LAPORAN AKHIR
INVENTORI SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS MASYARAKAT
1
PRAKATA Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Akhir Kegiatan Tahun 2014 “Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Program CCDP-IFAD Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang, Kabupaten Kubu Raya 2014”, meskipun banyak rintangan dan hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya.Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang tulus kepada semua pihak/personil yang telah berperan di dalam proyek ini, khususnya Kepala Bidang Pesisir Dinas Perikanan Kubu Raya, Kepala Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang serta Konsultan Pemberdayaan Kubu Raya dan Masyarakat Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang. Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada masyarakat pesisir Kabupaten Kubu Raya secara umum dan masyarakat Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang secara khusus dari hasil laopran akhir ini. Oleh karena itu kami berharap semoga laporan akhir ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita semua.
2
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ................................................................................................................
1
DAFTAR ISI .............................................................................................................
2
DAFTAR TABEL ........................................................................................................
3
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................
4
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................
5
Bab I Pendahuluan ..................................................................................................
6
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6. 1.7.
Latar Belakang ...................................................................................... Maksud dan Tujuan ................................................................................ Sasaran ................................................................................................. Keluaran ................................................................................................ Hasil ...................................................................................................... Lingkup Pekerjaan .................................................................................. Pelaporan ..............................................................................................
6 7 7 7 8 8 9
Bab II Gambaran Umum .......................................................................................... 11 2.1. Pengertian Potensi Sumberdaya Pesisir .................................................... 11 2.2. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ............................................................. 22 2.3. Kondisi Wilayah ..................................................................................... 33 Bab III Inventori Sumberdaya Pesisir ......................................................................... 35 3.1. Metode yang Digunakan ......................................................................... 35 3.2. Hasil Inventory Sumberdaya Pesisir ......................................................... 37 Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi ....................................................................... 52 Daftar Pustaka ......................................................................................................... 53 Lampiran
............................................................................................................... 55
3
DAFTAR TABEL Halaman 1. Kriteria baku kerusakan mangrove ....................................................................... 2. Jenis data serta sumber data ............................................................................... 3. Penduduk Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang .................................................... 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian .................................................. 5. Tingkat pendidikan formal penduduk Desa Batu Ampar .......................................... 6. Agama Penduduk Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang ......................................... 7. Sarana Pendidikan di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang .................................... 8. Fasilitas Kesehatan di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang ................................... 9. Tenaga Medis di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang ........................................... 10. Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove Batu Ampar ............
15 35 38 38 39 39 40 40 41 41
4
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pertambangan Batu ............................................................................................ Alat Tangkap Nelayan Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang ................................... Proses Penjemuran Kelapa .................................................................................. Ikan Belukang .................................................................................................... Ikan Tirus .......................................................................................................... Batok Kelapa yang tidak dimanfaatkan .................................................................
44 45 47 48 49 51
5
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5.
Wawancara dengan Warga .................................................................................. Gudang Kopra ..................................................................................................... Hasil Tangkapan Nelayan .................................................................................... Fasilitas Pasar Desa Batu Ampar .......................................................................... Dapur Arang ......................................................................................................
56 57 58 59 60
6
Bab I Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang cukup tinggi dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa. Hal tersebut dapat dijadikan modal dasar bagi pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Sumberdaya yang dimaksud dapat berupa sumberdaya hayati seperti ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lainnya; sumberdaya non hayati seperti pasir, air laut, mineral dasar laut, ataupun sumberdaya buatan berupa infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan. Sedangkan jasa-jasa lingkungan yang dimaksud umumnya berupa keindahan alam yang dapat dinikmati para wisatawan. Seiring pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan pemutakhiran teknologi telah memberikan kesempatan pembangunan dan eksploitasi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin pesat. Di sisi lain kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sendiri sangat rentan terhadap perubahan-perubahan lingkungan. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh eksploitasi yang berlebihan dan penanganan yang tidak berkelanjutan seperti konversi wilayah pantai menjadi tambak, pemukiman atau industri, sangat membahayakan kehidupan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil baik ekosistem laut maupun di bagian daratnya. Perubahan ekosistem utama pesisir akan berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan sehingga pengelolaan pesisir dan pulaupulau kecil dengan memperhatikan kaidah keberlanjutan mutlak diperlukan. Pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat serta
tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum
nasional. Selama beberapa dekade terakhir ini, kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang relatif cepat tersebut telah memacu hilangnya habitat dan menurunnya keanekaragaman hayati. Hal ini khususnya terbukti terjadi di kawasan pesisir dimana pertumbuhan penduduknya dua kali lebih besar dari rata-rata nasional. Oleh karena itu, dalam upaya konservasi sumberdaya pesisir, pemerintah telah menetapkan beberapa
7 kawasan konservasi yang tersebar di seluruh Indonesia yang dilengkapi dengan dokumen pengelolaannya. Dalam rangka pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, sangatlah dibutuhkan informasi yang aktual dan faktual mengenai status ekosistemnya serta potensi sumberdayanya. Strategi pengelolaan potensi sumberdaya kawasan pesisir dan pulaupulau kecil tersebut diharapkan dapat diaplikasikan dengan baik dan tepat guna. Dengan adanya strategi pengelolaan kawasan pesisir ini diharapkan terwujud kondisi dan pembangunan pesisir yang berkelanjutan. Inventarisasi potensi sumberdaya pesisir merupakan salah satu upaya awal penentuan pengelolaan kawasan pesisir berbasis masyarakat. Salah satu kawasan pesisir yang memiliki beragam potensi untuk dikembangkan terletak di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang. Oleh sebab itu, kegiatan ini diharapkan mampu untuk menyediakan data dan informasi mengenai potensi yang berada di dua desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya. 1.2
Maksud dan Tujuan Tujuan kegiatan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat ini adalah untuk menginventarisasi berbagai aspek pembangunan, pemanfaatan potensi sumberdaya alam, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelembagaan kelompok masyarakat serta sebaran infrastruktur umum yang terdapat di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya.
1.3
Sasaran Sasaran kegiatan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat ini adalah terhimpunnya
sebaran
pemanfaatan
potensi
data-data sumberdaya
dasar alam,
terkait kondisi
dengan sosial
aspek
pembangunan,
ekonomi
masyarakat
kelembagaan kelompok masyarakat serta keragaman dan sebaran infrastruktur umum yang terdapat di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya. 1.4
Keluaran Keluaran kegiatan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Batu Ampar dan Nipah Panjang adalah:
8 Terdokumentasinya secara jelas dan sistematis dat-data hasil inventarisasi terkait dengan aspek pembangunan, pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir dan kelautan, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelembagaan kelompok masyarakat serta sebaran infrastruktur umum di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya; dan Terakomodasinya secara kolektif harapan masyarakat pesisir di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya melalui ruang peran serta secara optimal dalam proses inventarisasi aspek pembangunan, pemanfaatan potensi sumberdaya alam kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelembagaan kelompok masyarakat serta sebaran infrastruktur umum. 1.5
Hasil Terumuskannya berbagai isu-isu utama tentang kondisi dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut pada Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya.
1.6
Lingkup Pekerjaan 1.
Persiapan a. Kegiatan ini merupakan kegiatan awal yang menyangkut penyiapan tim pokja yang bertanggung jawab dalam proses kegiatan inventarisasi, persiapan jadwal kegiatan inventarisasi, bahan dan perlengkapan, materi inventarisasi serta koordinasi dengan pihak terkait lainnya dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan. b. Mengindetifikasi dan memobilisasi tokoh kunci dari keterwakilan kelompok masyarakat dan stakeholders yang akan ikut serta dalam proses pelaksanaan pekerjaan.
2.
Pelaksanaan Kegiatan a. Kegiatan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat dilaksanakan dalam 2 (dua) tahapan yaitu tahap inventarisasi dan penajaman substansi yang dilaksanakan oleh Tim Pokja yang ditunjuk dengan SK Ketua PIU, yang selanjutnya hasil kerja TIM POKJA dibahas dalam pertemuan dengan Tim PIU dan DOB. Kemudian pada Tahap kedua hasil rumusan kerja Tim Pokja yang
9 sudah dibahas secara bersama dengan tim PIU dan Tim Komite dilanjutkan dengan
ekspose secara terbuka dengan melibatkan peran serta masyarakat
sasaran program dan instansi terkait lainnya; b. Topik atau isu utama yang perlu dipertajam dan dikembangkan dalam kegiatan Inventori
Sumberdaya
Pesisir
Berbasis
Masyarakat
adalah
pengentasan
kemiskinan, optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir dan laut, kelembagaan
kelompok
masyarakat,
sarana
infrastruktur
publik,
sarana
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut; c. Unsur-unsur masyarakat yang dilibatkan dalam proses Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat harus mencerminkan keterwakilan kelompok masyarakat, tokoh masyarakat, perangkat desa, masyarakat serta organisasi masyarakat setempat; d. Narasumber dalam kegiatan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat harus mampu menggali dan mendata semaksimal mungkin potensi sumberdaya pesisir dan laut, usulan maupun curahan pendapat yang produktif dari masyarakat untuk selanjutnya disusun rangkumannya dalam bentuk matriks sebaran dan keragamannya sesuai kebutuhan. 1.7
Pelaporan Pelaporan pekerjaan Inventori Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat disesuaikan dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan 1.8
Latar Belakang
1.9
Maksud dan Tujuan
1.10
Sasaran
1.11
Keluaran
1.12
Hasil
1.13
Lingkup Pekerjaan
1.14
Pelaporan
10 Bab II Gambaran Umum Lokasi Bab III Inventori Sumberdaya Pesisir 2.1 Metode yang Digunakan 2.2 Hasil Inventori Sumberdaya Pesisir Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi Lampiran
11
Bab II Gambaran Umum
2.1.
Pengertian Potensi Sumberdaya Pesisir 2.1.1. Sumberdaya Sumberdaya adalah segala sesuatu baik berupa benda yang konkrit maupun benda
nyatayang
dibutuhlkan
manusia
untuk
melangsungkan
hidupnya.
Sedangkan sumberdaya alam adalah sumberdaya di alam yang terdiri dari factorfaktor abiotik (fisik) dan factor biotik (hayati) yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya (Anwar dan Juhana, 1987). Sumberdaya alam terbagi dua, yaitu : (1).
Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) yaitu sumberdaya yang dapat tersedia kemabali dalam waktu yang cepat sehingga tidak dapat habis. Namun demikian apabila pemanfaatannya tidak terkendali, sumberdaya ini dapat habis atau punah. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui seperti: sumberdaya perikanan (biota), mangrove dan terumbu karang. Selain itu air serta udara juga termasuk dalam kategori ini.
(2).
