tahun. Rendahnya produktivas tambak-tambak di kawasan Delta Mahakam, telah memaksa petambak untuk mencoba mengembangan strategi dengan membangun hamparan tambak yang lebih luas, dengan asumsi akan dapat mempermudah pengelolaan dan meningkatkan produksi. Namun kenyataannya produksi tambak mereka tetap saja tidak meningkat, praktis mereka hanya mengandalkan hasil panen dari udang bintik yang terperangkap masuk ke dalam tambak-tambak mereka, ketika pintu air tambak dibuka bersamaan dengan air pasang. Kondisi ini mendorong sebagian petambak untuk kembali beralih profesi sebagai nelayan, serta mereka yang memiliki cukup modal dan tidak terikat hutang pada para ponggawa untuk melakukan ekspansi dibidang usaha lain seperti kegiatan perkebunan kelapa sawit dan perdagangan atau mencoba peruntungan di dunia politik. Masyarakat lokal selanjutnya cenderung menjadi lebih apatis, individualis dan materialistik, sehingga menguatkan motivasi oknum petambak/ponggawa untuk melakukan “spekulasi’ dalam pengembangan area tambak dengan harapan mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan oleh perusahaan migas jika terjadi pencemaran atau eksplorasi. Degradasi ekosistem mangrove yang terjadi di kawasan Delta Mahakam, selanjutnya juga membawa dampak atas terjadinya penurunan produktifitas tambak, munculnya berbagai wabah penyakit yang menyerang udang, semakin sulitnya bibit udang alam diperoleh, terjadinya abrasi pantai dan sedimentasi yang semakin meluas, serta hilangnya sumber-sumber mata air bersih. Akumulasi keadaan di atas disatu sisi telah menyebabkan perusahaan-perusahaan eksportir kesulitan memperoleh pasokan bahan baku (udang segar), sehingga terjadi pelumpuhan produksi, hingga memaksa mereka untuk “meninggalkan” kawasan Delta Mahakam karena kolaps. Membuka peluang terjadinya take over atas perusahaan-perusahaan tersebut oleh ponggawa yang sebelumnya menjadi kaki tangan mereka. Sementera di sisi yang lain, keadaan tersebut berimbas pada kualitas dan kuantitas produksi udang 180
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
yang cenderung menurun. Menyebabkan banyak area pertambakan terlantar, karena tidak dikelola secara baik, bahkan ditinggalkan oleh pemiliknya.
6.2.1 Fenomena “Absennya Negara” Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pengembangan kegiatan pertambakan dengan mengkonversi hutan mengrove di kawasan Delta Mahakam, dalam prakteknya nyaris tidak mengalami hambatan hukum-birokrasi yang berarti, karena dilakukan dengan dukungan dari Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah. Melalui berbagai kebijakan yang pada hakekatnya ditujukan untuk “mengamankan” Program Udang Nasional. Kebijakan pertanahan yang lebih dititikberatkan pada upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yang cepat tersebut, selanjutnya ditujukan bagi pemenuhan kepentingan dan kebutuhan pembangunan sektoral. Akibatnya fokus kebijakan pertanahan lebih ditujukan untuk memecahkan persoalan pertanahan yang menghambat pelaksanaan pembangunan, karena pemerintah memandang peningkatan pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting dibandingkan pelaksanaan keadilan agraria (landreform). Hingga munculnya ketidakpastian hukum pasca berlakunya SK Mentan bernomor 24/Kpts/Um/1983, yang membagi wilayah Kalimantan Timur berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), dimana kawasan Delta Mahakam hampir seluruhnya ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi. Di dalam ketidakpastian hukum inilah sejumlah petambak lokal menemukan momentum untuk bangkit dan mengembangkan diri sebagai penguasaha perikanan yang tangguh. Meskipun ketidakpastian hukum atas area pertambakan yang dikelola masyarakat, dilain sisi juga telah menyebabkan para petambak tidak memiliki legalitas penguasaan atas lahan-lahan tambak yang digarapnya. Ketidakpastian status kawasan hutan negara seperti itulah yang menurut Kartodiharjo dan Jhamtani (2006) menjadi salah satu penyebab kerusakan hutan alam dan kegagalan pembangunan. Bahkan, seringkali permasalahan agraria yang
Tercerabut Atau Terakumulasi
181
muncul kemudian, juga memicu munculnya konflik kepentingan, akibat ketidakpastian hak-hak atas tanah yang dimanfaatkan. Meskipun telah menetapkan kawasan Delta Mahakam sebagai KBK yang terlarang bagi kegiatan lain diluar sektor kehutanan, ironisnya pemerintah tidak pernah “berniat” menertibkan kegiatan pertambakan yang dalam perspektif kehutanan dikategorikan sebagai ilegal. Pembangunan tambak-tambak baru yang terus berlangsung dan ketidakpedulian masyarakat atas berlakunya hukum formal, semakin menguatkan indikasi negara sebagai pemilik otoritas tertinggi atas tanah-tanah negara, telah “absen” atas terjadinya praktek-praktek penguasaan sumberdaya agraria secara ilegal. Konstruksi “absennya” negara atas permasalahan agraria yang terjadi di kawasan Delta Mahakam bisa disejajarkan dengan “pembiaran” negara dalam perbagai permasalahan konflik yang terjadi di seantero negeri dewasa ini. “Pembiaran” bahkan telah menjadi kebijakan resmi pemerintah, terkait opsi penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat! Hal ini juga bisa berarti proses “mengelola hutan”, sekedar sebagai antisipasi munculnya gejolak dalam masyarakat. Kondisi tersebut mengingatkan pernyataan Barber (1989) yang melihat hutan di Jawa hanya memberikan “bagian yang sangat kecil dari pendapatan nasional yang berasal dari hutan”, akibatnya tujuan utama dari kegiatan pemerintah dalam mengelola hutan adalah mengontrol penduduk yang tinggal di daerah pedalaman/di sekitar hutan dan bukan untuk mencari pemasukan uang atau keuntungan (Li, 2002). Alasan ini sangat relevan untuk menjelaskan keberadaan mega proyek industri migas yang perlu mendapatkan proteksi dan pengamanan optimal dari berbagai kepentingan yang ada disekitarnya, dengan menetapkan kawasan hutan Delta Mahakam yang telah kolaps sebagai hutan produksi. Pada gilirannya seperti disinyalir Sajogyo (1981), komposisi penggunaan tanah belum beranjak seperti yang terjadi di zaman kolonial. Dimana kekuasaan atas tanah, yang merupakan basis kekuatan ekonomi dan politik, bertumpuk pada bentuk pengusahaan tanah yang dimiliki oleh pemerintah dan pihak swasta, termasuk di dalamnya kelompok pemodal 182
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
asing. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik agraria kapitalis masa kini, telah menguatkan posisi pemilik modal swasta – termasuk swasta milik asing – dan pemerintah sebagai kekuatan ekonomi politik yang dominan. Secara dinamis, dominasi tersebut juga mengkondisikan munculnya konflik agaria yang cukup laten diantara masyarakat lokal/ juga dengan pihak swasta. Menariknya, konflik tersebut dapat dengan mudah menjadi konflik manifes jika melibatkan perusahaan migas yang beroperasi disekitar kawasan Delta Mahakam.
6.2.2 Ketidakpastian Regulasi Seperti telah disinggung sebelumnya ketidakpastian regulasi, terjadi pasca pelarangan jaring trawl secara total pada tanggal 1 Januari 1983. Ketika Menteri Pertanian mengeluarkan sebuah keputusan bernomor 24/ Kpts/Um/1983, yang menentukan pembagian wilayah Kalimantan Timur berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) seluas 21.144.000 Ha, dimana kawasan Delta Mahakam hampir seluruhnya ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi. Status ini terus dipertahankan sampai tahun 1992, saat Departemen Kehutanan merampungkan peta TGHK kawasan hutan untuk Kalimantan Timur (Simarmata, 2009). Kebijakan inilah yang menyebabkan bertumpang tindihnya kepentingan, antara kepentingan “program udang nasional” yang mengalokasikan sejumlah kawasan hutan mangrove di pesisir Delta Mahakam sebagai kawasan budidaya udang (sebagai salah satu bentuk “kompensasi” pelarangan trawl), dengan kepentingan sektoral kehutanan yang ingin mempertahankan kawasan Delta Mahakam sebagai Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK). Merujuk pada data-data historis, penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi terbatas, sebenarnya bisa disebut sebagai bentuk “kamuflase kebijakan” oleh pemerintah untuk mengurangi efek sosio-politis atas beroperasinya kegiatan pertambangan migas di Delta Mahakam. Sekalipun secara faktual pada tahun 2001 hampir 85.000 Ha dari 150.000 Ha luasan hutan mangrove di delta Mahakam telah berubah fungsi menjadi tambak. Namun melalui SK Menhut No. 79/Kpts-
Tercerabut Atau Terakumulasi
183
II/2001, Departemen Kehutanan justru menetapkan kawasan hutan dan perairan wilayah Provinsi Kaltim, dengan peta lampiran yang tetap mempertahankan status hutan mangrove di Delta Mahakam sebagai hutan produksi. Di dalam kebijakan tersebut nampak sekali peran pemerintah yang dominan dalam mendefinisikan suatu wilayah/kawasan hutan. Tarikan garis di atas kertas peta oleh negara, secara mutlak telah mengakibatkan hilangnya akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam yang secara tradisi sudah mereka lakukan jauh sebelum negara ini ada. SK Bersama Mentan dan Menhut Nomor KB. 550/246/Kpts/4/1984, bahkan telah melarang kegiatan budidaya perikanan di kawasan hutan pantai (mangrove) yang terletak di pulau yang luasnya kurang dari 10 Km². Selain memuat ketentuan lain yang menyatakan bahwa budidaya perikanan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Namun, pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan tetap saja belangsung tanpa ada penertiban dari otoritas yang berwenang. Bukan hanya melanggar peraturan formal, yang melarang budidaya perikanan di kawasan hutan mangrove, sebagian petambak juga tidak memiliki izin garap, izin pembukaan lahan ataupun izin usaha perikanan. Ironisnya, konstruksi sosial tentang problem dan krisis lingkungan yang diwujudkan dalam produk kebijakan yang tidak mungkin dilepaskan dengan kepentingan dan kontrol aktor yang berkuasa dalam pemerintahan tersebut, tidak dibarengi dengan kehadiran otoritas negara dalam pelaksanaannya, baik yang mewujud dalam kewenangan pemerintah daerah (pemprov ataupun pemkab). Akibatnya bentuk pengaturan tenurial yang faktual menurut Simarmata (2009), menjadi ditentutan oleh otoritas yang lebih rendah, dalam hal ini camat dan kepala desa beserta perangkat-perangkatnya. Dengan segala keterbatasan pengetahuan, informasi, sarana pendukung serta balutan kepentingan, camat dan aparat desa mengembangkan tafsir yang karakternya membenarkan tindakan pembukaan tambak dan memberi kemudahan untuk mendapatkan legalitasnya. Bagi apartur di aras lokal keberadaan kegiatan usaha pertambakan dianggap dapat meningkatkan pendapatan 184
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
masyarakat, dengan asumsi pemberian izin garap oleh otoritas lokal bukan sebagai bentuk pelanggaran hukum karena tidak memberikan hak kepemilikan pada penggarap. Selain alasan klasik, melanjutkan kebijakan yang telah ada sebelumnya. Sementara persepsi masyarakat setempat yang menganggap tanahtanah yang mereka garap secara turun temurun sebagai tanah milik, akibat minimnya pengetahuan atas status lahan yang mereka kuasai dan manfaatkan, menjadikan pembukaan tambak-tambak baru di dalam kawasan hutan produksi tanpa izin terus berlangsung. Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan tersebut, mencapai puncaknya pasca terjadinya krisis ekonomi regional pada 19971998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “boom harga udang”. Berdasarkan data statistik perikanan Kalimantan Timur, peningkatan luasan tambak mencapai puncaknya pada 2001 seluas 36.634 Ha dan kembali mengalami peningkatan secara fantastik hingga mencapai 120.763 Ha pada 2006. Kondisi ini secara tidak langsung telah memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya. Membuka hutan mangrove yang tersisa dengan cara merintis lahan tanpa melapor atau dengan meminta izin garap dari otoritas lokal atas “lokasi” hutan mangrove yang dianggap masih bisa dirintis menjadi area pertambakan baru. Kisah sukses petambak yang mampu meraup keuntungan besar, sehingga sebagian diantaranya mampu menjadi ponggawa beromset milyaran rupiah perbulan, juga memberikan pengaruh yang tidak kalah pentingnya dalam memotivasi perkembangan usaha pertambakan.
