Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
LEGITIMASI SOSIOLOGIS DAN LEGITIMASI ETIS HASIL PROSES DEMOKRASI Dirlanudin ABSTRACT Since the happening of year reform 1998 not yet signed the change of politics system which signifikan. Concept democratize to tend is used the way different by various group doing study from in perpective and for the aim of certain Democratize as mode select the politics leadership assumed precisely, seems still require to be searched by its modification. To realize the real democracy require to be supported with the following conditions: sum up the independent middle-weight of proportional, adequate economic institution and empowerment of effective law. The Quantitatively result of process democratize to own the sociological legitimize, but qualitatively not yet of course own the sociological legitimize. While ethical legitimize more to claiming the awareness of heartstrings human being and to place the moral values in process of attainment of power and also the use its power for society importance. Comparing above opinion with the field fact by a-priori, seems very difficult realize the meaning democratize truthfully, hence real democracy indeed only in the nature dreams. 1. Pendahuluan Tulisan ini di kemukakan sejalan dengan akan dilaksanakannya pemilihan umum tahun 2009 yang telah ditentukan partai peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat sebanyak 38 partai. Tulisan ini kiranya dapat mengingatkan kembali kita semua, sehingga masing-masing peserta pemilu, simpatisan dan
komponen masyarakat lainnya dapat menahan diri dari sikap dan perilaku yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mengurangi bahkan menodai makna demokrasi sesungguhnya, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Bahkan sedapat mungkin proses demokrasi yang dilaksankan
1
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
dapat dijustifikasi dari sudut legitimasih etis. Demokrasi sebagai salah satu cara mekanisme seleksi kepemimpinan politik sampai saat ini masih dianggap sangat tepat. Untuk mengimplementasikan proses demokrasi sebenarnya banyak model, sistem kepartaian hanyalah salah satu saja dari model tersebut, jika sekiranya para elit politik dan komponen masyarakat mau mengembangkannya. Sebagaimana kita maklumi bahwa sejak masa Pascarezim otoriter yang tumbang pada 21 mei 1998 tampak belum sepenuhnya ditandai oleh proses reformasi yang mengisyaratkan perubahan cepat kearah sistem politik demokrasi, salah satu ukuran keberhasilan Reformasi adalah terwujudnya idilogi demokrasi, demi keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, tetapi ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan masih sangat menonjol. Demokrasi bukan dewa yang serta merta dapat mensejahterakan dan memakmurkan masyarakatnya, tetapi masih perlu banyak persyaratan untuk mencapai hal itu, di antaranya: jumlah 2
kelas menengah independen cukup proporsional, pranata ekonomi memadai dan efektifnya penegakan hukum. Karena itu para elit politik, fungsionaris, partisipan partai maupun elemen masyarakat pada umumnya perlu memahami disertai kemauan untuk memaknai demokrasi bukan sebagai “tujuan”, tetapi sebagai “cara“ untuk menseleksi pemimpin yang berkualitas, sehingga mampu membuat kebijakan dan melaksanakannya dengan penuh ketulusan, serta menganggap kekuasaan sebagai amanah yang harus dijalankan untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT. 2. Fenomena Oligarki, Plutokrasi, dan Demagogi. a. Oligarki Menjelang pemilu 1999 sekitar 200 partai berdiri, dan hanya 48 partai yang lolos seleksi menjadi peserta pemilu. Dari 48 partai, hanya 10 partai meraih jumlah kursi yang signifikan. Hal ini terulang kembali ketika menjelang pemilu 2004, kurang lebih 200 partai didirikan , hanya 24 lolos menjadi peserta pemilu dan hanya 10 partai yang berhasil
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
meraih kursi. Memang sebenarnya jumlah partai peserta pemilu dengan ketentuan yang ada sudah terseleksi secara alami, yaitu berkurang 50 %. Ada kecenderungan sejumlah elite mendirikan partai bukan untuk kepentingan bangsa, tetapi lebih pada perburuan kekuasaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Syafii Ma’arif dalam harian Kompas (13 Pebruari 2003), bahwa ada pola hidup sebagian elite yang cenderung feodal dan memuja doktrin daulat tuanku, juga banyak umat yang sering dijadikan kuda tunggangan demi kekuasaan. Itu mengakibatkan banyak umat kehilangan semangat sebagai umat beragama. Di satu sisi masih banyak msyarakat yang bergumul dengan penderitaan dan kemiskinan, tetapi di sisi lain sebagian pemimpin malah meminta rakyat yang sudah menderita itu agar tetap berkorban, padahal pemimpin sendiri tidak menunjukkan contoh yang baik tentang pengorbanan itu bagi masyarakatnya.
