LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA YANG BERDAYASAING DI KAWASAN SENTRA PRODUKSI HORTIKULTURA
Oleh : Saptana Endang L. Hastuti Kurnia Suci Indraningsih Ashari Supena Friyatno Sunarsih Valeriana Darwis
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PETANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2005
RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN 1.
Perubahan lingkungan strategis berupa globalisasi ekonomiliberalisasi perdagangan, otonomi daerah, perubahan preferensi konsumen, serta kelestarian lingkungan menuntut adanya perubahan cara beroperasinya kelembagaan-kemitraan usaha. Dengan demikian komoditas hortikultura sering diidentifikasi sebagai komoditas komersial bernilai ekonomi tinggi (high value commodity), yang harus diproduksi secara efisien agar dapat bersaing di pasar. Pengembangan agribisnis yang tangguh memerlukan empat pilar penunjang: (1) eksistensi komponen agribisnis secara lengkap di lokalita pedesaan; (2) kewirausahaan dan kemitraan usaha antar pelaku agribisnis; (3) iklim usaha yang kondusif; dan (4) adanya gerakan bersama dalam memasyarakatkan agribisnis.
2.
Baik dari aspek potensi permintaan pasar, potensi produksi dan pengembangan teknologi seharusnya sektor hortikultura dapat menjadi sumber akselerasi pertumbuhan sektor pertanian dan sekaligus memecahkan dua masalah mendasar bangsa Indonesia dewasa ini yaitu pengangguran dan kemiskinan. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi permintaan pasar dan preferensi konsumen, serta mengoptimalkan potensi produksi maka dipandang penting membangun kelembagaan kemitraan usaha agribisnis yang berdayasaing.
3.
Permasalahan pokok pengembangan agribisnis hortikultura adalah belum terwujudnya ragam, kualitas, kesinambungan pasokan, dan kuantitas yang sesuai dengan dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen. Permasalahan tersebut nampak nyata pada produk hortikultura untuk tujuan pasar konsumen institusi dan ekspor. Permasalahan lain adalah ketimpangan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, aset utama lahan, modal, dan akses pasar antar pekaku agribisnis. Hal ini menyebabkan struktur kelembagaan agribisnis hortikultura menjadi rapuh dan lemahnya keterkaitan supply chain management produk hortikultura.
4.
Tujuan Kegiatan Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan Usaha Agribisnis Hortikultura: (1) Mengevaluasi kinerja program pemerintah dalam pengembangan kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura; (2) Melakukan identifikasi bentuk-bentuk atau pola-pola kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura; (3) Menganalisis elemen-elemen kelembagaan dalam kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura. Sementara itu, tujuan untuk Kegiatan Pengembangan Model Kelembagaan Kemitraan Usaha Agribisnis RE-1
Hortikultura Berdayasaing adalah: (1) Menganalisis aturan main (rule) dan pola interaksi antar kelembagaan dalam kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura; (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kinerja kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura; (3) Merumuskan penyempurnaan model kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura yang berdayasaing. Ekonomi Komoditas Hortikultura 5.
Hasil kajian aspek produksi memberi beberapa gambaran bahwa pada periode (1993-1997), perkembangan produksi sayuran tumbuh sangat pesat atau tumbuh 3,70–20,46 %/tahun, bahkan saat krisis ekonomi (1998) tidak membuat produksi sayuran mengalami kontraksi. Namun periode pasca krisis (2000-2002) akibat perpaduan antara penurunan harga dan anomali iklim telah membuat pertumbuhan produksi sayuran mengalami kontraksi, kondisi terakhir (2002-2004), komoditas sayuran telah kembali ke fase pertumbuhan tinggi. Sementara itu, untuk komoditas buah, pada periode 2000-2003 mengalami pertumbuhan yang pesat dengan laju pertumbuhan (7,34 - 28,95%/th), secara keseluruhan pertumbuhannya jauh di atas pertumbuhan periode (1993-1997).
6.
Berdasarkan kajian aspek pemasaran dapat disimpulkan bahwa sistem pemasaran hortikultura baik untuk komoditas sayur dan buah promosi ekspor belum sepenuhnya efisien, struktur pasar cenderung oligopsonistik, kurang terkaitnya supplay chain management (SCM) dengan baik, dan dihadapkan pada fluktuasi harga jangka pendek yang tajam. Pengembangan kelembagaan kemitraan usaha yang saling membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan diharapkan dapat memecahkan masalah pemasaran yang dihadapi petani dan pengusaha.
