PENGARUH KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA PROVINSI BANTEN
STANNIA CAHAYA SUCI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, 10 Juni 2013 Stannia Cahaya Suci NIM. H14090126
ii
ABSTRAK STANNIA CAHAYA S. Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten. Dibimbing oleh ALLA ASMARA. Desentralisasi fiskal bertujuan untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat, namun pada pelaksanaannya masih banyak daerah yang bergantung pada bantuan dana pusat untuk pembangunan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk membahas perkembangan kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota di Provinsi Banten dan menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Provinsi Banten. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan data panel pada 6 (enam) kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sedangkan rasio Dana Perimbangan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada model kemiskinan, kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif secara signifikan terhadap peningkatan persentase penduduk miskin, sedangkan rasio Dana Perimbangan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap persentase penduduk miskin, indeks ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran terbuka berpengaruh positif secara signifikan terhadap persentase penduduk miskin. Kata Kunci: Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan
ABSTRACT STANNIA CAHAYA S. The Influence of Regional Finance Independency on Economic Growth and Poverty in Regency/City of Banten Province. Supervised by ALLA ASMARA. Fiscal decentralization aims to improve regional finance independency and reduce the fiscal dependency of central goverment. However, in practice, there are still many areas that rely on the assistance central finance for their regional development.This research aims to discuss the development of regional finance independency and analyze the influence of regional finance independency on economic growth and poverty in Banten Province. This research uses descriptive method and panel data on 6 (six) regencies and cities in Banten Province at 20012011. The results showed the significantly positive effect of regional finance independency on economic growth and significantly negative effect of balance fund’s ratio on economic growth. The poverty model showed a significantly negative effect of regional finance independency on percentage of the poor and significantly positive effect of balance fund’s ratio on percentage of the poor. Income inequality index and unemployment rate have signicantly positive effect on the percentage of the poor. Keywords: local revenue, economic growth, poverty
iii
PENGARUH KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA PROVINSI BANTEN
STANNIA CAHAYA SUCI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
iv
v
Judul Skripsi
:
Nama NIM
: :
Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten Stannia Cahaya Suci H14090126
Menyetujui, Dosen Pebimbing,
Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si Dosen Pebimbing
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis diberi kelancaran dan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat muslim dari zaman kegelapan menuju zaman yang penuh dengan rahmat dan hidayah-Nya. Skripsi yang berjudul Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten ini disusun sebagai syarat mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama penulis menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, 11 Juni 2012 Stannia Cahaya Suci
vii
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis diberi kelancaran dan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, saran, semangat dan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, terutama kepada: 1. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Ahmad Yani Rusdiani dan Ibu Siti Rodliyati Fachrur serta adik-adik yang tercinta Almer Auzaiey Fritzie juga Dhafin Azka Rusdian kemudian seluruh keluarga penulis atas doa, motivasi dan dukungan baik moril maupun materiil bagi penulis dalam menyelesasikan skripsi ini. 2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan secara teknis maupun teoritis dalam penyusunan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 3. Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama yang telah bersedia memberikan masukan dan arahan yang bermanfaat kepada penulis sebagai penyempurnaan penulisan skripsi ini. 4. Ranti Wiliasih, M.Si. selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan banyak masukan mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik. 5. Para dosen, staff dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB yang telah memberikan ilmu selama penulis menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi. 6. Departemen Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Banten dan Badan Pusat Statistik Provinsi Banten yang telah membantu selama pengumpulan data untuk kepentingan skripsi. 7. Sahabat-sahabat penulis Idham Nur Khalid, Assrianti, Tamiyah Alatas, Karlina Pratiwi, Ovilla Marshafeni, Desy Irianty, Malla Dewi Agisty dan Wida Mayashinta atas dukungan, semangat dan motivasi dimanapun berada. 8. Teman-teman satu bimbingan Puspita Mega Lestari Effendi, Almira Rosalina, Ardhi Harry dan Jajang Arif atas kerjasama, motivasi dan semangat selama ini. 9. Teman-teman Ilmu Ekonomi 46 atas kebersamaan dan keceriaan selama di IE. 10. Semua pihak yang telah berperan dalam mendukung terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
viii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Sumber-sumber Penerimaan Daerah Kemandirian Keuangan Daerah dan Derajat Desentralisasi Fiskal Pertumbuhan Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan Kemiskinan dan Ketimpangan Tinjauan Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis Data Panel GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kemandirian Keuangan Daerah Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Kemiskinan SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix ix x 1 1 2 4 4 4 4 4 5 8 8 10 11 13 14 15 16 16 16 16 18 22 27 27 31 34 37 39 41
ix
DAFTAR TABEL 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14 15
Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan 2000 dan persentase penduduk miskin Provinsi Banten tahun 2009-2011 3 Penelitian terdahulu 14 Data dan sumber data 16 Interval kemampuan keuangan daerah 17 Statistik d Durbin Watson 22 Penduduk menurut kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001 dan 2011 24 Demografi Provinsi Banten tahun 2011 24 Penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja, mencari pekerjaan dan bukan angkatan kerja di Provinsi Banten tahun 2011 25 Indeks ketimpangan distribusi pendapatan Provinsi Banten tahun 20052010 25 Persentase penduduk miskin Provinsi Banten tahun 2007-2011 26 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Banten atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2007-2011 27 Uji model pertumbuhan ekonomi terbaik 31 Hasil estimasi model pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 20012011 33 Uji Model Kemiskinan Terbaik 34 Hasil estimasi model pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap kemiskinan kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011 36
DAFTAR GAMBAR 1 2
Komposisi realisasi pendapatan daerah Provinsi Banten tahun 2001-2011 2 Realisasi pendapatan daerah kabupaten dan kota Provinsi Banten tahun 2001-2011 2 3 Kurva Lorenz 12 4 Kurva Kuznets U-Terbalik 13 5 Kerangka Pemikiran 15 6 Peta administratif Provinsi Banten 23 7 Perkembangan pendapatan asli daerah Provinsi Banten tahun 2001- 2011 28 8 Rasio pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan daerah kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011 29 9 Perkembangan dana perimbangan Provinsi Banten tahun 2001-2011 30 10 Rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan daerah kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011 31
x
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Data yang digunakan Hasil estimasi pengaruh kemandirian keuangan daerah pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan Fixed Effect 3 Hasil Uji Chow pada model pertumbuhan ekonomi 4 Hasil Uji Hausman pada model pertumbuhan ekonomi 5 Uji normalitas pada model pertumbuhan ekonomi 6 Uji multikolinearitas pada model pertumbuhan ekonomi 7 Hasil estimasi pengaruh kemandirian keuangan daerah kemiskinan dengan pendekatan Fixed Effect 8 Hasil Uji Chow model kemiskinan 9 Uji Hausman model kemiskinan 10 Uji normalitas model kemiskinan 11 Uji multikolinearitas model kemiskinan
41 terhadap 43 43 44 44 44 terhadap 45 45 46 46 46
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah dilaksanakan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah. Otonomi daerah memberi tanggung jawab pada daerah otonom untuk mengatur sendiri urusan politik, ekonomi dan sosial budaya daerah masing-masing. Otonomi daerah salah satunya dicirikan dengan adanya desentralisasi fiskal, dimana perumusan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi tanggung jawab masing-masing daerah. Tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat serta diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom. Enceng et al. (2012) menyatakan salah satu aspek penting pelaksanaan kewenangan otonomi daerah adalah mengetahui tingkat kemandirian daerah dalam membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan melalui peningkatan potensi penerimaan daerah. Kemandirian keuangan daerah salah satunya dapat dilihat dari penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah. Penerimaan PAD dapat dilihat dari data komposisi realisasi pendapatan daerah yang disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1, komposisi realisasi pendapatan daerah Provinsi Banten selama kurun waktu tahun 2001-2011 terdiri dari 67.71% PAD, 30.99% Dana Perimbangan, 0.72% Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah dan 0.58% Bagian Sisa Lebih Anggaran Tahun Lalu. Realisasi pendapatan daerah yang berasal dari PAD yang memiliki nilai diatas 50% serta lebih besar dari realisasi Dana Perimbangan menunjukkan kemampuan Provinsi Banten semakin tinggi untuk membiayai kemampuan keuangannya sendiri dan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Selanjutnya jika dilihat dari komposisi Dana Perimbangan, berdasarkan Gambar 1, Provinsi Banten masih memiliki proporsi Dana Alokasi Umum (DAU) yang cukup besar. Gambar 1 juga menunjukkan persentase pendapatan Dana Perimbangan terbesar bersumber dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak sebesar 52.84%, komposisi DAU juga tinggi sebesar 45.94% sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) hanya sebesar 1.21%. Hal ini menunjukkan meskipun Banten memiliki proporsi PAD diatas 50% namun masih menggunakan DAU dengan proporsi sebesar 45.94%. Hal ini mengindikasikan ketergantungan Provinsi Banten terhadap dana pihak ekstern masih tinggi
2
0.72%
0.58%
30.99 %
45.94% 52.84%
67.71 % 1.21% Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
Pendapatan Asli Daerah Lain-lain Pendapatan yang Sah Dana Perimbangan Pendapatan Asli Daerah
(b)
(a)
Gambar 1. Komposisi realisasi pendapatan daerah Provinsi Banten tahun 20012011 Sumber: DPKAD, 2013
Perumusan Masalah Provinsi Banten adalah provinsi yang terbentuk berdasarkan otonomi daerah dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Banten memiliki kemandirian daerah yang berbeda. Berdasarkan data realisasi pendapatan daerah kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011, semua kabupaten dan kota memiliki pendapatan yang berasal dari Dana Perimbangan lebih besar dari PAD. Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki penerimaan Dana Perimbangan yang tertinggi dibandingkan kabupaten dan kota lainnya. Realisasi Dana Perimbangan Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak masing-masing sebesar 88.43% dan 84.59%. Persentase (%)
100 80
77.21%
84.59%
88.43% 69.79%
63.74%
60.88%
60 40 20 0
Kab. Tangerang Kab. Serang
Kab. Lebak
Kabupaten/kota Bagian Sisa Lebih Anggaran Tahun Lalu Lain- lain Pendapatan daerah yang sah
Kab. Pandeglang Kota Tangerang Kota Cilegon PAD Dana Perimbangan
Gambar 2. Realisasi pendapatan daerah kabupaten dan kota Provinsi Banten tahun 2001-2011 Sumber: DPKAD Banten, 2013
3
Perbedaan proporsi pendapatan daerah ini salah satunya dapat dipengaruhi oleh kemampuan mengembangkan potensi daerah tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat dicerminkan dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten yang dilihat pada Tabel 1 menunjukkan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Banten, dimana Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebesar 7.35% dan 7.03% pada tahun 2011, namun kabupaten yang masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap Dana Perimbangan seperti Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki nilai pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, masing-masing hanya sebesar 5.40% dan 6.44% pada tahun 2011. Jika suatu daerah memiliki tingkat pertumbuhan kemandirian keuangan daerah yang tinggi, maka diharapkan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut akan tinggi pula, dan sebaliknya. Oleh karena pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah provinsi merupakan komposit dari pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota, maka perlu dicermati tingkat kemandirian kabupaten dan kota serta pemerintah provinsi yang bersangkutan. Tabel 1. Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan 2000 dan persentase penduduk miskin Provinsi Banten tahun 2009-2011 2010 Kabupaten/Kota
Kabupaten Pandeglang Kabupaten Lebak Kabupaten Tangerang Kabupaten Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Provinsi Banten Sumber: BPS Banten (2013)
2011
Laju Persentase Laju Persentase Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan Penduduk PDRB Miskin PDRB Miskin (%) (%) (%) (%) 7.16 11.4 5.40 9.8 6.59 6.43 6.44 9.2 6.71 7.18 7.35 6.42 4.15 6.34 5.67 5.63 6.68 6.88 7.03 6.14 5.32 4.46 6.53 3.98 6.08 7.46 6.43 6.26
Rasio kemandirian keuangan daerah dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjamin suatu wilayah tersebut terbebas dari kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial mendasar yang masih menjadi pusat perhatian di Indonesia. Berdasarkan Tabel 1, persentase penduduk miskin Provinsi Banten menunjukkan Provinsi Banten memiliki presentasi dibawah angka 10% (Badan Pusat Statistik, 2013). Pada tahun 2010 persentasi penduduk miskin Provinsi Banten adalah 7.46% kemudian menurun menjadi sebesar 6.26%. Persentase penduduk miskin di Provinsi Banten menunjukkan perkembangan angka menurun, namun berdasarkan kabupaten dan kota terdapat daerah yang memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki presentase penduduk miskin terbesar diantara kabupaten dan kota lainnya yaitu masing-masing sebesar 9.2% dan 9.8%. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang mengkaji hubungan antara kemandirian keuangan daerah,
4
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perkembangan kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011? 2. Bagaimana pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota Provinsi Banten? 3. Bagaimana pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Banten?
Tujuan Penelitian 1. Menganalisis perkembangan kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011. 2. Menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota Provinsi Banten. 3. Menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Banten.
Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk mengelola keuangan daerah dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan umum yang dapat diambil manfaatnya, khususnya pengentahuan mengenai keuangan daerah, perekonomian dan kemiskinan Provinsi Banten. 3. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber referensi yang baik bagi kegiatan penulisan dan penelitian selanjutnya
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Banten dengan pertimbangan bahwa Provinsi Banten merupakan salah satu provinsi baru yang kaya akan potensi dan sedang berusaha meningkatkan tingkat kemandirian keuangan dan perekonomian daerah, serta mengurangi tingkat kemiskinan.
TINJAUAN PUSTAKA Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum dan peraturan. Kebijakan otonomi dan kewenangan desentralisasi sangat penting untuk menjamin proses integrasi nasional terpelihara dengan baik. Hal ini karena dalam sistem yang berlaku
5
sebelumnya, ketidakadilan struktural dalam hubungan antara pusat dan daerah sangat jelas terlihat. Kebijakan otonomi dan kewenangan desentralisasi tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi juga perlu diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 5, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah ditegaskan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah dilaksanakan dengan azas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah daerah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Pemerintah daerah diberi wewenang dan keleluasaan di seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional seacara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi dan perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
Sumber-sumber Penerimaan Daerah Pendapatan Asli Daerah Peningkatan kemandirian daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan daerah dalam mengelola Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, maka semakin besar pula kemampuan daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai aspirasi, kebutuhan dan prioritas pembangunan daerah. PAD merupakan sumber penerimaan daerah yang didapat dan digunakan sesuai dengan potensi daerah yang dimiliki. PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Sumber- sumber PAD terdiri dari: 1. Pajak Daerah Peraturan perundangan mengenai pajak telah mengalami beberapa kali perubahan. Peraturan perundangan di bidang pajak antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, UndangUndang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-
6
Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah. Kemudian pada tahun 2009 pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Restribusi Daerah menggantikan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menyatakan Pajak Daerah adalah kontribusi wajib oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan secara langsung yang digunakan untuk keperluan daerah bagi kemakmuran rakyat. Pajak terdiri dari pajak provinsi dan kabupaten dan kota, yaitu: a. Pajak provinsi meliputi: (1) Pajak Kendaraan Bermotor, (2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, (4) Pajak Air Permukaan dan (5) Pajak Rokok. b. Pajak kabupaten dan kota meliputi: (1) Pajak Hotel, (2) Pajak Restoran, (3) Pajak Hiburan, (4) Pajak Reklame, (5) Pajak Penerangan Jalan, (6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, (7) Pajak Parkir, (8) Pajak Air Tanah, (9) Pajak Sarang Burung Walet, (10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan (11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 2. Restribusi Daerah Dasar hukum restribusi daerah adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang No 34 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Restribusi Daerah. Restribusi daerah merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah daerah kepada wajib restribusi atas pemanfaatan suatu jasa tertentu yang disediakan pemerintah, dalam hal ini terdapat imbalan langsung yang dapat dinikmati pembayar restribusi. Berbeda dengan pajak daerah yang bersifat tertutup, dalam restribusi ini, pemerintah daerah diberi peluang untuk menambah jenisnya namun harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Restribusi daerah terdiri atas 3 jenis, yaitu: a. Restribusi Jasa Umum merupakan restribusi yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh pribadi atau badan. b. Restribusi Jasa Usaha merupakan restribusi jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah yang menganut prinsip komersial karena dapat disediakan oleh sektor swasta dan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang layak. c. Restribusi Perizinan Tertentu merupakan restribusi atas kegiatan pemerintah daerah tertentu yang meliputi pemberian izin kepada pribadi atau badan yang bertujuan untuk pengaturan dan pengawasan pemberian izin tersebut guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain PAD yang Sah Perusahaan daerah merupakan salah satu sumber PAD yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan, sehingga kemandirian pemerintah daerah meningkat. Lain-lain PAD yang sah merupakan penerimaan daerah yang diperoleh dari dinas daerah dan pendapatan lainnya yang diperoleh secara sah. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
7
asing dan komisi, potongan seta bentuk lainnya merupakan jenis pendapatan yang termasuk dalam lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan antar pemerintahan daerah. Dana Perimbangan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal. Dana Perimbangan bersifat subtitusi terhadap PAD. Penerimaan Dana Perimbangan bervariasi bergantung pada penerimaan PAD daerah tersebut. Penerimaan Dana Perimbangan umumnya naik jika daerah tersebut menerima Dana Bagi Hasil dan PAD yang rendah. Penerimaan Dana Perimbangan dapat turun, umumnya terjadi pada daerah yang mengalami kenaikan PAD dan kapasitas fiskal yang berarti. Penerimaan Dana Perimbangan yang berasal dari Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi khusus dapat mencapai angka 0 (nol), bukan karena tidak dihitung melaikan hasil perhitungan menunjukkan nilai minus atau nol, umumnya terjadi pada daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi karena memiliki penerimaan PAD yang sangat tinggi. (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2013). Sumbersumber Dana Perimbangan terdiri dari: 1. Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil merupakan dana yang berasal dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah menurut persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak menurut undang-undang adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi. 2. Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Alokasi DAU dilaksanakan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten dan kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten dan kota. 3. Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
8
nasional. Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Penentuan besarnya DAK dilakukan pemerintah dengan menetapkan beberapa kriteria dan mempertimbangan kemampuan keuangan daerah, memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah serta mempertimbangakan kriteria teknis yang telah ditetapkan oleh kementrian negara atau departemen teknis. Lain-lain Pendapatan Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana Darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah. Dana Darurat dialokasikan oleh pemerintah dimana dananya berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD.
Kemandirian Keuangan Daerah dan Derajat Desentralisasi Fiskal Kemampuan daerah dalam menjalani otonomi daerah dapat diukur dengan kinerja keuangan daerah yang dapat dilihat dari kemandirian daerah dan derajat desentralisasi fiskal. Kemandirian keuangan daerah merupakan gambaran pemerintah daerah dalam hal ketergantungan daerah terhadap sumber dana pemerintah pusat dan propinsi. Semakin tinggi kemandirian keuangan daerah, maka ketergantungan daerah terhadap bantuan pemerintah dan propinsi semakin rendah. Kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, dimana semakin tinggi kemandirian keuangan daerah menggambarkan semakin tingginya pastisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan restribusi daerah. Pajak dan restribusi daerah merupakan komponen dari PAD. Kemandirian keuangan daerah dapat ditunjukkan dari perbandingan PAD dengan pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal, maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh. Desentralisasi fiskal merupakan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD untuk membiayai pembangunan. Derajat desentralisasi fiskal yang tinggi mengindikasikan pemerintah daerah telah mampu meningkatkan PAD dibandingkan pendapatan lain pada pendapatan daerah. Jika rasio PAD tinggi akan mengurangi ketergantungan pemerintah daerah pada penggunaan dana dari daerah pusat. Pertumbuhan Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal Teori Ekonomi Klasik yang dikemukakan Adam Smith menyatakan pertumbuhan ekonomi bergantung pada pertumbuhan penduduk dengan kata lain pertambahan penduduk akan meningkatkan output produksi. Teori Klasik ini berkembang menjadi Teori Neoklasik dikemukakan oleh Harrod-Domar dan Robert Solow. Model Harrod-Domar mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh pembentukan modal oleh karena itu modal harus
9
dipakai secara efektif, sedangkan Solow mengembangkan model Harrod-Domar ini menyatakan bahwa faktor tenaga kerja dan teknologi masuk ke dalam model pertumbuhan, oleh karena itu pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal dan pemakaian teknologi modern (Mankiw, 2007) Pertumbuhan ekonomi adalah terjadinya pertambahan atau perubahan pendapatan nasional (produksi nasional) dalam satu tahun tertentu, tanpa memperhatikan pertumbuhan penduduk dan aspek lainnya. Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian makro adalah penambahan nilai Produk Domestik Bruto riil (PDB) atau peningkatan pendapatan nasional. Menurut Mankiw (2007), PDB sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian yang tujuannya adalah meringkas aktivitas ekonomi dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dari penggunaan banyak tenaga tenaga kerja, tidak menghasilkan pertumbuhan pendapatan per kapita, namun jika pertumbuhan ekonomi dicapai dari penggunaan sumberdaya yang lebih produktif, hal tersebut dapat menghasilkan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-rata masyarakat. Badan Pusat Statistik menggunakan pendekatan PDB dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk menggambarkan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah dicerminkan untuk mencerminkan pertumbuhan ekonomi. Menurut Badan Pusat Statistik (2013), PDRB menyatakan pendapatan total dan pengeluaran total daerah atas output barang dan jasa suatu daerah. PDRB dapat dihitung dengan dua cara, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggunakan harga pada tahun berjalan, pada saat menilai produksi, biaya antara dan komponen nilai tambah sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menggunakan harga barang dan jasa pada tahun dasar, saat ini yang digunakan adalah harga konstan 2000. PDRB juga dapat didefinisikan melalui tiga pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan Produksi PDRB adalah jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu wilayah atau region pada jangka waktu tertentu (biasanya setahun). 2. Pendekatan Pendapatan PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut di dalam proses produksi di suatu wilayah atau region pada jangka waktu tertentu (biasanya setahun). 3. Pendekatan Pengeluaran PDRB adalah jumlah semua pengeluaran untuk: (1) konsumsi rumah tangga dan lembaga yang tidak mencari untung, (2) konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan stok, dan (5) ekspor neto, di suatu wilayah atau region pada suatu periode (biasanya setahun). Desentralisasi fiskal merupakan salah satu pilar dalam memelihara kestabilan kondisi ekonomi nasional, karena dengan adanya transfer dana ke daerah akan mendorong aktivitas perekonomian masyarakat di daerah. Hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi telah banyak dianalisis oleh para ekonom. Samimi et al. (2010) menyatakan bahwa penelitian dilakukan karena pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai tujuan dari desentralisasi fiskal
10
dan efisiensi dalam alokasi sumberdaya di sektor publik serta sebagai bagian dari tujuan pemerintah secara eksplisit untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang mengarah pada peningkatan pendapatan perkapita. Menurut Davoodi dan Zou (1998), desentralisasi fiskal adalah bagian dari reformasi peningkatan efisiensi di sektor publik dan peningkatan kompetisi antara pemerintah daerah dalam pemenuhan kebutuhan publik yang dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Menurut Tiebout (1961) argumen ekonomi dasar yang mendukung desentralisasi fiskal berdasarkan dua asumsi yang saling melengkapi yaitu desentralisasi akan meningkatkan efisiensi ekonomi karena pemerintah daerah diposisikan lebih baik daripada pemerintah pusat dalam penyediaan pelayanan publik sebagai hasil keuntungan informasi dan mobilitas penduduk serta persaingan antara pemerintah daerah dalam penyediaan pelayanan publik akan menjamin kecocokan preferensi masyarakat dan pemerintah daerah. Oates (1999) menyatakan bahwa sistem desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah memainkan peran yang lebih penting daripada pemerintah pusat dalam penyediaan pelayanan publik akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan Kemiskinan secara konseptual dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin yang disebabkan karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum dapat menjangkau masyarakat secara merata sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Kemiskinan absolut didefinisikan sebagai kurangnya pemenuhan sumberdaya pokok untuk kesejahteraan, hal yang paling penting adalah makanan, air, perumahan, tanah, kesehatan dan pendidikan. Garis kemiskinan absolut tetap dalam hal standar hidup dan dapat membandingkan kemiskinan secara umum (Todaro dan Smith, 2006).. Menurut penyebabnya, kemiskinan dapat dibagi menjadi kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan faktor-faktor adat dan budaya daerah tertentu yang mengikat seseorang sehingga tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Indikator kemiskinan tersebut dapat setidaknya dikurangi dengan mengabaikan faktor adat dan budaya yang menghambat perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur dan tatanan hidup yang tidak menguntungkan. Kemiskinan ini terjadi karena ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat yang gagal memperoleh akses untuk meningkatkan kualitas hidupnya karena tatanan sosial yang tidak adil (Badan Pusat Statistik, 2008). Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs) untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan menurut strategi kebutuhan dasar (basic needs) ini merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Semakin beragamnya pengukuran tingkat kemiskinan, maka World Bank mengeluarkan standar garis kemiskinan pendapatan rendah US$ 1/hari, dengan harga internasional yang disesuaikan dengan mata uang lokal dengan
11
purchasing power parities. Pendekatan kebutuhan dasar membagi 3 (tiga) indikator kemiskinan antara lain: 1. Head Count Index (HCI) Head Count Index merupakan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan atau pengukuran tingkat kemiskinan dengan menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi dari populasi yang disertai proverty gap. 2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Proverty Gap Index) Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Nilai indeks yang tinggi menunjukan semakin jauhnya rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. 3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index) Indeks Keparahan Kemiskinan merupakan gambaran penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Tingginya nilai indeks menunjukkan tingginya ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Umumnya salah satu program prioritas pemerintah daerah adalah mengurangi kemiskinan, oleh karena itu tujuan desentralisasi adalah pemerintah dapat merespon lebih cepat kebutuhan masyarakat terutama kebutuhan dasar penduduk miskin. Sepulveda dan Vazques (2010) menemukan bahwa penurunan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan dampak langsung dan tidak langsung dari adanya kebijakan desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah memiliki peranan penting melalui kebijakan yang terbuka dan langsung.