Kultur elitis parpol yang tidak demokratis, gontokgontokan dan carut marut membuat partai politik tidak mampu melakukan fungsi pendidikan politik, merekrut kader menjadi negarawan dan mencegah korupsi, yang menentukan calon adalah kelompok oligarki. Hasil rekrut oligarki ini melahirkan anggota legislatif yang tidak profesional seperti pemalas menjalankan tugas, rajin berbisnis di luar yang terkadang menggunakan pengaruhnya sebagai anggota dewan, di samping sering terlibat konflik. Memang adanya konflik dan perbedaan yang menajam tersebut terkesan sejalan dengan prinsip demokrasi “Agreement to disagree”. Tetapi jangan lupa bahwa prinsip tersebut harus diimbangi dengan nilai- nilai pengendalian diri, disiplin bernalar dan bermoral. Nilainilai ini merupakan syarat mutlak dalam pengembangan sistem politik demokrasi modern. Sumber konflik di lingkungan legislatif harus dianalisis secara cermat dalam konteks pembangunan 3
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
politik di Indonesia. Salah satu aspek yang terkait dengan proses politik ini adalah aspek kultur kepemimpinan partai politik yang sampai sekarang ini belum mengalami perubahan signifikan yang mengarah pada pengembangan partai modern, yang mampu melakukan perubahan personal dan kultural di dalam tubuh partai (Kustigar Nadaek, dalam Harian Sinar Harapan, 16 mei 2005). b. Plutokrasi Pemerintah yang dikuasai orang-orang kaya sebenarnya bukan istilah baru, tetapi telah berkembang dan mewarnai manusia sejak mengenal pemerintahan. Istilah plutokrasi berasal dari kata Yunani. “Ploutos artinya kaya”, jadi semua kelengkapan politik maupun kebijakan pemerintahan di kuasai kelompok orang– orang kaya. Plutokrasi juga berkaitan dengan aristokrasi di jajaran pemerintahan, kemudian membentuk kelompok elite dengan menjadikan jabatan dan 4
posisi sebagai status sosial untuk memperkaya diri dengan menggunakan legitimasi kekuasan. Dengan kekayaan memudahkan untuk meraih pengaruh dan menentukan berbagai garis kebijakan yang menguntungkan posisi untuk berkorupsi dan berkolusi. Ciri tabiat mereka adalah mengembangkan usaha pribadi menggunakan legitimasinya di pemerintahan. Kelompok kaya ini mempengaruhi opini publik yang dapat mempengaruhi masyarakat luas untuk berpihak bagi kepentingannya. Secara implisit ada kecenderungan Negara mendiamkan berkembangnya sistem demokrasi partisan, membiarkan masuknya dana dari berbagai organisasi partisan seperti aliran dana dari para donatur baik perorangan maupun kelompok korporasi dengan sasaran menggolkan kebijakan politik yang menguntungkan mereka, sekali pun secara tidak langsung mempengaruhi pemilihan legislatif maupun eksekutif tetapi para donatur
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
sebagai kontributor punya pengaruh besar dengan politik uang mereka. Gejala kaum pedagang yang ingin menguasai pemerintahan guna mendominasi urat nadi ekonomi sudah mulai tampak. Pengertian kaum pedagang di sini umumnya adalah “middle-man”, maksudnya adalah penghubung antara produsen dan konsumen. Penghubung ini melayani kepentingan para plutokrat sebenarnya yang menjadi penyandang dana utama dan bermain di belakang layar. Mereka melakukan haad hunting, siapa saja yang potensial bagi kepentingan mereka. Dengan kekuatan uang, mereka dijagokan menjadi pimpinan untuk menguasai jabatan penting, yang kemudian menjadi alat dan pelaksana kepentingan plutokrat. Tersingkirnya menengah.