7.
Perkembangan ekspor komoditas hortikultura untuk komoditas sayuran (1996-2002) menunjukkan pertumbuhan yang negatif, sementara untuk buah-buahan (1997-2002) mengalami pertumbuhan pesat, bahkan (2000-2002) mencapai 35,98%/tahun. Gambaran perkembangan impor komoditas hortikultura memperlihatkan kondisi yang sebaliknya. Selama kurun waktu 1996-2002, volume impor secara konsisten meningkat, namun dari segi nilai mengalami penurunan. Artinya adalah bahwa produk hortikultura impor masuk ke Indonesia dengan harga yang semakin bersaing.
RE-2
Evaluasi Kinerja Program Kemitraan Usaha Agribisnis Hortikultura 8.
Penetapan komoditas pertanian unggulan nasional yang didasarkan atas promosi ekspor, substitusi impor, serta eksistensi kelembagaan kemitraan usaha, komoditas unggulan spesifik daerah, serta klarifikasi dengan Dinas Pertanian, BAPPEDA, dan BPTP maka di peroleh komoditas unggulan untuk Bali adalah kentang, manggis, dan stroberi. Untuk Sumatera Utara adalah komoditas kentang, wortel serta jeruk dan manggis, sementara itu di Jawa Barat adalah bawang merah, cabai merah, mangga dan manggis.
9.
Hasil evaluasi pengembangan agribisnis hortikultura di Kawasan Hortikultura menunjukkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Produktivitas dan kualitas belum optimal; (2) Kehilangan hasil dalam penanganan pasca panen tinggi; (3) Kerusakan selama distribusi dan pemasaran cukup tinggi; (4) Penekanan masih pada on-farm; (5) Berbagai infrastruktur pemasaran (Cold Storage, STA, Pasar Lelang) yang dibangun belum dapat dioperasionalkan secara optimal; dan (6) Masih lemahnya kelembagaan kemitraan usaha yang terbangun.
Identifikasi Pola-Pola Kelembagaan Kemitraan Usaha Agribisnis Hortikultura Pola-Pola Kemitraan Usaha di Propinsi Bali 10. Pola-pola kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura yang eksis di Bali antara lain: (1) Pola Dagang Umum (PDU) melibatkan pedagang dan supplier untuk memasok konsumen restoran dan hotel dan pasar tradisional; (2) Pola Inti-Plasma (PIR), antara Perusahaan Daerah (PD) dengan Petani sayuran; (3) Pola Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) antara Perusahaan Swasta PT Bayu Jaya Kusuma (PT. BJK) dengan petani stroberi yang melibatkan PD Bali; (4) Kerjasama dalam rangka pengembangan STA; (5) Kerjasama dalam penyediaan modal melalui kelembagaan Koperasi Serba Usaha (KSU) dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). 11. Salah satu pola kemitraan yang pada awalnya merupakan prakarsa program pemerintah adalah pengembangan STA. Terdapat 12 Kelompok STA hortikultura yang tersebar di Bali. Secara umum kelembagaan STA di Bali telah berjalan, namun belum menunjukkan kinerja yang optimal. Hasil kajian di Kabupaten Tabanan ditemukan tiga STA, yaitu (1) STA Koperasi Iswara Tani yang bergerak di bidang sayur-mayur, yang saat ini mengalami kemacetan; (2) STA Bukit Sari Bumi yang juga bergerak di bidang sayur-mayur; dan (3) STA Manggis Sari yang bergerak pada komoditas manggis. Kedua STA terakhir berjalan cukup baik. RE-3
12. Beberapa bentuk pola kemitraan berbasis tarikan pasar yang berorientasi pada profit oriented antara lain, adalah: (1) Pola kemitraan (PIR) antara PD Bali dengan petani penggarap sayuran dengan pola mix-farming; (2) Kemitraan usaha antara PT BJK yang melibatkan PD Bali dengan Kelompok Tani Stroberi dengan Pola KOA; dan (3) Bentuk kemitraan lain yang berbasiskan tarikan pasar adalah PDU, di mana tarikan permintaan sektor pariwisata (restoran dan hotel) sangat tinggi.