6.2.3 Ideologi Kapitalisasi Sumberdaya Perikanan Resiko yang semakin tinggi telah mengumpan balik pada pengetahuan mengenai dampak dari usaha budidaya pertambakan yang mereka lakukan, namun ironisnya pola strategi pengelolaan sumberdaya pesisir tidak mengalami perubahan. Praktek-praktek yang dapat merusak
Tercerabut Atau Terakumulasi
185
lingkungan pesisir tetap bertahan, karena dalam proses pembentukan skema yang memotivasi praktek tersebut, pengetahuan tentang kerusakan lingkungan tidak diaktifkan oleh rangsangan yang mereka terima. Ini tidak berarti ponggawa tidak mempunyai pengetahuan sama sekali tentang kerusakan lingkungan yang terjadi, hanya saja mereka belum mampu “belajar” mekombinasikan pengetahuan tersebut bersama dengan pengetahuan lain yang membentuk skema alternatif. Praktik yang ditradisikan selama ini kurang mendukung proses belajar yang mendorong terbentuknya skema alternatif, seringkali hanya mendorong terbentuknya asosiasi-asosiasi pengetahuan lain yang kurang mendukung pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Padahal pengetahuan terbentuk dan dimodifikasi dalam praktek keseharian yang bisa melibatkan berbagai pihak diluar masyarakat yang bersangkutan, walau prosesnya tidak akan selalu sama untuk masingmasing individu. Menurut Winarto dan Choesin (2000), interpretasi individu terhadap suatu gejala merupakan hasil interaksi antara dua jenis struktur yang berbeda hakekatnya, yaitu struktur-struktur impersonal yang bersifat mental dan struktur-struktur intrapersonal yang berupa kejadiankejadian nyata yang relatif stabil disekitar individu. Kerangka pemikiran akan menjelaskan tindakan dengan memperhatikan apa yang menjadi pengetahuan individual, sekaligus mendasarkan pada keteraturanketeraturan dalam kehidupan sosial. Bisa dipahami jika kemudian, hampir semua ponggawa terobsesi untuk mengembangkan hamparan tambak seluas-luasnya, dengan pertimbangan ingin meningkatkan kapasitas produksi sehingga bisa tetap survive di tengah ketatnya persaingan dan ketidakpastian produksi. Selain karena tindakan mengkonversi hutan mangrove dalam realitas sosial dianggap lumrah dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai setempat. Sementara tingginya harga udang di pasar internasional dan ketidakpastian regulasi juga menjadi faktor luar yang ikut menentukan skema kapitalisasi sumberdaya yang dikembangkan masyarakat lokal. Artinya tindakan eksploitasi terhadap sumberdaya sesungguhnya berpangkal dari paradigma yang sangat materialistik, dimana prinsip 186
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
maksimasi (maximization) dijadikan patokan dasar dalam memandang dan menentukan mode pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang semata-mata direduksi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi (Korten,1987; 1993). Akibat jangka panjang adalah terjadinya degradasi ekologi, marjinalisasi peran komunitas lokal bahkan pengingkaran terhadap kompetensi mereka dalam mengelola sumberdaya secara lestari. Menurut Strauss dan Quinn (1997), selama individu-individu mengalami kejadian-kejadian yang mengikuti pola-pola yang kurang lebih sama, maka mereka akan belajar untuk membentuk skema-skema yang sama dalam menginterpretasi situasi-situasi yang mereka hadapi. Skema itu sendiri berupa kombinasi berbagai unsur ilmu pengetahuan dan perasaaan individual yang dipakai untuk memperoleh informasi, sehingga bisa dipahami bagaimana pengetahuan yang sama bisa membuahkan skema berbeda dari satu individu ke individu yang lain, maupun dari situasi ke situasi. Sekaligus menjelaskan daya sentripetal dan sentrifugal dalam kehidupan sosial. Daya sentripetal menyangkut masalah bagaimana kebudayaan bertahan dan direproduksi, baik selama kehidupan individu maupun antar generasi. Sebaliknya, daya sentrifugal menyangkut kecendrungan-kecenderungan timbulnya variasi antar individu atau perubahan antar waktu. Mengapa ada individu atau kelompok yang secara konsisten mempraktekkan hal-hal tertentu dalam kondisi sosial dan fisik yang berubah, bahkan kadang merugikan mereka? Mengapa ada individu atau kelompok lain yang berubah? Dalam telaahnya atas penggundulan hutan mangrove akibat keberadaan tambak udang di Thailand, Barbier dan Cox (2004) mengungkapkan bahwa kenaikan 10 persen harga udang akan mendorong terjadinya penggundulan hutan sebesar 1,6 persen. Situasi seperti itu, tampaknya juga tengah berlangsung dalam kegiatan pertambakan udang di kawasan Delta Mahakam. Seperti ditunjukkan Gambar 6.8 dimana peningkatan konversi hutan mangrove untuk kegiatan usaha pertambakan setidaknya juga disebabkan oleh peningkatan nilai satuan produksinya/udang, namun akibatnya sangat fatal bagi eksistensi hutan Tercerabut Atau Terakumulasi
187
mangrove karena semakin lama peningkatan nilai produksinya tidak sebanding dengan terjadinya pembukaan kawasan hutan mangrove yang berjalan dengan sangat intensif. 200000
Luas A r ea T am bak ( H a)
P r o duk si ( T o n)
J um lah R T P ( K K
180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 T ahun
Keterangan: RTP adalah Rumah Tangga Perikanan, Luas hutan mangrove Kaltim diperkirakan mencapai 447.000 Hektar Gambar 6.8 Perbandingan RTP dan Luas Area Tambak dengan Produksi dan Nilai Perikanan Budidaya Kaltim Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kaltim 1979 - 2009
Kegiatan usaha pertambakan yang penuh ketidakpastian dengan nilai satuan produksi yang juga cenderung berfluktuasi, ternyata tetap menjadi daya tarik tersendiri pagi para ponggawa untuk menginvestasikan hasil keuntungan usahanya dengan cara mengakumulasi alat produksi (tambak). Menurut Haji Sukri, hal ini disebabkan nilai harga tambak yang tidak akan mengalami penyusutan, bahkan nilainya cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Sekalipun hasil produksi tambak tidak menentu, Haji Sukri percaya bahwa “kegiatan usaha budidaya tambak, memiliki siklus kehidupan seperti layaknya mahluk hidup; ada masa kelahiran – masa pertumbuhan – masa produksi – masa tua/kematian – kembali
188
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
lagi pada masa kelahiran, begitu seterusnya”. Boleh saja sepetak tambak memasuki ‘masa senja’ sehingga produksinya menurun, tapi suatu ketika tambak tersebut dipercaya akan “kembali dilahirkan” untuk berproduksi optimal. Karenanya bagi para ponggawa menginvestasikan keuntungan usaha dengan mengakumulasi tambak seluas-luasnya adalah sebuah pilihan rasional yang telah melalui serangkaian trial and error. Harus diakui bahwa pengelolaan dan pelestarian sumberdaya mangrove merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan. Kegiatan tersebut membutuhkan sifat akomodatif dari segenap pihak yang terkait, baik yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan tersebut hanya bisa dilakukan jika mampu memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan, namun demikian sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada masyarakat diberikan porsi yang lebih besar. Dengan demikian yang perlu diperhatikan adalah strategi untuk menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pengelolaan dan pelestarian sumberdaya (mangrove). Dimana persepsi masyarakat dapat diarahkan pada cara pandang akan pentingnya keberadaan sumberdaya mangrove bagi kepentingan mereka. Pengembangan pengetahuan lokal dan keberadaan pranata sosial (jaringan patronase) tampaknya sangat relevan bagi upaya-upaya pengelolaan lingkungan alam berikut sumberdayanya, sebagai faktor yang berperan penting dalam menunjang keberlanjutan dan ketangguhan ekosistem pesisir (mangrove). Tapi ironisnya keduanya justru terabaikan dalam upaya-upaya eksploitasi sumberdaya alam, akibat terpinggirkan oleh domain pengetahuan ilmiah, serta pranata-pranata sosial hasil reka-cipta agen-agen pembangunan. Meskipun saat ini semakin disadari bahwa pemerintah bukanlah sebuah institusi dengan aparatur solid yang mampu menanggulangi berbagai masalah lingkungan hidup yang semakin beragam dan dinamis. Namun harus diakui, bahwa pemerintah memiliki kemampuan yang sangat fungsional di dalam melakukan penetrasi kebijakan terkait dengan berbagai hal menyangkut sumberdaya milik negara di dalam KBK (hutan mengrove) dan aktivitas perdagangan produk pertambakan Tercerabut Atau Terakumulasi
189
(udang). Yang sudah barang tentu, akan sangat menentukan dalam proses ”pendisiplinan” perilaku para pemanfaat sumberdaya sebagai strategi dasar. Harus dipahami jika melalui perilakulah, manusia berinteraksi dengan manusia lain dan lingkungan sekitarnya, dimana banyak perilaku manusia dapat mempengaruhi kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam disekitarnya. Yang perlu dilakukan adalah mendorong terwujudnya kebijakan insentif dan disinsentif bagi para stakeholder, sehingga secara perlahan mampu merubah perilakunya menjadi lebih ramah terhadap lingkungan. Di dalam praktiknya, dapat dikembangkan metode-metode sosialbudaya lokal yang ramah terhadap lingkungan, dengan pemberian pemahaman-pemahaman dan membangkitkan kepedulian masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir (mangrove). Mengingat arti penting ponggawa berikut jaringan patronasenya, maka pengembangan metode pengelolaan yang direncanakan dapat dimulai dengan menyentuh langsung kepentingan pragmatis dari para ponggawa, misalnya dengan melakukan ”propaganda” penolakan produk udang yang tidak ramah lingkungan (area tambak di dalam kawasan hutan) oleh buyer. Bisa juga dengan intervensi kekuasaan, tidak memberikan izin kelayakan ekspor. Meskipun terkesan elitis, pola pendekatan ini pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan keterbukaan dalam perencanaan pembangunan kawasan (ekonomi lokal) secara keseluruhan, khususnya yang berkaitan dengan ekosistem pesisir (mangrove), dengan memanfaatkan kekuatan struktur budaya lokal sebagai salah satu fokus prioritas.
