LAPORAN PENELITIAN IPTEKS
EKONOMI POLITIK REGULASI PENYIARAN (Implementasi Kebijakan Sistem Stasiun Jaringan)
Oleh: Lisa Mardiana,S.Sos, M.I.Kom, 0686.11.2009.363
FAKULTAS ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO SEMARANG 2011
EKONOMI POLITIK REGULASI PENYIARAN (IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM STASIUN JARINGAN) Abstrak Kontroversi amanat Sistem Stasiun Jaringan dalam UU penyiaran Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran menjadi latar belakang penelitian ini. Secara lebih spesifik, penelitian ini mencoba menyajikan realitas empiris menyangkut implementasi kebijakan Sistem Stasiun Jaringan dalam industri penyiaran televisi di kota Semarang. Metode yang digunakan untuk menggambarkan secara rinci dan jelas topik yang dibahas adalah metode Studi Kasus. Sedangkan pendekatan yang digunakan sebagai dasar pemikiran dalam studi ini adalah pendekatan ekonomi-politik kritis. Hasil akhir penelitian ini menunjukkan adanya tarik-ulur dan benturan kepentingan antara berbagai pihak sebagai aktor yang terlibat dalam kebijakan, serta telah terjadi saling mempengaruhi (interplay) antara kekuatan struktur dengan kekuatan agency, sehingga pada akhirnya implementasi kebijakan Sistem Stasiun Jaringan menjadi tidak ideal. Kebijakan televisi nasional yang semuanya lebih memilih mendirikan badan hukum lokal sendiri daripada bermitra dengan televisi lokal eksisting yang dilegitimasi pemerintah, memunculkan ketidak adilan bagi televisi lokal karena daya saing yang tidak cukup kuat. Tidak idealnya implementasi kebijakan sistem stasiun jaringan dapat berimplikasi pada tidak tercapainya prinsip diversity of content dan diversity of ownership, padahal kedua prinsip keberagaman tersebut menjadi prinsip dasar yang harus dipegang teguh untuk menciptakan sistem persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran, serta mampu memenuhi kepentingan publik. Karena itulah disarankan perlu adanya advokasi dan gerakan untuk terus mengawal implementasi kebijakan ini agar berjalan sesuai dengan koridor yang benar, serta mendorong para regulator harus bisa bersikap tegas dalam implementasi kebijakan. Key Words : Kebijakan Penyiaran, Televisi, Prinsip Keberagaman
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan kegiatan peelitian sebagai salah satu pengejawantahan dari Tridharma Perguruan Tinggi. Penelitian yang berjudul Ekonomi Politik Regulasi Penyiaran (Implementasi Kebijakan Sistem Stasiun Jaringan) ini merupakan bentuk kajian Communication & Law. Ketertarikan penulis untuk meneliti persoalan tersebut, karena regulasi dalam dunia penyiaran merupakan hal penting yang mengatur media massa untuk menjamin kontribusinya terhadap kebaikan publik. Sementara yang terjadi di Indonesia saat ini terkait regulasi penyiaran, khususnya kebijakan mengenai sistem stasiun jaringan yang menjadi amanat dalam UU No.32 tahun 2002 mengalami kontroversi yang berkepanjangan, sehingga menjadi menarik untuk diteliti. Penelitian ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini perkenankanlah kami menyampaikan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Dian Nuswantoro 2. Dekan Fakultas Ilmu Komputer Universitas Dian Nuswantoro 3. Pimpinan Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPM) Universitas Dian Nuswantoro 4. Ketua Program Studi D3 Penyiaran Universitas Dian Nuswantoro 5. Berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini. Akhirnya, penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan akademik dan praktik yang berguna terkait pengembangan kajian Communication & Law di Indonesia pada khususnya.
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………….
i
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………...
ii
ABSTRAKSI …………………………………………………………….
iii
KATA PENGANTAR …………………………………………………...
iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………..
v
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................
9
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................
10
1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Akademis..........................................................................
10
1.4.2. Praktis...............................................................................
10
1.4.3. Sosial ................................................................................
10
1.5. Kerangka Pemikiran Teoritis 1.5.1. Paradigma Penelitian .........................................................
11
1.5.2. Kajian Ekonomi Politik .....................................................
12
1.5.3. Regulasi Penyiaran .............................................................
17
1.5.4. State of the art ....................................................................
21
1.6. Metodologi Penelitian 1.6.1. Tipe Penelitian ....................................................................
22
1.6.2. Situs penelitian ....................................................................
22
1.6.3. Subjek Penelitian ................................................................
22
1.6.4. Jenis Data ...........................................................................
23
1.6.5. Sumber Data .......................................................................
23
1.6.6. Teknik pengumpulan Data .................................................
24
1.6.7. Analisis dan intepretasi Data..............................................
24
1.6.8. Kualitas Data.......................................................................
25
1.7. Keterbatasan Penelitian .................................................................
26
BAB
2
SISTEM
STASIUN
JARINGAN:
REGULASI
DALAM
INDUSTRI
PENYIARAN DI INDONESIA 2.1. Sistem Stasiun Jaringan……………………………………………
27
2.1.1. Kriteria Jaringan …………………………………………..
29
2.1.2. Kerjasama Jaringan ……………………………………….
33
2.1.3. Model Jaringan ……………………………………………
34
2.2. Sistem Stasiun jaringan di Indonesia ..…………………………....
38
2.3. Sejarah Industri Penyiaran Televisi di Indonesia ...........................
43
2.4. Munculnya UU penyiaran No.32 tahun 2002 & Amanat SSJ ........
47
BAB 3 IMPLEMENTASI SISTEM STASIUN JARINGAN DI SEMARANG 3.1. Semarang & Industri Penyiaran Televisi ………………………….. 53 3.2. Proses Implementasi SSJ di Semarang …….…………………......... 56 3.3. Kebijakan Media melaksanakan SSJ ………………………………. 59 3.3.1. RCTI ……………………………………………………….. 59 3.3.2. SCTV ………………………………………………………. 60 3.3.3. TPI …………………………………………………………. 61 3.3.4. INDOSIAR ………………………………………………… 63 3.3.5. ANTV ……………………………………………………… 64 3.3.6. GLOBAL TV ………………………………………………. 65 3.3.7. METRO TV ………………………………………………... 66 3.3.8. TRANS TV ………………………………………………... 67 3.3.9. TRANS 7 ………………………………………………….. 69 3.3.10. TVONE ……………………………………………………. 70
BAB 4 EKONOMI POLITIK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 4.1. Ekonomi Politik Regulasi Penyiaran ............................................... 71 4.2. Pengingkaran Prinsip Keberagaman dalam Implementasi SSJ ......
73
4.2.1. Pengingkaran Diversty of Ownership ………………….....
75
4.2.2. Pengingkaran Diversty of Content ……………………….. 77 4.3. Implementasi SSJ & Ketidakadilan Dalam Dunia Penyiaran ........
80
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………………………………………………….........
84
5.2. Saran Penelitian …………………………………………………..
86
5.2.1. Saran Empiris .......................................................................
87
5.2.2. Saran Akademis ...................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. ix DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………... xi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Regulasi dunia penyiaran di Indonesia saat ini diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Meski sudah disahkan selama sewindu, namun hingga kini implementasi aturannya belum seperti yang diharapkan karena terganjal oleh berbagai persoalan. Seperti disampaikan Effendi Choirie, politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa dalam acara diskusi tentang Sewindu UU Penyiaran; Antara Konsep dan Praktek yang diselenggarakan di The Akmani Hotel, Jakarta tanggal 17 Februari 2010, "Sudah 8 tahun UU Penyiaran ini disahkan oleh DPR, namun hingga saat ini implementasi UU tersebut, khususnya tentang keharusan bagi stasiun televisi yang bersiaran secara nasional untuk berjaringan di daerah tidak terimplementasikan"1. Undang-Undang Penyiaran No.32 tahun 2002, sejak awal kelahirannya memang cukup kontroversial, berbagai polemik dan pro kontra ikut mewarnai perjalanannya. Pihak yang kontra bahkan melakukan berbagai aksi mulai dari unjuk rasa, penerbitan artikel, hingga ke beberapa bentuk aksi propaganda sepihak melalui media yang mereka kuasai, termasuk mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung untuk menghadang laju undangundang tersebut.2 Salah satu amanat yang dijadikan keberatan, dan selanjutnya menjadi isu yang cukup menyita perhatian karena adanya proses tarik ulur dalam implementasi, dan perdebatan panjang pihak-pihak yang berkepentingan, adalah kebijakan mengenai Sistem Stasiun Jaringan (SSJ), utamanya media televisi, seperti yang disinggung diatas.
1
Lihat, http://www.suarakomunitas.net/?lang=id&rid=5&id=6832 Lihat, Mochtar W. Oetomo, “Zona Ketidakpastian Undang-Undang Penyiaran”, Koran Tempo, Kamis, 27 Maret 2003 2
Kebijakan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) pada dasarnya berangkat dari semangat otonomi daerah dan desentralisasi, sebagai usaha demokratisasi di bidang Penyiaran. Selama bertahun-tahun, Indonesia menerapkan sistem penyiaran televisi secara terpusat (sentralisasi), di mana sejumlah Stasiun televisi yang berlokasi di Jakarta mendapat hak untuk melakukan siaran secara Nasional. Sistem penyiaran terpusat dinilai tidak adil dalam suatu negara demokratis karena tidak memberi peluang kepada masyarakat daerahnya sendiri. Sistem penyiaran tersentralisasi ini menurut Ade Armando 3 juga mengandung banyak masalah. Ada sepuluh stasiun televisi di Jakarta yang dapat bersiaran secara nasional dengan hanya menggunakan stasiun-stasiun relai/transmitter di setiap daerah. Dalam sistem ini, siaran sepenuhnya disiapkan, dibuat, dan dipancarkan dari Jakarta menuju rumah-rumah penduduk di seluruh Indonesia dengan hanya diperantarai stasiun relai di setiap daerah tersebut. Dengan demikian, apa yang disaksikan oleh masyarakat di seluruh Indonesia sepenuhnya ditentukan oleh segenap stasiun yang berlokasi di Jakarta. Kondisi tersebut menurut Ade Armando menimbulkan dampak sangat serius dan sangat merugikan bagi masyarakat dan perkembangan ekonomi-politik-budaya daerah di luar Jakarta4. Indonesia sendiri merupakan negara yang pluralistik dan beragam, setiap masyarakat yang menetap di berbagai daerah berbeda di Indonesia akan memiliki konteks budaya, politik dan ekonomi berbeda. Penunggalan siaran yang datang dari sebuah pusat seperti yang terjadi dalam sistem penyiaran sentralis sekarang ini, pada dasarnya mengingkari keberagaman berbagai konteks masyarakat tersebut. Dari segi ekonomi sistem siaran yang tersentralisasi sangat merugikan daerah, sebab uang iklan hanya mengalir ke Jakarta. Merujuk pada data Media Scene5, belanja iklan di media terus mengalami peningkatan, dan televisi masih menjadi media yang dominan, karena lebih dari 50% belanja iklan masih dikuasainya. 3
Ade Armando adalah seorang pakar komunikasi, mantan ketua Komisi Penyiaran Indonesia, yang juga adalah seorang dosen FISIP UI, sekaligus Direktur Media Watch and Consumer Center, sebuah kelompok pemerhati media yang berada di bawah organisasi The Habibie Center. 4 Lihat artikel Ade Armando “"Industri Pertelevisian dan Ilusi kebhinekaan Indonesia", 2009 5 Media Scene (Volume 19: 2007/2008)
pemasukan iklan stasiun televisi pada 2008 mencapai sekitar Rp. 26 triliun. Namun persoalannya, segenap keuntungan ekonomi dari iklan tersebut hanya terpusat di Jakarta, daerah non-Jakarta nyaris tidak kebagian. Dalam sistem pertelevisian terpusat seperti sekarang ini, stasiun televisi di luar Jakarta sangat sulit untuk berkembang dengan sehat. Dampak siaran tersentralisasi dari segi politik, penonton di setiap daerah di luar Jakarta tidak bisa melihat dirinya dan tidak bisa memperoleh informasi yang relevan dengan kepentingan di daerah mereka di layar televisi. setting media tentang apa yang disebut sebagai berita atau bukan berita ditentukan dari Jakarta. Segenap masalah diteropong dari perspektif Jakarta. Talk-show televisi hanya menghadirkan pembicara dari Jakarta, seolaholah pakar daerah tidak ada yang berarti. Informasi yang menyangkut kepentingan publik di daerah luar Jakarta tidak akan diperoleh penonton dari stasiun televisi Jakarta, kecuali bila informasi tersebut bersifat sensasional dan dramatis6. Persoalan-persoalan politik daerah tidak akan tercover maksimal dalam pemberitaan siaran nasional karena dianggap tidak terlalu penting dan disajikan hanya sebagai pelengkap saja. Padahal sebenarnya persoalan politik lokal dan bentuk-bentuk komunikasi politik lokal tentunya sangat penting dan dibutuhkan dalam pembangunan demokrasi di daerah-daerah di seluruh Indonesia Sistem media tersentralisasi juga memiliki dampak sosial dan budaya. Seperti yang disampaikan Triyono Lukmantoro7 dalam Tempo interaktif, bahwa selama ini masyarakat di tingkat lokal selalu dipaksa untuk melihat tontonan gaya hidup dan persoalan-persoalan di Ibu Kota Jakarta8. Triyono menyatakan, media massa seharusnya bisa memanfaatkan
6
Menurut Ade Armando pengamatan tentang apa yang disebut sebagai berita non-Jakarta menunjukkan bahwa berita daerah adalah berita negatif. Penjelasannya adalah mengingat stasiun televisi bersiaran nasional, berita tentang „daerah‟ yang mereka sajikan haruslah yang menarik perhatian seluruh penduduk indonesia. Karena itu, berita tentang perkembangan politik atau kemajuan sebuah daerah tidak memperoleh tempat karena dianggap hanya akan menarik perhatian masyarakat lokal yang diberitakan. Yang dianggap bisa menarik perhatian khalayak berbagai daerah sekaligus adalah berita-berita negatif: kecelakaan, tawuran, skandal suap, dan informasi-infomasi sensasional lainnya. 7 Triyono Lukmantoro seorang pakar komunikasi yang mengajar ilmu komunikasi di Universitas Diponegoro, Semarang 8 Lihat Tempo Interaktif “Stasiun Televisi berjaringan mendesak di Implementasikan”, Senin, 14 Desember 2009.
berbagai potensi lokal yang ada. "Jangan hanya kiblat di Jakarta”. Memang bila kita perhatikan, content media televisi Nasional saat ini tidak berpihak pada lokalitas dan keberagaman. Gaya hidup yang ditampilkan sepenuhnya adalah gaya hidup Jakarta. Program yang disajikan adalah yang sesuai dengan standard norma dan nilai Jakarta. Bahkan sampai aspek bahasa, gaya bicara Jakarta saat ini menjadi rujukan remaja di seluruh Indonesia. Begitu pula dari sisi social, sistem sentralisasi siaran ini menurut Ade Armando tak sensitif dengan perbedaan kondisi sosial. Muatan stasiun televisi swasta diarahkan untuk menarik penonton yang cukup kaya untuk membeli barang-barang yang diiklankan di kota-kota besar. Siaran baik program maupun iklan, dari Jakarta dipancarkan ke seluruh Indonesia, padahal masyarakat di seluruh Indonesia tentunya memiliki tingkat ekonomi yang sangat beragam. Semua persoalan-persoalan tersebutlah yang kemudian mendorong perlunya desentralisasi di dunia Penyiaran. Melalui Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 Indonesia secara bertahap akan mengubah sistem penyiarannya menjadi sistem penyiaran berjaringan yang mengakui keberadaan stasiun Televisi daerah atau Stasiun lokal. Ketentuan berjaringan bagi media penyiaran di Indonesia tersebut termaktub dalam UU Penyiaran No 32/2002 pasal (6) dan (31). Pada pasal itu diatur bahwa jasa penyiaran radio dan televisi hanya dapat menyelenggarakan satu siaran dengan cakupan wilayah siaran. Berikutnya, setiap lembaga penyiaran membuat sistem jaringan setelah undang-undang disahkan9. Maksudnya, semua televisi swasta hanya bisa melahirkan siaran di daerah-daerah bila bekerja sama dengan stasiun lokal (yang harus dimiliki orang daerah). Sehingga berdasarkan regulasi tersebut tidak ada lagi istilah TV nasional, yang ada adalah TV harus lokal atau berjaringan. Televisi berjaringan dimaksudkan agar terjadi desentralisasi penyiaran dan tidak lagi ada sentralisasi penyiaran yang hanya berada di Jakarta. Tujuannya, agar semua aspek budaya
9
UU penyiaran No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran
dan SDM maupun sumber daya ekonomi bisa dimasukkan dalam lembaga penyiaran yang bersifat lokal sehingga dengan adanya sistem berjaringan, diharapkan lembaga penyiaran TV Nasional akan membuat stasiun TV lokal didaerah-daerah, yang kemudian mampu memberdayakan potensi SDM maupun ekonomi lokal. Umar Hapsoro, dalam artikelnya di Kompas.com merangkum pendapat para pakar berkaitan manfaat Sistem Stasiun Jaringan10, yaitu: (1) Sistem stasiun jaringan memiliki manfaat untuk menciptakan sistem penyiaran yang berkeadilan dan berpihak pada publik. Karena selama ini dominasi isi siaran televisi dipegang oleh para televisi yang berlokasi di Jakarta. Bahkan isi siarannya sudah sampai pada level menghegemoni; (2) Sistem berjaringan mampu mengakomodasi isi siaran lokal sehingga dapat menjadi pengerem terhadap isi siaran yang memiliki bias kultur, nilai, dan cara pandang orang yang tinggal di Jakarta. Dengan begitu ada terdapat ruang bagi masyarakat daerah untuk mengekspresikan hasrat, kepentingan, kultur, nilai, dan cara pandang orang daerah di ruang publik yang bernama penyiaran. Sehingga tercipta penyiaran yang berkeadilan mendudukan kepentingan daerah dan kepentingan Jakarta pada posisi yang setara dan sejajar; (3) Dengan diberlakukannya sistem ini maka porsi iklan yang jumlahnya triliunan rupiah yang selama ini hanya dinikmati TV yang ada di Jakarta akan terditribusi ke televisi-televisi lokal yang ada di daerah. Dengan begitu, pemerataan ekonomi di bidang penyiaran akan terjadi; (4) Pemerataan kesempatan bagi investor lokal di daerah untuk dapat berpartisipasi dalam bidang pertelevisian. Dari berbagai hal tersebut kita bisa melihat bahwa pada dasarnya kebijakan sistem stasiun jaringan selain mengarah pada desentralisasi dan keadilan ekonomi, juga memiliki signifikansi yang cukup besar bagi publik, terutama dalam kerangka mengawal terwujudnya
10
Lihat , Umar Hapsoro,“Repotnya Mengatur TV berjaringan di Indonesia”, sosbud, kompasiana.com, 11 Januari 2010
wacana media sebagai sebuah public sphere11 yang dapat mengarah pada demokratisasi di dunia penyiaran. Dengan sistem stasiun jaringan, daulat publik atas ranah penyiaran hendak dimaknai dengan penciptaan ruang publik media yang sesuai dengan kepentingan, minat, dan hajat hidup masyarakat. Isi siaran media penyiaran secara umum harus menggambarkan keberagaman kepentingan, minat dan nilai masyarakat yang menjadi pemirsanya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan Bimo Nugroho 12 bahwa perjuangan menjadikan dunia penyiaran sebagai ruang publik bisa dilakukan dengan jaringan penyiaran dan mengubah regulasi dari sistem penyiaran yang terpusat dan dikuasai Jakarta menjadi sistem penyiaran lokal berjaringan. Namun masalahnya hingga saat ini implementasi dari regulasi sistem siaran berjaringan belum menampakkan wujudnya. Dalam 7 tahun ini, sejauh pandang yang bisa kita amati belum ada perubahan berarti dalam dunia penyiaran kita. Sampai hari ini kita masih dapat mengakses siaran televisi swasta berskala nasional, yang berarti bahwa stasiun TV swasta yang mengudara secara nasional masih tetap dapat memancarluaskan siarannya secara sentral ke seluruh pelosok negeri. padahal bila mengacu pada Bab XI Ketentuan Peralihan UU penyiaran No 32 tahun 2002 pasal 60 ayat 2 disebutkan bahwa lembaga penyiaran televisi wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam UU Penyiaran paling lama 3 tahun setelah undang-undang tersebut diterbitkan. Memang bisa dipahami bahwa implementasi sistem stasiun jaringan tidaklah mudah. ada berbagai persoalan yang mesti dihadapi terkait kendala teknis maupun non teknis bagi pihak-pihak yang harus menjalankannya. Karena itulah kemudian pemerintah memberikan peluang penundaan untuk persiapan implementasi sistem tersebut melalui PP No. 50 Tahun 2005, yang secara eksplisit memberikan tenggat 28 Desember 2007 untuk penerapan sistem 11
Konsepsi Public Sphere atau ruang publik pada dasarnya berarti suatu kawasan yang “netral “ dimana publik memiliki akses yang sama dan berpartisipasi dalam wacana publik dalam kedudukan yang sejajar pula, bebas dari dominasi negara maupun pasar (Curran and Gurevitch, 1992). 12 Lihat Bimo Nugroho dalam pengantar “Dari langit yang Terbuka”, buku ekonomi politik media penyiaran, 2004 hal. x
stasiun jaringan. Namun sayangnya hingga batas waktu yang ditentukan ternyata implementasi sistem masih juga belum dapat dilakukan. hingga lahir Peraturan Menkominfo No. 32/2007 yang mengulur tenggat menjadi 28 Desember 2009. Kini batas waktu tersebut juga telah lewat, namun realisasi sistem berjaringan belum juga menampakkan bentuknya. Penundaan demi penundaan dalam implementasi kebijakan sistem stasiun jaringan tentu bukan tanpa alasan. Namun ini sekaligus menjadi pertanyaan menarik, ada apa dibalik fenomena penundaan dan implementasi kebijakan yang tidak kunjung dilaksanakan tersebut? Anthony Giddens dan Margaret S. Archer mendiskripsikan adanya saling pengaruh antara structure dan agency. Bahwa proses dinamis untuk mengkonstruksi masyarakat ditentukan oleh tarik menarik dan baku sodok (interplay) antara struktur (meliputi sistem, regulasi, aturan main, kelas social) dan agensi (meliputi para actor pelaku social dan tindakannya, baik secara individu maupun kolektif). Proses ini oleh Giddens, dalam bukunya The Constitution of Society. Outline of the Theory of Sructuration (1984), disebut dengan istilah “strukturasi”. Mungkin proses inilah yang juga sedang terjadi di Indonesia dalam pelaksanaan kebijakan sistem stasiun jaringan. Ada proses tarik menarik kepentingan yang cukup kuat antara kepentingan publik, pemilik modal dan pemerintah. Pendekatan strukturasi Giddens, menjadi salah satu pendekatan yang bisa digunakan sebagai paradigma dalam penelitian ini. Hal yang erat hubungannya dengan teori strukturasi diatas adalah teori media politik ekonomi. Teori ekonomi politik merupakan teori lama yang dihidupkan kembali untuk digunakan dalam menyebutkan sebuah pendekatan yang memberikan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi daripada kandungan ideology media (Nasir, 2007:24). Ekonomi politik sebagai suatu teori, menempatkan media sebagai bagian yang tidak terpisah dalam proses ekonomi, politik, dan sosial masyarakat. Cara pandang seperti ini menghindari terjadinya reduksi dan penyederhanaan yang menyempitkan skop pembahasan institusi media massa. Sebaliknya ia menempatkan media dalam kerangka
teori yang lebih luas. Sementara itu menurut Boyd Barret, perspektif ekonomi politik yang sekarang sering digunakan untuk mengkaji
keberadaan media massa dalam masyarakat
dianggap mempunyai signifikansi kritis yang biasanya dihubungkan dengan kepemilikan dan kontrol media yang mengaitkan industri media dengan industri lain, dengan elit politik, ekonomi dan sosial. (Boyd Barret,1995:186) Menjadi menarik untuk mencoba mengungkap lebih dalam bagaimana problematika regulasi penyiaran sistem stasiun berjaringan, dan mengamati di lapangan sejauh mana implementasinya hingga saat ini. Salah satunya adalah kota Semarang. Menarik untuk mengamati implementasi kebijakan SSJ di kota Semarang karena selain sebagai ibukota provinsi, selama ini Semarang menjadi salah satu kota yang dijadikan objek penghitungan rating oleh AC Nielsen. Namun uniknya meskipun menjadi kota yang dirujuk oleh media dalam perolehan rating, Semarang justru seringkali dilewatkan dalam berbagai event yang diselenggarakan oleh media nasional. Semarang sendiri memiliki industri penyiaran televisi yang cukup padat. Saat ini ada 4 stasiun televisi lokal yang beroperasi di Semarang, yaitu TV Borobudur (TVB), Pro TV, TVKU dan Cakra Semarang TV. Namun demikian perkembangan televisi lokal di Semarang tidak terlalu menggembirakan karena persaingan iklan dengan televisi nasional yang cukup berat. Karena itulah perlunya penelitian tentang implementasi kebijakan SSJ di Semarang ini dilakukan, untuk melihat bagaimana amanat UU penyiaran yang diharapkan dapat menjadi solusi atas persoalan industri penyiaran di daerah, seperti halnya di Semarang tersebut dijalankan.
