KUMPULAN KISAH DOKTER INDONESIA
Erta Priadi Wirawijaya
Potret Buram Pelayanan Kesehatan di Indonesia
KATA PENGANTAR Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik , World Health Organization (WHO) menyarankan setiap negara mengalokasikan setidaknya 5% dari GDP untuk anggaran kesehatan (rata-rata negara di dunia sudah mengalokasikan 10%). GDP Indonesia saat ini sekitar 7000 Trilyun sehingga menurut WHO seharusnya anggaran kesehatan Indonesia sekitar 350 Trilyun / tahun. Sementara itu UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 171 menuntut agar anggaran kesehatan Indonesia seharusnya minimal 5% dari APBN dan minimal 10% dari APBD. Berdasarkan hal tersebut jika anggaran belanja 2013 sebesar 1683 Trilyun maka seharusnya pemerintah mengalokasikan 84 Trilyun untuk kesehatan. Tapi kenyataannya pemerintah hanya mengalokasikan 34 Trilyun untuk kesehatan tahun 2013 hanya setengah dari jumlah yang seharusnya dianggarkan pemerintah atau 10% dari nilai yang disarankan WHO. Akibat rendahnya anggaran kesehatan tersebut infrastruktur kesehatan di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan tetangga dan permasalahan kesehatan di Indonesia berkembang tidak terkendali. Berikut ini adalah serangkaian kisah yang menggambarkan bagaimana Dokter Indonesia
bertugas
dalam
infrastruktur
kesehatan
yang
masih
sangat
terbatas.
Kedepannnya kami berharap dapat terkumpul cukup kisah yang menarik sehingga bisa dijadikan sebuah buku kecil yang dapat menggambarkan betapa besarnya permasalahan yang dihadapi bangsa ini akibat minimnya perhatian negara terhadap pembangunan kesehatan.
Erta Priadi Wirawijaya
1
KUMPULAN KISAH DOKTER DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Saya bertugas di Puskesmas Soliu Kecamatan Anfoang Barat Laut, Kabupaten Kupang tahun 2011. Disini ada kursi gigi, namun tidak ada listrik sehingga kursi gigi sama sekali tidak bisa dipakai. Ada genset tapi tidak dipakai karena tidak ada anggaran untuk BBM. Begitu pula dengan Ambulan, karena tidak ada anggaran BBM, hampir tidak pernah terpakai kecuali untuk kebutuhan pribadi kepala puskesmas. Saya waktu bertugas disana juga hanya bisa melongo saking tidak masuk di akalnya pembangunan kesehatan di negara saya ini. Ikhlasnya dokter itu adalah saat dia berdedikasi dalam bertugas, ikhlasnya dokter itu saat tidak mengeluh bekerja di luar jam kerja orang biasa (eks jaga malam dll), ikhlasnya dokter itu saat dia tetap berkomitmen bekerja untuk menyembuhkan pasiennya walaupun ada risiko terinfeksi pasiennya. Tapi berarti dokter kerja kayak budak, dibayar dibawah standar, ataupun mau disalahkan atas sistim yang buruk. - dr. Laila Aidi Saya bertugas didaerah Serang, tidak jauh dari Ibukota Negara. Di lingkungan dinas kesehatan kota Serang terdapat 16 puskesmas terdiri dari 6 puskesmas perawatan (1 puskesmas dengan 3 dokter, 3 puskesmas dengan 2 dokter, 1 puskesmas dengan 1 dokter) sisanya adalah Puskesmas non perawatan, sebanyak 9 Puskesmas diisi 1 Dokter dan 1 puskesmas non perawatan tanpa dokter. Harus diketahui bahwa standar puskesmas perawatan adalah 4-5 dokter dan non DTP 1-2 dokter. Jadi jelas masih kurang SDM. Alokasi anggaran darimana? Harusnya dari APBN. Tapi yg 5% itu katanya di luar belanja pegawai ya… hmmm…(anggaran kita masih 2%) - dr. Yustie Amelia
2
