LAPORAN AKHIR ANALISIS BERBAGAI BENTUK KELEMBAGAAN PEMASARAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENINGKATAN USAHA KOMODITAS PERTANIAN
Oleh : Adang Agustian Armen Zulham Syahyuti Herlina Tarigan Ade Supriatna Yana Supriyatna Tjetjep Nurasa
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PETANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2005
RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN (1)
Berbagai bentuk kelembagaan pemasaran komoditas pertanian telah berkembang secara luas dan lebih modern. Kelembagaan pemasaran yang berperan dalam memasarkan komoditas pertanian hortikultura dapat mencakup petani, pedagang pengumpul, pedagang perantara/grosir dan pedagang pengecer (Kuma’at, 1992). Kelembagaan pemasaran lainnya yang berperan dalam pemasaran komoditas hortikultura adalah berupa pasar tradisional, pasar modern dan pasar industri (PSP IPB dan Bapebti, 1995). Dari berbagai hasil penelitian, tampaknya Biaya pemasaran di Indonesia termasuk tinggi dan pembagian balas jasa yang adil tersebut sampai saat ini masih bersifat asimetris, terkadang balas jasa atas fungsi pemasaran tersebut lebih besar mengelompok pada pedagang besar, sementara petani dan pedagang pengumpul bagiannya kecil. Menurut Mubyarto (1989) bahwa tidak meratanya pembagian balas jasa atas fungsi pemasaran sesuai kontribusinya menjadikan belum efisiennya sistem pemasaran. Di Indonesia, sistem pemasaran komoditas pertanian masih merupakan hal yang lemah dari aliran komoditas.
(2)
Semakin berkembangnya kelembagaan pemasaran komoditas hortikultura termasuk pasar modern belumlah sepenuhnya menjamin perbaikan pendapatan produsen (petani), meskipun komoditas hortikultura dari petani tersebut dipasarkan di supermarket dengan harga tinggi. Para petani produsen tampaknya tetap saja menghadapi fluktuasi harga terutama saat panen, dan para pedagang perantara lah yang lebih akses dapat memperoleh peningkatan harga akibat perkembangan tersebut. Hal ini dipertegas oleh Maliati (USESE Foundation, 2002) bahwa berbagai kelembagaan pasar modern telah banyak berdiri yang diharapkan dapat membantu petani memasarkan hasil usahanya dengan memperoleh harga yang relatif lebih baik dibandingkan dengan harga yang diberikan oleh lembaga pemasaran lain.
(3)
Salah satu permasalahan penting terkait pengembangan komoditas hortkultura adalah bahwa sebagian besar nilai tambah kegiatan agribisnis hortikultura lebih banyak dinikmati oleh industri hulu dan industri hilir, bukan dinikmati oleh petani. Gejala demikian lebih kuat terjadi pada komoditas hortikultura akibat sifat usaha petani yang berorientasi pasar dan posisi tawar petani yang lemah. Hal ini berarti pengembangan komoditas hortikultura pada aspek produksi hanya akan memberikan manfaat lebih besar pada industri hulu dan industri hilir. Oleh karena itu, dalam pengembangan komoditas hortikultura sudah seyogyanya juga menekankan pada aspek pemasaran/perdagangan (off-farm) bukan pada aspek produksi (on-farm) saja. Pembenahan pada aspek-aspek tersebut dapat dilakukan dengan membangun sarana serta kelembagaan pemasaran yang dibutuhkan serta mengupayakan pemasaran komoditas
RE-1
hortikultura yang mengarah kepada stabilitas harga yang lebih baik dan petani mendapat bagian harga yang lebih baik. (4)
Pemahaman terhadap permasalahan pemasaran komoditas hortikultura (sayuran dan buah) ini merupakan bagian penting dalam memperbaiki daya saing dari komoditas hortikultura di pasar ekspor dan pasar domestik. Pemahaman ini juga akan meningkatkan efisiensi usaha tani hortikultura di Indonesia, sehingga alokasi sumberdaya pada sistem usaha hortikultura ini akan lebih efisien. Pemahaman sistem pemasaran tersebut harus dilihat dari sisi petani sebagai penghasil komoditas hortikultura, pedagang dan lembaga pemasaran sebagai penyalur hasil produksi, dan konsumen sebagai pembeli dari komoditas itu. Penelitian ini memiliki urgensi untuk melihat kinerja berbagai kelembagaan pemasaran termasuk pasar tradisional dan modern (seperti supermarket). Maka melalui penelitian ini dapat diketahui berbagai bentuk kelembagaan pemasaran bagi komoditas hortikultura, berbagai kebijakan pemerintah terkait pemasaran komoditas ini, struktur pendapatan usahatani, bagian harga yang diterima, serta marjin pemasaran komoditas hortikultura, serta alternatif saran yang mendukung dalam pengembangan kelembagaan pemasaran komoditas tersebut.
