LAPORAN AKHIR ANALISIS EFEKTIFITAS OPERASI PASAR BERAS
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PEREDAGANGAN 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat-Nya, sehingga laporan “Analisis Efektivitas Operasi Pasar Beras” dapat diselesaikan. Analisis ini disusun dalam rangka mengevaluas ipelaksanaan operasi pasar beras sebagai salah satu kebijakan untuk menciptakan harga beras yang stabil. Analisis ini menggunakan dua pendekatan, pertama adalah pendekatan ekonometrika, grafis dan telaah literatur yang tujuanny aadalah mengukur volume dan waktu efektif dalam penyaluran beras Operasi Pasar (OP). Pendekatan kedua adalah pendekatan analisis kesenjangan yang tujuannya untuk melihat adakah kesenjangan antara kepentingan dan kinerja OP. Analisis ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri yang terdiri dari tim peneliti internal dan dibantu oleh tenaga ahli. Dalam penyusunan analisis ini, tim menyadari bahwa masih terdapat kekurangan. Untuk itu kami menyambut baik masukan, kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan analisis ini. Pada akhirnya, kami berharap bahwa hasil analisis ini dapat bermanfaat bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan stabilisasi harga beras.
Jakarta, Juni 2015 Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
i
ABSTRAK ANALISIS EFEKTIVITAS OPERASI PASAR BERAS Operasi Pasar(OP) Beras merupakan program yang sudah dijalankan cukup lama dengan tujuan untuk menjaga stabilitas harga beras di tingkat eceran. Stabilitas harga beras dinilai penting karena beras merupakan bahan pangan pokok dimana pangsa pengeluaran rumah tangga untuk beras cukup besar, relatif dibanding pengeluaran untuk pangan yang lain.Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan OP Beras. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dampak OP Beras akan terlihat pada 1 satuan waktu berikutnya; pada daerah yang defisit, kebutuhan volume beras yang harus disalurkan dalam OP lebih besar dibandingkan di daerah surplus; waktu intervensi yang efektif untuk OP adalah waktu paceklik dan Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) yaitu sekitar bulan Desember dan Januari dan bulan Juni – Agustus; yang harus diperbaiki dalam pelaksanaan OP Beras waktu dan kuantitas beras yang disalurkan. Kata kunci: operasipasar, beras, importance-performance analysis
ABSTRACT EFFECTIVITY ANALYSIS OF RICE MARKET OPERATION Rice Market Operation policy have been conducting since long time ago which aims to stabilize rice price in retail level. Rice price stabilization in Indonesia is essential because rice is one of staple food and its expenditure share is relatively larger than other needs. The objective of study is to evaluate rice market operation (in terms of volume, timing, quality, operator, etc.). The finding of study show effectiveness of rice market operation shouldn’t occur in the time, needed one time ahead for gaining the rice stabilization impact; in terms of volume/quantity, the necessity of rice for market operation is different among regions/provinces. It isn’t only about production itself but also supply-demand condition, by all means, it is about deficit and surplus; implementation of rice market operation will be effective in festive season and around January and December. Another finding is timing and quality of rice in market operation need to be improved. Keywords: market operation, rice, importance-performance analysis
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................
i
ABSTRAK ..............................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...........................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ....................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................
1
1.1. LatarBelakang ......................................................................
1
1.2. Tujuan ..................................................................................
3
1.3. Keluaran ...............................................................................
3
1.4. RuangLingkup ......................................................................
3
1.5. SistematikaLaporan ..............................................................
3
BAB II TINJAUAN LITERATUR ............................................................
5
2.1. Prosedur Pelaksanaan Operasi Pasar Beras .......................
5
2.2. Pengendalian Harga Bahan Pangan Pokok di Negara Lain .
7
2.3. Pengendalian Harga di Indonesia ........................................ 10 2.4. Produksi Padi/Beras ............................................................. 11 2.5. Konsumsi Beras ................................................................... 11 2.6. Proyeksi Konsumsi Beras..................................................... 12 2.7. Proyeksi Produksi/Penawaran.............................................. 12 2.8. Tinjauan Kebijakan Ketahanan Pangan Terkait Dengan Beras .................................................................................... 13
BAB III METODOLOGI .......................................................................... 18 3.1. Metode Analisis .................................................................... 18 3.2. Data dan Sumber Data ......................................................... 24 3.3. Kerangka Berfikir .................................................................. 24
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
iii
BAB IV PENGARUH OPERASI PASAR BERAS TERHADAP HARGA BERAS ECERAN DAN IMPORTANCE-PERFORMANCE ANALYSIS .................................................................................. 26 4.1. Volume Operasi Pasar ......................................................... 26 4.2. Waktu Operasi Pasar ........................................................... 35 4.3. Importance-Performance Analysis Berdasarkan Penilaian Pedagang Beras dan Konsumen .......................................... 37
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ................. 41 5.1. Kesimpulan........................................................................... 41 5.2. Rekomendasi Kebijakan ....................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Proyeksi Konsumsi Beras, 2015-2050 (ton) ........................... 12 Tabel 2.2 Proyeksi Produksi Beras, 2015-2050 (ton)............................. 13 Tabel 2.3 Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Beras, 2013-2050 (ton)..... 13 Tabel 3.1 Indikator OP Beras ................................................................ 22 Tabel 4.1. Hasil Estimasi Ordinary-Least Square (OLS) Untuk Model Pengaruh OP Beras dan Faktor Lainnya Terhadap Pergerakan Rata-Rata Harga Beras di Tingkat Eceran ........ 26
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Model Evaluasi Berdasarkan Tingkat Kinerja.................... 20 Gambar 3.2. Kerangka Berpikir.............................................................. 25 Gambar 4.1. Ilustrasi Hubungan OP dengan Pergerakan Rata-Rata Harga Beras di Tingkat Eceran ......................................... 27 Gambar 4.2. Pergerakan Rata-Rata Harga Beras di Tingkat Eceran dan Perkembangan OP Beras .......................................... 28 Gambar 4.3. Hubungan Antara Pertumbuhan Harga dengan Volume OP Beras DKI Jakarta....................................................... 29 Gambar 4.4. Pergerakan Harga Beras di Tingkat Eceran DKI Jakarta dan Harga Beras di PIBC.................................................. 30 Gambar 4.5. Hubungan Antara Pertumbuhan Harga dengan Volume OP Beras Jawa Barat ....................................................... 31 Gambar 4.6. Hubungan Antara Pertumbuhan Harga dengan Volume OP Beras Sumatera Utara ................................................ 32 Gambar 4.7. Hubungan Antara Pertumbuhan Harga dengan Volume OP Beras Sulawesi Utara ................................................. 32 Gambar 4.8. Hubungan Antara Pertumbuhan Harga dengan Volume OP Beras Aceh ................................................................. 33 Gambar 4.9. Hubungan Antara Pertumbuhan Harga dengan Volume OP Beras Maluku .............................................................. 34 Gambar 4.10. Perubahan Rata-Rata Harga Beras Eceran dalam Lingkup Nasional ............................................................ 35 Gambar 4.11. Perubahan Rata-Rata Harga Beras Eceran di Beberapa Propinsi .......................................................... 36 Gambar 4.12. Diagram Kartesius Importance-Performance Analysis .... 38
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Uji Multikolinearitas Model OP Beras ................................. 44 Lampiran 2. Uji Autokorelasi Model OP Beras ....................................... 45 Lampiran 3. Uji Heteroskedastisitas Model OP Beras ........................... 46 Lampiran 4. Uji Stasioner Terhadap Variabel Yang Digunakan dalam Model OP Beras ................................................................ 47 Lampiran 5. Uji Stasioner Terhadap Variabel Yang Digunakan dalam Model OP Beras Dengan Menggunakan Visualisasi Grafis 48 Lampiran 6. Model OP Beras ................................................................. 49
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sebesar
40%
pengeluaran
masayarakat
untuk
kebutuhan
pangannya digunakan untuk mengkonsumsi beras. Jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan kebutuhan pangan yang lain seperti terigu, gula, kedelai, jagung dan lain-lain. Oleh karena itu, perhatian yang cukup besar dari pemerintah untuk beras cukup memiliki dasar yang kuat. Berbagai kebijakan pemerintah yang diberlakukan untuk beras, baik itu di sisi hulu maupun hilirnya. Dari sisi hulu, terdapat banyak kebijakan yang pada prinsipnya adalah agar petani padi dapat meningkatkan produktivitas, salah satu kebijakannya adalah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras, subsidi bunga kredit untuk ketahanan pangan dan energi, subsidi pupuk, bantuan bibit, bantuan alsintan dan lain-lain. Dari sisi hilir, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pada prinsipnya adalah untuk menjaga daya beli masyarakat dan menjaga ketersediaan diantaranya melalui kebijakan sistem resi gudang sehingga harga beras stabil yang tidak saja menguntungkan petani, tetapi juga konsumen. Selain itu pemerintah mengeluarkan kebijakan Raskin dan kebijakan Operasi Pasar (OP) Beras. Dalam kerangka analisis ini, akan difokuskan pada OP Beras karena: (i) kebijakan ini sudah lama dijalankan; (ii) sumber daya untuk melaksanakan kebijakan ini sangat besar; (iii) meski sudah dijalankan sejak lama tetapi belum ada evaluasinya. Kebijakan OP terkait dengan kenaikan harga beras di tingkat eceran pada waktu-waktu tertentu. Pada mulanya, ada bentuk intervensi lain yang digunakan seperti pada awal tahun 2000an, Bulog pernah melakukan uji coba program yang mirip dengan food stamp yaitu program
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
1
Warung Catu di sejumlah propinsi di Sumatera. Raskin disalurkan melalui Warung Catu itu, dan penduduk miskin dapat menebus beras sesuai dengan kebutuhannya. Kesulitannya adalah mencari warung yang bersedia untuk melakukannya. Bersedia dalam arti ada insentif menarik serta
dapat
menutupi
resiko
terburuk,
misalnya
terjadi
pencurian/kebakaran dsb. Warung umumnya kecil-kecil dan tidak punya gudang yang cukup baik, sehingga berisiko kerusakan beras. Demikian juga, manakala kelompok sasaran tidak dapat menukar kupon dengan pangan atau beras, mungkin karena retailer itu telah kehabisan stok, dan itu dapat menimbulkan kemarahan kelompok miskin, apalagi kalau warung itu dikeliling oleh banyak orang miskin sasaran program. Terkait dengan berbagai opsi kebijakan, banyak cara yang dapat dilakukan untuk intervensi pasar, tetapi tergantung pada penguasaan stok oleh pemerintah, kekuatan/struktur pasar komoditas, perbedaan harga dalam negeri dengan luar negeri, pajak ekspor, bea masuk, dan kuota impor/ekspor. Untuk beras, setelah dipahami faktor yang menentukan instabilitas harga beras dan telah memenuhi syarat untuk intervensi, maka dicarilah sumber-sumber instabilitas itu. Jika suplai beras dalam negeri berkurang dari kebutuhannya, maka harga eceran beras akan naik di berbagai pasar beras di tanah air (45 kota yang harganya dipantau oleh BPS). Selain itu, perlu diperhatikan pula pemasukan beras (juga sumber pasokan beras)
ke Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC),
serta
penyalurannya. Tolok ukur yang dipakai adalah bila pemasokan beras ke PIBC kurang dari 2.000 ton/hari (tidak termasuk hari kerja) dan berlangsung lama (seminggu, paling lama-dua minggu), maka itu suatu pertanda suplai beras berkurang. Cara untuk mengatasinya adalah menambah suplai beras ke pasar melalui OP Beras. Sumber suplai dapat diperoleh dari cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Bulog. Berdasarkan penjelasan di atas, maka kebijakan yang telah dijalankan perlu untuk dievaluasi agar kebijakan OP Beras dapat dijalankan lebih efektif dengan menggunakan sumber daya yang tepat.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
2
1.2.