kelas
Semua praktik mereka ditutup dengan tameng lapisan kebijakan para eksekutif dan memperoleh hak istimewa yang di lindungi
oleh aturan pemerintah. Praktik korupsi plutokrasi sangat merugikan aset utama negara yaitu tersingkirnya kelas menengah yang menjadi motor demokrasi. Peranan mereka kian terpuruk dalam administrasi pemerintahan. Kelas menengah dan civil society porak poranda dalam mempertahankan nilai moralitas dan etika. Tambah berperannya kaum pedagang oleh plutokrasi di pemerintahan dikhawatirkan meningkatkan kondisi pasif di kalangan kelas menengah dan “golongan putih” yang sudah menggunakan hak suaranya dalam pemilu. Mengingat semua partai politik dan birokrasi pemerintahan sudah di pengaruhi politik uang para plutocrat (Harry Kawilarang, dalam Harian Sinar Harapan, 16 mei 2005 ). c. Demagogi Dalam sistem demokrasi ,menipulasi akan mendapat perlawanan sikap kritis, namun akan tetap mewarnai politik. Manipulasi menyusup ke dalam celah antara nilai, gagasan dan 5
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
opini. Penyusupan ini mau mengaburkan perbedaan antara nilai, gagasan dan opini sehingga tidak bisa di bedakan agar di terima sebagai fakta. Menipulasi masuk ke pikiran seseorang untuk meletakkan opini atau membangkitkan perilaku tanpa di ketahui orang tersebut bahwa ada pelanggaran. Keberhasilannya terletak dalam menyembunyikan maksud sesungguhnya dan strategi diam, maka manipulasi mengandaikan kebohongan yang diorganisir dan penghilangan kebebasan pendengar. Politisi cenderung bersembunyi di balik kalimat-kalimat kabur, kata-kata yang tidak pasti, untuk menghindar dari tuntutan penerapannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Jacques Ellul dalam Haryatmoko (Kompas, 25 maret 2006), bahwa informasi adalah sarana propaganda, dengan informasi, pencitraan dibangun. Pencitraan di buat sesuai dengan aturan demagogi yaitu menyesuaikan diri dengan 6
yang di harapkan atau ingin di dengar pemirsa. Realitas dikesampingkan untuk mengobok-obok perasaan dan pikiran pendengarnya. Demagogi adalah orang yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Ia adalah prototipe perayu massa. Politikus cenderung demagog. Ia bisa menyesuaikan diri dengan situasi yang paling membingungkan dengan menampilkan wajah sebanyak katagori sosial rakyatnya. Ia bisa menunjukkan berbagai peran sehingga membuat tindakannya efektif di dalam situasi yang beragam. Demagogi akan meyakinkan kepada pendengarnya bahwa ia berpikir dan merasakan seperti mereka. Ia tidak akan menegaskan pendapat pribadinya, tetapi pernyataannya mengalir bersama dengan pendapat pendengarnya. Demagogi mengandaikan kelenturan wacana. Kelenturan ini dibangun melalui khasanah politik yang ambigu supaya kata yang sama bisa ditafsirkan sesuai dengan
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
harapan pendengarnya. Demagogi semakin canggih dengan berkembangnya sarana komunikasi. 3. LEGITIMASI SOSIOLOGIS DAN LEGITIMASI ETIS Kata legitimasi berasal dai bahasa Latin: “Lex” artinya hukum. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya istilah legitimasi bukan hanya mengacu pada kesesuaian dengan hukum formal namun juga hukumhukum kemasyarakatan dan norma-norma etis. Padanan kata yang tepat untuk istilah legitimasi adalah “kewenangan atau keabsahan”. (Wahyudi, 2001: 41) Dalam sistem sosial ada orang-orang yang memiliki hak dan tanggung jawab yang lebih besar untuk bertindak yang menyangkut kehidupan orang-orang lainnya. Orang seperti ini yang disebut sebagai orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang mengambil keputusan. Dengan demikian kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk
mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. (Miriam, 1982: 35) a. Legitimasi Sosiologis Max Weber dalam Wahyudi (2001:42), mengemukakan adanya tiga corak legitimasi sosiologis melalui konsepsinya tentang “domination” dalam masyarakat. Pertama adalah kewenangan tradisional (traditional domination), bahwa kekuasaan untuk mengambil keputusan umum diserahkan kepada seseorang berdasarkan keyakinankeyakinan tradisional. Seperti, kekuasaan diserahkan kepada keturunan bangsawan tertentu. Kedua adalah kewenangan kharismatik, yang mengambil landasan pada kharisma pribadi seseorang sehingga ia dikagumi dan dihormati oleh khalayak. 7
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
Ketiga, kewenangan “legal-rasional” yang mengambil landasan dari hukum-hakum formal dan rasional bagi dipegangnya kekuasaan oleh seorang pemimpin. Kehidupan kenegaraan yang modern lebih banyak menggunakan konsepsi seperti ini. Aturanaturan yang ada dalam kewenangan legal rasional, baik dari segi isi maupun implementasinya harus benar-benar mengandung nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Kedua nilai ini dalam hukum formal harus saling menunjang. Hal ini sesusai dengan pendapat Robert Phillips (2003:46), bahwa keadilan (justice) dan kejujuran (fairness), memang ada perbedaan konsep, tetapi secara umum elemen dasarnya saling melengkapi, ada hubungan timbal balik. Orang tidak akan berbuat adil jika tidak jujur, sebaliknya seseorang sulit dikatakan jujur jika tidak adil. Bila kedua nilai ini tidak diterapkan secara benar dalam wewenang legal rasional, akan terjadi konflikkonflik dan disharmoni dalam masyarakat. 8
Dengan demikian legitimasi sosiologis menyangkut proses interaksi dalam masyarakat yang memungkinkan sebagian besar kelompok sosial setuju bahwa seseorang patut memimpin mereka dalam periode pemerintahan tertentu. Ini ditentukan oleh keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang melekat patut dihormati. Apabila bagian terbesar dari masyarakat sudah memiliki keyakinan tersebut maka kekuasaan itu dianggap absah secara sosiologis. Jadi legitimasi sosiologis mempertanyakan mekanisme motivatif mana yang nyata-nyata membuat masyarakat mau menerima wewenang penguasa. (Franz Magnis Suseno, 1987: 58) b. Legitimasi etis. Istilah etis merupakan bentuk sifat dari kata etika. Secara etimologis, kata etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang artinya kebiasaan atau watak (Wahyudi, 2001: 7). Dengan demikian menurut pengertian yang asli, yang
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
dikatakan “baik“ apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat. kemudian lambat laun pengertian ini berubah bahwa etika adalah ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang dinilai tidak baik. Menurut Costa (1998: 4), bahwa etika (ethic) mewakili lintas bagian spektrum sosial, ekonomi, menejerial dan kedudukan agama secara luas. Etika merupakan tanggapan atas tanda-tanda kondisi sosial tertentu atau tingkah laku manusia yang telah melekat sejak dari para pencipta pendahulu, yang orientasinya melakukan sesuatu dengan benar adalah suatu kekuatan yang menentukan dimensi sifat-sifat manusia. Legitimasi sosiologis melihat kewenangan atas kekuasaan berdasarkan kuat tidaknya kesepakatan yang terjelma dalam masyarakat, maka “legitimasi etis” melihat kesesuaian antara dasar-dasar kekuasaan itu dari sudut norma-norma moral. Legitimasi etis bukan
sekedar menyangkut opini masyarakat mengenai keabsahan seseorang dalam kokuasaannya, bukan pula hanya berkaitan dengan tatanan hukum tertulis yang berlaku di dalamnya, tetapi lebih dari itu ia mencoba melekkan prinsip-prinsip moral atas kekuasaan tadi. Beberapa ciri yang spesifik mengenai legitimasi etis: 1. Kerangka legitimasi etis mengandaikan bahwa setiap persoalan yang menyangkut manusia hendaknya diselesaikan secara etis termasuk persoalan kekuasaan. Jadi kedudukan seseorang yang berkuasa untuk mengatur perilaku orang lain harus benarbenar sesuai dengan nilai-nilai moral. 2. Legitimasi etis berada di belakang setiap tatanan normatif dalam perilaku manusia. Etika menjadi landasan dari setiap kodifikasi peraturan hukum pada suatu negara. (Wahyudi, 2001: 44) Etika tidak sematamata mendasarkan diri 9
