BELANJA SOSIAL ”POTRET BURAM BELANJA SOSIAL APBN 2010” I. Pengantar Belanja sosial (social expenditures) umumnya diketahui sebagai belanja yang diperuntukan untuk kepentingan sosial. Mengenai apa saja yang menjadi domain dari belanja sosial masih terus mengalami interpretasi. Belanja sosial seringkali dikaitkan dengan konsep; social security dan social welfare expenditure. Social welfare expenditure biasanya dipahami lebih kepada pengaturan dalam pembayaran penghasilan seperti santunan bagi pengangguran atau untuk membayar pensiun bagi manula. Social security expenditure biasanya tambahan dari sistem pengaturan pembayaran penghasilan yang termasuk di dalamnya belanja untuk pelayanan kesehatan dan perumahan. Sedangkan belanja sosial sering memasukan belanja pendidikan di dalamnya. Broderick (1975) menjelaskan bahwa belanja sosial dapat terlihat dalam beberapa bentuk, misalnya sebagai transfer ke rumah tangga lewat pendapatan atau pembayaran dari lembaga pemerintah, bisa juga dalam bentuk transfer dari perusahaan (enterprises) ke rumah tangga seperti pembayaran pensiun atau belanja berobat, atau dalam bentuk belanja langsung dari pemerintah dalam bentuk pembangunan fasilitas pendidikan, perumahan atau pelayanan kesehatan. Kenyataannya belanja sosial pada setiap negara ditentukan oleh pengaturan institusi, termasuk di indonesia. Untuk memotret belanja sosialnya akan sangat dipengaruhi oleh cara pandang pada substansi program yang ada, sehingga apakah satu pos masuk belanja sosial ataukah tidak bisa jadi timbul perbedaan. Paparan ini merupakan awal untuk mencoba melihat belanja sosial pada APBN tahun 2010.
II. APBN 2010 dalam Gambaran Umum Belanja Sosial 2.1 APBN dan belanja pemerintah pusat terus mengalami kenaikan. Total APBN 2010 diperkirakan sebesar Rp 1.047,7 triliun (17,5 % terhadap PDB). Alokasi tersebut menunjukkan peningkatan Rp46,9 triliun atau 4,7 % dari APBN-P 2009. Alokasi anggaran belanja pemerintah pusat mencapai Rp 725,2 triliun (12,1 % dari PDB). Jumlah ini berarti meningkat sebesar Rp 33,7 triliun atau 4,9 % bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam tahun 2009 sebesar Rp 691,5 triliun (12,8 % dari PDB). Dari jumlah alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam tahun 2010 tersebut, sebesar Rp340,1 triliun (46,9 %) dialokasikan untuk belanja kementerian negara/lembaga (K/L), dan Rp 385,1 triliun (53,1 %) untuk belanja non K/L. 2.2 Anggaran yang tidak langsung kepada rakyat cenderung terus meningat dibandingkan anggaran publik. Anggaran belanja Pemerintah Pusat tahun 2010 tersebut dialokasikan masing-masing untuk belanja pegawai sebesar Rp160,4 triliun (22,1 %), belanja barang sebesar Rp 107,1 triliun (14,8 %), belanja modal sebesar Rp 82,2 triliun (11,3 %), pembayaran bunga utang sebesar Rp 115,6 triliun (15,9 %), subsidi sebesar Rp157,8 triliun (21,8 %), belanja hibah sebesar Rp 7,2 triliun (1,0 %), bantuan sosial sebesar Rp 64,3 triliun (8,9 %), dan belanja lain-lain sebesar Rp 30,7 triliun (4,2 %). Dari komposisi tersebut, terlihat bahwa alokasi belanja pemerintah pusat masih didominasi oleh pengeluaran yang sifatnya wajib (non discretionary expenditure), yang meliputi belanja