Sumberdaya resources)
alam
yang
merupakan
tidak
dapat
sumberdaya
diperbaharui
alam
yang
(nonrenewable pembentukannya
berlangsung sangat lambat dalam waktu jutaan atau ratusan juta tahun. Oleh karena itu, jumlahnya relative tetap atau berkurang karena dimanfaatkan dan akhirnya pada saatnya nanti akan habis. Contoh sumberdaya ini yaitu: minyak bumi, gas dan mineral dan bahan tambang lainnya. Selain menyediakan dua sumberdaya tersebut, wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi, seperti: transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, jasa lingkungan, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan permukiman dan tempat pembuangan limbah. 2.1.2. Pesisir Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan wilayah peralihan atau daerah pertemuan (interface area) antara ekosistem darat dan laut. Secara biologis
12 wilayah ini sangat produktif dan mengandung potensi pembangunan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena kawasan ini mendapat input nutrien dan bahan organik dari daratan melalui aliran sungai dan run-off. Wilayah pesisir menggambarkan dan umumnya selalu dihubungkan dengan daerah antarmuka (interface) atau ruang transisi antara darat dan laut (CicinSain dan Knecht 1998). Wilayah ini didefinisikan sebagai bagian dari darat yang dipengaruhi – karena dekatnya – oleh laut, dan bagian dari laut yang dipengaruhi – karena dekatnya – oleh daratan (USCMSER 1969, diacu dalam United Nation 1995). Dengan demikian, proses-proses interaksi antara darat dan laut di wilayah ini terjadi sangat kuat. Sedangkan menurut World Bank (1993) pengertian wilayah pesisir adalah “suatu daerah antarmuka (interface), dimana darat bertemu laut, meliputi baik lingkungan garis pantai maupun perairan pesisir yang berbatasan. Komponennya dapat termasuk delta sungai, dataran pesisir, lahan-lahan basah (wetland), pantai dan gundukan pasir (dune), laguna, karang dan hutan mangrove”. Untuk tujuan perencanaan, wilayah pesisir merupakan suatu daerah spesial yang memiliki ciri-ciri khusus, antara lain : a). Merupakan suatu daerah dinamis, yang seringkali mengalami perubahan sifat biologis, kimiawi dan geologis; b). Daerah produktifitas tinggi dengan adanya bermacam-macam ekosistem biologis, yang memberikan
habitat
penting
bagi
beberapa
spesies
laut;
c).
Memiliki
keistimewaan wilayah seperti sistem-sistem terumbu karang, hutan mangrove, pantai dan gundukan pasirnya, yang memberikan pertahanan alami khusus guna mengatasi badai, banjir dan erosi; d). Ekosistem-ekosistem pesisir dapat berperan menetralisir dampak polusi yang datang dari darat, seperti lahan basah yang dapat menampung kelebihan nutrien, sedimen dan kotoran manusia; e). Wilayah pantai memunculkan sangat banyak perkampungan dan pemukiman manusia yang memanfaatkan sumberdaya hayati dan non-hayati di lautan, transportasi laut dan rekreasi wisata. Beberapa ekosistem yang berada dikawasan pesisir adalah: A. Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang
13 pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Ekosistem mangrove tumbuh dengan baik didaerah pesisir yang terlindung seperti delta dan estuaria (Bengen 2001). Keberadaan suatu ekosistem pada suatu kawasan tentu saja banyak memberikan fungsi dan manfaat bagi lingkungan secara biotik, dan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Menurut Bengen (2002), ekosistem mangrove memiliki beberapa fungsi bioekologis dan sosioekologis yaitu:
Fungsi perlindungan terhadap abrasi laut
Fungsi menangkap sedimen
Fungsi sebagai daerah penghasil makanan
Sebagai spawning ground, nursery ground dan feeding ground
Sebagai daerah bersarang burung
Habitat alami yang memberikan kesinambungan ekologis
Fungsi mencegah terjadinya keasaman tanah
Fungsi perlindungan dari bahaya angin laut
Fungsi menghambat intrusi air laut
Daerah penghasil kayu
Daerah penghasil ikan
Daerah pariwisata
Manfaat lain dari tumbuhan mangrove adalah bahwa bijinya mengandung antioksidan dan bahan aktif untuk melindungi kulit dari sengatan sinar ultraviolet. Dari hasil penelitian hingga praklinis membuktikan bahwa biji mangrove
(Xylocarpus
granatin)
mengandung
flavonoid
dan
tanin.
Manfaatnya sangat besar untuk mencegah terjadinya kanker kulit akibat sering terbakar sinar matahari. Ekstrak biji mangrove mengandung Sun Protector Filter (SPF) 22. Sementara itu, Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk tabir surya SPF-nya minimal 15. Maka tabir surya dari mangrove itu lebih dari cukup untuk melindungi kulit dari sengatan matahari (Linawati, 2003). Ekosistem mangrove termasuk ekosistem pesisir dengan tingkat prosuktivitas yang sangat tinggi dan rawan terhadap kerusakan. Penyebab kerusakan
14 ekosistem mangrove dapat di kategorikan kedalam tiga jenis (Kusmana dan Onrizal, 1998):
Gangguan Fisik Mekanis, yang meliputi: Abrasi pinggir pantai atau pinggir sungai, sedimentasi dengan laju yang tidak terkendali, banjir yang menyebabkan melimpahnya air tawar, dan gempa bumi yang disertai dengan tsunami.
Ganguan Kimia, yang meliputi: Pencemaran air, tanah dan udara, serta adanya hujan asam.
Ganguan Biologi, yang meliputi: Adanya konversi mangrove untuk kegiatan pemukiman, industri, pertambakan, pertanian, pertambangan, sarana angkutan dan penggunaan lahan non kehutanan. Kegiatan penebangan pohon yang tida memperhatikan azas kelestarian hutan, serta adanya invasi Acrostichum aureum (piay) dan adanya jenis semak belukar lanilla.
Selain itu semakin berkunya luasan hutan mangrove juga akan makin mempercepat kerusakan ekosistem. Berkurangnya luasan hutan mangrove dapat dikarenakan beberapa hal, yaitu:
Alih fungi lahan hutan mangrove menjadi pemukiman, pertanian, industri, pertambangan dan tambak.
Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahanperusahaan tertentu serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan.
Polusi di perairan estuary, pantai, dan lokasi-lokasi perairan lainnya dimana terdapat tumbuhan mangrove.
Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan abrasi yang tidak terkendali.
Berikut ditampilkan kriteria baku kerusakan mangrove sebagai cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan dalam kriteria berikut (Tabel 1):
15 Tabel 1. Kriteria baku kerusakan mangrove No
Kriteria
1 Sangat Padat Baik 2 Sedang 3 Rusak Jarang Sumber : Kepmen LH No.201 Tahun 2004.
Penutupan (%) >75 50-75 <50
Kerapatan (pohon/Ha) >1.500 1.000-1.500 <1.000
Sebenarnya mangrove memiliki kemampuan memperbaiki habitatnya sendiri dengan
mengembangkan
strategi
establishmen,
pertumbuhan
dan
perkembangan, serta regenerasi. Namun pada kondisi-kondisi tertentu regenerasi alami pada mangrove akan terhambat terutama bila terjadi perubahan kondisi fisik habitat kearah yang tidak normal seperti halnya perubahan hidrologi. Bila kondisi ini yang terbentuk maka tindakan perbaikan habitat secara konvensional (penanaman) sering tidak berhasil meskipun dilakukan secara berulang-ulang (Djamaluddin, 2004). Menurut Permenhut Nomor: P.70/Menhut-II/2008 Tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, bahwa sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove adalah di dalam kawasan hutan pada hutan lindung yang terdeforestasi, hutan produksi, serta Taman Hutan Raya (Tahura) yang dikelola oleh Kabupaten/Kota, dan di luar kawasan hutan pada lahan tegakan mangrove yang telah mengalami degradasi/deforestasi sehingga terganggu fungsi ekologis, sosial dan ekonominya. Disamping itu rehabilitasi dilakukan pula pada kawasan pantai berhutan bakau. Sesuai Keppres No. 32 Tahun 1990
dimana
perlindungan
terhadap
kawasan
ini
dilakukan
untuk
melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat
berkembangbiaknya
berbagai
biota
laut
disamping
sebagai
perlindungan pantai dari pengikisan air laut serta perlindungan usaha budidaya di belakangnya. Rehablitasi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan ketika suatu sistem telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui diri secara alami. Pada kondisi seperti ini ekosistem homeostasis telah berhenti secara permanen, dan proses kedua untuk perbaikan secara alami pasca kerusakan telah terhambat oleh karena
16 beberapa kondisi (Lewis, 1982 dalam Djamaludin, 2004). Untuk banyak kasus seringkali pengelola suatu program rehabilitasi melakukan penanaman mangrove sebagai kegiatan pertamanya. Sebaiknya kegiatan rehabilitasi yang dilakukan
berdasarkan
diketahuinya
penyebab
hilangnya
ekosistem
mangrove di wilayah tersebut, kemudian baru dilakukan penanganan penyebab tersebut dan perbaikan habitat mangrove yang ada. Bibit mangrove ditanam hanya jika mekanisme alami tidak memungkinkan dan apabila secara hidrologi telah memungkinkan (Djamaluddin, 2004). Menurut Lewis (1982) dalam Djamaluddin (2004) semua habitat mangrove dapat memperbaiki kondisi alami dalam waktu 15-20 tahun, jika paling tidak dua kondisi ini terpenuhi:
Kondisi normal hidrologi tidak terganggu.
Ketersedian biji dan bibit mangrove serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi.
Jika kondisi hidrologi pada kondisi normal tetapi biji mangrove tidak dapat mendekati daerah rehabilitasi, maka rehabilitasi dapat dilakukan secara konvensional yaitu melalui penanaman. Secara umum rehabilitasi mangrove dapat dilakukan tanpa penanaman, maka rehabilitasi fisik dilakukan dengan terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan lingkungan lainnya yang menghalangi perkembangan mangrove. Jika aliran air terhalangi dan ditemukan adanya tekanan lain maka hal tersebut harus ditangani terlebih dahulu, dan perlu dipastikan ketersediaan bibit alami. Bila bibit alami tidak tersedia maka perlu dilakukan penanaman untuk membantu perbaikan secara alami (Djamaluddin, 2004). Sangat disayangkan banyak kegiatan rehabilitasi mangrove langsung dimulai dengan
aktivitas
penanaman
tanpa
mempertimbangkan
mengapa
perkembangan secara alami tidak terjadi. Seringkali kegiatan seperti ini mengakibatkan terjadinya kegagalan, hal tersebut dapat dilihat pada beberapa proyek yang telah dilakukan Di Indonesia. Ada lima tahap yang penting yang perlu diperhatikan untuk rehabilitasi mangrove, yaitu:
Memahami autekologi (ekologi tiap jenis mangrove), pola reproduksi, distribusi benih dan keberhasilan pembentukan bibit.
17
Memahami
pola
hidrologi
normal
yang
mengatur
distribusi
dan
keberhasilan pembentukan dan pertumbuhan jenis mangrove yang menjadi target.
Memperkirakan perubahan lingkungan mangrove asli yang menghalangi pertumbuhan alami mangrove.
Disain program rehabilitasi fisik untuk memperbaiki hidrologi yang layak, dan jika memungkinkan digunakan benih alami mangrove untuk melakukan penanaman.
Hanya melakukan penanaman bibit, memungut, atau mengolah biji setelah memperhatikan langkah-langkah tersebut diatas.
