BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Gejalanya demam, menggigil berkeringat, dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare & nyeri otot atau pegal–pegal. Malaria merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok resiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menurunkan produktivitas kerja. Dengan demikian malaria berperan sebagai salah satu penyakit yang sangat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, yang berdampak kepada masalah sosial ekonomi dan sosial budaya. Saat ini tujuan program pengendalian malaria di Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang hidup sehat dalam lingkungan yang terbebas dari penularan malaria (eliminasi malaria) pada tahun 2030 secara bertahap, yaitu pada tahun 2010 semua Kabupaten/Kota mampu melakukan pemeriksaan sediaan darah malaria (konfirmasi laboratorium), pada tahun 2020 seluruh wilayah Indonesia sudah memasuki tahap pre– eliminasi, dan pada tahun 2030 seluruh wilayah Indonesia sudah mencapai eliminasi malaria
1
Untuk mengatasi masalah malaria, dalam pertemuan WHO 60 tanggal 18 Mei 2007 telah dihasilkan komitmen global tentang eliminasi malaria bagi setiap negara. Petunjuk pelaksanaan eliminasi malaria tersebut telah dirumuskan oleh WHO dalam Global Malaria Programme. Diperkirakan 70 % penduduk Indonesia berisiko tertular malaria. Malaria merupakan salah satu penyakit yang mempengaruhi tingginya kematian bayi, anak balita, wanita hamil, dan dapat menurunkan produktivitas sumber daya manusia. Tahun 2006 terdapat 2 juta kasus malaria klinis, sedangkan tahun 2009 turun menjadi 1,75 juta kasus. Daerah dengan kasus malaria klinis tinggi dilaporkan terutama di kawasan timur Indonesia seperti di Papua, Maluku dan Maluku Utara, NTB dan NTT, juga di Sulawesi, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Riau. Di Jawa-Bali masih terjadi fluktuasi dari angka kesakitan malaria yang diukur dengan Annual Parasite Incidence (API) yaitu 0,95 ‰ pada tahun 2005 menurun menjadi 0,19‰ pada tahun 2006 dan menurun lagi menjadi 0,16‰ pada tahun 2009. Namun angka ini didapat dari laporan rutin, masih banyak kasus malaria yang belum terdiagnosis. Hal ini tampak dari sering terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria. Jumlah penderita positif malaria di luar Jawa Bali diukur dengan Annual Malaria Insidence (AMI) menurun dari 24,75‰ pada tahun 2005 menjadi 23,98‰ pada tahun 2006 dan menjadi 19,67‰ pada tahun 2009.
2
Angka kematian karena malaria berhasil ditekan dari 0,92‰ pada tahun 2005 menjadi 0,42‰ pada tahun 2006 dan menurun lagi menjadi 0,2% pada tahun 2009. Sejak tahun 1973 ditemukan pertama kali adanya kasus resistensi P. Falciparum terhadap klorokuin di Kaltim. Sejak itu kasus resistensi P. Falciparum terhadap klorokuin semakin meluas dan pada tahun 1990 resistensi telah terjadi pada seluruh propinsi di Indonesia. Untuk Kalimantan Selatan sendiri angka kasus malaria masih berfluktuatif, untuk tahun 2008 terdapat 12.300 kasus dan 21 orang meninggal, pada 2009 ada 12.749 kasus dengan 17 orang meninggal, tahun 2010 ada 15.892 kasus dan 37 orang meninggal, serta sampai bulan September tahun 2011 menurun menjadi 2.654 kasus dan 15 orang meninggal. Sedangkan untuk pada salah satu wilayah di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, tepatnya di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Cempaka Sendiri tahun 2008 terdapat 37 penemuan klinis dengan positif malaria sebanyak 7 orang dan keseluruhan kelurahan di kecamatan Cempaka sendiri menempati area hijau untuk endemisitas malaria. Pada tahun 2009 penemuan klinis meningkat menjadi 78 dengan positif malaria sebanyak 37 orang dan dua kelurahan di kecamatan Cempaka sendiri sudah menempati area kuning untuk endemisitas malaria. Tahun 2010 penemuan klinis semakin meningkat menjadi 201 dengan positif malaria sebanyak 49 orang dan keseluruhan kelurahan di kecamatan Cempaka
3
sendiri sudah menempati area kuning untuk endemisitas malaria. Dan pada tahun 2011 terdapat 158 penemuan klinis dengan positif malaria sebanyak 67 orang dan keseluruhan kelurahan di kecamatan Cempaka sendiri menempati area kuning untuk endemisitas malaria. Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) adalah sarana kesehatan terdepan yang memberi pelayanan kesehatan yang pada hal ini berperan dalam upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan melalui program pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain melalui diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, survailans dan pengendalian vektor yang kesemuanya dutujukan untuk memutus mata rantai penularan malaria. 1.2
Permasalahan Pemantauan dan analisa data malaria yang masih lemah di semua jenjang,
sehingga tindakan yang dilaksanakan sering tidak memberikan hasil yang optimal merupakan salah satu penyebab terjadinya peningkatan kasus malaria yang cenderung mengarah ke terjadinya KLB di beberapa daerah. Hal ini menimbulkan suatu permasalahan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan kasus malaria tersebut melalui program Pemberantasan Penyakit Malaria (P2 Malaria) di Puskesmas.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Penyakit Malaria
4
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Spesies plasmodium pada manusia adalah, Plasmodium falciparum (P. falciparum), Plasmodium vivax (P. vivax), Plasmodium ovale (P. ovale) dan Plasmodium malariae (P. malariae). Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax, sedangkan P. malariae dapat ditemukan di beberapa provinsi antara lain: Lampung, Nusa Tenggara Timur dan Papua. P. ovale pernah ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Papua.
2.2
Siklus Hidup Parasit Malaria Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu
manusia dan nyamuk anopheles betina.
5
Gambar 1. Siklus Hidup Parasit Malaria 1. Siklus pada manusia Pada waktu nyamuk anopheles infektif menghisap darah manusia, sporozoit yang berada di kelenjar liur nyamuk akan masuk kedalam peredaran darah selama lebih kurang ½ jam. Setelah itu sporozoit akan masuk kedalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10,000-30,000 merozoit hati (tergantung spesiesnya). Siklus ini disebut siklus ekso-eritrositer yang berlangsung selama lebih kurang 2 minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps (kambuh). Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit, tergantung spesiesnya). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni.
6
Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer. Setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang menginfeksi sel darah merah dan membentuk stadium seksual (gametosit jantan dan betina). 2. Siklus pada nyamuk anopheles betina Apabila nyamuk anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia.
2. 3 Masa Inkubasi Penyakit Malaria Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium. Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan mikroskopik.
Tabel 1. Masa Inkubasi Penyakit Malaria Plasmodium
Masa Inkubasi (hari)
P. falciparum P. vivax P. ovale
9 – 14 (12) 12 – 17 (15) 16 – 18 (17)
7
P. malariae
2.4
18 – 40 (28)
Patogenesis Malaria Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang
mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, antara lain TNF (tumor nekrosis factor). TNF akan dibawa aliran darah ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam. Proses skizogoni pada ke empat plasmodium memerlukan waktu yang bebedabeda, P. falciparum memerlukan waktu 36-48 jam, P. vivax/ovale 48 jam, dan P. malariae 72 jam. Demam pada P. falciparum dapat terjadi setiap hari, P vivax/ovale selang waktu satu hari, dan P malariae demam timbul selang waktu 2 hari. Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Plasmodium falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis. Plasmodium vivax dan P. ovale hanya menginfeksi sel darah merah muda yang jumlahnya hanya 2% dari seluruh jumlah sel darah merah, sedangkan Plasmodium malariae menginfeksi sel darah merah tua yang jumlahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah. Sehingga anemia yang disebabkan oleh P. vivax, P. ovale dan P. malariae umumnya terjadi pada keadaan kronis. Splenomegali. Limpa merupakan organ retikuloendothelial, dimana Plasmodium dihancurkan oleh sel-sel makrofag dan limposit. Penambahan sel-sel radang ini akan menyebabkan limpa membesar. 8
Malaria berat akibat Plasmodium falciparum mempunyai patogenesis yang khusus. Eritrosit yang terinfeksi P. falciparum akan mengalami proses sekuestrasi yaitu tersebarnya eritrosit yang berparasit tersebut ke pembuluh kapiler alat dalam tubuh. Selain itu pada permukaan eritrosit yang terinfeksi akan membentuk knob yang berisi berbagai antigen Plasmodium falciparum Pada saat terjadi proses sitoadherensi, knob tersebut akan berikatan dengan reseptor sel endotel kapiler. Akibat dari proses ini terjadilah obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh kapiler yang menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Terjadinya sumbatan ini juga didukung oleh proses terbentuknya “rosette” yaitu bergerombolnya sel darah merah yang berparasit dengan sel darah merah lainnya. Pada proses sitoaderensi ini diduga juga terjadi proses imunologik yaitu terbentuknya mediator-mediator antara lain sitokin (TNF, interleukin), di mana mediator tersebut mempunyai peranan dalam gangguan fungsi pada jaringan tertentu.
2.5 Gejala Klinis Malaria Penderita malaria ditemukan berdasarkan gejala klinis dengan gejala utama demam, menggigil secara berkala dan sakit kepala, kadang-kadang dengan gejala klinis lain seperti: 1. Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat.
9
2. Nafsu makan berkurang. 3. Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah. 4. Sakit kepala yang berat, terus menerus khususnya pada infeksi Plasmodium falciparum. 5. Dalam keadaan menahun (kronis) gejala di atas disertai pembengkakan limpa. 6. Pada malaria berat gejala di atas disertai kejang-kejang
dan penurunan
kesadaran sampai koma. 7. Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi yang menonjol adalah mencret (diare) dan pucat karena kekurangan darah (anemia) serta adanya riwayat kunjungan ke atau berasal dari daerah endemis malaria. Gejala klasik malaria merupakan suatu paroksismal biasanya terdiri atas tiga stadium yang berurutan yakni: 1. Stadium dingin (Cold Stage)
Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak dan penderita biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari pucat/kebiru-biruan atau sianosis, kulit kering dan pucat, ingin muntah, pada anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam. 2. Stadium demam (Hot Stage)
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini penderita merasa kepanasan (sangat haus dan suhu badan meningkat sampai 41 oC atau lebih). Muka merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala, enek/muntah
10
dan nadi menjadi kuat. Stadium ini berlangsung antara 2 sampai 4 jam. Demam disebabkan oleh pecahnya sizon darah yang telah matang dan masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah. Pada P. vivax dan P. ovale sizon-sizon dari setiap generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali sehingga demam timbul setiap ”tiga hari” terhitung dari serangan demam sebelumnya. Nama malaria tertiana bersumber dari fenomena ini. Pada P. malariae, fenomena tersebut setiap 72 jam sehingga disebut malaria kwartana. Pada P. falciparum sama dengan P. vivax atau P. ovale, hanya interval demamnya tidak jelas.