6.3 “AKRESI KAPITAL” Terkonsentrasinya alat produksi, ditambah kemampuan ponggawa dalam “menaklukkan” ruang kultural, dengan hegemoni kultural sebagai strategi adaptasinya, menjadikan monopoli dalam kegiatan pertambakan mampu mendorong terjadinya proses kapitalisasi pertambakan. Yaitu proses akumulasi kapital yang dicapai dengan mendapatkan rente atau
190
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
pasokan material raw secara tetap tanpa harus mengeluarkan banyak “energi” ataupun biaya melalui monopoli. Mengakumuasi kekayaan bukan sekedar melalui keuntungan tapi melalui rente dari jaringan yang dibangunnya. Artinya sebagai pemasok khusus (udang windu), kebutuhan pasar tersebut sedikit demi sedikit dikumpulkan dari mitral lokal, dengan akses khusus pada teknologi dan pengetahuan dari kelembagaan lokal atau keluwesan berproduksi yang merupakan hasil negosiasi dalam jaringan yang tidak membutuhkan biaya tinggi. Begitupun dengan dampak ekologis dari berlangsungnya mekanisme tersebut, disumbang secara kolektif, sedikit demi sedikit oleh jejaring usaha pertambakan yang menopangnya. Peneliti menyebut proses tersebut sebagai “akresi kapital”, sebuah proses pengendapan kapital pada pengusaha lokal pertambakan (ponggawa) yang menduduki puncak hierarki. Hal ini berlangsung seiring dengan terjadinya abrasi, yang dalam istilah geologi berarti proses pengikisan daratan akibat hempasan gelombang, sehingga menjadi tenggelam/sejajar dengan permukaan air yang mengikisnya. Proses abrasi tersebut terjadi; pertama, pada ruang ekologi dengan semakin menipisnya tegakan hutan mengrove dan terdegradasinya kualitas lingkungan; kedua, pada ruang ekonomi dengan semakin senjangnya pendapatan dan tergantungnya kelangsungan hidup para petambak/penjaga empang; ketiga, pada ruang sosio-kultural dengan terjadinya peluruhan modal sosial dan tidak terbangunnya “perjuangan” counter hegemoni (seperti ditunjukkan Gambar 6.9). Dari hasil penggerusan pada “ketiga ruang” inilah terjadi pengendapan kapital setelah melalui serangkaian proses “akresi kapital”.
Tercerabut Atau Terakumulasi
191
192
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang Perubahan pola k ons umsi dan gaya hidup, hingga peningk atan per mintaan produk per ikanan pasar glok al
Penetrasi Kapital W or ld Bank - IBRD, ADB dan FAO, hingga TNC dan Agen Kapitalisme Glok al
Kebangkitan ekonomi per tambak an s ebagai hasil monopoli & ak umulasi rente oleh ”bangsawan pertambakan” yang memilik i kemampuan hegemoni kultur al, penguas aan alat produk si & material raw yang menjadi motor pengger ak pr os es kapitalisme lokal
Sistem Prod uksi Ka pital is
Gambar 6.9 Kebangkitan Kapital Lokal Via New-Tragedy of The Commons Sumber: Data Primer Diolah, 2011
R uang Ekono mi-Pol itik
Abrasi ruang ekonomi-politik; ketergantungan, k esenjangan, ” pemisk inan” & konflik k epentingan – pembiar an negara” dalam ” mengelola hutan”
Akr es i Kapital: pr os es akumulasi dan penumpukan kapital, s ebagai hasil abrasi ruang sos io-kultur al, ek ologi dan ekonomi-politik
Rep rodu ksi Stra tegi Ada ptasi & Prose s Hab itual isa si
Kebijakan ”Pembangunan” tanpa diiringi Land Refor m & Law Enforc ement – Tumpang Tindih Regulas i; UU 1/1967; UU 8/1968; Keppr es 39 Thn 1980, Prog. “Udang Nasional” Inpres 11/1982; SK Mentan 24/ Kpts /Um
Pas ompe: Ek spans i Evolusi moral ekonomi dalam jar ingan-patronas e, dan Kolonisasi nilai s ir i” – pas se’ s erta we’re’ hingga w atak Migran Bugis s pekulatif dan oportunis – pragmatis Ruan g So sio- Kultural Abrasi ruang sosio- kultural; pelumpuhan modal s os ial – tidak terjadinya Eks ploitasi Hutan Penguasaan counter hegemoni Mangrove hutan mangr ov e Delta Mahakam; ut k pertambakan Mi nya k dan Ga s Abrasi ruang ek ologi; ” Ilegal” – Peri kan an Tan gkap degradasi kualitas konsentrasi Pertamba kan (bu did aya) Lingkungan hingga alat pr oduks i Pe rkeb una n k elangkaan s umber day a & oleh ponggawa Pe mukiman , dst k eberingasan ek ologis yang memicu Ru ang Eko log i “tr agedi mangrove”
Bentukan akumulasi sumberdaya ekonomi inilah yang kemudian menggerakkan proses penumpukan kapital lokal, serupa dengan proses pembentukan Delta Mahaham yang merupakan hasil pengendapan lumpur abrasi dari hulu sungai Mahakam. Menariknya, ketiga ruang (ekologi, ekonomi dan sosio-kultural) saling mengiris di dalam ruang ekologis, hal ini sekaligus menjadi penanda bahwa penguasaan mangrove untuk kegiatan “pertambakan ilegal” hingga terkonsentrasinya alat produksi pada para ponggawa menjadi titik simpul yang paling krusial atas berlangsungnya proses “akresi capital” yang kemudian mendorong pembentukan ekonomi lokal. Meskipun proses pembentukan ekonomi lokal berbasis perikanan budidaya tidak bisa dipungkiri menyisakan “residu” khususnya dalam ruang ekologis (seiring dengan terjadinya degradasi kualitas lingkungan akibat konversi hutan mangrove secara massive). Namun kondisi tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari komitmen otoritas berwenang yang belum mampu “menyentuh kepentingan” para aktor kunci dalam kegiatan pertambakan, sehingga dapat menginput pada reproduksi strategi dan proses habitualisasi alternatif. Gejala kapitalisasi pertambakan mulai terlihat sejak aktifitas ekonomi utama masyarakat setempat mulai bergeser dari kegiatan pertambakan skala kecil menjadi kegiatan pertambakan berskala luas, yang kemudian mendorong munculnya profesi baru dalam kegiatan pertambakan yaitu, penjaga empang dan buruh tambak. Kondisi ini terjadi ketika para petambak (ponggawa) yang tidak lagi sanggup mengelola tambaknya, mulai mendatangkan penjaga-penjaga empang, serta buruh tambak dari Sulawesi dan Pantura Jawa Timur. Sejak itulah, mulai terjadi pergeseran makna dalam hubungan patronase dalam kegiatan pertambakan, dimana para Ponggawa tidak lagi hanya memposisikan dirinya sebagai kepala keluarga tradisional yang terus menolong menutupi kebutuhan para pekerja, seperti membayar biaya keperluan darurat dan beberapa biaya lain untuk memenuhi kewajiban upacara adat seperti temuan Vayda dan Sahur (1996). Namun mereka juga telah memposisikan dirinya sebagai produsen yang “memaksa” petambak-petambak yang terikat padanya Tercerabut Atau Terakumulasi
193
serta para penjaga empang miliknya untuk dapat memberikan kepastian pasokan udang yang dibutuhkan pasar (Lenggono, 2004). Meskipun demikian, banyak petambak yang terikat secara permanen dengan para ponggawa, menganggap mereka layaknya “dewa penyelamat” yang wajib untuk dihormati dan dibela dalam kondisi apapun. Penghayatan terhadap realitas sosial seperti inilah yang semakin melanggengkan hubungan diadik vertikal antara ponggawa – petambak – penjaga empang. Kemapanan ekonomi keluarga-keluarga ponggawa, selanjutnya membuka akses ke berbagai bidang kegiatan lain, mulai dari industri pengolahan udang berikut unit-unit pendukungnya, kepengurusan organisasi petambak – ponggawa, pemerintahan lokal hingga ke jenjang politik. Selanjutnya gejala kapitalisasi oleh para ponggawa ini menggerakkan proses kapitalisasi pertambakan di Kawasan Delta Mahakam dalam bentuk diversifikasi usaha pertambakan yang semakin meluas dengan berkembangnya pembangunan cold storage, hatchery, pabrik es, mini market, industri pengolahan/ekspor udang dan seterusnya. Kondisi ini telah mengubah struktur sosial masyarakat secara mendasar, perubahan struktur tersebut ditandai oleh semakin meningkatnya kebutuhan spesialisasi pekerjaan dan tumbuhnya pekerjaan-pekerjaan baru di sekitar kawasan. Akibatnya struktur masyarakat menjadi lebih kompleks seiring dengan munculnya organisasi-organisasi sosial baru yang memiliki beragam tujuan dan kepentingan. Perubahan ini menjadi sumber munculnya konflik-konflik baru dalam hubungan produksi, yang melibatkan perubahan pada hampir seluruh aspek tingkah laku sosial, termasuk di dalamnya industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi dan sekulerisasi. Pada gilirannya mendorong terjadinya proses kapitalisasii pertambakan yang menggerakkan ekonomi lokal dalam bentuk diversifikasi usaha yang semakin meluas hingga terjadinya take over atas perusahaan perikanan internasional oleh ponggawa yang sebelumnya memberikan modal usaha baginya.
194
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
BAB VIi MANIFESTO PENGUASAAN TANAH TERLARANG
7.1 OPERASI KAPITALISME PERTAMBAKAN Di dalam sejarahnya, jelas terlihat betapa struktur sosial masyarakat Bugis di kawasan Delta Mahakam dari masa ke masa, kelas penguasanya nyaris tidak mengalami perubahan yang berarti. Namun pada kelas bawah dan menengah, tampaknya terjadi polarisasi profesi pekerjaan. Hal ini sekaligus menunjukkan terjadinya perkembangan pada struktur masyarakat di kedua kelas, sehingga menjadi lebih kompleks seiring dengan munculnya beragam organisasi sosial baru di kawasan Delta Mahakam. Pada masa pra-kolonial tampil kelas menengah dari keturunan bangsawan Bugis yang tidak memegang kekuasaan, namun memiliki pengaruh kuat atas sejumlah pengikut, yang dengan kelihaian dan pengaruhnya berhasil menjadi golongan elit ekonomi. Selain itu juga tampil golongan elit sosial yang berasal dari keturunan bangsawan Bugis yang dengan pengaruh dan keberaniannya (memiliki armada dagang yang dapat berfungsi sebagai armada perompak) mengontrol titik-titik perdagangan strategis di sekitar muara Sungai Mahakam. Selanjutnya pada masa kolonial, tampil sejumlah profesi baru yang berhasil menjadi kelas menengah (elit ekonomi dan sosial) dari keturunan bangsawan Bugis. Seperti, pedagang perantara, pemilik kapal layar besar dan pemilik perkebunan kelapa (kepala padang). Sementara pada masa pasca-kolonial hingga masa kontemporer, semakin terbuka kesempatan bagi mereka dari luar keturunan bangsawan Bugis, untuk tampil sebagai kelas menengah baru dengan beragam profesi. Salah satunya adalah aktivitas usaha sebagai ponggawa yang pada awal kemunculannya, sumber kekuatan utamanya bertumpu pada penguasaan atas modal ekonomi yaitu alat produksi berupa kapal dan peralatan tangkap. Hingga kemudian bergeser, lebih bertumpu pada penguasaan alat produksi berupa area pertambakan. Menariknya, profesi sebagai ponggawa ternyata tidak semata-mata memposisikan mereka hanya sebagai elit ekonomi tapi sekaligus sebagai elit sosial. Munculnya fenomena kapitalisasi pertambakan ditandai oleh beberapa hal berikut. Pertama, beralihnya penguasaan aset produksi.
