LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN Ida Ayu Devi Ekayanthi, dr. IGK Darmada, Sp.KK (K), dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar ABSTRAK Kusta , juga dikenal sebagai Morbus Hansen , adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae di mana kerentanan terhadap mikobakteri dan manifestasi klinis dikaitkan dengan respon imun host . Meskipun prevalensi kusta telah menurun secara dramatis , tingginya jumlah kasus baru menunjukkan transmisi aktif . Kusta adalah salah satu penyebab paling umum dari neuropati perifer nontraumatic di seluruh dunia . Proporsi pasien dengan cacat dipengaruhi oleh jenis kusta dan keterlambatan diagnosis . Dilaporkan kasus seorang lelaki berumur 29 tahun dengan diagnosis Morbus Hansen tipe BB . Gambaran klinis dengan keluhan bercak merah yang terasa tebal pada lengan kanan , dada , dan wajah sejak 4 bulan . Pada eflorisensi terlihat makula eritema , bentuk oval . Punched – out lesion (+) . Pemeriksaan KOH negatif . Pemeriksaan BTA cuping telinga kanan dan kiri negatif , lesi negatif . Pengobatan yang diberikan MDT MB paket I , vitamin B1 , B6 , B12 , dan kontrol poliklinik setelah 1 bulan . Prognosis pasien ini baik . Kata kunci: morbus hansen, RSUP Sanglah, Mycobacterium leprae ABSTRACT Leprosy , also known as Morbus Hansen , is a chronic infectious disease caused by Mycobacterium leprae in which susceptibility to mycobacterial and clinical manifestations associated with the host immune response . Although the prevalence of leprosy has declined dramatically , the high number of new cases indicate active transmission . Leprosy is one of the most common causes of nontraumatic peripheral neuropathy worldwide . The proportion of patients with disability is influenced by the type of leprosy and late diagnosis . Reported a case of a 29-year -old man with a diagnosis of type BB Morbus Hansen . Clinical features with complaints that feels thick red patches on the right arm , chest , and face since 4 months . In eflorisensi visible macular erythema , oval shape . Punched – out lesion (+) . Negative KOH examination . Smear examination of the right and left ear lobe negative , negative lesions . MDT treatment given package MB I, vitamin B1 , B6 , B12 , and control clinic after 1 month . Patient's prognosis is good . Keywords: morbus hansen, RSUP Sanglah, Mycobacterium leprae
1
PENDAHULUAN Morbus Hansen (kusta/ lepra) adalah penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. M. leprae menyerang saraf perifer, kulit, dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat. Kusta masih terdapat di daerah tropis dan sub-tropis. Di seluruh dunia 249.007 kasus baru terdaftar pada tahun 2008 dengan India mendaftarkan 134.184 kasus. Di Indonesia sendiri tercatat 33.739 orang penderita kusta. Indonesia merupakan Negara ketiga terbanyak penderitanya setelah India dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk. Cara penularan penyakit ini belum diketahui secara pasti namun hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu kontak langsung antar kulit yang lama dan secara inhalasi. Kusta mempengaruhi saraf perifer menyebabkan pembesaran, kehilangan sensori dan kelemahan motorik, dan serat saraf di kulit menyebabkan hilangnya sensasi di area kulit yang terkena. Infeksi M. leprae diobati dengan Multi Drug Therapy (MDT) dan semua pasien menerima terapi baik ganda atau tiga obat sampai 12 bulan. MDT sangat efektif dengan tingkat kekambuhan 1 %. Kerusakan saraf baru diobati dengan terapi steroid, tetapi hanya sekitar 50 % dari pasien akan mengalami perbaikan dalam fungsi saraf setelah pengobatan dengan steroid. Permasalahan kusta juga dipengaruhi oleh episode lanjut dari peradangan yang mempengaruhi kulit dan saraf. Ini mungkin merupakan reaksi tipe 1 yang terkait dengan jenis hipersensitivitas tertunda (delayed) yang menyebabkan peradangan yang mempengaruhi kulit dan saraf. Tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL) merupakan reaksi yang berhubungan dengan deposisi kompleks imun dan peradangan sistemik yang terlihat dengan adanya keterlibatan kulit, saraf, mata, tulang, dan
