e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 Manifesto Menolak OSPEK
S
aya, Dhuha Ramadhani, mahasiswa FISIP UI, menolak seratus persen (100%) kegiatan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus, atau yang biasa
kita kenal dengan singkatan OSPEK; saya menolak 100% OSPEK dalam bentuk apa pun, dalam istilah apa pun, dalam format apa pun, atau yang hadir dengan dalih apa pun, yang diselenggarakan oleh siapa pun, dan di mana pun, termasuk di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Penolakan ini berdasarkan kenyataan bahwa sejak dahulu hingga hari ini, OSPEK hanyalah konsep pembenaran semata atas praktik-‐praktik kekerasan! OSPEK adalah salah satu wujud dari tindakan dan kejahatan kekerasan, baik fisik maupun psikis. OSPEK adalah wujud dari tindakan diskriminasi! OSPEK melanggengkan ketidaksetaraan, karena dalam format apa pun ia akan tetap melestarikan hubungan senior-‐junior, dan dengan sendirinya menjaga suatu situasi yang penuh dengan intimidasi, baik langsung ataupun tidak. Hanya kepada niat dan aksi penolakan 100% terhadap OSPEK-‐lah kita akan terbebas dari belenggu-‐belenggu kekerasan itu. OSPEK secara prinsipil melanggar nilai-‐nilai egalitarian yang seharusnya diproduksi oleh lingkungan pendidikan. OSPEK mutlak melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi. Motif dan modus OSPEK selalu berorientasi intimidatif meskipun tugas-‐tugas yang diadakan dalam kegiatan-‐kegiatan OSPEK itu menggunakan wajah pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tindakan melakukan tugas-‐tugas itu dalam kerangka OSPEK sudah pasti tidak didasarkan oleh kebebasan berpikir dalam hal pengembangan ilmu
1
e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 pengetahuan. Tindakan-‐tindakan seperti itu berbeda nilainya dengan kewajiban seorang mahasiswa dalam mengikuti kuliah umum yang memiliki hubungan dengan pelunasan SKS, dan berbeda juga dengan kesadaran mahasiswa yang mendatangi sebuah simposium akademik yang diselenggarakan oleh lembaga-‐lembaga pendidikan atau lembaga-‐lembaga penelitian yang memiliki status legal di mata hukum, ataupun diskusi-‐diskusi alternatif yang diselenggarakan oleh organisasi-‐organisasi masyarakat yang lebih mengutamakan hubungan pertemanan daripada sekadar ancaman seorang senior. Meminjam pemaparan Mustofa (2010), kekerasan adalah sesuatu yang memiliki konteks. Dari segi pengertian dasarnya, konsep “kekerasan” tidak dapat secara serta merta dianggap sebagai bentuk kekerasan atau kejahatan kekerasan dalam konteks tertentu. Di satu sisi, kekerasan adalah tindakan agresi yang dapat dilakukan oleh setiap orang, yang diperlukan untuk bertahan hidup. Misalnya, tindakan memukul atau menendang sebagai mekanisme mempertahankan diri untuk tidak menjadi korban pelaku begal di jalanan. Dalam konteks tersebut, tindakan-‐tindakan kekerasan dapat dilihat sebagai tindakan yang normal. Namun, dalam konteks lain, tindakan-‐tindakan kekerasan dapat pula merupakan tindakan yang