Kemiskinan dan Ketimpangan Distribusi ukuran pendapatan merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga, cara mendapatkan penghasilan tidak dipermasalahkan. Rasio yang disebut sebagai rasio Kuznets, sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di dalam suatu negara. Metode lainnya yang lazim dipakai untuk menganalisis statistik pendapatan perorangan adalah dengan menggunakan kurva Lorenz. Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benarbenar diterima selama, misalnya satu tahun. Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (yang merupakan pemerataan sempurna), semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya (Todaro dan Smith, 2006). Kasus eksterm dari ketidakmerataan yang sempurna akan diperlihatkan oleh kurva Lorenz yang berhimpit dengan sumbu horizontal sebelah bawah dan sumbu vertikal di sebelah kanan. Oleh karena tidak ada satu daerah pun yang memperlihatkan pemerataan sempurna atau ketidakmerataan sempurna dalam distribusi pendapatannya, semua kurva Lorenz dari setiap daerah akan berada di sebelah kanan garis diagonal seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Semakin parah tingkat ketidakmerataan atau ketimpangan distribusi pendapatan suatu
12
daerah, maka bentuk kurva Lorenznya pun akan semakin melengkung dan mendekati sumbuh horizontal bagian bawah (Todaro dan Smith, 2006). Perangkat lain dan sangat mudah untuk mengukur derajat ketimpangan pendapatan relatif di suatu negara adalah menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh segi empat di mana kurva Lorenz itu berada. Rasio ini dikenal dengan koefisien Gini. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkirasr antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna) (Todaro dan Smith, 2006). 100
Persentase Pemerataan
Garis Pemerataan
Kurva Lorenz
0
Persentase Penerimaan Pendapatan
100
Gambar 3. Kurva Lorenz Sumber: Todaro dan Smith, 2006
Kuznetz menyatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjtnya distribusi pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal segaia kurva Kuznets “U-terbalik” (Gambar 4), karena perubahan longitudinal (time series) dalam distribusi pendapatan tampak seperti kurva berbentuk Uterbalik, seiring dengan naiknya pendapatan per kapita. Dewasa ini terdapat banyak ulasan yang mencoba menjelaskan mengapa pada tahap-tahap awal pembangunan, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun kemudian membaik. Sebagian besar dari ulasan tersebut mengaitkannya dengan tahapan kondisi-kondiri dasar perubahan yang bersifat struktural. Model Lewis menyatakan tahapan pertumbuhan awal akan terpusat di sektor industri modern yang mempunyai lapangan kerja terbatas namun tingkat upah dan produktivitas terhitung tinggi (Todaro dan Smith, 2006). Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan perkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisonal ke perekonomian modern. Imbalan yang diperoleh dari investasi di sektor pendidikan mungkin akan meningkat terlebih dahulu, karena sektor modern yang muncul memerlukan tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurun karena penawaran tenaga kerja terdidik akan meningkat dan penawaran tenaga kerja tidak terdidik akan
13
menurun. Jadi, walaupun Kuznets tidak menyebutkan mekanisme yang dapat menghasilkan kurva U-terbalik ini, secara prinsip hipotesis tersebut konsisten dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi. Beberapa ekonom pembangunan berpendapat bahwa tahapa peningkatan dan kemudian penurunan ketimpangan pendapatan yang dikemukakan Kuznets tidak dapat dihindari. (Todaro dan Smith, 2006).
Koefisien Gini
0.75
0.50
0.35
0.25 0
Pendapatan nasional bruto per kapita
Gambar 4. Kurva Kuznets U-Terbalik Sumber: Todaro dan Smith, 2006
Ketimpangan distribusi pendapatan merupakan salah satu kemiskinan yang perlu dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Kemiskinan juga dapat digambarkan dengan koefisien Gini sebagai salah satu indikator pemerataan ekonomi. Koefisien Gini merupakan salah satu ukuran yang sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang pelimpahan kewenangan keuangan terhadap pemerintah daerah dan kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Akai dan Sakata (2002) melakukan penelitian untuk mengetahui kontribusi desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian menyatakan bahwa perubahan kepada sistem desentralisasi fiskal oleh negara sangat penting karena dapat menstimulasi pergerakan pertumbuhan ekonomi negara. Samimi et al. (2010) melakukan penelitian untuk menganalisis hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Iran tahun 2001-2007 menemukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Iran. Zhang dan Zou (1996) melakukan penelitian tentang dampak alokasi pendapatan dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di China. Penelitian tersebut menemukan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penemuan ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan asumsi umum bahwa desentralisasi fiskal biasanya memberikan kontribusi
14
yang positif terhadap pertumbuhan lokal. Kegagalan pembelanjaan pemerintah untuk membuat pertumbuhan ekonomi yang cepat dikarenakan oleh kondisi pembangunan China pada saat itu dimana pemerintah pusat terhambat oleh sumberdaya yang terbatas melakukan investasi publik pada prioritas nasional. Nanga (2006) menemukan bahwa transfer fiskal di Indonesia memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan serta kemiskinan sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan oleh berbagai ukuran kemiskinan yang memiliki hubungan yang responsif terhadap perubahan dalam indeks Gini. Usman (2006) menemukan bahwa desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Desentralisasi fiskal dapat menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan, yang diindikasikan dengan arah koefisien negatif dan nyata. Rujukan penelitian terdahulu secara ringkas disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Penelitian terdahulu No 1
Penulis Samimi, Lar
2
Zang, Zou
3
Amagoh, Amin
4
Akai, Sakata
5
Nguyen
Judul/Tahun Hasil Fiscal Decentralization Terdapat hubungan positif dan and Economic Growth in hubungan yang mendekati Iran. (2010) signifikan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Iran. Fiscal Decentralization, Semakin tinggi derajat Public Spending and desentralisasi fiskal, pertumbuhan Economic Growth in ekonomi semakin rendah. China. (1996) An Examination of the Desentralisasi berdampak positif Impacts of Fiscal terhadap pertumbuhan ekonomi. Decentralization on Economic Growth(2012) Fiscal decentralization Desentralisasi Fiskal memainkan contributes peran penting pada pertumbuhan to economic growth: ekonomi. Dampak dari evidence from state-level desentralisasi fiskal berubah sesuai cross-section dengan sejarah, kebudayaan dan data for the United tingkat pembangunan ekonomi. States. (2002) What is in it for the Kenaikan derajat desentralisasi poor? Evidence from yang digambarkan dengan rasio fiscal decentralization in pengeluaran daerah menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat Vietnam. (2008) miskin.
Kerangka Pemikiran Pelaksanaan desentralisasi fiskal mempunyai beberapa tujuan yaitu kemandirian pengelolaan keuangan daerah, kemampuan keuangan daerah, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan angka kemiskinan namun
15
dalam pelaksanaannya tujuan-tujuan ini sulit dicapai secara sempurna oleh daerah otonom. Pelaksanaan desentralisasi fiskal masih terdapat beberapa daerah yang memiliki kemandirian keuangan daerah yang semakin membaik namun tidak selalu diikuti pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengurangan angka kemiskinan. Hal inilah yang menjadi acuan analisis untuk melihat pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Analisis perkembangan kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota Provinsi Banten dilakukan secara deksriptif untuk mengetahui kemampuan dan karakteristik keuangan daerah masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Analisis Data Panel digunakan untuk melihat pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Secara sistematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 3. Desentralisasi Fiskal
Kemandirian Pengelolaan. Kemampuan Keuangan
Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi
Pengurangan Angka Kemiskinan
Masalah Tingginya Ketergantungan terhadap Dana Pihak Ekstern
Masalah Perbedaan Pertumbuhan Ekonomi daerah
Masalah Tingginya Angka Penduduk Miskin
Analisis Kemandirian Keuangan kab dan kota
Analisis Pengaruh Kemandirian Keuangan terhadap Pertumbuhan
Analisis Pengaruh Kemandirian Keuangan terhadap Kemiskinan
Analisis Deskriptif
\
Model Data Panel
Implikasi Kebijakan
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Semakin tinggi rasio PAD terhadap total pendapatan daerah mencerminkan kemandirian keuangan daerah yang semakin baik, diduga akan meningkatkan
16
sehingga mendukung pembangunan daerah sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta mengurangi kemiskinan. 2. Semakin tinggi rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah mencerminkan kemandirian keuangan daerah yang semakin menurun diduga akan menurunkan kapasitas keuangan daerah kinerja yang mengurangi kinerja pembangunan daerah sehingga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kemiskinan. 3. Kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan dan kenaikan tingkat pengangguran terbuka diduga akan mengurangi pembangunan ekonomi yang akan meningkatkan kemiskinan.
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan jenis data panel. Objek yang diteliti adalah 6 kabupaten dan kota di Provinsi Banten pada tahun 2001 sampai 2011 dimana otonomi daerah berlangsung. Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan tidak dimasukkan dalam objek penelitian untuk kekonsistenan data. Data pendukung lainnya seperti buku, jurnal dan lain-lain diperoleh dari perpustakaan BPS Provinsi Banten dan perpustakaan di lingkungan IPB. Berikut jenis data dan sumber data yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 3. Data dan sumber data Keterangan Produk Domestik Regional Bruto Persentase Penduduk Miskin Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Total Pendapatan Daerah Indeks Gini Tingkat Pengangguran
Sumber BPS Banten (diolah) BPS Banten DPKAD Banten (diolah) DPKAD Banten (diolah) DPKAD Banten BPS Banten BPS Banten
Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis deskriptif dan analisis regresi data panel. Analisis deskriptif digunakan untuk menginterprestasikan data kuantitatif secara sederhana. Pengolahan dilakukan dengan menggunakan program software Microsoft Excel dan Eviews6. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dalam penelitian ini menggambarkan perkembangan kemandirian keuangan daerah selama kurun waktu 2001-2011 untuk wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Umumnya desentralisasi fiskal yang mencerminkan kemandirian keuangan diinterprestasikan sebagai pelimpahan kewenangan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan di pemerintahan
17
daerah. Desentralisasi fiskal, dalam pengukurannya, perlu diketahui seberapa besar derajat dari pelimpahan kewenangan ini. Namun cukup sulit untuk mengukur secara alokasi kewenangan secara kuantitatif. Pendekatan standar untuk mengukur alokasi kewenangan adalah menggunakan pengukuran akuntansi seperti pendapatan atau pengeluaran (Akai dan Sakata, 2002). Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, menyimpulkan bahwa tidak terdapat pengukuran yang pasti mengenai derajat desentralisasi ataupun kemandirian keuangan daerah. Variabel yang digunakan dapat berubah-ubah sesuai dengan karakteristik keuangan daerah tempat penelitian dilakukan. Penelitian ini, sebagai pengukuran kemandirian keuangan daerah digunakan rasio PAD terhadap total pendapatan daerah dan rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah. Data APBD yang digunakan adalah total seluruh pendapatan daerah kabupaten dan kota se-Provinsi Banten yang terdiri dari total pendapatan yang berasal dari PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Peningkatan RPAD menunjukkan kemandirian keuangan daerah yang juga semakin meningkat namun peningkatan RDP mengindikasikan ketergantungan daerah pada sumber dana pemerintah pusat semakin tinggi. Kedua rasio ini dapat dihitung dengan rumus: Pendapatan Asli Daerah x 100 % RPAD = Total Pendapatan Daerah dan RDP =
Dana Perimbangan Total Pendapatan Daerah
x 100 %
Keterangan: RPAD = Rasio PAD terhadap total pendapatan daerah RDP = Rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah PAD = Pendapatan Asli Daerah Rasio PAD terhadap total pendapatan daerah dapat mengukur kemampuan keuangan daerah. Nilai interval yang minimal lebih besar dari 50% menunjukkan kemampuan keuangan daerah yang baik. Semakin besar rasio PAD terhadap total pendapatan daerah maka kemampuan keuangan daerah semakin baik. Badan Litbang Depdagri dan Fisipol UGM menggunakan skala interval yang dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4. Interval kemampuan keuangan daerah Interval 00.00 – 10.00 10.01 – 20.00 20.01 – 30.00 30.01 – 40.00 40.01 – 50.00 > 50. 00 Sumber: Depdagri dan Fisipol UGM (1991)
Kemampuan Keuangan Daerah Sangat Kurang Kurang Cukup Sedang Baik Sangat Baik
18
Analisis Data Panel Data yang digunakan dalam analisis ekonometrika terdiri dari tiga jenis, yaitu data cross section, data time series dan data panel. Cross section merupakan data yang dikumpulkan dalam satu waktu pada banyak individu, sedangkan time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Pooled data merupakan penggabungan data cross section dan time series dimana data yang dikumpulkan secara cross section pada periode waktu tertentu. Manfaat penggunaan metode panel data menurut Baltagi (2008) antara lain: 1. Memberikan variasi sumber yang lebih kaya yang memungkinkan estimasi parameter yang lebih efisien. Lebih banyak informasi data, peneliti mendapatkan estimasi yang lebih terandalkan dan menguji model perilaku lebih canggih dengan asumsi pembatas yang sedikit. 2. Dapat mengontrol heterogenitas individu. 3. Lebih unggul dalam mengindentifikasi dan mengestimasi efek yang tidak terdeteksi secara sederhana pada cross section murni atau time series murni. 4. Lebih unggul dalam mempelajari model perilaku yang lebih kompleks. Tiga teknik untuk mengestimasi parameter model dengan data panel yaitu Pooled Least Square, metode efek tetap atau Fixed Effect dan metode efek acak atau Random Effect. 1. Model Pooled Least Square Metode ini merupakan pengombinasian sederhana dari data time series dan cross section. Estimasi model Pooled Least Square dapat diuraikan ke dalam model berikut: Y it = α + βX it + ε it Asumsi yang digunakan pada metode ini terbatas karena mengasumsikan intersep dan koefisien dari setiap variabel sama untuk setap i (data cross section) yang diobservasi. Hal ini dapat menyebabkan variabel yang diabaikan mengubah intersep time series dan cross section. 2. Model Fixed Effect Keterbatasan yang ada pada model Pooled Least Square dapat diatasi dengan memasukan peubah dummy untuk memungkinkan perbedaan intersep α. Koefisien-koefisien lainnya tetap sama bagi setiap kabupaten dan kota yang diobservasi. Metode fixed effect dapat diuraikan sebagai berikut: Y it = α + βX it + γW 2t + γW 3t + ⋯ + γ N W NT + δ 2 Z i2 + δ 3 Z i3 + ⋯ + δ 2 Z i2 + ε it dimana
Wit = Zit =
1 0 1 0
untuk individu daerah ke-i; i= 2,3,…,N selainnya untuk periode waktu ke-t; t= 2,3,…,N selainnya
Koefisien dari variabel dummy akan mengukur perubahan intersep cross section dan time series. Namun model ini memiliki beberapa kekurangan seperti penggunaan dummy tidak langsung mengidentifikasi apa yang menyebabkan pergeseran garis regresi sepanjang waktu dan antar daerah. Kedua teknik dummy mengurangi derajat bebas (Juanda, 2009).