Di IGD RS Hasan Sadikin yang merupakan RS Rujukan Pusat di Jawa Barat - alat monitoring tanda vital masih kurang, kalaupun ada umumnya adalah barang lama yang beberapa fungsinya sudah rusak. Jadi seringkali kami harus berebut alat, pasien yang sedang dalam keadaan shock tekanan darahnya harus diperiksa manual karena alatnya seringkali tidak bisa memeriksa tekanan darah dengan tepat. Ventilator yang tersedia di IGD pun hanya ada satu, alatnya pun sudah tua dan sering rusak. Selang dan filternya sudah lama tidak diganti, hanya di resterilisasi berulang sehingga warnanya kusam dimakan usia. Ruang Perawatan, apalagi Ruang Perawatan Intensif hampir selalu penuh, sehingga bila ada pasien gagal nafas yang membutuhkan ruangan intensif dan ventilator kami tidak bisa berbuat banyak. Karena hal tersebut tatalaksana pasien menjadi tidak optimal. Kebanyakan pasien yang datang ke RS kami adalah pasien tak mampu yang menggunakan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JAMKESMAS). Sistem ini memiliki banyak keterbatasan, pertama karena tidak semua orang memilikinya, kedua karena banyak pengobatan atau tindakan berbiaya tinggi tidak ditanggung dalam sistem tersebut. Sehingga dalam pelaksanaannya banyak pasien dengan sangat terpaksa tidak mendapatkan pengobatan / tindakan yang maksimal. - dr. Erta Priadi Wirawijaya
3
Saya PTT tahun 2006-2008 di Puskesmas Sungai Melayu Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Infrastruktur sangat tidak memadai membuat ambulan baru rusak hanya dalam hitungan bulan. Listrik hanya ada di malam hari dan tidak setiap malam sehingga banyak alat yang tidak bisa digunakan. Dari segala kekurangan yang ada, yang paling kurang adalah SDM, sehingga saat di sana, bisa dibilang kami kerja 24/7 dan harus pergi jauh untuk bisa istirahat. Hanya ada 1 orang dokter umum dan 1 orang dokter gigi untuk populasi 10.007 orang. Tidak ada lab sederhana maupun alat roentgen. Kursi gigi tidak optimal digunakan karena tidak ada listrik yang memadai. Alat nebuliser di gudang digigit tikus kabelnya putus. Untuk mengisi Tabung Oksigen harus ke kota kabupaten yang berjarak 70 km dengan kondisi jalan rusak. Sampai saat ini, kondisinya tidak jauh berbeda dengan dulu. - dr. Raspati Cundrani Koesumadinata Saya PTT tahun 2007 -2009 di Puskesmas Talunan Solok Selatan, jarak RS dari puskesmas 3 jam perjalanan dengan mobil yang harus ditempuh melalui jalan tidak beraspal, berbukit, serta curam. Kendala terbesar saat saya bertugas adalah tidak adanya air bersih... hanya tersedia bak penampungan air hujan, yang juga yang bocor. Alhasil semua tindakan pembersihan luka tidak bisa dikerjakan... Akhirnya setelah menunggu 1 tahun tidak mendapat direspon dari dinas, saya terpaksa menggunakan uang pribadi untuk menyediakan sumber air buat Puskesmas. Dari segi fasilitas Puskesmas, Alat laboratorium sederhana yang digunakan untuk pemeriksaan Hb, mikroskop, tabung reaksi untuk pemeriksaan protein urin semua tidak ada, begitu pula dengan tabung Oksigen tidak ada. Sementara itu alat gigi tersedia namun tidak bisa digunakan karena tidak ada air. Mobil ambulan baru ada setelah tahun ke 2 PTT. Sebelumnya hanya ada 1 motor untuk bidan menolong persalinan ke rumah-rumah. - dr. Fira Medlia Sari
4
Saya bertugas di pulau Enggano yang merupakan salah satu pulau terluar di NKRI, disana ada Puskesmas dan juga Rumah Sakit Lapangan / Bergerak, untuk mencapai kesana dibutuhkan waktu 12-18 jam naik kapal Ferry, yang jadi permasalahan adalah dokter cuma ada 2 dengan beberapa bidan dan beberapa perawat, selain itu kami disana tidak ada listrik jadi rata-rata penduduknya memakai getset yang harga BBM-nya 2x lipat dari harga biasa, sebenarnya sangat banyak permasalahan kesehatan dipulau Enggano, akan tetapi disini saya cuma bisa memberikan gambaran umum saja bahwa kami sangat membutuhkan tambahan dokter, bidan, perawat dan paramedis lainnya karena hampir tiap hari kami