(5)
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis berbagai bentuk kelembagaan pemasaran komoditas pertanian dan dampaknya terhadap kinerja usaha komoditas hortikultura (sayuran dan buah). Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk: (i) Mengidentifikasi berbagai bentuk kelembagaan pemasaran komoditas hortikultura (sayuran dan buah), (ii) Melakukan review berbagai hasil kajian dan kebijakan terkait pemasaran komoditas Hortikultura (sayuran dan buah); (iii) Menganalisis berbagi faktor/pertimbangan yang menentukan dalam penetapan asal komoditas yang dipasarkan pada setiap kelembagaan pemasaran; (iv) Menganalisis struktur pendapatan usahatani, produksi, bagian harga yang diterima, serta marjin pemasaran komoditas sayuran dan buah pada berbagai bentuk kelembagaan pemasaran; (v) Mendiskripsikan tentang berbagai faktor yang mendukung dalam pengembangan kelembagaan pemasaran pada komoditas hortikultura (sayuran dan buah); dan (vi) Merumuskan alternatif saran kebijakan dalam pengembangan kelembagaan pemasaran komoditas hortikultura (sayuran dan buah).
METODA PENELITIAN (6)
Penelitian ini mengambil sampel pada komoditas hortikultura (sayuran dan buah). Pertimbangannya adalah kedua komoditas ini dalam hal pemasarannya melibatkan berbagai lembaga pemasaran seperti pedagang pengumpul, agen/grosir, dan terutama melibatkan kelembagaan pasar yang mencakup pasar tradisional dan modern. Jenis komoditas sayuran yang dipilih dalam studi ini adalah bawang merah, cabe dan kubis serta buahbuahan adalah jeruk dan mangga. Pertimbangan pemilihan jenis komoditas sayuran dan buah tersebut adalah disamping sebagian besar komoditas tersebut merupakan komoditas sayuran dan buah unggulan nasional (bawang merah, cabe, kubis, jeruk dan mangga), juga pemasaran jenis-
RE-2
jenis komoditas tersebut dapat melibatkan berbagai kelembagaan pemasaran termasuk pasar modern (supermarket/hypermarket). (7)
Lokasi penelitian yang dipilih adalah merupakan sentra produksi komoditas sayuran dan buah, serta berbagai bentuk kelembagaan pemasaran termasuk pasar modern yang memasarkan komoditas tersebut dapat ditemukan secara dominan. Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Untuk komoditas bawang merah, lokasi penelitiannya di Kabupaten Brebes-jawa Tengah, untuk komoditas cabe merah di Kabupaten Garut-Jawa Barat, dan untuk komoditas kubis di lokasi penelitian Kabupaten Garut dan Bandung (Jawa Barat), serta di Kabupaten Karo (Sumatera Utara). Untuk komoditas buah, lokasi penelitian untuk komoditas jeruk adalah di Kabupaten Karo (Sumatera Utara), dan untuk mangga di lakukan di Kabupaten Majalengka (Jawa Barat).
(8)
Penelitian ini akan mengumpulkan data primer dan sekunder dari berbagai sumber. Data primer akan dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan kuesioner terstruktur terhadap responden petani yang jumlahnya mencapai 105 petani, responden pedagang pengumpul, pedagang besar/agen/suppplier, eksportir, pasar tradisional, pasar moderen (supermarket/hypermarket), dan instansi yang terkait dengan pengembangan dan pemasaran komoditas sayuran dan buah.
