TEMU ILMIAH IPLBI 2016
Kritik Fenomena Double-Skin Facades Menggunakan Material Allumunium Composite Material (Acm) pada Bangunan di Indonesia berdasarkan Teori “The Eyes Of Skin” Juhanni Pallasma Irfan Diansya Program Studi Magister Rancang Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB.
Abstrak
Double-skin facades merupakan teknik penerapan desain untuk merespon lingkungan terhadap karya arsitektur. Beberapa contoh diantaranya untuk merespon terhadap iklim, suhu udara, cahaya, dan sistem akustik pada bangunan. Semenjak teknologi material semakin maju, arsitek dihadapkan berbagai macam pilihan material untuk diterapkan pada desain yang dirancang. Kreatifitas arsitek didukung dengan kemajuan industri teknologi material, membuat desain yang di usung oleh arsitek semakin menarik dan berkarakter. Dinding menjadi media penyampaian cita rasa seni atau sense of art yang dimilki sang arsitek. Selubung bangunan yang awalnya memiliki fungsi sebagai respon bangunan terhadap lingkungan kemudian ditangan arsitek beralih menjadi media untuk berkarya seni yang fungsional (functional of art). Tren pemasangan double-skin facades banyak di emulasi oleh para arsitek yang “gagal paham” terhadap motif utama yang melatar belakangi pemasangan double-skin facades. Arsitek yang melakukan proses analisa lingkungan dan merespon lingkungan dengan cara yang baik dan benar, produk desain yang dihasilkan pasti akan baik. Hasil produk desain yang baik tersebut sering di emulasi oleh arsitek yang “gagal paham” untuk diterapkan pada produk desainnya. Sehingga double-skin facades yang awalnya fungsional menjadi hanya sekedar aksen pelengkap keindahan bangunan atau seni yang tidak berfungsi dysfunctional of art. Salah satu material selubung terluar bangunan yang banyak beredar di pasar saat ini adalah allumunium composite material atau sandwich panel. Allumunium Composite Material (ACM) merupakan material allumunium yang terdiri dari tiga lapisan. Pada permukaan terluar dan terdalam dilapisi material allumunium dan pada lapisan dalam di isi dengan material Non-Allumunium. Material nonallumunium tersebut tergantung teknologi yang diterapkan oleh industri yang membuat, ada yang menggunakan material polyethylene, material rubber (karet), mica, dan lain sebagainya. Allumunium Composite Material (ACM) saat ini sudah banyak digunakan dalam karya arsitektur di Indonesia, bahkan material ini sudah menjadi tradisi yang harus digunakan dalam karya arsitektur terutama bangunan komersial, baik itu hotel, apartemen, pusat perbelanjaan bahkan banyak juga gedung instasi pemerintahan menggunakan material ini untuk melapisi selubung terluar bangunan. Oleh sebab itu, penulis berusaha menggali motif yang mendasari pemasangan double-skin facades yang menggunakan material ACM. Apakah didasari dengan nilai fungsional atau hanya sekedar aksen pelengkap keindahan bangunan. Metode yang digunakan yaitu observasi arsip media online serta observasi langsung dilapangan. Kemudian dilakukan proses analisis visual kemudian dideskripsikan berdasarkan teori the eyes of skin (Pallasma, 1996). Artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kesadaran arsitek dengan motif yang mendasari suatu desain, sehingga arsitek bisa menyikapi dengan bijak desain tersebut. Kata Kunci : motif, double-skin facades, selubung, material, ACM
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | I 055
Kritik Fenomena Double Skin Facades Menggunakan Material ACM pada Bangunan di Indonesia berdasarkan “Teori The Eyes of Skin”