bertugas sampai 24 jam. - dr. Zulfikri Rambe Saya PTT pada salah satu Kabupaten di Provinsi Riau. Puskesmas saya termasuk Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Puskesmas saya sangat tidak layak karena bangunannya sudah mulai retak dan lantainya longsor. Akses air bersih juga kita tidak ada. Untuk mencuci alat kita menggunakan air hujan, stetoskop, spigmometer dan thermometer juga tidak ada. Pernah PEMDA memberikan kita stetoskop dan spighmometer tapi itu tidak bertahan lama karena diberi yang kualitasnye jelek. Akhirnya kita menggunakan biaya pribadi untuk membeli. Puskesmas kami kami baru saja diberikan dental unit, tapi listrik disini tidak ada karena listrik cuma hidup dari pukul 17.00 s/d 06.00. Apabila ada tindakan untuk mencabut gigi pasien hanya kami suruh untuk membuang ludah tanpa harus dikumur.. hal ini dikarenakan tidak adanya air bersih, sementara pasien kalau disuruh membeli aqua gelas mereka tidak bersedia. Dulu kalau ada pasien keracunan kami tidak bisa melakukan bilas lambung kerena memang alatnya tidak ada.. lalu alat-alat sederhana seperti ETT juga tidak ada. - dr. Ervi Sembiring
5
Saya seorang PNS yang bertugas di Puskesmas di Kota Kecamatan. Kita selalu ingin agar pasien sembuh dalam perawatan kita, tapi sistem di negara ini membuat kita tampak bersalah. Mengapa?? Bagaimana mau sembuh kalau fasilitas dan persediaan obat tidak memadai! Kalo pasien tidak sembuh siapa yang disalahkan?? DOKTER!! Apa pasien tau pemerintah tidak menyediakan fasilitasnya??? Apa pantas kita bilang pada pasien 'Bu... Maaf Obat yang ibu butuhkan tidak disediakan pemerintah...!!! Selain itu mungkin TS yang bertugas dikota besar bisa praktek lagi sehingga punya penghasilan tambahan dan mencukupi kebutuhan keluarga. Bagimana dengan yang bertugas didaerah? Kami ikhlas harus makan GAJI PNS tookk tanpa tunjangan atau insentif daerah. Apa gaji 3 juta sudah memadai buat kehidupan kita yang di kampung?? Buat ongkos angkot ke tempat kerja, uang sekolah, jajan anak dan beli beras plus lauknya saja pas2an.. Kadang malah butuh Flu tiap bulan, alias Finjaman Lunak.. Itu hanya beberapa contoh lohh mbak... Saya rasa teman sejawat bergabung di DIB ini bukan karena mau kaya, tapi karena ingin sistem Kesehatan di negara ini menjadi lebih baik.. Sekaligus kesejahteraan kita terpenuhi sewajarnya. Salam sejawat. - dr. Lombak Tohang
6
Saya sudah mengalami menjadi dokter PNS dan dokter perusahaan. Secara logika saya menyenangi gaji sebagai dokter perusahaan karena mencapai hampir 10x gaji saya sebagai PNS. Pada saat saya meninggalkan daerah sangat terpencil tempat saya bertugas masyarakat setempat mendatangi saya dan berharap saya tidak pindah dan kalau perlu mereka meminta kepada bupati agar saya tetap di sana, namun konflik saya dengan kepala puskesmas terkait sikap idealis saya, membuat saya harus menjelaskan bahwa pilihannya saya harus keluar, tidak ada pilihan lain. Salah satu nenek yg berumur sekitar 80 tahun berucap "kalau nak dokter pindah, bagaimana nasib kami" ya Allah segini mulianya profesi ini. Tentu saya tidak akan meninggalkan orang yang membutuhkan saya karena upah yg berkisar cuma 2 juta sebagai PNS, tapi harusnya pemerintah menghargai dokter seperti halnya masyarakat menghargai dokter. Dokter juga punya tanggung jawab terhadap dirinya, keluarganya, pengembangan profesinya, dan banyak hal lainnya yg membutuhkan biaya melebihi profesi lain. Untuk ATLS dan ACLS saja membutuhkan biaya tidak sedikit, belum pelatihan lainnya yang harus kita ikuti sebagai point untuk perpanjangan STR juga merupakan kewajiban yg diatur dalam kode etik