pegawai1, pembayaran bunga utang, subsidi, dan sebagian belanja barang. Sedangkan sisanya merupakan belanja tidak mengikat (discretionary expenditure). Dalam hal ini belanja sosial lebih dekat masuk dalam kelompok bantuan sosial ketimbang kelompok belanja lain. 2.3 Bantuan sosial merupakan transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Pada APBN, bantuan sosial dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk di dalamnya bantuan untuk lembaga nonpemerintah bidang pendidikan dan keagamaan. Menurut pemerintah, bantuan sosial diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sifatnya tidak terus-menerus dan selektif. Bantuan sosial dapat langsung diberikan kepada individu, kelompok atau komunitas yang secara ekonomi masih lemah (miskin). Bantuan bisa bersifat sementara (misalnya untuk korban bencana), atau bersifat tetap (misalnya untuk penyandang cacat). Bantuan dapat diberikan langsung kepada penerima dalam bentuk uang ataupun berupa barang (in-cash transfers). Sifat bantuan bisa diberikan dengan syarat (conditional) atau tanpa syarat (unconditional). 2.4 Bantuan sosial mengalami penurunan. Dalam APBN tahun 2010, alokasi anggaran bantuan sosial ditetapkan sebesar Rp 64,3 triliun atau 1,1 % terhadap PDB. Mengalami penurunan sebesar Rp 13,6 triliun atau 17,5 % bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi bantuan sosial tahun 2009 sebesar Rp 77,9 triliun (1,4 % terhadap PDB). Alokasi anggaran bantuan sosial dalam tahun 2010 tersebut, terdiri dari: (1) alokasi dana penanggulangan bencana alam sebesar Rp 3,0 triliun,2 dan (2) alokasi bantuan sosial yang disalurkan kepada masyarakat melalui berbagai kementerian negara/lembaga sebesar Rp 61,3 triliun.3 2.5 Sementara jika dilihat berdasarkan fungsi, APBN 2010 masih didominasi oleh fungsi pelayanan umum (68,3 %), yang kemudian diikuti fungsi pendidikan (11,6 %), fungsi ekonomi (7,9 %), fungsi perumahan dan fasilitas umum (2,9 %), fungsi kesehatan (2,5 %), fungsi pertahanan (2,9 %), fungsi ketertiban dan keamanan (2,1 %), sedangkan sisanya sebesar 1,9 % tersebar pada fungsi-fungsi lainnya, seperti fungsi lingkungan hidup, fungsi pariwisata dan budaya, fungsi agama dan fungsi perlindungan sosial. Jika dilihat dari kelompok belanja ini, maka belanja sosial lebih mendekati pada fungsi pendidikan, perumahan, kesehatan, fungsi lingkungan hidup dan perlindungan sosial. Artinya model belanja sosial, selain sifatnya bantuan sosial ada juga yang yang merupakan pelayanan dari kementerian dan lembaga.
1
Belanja pegawai adalah bentuk pengeluaran yang merupakan kompensasi terhadap penyelenggara negara, baik dalam bentuk uang ataupun barang, yang harus dibayarkan kepada aparatur negara yang bertugas di dalam maupun di luar negeri, baik sebagai pejabat negara, maupun pegawai negeri sipil, sebagai imbalan atas pekerjaan atau pelaksanaan tugasnya, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. 2 Alokasi dana penanggulangan bencana alam dalam tahun 2010 tersebut sama dengan perkiraan realisasi dana penanggulangan bencana alam dalam tahun 2009, yaitu sebesar Rp3,0 triliun. 3
Alokasi anggaran bantuan sosial yang akan disalurkan melalui berbagai kementerian negara/lembaga dalam tahun 2010 sebesar Rp61,3 triliun tersebut, berarti mengalami penurunan sebesar Rp13,6 triliun, atau 17,5 % bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi bantuan sosial yang disalurkan melalui K/L dalam 2009 sebesar Rp74,9 triliun.