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
pada pandangan-pandangan moral “de fakto” yang berlaku dalam masyarakat saja, maka legitimasi etis tidak akan pernah dibatasi oleh ruang dan waktu. Dari sini dapat ditangkap esensi paham ilmu etika mengenai kekuasaan. Bila pihak-pihak tertentu sudah mulai bersaing meraih kekuasaan dan merasakan pelbagai keuntungan dari kekuasaan itu, maka alasan-alasan pembenar (judgements) untuk mendudukinya sudah tidak murni lagi. Pembenaran-pembenaran itu mungkin sekali telah ditunggangi oleh berbagai bentuk kepentingan. Hanya dengan menakar alasanalasan pembenar itu melalui nilai-nilai moral yang terdapat dalam etika, kita akan mengatahuli besarnya legitimasi kekuasaan secara hakiki. 4. Gagasan dan Debat Demokrasi a. Gagasan demokrasi Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana kekuasaan terletak pada mayoritas rakyat dan pelaksanaannya dapat melalui pemilihan langsung 10
maupun melalui wakilwakilnya. Kekuasaan ini juga dilaksanakan dalam kontek jaminan atas hak-hak minoritas. Konsep “demokrasi” dewasa ini dipahami secara beragam oleh berbagai kelompok kepentingan yang melakukan teoritisasi dari perspektif dan untuk tujuan tertentu. Keragaman konsep tersebut, meskipun terkadang juga sarat dengan aspek-aspek subyektif dari siapa yang merumuskannya, sebenarnya bukan sesuatu yang harus dirisaukan, karena hal itu sesungguhnya mengisyaratkan esensi demokrasi itu sendiri yaitu adanya perbedaan pendapat. Pemutlakan sesuatu konsep tentang demokrasi, dengan demikian, dapat berarti a-demokratis. Dalam perspektif teoritis, demokrasi sering dipahami sebagai mayoritarianisme, yaitu kekuasaan oleh mayoritas rakyat lewat wakil-wakilnya yang dipilih melalui proses pemilihan demokratis. Dalam kaitan ini, apa yang diputuskan oleh kelompok mayoritas adalah kebenaran.
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
Betulkah bahwa kemayoritasan identik dengan kebenaran ?, M. Din Syamsuddin (2002: 34) berpendapat bahwa, dalam perspektif filosofis, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah negatif. Dalam hal ini, “apa yang disukai orang banyak” (preferred by most) tidaklah sama dengan “apa yang banyak disukai” (most preferred). Adalah mungkin terjadi bahwa “apa yang banyak disukai“ (di dalamnya mengandung kebenaran) tidak menjelma menjadi “apa yang disukai orang banyak” (di dalamnya mengandung kekuasaan). Oleh karena itu, kekuasaan tidak identik dengan kebenaran, seperti halnya kemayoritasan tidak identik dengan kebenaran. Proses politik acapkali membawa kekuasaan memutuskan kesukaannya tanpa memperhatikan kebenaran, apalagi jika proses politik itu sendiri dijalankan atas kesukaan kekuasaan. Dalam keadaan demikian, kekuasaan dalam arti kemayoritasan sekalipun menjadi tidak demokratis. b. Debat Demokrasi
Filsafat politik demokratis, menyediakan suatu kerangka prosedural tempat setiap orang berusaha mewujudkan konsep pribadinya dalam kehidupan. Debat sebagai konfrontasi terhadap ide dan keyakinan yang berlawanan untuk mendapatkan keputusan, merupakan prosedur fundamental. Demokrasi merupakan komitmen terhadap “cara”, bukan “tujuan”, menurut Dennis D. Day dalam Johannesen (1990: 32). Masyarakat demokratis menerima tujuan tertentu, misalnya keputusan, karena mereka telah sampai pada tahapan itu lewat cara-cara yang demokratis. Dari nilai prosedural ini muncul standar etika primer untuk menilai komunikasi publik dalam sistem politik: pengangkatan “konfrontasi opini-opini yang berlawanan, argumenargumen dan informasi yang relevan dengan keputusan. Selanjutnya dikernukakan bahwa, etika diskursus demokratis menumbuhkan suatu 11
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