19
3. Model Random Effect Model Random Effect mengasumsikan tidak ada korelasi antara efek individu dan regresor. Model ini memiliki dua komponen residual, yaitu residual secara menyeluruh dan residual secara individu. Model Random Effect dapat dijabarkan sebagai berikut: Y it = α + βX it + ε it ε it = u i + v t + w it dimana : komponen sisaan data cross section 𝑢𝑖 ~ N(0, σ2u ) 𝑣𝑡 ~ N(0, σ2v ) : komponen sisaan data time series 2 𝑤𝑖 ~ N(0, σw ) : komponen sisaan gabungan Formulasi model Random Effect didapat dari model Fixed Effect dengan mengasumsikan efek rata-rata dari variabel time-series dan cross section yang acak termasuk dalam intersep dan deviasi acak dari rataanya sama dengan masing-masing komponen galat 𝑢𝑖 dan 𝑣𝑡 .
Analisis regresi dengan metode data panel digunakan untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga yaitu untuk mengidentifkasi pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Penelitian ini menggunakan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi. Variabel rasio PAD (RPAD) terhadap total pendapatan daerah dan variabel rasio Dana Perimbangan (RDP) terhadap total pendapatan daerah digunakan sebagai gambaran kemandirian keuangan daerah. Model kemiskinan pada penelitian ini menggunakan variabel proksi kemiskinan seperti indeks ketimpangan distribusi pendapatan (GINI) dan tingkat pengangguran terbuka (TP). Data variabel yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Lampiran 1. Adapun estimasi model pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Banten dituliskan sebagai berikut: LnPDRB it = α 1 + β 1 RPAD it + β 2 RDP it +ε it . Keterangan: PDRB RPAD RDP αi 𝛽i ε it i t
= Produk Domestik Regional Bruto (miliar rupiah) = Rasio PAD terhadap total pendapatan daerah (%) = Rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah (%) = intersep = koefisien regresi = error term = kabupaten/ kota ke-i = periode waktu (2001,…,2011)
20
Estimasi model yang digunakan untuk melihat pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap kemiskinan kabupaten dan kota di Provinsi Banten adalah sebagai berikut: PPM it = α 1 + β 1 RPAD it + β 2 RDP it + β 3 GINI it + β 4 TP it + ε it . Keterangan: PPM RPAD RDP GINI TP αi βi ε it i t
= Persentase Penduduk Miskin (%) = Rasio PAD terhadap total pendapatan daerah (%) = Rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah (%) = Ketimpangan Distribusi Pendapatan = Tingkat Pengangguran Terbuka (%) = intersep = koefisien regresi = error term = kabupaten/ kota ke-i = periode waktu (2001,…,2011)
Pengujian Kesesuaian Model Setelah parameter estimasi didapat, dilakukan pengujian terhadap parameter estimasi. Pengujian dapat dilakukan juga secara statistik dan dengan pendekatan analisis model data panel. 1. Uji Chow Pengujian yang digunakan untuk memilih apakah model Pooled Least Square atau Fixed Effect untuk digunakan. Hipotesisnya adalah sebagai berikut: H 0 : Model Pooled Least Square (Restricted) H 1 : Model Fixed Effect (Unrestricted) Dasar penolakan H 0 dengan menggunakan F statistik dengan rumus : (RRSS - URSS) / (N - 1) F stat = URSS/(NT – N - K) Keterangan: RRSS = Restricted Residual Sum Square URSS = Unrestricted Residual Sum Square N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas Jika nilai F-stat lebih besar daripada F-tabel, maka cukup bukti untuk menolak hipotesis nol sehingga model yang digunakan adalah model Fixed Effect, dan sebaliknya. 2. Uji Hausman Uji Hausman dilakukan setelah pengujian Uji Chow. Uji Hausman digunakan dalam memilih model yang terbaik antara model Random Effect atau model Fixed Effect. Uji Hausman dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H 0 : Model Fixed Effect H 1 : Model Random Effect
21
Dasar penolakan H 0 menggunakan perbandingan statistik Hausman dengan Chi-Square atau juga bisa dilihat dari nilai p-value nya. Jika p-value lebih kecil dari 5% maka dapat disimpulkan bahwa model Fixed Effect lebih baik dibandingkan dengan model Random Effect. 3. Kecocokan Model (Goodness of Fit) Koefisien determinasi yang dilambangkan dengan R2 dapat menguji goodness of fit dari estimasi model yang dibuat. Koefisien determinasi dapat menjelaskan persentase total variasi variabel tak bebas yang dijelaskan dalam model. Nilai R2 selalu berada di antara 0 dan 1. Semakin besar nilai R2 semakin baik kualitas model, karena semakin dapat menjelaskan hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebas. 4. Pengujian Hipotesis Untuk membuktikan bahwa koefisien regresi suatu model secara statistik signifikan atau tidak, perlu dikaji apakah koefisien regresi satu per satu secara statistik signifikan atau tidak dalam memengaruhi nilai variabel tak bebas, juga perlu diuji untuk membuktikan secara statistik bahwa keseluruhan koefisien regresi juga signifikan dalam menentukan nilai variabel tak bebas. Untuk melihat seberapa jauh pengaruh masing-masing variabel bebas dapat dilakukan dengan Uji Statistik t. Cara yang lebih mudah juga dapat dilihat dari p-value. Jika p-value lebih kecil dari nilai α = 5%, maka variabel bebas berpengaruh secara signifikan. Melihat keseluruhan koefisien regresi dapat dilakukan dengan uji statistik F.
Uji Asumsi Multikolinearitas Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear yang kuat di antara variabel-variabel penjelas. Tidak adanya multikolinearitas adalah salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam model regresi linear klasik. Seperti yang dikutip dalam Gujarati (2006), selama kolinearitas itu tidak sempurna, estimator OLS masih tetap Best Linear Unbiased Estimator (BLUE) meskipun salah satu atau lebih koefisien regresi parsial dalam regresi berganda bisa saja secara individual tak signifikan secara statistik. Autokorelasi Autokorelasi mengindikasikan adanya korelasi berantai di antara gangguan 𝑢𝑖 yang pada fungsi regresi. Autokorelasi secara simbolis dapat ditulis 𝐸�𝑢𝑖 𝑢𝑗 � ≠ 0 𝑖 ≠ 𝑗. Uji yang paling terkenal untuk pendeteksian autokorelasi adalah uji yang dikembangkan oleh Durbin dan Watson, yang terkenal sebagai statistika d Durbin-Watson yang didefinisikan sebagai rasio jumlah selisih kuadrat dalam residu berurutan terhadap RSS. Identifikasi autokorelasi tecantum dalam Tabel 5.
22
Tabel 5. Statistik d Durbin Watson Tolak H 0 . Bukti autokorelasi positif 0
Tidak ada keputusan
dL
Terima H 0 atau H 0 * atau keduanya dU
2
Tidak ada keputusan
4-dU
Tolak H 0 * Bukti autokorelasi negatif 4-dL
4
Sumber: Gujarati 2006
Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas menunjukkan varians 𝑢𝑖 adalah 𝜎𝑖2 , yang berarti adanya observasi yang bervariasi ke observasi lain atau varians tidak sama atau nonkonstan. Gujarati (2006) menyatakan ketika heteroskedastisitas terjadi, rutinitas pengujian hipotesis yang seperi biasa tidak bias diandalkan karena memungkinkan penarikan kesimpulan yang menyesatkan. Normalitas Prosedur pengujian statistik juga didasarkan pada asumsi bahwa faktor kesalahan 𝑢𝑖 didistribusikan secara normal. Prosedur uji normalitas yang termasuk sederhana yaitu Histogram Residu dan uji Jarque-Bera. Histogram residu merupakan perangkat grafik sederhana yang digunakan untuk mempelajari sesuatu tentang bentuk fungsi kepadatan probabilitas dari suatu variabel acak. Uji Jarque-Bera merupakan uji sampel besar yang didasarkan atas residu Ordinary Least Square. Hipotesis H 0 pada data berdistribusi normal, nilai probabilitas yang kecil cenderung mengarahkan pada penolakan hipotesis nol distribusi normal. Bila nilai Jarque-Bera dan probabilitas lebih besar dari α = 5%, maka data berdistribusi normal. GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN
Kondisi Geografis Provinsi Banten terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten. Berdasarkan undang-undang, Provinsi Banten terdiri dari Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang, Kota Cilegon. Pada tahun 20072008, terjadi pemekaran wilayah dengan dibentuknya Kota Serang yang berasal dari pemekaran Kabupaten Serang dan Kota Tangerang Selatan yang berasal dari pemekaran Kabupaten Tangerang, yang menjadikan Provinsi Banten memiliki empat kabupaten dan empat kota. Kota Serang diresmikan pada tanggal 2 November 2007 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang sedangkan Kota Tangerang Selatan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan. Secara astronomis, letak Provinsi Banten pada 5o7’50” – 7o1’11” Lintang Selatan dan 105o1’1” – 106o7’12” Bujur Timur. Provinsi Banten memiliki batas-
23
batas wilayah yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat serta sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda. Peta administratif Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 3. Ekosistem wilayah Banten terdiri dari: 1. Lingkungan Pantai Utara yang merupakan ekosistem sawah irigasi teknis dan setengah teknis, kawasan pemukiman dan industri. 2. Kawasan Banten Bagian Tengah terdiri dari kawasan pertanian dan perkebunan serta sebagian terdiri dari pemukiman perdesaan. 3. Kawasan Banten Bagian Selatan terdiri dari kawasan lindung Gunung Halimun Salak, Kendengan hingga Malingping, Bayah merupakan daerah pegunungan yang relatif sulit untuk diakses namun menyimpan potensi sumber daya alam. DAS Cibaliung-Malingping merupakan cekungan sumber air. 4. Kawasan Banten Bagian Barat yang terdiri dari DAS Cindano dan lereng Karang-Aseupan dan Pulosari sampai DAS Ciliman wilayah Pandeglang dan Serang Bagian Barat, merupakan daerah yang kaya akan potensi air dan kawasan pertanian. 5. Ujung Kulon sebagai Taman Nasional Konservasi Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus).