kedokteran. Saya rasa pantas kalau dokter PNS menuntut sejahtera. Gaji pokok PNS hanya berkisar 2 juta. Dan tidak semua dokter membuka praktek. Saya rasa teman dokter PNS yang jujur dan idealis merasakan hal yg sama. TIDAK SEJAHTERA - dr. Abdul Hakim Ritonga Lima tahun yg lalu di RSUD Cut Meutia di Aceh.. Sebagai seorang residen senior, Depkes mengirim ku ke kota tersebut atas permintaan walikotanya untuk mengisi posisi dokter jantung yg saat itu masih kosong. Di RSUD kota tsb memiliki alat diagnostik jantung yang sangat lengkap bantuan dari NGO asing. Singkat cerita MOU yg ditanda tangani oleh Depkes, UI dan Walikota tsb berisi antara lain kesejahteraan dokter; dapat mobil dinas,
7
rumah dinas, makan 3x/hari, insentif dan jasa medis yg merupakan tanggung jawab walikota. Namun apa yg terjadi semua yg dijanjikan tersebut tinggal lah janji. Rumah dinas yg diberikan bocor disemua ruangan bila hujan, makan 3x sehari tapi hampir tiap hari lauknya nasi + telur tanpa tambahan lauk lainnya, mobil dinasnya juga tak layak jalan. Setelah cukup lama di RS tersebut saya beranikan diri bertanya mengenai insentif dan jasa medis, jawaban yang saya terima adalah mereka tidak pernah menjanjikan hal itu! Akhirnya saya berjuang, saya laporkan ke Depkes dan UI. Bos-bos besar dari Depkes dan UI sampe turun ke kota tersebut, kami akhirnya menemui Direktur RS dan Kadinkes. Jawaban yg diterima sungguh manis sekali bahwa insentif dan jasa medis pasti akan diberikan. Namun sampai selesai bertugas disana tidak seperak pun insentif dan jasa medis yg saya terima. Malahan uang tabungan saya banyak terpakai untuk biaya hidup disana termasuk biaya makan. Kasus ini kemudian saya lapor kembali ke Depkes dan UI. Oleh karena itu Depkes dan UI sepakat untuk BLACKLIST kota tersebut. Saya adalah dokter (residen) jantung yg pertama sekaligus terakhir dikirim ke kota tersebut.- dr. Andika Sitepu SpJP Pada waktu saya residen Tugas Belajar (TUBEL), saya di kirim Depkes dengan penugasan khusus ke bangka. Tapi Depkes ga mau bayar gajinya, dengan argumentasi bangka bukan daerah terpencil, padahal mereka yg mengirim saya dengan surat tugas penugasan khusus. Sewaktu saya tanyakan langsung ke Depkes bagian Biro Kepegawaian, mereka mengakui kesalahan mereka, tapi tetap tidak mau membayarkan gaji tersebut, padahal saya telah melaksanakan kewajiban saya tersebut. Memang banyak penzhaliman dan kesewenang-wenangan terhadap dokter di Negeri ini. - dr. Yelvitta Reza
8
Sekali waktu saat stase di Malaysia saya naik taxi di Kuala Lumpur. Supirnya bertanya banyak hal tentang Indonesia termasuk pendapatanku sebagai seorang dokter di Indonesia. Sebagai residen pendapatanku saat itu cuma gaji PNS. Tunjangan fungsional dihentikan karena sedang sekolah. Saya bukan peserta program beasiswa tertentu. Tidak ada insentif karena saya PNS RS di ibu kota yang kebijakan Pemdanya tidak memberi insentif (dan fasilitas lainnya) kepada dokter yang bekerja di kota besar. Sebagai residen saya tidak berhak dapat jasa medis, dan sebagai residen tidak diperbolehkan praktek peribadi. Jadi pendapatanku saat itu benar-benar hanya bersumber dari gaji PNS. Terheran-heran sang supir dengan segala pembatasan itu karena di Malaysia residen tetap berhak penuh dengan gajinya yang besarnya lebih dari cukup untuk hidup layak sebagai manusia, dapat tunjangan perumahan, tunjangan beli mobil (dibenarkan oleh rekan-rekan residen di UMMC), kalau mau extra time jaga UGD 4-6 jam/shift honornya dibayar langsung yang besarnya sama dengan gaji PNSku sebulan, dan pendapatan-pendapatan lainnya. Lebih heran lagi supir tersebut waktu dia nanya