Tujuan Analisis
a. Menganalisis pengaruh OP Beras terhadap harga beras di tingkat eceran b. Menganalisis
efektifitas
OP
Beras
berdasarkan
persepsi
dari
masyarakat c.
Merumuskan rekomendasi kebijakan untuk mengefektifkan OP Beras
1.3.
Keluaran Analisis
a. Estimasi pengaruh OP Beras terhadap harga beras di tingkat eceran b. Gambaran mengenai efektifitas OP Beras berdasarkan persepsi dari masyarakat c.
Rekomendasi kebijakan untuk mengefektifkan OP Beras
1.4.
Ruang Lingkup Analisis Analisis ini mencakup beberapa aspek, yaitu:
a. Aspek kuantitatif. Pada aspek ini akan dianalisis mengenai dampak dari besarnya volume beras yang disalurkan dalam OP terhadap harga beras di tingkat eceran. Oleh karena itu, lingkupnya menjadi dua, yaitu pada lingkup nasional dan lingkup beberapa provinsi. Idealnya, lingkup yang paling baik adalah pada lingkup kabupaten, namun karena keterbatasan ketersediaan data pada level kabupaten maka diputuskan lingkupnya pada level nasional dan kabupaten. b. Aspek partisipatif. Aspek ini untuk mendapatkan gambaran persepsi masyarakat terhadap eketifitas OP Beras. Adapun informasi yang akan dihimpun meliputi persepsi mengenai tingkat kepentingan beberapa variabel/indikator yang menetukan efektivitas OP Beras dan mengenai tingkat kinerja dari setiap variabel/indikator pelaksanaan OP Beras.
1.5.
Sistematika Laporan Laporan analisis akan disusun dalam 5 (lima) Bab, yaitu:
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
3
a. Bab Pendahuluan. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, tujuan dan keluaran analisis yang diharapkan. b. Bab Tinjauan Literatur. Pada bab ini akan disampaikan bagaimana keragaan pasar beras di Indonesia, prosedur pelaksanaan OP dan mengulas sedikit bagaimana intervensi pasar kebutuhan pokok di negara lain. c. Bab Metodologi. Pada bab ini dijelaskan mengenai kerangka berpikir analisis ini, metode yang digunakan sehingga tujuan dari analisis dapat tercapai. d. Bab Pembahasan. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai seberapa besar pengaruh OP Beras terhadap penurunan harga beras di tingkat eceran dan bagaimana persepsi masyarakat terhadap OP Beras untuk mengukur apakah sudah efektif atau belum. e. Bab
Kesimpulan
dan
Rekomendasi
Kebijakan.
Pada
bab
ini
disampaikan kesimpulan dari hasil pembahasan dan rekomendasi kebijakan yang dapat disampaikan kepada pengambil keputusan sebagai pertimbangan agar OP Beras lebih efektif.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
4
BAB II TINJAUAN LITERATUR
2.1. Prosedur Pelaksanaan Operasi Pasar Beras Operasi Pasar (OP) Beras diawali dengan Menteri Perdagangan menerima
permohonan
dari
Pemerintah
Daerah/Gubernur
untuk
pelaksanaan OP beras di masing masing daerah yang selanjutnya akan didisposisikan kepada Dirjen PDN. Dalam kondisi tertentu, dengan memperhatikan kondisi kenaikan harga di daerah, Menteri Perdagangan bisa langsung menugaskan Ditjen PDN cq. Dit. Bapokstra untuk menyusun konsep surat instruksi Menteri Perdagangan tentang OP Beras. Jika Menteri Perdagangan tidak menugaskan untuk langsung menyusun konsep surat Instruksi OP Beras, Dit. Bapokstra menganalisa permohonan Pemerintah Daerah/Gubernur tersebut dengan melihat faktor-faktor pemicu (harga dan ketersediaan) sebagai dasar untuk melaksanakan OP. Selanjutnya Dit. Bapokstra melaporkan hasil analisa terhadap permohonan pelaksanaan OP beras kepada Dirjen PDN untuk mendapat persetujuan dari Menteri Perdagangan dan selanjutnya dibahas dalam Rapat Tim Stabilisasi Pangan Pokok. Disisi lain, Bulog selaku pemegang stok beras memonitor cadangan beras pemerintah (CBP) yang dimilikinya sebagai persiapan pelaksanaan OP beras. Berdasarkan hasil rapat, Tim Stabilisasi Bahan Pangan Pokok, memberikan rekomendasi untuk melakukan OP atau menetapkan impor bahan kebutuhan pokok kepada Menteri Perdagangan cq. Dirjen PDN. Menteri Perdagangan memberikan disposisi kepada Dirjen PDN cq. Direktur Bapokstra untuk menyiapkan konsep surat OP serta mempersiapkan data pendukung dan melakukan koordinasi dengan pihak terkait. Menteri Perdagangan menandatangani surat instruksi OP beras yang yang ditujukan kepada Direktur Utama Bulog.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
5
Kantor pusat Bulog cq. Divisi Penyaluran menerima instruksi OP Beras dari Kementerian Perdagangan dan selanjutnya instruksi tersebut diteruskan ke Divre sebagai dasar pelaksanaan OP Beras di tingkat Divre/Subdivre/Kansilog.
Berdasarkan
Instruksi
OP
Beras
dari
Kementerian Perdagangan, Divre/Subdivre/Kansilog melaksanakan OP Beras sesuai perintah Kantor Pusat cq. Divisi Penyaluran. Jika lebih rincinya, prosedurnya adalah sebagai berikut: 1. Menteri
Perdagangan
menerima
permohonan/permintaan
dari
Pemerintah Daerah/Gubernur untuk melaksanakan OP Beras di masing masing daerah. 2. Menteri Perdagangan memberikan disposisi kepada Dirjen PDN mengenai permintaan OP beras dari Gubernur/Pemerintah Daerah. Dalam kondisi tertentu, dengan memperhatikan kondisi kenaikan harga di daerah, Menteri Perdagangan menugaskan Ditjen PDN cq. Dit. Bapokstra
untuk
menyusun
konsep
surat
instruksi
Menteri
Perdagangan tentang OP Beras. 3. Jika Pimpinan Kementerian Perdagangan tidak menugaskan untuk menyusun
konsep
surat
Instruksi
OP
Beras,
Dit.
Bapokstra
menganalisa permintaan Pemerintah Daerah, dengan melihat faktorfaktor pemicu (harga dan ketersediaan) sebagai dasar untuk melaksanakan OP 4. Dit. Bapokstra melaporkan hasil analisa terhadap permohonan pelaksanaan
OP
beras
kepada
Dirjen
PDN
untuk
mendapat
persetujuan dari Menteri Perdagangan dan selanjutnya dibahas dalam Rapat Tim Stabilisasi Pangan Pokok. 5. Bulog memonitor cadangan beras pemerintah (CBP) yang dimilikinya sebagai persiapan pelaksanaan OP beras. 6. Berdasarkan hasil rapat, Tim Stabilisasi Bahan Pangan Pokok, memberikan rekomendasi untuk melakukan OP atau menetapkan impor bahan kebutuhan pokok kepada Menteri Perdagangan cq. Dirjen PDN.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
6
7. Menteri memberikan disposisi kepada Dirjen PDN cq. Direktur Bapokstra untuk menyiapkan konsep surat OP serta mempersiapkan data pendukung dan melakukan koordinasi dengan pihak terkait. 8. Menteri Perdagangan menandatangani surat instruksi OP beras yang ditujukan kepada Direktur Utama BULOG 9. Kantor pusat cq. Divisi Penyaluran menerima instruksi OP Beras dari Kementerian
Perdagangan
untuk
selanjutnya
instruksi
tersebut
diteruskan ke Divre sebagai dasar pelaksanaan OP Beras di tingkat Divre/Subdivre/Kansilog. 10. Berdasarkan Instruksi OP Beras dari Kementerian Perdagangan, Divre/Subdivre/Kansilog melaksanakan OP Beras sesuai perintah Kantor Pusat cq. Divisi Penyaluran.
2.2.
