LEGITIMASI NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK
Bambang Irawan*)
ABSTRACT
This study examines kinds of democratic values which is related with the publik service include openness, inclusiveness and responsiveness. Achieving these democratic values is a one of a goal for publik service, but sometime it is difficult to accomplish these values in practice. The bridging of legitimacy especially in normative based is needed to explain the concept and supported by literatures. Keywords: publik service, responsiveness and legitimacy
democratic
values,
openness,
inclusiveness,
Dalam paradigma New Publik Service yang mengedepankan prinsip demokrasi yang menjadi nilai yang lebih penting dari pada sekadar nilai ekonomi, harus diwujudkan oleh organisasi publik. Hal ini berarti bahwa orang-orang tertarik terhadap pelayanan publik karena mereka termotivasi oleh nilai-nilai pelayanan publik. Nilai-nilai untuk melayani orang lain, membuat dunia lebih baik dan lebih aman, dan untuk membuat demokrasi bekerja menjadi yang terbaik dalam melayani masyarakat dalam konteks menjadi warga negara (Denhardt and
Denhardt,
2007:167). Beberapa pakar menjelaskan bahwa pengambilan keputusan dalam administrasi publik yang termasuk didalamnya pelayanan publik seharusnya mengantarkan nilai-nilai demokrasi dengan melibatkan publik. (Box, 1998; Ebdon and Franklin, 2006). Selanjutnya, yang menjadi permasalahan mendasar ialah nilainilai demokrasi manakah yang seharusnya dimiliki dalam pelayanan publik dan bagaimana menjadikan nilai-nilai tersebut dapat menjadi terlegitimasi dalam pelayanan publik. Uraian berikut ini berusaha untuk menjelaskan nilai-nilai demokrasi dan peranan legitimasi sebagai salah satu konsep yang mendorong dan mempertegas keterkaitan nilai-nilai tersebut dalam pelayanan publik.
*) Dosen Tetap STIAMI
1
Keterbukaan, Inklusivitas dan Responsivitas Beberapa literatur menjelaskan bahwa keterbukaan dan inklusivitas adalah dua nilai demokrasi yang dianut sebagai komponen kunci dari sebuah legitimasi pada pemerintahan yang demokratis (Denhardt dan Denhardt, 2007; Piotrowskin dan Rosenbloom, 2002). Keterbukaan dalam beberapa literatur dipahami sebagai akses terhadap informasi dan transparansi proses (Rossmann dan Shahanan, 2012). Secara historis, akses terhadap informasi menuju keterbukaan lebih ditekankan dari sifat kerahasiaan, dan yang lebih menarik karena saat ini penggunaan teknologi telah membuat akses informasi lebih mudah dan harapan penyebarannya lebih luas kepada warga negara(Bertot et al, 2009). Aspek keterbukaan lainnya adalah transparansi dalam pengambilan keputusan pemerintah yang harus terbuka bagi pengawasan publik (Bunting, 2004). Masyarakat harus memahami bagian penting dalam proses kebijakan publik karena keputusan yang dibuat merupakan solusi atas masalah yang muncul di masyarakat itu sendiri. Pakar administrasi publik sering menyebut transparansi seiring dengan konsep akuntabilitas pemerintah. Sebuah pemerintahan demokratis yang memiliki legitimasi harus bertanggung jawab kepada rakyat melalui proses transparansi (Florini, 2004). Dua definisi mendominasi inklusivitas dalam literatur, yakni representasi dan partisipasi (Rossmann dan Shahanan, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Meierdan Nicholson-Crotty (2006) dan Wilkinsdan Williams (2008) menjelaskan bahwa teori birokrasi yang representatif menerangkan bagaimana kepentingan umum dicapai melalui sifat inklusif perwakilan dalam administrasi publik. Hal ini menjadi jelas ketika sebuah birokrasi secara luas mencerminkan kepentingan, pendapat, kebutuhan, keinginan,dan nilai-nilaimasyarakat umum (Selden 1997). Partisipasi masyarakat merupakan definisi kedua dari inklusivitas yang memiliki literatur yang mendalam (Denhardt,2007). Kajian tersebut menjelaskan bahwa sebuah pemerintahan demokratis didasarkan pada efektivitas partisipasi warga negara. Tujuan partisipasi adalah bagaimana masyarakat dapat berperan aktif di dalam program pemerintah. Adapun yang menjadi ukurannya adalah bagaimana *) Dosen Tetap STIAMI
2