Double-skin facades merupakan teknik penerapan desain untuk merespon lingkungan terhadap karya arsitektur (Roth, Lawrence, & Brodrick, 2007). Beberapa contoh diantaranya untuk merespon terhadap iklim, suhu udara, cahaya, dan sistem akustik pada bangunan. Teknik penerapan double-skin facades yaitu menyelubungi dinding utama dengan dinding lapis kedua dengan cara dan menggunakan material tertentu sesuai kreatifitas arsitek. Pada prakteknya, dinding lapis kedua bukan pembatas utama bangunan, sehingga arsitek sering berinovasi pada dinding lapisan terluar yang menghadap ruang publik disekitar bangunan. Semenjak teknologi material semakin maju, arsitek dihadapkan berbagai macam pilihan material untuk diterapkan pada desain yang dirancang (Sulivan, 1997). Salah satunya yang banyak beredar di pasar saat ini adalah allumuni-
um composite material atau sandwich panel. Pengantar
Allumunium Composites Material (ACM) pertama
kali ditemukan oleh 3A Composites (Alcan Composites & Alusuisse) pada tahun 1964, kemudian produk tersebut dikomersialisasikan pada tahun 1969 dengan nama Alucubond lalu 20 tahun kemudian muncul Dibond yang memproduksi material yang sama. Material ini terdiri dari tiga lapisan, pada permukaan terluar dan terdalam dilapisi material allumunium dan pada lapisan dalam di isi dengan material Non-Allumunium. Material non-allumunium tersebut tergantung teknologi yang diterapkan oleh industri yang membuat, ada yang menggunakan material polyethylene, material rubber (karet), mica, dan lain sebagainya. Motif awal produk material ini diciptakan untuk meringankan beban yang dihasilkan bangunan khususnya bangunan tinggi. Pasca-revolusi industri, penzonaan wilayah peruntukkan diterapkan, kebutuhan lahan diperkotaan semakin tinggi sehingga lahan di pusat kota semakin sempit sehingga arsitek pada masa itu dituntut untuk mendesain bangunan beberapa lapis dari atas permukaan tanah (bangunan berlantai banyak). Dukungan teknologi industri beton dan baja yang memungkinkan mendirikan bangunan tingI 056 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
gi, maka banyak arsitek merekomendasikan mendirikan bangunan beberapa lapis dari atas permukaan tanah. Pada awalnya, bangunan tinggi di dukung dengan struktur kolom dan balok yang berukuran besar karena diiringi juga dengan beban yang ditopang bangunan pada saat itu sangat besar. Ruangan didalam tidak efisien Oleh sebab itu, isu untuk meringankan beban bangunan sangat gencar digaungkan pada masa itu sehingga banyak teknologi-teknologi material ringan seperti kaca, ditemukan. Demikian juga ACM merupakan pengembangan dari material allumunium agar bisa diaplikasikan pada bangunan untuk mengurangi beban dinding pada bangunan. Material ACM seperti “mewabah” ke ranah arsitektur di Indonesia, jika kita perhatikan banyak bangunan baru yang dibangun menggunakan material selubung pembungkus allumunium composite material . Metode Proses pengumpulan data menggunakan metode observasi arsip media online serta observasi langsung dilapangan. Kemudian dilakukan proses analisis visual dengan cara membandingkan beberapa karya arsitektur yang memasang selubung terluar bangunan menggunakan material Allumunium Composite Material (ACM) kemudian dideskripsikan berdasarkan teori the eyes of skin yang dipublikasikan oleh Juhanni Pallasma. (1996) Respon Perancang di beberapa Negara dalam penggunaan ACM pada karya arsitektur Tahap awal, mari bandingkan pengaplikasian ACM pada karya arsitektur di Negara asal material tersebut di produksi yaitu Amerika, kemudian karya arsitektur di Eropa serta ACM mulai diaplikasikan pada karya arsitektur di negara Asia. Studi kasus pertama yang dipilih yaitu pada National Center for Civil Human Rights di Amerika Serikat. Dalam projek ini, perancang menyikapi bentuk bangunan yang curvy serta memiliki kemiringan pada selubung dinding bangunan, meski dimungkinkan menggunakan material konvensional, perancang membungkus dinding
Irfan Diansya
utama dengan selubung ACM baik disisi luar maupun didalam bangunan sebagai “gimmick” kontinuitas material yang seolah olah material ACM sebagai material asli pembentuk permukaan bangunan.