III. Potret Belanja Sosial 3.1 Belanja sosial tahun 2010 diperkirakan hanya Rp 130,4 triliun atau sekitar 31,1 % dari belanja yang dianggap langsung ditujukan kepada rakyat. Belanja sosial terdiri dari dua kelompok, yang ditunjukkan pada bagan dibawah, yaitu jaminan sosial sebesar Rp 86.8 triliun dan jasa pelayanan sebesar Rp 43,6 triliun. Pada kelompok jaminan sosial terbagi ke pada dua bagian, yaitu Asuransi dan Bantuan Sosial. Pada kelompok asuransi terlihat hanya asuransi pensiun yang punya alokasi besar. Sementara amanat UU 40 tahun 2004 justru tidak ada alokasi sama sekali. Sementara pada bantuan sosial menunjukkan banyaknya ragam belanja sosial yang dikelola oleh banyak kementerian dan lembaga. Pada bantuan sosial, anggaran PNPM menunjukkan porsi yang paling tinggi, diikuti oleh pangan baru kemudian Jamkesmas.
:: Bagan Belanja Sosial dalam APBN 2010. Belanja Pusat Rp725,2 T Belanja Publik Rp 418,6 T Belanja Sosial Rp 130,4 T (31,1 = 100%)
Jaminan Sosial Rp 86,8 T (66,6%)
Jasa Pelayanan Rp 43,6 T (33,4%)
Pendidikan Rp0, 35,4 T (27,1%)
Bantuan Sosial Rp 37,9 (29,0%)
Asuransi Nasional Rp 48,9 T (37,5%)
Pensiun Rp 48,9 T (37,5%)
Hari Tua Rp 0, (0)
Penganggura n Rp 0, (0)
Kesehatan Rp0, 8,2 T (6,3%)
Kesehatan Rp4,1 T (3,1%)
Pendapatan Rp15,7 T (12,0%)
Lansia & cacat Rp 600 M, (0,5%)
Perumahan Rp2,1 T, (1,6%)
Keluarga Rp1,3 T (1%)
Pendidikan Rp2,7 T, (2,05)
Pangan Rp11,4 T (8,7%)
3.2 Jaminan pensiun dan tunjangan hari tua hanya milik pegawai pemerintah. Mulai tahun 2009,4 Pemerintah telah menetapkan pendanaan pensiun PNS seluruhnya menjadi beban APBN pada pos kontribusi sosial. Sayangnya, yang menikmati hanyalah para pejabat yang tidak diketahui prestasinya. Jumlah manfaat Pensiun PNS pada tahun 2007 dan 2008 adalah Rp 27,6 Triliun dan Rp 33,3 Triliun dan diperkirakan meningkat sebesar Rp 39,8 Triliun dan Rp 48,9 Triliun pada tahun 2009 dan 2010, dengan mempertimbangkan kenaikan gaji pokok PNS dan peningkatan jumlah penerima manfaat termasuk pembayaran dana kehormatan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2008. Beban APBN untuk pembayaran pensiun periode 2009-2010 dapat dilihat pada Tabel. Tabel Pembayaran Pensiun Tahun Jumlah Penerima Pensiun (orang) 2009 2.344.645 2010 2.505.788 Sumber: Departemen Keuangan
Pembayaran Pensiun (Rp triliun) 39,8 48,9
Nilai pensiun itu telah menghabiskan banyak daana dan jelas sebuah ketidakadilan bagi rakyat karena hanya sedikit orang yang bisa menikmati masa tuanya lebih baik. Menerapkan Dana Pensiun dengan sistem fully funded juga bukan upaya yang tepat jika tidak dibarengi dengan keadilan bagi seluruh rakyat. Demikian halnya dengan jaminan hari tua (THT), selain hanya pegawai pemerintah, hanya pegawai swasta saja yang ikut Program Jamsostek. Sementara sebagian besar rakyat warna masa tuanya relatif tidak menentu. Khusus pegawai pemerintah, pendanaan program selama ini bersumber dari iuran potongan gaji PNS sebesar 3,25 %. Sementara pemerintah sebagai kerja tidak memberi kontribusi iuran. 3.3 Tidak ada jaminan bagi pengangguran di Indonesia. Pada Februari 2009 jumlah angkatan kerja mencapai 104,49 juta. Meski tingkat pengangguran mengalami penurunan dari 8,46 % dan 8,39 % pada Februari dan Agustus 2008, angka pengangguran masih relatif tinggi, mencapai 8,14 % pada Februari 2009. Satu sisi kebijakan dalam menangani pengangguran tidak begitu efektif.5 Bahkan menurunnya angka pengangguran justru lebih karena terbukanya lapangan kerja di sektor informal secara luas.