berapa besar gajiku sebulan sebagai pegawai Pemerintah. Menurut dia besaran gaji sebulan itu bisa dengan mudah dia dapat dalam sehari sebagai supir taxi dengan bekerja hanya sepuluh jam sehari. Benar-benar tidak pernah dia menduga gaji pegawai negeri di Indonesia hanya sekecil itu. Menurut sang supir ada beberapa point yang membuat gajiku harusnya lebih besar dari pendapatan hariannya sebagai supir taxi: Indonesia negara makmur yang berkelimpahan sumber daya alam, saya goverment employee, sarjana, dokter, dan saya pegawai RS tipe A yang merupakan pusat rujukan pasien. Sekarang setelah bertahun-tahun jadi spesialis kalau ketemu supir taxi itu lagi saya yakin dia akan tetap terkejut kalau nanya berapa pendapatanku sekarang. Alhamdulillah sekarang pendapatanku sudah lebih besar dari saat residen, tapi sang supir pasti heran kalau tahu bahwa jasa medikku proporsinya jauh lebih kecil dari beban kerjanya, tanggung jawabnya, panjang jam kerjanya, sulitnya metode dan teknik kerjanya, dan besarnya risiko pekerjaannya, dan faktor-faktor lainnya. Saya yakin dia terkejut kalau jasa medik ORIF pasien Jamkesmas lebih kecil dari tarif taxinya kalau saya naik dari Cheras (daerah apartemenku saat itu) sampai di Petaling Jaya (daerah UMMC, RS tempatku stase). Dia tentu akan lebih heran lagi kalau tahu jasa sekecil itu juga pembayarannya tidak lancar, ditunda-tunda, seringkali dihilangkan dengan sengaja, dan kalau ditagih yang pasti didapat adalah intimidasi, bahkan mungkin teror. Masih sering teringat-terutama saat terima gaji-kalimat supir itu sebelum saya meninggalkan taxinya yang diucapkan dengan mimik serius, "Doc, when you come back to Indonesia tell your government to hire Mahathir from Malaysia." Sarkastik? Tidak juga.
9
Please don't suggest me to move in to Malaysia, quit my job now, and become a taxi driver in Kuala Lumpur. I love this country, and I love my job (though both always give so much pain). - dr. Erry Yunus SpOT Saya dokter Internship sempat ngobrol dengan teman saya dokter internship juga tapi berasal dari malaysia. Kami dulu sempat satu stase di rumah sakit indonesia. Dia cerita sekarang sedang internship di Malaysia, dan menanyakan honor saya. Saya jawab alhamdulillah dapat 1,2 juta/bulan dibayar 3 bulan sekali. Teman saya terheran-heran mendengar jawaban saya karena dia mendapatkan hampir 12 kali lipat dari honor saya, belum termasuk tunjangan makan dan tempat tinggal. Menurut dia Indonesia negara makmur sumber daya alam, seharusnya bisa memberikan honor lebih. Saya hanya menjawab indonesia masih terus berbenah karena ini program baru. (# malu juga bilang Indonesia tidak ada anggaran) - dr. Andy Bagus Laksana Tahun 2005 (saat itu saya masih dokter umum) saya bertugas sebagai dokter penerjemah di Kapal Rumah Sakit USNS Mercy TAH-19 milik Angkatan Laut AS (US Navy) berkapasitas 1000 tempat tidur - sebagai bantuan saat bencana Tsunami Aceh-Nias. Saya saksikan semua personil dokter, perawat & nakes di sana baik dari US Navy maupun Project Hope (NGO yg isinya pensiunan dokter & perawat) bekerja dengan hati dan luar biasa profesional. Mereka tak mengenal lelah. Apa rahasianya? Tiga kata: Kesejahteraan yang terjamin. Tidak ada pikiran mengganggu untuk nyari sambilan, juga ada kepastian untuk giliran sekolah terusss… Apakah pengobatannya beda? Jelas tidak, namun THEY HAVE GOOD SYSTEM, THEY PAY THE DOCTORS GOOD, AND THEY GET GOOD RESULT. - dr. Restuti Saragih SpPD
10