Faktor yang paling penting dalam mendesain suatu kegiatan rehabilitasi mangrove adalah pengenalan hidrologi (frekuensi dan durasi pasang surut) yang berlaku pada suatu komunitas mangrove yang berdekatan dengan area rehabilitasi. Pengumpulan data akan memerlukan biaya yang cukup besar karena akan mengamati batas air pasang surut, serta melakukan survei terhadap
mangrove
yang
tumbuh
sehat
untuk
mendapatkan
suatu
penampang distribusi spasial, kemiringan, dan morfologi suatu ekosistem mangrove yang kemudian menjadi model kontruksi. Penimbunan dan penggalian kembali bekas galian diperlukan untuk membentuk tingkat kemiringan yang sama serta ketinggian relatif terhadap batas areal yang ditentukan untuk memastikan hidrologinya sudah tepat (Djamaluddin, 2004). Areal dimana penimbunan dilakukan terhadap lahan yang pernah ditumbuhi mangrove, dilakukan pengerukan kembali lahan tersebut untuk mencapai tanah humus mangrove sebelumnya, atau dapat pula disesuaikan dengan ketinggian magrove yang ada disekitarnya. Bentuk lain dari rehabilitasi mangrove yaitu melibatkan penggabungan kembali areal-areal hidrologi yang terpisah ke situasi jangkauan air yang normal (Djamaludin, 2004). Penanaman mangrove hanya diperlukan jika pertumbuhan alami tidak mungkin terjadi akibat kurangnya bibit/kecambah (propagade) taupun kondisi tanah yang kurang mendukung. Ketika penanaman diperlukan, penempatan bibit Rhizophora yang telah matang secara langsung ke dalam hunus dapat mempercepat pertumbuhan mangrove. Proses tersebut tidak
18 dapat dilakukan pada mangrove jenis lainnya karena diperlukan pelepasan kulit biji dari kecambah sebelum pembentukannya, serta diperlukan akar yang menyentuh permukaan tanah secara langsung dengan kotiledon yang terbuka. Kematian bibit pada tahap awal jarang terjadi, namun tingkat keberhasilannya hanya sekitar 50 persen. Meskipun penanaman pada musim panas adalah yang ideal, tetapi bibit mangrove dapat juga ditanam sepanjang tahun dengan hasil yang memuaskan (Djamaluddin, 2004). Illegal logging termasuk yang terjadi pada kawasan hutan mangrove telah menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim di berbagai perjuru dunia, sehingga rehabilitasi ekosistem mangrove dapat juga digunakan sebagai salah satu solusi pengurangan dampak pemanasan global tersebut, terutama di negara-negara kepulauan. Aksi nyata yang dapat dilakukan adalah reforestasi pada ekositem mangrove yang rusak, untuk program jangka panjang diperlukan kejelasan dan manfaat dari adanya ekosistem mangrove terhadap masyarakat setempat. Salah satu program yang dianjurkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah silvofishery yang menerapkan kegiatan yang ramah lingkungan dengan menggabungkan tumbuhan dengan perikanan. Program ini dapat menerapkan sistem empang parit atau empang inti, empang parit merupakan sistem dimana tumbuhan mangrove berada ditengah-tengah kolam dengan dikelilingi oleh parit, sedangkan empang inti merupkan kebalikannya yaitu parit yang dibuat dikelilingi oleh tumbuhan mangrove. Sistem ini sebenarnya dapat memberikan banyak keuntungan antara lain adalah kontruksi kolam akan lebih stabil karena adanya perakaran dan kualitas air akan lebih baik karena tersaring akar. Sistem ini juga akan terbantu oleh proses dekomposisi material organik karena adanya mikrobia pada dasar (debris) dan daun mangrove yang jatuh bersifat alelopaty dapat menurunkan patogen pada ikan. Selain itu sistem silvofishery juga dapat mengurangi intrusi air laut karena berfungsi sebagai greenbelt dan merupakan mitigasi terhadap climate change karena dapat menyerap karbondioksida dari udara. Oleh karena itu masyarakat setempat dapat berpartisipasi aktif dalam mengelola ekosistem mangro ve sekaligus melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim (Primavera, 2000}.
19 B. Ekosistem Lamun Padang lamun memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang penting,dan bersama dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang merupakan habitat pesisir yang sangat produktif, padang lamun bukan hanya merupakan habitat yang memiliki produktivitas primer tinggi (Borum et al, 2006) dan siklus nutrient (Romero et al. 2006).tetapi juga menyediakan habitat untuk kehidupan berbagai macam organisme laut (Duarte, 2002), serta dapat meningkatkan kestabilan substrat melalui perluasan akarnya secara ekstensif (Fonseca and Fisher, l936). Lamun, merupakan satu-satunya tumbuhan sejati yang memiliki adaptasi untuk hidup dan tumbuh di perairan asin yang dangkal, hingga ke kedalaman 60 meter. Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah:
Terdapat di perairan pantai yang landai, di daratan lumpur/pasir
Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang
Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung
Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan
Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terendam air termasuk daur generatif
Mampu hidup di media air asin
Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
Lamun sendiri dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan untuk ikan budidaya dan hewan ternak, sumber pupuk hijau, area marikultur (ikan, teripang, kerang tiram, dan rumput laut), bahan baku kerajinan anyaman, dan
sebagainya.
Pemanfaatan
padang
lamun
dapat
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, tetapi tanpa pengelolaan yang tidak tepat dapat mengurangi fungsi ekosistem ini.
20 C. Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh hewan karang dengan tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang dapat mensekresi kalsium karbonat (Nybakken, 1988). Sedangkan menurut Odum (1971), terumbu karang adalah sebagai bagian ekosistem yang dibangun oleh sejumlah biota, baik hewan maupun tumbuhan yang secara terusmenerus mengikat ion kalsium dan karbonat dari air laut yang menghasilkan kapur, kemudian secara keseluruhan tergabung membentuk suatu terumbu atau bangunan dasar kapur. Menurut Veron (1986), karang dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu karang hermatipik (karang yang dapat membentuk terumbu) dan karang ahermatipik (karang yang tidak dapat membentuk terumbu). Karang hermatipik dalam prosesnya bersimbiosis dengan alga zooxanthellae dan membutuhkan cahaya matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal sebagai reef building corals, sedangkan karang ahermatipik tidak dapat membentuk bangunan kapur sehingga dikenal sebagai non-reef building corals, yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada cahaya matahari. Pertumbuhan karang pembentuk terumbu sangat tergantung pada kondisi lingkungan yang ada disekitarnya. Cahaya matahari, suhu, salinitas, sirkulasi massa air dan arus serta sedimentasi merupakan faktor fisika-kimia perairan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan karang. Nybakken (1988) menyatakan bahwa cahaya merupakan salah satu faktor pembatas yang penting dalam penyebaran terumbu karang. Cahaya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang
dapat
terlaksana.
Proses
fotosintesis
tersebut
menyebabkan
bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida. Kondisi ini menyebabkan distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar yang masuk.
21 Menurut Nybakken (1988), perkembangan terumbu karang yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23-25
o
C.
Terumbu karang memiliki kisaran toleransi terhadap suhu antara 36-40 oC. Suhu paling baik bagi pertumbuhan karang berkisar antara 25-30
o
C
(Sukarno et al, 1983). Perubahan suhu yang drastis dapat mengakibatkan bleaching karena kehilangan zooxanthellae dari jaringan karang yang dapat mematikan hewan karang tersebut. Terumbu karang dapat bertahan sampai suhu minimum 15 oC dan maksimum 36 oC. Suhu juga dapat mempengaruhi tingkah laku makan pada karang. Karang hermatipik adalah organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air laut, yaitu 32-35‰ (Nybakken, 1988). Menurut Birkeland (1997) terumbu karang berkembang dengan baik pada salinitas air laut mendekati 35‰, namun kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti pemasukan air tawar. Nybakken (1988) mengutarakan perairan yang menerima pasokan air tawar dari sungai secara terus menerus maka daerah tersebut tidak akan terdapat terumbu karang. Hal yang sama juga diutarakan oleh McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran air dari darat dapat membunuh terumbu karang melalui sedimentasi dan penurunan salinitas air laut. Arus berperan penting dalam transportasi makanan, larva dan dapat membersihkan karang dari endapan sedimen. Arus memiliki pengaruh yang besar terhadap taksonomi dan morfologi dari ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu, pertumbuhan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibanding perairan yang tenang. Arus diperlukan untuk ketersediaan aliran makanan dan oksigen serta membersihkan polip karang dari partikel-partikel yang menempel (Sukarno et al. 1983). Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir laut tropis yang memiliki berbagai macam fungsi, baik secara fisik, biologis maupun kimiawi. Secara fisik terumbu karang dapat melindungi pantai dari abrasi dan melindungi ekosistem lamun dari sedimentasi. Fungsi biologis terumbu karang adalah sebagai tempat hidup, mencari makan, berkembang biak,
22 pembesaran anak, berlindung dari predator bagi ikan dan biota-biota laut lainnya. Secara kimiawi terumbu karang dapat berfungsi sebagai penyedia bahan baku untuk industri kosmetik dan farmasi.
