BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu
wilayah dari tahun-tahun sebelumnya. Jumlah penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta sampai tahun 2014 sebanyak 3.637.116 jiwa atau meningkat sebanyak 1,27% dari tahun 2010. Peningkatan jumlah penduduk terjadi seluruh wilayah kabupaten dan kota di DIY. Persentase laju pertumbuhan penduduk paling tinggi ada di Kabupaten Sleman (1,57%) dan paling rendah ada di Kota Yogyakarta (0,75%). Tingginya jumlah penduduk saat ini dapat diprediksi akan terus terjadi hingga tahun-tahun berikutnya. Dampak dari peningkatan jumlah penduduk adalah terjadinya peningkatan kebutuhan, seperti kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di DIY (Dalam Jiwa) Tahun No Kabupaten/Kota 2010 1 2 3 4 5
2011
2012
2013
Sleman 1.093.110 1.113.297 1.130.140 1.147.037 Bantul 911.503 927.846 941.414 955.015 Kulonprogo 388.869 393.796 397.639 401.450 Gunungkidul 675.382 682.670 688.135 693.523 Kota Yogyakarta 388.627 392.388 395.134 397.828 DIY 3.457.491 3.509.997 3.552.462 3.594.853 Sumber : BPS DIY, 2015 dan Pengolah Data
2014 1.163.970 968.632 405.222 698.825 400.467 3.637.116
Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 1,57 1,52 1,03 0,85 0,75 1,27
Seiring berjalannya waktu, kota akan selalu mengalami perkembangan. Perkembangan yang terjadi di kota lebih banyak pada kegiatan pembangunan fisik. Kota-kota akan mengalami perkembangan dari pusat dan melebar ke daerah pinggiran. Yogyakarta saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat di mana terdapat pusat pertumbuhan, seperti kampus, mall, serta pusat perbelanjaan
1
dan jasa. Dengan adanya pusat pertumbuhan tersebut akan mempengaruhi perkembangan di wilayah sekitarnya. Tabel 1.2 Luas Sawah Menurut Kabupaten/Kota di DIY (Dalam Ha) Tahun 2013
2014
Pengurangan Luas (%)
71 22.835 15.471 10.297 7.865 56.539
65 22.233 15.191 10.296 7.865 55.650
23,53 2,57 1,77 0,08 0,00 1,57
No Kabupaten/Kota 2010 1 2 3 4 5
2011
2012
Kota Yogyakarta 85 83 76 Sleman 22.819 22.786 22.642 Bantul 15.465 15.453 15.482 Kulonprogo 10.304 10.304 10.299 Gunungkidul 7.865 7.865 7.865 DIY 56.538 56.491 56.364 Sumber : BPS DIY 2011−2015 dan Pengolah Data
Kecenderungan tersebut akan mempengaruhi semakin banyaknya alih fungsi dari lahan pertanian menjadi non-pertanian pada wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta. Pada tabel 1.2, wilayah di DIY yang memiliki luas lahan sawah paling sedikit tetapi mengalami pengurangan luas paling tinggi dari tahun 2010−2015 adalah Kota Yogyakarta. Bila dilihat dari fungsi wilayahnya, Kota Yogyakarta sebagai pusat kegiatan di DIY sehingga di wilayah ini akan mengalami perkembangan yang lebih pesat dibandingkan dengan wilayah lain. Di urutan kedua, ada Kabupaten Sleman yang mengalami pengurangan luas lahan sawah tinggi. Hal ini diakibatkan wilayah di Kabupaten Sleman yang semakin berkembang. Contoh di Kecamatan Depok, Sleman, Mlati, dan Godean saat ini banyak berkembang permukiman, pusat pelayanan, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Kabupaten Bantul saat ini mulai berkembang terutama di wilayah pinggiran yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta, contoh di Kecamatan Kasihan, Sewon, dan Banguntapan. Alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Bantul disebabkan adanya dorongan pemenuhan kebutuhan manusia terkait tempat tinggal (Pewista, 2013). Berdasarkan RTRWP DIY No.2 Tahun 2010, Kabupaten Bantul diarahkan sebagai kawasan pertanian untuk lahan pertanian yang berkelanjutan. Alih fungsi lahan di pinggiran kota tentu saja akan
2
mempengaruhi ketersediaan lahan pertanian yang ada di Kabupaten Bantul itu sendiri. Petani dan lahan pertanian mengalami kondisi krisis, jumlah penduduk yang semakin meningkat dan lahan pertanian yang semakin berkurang. Penurunan luas lahan pertanian berdampak pada semakin kecilnya proporsi sektor pertanian dalam menopang kehidupan penduduk yang cenderung semakin meningkat. Kondisi inilah yang menyebabkan kondisi keluarga petani menjadi semakin tertekan (Sutaryono, 2013). Keadaan demikian menjadi sebuah ancaman bagi penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani yang ada di wilayah peri urban. Berbagai cara dilakukan oleh petani sebagai strategi penghidupan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga masing-masing. Luas lahan sawah yang berkurang mempengaruhi jumlah rumah tangga tani. Berdasarkan laporan hasil sensus pertanian oleh BPS, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Bantul dari tahun 2003−2013 mengalami penurunan sebesar 17,11%. Tahun 2003 jumlahnya sebesar 154.288 rumah tangga, namun di tahun 2013 jumlahnya menjadi 127.894 rumah tangga. Pengurangan jumlah rumah tangga tani ini dapat diakibatkan dari tidak adanya regenerasi dari petani ke anak-anaknya. Hal ini mempengaruhi kondisi sosial masyarakat yaitu adanya perubahan mata pencaharian dari pertanian ke non-pertanian. Diversifikasi mata pencaharian yang dilakukan adalah dari petani menjadi wirausaha maupun pedagang (Pewista, 2013). Dengan adanya anak laki-laki usia kerja menjadi modal manusia yang penting. Petani lebih menginvestasikan modal/aset manusianya (anak) untuk sekolah dibandingkan menjadi tenaga kerja pada kegiatan pertanian (Bhandari, 2013).