1.2. PERUMUSAN MASALAH
Media massa merupakan sebuah kekuatan besar yang sangat diperhitungkan. Dalam berbagai analisis tentang kehidupan sosial, ekonomi dan politik, media sering ditempatkan sebagai salah satu variabel determinan. Dalam posisinya sebagai lembaga sosial, media massa berinteraksi dengan lembaga sosial lain. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi lembaga lain. Dalam keadaan beginilah ia memiliki regulasi. Regulasi ini bisa saja berbentuk peraturan pemerintah, keputusan pemerintah, dan undang-undang (UU). UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran mencoba untuk mengusung semangat demokratisasi dalam dunia penyiaran dengan kebijakan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Kebijakan tersebut oleh para pakar penyiaran dinilai mampu memberikan solusi untuk menciptakan suatu tatanan industri penyiaran yang menguntungkan semua pihak penyiaran terlebih bagi lapisan masyarakat di berbagai wilayah Republik Indonesia, karena spirit dasar dari sistem stasiun jaringan adalah terpenuhinya aspek diversity of ownership, diversity of content, dan kearifan lokal. Namun sayangnya hingga saat ini amanat tersebut tidak kunjung menampakkan hasilnya. Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana problematika dan dinamika ekonomi politik dalam proses implementasi regulasi
sistem
stasiun
jaringan?
Sejauh
mana
kebijakan
SSJ
tersebut
telah
diimplementasikan di lapangan, khususnya bagaimana implementasi kebijakan tersebut di kota Semarang? Serta bagaimana kebijakan media dalam melaksanakan amanat Sistem Stasiun jaringan tersebut?
1.3. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui bagaimana problematika regulasi penyiaran dan dinamika ekonomi politik regulasi penyiaran dalam UU No.32 Tahun 2002, terkait implementasi regulasi SSJ; (2) Mengetahui sejauhmana implementasi sistem stasiun berjaringan dilapangan, khususnya bagaimana implementasi kebijakan tersebut di kota Semarang; (3) Mengetahui bagaimana kebijakan media dalam melaksanakan amanat Sistem Stasiun jaringan tersebut.
1.4. KEGUNAAN PENELITIAN 1.4.1. Manfaat Akademis Penelitian ekonomi politik media di Indonesia memang sudah cukup banyak, namun masih sedikit yang menyinggung persoalan regulasi dan kebijakan komunikasi. Karena itu penelitian ini ingin memberikan kontribusi melengkapi khasanah studi komunikasi dalam kajian Communication and Law , dan diharapkan dapat memperkaya studi-studi komunikasi massa yang terkait dengan studi ekonomi politik media. 1.4.2. Manfaat Praktis Kebijakan Sistem Berjaringan merupakan amanat yang harus dilaksanakan karena diatur dalam Undang-Undang yang bersifat mengikat. Karena itu implementasinya dilapangan harus dipantau dan menjadi kajian penting. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi faktual yang mampu mendorong empowering bila terjadi ketidakadilan dan dominasi pada media yang bisa merugikan publik. 1.4.3. Manfaat Sosial Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan rekomendasi dan solusi yang bisa mendorong pemerintah dan media untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang lebih baik dan tepat, karena bagaimanapun juga media memiliki peranan sangat penting dalam pembangunan masyarakat dan demokrasi di Indonesia.
1.5. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 1.5.1. Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma kritis yang pada dasarnya dilakukan dengan tujuan mendobrak status quo dan membebaskan manusia yang tidak berkuasa terhadap kekuatan status quo dan struktur dan komunikasi yang menindas. Fokus utama pendekatan kritis adalah pada isu-isu ketidakadilan dan penindasan. Perhatian sebagian besar penganut pendekatan kritis ini tertuju pada masalah konflik kepentingan yang terjadi di masyarakat dan bagaimana komunikasi mengukuhkan dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lainnya (Littlejohn,1999:15). Penelitian dengan menggunakan paradigm kritis mengasumsikan bahwa realitas sosial itu memiliki berbagai macam tingkatan (multilevel layers). Dibalik realitas luar atau permukaan yang mudah diamati dengan mudah, terdapat struktur dan mekanisme “dalam” yang tidak bisa diamati. Peristiwa dan hubungan sosial yang “dangkal” didasarkan pada seberapa dalam struktur-struktur yang “tersembunyi” diamati dalam konteks hubungan sebab-akibat (Neuman:1997:75). Penelitian kritis memiliki kriteria sebagaimana yang dijelaskan Dedy N Hidayat (1999: 39-40) sebagai berikut: Secara Ontologism, Historical realism: realitas yang teramati (virtual reality) merupakan realitas “semu” yang telah terbentuk oleh proses sejarah, dan kekuatan-kekuatan sosial budaya,dan ekonomi politik. Secara Epistimologis, transactionalist/ subjectivist: hubungan antara peneliti dengan realitas yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Pemahaman tentang suatu realitas merupakan value mediated findings.
Secara Aksiologis, nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti menempatkan diri transformative intellectual, advocate dan aktivis. Tujuan penelitian adalah kritik social, transformasi emansipasi, dan social empowerment. Secara metodologis, participative: mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan multilevel analysis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis atau partisipan dalam proses transformasi social. Kriteria
kualitas
penelitian:
historical
situatedness,
sejauhmana
penelitian
memperhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi, politik. 1.5.2. Kajian Ekonomi Politik Perspektif kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif ekonomi politik. Ekonomi politik sendiri dikembangkan sebagai disiplin ilmu sejak abad 18 terutama sebagai respon terhadap akselerasi kapitalisme. Konsep ekonomi politik merupakan derivasi dari bahasa Yunani, ekonomi (oikos dan nomos) terkait pada tata atur rumah tangga, politik (polis) berdimensi kota-negara (city-state). Ini menjadi embrio bagi lahirnya konsepsi politik ekonomi klasik, ditandai oleh munculnya pandangan liberal yang diawali oleh Adam Smith, David Ricardo, dkk. Selanjutnya, ekonomi politik dipandang sebagai kombinasi dari kajian relasi negara/pemerintah terhadap aktivitas industri individu (Vincent Mosco, 1996) Pengertian „ekonomi politik‟ Menurut Sunarto13 bisa menjadi dua macam. secara sempit dan luas. Secara sempit Sunarto mengutip Mosco yang mengartikan ekonomi politik sebagai: “studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk didalamnya sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi”. Sedangkan secara luas ekonomi politik diartikan sebagai “kajian tentang kontrol dan pertahanan dalam kehidupan sosial.” Sunarto menjelaskan kontrol secara khusus dipahami sebagai pengaturan individu
13
Pakar Komunikasi, pengajar di FISIP Universitas Diponegoro
dan anggota kelompok secara internal yang untuk bisa bertahan mereka harus memproduksi apa yang dibutuhkan untuk dapat mereproduksi diri mereka sendiri. Proses kontrol ini secara luas bersifat politik karena dalam proses tersebut melibatkan pengorganisasian hubunganhubungan dalam sebuah komunitas. Proses bertahan (survival processes) secara mendasar bersifat ekonomis karena berhubungan dengan persoalan produksi dan reproduksi (Sunarto, 2009:14). Ekonomi-politik penyiaran dalam diskursus komunikasi memiliki dua aliran besar. Yang pertama, liberal political economy. Mufid menerjemahkannya sebagai instrumen untuk melihat perubahan sosial dan transformasi sejarah sebagai suatu doktrin dan seperangkat prinsip untuk mengorganisasi dan menangani ekonomi pasar, guna tercapainya suatu efisiensi yang maksimum, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu (Mufid, 2005: 83). sedangkan yang kedua, critical political economy yang melihat relasi antara agensi (individu dalam tema liberal) dan strtuktur (pasar dan negara) dengan lebih dinamis. Varian ini mencoba bersikap kritis terhadap proses-proses liberalisasi, dengan mengedepankan aspekaspek moral dan etika sosial (Sudibyo, 2004:6) Sudibyo juga menjelaskan pendekatan kritis dalam ekonomi-politik media dicirikan oleh 3 karakter sentral : (1) Pendekatan ekonomis bersifat holistik. Ia meneliti secara menyeluruh interelasi antara dinamika sosial, politik, dan budaya dalam suatu masyarakat, serta menghindari kecenderungan untuk mengabstraksikan realitas-realitas sosial ke dalam teori ekonomi atau teori politik. Media pertama-tama harus diletakkan dalam totalitas sistem yang yang lebih luas, sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, sosial dan politik yang berlangsung di masyarakat. Perusahaan media, struktur industri media, dan interaksi antara pers dan berbagai kelompok sosial, yang muncul dalam proses produksi dan mengonsumsi produk media, harus pula dipahami sebagai proses yang berlangsung dalam struktur politik otoritarian atau struktur ekonomi kapitalis yang secara spesifik tercipta di
negara tertentu, yang jika dirunut lagi juga sangat dipengaruhi oleh situasi-situasi global; (2) Pendekatan ekonomi politik bersifat historis. Bukan hanya berkaitan dengan fokus perhatian terhadap proses dan dialektika sejarah, melainkan terurtama sekali adalah ekonomi-politik kritis berusaha menjelaskan secara memadai bagaimana perubahan-perubahan dan dialektika yang terjadi berkaitan dengan posisi dan peranan media komunikasi
dalam sistem
kapitalisme global; (3) Pendekatan ekonomis politik bersifat praksis. Satu karakter yang berkembang terutama dalam studi-studi komunikasi di Frankruft School. Ekonomi-politik kritis mempunyai perhatian terhadap segi-segi aktivitas manusia yang bersifat kreatif dan bebas dalam rangka untuk mengubah keadaan, terutama di tengah arus besar perubahan sosial, kapitalisme. Pendekatan praksis memandang pengetahuan adalah produk dari interaksi dan dialektika antara teori dan praktik secara terus menerus. Selain itu, ada 2 karakter tambahan dalam studi ekonomi-politik kritis : (1) Orientasi terhadap filosofi moral. Perhatian-perhatian tidak hanya ditujukan pada ”what is” (apa itu) tetapi ”what ought be” (apa yang seharusnya). Studi ekonomi-politik kritis, misalnya saja concern terhadap peranan media dalam membangun konsesus dalam masyarakat kapitalis yang ternyata penuh distorsi. Dalam masyarakat yang tidak sepenuhnya egaliter, kelompokkelompok marginal tidak mempunyai banyak pilihan selain menerima dan bahkan mendukung sistem yang memelihara subordinasi mereka terhadap kelompok dominan; (2) ekonomi-politik kritis juga menaruh perhatian terhadap dampak-dampak kapitalisme terhadap proses-proses dan lembaga-lembaga komunikasi modern serta sejauh mana dampak-dampak ekonomi pasar terhadap pola-pola distribusi produk-produk budaya dan terhadap keberagaman bentuk dan struktur pemaknaan sosial. Critical political economy yang merupakan kajian tentang relasi-relasi sosial dan permainan kekuasaan memiliki tiga varian: Pertama, instrumentalis yang banyak dikembangkan oleh Herman dan Chomsky, cenderung menempatkan agen (tindakan yang
secara nyata dilakukan oleh actor sosial atau agen) pada posisi lebih dominan dalam suatu struktur atau kultur. Media dipandang sebagai instrumen dominasi yang bisa dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan penguasa politik dan pemilik modal. Varian kedua adalah strukturalis yang cenderung melihat struktur sebagai totalitas yang solid dan permanen. Struktur dianggap memiliki superioritas terhadap agen. Sedangkan Golding dan Murdock mengembangkan teori strukturasi Giddens, sebagai varian konstruktivis yang pada intinya melihat adanya interplay atau interaksi timbal balik antara struktur dan agen. Dalam pandangan ini, para aktor sosial (agensi) dianggap mampu merubah dan mereproduksi struktur (yang merupakan konstruksi social) secara konstan. Mosco (1996: 139) lebih jauh mengajukan tiga konsep entri bagi penerapanteori ekonomi politik dalam indusrti komunikasi yakni: komodifikasi (commodification), spasialisasi (spatialization) dan strukturasi (structuration) Pertama, komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Nilai tambahnya akan sangat ditentukan oleh sejauh mana produk media memenuhi kebutuhan individual maupun sosial; Kedua, Spasialisasi, berkaitan dengan sejauh mana media mampu menyajikan produknya di depan pembaca dalam batasan ruang dan waktu. Pada aras ini maka struktur kelembagaan media menentukan perannya di dalam memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk media di hadapan khalayak. Perbincangan mengenai spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media, apakah berbentuk korporasi yang berskala besar atau sebaliknya, apakah berjaringan atau tidak, apakah bersifat monopoli atau oligopoli, konglomerasi atau tidak. Dan terakhir, strukturasi berkaitan dengan relasi ide antara masyarakat, proses sosial dan praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses
dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Gagasan tentang strukturasi ini pada mulanya dikembangkan oleh Anthony Giddens (Mosco: 1996: 212) Konteks ekonomi politik seringkali dikaitkan dengan isu demokrasi, karena konteks ekonomi-politik media memiliki tiga tolok ukur sistem sosial politik yang demokratis. Pertama, peniadaan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Kedua, pembentukan kesadaran bersama (shared consciousness) mengenai pentingnya meletakkan kepentingan bersama (public interest) di atas kepentingan pribadi. Terakhir, demokrasi membutuhkan sistem komunikasi politik yang efektif. Warga negara harus terlibat secara aktif dalam proses-proses pembentukan kebijakan yang menyangkut kepentingan umum. (Mufid, 2005: 85) Mufid merangkum tema demokrasi dalam konteks ekonomi-politik ini sbb: Tema demokrasi, dengan demikian bisa diartikan sebagai suatu sistem social politik yang memberikan jaminan penuh terhadap kebebasan individu. Hanya, kebebasan tersebut baru akan berarti bila setiap individu warga negara dapat memproleh informasi yang cukup serta memiliki keterlibatan dan partisipasi politik yang tinggi. Sebaliknya, ketiadaan informasi serta tertutupnya ruang politik bagi masyarakat hanya akan mempersulit warga untuk mempersoalkan proses alokasi kekuasaan dan sumber daya. Keberagaman yang muncul dari kebebasan individu tadi mensyaratkan adanya pluralisme. Dalam kehidupan media, pluralisme eksternal media akhirnya menjadi pilar bagi pertumbuhan demokrasi. Berkaitan dengan hal ini, ada dua hal mengenai media dalam konteks ekonomi-politik yang hendaknya menjadi perhatian, yakni konsentrasi dan konsolidasi media. Konsentrasi media menyangkut sebaran kepemilikan media. Pemusatan kepemilikan media yang terlalu mutlak (kepemilikan monopolistik, kepemilikan menyilang, dan kepemilikan oligarki) dianggap tidak menguntungkan bagi demokrasi. Untuk itu, Keberagaman sumber-sumber daya media semacam media penyiaran publik, media
penyiaran komunitas, media penyiaran swasta, dan media penyiaran jaringan perlu mendapat posisi yang proporsional. Selain itu, konsolidasi media yang menyangkut proporsi mengenai jumlah dan jenis media yang harus ada. Berapa banyak media penyiaran publik, media penyiaran swasta, media penyiaran komunitas, dan media penyiaran jaringan yang harus ada, bukan saja tergantung pada ketersediaan frekuensi/saluran, tetapi juga pada kecenderungan pengeluaran publik dan kebutuhan akan pluralisme isi media. Sudibyo menguatkan konteks ekonomi politik ini sebagai pemberi perhatian yang besar terhadap faktor-faktor ideologis dan politis yang pengaruhnya bersifat laten terhadap masyarakat. Mengutip pendapat James Curran, Sudibyo memaparkan empat proses sejarah yang menjadi fokus dalam tradisi kritis studi ekonomi-politik media: (1) Pertumbuhan media; (2) Perluasan jangkauan perusahaan dalam industri media; (3) proses komodifikasi informasi; (4) perubahan peran negara dan intervensi pemerintah (Sudibyo, 2004:9) 1.5.3. Regulasi Penyiaran Persoalan yang akan dianalisis dalam perspektif ekonomi politik dalam penelitian ini adalah masalah implementasi Regulasi Penyiaran. Regulasi Penyiaran sebagaimana Undang-undang No.32 Tahun 200214, pada dasarnya merupakan bentuk kebijakan komunikasi. Kebijakan komunikasi oleh Ana Nadya Abrar15 dimaknai seluruh peraturan yang mengatur proses komunikasi masyarakat, termasuk media di dalamnya. Kebijakan komunikasi merupakan kebijakan publik, dan sebagai kebijakan publik, kebijakan komunikasi memiliki paling tidak lima kriteria, yaitu: (1) memiliki tujuan tertentu; (2) berisi tindakan pejabat pemerintah; (3) memperlihatkan apa yang akan dilakukan pemerintah; (4) bisa bersifat positif atau negative; dan (5) bersifat memaksa /otoritatif (Abrar, 2008: 13)
14
UU ini mengatur tentang pokok-pokok penyiaran nasional dan ditetapkan pada 28 Desember 2002 di Jakarta. Menggantikan UU No.24 Tahun 1997 dan terdiri atas 12 bab,64 pasal yang mencakup ketentuan-ketentuan umum; asas, tujuan, fungsi dan arah; penyelenggaraan penyiaran; KPI; jasa penyiaran; lembaga penyiaran; pelaksanaan penyiaran; pedoman perilaku penyiaran; peran serta masyarakat dan sebagainya. 15 Abrar adalah pakar kebijakan komunikasi, penulis serta pengajar di Fisipol UGM
UU No.32 Tahun 2002 penting karena media penyiaran merupakan media komunikasi massa yang menggunakan frekuensi terbatas milik publik, dan mampu mempengaruhi masyarakat. Ini sejalan dengan dua teori penting yang diungkapkan oleh Joseph R. Dominick tentang penyiaran. Pertama, The scarcity theory, teori ini mengungkapkan bahwa pada hakekatnya jumlah frekuensi yang ada di muka bumi ini terbatas. Oleh karena itu, tidak semua individu dapat menggunakannya. Meskipun demikian, pada dasarnya kita memiliki hak yang sama untuk memanfaatkannya. Penentuan siapa yang boleh mengelola sebuah frekuensi menjadi penting karena logika yang berlawanan tersebut. Kedua, The pervasive presence theory, teori ini mengungkapkan bahwa media penyiaran mempunyai pengaruh yang besar dengan variasi-variasi pesan yang dimilikinya. Dengan penetrasi yang besar bahkan menembus pada wilayah pribadi, perlu diaturlah agar semua kepentingan masyarakat dapat terlindungi dan terwadahi. Mike Feintuck dalam buku Media Regulation (1999;43-45) mengemukakan beberapa alasan yang bisa menjustifikasi penyusunan regulasi penyiaran karena empat hal, yaitu: “komunikasi yang efektif, diversitas antara politik dan budaya, justifikasi ekonomi dan public service”. Pertama, komunikasi yang efektif selain berhubungan dengan keterbatasan frekuensi, juga berkaitan dengan demokratisasi komunikasi, yang meliputi jaminan negara untuk memungkinkan terjadinya keberagaman komunikasi. Tanpa regulasi yang menjamin keberagaman penyiaran, kondisi yang berkembang akan cenderung monopolistik. Kondisi yang monopolistik merupakan medium menuju monopoli informasi, yang berujung pada monopoli kebenaran. Feintuck secara lugas menunjuk kondisi yang demikian sebagai “komunikasi yang tidak efektif”. Kedua, diversitas Politis dan Kultural. Secara politis, diversitas bertalian erat dengan nilai demokrasi yang menghendaki terjadinya aliran ide secara bebas melalui sesuatu instrumen yang memungkinkan semua orang dapat mengaksesnya secara merata. Jika satu-
dua orang atau kelompok mendominasi kepemilikan media, dan menggunakan posisi tersebut untuk mengontril isi tampilan media, maka ketika itulah terjadi reduksi “keberagaman sudut pandang” (heteredox view). Ia membagi diversitas horisontal yaitu varietas jumlah program atau tipe program yang ditawarkan pada konsumen dalam satu kurun waktu bersamaan, dan diversitas vertikal, yaitu jumlah varietas program yang ditawarkan suatu channel kepada konsumen dalam keseluruhan nasional. Ketiga, justifikasi ekonomi. Pertahanan ekonomi pasar didasarkan pada persepsi keuntungan yang muncul dari operasi kompetitif pasar. Ini menurut pasar untuk efisien. Bagaimanapun tuntutan keuntungan yang menghendaki efisiensi harga mungkin berbenturan dengan harapan akan keadilan sosial. Faktor ini mempengaruhi pentingnya kebijakan pemerintah akan regulasi media. Keempat, public service secara jelas diidentifikasi dan diartikulasikan menjadi kunci untuk mengetahui pemahaman obyektif. Ini jelas sejak semula sebagai bagian interen diantara empat dasar rasional regulasi media. Dengan karakteristik media yang berupaya memaksimalkan keuntungan, dikhawatirkan media hanya memprioritaskan dirinya dalam struktur untung rugi tanpa memperhatikan pelayanan publik secara nyata. Berdasarkan teori- teori tersebut, sistem kepemilikan dan pengelolaan media penyiaran diberbagai negara umumnya tidak terpusat pada satu pihak dalam masyarakat. Menurut Dominick dalam Masduki (2007: 5), ada tiga model kepemilikan media penyiaran sebagai berikut: Tabel 1.1. Model Kepemilikan Media Penyiaran Pemilik Media Tujuan
Government Agency (Penguasa) Mobilization (mobilisasi social politik)
Government Corporation (Publik) Education/ Cultural Enlightenment (pendidikan, budaya dan penyadaran)
Private (Swasta) Profit (mencari untung)
Regulasi Pendanaan
Strong (ketat) Government (dana Pemerintah)
Program
Ideological/ Cultural (ideologisasi)
Moderete (Sedang) Licence fee/ Tax, government advertising (pajak, iuran dan dana pemerintah) Cultural/ Educational/ Entertainment (budaya, pendidikan dan hiburan)
Weak (lemah) Advertising (periklanan)
Entertainment (hiburan)
Sumber: Masduki, 2007:6
Bentuk kepemilikan media pada dasarnya berpengaruh terhadap skala supervisi publik. Seperti yang diungkapkan Effendi Gazali dalam Masduki (2007:9), “Makin komersial media penyiaran maka makin lemah akses publik untuk memilikinya secara adil dan memadai”. Karena itu regulasi penting untuk mengatur kepemilikan dan pengelolaan media penyiaran agar tidak terjadi dominasi kelompok tertentu dalam media yang dapat memunculkan keseragaman konten sehingga iklim media menjadi tidak demokratis. Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran, mencoba untuk menegakkan demokratisasi di bidang penyiaran dengan mengusung prinsip diversity of ownership (keberagaman kepemilikan) dan diversity of content (keberagaman isi) sebagai prinsip dasar penyiaran di Indonesia16. Prinsip dasar tersebut berusaha diwujudkan melalui berbagai kebijakan penyiaran, termasuk kebijakan Sistem Stasiun Jaringan. 1.5.4. State of the art (perkembangan kajian yang relevan) Meskipun kajian mengenai implementasi kebijakan regulasi penyiaran masih sangat minim, namun ada beberapa penelitian relevan yang sudah pernah dilakukan serta menjadi sumbangan berharga bagi ranah pijakan dalam penelitian ini, antara lain: Pertama, penelitian yang dilakukan oleh B. Nugroho Sekundatmo, yakni “Kontestasi Negara, Industri dan masyarakat sipil dalam kontroversi peraturan pemerintah tentang
16
Lihat “Ketentuan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik Penyiaran, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia”
penyiaran” Penelitian dalam rangka tesis di Universitas Indonesia ini selesai pada tahun 2006. Studi yang
diabdikan untuk mencapai tujuan akhir perubahan sistem penyiaran
nasional dari tersentralisasi menuju sistem penyiaran lokal berjaringan ini menemukan bahwa kontestasi masalah adalah, pertarungan antara rezim market regulation melawan public regulation. Sedangkan pihak yang diuntungkan adalah para pemilik modal TV/Radio yang sudah mapan di industri penyiaran Indonesia. Sumbangan studi ini adalah memberikan pijakan atas gambaran makro tentang kondisi ranah penyiaran terkait kontroversi dalam regulasi atau Undang-Undang penyiaran No.32 tahun 2002. Kedua, studi yang dilakukan oleh Primasanti: “Studi Eksplorasi Sistem Siaran Televisi Berjaringan di Indonesia”. Studi tersebut melakukan pembacaan atas sistem siaran televisi berjaringan yang dilakukan dari akar kemunculannya; penyelenggaraan dan pengelolaan sistem siaran berjaringan; serta isu yang muncul sesuai dengan konteks wilayah. Sumbangan studi ini membantu peneliti dalam pijakan tentang konsep dan berbagai bentuk penerapan dari sistem stasiun berjaringan.