Gambar 6. Peta administratif Provinsi Banten Sumber: Kemendagri, 2013
Kependudukan Jumlah penduduk kabupaten dan kota di Provinsi Banten pada tahun 2011 sebesar 11 005 518 jiwa. Pertumbuhan penduduk Provinsi Banten dapat dilihat pada Tabel 6. Selama kurun waktu 2001-2011, pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 33.03%. Apabila ditinjau dari kabupaten dan kota, pertumbuhan penduduk relatif tinggi pada Kota Tangerang dengan pertumbuhan sebesar 47.96%. Tingginya pertumbuhan penduduk ini berkaitan dengan potensi daerah Kota
24
Tangerang dan Kota Tangerang ini terletak berbatasan langsung dengan Kota DKI Jakarta, ibu kota Indonesia. Tabel 6. Penduduk menurut kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001 dan 2011 Jumlah Penduduk (jiwa) Kabupaten/Kota
2001
Kab Pandeglang Kab Lebak Kab Tangerang* Kab Serang** Kota Tangerang Kota Cilegon Total
2011
1 018 438 1 032 375 2 827 342 1 660 941 1 335 756 298 081 8 172 933
1 172 179 1 228 884 4 183 268 2 032 544 1 869 791 385 720 11 005 518
Pertumbuhan Penduduk (%) 15.10 19.03 47.96 22.37 39.98 29.40 33.03
Sumber: BPS, 2013 *Termasuk Kota Tangerang Selatan **Termasuk Kota Serang
Peningkatan jumlah penduduk disebabkan karena adanya pertumbuhan penduduk secara alami dan faktor perpindahan penduduk (migrasi) yang positif. Jumlah penduduk suatu daerah adalah suatu aset dan potensi yang besar untuk pembangunan jika penduduk daerah tersebut juga berkualitas, jika tidak, pertumbuhan penduduk hanya akan menjadi beban bagi proses pembangunan yang sedang berlangsung. Berdasarkan Tabel 7, luas wilayah Provinsi Banten sebesar 9 245 Km2 dengan kepadatan rata-rata penduduk pada tahun 2011 adalah 1 139 jiwa/Km2. Kepadatan penduduk pada tiap kabupaten dan kota berbeda satu sama lain. Kota Tangerang memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi yaitu sebesar 12 147 jiwa/Km2, sedangkan kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki kepadatan penduduk di bawah ratarata. Tabel 7. Demografi Provinsi Banten tahun 2011 Kabupaten/Kota
Kabupaten Pandeglang Lebak Tangerang Serang Kota Tangerang Cilegon Provinsi Banten
IbuKota
Luas (km2)
Persentase Penduduk
Kepadatan Penduduk per km2
Pandeglang Rangkasbitung Tigaraksa Ciruas
2 746 3 426 1 011 1 734
10.56 11.17 26.90 13.03
427 359 2 926 827
Tangerang Purwakarta Kota Serang
153 175 9 245
16.99 3.50 100
12 147 2 198 1 139
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2013
Berdasarkan Tabel 8, Kabupaten Tangerang memiliki jumlah angkatan kerja maupun tertinggi sebesar 1 416 780 jiwa pada tahun 2011. Kabupaten Tangerang memiliki persentase pengangguran sebesar 30.03% pada tahun 2011. Kota
25
Cilegon memiliki jumlah penduduk angkatan kerja yang paling rendah sebesar 185 874 jiwa dengan persentase sebesar 3.58% pada tahun 2011. Provinsi Banten memiliki tingkat pengangguran terbuka yang tertinggi di Indonesia lainnya yaitu sebesar 19.62% pada tahun 2011 dibanding tingkat pengangguran provinsi lainnya seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 2.67% dan DKI Jakarta sebesar 10.83% (RPJMD Provinsi Banten tahun 2012-2012). Angka pengangguran yang tinggi ini secara spasial berkaitan erat dengan fenomena migrasi penduduk. Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak merupakan daerah pedesaan yang perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian, sehingga bukan menjadi daerah tujuan migrasi. Empat kabupaten dan kota lainnya yang memiliki tingkat pengangguran terbuka sekitar 13.1% sampai 14.4%, merupakan daerah tujuan migrasi karena daerah dengan sektor perindustrian yang sangat dominan, faktor Ibukota Provinsi Banten dan adanya disparitas tingkat upah. Tabel 8. Penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja, mencari pekerjaan dan bukan angkatan kerja di Provinsi Banten tahun 2011 Kabupaten/Kota Pandeglang Lebak Tangerang Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Banten
Bekerja 455 379 482 907 1 212 422 570 246 823 516 161 448 4.29.660
Angkatan Kerja Pengangguran Jumlah 58 108 66 471 204 358 87 433 121 818 24 426 680 654
513 487 549 378 1 416 780 657 679 945 334 185 874 5 210 224
Bukan Angkatan Kerja 285 352 314 439 622 785 358 176 399 215 79 664 2 476 135
Penduduk 15 Tahun ke Atas 798 839 863 817 2 039 565 1 015 855 1 344 549 265 538 7 286 059
Sumber: BPS Banten, 2011
Ketimpangan distribusi pendapatan dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9, pada tahun 2005 Kota Cilegon memiliki indeks ketimpangan paling tinggi sebesar 0.5 dan Kabupaten Tangerang menduduki posisi kedua dengan nilai indeks sebesar 0.35. Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki ketimpangan yang paling rendah sebesar 0.2 dan 0.23. Pada tahun 2010, Kota Cilegon juga masih memiliki angka ketimpangan yang tinggi sebesar 0.31 dan Kabupaten Tangerang sebesar 0.32. Tabel 9. Indeks ketimpangan distribusi pendapatan Provinsi Banten tahun 20052010 (Gini Ratio) Kabupaten/Kota Kabupaten Pandeglang Kabupaten Lebak Kabupaten Tangerang Kabupaten Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Banten
2005 0.22 0.23 0.35 0.28 0.28 0.50 0.38
2006 0.21 0.26 0.31 0.29 0.23 0.26 0.31
2007 0.23 0.22 0.25 0.27 0.22 0.27 0.29
2008 0.22 0.24 0.23 0.24 0.21 0.25 0.30
2009 0.21 0.2 0.32 0.23 0.33 0.29 0.35
2010 0.2 0.23 0.32 0.27 0.28 0.31 0.32
Sumber: BPS Banten, 2013
Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak masih menduduki posisi terendah pada tahun 2010 dengan angka masing-masing sebesar 0.2 dan 0.23.
26
Ketimpangan pendapatan selalu dikaitkan dengan tingginya angka kemiskinan. Pada Tabel 10 disajikan persentase penduduk miskin Provinsi Banten dari tahun 2007 sampai dengan 2010. Berdasarkan Tabel 10, selama periode tahun 20072011 Kabupaten Pandeglang memiliki angka persentase penduduk miskin tertinggi. Pada tahun 2007, persentase penduduk miskin mencapai 15.64% yang terus mengalami penurunan menjadi 9.8% pada tahun 2011. Kabupaten Lebak yang memiliki angka persentase terbesar kedua sebesar 14.43% yang menurun menjadi sebesar 3.98%. Kota Cilegon memiliki persentase penduduk miskin paling rendah sebesar 4.71% pada tahun 2007 yang menurun menjadi 3.98% pada tahun 2011. Perubahan dimensi ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran terbuka akan mempengaruhi tingkat kemiskinan. Penurunan angka kemiskinan di Provinsi Banten dapat dikaitkan dengan keberhasilan peningkatan di bidang ekonomi. Perbaikan ekonomi makro dapat dilihat dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Tabel 10. Persentase penduduk miskin Provinsi Banten tahun 2007-2011 Kabupaten/Kota Kabupaten Pandeglang Kabupaten Lebak Kabupaten Tangerang Kabupaten Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Banten
Persentase Penduduk Miskin (%) 2007 2008 2009 2010 2011 15.64 12.55 12.01 11.4 9.8 14.43 12.05 10.63 10.38 9.2 7.18 7.41 6.55 7.18 6.42 9.47 6.48 5.8 6.34 5.63 4.92 6.83 6.42 6.88 6.14 4.71 3.95 4.14 4.46 3.98 9.07 8.15 8.15 7.46 6.26
Sumber: BPS Banten, 2013
Kondisi Perekonomian Indikator yang digunakan untuk melihat perkembangan perekonomian suatu wilayah salah satunya adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data perkembangan PDRB kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2007-2011 atas harga berlaku maupun harga konstan yang terdiri dari sembilan sektor, secara umum sektor yang berkontribusi terbesar tahun 2007 dan 2011 masih pada sektor industri pengolahan. Pertanian juga mendominasi aktivitas masyarakat Provinsi Banten setelah industri pengolahan. Kinerja perekonomin Provinsi Banten selama tahun 2007 dan 2011 juga menunjukkan peningkatan yang didorong oleh konsumsi domestik yang tinggi dan peningkatan investasi dan kinerja ekspor sektor utama Provinsi Banten. Berlanjutnya krisis Eropa dan Amerika Serikat dapat berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekspor Banten. Kondisi ketidakpastian global yang diindikasikan dari banyaknya perkiraan dari lembaga keuangan dunia menurunkan angka proyeksi global khususnya dari negara-negara maju yang merupakan mitra dagang Provinsi Banten.
27
Tabel 11. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Banten atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2007-2011 (Juta Rp) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan Jasa-Jasa PDRB Sumber: BPS Banten, 2011
Tahun 2007 2011 5 665 287.18 6 921 460.51 69 292.77 101 497.85 41 213 127.97 47 034 179.51 2 629 581.32 3 442 171.97 1 880 273.94 2 590 502.54 12 800 800.86 18 055 706.92 5 780 569.93 8 510 770.17 2 302 634.01 3 465 677.76 3 008 042.95 4 100 387.81 75 349 610.92 94 222 355.05
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten Tahun 2001-2011 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah sebagai pendanaan pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 6 menyebutkan PAD berasal dari empat sumber yaitu Pajak Daerah, Restribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain Pendapatan Asli Yang Sah. Perkembangan PAD Provinsi Banten selama 2001-2011 dapat dilihat dari Gambar 7. Berdasarkan Gambar 7, selama kurun tahun 2001-2011, wilayah Banten Utara yang terdiri dari Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang menerima pendapatan daerah yang berasal dari PAD relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Banten Selatan yang terdiri dari Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Pada wilayah Banten Utara, sepanjang tahun 2001-2011, daerah yang menghasilkan PAD dengan rata-rata terbesar setiap tahunnya adalah Kabupaten Tangerang dengan rata-rata sebesar Rp225.76 miliar sedangkan Kabupaten Serang menduduki posisi terendah yaitu dengan pendapatan rata-rata sebesar Rp97.26 miliar. Wilayah Banten Selatan menghasilkan PAD dengan rata-rata terendah dibandingan dengan wilayah Banten Utara yaitu Kabupaten Pandeglang dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp22.52 miliar dan Kabupaten Lebak dengan ratarata pendapatan sebesar dan Rp34.52 miliar. Berdasarkan proporsi realisasi PAD, Pajak Daerah memberikan proporsi terbesar terhadap PAD. Selama kurun waktu tahun 2001-2011, proporsi pajak Provinsi Banten mencapai 96.11%, sedangkan Restribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain Pendapatan yang Sah masing-masing hanya sebesar 0.19%, 1.20% dan 2.50%. Kabupaten
28
Tangerang dan Kota Tangerang merupakan daerah penyumbang pajak paling besar, dengan jumlah agregat selama tahun 2001-2011 masing-masing mencapai Rp1.2 triliun dan Rp1.17 triliun, sedangkan Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak hanya menyumbang pajak daerah masing-masing sebesar Rp40 miliar dan Rp52 miliar. 400,000.00
PAD (Juta Rupiah)
350,000.00 300,000.00 250,000.00 200,000.00 150,000.00 100,000.00 50,000.00 0.00 2001
2002
Kab Tangerang Kab Pandeglang
Gambar 7.