Gambar 2. Stadium Demam Pada Malaria 3. Stadium berkeringat (Sweating Stage)
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, namun suhu badan menurun dengan cepat kadang sampai dibawah suhu normal. Biasanya penderita dapat tidur nyenyak tapi merasa lemah saat bangun tidur. Stadium ini berlangsung antara 2 sampai 4 jam.
11
Gejala-gejala tersebut tidak selalu sama pada setiap penderita, tergantung juga pada spesies parasit, umur dan lain-lain. Ketiga gejala klinis tersebut diatas biasanya ditemukan pada penderita yang berasal dari daerah non endemis yang mendapat penularan di daerah endemis atau yang pertama kali menderita malaria. Pada daerah endemis malaria, ketiga stadium gejala klinis diatas tidak berurutan dan bahkan tidak semua stadium ditemukan pada penderita, sehingga definisi malaria klinis dipakai untuk pedoman penemuan penderita di daerah, khususnya di daerah yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium malaria. Serangan demam yang pertama didahului oleh masa inkubasi (intrinsik). Masa inkubasi ini tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat, tingkat imunitas dan cara penularan (alamiah atau bukan alamiah). Penularan bukan alamiah seperti penularan melalui transfusi darah, masa inkubasinya tergantung pada jumlah parasit yang turut masuk bersama darah dan tingkat imunitas penerima darah. Gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika disebabkan adanya kecenderungan parasit (bentuk troposoit dan sizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh seperti otak, hati dan ginjal sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah pada organ-organ tubuh tersebut. Gejalanya mungkin berupa koma/pingsan, kejang-kejang sampai tidak berfungsinya ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh jenis malaria ini. Black water fever yang merupakan gejala berat adalah munculnya hemoglobin pada air seni yang menyebabkan warna air seni menjadi merah tua atau hitam. Gejala lain dari black water fever adalah ikterus dan muntah-muntah
12
dijumpai pada penderita dengan infeksi Plasmodium falciparum yang berulangulang dan infeksinya berat. Di daerah yang tinggi tingkat endemisitasnya (hiper atau holoendemik), pada orang dewasa seringkali tidak ditemukan gejala klinis walaupun darahnya mengandung parasit malaria. Hal ini disebabkan oleh imunitas yang telah timbul pada mereka karena mendapatkan infeksi berulang-ulang. Limpa biasanya membesar pada serangan pertama yang beratatau telah beberapa serangan dalam periode yang cukup lama. Dengan pengobatan yang baik limpa secara berangsur-angsur akan mengecil kembali. 2.6
Epidemiologi Malaria Epidemiologi berasal dari bahasa Yunani
“epidemi”
yang berarti
menimpa masyarakat (epi = atas; demos = penduduk). Epidemiologi mulai berkembang dari pengalaman mempelajari wabah penyakit, seperti pes, kolera, dan cacar yang disertai dengan kematian yang tinggi. Dengan berkembangnya ilmu epidemiologi ini kemudian diterapkan terhadap penyakit malaria. Epidemiologi malaria adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebaran malaria dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hal penting yang harus diperhatikan dalam mempelajari epidemiologi malaria adalah hubungan antara host, agent dan environment. Batas
dari penyebaran malaria adalah 64o LU (Rusia) dan 32o LS
(Argentina). Ketinggian yang dimungkinkan adalah 400 meter di bawah permukaan laut (Laut mati dan Kenya) dan 2600 meter di atas permukaan laut (Bolivia). Plasmodium vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas, mulai dari daerah yang beriklim dingin, subtropik sampai
13
ke daerah tropik.
Plasmodium falciparum jarang sekali terdapat di daerah yang beriklim dingin, Plasmodium malariae hampir sama dengan Plasmodium falciparum meskipun jauh lebih jarang ditemukan. Plasmodium ovale pada umumnya dijumpai di Afrika dibagian yang beriklim tropik, juga ditemukan di Pasifik Barat. Di Indonesia penyakit malaria tersebar di seluruh pulau dengan derajat endemisitas yang berbeda-beda dan ditemukan di daerah dengan ketinggian sampai 1800 meter di atas permukaan laut. Spesies yang banyak dijumpai adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax sedangkan Plasmodioum ovale pernah ditemukan di wilayah timur Indonesia. 2. 7
Hubungan Host, Agent, dan Environment Penyebaran penyakit malaria ditentukan oleh faktor yang disebut Host,
Agent, dan Environment. Penyebaran malaria terjadi apabila ketiga komponen tersebut di atas saling mendukung. Bila digambarkan secara skema mungkin anda akan lebih mudah menangkapnya dan mengingatnya.
HOST
AGENT
ENVIRONMENT
Dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Host (Pejamu)
a. Manusia (host intermediate). Pada dasarnya setiap orang bisa terinfeksi oleh agent atau penyebab penyakit dan merupakan tempat berkembang biaknya
14
agent (parasit Plasmodium). Bagi pejamu ada beberapa faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu terhadap agent. Faktor–faktor tersebut mencakup usia, jenis kelamin, ras, sosial ekonomi, status perkawinan,
riwayat
penyakit
sebelumnya,
cara
hidup,
hereditas
(keturunan), status gizi dan tingkat imunitas. Faktor-faktor tersebut di atas penting untuk diketahui karena akan mempengaruhi resiko untuk terpapar oleh sumber penyakit malaria. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut: Usia: anak-anak lebih rentan terhadap infeksi parasit malaria. Pada daerah malaria dengan endemisitas stabil, malaria berat terutama terdapat pada anak kecil, di daerah dengan endemisitas rendah malaria berat terjadi tanpa memandang usia. Jenis kelamin: Infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin akan tetapi apabila menginfeksi ibu yang sedang hamil akan menyebabkan anemia yang lebih berat. Ras: Beberapa ras manusia atau kelompok penduduk mempunyai kekebalan alamiah terhadap malaria, misalnya penderita “sickle cell anemia” dan ovalositosis. Riwayat malaria sebelumnya: Orang yang pernah terinfeksi malaria sebelumnya biasanya akan terbentuk imunitas sehingga akan lebih tahan terhadap infeksi malaria. Contohnya penduduk asli daerah endemik akan lebih tahan dibandingkan dengan transmigran yang datang dari daerah non endemis.
15
Cara hidup: Cara hidup sangat berpengaruh terhadap penularan malaria. Misalnya: tidur tidak memakai kelambu dan senang berada di luar rumah pada malam hari. Sosial ekonomi: Keadaan sosial ekonomi masyarakat yang bertempat tinggal di daerah endemis malaria erat hubungannya dengan infeksi malaria. Status gizi: Masyarakat yang gizinya kurang baik dan tinggal di daerah endemis malaria lebih rentan terhadap infeksi malaria. Immunitas: Masyarakat yang tinggal di daerah endemis malaria biasanya mempunyai immunitas alami sehingga mempunyai pertahanan alam dari infeksi malaria. Untuk penduduk yang tinggal didaerah non endemis dengan penularan rendah, jarang atau musiman, umumnya akan timbul gejala klinis yang berat jika terinfeksi, banyak kasus malaria serebral pada semua umur. Didaerah endemis stabil imunitas terhadap malaria timbulnya lambat sehingga baru didapat setelah dewasa dan setelah terinfeksi parasit berulang-ulang. Pada penduduk di daerah endemis stabil dimana penularan berlangsung terus menerus dan berat sepanjang tahun umumnya asimtomatik (tanpa gejala) walaupun didapati parasit di dalam darahnya. Didaerah ini jarang didapati infeksi pada bayi beberapa bulan setelah lahir karena adanya transfer antibodi transplansental dari ibunya.
16
Imunitas spesifik terhadap malaria pada orang dewasa dapat terbentuk sekitar 2 tahun setelah tiba di daerah endemis. Imunitas pada malaria hanya memberikan perlindungan pada jangka pendek saja (3-6 bulan). b. Nyamuk Anopheles (host definitive) Hanya nyamuk anopheles betina yang menghisap darah, darah ini diperlakukan untuk pertumbuhan telurnya. 1) Perilaku nyamuk sangat menentukan dalam proses penularan malaria. Secara singkat dikemukakan di sini beberapa perilaku nyamuk yang penting: a) Tempat hinggap atau istirahat. - Eksofilik: nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di luar rumah. - Endofilik: nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di dalam rumah. b) Tempat menggigit. - Eksofagik: lebih suka menggigit di luar rumah. - Endofagik: lebih suka menggigit di dalam rumah. c)
Obyek yang digigit. - Antrofofilik lebih suka menggigit manusia. - Zoofilik: lebih suka menggigit hewan.
2) Faktor lain yang penting adalah: a) Umur nyamuk (longevity), semakin panjang umur nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor manusia. b) Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit.
17
c) Frekuensi menggigit manusia. d) Siklus gonotrofik yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur. Waktu ini merupakan juga interval menggigit nyamuk. Jenis anopheles di Indonesia lebih dari 80 macam. Dari sekian jenis, hanya beberapa yang mempunyai potensi untuk menularkan malaria (vektor atau tersangka vektor). Sejauh ini telah diketahui sebagai vektor utama di Indonesia, antara lain An. Aconitus, An. punctulatus, An. farauti, An. balabancencis, An. barbirostris, An. sundaicus dan An. maculatus. Semua vektor utama tersebut perlu dipelajari sifat hidupnya agar dapat dilaksanakan tindakan baik terhadap bentuk dewasa maupun bentuk larvanya. 2. Agent (Parasit/Plasmodium) hidup di dalam tubuh manusia dan dalam tubuh
nyamuk. Manusia disebut host intermediate (pejamu sementara) dan nyamuk disebut host definitive (pejamu tetap). Parasit/Plasmodium hidup dalam tubuh nyamuk dalam tahap daur seksual (pembiakan melalui kawin) dan hidup dalam tubuh manusia pada daur aseksual (pembiakan tidak kawin, melalui pembelahan diri). Agent atau penyebab penyakit adalah semua unsur atau elemen hidup ataupun tidak hidup dimana dalam kehadirannya, bila diikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia yang rentan akan menjadi stimulasi untuk memudahkan terjadinya suatu proses penyakit. Agent penyebab penyakit malaria termasuk agent biologis yaitu Protozoa.