komitmen untuk berdebat, bukan komitmen untuk berunding. Dalam pelaksanaannya, permintaan untuk berunding sering terbukti sebagai cara yang paling efektif dalam perdebatan, sehingga kita cenderung menganggap debat sebagai “diskursus yang dirundingkan”. Tetapi ciri-ciri pokok debat adalah konfrontasi ide. Kita dapat saja menyeru berunding tanpa berdebat, dan kita mungkin saja berdebat tanpa menyeru berunding. Hanya saja menyeru berunding atau bermusyawarah sematamata ditujukan bagi kepentingan masyarakat pada umumnya, bukan kepentingan elite, partai maupun golongan tertentu. Jadi kenyataan di lapangan seperti adanya “deal politik“ yang semata-mata mengarah bagi kepentingan partai atau golongan tertentu, sebenarnya dapat menodai makna demokrasi itu sendiri. 5. Pembenaran Etis Hasil Proses Demokrasi Demokrasi bukan sekedar sebuah teori mengenai 12
pemerintahan atau negara, ia Juga merupakan teori tentang manusia dan masyarakat manusia. Ia merupakan suatu pandangan hidup yang secara esensial terkandung dalam dasar-dasar moral, sedangkan konsepsi totalitarian justru menolak beberapa postulat dasar moralitas. Sebagai pandangan yang mengandung dasar moral, karena: a. Demokrasi berlandaskan pada keyakinan nilai dan martabat manusia. b. Karena sifat dan nilai manusia, demokrasi mengandung implikasi adanya konsep “kebebasan manusia”. Manusia harus bebas berpikir dan mengungkapkan pikiran maupun perasaannya. Tetapi kebebasan yang tak terkendali tanpa disertai kontrol diri dapat mengakibatkan pelbagai ekses yang mengarah pada konflik. c. Demokrasi ialah aturan hukum (rule of law). Demokrasi berarti adanya suatu aturan hukum yang pasti atau hidup yang bebas di bawah hukum. Manusia dapat menikmati kebebasan
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
sebesar-besarnya, tetapi tidak mengganggu kebebasan dan hak-hak orang lain. Jadi demokrasi tepat berada di titik tengan antara anarkhi dan tirani. d. Asas persetujuan (principle of consent). Demokrasi didasarkan pada asumsi tentang pentingnya kontrol kerakyatan (popular control) atas isu-isu kebijakan yang mendasar. Jadi asas ini mensyaratkan kesediaan untuk bermusyawarah dalam berbagai persoalan. e. Demokrasi mengandaikan bahwa melalui sarana-sarana yang ada padanya keadaan dunia akan menjadi lebih baik dan masyarakat meinikul tanggung jawab untuk mencapai tujuan itu. Inilah prinsip perbaikan (betterment) atau kemajuan (progress). f. Konsep persamaan (the concept of equality). Keyakinan akan persamaan muncul dari kenyataan bahwa meskipun memiliki perbedaan-perbedaan fisik dan intelektual, manusia juga memiliki potensi humanisme yang mengandung kedalaman nilai. Hukum dan pranata
dapat disusun untuk menekankan humanisme yang menyatukan mereka. (Wahyudi, 2001: 55-57) Tugas demokratis adalah untuk memberikan kepada setiap orang peluangpeluang untuk tumbuh dan dewasa. Demokratis tidaknya suatu negara tergantung pada ada tidaknya peluang rakyat untuk mengontrol pemerintah mereka dan bagaimana kondisi hidup mereka. Perlu ditambahkan bahwa demokrasi tidak tergantung pada suatu corak pranata manapun. Semangat dan keyakinan-keyakinannya jauh lebih penting ketimbang perangkat atau instrumen yang dipergunakan untuk mengungkapkan semangat itu. Untuk berlangsungnya sistem demokrasi secara memuaskan diperlukan beberapa prasyarat tertentu: 1) Para pemilih yang terdidik; 2) Perasaan bernegara di antara warga negara; 3) Kesempatan yang luas untuk membicarakan isu-isu kenegaraan;
13
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
4) Keharusan untuk memilih orang-orang yang berwatak baik dan terlatih dalam menangani urusan-urusan publik; 5) Kebebasan untuk melaksanakan pembaharuan perangkat dan pranata pemerintahan; 6) Distribusi kemakmuran yang lebih merata. Dalam rangka menunjang distribusi kemakmuran yang merata, yang merupakan salah satu prasyarat bagi demokrasi, negara hendaknya juga memiliki sarana yang memadai untuk menjawab kebutuhankebutuban rakyat yang sebenarnya. Sarana itu biasa disebut sebagai “birokrasi”. Dalam negara demokrasi, birokrasi diharapkan dapat menjadi alat untuk menjembatani kebijakankebijakan administratif yang diambil oleh penguasa dengan aspirasi rakyat yang dalam hal ini hendaknya dipandang sebagai pihak yang mendelegasikan wewenang kepada penguasa itu sendiri. Tidak sebagaimana pendapat awam yang melihat birokrasi sebagai penyekit administratif yang meresahkan masyarakat, 14