Pola-Pola Kemitraan Usaha di Propinsi Sumatera Utara 13. Pola-pola kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura antara petani dan pengusaha di Sumatera Utara antara lain, adalah : (1) Pola Dagang Umum (PDU) yang dijumpai pada semua komoditas yang dikaji; (2) Untuk komoditas nenas antara PT. Alami Agro Industri dengan Petani atau Kelompok Tani di Desa Sipahutar, Tapanuli Utara; (3) Untuk komoditas jeruk antara PT. Segar Perkasa dengan Pedagang Jeruk, Desa Surbakti Kabupaten Karo; (4) Untuk komoditas Jambu Biji antara PT. Segar Perkasa dengan CV Bukit Kembang Jaya di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat; (5) Untuk komoditas jeruk antara Forum KAHS Regional dengan Masyarakat Jeruk Indonesia, di Kabupaten Karo, Dairi, Simalungun, Tobasa dan Tapanili Utara; (6) Untuk komoditas gobo, pueleng, lobak, wortel, dan ubijalar antara PT. Putera Agro Sejati dengan Petani di Karo dan sekitarnya; dan (7) Untuk komoditas kentang, kol, cabai dan tomat antara PT. Selectani dengan petani di Karo. 14. Pada pola dagang umum yang melibatkan pedagang pengumpul atau per koper, pedagang pengepul, pedagang antar pulau/pengusaha eksportir, serta beberapa Perusahaan Mitra masih menempatkan petani pada posisi lemah terutama dalam tawar-menawar saat transaksi. Petani produsen terbatas pada sistem budidaya mengikuti “hati nurani”. Pada umumnya petani sudah terikat pinjaman dengan kewajiban menjual hasil ke pedagang yang bersangkutan. Meskipun di Karo terdapat beberapa kelembagaan pembiayaan alternatif seperti Credit Union dan lembaga perbankan (Bank Mandiri, BNI dan BRI), namun biasanya tidak mudah untuk diakses petani. 15. Bentuk kemitraan usaha antara PT.PAS dengan petani baik secara kelompok maupun individu merefleksikan beberapa hal pokok: (1) Perusahaan bergerak dalam ekspor-impor komoditas hortikultura (lobak, gobo, pueleng, dan ubi jalar) dalam bentuk olahan setengah jadi; (2) Produk diekspor ke Jepang, dengan standar mutu yang ditentukan oleh buyer; (3) Untuk memperoleh pasokan PT. PAS bermitra dengan 200 petani, baik secara individu (70 %) atau dengan Kelompok Tani (30%). Keberhasilan perusahaan ini dalam RE-4
membangun kemitraan usaha adalah pengambilan keputusan berada dalam satu manajemen, kemampuan membangun saling kepercayaan, perekrutan melalui proses sosial dan seleksi yang ketat. 16. PT. Selektani mempunyai dua kegiatan utama, yaitu: (1) Menanam bunga-bunga yang bijinya diekspor, (2) Kerjasama dengan petani untuk budidaya sayuran seperti kentang, kol, cabai, dan tomat; (3) Kerjasama untuk komoditas kentang dilakukan melalui kontrak harga pada saat menjelang panen, sedangkan untuk kubis, cabai merah dan tomat tidak dilakukan kontrak harga namun melalui negosiasi harga berdasarkan harga pasar; dan (4) Di samping kerjasama dengan petani perusahaan juga memiliki kebun yang berfungsi sebagai buffer stock.