Pengendalian Harga Bahan Pangan Pokok di Negara Lain Pangan merupakan komoditi penting bagi semua Negara. Oleh
karena itu pemerintahan di hampir semua negara memiliki regulasi untuk melakukan intervensi pada harga komoditi pangan yang dianggap mempengaruhi kesejahteraan ekonomi maupun sosial masyarakat di negara tersebut. Kebijakan tersebut dilakukan dalam rangka stabilisasi harga baik di tingkat produsen atau di tingkat konsumen. Kebijakan harga di beberapa negara yang dibahas dalam Bab ini dilihat dari lima hal yaitu (i) jenis kebijakan, (ii) lembaga pelaksana, (iii) mekanisme pelaksanaan, (iv) komoditi yang diatur, dan (v) pelanggaran dan sanksi. Pengaturan harga di Malaysia diatur dalam kebijakan setara Undang-Undang yaitu Price Control Act nomor 121 tahun 1946 yang kemudian diganti oleh Price Control and Anti-Profiteering Act (PCPA) Nomor 723 tahun 2011 yang mulai berlaku 1 April tahun 2011. Beberapa perbaikan pada regulasi yang baru diantaranya memberikan ewenang kepada pemerintah untuk menentukan harga barang dan jasa; pelarangan
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
7
pencatutan;
memastikan
masyarakat
tidak
terbebani
oleh
shock
peningkatan harga; dan melindungi kepentingan konsumen. Substansi utama yang diatur dalam PCPA adalah kontrol harga (price control) dan anti-pencatutan (anti-profiteering). Pengaturan harga terdiri dari dua skema yaitu skema price control dan skema festive price control. Gula dan masker kesehatan merupakan dua produk yang diatur dalam skema price control. Dalam skema ini, harga maksimal di tingkat pengecer untuk gula dan masker ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku sepanjang tahun. Pelaksanaan ketentuan ini diawasi oleh pemerintah dan pelanggarnya akan dikenakan sanksi. Skema festive price control adala skema kontrol harga yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu pada perayaan hari besar agama. Tujuannya adalah untuk mengendalikan peningkatan harga selama periode hari raya untuk barang-barang penting pada hari raya tersebut dan
mengendalikan
potensi
kenaikan
harga
karena
peningkatan
permintaan. Pemerintah Malaysia menetapkan hari raya keagamaan dalam skema ini yaitu hari raya Puasa, tahun baru China, Deepavali, Natal, Kaamatan (Sabah), dan Gawai (Sarawak). Komoditi yang diawasi antara lain ayam, daging lokal (sapi/ kambing/ babi), telur ayam, kubis bulat import, tomat, cabai merah, kelapa bijji/ parut, bawang merah, bawang putih, kentang, kacang, ikan kembung, ikan bawal putih, udang putih besar. Mekanisme skema festive price control diawali dengan penentuan komoditi yang akan diatur dan besaran harga yang akan ditetapkan berdasarkan masukan dari pemerintah daerah, produsen, pedagang dan stakeholder lain. Tiap wilayah dapat mengajukan tingkat harga yang berbeda disesuaikan dengan kondisi setempat. Setelah ditetapkan oleh Menteri Perdagangan, daftar komoditi yang diawasi akan disebarluaskan melalui media masa, minimal satu bulan sebelum pelaksanaan. Skema ini umumnya berlaku selama 9 sampai 12 hari sebelum dan sesudah hari raya.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
8
Di negara lainnya, yaitu di Filipina pengaturan harga didasarkan pada regulasi setara Undang-Undang yaitu Price Act Nomor. 7581 tahun 1992. Harga Kebutuhan Pokok di Filipina diatur dalam bentuk Undang – Undang, Republic Act No. 7581 atau lebih kenal sebagai The Price Act tahun 1992. Instansi yang bertanggung jawab dalam menerapkan kebijakan
tersebut
adalah
Departemen
Pertanian,
Departemen
Kesehatan, Departemen Lingkungan dan Sumberdaya, Kepolisian dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang selanjutnya disebut lembaga
pelaksana
(Implementing
Agencies).
Untuk
mendukung
Implementing Agencies, kepala negara membentuk Price Coordinating Council yang terdiri dari Departemen Perdagangan dan Industri serta instansi teknis terkait. Pada saat terjadi gejolak harga akibat gangguan bencana, ancaman yang menimbulkan bahaya, tindakan manipulasi harga, dan kejadian yang menyebabkan harga kebutuhan pokok naik dalam batasan yang tidak wajar, pemerintah melakukan penetapan harga atap (ceiling price). Dalam kondisi khusus, yaitu daerah mengalami bencana, keadaan darurat,
daerah
perlawanan,
sengketa
daerah
hukum,
dalam
daerah
kondisi
wilayah
perang
pemberontak/
pemerintah
akan
memberlakukan harga secara sepihak (automatic price control). Negara lainnya yang melakukan pengendalian harga adalah Thailand. Thailand merupakan salah satu negara yang menerapkan kebijakan dan mekanisme dalam rangka stabilisasi harga domestik. Kebijakan tersebut didukung oleh Undang-Undang Price of Goods and Services Act B.E. 2542 tahun 1999. Lembaga pelaksana dalam mekanisme pemantauan harga adalah Central Commission on Prices of Goods and Services (CCP) untuk tingkat nasional dan Provincial Commission on Prices of Goods and Services (PCP) untuk tingkat propinsi. CCP diketuai oleh Menteri Perdagangan sedangkan anggota komisi terdiri dari 4 sampai 8 orang yang ditunjuk dimana setengahnya
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
9
merupakan pihak swasta. Komisi inilah yang menentukan barang atau jasa apa saja yang dikontrol dan diawasi serta menentukan harga eceran untuk komoditi-komoditi tertentu. Sedangkan PCP diketuai oleh Gubernur setempat dimana terdapat komisi yang terdiri dari 5 sampai 9 orang pakar yang ditunjuk dimana sepertiganya berasal dari pihak swasta. Komisi ini mengusulkan barang atau jasa yang dianggap perlu untuk dikontrol dan diawasi serta menetapkan harga eceran regional untuk komoditi tertentu. Pada tahun 2015 ditetapkan sebanyak 40 barang dan 3 jasa yang dikontrol. Selain 40 jenis barang yang dikontrol, terdapat 205 barang lain yang diawasi. Barang yang masuk dalam daftar yang dikontrol dan diawasi dibagi ke dalam 3 kelompok yaitu sensitive list adalah barang yang dipantau setiap hari; priority watch list adalah barang yang dipantau dua kali dalam satu minggu; dan watch list adalah barang yang dipantau dua kali setiap bulannya. Dari kesemua jenis barang tersebut hanya dua komoditi yang ditentukan harga ecerannya yaitu gula dan daging babi. Sedangkan untuk barang yang lain yang dilakukan adalah pengawasan harga dan pasokan.
2.3.
Pengendalian Harga di Indonesia Pengendalian harga beras dilakukan bukan hanya sebagai bagian
upaya pengendalian inflasi, namun juga merupakan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat terutama masyarakat berpendapatan rendah untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam pengendalian harga beras adalah dari sisi penawaran yaitu dengan menambah pasokan melalui operasi pasar (OP) beras. Di Jakarta, operasi pasar dilakukan melalui pasar grosir dan eceran untuk mempercepat laju penurunan harga. Dalam kondisi normal, operasi pasar biasanya dilakukan pada saat paceklik, pada saat harga beras melambung tinggi karena panen
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
10
berkurang. Dengan stok yang cukup besar yang dimiliki Perum BULOG, pelaksanaan operasi pasar dengan “mengguyur” pasar relatif cukup efektif mengendalikan harga beras dan membantu pengendalian inflasi. Harga beras di pasar dipengaruhi dan mempengaruhi variabel lainnya. Harga beras sangat ditentukan oleh produksi dan konsumsi masyarakat. Sedangkan produksi dipengaruhi secara positif oleh luas panen dan harga beras. Data areal panen setiap tahunnya relatif tetap dengan kecenderungan meningkat.
Luas panen ini akan sangat
berpengaruh terhadap produksi. Kenaikan harga gabah dan beras akan menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi padi.
2.4.
Produksi Padi/Beras Selama beberapa tahun terakhir, penawaran/produksi beras,
mengalami laju pertumbuhan yang bervariasi dan cenderung meningkat rata-rata per tahun sebesar 2,62 persen. Sumber pertumbuhan produksi adalah pertumbuhan luas areal panen dan pertumbuhan produktivitas, yaitu masing-masing 1,48 persen dan pertumbuhan produktivitasnya sebesar 1,12 persen. Pertumbuhan produksi dengan laju petrumbuhan sebesar 2,62%. Meski sumber yang menyebabkan
petrumbuhan
beras
meningkat,
namun
dari
sisi
produktivitas peningkatannya masih relatif, yaitu 1,12 persen/tahun. Pertumbuhan produktivitas yang lambat pada padi menunjukkan bahwa inovasi teknologi budidaya tanaman tersebut sudah mendekati jenuh.
2.5.
Konsumsi Beras Permintaan/konsumsi beras mengalami laju pertumbuhan yang
cepat selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2009-2013), yaitu masingmasing 3,58 persen. Hal ini mengindikasikan pertumbuhan yang cepat dari industri pengolahan makanan, minuman, dan lain-lain, yang menggunakan komoditas tersebut sebagai bahan baku atau bahan
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
11
penolong, antara lain: Industri tepung beras. Permintaan akan produkproduk olahan makanan dan minuman merupakan
akibat dari
meningkatnya pendapatan masyarakat, perubahan selera dan makin pentingnya makanan dan minuman yang lebih mudah disiapkan untuk konsumsi (cepat saji).
2.6.
Proyeksi Konsumsi Beras Permintaan total beras akan meningkat terus dari tahun 2015
sampai 2050, baik dengan Skenario I (pesimis), II (moderat) maupun III (optimis). Dalam hal ini, total konsumsi pada Skenario I adalah yang paling tinggi, sedangkan pada Skenario III adalah yang paling rendah.
Tabel 2.4. Proyeksi Konsumsi Beras, 2015-2050 (ton) Tahun 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
2.7.
I 44.387.271 44.692.221 44.999.696 45.309.719 45.622.315 45.937.507 46.255.319 46.575.776
Skenario II 44.300.801 44.511.469 44.716.305 44.915.302 45.108.462 45.295.797 45.477.325 45.653.076
III 44.216.816 44.345.855 44.471.299 44.593.230 44.711.734 44.826.900 44.938.826 45.047.609
Proyeksi Produksi/Penawaran Produksi beras akan meningkat terus sampai dengan 2050, baik
dengan Skenario I, II maupun III. Dalam hal ini, total produksi pada Skenario I adalah yang paling rendah, sedangkan pada Skenario III adalah yang paling tinggi.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
12
Tabel 2.5. Proyeksi Produksi Beras, 2015-2050 (ton) Tahun 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I 45.080.575 47.856.595 51.041.159 54.692.075 58.877.885 63.679.949 69.195.000 75.538.266
Skenario II 45.203.844 48.139.144 51.527.571 55.436.176 59.945.047 65.149.950 71.165.599 78.129.671
III 45.329.128 48.432.086 52.039.603 56.229.025 61.093.483 66.745.211 73.319.669 80.980.671
Surplus produksi mulai diraih pada tahun 2015 yang diproyeksikan akan mencapai 693-1.113 ribu ton. Surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan tahun 2050 yang akan mencapai 28.962-35.933 ribu ton. Skenario
III
(optimis)
menghasilkan
surplus
beras
paling
besar,
sedangkan Skenario I (pesimis) paling kecil.
Tabel 2.6. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Beras, 2013-2050 (ton). Tahun 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
2.8.