1.6. METODE PENELITIAN 1.6.1. Tipe Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan ini dipakai karena peneliti bermaksud memperoleh gambaran yang mendalam tentang implementasi implementasi kebijakan SSJ dalam regulasi penyiaran dan dinamika ekonomi politik yang melingkupinya. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan
melakukan studi pada situasi yang alami sehingga dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Kasus 17 dengan jenis studi kasus jamak dengan Multi level analysis karena obyek dalam penelitian ini terdiri dari berbagai kelompok yang berbeda, serta bermaksud menyoroti berbagai tingkatan masalah penting yaitu: kondisi makro industri media dan regulasinya di Indonesia, dinamika ekonomi politik dalam implementasi SSJ, serta strategi dan kebijakan media yang berkepentingan dalam SSJ. 1.6.2. Situs Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Semarang dengan ruang lingkup waktu penelitian antara bulan Maret – November 2010 1.6.3. Subjek Penelitian Fokus penelitian ini adalah mengkaji implementasi sehingga yang menjadi informan penelitian adalah para implementor, regulator dan unsur lain yang dapat mendukung penelitian ini. Regulator kebijakan Sistem Stasiun Jaringan dalam UU Penyiaran No.32 tahun 2002 yang menjadi infoman dalam penelitian ini, yaitu: Hari Wiryawan, anggota KPID Jateng dan, Erry Derima Ryanto dari Dinhubkominfo provinsi Jateng Implementator kebijakan Sistem Stasiun Jaringan dalam UU Penyiaran No.32 tahun 2002 yang menjadi infoman dalam penelitian ini adalah para pengelola media televisi swasta, yaitu; (i) Deny Reksa, pengelola MNC yang mewakili representasi televisi nasional karena MNC sendiri menaungi 3 televisi nasional yaitu, RCTI, TPI dan
17
Metode Studi Kasus adalah suatu pendekatan penelitian yang cukup mapan dimana fokusnya diletakkan pada sebuah kasus tertentu (kasus individu, kelompok, organisasi, dan sebagainya) dan memperhatikan dengan jeli konteksnya. Salim dalam bukunya“Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan penerapannya)”, Yogyakarta, PT Tiara Wacana Yogya, 2001, hal: 93 menyebutkan studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan atau menginterpretasi suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar.
Global TV. (ii) Direktur TVKU, Lilik Eko Nuryanto dan Direktur Utama Cakra TV Semarang I Nyoman Winata, sebagai representasi pengelola stasiun televisi lokal yang ada di Semarang. Sedangkan informan lain yang dianggap dapat mendukung penelitian ini untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan persoalan dalam penelitian adalah Triyono Lukmantoro, seorang pakar komunikasi yang mengajar ilmu komunikasi di Universitas Diponegoro, Semarang, yang pernah memberikan beberapa tanggapan tentang Sistem Stasiun Jaringan di media. 1.6.4. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa teks, kata-kata tertulis serta tindakan dan peristiwa-peristiwa yang termuat dalam berbagai artikel maupun yang teramati secara langsung dalam kehidupan sosial. 1.6.5. Sumber Data Data yang diperoleh dari sumber: (1) Data Primer merupakan data yang didapat dari sumber informan pertama yaitu individu atau perseorangan seperti hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti. Ini diperoleh melalui wawancara dengan narasumber yang dianggap berhubungan dan tahu mengenai masalah dalam penelitian. Dalam penelitian ini yang dianggap sebagai informan kunci adalah pengelola televisi swasta sebagai implementator, KPID dan dinhubkominfo sebagai regulator dan pemerhati media/ akademisi; (2) Data Sekunder merupakan data yang dihimpun oleh pihak lain yang berguna untuk membantu langkah-langkah penelitian. Data sekunder didapatkan dengan studi pustaka dan literatur. 1.6.6. Teknik Pengumpulan Data Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, digunakan beberapa teknik pengumpulan data antara lain: (1) Dokumen Analisis: digunakan dengan menelaah dan menganalisis data-data yang telah ada baik mulai dari Undang-Undang Penyiaran, Peraturan
Menteri terkait sistem stasiun Jaringan, Dokumen- dokumen pengajuan IPP televisi swasta di Semarang, serta berbagai dokumen lain yang dapat mendukung atau menunjang obyektifitas dan kevalidan
penelitian; (2) Pengamatan/Observasi yang dimaksud adalah kegiatan
pengamatan dan pencatatan secara langsung terhadap obyek penelitian guna memperoleh data yang aktual dari sumber data. Cara ini ditempuh dengan mengamati baik terlibat secara langsung maupun tidak langsung untuk memudahkan memperoleh data yang diinginkan. Observasi yang dilakukan antara lain mengenai kondisi pelaksanaan (implementasi) kebijakan Sistem stasiun Jaringan di kota Semarang; (3) Wawancara mendalam (in-depth interviews) sebagai teknik pengumpulan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan tertentu. Wawancara dilakukan untuk mendapat berbagai informasi menyangkut masalah yang diajukan dalam penelitian. Wawancara dilakukan kepada responden yang dianggap menguasai masalah penelitian, dalam hal ini regulator dan implementator kebijakan sistem stasiun jaringan. 1.6.7. Analisis dan Interpretasi Data Untuk menganalisis penelitian ini, maka dilakukan dengan langkah-langkah18 sebagai berikut: (1)Pengumpulan informasi, melalui dokumentasi, wawancara, dan observasi langsung; (2) Reduksi. Langkah ini adalah untuk memilih informasi mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan masalah penelitian; (3) Penyajian. Setelah informasi dipilih maka disajikan bisa dalam bentuk tabel, ataupun uraian penjelasan. (4) Tahap akhir, adalah menarik kesimpulan. 1.6.8. Kualitas Data Menurut Satori dan Komariah (2009:164), penelitian kualitatif dinyatakan absah apabila memiliki derajat keterpercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Satori dan Komariah menjelaskan: (i) 18
Langkah-langkah untuk menganalisis data penelitian yang menggunakan metode studi kasus, disarankan Robert K. Yin untuk merujuk pada Miles dan Huberman , 1984
Keterpercayaan (credibility/ validitas internal), kredibilitas adalah ukuran kebenaran data yang dikumpulkan, yang menggambarkan kecocokan konsep peneliti dengan hasil penelitian. Kredibilitas (derajat kepercayaan) data diperiksa melalui kelengkapan data yang diperoleh dari berbagai sumber; (ii) Keteralihan (Transferability/ validitas eksternal), Nasution dalam Satori dan Komariah (2009: 165) menjelaskan” Bagi penelitian kualitatif, transferabilitas tergantung pada si pemakai yakni, sampai manakah hasil penelitian itu dapat mereka gunakan dalam konteks dalam situasi tertentu. Karena itu, transferabilitas hasil penelitian ini diserahkan kepada pemakainya.” Bila pembaca mendapatkan gambaran yang jelas dari suatu hasil penelitian dapat dilakukan ((transferability), maka hasil penelitian tersebut memenuhi standar transferabilitas; (iii) Kebergantungan (dependability/ reliabilitas), pengujian dilakukan dengan mengaudit seluruh proses penelitian; aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian. Bagaimana peneliti menentukan masalah, memasuki lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis data, melakukan uji keabsahan data, dan membuat kesimpulan. Jika peneliti tidak mempunyai dan tidak dapat menunjukkan aktivitas yang dilakukan di lapangan, maka dependendabilitas penelitiannya patut diragukan. (iv)Kepastian (conformability/ objektivitas), menunjukkan bahwa data yang diperoleh dapat dilacak kebenarannya dan sumber informannya jelas. Penelitian dikatakan objektif jika hasil penelitian telah disepakati banyak orang.
1.7. KETERBATASAN PENELITIAN Disamping manfaat yang diharapkan penelitian ini juga memiliki keterbatasan, antara lain: (1) Sifat penelitian kualitatif yang lebih menitik beratkan pada kedalaman pemerolehan informasi/ data melalui kontak dan interaksi langsung dengan informan, kadangkala menyebabkan kendala tersendiri dalam pemerolehan informasi yang diperlukan. Hal ini disebabkan oleh sifat informasi yang terkait dalam penelitian ini ada yang terkait dengan
black-box area para informan yang
tidak mudah untuk diperoleh dan diungkap; (2)
Penelitian ini dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, padahal dinamika persoalan dilapangan berubah sangat cepat. Oleh karena itu sangat mungkin apabila dalam meneliti sebuah relitas yang berlangsung terdapat perkembangan baru yang terjadi. Sedangkan penelitian ini telah selesai, sehingga tidak tercover dalam penelitian ini, atau bisa saja berbenturan dengan gagasan utama dalam penelitian ini.
BAB 2 SISTEM STASIUN JARINGAN: REGULASI DALAM INDUSTRI PENYIARAN DI INDONESIA
Eforia desentralisasi pasca reformasi yang menyentuh berbagai bidang, ikut melahirkan kebijakan baru pada ranah penyiaran dalam seperangkat peraturan atau regulasi yang terangkum dalam UU penyiaran Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Salah satu kebijakan penting didalamnya adalah pengaturan tentang sistem stasiun jaringan. Kebijakan tersebut menjadi kebijakan yang sangat fundamental mengubah sistem penyiaran Indonesia
dari sistem terpusat menjadi sistem jaringan yang membawa semangat desentralisasi dengan tujuan pemerataan dan keadilan, agar daerah dapat menikmati manfaat yang lebih baik dari ranah penyiaran, baik di wilayah isi siaran (diversity of content) maupun di wilayah bisnis ekonomi penyiaran (diversity of ownership). Pada bab ini akan diuraikan konsep tentang sistem stasiun jaringan, pelaksanaan SSJ di Amerika sebagai perbandingan, SSJ di Indonesia, historical situatedness, perkembangan, serta bagaimana segala dinamika ekonomi politik SSJ dalam industri televisi di Indonesia hingga menjelang implementasinya.
2.1. SISTEM STASIUN JARINGAN Deskripsi jaringan menurut Head dan Sterling (1982 ) sebagaimana dikutip Morissan dalam bukunya Manajemen Media Penyiaran (2008: 108-109), adalah “ two or more stasions interconnected by some means of relay (wire, cable, terrestrial microwaves, satellite) so as to enable simultaneous broad casting of the same program “ artinya : dua atau lebih stasiun yang saling berhubungan melalui relai (kawat, kabel, gelombang mikro terrestrial, satelit) yang memungkinkan terjadinya penyiaran program secara serentak. Sedangkan Hiebert, Ungurait, Bohn yang dikutip Primasanti,19 menekankan konsep berjaringan lebih pada aspek organisasional, dengan mengatakan bahwa siaran berjaringan merupakan pengorganisasian program, marketing, teknis dan administrasi dari beberapa stasiun oleh sebuah stasiun jaringan. Siaran berjaringan secara umum oleh Ashadi Siregar sebagai sistem pemasokan siaran secara sentral kepada sejumlah stasiun penyiaran. Tentang sistem penyiaran jaringan Siregar menjelaskan sebagai adanya suatu stasiun induk dengan sejumlah stasiun lokal yang menjadi periferal dalam penyiaran. Hubungan stasiun induk dengan stasiun lokal berupa pemilikan 19
Lihat Primasanti, “ Studi Eksplorasi Sistem Siaran Televisi Berjaringan di Indonesia” Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol. 3, No. 1, Januari 2009: 85 - 102
penuh atau persahaman, dan bersifat terkait dalam pasokan (feeding) program (Siregar, 2001:10) Secara umum dapat dipahami bahwa konsep stasiun jaringan adalah sejumlah stasiun penyiaran yang saling berhubungan untuk dapat menyiarkan program secara serentak. Atau dengan kata lain, stasiun jaringan adalah merupakan pola bergabungnya stasiun penyiaran lokal untuk dapat menyiarkan program secara bersama-sama sehingga membentuk wilayah siaran yang lebih luas. Untuk lebih memahami tentang sistem penyiaran berjaringan ini kita perlu mempelajari sistem penyiaran jaringan di negara lain khususnya di AS yang memiliki industri penyiaran yang besar dengan sejarahnya yang panjang. Apalagi sistem ini memang dikembangkan pertama kali di AS. Sistem penyiaran jaringan pertama kali diterapkan di AS di mana sejumlah Stasiun Radio lokal bergabung untuk menyiarkan program secara bersama-sama. Berbagai stasiun radio yang pada awalnya memiliki wilayah siaran terbatas di wilayah atau lokalnya masingmasing dan hanya melayani komunitas atau masyarakatnya masing-masing dapat melakukan siaran bersama sehingga membentuk wilayah siaran yang lebih luas. Pola jaringan ini kemudian diikuti pula oleh stasiun yang muncul kemudian. Pertumbuhan dan perkembangan industri penyiaran di Amerika dimulai dari stasiun penyiaran radio dan televisi lokal. Latar belakang terbentuknya sistem jaringan di Amerika adalah murni bisnis yakni agar pemasang iklan bisa mempromosikan produknya kepada masyarakat yang lebih luas. Pada sistem siaran berjaringan ini perusahaan yang menjual barang atau jasa secara nasional memilki pilihan media yang lebih banyak untuk beriklan. Perusahaan dapat beriklan melalui televisi induk yang berjaringan dengan berbagai televisi daerah atau beriklan melalui
televisi daerah secara individual. Selain itu. Pemasang iklan nasional dapat beriklan pada stasiun daerah tertentu saja, jika tingkat penjualan pada daerah dimaksud menurun. Stasiun jaringan menyiarkan programnya melalui berbagai stasiun lokal yang menjadi afiliasinya yang terdapat di berbagai daerah. Melalui stasiun induk, pemasang iklan dapat menyiarkan pesan iklannya kehampir seluruh wilayah Negara secara serentak. Salah satu keuntungan memasang iklan pada sistem penyiaran berjaringan adalah kemudahan dalam proses pembelian waktu siaran iklan sebagaimana stasiun penyiaran nasional. Pemasang iklan hanya berurusan dengan satu pihak saja yaitu stasiun induk atau perwakilannya. Pemasang iklan yang tertarik untuk menjangkau sebagian besar khalayak di seluruh negeri dapat menggunakan stasiun penyiaran jaringan dalam mempromosikan produknya. 2.1.1. Kriteria Jaringan Menurut Morissan (2008) ada hal penting yang perlu dipahami, bahwa terdapat dua pihak dalam sistem penyiaran berjaringan yaitu : (1) Stasiun jaringan atau disebut juga dengan stasiun induk, yaitu stasiun penyiaran yang menyediakan program. Stasiun induk pada dasarnya tidak memiliki wilayah siaran sehingga stasiun induk tidak dapat menyiarkan programnya tanpa bekerja sama dengan stasiun lokal yang memiliki wilayah siaran; (2) Stasiun lokal , yang terdiri dari stasiun lokal independent dan stasiun lokal afiliasi yaitu stasiun lokal yang bekerja sama (berafiliasi) dengan salah satu stasiun induk untuk menyiarkan program stasiun induk di wilayah siaran lokal, di mana stasiun afiliasi berada. Stasiun afiliasi memiliki wilayah siaran namun sifatnya terbatas di daerah tertentu saja. Kerja sama ini menghasilkan siaran berjaringan karena terdapat sejumlah stasiun lokal yang berafiliasi untuk menyiarkan siaran stasiun induk. Jadi dalam berjaringan harus ada stasiun jaringan dan ada stasiun afiliasi. Namun untuk dapat disebut „jaringan‟ juga terdapat ketentuan jumlah minimal stasiun penyiaran
yang mau bergabung untuk membentuk suatu jaringan penyiaran. Jumlah minimal stasiun penyiaran ini harus dipenuhi terlebih dahulu agar dapat dinyatakan sebagai stasiun berjaringan secara hukum. Karenanya Head dan Sterling, menyatakan bahwa stasiun jaringan harus membentuk jaringan minimal yang diakui secara hukum. Setiap negara yang memiliki sistem penyiaran dengan pola jaringan memiliki ketentuan berbeda-beda mengenai ketentuan minimal suatu jaringan. Di AS, anggota jaringan paling sedikit terdiri dari 25 stasiun penyiaran. Sebagaimana ketentuan lembaga berwenang di bidang penyiaran di AS, yaitu FCC yang mendefinisikan jaringan sebagai : “Any program service that offers at least 15 hours of programming each week to at least 25 stations in states.” (setiap program [televisi atau radio] yang melakukan siaran minimal 15 jam perminggu kepada minimal 25 stasiun di 10 wilayah negara bagian). Dengan demikian, menurut ketentuan FCC itu, selain jumlah stasiun yang menerima program siaran ditentukan minimal 25 stasiun, durasi program siaran ditetapkan minimal 15 jam per minggu.
Willis dan Aldridge (1992), menambahkan ketentuan atau kriteria pengertian jaringan dengan menyebutkan : There are several different kinds of networks, but all of them have one thing in common: they distribute program simultaneously to affiliated stations. (Terdapat beberapa jenis jaringan, namun semuanya memiliki satu kesamaan: jaringan menyiarkan program secara serentak kepada stasiun afiliasinya). Ketentuan ini menegaskan bahwa stasiun jaringan harus menyiarkan programnya kepada berbagai stasiun afiliasinya secara serentak. Dengan demikian, sistem jaringan tidak terjadi jika stasiun lokal melakukan siaran tunda yaitu dengan merekam terlebih dahulu baru kemudian menyiarkannya. Dengan demikian, di Amerika Serikat, suatu stasiun penyiaran dikategorikan stasiun jaringan jika mengirimkan siarannya selama paling sedikit 15 jam seminggu kepada
sekurang-kurangnya 25 stasiun di 10 negara bagian. Perlu digarisbawahi di sini kalimat at least 25 stations in 10 states mengacu kepada 25 stasiun penyiaran lokal. Selain stasiun jaringan yang bersifat nasional, Amerika Serikat memiliki stasiun jaringan (radio dan televisi) yang meliputi wilayah yang lebih kecil-misalnya satu negara bagian yang jumlahnya jauh lebih banyak. Secara keseluruhan tipe- tipe stasiun jaringan itu adalah sebagai berikut : (1) Jaringan penuh (full-service networks); (2) Jaringan regional (regional networks); (3) Jaringan khusus (special networks) ; (4) Jaringan kabel (cable networks) Di AS, jika orang mengatakan stasiun jaringan, maka yang dimaksudkan adalah stasiun jaringan terbesar di negara itu yaitu : American Broadcasting Company (ABC), Columbia Broadcasting System (CBS), dan The National Broadcasting Company (NBC), ketiga stasiun ini berdiri tidak lama setelah Perang Dunia ke-2. sedangkan untuk radio jaringan adalah The Mutual Broadcasting System (MBS). Stasiun jaringan ini menyiarkan secara terus-menerus dan serentak berbagai program siarannya kepada televisi lokal sehingga disebut dengan full service radio and television networks. Stasiun jaringan regional di AS pada awalnya dipelopori oleh radio. Namun saat ini, sudah terdapat pula stasiun jaringan televisi regional. Beberapa stasiun radio bergabung melakukan siaran bersama pada suatu wilayah tertentu. Ini merupakan cara stasiun radio untuk menjaring lebih banyak pemasang iklan. Pemasang iklan tertarik memasang iklan karena lebih banyak audien yang dapat dijangkau dalam satu kali penayangan iklan dengan tarif (secara komulatif) lebih murah. Bagi pemasang iklan adanya stasiun jaringan regional ini lebih menguntungkan karena dapat membidik masyarakat tertentu berdasarkan demografinya. Jika sasaran audien yang dituju adalah masyarakat petani, maka pemasang iklan dapat mengiklankan produknya pada stasiun jaringan regional yang berada di kawasan pertanian.