(9)
Pada penelitian ini yang dipakai sebagai unit analisis adalah petani sayuran dan buah, pedagang pengumpul desa/kecamatan, pedagang pengumpul besar (agen/supplier), eksportir, pedagang pasar tradisonal (induk dan eceran) serta pasar modern (supermarket). Data yang terkumpul dianalisis secara kuantitatif (analisis struktur pendapatan usahatani, marjin pemasaran dan bagian harga yang diterima petani) dan deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN (10) Harga sayuran di tingkat petani menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi. Harga komoditas bawang merah pada periode 1999-2004 masih meningkat tipis sebesar 0,15 persen/tahun. Harga bawang merah pada tahun 2004 di pasar konsumsi sebesar Rp 3.342/kg, sedangkan pada tahun 1999 sebesar Rp 3.772/kg. Pada periode 2000-2004, harga komoditas sayuran lainnya seperti cabe merah dan kubis secara rataan menurun. Harga cabe merah di sentra produsen Garut pada tahun 2000 mencapai Rp 4.627/kg dan pada tahun 2003 menjadi Rp 3.011/kg serta meningkat lagi menjadi Rp 4.944/kg di tahun 2004. Untuk komoditas kubis, di Jawa Barat rataan harga kubis pada tahun 2000 sebesar Rp 995,17/kg dan menurun drastis menjadi Rp 676/kg di tahun 2004. Hal yang sama juga terjadi di Sumatera Utara, harga rataannya mencapai Rp 777/kg tahun 2000 kemudian menurun menjadi Rp 581/kg tahun 2004. (11) Untuk komoditas buah, harga jeruk dan mangga di tingkat produsen menunjukkan peningkatan. Harga jeruk dan mangga di tingkat produsen masing-masing meningkat sebesar 19,35 persen/tahun di Sumatera Utara
RE-3
dan 15,92 persen di Jawa Barat. Harga jeruk di Sumatera Utara tahun 2004 rataannya mencapai Rp 5.456/kg dan harga mangga di Jawa Barat tahun 2004 sebesar Rp 4.053/kg. (12) Sering berfluktuasinya harga komoditas hortikultura secara umum dapat disebabkan terjadinya over supply komoditas tersebut akibat panen raya atau masuknya komoditas serupa asal impor, atau dari sisi konsumen beralih untuk memilih jenis sayuran atau buah lainnya atau tidak mengalokasikan pengeluarannya untuk membeli komoditas sayuran dan buah tapi lebih mengalokasikan untuk pengeluaran yang penting lainnya seperti biaya pendidikan. (13) Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa kegiatan usahatani masih memberikan keuntungan, meskipun relatif tipis. Pada kegiatan usahatani sayuran bawang merah, cabe merah dan kubis tingkat keuntungan per hektar usahatani adalah sebesar Rp 6,83 juta/tahun (untuk bawang merah di Brebes-Jawa Tengah), Rp 62,45 juta/tahun (untuk cabe merah di GarutJawa Barat), Rp 16,60 juta/tahun (untuk kubis di Jawa Barat), dan Rp 10,998 juta/tahun (untuk kubis di Sumatera Utara). Sementara, pada usahatani buah, seperti jeruk di Karo-Sumatera Utara memberikan keuntungan sebesar Rp 49,10 juta/ha/tahun, dan mangga di Majalengka Jawa Barat sebesar Rp 23,71 juta/ha/tahun. (14) Keuntungan usahatani baik sayuran dan buah akan menurun bila terjadi penurunan harga komoditas tersebut yang di panen, serta meningkatnya harga-harga input seperti pupuk dan obat-obatan. Harga komoditas sayuran seperti bawang merah dan buah seperti jeruk akan mengalami penurunan di saat panen raya serta membanjirnya komoditas sejenis asal impor di pasaran. Untuk itu, perlu dicermati secara baik, mengenai impor komoditas tersebut mengingat produksi nasional pun akan komoditas tersebut cukup besar. Keluarnya kebijakan Permenkeu tahun 2004 tentang harmonisasi bea masuk atas impor komoditas pertanian termasuk sayuran dan buah