I 693.303 3.164.374 6.041.463 9.382.356 13.255.570 17.742.442 22.939.680 28.962.490
Skenario II 903.043 3.627.675 6.811.266 10.520.874 14.836.584 19.854.153 25.688.273 32.476.595
III 1.112.311 4.086.231 7.568.304 11.635.795 16.381.749 21.918.311 28.380.843 35.933.062
Tinjauan Kebijakan Ketahanan Pangan Terkait Dengan Beras Terlepas dari relatif rendahnya tingkat kepentingan perdagangan
internasional beras, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, tujuan untuk meningkatkan
volume
perdagangan
internasional
beras
telah
mendominasi kebijakan perberasan di tingkat internasional dan nasional di banyak negara. Di Indonesia, misalnya sejak tahun 1967 berbagai
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
13
kebijakan beras telah diimplementasikan. Kebijakan tersebut
dapat
dikelompokkan menjadi tiga fase. Fase
pertama
(1967-1996):
Pada
fase
ini,
pemerintah
mengendalikan pasar beras di dalam negeri dengan melakukan intervensi pasar dalam rangka mendorong produksi padi dan menjaga stabilitas harga. Intervensi dilakukan dengan cara mengelola persediaan beras nasional melalui BULOG (Badan Usaha Logistik), yaitu lembaga pemerintah yang bertanggungjawab mengelola logistik. Pada saat itu impor diatur secara ketat melalui kebijakan pengendalian impor dan tarif dengan tujuan untuk menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi nasional. Pada tahun 1984, Indonesia mencapai swasembada pangan dan pada tahun 1985-1987 menjadi pengekspor beras. Setelah masa tersebut Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras. Selanjutnya,
pada
tahun
1995
Indonesia
menjadi
anggota
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation – WTO) dan mulai menerapkan Agreement on Agriculture (AoA) atau Perjanjian Pertanian dalam WTO yang meminta pemerintah Indonesia membuka pasar terhadap produk dari negara-negara lain, menurunkan dan akhirnya menghapuskan subsidi input pertanian seperti pupuk, pestisida dan bibit. Lebih jauh, batas harga beras ditetapkan sebesar 160 persen dari harga impor c.i.f dan berdasarkan jadwal AoA Indonesia harus membuka akses masuknya beras dengan kuota minimal 70.000 ton per tahun. Dengan kuota tersebut, tingkat tarif preferensi (preferential tariff) ditetapkan maksimum 90 persen. Indonesia kemudian berkomitmen menurunkan subsidi ekspor yang telah dilakukan selama tahun 1986-1990. Subsidi tersebut menghasilkan total ekspor 300.000 ton beras per tahun dengan nilai subsidi US$ 28.000.000 per tahun. Sejak AoA diberlakukan, Indonesia berhenti mengekspor beras dan berbalik menjadi pengimpor. Sejak tahun 1995 Indonesia membuka pasar dalam negeri yang melebihi ketentuan WTO. Pada tahun 1995-1997, tidak ada pengenaan tarif impor, dan kuota impor diterapkan fleksibel dan
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
14
mengundang masuknya 3,1 juta ton beras impor pada tahun 1995, 1 juta ton pada tahun 1996 dan 400 ribu ton pada tahun 1997. Keseluruhan impor tersebut membuat Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia selama tahun 1995-1997. Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat adalah pemasok utama beras impor Indonesia selama periode tersebut. Fase kedua (1997-2000): Pada fase ini, pemerintah Indonesia meliberalkan
pasar
berasnya,
memprivatisasikan
BULOG
dan
menghapuskan hambatan perdagangan. Semua ini dilakukan oleh pemerintah atas desakan World Bank dan IMF yang memaksa pemerintah menandatangani surat perjanjian (Letter of Intent - LOI) sebagai usaha untuk keluar dari dampak krisis ekonomi Asia. Selama kurun waktu tersebut swasembada pangan Indonesia menurun, ketergantungan terhadap beras impor meningkat, dan harga di tingkat konsumen dan produsen beras menjadi tidak stabil. Pada periode ini terjadi lonjakan volume impor beras yang sangat tajam yaitu dari 911 ribu ton pada periode 1996-1997 menjadi 3,8 juta ton pada 1998-1999. Pemerintah tidak mampu menahan serbuan impor ini akibat kebijakan liberalisasi perdagangan ditambah nilai tukar sudah relatif stabil (setelah tahun 1998) sehingga harga beras juga menurun drastis (Sawit et al, 2007). Pada tahun 1997, penerapan AoA bertumpang-tindih dengan kebijakan penyesuaian struktural IMF dan World Bank yang melampaui ketetapan WTO. Pada tahun yang sama Indonesia dan negara-negara Asia lain mengalami krisis ekonomi yang parah. Dalam konteks tersebut pemerintah menghapuskan atau menurunkan dalam jumlah besar semua subsidi pertanian, termasuk subsidi input yang sebelumnya berperan penting di dalam pengembangan sektor pertanian di Indonesia. Kebijakan penetapan harga beras di pasar dalam negeri dihentikan dan BULOG kehilangan hak monopoli impor. Tarif impor menjadi nol persen dan impor dalam jumlah tak terbatas mengalir antara tahun 1998 dan 1999.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
15
Fase ketiga (sejak 2001):
Secara bertahap pemerintah kembali
melakukan pengendalian pasar beras di dalam negeri namun dengan berbagai modifikasi dibandingkan masa sebelum liberalisasi di tahun 1997. Kebijakan ini diambil karena dampak negatif liberalisasi pasar terhadap harga di tingkat produsen dan konsumen beras. Kebijakan terdahulu yaitu harga dasar gabah telah diganti dengan harga pembelian pemerintah (HPP) dengan batas harga atas yang ternyata tidak efektif. Kebijakan menerapkan tarif spesifik yang bertujuan untuk melindungi petani dan mengatur pengelolaan impor beras tidak berjalan efektif (Sawit et
al,
2007).
Kebijakan
perdagangan
tersebut
bertujuan
khusus
menstabilkan harga gabah di dalam negeri melalui pelarangan impor berkala dan mengatur persediaan beras melalui privatisasi Bulog. Akhirakhir ini, tarif impor yang dikenakan terhadap impor beras adalah Rp 400/kg sebagai bentuk proteksi. Untuk memberikan insentif bagi petani produsen, pemerintah Indonesia setiap tahun menetapkan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) untuk Gabah dan Beras, dan HPP (Harga Patokan Petani) untuk Gula Kristal Putih (GKP). Faktor-faktor yang dipertimbangkan di dalam penentuan HPP tersebut adalah rata-rata biaya produksi per kg hasil (gabah, beras, gula), marjin petani produsen, daya beli masyarakat konsumen, dan potensi dampaknya terhadap inflasi. Untuk menjamin efektifitas
kebijakan
HPP
gabah,
BULOG
diberi
tugas
untuk
mengamankan kebijakan tersebut melalui pembelian gabah pada musim panen raya dimana harga produsen biasanya turun. Untuk merangsang petani menerapkan teknologi produksi yang lebih baik dalam upaya peningkatan produktivitas, pemerintah juga memberikan subsidi harga input, yaitu pupuk anorganik (Urea, ZA, SP36, NPK) dan pupuk organik melalui penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) di tingkat pengecer resmi pupuk bersubsidi dan benih unggul (padi, jagung, kedelai) melalui penetapan Harga Penyerahan di tingkat pengecer benih bersubsidi resmi. Peningkatan produktivitas diharapkan mempunyai
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
16
kontribusi yang signifikan di dalam peningkatan produksi nasional di tengah-tengah ketersediaan lahan untuk pertanian yang makin terbatas untuk perluasan areal karena konversi lahan pertanian subur untuk keperluan
non-pertanian
(jalan
raya,
permukiman,
perkantoran,
perhotelan, pabrik, dan lain lain). Salah satu sisi penyebab belum tercapainya atau terancamnya swasembada pangan adalah jumlah konsumsi yang terus meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan jumlah penduduk yang masih cukup cepat dan pertumbuhan pendapatan per kapita yang mencerminkan meningkatnya dayabeli masyarakat konsumen. Untuk memperlambat laju pertumbuhan konsumsi, beberapa upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, yaitu: (1) Penurunan laju pertumbuhan jumlah peduduk melalui program Keluarga Berencana dengan moto Keluarga Kecil Sehat dan Sejahtera; (2) Diversifikasi pangan beras dengan komoditas-komoditas pangan lokal lainnya (jagung, ubi-ubian, sagu, dan lain-lain); (3) Program “One Day No Rice” yang di beberapa daerah sudah dilaksanakan; dan (4) Sosialisasi tentang pangan yang sehat, bergizi dan aman.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
17
BAB III METODOLOGI
3.1.
Metode Analisis Sebagaimana tujuan dari analsis ini, yaitu pertama: menghitung
volume beras yang harus disalurkan dan menentukan waktu OP Beras agar pelaksanaan OP berjalan efektif; kedua: mengetahui efektifitas OP Beras yang dilihat dari kesenjangan (gap) antara tingkat kepentingan dengan tingkat kinerja OP Beras; dan ketiga: merumuskan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan OP Beras, maka ada tiga pendekatan yang akan dilakukan, yaitu Importance-Performance Analysis (IPA), analisis ekonometrika runtun waktu, dan sintesa hasil analisis IPA dan ekonometrika untuk merumuskan rekomendasi kebijakan. 1. Importance-Performance Analysis (IPA) Importance Performance Analysis (IPA) biasanya digunakan untuk mengukur hubungan antara persepsi konsumen dan prioritas peningkatan kualitas program dikenal pula sebagai quadrant analysis (Brandt, 2000 dan Latu & Everett, 2000). IPA telah diterima secara umum dan dipergunakan pada berbagai bidang kajian karena kemudahan untuk diterapkan dan tampilan hasil analisa yang memudahkan usulan perbaikan kinerja (Martinez, 2003). IPA mempunyai fungsi utama untuk menampilkan informasi berkaitan
dengan
indikator-indikator
program
yang
menurut
stakeholder sangat mempengaruhi kepuasannya. Disamping itu IPA juga
dapat
menampilkan
informasi
tentang
indikator-indikator
pelayanan yang menurut stakeholder perlu ditingkatkan karena kondisi saat ini belum memuaskan. Metode IPA dapat mengetahui sejauh mana tingkat kesesuaian, dilihat dari tingkat kinerja/pelaksanaan dan harapan/kepentingan
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
18
pelanggan terhadap mutu program. Dalam pelaksanaan OP Beras, tingkat kesesuaian dapat dilihat dari tingkat kinerja dan harapan pelaku terhadap kualitas program dengan menggunakan analisis tingkat kepentingan dan kinerja atau IPA (Supranto, 1988). Rumus IPA tersebut adalah :
Tki
Xi x100 % Yi
(3.1)
Dimana : Tki = Tingkat kesesuaian OP Beras Xi = Skor penilaian kinerja OP Beras Yi = Skor penilaian harapan stakeholder OP Beras Kriteria pengujian : - Tki < 100 % ; Program belum efektif - Tki >= 100 % ; Program telah efektif Tingkat
kesesuaian
adalah
hasil
perbandingan
skor
kinerja/pelaksanaan dengan skor kepentingan. Diagram Kartesius (4 kuadran/bagian) sangat diperlukan dalam penjabaran unsur-unsur tingkat kesesuaian kepentingan dan kinerja suatu program yang terdiri dari empat bagian dan dibatasi oleh dua garis yang berpotongan tegak lurus pada titik-titik (X,Y). Rumus yang digunakan untuk menjabarkan diagram Kartesius adalah: k
X
R
X
i
i 1
(3.2)
k k
Y
R
Y
i
i1
k
(3.3)
Keterangan: XR = Rataan skor tingkat kinerja seluruh variabel YR = Rataan skor tingkat kepentingan atau harapan seluruh variabel Xi = Skor tingkat kinerja variabel ke-i
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
19
Yi = Skor tingkat kepentingan atau harapan variabel ke-i k = Banyaknya variabel yang mempengaruhi efektifitas program
Nilai yang diperoleh merupakan nilai yang menentukan posisi keempat kuadran dalam diagram kartesius. Sedangkan rumus untuk menentukan posisi setiap variabel yang mempengaruhi kepuasan pelanggan dalam kuadran adalah: n
X X iR
i
i 1
(3.4)
n n
Y iR
Yi
i 1
(3.5)
n
Keterangan: XiR = Skor rataan tingkat kinerja variabel i YiR = Skor rataan tingkat harapan/kepentingan variabel i n = Jumlah responden
Untuk lebih jelasnya analisis yang dilakukan, maka Gambar 3.2 dapat dikembangkan menjadi Gambar ... berikut ini.
