1
Laporan Penelitian
Korelasi antara pengukuran tinitus secara subjektif dan objektif pada pasien tinitus subjektif Eka Dian Safitri, Jenny Bashiruddin, Widayat Alviandi*, Saptawati Bardosono** *Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia **Medical Research Unit (MRU) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta - Indonesia
ABSTRAK Latar belakang: Telinga berbunyi atau tinitus merupakan keluhan yang sering dijumpai dalam praktek dokter THT sehari-hari. Penyebab tersering adalah kerusakan pada koklea. Tinitus dapat memberikan pengaruh dalam berkonsentrasi menimbulkan perasaan cemas dan depresi, sehingga mengganggu kualitas hidup penderita. Salah satu komponen tinitus yang merupakan masalah bagi pasien adalah kekerasan tinitus. Kekerasan tinitus dapat diukur secara subjektif dengan menggunakan skala Klockhoff dan Lindblom (KL) dan visual analogue scale (VAS), sedangkan secara objektif dengan metode matching menggunakan alat audiometer. Tujuan: Mengetahui korelasi antara pengukuran kekerasan tinitus secara objektif dan subjektif pada pasien tinitus subjektif. Metode: Penelitian analitik korelasi menggunakan desain potong lintang, melihat korelasi antara hasil pengukuran audiometris kekerasan tinitus menggunakan metode matching dengan persepsi subjektif menggunakan skala KL dan VAS, tanpa adanya kelainan pada pemeriksaan otoskopi maupun timpanometri. Hasil pemeriksaan penala serta audiometri nada murni memiliki ambang dengar normal atau tuli sensorineural. Hasil: Kekerasan tinitus berdasarkan skala KL terbanyak adalah KL derajat II (75%). Nilai rata-rata skor VAS 4,94 (2,23) cm. Nilai tengah intensitas tinitus 35,5 (18-87) dBHL. Uji korelasi non-parametrik Spearman antara hasil pengukuran intensitas tinitus dengan metode matching dengan skala KL r=0,45, p=0,01. Korelasi antara hasil pengukuran intensitas tinitus dengan kekerasan tinitus berdasarkan skor VAS r=0,04, p=0,83. Kesimpulan: Kuantifikasi kekerasan tinitus melalui cara subjektif dan objektif sama pentingnya dalam rangka tata laksana pasien dengan keluhan tinitus, sehingga harus dilakukan secara bersamaan dan menyeluruh. Kata kunci: tinitus, intensitas tinitus, Klockhoff dan Lindblom, visual analogue scale, metode matching tinitus
ABSTRACT
2
Background: Tinnitus is a common problem encountered in daily otorhinolaryngology practices. Major etiology of tinnitus is cochlear damage. Intensity of tinnitus can be subjectively measured by Klockhoff and Lindblom (KL) scale and also visual analogue scale (VAS). It can also be objectively measured by matching method with audiometer. Purpose: To find the correlation between objective intensity and subjective perception of tinnitus in patients with subjective tinnitus. Method: Analyticcorrelation research with cross sectional method is used to see correlation between intensity of tinnitus measured objectively by matching method using audiometry with subjective measurement by KL scale and VAS. Participants had no otoscopic or timpanometric disorder. Participants also had normal or sensorineural hearing loss in tuning fork test and pure tone audiometry. Result: Most intensity of tinnitus was found on stage II of KL scale (75%). Average score of VAS was 4.94 (2.23) cm. Median score of intensity of tinnitus was 35.5 dBHL (18-87). Spearman correlation non-parametric test between intensity of tinnitus measured with matching method with KL scale was r=0.45, p=0.01. Correlation between intensity of tinnitus measured with matching methods with VAS was r=0.04, p=0.83. Conclusion: Quantity of tinnitus loudness with subjective and objective measurement has the same importance in management of patient with tinnitus. Therefore, a comprehensive management should be performed to tinnitus patient. Key words: tinnitus, intensity of tinnitus, Klockhoff and Lindblom scale, visual analogue scale, tinnitus matching method Alamat korespondensi: Eka Dian Safitri, Divisi Neurotologi Departemen THT FKUI-RSCM. Jl. Diponegoro 71, Jakarta. E-mail:
[email protected]
perasaan cemas dan depresi, sehingga
PENDAHULUAN Telinga berbunyi atau tinitus merupakan keluhan yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari sebagai dokter THT. Definisi tinitus adalah suatu persepsi auditori dalam mendengarkan bunyi tanpa adanya bunyi
yang
nyata.1-6
Tinitus
sumber dapat
memberikan masalah yang serius bagi penderita
karena
dapat
memberikan
pengaruh dalam berkonsentrasi, memberikan
mengganggu
kualitas
hidup
penderita.