Pola-Pola Kemitraan Usaha di Propinsi Jawa Barat 17. Pola-pola kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura yang eksis di Jawa Barat, adalah: (1) Pola Dagang Umum Komoditas Bawang Merah, Cabai Merah, Mangga Gedong, dan Manggis; (2) Pola kemitraan Pembinaan dan Kredit Bibit antara Perusahaan Indofood Fritolay Makmur dengan Petani- Kelompok Tani kentang atlantik; (3) Pola Kerjasama Kontrak Pemasaran PT Indofresh dengan Assosiasi Petani Mangga di Kabupaten Majalengka; (4) Pola Kerjasama Kemitraan Kontrak Pemasaran Antara Perusahaan Eksportir dengan Kelompok Tani Manggis di Tasikmalaya dan Purwakarta. 18. Pelaku yang terlibat dalam kelembagaan kemitraan Pola Dagang Umum komoditas hortikultura di Jawa Barat adalah petani, pelaku tataniaga pada berbagai tingkatan, jasa angkutan, lembaga keuangan formal dan informal, dan instansi pemerintah. Petani merupakan pelaku yang memiliki peranan sentral terutama terkait dengan posisi dan perannya dalam memproduksi produk hortikultura namun lemah dalam posisi tawarnya. Hal ini terkait dengan ketergantungan pinjaman kepada pedagang dan pola penjualan masih dijumpai pola penjualan sistem ijon. 19. Pola kemitraan usaha pembinaan dan kredit bibit kentang antara PT. Indofood Fritolay Makmur (PT. IFM) dengan petani telah dikembangkan di beberapa wilayah di Garut (Cikajang, Cisoreupan, Bayongbong), di Bandung (Pengalengan dan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat); di Wonosobo (Pegunungan Dieng), Purwokerto, Brebes, Pemalang, Jawa Tengah; Malang, Jawa Timur; dan di Modoinding, Sulawesi Utara; serta Kerinci, Jambi. Pola kerjasama ini bersifat tertutup antara petani dengan PT. IFM, artinya hanya petani yang menerima bibit dari perusahaan tersebutlah yang di RE-5
tampung hasilnya dengan harga kontrak saat penanaman sebesar Rp. 3.750,-/kg. 20. Pola kelembagaan baru dicoba diintroduksikan oleh instansi pemerintah terkait (Ditjen Bina Produksi Hortikultura dan Dinas Pertanian), yaitu penyertaan kelompok tani manggis dalam kontrak pemasaran dengan perusahaan eksportir (PT. Yuda Mustika). Terdapat lima kelompok tani di Kecamatan Puspahiang yang bergerak di bidang permanggisan yaitu Kelompok Tani Sari Puspa (Desa Puspahiang), Kelompok Tani Sinar Mustika (Desa Cimanggu), Kelompok Tani Marga Rahayu (Desa Puspa Rahayu), Kelompok Tani Harapan Jaya (Desa Puspa Jaya) dan Kelompok Tani Kencana Mekar (Desa Yulubakti). Namun baru dua kelompok yang relatif sudah berhasil menjalin kerjasama dengan PT Yuda Mustika yaitu Kelompok Tani Sinar Mustika, Desa Cimanggu, Kecamatan Puspahiang, Kabupaten Tasikmalaya dan Kelompok Tani Wargi Mukti, dari Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta.
Aturan Main dan Pola Interaksi Kelembagaan Kemitraan Usaha Hortikultura Aturan Main, dan Pola Interaksi Propinsi Bali 21. Pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis komoditas stroberi antara PT. Bayu Jaya Kusuma (BJK) dengan PD Bali dan kelompok tani: (1) PD Bali menyediakan fasilitas penaganan pasca panen dan angkutan berupa mobil box; (2) PT. BJK membuat perencanaan penanaman, menyediakan sarana produksi, menampung dan memasarkan produksi, menggunakan fasilitas PD Bali; (3) PD Bali memperoleh hak berupa kompensasi penggunaan fasilitas, memperoleh imbalan jasa penanganan pasca panen sesuai kesepakatan; dan (4) kerjasama dilakukan untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diperpanjang kembali. 22. Mekanisme aturan main kemitraan usaha antara 18 petani stroberi Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Buleleng dengan PT BJK adalah sebagai berikut, PT. BJK berkewajiban: (1) sebagai penjamin (avalis) kepada Bank; (2) melakukan bimbingan teknis budidaya; dan (3) menampung hasil produksi stroberi petani dengan kontrak harga; PT. BJK sebagai inti memiliki hak: (1) sebagai otoritas tunggal dalam penampungan hasil; (2) melakukan negosiasi harga; dan (3) berhak memasarkan produk strowberi yang diterimanya kepada rekanan bisnisnya. Kewajiban petani sebagai plasma: (1) melakukan budidaya stroberi secara hidroponik-semi organik sesuai anjuran; (2) memberitahukan jadwal kegiatan terutama menjelang pemanenan kepada inti, dan (3) menyerahkan semua hasil panen kepada RE-6