D
A
gap
E
I M P O R T A N C E
1
2 Prioritas Utama
Pertahankan prestasi YR
4
3 Sumberdaya Berlebihan
Prioritas Rendah
XR
Performance
Gambar 3.1. Model Evaluasi berdasarkan Tingkat Kinerja
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
20
Berikut prosedur berkaitan dengan penggunaan metode IPA: 1). Menentukan
indikator-indikator
yang
akan
dianalisa,
yaitu
indikator-indikator dari pelaksanaan OP Beras; 2). Melakukan inventarisasi persepsi dari stakeholder OP Beras; 3). Menghitung
nilai
rata-rata
tingkat
kepuasan
dan
prioritas
penanganan, yaitu XR , YR , XiR , dan YiR , 4). Membuat grafik IPA, 5). Melakukan evaluasi terhadap variabel sesuai dengan kuadran masing-masing secara deskriptif.
Untuk mengukur kepuasan stakeholder terhadap berbagai variabel yang berkaitan dengan OP Beras digunakan kuesioner dengan format pertanyaan disesuaikan dengan metode Importance Performance Analysis (IPA), yaitu dengan menggunakan skala likert untuk tingkat kepentingan dan tingkat kinerja secara terpisah.
Skala Likert Skala Likert ini untuk mengukur penilaian stakeholder atas indikator yang dipertanyakan. Setiap pertanyaan diberi jawaban tertutup, sebanyak lima pilihan. Skala likert digunakan yang digunakan untuk mengukur kinerja/performance dan tingkat kepentingan Program OP Beras yang bersangkutan adalah : score 1 = Sangat rendah; score 2 = rendah; score 3 = sedang; score 4 = tinggi; dan score 5 = sangat tinggi Adapun indikator-indikator yang akan dimasukkan dalam kuesioner dan ditanyakan ke responden ditampilkan pada Tabel 3.1 berikut ini.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
21
Tabel 3.1 Indikator OP Beras Indikator
Sub-Indikator
1. Waktu OP Beras
1. 2. 3. 4. 5.
2. Volume Beras Yang Disalurkan dalam OP
1. Sesuai dengan kenaikan harga beras 2. Beras disalurkan sebanyak-banyaknya
Konsumen Pedagang Beras Dinas Perindag Divre Bulog
3. Kualitas Beras Yang Disalurkan dalam OP
1. Sesuai dengan kesukaan konsumen 2. Sesuai dengan beras yang beredar di pasar 3. Sesuai dengan ketersediaan di Divre Bulog
Konsumen Pedagang Beras Dinas Perindag Divre Bulog
4. Pelaksana OP Beras
1. Disalurkan langsung oleh Divre Bulog 2. Disalurkan langsung oleh Dinas yang membidangi perdagangan 3. Disalurkan langsung oleh Pedagang yang ditunjuk oleh Divre Bulog/Dinas yang membidangi Perdagangan
Konsumen Pedagang Beras Dinas Perindag Divre Bulog
4. Tempat OP Beras
1. OP dilakukan di pasar tradisional 2. OP dilakukan di perkampungan, mendekati pemukiman konsumen 3. OP dilakukan di kantor
Konsumen Pedagang Beras Dinas Perindag Divre Bulog
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
OP Beras dilakukan pada musim paceklik OP Beras dilakukan pada musim gadu OP Beras dilakukan pada hari besar keagamaan OP Beras dilakukan ketika harga naik > 10% OP Beras dilakukan ketika harga naik lebih dari 3%
Sumber Data
22
Konsumen Pedagang Beras Dinas Perindag Divre Bulog
2. Ordinary Least Square (OLS) Dalam estimasi dengan menggunakan OLS, secara umum ada asumsi-asumsi dasar yang disebut dengan asumsi klasik dalam metode OLS (ordinary least squares) yang sangat sering dilanggar di dalam melakukan estimasi sebuah model regresi, sehingga parameter yang diperoleh menjadi menyimpang atau bias atau jauh dari harapan, tidak konsisten, dan tidak efisien. Apabila dalam analisis regresi tidak didasarkan pada analisis yang benar maka akan mengakibatkan hasil pedugaan regresi akan menyimpang dari harapan. Misalnya, apabila dalam peubah bebas Xi terjadinya kolinieritas ganda yang sempurna akan menyebabkan matriks X’X menjadi singular, sehingga tidak mempunyai determinan dan akibatnya koefisien regresi bi tidak dapat diduga. Untuk melakukan analisis regresi yang benar berdasarkan metode OLS, maka diperlukan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi di antaranya adalah: Asumsi pertama yaitu: nilai tengah (mean value) dari komponen pengganggu ui, yang ditimbulkan variabel eksplanatori atau variabel bebas X harus sama dengan nol; Asumsi kedua yaitu: varians dari komponen penggangu ui harus konstan atau harus memenuhi syarat homoskedastisitas atau setiap variabel bebas X mempunyai varians komponen penggangu ui harus sama;
Asumsi
ketiga yaitu: tidak terjadi autokorelasi antar komponen penggangu ui atau harus konstan atau tidak terjadi korelasi antar Xt dengan Xt+1 dan seterusnya. Asumsi keempat yaitu: tidak terjadi multikolinieritas antar variabel penjelas atau variabel bebas. Dengan asumsi tersebut di atas dapat diketahui bahwa estimator OLS dari koefisien regresi menjadi bersifat BLUE (Best Linier Unbias Estimator), dan atas dasar asumsi normalitas maka estimator– estimator tersebut akan menyebar
mengikuti
sebaran normal.
Sehingga, hasilnya memungkinkan untuk mendapatkan suatu kisaran
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
23
atau range yang dapat diuji kebenarannya terhadap koefisien regresi populasi. 3.2.
Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam analisis adalah: No. 1 2 3 4 5 6 7 8
3.3.
Jenis Data Sumber Data Harga Beras di tingkat eceran BPS Harga Beras di tingkat eceran per Ditjen PDN Propinsi Harga Beras di Pasar Induk Beras Ditjen PDN Cipinang (PIBC) Volume OP Beras Bulog Stok Beras di Pasar Induk Beras Ditjen PDN Cipinang (PIBC) Pasokan Beras di Pasar Induk Ditjen PDN Beras Cipinang (PIBC) Periode Panen, Gadu dan Paceklik Kementan Persepsi mengenai efektifitas OP Data Primer yang diperoleh Beras dilihat dari volume, mutu, dari Divre Bulog, Dinas tempat, dan waktu. Perindag, Pedagang Beras dan Konsumen
Kerangka Berpikir Operasi Pasar (OP) Beras merupakan program yang sudah
dijalankan cukup lama dengan tujuan untuk menjaga stabilitas harga beras di tingkat eceran. Stabilitas harga beras dinilai penting karena beras merupakan bahan pangan pokok dimana pangsa pengeluaran di RT untuk beras cukup besar, relatif dibanding pengeluaran untuk pangan yang lain. Dalam pelaksanaannya, OP Beras dijalankan dengan sistem yang sangat terkait dengan efektifitas dari volume beras yang disalurkan, mutu beras yang disalurkan, waktu pelaksanaan OP, tempat pelaksanaan OP dan pelaksana OP. Kelima hal tersebut memegang peran penting dalam efektifitas OP Beras. Aspek volume beras yang disalurkan sangat penting karena terkait dengan seberapa besar kekuatan beras yang dimiliki pemerintah untuk
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
24
mempengaruhi pasokan beras yang inelastis. Aspek mutu juga sangat penting karena terkait dengan kepentingan konsumen untuk mendapatkan beras yang baik, setidaknya sesuai dengan beras yang dikonsumsi seharihari. Aspek waktu juga penting karena terkait dengan pengalokasian sumber daya (dalam hal ini adalah beras) yang terbatas dimiliki oleh pemerintah. Pentingnya aspek tempat dan pelaksana OP Beras terkait dengan keterjaminan beras yang disalurkan langsung dinikmati oleh konsumen. Untuk mengukur volume dan waktu pelaksanaan OP dapat dianalisis dengan pendekatan kuantitatif yang dapat menggambarkan past performance dari respon harga ketika sejumlah beras disalurkan melalui OP serta dapat menggambarkan insiden-insiden kenaikan harga beras yang signifikan di tingkat eceran. Sedangkan untuk memahami bagaimana mutu, tempat dan pelaksana OP beras berperan dalam mengefektifkan OP beras harus melalui penilaian dari stakeholder. Kekuatan untuk mempengaruhi pasar
Konsumen mendapatkan beras yang sesuai
Keterjaminan konsumen menikmati langsung Optimalisasi sumber daya
Mutu Beras Yang Waktu OP Beras Disalurkan
Tempat OP Beras
Volume Beras Yang Disalurkan
Pelaksana OP Beras
Efektifitas OP Beras Stabilitas Harga Beras di Tingkat Eceran
Gambar 3.2. Kerangka Berpikir
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
25
BAB IV PENGARUH OPERASI PASAR BERAS TERHADAP HARGA BERAS ECERAN DAN IMPORTANCE-PERFORMANCE ANALYSIS
4.1.