18
3. Environment (lingkungan) adalah lingkungan dimana manusia dan nyamuk
berada. Nyamuk berkembang biak dengan baik bila lingkungannya sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang biak. Faktor lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: a. Lingkungan fisik. 1) Suhu udara. Suhu udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni atau masa inkubasi ekstrinsik. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik, dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Pengaruh suhu ini berbeda bagi tiap species. Pada suhu 26,7ºC, masa inkubasi ekstrinsik untuk tiap species adalah sebagai berikut: -
P. falciparum
: 10 – 12 hari.
-
P. vivax
: 8 – 11 hari.
-
P. malariae
: 14 hari.
-
P. ovale
: 15 hari.
2) Kelembaban udara (relative humidity). Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk. Tingkat kelembaban 63 % misalnya, merupakan angka paling rendah untuk memungkinkan adanya penularan di Punjab, India. Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahat dan lain-lain dari nyamuk.
19
3) Hujan. Terdapat hubungan langsung antara hujan dan perkembangan larva nyamuk menjadi bentuk dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan (breeding places) Hujan yang diselingi oleh panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya Anopheles sp. 4) Angin. Kecepatan angin pada saat
matahari
terbit
dan
terbenam yang
merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau ke luar rumah, adalah salah satu faktor yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (flight range) dapat lebih pendek atau lebih panjang tergantung kepada arah angin. 5) Sinar matahari. Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbedabeda. An. sundaicus lebih suka tempat teduh, sebaliknya An. hyrcanus spp lebih menyukai tempat yang terbuka. An. barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun di tempat yang terang. 6) Arus air. An. barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis atau mengalir sedikit. An. minimus menyukai tempat perindukan yang aliran airnya cukup deras dan An. letifer di tempat yang airnya tergenang. b.
Lingkungan kimiawi
20
Dari lingkungan ini yang baru diketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat perindukan. Sebagai contoh An. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12 – 18 ‰ dan tidak dapat berkembang biak pada kadar garam 40 ‰ ke atas, meskipun di beberapa tempat di Sumatera Utara An. sundaicus ditemukan pula dalam air tawar. An. letifer dapat hidup di tempat yang asam/pH rendah. c. Lingkungan biologik (flora dan fauna) Tumbuhan bakau, ganggang (Enteromorpha sp, Chaetomorpha sp, dan Cladophora sp.) dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk karena ia dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi dari serangan mahluk hidup lain. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kelapa timah (panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila kandang hewan tersebut diletakkan di luar rumah, dan terletak antara rumah dan breeding places tetapi tidak jauh jaraknya dari rumah (Cattle Barrier). d. Lingkungan sosial budaya Faktor ini kadang-kadang besar sekali pengaruhnya dibandingkan dengan faktor lingkungan yang lain. Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam di mana vektornya lebih bersifat eksofilik dan eksofagik akan memperbesar jumlah gigitan nyamuk. Penggunaan kelambu, kawat kasa pada rumah dan penggunaan zat penolak nyamuk/repellent yang
21
intensitasnya berbeda sesuai dengan perbedaan status sosial masyarakat, akan mempengaruhi angka kesakitan malaria. Faktor yang cukup penting pula adalah pandangan/persepsi masyarakat di suatu daerah terhadap penyakit malaria. Apabila malaria dianggap sebagai suatu kebutuhan (demand) untuk diatasi, upaya untuk menyehatkan lingkungan akan dilaksanakan oleh masyarakat secara spontan. Akibat dari derap pembangunan yang kian cepat adalah kemungkinan timbulnya tempat perindukan buatan manusia sendiri (man made breeding places). Pembangunan bendungan, penambangan timah dan pembukaan tempat pemukiman baru adalah beberapa contoh kegiatan pembangunan yang sering menimbulkan perubahan lingkungan yang menguntungkan bagi nyamuk malaria. Dengan mengenal hubungan faktor yang berperan dalam penyebaran malaria, maka usaha pemutusan mata rantai penularannya dapat direncanakan dan ditentukan dengan lebih terarah. Pemutusan mata rantai penularan malaria diantaranya adalah: 1. Menyembuhkan orang yang sakit malaria: dengan tidak adanya orang yang sakit malaria, maka tidak mungkin terjadi penularan, walaupun terdapat vektor (nyamuk) penular malaria. 2. Menghilangkan (membunuh) vektor (nyamuk): dengan tidak adanya vektor, maka tidak mungkin terjadi penularan, walaupun terdapat orang yang sakit malaria.
22
3. Menghilangkan tempat-tempat perindukan: dengan tidaknya ada perindukan, nyamuk malaria tidak bisa berkembang biak, sehingga akan hilang atau setidak-tidaknya berkurang kepadatannya. Pengetahuan tentang host, agent dan environment penting bagi seorang yang menangani atau bertanggungjawab dalam mengendalikan dan memberantas malaria.
2.8
Cara Penularan Penyakit Malaria 1. Penularan secara alamiah (natural infection).
Malaria ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Nyamuk ini jumlahnya kurang lebih ada 80 jenis dan dari 80 jenis itu, hanya kurang lebih 16 jenis yang menjadi vektor penyebar malaria di Indonesia.
Orang Sakit Malaria
Digigit
Nyamuk Malaria (Belum terinfeksi
M
parasit) M
e n
e
j
n
a
j
d
a
i
d i Menggigit
Orang Sehat
Nyamuk Malaria terinfeksi
23
Penjelasan secara sederhana: Orang sakit malaria
Nyamuk
vektor
penyebab
Digigit
nyamuk
(vektor)
penyakit
penyebar
penyakit
malaria.
Nyamuk yang telah menghisap
Saat nyamuk menghisap darah
darah
orang
orang sakit itu, maka akan
terinfeksi oleh parasit malaria.
terbawa parasit malaria yang
Dalam tubuh nyamuk terjadi
ada dalam darah.
siklus hidup parasit malaria (seksual). Nyamuk vektor
Orang sehat Digigit nyamuk malaria yang
penyakit.
telah
oleh
Nyamuk
saat
parasit
terinfeksi
Plasmodium. menggigit
sakit
Pada maka
parasit
akan
penyebar
yang
terinfeksi
malaria
(sporozoit)
menggigit orang sehat.
malaria yang ada dalam tubuh nyamuk darah
masuk manusia.
ke
dalam
Kemudian
manusia sehat menjadi sakit. Dalam tubuh manusia terjadi siklus hidup parasit malaria (aseksual). 2. Penularan yang tidak alamiah a. Malaria bawaan (congenital) Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria. Penularan terjadi melalui tali pusat atau placenta. b.
Secara mekanik Penularan terjadi melalui transfusi darah atau melalui jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para morfinis
24
yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril lagi; cara penularan ini pernah dilaporkan terjadi di salah satu rumah sakit di Bandung pada tahun 1981, pada penderita yang dirawat dan mendapatkan suntikan
intravena
dengan
menggunakan
alat
suntik
yang
dipergunakan untuk menyuntik beberapa pasien, di mana alat suntik itu seharusnya dibuang sekali pakai (disposable). c.
Secara oral (melalui mulut) Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam (P. gallinasium), burung dara (P. relection) dan monyet (P. knowlesi).
Pada umumnya sumber infeksi bagi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit malaria baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
2.9
Penilaian dan Indikator Malaria Keadaan penyakit malaria
di suatu daerah dapat ditentukan melalui
pengamatan (surveilans) epidemiologi. Seperti diketahui, surveilans epidemiologi adalah pengamatan yang terus menerus atas distribusi dan kecenderungan suatu penyakit melalui pengumpulan sampai analisis
data yang
sistematis dan
relevan/ada hubungannya. Dari kegiatan ini dapat diketahui angka kesakitan (morbidity) yang bisa berbentuk insidens atau prevalens dan angka kematian (mortality) yang biasanya dinyatakan dalam Case Fatality Rate (CFR). Indikator yang digunakan untuk menilai situasi malaria sebagai berikut: 1. Annual Parasite Incidence (API)
25
Annual Parasite Incidence adalah jumlah penderita positif malaria selama 1 tahun disuatu wilayah dibagi jumlah penduduk berisiko disuatu wilayah pada tahun tersebut per 1.000 penduduk. Insidens adalah jumlah penderita baru di suatu daerah dalam periode waktu tertentu. Penderita baru malaria tidak selalu infeksi baru. Penderita baru mungkin berasal dari suatu relapse yang mungkin rekrudesensi atau rekurensi. Sehingga indikator yang berbentuk insidens yang digunakan pada penyakit malaria adalah API yang satuannya permil (‰) dan menggambarkan jumlah penderita baru di suatu wilayah daerah per 1000 penduduk yang berisiko terjadi penularan malaria dalam jangka waktu 1 tahun. Indikator
insidens
ini
sebenarnya
merupakan
peninggalan
masa
eradikasi/pembasmian oleh karena pencarian penderita, baik secara aktif (Active Case Detection) maupun secara pasif (Passive Case Detection) diperhitungkan dapat menjangkau segenap penduduk sehingga semua penderita baru akan dapat diketahui melalui pemeriksaan darah. Sampai kini API tetap digunakan meskipun disadari bahwa ACD
tidak
menjangkau segenap penduduk dan jangkauan PCD belum sebagaimana yang diharapkan. 2. Annual Blood Examination Rate (ABER) ABER adalah jumlah sediaan darah/specimen yang diperiksa dari seluruh penduduk berisiko dalam disuatu wilayah selama 1 tahun dan dinyatakan dalam persen (%).