3
Tabel 1.3 Jumlah Usaha Pertanian Menurut Kabupaten/Kota dan Pelaku Usaha Tahun 2003 dan 2013
No Kabupaten/Kota
Rumah Tangga Usaha Pertanian
2003 2013 Kulonprogo 94.860 88.678 Bantul 154.288 127.894 Gunungkidul 174.190 166.330 Sleman 144.698 110.402 Yogyakarta 6.884 2.447 DIY 574.920 495.781 Sumber : Sensus Pertanian 2013 (BPS) 1 2 3 4 5
Perusahaan Pertanian Usaha Persentase Berbadan Hukum Persentase Pertanian Pengurangan (Perusahaan) Lainnya 2003 2013 6,52 4 3 25,00 8 17,11 7 2 71,43 52 4,51 7 10 42,86 6 23,70 23 4 82,61 22 64,02 3 1 66,67 2 13,77 44 20 54,55 90
Laju perubahan penggunaan lahan pertanian pinggiran kota berdampak negatif terhadap kehilangan pangan wilayah, ketersediaan pangan wilayah, dan prospek keberlanjutan usahatani pinggiran kota (Sudirman, dkk, 2010). Selain luas lahan pertanian semakin sempit, dampak yang diakibatkan dari adanya alih fungsi lahan pertanian adalah pengairan menjadi tidak lancar, banyak sampah, kawasan resapan air berkurang, selokan terganggu atau kotor, dan lingkungan sungai rusak (Sari, 2013).
1.2
Rumusan Masalah Suatu wilayah yang memiliki karakteristik dan potensi bervariasi dapat
memunculkan adanya interrelasi keruangan dan memicu wilayah tersebut untuk berkembang. Perkembangan wilayah yang tidak terkendali dapat memicu perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non-pertanian yang semakin besar. Perkembangan wilayah yang terjadi di Kota Yogyakarta tidak terlepas dari adanya pengaruh pertumbuhan penduduk setiap tahunnya dan menyebabkan peningkatan kegiatan. Peningkatan kegiatan penduduk ini tidak berbanding lurus dengan ketersediaan ruang di kota yang terbatas. Oleh sebab itu, dilakukan pengambilan ruang di daerah pinggiran (Yunus, 2008). Perkembangan yang terjadi di Kota Yogyakarta menyebabkan banyak dibangunnya fasilitas-fasilitas publik dalam rangka memenuhi kebutuhan
4
penduduk. Saat ini, perkembangan Kota Yogyakarta melebar hingga ke pinggiran kota, tak terkecuali di wilayah Kabupaten Bantul yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta. Dampak positif yang ditimbulkan dengan adanya perkembangan kota adalah memunculkan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah pinggiran kota. Adanya perkembangan kota menyebabkan banyak terjadinya alih fungsi dari lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian. Akibatnya, lahan pertanian mengalami pengurangan luas karena lahan yang ada telah banyak dilakukan alih fungsi menjadi permukiman dan bangunan lain. Alih fungsi lahan yang terjadi antardaerah tidak sama. Ada daerah yang mengalami tingkat perubahan penggunaan lahan yang tinggi dan ada daerah dengan tingkat perubahan penggunaan lahan yang rendah. Ketersediaan lahan pertanian di pinggiran Kota Yogyakarta yang semakin berkurang akan mengancam penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini antara lain : 1.
bagaimana ketersediaan dan kondisi lahan sawah di daerah yang mengalami pengurangan luas lahan sawah tinggi dan rendah?
2.
bagaimana kondisi komponen penghidupan petani (aset, akses, dan aktivitas) pada daerah yang mengalami pengurangan luas lahan sawah tinggi dan rendah?
3.
bagaimana strategi penghidupan yang dilakukan petani pada daerah yang mengalami pengurangan luas lahan sawah tinggi dan rendah?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat, maka penelitian ini memiliki
tiga tujuan : 1.
mengetahui ketersediaan dan kondisi lahan sawah di daerah yang mengalami pengurangan luas lahan sawah tinggi dan rendah.