196
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Dimana penguasaan tanah-tanah negara di kawasan Delta Mahakam, justru didorong untuk mendukung sukses pembangunan di sektor perikanan budidaya tanpa terlebih dahulu menata struktur agraria dan langsung mengejar tingkat produksi tertentu untuk mengamankan “Program Udang Nasional”. Akibatnya, pola pengelolaan sumberdaya hutan mengrove (tanah negara) yang sejak awal tidak dikelola dengan baik, jatuh pada otoritas lokal untuk kemudian diserahkan secara sporadis dan massal pada mereka yang bermodal kuat dalam mengelola usaha pertambakan. Meskipun perekonomian mampu tumbuh dengan cepat, proses pengkonsentrasian penguasaan “lokasi” pertambakan tersebut, kelak menciptakan kesenjangan penguasaan alat produksi yang memperkuat berlangsungnya hubungan ketergantungan dan “eksploitasi terselubung”. Sekaligus memendam bibit konflik. Sementara satuan rumah tangga menjadi tidak otonom dan terjerat dalam hubungan patron-klien yang tidak memungkinkan munculnya kemandirian. Menariknya, hegemoni kultural yang “dipinjam” dari tradisi elit tradisional ataupun dari para patron oleh elit ekonomi lokal (ponggawa yang berasal dari golongan to-maradeka), ternyata direproduksi ulang untuk mempertahankan kekuasaan yang diraihnya. Melalui jaringan patronase yang terbangun, mereka berhasil menciptakan ketergantungan pada para klien untuk bisa memberikan kepastian pasokan material raw. Meskipun demikian, pola hubungan patronase tampaknya masih menyisakan ruang resiprositas yang melekat pada tradisi passe’, sehingga mereduksi pola hubungan pertambakan yang cenderung ekploitatatif. Pola hubungan patron-klien yang adaptif, ternyata juga mampu menopang keberlangsungan “ekonomi lokal” berbasis pertambakan yang sarat persaingan dan ketidakpastian. Menjadikan biaya produksi tidak membutuhkan biaya tinggi. Mengingat produk yang ditawarkan (udang windu) adalah produk khas dan tidak banyak diproduksi oleh produsen lain, sehingga menjadikan produsen lokal memiliki posisi tawar yang cukup baik di pasar regional, bahkan internasional. Kedua, munculnya monopoli di sektor agraria. Komitmen yang kuat terhadap pertumbuhan pembangunan dan absennya negara Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
197
dalam mengelola tanah-tanah negara telah menyebabkan munculnya monopoli di sektor agraria. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang cenderung melakukan “pembiaran” atas terjadinya perluasan area pertambakan secara ilegal, meskipun harus mengorbankan eksistensi hutan mangrove ( KBK) di kawasan Delta Mahakam. Disatu sisi, tampaknya hal tersebut dilakukan untuk “mendongkrak” program perluasan tambak (ekstensifikasi), yang ingin mengamankan Program Udang Nasional dengan meningkatkan produksi perikanan budidaya. Disisi lain, berarti “mengelola hutan”, sebagai antisipasi munculnya gejolak dalam masyarakat, sekaligus mengamankan kepentingan industri strategis nasional (khususnya sektor migas). Secara dinamis, realitas tersebut mengkonfirmasi kemungkinan munculnya konflik agraria yang cukup laten diantara masyarakat lokal. Selain konflik manifest, ketika melibatkan perusahaan migas yang beroperasi disekitar kawasan Delta Mahakam. Melalui “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai” para ponggawa berhasil mengambil keuntungan dari absennya negara dalam pengelolaan KBK. Meskipun fenomena tersebut kelak mendorong terjadinya “kebangkitan ekonomi lokal”. Namun “ketidakhadiran negara” dalam ikut mendorong munculnya regulasi yang mampu menertibkan kegiatan pertambakan ilegal ataupun pembatasan penguasaan area pertambakan, telah menyebabkan semakin terkonsentrasinya penguasaan area-area pertambakan pada pihak-pihak tertentu (ponggawa). Mengakomodasi praktik monopoli sebagai kekuatan utama dalam kegiatan usaha pertambakan. Yang pada akhirnya mereproduksi ulang dan melanggengkan hubungan produksi usaha pertambakan melalui “eksploitasi terselubung”. Dengan mandiri para pengusaha perikanan lokal (ponggawa), mampu melakukan akumulasi kapital hingga kemudian berhasil mengawal berlangsungnya transformasi sosial, menggiring masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Seiring keberhasilan mereka membangun industri perikanan skala ekspor – melakukan take over industri perikanan ekspor asal Jepang. Berkat kemampuannya melakukan hegemoni kultural 198
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
melalui jaringan patronase, sehingga berhasil memonopoli raw material. Para ponggawa yang bukan berasal dari golongan lapisan atas atau elit tradisional ini, telah membuktikan bahwa mereka adalah pengusaha mandiri22 yang mampu tumbuh dan berkembang tanpa campur tangan negara. Melalui pemanfaatan sumberdaya agraria secara “kreatif”, yang terbukti memberikan kemakmuran. Sebagaimana disinyalir Bernstein (2008), bahwa beberapa bentuk pertanian kapitalis mungkin bisa menciptakan lapangan pekerjaan tambahan dalam usaha tani dan kerena itu setidaknya memiliki dampak mengurangi kemiskinan dalam tingkat tertentu di pedesaan. Sebuah kenyataan yang sangat mengagumkan. Dimana efek-efek perbanyakan lapangan kerja diciptakan oleh beberapa bentuk usaha pertambakan, berikut industri kapitalis kontemporer yang berspesialisasi menghasilkan komoditi-komoditi perikanan, yang diproduksi dengan cara-cara yang sekaligus padat modal dan padat tenaga kerja, serta kompetitif secara internasional. Meskipun kenyataan itu tidak juga mampu mendorong pemberlakukan mekanisme insentif dan disinsentif secara adil oleh pemerintah. Yang sangat penting artinya dalam merangsang pertumbuhan aktivitas ekonomi lokal berbasis sumberdaya secara berkelanjutan. Seperti pengenaan pajak progresif atau restribusi dalam usaha pertambakan bagi pemerintah, yang dapat dialokasikan untuk meningkatkan pelayanan ekologis, perbaikan kualitas lingkungan, pengadaan infrastruktur dan merangsang pengembangan research development bagi keberlanjutan usaha pertambakan. Selain mendorong hilirisasi industri perikanan yang bernilai tambah tinggi, serta penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan. Ketiga, hilangnya hak tradisional komunitas lokal. Dimana umumnya penguasaan tanah secara tradisional lebih bersifat komunal, 22. Pengusaha mandiri adalah pengusaha lokal yang mampu bangkit dan berkembang tanpa campur-tangan negara, tumbuh secara progresif – bahkan mampu melakukan take over atas perusahaan asing dan ikut menopang kertepurukan ekonomi bangsa ketika terjadi krisis. Memiliki sejumlah fungsi pokok, yaitu; sebagai manajer (administratur); pemanfaat peluang (menanggung ataupun menekan resiko); pembaharu/inovator; dan sebagai stabilisator-dinamisator sosial, yang dalam batas-batas. Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
199
serta cenderung menggunakan hukum-hukum lokal dan mengabaikan persyaratan legalitas formal seperti sertifikat. Hak-hak komunal lokal tersebut, dewasa ini tergilas oleh hukum nasional yang mensyaratkan adanya legalitas formal. Jika merujuk pada realitas yang ada, keberadaan area pertambakan di kawasan Delta Mahakam yang sebagian besar berada diatas tanah-tanah negara (KBK), seharusnya pemerintah “hadir” dan mampu memberikan kepastian hukum atas tanah-tanah negara yang dikuasai masyarakat. Membawa agenda reforma agraria yang konkrit dan berpihak pada kepentingan ekologis tanpa mengabaikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi lokal (kemakmuran rakyat). Disini, otoritas berwenang dituntut untuk duduk bersama dengan stakeholders guna merumuskan tata ruang pemanfaatan KBK yang sebagian besar telah beralih fungsi menjadi area pertambakan pribadi. Namun yang terjadi, transformasi agraria yang berlangsung justru diiringi oleh beragam “substitusi” alokasi sumberdaya dan modal, berikut dampak yang diakibatkannya. Menjadikan sistem produksi Delta Mahakam memiliki substitusi yang tinggi antara land dan non-land intensive atau good dan bad environment. Kuatnya dorongan faktor ekonomi selanjutnya memberikan implikasi yang mendasar terhadap “subtitusi” perilaku dan interaksi warga masyarakatnya dalam memandang faktorfaktor sosial dan ekologi. Sementara modernisasi di sekitar kawasan Delta Mahakam melalui kapitalisasi (peningkatan arus modal dan teknologi) maupun industrialisasi di berbagai sektor telah mengubah struktur sosial masyarakat sedemikian mendasar. Perubahan struktur tersebut ditandai oleh semakin meningkatnya kebutuhan spesialisasi pekerjaan atau tumbuhnya pekerjaan-pekerjaan baru di sekitar kawasan, serta semakin meningkatnya konversi lahan untuk berbagai kegiatan usaha. Akibatnya struktur masyarakat menjadi lebih kompleks seiring dengan munculnya organisasi-organisasi sosial baru yang memiliki beragam tujuan dan kepentingan. Padahal modernisasi yang berlangsung melibatkan perubahan pada hampir seluruh aspek tingkah laku sosial, termasuk didalamnya industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi dan sekulerisasi.
200
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Realitas tersebut, beririsan dengan temuan Knight (1982), yang menganggap daerah pedesaan telah menjadi bagian integral dari sistem produksi kapitalisme – suatu penilaian yang juga digarisbawahi oleh Geertz (1992). Dimana produksi pertanian di abad-19 dan ke-20 ditandai oleh bentuk bagi hasil, sewa tanah dan hubungan kerja upahan antara pemilik tanah dan petani yang tidak mempunyai tanah dan itu jauh dari penggambaran menghilangnya struktur prakapitalis. Malah memperlihatkan pertumbuhan hubungan kapitalis yang merembes ke semua jurusan dengan segala reaksinya (Husken, 1998). Sesuai dengan interpretasi Collier Dkk (1996), yang menyebut diferensiasi pertanian dan kapitalisme di Jawa berjalan secara bersamaan. Dimana modernisasi pertanian dibawah rezim Orde Baru telah mengakibatkan masyarakat pedesaan di Jawa terbagi menjadi dua golongan, golongan pemilik tanah komersial dan golongan massa pekerja penerima upah, hingga membentuk hubungan produksi yang bersifat kapitalisme. Dari sini menjadi jelas, betapa kapitalisme pertambakan tidak hanya timbul sebagai akibat dari proses diferensiasi sosial yang terjadi dalam masyarakatnya, serta pada upah kerja dan produksi komoditi. Namun juga disatukan melalui bentuk produksi yang menghasilkan surplus (seperti; bagi hasil, upeti untuk majikan dan pajak tanah) dengan produksi kapitalisme untuk pasar. Artinya, kapitalisme memiliki banyak wajah. Semangat prakapitalis yang dipertahankan melalui patronase dalam hubungan produksi pada sektor perikanan budidaya yang menghasilkan surplus dalam memenuhi kebutuhan pasar, merupakan wujud operasi kapitalisme di aras lokal.