Volume Operasi Pasar Berdasarkan
hasil
estimasi
Ordinary
Least
Square
(OLS),
pergerakan harga rata-rata beras di tingkat eceran dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu pergerakan beras yang masuk ke Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), pergerakan harga beras di PIBC, dan periode paceklik. Sedangkan faktor pergerakan stok di PIBC, Operasi Pasar (OP) Beras dan periode panen raya tidak signifikan mempengaruhi pergerakan harga beras eceran. Besaran (magnitude) pengaruh faktor pergerakan beras yang masuk ke PIBC, pergerakan harga beras di PIBC dan OP Beras berbedabeda. Dari ketiga faktor tersebut yang paling besar pengaruhnya adalah periode paceklik dan pergerakan harga beras di PIBC. Dari hasil estimasi diperoleh bahwa setiap memasuki periode paceklik, harga rata-rata beras di tingkat eceran akan mengalami kenaikan sebesar 1,5%, ceteris paribus. Sedangkan dari sisi faktor pergerakan harga beras di PIBC, setiap kenaikan harga beras di PIBC sebesar 1% akan mendorong kenaikan harga rata-rata beras di tingkat eceran sebesar 0,48%, ceteris paribus.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
26
Tabel 4.1. Hasil Estimasi Ordinary-Least Square (OLS) Untuk Model Pengaruh OP Beras dan Faktor Lainnya Terhadap Pergerakan Rata-Rata Harga Beras di Tingkat Eceran Pertumbuhan volume beras yang masuk ke PIBC (gsupibc)
Variabel Dependen
Variabel Independen PertumbuVolume OP (op) han harga beras di PIBC (gprpibc)
Pertumbuhan stok beras di PIBC (gstpibc)
Volume OP sebelumnya (op(-1))
Dummy musim panen raya (dpr)
Pertumbuhan Rata-Rata 6 -1,58x105*** -0,0118* -0,0049 0,4766**** -2,91x10 -0,2087 Harga Beras (-0,5344) (-1,8831) (-1,5448) (-0,5665) (6,7800) (-0,2833) di Tingkat Eceran (ghe) 2 Adjusted R -squared: 57,53; Prob(F-Stat): 0,0000; Durbin-Watson Stat: 84,78 Keterangan: **** signifikan pada confident level 99%; *** signifikan pada confident level 95%; ** signifikan pada confident level 90%; * signifikan pada confident level 85%
Untuk OP beras, efektifitas pelaksanaannya tidak dapat dilihat pada waktu pelaksanaannya, tetapi membutuhkan waktu 1 satuan waktu berikutnya. Jika dalam kerangka “bulanan”, maka efektifitas OP Beras akan terlihat dampaknya pada bulan berikutnya. Ketika OP dilakukan pada waktu t, harga rata-rata beras di tingkat eceran pada waktu t tidak terpengaruh secara signifikan. Hal ini dimungkinkan karena dua hal yang saling terkait yaitu: OP dilakukan ketika harga sudah mengalami kenaikan; dan ekspektasi pasar. 120.000
140.000 Volume OP Beras bulan sebelumnya (ton)
Volume OP Beras (ton)
120.000 100.000
100.000 80.000
80.000
60.000
60.000
40.000 40.000
20.000 20.000
-5,00
-3,00
-1,00
Pertumbuhan Harga Eceran (Rp/kg)
-5,00
-3,00
-1,00
1,00
3,00 5,00 7,00 9,00 Pertumbuhan Harga Eceran (Rp/kg)
(20.000) 1,00
3,00
5,00
7,00
9,00
Sumber: BPS dan Bulog (2015), diolah
Gambar 4.1. Ilustrasi Hubungan OP dengan Pergerakan Rata-Rata Harga Beras di Tingkat Eceran
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
27
Dummy musim paceklik (pacekli k) 1,5170* * (3,2990)
Keterkaitan kedua hal di atas adalah menyangkut pengambilan keputusan pelaku pasar beras yang melakukan aksi tunggu sampai OP berakhir. Pasar membaca selama OP masih berlangsung, masih mengindikasikan pasar belum stabil, sehingga pelaku di pasar beras menjaga harga pada tingkat yang sama (tetap tinggi). Hal ini juga mengindikasikan bahwa pelaksanaan OP sebagai bentuk kebijakan responsif. Hal tersebut terlihat dari Gambar 4.2 yang menunjukkan bahwa sebagian besar OP Beras terjadi ketika harga sudah mengalami kenaikan yang juga bertepatan dengan masuknya musim paceklik yang terjadi pada bulan Nopember – Februari.
Sumber: BPS dan Bulog (2015), diolah
Gambar 4.2. Pergerakan Rata-Rata Harga Beras di Tingkat Eceran dan Perkembangan OP Beras
Sebagaimana di sampaikan di atas, dalam lingkup nasional, OP Beras dapat menurunkan harga rata-rata beras di tingkat eceran. Setiap penyaluran beras sebesar 63.300 ton akan menurunkan harga rata-rata beras di tingkat eceran sebesar 1% pada satu satuan waktu berikutnya. Misalnya, pada bulan Februari 2015 dilaksanakan OP Beras dengan
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
28
volume sebesar 158.000 ton, maka harga rata-rata beras di tingkat eceran pada bulan Maret 2015 akan turun sebesar 1%. Namun demikian, pelaksanaan OP Beras akan lebih menarik jika melihat bagaimana efektifitasnya di level daerah (provinsi). Sehubungan dengan frekuensi pelaksanaan OP Beras, maka pada sub analisis ini akan difokuskan pada daerah-daerah seperti DKI Jakarta, Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sulawesi Utara dan Maluku. Untuk DKI Jakarta, sebagaimana hasil analisis secara nasional, dampak OP Beras terjadi pada 1 bulan berikutnya. Hal itu terlihat dari slope/kemiringan garis korelasi antara pertumbuhan harga dengan volume OP Beras yang menunjukkan slope negatif. Artinya, OP Beras mampu menurunkan harga beras di tingkat eceran di bulan berikutnya.
Sumber: Bulog (2015) dan Ditjen PDN (2015), diolah
Gambar 4.3. Hubungan Antara Pertumbuhan Harga dengan Volume OP Beras DKI Jakarta
Berdasarkan hubungan di atas, maka OP Beras akan efektif menurunkan harga beras di tingkat eceran di DKI Jakarta sebesar 1% jika volume OP-nya sebesar 23.800 ton. Pada tahun 2015, hingga April 2015 OP Beras telah dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada bulan Januari 2015 sebanyak 42.025 ton, bulan Februari 2015 sebanyak 3.898 ton dan
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
29
Maret 2015 sebanyak 35.848 ton. Pada ketiga bulan tersebut harga beras di eceran naik sebesar 3,26%, 3,87% dan 9,94%. Namun demikian, bagi DKI Jakarta, harga beras di tingkat eceran sangat dipengaruhi oleh harga beras di PIBC. Harga PIBC ditransmisikan langsung ke harga beras tingkat eceran di DKI Jakarta pada waktu (bulan) yang sama. Namun demikian besaran kenaikan harga PIBC dan harga eceran DKI Jakarta berbeda-beda tergantung pada musimnya. Pada musim panen gadu, kenaikan harga beras di PIBC umumnya lebih tinggi dibanding harga beras eceran DKI Jakarta. Pada musim paceklik, kenaikan harga beras di PIBC umumnya lebih rendah dibanding harga beras eceran DKI Jakarta.
Sumber: Ditjen PDN (2015), diolah
Gambar 4.4. Pergerakan Harga Beras di Tingkat Eceran DKI Jakarta dan Harga Beras di PIBC Untuk Jawa Barat, dilihat dari sisi volume, OP Beras akan efektif menurunkan harga beras eceran di Jawa Barat ketika volume OP lebih dari 1.263 ton. Harga beras eceran di Jawa Barat akan turun sebesar 1% jika volume OP mencapai 2.033 ton. Walaupun Jawa Barat sebagai salah
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
30
satu sentra produksi beras, tetapi memiliki populasi yang besar dan cakupan wilayah yang luas. 12,00
10,00 5,00 0,00 0
500
1000
1500
-5,00 -10,00
2000
2500
3000
% ( K e n a ik a n / P e n u r u n a n H a r g a t 0 )
% (K e n a ik a n / P e n u r u n a n H a r g a t + 1 )
15,00
Perubahan Harga|Vol. OP
10,00
Linear (Perubahan Harga|Vol. OP)
8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
ton (Vol. OP)
0 -2,00
-15,00
100
200
300
400
500
600
ton (Vol. OP)
Sumber: Bulog (2015) dan Ditjen PDN (2015), diolah
Gambar 4.5. Hubungan Antara Pertumbuhan Harga dengan Volume OP Beras Jawa Barat Pada tahun 2015, hingga Juni 2015 OP Beras di Jawa Barat telah dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada bulan Januari – Maret 2015 masing-masing sebanyak 101,3 ton, 60,5 ton dan 269,4 ton. Pada periode tersebut harga beras di eceran masih mengalami kenaikan sebesar 3,62% pada Januari 2015, 3,64% pada Februari 2015 dan 10,89% pada Maret 2015. Untuk daerah lainnya, yaitu Sumatera Utara agar OP Beras dapat berjalan dengan efektif sumber daya yang harus dikeluarkan tidak sebesar di DKI Jakarta. Berdasarkan data historis, untuk menurunkan harga beras eceran di Sumatera Utara sebesar 1%, maka volume OP yang efektif adalah minimal sebesar 35 ton. Kecilnya sumberdaya yang harus dikeluarkan terkait dengan ukuran pasar yang lebih kecil dibanding DKI Jakarta dan merupakan salah satu sentra produksi beras.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
31
Sumber: Bulog (2015) dan Ditjen PDN (2015), diolah
Gambar 4.6. Hubungan Antara Pertumbuhan Harga dengan Volume OP Beras Sumatera Utara Pada tahun 2015, hingga April 2015 OP Beras di Sumatera Utara telah dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada bulan Januari 2015 sebanyak 248 ton dan Maret 2015 sebanyak 45 ton. Pada kedua bulan tersebut harga beras di eceran naik sebesar 2,9% pada Januari 2015 dan turun sebesar 0,7% pada Maret 2015. Serupa dengan DKI Jakarta dan Sumatera Utara, yaitu Sulawesi Utara, efektifitas OP Beras dalam menurunkan harga beras di tingkat eceran terkait dengan volume OP Beras. Hanya, volume beras yang dibutuhkan untuk menurunkan harga tidak sebesar di DKI Jakarta. Untuk menurunkan harga beras eceran di Sulawesi Utara sebesar 1% dibutuhkan OP Beras sebesar 84 ton.