menyimpang. Kenormalan atau penyimpangan dari tindakan-‐tindakan kekerasan tergantung pada keadaan ketika tindakan tersebut dilakukan. Situasi dalam keadaan tersebut bisa saja sederhana atau memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Sebut saja tindakan memukul dalam duel satu lawan satu, hingga tindakan menekan tombol hulu ledak nuklir lintas benua (Mustofa, 2010). Tapi kekerasan tidak hanya berhenti pada fisik; faktor-‐faktor apa pun yang memunculkan situasi intimidatif, inferioritas, ketidakbebasan, dan ketidakleluasaan pada diri seorang atau sekelompok orang, adalah juga bagian dari kekerasan; termasuk
2
e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 kekerasan verbal, kekerasan psikis, ataupun kekerasan dalam hubungan interaksi maupun dalam ruang lingkup pertemanan dan kerja. Dalam OSPEK, segala bentuk tindakan oleh senior-‐senior—baik yang menjadi panitia maupun yang tidak—saya katakan sebagai tindakan menyimpang, karena melukai nilai-‐nilai moral dan etika. Sekali lagi, OSPEK ataupun senioritas adalah bagian dari tindak kekerasan, yang secara tidak langsung akan bisa mengarahkan kita kepada tindakan kejahatan atau penyimpangan. Batasan apakah suatu tindakan dapat dianggap sebagai kekerasan, menurut Profesor Mustofa adalah “setiap tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau ancaman untuk bertindak yang ditujukan untuk menyebabkan atau akan menyebabkan orang lain merasa ketakutan, merasa kesakitan, menderita perlukaan fisik, dan kematian,” dan juga segala hal yang memaksa, atau membuat seseorang melakukan tindakan tanpa didasari oleh kemauannya sendiri. Itu semua adalah juga kekerasan, terlebih jika paksaan itu bukan dalam konteks peraturan kampus yang sah secara hukum. Dalam Pengantar Legal dan Formal yang dibuat oleh Divisi Acara PSAK FISIP UI 2017 (saya adalah salah satu di antara anggota panitia itu) telah dinyatakan bahwa mengikuti acara PSAK bukanlah sebuah kewajiban, namun bagi saya pernyataan tersebut tidaklah cukup untuk mengubah secara struktural maupun kultural pola pikir umum yang selama ini telah membiarkan kelestarian tradisi untuk mengikuti acara-‐acara yang sesungguhnya memaksa secara kultural itu. Tindakan menakut-‐nakuti dan ancaman, paling sederhana tergambar dalam aksi bullying atau perundungan. Ironisnya, isu-‐isu anti perundungan, atau katakanlah isu-‐isu yang menyangkut pengakuan martabat kemanusiaan, sering kali digunakan sebagai teori-‐teori atau pembenaran-‐pembenaran guna mengemas OSPEK sehingga tampak lebih humanis. Tapi dalam praktik-‐praktiknya, tindakan-‐tindakan yang bertentangan dengan semangat anti kekerasan itu masih ada. Ada dan terkemas rapi dalam
3
e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 bentuk peraturan-‐peraturan dan sanksi-‐sanksi yang menyertainya. Ia tidak akan pernah lepas dari OSPEK. ***
S
aya menyatakan kekerasan tidak akan pernah bisa lepas dari OSPEK dalam
posisi dan status saya sebagai Koordinator Acara PSAK FISIP UI 2017.