2.
mengetahui komponen-komponen penghidupan petani terkait aset, akses, dan aktivitas sebagai bentuk strategi penghidupan pada daerah yang mengalami pengurangan luas lahan sawah tinggi dan rendah..
5
3.
mengetahui strategi penghidupan yang dilakukan oleh petani pada daerah yang mengalami pengurangan luas lahan sawah tinggi dan rendah.
1.4
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain : 1.
Teoritis : sebagai bentuk pengembangan dari ilmu Geografi yang mengkaji strategi penghidupan petani.
2.
Praktis : a.
memberikan pengetahuan kepada masyarakat terkait strategi penghidupan petani yang ada di daerah peri-urban.
b.
memberikan masukan kepada pemerintah terkait aturan alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bantul.
c.
1.5
menjadi referensi untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
Tinjauan Pustaka Pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peran penting dalam
pembangunan perekonomian di Indonesia. Pertanian dalam arti sempit adalah kegiatan bercocok tanam yang dilakukan di suatu wilayah. Saat ini pertanian tidak hanya terbatas pada tanaman yang menghasilkan bahan pokok saja sehingga berkembang definisi pertanian dalam arti luas. Pertanian dalam arti luas yaitu pertanian yang tidak hanya sekadar bercocok tanam, tetapi termasuk juga ada perikanan, peternakan, perkebunan, dan kehutanan (Banowati, 2013). Sebagai bentuk dari aktivitas manusia, pertanian memiliki beberapa karakteristik. Karakteristik tersebut antara lain memerlukan lahan yang luas, jenis usaha maupun potensi pertanian yang berbeda akan menghasilkan produktivitas pertanian yang berbeda, pertanian dipengaruhi oleh iklim atau musim sehingga kegiatan pertanian bersifat musiman, dan perkembangan zaman menyebabkan pertanian moderen akan selalu berubah. Orang yang bekerja di bidang pertanian atau bercocok tanam disebut petani.
6
Berdasarkan besaran nilai dan kontribusi sektor dalam PDRB tahun 20092012 atas dasar harga konstan dan harga berlaku, sektor pertanian memiliki nilai kontribusi paling besar di antara sektor lainnya (BAPPEDA, 2013). Pertanian di Kabupaten Bantul dapat berkembang karena bentuk lahan wilayah Bantul berupa dataran aluvial dari Gunung Merapi dengan berbagai jenis tanah yang tersebar di seluruh wilayah, seperti tanah rendzina, aluvial, grumosol, latosol, mediteran, regosol, dan litosol. Secara fisik, kabupaten ini memiliki ketinggian antara 0-500 meter di atas permukaan air laut dengan kemiringan lahan bervariasi, ada yang berupa dataran hingga berbentuk perbukitan curam. Luas lahan pertanian yang berupa sawah di Kabupaten Bantul adalah 15.482 ha (tahun 2012). Kondisi geografis yang berbeda menyebabkan potensi dan hasil pertanian antarwilayah menjadi berbeda. 1.5.1 Peri Urban Peri urban atau yang selanjutnya disebut wilayah peri urban merupakan wilayah yang mempunyai kenampakan kekotaan dan kedesaan. Antara kenampakan kekotaan dan kedesaan ini memiliki kondisi lingkungan yang sangat berbeda. Kota erat kaitannya dengan perkembangan fisik, sedangkan desa erat kaitannya dengan pertanian. Perbedaan inilah yang muncul pada wilayah peri urban. Yunus (2008) dalam bukunya menjelaskan wilayah peri urban menjadi perhatian penting karena dimungkinkan terjadi suatu bentuk dan proses perkembangan fisik kota yang bersifat negatif, seperti kondisi kota yang tidak tertata, permukiman kumuh perkotaan, serta dampak dari kemiskinan. Akibatnya, kondisi kehidupan di perkotaan menjadi tidak nyaman dan dapat mempengaruhi kualitas penghuninya. Wilayah peri urban juga berbatasan dengan wilayah perdesaan di mana masyarakatnya sebagian besar masih menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Lahan pertanian di perdesaan masih tergolong tinggi sehingga menjadi tumpuan hidup masyarakatnya. Namun di sisi lain, wilayah peri urban menjadi sasaran dari adanya perkembangan kota yang dapat mengakibatkan hilangnya lahan pertanian, menurunnya produktivitas pertanian, menurunnya komitmen
7