McFadden pada tahun 1982 seperti yang dikutip oleh Jastreboff,1 melaporkan sekitar 40
juta
mengalami
penduduk tinitus
Amerika dan
10
Serikat jutanya
mengalami masalah yang serius akibat tinitus tersebut. Perbandingan angka yang sama dilaporkan juga oleh Cole pada tahun 1987 pada penelitiannya di London.2
3
Secara umum, WHO mengklasifikasikan suatu
penyakit
atau
menjadi
hanya terdengar pada lingkungan yang sepi;
kelompokan penyakit atau keluhan yang
derajat II, apabila tinitus terdengar dalam
mengakibatkan
impairment
kondisi lingkungan sehari-hari, namun bunyi
(gangguan), disability (ketidakmampuan)
tersebut dapat hilang atau dapat diabaikan
dan handicap (kecacatan). Impairment atau
dengan bunyi lingkungan yang ramai dan
gangguan adalah suatu gangguan fisiologi
tidak mengganggu proses tidur; derajat III,
atau psikofisikal yang dapat diukur atau
apabila tinitus terdengar pada semua kondisi
diketahui
lingkungan,
kondisi
baik
laboratorium
keluhan
derajat, yaitu: derajat I, apabila bunyi tinitus
dari
hasil
atau
pemeriksaan
klinis.
Dalam
tidak
dapat
hilang
atau
diabaikan dan mengganggu proses tidur.8
hubungannya dengan tinitus, maka contoh
Di RSCM, pasien dengan keluhan bunyi
dari kondisi impairment adalah kekerasan
di telinga hampir setiap hari kita jumpai.
atau intensitas tinitus, frekuensi tinitus dan
Dalam data kunjungan pasien yang datang
sensitivitas pendengaran. Disability atau
ke poli Neurotologi THT RSCM dari bulan
ketidakmampuan adalah efek dari gangguan
Desember 2007 sampai dengan Juli 2008,
tersebut sebagai contoh timbulnya keluhan
didapati 164 kasus pasien datang dengan
gangguan
keluhan tinitus. Namun hingga saat ini, data
pendengaran
akibat
tinitus,
sedangkan handicap atau kecacatan adalah
yang
efek yang ditimbulkan di luar organ yang
derajat kekerasan dan gangguan akibat
terganggu,
gangguan
tinitus pada pasien yang berobat ke RSCM
pendengaran yang mengakibatkan gangguan
belum ada. Pengukuran intensitas tinitus
sosial dan psikis.7
baik secara objektif dan subjektif belum
misalnya
adanya
Kekerasan atau intensitas bunyi tinitus itu
sendiri
subjektif secara
dapat diukur,
maupun objektif
objektif. dengan
menunjukkan
karakteristik
tinitus
pernah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini
baik secara
adalah untuk mengetahui hasil pengukuran
Pengukuran
kekerasan tinitus secara objektif dengan
menggunakan
metode matching dan subjektif melalui skala
secara
KL dan VAS, serta korelasi antara kedua
subjektif dapat menggunakan skala dari
pengukuran tersebut sehingga dapat menjadi
Klockhoff dan Lindblom (KL) atau skor
salah satu modalitas dalam menangani
metode
visual
matching,
analogue
sedangkan
scale
(VAS).
Pada
klasifikasi KL, tinitus dibagi menjadi tiga
pasien dengan keluhan tinitus.
4
subjektif dilakukan sebanyak dua kali
METODE Penelitian analitik
ini
korelasi
merupakan
penelitian
menggunakan
desain
potong lintang, untuk melihat korelasi antara hasil
pengukuran
kekerasan
tinitus
menggunakan metode matching dan skala subjektif pada 28 pasien tinitus subjektif di poli neurotologi THT RSCM. Semua pasien berusia di atas 18 tahun dengan deskripsi tinitus berupa tonal maupun non-tonal, tanpa adanya kelainan pada pemeriksaan otoskopi maupun timpanometri dan dari hasil pemeriksaan penala, serta audiometri nada murni memiliki ambang dengar normal
Pada penelitian ini seluruh percontoh evaluasi
karakteristik
tinitus,
secara subjektif dan objektif yang dikenal dengan istilah psikoakustik tinitus. Evaluasi tinitus secara subjektif dengan menggunakan skala KL I sampai dengan KL III, serta skor VAS. Skor VAS yang digunakan untuk menilai kekerasan tinitus dengan cara menggunakan garis sepanjang 10 cm dengan skala 0 cm menunjukkan kekerasan tinitus yang pelan, serta skala 10 cm menunjukkan kekerasan
tinitus
dan
sesudah
pengukuran
psikoakustik tinitus. Penilaian
tinitus
secara
objektif
menggunakan alat audiometer klinik dengan metode matching. Stimulus diberikan pada telinga sisi kontralateral dari sisi tinitus. Jika tinitus
bilateral,
maka
telinga
yang
mengalami keluhan lebih berat dianggap sebagai sisi tinitus. Pemeriksaan tinitus meliputi
pengukuran
frekuensi
(pitch
matching) tiap ½ oktaf dan intensitas (loudness matching) dengan peningkatan tiap 1 dB. Hasil pengukuran frekuensi tinitus dalam satuan Hertz (Hz) dan intensitas
atau tuli sensorineural.
dilakukan
sebelum
yang
sangat
keras.