Sumber: Bulog (2015) dan Ditjen PDN (2015), diolah
Gambar 4.7. Hubungan Antara Pertumbuhan Harga dengan Volume OP Beras Sulawesi Utara Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
32
Untuk di Sulawesi Utara, pada tahun 2015, hingga April 2015 OP Beras telah dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada bulan Januari 2015 sebanyak 9,5 ton, bulan Februari 2015 sebanyak 75,0 ton dan Maret 2015 sebanyak 367,5 ton. Pada ketiga bulan tersebut harga beras di eceran turun sebesar 0,2% pada Januari 2015 dan naik pada Februari dan Maret 2015 masing-masing sebesar 4,4% dan 15,6%. Jika dibandingkan dengan Sumatera Utara, volume OP yang dibutuhkan lebih banyak. Hal ini terkait dengan: (i) Sumatera Utara lebih banyak memproduksi beras dibandingkan Sulawesi Utara; dan (ii) ukuran pasar yang lebih kecil dibanding Sumatera Utara, apalagi dengan DKI Jakarta. Di daerah sentra lainnya yaitu Aceh, efektifitas volume OP Beras dalam menurunkan harga beras di tingkat eceran perlu jumlah yang lebih sedikit dibanding Sumatera Utara. Untuk dapat menurunkan harga beras eceran di Aceh sebesar 1%, volume beras yang disalurkan dalam OP minimal harus sebanyak 435 kg. 6,00
15,00 10,00 5,00 0,00 0,00
1000,00
2000,00
3000,00
4000,00
-5,00 -10,00 -15,00
5000,00
6000,00
7000,00
% (K ena ikan/Penurunan H arg a t+ 2)
% (K ena ikan/Penurunan H arga t0)
20,00
ton (Volume OP)
Pertumbuhan Harga|Vol OP Linear (Pertumbuhan Harga|Vol OP)
4,00 2,00 0,00 0,00
1000,00
2000,00
3000,00
4000,00
5000,00
6000,00
7000,00
-2,00 -4,00 -6,00 -8,00 -10,00 -12,00
ton (Volume OP)
Sumber: Bulog (2015) dan Ditjen PDN (2015), diolah
Gambar 4.8. Hubungan Antara Pertumbuhan Harga dengan Volume OP Beras Aceh Yang berbeda dengan daerah lain adalah waktu yang dibutuhkan agar dampak dari OP dapat menurunkan harga beras eceran. Dampak pelaksanaan OP Beras di Aceh akan terasa pada dua bulan berikutnya. Hal ini karena pelaksanaan OP dilakukan di berbagai kota di Aceh yang
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
33
jaraknya cukup panjang dan infrastruktur yang belum memadai sehingga transmisi OP terhadap tingkat harga rata-rata Aceh menjadi lebih lama. Pada tahun 2015, hingga April 2015 OP Beras di Aceh telah dilakukan sebanyak satu kali yaitu pada bulan Januari 2015 sebanyak 4.355 ton. Pada bulan tersebut harga beras di eceran masih mengalami kenaikan sebesar 0.54% dan cenderung menurun sepanjang bulan Februari, Maret dan April 2015 masing-masing sebesar 1,26%, 7,01% dan 1,98%. Di daerah defisit seperti Maluku, efektifitas volume OP Beras dalam menurunkan harga beras di tingkat eceran perlu jumlah yang lebih banyak dibanding Sumatera Utara dan Sulawesi Utara, tetapi tidak lebih banyak dari DKI Jakarta karena pasarnya jauh lebih kecil di Maluku. Untuk dapat menurunkan harga beras eceran di Maluku sebesar 1%, volume beras yang disalurkan dalam OP minimal harus sebanyak 525 ton. Hal ini terkait dengan Maluku sebagai salah satu daerah yang defisit beras dibanding Sumatera Utara dan Sulawesi Utara.
Sumber: Bulog (2015) dan Ditjen PDN (2015), diolah
Gambar 4.9. Hubungan Antara Pertumbuhan Harga dengan Volume OP Beras Maluku Dibandingkan dengan daerah lain, Maluku merupakan daerah yang sangat sering melakukan OP Beras. Pada tahun 2014, sejak Juli – Desember selalu dilakukan OP Beras. Pada tahun 2015, hingga April
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
34
2015 OP Beras di Maluku telah dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada bulan Januari 2015 sebanyak 283,3 ton, bulan Februari 2015 sebanyak 60,5 ton dan Maret 2015 sebanyak 652,5 ton. Pada ketiga bulan tersebut, harga beras di eceran stabil pada Januari 2015, tetapi naik pada Februari dan Maret 2015 masing-masing sebesar 8,2% dan 43,75%.
4.2.
Waktu Operasi Pasar Selain aspek volume beras yang disalurkan, efektifitas OP Beras
juga ditentukan oleh waktu OP Beras. Sebagaimana tujuannya yaitu untuk menjaga harga beras tetap stabil, maka OP Beras efektif dilakukan pada waktu dimana akan terjadi kenaikan harga yang cukup signifikan. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan kenaikan harga yang cukup signifikan. Menurut Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri d/h Pusat Litbang Perdagangan Dalam Negeri (2011), kenaikan harga yang cukup signifikan terkait dengan peningkatan pengeluaran total untuk rumah tangga berpendapatan rendah yang jumlahnya sekitar 40 persen akibat kenaikan harga beras. Berdasarkan penelitiannya ambang batas kenaikan harga untuk intervensi adalah ketika harga beras di tingkat eceran naik sampai 10 persen.
Sumber: BPS (2015), diolah
Gambar 4.10. Perubahan Rata-Rata Harga Beras Eceran dalam Lingkup Nasional
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
35
Dalam analisis harga beras eceran secara bulanan dan nasional, sejak tahun 2007 hingga tahun 2014, kenaikan harga beras eceran lebih dari 10% tidak pernah terjadi. Tetapi jika menganalisis lebih mikro, kenaikan harga beras eceran lebih dari 10% pernah terjadi beberapa kali, misalnya di DKI Jakarta terjadi pada Januari 2010 dan Januari 2012, di Sumatera Utara terjadi pada Desember 2010, Januari 2011 dan Juli 2011, di Kalimantan Tengah terjadi pada Mei 2010 dan Juli 2011, serta di Sulawesi Tengah terjadi pada Februari 2010 dan Juni 2011. Dari kondisi tersebut, umumnya kenaikan harga yang cukup tinggi terjadi pada musim paceklik dan bulan puasa.
Sumber: Ditjen PDN (2015), diolah
Gambar 4.11. Perubahan Rata-Rata Harga Beras Eceran di Beberapa Propinsi Berdasarkan penelitian Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri d/h Pusat Litbang Perdagangan Dalam Negeri (2011), dalam kondisi normal, yakni tidak terjadi gagal panen, maka waktu OP yang paling tepat adalah November – Februari. Dari Bulan November – Februari, bulan paling rawan adalah Desember dan atau Januari. Penyebabnya adalah: volume pasokan yang berasal dari produksi dalam
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
36
negeri sedang berada pada level terendah karena luas panen yang terjadi pada Bulan Desember atau Januari biasanya kurang dari 5 persen dari total luas panen tahunan. Untuk agregat nasional puncak masa tanam padi biasanya justru terjadi pada Bulan November – Desember sehingga puncak panen terjadi Februari – April. Selain itu, Selain bulan-bulan tersebut di atas, bulan rawan berikutnya adalah bulan Puasa. Setiap tahun, Bulan Puasa bergeser maju 11 hari jika dibandingkan dengan Kalender Masehi. Dengan analisis di atas, maka waktu OP Beras yang paling efektif untuk menjaga harga beras stabil adalah menjelang musim Paceklik, terutama bulan Desember dan Januari 2015 dan menjelang bulan Puasa. Volume yang harus disalurkan tergantung pada perkiraan kenaikan harga pada waktu-waktu tersebut. Hal itu sudah dijelaskan pada sub bab Volume OP Beras.
4.3.
Importance-Performance Analysis Pedagang Beras dan Konsumen
Berdasarkan
Penilaian
Salah satu instrumen untuk melihat efektivitas OP Beras adalah dengan Importance-Performance Analysis yang pada prinsipnya adalah gap analysis. Berdasarkan hasil pengumpulan data primer, diperoleh bahwa
tingkat
kepentingan
(importance)
beberapa
variabel
yang
digunakan sebagai determinan efektivitas OP Beras pada level 3,54. Sedangkan dari sisi kinerja (performance), levelnya adalah 3,55. Artinya, level kinerja sedikit lebih baik dari tingkat kepentingan atau dengan kata lain OP Beras yang selama ini dilakukan sudah efektif.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
37
Sumber: Data primer (2015), diolah Keterangan: c: waktu paceklik; d: waktu gadu; e: HBKN; f: harga naik > 10%; g: harga naik > 3%; h: volume beras OP sesuai kenaikan harga; i: volume beras OP sebanyak-banyaknya; j: kualitas beras OP sesuai preferensi konsumen; k: kualitas sesuai beras yang beredar; l: kualitas beras yang ada di Bulog; m: pelaksananya Bulog; n: pelaksananya Dinasperindag; p: tempat OP di pasar tradisional
Gambar 4.12. Diagram Kartesius Importance-Performance Analysis
Namun demikian, ada beberapa variabel yang harus menjadi perhatian, selain beberapa variabel juga yang kinerjanya harus tetap dijaga. Dalam pendekatan IPA, hal tersebut sangat dimungkinkan karena mampu memetakan kepentingan dan kinerja dalam 4 kuadran, yaitu kuadran pertahankan prestasi, kuadran prioritas utama, kuadran prioritas rendah dan kuadran sumber daya berlebihan.
4.3.1. Pertahankan Prestasi/Kinerja Berdasarkan hasil analisis, variabel-variabel yang berkontribusi dalam efektifitas OP Beras adalah melaksanakan OP Beras pada saat paceklik, pada saat musim gadu, melaksanakan OP ketika harga mengalami kenaikan lebih dari 3% dan bahkan 10%, volume beras OP disalurkan sebanyak-banyaknya, dan beras OP berasal dari gudang Bulog.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
38
Dari variabel-variabel di atas menunjukkan bahwa masyarakat sangat menaruh perhatian yang cukup besar pada waktu OP, volume OP dan indikator harga. Namun pada prinsipnya, perhatian pada waktu OP dan indikator harga merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena biasanya kenaikan harga terjadi pada 2 momen yaitu musim paceklik dan musim gadu karena terkait dengan penurunan pasokan akibat produksi yang semakin menurun. Untuk indikator harga, masyarakat menghendaki adanya OP ketika harga mengalami kenaikan lebih dari 3%. Nilai ini relatif rendah namun karena beras memberikan kontribusi besar dalam pengeluaran pangan masyarakat, maka sensitifitas kenaikan harga walaupun rendah akan sangat berpengaruh pada daya beli.