Atas nama idealisme dan pengabdian saya pernah 5 tahun bertugas sebagai dokter di Puskesmas di daerah sangat terpencil. Puskesmas tersebut membawahi 2 kecamatan, yang bertugas sebagai dokter disitu adalah saya dan istri saya. Jangan tanya masalah kesejahteraan.. gaji dan tunjangan mah tetep.. podho.. mau di desa terpencil atau di ibukota kabupaten. Dan utk menebus idealisme saya, anak saya (sekarang berumur 3 tahun) dari 0 bulan sampai berumur 2,5 tahun harus menderita 25x terjangkit malaria. Orang bilang itu sudah resiko, siapa suruh jadi dokter, dokter itu pengabdian dan bla..bla..bla.. jad, giliran saya bertanya sekarang, salahkah saya utk mencari sesuatu yg lebih baik utk saya dan keluarga saya?! Jujur saya tidak pernah berniat mengabdikan diri saya seumur hidup disana dan jujur idealisme tidak cukup memberi makan anak dan keluarga saya. So..sy mutasi ke daerah yg lebih baik.. - dr. Dimas Adrianto
Saya pernah bertugas di pelayanan primer kesehatan di negara ini dengan jasa medis yang saya terima mungkin hanya Rp. 250 ribu untuk satu tahun. Dua tahun saya bekerja disitu tanpa mengeluh, terutama karena masalah jasmed ini. Setiap hari dari jam setengah tujuh saya sudah masuk kerja dan menyirami tanaman di taman tempat kerja itu jauh sebelum karyawan lain datang. Saya memeriksa pasien sendiri tanpa membiarkan pasien diperiksa paramedis, berapapun banyaknya. Kadang ada pasien yang membawa ayam, pisang dll hasil bumi untuk saya setelah saya operasi tumor-tumor kecilnya. Di Puskesmas
11
tak ada alat steril, jadi saya sterilkan instrumen dengan merebus. Meja operasi pun pakai dipan panjang. Ketika kepala Dinkes tahu, dia memberi saya meja operasi yg seharusnya untuk RSUD.. Karena doek steril tidak ada, maka lapangan operasi yang saya perluas dengan antiseptik sehingga instrumen bedah bisa saya letakkan ditubuh pasien. Saya nikmati saja semuanya itu karena saya sangat menikmati interaksi dengan pasien-pasiennya yang orang "kampung" yang sederhana dan lugu ini. Mereka menjelaskan sakitnya dengan bahasa "kampung" yang lucu-lucu. Tata bahasa Indonesianya "ambur radul" membuat saya kadang tertawa terpingkal-pingkal karena saya sering mengartikan salah maksud pasien. Melihat kebelakang saat-saat itu justru yang membuat saya merasa paling bahagia dalam hidup, karena hubungan pasien-dokter tdk pernah berakhir. Kalau saya ke kampung-kampung, banyak yang memanggil saya untuk mampir ke rumahnya utk menikmati masakan "khusus" yang dia buat untuk saya, padahal hidup mereka amat sederhana. Sehari-hari mereka hanya makan nasi Jagung, tetapi untuk saya mereka memasakkan khusus nasi dari beras. Ada yang memanggil saya dengan "bapak Dokter," ada juga yang memanggil saya dengan "Kau periksa dulu ini dokter" atau "Kau mau ini dokter", kata dia sambil menunjuk ayam yg dia bawa untuk saya. Tapi bukan berarti mereka tidak sopan, namun mereka memang tidak mengerti kata-kata yang "sopan" versi kita. Hikmah yang saya ambil saat itu adalah, kita harus belajar memahami org lain dari sudut pandang mereka, bukan dari sudut pandang kita. Jadi sebenarya semua yang kita alami ada hikmahnya. Dan yang di Atas, pasti tidak akan tetap membiarkan kehidupan kita seperti itu terus, asalkan kita tetap bekerja dengan tulus selalu, pada suatu waktu nanti, semuanya akan dicukupkan oleh-Nya kepada kita. Suatu saat nanti pasti kita akan diberkati dengan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan impian kita. - dr. Danny Christian
DOKTER INDONESIA BERSATU (DIB) Bekasi Timur Regency Blok L1 No. 1 Kec. Setu Bekasi 17325 Telp: 021-36722709, Fax: 021-8205166, CP : 081294038559 (dr Agung) 0838 7660 1744 (dr Fenny) email :
[email protected] website : http://www.dib-online.org facebook : Group Dokter Indonesia Bersatu twitter : @DIB_bersatu
12