mekanisme partisipasi dan seberapa besar tingkat kualitas keterlibatan masyarakat dalam partisipasi publik. Nilai demokrasi lainnya yang perlu mendapat perhatian serius dalam pelayanan publik adalah responsivitas. Agar pelayanan publik lebih responsif, maka nilai-nilai seperti pluralisme, kreativitas dan keadilan perlu diinjeksi dalam manajemen playanan publik (Dwiyanto, 2010). Dalam hal pluralitas, birokrasi dituntut untuk mampu menyelenggarakan pelayanan yang berbeda jenisnya karena kebutuhan masyarakat yang beragam (Hopenhayn, 2008). Dengan menerapkan pelayanan yang sama terhadap masyarakat yang majemuk, justru akan menghasilkan pelayanan yang kurang responsif terhadap kebutuhan yang terkadang spesifik dan berbeda satu sama lain. Kreativitas merupakan fase ketika menjelajahi dan bereksperimen segala hal yang tampaknya menjanjikan, yang diikuti oleh fase berfokus belajar segala sesuatu untuk membuat rencana akhir untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Dengan berkreativitas, pelayan publik dituntut untuk mengembangkan cara terbaik dalam memberikan pelayanan kepada publik dengan menggunakan rasionalitas dan hati nurani (Dwiyanto, 2010). Nilai keadilan merupakan kewajaran dalam distribusi biaya dan manfaat pelayanan di antara pihak-pihak yang berbeda (Boyne, 2002). Dalam makna ini, keadilan lebih menekankan pada proporsionalitas dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi organisasi pelayanan publik. Dalam ruang lingkup pemerinahan, birokrasi dan aparatnya harus menyadari bahwa salah satu rasionalitas dari keberadaan birokrasi ialah mewujudkan keadilan dalam pemenuhan kebutuhan warganya (Dwiyanto, 2010).
Legitimasi Nilai-nilai Demokrasi dalam Pelayanan Publik Supaya nilai-nilai demokrasi menjadi menyatu dalam pelayanan publik, maka pelayanan publik tersebut harus merupakan legitimasi dari nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Legitimasi merupakan hal yang penting bagi sebuah institusi atau organisasi, batasan-batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial, dan reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku *) Dosen Tetap STIAMI
3
institusi dengan memperhatikan lingkungan. Suchman (1995:574) menjelaskan “Legitimacy is a generalized perception or assumtion that the action of an entity are desirable, proper or approriate within some socially constructed system of norms, value, beliefed, and defenitions.” Dengan kata lain bahwa legitimasi adalah generalisasi persespsi atau asumsi bahwa tindakan tersebut sungguh diperlukan, tepat atau cocok dengan sistem konstuksi sosial yang meliputi norma, nilai, keyakinan dan defenisi yang menjadi dasar bagi sebuah institusi. Dalam konteks pemerintahan, Coicaud (2002) menjelaskan bahwa legitimasi adalah pengakuan atas kebenaran dalam memerintah, sedangkan Johnson et al (2006:57) menjelaskan bahwa legitimasi merupakan konstruksi secara kolektif atas realitas sosial. Adapun yang melandasi adanya legitimasi adalah “kontrak sosial” yang terjadi antara organisasi dengan masyarakat di tempat organisasi beraktivitas dan menggunakan sumber ekonomi. Shocker dan Sethi (1974:67) memberikan penjelasan bahwa semua institusi sosial tidak terkecuali organisasi beroperasi di masyarakat melalui kontrak sosial, baik eksplisit maupun implisit, bahwa kelangsungan hidup dan pertumbuhannya didasarkan pada: pertama, hasil akhir yang secara sosial dapat diberikan kepada masyarakat luas; kedua, distribusi manfaat ekonomi, sosial atau politik kepada kelompok sesuai dengan kekuasaan yang dimiliki. Dowling dan Pfeffer (1975:122) memberikan alasan yang logis tentang legitimasi bagi organisasi, termasuk institusi pelayanan publik bahwa organisasi akan berusaha menciptakan keselarasan antara nilai-nilai sosial yang melekat pada kegiatannya dengan norma-norma perilaku yang ada dalam sistem sosial masyarakat dimana organisasi adalah bagian dari sistem tersebut. Selama kedua sistem nilai tersebut selaras, kita dapat melihat hal tersebut sebagai legitimasi organisasi. Ketika ketidakselarasan aktual atau potensial terjadi di antara kedua sistem nilai tersebut, maka akan ada ancaman terhadap legitimasi organisasi. Di dalam masyarakat yang dinamis, tidak ada sumber kekuasaan institusional dan kebutuhan terhadap pelayanan yang bersifat permanen. Oleh karena itu, suatu institusi harus lolos uji legitimasi dan relevansi dengan cara menunjukkan bahwa masyarakat memang memerlukan jasa organisasi dan kelompok tertentu yang *) Dosen Tetap STIAMI
4