Selanjutnya pasien diminta untuk mengukur sendiri kekerasan tinitus yang dirasakannya, dengan memberi tanda berupa garis vertikal pada garis tersebut. Pengukuran secara
dalam satuan dBHL. Semua data penelitian dicatat dalam formulir yang telah ditentukan. Dilakukan pengeditan dan pengkodean data untuk kemudian dimasukkan dan diolah dengan bantuan komputer menggunakan perangkat lunak SPSS 11.5. Data
skala
kategorik
nominal
dan
ordinal akan disajikan sebagai sebaran frekuensi (n, %), yaitu dalam jumlah dan persentase.
Data
skala
numerik
akan
dilakukan uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk. Data dikatakan berdistribusi normal jika p>0,05. Jika nilai p>0,05, maka data akan dilakukan uji korelasi parametrik
5
Pearson, dan jika p<0,05, akan dilakukan uji
pendengarannya sangat terganggu akibat
korelasi non-parametrik Spearman.
adanya tinitus tersebut. Pada tabel 1 terdapat hasil pengukuran
HASIL
ambang dengar telinga sisi tinitus dan
Hasil penelitian ini didapatkan kelompok
kontralateral.
Pada
telinga
sisi
tinitus
umur terbanyak adalah pada dekade ke-5
didapatkan ambang dengar normal dan
dan ke-6 sebesar 46,4%. Jumlah percontoh
ringan pada masing-masing delapan pasien,
laki-laki
terlalu
sedangkan pada telinga sisi kontralateral
berbeda. Faktor etiologi tinitus terbanyak
didapatkan ambang dengar normal dan
pada penelitian ini adalah tuli mendadak
ringan pada masing-masing 13 pasien.
(50,1%). Dari data karakteristik tinitus,
Selanjutnya
didapatkan
dengar
dan
perempuan
sebagian
tidak
besar
percontoh
hasil
pada
pengukuran
ambang
masing-masing
frekuensi
mendeskripsikan tinitusnya berupa nada
dilakukan
murni atau tonal (71,4%). Lokasi tinitus
telinga sisi tinitus dan kontralateral. Hal ini
dialami paling banyak pada sisi kiri pada 16
dimaksudkan untuk melihat apakah terdapat
percontoh
percontoh
perbedaan antara kenaikan nilai ambang
menyatakan serangan tinitus terus-menerus
dengar pada masing-masing frekuensi pada
sepanjang hari dan 25 percontoh (89,3%)
telinga
menyatakan tinitus terjadi secara mendadak.
Dilakukan tes general linier model dengan
Lama
metode
(60,7%).
pajanan
Seluruh
tinitus
yang
dialami
analisis
sisi
tinitus
repeated
multivariat
dan
terhadap
kontralateral.
measure
untuk
percontoh kurang dari 1 tahun sebanyak 18
pengukuran
percontoh (64,3%), dan sebesar 67,9% (19
frekuensi (125 Hz sampai dengan 8000 Hz).
percontoh) lebih banyak mendeskripsikan
Didapatkan hasil yang tertera pada gambar
nada
tinggi.
1, bahwa terdapat perbedaan bermakna
merasakan
pengukuran ambang dengar antara satu atau
kekerasan tinitus bertambah keras pada
lebih frekuensi pada telinga sisi tinitus dan
tempat yang sepi. Gangguan pendengaran
kontralateral berdasarkan hasil dari keempat
yang dirasakan akibat adanya tinitus tidak
tes multivariat tersebut (Pillai’s Trace,
ditemukan pada 10 percontoh (35,7%), dan
Wilks’ Lambda, Hotelling’s Trace dan
hanya 8 percontoh (28,6%) yang merasakan
Roy’s Largest Root) dengan nilai p=0,011.