2.2.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Wilayah pesisir memiliki ekosistem yang berfungsi sangat vital dalam mendukung kehidupan manusia, diantaranya sebagai : 1) Penyedia sumberdaya alam, seperti: sumberdaya alam hayati yang dapat pulih (yaitu sumberdaya perikanan, mangrove, terumbu karang dan rumput laut); dan sumberdaya alam nir-hayati yang tidak dapat pulih (yaitu sumberdaya mineral, minyak bumi dan gas alam); 2) Penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, seperti: air bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia; 3) Penyedia jasa-jasa kenyamanan, seperti: tempat rekreasi atau pariwisata; dan 4) Penerima/penampung limbah (Bengen 2004). Wilayah pesisir merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa datang. Sudah sejak lama wilayah pesisir dengan segala potensinya dimanfaatkan oleh manusia, terutama dalam bidang perekonomian. Wilayah ini juga merupakan kawasan tempat berlangsungnya berbagai macam kegiatan pembangunan yang paling intensif. Wilayah pesisir ini, selain potensial untuk kegiatan pembangunan juga rentan terhadap berbagai dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan pembangunan dan perekonomian itu, baik yang berlangsung di wilayah pesisir itu sendiri maupun yang berlangsung di laut ataupun kawasan atasnya (daratan). Berbagai bukti pengrusakan sumberdaya
darat
dan
laut
tanpa
mempertimbangkan
kondisi
ekologis
dan
kelangsungannya (KMNLH dan Bapedalwil I 1999). Padahal sumberdaya pesisir dan lautan merupakan aset pembangunan yang penting dan terbesar bagi Indonesia di masa depan, karena sumberdaya darat seperti hutan dan lahan lainnya sendiri semakin terbatas akibat alih fungsi, eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan dan lain-lain. Di samping itu, tekanan pertambahan penduduk terhadap wilayah pesisir dengan berbagai dampaknya semakin besar. Diperkirakan 60% dari populasi penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir dan 80% dari pembangunan industri mengambil tempat di wilayah pesisir ini (Hinrichson 1997, diacu dalam Bengen dan Rizal 2000). Oleh karena itu, konsep pembangunan berkelanjutan dalam rangka perlindungan terhadap wilayah pesisir, merupakan langkah terbaik yang perlu dilakukan sebagai
23 bentuk tatacara pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir ini bagi sebesar-besarnya kesejahteraan hidup manusia. Pemikiran pembangunan berwawasan lingkungan secara terpadu dan berkelanjutan ini dilakukan dengan menekan kerusakan sekecil mungkin yang dapat ditimbulkannya. Hal ini dikarenakan pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Dahuri et al. 1996). Beberapa konsep pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu antara lain: A. Ekowisata Bahari Ekowisata dalam teori dan prakteknya tumbuh dari kritik terhadap kegiatan pariwisata yang dipandang cenderung merusak sumberdaya alam dan nilai-nilai budaya serta tradisi masyarakat yang menjadi objek wisata. Kritik ini melahirkan berbagai istilah baru dengan beragam konsep yang ditawarkan, antara lain pariwisata alternatif, pariwisata yang bertanggung jawab, pariwisata berbasis komunitas, dan Ekowisata. Alasan-alasan penggunaan konsep ini adalah karena dapat mengambarkan kegiatan pariwisata yang termasuk bukan pariwisata berskala besar atau massal dan mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan sumberdaya alam (Dephutbun, 2000). Diantara konsep-konsep tersebut, Ekowisata dianggap paling populer, karena dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan dari gerakan konservasi lingkungan dan menerjemahkan prinsip-prinsip ekologi ke dalam praktik pengelolaan kegiatan pariwisata yang berkelanjutan. Di samping itu, didukung pula dengan adanya trend pasar terbaru seperti perjalanan pertualangan (adventure travel) dan gaya hidup “kembali ke alam” (back to nature). Ekowisata Bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Ekowisata merupakan wisata beroirentasi pada lingkungan
untuk
menjembatani
kepentingan
perlindungan
sumberdaya
alam/lingkungan dan industri kepariwisataan (META, 2002 in Yulianda, 2007). Hetzer (1965) dan Ziffer (1989) dalam Bjork (2000) menyatakan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata yang mengandalkan atau mengutamakan nilai sumberdaya alam (flora, fauna dan proses geologi) dan budaya (lokasi suatu fosil dan arkeologi
24 sebagai bentuk peradaban), praktek pemanfaatannya bersifat tidak konsumtif, dapat menciptakan lapangan kerja dan pendapatan untuk upaya konservasi dan peningkatan ekonomi masyarakat lokal. Ekowisata menurut Wood (2002) menganut beberapa prinsip, antara lain: Meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya. Mengutamakan pendidikan bagi pengunjungnya guna kepentingan konservasi. Menekankan pada kepentingan bisnis yang bertanggungjawab melalui pola kemitraan antara yang membutuhkan dan menerima manfaat konservasi. Menerimaan langsung dari pengelolaan dan konservasi lingkungan serta kawasan yang dilindungi. Menekankan kebutuhan untuk penzonaan wisata lingkup regional dan untuk perencanaan pengelolaan pengunjung kawasan alami. Menekankan pada penggunaan kajian dasar lingkungan dan sosial guna kepentingan program monitoring. Peningkatan manfaat ekonomi maksimum masyarakat, usaha lokal dan negara. Pembangunan pariwisata tidak melebihi batas daya dukung lingkungan sosial. Pembangunan infrastruktur wisata yang harmoni dengan alam, meminimalisir penggunaan bahan bakar dari fosil, melindungi satwa dan tumbuhan lokal, dan menselaraskan lingkungan dan budaya. Ada empat isu konservasi yang berkaitan dengan ekowisata, yaitu: (1) kegiatan wisata yang cenderung massal (mass tourism). Karakteristik sektor wisata umumnya menghasilkan pengaruh yang signifikan dan massal. Di negara-negara sedang berkembang, manfaat ekonomi sektor tourism sangat signifikan sehingga dimensi sosial dan lingkungan seringkali terkorbankan; (2) obyek ekowisata yang spesifik. Sektor wisata umumnya memiliki sarana akomodasi yang terstandarisasi dengan kenyamanan tertentu, misalnya fasilitas parker/dermaga, toilet atau kamar hotel. Keseragaman akomodasi tersebut, sejak masa konstruksi hingga pemanfaatannya, akan cenderung berdampak merugikan bagi ekowisata. Hal tersebut dapat mematikan pengembangan potensi spesifik lokal, juga dapat berlawanan dengan
25 nilai-nilai budaya setempat; (3) pemberdayaan penduduk lokal. Trade-off aliran insentif ekonomi pada sektor tourism umumnya lebih condong ke pemilik modal dibanding
ke
penduduk
lokal.
Trade-off
tersebut
harus
mengarah
secara
proporsional pada kedua belah pihak jika tidak ingin menghancurkan kegiatan ekowisata. Insentif ekonomi bagi penduduk lokal digunakan untuk peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan ketrampilan profesional, serta penguatan struktur sosial; dan (4) faktor-faktor yang tidak terhitung (intangible) di dalam sumberdaya alam masih banyak. Pemangku kepentingans, khususnya penduduk lokal memiliki nilai-nilai budaya dan potensi yang belum terungkap dalam bentuk manfaat bagi konservasi
dan
ekowisata.
Implikasinya,
harus
dilakukan
penelitian
dan
pengembangan untuk menggali ilmu pengetahuan dan menyebarkan informasi dalam rangka membangun kesadaran publik tentang konservasi dan keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan. Kegiatan ekowisata mulai dikembangkan ketika dirasakan adanya dampak negatif dari kegiatan pariwisata konvensional baik berupa kerusakan lingkungan maupun bergesernya nilai-nilai budaya lokal suatu daerah. Menurut Beeler (2000) Kegiatan ekowisata merupakan bagian dari kegiatan pariwisata berkelanjutan dengan memperhatikan aspek-aspek pemeliharaan ekologi, masyarakat lokal, serta kepuasan wisatawan. Adanya keterkaitan antara beberapa aspek dalam pengembangan kegiatan ekowisata
tersebut
menimbulkan
adanya
kriteria-kriteria
tertentu
dalam
pengembangannya. Arahan peruntukkan dan pemanfaatan pariwisata terutama di daerah pulau-pulau kecil memiliki kriteria sebagai berikut (Bengen 2002): Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut tidak menyebar/mencapai kawasan wisata. Berjarak aman dengan kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung. Sirkulasi massa air di kawasan pariwisata harus lancar. Pembangunan sarana dan prasarana wisata tidak mengubah kondisi wilayah pesisir, sehingga proses erosi/sedimentasi dapat dihindari.
26 Lebih jauh Fauzi dan Anna (2005), menyatakan bahwa kebijakan menyangkut pulau-pulau kecil pada dasarnya haruslah berbasiskan kondisi dan karakteristik biogeo-fisik serta sosial ekonomi masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem perairan laut maupun bagi kehidupan ekosistem daratan (mainland). Maksudnya agar sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara terus-menerus. Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan Laut, dengan maksud: perlindungan sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam. Beberapa kriteria umum dalam penentuan pemanfaatan pariwisata di pulaupulau kecil menurut dimensi pembangunan adalah (Bengen 2002): Dimensi sosial: diterimanya secara sosial, kesehatan masyarakat, rekreasi, budaya, estetika, konflik kepentingan, keamanan, aksesibilitas, penelitian dan pendidikan, dan kepedulian masyarakat. Dimensi ekonomi: nilai ekonomi spesies penting, nilai ekonomi kegiatan perikanan, ancaman terhadap alam, dan keuntungan ekonomi, dan pariwisata. Kriteria
dalam
dimensi
ekologi:
keanekaragaman
hayati,
kealamiahan,
ketergantungan, keterwakilan, keunikan, produktivitas, dan vulnerabilitas. Kriteria dalam dimensi regional: tingkat kepentingan regional, dan tingkat kepentingan sub-regiona Kriteria khusus suatu wilayah yang diperlukan untuk menentukan zona kegiatan pariwisata: Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati sehingga membawa kepuasan dan kenangan manis serta memberikan rasa rileksasi dan memulihkan semangat daya produktifnya; Keaslian panorama alam dan keaslian budaya; Keunikan ekosistemnya; Di dalam lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin kencang, dan topografi dasar laut yang curam; dan
27 Tersedia
sarana
dan
prasarana
yang
mudah
dijangkau,
baik
melalui
daratmaupun laut (dekat restoran, penjualan cinderamata, penginapan dan air bersih). Kesesuaian pemanfaatan wisata pesisir berbeda untuk setiap kategori wisata. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata ekosistem terumbu karang dan pulau-pulau kecil dapat dikelompokkan atas wisata bahari dan wisata pantai. Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya laut dan dinamika air laut. Sedangkan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai (Hutabarat et al. 2009). Berdasarkan kondisi daerah kajian penelitian, setiap kegiatan wisata pesisir di pulau-pulau kecil dibagi dua kategori yakni kategori wisata selam dan wisata snorkeling (kegiatan wisata bahari), dan kategori wisata mangrove dan rekreasi pantai (kegiatan wisata pantai), serta wisata berbasis budaya lokal. Potensi utama untuk menunjang kegiatan pariwisata di wilayah pesisir dan laut adalah kawasan terumbu karang, biota laut yang eksotik, dan pantai berpasir putih atau bersih. Keragaman spesies pada terumbu karang dan ikan hias merupakan obyek utama yang menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar biasa bagi para penyelam dan para wisatawan yang melakukan snorkeling (Dahuri 2003). Secara umum, jenis dan nilai setiap parameter kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari kategori wisata selam dan wisata snorkeling hampir sama. Parameter yang dipertimbangkan dalam menilai tingkat kesesuaian pemanfaatan kedua kategori kegiatan wisata bahari tersebut adalah:
Kondisi kawasan penyelaman yakni menyangkut keadaan permukaan air (gelombang) dan arus. Gelombang besar dan arus yang kuat dapat membawa para penyelam ke luar kawasan wisata. Kekuatan arus yang aman bagi wisatawan maksimum 1 knot (0.51 m/detik), sesuai sampai sangat sesuai yakni di bawah 0.34 m/detik (Davis and Tisdell 1995).