petani terhadap lahan maupun kegiatan pertaniannya, hilangnya bidang pekerjaan pertanian, serta ketidaksiapan petani masuk ke sektor non-pertanian ketika atmosfir kedesaan benar-benar hilang. Wilayah peri urban dapat dikenali dari berbagai segi. Pertama, segi fisik, wilayah peri urban dapat dikenali dari batas terluar lahan terbangun kota (nonagraris) sampai ke wilayah yang ditandai oleh bentuk pemanfaatan lahan agraris. Wilayah peri urban memiliki kenampakan yang kompleks di mana terdapat percampuran bentuk pemanfaatan lahan agraris dan non-agraris. Semakin mendekati kota, maka kenampakan fisik lahan terbangun semakin banyak. Begitu sebaliknya, semakin menjauh dari kota, maka intensitas kenampakan fisiknya semakin berkurang. Kedua, dari segi sosial ekonomi, wilayah peri urban dapat dikenali dari aktivitas masyarakatnya yang memanfaatkan moda transportasi untuk bekerja atau melakukan kegiatan ke kota. Mereka pada umumnya datang ke kota pada pagi hari dan kembali pada sore hari. Dampak perambatan urban sprawl (kenampakan kekotaan) yang semakin mengarah ke wilayah peri urban atau pinggiran kota terus terjadi seiring dengan adanya pertambahan jumlah penduduk kota. Dengan adanya pertambahan jumlah penduduk kota, maka bertambah pula tuntutan terhadap penambahan ruang di wilayah peri urban untuk tempat tinggal maupun ruang kegiatan penduduk (Yunus, 2008). Ketika jumlah penduduk perkotaan semakin padat, akan memberikan dampak pada kebutuhan permukiman yang mengubah lahan pertanian produktif menjadi hunian dan industri di pinggiran kota. Jumlah penduduk pedesaan yang berkurang menyebabkan pertanian menjadi kurang diminati karena masyarakat telah melakukan diversifikasi pekerjaan ke non-pertanian. Kondisi pinggiran kota yang terjadi pembangunan terus menerus akan berpotensi untuk berkembang menjadi kota, yaitu dengan kemunculan pusat-pusat pertumbuhan baru di pinggiran kota. 1.5.2 Lahan Pertanian Lahan pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian. Saat ini pertanian tidak hanya terbatas pada pertanian yang
8
berhubungan dengan tanaman padi saja, tetapi perikanan, peternakan, perkebunan, dan kehutanan juga termasuk di dalamnya. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2009 menjelaskan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Perlindungan untuk lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan pada lahan pertanian pangan maupun lahan cadangan pertanian terhadap lahan pertanian pangan dan lahan yang ada di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan yang ditetapkan. Pada pertanian, dikenal adanya lahan pertanian dan lahan non-pertanian. Lahan pertanian dibagi menjadi dua, yaitu lahan sawah dan lahan non-sawah. Sedangkan lahan non-pertanian adalah penggunaan lahan untuk kegiatan nonpertanian, seperti untuk rumah, bangunan, hutan negara, rawa-rawa yang tidak ditanami, dan lain-lain. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang telah dibagi menjadi beberapa petak dan digunakan untuk kegiatan pertanian. Lahan sawah masih dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan sistem irigasi, seperti lahan sawah irigasi teknis, setengah teknis, irigasi sederhana, irigasi desa/non-PU, dan lahan sawah non-irigasi. Sedangkan lahan bukan sawah umumnya digunakan untuk tegalan/kebun, ladang/huma, perkebunan, hutan rakyat, tambak, kolam, padang penggembalaan, dan lahan sementara yang tidak diusahakan. 1.5.3 Alih Fungsi Lahan Pada umumnya alih fungsi lahan banyak terjadi dari lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian. Perubahan fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian lebih banyak digunakan sebagai kawasan perumahan, industri, perkantoran, jalan, dan fasilitas publik lainnya (Irawan, 2005). Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian
menjadi
lahan
non-pertanian.
Pertama,
faktor
kependudukan.
Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan, seperti hunian, jasa, industri maupun fasilitas publik lainnya.