26
Penilaian dari API hanya mempunyai arti apabila bersamaan dengan penilaian ABER. Penurunan nilai API yang disertai peningkatan ABER menunjukkan penurunan insidens, sedangkan bila disertai penurunan ABER, maka penurunan insidens perlu dipertanyakan/diragukan. 3. Slide Positivity Rate (SPR) SPR adalah jumlah persentase spesimen atau sediaan darah yang positif dari dibagi seluruh spesimen atau sediaan darah yang diambil dan diperiksa secara laboratorium/mikroskopist dan dinyatakan dalam persen (%). SPR baru mempunyai arti bila digunakan bersamaan dengan nilai ABER. 4. Parasit formula (PF) Parasit formula adalah proporsi dari tiap-tiap parasit disuatu daerah wilayah. Spesies yang mempunyai PF tertinggi disebut spesies yang dominan. Interpretasi dari masing-masing dominasi adalah: a. P. falciparum dominan - Penularan atau transmisi malaria masih baru atau belum lama berlangsung. - Pengobatan kurang sempurna sehingga timbul rekrudesensi. b. P. Vivax dominan. Keadaan ini dijumpai di daerah dimana letusan atau transmisi yang tinggi pada beberapa masa transmisi sebelumnya tidak mendapatkan perhatian yang cukup sehingga timbul akumulasi penderita. - Transmisi dini yang tinggi dengan vektor yang poten (ingat bahwa gametosit pada infeksi P. vivax timbul pada hari 2-3 setelah parasitemia, sedangkan P. falciparum baru pada hari ke 8). - Pengobatan kurang sempurna sehingga timbul rekurensi
27
c. P. malariae dominan. Keadaan ini jarang dijumpai. Dominasi jenis ini menunjukkan bahwa kita berhadapan dengan vektor yang mempunyai umur hidup yang panjang. Hendaknya diingat bahwa interpretasi yang dikemukakan diatas tidak bersifat mutlak. Beberapa faktor epidemiologi yang ditemukan pada penyelidikan lapangan perlu dipertimbangkan parasit formula selalu harus dihitung baik itu pengamatan rutin maupun survei. 5. Annual Malaria Incidence (AMI) Annual Malaria Incidence adalah jumlah penderita malaria klinis selama 1 tahun disuatu wilayah dibagi jumlah penduduk berisiko disuatu wilayah pada tahun tersebut per 1.000 penduduk. Unit pelayanan kesehatan yang belum mempunyai fasilitas laboratorium dan mikroskopist yang memadai melakukan pengamatan terhadap penderita demam atau penderita yang menunjukkan gejala klinis malaria per 1000 penduduk di daerah berisiko dalam waktu 1 tahun. Meskipun hasilnya tidak sebaik pengamatan yang disertai pemeriksaan spesimen atau sediaan darah, data yang dihasilkan seringkali telah mencukupi untuk mengambil tindakan di lapangan seperti penanggulangan peningkatan kasus atau kejadian luar biasa dan pengobatan. 6. Parasite Rate (PR) Parasite Rate adalah jumlah sediaan darah yang positif malaria dari penduduk kelompok umur 0 – 9 tahun disuatu wilayah dibagi jumlah penduduk kelompok umur 0 – 9 tahun diwilayah tersebut yang dinyatakan persen (%).
28
Parasite
rate
menggambarkan
persentase
penduduk
yang
darahnya
mengandung parasit malaria pada suatu saat. Kelompok umur yang dicakup biasanya golongan 2 0-9 tahun dan 0-1 tahun (infant parasite rate/ IPR), mungkin saja PR dihitung untuk kelompok umur lainnya. Infant Parasite Rate adalah jumlah sediaan darah yang positif malaria dari penduduk kelompok umur 0 – 1 tahun disuatu wilayah dibagi jumlah penduduk kelompok umur 0 – 1 tahun diwilayah tersebut yang dinyatakan persen (%). IPR mempunyai arti epidemiologik khusus, oleh karena adanya penderita pada kelompok umur ini, lebih-lebih terinfeksi P falciparum dapat dengan tepat menunjukkan saat terjadinya transmisi. Oleh karena itu PR pada 0-1 tahun ini disebut juga index transmisi.
7. Spleen Rate (SR) Spleen Rate adalah jumlah anak umur 2 – 9 tahun yang membesar limpanya dibagi jumlah anak umur 2 – 9 tahun yang diperiksa limpanya yang dinyatakan dalam persen (%). SR menggambarkan persentase penduduk yang limpanya
membesar dari
seluruh penduduk yang diperiksa. SR tidak pernah atau tidak perlu mengikut sertakan bayi karena pada bayi yang normalpun limpanya masih membesar. Selain SR dihitung juga Average Enlarged Spleen (AES). Average Enlarged Spleen adalah rata-rata pembesaran limpanya yang dapat diraba. Index ini diperoleh dengan mengkalikan jumlah limpa yang membesar
29
pada tiap ukuran limpa (menurut Hacket) dengan pembesaran limpa pada suatu golongan umur tersebut. SR berguna untuk menentukan tingkat endemisitas, sedangkan AES berguna untuk menentukan kemajuan upaya pengendalian malaria. AES seharusnya menurun lebih cepat dari pada SR bila endemisitas menurun. Hasil Survey Limpa: Spleen Rate (SR) adalah persentase dari orang yang membesar limpanya terhadap orang yang diperiksa.
Jumlah anak (2 – 9 tahun) dengan limpa membesar SR=
X 100 % Jumlah anak (2 – 9 tahun) yang diperiksa limpanya
Average Enlarged Spleen Rate (AES) adalah rata-rata pembesaran limpa dari orang yang membesar limpanya. Cara menghitung: Jumlah orang yang limpanya membesar pada tiap ukuran limpa dikali ukuran pembesaran limpa pada suatu golongan umur, dibagi jumlah orang yang limpanya membesar pada golongan umur tersebut. Contoh: Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Survei Limpa
30
Golongan Jumlah umur diperiksa
Jumlah orang (n) menurut kelas pembesaran limpa (s) 0 1 2 3 4 5 226 91 30 13 8 1
nxs
1 2 4 5 91 60 32 5
∑ ns = AES N 3
2–4 th
369
39
5–9 th
314
169 98 3 0
34
10
98 68 12 0
10 – 14 th
945
409 318 151 13 6
48
318 302 144 52 30
15 th
347
166 121 46 4 0
10
121 92 16 0
Juml ah
1975
970 628 261 28 7
81
628 522 243 112 35
30
30
227 1,6 143 208 1,4 145 846 1,6 536 259 1,4 181 1540 1,5 1005
s : kelas pembesaran limpa dari 1 s/d 5 n : jumlah orang menurut kelas pembesaran limpa N : jumlah orang dengan limpa membesar
Dari contoh diatas, cara perhitungannya adalah sebagai berikut: SR (2 – 4 tahun)= 91 + 30 + 13 + 8 + 1 x 100 % = 38,8 % 369 SR (2 – 9 tahun)= 143 + 145 x 100 % = 42,2 % 369 + 314 AES (2 – 9 tahun)= 227 + 208 = 435 = 1,5 143 + 145
31
288
= = = = =
2.10
Endemisitas Malaria Adanya malaria di masyarakat pada suatu daerah dapat dikategorikan
dalam daerah endemik atau daerah dimana epidemi malaria sering timbul. Penggolongan lain adalah stable malaria dan unstable malaria. a. Daerah endemik malaria Malaria di suatu daerah dikatakan endemik apabila kesakitannya
yang
disebabkan oleh infeksi alamiah, kurang lebih konstan selama beberapa tahun berturut-turut. Stratifikasi endemisitas malaria, dapat didasarkan pada: 1) Annual Parasite Incidence (API): Berdasarkan API, suatu daerah diklasifikasikan menjadi 3 tingkat endemisitas, yaitu: a) High Case Incidence (HCI), kalau API > 5 per 1.000 penduduk. b) Moderate Case Incidence (MCI), kalau API antara 1 – 5 per 1.000 penduduk. c) Low Case Incidence (LCI), kalau API < 1 per 1.000 penduduk. 2)
Annual Malaria Incidence (AMI): Berdasarkan AMI, suatu daerah diklasifikasikan menjadi 3 tingkat endemisitas, yaitu: a) High Incidence Area (HIA), kalau AMI > 50 per 1.000 penduduk. b) Medium Incidence Area (MIA), kalau AMI antara 10 – 50 per 1.000 penduduk. c) Low Incidence Area (LIA), kalau AMI < 10 per 1.000 penduduk.
32
3) Parasite Rate (PR): Berdasarkan hasil Parasite Rate (PR) pada kelompok umur 0 - 9 tahun yang diperoleh
dari
suatu
survei
malariometrik,
suatu
daerah
dapat
Berdasarkan hasil Spleen Rate (SR) pada kelompok 2-9 tahun
yang
diperoleh
dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tingkat endemisitas, yaitu: a) High Prevalence Area (HPA), kalau PR > 4 %. b) Medium Prevalence Area (MPA), kalau PR antara 2 – 3 %. c) Low Prevalence Area (LPA), kalau PR < 2 %. 4) Spleen Rate (SR):
dari
suatu
survei
malariometrik,
suatu
daerah
diklasifikasikan menjadi 4 tingkat endemisitas, yaitu: SR (2-9 tahun) a) Hipoendemik
< 10 %.
b) Mesoendemik
11 – 50 %
c) Hiperendemik
> 50 % (SR dewasa tinggi > 25 %)
d) Holoendemik
> 75 % (SR dewasa rendah)
Di daerah yang holoendemik, SR pada orang dewasa rendah oleh karena telah timbul imunitas diantara mereka disebabkan oleh transmisi yang tinggi sepanjang tahun. b. Daerah dengan epidemi atau KLB malaria Epidemi malaria adalah terjadinya peningkatan jumlah penderita atau kematian karena malaria yang bermakna bila dibandingkan waktu sebelumnya.