kita melihat birokrasi secara lebih netral. Jadi dalam semangat demokrasi para penguasa dan birokrasi ketika membuat dan melaksanakan kebijakan, perlu sikap kebajikan dan integritas yang tinggi, sehingga kebijakan tersebut didukung oleh seluruh komponen masyarakat dan benar-benar dirasakan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Adapun pengertian kebajikan (virtue) menurut Aristoteles dalam Nash (1990: 5), adalah pola kebiasaan maupun kemampuan memilih secara terlatih. Aktifitas memilih dinyatakan oleh seseorang atas sistem nilai moral pribadi orang tersebut, tetapi nilai moral kadang-kadang terjadi perubahan mendasar ketika ada tekanan dan keadaan yang memaksanya. Sedangkan pengertian integritas (integrity) menurut Nash (1990: 34) adalah suatu kondisi yang meminta bahwa yang dilakukan oleh seseorang sama dengan yang diucapkannya. Maksudnya bahwa berbuat sesuai dengan yang dinyatakan yaitu sesuatu yang benar untuk dilakukan. Jadi orang lain dapat menilai ukuran ketulusan hati, kejujuran dan
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
kebijaksanaan ketika seseorang melakukan sesuatu yang buruk. Dengan demikian kebajikan para elite politik dan birokrat sangat tergantung sejauh mana mereka mau membiasakan diri untuk berbuat kebajikan dalam menyusun serta melaksanakan kebijakan tersebut, yang semua itu sangat ditentukan oleh nilai moral yang dimiliki mereka. Di samping itu sejauh mana mereka membuktikan diri bahwa apa yang dilakukan sesuai dengan yang diucapkan. Dalam hal ini masyarakat akan memberikan ukuran tingkat ketulusan hati dan kejujuran mereka dalam berbuat bagi kepentingan masyarakatnya. Jadi apakah hasil proses demokrasi memiliki legitimasi sosiologis atau legitimasi etis ? Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapat dijawab bahwa secara kuantitatif hasil proses demokrasi cenderung memiliki legitimasi sosiologis, tetapi secara kualitatif belum tentu memiliki legitimasi sosiologis yang hakiki, karena sejauh mana proses demokrasi itu berlangsung, apakah ada akumulasi pendapat masyarakat yang diperoleh dengan cara-cara tersembunyi
melanggar aturan main demokrasi (undang-undang). Hal yang terakhir ini sangat sulit, karena norma hukum menuntut pembuktian yang akurat. Dengan demikian kualitas legitimasi sosiologis akan tercapai apabila semua pihak yang bermain dalam proses demokrasi, dengan penuh kesadaran yang tinggi mau mengacu pada aturan main yang berlaku. Sementara itu legitimasi etis ukurannya jauh lebih mendalam dari pada segi kualitatif legitimasi sosiologis, karena yang dituntut adalah nurani manusia, baik yang secara langsung sebagai pemain dalam proses demokrasi maupun hanya sebagai partisan dalam proses tersebut. Legitimasi etis bukan semata-mata menyangkut pendapat umum masyarakat yang menyatakan seseorang sah memperoleh kekuasaan, juga bukan sekedar tidak melanggar hukum tertulis yang mengatur proses demokrasi, tetapi lebih menekankan sejauh mana nilainilai moral dapat melatarbelakangi proses perolehan kekuasaan itu serta menjadi acuan selanjutnya dalam menggunakan kekuasaan
15
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