tersebut akan lebih memperbaiki kinerja pendapatan atas usahatani komoditas tersebut. (15) Berbagai bentuk kelembagaan pemasaran dengan karakteristiknya masingmasing berperan dalam memasarkan komoditas sayuran dan buah. Kelembagaan pemasaran tersebut mulai dari petani, pedagang pengumpul desa/penyiar/calo, pedagang besar/bandar/supplier, pedagang pasar induk, pedagang pasar eceran, kelompok usaha bersama agribisnis/KUBA, STA, eksportir serta pasar modern. Dalam hal ini peran beberapa kelembagaan pemasaran masih belum optimal untuk memperbaiki pendapatan petani. Disamping itu, kehadiran lembaga pasar modern masih belum secara langsung terakses oleh petani sehingga belum terasa dampaknya terhadap peningkatan pendapatan usahataninya. (16) Tujuan pemasaran komoditas sayuran dan buah, tampaknya masih menempatkan pedagang pengumpul desa sebagai tujuan utama pemasaran komoditas sayuran dan buah di lokasi penelitian. Sebagian kecil
RE-4
petani telah ada yang memasarkan komoditas tersebut (bawang merah, cabe merah, kubis, jeruk, dan mangga) ke pedagang besar/agen/bandar. Dilihat dari segi dinamika tujuan pemasaran komoditas dari petani relatif tidak berubah dan lebih berorientasi terhadap kelembagaan pemasaran yang dekat dan mudah. Para petani belum bisa langsung mengakses terhadap kelembagaan pemasaran seperti supplier dan pasar modern. (17) Sebagian besar petani komoditas bawang merah, cabe merah, kubis, jeruk dan mangga menjual ke tujuan pemasaran pedagang pengumpul desa atau ke pedagang besar secara dominan lebih karena pertimbangan harga. Beberapa kelembagaan pemasaran seperti pedagang besar/bandar membeli komoditas dari petani akan melakukan penyortiran sebelum melakukan pemasaran kembali. Bahkan pedagang besar/supplier ada yang menghendaki pembelian dengan kualitas tertentu terutama untuk dijual ke pasar modern. Hal ini agar pedagang besar/supplier tidak mengeluarkan biaya lagi untuk sortir. Para pedagang besar atau supplier menjalin relasi dengan tujuan pemasaran seperti supermarket atau lainnya karena akan memperoleh harga jual yang relatif lebih tinggi. (18) Beberapa pelaku pemasaran (kelembagaan pemasaran) seperti pedagang pengumpul (desa/kecamatan) lebih banyak membeli langsung dari petani dari hasil panen (kualitas campuran) dan menjualnya sebagian besar komoditas (tanpa di grading) ke para pedagang di Pasar Tradisional (atau bahkan Pasar Induk). Sebagian kecil jumlah komoditas yang dibelinya oleh pedagang pengumpul dijual ke pedagang besar atau supplier dengan kualitas tertentu (kualitas baik). Umumnya, hal ini didasari oleh kemudahan pedagang agar tidak melakukan penyortiran yang akan memakan biaya. (19) Terdapat beberapa kendala belum aksesnya petani terhadap kelembagaan pemasaran seperti ke supplier dan pasar modern. Biasanya supplier memberikan order (permintaan) terhadap pihak yang dijadikan kerjasama relatif kecil volume yang diminta, namun jumlah itemnya banyak. Di sisi lain, petani memperoleh hasil panennya sekaligus besar (banyak) sehingga akan sangat sulit menjual hasilnya sebagian kecil saja dan sisanya tetap harus dijual ke pedagang pengumpul atau pasar tradisional. Disamping itu, aspek kontinuitas dan sistem pembayaran yang berjangka lama (7-15 hari) menjadi kendala yang dihadapi petani dikala sangat memerlukan uang untuk kebutuhan hidupnya karena tidak ada diversifikasi usaha lain. Dari aspek kualitas, sesungguhnya para petani akan mampu memenuhinya. (20) Dalam melakukan aktivitas pemasaran, pembagian