7.2 BERJALAN DALAM DIAM Pembentukan ekonomi lokal di kawasan Delta Mahakam yang digerakkan oleh kegiatan usaha pertambakan telah memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan landscape ekologi lokal. Hal ini dapat ditelusuri dari beberapa momentum penting berikut ini. Pertama, proses kapitalisasi dalam kegiatan pertambakan telah memicu
Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
201
terjadinya arus migrasi dari etnik Bugis, Makassar, Jawa dan etnik lainnya ke desa-desa yang berada di pulau-pulau dalam Kawasan Delta Mahakam. Dipekerjakan oleh para petambak ataupun ponggawa untuk menjaga empang-empang yang yang tidak lagi bisa mereka kelola sendiri, karena luasnya hamparan tambak yang mereka kembangkan. Selain membuka kesempatan kerja bagi buruh tambak, untuk membangun tambak-tambak baru ataupun memperbaiki konstruksi tambak secara tradisional. Pemusatan penguasaan area pertambakan, ternyata tidak hanya menciptakan jurang kesenjangan diantara para penjaga empang – petambak – ponggawa. Namun juga mendorong dilakukannnya ekspansi perluasan area tambak secara massive dengan cara meminjamkan modal usaha pada patron-nya masing-masing untuk membuka hutan mangrove yang mereka kuasai. Kedua, rendahnya produktivas tambak-tambak di kawasan Delta Mahakam, telah memaksa para petambak – ponggawa untuk mencoba mengembangan strategi dengan membangun hamparan tambak yang lebih luas, dengan asumsi akan dapat mempermudah pengelolaan dan meningkatkan produksi. Dalam kenyataannya produksi tambak mereka tetap saja tidak meningkat, praktis mereka hanya mengandalkan hasil panen dari udang bintik yang terperangkap masuk ke dalam tambaktambak mereka. Kondisi ini mendorong sebagian petambak untuk kembali beralih profesi sebagai nelayan, serta mereka yang memiliki cukup modal dan tidak terikat hutang pada para ponggawa untuk melakukan ekspansi dibidang usaha lain seperti kegiatan perkebunan kelapa sawit dan perdagangan atau mencoba peruntungan di dunia politik. Masyarakat lokal selanjutnya cenderung menjadi lebih apatis, individualis dan materialistik. Yang pada akhirnya memperkuat motivasi sejumlah pihak, termasuk para petambak/ponggawa untuk melakukan “spekulasi’ dalam pengembangan area pertambakan dengan harapan mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan oleh perusahaan migas jika terjadi pencemaran atau eksplorasi. Ketiga, tekanan ekologis yang begitu hebat telah menyebabkan kawasan yang dulunya memiliki tegakan hutan mangrove yang sangat 202
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
lebat dan luas ini, menjadi terdegradasi dengan cepat. Tingginya angka deforestasi mangrove berimplikasi pada permasalahan fisik, ekologi dan lingkungan, seperti kerusakan tekstur, dan struktur tanah, erosi, abrasi, sedimentasi, dan pencemaran air serta penurunan keanekaragaman hayati. Degradasi ekosistem mangrove yang terjadi, selanjutnya membawa dampak atas terjadinya penurunan produktifitas tambak. Munculnya berbagai wabah penyakit yang menyerang udang, semakin sulitnya bibit udang alam diperoleh. Terjadinya abrasi pantai dan sedimentasi yang semakin meluas, serta hilangnya sumber-sumber mata air bersih. Akumulasi keadaan tersebut, disatu sisi telah menyebabkan perusahaan-perusahaan eksportir kesulitan memperoleh pasokan bahan baku (udang segar), sehingga terjadi pelumpuhan produksi, hingga memaksa mereka “angkat kaki” dari kawasan Delta Mahakam karena kolaps. Membuka peluang terjadinya take over atas perusahaanperusahaan tersebut, oleh ponggawa yang sebelumnya menjadi klien mereka. Sementera di sisi lain, keadaan tersebut berimbas pada kualitas dan kuantitas produksi yang cenderung menurun. Menyebabkan banyak area pertambakan terlantar, karena tidak dikelola secara baik dan ditinggalkan pemiliknya. Keempat, kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam akhirnya menyisakan permasalahan pelik menyangkut status kepemilikan lahan. Meskipun kawasan hutan mangrove yang masih berstatus KBK tersebut telah beralih fungsi menjadi area pertambakan pribadi, namun hingga kini area pertambakan yang berada diatas tanah-tanah negara dan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi lokal tersebut tetap dianggap sebagai “kegiatan ekonomi ilegal” oleh otoritas pemerintahan terkait. Akibatnya masyarakat lokal tidak memiliki hak atas tanah-tanah yang dikelolanya, meskipun dalam kenyataannya tidak sedikit tambak diketahui memiliki sertifikat. Sementara pemerintah tidak memiliki legalitas untuk mendapatkan kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pertambakan yang diklaim ilegal tersebut. Hal ini setidaknya relevan dengan sinyalemen de Soto (2006) yang mengungkapkan “negara-negara selain Barat tampaknya gagal mengambil manfaat sebesar-besarnya dari Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
203
kapitalisme, dikarenakan ketidakmampuan negara itu untuk menciptakan kapital”. Dalam hal ini, dengan memperkuat (legalitas) kedudukan tanah yang dapat dikonversi menjadi modal kapital. Tentu dalam konteks tersebut, tawaran solutifnya tidak harus dengan memberikan legalitas kepemilikan area pertambakan melalui penerbitan Sertifikat Hak Milik. Namun dengan semangat memberikan legalitas kepastian berusaha, yang dapat diupayakan melalui penerbitan HGU (Hak Guna Usaha) dengan batas waktu dan luasan penguasaan tertentu melalui legalitas pelepasan dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun demikian, pelaksanaan program land reform tidak seharusnya hanya mengenai redistribusi tanah negara, tanpa menyentuh kepentingan kelas tuan tanah besar yang menurut Ghimire (2001), seringkali mencengkram kelembagaan otoritatif lokal (pengadilan hingga otoritas berwenang). Pemberian legalitas berusaha, dapat dimaknai sebagai pelibatan secara aktif dari kelas tuan tanah (ponggawa) dalam pendaftaran tanah-tanah yang dikuasainya secara formal, untuk kemudian ditetapkan batas maksimum penguasaan yang diperkenankan melalui penebitan HGU. Alternatif lainnya, dengan mengusulkan sejumlah kawasan di Delta Mahakam pada Menteri Kehutanan via Dinas Kehutanan Kabupaten untuk ditetapkan sebagai kawasan Hutan Desa atau Hutan Kemasyarakatan. Sebagaimana Keputusan Pemerintah No. 6/2007, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Dimana Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) yang diterbitkan dapat diusahakan secara komunal (berkelompok melalui koperasi) sebagai “area hutan (mangrove) dengan pemanfaatan silvofishery” selama 35 Tahun dan dapat diperpanjang setelahnya. Dus selanjutnya, melalui RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) partisipatif, kawasan Delta Mahakam dapat dibagi sesuai zonasi peruntukannya, ditunjang peraturan dan law enforcement yang ketat. Pada waktu bersamaan upaya rehabilitasi dilakukan pada zona konservasi (hutan mangrove) dan area pertambakan yang ditelantarkan.
204
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Berbagai tawaran diatas diharapkan membuka ruang, bagi apa yang dikatakan Bernstein (2008), sebagai keunggulan produktivitas dari usaha tani (pertambakan) kapitalis skala besar yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan manfaat pendapatan lebih besar, terutama untuk “kalangan termiskin dari penduduk miskin di pedesaan”, ketimbang usaha pertambakan skala kecil. Sekaligus juga mengekang konsekuensikonsekuensi negatif dari program land reform bagi lapangan pekerjaan dan kemiskinan, serta terutama bagi kelompok-kelompok terlemah di dalam pasar tenaga kerja di pedesaan. Sesuatu yang juga digarisbawahi Lipton (2009), bahwa kepemilikan tanah program redistributif dengan skala lebih kecil seringkali lebih produktif daripada yang lebih besar. Memberi kesempatan bagi para penggarap untuk memiliki akses pemanfaatan – penguasaan, atas tanah-tanah yang digarapnya setidaknya dalam batas minimal yang dianjurkan, dengan pengelolaan secara kolektif! Hal itu diharapkan mengurangi efek dari tingginya tingkat kepadatan hubungan yang tidak bisa memberi peluang bagi munculnya kerjasama yang saling menguntungkan dan adil, sebagai hasil dari hubungan diadik bersifat vertikal yang dikembangkan dalam kelembagaan patron-clients. Mengantisipasi gejala peluruhan modal sosial pada komunitas petambak di kawasan Delta Mahakam, akibat distrust, hilangnya togetherness, reciprocity dan solidaritas yang tergantikan oleh hubungan ketergantungan dan individualisme. Sebagaimana dikemukakan Bullen dan Onyx (1998), bahwa semangat rasa percaya yang kuat, hubungan saling menguntungkan dan sanksi-sanksi sosial informal yang efektif untuk mencegah ‘free-rider’, serta kebersamaan yang mewujud, dapat dikelola secara tak terbatas dan berfungsi bagi keuntungan bagi semua anggota komunitas. Kelima, kelangkaan sumberdaya alam dan resiko dari kegiatan pertambakan yang dibangun diatas tanah-tanah negara telah memaksa para petambak – ponggawa bersikap lebih protektif terhadap segala kemungkinan yang dapat “mengganggu” kepentingan usaha yang membutuhkan biaya operasional sangat besar tersebut. Salah satu pilihan yang dianggap strategis adalah dengan melakukan koalisi dengan kekuasaan yang dianggap mampu memberikan jaminan bagi Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
205
keberlanjutan kegiatan usahanya atau dengan membangun citra sebagai pengusaha yang “merakyat” dengan banyak pengikut. Berharap memperoleh “proteksi” dari sistem keamanan sosial yang terbangun. Jika tidak, mereka harus menyiapkan diri untuk melakukan ekstensifikasi usaha diluar kegiatan pertambakan yang awam dan penuh resiko. Pilihanpilihan tersebut tampaknya disadari sepenuhnya oleh para aktor, sebagai konsekuensi logis atas operasi bisnis yang mereka kembangkan. Selain melakukan ekspansi kegiatan usaha diluar sektor perikanan budidaya, tampaknya mereka juga mencoba mengembangkan usaha pertambakan di luar kawasan Delta Mahakam. Menariknya, intensifikasi dengan melakukan modernisasi kegiatan pertambakan tidak menjadi pilihan utama dalam pengembangan usaha pertambakan yang telah terdegradasi dan mengalami kelangkaan sumberdaya. Kondisi ini tidak terlepas dari pengalaman sejumlah ponggawa yang gagal melakukan intensifikasi pertambakan yang sangat mahal. Pilihan stategis lainnya, terlibat dalam dunia politik praktis atau dengan memantapkan citranya sebagai ketua organisasi tertentu, yang terkait dengan kegiatan usahanya. Tidak sedikit diantara mereka, ikut bermanuver dalam masalah politik praktis. Selain ingin menunjukkan eksistensi politiknya, juga untuk mendapatkan sokongan dan proteksi dari penguasa yang berhasil diusung. Akan menjadi “bumper” atas aktifitas pertambakan ilegal yang dijalankannya, selain memberikan rasa aman bagi keberlangsungan usahanya, ditengah sentimen kedaerahan/ kesukuan yang memanas. Meskipun demikian, tidak sedikit diantara para petambak – ponggawa yang tetap fokus menggeluti kegiatan usaha perikanan budidaya semata. Mungkin Pelras (2006) tidak salah, ketika mengatakan perantau Bugis berorientasi perdagangan cenderung memiliki implikasi politik dibandingkan perantauan berorientasi tanaman keras yang tidak memiliki implikasi politik. Namun hasil studi ini menunjukkan, betapa para ponggawa pertambakan yang mampu membangun kekuatan sosioekonominya secara mapan, ternyata juga cenderung berimplikasi politik. Beriringan dengan perkembangan usaha bisnisnya yang membutuhkan 206
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
sokongan kebijakan dari kekuasaan, walaupun secara praktis seringkali mereka tidak memerankannya secara langsung. Pada akhirnya harus digaris-bawahi disini, betapapun lirih terdengar, “Manifesto Penguasaan Tanah Negara” bukanlah perkara sepele. Manifesto penguasaan tanah negara dalam realitasnya tidak harus dinyatakan secara terbuka kepada publik! Sebagaimana digambarkan Scott (2000), dalam “Senjatanya Orang-Orang Kalah”, para petambak, hampir tidak memerlukan koordinasi atau perencanaan, menggunakan pemahaman implisit serta jaringan informal, sering mengambil bentuk mengurus sendiri dan mereka secara khas menghindari konfrontasi simbolis secara langsung dengan penguasa. Dengan cara seperti itu kelas petambak menyatakan kehadiran politisnya. Artinya, meski tidak didukung legalitas kepemilikan tanah yang mampu memperkuat kedudukan tanah bagi mereka, mengingat pemanfaatan sumberdaya agraria yang mereka lakukan dianggap “ilegal” oleh otoritas yang berwenang. Namun dengan “senjata” yang mereka pergunakan, masyarakat petambak lemah ini, melakukan perlawanan kecil-kecilan setiap hari dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian, menggarap seperlunya tambak-tambak yang dikuasainya, koordinasi tahu sama tahu, bersifat pura-pura (purapura bodoh dan pura-pura memenuhi permohonan), melakukan operasi sabotase, melarikan diri, bergosip menjatuhkan nama baik dan seterusnya, yang menyatakan kehadiran politisnya. Tindakan-tindakan perlawanan yang dilakukan secara perorangan, diperkuat dengan budaya perlawanan rakyat dan diperbanyak ribuan kali itulah yang pada akhirnya meneguhkan ‘batu karang’ kekuatan ekonomi dan politik mereka. Secara tersirat, mereka seolah ingin mengatakan bahwa tanah-tanah “ilegal” yang mereka kuasai, sejengkalpun tidak akan “cuma-cuma” diserahkan pada siapapun! Sesuatu yang juga digarisbawahi Soekarno (1945), ketika ikut merumuskan pendirian Republik Indonesia, betapa “tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada dibawah kakinya”!!
Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
207
Daftar Pustaka
Abdullah Hamid, 1985. Manusia Bugis-Makassar – Manusia BugisMakassar: Suatu Tinjuan Historis Terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis-Makassar, Jakarta: Inti Dayu. Abdullah Hamid, 1990. Reaktualisasi Etos Budaya Bugis, Solo: CV Rahmadhani. Abdullah Taufik (Ed), 1985. Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press. Acciaioli, GL, 1989. Searching for Good Fortune: The Making of a Bugis Shore Community at Lake Lindu, Central Sulawesi. Unpublished Ph.D. Dissertation, Australian National University. Adham D, 1979. Silsilah Kutai. Tenggarong: Bagian Kehumasan dan Keprotokolan, Kabupaten Kutai Kartanegara. Adri, 2007. Politik Identitas dalam Fenomena Ilegal Loging di Perbatasan Indonesia – Malaysia: Studi di Kecamatan Badau dan Lanjak, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat. Depok: Tesis Program Pascasarjana Sosiologi Fisip UI. Aliansi Manado, 2009. “Utang, ADB dan WOC-CTI”. Source: www. jatam.org Amin Asli Mohammad, 1975. “Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martapura” dalam Dari Swapraja Ke Kabupaten Kutai; Kutai Masa Lampau, Kini dan Esok. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Daftar Pustaka
209
Andaya Leonard Y, 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17, Makassar: Ininnawa. Anonim, 1992. Sejarah Pemerintahan Kalimantan Timur dari Masa Ke Masa, Samarinda: Pemprop Dati I Kaltim. Awang Afri San, 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Ayodhya AU, 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Bapedda Kabupaten Kutai Kartanegara, 2006. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Delta Mahakam (Laporan Akhir) Batubara Marwan, 2014. Kembalikan Mahakam, Memang Hak Kami. Jakarta: Penerbit Indonesian Resources Studies (IRESS) Barber Charles, 1989. The State, The Environment and Development: The Genesis and Transformation of Social Forestry Policy in New Order Indonesia. California: Disertasi Ph.D, University of California, Berkeley. Barbier E B dan Cox Marx, 2004. ”An Economic Analysis of Shrimp Farm Expansion and Mangrove Conversion in Thailand”. Land Economics 80 (3): 389 – 407. Berger Peter L, 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES. Bernstein Henry, 2008. Perubahan Itu Terjadi Di Depan Kita: Persoalan Agraria dan Politik Tanah dalam Kapitalisme Saat Ini dalam Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21, Penulis Bernstein Henry, Byress Terance J, Borras Saturnino, Kay Cristobal, dkk. Yogyakarta: STPN. Blakie Piers, 1985. The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countryes. Londong: Longman. Bourgeois Robin et al, 2002. A Socio Economic And Institutional Analysis Of Mahakam Delta Stakeholders, Final Report To TotalFinaElf Briant, R. L, 1998. Power, Knowledge and Political Ecology in the Third World: A Review. Progress in Physical Geography, Vol. 22/1, pp. 79-94 Brown David W, 1999. Ketagihan Rente: Distribusi Korporasi dan Spasial Sumberdaya Hutan Indonesia: Implikasinya Bagi Kelestarian 210
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Hutan dan Kebijakan Pemerintah. Jakarta: Kantor Kehutanan Kerajaan Inggris – Indonesia Budiman Arief, 2006. Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005. Jakarta: Freedom Institute. Bullen Paul and Onyx Jenny, 1998. “Measuring Social Capital in Five Communities in NSW: Overvew of a Study”, Neighbourhood and Community Centres. Chatterjee Partha, 2004. The Politics of The Governed: Reflection on Popular Politics in Most of the World. New York: Colombia University Press. Chomitz Kenneth M, 2007. Dalam Sengketa? Perluasan Pertanian, Pengentasan Kemiskinan dan Lingkungan Hidup di Hutan Tropis, Jakarta: Salemba Empat. Collier, William dkk, 1996. Pendekatan Baru dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa: Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dahuri Rohkmin, 2009. Pembangunan Perikanan Untuk Kesejahteraan Bangsa. Seputar Indonesia, 10 Oktober 2009 Damanhuri S Didin, 2009. Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI Darmanto dan Setyowati Abidah B, 2012. Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan dan Politik Ekologi. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Grmedia). De Soto, Hernando. 2006. The Mystery of Capital Rahasia Kejayaan Kapitalisme Barat. Terjemahan Pandu Aditya K. Yogyakarta: Qalam. Departemen Kehutanan, 1986. Sejarah Kehutanan Indonesia: Periode Pra Sejarah Kehutanan Indonesia: Periode Pra Sejarah – Tahun 1942, Departemen Kehutanan. Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007. Penyusunan Profil, Identifikasi dan Analisis Isu Prioritas Perencanaan dan Pengembangan Terpadu Kawasan Delta Mahakam (Laporan Akhir). Dharmawan H. Arya, 2005. Analisis Politik Ekologi Sistem TataPemerintahan Sumberdaya Alam: Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy, dalam PSP dan UNDP,
Daftar Pustaka
211
“Pembaharuan Tata-Pemerintahan Lingkungan”, Bogor: PSP-LPPM IPB. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kutai Kartanegara, 2008. Pemetaan Detail Areal Tambak di Kawasan Delta Mahakam Menggunakan Citra Satelit dan Sistem Informasi Geografis. Dinas Perikanan Jatim, 1990. “Shrimp Industry Development in East Java” in UNDP- FAO, Proceedings. Shrimp Culture Industry Workshop. Jepara (Indonesia): 25-28 September 1990. Dinas Perikanan Propinsi Kalimantan Timur, 1991. Laporan Tahunan 1990. Direktorat Jenderal Perikanan, 1995. Daftar Unit Pengolahan Ikan Beku/ Segar. Daftar Perusahaan yang Mendapatkan Aproval Number. Jakarta. Djamali, A dkk. 2000. Potensi dan Penyebaran Ikan Laut di Perairan Indonesia. Dove Michael R, 1984. Government Versus Peasant Beliefs Concerning Imperata and Eupatorium: A Structural Analysis of Knowledge, Myth, and Agriculture Ecology in Indonesia. Working Paper, Environment and Policy Institute, East-West Center, Honolulu, Hawaii. Dutrieux E, 2001. The Mahakam Delta Environment, From the 80’s up to now: a synthesis of a 15 year investigation. Paper presented to the International Workshop on Optimizing Development and Environmental Issuess at Coastal Area. Farid Andi Zaenal Abidin, 1999. Kebudayaan Sulawesi Selatan – Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang: Unhas. Fauziah Lusi, Fahrudin A Wahyudi dan Nina Sri Sutami, 1993. Produksi Udang Indonesia dalam Buletin Ekonomi Perikanan No. 1 Tahun 1993. Gappindo, 1996. Peluang dan Permasalahan Pengembangan Agribisnis Indonesia. Disampaikan pada: Promosi Investai Agribisnis Hortikulturaa dan Perikanan (Makalah Seminar). Jakarta. Geertz Clifford, 1975. Interpretation of Culture, London: Hutchinson & Co.
212
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Geertz Clifford, 1992. Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ghimire Krisna B, 2001. Land Reform and Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty and Agrarian Reform in Developing Countries. London: ITGD Publishing. Griffin Keith, Khan Azizur Rahman dan Ichowitz Amy, 2008. Kemiskinan dan Distribusi Tanah dalam Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21, Penulis Bernstein Henry, Byress Terance J, Borras Saturnino, Kay Cristobal, dkk. Yogyakarta: STPN. Hadiz Vedi R, 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES. Hall Derek., Hirsck Philip and Li Tania Murray, 2011. Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia, Singapore: NUS Press. Hamid Abdullah, 1985. Manusia Bugis-Makassar – Manusia BugisMakassar: Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis-Makassar, Jakarta: Inti Dayu. Hardin Garrett J. 1968. The Tragedy of The Commons. Science Vol. 162. Hatta Muhammad, 1943. Dalam Sritua Arief (2002), Ekonomi Kerakyatan Indonesia: Mengenang Bung Hatta, Bapak Ekonomi Kerakyatan Indonesia. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Hidayati Denny Dkk, 2005. Manajemen Konflik Stakeholders Delta Mahakam. Jakarta: LIPI Husken Frans, 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1930 – 1980. Jakarta: Grasindo. Indra, 2007. Interaksi Mangrove dan Sumberdaya Ikan. Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh: www.kuala.or.id. Ishak Awang Faroek, 2003. Paradigma Hutan Lestari dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal, Jakarta: Indomedia. Juliani, 2004. Optimasi Upaya Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya, Bogor: SPs-IPB (Tesis). Kartodihardjo Hariadi dan Jhamtani Hira, 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing Indonesia. Daftar Pustaka
213
Kinseng Rillus A, 2007. Kelas dan Konflik Kelas Pada Kaum Nelayan di Indonesia: Studi Kasus di Balikpapan, Kalimantan Timur, Depok: Disertasi Sosiologi UI Knight G.R, 1982. “Capitalism and Commodity Production in Java”, in Alavi H et al (Eds) Capitalism and Colonial Production. London: Croom Helm. Korten David, 1987. Community Management, Asian Experiences and Perspectives. Kumarian Press, Connecticut. Korten David, 1993. Menuju Abad 21: Kelompok Sukarela dan Agenda Global. Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. LAPI-ITB dan Bappeda Kabupaten Kutai Kertanegara, 2003. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Delta Mahakam. Lenggono PS, 2004. Modal Sosial dalam Pengelolaan Tambak (Studi Kasus Pada Komunitas Petambak di Desa Muara Pantuan Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara). Bogor: SPs-IPB (Tesis tidak dipublikasikan). Lenggono P. Setia, 2011. Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta Mahakam: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal. Bogor: SPs-IPB (Disertasi tidak dipublikasikan). Lenggono P. Setia, 2012. KEBANGKITAN EKONOMI LOKAL: Kemunculan Ponggawa Pertambakan dan Fenomena Industri Pengolahan Udang Ekspor di Delta Mahakam. Bogor: Sodality (Jurnal Sosiologi Pedesaan) Vol. 6 No. 2. Lenggono P. Setia, 2015. Patronase dalam Pembentukan Pengusaha Perikanan Lokal di Delta Mahakam, Indonesia. Jakarta: Jurnal Kesejahteraan Sosial Vol. 2 No. 1, Maret 2015. Levang Patrice, 2002. Mangroves, Shrimps and Punggawa A Historical Analysis of the Development of The Mahakam Delta (PT. Win). Li Murray Tania, 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Li Murray Tania, 2007. The Will to Improve: Governmentality, Development and The Practice of Politics. Durham: Duke University Press. Lineton, J, 1975. An Indonesian Society and Its Universe: A Study of the Bugis of South Sulawesi (Celebes) and Their Role within a Wider
214
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Social and Economic System, University of London: Ph.D. Disertation, Scholl of Oriental and African Studies. Lipton Michael, 2009. Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs. Oxon: Routledge. Lombard Dennys, 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 1 (Batas-Batas Pembaratan), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. MacAndrew Colin, 1986. Land Policy in Modern Indonesia. Mackie Jimmie, 1999. “Keberhasilan Bisnis di Kalangan Orang Cina Asia Tenggara”, dalam Robert Hefner, Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Jakarta: LP3ES. MacKinnon Kathy., Dkk, 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo; Jakarta. Magenda, Burhan, 1991. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, Ithaca NY: Cornell Modern Indonesian Project. Maifiansyah , Muhammad, 2005. ‘Studi Tentang Kerusakan Hutan Mangrove dan Identifikasi Penyebab Kerusakan Untuk Kepentingan Pelestarian Hutan Mangrove di Delta Mahakam’, thesis pada Program Pascasarjana Universitas Mulawarman. Martosubroto P, 1978. Musim Pemijahan dan Pertumbuhan Udang Jerbung dan Udang Dogol di Perairan Tanjung Karawang. Jakarta: Prosiding Seminar ke II Perikanan Udang, 15-18 Maret 1977. Matullada, 1985. Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Orang Bugis, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Matullada, 1991. Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar dan Kaili di Sulawesi. Fisip UI Fisip UI: Antropologi Indonesia, No. 48, Th XV. Mulder Niel, 1999. Agama, Hidup Sehari-Hari dan Perubahan Budaya: Jawa, Muangthai dan Filipina, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Naamin N, 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya. SPs-IPB (Disertasi). Paw J.N and Chua T.E, 1989. An Assessment of The Ecological and Economic Impact of Mangrove Conversion in Southeast Asia. Mar. Pillut. Bull. 20 (7). Pelras Christian, 2006. Manusia Bugis, Jakarta: Nalar Daftar Pustaka
215
Peluso Nancy Lee, 1990. Networking in the Commons: A Tragedy for Rattan Indonesia,, Indonesia No.25. Peluso Nancy Lee, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa, Jakarta: Konphalindo. Peluso, et al, 1996. Borneo People and Forest in Transition: An Introduction dalam Borneo in Transition; People, Forest, Conservation and Development. Oxford: Oxford University Press. Pemprop Kalimantan Timur, 1992. Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa. PKSPL IPB, 2002. Kajian Kegiatan Tambak Dalam Hubungannya Dengan Kegiatan Migas dan Lingkungan Hidup di Delta Mahakam (Laporan Akhir). Popkin Samuel L, 1986. Petani Rasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri. Purwanto Aji Semiarto dkk, 2003. Mencari Alternatif Ekonomi Lokal: Kasus Masyarakat Desa Sekitar Taman Nasional Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Depok: Lab. Antropologi Fisip UI. Putzel James, 2008. Land Reforms di Asia: Pelajaran di Masa Lalu untuk Pengembangannya di Abad 21. Dalam Reforma Agraria: Dinamika Aktor dan Kawasan. Penulis Peter Rosset, Klaus Deinenger, La Via Campesina, dkk. Yogyakarta: STPN. Rachim AB. Abdul, 1995. “Hak Atas Tanah di Wilayah Kutai Kartanegara Sejak Zaman Kerajaan Sampai Dengan Zaman Republik Indonesia”, dipresentasikan dalam Temu Wicara Antara Pejabat Pemerintah dengan Kepala-Kepala Adat dan Para Pemuka Masyarakat Kalimantan Timur di Samarinda: 19 Januari 1995. Rachman Noer Fauzi, 2012. Land Reform Dari Masa Ke Masa, Yogyakarta; Tanah Air Beta. Rachmawati L, Fitranita, D. Harfina, L. Nagib, D. Hidayati, Nawawi dan B. Nugroho. 2003. Nilai Ekonomi Mangrove dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Mangrove di Delta Mahakam. Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Redfield Robert, 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: Radjawali.