4
Semula, pendanaan pensiun dilakukan dengan sistem sharing antara APBN dan PT Taspen (Persero) yang besaran persentasenya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pada tahun 2007 dan 2008, persentase pendanaan sharing tersebut berturut-turut 85,5 : 14,5 dan 91 : 9. 5 Pemerintah menempuh beberapa kebijakan. Pertama, menciptakan lapangan kerja formal seluas-luasnya, mengingat lapangan kerja formal lebih produktif dan lebih memberikan perlindungan sosial kepada pekerja dibandingkan sektor informal. Kedua, meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan kerja berbasis kompetensi untuk memperoleh sertifikat kompetensi. Sertifikat ini diharapkan dapat digunakan sebagai modal bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dan sekaligus memberikan pendapatan yang layak, hlm. 44.
Pemerintah selalu berkilah di bidang tenaga kerja dengan lebih menyalahkan kaum buruh, yaitu tuntutan perbaikan upah dan lemahnya produktivitas yang menyebabkan dilema bagi dunia usaha untuk mengembangkan usahanya. Pemerintah memandang bahwa rendahnya produktivitas tenaga kerja mempengaruhi daya saing nasional dan pada gilirannya akan berdampak pada peringkat daya saing Indonesia bahkan biaya total tenaga kerja Indonesia menjadi tinggi. Padahal, ketenagakerjaan di Indonesia tidak ada pungutan sama sekali bagi mereka yang menganggur, baik yang belum maupun yang sudah bekerja. Jika saja, negara melaksanakan kebijakan bagi para penganggur, pengangguran bukan hanya akan turun, tetapi juga tetap produktif. Namun sayangnya, negara melalui APBNnya sama sekali tidak mengalokasikan, kecuali cash for work. 3.4 Meski besar tapi tidak semua belanja fungsi pendidikan merupakan belanja sosial. Pada tahun 2010, pemerintah berpendapat bahwa kompilasi dari anggaran berbagai program pendidikan yang dilaksanakan beberapa kementerian negara/lembaga, alokasi anggaran pada fungsi pendidikan diperkirakan mencapai Rp 84,1 Triliun (1,4 % terhadap PDB).6 Meski demikian, belanja tersebut tidak serta masuk dalam kategori belanja sosial. Diperkirakan yang bisa masuk belanja sosial hanyalah Rp 38,1 Triliun yang dialokasikan untuk melaksanakan 4 fokus kegiatan, antara lain: (1) peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata sebesar Rp 22,0 Triliun; (2) peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah dan tinggi sebesar Rp 2,8 Triliun; (3) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan non-formal sebesar Rp1,1 Triliun; serta (4) peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan pendidik sebesar Rp12,2 Triliun. 3.5 Bantuan operasional sekolah (BOS) bagi SD dan SMP, belum menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Tahun 2010, alokasi BOS sebesar Rp19,1 Triliun yang akan disediakan bagi 44,1 juta siswa tingkat pendidikan dasar. Meski tujuan program BOS adalah membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu, dan meringankan beban siswa lainnya agar semua siswa memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, namun kenyataannya hal tersebut masih belum terwujud. Program BOS diberikan, baik dalam bentuk pemenuhan kebutuhan operasional sekolah, maupun dalam bentuk BOS buku. Dana BOS tersebut dialokasikan berdasarkan jumlah murid, dengan alokasi sebesar Rp 397.000 untuk SD/MI kabupaten, sebesar Rp 400.000 untuk SD/MI kota per murid per tahun, sebesar Rp 570.000 untuk SMP/MTs kabupaten, dan sebesar Rp 575.000 untuk SMP/MTs kota per murid per tahun. 3.6 Beasiswa pendidikan untuk siswa dan mahasiswa miskin selain tidak berkeadialan juga menunjukkan bahwa nilai BOS masih kurang untuk membebaskan biaya pendidikan.