Gambar 1 : ACM pada National Center for Civil and Human Rights / The Freelon Group (Now part of Perkins+Will, USA. Arsitek : Phil Freelon, FAIA LEED AP BD+C. Foto © Mark Herboth
Perancang juga mempermainkan berbagai variasi warna yang ditawarkan oleh industri pembuat ACM sebagai Ritme warna mono-chrome pada fasad bangunan. Perancang menjadikan permukaan bangunan seolah-olah media untuk menuangkan ide seni abstrak kepada orang yang melihat. Apapun motif yang mendasari perancang untuk menggunakan ACM sebagai selubung bangunan, namun sangat terlihat jelas bahwa penggunaan material ini pada National Center for Civil Human Rights hanya untuk pencapaian bentuk arsitektur serta aksen untuk menam-bah nilai estetika bangunan. Dan yang harus dicatat tidak ada nilai kejujuran didalam ar-sitektur didalamnya, hanya sekedar gimmick yang menutupi struktur asli bangunan. Studi kasus kedua yang dipilih adalah The Turbulence FRAC Centre di 75 Rue Du Colombier, 45000 Orleans, Prancis. dalam projek ini, dalam konteks motif perancang dalam memilih material selubung bangunan menggunakan ACM hampir sama dengan National Center for Civil Human Rights, yaitu pencapaian bentuk yang diharapkan oleh pe-rancang setelah proses analisa desain. Na-mun dalam bangunan The Turbulance FRAC centre ada perbedaan yang mencolok dengan National Center for Civil Human Right yaitu dalam hal kejujuran dalam arsitektur.
Gambar 2 : The Turbulence FRAC Centre di 75 Rue Du Colombier, 45000 Orleans, Prancis. Arsitek : Jakob + Macfarlane Architects. Foto © Nicolas Borel Pada kasus pertama, adalah fungsi selubung yang menggunakan ACM hanya untuk memanipulasi selubung utama bangunan yaitu beton bertu-lang kemudian dilapisi menggunakan ACM seba-gai material finishing bangunan. Dalam hal fungsi, ACM pada bangunan National Center for Civil Human Rights tidak lebih dari penambah nilai estetika. Berbeda konteks dengan National Center for Civil Human Rights, The Turbulence FRAC Centre, selain untuk pencapaian bentuk yang diharapkan oleh perancang, ACM mendominasi dalam keseluruhan karya arsitektur The Turbulence FRAC Centre. ACM sebagai Material utama pelapis bangunan. Dan untuk menghindari kebocoran karena ketebalan ACM yang tipis serta masuknya air kesela-sela sambungan, maka perancang melapisi pada bagian dalam menggunakan material seng (zinc). Struktur bangunan, selubung pelindung, dan selubung terluar, dihadirkan secara jujur dan gamblang oleh perancang karena ketika kita lihat dari luar, Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | I 057
Kritik Fenomena Double Skin Facades Menggunakan Material ACM pada Bangunan di Indonesia berdasarkan “Teori The Eyes of Skin”
kejujuran panel ACM yang dihadirkan, dan jika kita ada didalam bangunan maka kejujuran struktur dan selubung pelindung yang dihadirkan oleh si perancang. Pada kasus desain ini, tidak ada gimmick dalam hal selubung penutup bangunan. Studi kasus ketiga yang dipilih terletak di negara China, negara ini paling banyak menjual produk ACM di pasar Indonesia dengan harga yang lebih murah daripada ACM produksi Amerika. Karya arsitektur yang di pilih adalah Shanghai Oriental Sport Center karya GMP Architekten. Motif pemilihan material selubung bangunan yang dipilih perancang dalam projek gelanggang olah raga di Shanghai ini sama dengan kasus pertama dan kedua, yaitu untuk mencapai tujuan bentuk yang diharapkan oleh si perancang.