Sampai hari ini, upaya-‐upaya saya untuk melakukan penghapusan potensi-‐ potensi kekerasan, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan simbolik dalam konteks OSPEK FISIP UI, tidak berhasil. Dalam kapasitas saya, saya tidak mampu menghapus peraturan-‐peraturan yang diskriminatif kepada peserta dalam pelaksanaan PSAK mulai dari 14 Agustus 2017 hingga 19 Agustus 2017. Saya tidak berhasil menghapus peraturan “berseragam”, “baris-‐ berbaris”, dan atribut-‐atribut tidak berguna lainnya (dan tidak mengandung korelasi apa pun dengan kualitas akademik), serta hal-‐hal lain yang meletakkan mahasiswa FISIP UI 2017 dalam posisi yang di-‐subordinat-‐kan, berada di bawah para panitia pelaksana acara OSPEK. Sulit dinafikan lagi bahwa gestur merundukkan kepala dan memperlebar atau mempercepat langkah dari “mahasiswa baru” ketika lewat di depan/dekat seniornya yang menggunakan jaket kuning, adalah tanda yang dapat dibaca sebagai gestur-‐gestur ketakutan atas (potensi) opresi. Kepada para senior, entah beberapa saja atau mungkin banyak, akuilah bahwa ada semacam sensasi yang membuat kita tiba-‐tiba membusungkan dada, mengangkat dagu, dan memantapkan langkah, atau posisi duduk ketika beberapa mahasiswa (baru) yang mengenakan atribut-‐ atribut itu lewat di hadapan kita; itu adalah sebuah perwujudan relasi kuasa. Dampak lebih jauhnya, tentang bagaimana seragam dan atribut mampu memengaruhi perilaku seseorang, dapat kita tinjau bersama dalam penelitian Dr. Philip G. Zimbardo yang diangkat menjadi film The Stanford Prison
4
e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 Experiment (2015). Sampai hari terakhir persiapan acara utama OSPEK itu, saya tidak mampu mengubah keadaan itu. Maka lewat cara inilah kemudian saya hendak menegaskan bahwa hal-‐hal itu salah. Tentu ada banyak argumen yang berusaha membenarkan segala tindakan salah ini, tidak jarang argumen-‐argumen tersebut dengan begitu saja dapat diterima, termasuk oleh orang-‐orang yang merasa sudah terpelajar bahkan aktivis kampus anti pelanggaran HAM sekalipun. Situasi ini, bagi saya, terbentuk karena adanya proses normalisasi (oleh senior, dan oleh orang-‐ orang yang membiarkan itu) atas tindakan kekerasan. Semacam praktik feodalisme dalam definisi yang mengungkapkan bahwa, dalam suatu sistem sosial, terdapat perilaku mengagung-‐agungkan jabatan atau pangkat, bukan mengedepankan prestasi kerja. Ini alasan mengapa istilah senior alias “mahasiswa lama” dan junior alias “mahasiswa baru” masih laku dijual sebagai alat tukar kekuasaan. Siapa yang lebih berkuasa atas siapa. Kekerasan kemudian cenderung dilihat sebagai sesuatu yang wajar, dan tak jarang hal itu juga diamini oleh mahasiswa baru. Bahkan, lebih miris, pada tahun-‐tahun sebelumnya ada mahasiswa-‐mahasiswa baru yang menyayangkan ketiadaan kekerasan dalam proses OSPEK sebagai bentuk pendisiplinan. Pada titik ini, saya hendak menegaskan, tindakan kekerasan pada mahasiswa baru dalam proses ini tidak dapat dianggap wajar, apalagi dibenarkan, sama sekali. ***
L
ewat tulisan ini saya nyatakan bahwa saya menyesal karena saya sudah terlibat di dalam proses perumusan konsep itu selama hampir 4 bulan,
sejak tanggal 3 Mei 2017 sampai dengan tanggal 20 Juli 2017, untuk konteks pengadaan OSPEK tahun ini. Tapi sesungguhnya keterlibatan saya sudah ada
5