tinitusnya
Sejumlah
85,7%
sebagai
nada
percontoh
ambang
dengar
pada
11
6
Tabel 1. Sebaran percontoh berdasarkan ambang dengar telinga sisi tinitus dan kontralateral Variabel Ambang dengar pada sisi tinitus Normal Ringan Sedang Sedang berat Berat Sangat berat
n
%
8 8 3 3 3 3
28,6 28,6 10,7 10,7 10,7 10,7
Variabel Ambang dengar sisi kontralateral Normal Ringan Sedang Sedang berat
n
%
13 13 1 1
46,4 46,4 3,6 3,6
Gambar 1. General linier model ambang dengar tiap-tiap frekuensi audiometri nada murni terhadap telinga sisi tinitus dan kontralateral 70
60
50
Ambang dengar (dB)
40
30
TINITUS 20 Kontralateral 10
Sisi tinitus
125
500 250
1000 750
2000
1500
4000
3000
8000
6000
Frekuensi (Hz)
Penggolongan frekuensi tinitus yang
dan tengah). Stimulus bunyi yang paling
didapat dengan metode matching dibagi
banyak digunakan untuk metode matching
menjadi frekuensi lebih dari atau sama
adalah tonal (71,4%).
dengan 2000 Hz dan di bawah 2000 Hz.
Hasil pengukuran kekerasan tinitus
Percontoh yang memiliki nada tinitus di
secara subjektif dengan menggunakan
atas
adalah
skala KL didapatkan percontoh terbanyak
sebanyak 17 orang (60,7%), dan percontoh
adalah KL derajat II (75%), KL derajat I
lainnya mempunyai nada tinitus pada
(21,4%) dan KL derajat III (3,4%). Skor
frekuensi di bawah 2000 Hz (nada rendah
VAS pada pengukuran kekerasan tinitus
2000
Hz
(nada
tinggi)
7
didapatkan nilai rata-rata 4,94 cm dengan
pengukuran
simpang baku 2,23 cm.
subjektif dengan menggunakan skala KL didapatkan
Pengukuran kekerasan tinitus secara
kekerasan
korelasi
tinitus
positif
secara
bermakna
objektif dengan menggunakan metode
dengan kekuatan korelasi sedang (r=0,45,
matching, didapatkan hasil nilai tengah
p=0,01). Sedangkan korelasi yang sangat
kekerasan tinitus adalah 35,5 dBHL
lemah dan tidak bermakna, didapatkan
dengan nilai minimum 18 dBHL dan
pada uji korelasi antara hasil pengukuran
maksimum 87 dBHL.
intensitas tinitus dengan kekerasan tinitus
Pada tabel 2 dapat dilihat uji korelasi non-parametrik
Spearman
berdasarkan skor VAS (r=0,04, p=0,83). Diagram korelasi dapat dilihat pada
dilakukan
antara hasil pengukuran intensitas tinitus
gambar 2.
dengan metode matching, dengan hasil
Tabel 2. Korelasi antara hasil pengukuran kekerasan tinitus dengan metode matching dengan skala KL dan VAS Intensitas tinitus (dBHL) Koefisien korelasi (r)
0,45 0,04
Derajat KL Skor VAS
p
0,01 0,83
Gambar 2. Korelasi antara hasil pengukuran kekerasan tinitus dengan metode matching dengan skala KL
) L B H s(d itu stin ita s te n In
8 0, 0 0
K la s i fi k a si l o ud n es s ti n ni tu s (d B HL ) = 1 4, 2 8 + 1 3, 8 7 * k l R -S q ua r e = 0 ,1 4
6 0, 0 0
4 0, 0 0
2 0, 0 0
1 , 00
2 , 00
Derajat Kloc khoff & Lin dblo m
3 , 00
8
dengar
DISKUSI
pada
masing-masing
telinga
7
Prevalensi
tinitus
dan
gangguan
pendengaran semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pengaruh usia berhubungan dengan perubahan struktur di koklea,
nukleus
olivarius
dan
koklearis,
kompleks
korteks
temporal.7
Pembagian usia per dekade pada penelitian ini sama dengan hasil yang didapat oleh penelitian Meikle (1985) dan Hezzel (1985), seperti yang dikutip oleh Coles,9 yaitu
terjadi
penambahan
jumlah
percontoh pada setiap dekadenya dan mencapai puncaknya pada dekade ke-5 dan ke-6, serta mulai menurun pada
keseluruhan
jika
dilihat,
sebaran ambang dengar yang didapat dari pemeriksaan audiometri nada murni pada rata-rata frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, dan 4000 Hz pada telinga sisi tinitus dan
kontralateral,
Pada
penelitian
ini,
ternyata
10
percontoh (35,7%) tidak merasa adanya gangguan pendengaran akibat tinitus, 10 percontoh lainnya merasa terganggu dan sisanya
sebanyak
delapan
percontoh
merasa pendengarannya sangat terganggu akibat bunyi tinitus yang dialaminya. Delapan percontoh tersebut jika dilihat derajat ambang dengarnya, maka 4 orang di antaranya adalah derajat berat dan sangat berat, sedangkan 10 percontoh yang merasa pendengarannya tidak terganggu, maka derajat ambang dengarnya adalah normal dan ringan.