Stasiun jaringan khusus terjadi jika sejumlah stasiun menyiarkan secara serentak suatu peristiwa atau program khusus misalnya peristiwa olahraga dan acara khusus lainnya dan hanya berlaku pada saat itu saja. Jaringan khusus dimungkinkan terbentuk karena jasa satelit komunikasi. Selain menyiarkan peristiwa tertentu, jaringan khusus juga dapat dibentuk untuk melayani komunitas tertentu misalnya: jaringan masyarakat kulit hitam di AS, masyarakat keturunan Spanyol, dan sebagainya. Jaringan kabel menyiarkan programnya kepada audien yang berlangganan. Jaringan televisi kabel di Indonesia disebut dengan televisi berlangganan yang merupakan salah satu bentuk jaringan yang ada. Disebut jaringan karena program siaran dipancarkan secara serentak dari sentralnya ke berbagai perusahaan siaran berlangganan yang ada di berbagai negara.
2.1.2. Kerjasama Jaringan Di Amerika Serikat, kerjasama antara stasiun jaringan dan stasiun afiliasi diatur dalam ketentuan yang disebut Chain Broadcasting Regulation (CBR). Inti dari peraturan ini adalah larangan bagi stasiun jaringan dan afiliasinya (stasiun lokal) untuk membuat kontrak kerja sama yang membatasi atau mengekang kebebasan stasiun afiliasi dalam hal: (i) Eksklusivitas. Kontrak yang dibuat antara stasiun jaringan dan stasiun lokal tidak boleh memuat ketentuan yang bertujuan untuk melarang stasiun lokal untuk menerima dan menyiarkan program atau acara dari stasiun jaringan lainnya. Begitu pula stasiun lokal tidak diperkenankan melarang stasiun jaringan menawarkan program atau acara yang sudah di tolak sebelumnya oleh stasiun lokal bersangkutan kepada stasiun lokal lainnya di wilayah yang sama. (ii) Masa kontrak. kontrak kerja sama harus dibatasi untuk periode waktu tertentu. Di AS, masa kontrak antara televisi jaringan dan lokal berlaku untuk hanya selama
masa dua tahun, namun dapat diperbarui atau di perpanjang lagi. Ketentuan ini memberikan kebebasan kepada stasiun lokal untuk bekerja sama dengan stasiun jaringan lainnya begitu pula sebaliknya. (iii) Kepemilikan jaringan. Stasiun jaringan tidak diperkenankan untuk memiliki lebih dari satu stasiun afiliasi pada wilayah yang sama. (iv) Penolakan program. Stasiun lokal memiliki hak untuk menolak program siaran dari jaringan. Alasan utama penolakan ini bisa karena pertimbangan ekonomis atau kepentingan lainnya. Stasiun lokal terkadang mendapatkan keuntungan lebih besar dengan mmenyiarkan program yang bukan berasal dari jaringan. Stasiun jaringan tidak boleh memaksa stasiun afiliasinya untuk mempersiapkan waktu siaran khusus bagi program dari stasiun jaringan (clearance of time). Selain karena pertimbangan ekonomis, penolakan dapat dilakukan jika program yang akan disiarkan itu, menurut stasiun afiliasi, dinilai tidak memuaskan, tidak cocok, bertentangan dengan kepentingan masyarakat, bentrok dengan penayangan program lain yang lebih penting dan alasan penting lainnya. Dengan demikian, stasiun lokal akan menyediakan seluruh waktunya kepada jaringan kecuali jika ada pertimbangan lain yang lebih menguntungkan. Ketentuan ini betul-betul memberi kebebasan kepada stasiun lokal untuk memilih program yang dikehendakinya sesua dengan kepentingan daerah. (v) Penayangan Iklan. Stasiun jaringan tidak diperkenankan memengaruhi pemasang iklan untuk tidak memasang iklan pada stasiun lokal yang menjadi afiliasinya. Kasus ini terjadi ketika banyak stasiun jaringan berupaya meyakinkan pemasang iklan untuk hanya beriklan melalui saluran jaringan karena dianggap lebih menguntungkan dan menghilangkan kesempatan stasiun afiliasi untuk menerima iklan. Selain ketentuan mengenai Chain Broadcasting Regulation tersebut di atas terdapat juga ketentuan yang mengatur alokasi waktu siaran utama (prime time) sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Stasiun lokal hanya diperkenankan mengalokasikan waktu paling lama 2,5 (dua setengah) jam waktu siaran prime time untuk program hiburan dari televisi
jaringan. Ketentuan yang disebut Prime Time Acces Rule (PTAR) ini diberlakukan di AS pada tahun 1971 dalam upaya mengurangi dominasi acara hiburan dari televisi jaringan yang ditayangkan antara pukul tujuh hingga sebelas malam. Ketentuan lain yang cukup penting dalam hubungan antara stasiun jaringan dan afiliasi adalah larangan bagi jaringan untuk bekerja sama dengan tim kreatif daerah untuk memproduksi acara yang akan ditayangkan pada stasiun jaringan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memaksimalkan peran televisi lokal untuk menggarap bakat-bakat dan kelompok kreatif yang ada di daerah. Selain itu, stasiun jariangan tidak diperkenankan bertindak sebagai wakil penjualan spot iklan untuk televisi lokal. 2.1.3. Model Jaringan Dalam Penelitiannya, Primasanti mengeksplorasi model siaran televisi berjaringan dengan menggambarkan bahwa sistem siaran berjaringan terdiri dari dua sub sistem, yakni sistem stasiun induk jaringan dan sistem stasiun anggota jaringan, seperti dalam bagan berikut: Bagan 2.1 Model Siaran Jaringan
Bagan tersebut menurut Primasanti merupakan model sistem siaran berjaringan yang sengaja tidak dikaitkan dengan sistem yang lebih makro, untuk menyederhanakan pemahaman terhadap model sistem siaran berjaringannya saja. Dalam bagan tersebut, induk jaringan merupakan pusat atau sumber program atau isi siaran yang akan didistribusikan
kepada stasiun-stasiun lain sebagai anggota jaringannya. Sedangkan anggota jaringan merupakan stasiun televisi penerima isi program dari stasiun jaringan. Dalam praktiknya anggota dari sairan jaringan ini merupakan stasiun yang bersiaran dalam lingkup lokal dan berjumlah lebih dari satu20. Induk jaringan dan anggotanya memiliki hubungan dalam hal tertentu. Primasanti juga mengkaji hubungan stasiun induk dan anggota jaringan tersebut, dan merumuskan dua model hubungan, yakni: Program Affiliation Network (jaringan afiliasi program) dan Owned and Operated Station (jaringan kepemilikan dan operasional). (i) Program Affiliation Network Dalam pola berjaringan ini, stasiun anggota jaringan tidak dimiliki oleh stasiun induknya. Kerjasama yang dibangun berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak, misalnya mengenai distribusi program saja. Dalam model ini, stasiun induk jaringan disebut “jaringan” (network); dan stasiun anggota jaringan dinamakan afiliasi (affiliation)21. Bagan 2.2 Model Program Affiliation Network
Dalam model ini menurut Primasanti stasiun jaringan dan afiliasi pada umumnya diikat oleh sebuah kerjasama kontrak yang disebut affiliation contract atau affiliation 20
Garis putus-putus pada bagan sistem siaran berjaringan menunjukkan bahwa jumlah anggota jaringan bisa lebih banyak lagi 21 Afiliasi merupakan sebuah stasiun televisi independen yang bersiaran secara lokal, kerena itu sumber daya manusia yang ada di dalam afiliasi ini juga berasal dari ranah lokal.
agreement yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Misalnya masing-masing berhak untuk menggunakan branding stasiunnya sendiri; anggota jaringan juga diperbolehkan menentukan jumlah stasiun induk yang akan berjaringan dengannya kecuali hal tersebut diatur dalam kesepakatan induk jaringan-afiliasi. Dalam hal manajemen pun, afiliasi diberi hak untuk mengatur mekanisme kontrol internalnya sendiri sesuai yang sudah ditetapkan oleh manajemen stasiunnya. Tidak ada share modal maupun profit dalam model ini. Satu-satunya dana yang mengalir dari induk jaringan kepada afiliasi adalah kompensasi dari program induk yang ditayangkan oleh afiliasi. Selain itu, aliran dana berupa “sela-sela” jam tayang program induk yang dapat digunakan untuk iklan afiliasi.
(ii)
Owned and Operated Station Bagan 2.3 Model Owned and Operated Station
Berbeda dengan model program network affiliation, O&O Network mensyaratkan kepemilikan jaringan atas anggotanya. Dalam pola hubungan ini, yang disebut O&O Station adalah stasiun anggota jaringan. Jadi stasiun O&O merupakan milik dari stasiun jaringan yang pada umumnya juga menggunakan nama stasiun jaringan, diikuti tanda O&O, misalnya
ABC O&O. Kedua pihak (stasiun induk dan anggota jaringan) berada di bawah sebuah perusahaan yang sama. Dengan demikian, sistem ini bukan hanya mendistribusikan program dari jaringan kepada anggotanya melainkan berkaitan dengan kepemilikan, manajemen, dan operasionalisasi pada stasiun anggotanya. Primasanti juga menjelaskan, ada beberapa hal yang membedakan hubungan induk jaringan dengan anggotanya dalam program affiliation network dan O&O Network. Perbedaan dua model kepemilikan sistem siaran berjaringan ini dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2.1 Karakteristik perbedaan program affiliation network dan O&O Network Karakteristik Kepemilikan Kesepakatan Isi Kerjasama
Afiliasi Stasiun independen Affiliation agreement Distribusi program
Branding Jumlah Jaringan
Independen Bebas terbatas
Manajemen Human resource Share modal & profit
Independen Independen Berdasarkan kesepakatan/ kontrak
2.2.SISTEM STASIUN JARINGAN DI INDONESIA
Stasiun O&O Dimiliki oleh jaringan induk Tidak mutlak ada Distribusi program; manajemen Sesuai stasiun induk Hanya satu jaringan induk; dan jaringan lain untuk distribusi program saja Stasiun induk jaringan Berasal dari induk jaringan Sesuai manajemen induk jaringan
Berbeda dengan Amerika yang konsep berjaringannya menekankan pada kepentingan bisnis, Indonesia mencoba untuk lebih memberi aksentuasi pada konsep kemitraan, UU No 32/ 2002 tentang Penyiaran menyepakati konsep siaran berjaringan sebagai kemitraan antara stasiun penyiaran lokal dengan stasiun yang bersiaran secara nasional. Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Menurut PP 50/2005, sistem jaringan adalah tata kerja yang mengatur relai siaran secara tetap antar stasiun penyiaran. Sistem stasiun jaringan terdiri atas stasiun swasta induk stasiun jaringan dan stasiun swasta anggota stasiun jaringan yang membentuk sistem stasiun jaringan. Stasiun induk merupakan stasiun swasta yang bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlai oleh stasiun swasta anggota stasiun jaringan dalam sistem stasiun jaringan. Stasiun swasta anggota stasiun jaringan merupakan stasiun swasta yang tergabung dalam suatu sistem stasiun jaringan yang melakukan relai siaran pada waktu-waktu tertentu dari stasiun swasta induk. Dalam hal ini, stasiun swasta anggota stasiun jaringan hanya dapat berjaringan dengan satu stasiun swasta induk stasiun jaringan. Dalam hal ini, stasiun swasta yang menyelenggarakan siarannya melalui sistem stasiun jaringan harus memuat siaran lokal. Setiap penyelenggaraan siaran melalui sistem stasiun jaringan dan setiap perubahan jumlah anggota stasiun jaringan yang terdapat dalam sistem stasiun jaringan wajib dilaporkan kepada pemerintah. Durasi relai siaran untuk acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran dalam negeri bagi lembaga penyiaran melalui sistem stasiun jaringan dibatasi paling banyak 40% untuk penyiaran radio dan paling banyak 90% untuk penyiaran televisi dari seluruh waktu siaran per hari. Sedangkan durasi relai siaran untuk acara tetap yang berasal dari stasiun penyiaran dalam negeri bagi stasiun radio dan televisi yang tidak berjaringan dibatasi paling banyak 20% dari seluruh waktu siaran per hari.
Lebih lengkapnya, di Indonesia, model serta konsep implementasi sistem stasiun berjaringan diatur dalam Peraturan Menteri No. 43/PER/M.KOMINFO/10/2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Sistem Stasiun Jaringan Oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi. Beberapa hal penting yang terdapat di dalam Peraturan Menteri tersebut adalah sebagai berikut: 1. Lingkup lembaga penyiaran swasta merupakan stasiun penyiaran lokal. 2. Dalam menjangkau wilayah yang lebih luas, lembaga penyiaran swasta dapat membentuk sistem stasiun jaringan. 3. Stasiun penyiaran lokal tersebut terdiri dari stasiun penyiaran lokal berjaringan dan stasiun penyiaran lokal tidak berjaringan. 4. Sistem stasiun jaringan tersebut dilaksanakan oleh stasiun penyiaran lokal berjaringan yang terdiri atas stasiun induk dan stasiun anggota. 5. Stasiun induk tersebut merupakan stasiun penyiaran yang bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlai oleh stasiun anggota dalam sistem stasiun jaringan. 6. Stasiun anggota tersebut merupakan stasiun penyiaran yang tergabung dalam suatu sistem stasiun jaringan yang melakukan relai siaran pada waktu-waktu tertentu dari stasiun induk. 7. Setiap lembaga penyiaran swasta hanya dapat berjaringan dalam satu sistem stasiun jaringan. 8. Lembaga penyiaran swasta yang menjadi stasiun anggota dalam sistem stasiun jaringan hanya dapat berjaringan dengan 1 stasiun induk. 9. Stasiun induk tersebut berkedudukan di ibukota provinsi. Sedangkan stasiun anggota berkedudukan di ibukota provinsi, kabupaten dan/atau kota. 10. Lembaga penyiaran swasta yang telah sepakat untuk melakukan sistem stasiun jaringan menuangkan kesepakatannya ke dalam bentuk perjanjian kerja sama tertulis, yang diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut: penetapan stasiun induk dan stasiun anggota; program siaran yang akan direlai; persentase durasi relai siaran dari seluruh waktu siaran per hari; persentase durasi siaran lokal dari seluruh waktu siaran per hari; dan penentuan alokasi waktu (time slot) siaran untuk siaran lokal.
11. Penyelenggaraan penyiaran melalui sistem stasiun jaringan dan setiap perubahan stasiun anggota dan stasiun induk yang terdapat dalam sistem stasiun jaringan wajib mendapatkan persetujuan Menteri. 12. Dalam memperoleh persetujuan Menteri tersebut, lembaga penyiaran swasta yang bertindak sebagai stasiun induk mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri dengan melampirkan perjanjian kerja sama antara stasiun induk dan stasiun anggota. 13. Persetujuan
Menteri
tersebut
diberikan
dalam
bentuk
surat
persetujuan
penyelenggaraan penyiaran melalui sistem stasiun jaringan. 14. Dalam sistem stasiun jaringan, program siaran yang direlai oleh stasiun anggota dari stasiun induk, dibatasi dengan durasi paling banyak 90% dari seluruh waktu siaran per hari. 15. Berdasarkan perkembangan kemampuan daerah dan lembaga penyiaran swasta, program siaran yang direlai oleh stasiun anggota dari stasiun induk tersebut secara bertahap turun menjadi paling banyak 50% dari seluruh waktu siaran per hari. 16. Dalam sistem stasiun jaringan, setiap stasiun penyiaran lokal harus memuat siaran lokal dengan durasi paling sedikit 10% dari seluruh waktu siaran per hari. 17. Berdasarkan perkembangan kemampuan daerah dan lembaga penyiaran swasta keharusan memuat siaran lokal tersebut secara bertahap naik menjadi paling sedikit 50% dari seluruh waktu siaran per hari. 18. Siaran lokal tersebut adalah siaran dengan muatan lokal pada daerah setempat, yang kriterianya ditentukan lebih lanjut oleh Komisi Penyiaran Indonesia. PerMen tersebut juga mengatur beberapa hal penting menyangkut ketentuan peralihan dalam sistem stasiun berjaringan, sebagai berikut: 1. Dalam penyelenggaan penyiaran melalui sistem stasiun jaringan, setiap lembaga penyiaran swasta yang sudah mempunyai stasiun relai sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, memiliki jangkauan wilayah siaran sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. 2. Dalam membentuk sistem stasiun jaringan tersebut, lembaga penyiaran swasta mengajukan permohonan kepada Menteri terkait dengan wilayah siaran yang akan dijangkau.
3. Menteri memberikan persetujuan jangkauan wilayah siaran dengan berdasarkan jumlah stasiun relai yang tercantum dalam izin penyelenggaraan penyiaran dengan tetap memperhatikan ketentuan tentang komposisi daerah ekonomi maju dan daerah ekonomi kurang maju. 4. Lembaga penyiaran swasta yang sudah mempunyai stasiun relai di ibukota provinsi wajib melepaskan kepemilikan atas stasiun relainya. 5. Apabila tidak terdapat modal yang dimiliki oleh anggota masyarakat daerah untuk mendirikan stasiun penyiaran lokal atau adanya alasan-alasan khusus yang ditetapkan oleh Menteri atau Pemerintah Daerah setempat, status kepemilikan stasiun relai di beberapa daerah masih dapat dimiliki oleh lembaga penyiaran swasta. 6. Lembaga penyiaran swasta tersebut masih dapat menyelenggarakan penyiaran melalui stasiun relainya dalam menjangkau wilayah jangkauan siaran tertentu sampai terdapatnya stasiun penyiaran lokal yang berjaringan pada wilayah tersebut. 7. Menteri secara berkala melakukan evaluasi terhadap penggunaan stasiun relai tersebut dengan memperhatikan perkembangan pendirian stasiun penyiaran lokal. 8. Lembaga penyiaran swasta yang akan didirikan di tempat stasiun relai harus mengajukan permohonan izin penyelenggaraan penyiaran kepada Menteri dengan menggunakan alokasi frekuensi radio yang sebelumnya digunakan pada stasiun relai tanpa perlu menunggu pengumuman peluang usaha penyelenggaraan penyiaran dari Menteri. 9. Kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta baru tersebut mengikuti ketentuan sebagai berikut. untuk setiap stasiun relai yang tercantum dalam izin penyelenggaraan penyiaran dan akan dibentuk badan hukum baru, masyarakat daerah dapat memiliki saham paling sedikit 10% (sepuluh perseratus). Sedangkan untuk setiap stasiun relai dan/atau daerah yang tidak tercantum dalam izin penyelenggaraan penyiaran dan akan dibentuk badan hukum baru, memiliki batasan kepemilikan saham sebagai berikut: (1) untuk badan hukum kedua, masyarakat daerah dapat memiliki saham sebesar 51%; (2) untuk badan hukum ketiga, masyarakat daerah dapat memiliki saham sebesar 80%; dan (3) untuk badan hukum keempat dan seterusnya, masyarakat daerah dapat memiliki saham sebesar 95% . 10. Apabila lembaga penyiaran swasta tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam Peraturan ini, maka izin penyelenggaraan penyiaran yang telah dimiliki oleh lembaga penyiaran swasta tersebut akan ditinjau kembali.
Seperti yang telah disampaikan diatas, pada dasarnya pengaturan stasiun jaringan berlaku untuk industri penyiaran baik media radio maupun televisi. Implementasi sistem stasiun jaringan untuk media radio di Indonesia tampaknya tidak ada masalah, karena sama halnya dengan yang terjadi di Amerika, sistem penyiaran radio berangkat dari stasiun lokal. Sistem terpusat tidak berlangsung dalam sistem peradioan di Indonesia. Sejak awal kelahiran stasiun radio komersial di awal Orde Baru, stasiun radio beroperasi dengan jangkauan daerah terbatas, sehingga lebih mudah untuk membentuk kerjasama jaringan. Persoalan pro kontra sistem stasiun jaringan di Indonesia lebih bersinggungan dengan industri penyiaran televisi, tidak lepas karena faktor historisnya. Untuk memahami hal tersebut berikut ini akan diuraikan historical situatedness, perjalanan industri penyiaran televisi di Indonesia hingga munculnya regulasi penyiaran yang mengusung kebijakan sistem stasiun jaringan berikut dinamika ekonomi politiknya.