4.3.2. Prioritas Utama dan Sumber Daya Yang Berlebihan Salah satu determinan efektifitas OP Beras adalah kualitas beras yang disalurkan dalam OP. Berdasarkan hasil analisis, kualitas beras OP belum memenuhi harapan masyarakat. Sejumlah responden menyatakan bahwa beras OP memiliki kualitas yang rendah. Jika dilihat dari level kepentingannya sebenarnya tidak terlalu besar gap-nya dengan kinerjanya, yaitu masing-masing sebesar 3,57 dan 3,41. Artinya, kinerjanya masih dalam level yang baik, namun memang masyarakat berekspektasi mendapatkan kualitas beras OP yang lebih baik lagi kualitasnya. Responden menilai bahwa saat ini pemerintah telah menyalurkan beras OP yang sesuai dengan beras yang selama ini beredar di pasar, baik pasar tradisional maupun ritel modern. Tetapi masyarakat ternyata memiliki perhatian pada aspek lain yaitu kualitas yang memenuhi preferensinya.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
39
4.3.3. Prioritas Rendah Variabel-variabel yang memiliki prioritas rendah dalam menciptakan OP Beras yang efektif adalah volume sesuai dengan kenaikan harga, pelaksana OP Beras apakah itu oleh Bulog, Pemerintah Daerah cq. Dinas yang membidangi Perdagangan, atau pedagang, dan tempat pelaksanaan OP Beras. Penyaluran OP Beras sesuai dengan tingkat kenaikannya akan menghasilkan hasil yang tidak optimal jika tidak dilakukan pada waktu yang tepat. Kenaikan harga yang mungkin terjadi pada musim panen raya yang kemudian di respon dengan pelaksanaan OP Beras hanya akan mengurangi cadangan beras yang sesungguhnya akan dibutuhkan pada saat paceklik dan musim gadu. Dari sisi pelaksana teknis OP Beras saat ini dilakukan oleh Bulog. Berdasarkan
hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
secara
teknis
pelaksanaan, Bulog telah melakukan OP Beras dengan baik walaupun masyarakat menilai bahwa pelaksana OP Beras bukan menjadi determinan penting dalam menciptakan efektivitas OP Beras.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
40
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1. Kesimpulan a. Stabilisasi harga beras merupakan kebijakan prioritas karena menyangkut hidup orang banyak, tidak hanya dalam konteks konsumen tetapi juga petani padi. b. Operasi Pasar (OP) dilaksanakan dengan prosedur yang sudah ditetapkan yang melibatkan berbagai pihak yaitu, Pemerintah Daerah,
Kementerian Perdagangan, dan Bulog sebagai
operator. c.
Efektivitas OP Beras sangat tergantung pada daerah yang akan diintervensi. Pada daerah yang defisit, kebutuhan volume beras
yang
harus
disalurkan
dalam
OP
lebih
besar
dibandingkan di daerah surplus. Oleh karena itu, yang paling penting adalah efektivitas OP tidak bias pada daerah sentra atau tidak, tetapi lebih bias pada daerah defisit atau surplus. Rekomendasi mengenai volume beras OP yang harus disalurkan untuk menurunkan harga dalam persentase tertentu disampaikan pada sub bab selanjutnya. d. Selain faktor daerah, efektivitas OP juga tergantung pada waktu intervensi. Dalam hal ini waktu intervensi yang efektif untuk OP adalah waktu paceklik dan Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) yaitu sekitar bulan Desember – Januari dan bulan Juni – Agustus. e. Efektifitas OP beras akan terlihat pada satu periode berikutnya, kecuali di Aceh dua periode berikutnya. f.
Berdasarkan analisis importance-performance, pelaksanaan OP Beras selama ini sudah efektif, terutama dalam hal waktu intervensi yang responsif terhadap kenaikan harga beras di
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
41
tingkat eceran dan hal volume beras yang disalurkan dalam OP. g.
Namun demikian, ada beberapa variabel yang harus diperbaiki dalam pelaksanaan OP Beras, yaitu mengenai kualitas beras yang disalurkan belum memenuhi harapan masyarakat.
5.2.
Rekomendasi Kebijakan a.
Dari sisi volume, dalam rangka menurunkan harga beras sebesar 1% di tingkat eceran, beras OP yang harus disalurkan adalah: No 1 2 3 4 5 6
b.
Daerah DKI Jakarta Jawa Barat Sumatera Utara Aceh Sulawesi Utara Maluku Nasional
Volume Beras OP (kg) 23.800.000 2.033.000 35.000 435 84.000 525.000 63.300.000
Dari sisi waktu dan pelaksana, OP dapat mempertahankan pola yang saat ini dijalankan dimana pelaksanaan OP dilaksanakan pada musim paceklik dan HBKN oleh Bulog sebagai pelaksana.
c.
Kualitas beras yang disalurkan dalam OP harus ditingkatkan. Dalam hal ini Bulog sebagai pihak yang menimpan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) harus meningkatkan kinerjanya dalam pengelolaan stok sehingga kualitas beras tetap terjaga dengan baik.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
42
DAFTAR PUSTAKA
Brandt, D.R. 2000. An Outside-In Approach to Determining Customer Driven Priorities for Improvement and Innovation. White Paper Series, Volume 2-2000 Latu, T.M., & Everett, A.M. 2000. Review of Satisfaction Research and Measurement Approaches. Departement of Conservation, Wellington, New Zealand. http://www.doc.govt.nz/Publications/ 004~Science-andResearch/Older-series/PDF/IR183.pdf Martinez, C.L. 2003. Evaluation Report: Too ls Cluster Networking Meeting #1. CenterPoint Institute, Inc., Arizona. Price Control and Anti-Profiteering Act (PCPA) of Malaysia Nomor 723 tahun 2011 Price Act of Philippines Nomor. 7581 tahun 1992 Price of Goods and Services Act of Thailand B.E. 2542 tahun 1999 Sawit, M. H. 2007. Stabilisasi Harga Beras: Penentuan Harga Referensi OP dan Intervensi Pemerintah. Majalah Pangan, No.49/XVI/Juli 2007 Supranto, J. 1988. Statistik Teori dan Aplikasi. Jakarta: Erlangga.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
43
Lampiran 1. Uji Multikolinearitas Model OP Beras Tabel Hasil Uji
GPRPIBC GSTPIBC GSUPIBC OP PACEKLIK DPR
GPRPIBC
GSTPIBC
GSUPIBC
OP
PACEKLIK
DPR
1.000000 -0.339050 -0.103283 0.358110 0.326543 -0.446206
-0.339050 1.000000 0.296232 -0.216203 -0.174101 0.300358
-0.103283 0.296232 1.000000 0.128329 -0.141433 0.204681
0.358110 -0.216203 0.128329 1.000000 0.317526 -0.085557
0.326543 -0.174101 -0.141433 0.317526 1.000000 -0.251754
-0.446206 0.300358 0.204681 -0.085557 -0.251754 1.000000
Dapat dilihat dari tabel di atas, variabel bebas yang digunakan dalam model tidak mengandung multikolinearitas (korelasi < 0,8).
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
44
Lampiran 2. Uji Autokorelasi Model OP Beras Tabel Hasil Uji LM
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.948258 4.167088
Prob. F(2,84) Prob. Chi-Square(2)
0.1489 0.1245
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 06/05/15 Time: 10:44 Sample: 2007M03 2014M12 Included observations: 94 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
GPRPIBC GSTPIBC GSUPIBC DPR PACEKLIK OP OP(-1) C RESID(-1) RESID(-2)
-0.007294 0.001212 0.001111 -0.166329 -0.036706 -1.61E-06 2.69E-06 0.036482 0.078396 -0.210285
0.069656 0.008564 0.007691 0.401640 0.462018 1.03E-05 8.40E-06 0.201132 0.112013 0.112216
-0.104715 0.141495 0.144474 -0.414125 -0.079447 -0.156018 0.320714 0.181383 0.699882 -1.873929
0.9169 0.8878 0.8855 0.6798 0.9369 0.8764 0.7492 0.8565 0.4859 0.0644
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.044331 -0.058062 1.392989 162.9952 -159.2502 0.432946 0.913683
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1.05E-16 1.354229 3.601069 3.871632 3.710357 2.008851
Dari hasil uji tersebut menunjukkan bahwa model yang digunakan bebas dari masalah autokorelasi. Hal tersebut ditunjukan dengan nilai Prob. ChiSquare(2) > 0,10.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
45
Lampiran 3. Uji Heteroskedastisitas Model OP Beras Tabel Hasil Heteroskedasticity Test
Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
1.260657 37.41876 129.9974
Prob. F(32,61) Prob. Chi-Square(32) Prob. Chi-Square(32)
0.2157 0.2343 0.0000
Dari hasil uji tersebut menunjukkan bahwa model yang digunakan sudah homoskedastisitas. Hal tersebut ditunjukan dengan nilai Prob. ChiSquare(32) > 0,10.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
46
Lampiran 4. Uji Stasioner Terhadap Variabel Yang Digunakan dalam Model OP Beras Tabel PP-Fischer Test
Null Hypothesis: Unit root (individual unit root process) Series: GHE, DPR, GPRPIBC, GSTPIBC, GSUPIBC, OP, PACEKLIK Date: 06/05/15 Time: 10:41 Sample: 2007M02 2014M12 Exogenous variables: Individual effects Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Total (balanced) observations: 658 Cross-sections included: 7 Method PP - Fisher Chi-square PP - Choi Z-stat
Statistic 199.798 -12.6121
Prob.** 0.0000 0.0000
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi-square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Intermediate Phillips-Perron test results UNTITLED
Series GHE DPR GPRPIBC GSTPIBC GSUPIBC OP PACEKLIK
Prob. 0.0000 0.0009 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000
Bandwidth 21.0 13.0 9.0 31.0 40.0 1.0 11.0
Obs 94 94 94 94 94 94 94
Dari hasil uji tersebut menunjukkan bahwa variabel-variabel yang digunakan sudah stasioner (tidak mengandung akar unit). Hal tersebut ditunjukan dengan nilai probability dari PP - Fisher Chi-square < 0,10.
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
47
Lampiran 5. Uji Stasioner Terhadap Variabel Yang Digunakan dalam Model OP Beras Dengan Menggunakan Visualisasi Grafis
GHE
GPRPIBC
12
10
8
5
4
0
0
-5
-4
-10
-8
-15 07
08
09
10
11
12
13
14
07
08
09
GSTPIBC
10
11
12
13
14
12
13
14
GSUPIBC
80
80
60
60
40
40
20 20 0 0
-20
-20
-40 -60
-40 07
08
09
10
11
12
13
14
12
13
14
07
08
09
10
11
OP 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 07
08
09
10
11
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
48
Lampiran 6. Model OP Beras
Dependent Variable: GHE Method: Least Squares Date: 06/05/15 Time: 10:37 Sample (adjusted): 2007M03 2014M12 Included observations: 94 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
GPRPIBC GSTPIBC GSUPIBC PACEKLIK DPR OP(-1) OP C
0.476646 -0.004886 -0.011799 1.516994 -0.208694 -1.58E-05 -2.91E-06 0.468667
0.070302 0.008625 0.007638 0.459851 0.390498 8.38E-06 1.03E-05 0.201530
6.780017 -0.566489 -1.544825 3.298881 -0.534431 -1.883082 -0.283253 2.325548
0.0000 0.5725 0.1261 0.0014 0.5944 0.0631 0.7777 0.0224
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.607331 0.575370 1.408265 170.5561 -161.3814 19.00202 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Puska PDN, BP2KP, Kementerian Perdagangan
0.734043 2.161120 3.603859 3.820310 3.691289 1.847837
49