e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 sejak saya pertama kali masuk kuliah di Universitas Indonesia, ketika saya ternyata hanya menjadi makhluk yang mem-‐beo saja pada persoalan sistemik tersebut. Peran saya sebagai salah satu koordinator Divisi Acara bersama teman koordinator Divisi Acara lainnya yang bertanggung jawab untuk menghapustuntaskan persoalan ini, agaknya, terhambat oleh adanya perspektif yang mewajarkan fenomena semacam itu. Langkah-‐langkah penghukuman atas kesalahan yang dibuat-‐buat dan peraturan diskriminatif telah menjadi tradisi kekerasan dalam budaya OSPEK secara umum. Bentakan-‐ bentakan tak perlu (kekerasan verbal) diamini sebagai sesuatu yang wajar oleh para senior atas nama disiplin. Padahal, mereka-‐mereka itu belum tentu pernah mendapatkan pelatihan pendisiplinan, katakanlah, dari Kepolisian, TNI, atau ahli-‐ahli pendidikan kepemimpinan sehingga memiliki pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum. Dan tentu saja ini juga bukan berarti bahwa jika seseorang telah mendapat sertifikasi pelatihan, dia dapat begitu saja melakukan tindakan kekerasan secara sewenang-‐wenang. OSPEK, sudah pasti sewenang-‐wenang. Ospek adalah bagian lain dari praktik militerisme, dan militerisme adalah sesuatu yang sejak dahulu ditentang oleh kaum mahasiswa. Berbanding terbalik dengan divisi yang berurusan dengan kesehatan peserta OSPEK. Meskipun telah mendapatkan berbagai pelatihan yang berkaitan dengan bidangnya, tak secara serta merta mereka mengklaim dirinya telah memiliki kemampuan. Secara bijak mereka memutuskan untuk tak memberikan obat untuk diminum kepada peserta yang sakit melainkan mewajibkan peserta untuk membawa obatnya masing-‐masing, memilih untuk bekerja sama dengan Tim Bantuan Medis dan Klinik “Makara” Satelit daripada melakukan tindakan pertolongan langsung pada peserta. Namun begitu, bukan berarti pembelaan terhadap divisi kesehatan ini menjadi alasan yang bisa kita
6
e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 gunakan untuk membela OSPEK itu sendiri. Bagaimanapun, OSPEK harus 100% dihapuskan hingga ke aspek-‐aspek apa pun yang terlibat di dalamnya. Ketika saya menulis ini, saya sadar terdapat banyak kesalahan pada konsep-‐konsep yang diacu atau digunakan untuk mengadakan acara OSPEK, dan celakanya pada tataran yang substantif. Tentu tidak dapat dipukul rata keseluruhannya. Dengan kata lain, materi-‐materi pendidikan yang sesungguhnya penting untuk disebarluaskan, yang juga terdapat dalam PSAK FISIP UI 2017 teruntuk mahasiswa FISIP UI 2017, bisa tetap disampaikan TETAPI (HARUS) DENGAN METODE-‐METODE LAIN, BUKAN LEWAT OSPEK. Isu apa pun yang diangkat dalam OSPEK, terlebih yang berkaitan dengan kemanusian, menjadi tidak relevan, sebab konsep OSPEK tidak akan pernah melepaskan dirinya dari aksi kekerasan dan sudah pasti bertentangan dengan kemanusiaan. OSPEK selalu menandakan hubungan ordinat dan sub-‐ordinat; OSPEK selalu membawa ide-‐ide diskriminasi dalam rupa apa pun. Saya bukan sedang berniat untuk melepas tanggung jawab dalam menjalankan dan menuntaskan tugas sebagai Koordinator Acara PSAK FISIP UI 2017. Justru, apa yang sedang saya lakukan adalah hal yang paling prinsipil untuk mengembalikan jiwa kemanusiaan saya; dan lewat cara ini, saya hendak mempertanggungjawabkannya. Keterlibatan saya dalam merumuskan konsep-‐ konsep acara OSPEK di FISIP UI tahun ini ternyata tidak memungkinkan saya untuk menghapuskan segala potensi yang dapat berkontribusi bagi terjadinya pelanggaran kemanusiaan, yang dengan kata lain, keberlangsungan OSPEK itu justru akan menentang jiwa kemanusiaan saya. Sebelum OSPEK berlangsung, saya katakan sekali lagi bahwa konsep acara ini salah. Dan bisa jadi, kesalahan saya yang terlibat dalam aktivitas itu sesungguhnya tidak termaafkan. Akan