6
Jumlah tersebut, terdiri dari: (1) alokasi anggaran pada subfungsi pendidikan dasar sebesar Rp31,6 triliun atau 37,5 % dari anggaran fungsi pendidikan; (2) alokasi anggaran pada subfungsi pendidikan menengah sebesar Rp5,6 triliun (6,6 %); (3) alokasi anggaran pada subfungsi pendidikan tinggi sebesar Rp24,7 triliun (29,4 %); (4) alokasi anggaran pada subfungsi pelayanan bantuan terhadap pendidikan sebesar Rp17,7 triliun (21,2 %); dan (5) sisanya sebesar Rp4,5 triliun (5,4 %) tersebar pada subfungsi-subfungsi lainnya, yang meliputi alokasi anggaran pada subfungsi pendidikan anak usia dini, pendidikan nonformal dan informal, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, dan litbang pendidikan, serta pendidikan dan pembinaan kepemudaan dan olahraga.
Tahun 2010, beasiswa bagi siswa dan mahasiswa miskin dialokasikan anggaran sebesar Rp 2,7 Triliun. Program beasiswa untuk siswa miskin dalam tahun 2010 akan dialokasikan masing-masing untuk 2,5 juta siswa SD dan SMP dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,0 Triliun; bagi 1,2 juta siswa MI dan MTs dengan alokasi anggaran sebesar Rp619,2 Miliar; bagi 448,1 ribu siswa SMA dan SMK dengan alokasi anggaran sebesar Rp393,5 Miliar; bagi 310 ribu siswa MA dengan alokasi anggaran sebesar Rp243,2 Miliar; bagi 100 ribu mahasiswa Perguruan Tinggi dengan alokasi anggaran sebesar Rp360,8 Miliar; dan untuk 65 ribu mahasiswa Perguruan Tinggi Agama dengan alokasi anggaran sebesar Rp 78 Miliar. 3.7 Meski sudah diamanatkan oleh UU Kesehatan, alokasi fungsi kesehatan sejak tahun 20072010 semakin mengukuhkan bahwa tak ada komitmen serius untuk membangun bangsa yang sehat. Pada tahun 2007 sekitar 2,28 %, turun menjadi 2,01 % dan terus merosot hingga 1,68 % pada tahun 2009 dan hanya sedikit naik pada tahun 2010 yang mencapai, Rp18,0 Triliun atau hanya (2,5 %). Meski begitu, diperkirakan hanya sekitar Rp 12,3 Triliun,7 yang dapat dikategorikan dalam belanja sosial, yang terbagi untuk anggaran kesehatan sebesar Rp11,4 Triliun, keluarga berencana sebesar Rp900,9 Miliar. 3.8 Jaminan kesehatan adalah bukti pengangikaran pemerintah terhadap UU No.40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial. Dengan mengklaim meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar, khususnya bagi penduduk miskin, daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan, maka pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat (Jamkeskas) terus diberikan oleh pemerintah (sebelumnya Askeskin). Alokasi yang diberikan mencapai Rp 4,1 Triliun. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan amanat UUD 1945, UU 40/2004 dan UU Kesehatan Tahun 2009 yang mengamanatkan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat. Meski diklaim mencakup sebanyak 76,4 juta RTS, namun kenyataannya banyak warga tidak mampu justru tidak mendapatkannya. 3.9 Program upaya kesehatan masyarakat (pelayanan kesehatan di Puskesmas) dan Keluarga Berencana terus mengecil. Untuk program ini hanya di alokasikan anggaran sebesar Rp 1,0 Triliun. Alokasi pelayanan di Puskesmas dan jaringannya justru diturunkan dari Rp2,64 trilun menjadi Rp1,0 Triliun atau turun 62,12 %. Meski Puskesmas masih dominan dinikmati golongan mampu, tapi Puskesmas merupakan tempat terdekat bagi golongan miskin. Penurunan ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah dalam melibatkan masyarakat dalam pembangunan kesehatan terus merendah. Demikian pula dengan belanja untuk
7
Alokasi anggaran pada penekanan prioritas kegiatan kesehatan, akan digunakan untuk melaksanakan 4 fokus kegiatan, yaitu: (a) peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan sebesar Rp1,6 triliun; (b) percepatan penurunan angka kematian ibu dan anak, perbaikan gizi masyarakat, dan pengendalian penyakit sebesar Rp1,1 triliun; (c) peningkatan ketersediaan dan mutu obat dan tenaga kesehatan sebesar Rp3,1 triliun; dan (d) peningkatan jaminan pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, dan kepulauan sebesar Rp5,6 triliun.