periode 6 dan 7. Secara
tersebut sekitar 5 dB.
maka
terbanyak
didapatkan nilai ambang dengar normal dan ringan. Pada tiga percontoh yang mengeluh tinitus bilateral, didapatkan perbedaan ambang dengar antara telinga kanan dan kiri adalah sama atau tidak lebih dari 5 dB. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan pada tinitus bilateral didapatkan perbedaan ambang
Hal ini sesuai
dengan penelitian
Axelsson dan Rindhal (1989) seperti yang dikutip oleh Davis,7 bahwa sekitar 28% pasien dengan pendengaran normal yang mengeluh
tinitus
dan
19%
merasa
terganggu dengan bunyi tinitus tersebut. Pada beberapa penelitian lainnya juga menyatakan terdapat hubungan, antara gangguan pendengaran secara subjektif dengan tinitus. Dikatakan tinitus menjadi sumber masalah pada kasus yang disertai gangguan pendengaran dibanding yang tidak. Suatu studi yang berskala nasional yang dilakukan oleh Coles dkk seperti yang dikutip oleh Davis,7 menunjukkan
9
bahwa prevalensi dan derajat keparahan
tajam, mulai terjadi pada frekuensi 2000
tinitus
derajat
Hz ke atas. Dari gambaran audiogram
Gangguan
pada sisi tinitus, pada penelitian ini sesuai
pendengaran yang ringan pada umumnya
dengan hasil penelitian yang dilakukan
disertai derajat keparahan yang ringan.
oleh Coles seperti yang dikutip oleh
Gangguan pendengaran yang berat disertai
Heller,2 yang menyatakan telinga yang
dengan beratnya derajat keparahan yang
mengalami
dialami oleh penderita tinitus. Hasil yang
dengar yang lebih jelek dibandingkan
sama juga dilaporkan oleh Brown pada
telinga
tahun 1990, seperti yang ditulis oleh
menyebutkan bahwa tinitus biasanya juga
Davis7 yang menyatakan bahwa prevalensi
disertai dengan gangguan pendengaran,
tinitus
yang menunjukkan terjadi kerusakan di
berkorelasi
gangguan
dengan
pendengaran.
berhubungan
dengan
derajat
tinitus
memiliki Davis7
kontralateral.
gangguan pendengaran, dan hubungan ini
koklea
meningkat pada gambaran ambang dengar
timbulnya keluhan tinitus tersebut.
nada tinggi atau pada kondisi gangguan pendengaran yang asimetris.
yang
Pada
menjadi
penelitian
ambang
penyebab
ini
dari
juga
dari
hasil
pengukuran pitch matching, frekuensi
Analisis multivariat dilakukan antara
tinitus dimasukkan menjadi dua kelompok,
ambang dengar frekuensi 125 Hz sampai
yaitu kelompok frekuensi kurang dari
dengan 8000 Hz terhadap telinga sisi
2000 Hz dan lebih dari atau sama dengan
tinitus dan kontralateral (Gambar 1). Hasil
2000 Hz. Ternyata didapatkan 60,7%
yang didapat dari analisis multivariat
percontoh
tersebut adalah ambang dengar pada tiap-
antara frekuensi 2000 sampai dengan 8000
tiap frekuensi yang diperiksa berubah
Hz.
memiliki
frekuensi
tinitus
secara bermakna, dengan nilai p<0,001
Hasil pengukuran frekuensi tinitus
dan ambang dengar pada sisi tinitus
yang dilakukan oleh beberapa penelitian
dibandingkan dengan sisi kontralateral
mempunyai hasil yang bervariasi. Pan
menunjukkan peningkatan ambang dengar
Tao10 (2009) melaporkan hasil pengukuran
yang berbeda bermakna, dengan nilai
frekuensi tinitus dengan metode matching,
p=0,011. Dari hasil analisis ini juga dapat
nilai rata-rata adalah 4968 Hz dengan
kita lihat terdapat peningkatan ambang
simpang baku 2877 Hz. Tujuh puluh lima
dengar pada telinga sisi tinitus secara
percontoh dari total 195 percontoh pada
10
penelitian tersebut melaporkan frekuensi tinitusnya adalah 8000 Hz. Savastano
11
pendengaran pada nada tinggi, sehingga diduga
hal
ini
berhubungan
(2004) melaporkan frekuensi tinitus yang
gambaran
terbanyak didapatkan pada frekuensi di
sepanjang jalur saraf pendengaran.
bawah 3000 Hz sebanyak 37,9%, dan di atas 3000 Hz adalah 40,3%.