9
Kedua, terkait kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian tersebut yang memerlukan lahan dengan luasan yang cukup besar. Lokasi pembangunan yang ada di pinggiran dengan harga lahan yang relatif murah dan didukung adanya fasilitas publik, menyebabkan alih fungsi lahan banyak terjadi. Ketiga, faktor ekonomi. Saat ini, nilai yang dihasilkan dari sektor nonpertanian lebih besar dibanding dari sektor pertanian. Biaya produksi yang tinggi dan harga hasil produksi pertanian yang rendah dan tidak stabil membuat petani tidak memiliki pilihan lain selain menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Keempat, adanya faktor sosial budaya. Keberadaan hukum waris menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan pertanian. Faktor kelima adalah akibat adanya degradasi lingkungan yang menyebabkan produktivitas pertanian menurun. Keenam, keberadaan sistem otonomi daerah yang lebih mengutamakan pembangunan pada sektor jangka pendek dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga kepentingan jangka panjang dan kepentingan nasional kurang diperhatikan. Faktor terakhir adalah lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum terhadap aturan mengenai alih fungsi lahan. 1.5.4 Strategi Penghidupan Ada banyak ahli yang mengungkapkan konsep mengenai strategi penghidupan (livelihood). Frank Ellis dalam bukunya Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries (2000) menjelaskan bahwa penghidupan meliputi aset, aktivitas, dan akses untuk mendapatkannya. Ellis menjelaskan ada lima aset dalam penghidupan, yaitu modal alam, modal fisik, modal manusia, modal finansial, dan modal sosial. Dalam aspek akses, peran institusi dan lembaga sosial adalah bersama-sama mengembangkan masyarakat sesuai dengan fokus perhatiannya. Chambers and Conway (dalam Baiquni, 2007), menyebutkan pengertian penghidupan adalah A livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activity required for a means of living. A livelihood is sustainable when it can cope with recover from stresses and schocks and maintain or enhance its capabilities and assets
10
both now and in the future, while not undermining the natural resource base (1992:7) Berdasarkan pernyataan di atas, Chambers dan Conway menjelaskan bahwa dalam penghidupan membandingkan antara kapabilitas, aset (baik aset fisik maupun aset sosial), serta aktivitas dalam menjalani kehidupan. Scoones (dalam Baiquni, 2007) mengemukakan bahwa pengertian penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) memiliki keterkaitan dengan isu kemiskinan dan lingkungan. Ada lima elemen penting dalam penghidupan, yaitu penciptaan peluang kerja, penanggulangan kemiskinan, kapabilitas, adaptasi, dan keberlanjutan sumber daya alam. Penciptaan peluang kerja adalah menciptakan kerja secara optimal dengan mengkombinasikan berbagai strategi penghidupan, baik bidang pertanian maupun non-pertanian yang merupakan bagian dari sistem tenaga bayaran atau produksi dalam mencukupi kebutuhan. Penanggulangan kemiskinan merupakan aspek penting karena kemiskinan perlu dipandang adanya kemerosotan kapabilitas (Sen dalam Baiquni, 2007). Kapabilitas adalah bagaimana manusia dapat melakukan suatu hal dengan menggunakan kemampuannya. Adaptasi erat kaitannya dengan kerentanan dan pemulihan sehingga diartikan sebagai kemampuan menyesuaikan diri terhadap waktu dan perubahan. Dalam keadaan rentan, tekanan dan gangguan akan membuat keadaan menjadi sulit namun ada kemampuan untuk melakukan pemulihan keadaan. Elemen keberlanjutan sumber daya alam merupakan sistem untuk mengelola sumber daya berdasarkan batasan dan daya dukung yang ada supaya nantinya sumber daya alam ini dapat terus berlangsung. DFID (Departmen for International Development, 1999) merumuskan enam konsep inti terkait pendekatan penghidupan (livelihoods approach) dalam buku Sustainable Livelihoods Guidence Sheets, yaitu : a.
menempatkan masyarakat sebagai pusat pembangunan karena dianggap masyarakat lebih memahami permasalahan yang dihadapi dan alternatif solusinya. 11
b.
semua aspek kehidupan saling terkait satu sama lain (holistik).
c.
penghidupan dan kehidupan masyarakat bersifat dinamis karena masyarakat dan kelembagaannya selalu berubah sehingga perlu adanya proses belajar.
d.
kemampuan yang dimiliki masyarakat perlu ditingkatkan supaya masyarakat dapat menentukan langkah sendiri dalam usahanya mencapai cita-cita.
e.
macro-micro links sangat diperlukan untuk menjembatani masyarakat dengan pihak luar seperi kebijakan pemerintah atau pengaruh kecenderungan makro.
f.
perhatian dalam penghidupan terkait keberlanjutan menjadi hal tidak dapat dilupakan karena kita tidak hanya berorientasi masa sekarang tetapi memikirkan kepentingan generasi selanjutnya.
Berdasarkan uraian di atas, strategi penghidupan adalah pilihan yang dipengaruhi oleh aset, akses, dan aktivitas serta kapasitas seseorang atau rumah tangga untuk melakukannya. Scoones (dalam Baiquni 2007) menyebutkan ada tiga strategi penghidupan, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, diversifikasi pertanian dan non-pertanian, serta migrasi. Dalam penghidupan petani, White (Baiquni, 2007) membedakan strategi penghidupan rumahtangga petani menjadi tiga macam tipologi : 1.
rumah tangga strategi survival, umumnya merupakan rumah tangga miskin atau marjinal. Lahan dan modal yang dimiliki sempit dan terbatas. Pendapatan rumah tangga ini sangat kecil, tidak mencukupi kebutuhan sehingga mereka lebih memaksimalkan pemanfaatan tenaga yang dimiliki. Kondisi fisik rumah yang dimiliki rumah tangga survival sangat sederhana. Umumnya petani ini memiliki lahan pertanian dengan luas yang sangat sempit atau menjadi petani gurem maupun menjadi buruh tani/bangunan.