Jadi, dari ketiga kasus yang disajikan diatas, penulis berpendapat penggunaan ACM sebagai material utama selubung terluar bangunan sebagian besar untuk mengejar pencapaian bentuk yang diharapkan oleh si perancang. Jika dikaji lebih jauh lagi terhadap studi kasus yang lain. Motif ini kemungkinan akan mendominasi pada kasus-kasus perancangan arsitektur. Dan sebagian besar karya yang menggunakan selubung ACM penuh dengan tipuan. First impression bagi orang yang pertama kali melihat bangunan tersebut, kesan “wah” pasti akan langsung sampai kepada si pelihat. Namun kesan “wah” tersebut kebanyakan merupakan tipuan atas ketidak-jujuran karya arsitektur. Kesan “wah” ini yang sering di emulasi oleh para arsitek yang “malas” untuk melakukan analisa kemudian menyajikan kesan tipuan “wah” ini untuk menarik perhatian klien. Sehingga karya arsitektur yang tidak jujur bertebaran dipenjuru dunia akibat kesan “wah” yang diserap tanpa proses pengkajian lebih jauh.
National Center for Civil Human Rights di Amerika Serikat dan Shanghai Oriental Sport Center merupakan bentuk dari Critic of Ocularcentrism. Critic of Ocularcentrism banyak
Gambar 3 : Shanghai Oriental Sport Center karya GMP Architekten. Foto © Marcus Bredt
Namun dalam hal kejujuran dalam beraristektur, memiliki motif sama persis dengan kasus National Center for Civil Human Rights di Amerika Serikat. Selain untuk mencapai bentuk, motif lain si perancang hanya untuk mengejar kesan yang diberikan bangunan kepada orang yang melihatnya. Bentuk bangunan seakan-akan dimanipulasi dengan selubung penutup ACM. Namun ketika bangunan ditelanjangi selubung utamanya, bangunan ini tidak ubahnya hanya kolom yang tegak lurus dan penuh dengan reng baja sebagai struktur pembentuk dan penopang selubung utama ACM. Banyak tipuan atau gimmick yang disajikan dalam karya arsitektur Shanghai Oriental Sport Center. I 058 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
dilakukan oleh para arsitek-arsitek saat ini, sebagai respon terhadap kemajuan teknologi dan juga pencapaian bentuk desain sesuai yang di inginkan oleh si perancang. Seperti halnya Fredrich Nietzsche yang berusaha mengalahkan otoritas pemikiran okularnya, kelihatan tampak kontradiksi dengan pola pemikiran umumnya. Kemudian muncul kritik pandangan “anti-okularsentris” dalam cara berpikir dan persepsi, yaitu cara memanipulasi sebuah karya arsitektur baik kedalam bentuk, ruang, tekstur, kesan, suasana, dan lain sebagainya. Tidak harus terpusat dengan indera penglihatan kita, tetapi juga harus melibatkan indera penciuman, pendengaran, perasa, dan peraba yang kita miliki untuk mewujudkan suatu karya arsitektur yang berkarakter. (Pallasma, 1996).
Irfan Diansya
Wabah Penggunaan ACM di Indonesia, bentuk lain dari critic ocularcentrism atau gimmick to critic ocularcentrism ?