33
Disadari bahwa sulit untuk menetapkan kriteria yang bersifat absolut, maka secara umum untuk keperluan program pengendalian malaria, kriteria berikut ini dapat dijadikan pegangan untuk menentukan ada tidaknya epidemi atau kejadian luar biasa malaria: - Proporsi kenaikan jumlah kasus positif malaria dua kali atau lebih dari kasus sebelumnya, pada bulan-bulan yang lalu di tahun yang sama, atau pada bulan yang sama di tahun-tahun yang lalu, dan terus terjadi peningkatan yang bermakna. - Hasil konfirmasi melalui kegiatan Mass Fever Survey (MFS) ditemukan penderita positif Plasmodium falciparum yang dominan. - Ada kasus bayi positif malaria. - Ada kematian karena atau diduga malaria. - Ada keresahan masyarakat karena malaria.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya epidemi atau KLB adalah: - Meningkatnya kerentanan penduduk. Hal ini
seringkali disebabkan
masuknya penduduk yang tidak imun ke suatu daerah endemik (contoh daerah transmigrasi). - Meningkatnya jumlah reservoir (penderita infektif). Hal ini disebabkan oleh masuknya penduduk dengan membawa spesies parasit baru. Kelompok ini
34
mungkin tanpa gejala klinis tetapi dalam dalam darahnya beredar gametosit yang siap untuk ditularkan kepada penduduk setempat. - Meningkatnya jumlah vektor dan umur (longevity) dari vektor penular. Hal ini disebabkan oleh perubahan iklim atau menurunnya jumlah ternak sehingga nyamuk yang tadinya zoofilik berubah menjadi antrofilik. - Meningkatnya efektivitas dari Anopheles sp. setempat dalam menularkan malaria. Catatan: Kemungkinan masuknya penderita malaria di daerah dimana dijumpai adanya vektor malaria disebut malariogenic potential. Malariogenik potential ditentukan oleh dua faktor yaitu: -
Receptivity adalah adanya vektor malaria dalam jumlah besar dan terdapatnya faktor-faktor
ekologis dan iklim yang memudahkan
penularan. -
Vulnerability menunjukkan dekatnya daerah malaria atau kemungkinan masuknya
suatu daerah dengan
seorang atau sekelompok
penderita malaria dan atau vektor yang telah terinfeksi. Dalam membahas adanya penyakit malaria di suatu daerah kita perlu juga mempertanyakan asal usulnya: - Indigenuos: bila transmisi berlangsung setempat atau lokal. - Import: bila berasal dari luar daerah. - Introduced: penderita kedua yang berasal dari satu penderita import yang kemudian menyebar.
35
- Induced: penderita yang berasal dari transfusi darah (tidak disengaja) atau seseorang yang sengaja ditulari/dimasuki parasit malaria untuk keperluan percobaan pengobatan malaria. - Unclassified: bila asal usulnya tidak diketahui karena sulit untuk dilacak. - Relapse: mungkin rekrudesensi atau rekurensi. Asal dari penderita malaria dapat diketahui melalui penyelidikan epidemiologi (epidemiological investigation). Penderita indegenous merupakan penderita yang harus ditangani dengan serius oleh karena adanya penderita ini menunjukkan adanya transmisi baru atau transmisi masih berlangsung. Sumber infeksinya mungkin setempat, berasal dari penderita yang mengalami relapse atau dari penderita import. Pengertian transmisi baru, harus diakui sukar untuk dinyatakan dalam minggu, bulan atau tahun. Yang biasanya digunakan sebagai patokan adalah satu masa atau satu tahun. Adanya transmisi dapat dilihat dari IPR. Penderita yang relapse sedapat mungkin harus dibedakan dengan indegenous. Hal ini sehubungan dengan kemungkinan konsekwensi tindakan yang harus diambil, ditinjau dari segi operasional pengendalian malaria. Untuk menyatakan seseorang mengalami relapse dibutuhkan catatan dari penderita tersebut di waktu yang lalu, yang menyatakan antara lain spesiesnya sama dengan yang dideritanya sekarang. Seandainya data ini ada, kemungkinan terjadinya reinfeksi tetap tidak terhindarkan. Pertanyaan lain akan segera muncul sampai seberapa jauh waktu yang telah berlalu untuk dapat menyatakan relapse?. Sebagai patokan dapat digunakan untuk masing-masing spesies sebagai berikut:
36
-
P. falciparum paling lama 1 tahun.
-
P. vivax paling lama 2 tahun.
-
P. malariae bisa lebih dari 2 tahun, sulit untuk menetapkan. Secara kasar dapat kita simpulkan bahwa penderita yang relapse dapat kita
tentukan sementara atas dasar penyelidikan terhadap individu tersebut. Kesimpulan akhir hendaknya didasarkan atas semua data epidemiologi (termasuk data lingkungan) yang dihasilkan dari penelitian yang menyeluruh terhadap lokasi kantong atau fokus malaria itu. Akhirnya relapse dari penderita import hendaknya diklasifikasikan sebagai penderita import, karena hal ini berhubungan dengan vulnerability suatu daerah. Jadi istilah relapse agar digunakan hanya untuk penderita indigenous saja. Introduced case sama sulit penentuannya dengan penderita yang relapse. Penderita dikategorikan sebagai unclassified dapat berasal dari dua kemungkinan. Yang pertama penyelidikannya kurang sempurna dan yang kedua penyelidikan sempurna tapi tetap tidak dapat dilacak asal usulnya.
c. Stable dan unstable malaria Malaria di suatu daerah dikatakan bersifat stable (stabil), apabila didaerah tersebut dijumpai transmisi yang tinggi tanpa fluktuasi yang berarti selama bertahun-tahun, meskipun fluktuasi musiman mungkin ada. Unstable (labil) apabila fluktuasi transmisi dari tahun ke tahun cukup tinggi.
37
Perbedaan dari kedua jenis keadaan malaria tersebut adalah:
Endemisitas
Faktor penentu
Stable
Unstable
Umumnya
Biasanya
rendah
tinggi meskipun
atau
sedang.
tingkat
yang
Tingkat
rendah
atau
endemisitas tinggi
sedang
bisa
bisa terjadi.
terjadi. Vektor
yang
Vektor
kurang
sangat antrofilik
antrofilik
dengan
dengan
longevity
rendah
longevity sedang
atau sedang. Iklim
atau
hanya
tinggi.
Iklim
memungkinkan
menguntungkan
untuk
masa
bagi
transmisi
yang
transmisi
(yang
yang lama. Sangat rendah
pendek. Tinggi (1-10 atau
untuk
(mungkin hanya
lebih
mempertahan-kan
0,025
orang/malam).
transmisi)
orang/malam.
Fluktuasi musiman
Tidak
begitu
jelas,
kecuali
pada
musim
Densitas
vektor
cukup
gigitan/
kering
gigitan/
Sangat jelas.
yang
pendek. Dominansi parasit
P.
falciparum
yang dominan.
38
Biasanya P. vivax yang dominan.
Imunitas penduduk
Tinggi,
Rendah, meskipun
meskipun
pada
berbeda tiap Kemungkinan
terjadi
bagi
kelompok
umur. Sangat
kecil
beberapa
kelompok umur ada yang tinggi. Sangat besar bila
epidemi/KLB
pada penduduk
keadaan
Kesulitan
setempat. Sulit untuk
memungkinkan. Tidak terlalu sulit
diberantas
dengan kombinasi
untuk
pengendalian/diberantas
terutama
di
daerah pedesaan
iklim
upaya
yang
ditunjukkan terhadap
nyamuk
dewasa, larva dan upaya pengobatan. Penggolongan atas stable dan unstable malaria dalam program pengendalian malaria tidak relevan lagi, oleh karena hampir semua daerah telah dijangkau oleh kegiatan pengobatan dan pengendalian vektor.
2.11
Cara Pengendalian Penyakit Malaria 1. Pengendalian Penyebaran malaria ditularkan oleh tiga komponen yang saling terkait disebut Host, Agent dan Environment yang merupakan rantai penularan malaria. Penyebaran malaria terjadi apabila ketiga rantai komponen tersebut di atas saling mendukung. Kegiatan
pengendalian
malaria
seharusnya
ditujukan
untuk
memutuskan rantai penularan tersebut di atas. Pemutusan rantai 39
penularan – secara ringkas – harus ditujukan kepada sasaran yang tepat, yaitu: a. Pengendalian vektor Pengendalian vektor dilakukan dengan cara membunuh nyamuk dewasa (penyemprotan rumah dengan menggunakan insektisida), membunuh jentik (kegiatan anti larva) dan menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan. Penyemprotan rumah pada prinsipnya memperpendek umur nyamuk. Dengan dibunuhnya nyamuk
maka
parasit
yang
ada
dalam
tubuh
nyamuk,
pertumbuhannya tidak sampai selesai, sehingga penyebaran dan penularan penyakit dapat terputus. Demikian juga kegiatan anti larva dan kegiatan mengurangi atau menghilangkan tempat perindukan, sehingga kepadatan nyamuk dapat dikurangi dan akan berpengaruh terhadap terjadinya penularan malaria. b. Penemuan dan pengobatan penderita malaria 1) Penemuan penderita malaria Salah satu cara untuk memutuskan penyebaran malaria adalah dengan cara menemukan penderita sedini mungkin, baik dilakukan penemuan secara aktif, penemuan secara pasif, dan survei-survei. Penemuan penderita secara aktif (Active Case Detection) dilakukan oleh petugas khusus yang mengunjungi rumah secara teratur. Penemuan secara pasif (Passive Case
40
Detection), dilakukan dengan memeriksa semua pasien yang menunjukkan gejala klinis malaria yang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan (UPK), yaitu Polindes, Pustu, Puskesmas dan Rumah Sakit baik swasta maupun pemerintah. Penemuan penderita melalui survei-survei, meliputi Mass Fever Survei, Mass Blood Survei, Survei Kontak, Surveilans Migrasi, dan Malariometric Survey. Untuk memperluas jangkauan penemuan maupun
pengobatan
penderita
malaria
atas
partisipasi
masyarakat dibentuklah Pos Malaria Desa (POSMALDES), khususnya di daerah terpencil atau yang jauh dari sarana pelayanan kesehatan. Bagi mereka yang diduga malaria diambil darahnya selanjutnya dilakukan pemeriksaan parasitologi di laboratorium
untuk
memastikan
bahwa
pasien
menderita penyakit malaria. Yang selanjutnya
tersebut diberikan
pengobatan yang tepat. 2) Pengobatan penderita malaria Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia. Adapun tujuan pengobatan radikal untuk mendapat
kesembuhan
klinis
memutuskan rantai penularan. 2. Pencegahan
41
dan
parasitologik
serta
a. Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi parasit malaria sehingga bila terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat. Kemoprofilaksis ini ditujukan kepada orang yang bepergian ke daerah endemis malaria dalam waktu yang tidak terlalu lama, seperti turis, peneliti, pegawai kehutanan dan lain-lain. b. Pencegahan terhadap vektor/gigitan nyamuk Pencegahan yang sederhana dan dapat dilakukan oleh sebagian besar masyarakat, antara lain: 1) Menghindari atau mengurangi gigitan nyamuk malaria, dengan cara tidur dengan menggunakan kelambu, pada malam hari tidak berada di luar rumah, mengolesi badan dengan obat anti gigitan nyamuk, memakai obat nyamuk bakar, memasang kawat kasa pada jendela, menjauhkan kandang ternak dari rumah dan meletakkan kandang ternak pada lokasi yang tepat (cattle barrier). 2) Membersihkan tempat perindukan/istirahat nyamuk, dengan cara membersihkan semak-semak di sekitar rumah, melipat kain-kain yang bergantungan, mengusahakan di dalam rumah tidak
terdapat
tempat-tempat
yang
gelap,
mengalirkan
genangan-genangan air dan menimbun genangan-genangan air. 3) Membunuh nyamuk dewasa (dengan penyemprotan insektisida). Membunuh jentik-jentik dengan menebarkan ikan pemakan jentik dan pemberian larvasida.