“Kualitas” daerah penyelaman yakni menyangkut jarak pandang yang layak (sesuai) di bawah permukaan air (underwater visibility), dalam hal ini
28 tergantung tingkat kecerahan dan kedalaman perairan, dan tutupan komunitas karang dan life form. Jarak pandang yang layak untuk wisata bahari >10-20 m. Marine National Park Division (2001) menyatakan bahwa kedalaman 2-5 meter sangat sesuai untuk melakukan wisata snorkeling, sementara wisata selam biasanya dilakukan pada kedalaman 5-10 m. Di atas kedalaman air tersebut, pengaruh gelombang juga semakin besar dan kemungkinan keberadaan hewan berbahaya sangat besar sehingga dapat mengancam para penyelam dan snorkeler. Davis and Tisdell (1995), alasan orang berpartisipasi dalam melakukan kegiatan Scuba (Self Contained Underwater Breathing Apparatus) Diving adalah karena hasrat untuk mencari pengalaman dan sensasi bawah air, ketertarikan terhadap ekologi perairan laut, sebagai sarana olahraga yang ‘berbeda dan spesial’ dengan olahraga lainnya, pesona bawah laut (formasi geologi) dan kehidupan laut (terumbu karang, hiu, dan spesies ikan lainnya), untuk tujuan hobi fotografi bawah laut, dan petualang dengan resiko tertentu. Dahuri (2003), sumberdaya hayati pesisir dan lautan seperti populasi ikan hias, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, dan berbagai bentang
alam pesisir (coastal landscape) unik
lainnya,
membentuk
suatu
pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan untuk kegiatan wisata bahari. Obyek wisata pesisir di pulau-pulau kecil yang berpotensi besar adalah wilayah pantai dan ekosistem terumbu karang. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, dan tempat permandian air laut yang bersih. Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata pesisir kategori rekreasi pantai, meliputi (Wong 1991; Hutabarat et al. 2009): Kondisi geologi pantai menyangkut tipe (substrat pasir), lebih lebar, kemiringan pantai (idealnya <25o) dan material dasar perairan pantai (idealnya berpasir). Kondisi fisik menyangkut kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang, kecerahan perairan dan ketersediaan air tawar. Kondisi biota menyangkut tutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan biota berbahaya (menyangkut kenyamanan dan keselamatan wisatawan).
29 B. Perikanan Budidaya Kawasan perikanan pesisir merupakan tempat dilakukannya berbagai aktivitas yang berorientasi pada usaha-usaha perikanan, baik usaha perikanan budidaya air payau/pertambakan (brakish water aquaculture), budidaya laut (mariculture), maupun usaha penangkapan ikan (capture fisheries). Kegiatan budidaya perikanan di wilayah pesisir merupakan bagian dari usaha perikanan darat (inland fisheries). Selain itu, Indonesia memiliki peluang pengembangan usaha perikanan yang sangat besar, namun sayangnya perikanan budidaya khususnya budidaya air payau dan budidaya laut masih diibaratkan sebagai “raksasa ekonomi yang masih tidur” (the sleeping giant of economy). Dahuri et al. (1996) mengemukakan bahwa sebagian besar kegiatan budidaya perikanan wilayah pesisir adalah usaha perikanan tambak, baik tambak udang, bandeng ataupun campuran keduanya. Selain itu terdapat beberapa jenis kegiatan budidaya perikanan lain, seperti budidaya rumput laut, tiram dan budidaya ikan dalam keramba (net impondment). Karena air merupakan media utama dalam kegiatan budidaya perikanan, maka pengelolaan terhadap sumber-sumber air alami maupun non alami (tambak, kolam dll) harus menjadi perhatian utama dalam pengelolaan wilayah pesisir. Dalam kegiatan budidaya perikanan, pengaruh utama yang perlu diperhatikan adalah yang berasal dari lingkungan sekitar lokasi budidaya, termasuk aktivitas lahan atas dan pengaruh kegiatan budidaya tersebut terhadap lingkungan. Kamaluddin (2002) menambahkan bahwa perikanan budidaya juga dapat ditata sebaik mungkin sehingga dapat dijadikan objek wisata, untuk itu budidaya harus dibangun dengan nuansa ekonomi dan wisata yang berwawasan lingkungan. Melalui cara ini terbuka peluang usaha bagi masyarakat dalam kerangka agrowisata. Pengembangan budidaya perikanan ke depan harus mampu mendaya- gunakan potensi yang ada. Dengan demikian, subsektor ini dapat mendorong kegiatan produksi berbasis ekonomi rakyat, meningkatkan perolehan devisa negara, serta mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat pembudidaya ikan Indonesia secara keseluruhan (Dahuri 2002).
30 Bertolak dari hal di atas, maka menurut Dahuri (2002) kegiatan budidaya perikanan diharapkan memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyediaan bahan baku industri, mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa negara. Namun demikian, pada saat yang sama kegiatan budidaya perikanan harus tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungan dalam rangka mewujudkan kawasan budidaya yang berkelanjutan, berdaya saing dan berkeadilan. C. Perikanan Tangkap Manajemen sumberdaya perikanan adalah suatu kesatuan ilmu manajemen yang ditujukan untuk mengelola sumberdaya ikan pada suatu kawasan, agar populasi ikan itu
tidak
menjadi
punah
dalam
rangka
pemanfaatan
secara
lestari
dan
kesinambungan untuk jangka panjang. Selain kita mempelajari aspek-aspek ekologi komunitas ikan, juga tidak kalah pentingnya kita harus mempelajari aspek-aspek sosial ekonomi pada daerah bersangkutan, dan teknologi yang sehari-hari digunakan nelayan dan para pengusaha (Nuitja, 2010). Selanjutnya menurut Nuitja (2010), tujuan manajemen sumberdaya perikanan adalah:
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya ikan secara lestari.
Menjaga sumberdaya perikanan tetap hidup dan berkembang serta dapat dimanfaatkan secara lestari.
Memelihara dan dapat memperbaiki ekosistem yang sesuai dengan kondisi awal habitat.
Pengelolaan yang berkaitan dengan fungsi konservasi yang melekat pada perairan, analisis yang dilakukan mencakup kesesuaian dengan aspek/sifat sarana ramah lingkungan, potensi sumberdaya ikan kawasan, kebutuhan masyarakat, dan perangkat hukum terkait. Kriteria penilaiannya adalah: (a) kesesuaian dengan aspek/sifat alat tangkap ramah lingkungan dapat dilihat dari sifat selektif yang melanggar fungsi kawasan, jaminan terhadap ekosistem, dampak terhadap biodiversity, perlindungan terhadap biota dasar, dan daya cemar terhadap kawasan, (b) kesesuaian dengan aspek potensi sumberdaya ikan kawasan dapat dilihat dari
31 jenis ikan yang ditangkap menggunakan unit penangkapan, daya dukung di lokasi, dan nilai ekonomisnya, (c) kesesuaian dengan aspek kebutuhan masyarakat dapat dilihat dari kepraktisannya, biaya operasi, keefektifan, kekuatan, kemudahan transfer knowlegde, dan tingkat keuntungan dari operasi unit penangkapan tersebut, dan (d) kesesuaian dengan aspek perangkat hukum terkait dapat dilihat dari kesesuaianya dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Kepala Daerah, dan peraturan lainnya yang berlaku di lokasi (Mustaruddin, 2010). Menurut Satria et al. (2009), globalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia di laut lepas diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan yaitu:
Undang-Undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif.
Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCOS 1982.
Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2002 tentang Usaha Penangkapan Ikan
Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 5 tahun 2008 tentang Perikanan Tangkap.
Perkembangan terbaru undang-undang tentang perikanan adalah perubahan dari Undang-Undang No. 31 tahun 2004. Undang-undang tersebut berubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. D. Kawasan Konservasi Kawasan konservasi yang dikembangkan di Indonesia sat ini mengacu pada UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan UU tersebut dapat dibuat batasan bahwa kawasan konservasi adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memelihara proses alami antara unsur hayati dan non hayati yang merupakan sistem penyangga kehidupan. Kawasan konservasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu: (1) kawasan pelestarian alam dan (2) kawasan suaka alam. Secara detail pembagian tersebut berdasarkan UU No 5 tahun 1990 bisa dijelaskan sebagai berikut:
32
Kawasan Suaka Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam ada dua macam yaitu (1) Cagar Alam dan (2) Suaka Margasatwa yang biasanya lebih ditujukan untuk perlindungan satwa.
Kawasan Pelestarian Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam ada tiga macam yaitu: (1) Taman Nasional; (2) Taman Hutan Raya; dan (3) Taman Wisata Alam.
Ketentuan mengenai kawasan konservasi cukup detail dijelaskan dalam UU No 5 Tahun 1990, tetapi beberapa peraturan perundang-undangan lain membuat klasifikasi atau istilah yang berbeda. Undang-undang No 41 tahun 1999 menggunakan istilah ”kawasan hutan konservasi” yang dibagi dalam tiga jenis kawasan yaitu: hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Undangundang no 24 Tahun 1994 mengenai Penataan Ruang membagi tiga jenis kawasan yaitu (1) Kawasan lindung; (2) Kawasan budidaya; dan (3) Kawasan dengan peruntukan khusus. Istilah yang juga sering digunakan adalah Keputusan Presiden No 32 Tahun 1990 yang menggunakan istilah ”kawasan lindung” dan membaginya dalam 4 jenis yaitu:
Kawasan yang memberikan perlindungan di bawahnya
Kawasan perlindungan setempat
Kawasan rawan bencana alam
Kawasan suaka alam dan cagar budaya.
Perbedaan-perbedaan istilah dan definisi tersebut terkadang menjadi kendala tersendiri dalam pengelolaan sebab setiap istilah didukung oleh dasar argumen yang kuat dan implementasinya biasanya dilakukan oleh sektor yang berbeda. Beberapa upaya harmonisasi antar sektor terus dilakukan sehingga dalam beberapa level pemangku kepentingan misalnya di nasional, daerah, atau tingkat program dapat terjadi kompromi.
33 2.3.
Kondisi Wilayah Desa Batu Ampar Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang termasuk dalam wilayah Kecamatan Batu Ampar yang memiliki luas wilayah masing-masing 560,12 km2 dan 212,71 km2. Secara administrasi batas wilayah Batu Ampar adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sungai Nibung
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sangau
Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Karimata
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Ketapang
Desa Batu Ampar memiliki hutan lindung yang cukup luas. Berdasarkan Peta Paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang (RTRW) provinsi Kalimantan Barat, Wilayah hutan mangrove di kawasan Batu Ampar seluas ±14.941 Ha. 2.3.1. Keadaan Iklim Wilayah Batu Ampar secara umum dipengaruhi oleh dua musim yaitu musim penghujan (Agustus-Februari) dan musim kemarau (Maret-Juli). Daerah ini memiliki curah hujan rata-rata 3.887 mm pertahun dan jumlah hari hujan selama 132 hari. Pada musim kemarau curah hujan rata-rata perbulan adalah 126 mm, sedangkan pada musim penghujan dapat mencapai 465 mm. Kawasan Batu Ampar memiliki kisaran suhu 20 – 35 oC. Secara umum kecepatan angin di wilayah ini antara 5-10 knot/jam dan kecepatan angin relative tinggi antara bulan Oktober-Maret. 2.3.2. Topografi Kawasan Batu Ampar merupakan daerah yang mempunyai tingkat kelandaian rendah. Kemiringan wilayah ini antara 0-40% dimana pada kemiringan < 15% berada di bagian selatan sedangkan daerah dengan kemiringan 15-40 % berada pada bagian utara. 2.3.3. Hidro-oseanografi Kawasan Batu Ampar termasuk dalam wilayah DAS Kapuas, DAS Mempawah dengan wilayah Sub DAS Kemuning, Sub Das Lida dan Sub Das Sungai Limau. Pasang di kawasan Batu Ampar dapat mencapai 1,7 m dengan rata-rata tinggi 1,45 m. Kondisi perairan surut terendah adalah 0,2 m dengan ketinggian rata-
34 rata 0,39 m. Sedangkan tinggi permukaan air rata-rata adalah 0,90 m (Dishidros, 1996). Perairan yang ada di wilayah ini merupakan perairan payau hingga asin, sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai sumber air minum. Dibeberapa tempat terutama pada muara sungai perairan relative keruh karena adanya sedimentasi. Sungai yang terdapat di Batu Ampar dipergunakan oleh penduduk untuk sarana transportasi dan kawasan perikanan tangkap. 2.3.4. Tanah Daratan Batu Ampar terbentuk dari bahan endapan sungai (tua dan muda) berupa pasir halus, lumpur dan sisa tumbuhan. Pasir dan lumpur berasal dari daerah pedalaman sedangkan sisa tumbuhan berasal dari hutan-hutan purba dan terbentuk pada jaman holosen. Tanah di wilayah hutan mangrove Batu Ampar sebagian besar merupakan jenis tanah alluvial hidromorf kelabu dengan bahan induk dari bahan endapan liat, debu, serta fisiografi berupa dataran pasang surut pantai. Sedangkan sebagian kecil merupakan jenis tanah asosiasi alluvial kelabu dan coklat kelabu dari bahan endapan liat/debu. Wilayah pesisir Desa Nipah Panjang merupakan bagian pesisir Kalimantan Barat yang memiliki 2 sistem lahan, yaitu sistem lahan Kejapah (KJP) yaitu dataran lumpur didaerah pasang surut dibawah bakau dan nipah, dan sistem lahan Kahayan (KHY) yaitu dataran pantai/sungai yang tergabung yang menempati fisiografi dataran alluvial.