perusahaan mitra. Komunikasi dan interaksi antara pelaku kemitraan usaha dilakukan secara personal, menggunakan ponsel serta internet. 23. Untuk komoditas manggis dan sayuran, kelembagaan kemitraan yang berlaku antara kelompok tani dan atau STA dengan supplier, supermarket, hotel/restoran atau dengan buyer. Mekanisme aturan main yang ditetapkan oleh pelaku kelembagaan kemitraan usaha antara STA Sari Buah, di Kecamatan Pupuan dengan petani manggis adalah sbb: (1) Adanya jaminan pasar; (2) Harga pembelian oleh STA sesuai dengan harga pasar yang didasarkan harga ekspor; (3) petani dapat menjual langsung ke STA atau melalui pedagang pengumpul, dan (4) pembayaran kepada petani dilaksanakan dengan tunai. 24. Aturan main yang ditetapkan antara STA Sari Buah dengan client atau super market adalah sbb: (1) STA melakukan kontrak pengadaan manggis yang memenuhi syarat kuantitas, kualitas, dan kontinuitas, (2) Apabila STA tidak mampu mengirim manggis sesuai kontrak client memiliki kebebasan untuk membeli dari supplier lain, (3) sistem pembayaran < Rp. 300.000 dilakukan secara tunai dan > Rp. 300.000,- ditangguhkan sampai dengan 14 hari dan pembayaran dilakukan dengan menggunakan bilyet giro. Kewajiban supermarket adalah membayar tepat waktu sesuai harga yang disepakati. 25. Aturan main yang diterapkan pada kemitraan STA Bukit Wahana Mertha di Desa Mayungan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan adalah: (1) STA Bukit Wahana Mertha berkewajiban membeli berbagai jenis sayuran dari petani, (2) harga ditetapkan berdasarkan harga pasar, dan (3) setiap penjualan petani dikenakan biaya STA sebagai fee, namun besarnya fee tersebut adalah biaya biaya transpot dari STA ke pasar ditambah Rp. 100,-/kg penjualan. 26. Aturan main antara PD Bali dengan petani penggarap pada pola kemitraan Pola PIR adalah sebagai berikut, PD Bali berkewajiban: (1) menyediakan lahan, dengan rata-rata 0,25 ha/KK; (2) menyediakan sarana produksi; (3) memberikan bimbingan teknis budidaya dan pengaturan pola tanam; (4) menampung dan memasarkan hasil. Sementara itu, petani berkewajiban: (1) melakukan budidaya sesuai bimbingan teknis dari PD; (2) melaporkan jadwal kegiatan tanam dan panen; dan (3) menyerahkan hasil produksinya ke PD. Dalam kerjasama ini dilakukan kontrak harga dalam periode satu minggu. Kewajiban petani penggarap, adalah: (1) melakukan budidaya sesuai dengan bimbingan teknis dari PD, (2) penggarap melaporkan kegiatannya terutama jadwal tanam dan kapan jadwal panen dilakukan, (3) petani wajib menyerahkan seluruh hasil panennya kepada PD, dan (4) kedua belah pihak melakukan kontrak pengadaan barang dengan harga tertentu, harga yang dituangkan dalam kontrak didasarkan kepada harga pasar. RE-7
27. Pola interaksi antara pelaku kemitraan usaha agribisnis pada berbagai pola kemitraan usaha agribisnis dilakukan secara personal, atau menggunakan ponsel dan internet. Sistem pembayaran dilakukan secara tunai, kredit, giro bilyet, dan transfer bank.