atas balas jasa yaitu marjin pemasaran diantara kelembagaan pemasaran yang terlibat secara umum cenderung timpang. Pada komoditas seperti bawang merah, perolehan marjin pemasaran secara rataan relatif berimbang yaitu perolehan marjin pemasaran pada pedagang pengumpul sekitar Rp 105/kg, pedagang besar memperoleh sebesar Rp 95,5/kg, serta pedagang pasar induk memperoleh marjin pemasaran sebesar Rp 118/kg. Sementara, Farmer share (persentase bagian harga yang diterima petani bawang merah) terhadap ketiga kelembagaan pemasaran tersebut masing-masing
RE-5
sebesar 80 persen, 66,48-73,83 persen, serta 63,16 persen. Farmer share, terhadap kelembagaan pemasaran seperti pedagang eceran mencapai 53,33-56,03 persen, serta terhadap supermarket sebesar 32,73 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya harga jual bawang merah di pasar eceran dan pasar modern tidak tertransmisikan dengan baik ke tingkat petani. (21) Perolehan marjin pemasaran pada kelembagaan pemasaran komoditas cabe merah di lokasi penelitian yaitu pada pedagang pengumpul desa dan kecamatan secara rataan sebesar Rp 300/kg dan Rp 431/kg. Sementara, perolehan marjin pemasaran pada pedagang besar, supplier, supermarket dan pasar induk secara rataan masing-masing mencapai Rp 890/kg, Rp 4.150/kg, Rp 8.205/kg, serta Rp 375/kg. Tingkat farmer share pada petani cabe merah terhadap kelembagaan pemasaran supermarket/pasar modern, supplier dan pedagang pasar induk secara rataan sebesar 14 persen, 26 persen, serta 65 persen. Sedangkan farmer share terhadap kelembagaan pemasaran pedagang pengumpul dan pedagang besar masing-masing 7284 persen dan 65 persen. Dalam hal ini juga, terlihat bahwa beda harga terutama pada pasar modern, supplier dan pasar induk dengan petani cukup relatif jauh dan tidak tertransmisikan dengan baik ke tingkat petani. (22) Sementara itu, perolehan marjin pemasaran yang diraih kelembagaan pemasaran komoditas kubis di ketiga lokasi penelitian (Kabupaten Garut, Bandung, dan Karo) juga cukup timpang. Perolehan marjin pemasaran terbesar diraih oleh kelembagaan pasar modern (Rp 1.700/kg), lalu disusl oleh supplier (Rp 630/kg) dan pedagang eceran (Rp 400/kg). Pedagang pengumpul desa memperoleh marjin pemasaran antara Rp 60/kg – Rp 90/kg, serta pedagang pasar induk memperoleh marjin pemasaran Rp 250/kg. Tingkat farmer share petani kubis di ketiga lokasi penelitian (Kabupaten Garut, Bandung, dan Karo) terlihat cukup kecil terutama terhadap kelembagaan pasar modern (17,86-21,29%), terhadap supplier (31,15-33,86%), terhadap pedagang eceran (27,09-37,25%), serta terhadap pedagang psar induk (36,65-43,82%). Sedangkan farmer share terhadap pedagang pengumpul desa dan kecamatan masing-masing sebesar 86,5287,65 persen. (23) Pada komoditas jeruk, perolehan marjin pemasaran antar kelembagaan pemasaran yang terlibat cenderung bervariasi dan timpang. Perolehan marjin pemasaran tersebut pada pasar modern, pengecer, pedagang antar pulau, dan pedagang pasar induk masing-masing sebesar Rp 4.300/kg, Rp 900/kg, Rp 350/kg, dan Rp 1.000/kg. Sementara perolehan marjin pemasaran pada pedagang pengumpul desa dan perkoper sebesar Rp 150/kg dan Rp 125/kg. Tingkat farmer share petani jeruk terhadap kelembagaan pemasaran pasar modern, pengecer, pedagang pasar induk dan pedagang antar pulau masing-masing sebesar 10 persen, 17,14 persen, 24,0 persen, dan 28,57 persen. Sedangkan terhadap kelembagaan pemasaran pedagang pengumpul desa dan perkoper sebesar 80 persen dan 72,73 persen.