216
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Ruf Francois, 1991. Cocoa Boom, “Smallholders Cocoa in Indonesia: Why a Cocoa Boom in Sulawesi?”, International Cocoa Conference, Challenges in the Nineties, Kuala Lumpur, 25-8 September 1991 Sajogyo, 1981. “Agricultural and Economic Policies”, makalah pada Seminar Rural Development and Human Right in South-East Asia. Penang: ICJ/CAP. Scott James C, 1994. Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta; LP3ES. Scott James C, 2000. Senjatanya Orang-Orang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor. Seda Francisia S.S.E, 2001. Petrolium Paradox: Natural Resources and Development in Indonesia 1967 – 1999. A Dissertation at The University of Wisconsin – Madison Selo Soemardjan, 1984. Land Reform di Indonesia. Dalam Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa (Penyunting Sediono MP. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Simarmata Ricardo, 2008. ”Hutan, Migas dan Udang: Proses Pembentukan Pengaturan Tenurial di Delta Mahakam”. Makalah dalam Konferensi Antar Universitas Se-Borneo Kalimantan Ke-4, bertema ‘Transformasi Sosial Masyarakat Pedesaan dan Pesisir Borneo-Kalimantan: Menangani Isu-Isunya’, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman, bekerjasama dengan Universiti Malaysia Serawak, Universitas Tanjungpura dan Universitas Lambung Mangkurat, 24-25 Juni 2008. Sitorus Felix MT, 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba. Bogor: SPs-IPB (Disertasi). Soekarno, 1945. Pidato pada Sidang Pertama BPUPK 1 Juni 1945 tentang Dasar Negara. Disusun oleh RM. AB. Kusuma dalam Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI. Soepomo, 1945. Pidato pada Sidang Ketiga BPUPK 31 Mei 1945. Disusun oleh RM. AB. Kusuma dalam Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI.
Daftar Pustaka
217
Soetarto Endriatmo, 2006. Elite Versus Rakyat: Dialog Kritis dalam Keputusan Politik di Desa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Soetoen Anwar, 1979. “Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kutai dan Beberapa Faktor Yang Mempengaruhinya”, dalam Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Soewito Dkk., 2011. Perikanan Indonesia: Masa Lalu, Kini dan Masa Depan. Jakarta: Yasamina Strauss Claudia and Quinn Naomi, 1997. A Cognitive Theory of Cultural Meaning. Cambridge: Cambridge University Press. Suadi 2008. Refleksi 50 Tahun Hubungan Ekonomi Indonesia- Jepang dalam Sektor Perikanan. Jakarta: Inovasi Vol. 11/XX/Juli 2008. Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Surachmat, 1999. “Salinity of the Modern Mahakam Delta, East Kalimantan” dalam Berita Sedimentology No. 12. Syahrani D, 2004. Mengenal Kawasan Delta/Pulau di Muara Mahakam dan Permasalahannya. Tajerin dan Muhammad Noor, 2004. “Daya Saing Udang Indonesia di Pasar Internasional” dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 9 No. 2 Desember 2004 Tanaka Koji, 1986. “Bugis and Javanese Peasants in the Coastal Lowland of the Province of Riau” dalam Tsuyoshi Kato, Muchtar Lutfi and Narifumi Maeda (eds.), Environment, Agriculture and Sosciety in the Malay World. Coseas, Kyoto University. Tauchid Mochammad, 1952. Masalah Agraria: Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia. Djakarta: Penerbit Tjakrawala. Tsing Anna Lownhaupt, 1998. Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tsing Anna Lownhaupt, 2005. Friction: An Etnography of Global Connection. New Jersey: Princeton University Press.
218
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
UNDP-FAO, 1990. Proceedings. Shrimp Culture Industry Workshop. Jepara (Indonesia): 25-28 September 1990. Vandergeest Peter and Nancy Lee Peluso, 1995. Territorialization and State Power in Thailand. Theory and Society 24 Vayda, Andrew P dan Sahur Ahmad, 1996. Pemukim Suku Bugis di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur: Dahulu, Sekarang dan Beberapa Kemungkinan untuk Masa Depan Mereka, CIFOR Bogor: Rutgers University (New Brunswick, NJ) dan Universitas Hasanuddin. Walinono Hasan, 1979. Tanete: Suatu Studi Sosiologi Politik, Ujung Pandang: Unhas. Winarno Yunita dan Choesin Ezra, 2000. Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial: Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan. Makalah dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia I, Univ. Hasanuddin, Makassar, 1-4 Agustus. Wiradi Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Yogyakarta: INSIST Press.
Daftar Pustaka
219
Indeks
A ABRI 56 Acciaioli 72, 99, 171, 211, 72, 99, 171 ADB 128 Adham 28, 29, 40 Adri 8, 9 Agrarisch Besluit 43, 44 Agrarische Wet 3, 44 Aji Bhatara Agung Dewa Sakti 28 Aji Dipati Tua 29, 31 Aji Meja bin Lataddaga 71 Aji Muhammad Aliyeddin 29 Aji Muhammad Muslihuddin 29, 33, 40 Aji Muhammad Parikesit 47, 50 Aji Raden Afloes 51 Aji Raden Padmo 53 Aji Sultan Muhammad Sulaiman 44 Aliansi Manado 128 ALKI II 19 Amerika Serikat 124, 149 Amin 28, 29, 40, 41, 43, 45 Andaya 70, Anggana 16, 21, 24, 25, 36, 114, 158, 177 Indeks
api-api 167 A.P. Kartanegara 51 Arung Matoa Wajo 84 Aru Panekki 31 ASEAN 56, 149, 150 A. Wahab Syahranie 54 Awang 13 Ayodhyoa 123 B BADP 128 Bajo 34, 35, 73 Balikpapan 19, 20, 40, 44, 45, 49, 52, 54, 55, 119, 158 Barber 68, 182 Barbier 187 Barong Tongkok 54 Bataafsche Petroleum Maatschapij 18, 34, 45 Bekapai 58 Belanda 28, 30, 31, 32, 33, 34, 40, 43, 44, 45, 49, 50, 51, 56, 58, 70, 71, 72, 119 beras 34, 56, 158, 159 Berau 21, 29, 51, 52, 119, 163 Berger 161 Bestuurcollege 51 bioecoregion 14
221
Blaikie 8, 13, 14 Blok Mahakam 20, 21, 22, 23, 58, 59, 66, 67 Bonanza Migas 58 Bontang 19, 20, 21, 35, 40, 73, 119, 158 boom coklat 158, 159 Booms 162 boom udang 38, 152, 154, 159, 165 Bourgeois 33, 39, 154, 178, 179 British Petroleum 58 Brown 13 Bryant 134 Budiman 147 Bugis generasi pertama 97 Bugis Talake 71 Bullen 205 Bulungan 50, 51, 52 C Cappaya ri Bongaya 70 Chatterjee 5 Choesin 186 Chomitz 11, 12 Cina 119, 145, 176 Collier 201 common pool resource 14 Compagnie Francaise de Petroles 58 concessie 44 Continental 58 Cox 187 D Daedjat & Sons 122 Dalton 30 Damanhuri 56 Darul Islam 85 Delineasi 25 Demang Sungai Tiram 46 222
D e p a r t e m e n Ke l a u t a n d a n Perikanan 25 Depdagri 23, 25 Dephut 39, 57, 166 Desa Kutai Lama 29 Desa Sepatin 32, 136 de Soto 203 Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur 50, 51 Dharmawan 69 dispossession 11 Djamali 18 domeinler 43, 44 Dove 14 Dutrieux 24, 163 dyadic 91 E Enci Muhammad Tayib 28 encountering 9 E&P Indonesie 58, 66 erfpacht 44 Eropa 44, 45, 55, 118, 147, 149, 150 Eve and Guigue 18 Everard Christian Frederick Happe 43 Expan 18 F fan-shaped lobate 17 FAO 127, 128, 149 Farid Ali 118 Faried 85 FinaElf Indonesie 18, 19 Finalelf Indonesie 59 free-rider 205 G Geertz 201 Goa 31
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Golkar 56 Gunung Tabur 50, 51
ISI 56 IUPHHBK 204
H Hadiz 175, 215 Haji Maming 142, 143, 168, 175 Haji Muhiddin 161 Haji Onggeng 143, 167, 168, 169, 175 Haji Saraping 129, 161 Haji Yusuf 144, 145 hak apanage 48 hak erfacht 48 Hak Pengusahaan Hutan 58 Hall 11 Hamid Abdullah 88 Handil 20, 34, 35, 58, 144 Hardin 178 HGU 204 Hindia Belanda 28, 30, 31, 32, 33, 43, 44, 45, 49, 50 HMN 3 Hollestelle 51 Hongkong 119, 124 Husken 201 hutan Bakau 18 hutan nipah 18, 144
J Jaitan Layar 28 James Erskine Murray 31 Japex 58 Jepang 4, 21, 46, 49, 50, 55, 56, 58, 59, 49, 114, 85, 114, 115, 117, 118, 119, 124, 145, 147, 149, 198 Jhamtani 181 J.H. Menten 44, 45 Jolo dan Sulu 30, 31 Juliani 129, 131, 132