Aturan Main dan Pola Interaksi Propinsi Sumatera Utara 28. Pada pola kemitraan perdagangan umum beberapa petani menjalin kemitraan dengan pedagang sarana produksi dan pedagang output yang memberikan pinjaman untuk membeli sarana produksi. Sifat kemitraan diantara kedua belah pihak relatif lebih melembaga dan fleksibel. Aturan-aturan yang disepakati biasanya didasarkan atas kepercayaan dan bersifat informal. Keuntungan pedagang di dalam kemitraan ini adalah terjaminnya volume, kualitas, dan kontiniutas pasokan. Keuntungan petani produsen adalah jaminan pemasaran dan kemudahan untuk mendapatkan pinjaman. Sistem pembayaran beragam antara lain: setelah barang dikirim uang langsung ditransfer, sistem panjar, kredit, dan bahkan kalau belum terjadi kepercayaan penuh, tiga kali pengiriman dibayar sekali. 29. Aturan main antara PT. Putera Agro Sejati (PT. PAS) dengan petani awalnya dilakukan berdasarkan kepercayaan yang bersifat informal. Kontrak kerjasama secara formal secara tertulis, baru dilaksanakan pada tahun 2000. Kewajiban PT. PAS adalah sebagai berikut: (1) Menyediakan bibit berkualitas; (2) Menyediakan pupuk untuk usahatani; (3) Membina/memberikan bimbingan teknis budidaya kepada petani; (4) Mengangkut hasil dari lahan petani ke PT. PAS, biaya angkutan dipotong pada saat pembayaran; (5) Menampung hasil dengan harga yang telah disepakati; serta (6) Memasarkan hasil ke berbagai tujuan pasar. Sedang hak PT. PAS adalah memperoleh jaminan hasil/pasokan bahan baku dengan harga yang telah disepakati. 30. Petani mempunyai kewajiban: (1) Menyediakan lahan usahatani; (2) Mengelola usahatani sesuai anjuran; (3) Menyerahkan hasil sepenuhnya ke perusahaan mitra; dan (4) Mematuhi kontrak harga yang disepakati sebelum penanaman komoditas yang ditentukan; (5) Melaporkan jika terjadi sesuatu masalah dalam usahataninya; (6) Melaporkan ke perusahaan jika akan panen; (7) Membayar ongkos angkut dan rafaksi yang tidak memenuhi standar kualitas yang ditentukan. Hak petani sebagai mitra adalah memperoleh jaminan pasar dengan harga yang telah disepakati bersama. 31. Kemitraan antara PT. Selektani dengan petani dilakukan melalui sistem kontrak. Perusahaan menyediakan bibit kepada petani, harus dibayar secara tunai atau kredit dan dipotong waktu panen. Ketika RE-8
menjelang panen perusahaan datang ke petani memberitahu standar mutu kentang yang dibutuhkan. Secara umum harga kentang yang ditawarkan oleh perusahaan >Rp.200-300/kg harga pasar. Selanjutnya petani datang ke perusahaan dengan membawa sampel, dan jika mutu sesuai maka dilakukan transaksi. Dalam menjaga kontinuitas pasokan, untuk komoditas kentang dilakukan buffer stock, dengan fasilitas cold storage yang memadai.
Aturan Main dan Pola Interaksi Propinsi Jawa Barat 32. Aturan main pada pola dagang umum antara petani hortikultura dengan pedagang umumnya dilakukan melalui kesepakatan informal yang fleksibel. Ada empat sistem pembelian, yaitu tebasan, ijon, cash atau tunai, dan tempo. Harga dibuat berdasarkan kesepakatan atau tawar menawar, di mana posisi pedagang lebih dominan dibandingkan petani. Cara pembayaran ke petani dan antar pedagang umumnya dilakukan sistem tempo 2 - 5 hari setelah penyerahan barang. 33. Sebagian besar petani telah terikat hutang-piutang dengan pedagang. Petani berhutang pada pedagang dalam bentuk uang tunai, dan akan dibayar dari setelah panen. Pembayaran oleh pedagang kepada petani dilakukan setelah pedagang yang bersangkutan menerima pembayaran dari pedagang di atasnya. 34. Aturan main antara antara Asosiasi Produsen Mangga dengan PT. Indofresh dibuat berdasarkan kesepakatan tertulis yang dituangkan MOU. Dalam MOU disepakati mengenai: jenis dan waktu kerja, tugas pengawas pekerjaan, kewajiban pihak yang terlibat, kualitas buah (penampilan dan ukuran buah), harga pembelian (termasuk adanya harga minimum pembelian), tata cara pembayaran, pembatalan pekerjaan (sanksi). 