program keluarga berencana yang hanya Rp 900 Miliar tidak sebanding untuk meningkatkan peserta KB aktif menjadi sekitar 26,7 juta peserta yang 11,9 juta diantaranya miskin. 3.10 Minimnya anggaran menyebabkan kelompok yang berada sedikit diatas garis kemiskinan membayar langsung biaya pengobatannya (out of pocket). Saat ini hanya sekitar 116 juta dari 230 juta rakyat Indonesia sudah terjamin pembiayaannya, teradiri atas (i) sekitar 15,4 juta terjamin melalui PT. ASKES (untuk PNS, pensiunan PNS, purnawirawan TNI dan Polri), (ii) Sebanyak 1,1 juta terjamin melalui skema pembiayaan TNI-Polri aktif dan PNSnya di lingkungan TNI-Polri dan Dephan, (iii) Tertanggung sebagai peserta PT JAMSOSTEK sebanyak 4,2 juta, (iv) 76,4 juta terjamin melalui skema Depkes RI melalui peserta Jamkesmas dan sisanya masuk dalam jaminan kesehatan yang diselenggarakan pemda provinsi dan kabupaten-kota. Banyak kasus kelompok ini jatuh miskin, kehilangan seluruh asetnya karena ludes untuk biaya kesehatan karena tidak memperleh jaminan kesehatan. Selain itu, sadar atau tidak, Jamkesmas telah mendorong warganegara membeli asuransi kesehatan swasta. Padahal sistem asuransi swasta adalah you get what you pay, artinya daya beli dan kekayaan akan menentukan dapat tidaknya pelayanan kesehatan diperoleh. Jadi jangan heran jika sebagian besar orang lebih memilih mati dari pada berobat. Di Indonesia, setiap tahun diperkirakan lebih dari 150 juta individu yang hidup dalam 44 juta rumah tangga mengalami kesulitan finansial, akibat langsung dari keharusan membayar perawatan kesehatan. Sekitar 25 juta rumah tangga atau lebih dari 100 juta individu rentan menjadi miskin, karena terdesak membayar pelayanan kesehatan (WHO, 2008). 3.11 Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, terus meningkat anggarannya meski tidak ada akuntabilitas keberhasilannya dalam mensejahterakan golongan miskin. Tahun 2010, alokasi untuk PNPM secara keseluruhan mencapai Rp15,7 Triliun.8 Pemerintah mengklaim bahwa mekanisme PNPM adalah upaya menanggulangi kemiskinan ditempuh dengan melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek, melainkan sebagai subyek upaya penanggulangan kemiskinan. Faktanya, golongan miskin hanya menjadi obyek dan tidak menjadi sasaran utama program yang didominasi utang ini. 3.12 PNPM Mandiri: belanja sosial yang manipulatif. Cara kerja PNPM yang lebih didominasi infrastruktur relatif mendekatkan pada model cash for work. Dimana pekerjaan ditujukan untuk para penganggur sehingga bisa memperoleh
8
Beberapa PNPM yang punya alokasi besar diantaranya, (1) peningkatan keberdayaan masyarakat dan PNPM perdesaan dengan kecamatan (PNPM Perdesaan), yang mencakup pemberdayaan di 4.671 kecamatan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp9,6 triliun; (2) penanggulangan infrastruktur sosial ekonomi wilayah penanggulangan kemiskinan perkotaan/P2KP (PNPM perkotaan), yang mencakup perluasan kelurahan di 11.039 kelurahan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,5 triliun; (3) PNPM infrastruktur pedesaan (PPIP) yang mencakup 3.124 desa dengan alokasi anggaran Rp1.225,9 miliar; (4) PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus yang mencakup seluruh kabupaten di Nangroe Aceh Darussalam dan 186 kabupaten lainnya dengan alokasi anggaran Rp57,0 miliar; serta (5) PNPM Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah yang mencakup pemberdayaan di 237 kecamatan dengan alokasi anggaran Rp499,5 miliar.