42
3. Kebijakan Pemberantasan Penyakit Malaria Berdasarkan sasaran dari MDG’s No.6 bahwa pada tahun 2015 kasus turun 50 %. Kebijakan P2 malaria di Puskesmas meliputi: diagnosa malaria harus terkonfirmasi mikroskop atau Rapid Diagnostic Test (RDT), pengobatan menggunakan Artemisinin Combination Therapy (ACT), pencegahan penularan malaria (melalui: distribusi kelambu (Long Lasting Insecticidal Net), penyemprotan rumah, repellent, dll), kerjasama lintas sektor dalam Forum Gebrak Malaria, dan Memperkuat Desa Siaga dengan pembentukan Pos Malaria Desa (POSMALDES). Strategi yang digunakan meliputi: Mass Blood Survey, pengobatan malaria dan pembagian kelambu pada ibu hamil, pengobatan malaria dan pembagian kelambu pada bayi dengan imunisasi lengkap, pembagian kelambu integrasi dengan pengobatan massal filariasis, pembentukan Pos Malaria Desa dengan kader malaria, penguatan SDM petugas kesehatan melalui pelatihan dan lain-lain, kerjasama lintas sektor dalam pengendalian nyamuk vektor malaria.
2.12
Diagnosa Penyakit Malaria
A.
ANAMNESIS
1.
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan: a. Keluhan utama: demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.
43
b. Riwayat berkunjung dan bermalam 1 - 4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria. c. Riwayat tinggal di daerah endemik malaria. d. Riwayat sakit malaria. e. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir. f. Riwayat mendapat transfusi darah. 2.
Selain hal di atas pada penderita tersangka malaria berat, dapat ditemukan keadaan dibawah ini: a. Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat. b. Keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk/berdiri). c. Kejang-kejang. d. Panas sangat tinggi. e. Mata atau tubuh kuning. f. Perdarahan hidung, gusi atau saluran pencernaan. g. Nafas cepat dan atau sesak nafas. h. Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum. i. Warna air seni seperti teh tua dan dapat sampai kehitaman. j. Jumlah air seni kurang (oliguria) sampai tidak ada (anuria). k. Telapak tangan sangat pucat.
B. PEMERIKSAAN FISIK 1. Malaria tanpa Komplikasi a. Demam (pengukuran dengan termometer > 37,5 º C) b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat c. Pembesaran limpa (splenomegali)
44
d. Pembesaran hati (hepatomegali) 2.
Malaria dengan Komplikasi Pada tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut: a. Temperatur rektal ≥ 40O C. b. Nadi cepat dan lemah/kecil. c. Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan pada anak-anak <50 mmHg. d. Frekuensi nafas > 35 x per menit pada orang dewasa atau > 40 x per menit pada balita, anak di bawah 1 tahun > 50 x per menit. e. Penurunan derajat kesadaran dengan Glasgow coma scale (GCS) < 11. f. Manifestasi perdarahan (petekie, purpura, hematom). g. Tanda dehidrasi (mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang, bibir kering, produksi air seni berkurang). h. Tanda-tanda anemia berat (konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, lidah pucat dan lain-lain). i. Terlihat mata kuning/ikterik. j. Adanya ronki pada kedua paru. k. Pembesaran limpa dan atau hepar. l. Gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria. m. Gejala neurologi (kaku kuduk, reflek patologik).
C. DIAGNOSA ATAS DASAR PEMERIKSAAN LABORATORIUM 1. Pemeriksaan dengan Mikroskop Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di Puskesmas/lapangan/ rumah sakit untuk menentukan:
45
a. Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif). b. Spesies dan stadium plasmodium c. Kepadatan parasit: Semi kuantitatif (-)
= Negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB/lapangan pandang besar)
(+)
= Positif 1 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 100 LPB)
(++)
= Positif 2 (ditemukan 11 –100 parasit dalam 100 LPB)
(+++)
= Positif 3 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 1 LPB)
(++++)
= Positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)
Kuantitatif Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal (leukosit) atau sediaan darah tipis (eritrosit). Contoh: Bila dijumpai 1500 parasit per 200 lekosit, sedangkan jumlah lekosit 8.000/uL maka hitung parasit = 8.000/200 X 1500 parasit = 60.000 parasit/uL. Bila dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Bila jumlah eritrosit 450.000 maka hitung parasit = 450.000/1000 X 50 = 225.000 parasit/uL. Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
46
1.
Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut.
2.
Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak ditemukan parasit maka diagnosis malaria disingkirkan.
2.
Pemeriksaan dengan Tes Diagnostik Cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT) Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan metoda imunokromatografi, dalam bentuk dipstik. Tes ini sangat bermanfaat pada unit gawat darurat, pada saat terjadi kejadian luar biasa dan di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas lab serta untuk survei tertentu. Tes yang tersedia di pasaran saat ini mengandung: a.
HRP-2 (Histidine rich protein 2) yang diproduksi oleh trofozoit, skizon dan gametosit muda P. falciparum.
b.
Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) dan aldolase yang diproduksi oleh parasit bentuk aseksual atau seksual plasmodium falciparum, P.vivax, P.ovale dan P.malariae. Kemampuan rapid test yang beredar pada umumnya ada 2 jenis yaitu:
a. Single yang mampu mendiagnosis hanya infeksi P. falciparum. b. Combo yang mampu mendiagnosis infeksi infeksi P. falciparum dan non falciparum. Oleh karena teknologi ini baru memasuki industri maka sangat perlu untuk memperhatikan kemampuan sensitivity dan specificity dari alat ini. Dianjurkan untuk menggunakan rapid test dengan kemampuan minimal sensitivity 95% dan
47
specificity 95%.
Hal yang penting lainnya adalah penyimpanan RDT ini
sebaiknya dalam lemari es tetapi tidak dalam frezzer pendingin.
2.13
Pengobatan Malaria
1. Pengobatan Malaria Falcifarum
Lini pertama pengobatan malaria falsiparum adalah seperti yang tertera dibawah ini: Lini pertama pengobatan malaria falciparum adalah Artemisinin Combination Therapy (ACT). Pada saat ini pada program pengendalian malaria mempunyai 2 sediaan yaitu: Artesunate – Amodiaquin Dihydroartemisinin – Piperaquin a. Lini Pertama Artesunat + Amodiakuin + Primakuin Kemasan artesunate – amodiaquin yang ada pada program pengendalian
malaria: 1) Kemasan Artesunat + Amodiakuin terdiri dari 2 blister, yaitu blister
amodiakuin terdiri dari 12 tablet @ 200 mg ≈ 153mg amodiakuin basa, dan blister artesunat terdiri dari 12 tablet
@ 50mg. Obat kombinasi
diberikan per-oral selama tiga hari dengan dosis tunggal harian sebagai berikut: Amodiakuin basa = 10 mg/kgbb Artesunat = 4 mg/kgbb. 2) Kemasan Artesunate + Amodiakuin terdiri dari 3 blister(setiap hari 1blister
untuk dosis dewasa), setiap blister terdiri dari : 4 tablet artesunate @ 50 mg 4 tablet amodiaquin @ 150 mg Primakuin yang beredar di Indonesia dalam bentuk tablet berwarna coklat kecoklatan yang mengandung 25 mg garam yang setara 15 mg basa. Primakuin 48
diberikan per-oral dengan dosis tunggal 0,75 mg basa/kgbb yang diberikan pada hari pertama. Primakuin tidak boleh diberikan kepada:
Ibu hamil
Bayi < 1 tahun
Penderita defisiensi G6-PD Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat
badan penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur seperti tertera pada tabel 3. Dosis maksimal penderita dewasa yang dapat diberikan untuk artesunat dan amodiakuin masing-masing 4 tablet, dan primakuin 3 tablet. Tabel 3. Pengobatan lini pertama malaria falsiparum menurut kelompok umur dengan Artesunat - Amodiaquin Hari
1 2 3
Jenis obat Artesunat Amodiakuin Primakuin Artesunat Amodiakuin Artesunat Amodiakuin
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur 0 -1 2 -11 1 - 4 5 - 9 10 -14 > 15 bulan bulan tahun tahun tahun tahun ¼ ½ 1 2 3 4 ¼ ½ 1 2 3 4 ¾ 1½ 2 2–3 ¼ ½ 1 2 3 4 ¼ ½ 1 2 3 4 ¼ ½ 1 2 3 4 ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin basa = 10 mg/kgbb dan Artesunat = 4 mg/kgbb. Primakuin = 0,75 mg/kgBB Catatan: Sebaiknya obat diberikan sesuai dengan berat badan, karena jika tidak sesuai dengan berat badan akan menimbulkan antara lain: Efek samping yang lebih berta karena dosis yang tidak tepat (berlebih) misalnya muntah, mual, sakit kepala. Atau Lini pertama Dihydroartemisinin + Piperaquin + Primakuin 49