35. Dengan penetapan harga minimal, PT Indofresh tetap harus membeli mangga sesuai dengan harga tersebut jika harga di pasaran jatuh di bawah harga minimal. Sebaliknya jika harga di pasaran naik, maka harga yang berlaku dalam pembelian mangga adalah mengikuti harga pasar. Dari tingkat harga yang disepakati tersebut, ada fee untuk Dinas Pertanian sebesar Rp50,-/kg sebagai dana pembinaan dan fee untuk Kelompok Tani sebesar Rp 100,- untuk modal kelompok. 36. PT Indofresh membangun perangkat organisasi yang dibentuk di wilayah sentra, yang di dalamnya terdapat seorang manajer, asisten manajer, petugas bagian finansial, koordinator kuli, koordinator sortir, kasir, dan petugas lapangan lainnya. Kegiatan tersebut ditunjang pula dengan sarana perlengkapan seperti Tempat Penampungan Buah (TPB) dan peralatan lainnya baik yang ada di Pasir Muncang, RE-9
Majalengka maupun di Jakarta. PT Indofresh juga memiliki kewajiban dalam pembinaan terutama untuk masalah teknis seperti pemupukan, pemangkasan, dan pembrongsongan. 37. Aturan main pada kemitraan pola kontrak pemasaran untuk komoditas manggis dibuat berdasarkan kesepakatan secara tertulis. Kontrak pemasaran dilakukan oleh supplier dan beberapa kasus kelompok tani dengan perusahaan ekspor-impor buah-buahan. Umumnya suplayer maupun kelompok tani membeli manggis dari petani secara ijon dan hanya sebagian kecil dalam bentuk tebasan dan jual kiloan. Kewajiban kelompok, yaitu: (1) menginventarisasi anggota kelompok dan pohon manggis; (2) melakukan budidaya manggis dengan baik; (3) mengumpulkan manggis dari petani; (4) melakukan sortir dan grading bersama petugas perusahaan mitra; (5) menjual manggis kepada perusahaan mitra; (6) membayar pinjaman modal dengan cara dipotong dari hasil penjualan manggis. Hak anggota kelompok tani yang menjadi mitra adalah: (1) memperoleh pinjaman; (2) dapat memasok manggis pada perusahaan mitra; (3) memperoleh harga sesuai harga pasar yang berlaku; (4) menerima pembayaran melalui transfer bank segera setelah barang diterima perusahaan mitra; dan (5) memperoleh fee untuk tiap kilogram manggis yang disetorkan Rp 100/kg. 38. Beberapa kewajiban PT. Indofood Fritolay makmur adalah: (1) menyediakan bibit varietas atlantik dengan kualitas terjamin (berasal dari Skotlandia, Western Australia), dengan harga Rp. 9.000,-/kg; (2) menyediakan sarana produksi lain bagi yang memerlukan yang bersifat tidak mengikat; (3) melakukan pembinaan teknis budidaya dengan pendampingan seorang Agro-Supervisor; dan (4) Menampung hasil dari petani dengan harga dan spesifikasi produk yang telah disepakati. Sementara itu, petani atau kelompok tani berkewajiban: (1) membeli bibit varietas atlantik yang disediakan oleh Perusahaan Mitra; (2) melakukan budidaya kentang atlantik sesuai anjuran; dan (3) menjual hasil kepada Perusahaan Mitra, serta (4) membayar kredit bibit dengan sistem bayar setelah panen dengan cara dipotong pada saat penyerahan barang. 39. Hak Perusahaan Mitra adalah mendapatkan jaminan produksi atau bahan baku baik dari segi jumlah, kualitas, dan kontinuitas berdasarkan kesepakatan, di mana harga ditetapkan sebelum menanam yaitu sebesar Rp. 3.800,-/kg franko pabrik. Sementara itu, Petani Mitra memiliki hak atas jaminan harga dan pasar sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Pola interaksi dilakukan secara tatap muka terutama pada saat sosialisasi dan melakukan kesepakatankesepakatan. Melalui mediasi agrosupervisor yang ada disetiap lokasi. Serta melalui media telepon atau handphone. Transaksi dapat RE-10
dilakukan melalui transfer bank maupun melalui mediasi agrosupervisor.