Dominasi visual dari panca indera lainnya telah banyak diteliti oleh banyak filsuf. Kumpulan tulisan dari para ahli filsafat “Modernity and The Hegemony of Vision” berargumen bahwa ketika dimulainya peradaban yunani kuno, kebudayaan barat telah didominasi oleh paradigma okularsentris, yaitu pandangan yang menyeluruh, pandangan yang terfokus ilmu pengetahuan, kejujuran dan kenyataan. Paradigma yang okularsentris terhadap hubungan dunia dan ilmu pengetahuan “The Epistemological Privileging of Vision” telah diungkapkan oleh banyak filsuf. Hal itu menjadi penting untuk mengobservasi dan mengkritik ketetapan hubungan antara penglihatan dengan indera lainnya dalam ilmu pengetahuan kita yaitu, dibidang seni dan arsitektur. (Pallasma, 1996) Cara pandang okularsentris (ocularcentrism) merupakan teori kesesuaian saksi dalam cara berpikir, maksudnya segala sesuatunya harus didasarkan atas fakta, ilmu pengetahuan dan kejujuran, sedangkan critic ocularcentrism merupakan kebalikan dari ocularcentrism. Namun, teori critic ocularcentrism seperti yang diungkapkan Juhanni Pallasma tujuan memanipulasi bentuk, ruang, tekstur, kesan, suasana, dan lain sebagainya untuk menciptakan karakter. Tujuan Critic ocularcentrism yang disampaikan Juhanni Pallasma terhadap karya arsitektur, penulis meyakini bahwa tindakan memanipulasi yang dilakukan arsitek bertujuan untuk menciptakan karakter yang mengesankan dan memberikan kesanangan terhadap si pengguna atau penikmat karya arsitektur. Namun, di Indonesia saat ini teori critic ocularcentrism sulit dibedakan tujuannya, banyak
perancang memanipulasi karya arsitektur hanya untuk meniru karya arsitektur yang telah dimanipulasi untuk dimanipulasi kembali agar karya yang dihasilkan juga mendapatkan kesan bagi orang yang melihat dan menggunakan seperti karya yang ditiru. Mungkin kesan “wah” yang penulis sampaikan sebelumnya sampai si pelihat atau pengguna, namun karya itu tidak berkarakter. Maka karya tersebut merupakan gimmick to critic ocularcentrism atau apakah bentuk lain dari ocularcentrism ?... Sebagai contoh dalam penggunaan ACM pada selubung muka bangunan di Indonesia, saat ini seperti wabah penyakit yang sangat cepat menyebar kepelosok daerah. Pada saat ini, kita dengan mudah menjumpai bangunan yang menggunakan ACM disetiap kota di Indonesia, material ini seperti material nonlocal namun sudah menjadi tradisi di Indonesia dan digunakan pada beberapa tahun terakhir. Penulis meyakini pasti banyak motif yang mendasari pemilihan material tersebut, namun tren ini juga bisa berdampak buruk terhadap karakter asli wajah arsitektur Indonesia yang beragam. Ancaman perubahan wajah kota (streetscape) menjadi hutan bangunan yang diselubungi material ACM mungkin saja terjadi, dan secara tidak langsung karakter asli keberagaman wajah arsitektur Indonesia akan punah dan menjadi karakter dengan wajah baru. Wajah yang menggunakan topeng dengan material sama yang menyelebungi wajah asli keberagaman karya arsitektur di Indonesia. Berikut beberapa contoh bangunan-bangunan yang ada di Indonesia menggunakan ACM sebagai selubung bangunan seperti yang terlihat pada (Gambar 4).
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | I 059
Kritik Fenomena Double Skin Facades Menggunakan Material ACM pada Bangunan di Indonesia berdasarkan “Teori The Eyes of Skin”
wajah asli bangunan saat ini di lapisi dengan material ACM dengan alasan agar terlihat “modern” dan tidak terlihat kuno. Proses ini yang penulis sebut gimmick to critic ocularcentrism , memanipulasi terhadap objek yang sudah dimanipulasi sebelumnya. Contoh serupa banyak terjadi pada bangunan di Indonesia, seperti gedung keuangan provinsi SUMUT karya F.Sillaban. ACM Sebagai Topeng
Gimmick to critic ocularcentrism, memanipulasi Gambar 6 : Berbagai macam contoh bangunan yang menggunakan ACM sebagai selubung penutup dinding bangunan. Foto © kumpulan dari berbagai macam sumber milik pribadi ataupun internet.