Tabel 4. Pengobatan lini pertama malaria falsiparum menurut kelompok umur dengan Dihydroartemisinin + Piperaquin(DHP) Jumlah tablet perhari menurut kelompok Hari Jenis obat umur 0 -1 2 -11 1-4 5 - 9 10 -14 > 15 Bulan Bulan tahun tahun tahun Tahun DHP ¼ ½ 1 1,5 2 3- 4 1 Primakuin ¾ 1½ 2 2–3 2- 3 DHP ¼ ½ 1 1,5 2 3- 4 Dosis obat: Dihydroartemisinin = 2- 4 mg /kgBB Piperaquin
= 16 – 32 mg / kgBB
Primakuin
= 0,75 mg/kgBB
Catatan: - Sebaiknya dosis pemberian DHA + PPQ berdasarkan berat badan, jika tidak mempunyai timbangan pemberian obat dapat berdasarkan kelompok umur. - Dapat diberikan pada ibu hamil trimester 2 & 3. Pengobatan lini kedua malaria falsiparum diberikan, jika pengobatan lini pertama tidak efektif dimana ditemukan: gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi). b. Lini Kedua Kina + Doksisiklin atau Tetrasiklin + Primakuin Kina tablet Tablet kina yang beredar di Indonesia adalah tablet yang mengandung 200 mg kina fosfat atau sulfat. Kina diberikan per-oral, 3 kali sehari dengan dosis 10mg/kgbb/kali selama 7 hari. Doksisiklin Doksisiklin yang beredar di Indonesia adalah kapsul atau tablet yang mengandung 50 mg dan 100 mg Doksisiklin HCl. Doksisiklin diberikan 2
50
kali per-hari selama 7 hari, dengan dosis orang dewasa adalah 4 mg/Kgbbari, sedangkan untuk anak usia
8 –14 tahun adalah 2
mg/kgbb/hari. Doksisiklin tidak diberikan pada ibu hamil dan anak usia < 8 tahun. Bila tidak ada doksisiklin, dapat digunakan tetrasiklin. Tetrasiklin Tetrasiklin yang beredar di Indonesia adalah kapsul yang mengandung 250 mg atau 500 mg tetrasiklin HCl. Tetrasiklin diberikan 4 kali perhari selama 7 hari, dengan dosis 4 - 5 mg/kgBB/kali. Seperti halnya doksisiklin, tetrasiklin tidak boleh diberikan pada anak umur di bawah 8 tahun dan ibu hamil. Primakuin Pengobatan dengan primakuin diberikan seperti pada lini pertama. Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur. Dosis maksimal penderita dewasa yang dapat diberikan untuk kina 9 tablet, dan primakuin 3 tablet. Tabel 5. Pengobatan lini kedua untuk malaria falsiparum
1
Kina Doksisiklin Primakuin
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur 0-11 1-4 5-9 10–14 > 15 bulan tahun tahun Tahun tahun *) 3x½ 3x1 3 x 1½ 3 x (2-3) 2x1**) 2 x1***) ¾ 1½ 2 2 –3
2–7
Kina Doksisiklin
*) -
Hari
Jenis obat
3x½ -
3x1 -
*) Dosis diberikan kg/BB **) 2x 50 mg Doksisiklin ***) 2x100 mg Doksisiklin Tabel 6. Pengobatan lini kedua untuk malaria falsiparum
51
3 x 1½ 3 x (2-3) 2x1**) 2 x 1***)
Jumlah tablet perhari menurut kelompok Hari
Jenis obat 0-11
1-4
umur 5-9
1
Kina Tetrasiklin Primakuin
Bulan tahun tahun *) 3x½ 3x1 ¾ 1½
2-7
Kina Tetrasiklin
*) -
3x½ -
3x1 -
10–14
> 15
tahun tahun 3 x 1½ 3 x (2-3) *) 4 x 1**) 2 2 –3 3 x 1½ 3 x (2-3) *) 4 x 1**)
Penderita *) Dosis diberikan kg/BB **) 4x 250 mg Tetrasiklin 2. Pengobatan Malaria Vivaks dan Ovale
a.
Malaria vivaks dan ovale Pengobatan malaria vivax dan ovale saat ini menggunakan ACT (Artemisinin Combination Therapy) yaitu artesunate + amodiaquin atau Dihydroartemisinin Piperaquin (DHP). Dosis obat untuk malaria vivax sama dengan malaria falciparum, dimana perbedaannya adalah pemberian obat primakuin selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg/kg BB. Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke-28 setelah pemberian obat, ditemukan keadaan sebagai berikut: klinis sembuh (sejak hari ke-4) dan tidak ditemukan parasit stadium aseksual sejak hari ke-7. Pengobatan tidak efektif apabila dalam 28 hari setelah pemberian obat: a. Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif, atau b. Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali sebelum hari ke 14 (kemungkinan resisten). c. Gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali antara hari ke 15 sampai hari ke 28 (kemungkinan resisten, relaps atau infeksi baru).
52
b. Pengobatan lini kedua malaria vivaks Kina + Primakuin
Kina tablet Tablet kina yang beredar di Indonesia adalah tablet yang mengandung 200 mg kina fosfat atau sulfat. Kina diberikan per-oral, 3 kali sehari dengan dosis 10mg/kgBB/kali selama 7 hari. Primakuin Dosis Primakuin adalah 0.25 mg/kgBB per hari yang diberikan selama 14 hari. Seperti pengobatan malaria pada umumnya, primakuin tidak boleh diberikan kepada: Ibu hamil, bayi < 1 tahun, dan penderita defisiensi G6PD. Kombinasi ini digunakan untuk pengobatan malaria vivax yang resisten terhadap pengobatan ACT. *) Dosis kina adalah 30mg/kgBB/hari yang diberikan 3 kali per hari. Pemberian kina pada anak usia di bawah 1 tahun harus dihitung berdasarkan berat badan. Dosis dan cara pemberian primakuin adalah sama dengan cara pemberian primakuin pada malaria vivaks terdahulu yaitu 0.25 mg/kgBB perhari selama 14 hari. Dosis obat juga dapat ditaksir dengan memakai tabel dosis berdasarkan golongan umur penderita. Tabel 7. Pengobatan lini kedua malaria vivaks Jumlah tablet per hari menurut kelompok umur 0–1 2-11 1 - 4 5–9 10–14 > 15 bulan bulan tahun tahun tahun tahun H1-7 Kina *) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x3 H1-14 Primakuin ¼ ½ ¾ 1 Hari
Jenis obat
*) Dosis diberikan kg/BB c.
Pengobatan vivaks yang relaps
53
malaria
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primakuin ditingkatkan, primakuin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kgbb/hari. Khusus untuk penderita defisiensi enzim G6PD yang dapat diketahui melalui anamnesis ada keluhan atau riwayat warna urin coklat kehitaman setelah minum obat (golongan sulfa, primakuin, kina, klorokuin dan lainlain), maka pengobatan diberikan secara mingguan. Tabel 8. Pengobatan malaria vivaks penderita defisiensi G6PD Lama minggu
Jenis obat
8 s/d 12
Artesunate
Jumlah tablet perminggu menurut kelompok umur 0 – 1 2 – 11 1 - 4 5 - 9 10 - 14 > 15 bulan bulan tahun tahun tahun tahun ¼ ½ 1 2 3 3–4
8 s/d 12 Amodiaquin ¼
½
1
2
3
3–4
3. Pengobatan Malaria Malariae
Pengobatan malaria malariae cukup diberikan ACT 1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya.
4. Pengobatan Malaria Mix (Falcifarum + Vivaks)
Pengobatan malaria mix (P. Falciparum + P.vivax) dengan Artemisinin Combination Therapy (ACT). Pengobatan malaria mix diberikan pengobatan dengan ACT selama 3 hari serta pemberian primakuin pada hari I
dengan dosis adalah 0,75 mg/kgBB
dilanjutkan pada hari 2 – 14 primakuin dengan dosis 0, 25 mg/kgBB. Tabel 9. Pengobatan malaria mix (P.falciparum + P.vivax) dengan Artesunat + Amodiaquin
54
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur Hari Jenis obat 0 -1 2 -11 1-4 5–9 10 -14 > 15 Bulan bulan tahun tahun tahun tahun Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4 Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4 1 Primakuin 1/4 ½ 3/4 1 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4 Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4 2 Primakuin 1/4 1/2 3/4 1 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4 3 Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4 Primakuin 1/4 1/2 3/4 1 4-14 Primakuin 1/4 1/2 3/4 1 Amodiakuin basa = 10 mg/kgbb dan Artesunat = 4 mg/kgbb. Primakuin
= 0,25 mg/kgBB
Atau Tabel 10. Pengobatan
malaria mix (P.falciparum + P.vivax) dengan
Dihydroartemisinin + Piperaquin (DHP) Hari
Jenis obat DHP
1 2 3
Primakuin DHP Primakuin DHP
Primakuin 4-14 Primakuin Dosis obat:
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur 0 -1 2 -11 1-4 5 - 9 10 -14 > 15 Bulan bulan tahun tahun tahun tahun ¼ ½ 1 1,5 2 3- 4 ¼ ¼
½ -
1/4 1 1/4
½ 1,5 1/2
3/4 2 3/4
1 3- 4 1
½
1
1,5
2
3-4
-
-
1/4 1/4
1/2 1/2
3/4 3/4
1 1
Dihydroartemisinin = 2- 4 mg /kgBB Piperaquin
= 16 – 32 mg / kgBB
Primakuin
= 0,25 mg/kgBB
Catatan: Sebaiknya dosis pemberian obat berdasarkan berat badan, untuk menghindari kelebihan dosis obat dan efek samping obat yang berat, jika tidak mempunyai timbangan pemberian obat dapat berdasarkan kelompok umur.