pada
literatur
koklea
dan
tinitus
merupakan
faktor
penting yang berpengaruh pada kualitas
diduga
hidup mereka. Semakin keras bunyi tinitus
berhubungan, dengan aktivitas neural yang
yang dirasakan, akan semakin sulit untuk
memegang peranan dalam mekanisme
menerima dan mengatasi keluhan tersebut
terjadinya tinitus. Dasar dari pernyataan
dibandingkan jika bunyi tinitusnya pelan.
ini adalah ditemukannya frekuensi tinitus
Persepsi kekerasan tinitus secara normal
pada batas antara ambang dengar yang
dihasilkan
normal
ini
sejumlah aktivasi serat saraf dan rata-rata
merupakan gambaran dari area koklea
aktivitas di temporal. Kekerasan tinitus
yang normal dan abnormal. Selain itu,
diduga berhubungan dengan tingginya
frekuensi tinitus juga terdapat pada area di
aktivitas saraf atau banyaknya serabut
mana penurunan ambang dengar yang
saraf yang aktif. Perubahan kekerasan
paling berat terjadi.10
tinitus
dan
dikatakan
di
Banyak pasien merasa yakin bahwa kekerasan
Hasil dari pengukuran frekuensi tinitus
tonotopik
dengan
terganggu, dan
hal
melalui
diduga
pengkodean
berhubungan
dari
dengan
Heinry dan Meikle pada tahun 1999,12
aktivitas sejumlah serat saraf yang terlibat
melaporkan pasien dengan penurunan
atau perubahan pola cetusan saraf di
ambang dengar nada rendah ternyata
temporal.13
didapatkan tinitus pada nada rendah. Penelitian
Pan
Tao10
(2009)
juga
Deskripsi pasien mengenai kekerasan tinitus merupakan salah satu komponen
menyatakan hasil frekuensi tinitus pada
yang
nada rendah (<2000 Hz), cenderung
akibat tinitus. Oleh karena itu, upaya
didapat pada percontoh dengan penurunan
kuantifikasi kekerasan tinitus menjadi satu
ambang dengar, khususnya di nada rendah
hal yang penting dalam manajemen pasien
dengan derajat sedang sampai berat.
tinitus. Hasil pengukuran intensitas tinitus
Frekuensi tinitus yang didapat pada nada
dengan metode matching pada penelitian
tinggi
cenderung
disertai
gangguan
berhubungan
dengan
gangguan
11
ini, didapatkan nilai tengah 35,5 dBHL
angka rata-rata 4,94 cm dengan simpang
(18-87 dBHL).
baku 2,23 cm. Nilai ini tampak lebih kecil
Nilai intensitas tinitus yang didapat
jika dibandingkan dengan hasil yang
pada penelitian ini berbeda dibandingkan
diteliti oleh Stouffer dan Tyler. Stouffer
dengan hasil pada penelitian-penelitian
dan Tyler pada tahun 1990, seperti yang
lain. Pada penelitian yang dilakukan oleh
dikutip oleh Tyler13 menyatakan dari 10
Savastano11
didapatkan
skala yang diberikan, mereka mencatat
intensitas tinitus kurang dari 10 dB dengan
rata-rata kekerasan 6,3 dengan simpang
rata-rata 5,22 dB sebesar 58,6%, dan
baku
intensitas lebih dari 10 dB dengan rata-rata
dikemukakan oleh Meikle, Vernon dan
15,62 dB sebesar 41,4%. Anderson14 pada
Johnson,16 pada studi yang dilakukan di
tahun 2003, melaporkan kekerasan tinitus
Universitas Oregon pada 1800 pasien
rata-rata 40,3 dBHL atau 15,3 dBSL.
tinitus yang menyatakan pada rentang
Andersson15
skala
tahun
(2001)
2004,
melaporkan
hasil
2,3.
1-10,
Hal
yang
ternyata
sama
sebagian
juga
besar
pengukuran kekerasan tinitus sebesar 44,1
percontoh menjawab kekerasannya dalam
dBHL, dengan simpang baku 23,7 dBHL
rentang skala 7-8.
atau 22 dBSL dengan simpang baku 18,9
Pada penelitian yang dilakukan oleh
dBSL. Matsuhira dan Yamashita pada
Andersson,15 (2001) melaporkan 60%
tahun 1996 seperti yang dikutip oleh
percontoh adalah KL derajat II, KL derajat
Tyler,13 melakukan pengukuran kekerasan
III sebanyak 35% dan sisanya KL derajat
tinitus di mana pada ambang dengar
I. Andersson14 (2003) juga melaporkan
kurang dari 15 dBHL pada 125 pasien,
44% percontoh adalah KL derajat II, dan
dengan berbagai etiologi didapatkan rata-
37% percontoh adalah KL derajat III.