12
Sutaryono (2013) juga menyebutkan ada beberapa strategi survival petani, yaitu intensifikasi usaha pertanian, ekstensifikasi usaha pertanian, diversifikasi lapangan kerja, dan keluar dari sektor pertanian. Strategi intensifikasi usaha pertanian dilakukan oleh petani setelah melihat adanya keterbatasan lahan pertanian yang dikuasai menjadikan pemanfaatannya cenderung lebih intensif. Di wilayah dengan lahan relatif subur dan prasarana irigasi baik, intensifikasi dilakukan melalui pola tanam yang ketat dan pemanfaatan ruang yang maksimal. Intensifikasi melalui optimalisasi pemanfaatan lahan yang tersedia dilakukan melalui sistem tumpangsari dan penanaman pada pematang sawah atau dinding lahan pertanian. Ekstensifikasi atau perluasan lahan pertanian terjadi pada wilayah yang memiliki ketersediaan lahan untuk diusahakan. Strategi ini dapat dilakukan dengan membeli lahan, menyewa lahan, ataupun mengerjakan lahan milik orang lain kemudian menerapkan sistem bagi hasil. Diversifikasi lapangan pekerjaan tidak hanya terbatas pada petani saja, tetapi juga pada anggota keluarga petani yang lainnya. Diversifikasi lapangan kerja ini dilakukan dengan mengambil pekerjaan di luar pekerjaan utama sebagai petani, seperti sebagai buruh, tukang, beternak, membuka warung, atau sebagai pedagang di pasar. Keluar dari sektor pertanian merupakan pilihan terakhir ketika tidak adanya pilihan lain. Meskipun demikian, sesulit apapun keadaan yang dihadapi oleh petani, petani tersebut akan tetap berusaha mempertahankan pekerjaan sebagai petani walaupun dirasa berat. 2.
rumah tangga strategi konsolidasi, aset lahan dan modal yang dimiliki tergolong cukup untuk memenuhi kebutuhan. Pendapatan yang diperoleh relatif tinggi dan terkadang memiliki diversifikasi pertanian dan nonpertanian yang dapat dijadikan pendapatan tambahan. Semua kebutuhan pokok dan tersier dapat tercukupi bahkan pengeluaran untuk kebutuhan tersier lebih banyak dibandingkan kebutuhan primer. Rumah tangga tipe
13
ini telah mampu mengembangkan diri dan berkonsolidasi dengan memanfaatkan sumber daya untuk tujuan jangka menengah dan panjang. 3.
rumah tangga strategi akumulasi, adalah rumah tangga yang memiliki tingkatan paling tinggi di antara tipe rumah tangga petani lainnya. Berdasarkan ekmampuan yang dimiliki, mereka mampu meningkatkan kesejahteraan. Kegiatan produktif ditujukan untuk jangka panjang dalam usahanya memperluas akses sumber daya.
1.5.5 Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang strategi penghidupan telah banyak dilakukan sebelumnya karena adanya pengaruh trend (kecenderungan) atau seasonality (musim) terhadap fenomena kehidupan saat ini, baik fenomena fisik maupun fenomena sosial yang ada tengah masyarakat. Luthfi Muta’ali tahun 2004 melakukan penelitian mengenai kajian eksistensi wanita tani di daerah perkotaan dengan mengambil studi kasus pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi dan peran wanita tani di Kota Yogyakarta. Lokasi penelitian di Desa Pandeyan dan Desa Giwangan. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa konversi lahan pertanian terjadi pada petak-petak kecil, bersifat menyebar, dan semakin mendekati perkotaan semakin banyak. Akibatnya terjadi perubahan perilaku wanita tani, terkait perubahan pekerjaan, curahan jam kerja, dan pendapatan. Wanita tani yang berstatus sebagai pemilik lahan memiliki kemampuan adaptasi paling tinggi, namun mereka terdesak di sektor pinggiran (kerja serabutan). Daya adaptasi dan daya juang wanita tani dipengaruhi oleh kepemilikian modal, status pekerjaan suami, tingkat pendidikan atau keterampilan. Cobbinah dkk, pernah melakukan penelitian mengenai morfologi daerah pinggiran dan penghidupan di daerah Feyiase, Ghana. Perkembangan Feyiase yang cepat membawa dampak positif dan negatif bagi mata pencaharian masyarakatnya. Dampak negatifnya antara lain produksi pertanian, kebutuhan untuk kelangsungan hidup, kepemilikan lahan, peningkatan alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman, lembaga perencanaan yang lemah, dan
14
ketersediaan ruang terbuka yang kurang. Dampak negatif tersebut sangat mempengaruhi kelangsungan hidup masyarakat. Bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian, faktor usia, tingkat pendidikan, dan keterbatasan keterampilan yang dimiliki mendorong mereka untuk melakukan diversifikasi mata pencaharian. Penelitian Bhandari tahun 2015 di Lembah Chitwan, Nepal, menunjukkan hasil bahwa modal/aset manusia, alam, ekonomi, dan sosial berpengaruh terhadap keputusan transisi penghidupan masyarakat pedesaan di Nepal. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi rumah tangga tani menggeser penghidupannya dari kegiatan pertanian ke non-pertanian, antara lain adanya anak laki-laki usia kerja menjadi modal manusia yang penting; peningkatan pelayanan pendidikan (sekolah), kesehatan, bank, koperasi, dan transportasi (bus) yang mampu menyediakan lapangan kerja sehingga masyarakat terdorong untuk keluar dari kegiatan pertanian; penguasaan lahan pertanian yang kecil; dan ketika musim kemarau yang parah membuat petani beralih pada kegiatan non-pertanian. Perbedaan
penelitian
yang
dilakukan
terhadap
penelitian-penelitian
sebelumnya adalah mengkaji strategi penghidupan petani peri urban akibat adanya pengurangan luas lahan sawah. Metode penelitian yang digunakan yaitu mixedmethod sedangkan metode samplingnya menggunakan purposive sampling. Tabel 1.4 menunjukkan perbandingan penelitian sebelumnya dan penelitian yang dilakukan.