7
e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 tetapi, lewat usaha menginisiasi penerbitan manifesto ini, setidaknya saya bisa mengingatkan diri saya sendiri bahwa saya pernah melakukan kesalahan itu. Kepada mahasiswa FISIP UI 2017, saya sarankan untuk benar-‐benar mempertimbangkan dan mengritisi keterlibatan diri kita masing-‐masing di PSAK FISIP UI 2017. Sebab, apa yang akan kita hadapi dalam acara itu sesungguhnya melanggar prinsip kesetaraan. Lebih dalam lagi, ia mencederai jiwa kemanusiaan kita. Dan harus diakui, saya pun telah melakukan kesalahan itu. Cara saya untuk menebus kesalahan yang mungkin tidak tertebus itu, adalah dengan menyatakan ini, dengan membuat manifesto ini. Sebelum terlambat, saya menghimbau semua mahasiswa FISIP UI 2017, teman-‐teman baru saya, untuk melawan orang-‐orang yang suka melakukan tindakan kekerasan, melawan para senior yang melakukan tindakan kekerasan, bahkan kau mungkin perlu mengritik saya yang pada kenyataannya telah terlibat dalam mengonsep acara OSPEK itu. Teman-‐teman sekalian, mahasiswa FISIP UI 2017, tak perlu datang berseragam mengenakan seragam putih (walau hanya hari pertama), tanda nama (name tag), dan atribut diskriminatif lainnya. Semuanya tak lebih dari upaya penumpulan daya kritis; itu adalah pembodohan. Kekerasan juga bisa menjadi sesuatu yang adiktif. Perasaan tak senang karena telah mendapatkan kekerasan di hari ini bisa mengantarkan kita semua untuk melakukan kekerasan juga di masa depan. Bukankah seperti itu sesungguhnya budaya OSPEK itu diwariskan dari masa ke masa? Banyak yang berujar, “Tidak apa-‐apa jika keras sedikit, supaya ada cerita dan kenang-‐ kenangan!” Itu adalah pernyataan terkeji yang tampil dalam bentuk paling subtilnya.
8
e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 Saya justru memilih untuk memutus mata rantai tersebut, dan menyatakannya secara publik. Sikap diam saya, dan sikap diam kita semua, tidak akan menghentikan praktik itu. Apakah dengan manifesto ini, praktik-‐ praktik dan pola pikir berkandung kekerasan itu akan berhenti dengan seketika? Tentu tidak. Tapi, setidaknya lewat inisiatif ini, saya ingin menegaskan bahwa aktivisme untuk menentang OSPEK pernah ada di lingkungan pendidikan kita. Dan saya ingin menjadi bagian dari aktivisme itu. Kita harus menjadi bagian dari aktivisme itu! ***
D
alam TAP BPM FISIP UI Nomor 8/TAP/BPM FISIP UI/IV/2017 Tentang PSAK FISIP UI, tidak terdapat ketentuan tentang hak mengundurkan diri
dari struktur Panitia Pelaksana, kecuali diberhentikan oleh Ketua Pelaksana sebagai bentuk sanksi. Namun, dengan terbitnya manifesto ini, itu berarti saya tetap melakukan pengunduran diri dari struktur kepanitiaan OSPEK. Jika pun terdapat hak untuk mengundurkan diri, saya tidak akan mengambilnya sebagai sebuah hak. Bagi saya, dalam konteks ini, hal itu bukanlah hak, melainkan sebuah kewajiban; kewajiban sayalah untuk mengundurkan diri. Saya berkewajiban mengundurkan diri guna menegaskan jiwa kemanusiaan saya. MENGUNDURKAN DIRI DARI KEPANITIAAN OSPEK DAN SEGALA KEGIATAN YANG MENJURUS KE HAL ITU, ADALAH SEBUAH KEHARUSAN! Kepada teman-‐teman panitia OSPEK yang sejalan dengan ide ini, saya himbau juga untuk mengundurkan diri. Agaknya percuma jika kita mempelajari HAM, berdemo menentang pelanggaran HAM, membuat kegiatan Kamisan di kampus, terlibat dalam komunitas yang juga menentang hal yang sama, tapi di kampus kita sendiri, kita justru mengadakan atau membiarkan acara yang