rata pengukuran kekerasan tinitus adalah
Hiller dan Goebel,17 (2006) melaporkan
13,5 dBSL dengan simpang baku 10,7 dB.
percontoh pada penelitiannya adalah 8,2%
Kekerasan tinitus juga diukur secara
KL derajat I, 59,7% KL derajat II, dan
subjektif dengan menggunakan skor VAS
32,2% KL derajat III. Hal yang sama juga
dan skala KL. Skala KL derajat II adalah
dilaporkan oleh Andersson dkk.18 (1990)
skala yang paling banyak dipilih, yaitu
pada
sebanyak 21 percontoh. Sedangkan skor
melaporkan 57% KL derajat II, dan 38%
kekerasan tinitus dengan VAS didapatkan
sebagai KL derajat III.
216
percontoh
penelitiannya
12
Pada penelitian ini, hasil uji korelasi
Jika dilihat secara keseluruhan, pada
antara skor kekerasan tinitus berdasarkan
penelitian ini terdapat ketidaksesuaian
VAS
tinitus
antara hasil pengukuran kekerasan tinitus
menunjukkan korelasi yang sangat lemah
antara VAS dengan metode matching.
dan tidak bermakna. Hal ini berarti antara
Terdapat
VAS dan hasil intensitas tinitus yang
dihubungkan dengan fenomena ini. Ketika
didapat dengan metode matching bukan
seseorang
diminta
merupakan suatu hubungan yang linier.
kekerasan
tinitus,
Beragamnya hasil pengukuran kekerasan
kekerasan tinitus yang dirasakan sangat
tinitus dengan skala subjektif, diduga
bervariasi. Deskripsi pelan dan keras pada
dipengaruhi oleh tipe kepribadian dari
masing-masing percontoh berbeda-beda.
penderita tinitus yang meliputi emosional
Literatur menyebutkan bahwa kekerasan
dan kognitif yang tidak dinilai dalam
tinitus memiliki makna yang beragam dan
penelitian ini. Hal ini berdasarkan hasil
sering kali pasien menghubungkannya
penelitian dari Zenner dkk.19 (2005) yang
dengan gangguan akibat bunyi tinitus
mencari korelasi antara kekerasan tinitus
tersebut.17
dengan
melalui
intensitas
pengukuran
hal
yang
mengukur maka
bisa
sendiri deskripsi
dengan
Kondisi lainnya yang mungkin juga
pengukuran psikometrik yang terdapat
menyebabkan lemahnya korelasi yang
pada
didapat pada penelitian ini adalah tidak
tinnitus
VAS,
beberapa
questioner
(TQ)
yang
dikembangkan oleh Hiller dan Goebel.
diperhatikannya
Hasilnya adalah presepsi kekerasan tinitus
ataupun kondisi penyerta lainnya, seperti
selain berhubungan dengan gangguan
misophonia
pendengaran, ternyata berhubungan juga
penelitian ini. Hal ini didasari hasil dari
dengan emosional dan kognitif secara
penelitian Hiller dan Goebel,20 (2007)
bermakna.
pada
menjelaskan
Hal
inilah
bahwa
berat
yang
bisa
atau
percontoh
kondisi
hiperakusis
phonophobia
yang
pada
mengeluhkan
ringannya
kerasnya tinitus sesuai dengan KL derajat
presepsi seseorang mengenai kekerasan
III dan derajat gangguan berdasarkan mini
tinitus yang dirasakan, dipengaruhi oleh
TQ berat, maka didapatkan sekitar 20,1%-
faktor emosi dan kognitif dibandingkan
nya
dengan penilaian secara sensoris.
ternyata didapati juga pada kelompok
hiperakusis.
Kondisi
hiperakusis
derajat gangguan berdasarkan mini TQ
13
ringan, dan KL sebagai derajat III sebesar
Dari penelitian ini dapat disimpulkan
5%. Sedangkan pada percontoh dengan
bahwa
KL derajat I dan skor mini TQ berat
melalui cara subjektif dan objektif adalah
11,1% mengalami hiperakusis.
sama
kuantifikasi
pentingnya
kekerasan
dalam
tinitus
rangka
tata
Hiperakusis merupakan suatu kondisi
laksana pasien dengan keluhan tinitus,
di mana terjadi peningkatan sensitivitas
karena hasil yang didapat dari pengukuran
terhadap
tersebut
suatu
bunyi,
sehingga
dapat
menjadi
salah
satu
menimbulkan perasaan nyeri atau tidak
modalitas
nyaman jika terpapar bunyi tersebut,
menangani pasien dengan keluhan tinitus.
kita
dalam
membantu
padahal bunyi tersebut adalah bunyi yang pada
kehidupan
sehari-hari
tidak
memberikan masalah.21 Fenomena ini
DAFTAR PUSTAKA 1. Jastreboff
PJ,
Hazell
JWP.