2003
2004
2005
2006
Tahun Kab Serang Kota Tangerang
2007
2008
2009
2010
2011
Kab Lebak Kota Cilegon
Perkembangan pendapatan asli daerah Provinsi Banten tahun 20012011
Sumber: DPKAD, 2013
Setelah otonomi daerah dilaksanakan, masing-masing daerah berkompetisi untuk meningkatkan PAD daerah masing-masing. PAD merupakan sumber pembiayaan yang seluruhya digali dari daerah itu sendiri sehingga dapat mencerminkan kondisi riil daerah tersebut. Jika struktur PAD sudah kuat, artinya daerah tersebut memiliki kemampuan pembiayaan yang kuat, yang akhirnya berbagai bentuk dari pemerintah pusat hanya bersifat sebagai pendukung bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Rasio PAD terhadap total pendapatan daerah Provinsi Banten dapat dilihat dari Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8, wilayah Banten Utara memiliki rasio PAD relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah Banten Selatan. Kota Cilegon memiliki rasio PAD tertinggi namun Kabupaten Serang memiliki rasio PAD terendah di Banten Utara. Kemudian wilayah Banten Selatan yang terdiri dari Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki rasio terendah dibandingkan wilayah Banten Utara. Pada tahun 2001, Kota Cilegon memiliki rasio sebesar 28%, kemudian mengalami kenaikan sampai tahun 2004 dan sempat menurun pada tahun 2005 kemudian berfluktuasi dan akhirnya pada tahun 2011 meningkat menjadi 30%. Kabupaten Serang memiliki rasio sebesar 13.63% pada tahun 2001 dan meningkat menjadi sebesar 13.9% pada tahun 2011. Kabupaten Pandeglang memiliki rasio sebesar 3.3% pada tahun 2001, sempat memiliki angka tertinggi pada tahun 2007 sebesar 6.25%, kemudian berflkutuasi sampai mencapai angka 3.3% pada tahun 2011. Kabupaten Lebak memiliki rasio sebesar 3.13% yang meningkat menjadi 5.19% pada tahun 2011. Kabupaten dan kota yang memiliki rasio PAD terhadap total pendapatan daerah yang tinggi menunjukkan kabupaten dan kota tersebut berhasil meningkatkan pendapatan yang bersumber dari daerah masing-masing dan mengurangi ketergantungan terhadap dana pemerintah pusat. Rasio PAD terhadap total pendapatan daerah Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Tangerang dengan rata-rata per tahunnya masing-
29
masing sebesar 17.70%, 13.42% dan 18.13% jika dilihat dari interval dapat disimpulkan bahwa kemampuan keuangan daerah Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Tangerang masih kurang. Rasio PAD terhadap total pendapatan daerah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak dengan rata-rata setiap tahunnya hanya sebesar 3.9% dan 5.6% menunjukkan kemampuan keuangan daerah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak masih sangat kurang karena berada di interval antara 0.0%-10%. Kota Cilegon dengan rasio PAD terhadap total pendapatan daerah terhadap pendapatan daerah rata-rata pertahunnya sebesar 25.83% menunjukkan kemampuan keuangan daerah yang cukup. Kemampuan keuangan daerah yang berada pada interval sedang dapat dicapai jika rasio PAD terhadap pendapatan daerah mencapai angka minimal 30.01%-40.00%, kemampuan keuangan daerah baik jika rasio mencapai pada interval 40.01%-50.00% dan sangat baik jika rasio mencapai pada interval lebih besar dari 50%. Tingkat kemandirian keuangan daerah yang relatif rendah dan menunjukkan kemampuan keuangan daerah kabupaten kota Provinsi Banten yang masih berada pada tingkat sangat kurang, kurang dan cukup menunjukkan bahwa ketergantungan fiskal pada pemerintah pusat masih tinggi. Hal ini didukung dengan rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah masing-masing kabupaten dan kota Provinsi Banten. 40.000
Rasio (%)
30.000 20.000 10.000 0.000 2001
2002
2003
2004
Kab Tangerang Kab Pandeglang
2005
2006
Tahun Kab Serang Kota Tangerang
2007
2008
2009
2010 2011
Kab Lebak Kota Cilegon
Gambar 8. Rasio pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan daerah kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011 Sumber: DPKAD Banten, 2013 (diolah)
Dana Perimbangan Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antar-pemerintah daerah. Jumlah alokasi Dana Perimbangan dianggarkan dan diterima oleh seluruh kabupaten dan kota Provinsi Banten selama tahun 2001-2011 adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9, secara nominal Kabupaten Tangerang menerima Dana Perimbangan terbesar diantara kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Banten. Pada tahun 2001, Kabupaten Tangerang menerima Dana Perimbangan sebesar Rp396.13 miliar dan meningkat menjadi Rp899.93 miliar tahun 2011, dengan rata-rata sebesar Rp864.05 miliar rupiah. Kota Cilegon
30
memperoleh jumlah Dana Perimbangan yang terkecil. Pada Tahun 2001, Kota Cilegon memperoleh Dana Perimbangan sebesar Rp86.80 miliar yang meningkat menjadi Rp333.57 miliar pada tahun 2011, dengan rata-rata perolehan Dana Perimbangan sebesar Rp255.81 miliar. Dana Perimbangan (Juta Rupiah)
1,600,000.00 1,400,000.00 1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00 400,000.00 200,000.00 0.00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun
Kab Tangerang Kab Pandeglang
Kab Serang Kota Tangerang
Kab Lebak Kota Cilegon
Gambar 9. Perkembangan dana perimbangan Provinsi Banten tahun 2001-2011 Sumber: DPKAD Banten, 2013
Berdasarkan proporsi realisasi Dana Perimbangan, Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak memberikan proporsi terbesar terhadap Dana Perimbangan sebesar 52.84% diikuti dengan Dana Alokasi Umum sebesar 45.94%, sedangkan Dana Alokasi Khusus hanya menyumbang pendapatan sebesar 1.21% selama kurun waktu 2001-2011. Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang merupakan daerah penerima Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak tertinggi, dengan jumlah agregat selama tahun 2001-2011 masing-masing mencapai Rp2.8 triliun dan Rp2.01 triliun, sedangkan Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak menerima Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terendah masing-masing sebesar Rp242 miliar dan Rp286 miliar. Peneriman Dana Perimbangan yang berasal dari Dana Alokasi Umum paling tinggi ditempati oleh Kabupaten Tangerang sebesar Rp5.162 triliun sedangkan Kota Cilegon menerima Dana Alokasi Umum paling rendah yaitu hanya sebesar Rp1.91 triliun. Perkembangan rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah kabupaten dan kota Provinsi Banten disajikkan pada Gambar 10. Berdasarkan perkembangan setiap daerah, wilayah Banten memiliki rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah paling tinggi. Kabupaten Pandeglang memiliki rasio Dana Perimbangan tertinggi yaitu sebesar 93% pada tahun 2001 dan mengalami fluktuasi serta menurun menjadi 82% pada tahun 2011, diikuti oleh Kabupaten Lebak pada posisi kedua tertinggi yaitu mencapai 93% pada tahun 2001 dan menurun menjadi 76% pada tahun 2011. Pada wilayah Banten Utara, Kota Cilegon memiliki rasio paling rendah yaitu sebesar 63% pada tahun 2001 dan menurun menjadi 52% pada tahun 2011, sedangkan Kabupaten Serang memiliki rasio paling tinggi yaitu sebesar 84% pada tahun 2001 dan menurun menjadi sebesar 60% pada tahun 2011. Daerah dengan rasio Dana Perimbangan yang rendah menunjukkan daerah tersebut memiliki ketergantungan yang rendah terhadap dana pihak luar. Sebaliknya, rasio Dana Perimbangan yang tinggi menunjukkan daerah tersebut memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap
31
bantuan dana pemerintah pusat. Meskipun perkembangan pendapatan yang berasal dari PAD semakin meningkat, namun perbandingan RPAD dengan RDP menunjukkan Dana Perimbangan memberikan kontribusi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan dengan PAD. Hal ini mengindikasikan, pada masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Banten, penggunaaan dana bantuan pemerintah pusat masih berperan lebih besar pada anggaran pendapatan daripada Pendapatan Asli Daerah, dan kemandirian keuangan pada masing-masing kabupaten dan kota masih rendah. 100.000 80.000
Rasio (%)
60.000 40.000 20.000 0.000 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun Kab Tangerang Kab Pandeglang
Kab Serang Kota Tangerang
Kab Lebak Kota Cilegon
Gambar 10. Rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan daerah kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011 Sumber: DPKAD Banten, 2013 (diolah)
Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten dan Kota Provinsi Banten Uji Chow dilakukan untuk memilih mana yang terbaik antara model Pooled Least Square dan Fixed Effect. Hasil Uji Chow diperolah nilai Prob sebesar 0,0000. Nilai Prob yang kurang dari α = 5% berarti menolak hipotesis nol untuk menggunakan Pooled Least Square dan menerima hipotesis untuk menggunakan Fixed Effect. Pemilihan model antara Fixed Effect dengan Random Effect dilakukan dengan menggunakan Uji Hausman. Hasil Uji Hausman menunjukkan nilai Prob sebesar 0,0074, artinya menerima hipotesis untuk menggunakan Fixed Effects. Hasil dari Uji Chow dan Uji Hausman pada model pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Perbandingan Uji Chow dan Uji Hausman dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Uji model pertumbuhan ekonomi terbaik (Pooled Least Square, Fixed Effect Model, dan Random Effect Model) Uji Model Terbaik Uji Chow Uji Hausman
Probabilitas Chi-Square 0.0000 0.0074
Sumber: Hasil pengolahan menggunakan program Eviews6
Hasil estimasi model untuk melihat pengaruh kemandirian keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan hasil
32
estimasi, diperoleh nilai R2 pada model Fixed Effect sebesar 0.998936. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan oleh variabel bebas sebesar 99.8936% sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistik yang signifikan yaitu pada tingkat α = 5% yaitu sebesar 0,000000 yang berarti masing-masing variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Masing-masing variabel bebas menunjukan nilai probabilitas yang signifikan sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada di dalam fungsi. Menurut Gujarati (2006), model yang baik harus memenuhi asumsi model linear klasik yang artinya model terbebas dari masalah multikolineritas, autokorelasi dan heteroskedastisitas serta didasarkan pada asumsi bahwa faktor kesalahan 𝑢𝑖 menyebar secara normal. Tahap uji asumsi yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Uji Multikolinearitas Uji korelasi menunjukkan tidak terdapat variabel yang mempunyai nilai korelasi yang lebih besar daripada R-Square sehingga dapat disimpulkan model tidak memiliki masalah kolinearitas. Hasil uji multikolineritas pada model pertumbuhan ekonomi disajikan pada Lampiran 6. 2. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilihat dari nilai statistik Durbin-Watson, nilai statistik Durbin-Watson pada tabel model Fixed Effect yaitu sebesar 1.400121, dimana 0 < DW (1.400121) < dL (1.5395), sehingga model ini memiliki masalah autokorelasi, namun pada data panel model ini telah diestimasi dengan metode Generalized Least Square (GLS) cross-section Seemingly Unrelated Regressions (SUR) sehingga konsekuensi masalah autokorelasi pada data panel sudah diatasi. 3. Uji Heteroskedastisitas Nilai Sum Squared Resid (SSR) Weighted pada model sebesar 54.61216 bernilai lebih besar dari nilai SSR Unweighted sebesar 2.117066 yang mengindikasikan tidak terdapatnya gejala heteroskedastisitas dalam model ini. 4. Uji Normalitas Nilai Jarque-Bera menunjukkan nilai probabilitas yang tidak signifikan yaitu sebesar 0.694210, nilai probabilitas yang lebih besar dari α = 5% maka dapat disimpulkan model ini berdistribusi normal. Hasil uji normalitas disajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan persamaan regresi, nilai p-value rasio PAD sebesar 0.0408 yang berarti bahwa variabel rasio PAD terhadap total pendapatan daerah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada taraf nyata 5%. Berdasarkan hasil persaman regresi, terlihat koefisien regresi variabel rasio PAD terhadap total pendapatan daerah bernilai positif sebesar 0.283001. Artinya, kenaikan 1% rasio PAD terhadap total pendapatan daerah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.283001%, dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian dimana rasio PAD terhadap total pendapatan daerah yang tinggi menunjukkan kemandirian keuangan yang semakin meningkat yang diharapkan akan meningkatkan output perekonomian. Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan Tiebout (1961) bahwa sistem desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah memainkan peran yang lebih penting daripada
33
pemerintah pusat dalam penyediaan pelayanan publik akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tabel 13. Hasil estimasi model pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011 Variabel C RPAD RDP R-squared Sum squared resid Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) CROSSID Kab Tangerang Kab Serang Kab Lebak Kab Pandeglang Kota Tangerang Kota Cilegon
Koefisien Std. Error 16.17459 0.081426 0.283001 0.135281 -0.362936 0.085572 Weighted Statistics 0.998936 54.61216 1.400121 0.000000
t-Statistic Prob. 198.6425 0.0000 2.091946 0.0408 -4.241315 0.0001 Unweighted Statistics 0.940941 2.117066 0.209465 Effect 0.619132 -0.136626 -0.823225 -0.785138 0.962116 0.163740
Sumber: Hasil pengolahan menggunakan program Eviews6 Keterangan: *) signifikan pada taraf 5%
Penelitian yang dilakukan oleh (Samimi, 2010); Akai dan Sakata, 2002) menemukan bahwa dengan meningkatnya derajat desentalisasi fiskal akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian Amagoh dan Amin (2012) juga menyimpulkan bahwa perbaikan bentuk pemerintahan yang meningkatkan transparasi dan akuntabilitas dimana dilakukan dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sebagai salah satu unsur utama, akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Zang dan Zou (1996) yang menemukan semakin tinggi derajat desentralisasi fiskal, pertumbuhan ekonomi semakin rendah di China. Hasil estimasi menunjukkan variabel rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah secara signifikan negatif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada taraf nyata 5%. Koefisien regresi variabel rasio Dana Perimbangan bernilai negatif sebesar 0.362936 yang artinya setiap kenaikan 1% rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.362936%, dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini menunjukkan hasil estimasi yang sesuai dengan hipotesis yaitu tingginya ketergantungan keuangan daerah terhadap transfer dana pemerintah pusat mengindikasikan kemandirian keuangan daerah yang menurun, sehingga akan mengurangi kinerja pemerintah daerah dalam meningkatkan output perekonomian. Penerimaan dana yang tinggi dari pemerintah pusat dapat menyebabkan pemerintah daerah kurang insentif untuk meningkatkan pemerimaan yang berasal dari PAD dan terus mengandalkan kemampuan negosiasi untuk menerima bantuan dari pihak luar sebagai pembiayaan pemerintahan dan pembangunan. Hasil estimasi menunjukkan bahwa Kota
34
Tangerang memiliki rata-rata perubahan PDRB terbesar di Provinsi Banten, sedangkan Kabupaten Lebak memiliki rata-rata perubahan PDRB terkecil di Provinsi Banten.
Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Kemiskinan di Kabupaten Dan Kota Provinsi Banten Uji Chow dilakukan untuk memilih mana yang antara Model Pooled Least Square dan Fixed Effect. Pemilihan model antara Fixed Effect dengan Random Effect dilakukan dengan menggunakan Uji Hausman. Hasil Uji Chow dan Uji Hausman menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000, dimana artinya menerima hipotesis untuk menggunakan Fixed Effect. Hasil Uji Chow dan Uji Hausman dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10. Perbandingan hasil Uji Chow dan Uji Hausman disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Uji Model Kemiskinan Terbaik (Pooled Least Square, Fixed Effect Model, dan Random Effect Model) Uji Model Terbaik Uji Chow Uji Hausman
Probabilitas Chi-Square 0.0000 0.0000
Sumber: Hasil pengolahan menggunakan program Eviews6
Hasil estimasi untuk melihat pengaruh kemandirian keuangan terhadap kemiskinan dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan hasil estimasi, diperoleh nilai R2 pada model Fixed Effect sebesar 0.92, hal ini menunjukkan keragaman persentase penduduk miskin dapat dijelaskan oleh variabel bebas sebesar 92% sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistik yang signifikan yaitu pada tingkat α = 5% yaitu sebesar 0.00 menunjukkan masing-masing variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Masing-masing variabel bebasnya menunjukkan nilai probabilitas yang signifikan sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada di dalam fungsi. Tahap selanjutnya adalah menguji model apakah memenuhi asumsi model linear klasik atau tidak, yang artinya model terbebas dari masalah multikolineritas, autokorelasi dan heteroskedastisitas serta didasarkan pada asumsi bahwa faktor kesalahan 𝑢𝑖 menyebar secara normal. Tahap uji asumsi yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Uji Multikolinearitas Uji korelasi menunjukkan tidak terdapat variabel yang mempunyai nilai korelasi yang lebih besar daripada R-Square yaitu sebesar 0.92 sehingga dapat disimpulkan model tidak memiliki masalah multikolinearitas. Hasil uji multikolinearitas disajikan pada Lampiran 11. 2. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilihat dari nilai statistik Durbin-Watson, nilai statistik Durbin-Watson pada tabel model kemiskinan sebesar 2.093589, dimana dU (1.7319) < DW (2.093589) < 4-dU (2.2681). Oleh karena itu, dapat disimpulkan model tidak mengalami autokorelasi positif atau negatif.
35
3. Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas dapat dilihat dari nilai SSR-nya. Nilai SSR Weighted sebesar 62.36229 bernilai lebih kecil dari nilai SSR Unweighted sebesar 214.2635 yang mengindikasikan terdapat gejala heteroskedastisitas dalam model ini. Namun dalam data panel, gejala heteroskedastisitas dalam model ini keadaan sudah diatasi karena model menggunakan metodel GLS cross-section SUR dan white cross-section standard errors covariance. 4. Uji Normalitas Selanjutnya dilakukan uji Jarque-Bera untuk melihat normalitas. Nilai JarqueBera menunjukkan nilai Prob 0.458005, nilai Prob yang lebih besar dari α = 5% dapat disimpulkan model ini berdistribusi normal. Hasil uji normalitas disajikan pada Lampiran 10. Berdasarkan hasil persaman regresi, terlihat variabel rasio PAD terhadap total pendapatan daerah berpengaruh positif secara signifikan sebesar 13.46312. Artinya, peningkatan 1% rasio PAD terhadap total pendapatan daerah akan meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 13.46312%, dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian dimana kenaikan rasio PAD yang menggambarkan kenaikan kemandirian keuangan daerah akan meningkatkan kinerja perekonomian daerah yang diharapkan juga akan mengurangi kemiskinan. Hal ini dapat disebabkan oleh keadaan Provinsi Banten yang masih berusaha pada tahap pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dimana dalam penggambaran kurva Kuznets U-Terbalik, pendapatan nasional bruto perkapita yang terus meningkat pada tahap awal diikuti dengan peningkatan koefisien Gini . Oleh karena itu dapat diketahui mengapa peningkatan PAD yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi dapat menambah persentase penduduk miskin. Koefisien Gini merupakan indikator dari kemiskinan relatif. Meningkatnya koefisien Gini berarti ketimpangan pendapatan masyarakat meningkat yang dapat menambah angka kemiskinan. Hasil penelitian Nguyen (2008) juga menemukan bahwa semakin tinggi derajat desentralisasi mengurangi pendapatan penduduk miskin dimana dapat diprediksi persentase penduduk miskin semakin tinggi. Hal yang sama juga ditemukan oleh Nanga (2006) dimana kebijakan desentralisasi fiskal memiliki dampak yang cenderung memperburuk kemiskinan di Indonesia. Hasil penelitian ini bertentangan dengan Usman (2006) dimana desentralisasi fiskal dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan penelitian yang dilakukan oleh Sepuvelda dan Vazquez (2010) yang menemukan bahwa desentralisasi fiskal dapat mengurangi kemiskinan selama porsi pembelanjaan daerah tidak lebih dari sepertiga belanja pemerintah pusat. Hasil estimasi menunjukkan koefisien regresi variabel rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah berpengaruh negatif secara signifikan sebesar 10.57658 yang artinya setiap kenaikan 1% rasio Dana Perimbangan terhadap total pendapatan daerah akan menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 10.57658%, dengan asumsi ceteris paribus. Hasil estimasi tidak sesuai dengan hipotesis yaitu tingginya ketergantungan keuangan daerah terhadap transfer dana pemerintah pusat mengindikasikan kemandirian keuangan daerah yang menurun yang akan mengurangi kinerja pemerintahan dan akan menambah angka kemiskinan. Hal ini dapat disebabkan penggunaan Dana
36
Perimbangan untuk kebijakan untuk tujuan pembangunan kabupaten dan kota Provinsi Banten terutama aspek pengurangan angka kemiskinan dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) seperti alokasi dana pendidikan, belanja bantuan keuangan kepada kabupaten, kota dan pemeritah desa serta belanja bagi hasil kepada kabupaten dan kota untuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Banten 2007-2012, pengurangan kemiskinan menjadi salah satu fokus utama pembangunan Provinsi Banten. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Usman (2006) menemukan dengan meningkatnya dana transfer pemerintah menyebabkan menurunnya indeks kemiskinan rata-rata secara nasional maupun berdasarkan pulau-pulau besar. Dana transfer pemerintah seperti DAU dan Dana Bagi Hasil Pajak juga didisain untuk menutupi kebutuhan belanja daerah yang diantaranya adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Tabel 15. Hasil estimasi model pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap kemiskinan kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2001-2011 Variabel C RPAD RDP GINI TP R-squared Sum squared resid Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) CROSSID Kab Tangerang Kab Serang Kab Lebak Kab Pandeglang Kota Tangerang Kota Cilegon
Koefisien Std. Error 6.592286 0.636132 13.46312 1.972687 -10.57658 1.358397 7.524186 1.274998 0.369451 0.020172 Weighted Statistics 0.921158 62.36229 2.093589 0.000000
t-Statistic Prob. 10.36308 0.0000* 6.824761 0.0000* -7.786078 0.0000* 5.901334 0.0000* 18.31522 0.0000* Unweighted Statistics 0.822111 214.2635 1.892234 Effect -2.207502 -0.411699 6.488995 8.165545 -4.172723 -7.862616
Sumber: Hasil pengolahan menggunakan program Eviews6 Keterangan: *) signifikan pada taraf 5%
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel indeks ketimpangan pendapatan berpengaruh positif secara signifikan terhadap persentase penduduk miskin. Nilai koefisien dari hasil estimasi sebesar 7.524186 menunjukkan bahwa kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar 1% akan meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 7.524186 %, dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yaitu peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan akan mengurangi kesejahteraan penduduk yang dampaknya akan menambah persentase penduduk miskin. Nanga (2006) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa kemiskinan dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan oleh berbagai ukuran kemiskinan yang memiliki hubungan yang responsif atau elastis terhadap perubahan dalam indeks Gini. Hasil estimasi juga menunjukkan, variabel tingkat pengangguran terbuka berpengaruh positif secara signifikan terhadap persentase penduduk miskin. Nilai
37
koefisien yang diperoleh sebesar 0.361466 yang artinya jika tingkat pengangguran terbuka meningkat sebesar 1%, maka persentase kemiskinan akan meningkat sebesar 0.361466%, dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis yaitu dengan peningkatan tingkat pengangguran terbuka, mengindikasikan kesejahteraan masyarakat yang menurun, yang juga tercermin dalam angka persentase kemiskinan yang tidak membaik. Tingginya angka pengangguran merupakan salah satu masalah sosial dan faktor penyebab bertambahnya penduduk miskin, karena penganggur akan menambah beban ekonomi masyarakat. Hasil estimasi menunjukkan bahwa Kabupaten Pandeglang memiliki rata-rata perubahan persentase penduduk miskin terbesar di Provinsi Banten, sedangkan Kota Cilegon memiliki rata-rata perubahan PDRB terkecil di Provinsi Banten.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Perkembangan kemandirian keuangan daerah selama kurun waktu tahun 20012011 kabupaten dan kota di Provinsi Banten semakin membaik namun penerimaan yang berasal dari Dana Perimbangan masih lebih tinggi daripada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kemampuan keuangan daerah kabupaten dan kota Provinsi Banten masih berada pada interval cukup untuk Kota Cilegon karea Kota Cilegon mempunya rasio penerimaan PAD tertinggi. Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Tangerang mempunyai kemampuan keuangan yang kurang. Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak mempunyai kemampuan keuangan yang sangat kurang Kemampuan keuangan yang relatif kurang inilah yang menyebabkan kemandirian keuangan kabupaten dan kota Provinsi Banten relatif masih rendah. Wilayah Banten Selatan yang terdiri dari Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak menerima pendapatan rasio PAD yang terendah serta rasio Dana Perimbangan yang tertinggi sehingga untuk menjadikan pemerintahan Kabupaten Pandeglang dan Kebupaten Lebak yang mampu mengurus rumah tangga dengan kemampuan sendiri, sulit diwujudkan karena tidak mungkin membiayai penyelenggaraan pemerintah dengan PAD yang minim 2. Kemandirian keuangan daerah mempunyai pengaruh positif secara signifikan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten. Hasil penelitian menunjukkan rasio PAD berpengaruh positif secara signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Ketergantungan terhadap Dana Perimbangan akan berpengaruh terhadap penurunan perekonomian. 3. Kemandirian keuangan daerah mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan kemiskinan di Provinsi Banten. Rasio Dana Perimbangan ditemukan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Penelitian ini juga menemukan bahwa ketimpangan pendapatan daerah dan tingkat pengangguran terbuka yang tinggi akan meningkatkan kemiskinan di Provinsi Banten.
38
Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan serta simpulan, maka dapat dirumuskan saran sebagai berikut: 1. Perlunya dilakukan evaluasi kebijakan alokasi penggunaan Dana Perimbangan. Perkembangan wilayah Banten Utara yang berhasil meningkatkan pendapatan yang berasal dari PAD lebih tinggi daripada Banten Selatan harus dipertahankan oleh pemerintah. Peningkatan penerimaan PAD dapat dilakukan dengan meningkatkan pendapatan pajak karena pajak daerah sebagai penerimaan yang paling dominan untuk penerimaan PAD dan melakukan kebijakan yang memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas perekonomian khususnya pada bidang jasa, hotel dan restaurant serta industri pengolahan dan juga pertanian karena sektor-sektor tersebut memiliki nilai yang paling tinggi terhadap peningkatan PDRB di Provinsi Banten Provinsi Banten. 2. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat didukung dengan peningkatan kemandirian keuangan daerah khususnya pada daerah memiliki rata-rata perubahan PDRB terbesar di Provinsi Banten yaitu Kota Tangerang dan Kabupaten. Pengurangan ketergantungan Dana Perimbangan harus dilakukan dengan kebijakan yang tepat agar tidak mengganggu kinerja pemerintah dan ekonomi dalam jangka panjang serta penggunaannya sesuai dengan tujuan awal yaitu mengurangi kesenjangan keuangan antar daerah dan bersifat sebagai pendukung untuk tujuan pembangunan. 3. Peningkatan PAD yang ternyata berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi namun meningkatkan persentase penduduk miskin mengindikasikan Provinsi Banten berada di tahap awal pertumbuhan ekonomi pada kurva Kuznets U-Terbalik, karena peningkatan ekonomi diiringi dengan peningkatan koefisien Gini yang meningkatkan penduduk miskin. Ketimpangan distribusi pendapatan juga ditemukan berpengaruh positif terhadap peningkatan kemiskinan. Oleh karena itu Provinsi Banten dapat menfokuskan kebijakan pembangunan untuk mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Masalah tingginya angka pengangguran di Provinsi Banten dapat dikurangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan pembangunan fasilitas pendidikan dan perluasan kesempatan kerja. Kebijakan pengurangan penduduk miskin terutama dilakukan pada wilayah Banten Selatan yang terdiri dari Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak karena wilayah ini memiliki perubahan rata-rata terbesar untuk persentase penduduk miskin.