Berbagai motif yang melatarbelakangi masyarakat lebih memilih menggunakan material ACM. Sebagai contoh, sebuah bank milik pemerintah membuat panduan dalam membangun dan mendesain kantor cabang di setiap daerah. Material yang digunakan pada selubung terluar bangunan harus ACM, alasannya sebagai identitas wajah depan bank agar mudah dikenali oleh masyarakat dan lebih terlihat modern. Alasan mengatakan “agar terlihat modern” menurut pendapat penulis karena material ACM merupakan pengembangan dari teknologi material allumunium. Kemudian banyak diapli-kasikan pada bangunan modern dengan bentu-kan yang organik dan futuristik serta bangunan tersebut mampu memberikan kesan “wah” kepada orang yang melihat. Kesan tersebut kemudian dibawa oleh si pelihat dan diaplika-sikan pada bangunan miliknya. Kesan pertama si pelihat terhadap bangunan yang dilihatnya yaitu bangunan didominasi menggunakan ACM, maka secara dangkal banyak orang yang tertipu karena manipulasi yang dilakukan oleh arsitek sebelumnya terhadap kesan pertama yang diterima oleh si pelihat. Hal ini yang dimaksud oleh (Pallas-ma,Juhanni.1996) tentang The Narcisstic and Nihillistic Eye , hegemoni pandangan pertama membawa penglihatan sebagai sesuatu hal yang paling mulia, seperti halnya pandangan Heide-gger. Tapi itu semua hanya meningkatkan nihilistic dalam era modern. Bahkan dalam beberapa kasus, seperti contohnya gedung keuangan provinsi Jawa Barat, I 060 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
terhadap objek yang sudah dimanipulasi sebelumnya. Merupakan tindakan mengemulasi suatu karya menjadi karya yang lain. Studi kasus yang dipilih adalah gedung keuangan Negara provinsi Jawa Barat, gedung ini awalnya memiliki wajah depan yang berkarakter, memiliki double-skin facades yang terbuat dari beton bertulang berciri khas karya arsitek F.Sillaban. Saat ini wajah Gedung Keuangan Negara provinsi Bandung berubah diselubungi dengan material lain, yakni menggunakan ACM. (Gambar 5)
Gambar 5 : (kiri) GKN sebelum di selubungi ACM (kanan) GKN saat ini setelah diselubungi ACM. Foto © Zoelfikar Basmoera
ACM sudah dijadikan sebagai pembungkus keseluruhan wajah bangunan. Dinding asli beserta double-skin facades sebelumnya tidak terlihat lagi. Penulis tidak tahu pasti motif yang mendasari penutupan wajah depan gedung keuangan Negara (GKN) provinsi Jawa Barat. Namun menurut pendapat penulis, tindakan yang dilakukan sangat disayangkan karena tindakan tersebut merusak citra bangunan serta streetscape kawasan yang merupakan kawasan bersejarah. Kasus serupa juga terjadi pada gedung keuangan Negara Provinsi Sumatera Utara. Wajah depan bangunan yang awalnya berkarakter kuat saat ini bertopeng dengan allumunium composite material. (Gambar 6)
Irfan Diansya
ACM, Material Modern yang Mangalami Lokalisasi
Gambar 6 : (kiri) GKN SUMUT sebelum di selubungi ACM (kanan) GKN SUMUT saat ini setelah diselubungi ACM. Foto © Rahmad Kurniawan
Dari kedua kasus diatas, dengan contoh lembaga instansi pemerintahan yang sama, kemudian pemilihan material, pola, dan warna yang digunakan dalam pemasangan ACM pada selubung muka bangunan Gedung Keuangan Negara di kedua provinsi tersebut menunjukkan adanya motif “penyegaran” wajah depan bangunan serta mempertahankan identitas keseragaman bangunan antara instasi yang terletak di provinsi satu dengan provinsi lainnya. ACM pada kasus ini, juga diidentikan dengan sesuatu yang bersifat kebaruan atau “modern”. Bentuk yang diterapkan pada fasad baru gedung keuangan juga sederhana, polos. Identik dengan langgam arsitektur modern ataupun minimalis. Namun semua tindakan pada kedua bangunan tersebut bukan tindakan “membarukan” atau memodernisasikan wajah depan bangunan. Hal itu seperti gadis cantik yang diberi topeng. Kecantikan asli yang dimilikinya tidak bisa terlihat kembali, namun ekspresi kepalsuan yang diperlihatkan dari wajahnya kepada orang lain. Tujuan teori critic ocularcentrism yang disampaikan (Pallasma, 1996) yakni memanipulasi karya arsitektur yang bertujuan membangkitkan kesan dan menimbulkan karakter asli pada bangunan, pada contoh kasus pada Gedung Keuangan Negara di atas teori critic ocularcentrism tindakan memanipulasi yang dilakukan hanya memberikan kesan “modern” namun tidak membangkitkan karakter asli pada bangunan. Bahkan hal fatal yang dilakukan pada kedua contoh kasus diatas adalah menyembunyikan sense of art yang dituangkan oleh arsitek asli terhadap bangunan yang ia desain dengan mengganti double-skin facades awal yang berkarater dan memiliki cita rasa seni yang tinggi dengan selubung material lain yang tidak memiliki cita rasa seni .