memperoleh manfaat dari penghargaan yang diterimanya betul-betul mendapat persetujuan masyarakat. Dowling dan Pfeffer (1975:124) mengatakan bahwa legitimasi tidak dapat didefiniskan hanya dengan mengatakan apa yang legal atau ilegal. Harapan masyarakat terhadap perilaku perusahaan dapat bersifat implisit dan eksplisit (Deegan 2000 : 254). Menurut Deegan (2000) bentuk eksplisit dari kontrak sosial adalah persyaratan legal, sementara bentuk implisitnya adalah harapan masyarakat yang tidak tercantum dalam peraturan legal (uncodified community expectation). Ada tiga alasan yang menyebabkan terjadinya korelasi yang tidak sempurna antara hukum dan norma/nilai sosial. Pertama, meskipun hukum sering dianggap sebagai refleksi dari norma dan nilai sosial, sistem hukum formal mungkin terlalu lambat dalam mengadaptasi perubahan norma dan nilai sosial di masyarakat. Kedua, sistem legal didasarkan pada konsistensi sedangkan norma mungkin kontradiktif. Ketiga, masyarakat mungkin mentoleransi perilaku tertentu, tetapi tidak menginginkan perilaku tersebut tercantum dalam aturan hukum (Dowling dan Pfeffer 1975). Ada beragam tipologi legitimasi yang menurut kajian literatur tergantung pada konteks penelitian dan masalah yang khusus (Dacin, Oliver dan Roy 2007). Scott (2001:48) memperluas pandangan mengenai institusi dan menganggap sumber legitimasi terdiri dari elemen regulasi, norma dan budaya-kognisi, yang memberikan stabilitas dalam interaksi manusia. Legitimasi yang bersumber dari peraturan adalah kesesuaian dengan peraturan, aturan standar dan hukum (Scott, 2003:136). Delmar dan Shane (2004) menjelaskan bahwa organisasi yang badan hukum dan menjalankan kegiatannya memiliki kemungkinan keberlangsungan hidup lebih tinggi. Dengan mendapatkan legitimasi dari sisi regulasi berarti organisasi telah mendapatkan legitimasi secara peraturan untuk menjalamkan operasionalnya. Legitimasi yang berlandaskannorma adalah kepatuhan terhadap normanorma dan nilai-nilai informal yang secara luas diterima (Scott, 2003: 136). Dalam hal ini, pertimbangan legitimasi secara normatif sebagai sebuah konstruksi sosial informal yang telah dikembangkan dan dilembagakan seiring dengan waktu dan kebutuhan. Scott (2001: 54-55) mengonsepsikan nilai sebagai konsep-konsep yang *) Dosen Tetap STIAMI
5
berhubungan dengan standar untuk membandingan setiap struktur dan atau prilaku, sedangkan norma mengandung pengertian bagaimana sesuatu harus dilakukan. Dalam sudut pandang normatif legitimasi dianggap sebagai kewajiban moral, yang melampaui persyaratan hukum. Aspek normatif merupakan kontrol akan lebih dalam dari kontrol regulasi, dan kepatuhan terhadap kontrol tersebut akan mengantarkan penghargaan secara intrinsik dan ekstrinsik. Tindakan yang dilakukan berakar pada konteks sosial dan berorientasi pada dimensi moral serta hubungan dengan orang dalam setiap situasi (Navarro dan Ruiz, 1997). Legitimasi yang berdasarkan budaya-kognisi adalah kesesuaian dengan kepercayaan budaya yang secara luas dipegang dan praktik yang taken-for-granted (Scott 2001). Dalam pilar kognitif dinyatakan bahwa organisasi berusaha legitimasi dengan mengadopsi struktur dan perilaku dari referensi yang ada, penerimaan sosial yang dibangun sebagai kebenaran (Navarro dan Ruiz, 1997). Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa legitimasi nilai-nilai demokrasi dalam pelayanan publik merupakan legitamasi yang bersumber dari norma.
Legitimasi
tersebut
mendorong
pelayanan
pubik
mampu
untuk
menghantarkan nilai-nilai demokrasi dalam penerapannya.
Simpulan Pelayanan publik sebaiknya dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi seperti keterbukaan, inklusivitas dan responsivitas. Memahami pelayanan publik dari perspektif nilai-nilai demokrasi memberikan nuansa baru dalam tataran normatif. Nilai-nilai tersebut sudah seharusnya menjadi dasar dalam mendistribusikan pelayanan publik yang saat ini semakin dituntut untuk lebih bersifat terbuka, inklusif dan responsif. Legitimasi memberikan penguatan akan pentingnya nilai-nilai demokrasi menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam pemberian pelayanan publik. Dengan adanya legitimasi normatif, nilai-nilai keterbukaan, inklusivitas dan responsivitas akan menjadikan pelayanan publik dapat menjawab tantangan perubahan ke depan.