Syarat-Syarat Berkelanjutan
Membangun
Kelembagaan
Kemitraan
Usaha
40. Beberapa faktor yang perlu di pertimbangkan dalam membangun kelembagaan kemitraan usaha hortikultura secara berkelanjutan, adalah: (1) Proses perencanaan dan pelaksanaan melalui proses sosial yang matang; (2) Kemampuan dalam membangun saling kepercayaan; (3) Adanya keterbukaan terutama dalam penetapan harga dan pembagian keuntungan; (4) Sistem pengaturan produksi yang didasarkan dinamika permintaan pasar; (5) Adanya satu manajemen dalam pengambilan keputusan; (6) Koordinasi secara vertikal baik koordinasi pelaku maupun koordinasi harga; (7) Adanya jaminan kepastian pasar dan harga; (8) Pengembangan kelembagaan kemitraan usaha didasarkan atas tingkat perkembangan sistem agribisnis dan karakteristik komoditas, serta bersifat spesifik lokasi; (8) Pentingnya melakukan konsolidasi kelembagaan kelompok tani; (10) Pentingnya kandungan jiwa kewirausahaan yang tinggi sebagai energi untuk menghasilkan produk hortikultura berdayasaing; dan (11) Pengembangan sistem informasi yang andal untuk mempermudah sistem pengambilan keputusan dalam kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura. Kebijakan Pengembangan Model Kelembagaan Kemitraan Usaha Agribisnis Hortikultura 41. Secara keseluruhan upaya penyempurnaan model kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura di lokasi penelitian di Bali dapat dilakukan dengan cara: (1) Pembentukan Asosiasi Petani Hortikultura (APH); (2) Pemberdayaan Pelayanan Informasi Pasar (PIP) yang difungsikan sebagai sistem informasi pasar; (3) Mengefektifkan peran PPL dan dinas lain terkait seperti Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan serta Pariwisata; (4) Mengefektifkan jaringan komunikasi vertikal antara para pelaku agribisnis; (5) Pembenahan infrastruktur STA; (6) Pemberdayaan lembaga pembiayaan, baik Lembaga Perkreditan Desa, Koperasi Serba Usaha, dan lembaga perbankan. 42. Dalam rangka penyempurnaan model kelembagaan kemitraan usaha di sentra produksi hortikultura di Sumatera Utara diperlukan perbaikan: (1) Kerjasama antara petani, kelompok tani, pengrajin, lembaga tataniaga dalam menghasilkan produk yang memenuhi standard eksport; (2) Dukungan lembaga pembiayaan yang bersifat RE-11
sederhana-mudah, cepat, dan murah; (3) Revitalisasi kelompok tani ke arah kelembagaan yang lebif formal; (4) Dukungan dan peran yang lebih aktif dari lembaga atau dinas terkait dalam membangun kemitraan usaha agribisnis hortikultura yang saling membutuhkan, saling memperkuat, serta saling menguntungkan; (5) Koordinasi antar pelaku agribisnis (kelompok tani atau asosiasi petani, pedagang pengumpul, dan pedagang besar/eksportir) yang bergabung di dalam wadah STA; (6) Pembuatan lapak-lapak atau tempat penjualan di negara tujuan ekspor terutama Singapura; dan (7) Membangun komitmen dan kepercayaan antar pihak-pihak yang bermitra. 43. Secara singkat berbagai usulan guna penyempurnaan kelembagaan kemitraan usaha hortikultura di Jawa Barat adalah: (1) Peningkatan posisi dan peran petani sehingga memiliki rebut tawar yang seimbang; (2) Pelaku tataniaga pada berbagai tingkatan melakukan fungsi pemasaran secara efisien dan dilakukan secara terbuka; (3) Lembaga pembiayaan menyediakan modal secara mudah-sederhana, cepat, dan murah; (4) Perusahaan Mitra harus mampu melakukan perluasan pasar dan pendalaman industri; dan (5) Menciptakan kebijakan yang yang kondusif bagi berkembangnya kemitraan usaha melalui kebijakan regulasi, mediasi, advokasi, dan fasilitasi terutama dalam mempromosikan produk-produk hortikultura promosi ekspor; serta (6) Pola interaksi antar pelaku, terutama antara petani dengan pelaku lainnya, lebih ditekankan pada interaksi yang bersifat langsung, sejauh hal itu memang memungkinkan. 44. Salah satu model kemitraan usaha yang layak dikembangkan adalah kelembagaan kemitraan usaha agribisnis terpadu. Implementasinya adalah sebagai berikut: (1) petani melakukan konsolidasi dalam wadah kelompok tani; (2) kelompok tani-kelompok tani mandiri dapat ditransformasikan dalam kelembagaan formal berbadan hukum; (3) kelompok tani mandiri atau yang sudah dalam kelembagaan berbadan hukum mengkonsolidasikan diri dalam bentuk gaboktan atau assosiasi petani/asosiasi agribisnis; (4) kelembagaan-kelembagaan yang telah tergabung tersebut melakukan konsolidasi manajemen usaha pada hamparan lahan yang memenuhi skala usaha yang efisien; (5) pilihan komoditas atau kelompok komoditas di sesuaikan dengan potensi wilayah dan permintaan pasarnya; (6) penerapan manajemen korporasi dalam menjalankan sistem usaha agribisnis; (7) pemilihan perusahaan mitra yang memiliki kemauan baik dalam membangun agribisnis hortikultura berdayasaing; dan (8) Adanya kelembagaan Pusat Pelayanan dan Konsultasi Agribisnis (PPA) sebagai mediator dan fasilitator terbangunnya kelembagaan kemitraan usaha terpadu.
RE-12