pendapatan. Namun, anehnya, para pekerja justru diminta berswadaya dan berkorban untuk yang lain. Bahkan untuk mendapatkan pekerjaan tersebut, kompetisi harus dilakukan. Klaim bahwa PNPM bisa mempekerjakan satu orang selama 60 hari adalah isapan jempol belaka, karena data lapangan justru menunjukkan rata-rata hanya bekerja 7 hari. 3.13 Program Keluarga Harapan: Tunjangan keluarga yang terlalu rumit dan belum berkeadilan. Gagasannya, bantuan PKH bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat miskin melalui pemberdayaan kaum ibu dan mendorong agar anaknya tetap sehat dan bersekolah. Namun kenyataannya tunjangan uang tunai ini justru dipenuhi dengan persyaratan-persyaratan9 yang merumitkan golongan miskin. Tahun 2010, PKH mengalokasikan Rp1,3 Triliun bagi 810.000 RTSM. Selain itu, sejak tahun 2007, program ini tidak menunjukkan perkembangan wilayah dan anggarannya secara siginifikan, sehingga hanya dinikmati oleh sebagian warga di 13 Propinsi. Artinya golongan miskin di 20 propinsi lain belum memperoleh hak-haknya. Belanja sosial model PKH juga menyulitkan identifikasi untuk siapakah sebenarnya program tersebut, apalagi dengan bergabungnya Kemenakertrans yang mengklaim akan menurunkan pekerja anak.10 3.14 Subsidi pangan melalui raskin hanya mendukung konglomerasi perberasan. Meskipun ditujukan kepada golongan miskin, efektifitas raskin tidak sampai pada 50% karena selain membeli, kualitas beras dan beban pengutuan lain masir dibayarkan oleh golongan miskin. Tahun 2010, Raskin dianggarkan sebesar Rp 11,4 Triliun. Anehnya, perkembangan realisasi anggaran subsidi pangan, selama kurun waktu 2005–2009, secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp 6,6 Triliun atau tumbuh rata-rata 19,6 % per tahun, dari sebesar Rp 6,4 triliun (0,2 % terhadap PDB) pada tahun 2005 menjadi Rp12,1 Triliun (0,2 % terhadap PDB) pada tahun 2008, dan diperkirakan mencapai Rp13,0 Triliun (0,2 % terhadap PDB) pada tahun 2009. Kenaikan realisasi subsidi pangan yang sangat signifikan tersebut berkaitan dengan: (1) bertambahnya kuantum raskin yang dijual, dari sebesar 2,0 juta ton pada tahun 2005 menjadi 3,3 juta ton pada tahun 2008; dan (2) makin tingginya subsidi harga raskin. Lalu kenapa pemerintah mengatakan penduduk miskin turun? Sudah seharusnya subsidi pangan yang di APBN-P 2010 mencapai Rp 14,2 Triliun dihapus.