2.3. SEJARAH INDUSTRI PENYIARAN TELEVISI DI INDONESIA Munculnya regulasi sistem stasiun jaringan (SSJ) tidak lepas dari perjalanan sejarah Industri penyiaran di Indonesia yang memunculkan berbagai macam persoalan. Indonesia memang pada awalnya hanya mengenal satu stasiun televisi yang memonopoli penyiaran di Indonesia dalam waktu yang cukup lama yaitu TVRI. TVRI merupakan televisi milik pemerintah yang projeknya dimulai ketika Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Games IV. Pembangunan stasiun TV berikut pemancarnya dilakukan untuk meliput kegiatan tersebut. Tanggal 25 Juli 1961 merupakan momen bersejarah karena pada saat itu Menteri Penerangan atas nama pemerintah mengeluarkan SK Menpen No. 20/SK/M/1961 tentang Pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T) yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya TVRI di Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1962, TV negara yang kemudian bernama TVRI mulai mengudara untuk yang pertama kalinya. Siaran pertama kali ini diisi dengan siaran percobaan
dari halaman Istana Merdeka Jakarta yang meliput acara HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke-17. Pada 24 Agustus 1962, TVRI bersiaran secara resmi dan siaran yang dipancarluaskannya adalah siaran langsung upacara pembukaan SEA Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno. TVRI kemudian disempurnakan badan hukumnya oleh negara dengan menerbitkan Keppres No. 215/1963 tentang Pembentukan Yayasan TVRI dengan Pimpinan Umum Presiden RI, tanggal 20 Oktober 1963. Selanjutnya, Orde Baru bertekad menciptakan pembangunan ekonomi yang kuat dan kehidupan politik yang terkontrol. TVRI di bawah kekuasaan orde ini ditempatkan menjadi mikrofon penyampai aspirasi pemerintah. Acara yang ditayangkan TVRI harus disesuaikan dengan norma, kehendak, dan sistem nilai yang diproduksi rezim. TVRI menjadi alat propaganda paling kuat bagi pemerintah. Sejumlah tekanan internal di tanah air yang menginginkan adanya siaran televisi alternatif yang mampu menyiarkan program-program yang menarik di luar TVRI, serta adanya desakan dari kelompok-kelompok pemilik modal (kapitalis) yang memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan yang ingin memperoleh keuntungan dari sektor penyiaran televisi, telah membuat pemerintah memberikan lampu hijau pada tahun 1987. Izin yang dikeluarkan pemerintah ini tertuang pada Surat Keputusan Nomor 190A/Kep/Menpen/1987 tertanggal 20 oktober 1987, yang menyatakan bahwa pemerintah mengizinkan pelayanan siaran saluran terbatas (STT) untuk daerah jakarta dan sekitarnya melalui Yayasan TVRI. STT ini diharapkan kelak tidak hanya sebagai perpanjangan TVRI namun sekaligus bisa memberikan sejumlah program hiburan yang sesuai dengan selera pemirsanya. Dalam sejarah industri penyiaran Indonesia, RCTI (Rajawali Citra televisi Indonesia) merupakan stasiun televisi swasta pertama yang berdiri pada tanggal 23 juni 1988 melalui PT. RCTI yang berbentuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang investasi awalnya
sebesar Rp. 82,5 milyar lewat izin Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Izin yang dikeluarkan pemerintah ini memungkinkan RCTI waktu itu untuk melakukan siarannya di wilayah jakarta dan sekitarnya. Realisasinya kemudian terjadi pada bulan Agustus 1989 di mana siaran pertamanya dapat di terima oleh pemirsa televisi di Indonesia melalui sistem decoder. Fenomena diperbolehkannya pihak swasta (para pemilik modal atau kaum kapitalisborjuis) di Indonesia mendirikan stasiun televisi swasta ini, memicu para pengusaha lainnya untuk bisa melakukan hal yang sama. Dengan asumsi bahwa sistem siaran melalui STT tidak akan menggoyahkan kekuasaan pemerintah (karena televisi dipandang merupakan sarana efektif untuk mensosialisasikan berbagai program pemerintah) dan dapat meningkatkan perekonomian indonesia (sekitar 25% keuntungannya diberikan kepada pemerintah), maka muncul kemudian izin-izin penyiaran swasta lainnya. Televisi swasta kedua adalah SCTV (Surya Citra Televisi Indonesia) milik Henry Pribadi yang didirikan atas kesepakatan antara Yayasan TVRI dengan SCTV pada tanggal 17 januari 1990 untuk mengelola stasiun berlangganan di Surabaya. Sesungguhnya izin yang diberikan kepada SCTV telah melanggar SK Menpen RI No. 190A Tahun 1997 yang dengan tegas menyatakan bahwa siaran televisi swasta hanya diperbolehkan mengudara di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Hal ini disebabkan pemegang saham mayoritas PT. Bhakti Investama adalah Sudwikatmono, yang notabene merupakan kroni dekat Soeharto. Siaran perdana pada tanggal 24 Agustus 1990 dengan tidak menggunakan sistem decoder (Kitley, 2001:246). Satu tahun kemudian, Siti Herdiyanti Rukmana, Putri Sulung Presiden Soeharto juga mendirikan televisi Swasta dengan dalih ikut membantu meningkatkan pendidikan bagi anak Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1990 Yayasan TVRI
melakukan penandatanganan
kerjasama antara TVRI dengan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (PT. CTPI),
perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki oleh Siti Hardiyanti Rukmana. Siaran perdana TPI pada tanggal 23 Januari 1991 (Kitley, 2001:246). Setelah tiga industri media penyiaran swasta berdiri di Indonesia dan dipandang sebagai lahan bisnis yang menjanjikan, maka pemerintah memberikan izin kepada pengusaha Bakrie Group dan Agung Laksono untuk mendirikan stasiun televisi swasta ANTEVE yang kemudian berubah menjadi ANTV hingga sekarang. Siaran perdana secara nasional pada tanggal 28 Februari 1993 dimana sebelumnya hanya mengudara untuk wilayah lampung. Kroni dekat Soeharto yang lain yang juga ikut dalam bisnis industri media penyiaran adalah Salim Group dengan Indosiar Visual Mandiri (IVM) yang memulai siaran perdana pada tanggal 18 juni 1992. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa maraknya industri televisi di Tanah Air tidak terlepas dari kukungan kekuasaan keluarga Soeharto, baik itu anak-anaknya maupun para pengusaha yang merupakan kroni Soeharto. Hampir semua televisi swasta yang hidup dan berkembang pada masa itu mendapat lisensi siaran lewat jalur politik. Lisensi ini terbukti hanya diberikan terbatas bagi keluarga Soeharto dan kroninya. Peristiwa Mei 1998 merupakan titik balik bagi Soeharto dan kroninya dimana dominasi dan hegemoni yang selama ini dilakukan oleh pemerintahan Soeharto berakhir. Pada masa reformasi ini, masyarakat penyiaran mulai menyadari perlu adanya undangundang penyiaran yang memberikan keleluasaan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk mendirikan industri televisi dan televisi tidak lagi dijadikan sebagai alat hegemoni budaya dan kekuasaan yang dilakukan oleh rezim berkuasa. Seiring dengan adanya kemudahan bagi pendirian industri surat kabar, industri media penyiaran televisi pun bermunculan. Dalam kurun waktu 1999-2002 terdapat 5 (lima) stasiun televisi swasta nasional. SK Menpen No. 384/SK/MENPEN/1998 memberikan izin penyelenggaraan siaran pada Metro TV (PT. Media Televisi Indonesia) milik Surya Paloh
pengusaha media sekaligus pemilik harian Media Indonesia, TRANS TV (Televisi Transformasi Indonesia) milik pengusaha Chairul Tanjung, Global TV (PT. Global Informasi Bermutu) milik pengusaha Nasir Tamara, TV7 (PT. Duta Visual Nusantara) milik Gramedia dan Kompas Group serta Lativi (PT. Pasaraya Mediakarya) milik Abdul Latief Coorporation. Kelima stasiun televisi swasta tersebut lahir dan tumbuh bukan semata karena keterbukaan informasi dan iklim demokratisasi belaka seiring arus reformasi tahun 1998, melainkan sebagian besar juga karena akses politik para pemilik (Sudibyo, 2004:99). Pergeseran politik mengelinding sejak Mei 1998. Euforia reformasi mewabah bagai virus. Perubahan kekuasaan juga menimbulkan suasana dan kondisi baru di dunia pertelevisian. Bukan sekedar terbukanya peluang untuk menambah jumlah stasiun televisi swasta, namun juga gerakan di daerah untuk mendirikan stasiun televisi lokal. Stasiun televisi lokal mulai bermunculan di Indonesia seperti Jawa Pos Televisi (Surabaya), Bali TV (Bali), Batam TV (Batam), LNG TV Bontang (Bontang), dan Pupuk Kaltim TV, kedua stasiun televisi yang terakhir sebetulnya telah berdiri pada tahun 1996 dan 1997 untuk kebutuhan keluarga besar karyawannya (Sudibyo, 2004:100).
2.4.MUNCULNYA UU PENYIARAN NO 32 TAHUN 2002 & AMANAT SSJ Dalam perkembangannya kemudian, industri penyiaran televisi sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum, perannya makin sangat strategis, terutama dalam mengembangkan alam demokrasi di Indonesia melalui aspirasi masyarakat yang berneka ragam atau pluralitas ekspresi. Penyiaran telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis dan pemerintah. Disisi lain era reformasi juga menjadi momentum pergerakan desentralisasi dan tuntutan masyarakat atas otonomi daerah. Perkembangan tersebut ikut menyebabkan landasan hukum pengaturan penyiaran yang ada
yaitu UU penyiaran No.24 tahun 1997 yang mengusung paradigma sentralistis menjadi tidak relevan lagi. Hal ini dipertegas oleh Hari Wiryawan: “Ketidak puasan daerah terhadap sistem penyiaran, karena melihat didaerah mengapa semua informasi harus dari jakarta, menjadi penyanyi harus kejakarta, padahal daerah juga punya potensi. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan penyiaran tapi juga berbagai bidang yg tersentralisasi. Dalam perkembangannya sistem tersentralisasi ini dianggap masyarakat tidak populer sehingga menimbulkan tuntutan desentralisasi dari berbagai daerah. Termasuk di ranah penyiaran.” Di masa pemerintahan presiden Abdurahman Wahid muncul keputusan untuk membubarkan Departemen Penerangan. Hal tersebut telah membuka ruang bagi terciptanya Undang-Undang Penyiaran yang bisa menjawab tantangan jaman (Undang-Undang Penyiaran yang baru). Kemudian maraknya SPTS juga membutuhkan regulasi agar tidak ada monopoli kepemilikan dalam industri penyiaran sehingga industri penyiaran berkembang kearah yang lebih baik dan dalam kondisi persaingan yang sehat. Sejak tahun 1999 mulai dilakukan DPR upaya pembahasan rancangan Undang-Undang Penyiaran yang baru dengan membentuk panitia kerja Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Desentralisasi dan otonomi daerah adalah salah satu substansi yang diperjuangkan dalam UU Penyiaran yang baru. Prinsip yang dikedepankan ada dua. Pertama, perlu diciptakan kondusivitas bagi pengembangan bisnis penyiaran di tingkat lokal. Kedua, daerah diberi otoritas untuk mengatur alokasi frekuensi dan izin penyiaran di tingkat lokal. Hal ini senada yang disampaikan Triyono Lukmantoro, bahwa seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, kewajiban untuk menjalankan prinsip desentralisasi penyiaran pun mutlak dijalankan.22 “Dalam model penyiaran terpusat banyak acara yang ditayangkan tidak memiliki relevansi kepentingan dengan kehidupan masyarakat di daerah.”
22
Menurut Triyono Lukmantoro Otonomi selama ini dipahami hanya terbatas pada persoalan politik dan ekonomi belaka. Persoalan penyiaran seperti pentingnya kehadiran siaran yang juga berwajah lokal hampir tidak pernah ditengok.
Mengakomodasi desakan otonomi dan desentralisasi di ranah penyiaran , maka Sistem oligarki ekonomi politik penyiaran secara konseptual dipecah dengan menyodorkan konsep keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keberagaman isi (diversity of content) yang mengintroduksi sistem stasiun jaringan. Draft RUU Penyiaran versi DPR mengusulkan, lembaga penyiaran terdiri dari penyiaran stasiun jaringan dan stasiun lokal. Stasiun jaringan yang ingin memperluas jangkauan siaran ke wilayah tertentu harus bekerjasama dengan stasiun lokal setempat. Dengan demikian, televisi-televisi swasta tidak boleh sembarangan lagi melakukan siaran secara nasional. Siaran nasional hanya boleh untuk media penyiaran publik. Beragam tanggapan muncul terhadap gagasan ini. “Dalam hal ini Pemerintah sepakat dengan pemikiran dewan. Kerjasama itu dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan usaha-usaha baru di daerah berkenaan dengan penyediaan isi siaran, antara lain munculnya rumah-rumah produksi, agen-agen periklanan, serta pelestarian kesenian dan kebudayaan setempat,” kata Agum Gumelar dalam tanggapan resmi pemerintah.23
Senada dengan pemerintah, para akademisi sangat mendukung gagasan yang dinilai dapat mendorong desentralisasi dan demokratisasi dalam dunia penyiaran tersebut. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Triyono Lukmantoro: “dengan keharusan untuk melakukan sistem jaringan, nuansa lokalitas tidak begitu saja lenyap tercaplok oleh dominasi pusat.”
Namun selanjutnya, introduksi sistem penyiaran lokal dan berjaringan ini ternyata mengundang kontroversi yang luar biasa. Proses penyusunan undang-undang penyiaran di DPR jadi memakan waktu sangat lama hingga 2002, dengan diwarnai perdebatan yang panas dan tak kunjung selesai di sidang-sidang DPR maupun media massa antara pihak-pihak yang bekepentingan.
23
Lihat tulisan Agus Sudibyo “Menelikung Di Tengah Jalan, Pengusaha Televisi Bersekubu DenganPemerintah Soal RUU Penyiaran” http://teleinformasi.com
Dalam konteks kebijakan sistem stasiun jaringan ini, bisa dikatakan ada setidaknya lima aktor yang terlibat dengan berbagai kepentingan yang berbeda sejak awal pembahasan RUU. Satu dari pihak pemerintah, yang kedua pihak yang dianggap mewakili kepentingan publik (DPR). Ketiga koalisi kelompok masyarakat (mulai dari Aliansi Jurnalis Independen, Jaringan Radio Komunitas, Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia dan lain-lain.). Keempat adalah kelompok akademisi. Dan, kelima adalah kelompok pemodal atau industri. Usulan mengenai sistem stasiun berjaringan mendapatkan tentangan keras dari kelompok pemodal khususnya para pengusaha televisi nasional. mereka sangat keberatan, karena ketentuan pemangkasan hak untuk bersiaran nasional tersebut, bagi para pengusaha tv nasional dianggap bisa menjerat leher bisnis mereka. Usulan tersebut juga dianggap berlebihan oleh para pengelola tv nasional sebagaimana disampaikan Karni Ilyas, ketua Asosiasi TV Swasta Nasional saat itu. “Berlebihan jika televisi swasta nasional diharuskan berjaringan dengan televisi swasta daerah. Saat ini, ketika telah muncul 11 televisi swasta nasional, televisi swasta di daerah baru segelintir. Misalnya saja, bagaimana kita mau networking dengan Palangkaraya, sementara di sana tidak ada televisi swasta. Kalaulah dibikin aturan seperti itu, yang terjadi pasti akal-akalan. Mereka yang punya televisi swasta di Jakarta, akan mendirikan televisi swasta lagi di daerah atas nama orang lain, sekedar untuk menyiasati keharusan networking. Joint dengan orang daerah tidak gampang”24 ATVSI menilai usulan tentang keharusan berjaringan tersebut
terlalu
memberatkan televisi swasta yang telah berinvestasi milyaran rupiah untuk membangun transmisi di daerah-daerah, dan hal tersebut dianggap akan sangat merugikan industri. Setelah melalui pertarungan kepentingan atas kebijakan penyiaran yang dirumuskan di DPR, akhirnya UU Penyiaran disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 28 November 2002, yang secara legal mengukuhkan sistem penyiaran lokal dan berjaringan atau yang lebih dikenal dengan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ)
24
Ibid
Meskipun Undang-undang penyiaran telah disahkan, stasiun-stasiun televisi nasional secara kolektif berupaya agar UU tersebut tidak dapat dijalankan. Mereka berkampanye dengan menuduh UU tersebut merugikan kebebasan masyarakat untuk mengakses informasi dan mengancam kesehatan industri pertelevisian. Karena respon pemerintah dan DPR atas keberatan industri penyiaran tersebut dianggap minim, maka kalangan industri penyiaran yang diwakili asosiasi-asosiasinya melayangkan gugatan judicial review atas undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut. Hasil judicial review Mahkamah Konsitusi terkait kebijakan Sistem stasiun jaringan memberi “kemenangan” terhadap publik, dengan menolak permohonan kalangan industri dengan alasan untuk menghindari monopoli kepemilikan maupun materi isi siaran. Yang digariskan adalah adanya diversity of ownership dan diversity of content. Meskipun telah mendapatkan penolakan namun stasiun televisi nasional masih saja melakukan usaha dan mengupayakan lobi kepada pemerintah untuk menunda ketentuan penerapan konsep siaran berjaringan. Mengakomodir desakan kalangan industri televisi nasional, dengan mempertimbangkan kesiapan industri, maka tahun 2005, pemerintah menerbitkan PP No. 50 Tahun 2005 tentang penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran swasta, yang didalamnya secara eksplisit memberikan tenggat 28 Desember 2007 untuk penerapan SSJ. Sayangnya keputusan tersebut masih juga belum dapat dilaksanakan. Melalui Peraturan Menteri (Permen) No. 32/Per/M.KOMINFO/12/2007 Tentang Penyesuaian Penerapan Sistem Stasiun Jaringan Lembaga Penyiaran Jasa Penyiaran Televisi yang terbit pada tanggal 19 Desember 2007, pemerintah kembali menunda pelaksanaan SSJ hingga 28 Desember 2009. Beragam reaksi banyak bermunculan sebagai bentuk ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah tersebut. KPI-KPI di Daerah keras memprotes isi Permen
itu. Menurut kaca mata mereka, kebijakan ini melanggar hak daerah untuk menikmati sumber daya penyiaran. Apabila sistem stasiun jaringan ini diterapkan, maka frekuensi yang selama ini digunakan oleh televisi-televisi yang ada Jakarta harus dilepaskan dan diserahkan pada orang daerah yang ingin menggunakannya. Dan apabila televisi-televisi yang berlokasi di Jakarta tersebut menginginkan siarannya dapat diterima di daerah tertentu, maka ia harus bekerjasama dengan televisi yang ada di daerah bersangkutan. 25 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik di pusat maupun daerah, sebagai lembaga negara yang mengawal UU Penyiaran, juga terus berupaya mendesak pemerintah dan lembaga penyiaran swasta tidak lagi menunda sistem stasiun berjaringan. Sebab jika terus-menerus ditunda, apalagi sampai tiga kali akan menyebabkan produk undangundang itu tidak berfungsi dan demokratisasi di bidang penyiaran menjadi terhambat. Perjuangan panjang KPI baik pusat maupun daerah dalam mengawal stasiun berjaringan mulai menemui titik terang. Dua hari sebelum Menkominfo Muhammad Nuh mengakhiri jabatannya di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid I, tepatnya 19 Oktober 2009, Permenkominfo televisi berjaringan ditandatangani. Artinya siaran televisi lokal berjaringan wajib berlaku 28 Desember 2009 tanpa ada penundaan lagi. 26 Meskipun kenyataanya industri televisi nasional terus saja mengupayakan pembatalan kebijakan sistem stasiun jaringan dengan menggulirkan wacana; kewajiban industri pertelevisian kerjasama dengan televisi daerah dinilai mustahil. Seperti disampaikan ketua ATVSI, Karni Ilyas "Sampai kiamat tidak mungkin 'kawin' dengan mitra di daerah,"27
25
http://seputar-penyiaran.blogspot.com/2007/05/menyoal-sistem-stasiun-berjaringan.html Usep Kurnia “ selamat Datang Televisi Lokal Berjaringan” , harian Analisa, selasa, 12 januari 2010 27 http://teknologi.vivanews.com/news/read/106467-stasiun_tv_jaringan_masih_belum_pasti. Selasa, 17 November 2009 26
BAB 3 IMPLEMENTASI SISTEM STASIUN JARINGAN DI SEMARANG
3.1. SEMARANG & INDUSTRI PENYIARAN TELEVISI Semarang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Dalam pemetaan yang dilakukan oleh pemerintah terkait pembagian daerah potensi penyiaran, Semarang masuk dalam kategori Daerah Ekonomi Maju (DEM), sekaligus merupakan salah satu kota yang masuk dalam survey rating AC Nielsen. Dengan kondisi demikian tidak heran jika kemudian
kota
Semarang menjadi salah satu tujuan utama bagi bisnis industri penyiaran televisi. Kanal frekuensi untuk industri televisi analog yang ada di Semarang telah dipenuhi dengan keberadaan televisi-televisi “nasional”yang terdiri dari RCTI, SCTV, TPI (MNCTV), Indosiar, ANTV, Global TV, Metro TV, Trans TV, Trans 7, dan TV One. Tidak ketinggalan kehadiran sejumlah televisi lokal yang ikut berkembang dan meramaikan frekuensi di kota Semarang. Saat ini di Semarang sendiri terdapat 4 buah stasiun televisi lokal, dimulai dari TV Borobudur atau yang biasa dikenal dengan sebutan TVB. Stasiun TV yang berada di channel 47 UHF ini resmi mengudara sejak pertengahan tahun 2003, tepatnya pada 12 Mei 2003. Menyusul kemudian Pro TV yang kini mengisi channel 45 UHF menjadi stasiun televisi kedua yang lahir di Semarang. Selanjutnya, 9 Mei 2005 Cakra Semarang TV ikut meramaikan pertelevisian lokal di kota Semarang dengan mengusung semangat penguatan kebudayaan Jawa. Sedangkan yang ke empat, TVKU, adalah televisi lokal komersial milik yayasan Dian Nuswantoro Semarang.
Televisi-televisi lokal ini didirikan dengan optimisme yang tinggi dari para pendirinya, namun tampaknya seiring berjalannya waktu optimisme saja tidak cukup. Perkembangan televisi lokal di semarang tidak menunjukkan perkembangan yang mengembirakan. Setidaknya itulah pandangan Anggota KPID, Hari Wiryawan mengamati televisi lokal di Semarang. “Perkembangan TV lokal didaerah, termasuk juga di Semarang masih cukup memprihatinkan. Tv lokal masih belum mampu untuk menjadi alternatif dari TV-TV nasional dari Jakarta. Acara-acaranya cenderung sama saja, tidak ada kreativitas, belum ada inovasi, sehingga belum cukup mampu menarik antusiasisme masyarakat daerah untuk menonton”
Ada banyak kendala yang dirasakan oleh para pengelola televisi lokal dalam menjalankan bisnisnya tersebut di kota Semarang. Seperti yang disampaikan oleh direktur TVKU Lilik Eko Nuryanto: “Bisnis televisi khususnya tv lokal memang sarat dengan persoalan. Baik dari sisi teknis maupun permodalan. termasuk masalah sumber daya manusia. TVKU sendiri lebih banyak mengambil SDM dari dalam Universitas Dian Nuswantoro, bukan tenaga langsung jadi di bidang broadcast, yang harus ditraining dulu dan diikutkan berbagai pelatihan. Yang dari jurusan komunikasi atau jurnalistik masih sedikit.”