35
Bab III Inventori Sumberdaya Pesisir
3.1.
Metode yang Digunakan 3.1.1. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Adapun jenis data primer dan sekunder serta sumber data yang akan diambil pada penelitian ini adalah seperti pada Tabel 2 dibawah ini: Tabel 2. Jenis data serta sumber data No A 1
2
3
B 1 2 3 4 5
Jenis Data Data Primer Kondisi Umum Wilayah a. Penggunaan wilayah b. Luas c. Spesies alami d. Infrasturtur Umum Potensi Wilayah a. Jenis Flora b. Jenis Fauna c. Kelimpahan Flora dan Fauna d. Spesies yang dikembangkan e. Teknologi budidaya Sosial Ekonomi Masyarakat a. Jenis pekerjaan b. Sarana usaha c. Lama usaha d. Biaya usaha e. Hasil usaha f. Jumlah penerimaan g. Pemasaran Data Sekunder Administrasi Wilayah Hidro-Aseanografi Wilayah Sosial Ekonomi Penduduk Pengguanaan Lahan Luasan Lahan
Metode
Sumber
Wawancara, observasi lapangan dan FGD
Perangkat desa, masyarakat
Wawancara, dan FGD
Perangkat desa, masyarakat
Wawancara, dan FGD
Perangkat desa, masyarakat
Studi literatur
Instansi terkait dan penelitian sebelumnya
Data primer adalah data yang diambil langsung pada saat penelitian, melalui observasi, kuisioner, dan wawancara langsung di lokasi penelitian. Data sekunder
36 didapatkan dari beberapa instansi terkait yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) dan Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanlut) Kabupaten Kubu Raya, serta referensi yang menunjang dalam penelitian ini. 3.1.2. Metode Pengumpulan Data A. Wawancara Wawancara dilakukan terhadap petambak, masyarakat, tokoh masyarakat dan instansi yang terkait. Wawancara dilakukan terhadap masyarakat, dilanjutkan dengan wawancara yang lebih mendalam terhadap tokoh-tokoh setempat. Wawancara dilakukan terhadap masyarakat nelayan, petani, petambak dan ibu rumah tangga, sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran secara terperinci mengenai kondisi kegiatan usaha yang mereka laksanakan. Sedangkan wawancara terhadap tokoh masyarakat diharapkan mampu memberikan informasi mengenai kondisi wilayah terkait dengan pemanfaattan lahan dan beberapa data desa secara umum. Penentuan responden untuk wawancara menggunakan teknik purpossive sampling method. B. Diskusi Kelompok Terarah atau Focus Group Discussion (FGD) Pengumpulan data dilakukan melalui Diskusi Kelompok Terarah atau Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan di Desa Dabong. Kegiatan FGD ini dilakukan untuk merumuskan data-data yang dibutuhkan, serta untuk memudahkan dalam pelaksanaan pengumpulan datanya sehingga diharapkan data-data/informasi yang dikumpulkan akan lebih lengkap. Adapun kegiatan yang perlu dilakukan, meliputi :
Persiapan pelaksanaan FGD, mencakup penentuan waktu dan tempat, penentuan peserta, dan lain-lain.
Pelaksanaan kegiatan FGD.
Perumusan hasil pembahasan FGD
C. Studi Literatur Suatu tahap yang penting dalam pelaksanaan pekerjaan ini adalah melakukan studi literatur mengenai administrasi wilayah, hidro-aseanografi
37 wilayah, sosial ekonomi penduduk, pengguanaan lahan, luasan lahan yang bersumber dari buku teks, hasil penelitian, laporan-laporan dari hasil studi terdahulu, ataupun dari jurnal. Selain itu berbagai data penunjang untuk melengkapi data primer dilakukan dengan penelusuran berbagai pustaka/dokumen dari instansi terkait seperti : Bappeda kabupaten Kubu Raya, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Pusat Statistik (BPS), Kantor Desa Dabong, Kantor Kecamatan Kubu dan lain-lain. 3.1.3. Analisis data Seluruh data-data dan informasi yang diperoleh, kemudian dilakukan pengolahan dan kompilasi sesuai dengan aspek-aspek yang akan dikaji berdasarkan maksud dan tujuan kegiatan, yang penekanannya adalah pada inventory potensi sumberdaya pesisir Desa Dabong. Kompilasi data dapat diarahkan pada potensi sumberdaya yang ada, kelimpahan pemanfaatan serta berbagai masalah yang terdapat didalamnya. Seluruh datadata yang telah dikompilasi, kemudian dilakukan kajian dan analisis terkait dengan variabel yang akan digunakan. Kajian dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
3.2.
Hasil Inventory Sumberdaya Pesisir 3.2.1. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat A. Kependudukan Jumlah penduduk Desa Batu Ampar mencapai dua kali lipat penduduk Desa Nipah Panjang. Pada kedua desa tersebut rasio perbandingan penduduk lakilaki dan perempuan hampir sama. Pada Tabel 3 disajikan data penduduk dari dua desa tersebut.
38 Tabel 3. Penduduk Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang No.
Desa
1.
Batu Ampar Nipah Panjang
2.
Jumlah Rumah Tangga 848 828
Jumlah Penduduk LakiPerempuan laki 3.949 3.594 1.816
1.813
Total Jumlah Penduduk 7.543 3.629
B. Mata Pencaharian Lebih dari 50% dari jumlah penduduk di masing-masing desa (Batu Ampar dan Nipah Panjang) termasuk ke dalam usia produktif. Pertanian (tanaman pangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan) memegang peranan yang cukup penting dalam perekonomian di Batu Ampar. Pada tahun 2010, sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 18,9 % terhadap Produk Domestik Regional Bruto atau nomor dua setelah industri pengolahan. Pada Tabel 4 disajikan jumlah penduduk beserta mata pencahariannya. Tabel 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Pekerjaan
Petani Buruh Tani Nelayan Industri/kerajinan Perdagangan Angkutan/Transportasi PNS Jasa Lainnya
Jumlah (Jiwa)
792 1.980 589 477 375 69 156 328
C. Pendidikan Tingkat pendidikan formal masyarakat Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang tergolong masih rendah. Sebagian besar tingkat pendidikan penduduk adalah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Pendidikan formal masyarakat Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang disajikan pada Tabel 5.
39 Tabel 5. Tingkat pendidikan formal penduduk Desa Batu Ampar No
Pendidikan
Batu Ampar (jiwa)
1
Sekolah Dasar (SD)
2.121
2
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
2.110
3
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
519
4
Diploma 2 (D2)
-
5
Diploma 3 (D3)
1
6
Sarjana (S1)
-
7
Magister (S2)
-
8
Belum/Tidak Sekolah
2.252
D. Agama Penduduk Mayoritas penduduk Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang menganut agama Islam. Agama lain yang dianut oleh sebagian penduduk kedua desa adalah Kristen, Katolik dan Budha. Perincian jumlah penduduk yang menganut agama-agama tersebut ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6. Agama Penduduk Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang. Islam Kristen Katolik Hindu Budha Lainnya
Agama
Batu Ampar (Jiwa) 7.903 237 74 892 11
Nipah Panjang (Jiwa) 3.599 2 1 23 -
E. Sarana Prasarana Desa Pendidikan Salah satu hal yang mempengaruhi tingkat pendidikan suatu wilayah adalah sarana prasarana yang mendukung dalam bidang pendidikan. Selain itu juga factor lain yang mempengaruhi adalah kemudahan untuk mengakses sarana prasarana tersebut. Berikut ditampilkan sarana prasarana pendidikan, jumlah
40 murid serta guru yang terdapat di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang (Tabel 7). Tabel 7. Sarana Pendidikan di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang No
Desa
Fasilitas Pendidikan SD SLTP SLTA
Jumlah Murid
Jumlah Guru
SD
SLTP
SLTA
SD
SLTP
SLTA
1.
Batu Ampar
8
2
1
1.380
68
65
48
16
12
2.
Nipah Panjang
3
1
-
597
40
-
20
6
-
Sarana dan prasarana pendidikan Desa Batu Ampar lebih lengkap bila dibandingkan dengan Desa Nipah Panjang. Desa Batu Ampah telah tersedia fasilitas pendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Selain itu Desa Batu Ampar juga memiliki jumlah sekolah serta guru yang lebih banyak. Kesehatan Fasilitas kesehatan yang terdapat pada suatu desa juga akan mempengaruhi tingkat hidup masyarakat. Keberadaan fasilitas kesehatan akan membantu dalam menekan angka kematian suatu daerah, terutama angka kematian ibu dan anak yang sangat tinggi di Indonesia. Fasilitas kesehatan yang terdapat di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Fasilitas Kesehatan di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang No . 1. 2.
Desa
Puskesmas
Polindes
Batu Ampar
1
1
Nipah Panjang
-
1
Praktek Dokter 1 -
Praktek Bidan 3
Posyand u 8
1
3
Berbeda dengan Desa Nipah Panjang, Desa Batu Ampar telah dilengkapi dengan fasilitas Puskesmas serta Prakter Dokter. Namun, untuk pengobatan yang membutuhkan perawatan intensif, maka masyarakat harus ke kota kabupaten/propinsi di Pontianak yang membutuhkan waktu serta transportasi yang masih terbatas. Selain fasilitas kesehatan, dua desa tersebut juga memiliki beberapa tenaga medis (Tabel 9).
41 Tabel 9. Tenaga Medis di Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang No
Desa
Dokter
Bidan
Mantri Kesehatan/Perawat
Dukun Bayi Terlatih
1.
Batu Ampar
1
3
4
7
3.