testis. Laporan ini mempresentasikan kasus Morbus Hansen (kusta/ lepra).1,2 LAPORAN KASUS Seorang lelaki berumur 29 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah pada tanggal 22 Januari 2014 dengan no. RM 14004461. Pasien datang dengan keluhan bercak merah pada lengan kanan, dada, dan wajah sejak 4 bulan. Dari hasil anamnesis didapatkan bercak yang terasa tebal, tidak ada gatal, tidak ada nyeri, tidak ada kesemutan pada telapak tangan dan kaki, dan badan pasien tidak panas. Riwayat pengobatan terdahulu pasien diberi salep racik oleh dokter tetapi pasien lupa nama obatnya. Tidak ada riwayat alergi baik obat maupun makanan. Tidak ditemukan adanya penyakit penyerta. Riwayat operasi dan tranfusi tidak ada. Riwayat penyakit dalam keluarga disangkal, namun ayah penderita pernah mengalami sakit kulit yang sekarang sudah sembuh. Pitiriasis alba tidak ada. Ikhtiosis tidak ada. Tidak terdapat erosi pada mukosa. Pada rambut tidak terjadi alopesia. Tidak terdapat kelainan pada kuku. Pada penilaian fungsi kelenjar keringat tidak ditemukan hiperhidrosis maupun anhidrosis. Pembesaran kelenjar limfe dan pembesaran saraf tidak ada. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi suhu, raba, nyeri normal. Status internus pasien dalam batas normal. Pada kasus, status venerologi lokalisasi kelainan pada mukosa badan, lengan kanan, wajah. Pada eflorisensi terlihat makula eritema, bentuk oval. Punched - out lesion (+). Diagnosis bandingnya adalah tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dan psoriasis. Pemeriksaan KOH negatif. Pemeriksaan BTA cuping telinga kanan dan kiri negatif, lesi negatif. Diagnosa kerja adalah MH tipe BB. Penatalaksaan diberikan MDT MB paket I (22/1/2014), vitamin B1, B6, B12. KIE yang diberikan adalah kontrol 2
poliklinik setelah 1 bulan. Prognosis pasien baik. DISKUSI Kusta, juga dikenal sebagai Morbus Hansen, adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae di mana kerentanan terhadap mikobakteri dan manifestasi klinis dikaitkan dengan respon imun host. Meskipun prevalensi kusta telah menurun secara dramatis, tingginya jumlah kasus baru menunjukkan transmisi aktif. Kusta adalah salah satu penyebab paling umum dari neuropati perifer nontraumatic di seluruh dunia. Proporsi pasien dengan cacat dipengaruhi oleh jenis kusta dan keterlambatan diagnosis.3 Kusta merupakan penyakit yang utamanya menyerang kulit dan sistem saraf perifer. Namun terkadang dapat mengenai mata, tulang, kelenjar getah bening, struktur hidung, dan testis juga mungkin terlibat. Manifestasi klinis penyakit itu dibagi menjadi dua, tuberkuloid (TT) atau pausibasiler (PB) dan lepromatosa (LL) atau multibasiler (MB), dengan beberapa bentuk peralihan ( indeterminate [I] , tuberkuloid borderline [BT] , mid borderline [BB] , dan borderline lepromatosa [BL] ). Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari pemeriksaan slit skin smear. Secara klinis, pasien dengan kusta lepromatosa memiliki jumlah BTA yang tinggi pada spesimen biopsi kulit (multibasiler) ; beberapa lesi kulit terdiri dari makula, papula, plak, atau nodul, dan saraf perifer menebal dengan anestesi dan akhirnya dapat mengembangkan keratitis, uveitis, kehilangan rambut alis, ulserasi hidung, kerusakan tulang, kulit menyerupai lilin karena infiltrasi oleh makrofag, limfosit, dan sel plasma. Pasien dengan kusta tuberkuloid (TT dan BT) memiliki jumlah BTA yang rendah (pausibasiler) pada spesimen biopsi kulit, dengan lesi kulit
anestesi tunggal dengan atau tanpa saraf perifer yang menebal.4 Pada kasus, keluhan bercak merah pada lengan kanan, dada, dan wajah sejak 4 bulan. Dari hasil anamnesis didapatkan bercak yang terasa tebal, tidak ada gatal, tidak ada nyeri, tidak ada kesemutan pada telapak tangan dan kaki, dan badan pasien tidak panas. Riwayat pengobatan terdahulu pasien diberi salep racik oleh dokter tetapi pasien lupa nama obatnya. Status internus pasien dalam batas normal. Status venerologi lokalisasi kelainan pada mukosa badan, lengan kanan, wajah. Pada eflorisensi terlihat makula eritema, bentuk oval. Punched – out lesion (+). Diagnosis bandingnya adalah tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dan psoriasis. Berdasarkan lesi yang terlihat pada wajah dan tubuh pasien, didapatkan efloresensi berupa makula eritema, berbentuk oval, punched-out lesion (+). Maka dapat disingkirkan beberapa diagnosis yaitu: 1. Pitiriasis versikolor atau tinea versikolor adalah kelainan kulit yang umum, jinak, infeksi jamur superfisial yang biasanya ditandai dengan makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi di dada dan punggung. Kadang penderita dapat merasakan gatal yang ringan. Diagnosisnya dapat dikuatkan dengan pemeriksaan KOH. 2. Pitiriasis rosea, merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, dimulai dengan sebulah lesi inisal (herald patch) berbentuk eritema dan skuama halus, yang kemudian diikuti oleh lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas yang membentuk lesi sejajar dengan kostae, hingga membentuk pohon cemara terbalik.5 Pada pasien ini tidak didapatkan bentuk lesi tersebut. 3. Pitiriasis alba umumnya asimptomatis, tetapi mungkin saja sedikit gatal. Pasien mungkin memiliki riwayat keluarga atau pasien seperti sakit asma, demam karena 3