*) Dosen Tetap STIAMI
6
Daftar Pustaka: Bertot, John Carlo, et al. 2009. Reconciling Government Documents and EGovernment Government Information in Policy, Librarianship, and Education.Government Information Quarterly 26(3): 433–36. Box, Richard C. 1998.Citizen Governance: Leading American Communities into the 21st Century. Thousand Oaks, CA: Sage Publikations. Bozeman, Bozze. 2007. Publik Values and Publik Interest, Washington, D.C : Georgetown University Press. Boyne, G.A., 2002. Concept and indicators of local authority performance: An evaluation of statutory frameworks in England and Wales. Publik Money and Management, Vol 22 (2) : 17-24 Bunting, Robert L. 2004.Th e New Peer Review Watchword.CPA Journal 74(10): 6–9. Coicaud, J.M. 2002. legitimacy and politics: acontribution to study of political right dan political respnsibility, New York : Camcridge University Press. Dacin, T., et al, 2007, The Legitimacy of Strategic Alliances: AnInstitutional Perspective, Strategic Management Journal, 28: 2, 169-189. Deegan C. 2000. Finacial Accounting Theory, Sydney :McGraw-Hill Denhardt, Janet V., and Robert B. Denhardt. 2007. The New Publik Service: Serving, Not Steering. Armonk, NY: M. E. Sharpe. Delmar, F., and Shane, S. 2004. Legitimating first: Organizing Activities and the Survival of New Ventures. Journal of Business Venturing, Vol 19, 385-410. Dowling, J. and Pfeffer, J. 1975, 'Organisational Legitimacy: Social Values and Organisational Behaviour', Pacific Sociological Review, Vol. 18, Iss. 1, pp. 122-136. Dwiyanto, A. 2010. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, danKolaboratif, Yogyakarta: GadjahMada University Press Ebdon, Carol, and Aimee L. Franklin. 2006. Citizen Participation in Budgeting Theory. Publik Administration Review 66(3): 437–47. Florini, Ann. 2004. Behind Closed Doors: Governmental Transparency Gives Way to Secrecy. Harvard International Review 26(1): 18–21. Galvin, T.L. 2002, Examining Institutional Change: Evidence from the Founding Dynamics of U.S. Health Care Interest Associations. The Academy of Management Journal, 45: 4, 673-696. Hopenhayn, M. 200). “Recognation and Distribution:Equity and Justice Policies dor Disadvantaged Groups in Latin America”, in Dani, A.A and de Haan, A (eds). Inclusive states:Social Policy and Structural Inequalities, p: 145-196. Wahington DC: The World Bank Johnson, C., T. J. Dowd, and C. L. Ridgeway 2006 "Legitimacy as a Social Process," Annual Review of Sociology (32), 1, pp. 53-78. *) Dosen Tetap STIAMI
7
Navarro, J., Ruiz, M. 1997. Teoría Institucional y Teoría de la Organización.Anales de Economía y Administración de Empresas, 5, 135-152. Dalam Sánchez, A. Vargas, Ligero¸ F. Riquel, 2010:25, European Journal of Tourism, Hospitality and RecreationVol. I, Issue 1, pp. 24-38, Ovin, Rasto. 2001. The Nature of Institutional Change in Transition. PostCommunist Economies, 13: 2, 133-146. Piotrowski, Suzanne J., and David H. Rosenbloom. D. 2002. Nonmission-Based values in Results-Oriented Publik Management: The Case of Freedom of Information. Publik Administration Review 62(6): 643–57. Rosemann, Doralyn, and Shanahan, Elizabeth A., 2012, Defining and Archieving Normative Democratic Value in Parcipatory Budgeting Process, Publik Administration Review, 72 (1) : 56-66 Scott, W.R. 2001, Institutions and Organizations, Thousand Oaks, CA: Sage, 2nd edition Scott, W.R. 2003, Organizations: Rational, Natural and Open Systems. New Jersey:Prentice Hall, 5th edition. Shocker, A. D. and Sethi, S.P. 1974, An approach to incorporating social preferences in developingcorporate action strategies in The Unstable Ground: Corporate Social Policy in a Dynamic Society, ed. S.P. Sethi, (pp. 67-80), Melville, California.
*) Dosen Tetap STIAMI
8