bagi kepentingan masyarakatnya. Membandingkan pemikiran di atas dengan kenyataan dilapangan secara apriori, tampaknya sangat sulit mewujudkan makna demokrasi yang sesungguhnya, maka demokrasi yang hakiki sebenarnya hanya ada di alam cita-cita. Namun demikian kiranya kita semua terus berusaha, tidak pesimis, dan mengharapkan kepada semua pelaku proses demokrasi, para simpatisan serta seluruh masyarakat dengan penuh kemauan dan keikhlasan yang tinggi untuk mewujudkan proses demokrasi yang benarbenar memiliki legitimasi sosiologis bahkan legitimasi etis, sehingga proses demokrasi dapat berjalan lancar, tertib, aman dan terpilih pimpinan pemerintahan yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat pada umumnya dan khususnya masyarakat yang selama ini secara sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan masih terbelakang. Berdasarkan pemikiran di atas bahwa demokrasi yang tidak berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka hakekatnya demokrasi hanya 16
diartikan sebagai “tujuan” bukan diartikan sebagai “cara” untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. 6. Penutup a. Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan, yang meletakkan kekuasaan pada mayoritas rakyat dan pelaksanaannya dapat melalui pemilihan langsung maupun melalui wakilwakilnya. Kekuasaan ini juga dilaksanakan dalam kontek jaminan atas hak-hak minoritas. b. Hakekat demokrasi politik masih diwarnai peran kelompok oligarki yang tinggi, semakin kuatnya gejala plutokrasi, yang menjadikan kelengkapan politik dan kebijakan pemerintahan dikuasai kelompok orang-orang kaya. Akibatnya peran kelas menengah yang menjadi motor demokrasi semakin melemah. Di samping itu masih kuatnya gejala demagogi dikalangan politisi yang lihai merayu massa, padahal ada kebohongan dan pelanggaran yang tersembunyi.
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
c. Legitimasi sosiologis melihat kewenangan atas kekuasaan berdasarkan kuat tidaknya kesepakatan yang terjelma dalam masyarakat, sedangkan legitimasi etis melihat kesesuaian antara dasar-dasar kekuasaan itu dari sudut norma-norma moral. d. Konsep demokrasi dipakai secara beragam oleh berbagai kelompok kepentingan yang melakukan teoritisasi dari perspektif dan untuk tujuan tertentu. Kemayoritasan dalam demokrasi hakekatnya tidak selalu identik dengan kebenaran. e. Etika diskursus demokratis menumbuhkan suatu komitmen untuk berdebat bukan komitmen untuk berunding. “Deal politik“ hanya untuk kepentingan tertentu, sebenarnya penghianatan terhadap makna demokrasi yang hakiki. Demokrasi merupakan komitmen terhadap cara bukan tujuan. f. Hasil proses demokrasi secara kuantitatif memiliki legitimasi sosiologis, tetapi secara kualitatif belum tentu. Sedangkan legitimasi etis
lebih menuntut kesadaran nurani manusia dan menempatkan nilai-nilai etika dalam proses pencapaian kekuasaan maupun penggunaan kekuasaan tersebut bagi kepentingan masyarakatnya. Hal ini tampaknya secara apriori sangat sulit ditemukan di lapangan. Kalaupun ada persentasenya tidak begitu besar. DAFTAR PUSTAKA Buku Costa,
John Dalla, The Ethical Imperative, New York, Harper Collins Publishers, 1998.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta, Gramedia, 1987. Johannesen, Richard L, Etika Komunikasi, Editor: Didi Djamaluddin dan Deddy Mulyana, Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 1996. M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Ciputat Tangerang, PT Logos Wacana Ilmu & PemikirN, 2002. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 1982. Nash,Laura L, Good Intentions Aside, A Managers Guide to 17
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
Resolving Ethical Problems, Boston, Harvard Business School Press, 1990. Phillips, Robert, Stekcholder Theory and Organizational Ethics, First Edition, San Francisco, Berret – Koehler Publishers, Inc,2003. Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta, PT Raya Grafindo Persada,2001.
18
Artikel Harry
Kawilarang, Plutokrasi Melemahkan Peran Kelas Menengah, Sinar Harapan, 16 Mei 2005.
Haryatmoko, Demagogi dan Komunikasi Politik, Kompas, 25 April 2006. Kustigar Nadaek, Tujuh Tahun Pascarezim Soeharto, Sinar Harapan, 16 Mei 2005. Syafii Maarif, Jangan Kembangkan Etika Primitif, Kompas, 13 Pebruari 2003.