15
Tabel 1.4 Penelitian Sebelumnya No 1.
Judul Kajian Eksistensi Wanita Tani Di Daerah Perkotaan Studi Kasus Pengaruh Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Perubahan Kondisi Sosial Ekonomi Dan Peran Wanita Tani Di Kota Yogyakarta
Pengarang Luthfi Muta’ali (2004)
Lokasi Di Desa Pandeyan dan Desa Giwan gan
2.
Peri-urban Morphology and Indigenous Livelihoods in Ghana
Patrick Brandful Cobbinah, Eric Gaisie, dan Lucia OwusuAmponsah (2015)
Daerah Feyiase (pinggiran kota Kumasi, Ghana)
1.
3.
Rural Livelihood Change? Household Capital, Community Resources and Livelihood Transition
Prem B. Bhandari (2013)
Lembah Chitwan, selatan Ibukota Nepal
1. Mengetahui kontribusi modal manusia, alam, ekonomi, sosial, dan fisik terhadap perubahan penghidupan rumah tangga
1.
2.
3.
Tujuan Karakteristik alih fungsi lahan pertanian di perkotaan. Karakteristik sosial-ekonomi wanita tani. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola perubahan kehidupan Aspek-aspek yang mempengaruhi penghidupan masyarakat
• •
Metode Metode deskriptifevaluatif Teknik penelitian adalah metode survei
Metode gabungan wawancara, survei rumah tangga
Metode survei
Hasil Karakteristik konversi lahan pertanian adalah terjadi pada petak-petak kecil, menyebar, dan semakin mendekati perkotaan semakin banyak. Konversi lahan pertanian mengakibatkan adanya perubahan perilaku wanita tani, terkait perubahan pekerjaan, curahan jam kerja, dan pendapatan. Wanita tani yang berstatus sebagai pemilik lahan memiliki kemampuan adaptasi paling tinggi, namun mereka terdesak di sektor pinggiran (kerja serabutan). Daya adaptasi dan daya juang wanita tani dipengaruhi oleh kepemilikian modal, status pekerjaan suami, tingkat pendidikan atau keterampilan.
Perkembangan Feyiase yang cepat membawa dampak positif dan negatif bagi mata pencaharian masyarakatnya. Dampak negatifnya antara lain produksi pertanian, kebutuhan untuk kelangsungan hidup, kepemilikan lahan, peningkatan alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman, lembaga perencanaan yang lemah, dan ketersediaan ruang terbuka yang kurang. Dampak negatif tersebut sangat mempengaruhi kelangsungan hidup bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian, faktor usia, tingkat pendidikan, dan keterbatasan keterampilan yang dimiliki mendorong mereka untuk melakukan diversifikasi mata pencaharian. Modal/aset manusia, alam, ekonomi, dan sosial berpengaruh terhadap keputusan transisi penghidupan masyarakat pedesaan di Nepal. Hal-hal yang mempengaruhi rumah tangga tani menggeser penghidupannya dari kegiatan pertanian ke nonpertanian antara lain: a. adanya anak laki-laki usia kerja menjadi modal manusia yang penting. Petani lebih menginvestasikan modal/aset
16
tani.
4.
5.
Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani Perkotaan Di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY Strategi Penghidupan Petani Peri Urban di Kabupaten Bantul
Luki Aprilia (2014)
Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman
Marcelina Dian C (2015)
Desa Ngestiharj o Kecamatan Kasihan dan Desa Jambidan Kecamatan Banguntap an
1. Pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap pendapatan petani dan kondisi sosial ekonomi. 1. Ketersediaan dan kondisi lahan sawah di daerah kajian 2. Kondisi komponen penghidupan petani (aset, akses, dan aktivitas) 3. Strategi penghidupan petani
Metode survei
1. Mixed method 2. Metode sampling purposive sampling 3. Metode analisis data deskriptif
manusianya (anak) untuk sekolah dibandingkan menjadi tenaga kerja pada kegiatan pertanian. b. peningkatan pelayanan pendidikan (sekolah), kesehatan, bank, koperasi, dan transportasi (bus) yang mampu menyediakan lapangan kerja sehingga masyarakat terdorong untuk keluar dari kegiatan pertanian. c. enguasaan lahan pertanian yang kecil. d. pada kegiatan pertanian, ketika musim kemarau yang parah, membuat petani beralih pada kegiatan nonpertanian. Kegiatan alih fungsi lahan berdampak pada perubahan mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke non pertanian. Lahan pertanian dialihfungsikan menjadi permukiman dan tempat usaha. Pendapatan yang diperoleh penduduk setelah dilakukan alih fungsi lahan menjadi lebih tinggi bila dibandingkan sebelum mengalihfungsikan lahannya.