Kelemahan televisi lokal tersebut tidak lepas dari persoalan tingginya biaya operasional untuk menjalankan bisnisnya. “Dari sisi operasional kita harus mengeluarkan biaya yang sangat besar seperti gaji karyawan tiap bulannya, biaya produksi, biaya aset untuk ijin penggunaan frekuensi, listrik, termasuk transmisi yang masih harus menyewa, sehingga harus menyiapkan biaya operasional yang sangat besar. Pemasukan dari luar belum bisa sepenuhnya menutup itu”
Meskipun dianggap sebagai daerah ekonomi maju, faktanya tidak mudah untuk menjalankan bisnis televisi di kota semarang. Perputaran iklan di kota semarang dirasakan para pengelola televisi lokal di semarang sangatlah kurang untuk menopang biaya operasional yang harus dikeluarkan, apalagi televisi lokal disemarang menghadapi persaingan
yang cukup berat tidak hanya dari sesama televisi lokal, tapi juga yang paling berat adalah bersaing dengan televisi nasional. Populeritas tv lokal ditengah masyarakat yang kalah jauh dibanding tv nasional menjadi faktor bagi minimnya sponsor dan investasi pengiklan untuk ikut menghidupi tv lokal. ini ditegaskan oleh Direktur Utama Cakra TV Semarang I Nyoman Winata: “Mencari iklan untuk stasiun televisi lokal sangat sulit. Karena kalah bersaing dengan televisi nasional dan kurangnya kesadaran beriklan pengusaha lokal. Pengusaha lokal kurang percaya dengan televisi lokal.” Hal senada disampaikan juga oleh Lilik Eko Nuryanto: “Untuk mendapatkan iklan kita harus kerja keras. Bahkan dari pengusahapengusaha lokal saja sulit. kendali untuk iklan masih di Jakarta jadi para pengusaha lebih memilih tv nasional”
Keterbatasan investasi dan lemahnya daya saing terhadap TV nasional menjadi kendala tersendiri bagi TV lokal untuk bersaing dengan TV nasional, hal ini kemudian mengakibatkan TV lokal kesulitan di dalam mengembangkan dirinya. Munculnya kebijakan sistem stasiun berjaringan awalnya menjadi harapan tersendiri bagi televisi lokal. Melalui sistem jaringan ini, televisi lokal berharap akan bisa berkembang karena adanya kerjasama siaran maupun kue iklan dengan televisi nasional. Namun sayangnya, menurut pengakuan televisi lokal yang diwawancarai penulis dalam penelitian ini, tawaran bermitra sesuai aturan yang diamanatkan dalam kebijakan sistem stasiun jaringan tidak pernah sampai pada mereka. Yang ada adalah tawaran pembelian atau akusisi terbatas yang tujuannya mendorong kearah penguasaan sepihak. Seperti yang disampaikan direktur TVKU, Lilik Eko Nuryanto: “Tawaran ada tapi dalam tanda petik mau di beli. Seperti MNC yang ingin membeli dan menguasai saham 80:20%, kami keberatan. Selain itu ada juga televisi nasional yang ingin bekerjasama, namun sebatas tukar program untuk medapatkan selembar surat MOU kerjasama. tujuannya hanya untuk kepentingan mereka mengantisipasi masalah perijinan yang nantinya
mengharuskan kerjasama dengan tv local setempat. kami melihatnya tidak serius bekerjasama.” Hal senada disampaikan direktur Cakra Semarang TV, I Nyoman Winata: “Pernah ada. Tetapi ditolak karena akan menghilangkan semangat memperjuangkan kepentingan masyarakat lokal.”
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kemudian kebijakan sistem stasiun jaringan tersebut dijalankan? Gambaran implementasi SSJ di Semarang akan menjadi pembahasan berikutnya dalam penelitian ini.
3.2. PROSES IMPLEMENTASI SSJ DI SEMARANG Dalam siaran persnya terkait perkembangan implementasi Sistem Stasiun Jaringan, 28 Desember 2009 yang lalu, Depkominfo menyatakan bahwa10 Lembaga Penyiaran Swasta Televisi yang eksisting (RCTI, Global TV, TPI, Indosiar, SCTV, Metro TV, TVOne, Trans TV, Trans 7, ANTV) telah memenuhi Permen Kominfo No.43/PER/M.KOMINFO/10/2009, untuk mengajukan permohonan persetujuan pelaksanaan SSJ kepada Menteri Kominfo dengan mencantumkan wilayah jangkauan siaran sesuai dengan daftar stasiun relay yang ada dalam Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) serta menentukan induk stasiun jaringan dan anggota stasiun jaringan. Setelah melalui perdebatan dan proses yang panjang akhirnya pihak televisi nasional menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan kebijakan sistem stasiun jaringan. Hal tersebut seperti apa yang disampaikan oleh pengelola MNC yang saat ini juga menjabat sebagai direktur utama Pro TV (televisi lokal yang telah diakusisi oleh MNC), Deny Reksa: “Untuk televisi jaringan kami sudah siap, televisi-televisi nasional yang ada semuanya juga sudah siap untuk berjaringan. Ada yang dengan menggandeng mitra lokal dan ada yang membangun stasiun televisi lokal sendiri”
Proses Implementasi sistem stasiun jaringan untuk stasiun televisi di kota Semarang menurut anggota KPID Hari Wiryawan, juga sudah berjalan. “Sudah berjalan, 10 TV nasional sudah melakukan proses Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dengan kami sebagai salah satu tahapan proses perizinan untuk memperoleh IPP atau Izin Penyelenggaraan Penyiaran dengan badan hukum lokal di Daerah” Tahapan implementasi atau pelaksanaan Sistem Stasiun Jaringan ini sediri adalah sebagai berikut: (1) Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi yang sudah mempunyai stasiun relai sebelum diundangkannya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (LPS TV eksisting) wajib melaporkan kepada Menteri Kominfo tentang persiapan dan langkah-langkah yang sedang dan/atau telah dilakukan dalam implementasi SSJ sesuai surat Menteri Kominfo No. 442 tanggal 19 Agustus 2009 dan No.541 tanggal 30 September 2009. (2) Setelah diterbitkan Peraturan Menteri Kominfo No. 43/PER/M.KOMINFO/10/2009 , maka LPS TV eksisting diminta untuk mengajukan permohonan persetujuan pelaksanaan SSJ kepada Menteri Kominfo dengan mencantumkan wilayah jangkauan siaran sesuai dengan daftar stasiun relay yang ada dalam Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) serta menentukan induk stasiun jaringan dan anggota stasiun jaringan. (3) Menteri Kominfo membentuk tim monitoring dan evaluasi untuk melakukan penilaian terhadap seluruh permohonan SSJ dari LPS TV, yang anggotanya terdiri dari instansi terkait (Ditjen SKDI, Ditjen Postel, KPI, dan tim pakar) dibawah koordinasi Dirjen SKDI. (4) Tim monitoring ini menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Kominfo untuk menyetujui atau menolak permohonan LPS dalam pelaksanaan SSJ khususnya terkait dengan wilayah jangkauan siaran dengan memperhatikan daerah ekonomi maju dan daerah kurang maju. (5) Bersamaan dengan proses di atas, maka LPS diminta untuk melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam pendirian badan hukum lokal. Apabila tidak terdapat modal yang dimilki oleh anggota masyarakat daerah untuk mendirikan stasiun penyiaran lokal atau ada alasan-alasan khusus yang ditetapkan oleh Menteri Kominfo atau Pemerintah Daerah setempat, status kepemilikan
stasiun relai di beberapa daerah masih dapat dimiliki oleh LPS. Di samping itu, LPS juga diminta menjajaki kerjasama dengan LPS lokal yang sudah berizin atau mendirikan LPS baru bagi daerah yang belum ada stasiun relai eksisting. (6) LPS membentuk badan hukum baru untuk proses pembentukan LPS lokal yang berasal dari stasiun relai yang akan dilepas. (7) LPS diminta untuk membuat perjanjian kerjasama antara LPS Induk Stasiun Jaringan dan LPS Anggota Stasiun Jaringan, terkait dengan durasi dan program acara relai siaran. (8) LPS diminta mengajukan proses perizinan kepada Menteri Kominfo melalui KPI/KPID dengan dapat menggunakan frekuensi yang sama dengan stasiun relai tanpa menunggu peluang usaha. (9) KPI/KPID melakukan proses EDP dan mengeluarkan rekomendasi kepada badan hukum baru untuk dibawa ke FRB yang diselenggarakan oleh Menteri Kominfo. (10) Menteri Kominfo menerbitkan IPP bagi badan hukum baru (LPS lokal) sesuai hasil FRB dan selanjutnya dilakukan amandement terhadap IPP penyesuaian yang dimilki LPS induk jaringan. Sampai penelitian ini selesai dilakukan, proses implementasi kebijakan sistem stasiun jaringan sampai pada tahapan diterbitkannya rekomendasi kelayakan untuk semua stasiun televisi dari Jakarta yang mengajukan badan hukum lokal. selanjutnya adalah menunggu proses FRB dan menuju tahapan berikutnya.
3.3. KEBIJAKAN MEDIA TELEVISI MELAKSANAKAN SSJ Berikut ini gambaran kebijakan media stasiun televisi nasional dalam melaksanakan amanat Sistem Stasiun Jaringan, yang ter-rekam dalam proses Evaluasi Dengar Pendapat dan terdokumentasi dalam proposal permohonan pengajuan IPP televisi swasta ke KPID Jawa Tengah.
3.3.1. RCTI RCTI merupakan stasiun televisi dari Jakarta yang telah 17 tahun menyelenggarakan siaran di Semarang, tepatnya mulai tanggal 24 Agustus 1993. Untuk melaksanakan amanat Sistem Stasiun Jaringan, RCTI membentuk PT RCTI DUA. Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dilaksanakan RCTI pada tanggal 25 Februari 2010 untuk memperoleh rekomendasi kelayakan dari KPID Jawa Tengah sebagai salah satu kelengkapan pengurusan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) SSJ diwilayah Semarang dan provinsi Jawa Tengah dan pada umumnya. Dari aspek kelembagaan PT RCTI DUA dibentuk dengan akte notaries No. 4 tanggal 10 Desember 2009, dan pengesahan Badan Hukum Depkumham No. AHU-02957. AH.01.01 tahun 2010. PT RCTI DUA ini dibentuk sebagai badan hukum lokal yang mewadahi manajemen stasiun Jawa Tengah dan Stasiun DIY, dan bertindak sebagai anggota jaringan, dengan induk jaringan PT RCTI di Jakarta. Dalam aspek manajemen, RCTI DUA sebagai anggota jaringan rencananya dipimpin manajer stasiun yang bertanggung jawab pada Komisaris, dan Direksi yang terdiri dari direktur utama dan direktur di stasiun induk. Manajer stasiun jawa tengah akan dibantu oleh seorang kepala pemberitaan, 1 orang kepala bidang siaran, 5 orang SDM di bidang teknik, 1 orang di bidang keuangan dan 4 orang di bidang usaha. Dalam EDP tersebut RCTI dua menjelaskan mengenai aspek program RCTI dua menyiapkan content lokal yang akan ditingkatkan durasinya secara bertahap. Dimulai tahun pertama sebesar 4,4 % atau sebanyak 60 menit, dengan rencana jam tayang pukul 05:00 – 06:00 WIB, diisi program “Seputar Jawa Tengah & Yogyakarta” (liputan berbagai peristiwa poleksosbudhankam di wilayah Jawa Tengah dan DIY). Tahun ke 2 – 4 akan ditingkatkan menjadi 8,8% dengan penambahan program “Mozaik Jawa Tengah & Yogyakarta” (program tentang kegiatan kesenian, kebudayaan, pendidikan dan olahraga masyarakat Jawa Tengah & DIY), tayang pukul 04:00 – 04:30 WIB, dilanjutkan program “Jendela Hati” (program
agama) pada pukul 04:30 – 05:00 WIB. Baru kemudian di tahun ke 5 content lokal mencapai 10 % dengan penambahan program “Dahsyatnya Jawa Tengah & Yogyakarta” (Video klip atau tampilan musik penyanyi, band atau musisi Jawa Tengah & DIY), dengan penempatan jam tayang 06:00 – 06: 24 WIB. Dari aspek teknologi, kanal yang akan digunakan di kota Semarang adalah channel 33 UHF (sesuai pemancar eksisting), dengan pemancar yang telah dimiliki di jalan Merpati II Gombel, Kec. Bukit Merpati Semarang. 3.3.2. SCTV SCTV melaksanakan EDP dengan KPID dan stakeholder Jawa tengah untuk mengurus perijinan badan hukum lokalnya pada tanggal 23 Februari 2010. Pembentukan badan hukum lokal SCTV dalam manajemen PT. Surya Citra Wisesa, dengan nama SCTV Semarang, Komisaris: R. Soeyono, dan Direktur: Hardijanto Saroso. Dalam EDP tersebut pihak SCTV menyampaikan, pembentukan SCTV Semarang di latar belakangi upaya SCTV untuk ikut mengembangkan media dan sarana hiburan, informasi dan pendidikan masyarakat didaerah, pengembangan usaha, sekaligus pemenuhan atas peraturan dan perundangan
di bidang
penyiaran terkait amanat sistem stasiun jaringan. SCTV Semarang akan berjaringan via satelit dengan induk jaringannya SCTV di Jakarta, sebagai penyuplai 90% content program, sedangkan SCTV stasiun Semarang sendiri memproduksi sebanyak 10% content lokal secara bertahap. Content lokal terbagi dalam tipe program berita sebesar 17,2%, Informasi 5,4%, dan hiburan 77,5%. Alokasi waktu untuk content lokal ini bertahap dimulai pada tahun 2010 dengan penayangan program berita pagi selama 30 menit. Tahun 2010 direncanakan penambahan program acara variety show sehingga alokasi waktu untuk content lokal menjadi 60 menit. Total content lokal 10% direncanakan tercapai pada tahun 2015 melalui penambahan program acara talk show, berita
dan variety. Dalam EDP tersebut SCTV Semarang menyatakan komitmennya untuk memberikan prioritas pada pengembangan sumber daya lokal. 3.3.3. TPI TPI atau yang kini dikenal dengan nama MNCTV menyelenggarakan siaran di Jawa Tengah dimulai di Semarang pada tanggal 15 November 1993. Untuk menyesuaikan diri dengan UU No.32/2002, PP No. 50/2005 dan Permenkominfo 43/2009 tentang Sistem Stasiun Jaringan, pada tanggal 25 Februari 2010, MNCTV yang waktu itu masih menggunakan nama TPI melaksanakan EDP untuk pengajuan badan hukum lokalnya dengan nama PT. TPI DUA. Dalam EDP tersebut PT TPI DUA menyampaikan rencananya terkait implementasi SSJ dalam beberapa aspek, mulai dari aspek kelembagaan, Manajemen & SDM, Program, Teknik, dan keuangan. Dalam aspek kelembagaan, beberapa hal yang dilakukan adalah membentuk PT TPI DUA dengan akte notaries No.74 tanggal 16 Desember 2009, SK Menteri Hukum & HAM No. AHU 03097.AH.01.01.Tahun 2010, serta mengurus perizinan terkait. Dari aspek manajemen PT TPI DUA membentuk struktur organisasi yang dikepalai oleh Direktur Utama dan Direktur, yang dibantu oleh divisi-divisi. Dalam hal ini PT TPI DUA membentuk 5 divisi, yaitu divisi news (pemberitaan) yang bertanggung jawab untuk memastikan semua tayangan berita sesuai dengan rencana dan memenuhi kaidah jurnalistik serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Divisi kedua yaitu divisi program, yang bertanggung jawab atas perencanaan, penjadwalan dan pengembanagan program tayangan sesuai dengan target perusahaan dan memastikan tayangannya memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Divisi ketiga adalah divisi Teknologi, yang memastikan penggunaan perangkat penyiaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga tayangan dapat diterima dengan baik oleh pemirsa. Divisi keempat yaitu divisi keuangan, bertugas memastikan pengaturan keuangan perusahaan yang efektif dan efisien untuk
kelancaran operasional perusahaan. Sedangkan divisi kelima adalah divisi penjualan dan pemasaran, yang bertanggung jawab memastikan target penjualan perusahaan tercapai. Untuk Sumber Daya Manusia di TPI DUA diproyeksikan berjumlah 12 orang dengan rincian; 2 orang Direksi, 1 orang di bagian program, 3 orang bagian pemberitaan, 3 orang bagian teknik, dan masing –masing 1 orang di bagian Pemasaran, Keuangan dan bagian Tata Usaha. Terkait aspek program, dalam EDP pihak TPI menyampaikan komitmennya akan memberikan porsi siaran lokal selama 60 menit (pukul 11.00-12.00 WIB), untuk tahun kedua sampai keempat naik menjadi 120 menit, dan pada tahun kelima menjadi 144 menit. Hard news dan documentary merupakan program unggulan dari pihak TPI untuk siaran lokal wilayah Semarang.
3.3.4. INDOSIAR Indosiar seperti halnya stasiun televisi “nasional” yang lain, memilih mendirikan badan hukum lokal sendiri dalam pendekatannya melaksanakan amanat sistem stasiun jaringan. Untuk wilayah Semarang Indosiar membentuk PT Indosiar Semarang Televisi dengan visi “ menjadi televisi lokal Jawa Tengah terkemuka dengan tayangan yang berakar pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Semarang pada khususnya, demi pertumbuhan ekonomi daerah Jawa Tengah di berbagai sektor.”. Dalam EDP dengan publik Semarang, PT Indosiar Semarang Televisi menyampaikan misinya yang juga merupakan target rencana kerja lima tahun kedepan, sebagai berikut: (1) Memfokuskan diri terhadap minat dan aspirasi pemirsa Semarang dari berbagai lapisan masyarakat; (2) Memberdayakan potensi daerah Semarang seoptimal mungkin; (3) Melalui program siarannya, menjadi mitra bagi instansi pemerintah dan swasta yang terkait dalam
mensukseskan program-program pembangunan daerah Semarang untuk kepentingan masyarakat setempat Dalam penyelenggaraan penyiaran berjaringan, PT Indosiar
Semarang Televisi
nantinya akan menjadi anggota stasiun jaringan dari LPS induk stasiun PT Indosiar Visual Mandiri di Jakarta yang bertindak sebagai koordinator Jaringan. Permohonan IPP PT indosiar Semarang Televisi sesuai dengan pasal 13 Permenkominfo 43/2009 akan menggunakan alokasi frekuensi kanal 27 UHF. Dari sisi program PT indosiar Semarang Televisi menyatakan komitmennya untuk memproduksi dan menayangkan konten siaran lokal sebesar 10% atau kurang lebih 2,5 jam, 30% atau 45 menit, di antaranya akan ditayangkan pada prime time pukul 18.00-22.00 WIB. konten lokal yang akan diproduksi terdiri atas berbagai jenis format acara mulai dari News (berisi peristiwa/ berita yang terjadi di seputar wilayah Semarang dan sekitarnya), Talkshow (berisi dialog interaktif dengan menghadirkan tokoh-tokoh/ narasumber yang berkompeten di bidangnya untuk membahas masalah publik, yang meliputi aspek hukum, politik, agama, social dan budaya di seputar wilayah Semarang dan sekitarnya), Kewirausahaan (berisi tentang kesuksesan pengusaha daerah Semarang dan sekitarnya dalam bidang ekonomi kerakyatan yang mampu menjaring tenaga kerja lokal serta meningkatkan pendapatan daerah), Pendidikan & Budaya (berisi ragam budaya, features atau laporan khas yang diulas secara lengkap dan mendalam tentang tradisi atau ritual budaya seputar Semarang), Hiburan (Berisi tentang beragam kesenian daerah Semarang dan sekitarnya, baik tradisional maupun modern). 3.3.5. ANTV Sama seperti stasiun televisi nasional lainnya, kebijakan yang dipilih ANTV untuk melaksanakan amanat SSJ adalah dengan membangun badan hukum lokal sendiri di Semarang. Badan hukum yang didirikan adalah atas nama PT. Cakrawala Andalas Televisi
Semarang, atau disebut sebagai ANTV Semarang. ANTV Semarang didirikan berdasarkan akta No. 31 tanggal 30 Oktober 2009, yang dibuat di hadapan Firdhanol, SH, Notaris di Jakarta, telah mendapat persetujuan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia No. AHU-61383.AH.01.01. ANTV Semarang berdiri sebagai stasiun televisi lokal yang berjaringan dengan ANTV Jakarta dengan ijin mengudara yang terbatas khusus di wilayah Provinsi Jawa Tengah. ANTV Semarang bertindak sebagai anggota jaringan yang akan menginduk dengan ANTV Jakarta. Dari sisi manajemen, ANTV Semarang akan merekrut SDM lokal mulai dari 11 orang di tahun 2010 yang terdiri atas Operator 5, kepala station 1, Satpam 3 dan kontributor 2. Jumlah tersebut akan ditingkatkan bertahap hingga tahun 2014 dengan menambahkan lagi satu orang operator dan satu orang kontributor (sehingga total 13 orang SDM lokal di tahun 2014). Dari Aspek Siaran, ANTV Semarnag berencana memulai content lokal dengan durasi 60 menit dan bertahap ditingkatkan menjadi 150 menit di tahun 2014. Program lokal yang akan disiarkan nanti adalah berita lokal; “Topik Semarang” dengan jam tayang pukul 06.0006.30 WIB, dan program religi; “Cahaya Hati” atau “Titian Iman” yang ditayangkan pada pukul 04.00-04.30 WIB. 3.3.6. GLOBAL TV Untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan Sistem Stasiun Jaringan, Global TV pada tanggal 10 Desember membentuk badan lokal di Jawa Tengah, dengan nama PT GTV DUA untuk wilayah Semarang. EDP dengan KPID Jawa Tengah dengan tujuan mendapatkan rekomendasi kelayakan guna memperoleh Izin Penyelenggaraan Penyiaran, dilaksanakan pada tanggal 25 Februari 2010. Dalam EDP tersebut, pihak GTV menyampaikan telah melakukan kerjasama dengan pihak lokal dalam hal kepemilikan sahamnya. PT GTV DUA
yang memiliki visi menjadi stasiun televisi berkelas yang layak ditonton seluruh keluarga Indonesia khususnya daerah Jawa Tengah ini 90% sahamnya dimiliki oleh PT Global Informasi Bermutu, dan 10% saham lainnya dimiliki oleh Arimurti sebagai lokal shareholder. Dalam aspek teknis GTV DUA mengajukan penggunaan kanal 37 UHF, spesifikasi antenna Jampro dengan type JUHD, tinggi tower 120 meter dari permukaan tanah yang wilayah jangkauannya meliputi Semarang, Ungaran, Ambarawa, Salatiga, Kendal, Weleri, Demak, Kudus dan Jepara. Berkaitan dengan local content yang menjadi keharusan dalam pelaksanaan sistem jaringan, GTV mengaku saat ini telah melakukan aplikasi local content tahap awal dengan mengikuti 3 zona waktu (WIB, WITA, WIT). Dalam tahap ini local content dimulai pada pukul 02:30 s/d 03:30 WIB. Rencana kedepan GTV akan menerapkan 7 zona aplikasi local content dengan penempatan diantara pukul 13:00 s/d 16:00 WIB. Alokasi waktu local content yang direncanakan GTV dua dimulai dari 4,4% ditahun pertama, meningkat menjadi 8,8% ditahun kedua hingga keempat, dan mencapai 10% ditahun kelima. 3.3.7. METRO TV Metro TV melakukan permohonan izin penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran swasta untuk badan hukum lokalnya di Semarang dengan nama PT Media Televisi Semarang. Dalam proses tersebut, pihak Metro TV melaksanakan evaluasi dengar pendapat dengan publik Jawa Tengah, tepatnya tanggal 23 Februari 2010. Forum EDP tersebut digunakan Metro Tv untuk menjelaskan aspek pendirian, aspek badan usaha, aspek program dan aspek teknisnya. Dari aspek pendirian, PT Media Televisi Semarang menjelaskan maksud dan tujuan pendiriannya sebagai berikut: Maksud: (1) Mengakomodasi kebutuhan informasi masyarakat Jawa Tengah akan berita dari dan untuk masyarakat Jawa Tengah; (2) Mengembangkan
seluruh potensi yang ada untuk kesejahteraan masyarakat Jawa Tengah. Tujuan: (1)Memberikan Informasi yang lugas, jelas, cerdas dan terpercaya kepada masyarakat Jawa Tengah; (2) Menjadi media promosi bagi masyarakat jawa Tengah sehingga dapat berkontribusi positif bagi perkembangan pembangunan di Jawa Tengah. PT Media Televisi Semarang ini memiliki visi “Mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan”, serta misi “ Turut Menunjang program pembangunan pemerintah daerah, membuat dan menayangkan program yang berbasis budaya lokal serta menjadi sarana promosi Provinsi Jawa Tengah”. Badan Usaha PT Media Televisi Semarang didirikan dengan Akta Notaris Aris Budiyono SH, No.22 tanggal 20 Januari 2009, serta akta pengesahan pendirian No. AHU5543.AH.01.01.Tahun 2009 tanggal 16 November 2009 dari kementerian Hukum dan HAM. Dengan modal dasar sekitar 2 milyar rupiah, PT Media Televisi Semarang ini sahamnya dimiliki oleh Helga Yuwono dan Romando Very M.S. yang dalam manajemen memiliki posisi sebagai Komisaris utama dan Direktur. Pihak Metro Tv juga menjelaskan bahwa dalam manajemennya saat ini, untuk posisi penanggungjawab pemberitaan/siaran, teknik & Keuangan/usaha, adalah SDM Metro TV Jakarta yang diperbantukan sementara di Metro TV jateng untuk melatih dan mendidik SDM lokal hingga siap mengambil alih pekerjaan. Jumlah SDM Metro TV Semarang sendiri diproyeksikan mencapai 45 orang, dengan rincian 22 orang di studio dan kantor, 15 orang di bagian transmisi dan 8 orang sebagai kontributor. Metro TV Jateng dalam aspek program, format siarannya akan mengacu kepada induk jaringannya, Metro TV Jakarta, yakni berupa program berita dan dialog (talk show) dengan lebih mengedepankan atau mengutamakan berita-berita lokal dan narasumber-narasumber lokal. 3.3.8. TRANS TV
Untuk melaksanakan amanat Sistem stasiun Jaringan, Trans TV mendirikan TRANS TV SEMARANG yang permohonan kelayakannya melalui proses Evaluasi Dengar Pendapat dengan KPID pada tanggal 22 Februari 2010. Dalam EDP tesebut TRANS TV SEMARANG menjelaskan maksud dan tujuan pendiriannya “Menjadi suatu lembaga penyiaran televisi yang merepresentasikan kearifan budaya Semarang dan sebagai salah satu motor penggerak perekonomian Semarang”, serta “Menjadi sumber informasi, pendidikan, pengetahuan dan hiburan bagi masyarakat Semarang yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral, agama dan perundang-undangan yang berlaku”. Legalitas Perusahaan PT TRANS TV SEMARANG yang didirikan pada tanggal 22 Desember 2009 tersebut berdasarkan akta Nomor:94 yang dibuat oleh Notaris FX. Budi Santoso, SH. PT Trans TV Semarang ini memiliki visi “mewujudkan semangat otonomi daerah yang bermartabat di Indonesia dengan membangun media televisi lokal yang bertaraf nasional”, dengan penjabaran misi: (1) Menjadikan media Televisi lokal sebagai penunjang dalam menggali nilai budaya, pendidikan, social kemasyarakatan, agama, ekonomi, teknologi dan demokratisasi di semua bidang dalam rangka pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia; (2) Melalui program siarannya, menjadi partner bagi masyarakat dan pemerintah daerah dalam ikut mensukseskan program-program pembangunan untuk kepentingan masyarakat banyak; (3) Membuat program-program siaran unggulan yang menggambarkan kebudayaan masyarakat Semarang, memberikan nilai tambah bagi potensi peningkatan pendapatan daerah Semarang dengan melahirkan usaha-usaha baru dan pendapatan usaha yang semakin meningkat. Dari sisi aspek program, pihak Trans TV dalam EDP menyampaikan komitmennya memenuhi aturan penayangan 10% content lokal, dan 90% sisanya akan relay program dari Trans TV Jakarta. Untuk content lokal tersebut Trans Tv semarang mengatur komposisinya sebesar 50% untuk program berita, 30% budaya lokal dan 20% iklan.