9
e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 bernuansa pelanggaran atasnya. Marilah kita tunjukkan kepada siapa pun bahwa kita layak disebut sebagai kaum intelektual, yang bermartabat, yang beradab, yang bermoral, yang beretika, yang secara konkret mewujudkan nilai-‐ nilai kemanusiaan! Sekiranya teman-‐teman masih ingat, bulan Mei 2015 lalu di Kantin Takor, FISIP UI, terpampang sebuah banner bertajuk “Berpakaian Bagi Mahasiswa di Lingkungan FISIP UI”. Sontak saja banner ini diolok-‐olok dan menjadi bahan tertawaan kita semua, menjadi sasaran kritik kita bersama. Tetapi sekarang ini, kita justru membiarkan adanya praktik pemeriksaan tata berpakaian di OSPEK dengan ketentuan-‐ketentuan: “berpakaian tidak boleh ketat, tidak boleh menerawang, menutupi lutut, dll”, dan ditambah pula dengan penerapan hukuman jika melanggarnya. Camkanlah! Kita tidak punya hak mengatur cara berpakaian seseorang! ***
K
eterlibatan saya dalam PSAK FISIP UI 2017 awalnya berangkat dari niat untuk membantu mahasiswa FISIP UI 2017 agar mengenal kampus FISIP
dan dapat beradaptasi, sehingga teman-‐teman mahasiswa FISIP UI 2017 tidak mengalami culture shock, terlebih bagi teman-‐teman yang belum pernah merasakan kehidupan di perkuliahan dan ibukota sebelumnya. Tapi agaknya niat dan cara berpikir seperti itu adalah keliru. Oleh karenanya, lewat tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa, setelah dan selepas ini, saya akan belajar untuk menaruh kepercayaan yang sebesar-‐besarnya kepada teman-‐teman baru kita bahwa mereka mempunyai otak yang cerdas dan memiliki kemampuan adaptasi yang baik; mereka pasti akan menemukan cara berkehidupan di kampus dengan baik pula, lewat cara mereka sendiri, lewat kesadaran mereka
10
e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 sendiri, dan tanpa perlu kita ajar-‐ajari. Siapalah kita, para mahasiswa lama yang kebetulan lebih dulu ada di kampus, dengan pongah dan berlagak pintar malah mengajar-‐ajari mereka (dengan cara yang salah dan isi yang salah pula), padahal IPK kita masih begitu-‐begitu saja. Jikalau ada yang memiliki IPK bagus, betapa ironisnya jika dirinya juga masih melakukan hal-‐hal yang melanggar kemanusiaan itu. Kemudian apa yang kita pelajari selama ini? Jangan-‐jangan, selama ini status kita sebagai mahasiswa masih simbol belaka. Lagipula, kampus sudah memiliki fasilitas dan program informasi yang cukup baik, kampus punya website, punya staf-‐staf di rektorat, dekanat, hingga di jurusan yang bisa ditanya dan seterusnya. Teman-‐teman baru kita itu tentunya nanti akan tahu dengan sendirinya di mana letak gedung A, gedung B, gedung C, dan lainnya. Kalau pun harus saling berbagi informasi, maka berikanlah informasi itu dengan cara yang lebih beradab dan relevan, bukan lewat cara memerintah para mahasiswa FISIP UI 2017 untuk melakukan baris-‐ berbaris, layaknya tentara, untuk menuju ke lokasi ini atau ke lokasi itu. Enyahlah argumen-‐argumen yang mengkhawatirkan bahwa “mahasiswa baru akan tersasar karena mereka malu bertanya”...! Meskipun masih dengan aturan harus mengenakan baju seragam, agaknya program OBM sedikit lebih patut dimaklumi. Panitia OBM meletakkan kepercayaan pada mahasiswa baru untuk menemukan ruang kelas tempatnya berkegiatan secara mandiri. Intinya, bukankah kesadaran dan kemandirianlah yang mesti kita bangun? Kesadaran untuk berinteraksi tanpa tertekan; kesadaran untuk bertanya secara sukarela; kesadaran untuk bertanggungjawab tanpa beban ketakutan akan kesalahan dan hukuman; kesadaran untuk belajar mendisiplinkan diri sendiri tanpa ancaman. Kita semestinya menumbuhkan kesadaran, bukan ketundukan! OSPEK tidak akan menumbukan kesadaran-‐