9
Penerima bantuan PKH adalah RTSM yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0–15 tahun (atau usia 15–18 tahun namun belum menyelesaikan pendidikan dasar), dan/atau ibu hamil/nifas. PKH memberikan bantuan tunai kepada RTSM, dengan mewajibkan RTSM tersebut mengikuti persyaratan yang ditetapkan program, yaitu: (1) menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan, dan menghadiri kelas minimal 85 % hari sekolah/tatap muka dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung; dan (2) melakukan kunjungan rutin ke fasilitas kesehatan bagi anak usia 0–6 tahun, ibu hamil, dan ibu nifas. 10
Bandingkan dengan Bantuan Langsung Tunai: Mirip tunjangan pendapatan, namun telah dihapus karena tidak mau dianggap charity. BLT diberikan sebagai bantuan kompensasi sosial akibat kenaikan harga BBM dalam kurun waktu 2005-2009 mengalami fluktuasi dari sebesar Rp12,0 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp3,9 miliar dalam tahun 2008, dan diperkirakan mencapai sekitar Rp6,2 triliun dalam tahun 2009. Tahun 2010 BLT tidak lagi dianggarkan dalam APBN. BLT bisa dikatakan salah satu jaminan sosial dalam melindungi kerentanan rumahtangga. Masalahnya, BLT masih didesain tanpa memperhatikan suara masyarakat, tingkat harga suatu daerah dan jumlah anggota keluarga sehingga BLT menjadi lebih adil dan menjadi layak sebagai kebijakan sosial yang mesti diteruskan.
3.15 Perumahan: sangat kecilnya anggaran adalah upaya penggelandangan rakyat. Sampai saat ini kebijakan pemerintah dalam memenuhi hak rakyat terhadap perumahan jelas-jelas sangat minim. Padahal, ada sekitar 25 % rumah tangga yang belum mempunyai tempat tinggal menetap. Namun, situasi itu tidak merubah kebijakan perumahan. Malah yang terjadi banyak rakyat yang digusur dari rumah-rumah yang mereka bangun sendiri. Tahun 2010, meski fungsi perumahan dan lainnya menganggarkan Rp20,0 Triliun, namun hanya sekitar Rp 2,1 Triliun yang merupakan belanja sosial dari negara bagi rakyatnya. Belanja tersebut hanya untuk penyaluran subsidi KPR, yang terdiri atas KPR konvensional sebanyak 314.683 unit dan KPR Syariah sebanyak 6.651 unit. Ini jelas sedikit sekali jika dibandingkan dengan kebutuhan perumahan warga negara.
IV. Penutup Data di atas menunjukkan bahwa belanja sosial pada APBN 2010 selain jumlahnya kecil, juga banyak belanja sosial yang kurang sesuai dengan kondisi dan persoalan yang dihadapi dan dibutuhkan oleh sebagian besar rakyat. Akhirnya, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 28H ayat (3) dengan jelas menyatakan “Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat“. Pasal 34 ayat (1) memastikan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, ayat (2), “Negara mengembangkan sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan“ dan pasal 34 ayat (3) ditegaskan bahwa: “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Sila ke-2 Pancasila menyatakan kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ke-5 mengaskan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari landasan-landasan tersebut jelas, bahwa Negara berkewajiban untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat, serta untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan. Meski landasan negara sangat jelas, namun sampai saat ini kesejahteraan belum terwujud bagi sebagian rakyat. Masih banyak rakyat yang hidup tidak bermartabat bahkan ada yang memilih mengakhiri hidupnya. Kualitas SDM kita masih rendah, lihat saja Laporan Pembangunan Manusia Tahun 2006 dimana, pembangunan index manusianya masih berada pada rangking 108 dari 177 negara. Ini sangat memprihatinkan, karena di antara Negara anggota ASEAN ranking Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Tak ada pilihan lain, selain meningkatkan alokasi belanja sosial, menciptakan belanja sosial yang tepat adalan keniscayaan. Pembangunan yang mensejahterakan warga bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Jalan tidak selalu lurus, banyak tikungan, terjal bertebing dan licin siap menggelincirkan komitmen. Jadi, mari kita perjuangkan bersama kesejahteraan untuk anak cucu. ***