Program lokal yang disiapkan Trans Tv Semarang antara lain: Reportase Semarang (program berita yang berisi berita-berita aktual dan berita-berita feature yang bersifat human interest, berkaitan dengan Semarang dan sekitarnya), Selamat Pagi
Semarang ( berisi
pembahasan lebih mendalam tapi ringan terhadap masalah atau isu lokal yang sedang berkembang di Semarang dan sekitarnya. Menampilkan tokoh, figure publik atau artis untuk memperbincangkan masalah atau isu yang sedang berkembang di Semarang dan sekitarnya. Serta Live report dari daerah-daerah Semarang dan sekitarnya yang sedang mempunyai kejadian khusus), Variadisi ( program non berita yang mempunyai misi untuk mengembangkan potensi atau bakat yang ada di Semarang. Pengisi acara melalui audisi yang diselenggarakan di Semarang. Acara dikemas dalam bentuk talkshow dengan bintang tamu figure lokal, serta memasukkan unsur musik dan komedi). 3.3.9. TRANS 7 Trans 7 dalam menjalankan amanat sistem stasiun jaringan, memilih mendirikan badan hukum lokal dengan nama Trans 7 Semarang berdasarkan akta notaris F.X. Budi Santoso Isbandi, SH dengan Nomor 105 tanggal 22 Desember 2009. Dalam EDP tersebut Trans 7 Semarang menjabarkan visi dan misinya. Visinya adalah “ menjadi stasiun televisi lokal terbaik yang berkualitas, bermoral dan berbudaya di wilayah Semarang dan sekitarnya serta Jawa Tengah pada umumnya.” Sedangkan misinya yaitu: (1) Menampilkan program-program yang berkualitas, mendidik serta menghibur masyarakat dengan persentase jumlah program buatan sendiri (inhouse) yang lebih besar daripada program-program yang dibeli; (2) Memberikan tayangan yang bersifat general entertainment dengan arah sebagai televisi keluarga; (3) Kualitas audio dan video yang baik agar pemirsa dapat menikmati tayangan audio visual yang lebih jernih dan bersih; (4) Penerapan good corporate governance dalam manajemen serta peningkatan kemampuan SDM dalam pembuatan program inhouse.
Dalam aspek program, Trans 7 Semarang menyampaikan mencoba mengusung 7 konsep warna lokal, dengan contoh program yang akan ditayangkan antara lain: Warna Jawa Tengah (04.30 -05.00 WIB) Program yang menayangkan perjalanan-perjalanan ke berbagai tempat untuk mengungkap keanekaragaman hayati, budaya, dan eksotika bawah laut serta keunikan adat istiadat yang dipadu keramahtamahan; Redaksi Pagi Jawa Tengah (06.30 – 07.00 WIB) Program yang dikemas dalam format hard news dan disampaikan secara lugas dan dinamis. Program yang rencananya ditayangkan setiap senin hingga minggu ini berisikan berita dari daerah Jawa Tengah, Nusantara dan luar negeri yang actual dan terkini; Bermain di Jawa Tengah (12.00 – 12.30 WIB) Program ini mencoba mendekatkan kembali anak-anak di seluruh Jawa Tengah dengan alam dan budayanya. Bagaimana si anak berinteraksi dengan alam, budaya, dan bermain dengan beraneka ragam permainan tradisional. Selain itu, sisi-sisi human interest sang tokoh ketika menghadapi suatu masalah juga ditampilkan di film semi documenter; Wisata Jawa Tengah (17.00 – 17.30 WIB) Program petualangan wisata, budaya, kuliner yang mengangkat beragam
adat budaya,
masakan dan panganan di berbagai daerah Jawa Tengah. Program ini disamping memperkenalkan adat, bahasa dan budaya juga mengungkap kisah dibalik munculnya atau terciptanya sebuah masakan seperti adat budaya setempat, topografi daerah dan kepercayaan suatu komunitas masyarakat; Redaksi Malam Jawa Tengah (01.00 -01.30 WIB) Program yang dikemas dalam format hard news dan disampaikan secara lugas dan dinamis. Program yang rencananya ditayangkan setiap senin hingga minggu ini berisikan materi berita dari daerah Jawa Tengah, Nusantara dan luar negeri yang aktual dan terkini. 3.3.10. TVONE Melaksanakan
Sistem
Stasiun
Jaringan,
TVONE
mengajukan
permohonan
ijin
penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran swasta di kota Semarang dengan nama perusahaan PT Lativi Mediakarya Jawa Tengah. TVOne yang awalnya dikenal sebagai
sebagai Lativi hadir dengan format baru yang mengandalkan informations, Sport dan Selected Entertainment. Beberapa tahap pengembangan yang direncanakan dan mulai dilakukan oleh TVOne yaitu: (1) Peningkatan Kualitas dan ragam materi program. Program TVOne akan mencakup informasi di bidang politik, ekonomi, social dan budaya. (2) Peningkatan Kualitas Signal dan penambahan transmisi. (3) Membangun Biro daerah dan Luar Negeri, (4) Menambah peralatan dan studio siaran, dan (5)Pengembangan Sumber daya Manusia.
BAB 4 EKONOMI POLITIK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
4.1. EKONOMI POLITIK REGULASI PENYIARAN Pada dasarnya diterbitkannya UU Penyiaran No 32 tahun 2002 merupakan satu bentuk campur tangan politik untuk meniadakan monopoli informasi dan kepemilikan modal. Secara teoritis hal ini merupakan bentuk pendekatan Spasialisasi dalam teori ekonomi politik, yang membahas mengenai bentuk lembaga media terkait batasan ruang dan waktu. Undangundang penyiaran tersebut mensyaratkan agar ke depan tidak ada lagi televisi nasional yang siaran di daerah sebelum berjaringan dengan stasiun televisi lokal. Secara politis, kebijakan ini dijalankan untuk menjamin diversity of content, karena sepanjang stasiun televisi nasional masih beroperasi di daerah, maka muatan siarannya hanya akan didominasi oleh muatan dari „pusat‟. Sementara di sisi lain, secara ekonomi diberlakukannya undang-undang ini adalah untuk memancing hadirnya media-media baru di tingkat lokal. Sehingga ke depan terjadi diversity of ownership. Namun faktanya menjalankan sistem stasiun berjaringan yang membawa semangat desentralisasi tersebut tidaklah semudah membalikkan tangan. Seperti yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya dalam penelitian ini, amanat SSJ sendiri pada dasarnya sudah menghadapi dilematika dan kontroversi sejak diusulkan/ perumusan Undang-Undang, hingga sampai tahap implementasinya. Dalam proses terbentuknya sebagai sebuah aturan, Undang-Undang Penyiaran merupakan hasil proses negosiasi dan kompromi dari interaksi berbagai kepentingan elemenelemen, terutama seputar perbedaan-perbedaan dalam merumuskan muatan-muatan pokok dalam undang-undang, serta cara pandang pihak-pihak terkait terhadap suatu usulan.
Sebagaimana halnya dengan usulan sistem stasiun jaringan. Rangkaian proses tersebut akan sangat terkait dengan interaksi sosial yang dijalankan oleh masing-masing pelaku yang berkepentingan dalam dunia penyiaran sebagai realitas objektif. Seperti telah disinggung dalam bab 2, Dalam konteks kebijakan sistem stasiun jaringan ini, bisa dikatakan ada setidaknya lima aktor yang terlibat dengan berbagai kepentingan yang berbeda sejak awal pembahasan RUU. Satu dari pihak pemerintah, yang kedua pihak yang dianggap mewakili kepentingan publik (DPR). Ketiga koalisi kelompok masyarakat (mulai dari Aliansi Jurnalis Independen, Jaringan Radio Komunitas, Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia dan lainlain.). Keempat adalah kelompok akademisi. Dan, kelima adalah kelompok pemodal atau industri. Apa yang dipahami oleh pihak industri tentunya akan sangat berbeda dengan apa yang diyakini oleh publik, demikian juga apa yang diyakini oleh pihak negara atau pemerintah akan berbeda dengan apa yang dipahami oleh para akademisi kampus ataupun kelompok koalisi masyarakat. Keberbedaan cara pandang dan pemahaman masing-masing pelaku tersebut sangat ditentukan oleh pola pikir dan realitas objektif yang berada di sekitarnya yang di konstruksikan sebagai pengetahuan yang valid bagi mereka. Maka bisa dipahami bahwa perumusan regulasi penyiaran menjadi arena pertarungan berbagai kepentingan, karena dalam konteks ini kelompok-kelompok di atas mempunyai berbagai kepentingan yang berbeda, karena memang berangkat dari pelaku-pelaku sosial yang secara karakter memiliki pandangan dan garapan yang berbeda. Undang-undang Penyiaran No 32 tahun 2002 yang kemudian lahir membawa paradigma yang berbeda dari regulasi sebelumnya yaitu UU No 24/1997 tentang Penyiaran. Ada perubahan mendasar dari model sentralisasi ke model desentralisasi. Proses ini memperkuat teori Giddens tentang strukturasi yang menjelaskan adanya saling pengaruh
antara structure dan agency. Struktur diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui tindakan-tindakan agen. Regulasi sebagai struktur bisa diubah, ketika orang mulai mengabaikan, menggantikan, atau mereproduksinya secara berbeda. Disisi lain seperti dalam pandangan Giddens, struktur memiliki sifat dualitas dimana struktur dan agency (dengan tindakan-tindakannya) tidak bisa dipahami secara terpisah. Ada kausalitas saling mempengaruhi antara struktur dan agency. Struktur memiliki sifat membatasi (constraining) sekaligus membuka kemungkinan (enabling) bagi tindakan agen. Hal ini juga bisa kita lihat pasca disahkannya UU Penyiaran No. 32 tahun 2002. Kebijakan sistem stasiun jaringan didalam Undang-undang tersebut sebenarnya tercipta untuk mewujudkan struktur penyiaran yang adil dan terpadu, namun dari sudut pandang televisi swasta nasional sebagai bagian dari agen pelaksana, kewajiban SSB ini tentu bukanlah hal menggembirakan. Kewajiban tersebut akan berakibat langsung pada masa depan mereka berupa kerugian materi maupun pengurangan segmen pasar. Oleh karenanya, dengan segala upaya TV nasional menarik ulur - jika bisa menggagalkan pelaksanaan Sistem Siaran Berjaringan ini. Berbagai langkah dan loby para pelaku industri televisi nasional akhirnya berujung pada penundaan-penundaan yang terjadi dalam implementasi kebijakan SSJ, melalui PP No. 50 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri (Permen) No. 32/Per/M.KOMINFO/12/2007 Tentang Penyesuaian Penerapan Sistem Stasiun Jaringan Lembaga Penyiaran Jasa Penyiaran Televisi. Proses ini sebenarnya menegaskan bahwa telah terjadi perpindahan dominasi negara dan pemerintah ke dominasi baru oleh sektor swasta, para pemilik modal televisi raksasa di Indonesia.
4.2. PENGINGKARAN PRINSIP KEBERAGAMAN DALAM IMPLEMENTASI SSJ
Pada dasarnya regulasi dan pelaksanaan penyelenggaraan penyiaran di Indonesia mengacu pada prinsip dasar penyiaran yang berkaitan dengan prinsip-prinsip penjaminan dari negara, agar aktivitas penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak positif bagi publik. Dalam hal ini, publik harus memiliki akses yang memadai untuk dapat terlibat, memanfaatkan, mendapatkan perlindungan serta mendapatkan keuntungan dari kegiatan penyiaran. Untuk mencapai keberhasilan tersebut dibutuhkan prinsip yang secara melekat menyokongnya, yakni prinsip keberagaman kepemilikan (diversity ownership) dan keberagaman isi (diversity of content) dari lembaga penyiaran. Prinsip keberagaman kepemilikan berarti adanya keanekaragaman pemilik dan tidak saling berhubungan satu sama lain. Prinsip ini bertujuan agar tidak terjadi konsentrasi kepemilikan modal (capital) dalam lembaga penyiaran, serta saat bersamaan diarahkan untuk mendorong adanya perlibatan modal dari masyarakat luas di Indonesia. Oleh karena itu prinsip keberagaman kepemilikan menjadi prinsip dasar yang harus dipegang teguh untuk menciptakan sistem persaingan yang sehat, mencegah terjadinya monopoli dan oligopoli, serta memiliki manfaat ekonomi bagi masyarakat luas. Prinsip keberagaman isi berarti adanya keanekaragaman isi siaran yang sesuai dengan pedoman perilaku penyiaran dan standar program penyiaran. Keberagaman isi diharapkan agar tidak terjadi monopoli informasi yang dilakukan pelaku usaha industri penyiaran. Kebijakan sistem stasiun jaringan dalam UU Penyiaran No 32 tahun 2002 mencoba mengusung prinsip keberagaman kepemilikan dan content, karena sesungguhnya prinsip keberagaman (diversity) inilah yang dapat menjadi indikator bagi terciptanya iklim persaingan sehat antar lembaga penyiaran dalam menyediakan pelayanan informasi kepada masyarakat. Namun sayangnya, dalam penelitian ini, penulis menemukan bahwa dalam implementasinya kebijakan sistem stasiun jaringan justru masih mengalami pengingkaran atas kedua prinsip keberagaman tersebut.
4.2.1. Pengingkaran Diversity Of Ownership Semangat keberagaman kepemilikan dalam kebijakan sistem stasiun jaringan sebenarnya telah diatur melalui batasan kepemilikan saham, yang tertuang dalam Peraturan Menteri No. 43/PER/M.KOMINFO/10/2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Sistem Stasiun Jaringan Oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi. Dalam PerMen tersebut disebutkan bahwa untuk setiap stasiun relai yang tercantum dalam izin penyelenggaraan penyiaran dan akan dibentuk badan hukum baru, masyarakat daerah dapat memiliki saham paling sedikit 10% (sepuluh perseratus). Sedangkan untuk setiap stasiun relai dan/atau daerah yang tidak tercantum dalam izin penyelenggaraan penyiaran dan akan dibentuk badan hukum baru, memiliki batasan kepemilikan saham sebagai berikut: (1) untuk badan hukum kedua, masyarakat daerah dapat memiliki saham sebesar 51%; (2) untuk badan hukum ketiga, masyarakat daerah dapat memiliki saham sebesar 80%; dan (3) untuk badan hukum keempat dan seterusnya, masyarakat daerah dapat memiliki saham sebesar 95% . Pengaturan batasan kepemilikan tersebut pada dasarnya bersesuaian dengan hak setiap warga negara untuk mendirikan lembaga penyiaran televisi. ini memberikan peluang kepada para pemodal daerah untuk ikut serta mengembangkan industri penyiaran yang selama ini didominasi oleh pengusaha-pengusaha “pusat”. Harapannya kepemilikan media penyiaran televisi akan semakin beragam, sehingga tercipta iklim penyiaran yang sehat karena terbebas dari monopoli kepemilikan dan lebih memperhatikan unsur lokalitas. Namun faktanya dalam pengajuan ijin penyelenggaraan penyiaran yang diajukan oleh stasiun-stasiun televisi dari Jakarta yang mendaftarkan badan hukum lokalnya di Semarang, aturan kepemilikan saham yang mengutamakan masyarakat daerah tampaknya masih diabaikan. Hal tersebut terlihat dalam penelusuran yang dilakukan peneliti atas kepemilikan saham dalam badan hukum lokal bentukan televisi nasional, sebagai berikut:
Tabel 4.1 Kepemilikan saham jaringan TV Nasional di Semarang Lembaga Penyiaran RCTI DUA
Jumlah
Keterangan
PT RCTI Dwimurdhani Adhi Lestari
90% 10%
Jakarta Jakarta
SCTV Semarang
PT Surya Citra Televisi Budi Harianto
99,999% Jakarta 0,001% Jakarta
TPI DUA
PT Cipta TPI R Agustinus Muryono
90% 10%
Jakarta Jakarta
INDOSIAR Semarang
PT Indosiar Visual Mandiri PT Prima Visualindo Candra Widiarso Mulyono Agustinus Riadi Widodo
50% 40% 5% 5%
Jakarta Jakarta Semarang Semarang
ANTV Semarang
Teguh Ananta Wikrama Santana Muharam
99% 1%
Jakarta Jakarta
Global TV
PT Global Informasi Bermutu Arimurti ST
90% 10%
Jakarta Semarang
MetroTV Semarang Helga Yuwono Romando Very M Simangunsong
50% 50%
Semarang Semarang
Trans Semarang
PT Trans TV Nusantara 4 PT Trans TV Nusantara 1 PT Trans TV Nusantara 2
90% 5% 5%
Jakarta Jakarta Jakarta
Trans 7 Semarang
PT Duta Visual Nusantara Tivi 7 PT Trans TV Nusantara 1 PT Trans TV Nusantara 2 PT Teletrans Media
90% 4,9% 0,6% 4,5%
Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Tivi ONE
Pemilik Saham
PT. Visi Media Asia 88,8% PT. Redal Semesta 11,2% Sumber: Dokumen-dokumen pengajuan IPP Televisi ke KPID Jateng
Jakarta Jakarta
Dari data tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa Dari segi keragaman kepemilikan tidak ada perubahan yang signifikan. kepemilikan saham masih dikuasai oleh para pengusaha dari Jakarta. Keterlibatan masyarakat daerah sebagai pemilik saham sangat kurang. Bahkan berdasarkan data yang ada, orang-orang Semarang yang dipasang sesungguhnya memang
merupakan bagian dari manajemen televisi Jakarta. Ini artinya televisi-televisi lokal yang terbentuk hanyalah merupakan koloni dari modal Jakarta atau hanya menjadi perpanjangan tangan dari Jakarta, yang akhirnya tidak membawa adanya perubahan dan manfaat signifikan bagi daerah. 4.2.2. Pengingkaran Diversity Of Content Prinsip diversity of content ini pada dasarnya masih terkait erat dengan prinsip diversity of ownership. Salah satu esensi dari demokrasi adalah adanya jaminan kebebasan bagi munculnya berbagai ragam opini. Melalui prinsip diversity of content berarti menjamin keberagaman isi siaran, yang selaras dengan
semangat dan eksistensi kultur bangsa
Indonesia yang heterogen dan pluralis. Artinya, berbagai kelompok budaya, etnik, agama, ras dan golongan mempunyai posisi dan peluang yang sama dalam penyiaran. Dalam kultur yang pluralis di Indonesia, keragaman potensi ekonomi dan kebudayaan yang ada disetiap daerah merupakan aset siaran yang dapat dieksplorasi sedemikian rupa sehingga muatan siaran akan lebih variatif dan lebih bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat setempat. Harapannya, khalayak lokal akan lebih banyak tahu akan informasiinformasi di lingkungan sekitarnya dan karenanya dapat membuka kesempatan-kesempatan baru di bidang ekonomi. Di sisi lain, ragam kebudayaan setempat akan menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton stasiun lokal, sehingga masyarakat tidak perlu lagi merasa terjajah oleh kebudayaan “pusat” yang hingga kini masih tercitra melalui siaran berskala nasional. Diversity of content tersebut dicoba diwujudkan melalui persyaratan yang harus dipenuhi dalam sistem berjaringan dengan masuknya muatan lokal paling sedikit 10 persen dari seluruh waktu siaran per hari, serta menempatkan content lokal tersebut di jam tayang utama atau waktu prime time. Jumlah persentase tersebut sifatnya juga sementara, karena Peraturan Menteri mengharuskan adanya kenaikan secara bertahap menjadi 50 persen disesuaikan dengan kemampuan daerah dan lembaga penyiaran.