55
2.14 Pencegahan Penularan Malaria A. Distribusi Kelambu (Long Lasting Insecticidal Net) Salah satu upaya preventif malaria adalah dengan menggunakan kelambu berinsektisida atau kelambu poles, seperti yang telah di rekomendasikan oleh WHO sejak November 2004. Insektisida yang digunakan pada kelambu aman bagi manusia dan telah digunakan oleh banyak negara. Adapun manfaat menggunakan kelambu berinsektisida diantaranya melindungi ibu hamil dari gigitan nyamuk sehingga mengurangi anemia dan kematian ibu, mengurangi BBLR, menurunkan kematian bayi baru lahir, meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan selama kehamilan. Salah satu jenis insektisida yang digunakan pada kelambu yang didistribusikan adalah Deltametrin dan Permethrin yang diformulasikan khusus untuk membunuh nyamuk dan serangga yang hinggap atau menempel di kelambu tersebut serta aman untuk manusia, ibu hamil, maupun anak kecil. Kelambu berinsektisida didistribusikan oleh Depkes ke Dinas Kesehatan Provinsi adalah jenis Long Lasting Insecticide Net (LLIN) untuk diteruskan ke Dinas Kesehatan Kota yang selanjutnya diserahkan ke puskesmas untuk dibagikan kepada masyarakat sesuai kriteria yang telah ditentukan oleh Depkes. Perbedaan yang spesifik dengan kelambu biasa adalah dapat membunuh nyamuk dan serangga, mengurangi populasi nyamuk serta sudah dipoles sejak pembuatan dan bertahan selama lima tahun. Tujuan dari
penggunaan
kelambu
berinsektisida
adalah
untuk
membiasakan masyarakat memakai kelambu berinsektisida agar terlindung dari gigitan nyamuk malaria
dan untuk menggerakkan masyarakat untuk
meningkatkan cakupan pemakai kelambu terutama kelompok yang berisiko
56
(anak-anak dan ibu hamil) dengan cara gotong royong. Selain itu, kelambu bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena malaria. Pendistribusian kelambu adalah merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang melibatkan masyarakat, tokoh agama/organisasi keagamaan, tokoh masyarakat/organisasi kemasyarakatan dan LSM setempat yang difasilitasi oleh kader posmaldes bersama petugas puskesmas, pustu atau bidan di desa dan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam pencegahan malaria sehingga masyarakat menggunakan kelambu sesuai dengan petunjuk dari petugas kesehatan dan kader posmaldes setempat serta
dapat
meningkatkan rasa kemandirian masyarakat untuk terus memperluas cakupan keluarga/masyarakat secara swadaya dengan berbagai upaya yang disepakati masyarakat misalnya dengan sistem dana bergulir, arisan dan lain-lain.
B. Penyemprotan Rumah (Indoor Residual Sprying) Penyemprotan dilakukan pada bagian dinding dalam rumah yang bertujuan untuk memberantas dan membunuh nyamuk anopheles dewasa. Metode yang digunakan adalah penyemprotan DDT dengan spray can dinding rumah di dalam dan luar ruangan. Penyemprotan efektif bila: penularan terjadi di dalam rumah (indoor biting), vektor resting di dinding, penduduk menerima, tidak berada di luar rumah malam hari, dan penyebaran rumah tidak menyulitkan operasional IRS. Waktu penyemprotan adalah 2 bulan sebelum puncak kasus 1 bulan sebelum puncak kepadatan vektor. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saat ini menyarankan penggunaan insektisida yang berbeda dalam 12 operasi IRS. Ini termasuk DDT dan sejumlah
57
insektisida alternatif (seperti permetrin dan deltametrin piretroid), untuk memerangi malaria di daerah di mana nyamuk DDT-tahan dan untuk memperlambat evolusi ketahanan. Ini menggunakan kesehatan masyarakat dalam jumlah kecil DDT diizinkan di bawah Konvensi Stockholm pada Persistent Organic Pollutants (POPs), yang melarang penggunaan DDT pertanian. Namun, karena warisan, banyak negara maju mencegah DDT digunakan bahkan dalam jumlah kecil. C. Repellent Perlindungan pribadi dilakukan dengan memakai penghalau serangga (repellent) misalnya dietil toluamid dan minyak sereh. 2.15
Forum Gebrak Malaria Secara umum forum nasional gebrak malaria ini memiliki tugas untuk
melakukan kajian ilmiah tentang penatalaksanaan kasus malaria yang efektif dan aman, melakukan kajian ilmiah tentang kualitas laboratorium dan pemeriksaan malaria serta merekomendasikan hasilnya. Melakukan advokasi dan sosialisasi di tingkat pusat dan daerah untuk meningkatkan kemitraan dan komitmen, telaah hasil penilaian tim monitoring eliminasi di kab/kota atau provinsi. Komponen Forum Nasional Gebrak Malaria yaitu forum koordinasi lintas program dan lintas sektor, para ahli, organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan terkait sebagai mitra.
2.16
Pos Malaria Desa (POSMALDES)
58
Kegiatan Global Fund Malaria meliputi kegiatan sosialisasi advokasi, pelatihan teknis petugas dan supervisi ke kabupaten/kota, diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan pengendalian vektor, meningkatkan angka capaian API (Annual Paracite Incidence) dan meniadakan kasus klinis, yang artinya semua kasus harus dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis atau konfirmasi laboratorium terlebih dahulu. Tujuannya adalah pemutusan mata rantai penularan menuju Goal eliminasi malaria. Upaya ini tentunya diharapkan dapat dilaksanakan sampai ke desa-desa termasuk daerah yang sulit dijangkau, sehingga kegiatannya tetap berkesinambungan. Tercatat secara nasional bahwa di Indonesia 80% kab/kota termasuk kategori endemis malaria, dimana 45% nya adalah desadesa terpencil dengan akses keterjangkauan pelayanan kesehatan yang rendah serta transportasi dan komunikasi yang sulit, akibatnya masyarakat yang sakit malaria tidak mendapatkan pertolongan dari petugas kesehatan sebagimana mestinya. Pembentukan Pos Malaria Desa (POSMALDES) merupakan wadah masyarakat dalam penanggulangan malaria di desa endemis dan terpencil. Namun pada kenyataannya, Posmaldes merupakan salah satu Unit Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) yang kurang mendapat pembinaan karena letaknnya yang terpencil dan sulit dijangkau, akibatnya kegiatan posmaldes yang seharusnya dilakukan secara terpadu dengan UKBM lain mengalami hambatan. Berbeda dengan Unit Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) yang sudah terbentuk lebih dahulu seperti Posyandu, Pos Obat Desa dan lain-lain. Posmaldes ini kurang mendapat pembinaan intensif karena letaknya yang
59
terpencil dan susah dijangkau. Biasanya Kader Posmaldes setiap bulan mengunjungi Puskesmas/Pustu untuk memberikan informasi mengenai kegiatankegiatan yang dilaksanakan. Untuk merealisasikan pembentukan Posmaldes di wilayah Kalimantan dan Sulawesi, Aisyiyah dan MKKM Muhammadiyah sebagai patner Departemen Kesehatan mempunyai tanggung jawab untuk menyelenggarakan pembekalan kepada calon kader malaria sebagai ujung tombak dari program pengendalian malaria dengan harapan memahami permasalahan malaria secara utuh dan menyeluruh. Melalui kegiatan Pembekalan Posmaldes untuk Kader Malaria Aisyiyah dan Muhammadiyah ini diharapkan: 1.
Kader
mampu
memberikan
penyuluhan
dan
pemberdayaan
kepada
masyarakat 2.
Kader mampu menemukan kasus malaria
3.
Kader mampu memetakan lokasi dan gambaran situasi tentang lingkungannya
4.
Kader memiliki ketrampilan membuat pencatatan dan pelaporan Yang harus dilakukan oleh kader Posmaldes:
1. Menyebarluaskan informasi tentang Surveilan Migrasi kepada masyarakat
yang lain. 2. Memberikan laporan/info kepada petugas posmaldes adanya pendatang yg
baru pulang dari daerah endemis. 3. Pengambilan Sedian Darah pada ujung jari manis kiri untuk preparat guna
pemeriksaan laboratorium guna memastikan ada tidaknya parasit malaria.
60
4. Mengawasi lingkungan yang potensial untuk perkembangbiakan nyamuk dan
melaporkannya kepada petugas posmaldes.
BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Kasus malaria di Indonesia masih tinggi setiap tahunnya, walaupun di beberapa
wilayah
terdapat
penurunan
angka
kejadian
malaria.
Untuk
menanggulangi masalah tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya untuk penanganan kasus malaria ini salah satunya melalui program pemberantasan penyakit malaria (P3 malaria) di suatu wilayah kerja Puskesmas. Kebijakan P2 malaria di Puskesmas meliputi: diagnosa malaria harus terkonfirmasi mikroskop atau Rapid Diagnostic Test (RDT), pengobatan menggunakan Artemisinin Combination Therapy (ACT), pencegahan penularan malaria (melalui: distribusi kelambu (Long Lasting Insecticidal Net), penyemprotan rumah, repellent, dll), kerjasama lintas sektor dalam Forum Gebrak Malaria, dan Memperkuat Desa Siaga dengan pembentukan Pos Malaria Desa (POSMALDES). Strategi yang digunakan meliputi: Mass Blood Survey, pengobatan malaria dan pembagian kelambu pada ibu hamil, pengobatan malaria dan pembagian kelambu pada bayi dengan imunisasi lengkap, pembagian kelambu integrasi dengan pengobatan
61
massal filariasis, pembentukan Pos Malaria Desa dengan kader malaria, penguatan SDM petugas kesehatan melalui pelatihan dan lain-lain, kerjasama lintas sektor dalam pengendalian nyamuk vektor malaria.
3.2. Saran Dalam pemberantasan penyakit malaria perlu peran serta dari masyarakat sendiri dalam mendukung terlaksananya program dan tercapainya program yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Depkes RI, Ditjen. P2PL, Dit. P2B2. Pedoman Tatalaksana Kasus Malaria. Jakarta, 2008.
2.
Depkes RI, Ditjen PP dan PL, Dit. P2B2. Pedoman Teknis Tatalaksana Kasus Malaria. Jakarta, 2007.
62
3.
Depkes RI, Ditjen. PP dan PL, Dit. P2B2. Pedoman Teknis Epidemiologi Malaria. Jakarta, 2007.
4.
Depkes RI, Ditjen. PP & PL, Dit. P2 B2. Pedoman Teknis Penemuan Penderita Malaria. Jakarta, 2007.
5.
Husaini, Fauzi. pemerintah Kalsel bagikan 11 ribu kelambu untuk cegah malaria. [online] 26 September 2011 [diakses tanggal 4 Mei 2012]; Diambil dari: URL: http://rri.co.id/index.php/detailberita/detail/1081.
6.
Kemenkes RI, Ditjen. PP dan PL, Dit. P2B2. Kebijakan Pengendalian Program Malaria. Jakarta, 2008.
7.
Laporan Bulanan Grafik dan Peta Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka tahun 2008 sampai dengan tahun 2011.
63