A
dihasilkan melalui beberapa mekanisme di
neurophysiological approach to tinitus:
antaranya adalah gangguan fungsi sistem
clinical implications. Br J Audiol 1993;
auditori, yang meliputi auditori perifer
27:7-17.
atau sentral. Adanya kondisi ini dapat kita
2. Heller
AJ.
Classification
and
ketahui melalui anamnesis dan ditambah
epidemiology of tinitus. Otolaryngol Clin
juga
N AM 2003; 36:239-48.
dengan
melakukan
pemeriksaan
audiologi, yang meliputi audiometri nada murni dan tutur, loudness discomfort levels (LDLs), dan pemeriksaan refleks akustik ipsi dan kontralateral jika dicurigai adanya keterlibatan pada telinga tengah.21 Untuk itu dalam menilai kekerasan tinitus juga harus dilakukan pemeriksaan LDLs, untuk mengetahui apakah terdapat kondisi
hiperakusis
yang
menyertai
keluhan tinitus, serta melakukan penilaian status
psikometrik
untuk
melakukan
evaluasi emosi dan kognitif pasien dengan keluhan tinitus.
3. Henry JA, Dennis KC, Schechter MA. General review of tinnitus: prevalence, mechanisms, effects and management. J Speech Lang Hear Res 2005; 48:1204-35. 4. Lee SY, Kim HJ, Hong SH, Lee DS. Role of cognitive characteristics in tinnitus patients. J Korean Med Sci 2004; 19:8649. 5. Moller AG. Pathophysiology of tinnitus. Otolaryngol Clin N Am 2003; 36:249-66. 6. Baguley DM. Mechanisms of tinnitus. Br Med Bull 2002; 63:195-212. 7. Davis A, Rafaie EA. Epidemiology of tinnitus. In: Tyler RS, ed. Tinnitus
14
handbook.
USA:
Thomson
Delmar
Learning; 2000. p. 1-23.
2003; 30:129-33.
8. Klockhoff I, Lindblom U. Meniere’s disease
and
grading severity. Auris Nasus Larynx
15. Anderson G, Vretblad P, Larsen HC,
hidrochlorotiazide
Lyttkens L. Longitudinal follow-up of
(dichlotride): a critical analysisis of
tinnitus complaints. Arch Otolaryngol
symptomps and therapeutic effect. Acta
Head Neck Surg 2001; 127:175-9.
Otolaryngol 1967; 63:347-65.
16. Meikle MB, Vernon J, Johnson RM. The
9. Coles RRA. Tinnitus. In: Kerr GA, Stephens
D,
eds.
Scott-Brown’s
perceived severity of tinnitus. Otolaryngol Head Neck Surg 1984; 92:689-96.
Otolaryngology: adult audiology. 6th ed.
17. Hiller W, Goebel G. Factors influencing
Oxford: Buttenworth Heinemann; 1997. p.
tinnitus loudness and annoyance. Arch
2/18/1-34.
Otolaryngol Head Neck Surg 2006;
10. Pan T, Tyler RS, Ji H, Coelho C,
132:1323-30.
The
18. Anderson G, Lyttkens L, Larsen HC.
relationship between tinnitus pitch and
Distinguishing levels of tinnitus distress.
audiogram. Int J Audiol 2009; 48:277-94.
Clin Otolaryngol 1999; 24:404-10.
Gehringer
AK,
Gogel
SA.
11. Savastano M. Characteristic of tinnitus:
19. Zanner PH, Maddalena HD, Zalaman IM.
investigation of over 1400 patients. J
Validity and reliability study of three
Otolaryngol 2004; 3:248-53.
tinnitus self-assessment scales: loudness,
12. Henry JA, Meikle MB. Psychoacoustic measures of tinnitus. J Am Acad Audiol
RS.
2005; 125:1184-8. 20. Hiller W, Goebel G. When tinnitus
2000; 11:138-55. 13. Tyler
annoyance and change. Acta Oto Laryngol
The
psychoacoustical
loudness and annoyance are discrepant:
measurement of tinnitus. In: Tyler RS, ed.
audiological
Tinnitus
psychological profile. Audiol Neurotol
handbook.
USA:
Thomson
Delmar Learning; 2000. p. 149-79.
characteristics
and
2007; 12:391-400.
loudness
21. Katzenell U, Segal S. Hyperacusis: review
matchings in relation to annoyance and
and clinical guidelines. Otol Neurotol
14. Andersson
G.
Tinnitus
2001; 22:321-7.