Sayangnya sekali lagi para pemohon ijin badan hukum lokal dari Jakarta ini tampaknya abai terhadap aturan tersebut. Seperti yang tergambar dalam proses Evaluasi Dengar Pendapat yang dibahas dalam bab sebelumnya, semua stasiun televisi bentukan televisi nasional tersebut akan memulai penayangan content lokal kurang dari 10 persen. Pencapaian 10 persen content lokal dilakukan secara bertahap setelah 5 tahun. Padahal dalam aturan disebutkan bahwa penerapan content lokal sebanyak 10 persen ditahap awal, yang kemudian kedepan ada keharusan memuat siaran lokal tersebut secara bertahap naik menjadi paling sedikit 50 persen dari seluruh waktu siaran per hari. Kecenderungan menempatkan konten lokal pada jam-jam yang tidak termasuk prime time terjadi di semua proposal pemohon. Begitu pula ketika melihat substansi yang disampaikan oleh para pemohon dalam proses EDP tersebut, terkait dengan aspek pengembangan program, ternyata tidak ada tawaran program acara yang benar-benar menjamin adanya keberagaman isi siaran. Memang persoalan kriteria content lokal ini masih dipermasalahkan dan menjadi perdebatan karena ada perspektif yang berbeda. Para pengelola televisi dari Jakarta beranggapan, bila SSJ didesain untuk memberikan variasi siaran bagi masyarakat daerah, maka mereka merasa selama ini sudah melakukannya, misalnya melalui acara berita ataupun siaran yang bertemakan daerah. Sementara KPI memandang kriteria content lokal berarti sepenuhnya berasal dari daerah dan diidistribusikan sepenuhnya untuk daerah. Isi siaran lokal tidak melulu hanya berita, karena banyak potensi lokal yang baik dan akan banyak ditonton masyarakat daerah. Seperti yang disampaikan Hari Wiryawan terkait kriteria content lokal “Local content seharusnya meliputi 3 aspek. Pertama, aspek modal yang didalamnya termasuk peralatan, maksudnya di produksi didaerah. Yang kedua SDM-nya, yang memproduksi orang daerah. Dan ketiga, Isi siaran itu sendiri yang memang tentang daerah” Jadi sebenarnya yang dimaksud content local yakni isi siaran yang menggunakan sumber daya di daerah, dan tentang daerah. Sehingga pemahaman para pengelola televisi
nasional tentang content lokal yang hanya berarti siaran bernuansa atau bertemakan daerah saja, tentunya tidak tepat. Bahkan pemahaman tersebut bisa memiliki implikasi negatif, karena dengan demikian bisa saja isi siaran diproduksi langsung dari Jakarta, sehingga televisi-televisi bentukan Jakarta didaerah tidak perlu memenuhi kesiapan infrastruktur, yang imbasnya semangat SSJ untuk memberikan nilai ekonomi bagi daerah tidak dapat tercapai. Persoalan infrastruktur sendiri sebenarnya sangat penting dalam pelaksanaan SSJ, namun dalam observasi yang dilakukan peneliti di lapangan, tampaknya persiapan tersebut belum dilakukan, karena hingga saat ini yang masih tampak hanyalah stasiun relai dan penjaganya. Badan hukum lokal yang diajukan para pengusaha dari Jakarta kebanyakan belum mempersiapkan infrastruktur seperti studio siar dan SDM. Padahal bila merujuk draft peraturan KPI dan Depkominfo yang disepakati dan disetujui dalam Rapat Koordinasi Nasional KPI di Bali tahun 2008, tentang sistem stasiun berjaringan lembaga penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi, studio siaran serta kelengkapan transmisi dan gedung kantor harus berada di daerah, wajib dilaksanakan mulai 28 Desember 2007 dan selesai pada 28 Desember 2010. Tampaknya hanya televisi dibawah naungan MNC yang sudah mencoba menyiasati persoalan infrastuktur karena telah berhasil mengakusisi Pro TV, seperti yang disampaikan Deny Reksa: “Masalah infrastruktur untuk group MNC tidak ada masalah. di Semarang MNC telah memiliki ProTV yang dapat digunakan mengantisipasi persoalan infrastruktur seperti studio siar dan SDM lokal. satu studio bisa digunakan siaran RCTI, Global dan TPI. Hanya dengan mengatur background saja. Sedangkan SDM-nya menggunakan orang-orang ProTV.” Strategi MNC tersebut sebenarnya menunjukkan, bagi industri televisi komersial efisiensi menjadi hal yang sangat penting, tak lepas dari sifatnya sebagai institusi bisnis yang berideologi kapitalis. Melihat kondisi-kondisi diatas, tentu kita dapat menilai bahwa implementasi sistem stasiun jaringan di kota Semarang masih merupakan kamuflase belaka, proses yang berjalan
dan dilaksanakan oleh televisi-televisi nasional lebih didorong oleh kepentingan untuk memenuhi kewajiban regulasi, dari pada komitmen untuk membangun sistem stasiun jaringan secara substantif. 4.3. Implementasi SSJ & Ketidakadilan dalam dunia penyiaran Semangat kebijakan Sistem Stasiun Jaringan pada dasarnya membangun struktur penyiaran di Indonesia menjadi adil dan membangun persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran. Selama ini persaingan antar televisi khususnya antara televisi lokal dan televisi nasional sangat tidak adil dan tidak sehat. Televisi nasional dalam sistem sentralistis saat ini secara faktual hanya dengan bermodalkan tiang transmisi dan 3-5 orang untuk menjaga transmisi, bersaing dengan televisi lokal yang harus membangun industri di suatu daerah. Televisi lokal harus membangun transmisi, studio dan kantor, serta merekrut tenaga kerja minimal 50 orang. Biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar, sementara pendapatan dari iklan sangat minim. Pengusaha lebih suka beriklan ditelevisi Nasional sebab dalam perhitungan cpm (cost per mill) iklan di televisi Nasional bisa jauh lebih murah dibandingkan dengan televisi lokal, karenanya tanpa memperhatikan rating pun pengusaha sudah pasti memilih beriklan di televisi Nasional. Sehingga secara sistematis dan tersruktur TV lokal akan tetap kalah bersaing dengan TV Nasional. Persaingan ini sangat tidak sehat. Untuk menghilangkan ketidakadilan dan persaingan yang sangat tidak sehat pada struktur penyiaran, maka televisi swasta nasional harus dihilangkan, digantikan dengan televisi berjaringan. Dalam televisi berjaringan televisi dari Jakarta harus bekerja sama dengan televisi lokal, sehingga televisi lokal bisa ikut menikmati perolehan iklan yang selama ini terpusat di Jakarta. Di kota Semarang sendiri sebenarnya sudah ada empat stasiun televisi lokal yang siap menjadi mitra strategis bagi televisi dari Jakarta, seperti TVB, Pro TV, TVKU, dan Cakra Semarang TV. Keberadaan televisi-televisi lokal tersebut sebenarnya merupakan sebuah aset
yang bisa dioptimalkan peranan dan fungsinya sebagai mitra dalam upaya mengembangkan sistem penyiaran lokal yang berkualitas dan lebih sehat melalui sistem berjaringan. Seperti yang digambarkan oleh Triyono Lukmantoro: “Untuk SSJ di jawa tengah sudah siap. Disisi lain kehidupan televisi lokal di jawa tengah tidak begitu menggembirakan. dari sisi pendapatan dan dari sisi yang lain-lain. Bukan berarti dengan adanya televisi berjaringan TV lokal akan mendapatkan suntikan dana, tapi setidaknya ada kerjasama sehingga TV-TV di Jakarta tidak kaya sendiri. TV-TV lokal sekarang lemah karena sudah kalah duluan” Namun mengamati proses Implementasi SSJ di kota Semarang, meskipun belum tuntas, kita mungkin sudah bisa menyimpulkan bahwa implementasi yang ada saat ini bukanlah implementasi yang ideal. Tidak ada satupun televisi nasional yang menjalankan kebijakan Sistem Stasiun Jaringan dengan sistem kemitraan dengan televisi lokal yang sudah ada. Semua televisi dari Jakarta tersebut nyatanya lebih memilih mendirikan badan hukum lokal sendiri di Semarang daripada menggandeng TV lokal untuk diajak bekerjasama. Padahal idealnya implementasi SSJ tidak dilaksanakan dengan sistem top down seperti itu. Jika TV-TV nasional menciptakan sendiri jaringannya seperti ini, esensi SSJ yang terkait dengan upaya desentralisasi dan demokratisasi industri penyiaran tidak akan tercapai. Industri penyiaran tetap saja dimiliki oleh segelintir orang/ pemilik modal TV-TV raksasa kapitalis yang mepertahankan tentakel-tentakel bisnisnya menguasai industri penyiaran negeri. Seperti tanggapan Triyono Lukmantoro: “ini akal-akalan pemilik modal, akal-akalan orang-orang kaya, karena mereka takut kehilangan modal. Kalau memang kemudian yang dijalankan model berjaringan seperti itu, pasti tv-tv local yang ada di semarang akan semakin merana nasibnya” Memang apa yang dijalankan oleh televisi nasional bukanlah pelanggaran, karena regulasi memberikan peluang untuk itu. Namun sistem seperti ini sama saja dengan melanggengkan ketidakadilan dalam industri penyiaran. Semestinya kebijakan sistem stasiun Jaringan dilaksanakan dengan model bottom up, dengan mendorong kesiapan industri
penyiaran lokal, memberdayakan TV lokal eksisting dan / atau menciptakan berdirinya TV lokal baru, dengan sumber daya daerah. Frekuensi didaerah seharusnya dikembalikan pada publik daerah, sehingga publik lokal dapat menjadi “tuan rumah” di wilayahnya sendiri, dan potensi industri penyiaran lokalpun lebih terberdayakan. Dengan implementasi yang sekarang ini, yang muncul adalah berbagai ketidakadilan, termasuk ketidakadilan alokasi frekuensi. Seperti disampaikan direktur cakra TV, I Nyoman Winata: “masalah ketidakadilan alokasi frekwensi yang mengutamakan televisi nasional. Artinya frekwensi yang bagus hanya diberikan kepada televisi nasional, sementara televisi lokal hanya mendapat frekwensi yang kurang bagus.”
Ketidakadilan lainnya tercermin ketika regulator membiarkan adanya berbagai bentuk pelanggaran seperti masalah kepemilikan saham yang tetap dikuasai pemodal Jakarta dan masalah content, seperti yang telah disinggung sebelumnya. Tanpa ketegasan regulator mengatur alokasi content dan membiarkan televisi jaringan nasional hanya mengisi siaran lokal sebesar 10% bahkan kurang, maka bisa jadi kedepan industri televisi berbasis lokal tidak akan dibangun oleh televisi jaringan. Karena bila siaran lokal hanya 10%, tidak diperlukan sebuah industri televisi (harus investasi studio, kantor dan SDM/ tenaga kerja). Dengan demikian industri pendukung televisi tidak akan muncul maksimal didaerah, begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi lokal tidak akan bergerak, dan tidak akan mempunyai efek, sama saja dengan kondisi industri televisi yang saat ini terjadi. Disisi lain dilihat dari dana operasional, televisi lokal dengan keharusan siaran lokal 80%, bersaing jaringan televisi dari Jakarta yang hanya menyiarkan 10% siaran lokal tanpa membangun infrastuktur didaerah akan menjadi ketidakadilan struktural yang menyebabkan persaingan tidak sehat antara televisi jaringan nasional dan televisi lokal tetap terjadi. Kendali iklan masih akan berpusat di Jakarta dan dikuasai televisi jaringan nasional, dan kondisi yang sulit akan tetap menimpa televisi-televisi lokal. Pilihannya hanya terpinggir/kalah, atau
menyerahkan diri kepada TV-TV atau pemilik modal yang sudah mapan dari Jakarta. Persoalan ini menjadi berbahaya karena lagi-lagi yang akan muncul adalah keseragaman, demokratisasi tidak berjalan, dan publik lokal tetap hanya akan menjadi objek siaran.
BAB 5 KESIMPULAN & SARAN 5.1. KESIMPULAN Kebijakan Sistem Stasiun Jaringan yang termuat dalam UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran pada dasarnya merupakan kebijakan yang ideal, sebab mengusung nilai desentralisasi dan demokratisasi yang menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Namun sayangnya kebijakan tersebut mengalami kendala mulai dari perumusan hingga tahap implementasinya. Persoalan tersebut tidak lepas dari kepentingan ekonomi politik pihak-pihak yang bersangkutan dengan kebijakan tersebut. Penelitian ini menunjukkan adanya tarik-ulur dan benturan kepentingan antara berbagai pihak sebagai aktor yang terlibat dalam kebijakan, serta telah terjadi saling mempengaruhi (interplay) antara kekuatan struktur dengan kekuatan agency. Tindakan para agen pelaku industri televisi nasional akhirnya berujung pada legitimasi penundaan-penundaan yang terjadi dalam implementasi kebijakan SSJ, melalui PP No. 50 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri (Permen) No. 32/Per/M.KOMINFO/12/2007 Tentang Penyesuaian Penerapan Sistem Stasiun Jaringan Lembaga Penyiaran Jasa Penyiaran Televisi. Hal tersebut menegaskan bahwa telah terjadi perpindahan dominasi negara dan pemerintah ke dominasi baru oleh sektor swasta, para pemilik modal televisi raksasa di Indonesia. Dalam hal Implementasi kebijakan Sistem Stasiun Jaringan di kota Semarang masih sangat jauh dari konteks ideal. Kebijakan televisi nasional yang semuanya lebih memilih mendirikan badan hukum lokal sendiri daripada bermitra dengan televisi lokal eksisting yang dilegitimasi pemerintah, memunculkan ketidak adilan bagi televisi lokal karena daya saing yang tidak cukup kuat. Tidak idealnya implementasi kebijakan sistem stasiun jaringan dapat berimplikasi pada tidak tercapainya prinsip diversity of content dan diversity of ownership, padahal kedua prinsip keberagaman tersebut menjadi prinsip dasar yang harus dipegang
teguh untuk menciptakan sistem persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran, serta mampu memenuhi kepentingan publik. Dalam implementasi kebijakan SSJ di Kota Semarang yang dilakukan oleh televisi nasional ada bentuk-bentuk pengingkaran peraturan yang “dibiarkan” oleh regulator. Pertama, persoalan kepemilikan saham. SSJ semestinya dapat memberikan peluang pada masyarakat daerah untuk ikut serta dalam membangun industri penyiaran televisi lokal didaerah, sehingga dalam regulasi ada keharusan menggandeng orang daerah/ pemilik modal lokal. Nyatanya kepemilikan badan hukum yang diajukan oleh televisi nasional di Semarang masih didominasi oleh para pemilik modal dari Jakarta. Kedua, persoalan content lokal, yang menjadi keharusan dalam SSJ, dalam perencanaan TV-TV lokal bentukan nasional tidak dipenuhi secara maksimal sesuai dengan aturan yang berlaku, bahkan masih ada persoalan tarik menarik atas substansinya. padahal bila dibiarkan, hal tersebut akan memiliki relasi dengan komitmen industri televisi membangun infrastruktur di daerah yang diharapkan bisa memberikan manfaat ekonomi bagi daerah. Ketidaktegasan Regulator mengawal dan menegakkan implementasi kebijakan Sistem stasiun Jaringan dapat memunculkan berbagai ketidakadilan. Mulai dari ketidakadilan alokasi frekwensi yang mengutamakan televisi nasional, ketidakadilan struktural bagi televisi lokal dalam persaingan bisnis dengan televisi jaringan nasional, sampai pada ketidakadilan bagi publik lokal, karena tanpa keberagaman, demokratisasi tidak berjalan, dan publik lokal tetap hanya akan menjadi objek siaran semata.
5.2. SARAN PENELITIAN Berbicara mengenai kebijakan atau regulasi media tidak dapat serta merta melepaskan tiga varian utama, yaitu negara (state), pemilik modal/ pasar (market), dan masyarakat (society).
Hubungan di antara ketiganya bisa harmonis/ mutualistik. Tetapi bisa juga hubungan ketiganya merupakan hubungan yang mendominasi. Mengamati interaksi ketiganya dalam persoalan Kebijakan sistem stasiun jaringan di Indonesia, seperti dalam hal penundaan dan implementasi yang berjalan tidak ideal, memperlihatkan praktek-praktek relasi kekuasaan antara state di satu sisi, dengan market pemilik modal di sisi lain, telah meminggirkan domain publik/ society. Sementara society dalam konteks yang ideal seharusnya ditempatkan sebagai prioritas. Kenyataan yang ada saat ini masih memperlihatkan betapa lemahnya posisi publik ditengah tarik menarik kepentingan antara negara dan pemilik modal. Kelemahan posisi publik ini tidak lepas dari kelemahan mengorganisir diri. Selama ini publik lokal sekedar dimanfaatkan oleh televisi Jakarta untuk target iklan dan memperkuat bisnis mereka. Karena itulah publik lokal yang lemah dalam interaksi kepentingan mengenai industri televisi ini perlu untuk mengorganisir diri, melalui perorganisasian atas dasar hak publik untuk mendapatkan tayangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, serta mendapatkan ruang untuk meyampaikan pemikiran dan aspirasinya, melalui penegakan kebijakan sistem stasiun jaringan. Untuk mewujudkan hal itu, perlu dukungan pemerintah, dan regulator seperti Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). Pemerintah harus tegas menegakkan hukum. Jangan sampai pemerintah justru diperdaya dan dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk kepentingan bisnis mereka. Pemerintah perlu untuk terus didorong dalam melihat bahwa kepentingan publik sangat penting dan harus diprioritaskan. Begitu pula Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), perlu memperjuangkan aspirasi publik lokal, sehingga ketika televisi-televisi „nasional‟ Jakarta tidak serius mentransformasi stasiun relai menjadi stasiun televisi lokal berjaringan, ijin penyelenggaraan itu semestinya tidak diberikan. Regulator harus kembali pada komitmen regulasi dan spirit dasar dari kebijakan sistem stasiun jaringan ,yaitu
terpenuhinya aspek diversity of ownership, diversity of content, dan kearifan lokal yang mengarah pada berkembangnya industri siaran lokal dan terlindunginya sosial-budaya masyarakat lokal, sehingga tercipta keadilan yang merata. Dalam hal ini pemerintah juga perlu mengevaluasi kembali keberadaan depkominfo berikut kinerja dan kewenangannya didaerah, sehingga tidak terjadi adanya dualitas regulator yang berimbas pada munculnya celah untuk terjadinya pelanggaran. Problematika "keadilan yang merata" sesungguhnya juga menjadi alat ukur sejauh mana aspek social responsibility dapat diterapkan oleh industri televisi. Televisi swasta sebagai suatu institusi social selain institusi bisnis perlu untuk melihat bahwa posisinya tidak hanya pada kepentingan bisnis agen kepentingan kapitalisme semata, karena bagaimanapun juga industri televisi ini telah menggunakan fasilitas publik. Para pelaku bisnis yang bergerak dalam industri televisi swasta ini harus memiliki will atau itikad baik, dan melakukan aksi nyata untuk menjangkau aspek keadilan sosial dengan menjalankan amanat kebijakan sistem stasiun jaringan secara sungguh-sungguh. Interaksi atau interplay antara pemerintah, KPI/ KPID, pengelola media dan masyarakat/ publik harus diarahkan kepada kondisi yang kondusif dan saling mendukung peran dan kewajibannya masing-masing, sehingga dapat tercipta struktur penyiaran yang ideal di Indonesia. 5.3.1. Saran Empiris Berdasarkan hasil penelitian ini, maka peneliti masih melihat adanya dominasi status quo yang dalam hal ini adalah dominasi para pemilik modal. Karenanya untuk mendobrak status quo tersebut diperlukan adanya advokasi. Peneliti perlu bekerjasama dengan banyak pihak seperti Perguruan tinggi, LSM, dsb untuk mengadvokasi penyiaran dan melakukan langkah untuk membangun dan membentuk pendapat umum serta langkah untuk melakukan tekanan politik sehingga regulasi terutama kebijakan sistem stasaiun jaringan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah;Kampanye,
Siaran pers, Diskusi atau seminar, Unjuk rasa, pengorganisasian, juga dialog interaktif. Selain itu diperlukan pula langkah-langkah untuk memberdayakan televisi lokal, dengan memberikan training atau berbagai pelatihan bagi SDM televisi lokal sehingga mampu bersaing dengan televisi jaringan nasional. Televisi lokal di kota Semarang sendiri disarankan untuk bekerjasama dan membentuk jaringan dengan televisi-televisi lokal yang telah ada di daerah-daerah lain, sehingga diharapkan dapat menjadi lebih kuat. 5.3. 2. Saran Akademis Penelitian ini sebagaimana dijelaskan di bagian awal lebih memfokuskan diri pada proses implementasi kebijakan sistem stasiun jaringan dalam industri penyiaran televisi di kota Semarang. Sementara proses implementasinya sendiri hingga penelitian ini selesai dilakukan, belum sampai pada tahapan akhir, sehingga sangat mungkin ada banyak faktor yang belum terungkap dalam penelitian ini. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui komitmen pemerintah melaksanakan regulasi penyiaran, khususnya amanat kebijakan stasiun jaringan, sebagai kewajiban mengedepankan filosofi kepentingan publik, termasuk bagaimana dampak implementasi kebijakan tersebut kedepan. Begitu pula kajian tentang relasi dan interaksi ketiga elemen state, market dan publik/ society dalam format struktur ekonomi politik yang terus berubah mestinya lebih banyak dilakukan. Disinilah terletak signifikansi akademis penelitian ini.
BANGUNAN TEORITIK Sentralisasi
UU Penyiaran No. 32 Th. 2002
Dominasi Keragaman Persaingan Tidak SSehat
Desentralisasi
Sistem Stasiun Jaringan
Implementasi
Ketidakadilan Tidak Ideal
Ideal
TV Nasional membentuk badan lokal sendiri
TV Nasional Bermitra dengan TV lokal Eksisting
Dominasi Pemilik Modal Dominasi Content Nasional
Sharing Iklan, Sharing Content Sharing Kepemilikan
Kompetisi
Sinergi
Enpowerment
Deversity of Content Deversity of Ownership Kearifan Lokal
Keadilan Merata