Nipah Panjang
-
-
1
-
Lain-lain Dalam rangka mendukung kegiatan peribadatan, Batu Ampar juga telah memiliki fasilitas keagamaan. Fasilitas peribadatan yang berada di Batu Ampar antara lain 8 buah masjid, 2 buah mushola, 2 buah gereja, satu buah vihara, 1 buah kopel serta 1 buah kelenteng. Selain tempat peribadatan, di Desa Batu Ampar telah terdapat beberapa penginapan.Kebutuhan air di daerah ini berasal dari air gunung. Sedangkan kebutuhan air di Desa Nipah Panjang dipenuhi dari sumur, sungai serta air hujan. 3.2.2. Potensi Sumberdaya Pesisir a. Ekosistem Mangrove Berdasarkan Peta Paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang (RTRW) provinsi Kalimantan Barat, Wilayah hutan mangrove di kawasan Batu Ampar seluas ±14.941 Ha. Berdasarkan Kebijakan Rencana Tata Ruang Daerah Tingkat I Kalimantan Barat, kawasan hutan mangrove yang ditetapkan sebagai kawasan lindung, bukan berarti tidak
boleh
dilakukan
kegiatan
budidaya,
melainkan
diperbolehkan
melakukan budidaya sepanjang tidak mengganggu fungsi lindung. Luas penggunaan hutan mangrove Desa Batu Ampar dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove Batu Ampar No 1 2 3
Peruntukan Kawasan Hutan Lindung Pertanian Kering Pertanian Basah
Luas (Ha) 11.428 3.145 365
42 b. Flora Wilayah ekosistem mangrove Batu Ampar mempunyai 6 tipe formasi dari pantai sampai dengan daratan yaitu: 1) formasi Avicenia, 2) formasi Sonneratia, 3) formasi Rhizopora dan Bruguiera, 4) formasi Rhizopora dan Nipah, 5) formasi Nipah, 6) formasi Pandan dan Nibung. Di wilayah ini tercatat sedikitnya 40 spesies mangrove yang terdiri dari 21 jenis mangrove sejati (true mangrove) dan 19 jenis mangrove ikutan (associated mangrove). Jenis yang paling banyak ditemukan di wilayah mangrove Batu Ampar adalah jenis-jenis Rhizopora spp, Bruguiera spp, dan Nypa fruticans. Salah satu jenis tananaman mangrove endemik khas ekosistem mangrove Kalimantan yang bisa ditemukan di wilayah ini adalah jenis Kandelia candel. (Ginting, 2009) Vegetasi hutan primer di Batu Ampar ditemukan 4 jenis pohon yaitu : Tumu (Bruguiera gymnorrhiza), Bakau (Rhizophora apiculata), Blukap (Rhizophora mucronata), dan Nyirih (Xylocarpus granatum). Secara umum vegetasi didominasi jenis Rhizophora apiculata. Selain tanaman mangrove, pada kedua desa juga banyak terdapat tanaman palawija, kelapa, pisang, kopi dan sayur-sayuran. Tanaman palawija yang umum ditemukan adalah padi dan jagung. Selain jagung dan padi juga terdapat ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai, dan kacang hijau. Sayur-sayuran di kedua desa ditanam oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhannya dan sebagian dijual di desa tersebut. Beberapa sayur-sayuran yang ditemui adalah sawi, cabe, bawang, kacang panjang, terung, ketimun. Selain semua tumbuhan tersebut, di wilayah ini juga banyak ditemukan pohon belian. c. Fauna Pesisir Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang kaya akan biota perairan. Tercatat sedikitnya 5 spesies Crustacea, 6 spesies Bivalva, 17 spesies Gastropoda, 18 spesies Phytoplankton, 3 spesies Zooplankton dan 3 spesies bentos. Terdapat pula berbagai 109 jenis ikan pada kawasan ini. Dimana 53 diantaranya adalah spesiesn migrant dan 28 jenis lainnya adalah spesies menetap di ekosistem mangrove, sedangkan 27 jenis spesies lainnya belum diketahui statusnya (Amira, 2008).
43 Fauna yang juga ditemukan di hutan mangrove kedua desa ini antara lain monyet ekor panjang, bekantan (Nasalis larvatus) yang endemik Kalimantan, babi hutan, rusa, kucing hutan, bajing, beruang madu, kalong, kelelawar dan mamalia air yaitu pesut (Orcaela breviristria). Seperti di ekosistem mangrove lainnya ekosistem mangrove Batu Ampar tercatat sedikitnya ada 46 jenis burung, 12 diantaranya dilindungi Undang-Undang. Jenis burung khas hutan mangrove yang ada di hutan Batu Ampar antara lain raja udang, kuntul, kowak, blekok, bambangan, gajahan, pecuk ular dan 2 jenis elang. Selain itu juga terdapat jenis burung endemik Kalimantan yaitu berencet Kalimantan (Ptilocichla leucogrammica) serta terdapat beberapa jenis reptilia seperti ular bakau, kurakura, kadal, labi-labi, biawak dan buaya. Keragaman sumberdaya satwa liar di kawasan wilayah Batu Ampar yang terbentuk dalam ekosistem mangrove yang khas, akan mendorong suatu jalinan simbiosis antar spesies yang khas pul dengan lingkungannya. Jenis–jenis satwa liar dalam ekosistem mangrove di wilayah Batu Ampar harus dilindungi keberadaannya. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan jenis mamalia yang paling sering dijumpai langsung di pinggir sungai hutan mangrove secara berkelompok antara 2-6 ekor. Sedangkan bekantan (Nasalis larvatus) yang merupakan jenis mamalia khas Kalimantan masih banyak terdapat di kawasan ini (Talan, 2008) 3.2.3. Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Pesisir a. Arang Kayu dan Penambangan Batu Pada saat ini kawasan hutan mangrove Batu Ampar dan Nipah Panjang sebagian merupakan bagian dari wilayah konsensi HPH PT. INHUTANI II yang mengeksploitasi kayu daratan dan rawa. Potensi hutan mangrove yang tedapat di kawasan ini masih baik dan telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber mata pencaharian. Keberadaan hutan mangrove kenyataannya
sangat
membantu
dalam
meningkatkan
taraf
hidup
masyarakat setempat, serta merupakan komoditi andalan masyarakat. Pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat setempat dipergunakan sebagai bahan baku arang, dilakukan dengan teknologi tradisional, yakni:
44 penebangan tidak mengunakan chain saw, tungku pembakaran masih sederhana dan lebih bersifat padat karya. Dampak kegiatan tersebut terhadap ekosistem hutan mangrove disekitarnya relatif kecil. Di samping komoditi arang bakau (kayu mangrove), masih terdapat potensi komoditi lain yang dapat dikembangkan pemanfaatannya secara langsung dan tidak langsung (gula, daun nipah, kepiting, ikan,dan udang, serta wisata alam). Terkait dengan pemanfaatan hutan mangrove, di Desa Nipah Panjang telah berdiri sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama LSM Sampan. LSM ini menyerukan dan menghimbau tentang pentingnya menjaga kelestarian mangrove. Batu Ampar selain sebagai penghasil arang mangrove, juga diketahui terdapat pertambangan batu (Gambar 1). Pertambangan Batu tersebut merupakan pendapatan sampingan masyarakat Desa Batu Ampar. Hasil pertambangan batu tersebut dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.
Gambar 1. Pertambangan Batu
45 b. Nelayan Penduduk telah lama memanfaatkan kekayaan biota yang berada di hutan mangrove kedua desa. Nelayan dari kedua desa umumnya menangkap kepiting bakau dan udang-udangan. Nelayan menggunakan alat tangkap bubu untuk mendapatkan kepiting bakau. Masing-masing nelayan memiliki kurang lebih 60 buah bubu. Untuk menangkap kepiting masyarakat menggunakan umpan segar berupan ikan yang telah dipotong dan diletakkan di dalam bubu. Bau dari ikan tersebut akan menarik kepiting masuk dalam bubu. Selain bubu, nelayan di wilayah ini juga menggunakan alat tangkap berupa pukat udang (Gambar 2).
Gambar 2. Alat Tangkap Nelayan Desa Batu Ampar dan Nipah Panjang Nelayan dari kedua desa ini tidak hanya sebagai nelayan tradisional dengan menggunakan alat tangkap sederhana dengan jarak tangkap yang dekat,
46 tetapi juga terdapat nelayan dengan modal kuat dan jangkauan tangkap yang jauh. Nelayan tersebut telah menggunakan perahu mesin yang besar kapasitasnya. Nelayan tradisional dengan jangkauan dekat sekitar 1-5 meter biasanya menggunakan perahu kayu yang dibuat oleh nelayan setempat. Perahu kayu tersebut sebagian telah dilengkapi dengan motor temple, namun sebagian masih menggunakan dayung. Sedangkan penangkapan lepas pantai dengan jarak 1-20 km nelayan biasanya menggunkan kapal motor dengan kekuatan 5-10 PK (Aprilwati, 2001). Masyarakat juga menggunakan alat tangkap pancing. Umumnya kegiatan memancing ini dilakukan untuk mengisi waktu saat menunggu pukat. Jenis ikan yang ditangkap dengan menggunakan pancing adalah Ikan Belukang, Duri, Talang, Semerah (Kakap Merah) dan Pari. c. Pertanian Pertanian dan perkebunan memegang peranan penting di wilayah Batu Ampar. Tanaman pertanian yang banyak ditanam masyarakat antara lain padi, jenis-jenis paliwija. Hasil panen tanaman-tanaman tersebut dijual baik di desa maupun keluar desa. Sedangkan sayur-sayuran ditanam warga untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Apabila hasil panen sayur-sayuran tersebut melebihi kebutuhan maka akan dijual keliling desa. Kegiatan pertanian ini lebih banyak diusahakan oleh masyarakat pendatang terutama oleh para pendatang dari suku Jawa. Perkebunan kelapa di Desa Nipah Panjang sangat luas. Kelapa dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku kopra. Pemanenan kelapa dilakukan dengan menunggu kelapa tua terjatuh dari pohon. Selanjutnya kelapa dipisahkan dari sabutnya untuk kemudian di cungkil. Pengolahan selanjutnya kelapa yang telah dicungkil tersebut dikeringkan dengan memanfaatkan cahaya matahari langsung (Gambar 3). Proses penjemuran kelapa hingga menjadi kopra membutuhkan waktu kurang lebih 1-2 hari.