11
e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 kesadaran itu. Dan renungkanlah juga, bahwa jangan-‐jangan sikap apatis, pasif, dan tidak produktif yang selama ini menjangkiti kehidupan kuliah kita itu justru hidup karena sejak awal kuliah, kita semua diperkenalkan dengan kebodohan-‐ kebodohan dalam bersikap pada masa orientasi a.k.a OSPEK; bahwa jangan-‐ jangan sikap “menunggu perintah, bergerak karena diancam” itu, bisa jadi, telah menjadi kebiasaan, mulai dari sekolah tingkat menengah hingga perguruan tinggi. Kita harus melenyapkan semua kebodohan itu, mulai dari sekarang! ***
W
ahai teman-‐teman yang dalam hati nuraninya sejalan dengan gagasan ini, tetapi tetap memilih untuk bertahan dalam lingkaran-‐lingkaran
yang menyetujui atau membiarkan OSPEK (seperti misalnya tetap berada di kepanitiaan OSPEK FISIP UI), ingatlah bahwa kemunafikan adalah salah satu faktor yang menyebabkan kehancuran intelektual! Kesadaran memang sulit dibangun dengan serta merta, apalagi dipaksakan. Tapi bukankah lebih baik kita berhenti mengingkari hati nurani dan memilih untuk menyampaikan ide-‐ ide yang manusiawi?! Katakan hitam adalah hitam, katakan putih adalah putih! Menentang OSPEK adalah salah satu jalan penting untuk menjadi mahasiswa yang ideal. “Lebih baik diasingkan daripada mati dalam kemunafikan!”, kata-‐kata legendaris itu, kembali menemukan relevansinya pada hari ini! Dengan ini, saya tanggalkan jaket kuning dan segala atribut yang diperuntukkan guna memamerkan kesenioran saya, kebanggaan akan OSPEK, dan lainnya. Dengan ini, saya menyatakan bahwa saya lebih memilih jalur aktivisme yang menentang diskriminasi, yang berarti pula menentang OSPEK!
12
e·∙gal·∙i·∙tar·∙i·∙an No. 6, Juli 2017 Dengan ini, SAYA MENYATAKAN MUNDUR dari Kepanitiaan PSAK FISIP UI 2017 dan menarik diri dari segala hal yang berkaitan dengan itu. Bergembiralah kita dalam menyambut masa depan ketika para “junior” berhak, boleh, bisa, mampu dan berkemauan untuk membantah para “senior” dengan argumen yang kuat, tegas, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan secara objektif! Bergembiralah kita dalam menyongsong era di mana nanti akan ketahuan siapa saja “senior” yang tidak cerdas, yang tidak kuliah dengan baik, yang tahunya hanya bermain kata, tapi tidak paham teori dan praktik yang benar! Kepada mahasiswa FISIP UI 2017, sekali lagi, saya menyatakan permintaan maaf saya melalui tulisan ini. Dan saya menyerukan pembaharuan cara berpikir lewat manifesto ini! Kita harus mengimajinasikan dan lantas merealisasikan hari pertama kuliah yang tiada lagi menggunakan kata-‐kata “mahasiswa baru” sebagai pembeda “mahasiswa senior”; yang ada adalah TEMAN-‐TEMAN BARU YANG EGALITER, TEMAN-‐TEMAN YANG SETARA. Mari sambut teman-‐teman baru kita, dengan gembira! TEMAN-‐TEMAN BARU SESAMA MAHASISWA, BERSATULAH! HAPUSKAN OSPEK ITU! SECARA TOTAL KITA HANCURKAN, 100% KITA HILANGKAN! MUSNAHLAH OSPEK ITU SEPENUHNYA! Depok, 22 Juli 2017 Dhuha Ramadhani Egalitarian
13