I IBRD 127 IGGI 56 Illegal Fishing 62 illegal logging 9 Indra 131 Inggris 14, 30, 31, 58 Inpex 21, 22, 23, 58 Intam 64, 127 INTAM 127 interstitial space 9 IPE 56 Ishak 13 Indeks
K Kabupaten Pantai 54 Kabupaten Paser 40 Kabupaten Penajam Paser Utara 40 Kahar Muzakkar 35, 73 Kampung Pemangkaran 70 Kartodiharjo 181 KBK 10, 12, 14, 39, 64, 65, 67, 98, 134, 135, 166, 182, 183, 189, 198, 200, 203 KBNK 12 Kelling 83 Kerajaan Banjar 28, 29 Kerajaan Bone 31 Kerajaan Demak 29 Kerajaan Kutai Martapura 29 Kerajaan Paser 71 Kerajaan Pasir 29 Kesultanan Kutai 30, 31, 40, 41, 42, 44, 45 Kinseng 170 Knight 201 Koetei Exploratie Maatscappij 44 konfrensi Malino 50 223
L La Galigo 80, 82, 83 Laksamana Yatijan 118 La Ma’dukelleng 70 La Maraja 71 La Mellong 82 land clearing 103, 167 landreform 181 Landschap Kutai 43 LAPI-ITB 24 lapong Pulando 82 La Pudaka 82 La Sallomo 82 La Taddampare’ 84 Lenggono 10, 32, 33, 39, 73, 75, 89, 100, 132, 142, 143, 163, 194 Letnan Laut D’Hooft 32 Levang 46, 52 Li 5, 6, 9, 68, 182 Lindblad 18 Lineton 73, 88, 171 LKMD 144, 145 LNG 19 Lombard 56, 59 low enforcement 61, 135 Lusi Fauziah 121
Maifiansyah 141 Majapahit 28, 29 Malaysia 36, 52, 54, 56, 119, 131, 158 ma’pulando’ 82 Marangkabo 83 Marhaenisme 118 Martusobroto 131 Mather 174, 175 Mathilda 44, 45 Mattulada 81, 161 Megenda 45 Mekkah 84 Melayu Kutai 30 M. Hatta 2 migran pendatang 97, 165 Mitsui Bussan 114, 119 MSY 130 Muara Badak 16, 20, 21, 24, 25, 34, 35, 133, 158 Muara Bayur 32 Muara Jawa 16, 20, 21, 24, 25, 35, 36, 55, 158, 175, 177 Muara Jawa Tengah 24 Muara Jawa Ulu 24 Muara Kembang 24, 144, 145, 157 Muara Pantuan 24, 32, 34, 35, 46, 62, 73, 75, 111, 125, 132, 134, 142, 143, 168 Muara Sungai Mahakam 28, 32 Mulder 99
M Mac Andrew 153 macca 81 Mackie 11 MacKinnon 18 Magenda 30, 45, 57 Mahakam Hulu 45 Maharaja Dharma Setia 29
N Naamin 131 Nanyo Ringyo Kabushiki Kaisa 46 Nasalis larvatus 18 Negara Federasi Kalimantan Timur 50, 51 Neo Swapraja Pasir 50
kopra 157, 158, 159 Korten 178, 187 Kotabaru 114 Kyusu 58
224
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
NV. Seliman Hout et Landbouw Maatschappij 46 nyorong 109, 112 Nyorong 109 O ODA 114 Onyx 205, 213 Orde Baru 11, 54, 55, 56, 74, 114, 115, 126, 127, 152, 201 Orde Lama 114 over fishing 130, 153 P pakeang woroane’ 82 Pamalayu 28 Pamangkaran 32, 33, 34, 71, 73 paneus monodon 18 pang’elli dara 83 Pangeran Samudra 28, 29 Pangeran Sinum Panji 29, 40 Pangkajene 34, 73 Pangkal Pinang 50 Panitia Agraria Yogya 3 Panitia Jakarta 3 Panitia Suwahjo 3 panngaderreng 81 Panngaderreng 81 panrita 81, 84, 85 passe’ 85, 88, 89, 90, 93, 160, 197 Passe’ 85, 89 patola 83 patron-clients 88, 99, 117, 155, 171, 205 Paw and Chua 131 Pelindo Raya 114 Pelras 30, 80, 81, 88, 89, 97, 156, 160, 206 Peluso 6, 7, 8, 13, 14, 166, 167 Pemarangan 29, 33 Indeks
pemerintahan swapraja 43 peneresan 108 Penguasa Perang Daerah 53 Penjawat 47, 48 Perang Tembak Maris 32 Pertamina 18, 23, 58 petty bourgeoise 173 Philipina Selatan 29, 33 PKSPL-IPB 24, 101, 167, 179 PMA 59, 114, 115, 145 PMD 23, 25 PMDN 59, 60, 115, 145, 176 pond encroachment 164 Popkin 90 Poulantzas 173 pragmatic motive 161 Prancis 21, 22, 58 private sectors 13 Program Udang Nasional 64, 126, 129, 133, 153, 181, 197, 198 Prona 135, 136 Pua’ Ado 70 Pua Adu 31 Puang ri Ma’galatung 84 Pulau Lingga 30 Purwanto 13 Putri Karang Melenu 28 Q Quinn 187 R Rachim 41, 47 Rachman 3 Rachmawati 18, 177, 218 Raja Kartanegara 28 Rancangan Sudjarwo 3 Rancangan Sunaryo 3 rapang 81 RDTR 25 Redfield 218 225
Republik Indonesia Serikat 51 rodi 42 Rondschrijven 47 Royal Dutch 18, 34 Roy Huffington 58 Ruf 158 S Sajogyo 182 Saliki 24, 34 Samarinda 19, 30, 31, 32, 34, 35, 40, 45, 46, 49, 52, 54, 55, 31, 59, 55, 70, 73, 74, 75, 78, 119, 122, 123, 133, 136, 158 Sambaliung 50, 51 Samboja 16, 18, 25, 34, 54, 55, 158 Sanga-Sanga 16, 20, 21, 25, 33, 44, 45, 55 Sangkulirang 46 Saudagar George Peacock King 32 Sawerigading 80, 82, 84 Scott 91, 207 Seda 13 Selat Makassar 30, 34, 60 self defence 109 Sertifikat Kelayakan Pengolahan 122 Shell 18, 34, 58 Simarmata 57, 58, 65, 68, 136, 139, 141, 183, 184 Singapura 30, 147 Singosari 28 sinkretisme 80 Sinkretisme 80 siri’ 71, 80, 83, 84, 85, 88, 89, 93, 94, 156, 160 Siri’ 80, 88, 93 Sitorus 147, 148, 219, 228 Soekarno 2, 55, 207 226
Soepomo 2 Soetarto 126 Soetoen 53, 54, 57 Soewito 61, 115, 124, 149, 150 Sosronegoro 41 Spanyol 30 SPPT 139, 141, 144, 168, 169 Sri Paduka 47 stock assesment 124 Strauss 187 sugi’ 81 Suhardjo 53 sulapa’ eppa’ 81 Sultan Abdurachman Alamsyah 71 Sultan Aji Muhammad Parikesit 47 Sultan Aji Muhammad Sulaiman 45 Sultan Ibrahim Khalihudin 71 Sultan Idris 70 Sultan Muhammad Ali Alamsyah 71 Sultan Muhammad Salehuddin 32 Sultan Paser 70, 71 Sultan Sulaiman 43 Sultan Suriansyah 29 Supriharyono 131 Swaparaja 45 Swapraja Kutai 49, 50, 51, 52 Syahbandar Samarinda 31 Syahrani 24 T Taiwan 4, 147, 148 taken for granted 7 Talake 70, 71, 73, 158 Tambak Inti Rakyat 128, 133 Tambora 20, 59 Tanah Hoema 41
Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
Tanah Limpah Kemoerahan 41 Tanah Pengempoean 41 Tanah Tajaran 41 Tanaka 156 Tanjung Pimping 144 Tanjung Tengah 32 Tata Guna Hutan Kesepakatan 65, 181, 183 Tauchid 41 Taufik Abdullah 40 tau llao sala 84 tausuk 30 Tawau 52 Teluk Ladang 35, 46 Tenggarong 29, 33, 45, 47, 52, 53, 54, 78 Tepian Batu 29, 33 Tetet Sajimin 118 Thailand 187 the will to improve 5 Thomas Stamford Raffles 3 Tim CSIS 56 Tim Habibie 56 Tim Sumarlin 56 Tim Widjojo 56 TKR 85 Toho Bussan Kaisha 114 Total 18, 19, 21, 22, 23, 58, 59, 66 TPI 150 trawl 10, 37, 61, 62, 63, 64, 75, 98, 115, 117, 120, 121, 123, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 133, 152, 153, 155, 158, 161, 183 Trawl 62 trickle down effect 13 Tsing 9
Ulu Mahakam 54 UNDP 23, 25, 128 Union Oil 58 UNOCAL 18 USA 58, 124 UU Beraja Nanti 40, 41 UUD Panji Selaten 40, 41 UUPA 3, 4, 5, 53 V Vandergeest 6, 7 Van Leur 42 Van Mook 50, 51 Vayda dan Sahur 73, 99, 193 VICO 18 Vierkante-Pall 45 W Wadley 8 Wajo 31, 34, 70, 71, 82, 83, 84, 98, 158 Walinono 88 warani 81, 82, 85 wari’ 81 Westerling 85 We Tenriabeng 84 White 112 WHO 149 Winarto 186 Wiradi 3 World Bank 11 Y Yamaka 46 Z Zwager 30, 40
U udang windu 109, 133, 145, 146, 147, 152, 179, 191, 197 Indeks
227
Profil Penulis
P. Setia Lenggono, memperoleh pendidikan dasar, hingga menengah di Samarinda dan menyelesaikan pendidikan S1 di Prodi Sosiatri, Jurusan Sosiologi – Fisip, Universitas Mulawarman pada 1996. Merampungkan pendidikan S2 di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB di awal 2004 dan menyelesaikan Program Doktoral pada 2011 di Program Studi Sosiologi Pedesaan di tempat yang sama. Sejak 1993 terlibat aktif dalam berbagai kegiatan advokasi dan pendampingan masyarakat lokal di Kaltim bersama sejumlah NGO, hingga “tersesat” menjadi pegawai swasta rendahan dan partisan di awal reformasi. Pada 2000 memutuskan kembali menjadi aktivis NGO, peneliti di “Pokja Kajian Agraria” PKA LPPM-IPB sejak 2007 dan pendidik di Universitas Trilogi-Jakarta pada 2013. Selain fashih dalam berbagai kegiatan penelitian yang dilakukan lembaga intra kampus dan sebagai praktisi profesional, penulis saat ini dipercaya sebagai Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila, Universitas Trilogi. Sejumlah buku, diantaranya; “Dekonstruksi Kebijakan Hak Ulayat Laut” dalam buku Menggugat Kebijakan Agraria (2005); “Paradigma Penelitian Konstruktivisme” dalam buku Metodologi Penelitian Sosiologi Pedesaan (2005); dan “Kedaulan Lokal: Pengalaman Empiris Melaksanakan Pilkada Langsung Pertama di Indonesia” (2006), berhasil diselesaikan dimasa-masa awal studi S3.
Profil Penulis
229