Seperti halnya batu bata, beton, kaca, baja, material tersebut awalnya merupakan material pengembangan teknologi terbaru pada masanya, kemudian dibawa masuk ke Indonesia, dan material tersebut diterima baik oleh masyarakat. Sehingga, masyarakat yang pada awalnya memiliki tradisi menggunakan material kayu sebagai bahan bangunan, secara perlahan tradisi tersebut tergantikan dengan tradisi menggunakan batu-bata (yang dibawa dari tradisi hindu) kemudian menggunakan beton dan baja. Beralihnya penggunaan material tersebut mendorong masyarakat membuat industri kecil atau besar untuk memproduksi material tersebut, sehingga kebutuhan akan material baru itu semakin mudah terpenuhi. Dan otomatis karena akses memperoleh material baru semakin mudah dan praktis, tradisi masyarakat yang awalnya menggunakan kayu secara perlahan “dirubah” menggunakan tradisi baru. Kasus ini sama dengan ACM yang sudah masuk di Indonesia, awalnya material ini adalah material baru, pengembangan material allumunium. Ketika dibawa masuk ke Indonesia material ini mudah diterima oleh masyarakat luas, terlebih lagi sebagian besar masyarakat Indonesia gampang menerima terhadap sesuatu hal yang baru. Masyarakat Indonesia mudah terpedaya tehadap cara pandang The Narcisstic and Nihillistic Eye seperti yang diungkapkan Pallasma, sehingga secara tidak langsung hal yang baru tersebut mudah diterima oleh masyarakat. ACM pada awalnya merupakan material mahal karena harus di impor dari Amerika, seiring waktu semakin banyak industri pembuatan ACM di China dan juga di Indonesia saat ini. Hal ini yang menyebabkan harga ACM semakin murah, sehinggga semakin terjangkaunya harga material. Kemudian kemudahan akses untuk mendapatkan material tersebut, secara perlahan tetapi pasti hal ini akan merubah tradisi masyarakat Indonesia dalam menggunakan material selubung penutup dinding beralih menggunakan ACM. Dan otomatis material ini telah mengalami lokalisasi di Indonesia. Peranan Industri terhadap Lokalisasi ACM Hal yang melatar belakangi proses lokalisasi suatu material baru masuk ke Indonesia tidak terlepas dari adanya peranan industri yang Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | I 061
Kritik Fenomena Double Skin Facades Menggunakan Material ACM pada Bangunan di Indonesia berdasarkan “Teori The Eyes of Skin”
merubah tradisi lokal. Akses kemudahan pencapaian material baru serta harga material semakin murah dan bersaing dengan produk sejenisnya, maka hal ini akan mendorong minat masyarakat untuk menggunakan material baru tersebut. Contoh ini terjadi juga pada ACM. Peranan industri ACM sangat besar terhadap tradisi masyarakat hingga beralih menggunakan produk tersebut. Semakin gencar promosi yang dilakukan oleh industri, dengan contoh dan hasil, serta keunggulan-keunggulan produk yang di usung, dan harga jual semakin murah. Perlahan, tradisi masyarakat dalam menggunakan material akan berubah. Pihak industri saat ini juga banyak mendekati arsitek ternama agar bekerja sama merekomendasikan produknya kepada klien untuk digunakan dalam produk desain arsitektur yang dirancang oleh arsitek. Hal ini banyak terjadi dikalangan arsitek, secara tidak langsung arsitek pada masa sekarang dikendalikan oleh industri material dalam berarsitektur.