RE-6
(24) Sementara, perolehan marjin pemasaran antar kelembagaan pemasaran komoditas mangga juga cukup bervariasi. Empat kelembagaan pemasaran (supplier, kios buah, supermarket, dan pengepul) memperoleh marjin pemasaran masing-masing Rp 1.445/kg, Rp 1.400/kg, Rp 1.100/kg, dan Rp 1.177/kg. Para pedagang pengumpul hanya memperoleh marjin pemasaran sebesar Rp 185/kg. Tingkat farmer share petani mangga terhadap keempat kelembagaan pemasaran tersebut mencapai 42,71 persen, 38,01 persen, 26,23 persen, dan 62,45 persen. Farmer share petani terhadap pedagang pengumpul sebesar 91,30 persen. Dengan demikian ada kecenderungan, bahwa tingkat harga yang diterima petani relatif jauh berbeda dengan harga yang diterima pada keempat kelembagaan pemasaran tersebut.Peran pelaku pemasaran tidak proposional dan seimbang. Akibatnya, pedagang memperoleh bagian harga yang paling besar karena perannya yang lebih dominan. Dominansi ini terjadi sebagai ikutan dari penguasaan informasi produksi, pasar dan konsumsi yang lebih besar dan aktual. Akhirnya, kontribusinya dalam pembentukan harga pun menjadi paling tinggi. (25) Terdapatnya fenomena perolehan marjin pemasaran yang cenderung timpang menunjukkan ketidakadilan balas jasa atas fungsi pemasaran yang dilakukan oleh para pelaku kelembagaan pemasaran. Dalam hal ini, marjin pemasaran cenderung lebih mengelompok pada pedagang besar, supplier dan supermarket. Di sisi lain, farmer share petani sayuran dan buah untuk ketiga kelembagaan pemasaran tersebut cenderung kecil. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya harga yang diterima tidak tertransmisikan dengan baik ke tingkat petani, sehingga petani tetap memperoleh bagian harga yang kecil dan berfluktuasi. (26) Secara ekonomi, usahatani sayuran dan buah masih menguntungkan. Keuntungan ini masih potensial ditingkatkan dengan membenahi sistem produksinya sehingga produktivitasnya bisa ditingkatkan. Diharapkan proses produksi ini bisa meningkatkan kuantitas dan kualitas terutama yang lebih tinggi lagi sehingga berpeluang untuk memasuki pasar yang lebih luas, terutama ekspor. (27) Hingga saat ini petani melakukan pemasaran produksi secara sendirisendiri sehingga bargaing positionnya dalam menentukan harga sangat lemah. Apalagi petani seringkali memperoleh informasi harga hanya dari pedagang yang membeli produksinya, tanpa ada pembanding. Peran kelompok tani sangat kecil, bahkan hampir tidak ada dalam hal pemasaran hasil. Jauhnya pusat produksi ke pusat konsumsi menyebabkan biaya transportasi, kerusakan dan penyusutan cukup besar. Sekalipun biaya ini dibayarkan oleh pedagang, tetapi secara matematis pedagang membebankannya kepada petani dan konsumen. (28) Penguatan kelembagaan atau pembentukan kelembagaan (seperti pembentukan koperasi di tingkat petani) yang mampu menampung serta memasarkan hasil komoditas sayuran dan buah merupakan langkah penting dalam meningkatkan bargaining position petani dalam pemasaran komoditas. Sehingga petani diharapkan akan dapat meningkatkan
RE-7
pendapatan dari usahataninya. Dengan langkah tersebut, diharapkan sistem pemasaran lebih efisien. Penguatan kelembagaan dapat dilakukan dengan cara membantu operasionalisasi Kelompok Usaha Bersama Agribisnis petani yang masih mengalami hambatan permodalan. Bantuan tersebut dapat berupa kredit lunak permodalan untuk usaha, serta melakukan serangkaian pembinaan secara teratur. (29) Dalam menghadapi era pasar bebas, produsen hortikultura nasional yang pada umumnya didominasi oleh petani kecil tampaknya masih perlu mendapat perlindungan (seperti pada produsen bawang merah dan jeruk). Kebijakan pengendalian impor komoditas secara tepat masih diperlukan. Disamping itu, dengan penetapan harmonisasi tarif bea masuk akan memiliki dampak bagi produsen hortikultura. (30) Beberapa faktor yang dapat mendukung pengembangan pemasaran domestik komoditas hortikultura antara lain dapat ditempuh melalui: (i) penciptaan harga yang wajar; (ii) pengembangan produk olahan