alergi atau eksema dalam area yang sesuai ciri khas dermatitis atopik. Pitiriasis alba ditandai dengan hipopigmentasi, bulat sampai oval, bercak makula di daerah muka, lengan bagian atas, leher, atau bahu. Kaki dan tangan lebih sedikit terkena. Pada sekitar setengah dari semua pasien, luka terbatas di daerah wajah. 4. Pada psoriasis keluhan penderita biasanya sedikit gatal dan panas di samping kosmetik. Lesi kulit yang pertama kali timbul biasanya pada tempat-tempat yang mudah terkena trauma antara lain : siku, lutut, sakrum, kepala dan genitalia, berupa makula eritematus dengan batas jelas, tertutup skuama tebal dan transparan yang lepas pada bagian tepi dan lekat di bagian tengah. Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan neurologis yang mendukung untuk gejala klinis morbus hansen yaitu pemeriksaan pembesaran saraf-saraf perifer, kekuatan motorik dan pemeriksaan sensorik. Dari hasil yang didapatkan, tidak terdapat adanya pembesaran saraf-saraf perifer, dan kelemahan kekuatan motorik pada pasien. Dilakuan juga pemeriksaan rangsang raba, suhu, dan nyeri. Penemuan klinis ini mengarah pada diagnosis morbus hansen. Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan adalah pemeriksaan slit skin smear untuk memastikan diagnosis kerja morbus hansen dan pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH untuk dapat memastikan atau menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan KOH negatif. Pemeriksaan BTA cuping telinga kanan dan kiri negatif. Pengobatan MDT untuk multibasiler adalah dengan diberikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28 hari. Walaupun demikian, 12 strip tersebut dapat dihabiskan dalam kurun waktu maksimal 18 bulan. Menurut program WHO
yaitu dilakukan pengobatan MH-MB dengan menggunakan blister, yaitu, hari pertama dengan dapson 100 mg, rifampisin 600 mg, dan klofazimin 300 mg. Pada hari pertama, pasien harus meminum obat langsung didepan petugas kesehatan. Sedangkan pada hari selanjutnya, diberikan klofazimin 50 mg, dan dapson 100 mg, setiap hari dari hari ke-2 hingga hari ke-28, diminum sekali sehari pada waktu dan jam yang sama. Pasien harus datang untuk mengambil obat baru setiap hari ke-29 dan mendapatkan paket blister yang sama. Pengobatan ini harus terus diulang hingga 12 bulan minimal dan maksimal 18 bulan.5,6,7 Setiap hari pertama untuk tiap bulannya, pasien terus dilakukan pemeriksaan neurologis ulang, disamping itu juga dilakukan pemeriksaan mata, pemeriksaan efek samping obat dan resistensi obat serta pemeriksaan reaksi kusta. Selain itu dilakukan pemeriksaan bakterioskopis setiap 3 bulan sampai selesai pengobatan dengan memperhatikan indeks bakteri dan indeks morfologis untuk mengetahui kemungkinan resistensi. Setelah selesai pengobatan dilanjutkan masa Release From Treatment (RFT) selama 5 tahun dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan pengobatan setiap tahun. Sebagai dokter umum juga harus sigap jika menemukan indikasi rujukan. Prognosis pasien adalah baik dengan pengobatan sesuai dengan patogen yang menjadi kausa secara cepat dan tepat. KIE yang diberikan adalah kontrol poliklinik setelah 1 bulan. KESIMPULAN Pada pria berumur 29 tahun dengan keluhan bercak merah pada lengan kanan, dada, dan wajah sejak 4 bulan sesuai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat diagnosis sebagai Morbus Hansen tipe Mid Borderline (BB). Pasien mendapatkan terapi
4
medikamentosa berupa MDT MB paket I, vitamin B1, B6, B12. DAFTAR PUSTAKA 1. Estrella Lasry-Levy, Aki Hietaharju, Diana N. J. Lockwood. Neuropathic Pain and Psychological Morbidity in Patients with Treated Leprosy: A Cross-Sectional Prevalence Study in Mumbai. PloS Negl Trop Dis. 2011 March; 5(3): e981. 2. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Unitersitas Indonesia: 2009. Hal. 73-88 3. Roberta Olmo Pinheiro, Jorgenilce de Souza Salles, Elizabeth Pereira Sampaio. Mycobacterium leprae– host-cell interactions and genetic determinants in leprosy: an overview. Future Microbiol. 2011 February; 6(2): 217-130.
4. Elizabeth A. Misch, William R. Berrington, Thomas R. Hawn. Leprosy and the Human Genome. Microbiol Mol Biol Rev. 2010 December; 74(4): 589-620. 5. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2010. hal. 73-83 6. RSCM. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : RSCM, 2007. Halaman 147. 7. WHO Expert Committee on Leprosy. Eigth Report. [Available from : http://apps.who.int/iris/bitstream/106 65/75151/1/WHO_TRS_968_eng.pd f] cited on May 4, 2013 at 5:00 pm.
5