1. 2.
3.
Di Desa Ngestiharjo dan Jambidan masih tersedia lahan sawah Komponen penghidupan yang dimiliki petani berbeda-beda. Variasi tingkat pendidikan petani; keterampilan bertani yang; penguasaan lahan sawah antara 1000−2500 meter 2; memiliki penghasilan di luar sektor pertanian (diversifikasi); kondisi rumah yang layak huni; memiliki kendaraan mulai dari sepeda, motor, mobil pribadi, pick up, hingga truk; barang elektronik seperti TV, radio, kulkas, magic jar, mesin cuci, komputer/laptop, HP, VCD; alat pertanian yaitu cangkul, sabit, gosrok, perontok padi, dan penggiling beras; ada yang memiliki jabatan; adanya organisasi desa; serta rasa gotong royong yang tinggi. Kondisi luas lahan sawah yang semakin menurun membuat petani melakukan diversifikasi mata pencaharian untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
17
1.6
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, terdapat
beberapa pertanyaan penelitian : 1.
Berapa luas lahan sawah di Desa Ngestiharjo dan di Desa Jambidan tahun 2015?
2.
Bagaimana kondisi lahan sawah di Desa Ngestiharjo dan Desa Jambidan saat ini untuk mendukung kegiatan pertanian? a.
Luas lahan sawah
b.
Jenis tanah
c.
Sumber pengairan
d.
Produktivitas padi
e.
Pengelolaan lahan sawah
f.
Permasalahan pertanian
3. Apa saja komponen-komponen kehidupan yang dimiliki oleh petani di Desa Ngestiharjo dan di Desa Jambidan kajian terkait strategi penghidupan yang mereka lakukan? a.
Aset : Manusia, alam, fisik, finansial, dan social
b.
Akses
c.
Aktivitas
4. Bagaimana strategi penghidupan yang dilakukan petani peri urban di Desa Ngestiharjo dan di Desa Jambidan, di mana dua desa tersebut mengalami pengurangan luas lahan sawah tinggi dan rendah?
1.7
Kerangka Pemikiran Adanya peningkatan jumlah penduduk di Kota Yogyakarta, menyebabkan
terjadinya peningkatan kegiatan di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan Kota Yogyakarta sebagai pusat kegiatan DIY. Peningkatan kegiatan penduduk ini tidak berbanding lurus dengan ketersediaan ruang di kota yang terbatas. Oleh sebab itu, dilakukan pengambilan ruang di daerah pinggiran (Yunus, 2008). Saat ini perkembangan Kota Yogyakarta melebar hingga ke daerah pinggiran, seperti yang terjadi di Kabupaten Bantul. Akibatnya, banyak alih fungsi
18
lahan pertanian menjadi non-pertanian. Ada wilayah
yang mengalami
pengurangan luas lahan sawah tinggi dan rendah. Penelitian ini mengambil dua lokasi, yaitu desa yang mengalami pengurangan luas lahan tinggi dan rendah. Dua desa tersebut dipilih berdasarkan hasil perhitungan pengurangan luas lahan sawah dari tiga kecamatan di Kabupaten Bantul yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta (Kecamatan Kasihan, Sewon, dan Banguntapan). Penurunan luas lahan pertanian ini berpengaruh terhadap hilangnya mata pencaharian petani (Isa, 2004). Petani adalah orang yang bekerja di sektor pertanian. Dalam penghidupan, terdapat tiga komponen, yaitu aset, aktivitas, dan akses (Ellis, 2000). Ellis menjelaskan ada lima aset dalam penghidupan, yaitu modal alam, modal fisik, modal manusia, modal finansial, dan modal sosial. Modal/aset manusia, alam, ekonomi, dan sosial berpengaruh terhadap keputusan transisi penghidupan masyarakat pedesaan (Bhandari, 2013). Sedangkan dalam aspek akses, peran institusi dan lembaga sosial adalah bersama-sama mengembangkan masyarakat sesuai dengan fokus perhatiannya. Dari ketiga komponen penghidupan ini selanjutnya dapat menentukan strategi penghidupan yang dilakukan oleh petani, terutama melihat kondisi di mana lahan sawah di wilayahnya berkurang tinggi dan rendah. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat lebih ringkas pada Gambar 1.1.
19
Perkembangan Kota Yogyakarta
Peri Urban Kota Yogyakarta
Alih Fungsi Lahan Sawah
Lahan Sawah Berkurang Tinggi
Lahan Sawah Berkurang Rendah
Petani
Komponen Penghidupan
Aset
Modal Manusia Modal Alam Modal Finansial Modal Fisik Modal Sosial
Akses
Aktivitas
Institusi Lembaga Sosial
Strategi Penghidupan
Gambar 1.1 Grafik Kerangka Pemikiran
20