hortikultura; (iii) penciptaan iklim usaha yang kondusif; (iv) pengembangan kelembagaan pemasaran di tingkat petani dalam rangka meningkatkan efisiensi pemasaran; dan (v) peningkatan efisiensi dan efektifitas saluran pemasaran. Adapun program atau faktor yang menunjang kelembagaan pemasaran dalam aktivitas pemasaran komoditas hortikultura dapat mencakup: (i) kegiatan promosi; (ii) pengembangan infrastruktur pemasaran seperti pembangunan STA & TA; (iii) pengembangan produk tertentu yang khas sesuai pasar; (iv) pengembangan perdagangan antar pulau; dan (v) pengembangan dan peningkatan informasi pasar terutama dalam hal harga. IMPLIKASI KEBIJAKAN (31) Dalam rangka meningkatkan akses para petani dalam hal pemasaran hasil terhadap kelembagaan pemasaran seperti ke supplier, pasar modern dan lainnya, maka diperlukan suatu penguatan kelembagaan kelompok tani yang mampu merencanakan produksi suatu komoditas secara kontinyu dan pada gilirannya akan mampu meningkatkan pendapatan usahatani. Dalam hal ini, tampaknya diperlukan suatu upaya penataan ulang peran dan dinamika kelompok tani secara umum agar lebih aktif dalam menjalankan fungsinya sebagai media belajar dan pusat informasi bagi petani. Bersamaan dengan itu, dapat dibentuk koperasi pertanian atau penguatan kelembagaan lainnya di tingkat petani yang lebih efektif yang berfungsi menampung dan memasarkan komoditas petani dengan harga yang bersaing. Peran kelompok lebih kepada proses produksi dan kolektifitas pemasaran, sedangkan peran koperasi atau kelembagaan ekonomi di tingkat petani lebih pada stabilisasi harga. (32) Pemerintah daerah perlu secara aktif mengundang pengusaha swasta untuk menanamkan modalnya dalam hal industri pengolahan seperti jeruk, pengepakan sayuran (cabe, kubis, bawang merah) dan mangga. Industri ini diharapkan bisa membeli komoditas dari petani, sehingga harga jual
RE-8
komoditas tersebut akan lebih baik. Pola demikian dapat diwujudkan dengan kerjasama kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak. (33) Mengingat menyebarnya sentra produksi hortikultura, sangat mendesak untuk mempermudah transportasi pengangkutan barang ke pusat-pusat konsumsi khususnya Jakarta. Perbaikan sarana transportasi dengan pengamanan aliran barang-barang pertanian dari kutipan-kutipan yang sifatnya ilegal. Sementara untuk kutipan legal yang ditentukan oleh daerah lintasan sebagai dampak otonomi perlu diatur dalam undang-undang yang sifatnya lebih nasional dan perlakuan khusus bagi komoditas pertanian yang rawan rusak atau busuk. Terkait pemecahan masalah dalam hal transportasi/pengangkutan komoditas ini diperlukan kerjasama lintas instansi yaitu instansi pertanian, perhubungan dan aparat penegak hukum. (34) Pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian tidak cukup hanya melakukan pengembangan sentra, tetapi perlu melakukan saling silang informasi antar sentra termasuk informasi pemantauan intensif mengenai perkembangan barang dan harga dari waktu ke waktu di pusat konsumsi. Informasi ini sangat berguna bagi petani untuk merencanakan penanaman dan pemanenan hasil pertaniannya agar tidak terjadi saat-saat over supply akibat panen serentak atau kekurangan barang akibat seluruh sentra masa paceklik. Singkatnya, informasi pasar dan kondisi sentra lain yang memadai bagi petani mampu mensiasati terjadinya fluktuasi harga. (35) Menyusun dan menerapkan secara tegas kebijakan impor produk hortikultura dengan memperhatikan dan mengutamakan keamanan pasar produk domestik. Poin penting yang perlu diatur adalah bea masuk impor, waktu impor, dan kuantitas komoditas yang diimpor. Impor komoditas hortikultura dengan pengenaan tarif yang seimbang, dilakukan pada saat produksi dalam negeri rendah dan dengan jumlah yang terbatas merupakan dukungan kebijakan yang sangat membantu pemasaran produksi hortikultura dalam negeri. Terkait dengan kebijakan ini, diperlukan kerjasama yang sinergi antara instansi Departemen Pertanian dan Departemen Perdagangan.
RE-9