“Pertanyaan besar yang terlintas dibenak penulis yaitu apakah benar arsitek saat ini dikendalikan oleh industri material dalam berarsitektur?” Kesimpulan. Karya arsitektur yang menggunakan selubung ACM penuh dengan tipuan. First impression bagi orang yang pertama kali melihat bangunan tersebut, kesan “wah” pasti akan langsung sampai kepada si pelihat. Namun kesan “wah” tersebut kebanyakan merupakan tipuan atas ketidak-jujuran karya arsitektur. Karya arsitektur National Center for Civil Human Rights di Amerika Serikat dan Shanghai Oriental Sport Center merupakan bentuk dari Critic of Ocularcentrism. dominasi visual yang dimiliki manusia mengantarkan kepada si pelihat terhadap The Narcisstic and Nihillistic Eye , hegemoni pandangan pertama membawa penglihatan sebagai sesuatu hal yang paling mulia. Hal ini yang berperan besar dalam mempengaruhi masyarakat untuk beralih menggunakan material baru. Tapi itu semua hanya meningkatkan nihilistic pada masa sekarang. Sebagai contoh kasus penggunaan ACM pada kantor cabang bank milik pemerintah. Panduan dalam mendesain fasad bangunan harus diseragamkan menggunakan ACM agar terlihat modern. Kata “modern” merupakan hasil dari I 062 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
proses Nihillistic Eye. Kasus lain pada gedung keuangan provinsi Jawa Barat, wajah asli bangunan saat ini di lapisi dengan material ACM dengan alasan agar terlihat “modern” dan tidak terlihat kuno. Proses ini yang penulis sebut gimmick to critic ocularcentrism , memanipulasi terhadap objek yang sudah dimanipulasi sebelumnya. Tujuan teori critic ocularcentrism yakni memanipulasi karya arsitektur yang bertujuan membangkitkan kesan dan menimbulkan karakter asli pada bangunan, pada contoh kasus pada Gedung Keuangan Negara di atas teori critic ocularcentrism tindakan memanipulasi yang dilakukan hanya memberikan kesan “modern” namun tidak menimbulkan karakter asli pada bangunan. ACM pada awalnya merupakan material mahal karena harus di impor dari Amerika, seiring waktu semakin banyak industri pembuatan ACM. Hal ini yang menyebabkan harga ACM semakin murah. Kemudian kemudahan akses untuk mendapatkan material tersebut, secara perlahan tetapi pasti akan merubah tradisi masyarakat dalam menggunakan material selubung penutup dinding beralih menggunakan ACM. Dan otomatis material ini telah mengalami lokalisasi. Peranan industri ACM sangat besar terhadap tradisi masyarakat hingga beralih menggunakan produk tersebut. Semakin gencar promosi yang dilakukan oleh industri, dengan contoh dan hasil, serta keunggulan-keunggulan produk yang di usung, dan harga jual semakin murah. Perlahan, tradisi masyarakat dalam menggunakan material akan berubah. Sumber Bacaan Pallasma, J. (1996). The Eyes of The Skin. Padstow, Cornwall: TJ. International, Ltd. Roth, K., Lawrence, T., & Brodrick, J. (2007). Double-Skin Facades. ASHARE Journal, Vol: 49 No:10 , 70-73. Sulivan, C. C. (1997). Designing with Allumunium Composites. The AIA Journal.
Architecture; Proquest Art, Design and Architecture Collection, Vol : 86 No : 6 , 174177.