47
Gambar 3. Proses Penjemuran Kelapa Tanaman pisang juga banyak ditemukan pada kedua desa. Pisang yang ditanam oleh masyarakat adalah pisang nyirih. Pisang tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Batu Ampar untuk diolah menjadi pisang sale. Para petani di kedua desa ini juga mempunyai pendapatan tambahan dengan memelihara ternak. Ternak yang biasanya dipelihara oleh petani adalah sapi, kambing, domba, ayam dan itik. 3.2.4. Distribusi dan Pemasaran Hasil a. Arang Kayu Mangrove Jumlah dapur arang di wilayah Batu Ampar mencapai 90 buah dengan keadaan baik sebanyak 58 buah dan 32 buah dalam keadaan rusak. Tidak semua masyarakat memiliki dapur arang, sehingga sebagian masyarakat menyewa dapur arang untuk memproduksi arang tersebut. Pendapatan masyarakat penyewa dapur arang Rp. 500.000,- hingga Rp. 1.230.000,/bulan. Sedangkan pendapatan pemilik dapur arang antara Rp. 700.00,hingga Rp. 1.700.000,-/bulan tiap dapur. b. Nelayan Kegiatan penangkapan kepiting dilakukan masyakat pada musim nyorong sedangkan penangkapan udang tidak tergantung pada musim. Bulan
48 Desember-Maret merupakan bulan dimana jumlah kepiting melimpah dialam. Sedangkan musim dimana kepiting bertelur terjadi pada bulan Juli-Agustus. Pada bulan tersebut kualitas isi kepiting sangat bagus namun jumlahnya tidak semelimpah bulan Desember-Maret. Harga kepiting di daerah ini berbeda-beda tergantung ukuran. Terdapat dua kelompok ukuran kepiting yaitu ukuran A dan Ukuran B. Ukuran A dihargai Rp. 45.000,-/kg sedangkan ukuran B adalah Rp. 17.000,-/kg. Ikan Belukang cukup banyak ditemukan di perairan sekitar Desa Nipah Panjang (Gambar 4). Harga ikan jenis ini cukup murah yaitu Rp. 12.000,-/kg. Ikan Belukang diperairan ini mencapai puncak kelimpahannya pada bulan Juli-Agustus. Nelayan Desa Batu Ampar melakukan kegiatan penangkapan disekitar perairan Pulau Panjang dan Pulau Padu Empat. Satu kali trip penangkapan memakan waktu selama satu hari dengan jumlah nelayan 1-3 orang per perahu. Penangkapan udang lepas pantai memerlukan waktu 3-4 hari per trip dengan jumlah nelayan 5-6 orang. Lamanya penangkapan per trip sangat mempengaruhi biaya oprasional.
Gambar 4. Ikan Belukang
49 Nelayan udang tradisional yang melakukan penangkapan udang dengan pukat tarik rata-rata menghasilkan 4 kg seharga ± Rp. 150.000,-. Sedangkan nelayan yang memiliki alat yang lebih lengkap penghasilannya dapat mencapai Rp. 800.000,-. Untuk nelayan pukat tenggiri saat musim ikan dapat menghasilkan Rp. 200.000,- hingga Rp. 300.000,- per malam. Musim ikan tenggiri adalah saat bulan penuh pada tiap bulannya. Selain itu ibu-ibu Desa Batu Ampar juga mencari kepah terutama saat air surut. Hasil yang didapat dari penangkapan kepah tersebut mencapai Rp. 70.000,-. Perairan sekitar Desa Batu Ampar terdapat biota yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu Ikan Tirus (Gambar 5). Ikan Tirus dimanfaatkan gelembusnya untuk makanan yang dipercayai memiliki efek yang sangat bagus untuk kesehatan. Sup dari gelembus Ikan Tirus dipercaya mampu mempercepat luka bekas pasca oprasi. Memancing Ikan Tirus dilakukan saat air kondah dan hanya selama satu minggu. Dari kegiatan memancing ini masyarakat dapat menghasilkan sekitar 2-3 juta tergantung ukuran gelembusnya.
Gambar 5. Ikan Tirus
50 Pemasaran hasil perikanan dilakukan dengan cara nelayan langsung menjual langsung ke penampung atau dapat langsung ke pasar Batu Ampar. Para penampung selanjutnya menjual ikan dan kepiting ke Pontianak sebagai pemasok kebutuhan warga KotaPontianak dan Kota Mempawah. Sedangkan hasil tangkapan udang biasanya dijual ke pabrik pembekuan udang, yaitu PT. Cipta Windu Pratama dan PT. Kapuas Sakti di Pontianak. c. Pertanian Pertanian yang sangat banyak ditemukan di Desa Nipah Panjang adalah pertanian kelapa untuk bahan baku kopra. Pertanian kelapa yang sangat luas di desa ini dimiliki oleh Pak Maje, Beliau memiliki lahan pertanian kelapa seluas 40 Ha dengan 13.000 batang kelapa yang telah berproduksi serta 8.000 batang pohon yang masih belum berproduksi. Waktu yang dibutuhkan pohon kelapa untuk dapat berproduksi sekitar 3 tahun dengan siklus panen setiap 3 bulan sekali. Harga kelapa perbutir di desa ini hanya Rp. 1.100,- hingga Rp. 1.500,-. Sedangkan harga kopra mencapai Rp. 6.500,-/kg. Selain kopra, sebagian masyarakat juga ada yang memanfaatkan daun nipah untuk dijadikan atap. Penghasilan para pengrajin atap dari daun nipah berkisar antara Rp 300.000,- hingga Rp 400.000,-/bulan. 3.2.5. Isu dan Permasalahan a. Hutan mangrove Pemanfaatan arang mangrove semakin hari semakin meningkat. Berdasarkan keteranga warga Desa Nipah Panjang, peralatan penebangan kayu mangrove warga Desa Batu Ampar saat ini sudah semakin canggih, dimana awalnya penebangan dilakukan secara tradisional, kini beralih menggunakan mesin. Penenbangan kayu mangrove saat ini juga sudah mulai merambah ke wilayah hutan Nipah Panjang. Dan saat ini belum terdapat Peraturan Desa yang mengatur tentang penebangan hutan mangrove sehingga warga Nipah Panjang tidak dapat melakukan apapun terhadap hal tersebut.
51 b. Pertanian Permasalahan bidang pertanian yang terdapat di desa ini adalah adanya bahan samping pemanfaatan kelapa untuk kopra. Sabut serta batok kelapa dalam jumlah besar belum termanfaatkan secara maksimal. Saat ini arang maupun sabut kelapa hanya digunakan untuk pengasapan dalam proses pengeringan kelapa, sedangkan sisanya hanya di tumpuk begitu saja didekat gudang (Gambar 5).
Gambar 6. Batok Kelapa yang tidak dimanfaatkan c. Kegiatan Nelayan Dalam satu bulan nelayan bubu hanya dapat beraktivitas sebanyak 16-17 hari saat nyorong. Sehingga saat air kondah nelayan tidak memiliki penghasilan. Selain permasalahan hari untuk melaut, nelayan mengalami kekurangan alat tangkap serta perahu. Keberadaan perahu serta alat tangkap yang memadai akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Permasalahan lain yang dihadapi nelayan adalah ketahanan alat tangkap yang cukup singkat. Sebagai contoh alat tangkap pukat hanya bertahan
52 sekitar 6-7 bulan saja. Selain itu tingginya kelimpahan Ikan Belukang di perairan kedua desa dengan harga rendah perlu suatu upaya pengolahan lebih lanjut untuk peningkatan nilai keekoniomiannya.
53 Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan yang dapat diambil dari kegiatan ini adalah sebagai berikut: 1. Potensi yang terdapat di Desa Batu Ampar adalah Ikan Tirus yang memiliki nilai ekonomis tinggi. 2. Potensi yang terdapat di Desa Nipah Panjang berupa sumberdaya udang, ikan serta kepiting yang cukup tinggi. Rekomendasi yang dapat disampaikan adalah: 1. Perlu adanya upaya pengelolalaan sumberdaya alam hayati di kedua desa sehingga pemanfaatannya tetap lestari. 2. Perlu adanya suatu Peraturan Desa yang mengatur mengenai penebangan hutan mangrove sebagai bahan baku arang. 3. Perlu adanya upaya penggantian bahan baku pembuatan arang sehingga kegiatan penebangan hutan mangrove dapat dihindari.
54
Daftar Pustaka
Aprilwati S. 2001. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Kawasan Batu Ampar Kabupaten Pontianak [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL-IPB. Bogo Bengen, DG. 2002. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. PKSPL-IPB Bengen DG, Rizal. 2000. Aktivitas Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Wilayah Pesisir. Warta Pesisir dan Lautan (02). PKSPL-IPB. Bogor. Borum, J., Sand-Jensen, K., Binzer, T., Pedersen, O., Greve, T. M (2006). Oxygen movement in seagrasess. In : Larkum, A. W. D., Orth, R.J., Duarte, C. M. (eds.) Seagrasess : Biology, Ecology and Conservation. Springer, The Netherlands. Pp 255-270. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta Dahuri R. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan FPIK-IPB. Bogor. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Paradyna Paramita. Jakarta. Duarte, C. M. (2002). The future of seagrass meadows. Environmental Conservation 29, 192206. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Cetakan ketiga Juli 2010. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Ginting A. 2009. Karakteristik Habitat dan Wilayah Jelajah Bekantan (Nasalis larvatus, Wurmb) di Hutan Mangrove Desa Nipah Panjang Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Hutabarat AA, Yulianda F, Fahrudin A, Harteti S, Kusharjani, Adrianto L. 2009. Konservasi Perairan Laut dan Nilai Valuasi Ekonomi. Pusdiklat Kehutanan-Dephut dan SECEMKorea International Cooperation Agency. Cetakan pertama 2009..Bogor Mustaruddin. 2010. Model Pengembangan Usaha Perikanan Yang Bersinergi Dengan Fungsi Konservasi Kawasan (Studi Kasus Pengelolaan Sero Berkantong Di Perairan Teluk Tiworo, Provinsi Sulawesi Tenggara). Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 15 halaman Nuitja, I.N.S. 2010. Manajemen Sumber Daya Perikanan. Bogor: IPB Press. 168 halaman
55 Nybakken JW. 1993. Marine Biologi. An Ecological Approach. Third Edition. Harper Collins College Publisher. New York. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelpia: WB Sounders. Primavera JH. 2000. Integrated Mangrove-Aquaculture System in Asia. Aquaculture Department, Southeast Asian Fisheries Development Center, Tigbauan, Philippines Primavera JH. 1998. Mangroves as Nurseries: Shrimp Populations in Mangrove and NonMangrove habitats. Estuarine, Coastal and Shelf Science (1998) 46, 457-464 Romero, J., K., Perez, M., Mateo, M. A., Alcoverro, T (2006). In : Larkum A. W. D., Orth, R. J., Duarte, C. M. (eds). Seagrass Biology, Ecology and Conservation. Springer, The Netherlands. Pp 227-254. Satria, A., Eva, A., dan Akhmad, S. 2009. Globalisasi Perikanan : Reposisi Indonesia?. Bogor: IPB Press. 123 halaman Sukarno, Hutomo M. Moosa MK, Darsono P. 1981. Terumbu Karang di Indonesia, Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Jakarta: Pusat Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Indonesia LON LIPI. Talan MA. 2008. Persamaan Penduga Biomassa Pohon Jenis Nyirih (Xylocarpus granatum Koenig. 1784) dalam Tegakan Mangrove Hutan Alam di Batu Ampar, Kalimantan Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Veron JN. 1986. Coral of Australian and The Indo-Pasific . Honolulu. University of Hawai Press.
56
Lampiran
Lampiran 1. Wawancara dengan Warga
57 Lampiran 2. Gudang Kopra
58 Lampiran 3. Hasil Tangkapan Nelayan
59 Lampiran 4. Fasilitas Pasar Desa Batu Ampar
60 Lampiran 5. Dapur Arang