39
DAFTAR PUSTAKA Akai N, Sakata M. 2002. Fiscal Decentralization Contributes To Economic Growth: Evidence From State-Level Cross-Section Data for The United States. Journal of Urban Economics. 52(2002): 93-108. Amagoh F, Amin AA. 2012. An Examination Of The Impacts Of Fiscal Decentralization On Economic Growth. International Journal of Business Administrastion. 2(6):2012. Anonim. 2013. Dasar Hukum Jenis Pajak Daerah Dan Restribusi [Internet]. Jakarta (ID): Depkeu; [diunduh 14 Februari 2013]. Tersedia pada: http://www.djpk.depkeu.go. id/document. php/document/article/108/73/. Arief S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. Jakarta (ID): Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press). Baltagi BH. 2008. Econometrics 4th Edition. New York (US): Springer – Verlag. [BPPD] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2012. Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Banten Tahun 2012-2017. Serang (ID): BPPD. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Provinsi Banten dalam Angka Berbagai Edisi. Serang (ID): BPS. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2008, katalog BPS: 3205015. Jakarta (ID): BPS Dartanto T, Brodjonegoro B. 2003. Dampak Desentralisasi Fiskal di Indonesia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Antar Daerah: Analisa Model Makro Ekonometrik Simultan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. 4(1): 17-38. Davoodi H, Zou H. 1998. Fiscal decentralization and economic growth: a crosscountry study. Journal of Urban Economics. 43(2):244-245. Enceng, Liestyodo BI, Purwaningdyah MW. Desentralisasi Fiskal Penerimaan Keuangan Daerah. J Ilmu Administrasi Negara. 12(1):1-73. Gujarati DN. 2006. Dasar-dasar ekonometrika Jilid 1. Jakarta (ID); Penerbit Erlangga. Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Press. [Kemendagri] Kementrian Dalam Negeri. 2013. Pemetaan Potensi Ekonomi Daerah Koridor Jawa [Internet]. Jakarta (ID); Kemendagri [ diunduh 4 Juni 2013]. Tersedia pada: http://www. navperencanaan. com/appe/peta/ viewmap?prov_code=banten. Mahyudi A. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Analisis Data Empiris. Bogor (ID): Ghalia Indonesia. Mankiw NG. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Nanga M. 2006. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan Di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nurkholis, Brodjonegoro B. 2003. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Antar-Daerah: Analisa Model IRIO. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. 51-71.
40
Nguyen HP. 2008. What is in it for the poor? Evidence from fiscal decentralization in Vietnam. Munich Personal RePec Archive. 2008(9344):68-90 Oates WE. 1999. An Essay on Fiscal Federalism. Journal of Economic Literature. 1999(37): 1120-1149 [RI]. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): RI [RI]. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta (ID): RI [RI]. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): RI [RI]. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta (ID): RI. Samimi AJ, Lar SKP, Haddad GK, Alizadeh M. 2010. Fiscal Decentralization and Economic Growth in Iran. Australian Journal of Basic and Applied Sciences. 4(11): 5490-5495. Sepuvelda CF, Vazquez JM. 2010. The Consequences of Fiscal Decentralization on Poverty and Income Inequality. International Studies Program Working Paper 10-02. Suparno. 2010. Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Di Indonesia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tibeout CM. 1961. An Economic Theory of Fiscal Decentralization. National Bureau of Economiz Research. 1961: 79-96 Todaro P, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi edisi kesembilan. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Usman. 2006. Dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zhang T, Zou HF. 1996. Fiscal Decentralization, Public Spending And Economic Growth in China. Policy Research Working Paper. 1608
41
LAMPIRAN Lampiran 1. Data yang digunakan PDRB Kabupaten/Kota
Dana Perimbangn
PAD
Tahun Miliaran
Jutaan
PPM
GINI
%
TP
%
Kab Tangerang
2001
12,970,641
74,959.11
396,134.71
12.39
0.257
0
Kab Tangerang
2002
13,562,154
104,548.43
487,902.11
7
0.339
11.7
Kab Tangerang
2003
14,163,886
122,154.03
665,002.83
8.4
0.352
17.2
Kab Tangerang
2004
15,070,780
161,219.55
668,942.71
7.7
0.27
20.16
Kab Tangerang
2005
16,186,460
199,360.04
727,117.95
7.5
0.35
13.51
Kab Tangerang
2006
17,314,266
231,338.79
815,299.43
8.28
0.31
19.9
Kab Tangerang
2007
15,873,691
285,899.51
1,104,868.45
7.18
0.25
15.39
Kab Tangerang
2008
16,647,358
336,921.81
1,255,932.37
7.41
0.23
15.23
Kab Tangerang
2009
17,382,000
277,080.06
1,376,748.94
6.55
0.32
15.86
Kab Tangerang
2010
18,549,000
350,295.78
1,106,703.70
7.18
0.32
14.01
Kab Tangerang
2011
19,912,000
339,600.18
899,938.77
6.42
0.00
14.42
Kab Serang
2001
6,781,750
45,990.20
283,752.65
28.23
0.275
0
Kab Serang
2002
7,020,648
60,183.78
320,984.94
9.8
0.328
13.7
Kab Serang
2003
7,317,284
61,863.02
401,883.95
10.29
0.258
18.89
Kab Serang
2004
7,637,022
67,966.52
431,991.33
9.11
0.27
20.49
Kab Serang
2005
7,973,371
84,787.56
434,890.72
10.47
0.28
21.29
Kab Serang
2006
8,457,680
99,003.60
623,383.47
9.55
0.29
24.7
Kab Serang
2007
6,387,706
122,583.54
747,835.39
9.47
0.27
17.13
Kab Serang
2008
6,639,989
138,558.62
842,255.80
6.48
0.24
16.49
Kab Serang
2009
6,850,001
118,585.76
742,408.56
5.8
0.23
14.45
Kab Serang
2010
7,135,000
134,718.56
749,912.48
6.34
0.27
16.19
Kab Serang
2011
7,539,001
135,623.84
588,688.19
5.63
0.00
13.29
Kab Lebak
2001
2,848,262
7,229.04
215,577.18
32.36
0.205
0
Kab Lebak
2002
2,943,834
10,556.99
228,764.97
16.6
0.286
14.1
Kab Lebak
2003
3,046,905
14,118.67
276,961.54
13.45
0.189
16.69
Kab Lebak
2004
3,170,531
18,990.27
294,517.18
12.09
0.19
18.73
Kab Lebak
2005
3,289,215
21,910.21
333,009.27
12.29
0.23
19.88
Kab Lebak
2006
3,392,776
36,756.67
523,759.20
14.55
0.26
22.1
Kab Lebak
2007
3,559,032
48,937.96
599,540.14
14.43
0.22
12.35
Kab Lebak
2008
3,703,579
50,805.11
664,171.07
12.05
0.24
10.68
Kab Lebak
2009
3,895,001
58,021.75
688,615.57
10.63
0.2
13.42
Kab Lebak
2010
4,152,000
64,200.12
801,068.81
10.38
0.23
11.34
Kab Lebak
2011
4,419,001
48,278.94
612,033.78
9.2
0.00
12.1
Kab Pandeglang
2001
2,779,131
8,087.60
236,580.17
15.61
0.216
0
Kab Pandeglang
2002
2,919,599
11,104.24
252,127.18
15.11
0.288
12.7
Kab Pandeglang
2003
3,052,872
14,770.24
312,049.96
15.4
0.217
17.97
42
Lanjutan Lampiran 1. Kab Pandeglang
2004
3,211,070
15,055.51
335,566.66
13.77
0.23
23.29
Kab Pandeglang
2005
3,366,088
12,710.78
352,380.76
13.89
0.22
15.94
Kab Pandeglang
2006
3,535,392
19,256.37
540,993.90
15.82
0.21
22.3
Kab Pandeglang
2007
3,667,467
41,840.67
614,238.87
15.64
0.23
10.02
Kab Pandeglang
2008
3,824,712
33,480.45
697,532.65
12.55
0.22
11.13
Kab Pandeglang
2009
4,032,000
31,921.01
737,819.45
12.01
0.21
10.98
Kab Pandeglang
2010
4,321,000
31,855.28
843,302.08
11.4
0.2
11.34
Kab Pandeglang
2011
4,554,001
28,437.09
701,886.09
9.8
0.00
11.32
Kota Tangerang
2001
16,965,463
61,772.42
235,217.04
4.56
0.202
0
Kota Tangerang
2002
17,984,150
83,344.31
282,124.85
4.38
0.349
11.7
Kota Tangerang
2003
19,224,896
93,382.51
337,136.75
4.81
0.229
16.24
Kota Tangerang
2004
20,332,135
109,636.60
451,677.52
4.19
0.26
16.55
Kota Tangerang
2005
21,462,168
117,413.76
399,362.83
4.39
0.28
11.12
Kota Tangerang
2006
22,932,600
131,857.49
493,883.96
6.41
0.23
18
Kota Tangerang
2007
24,505,118
156,523.83
616,391.58
4.92
0.22
20.43
Kota Tangerang
2008
26,647,358
181,850.26
728,775.39
6.83
0.21
18.62
Kota Tangerang
2009
27,562,500
193,575.75
793,362.38
6.42
0.37
15.57
Kota Tangerang
2010
29,402,900
230,634.14
823,213.83
6.88
0.28
14.09
Kota Tangerang
2011
31,469,900
327,285.47
707,043.71
6.14
0.00
12.89
Kota Cilegon
2001
7,280,187
38,708.36
86,803.48
12.91
0.266
0
Kota Cilegon
2002
7,720,263
63,457.91
134,235.20
6.42
0.346
18.4
Kota Cilegon
2003
8,281,368
72,622.36
153,930.79
5.36
0.226
20.32
Kota Cilegon
2004
8,886,737
84,879.32
149,036.49
4.42
0.26
20.76
Kota Cilegon
2005
9,440,708
89,748.35
166,549.70
5.55
0.5
21.39
Kota Cilegon
2006
9,972,847
112,242.85
245,308.35
4.99
0.26
20.7
Kota Cilegon
2007
10,518,939
93,891.03
317,495.47
4.71
0.27
20.84
Kota Cilegon
2008
11,047,321
129,831.03
364,178.44
3.95
0.25
18.65
Kota Cilegon
2009
16,246,800
127,327.93
438,140.62
4.14
0.29
18.26
Kota Cilegon
2010
17,111,200
150,600.84
424,673.14
4.46
0.31
19.84
Kota Cilegon
2011
18,228,700
190,846.61
333,574.37
3.98
0.00
13.14
Sumber: DPKAD Banten, 2013
43
Lampiran 2. Hasil estimasi pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan Fixed Effect Dependent Variable: LNPDRB Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 05/06/13 Time: 16:57 Sample: 2001 2011 Periods included: 11 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 66 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RPAD RDP
16.17459 0.283001 -0.362936
0.081426 0.135281 0.085572
198.6425 2.091946 -4.241315
0.0000 0.0408 0.0001
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.998936 0.998807 0.970355 7777.233 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
-53.58394 306.6028 54.61216 1.400121
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.940941 2.117066
Mean dependent var Durbin-Watson stat
15.94376 0.209465
Lampiran 3. Hasil Uji Chow pada model pertumbuhan ekonomi Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F
Statistic 1658.079192
d.f.
Prob.
(5,58)
0.0000
44
Lampiran 4. Hasil Uji Hausman pada model pertumbuhan ekonomi Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
9.809037
2
0.0074
Cross-section random
Lampiran 5. Uji normalitas pada model pertumbuhan ekonomi 14
Series: Standardized Residuals Sample 2001 2011 Observations 66
12 10 8 6 4 2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.04e-15 0.049842 2.272379 -1.671818 0.916617 0.157051 2.591612
Jarque-Bera Probability
0.729962 0.694210
0 -1
0
1
2
Lampiran 6. Uji multikolinearitas pada model pertumbuhan ekonomi LNPDRB RPAD RDP
LNPDRB 1.000000 0.740574 -0.770888
RPAD 0.740574 1.000000 -0.881616
RDP -0.770888 -0.881616 1.000000
45
Lampiran 7. Hasil estimasi pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap kemiskinan dengan pendekatan Fixed Effect Dependent Variable: PPM Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 05/06/13 Time: 17:51 Sample: 2001 2011 Periods included: 11 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 66 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RPAD RDP GINI TP
6.592286 13.46312 -10.57658 7.524186 0.369451
0.636132 1.972687 1.358397 1.274998 0.020172
10.36308 6.824761 -7.786078 5.901334 18.31522
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.921158 0.908487 1.055278 72.69777 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
5.985055 7.754085 62.36229 2.093589
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.822111 214.2635
Mean dependent var Durbin-Watson stat
7.893485 1.892234
Lampiran 8. Hasil Uji Chow model kemiskinan Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F
Statistic
d.f.
Prob.
33.214076
(5,56)
0.0000
46
Lampiran 9. Uji Hausman model kemiskinan Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
39.316243
4
0.0000
Lampiran 10. Uji normalitas model kemiskinan 9
Series: Standardized Residuals Sample 2001 2011 Observations 66
8 7 6 5 4 3
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.08e-16 0.112308 1.991251 -1.972201 0.979500 -0.110499 2.279535
Jarque-Bera Probability
1.561750 0.458005
2 1 0 -2
-1
0
1
2
Lampiran 11. Uji multikolinearitas model kemiskinan PPM RPAD RDP GINI TP
PPM 1.000000 -0.629353 0.557773 -0.049035 0.418303
RPAD -0.629353 1.000000 -0.881616 0.156504 0.171820
RDP 0.557773 -0.881616 1.000000 -0.052566 -0.167745
GINI -0.049035 0.156504 -0.052566 1.000000 0.176728
TP 0.418303 0.171820 -0.167745 0.176728 1.000000
47
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Stannia Cahaya Suci lahir pada tanggal 20 April 1991 di Bandung, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Ahmad Yani Rusdiani dan Ibu Siti Rodliyati Fachrur. Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Istiqamah Bandung, lalu melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP N 1 Serang, kemudian melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA N 1 Serang dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis telah aktif dalam kepanitian seperti Sportakuler dan Politik Ceria FEM dan menjadi asisten mata kuliah Dasar-dasar Komunikasi pada tahun 2011-2013.