BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sikap 2.1.1 Definisi Sikap Sikap merupakan salah satu konsep yang menjadi perhatian utama dalam ilmu psikologi sosial. Sikap juga merupakan proses evaluasi yang sifatnya internal / subjektif yang berlangsung dalam diri seseorang dan tidak dapat diamati secara langsung, namun bisa dilihat apabila sikap tersebut sudah direalisasikan menjadi perilaku. Oleh karena itu sikap bisa dilihat sebagai positif dan negatif. Apabila seseorang suka terhadap suatu hal, sikapnya positif dan cenderung mendekatinya, namun apabila seseorang tidak suka pada suatu hal sikapnya cenderung negatif dan menjauh. Selain melalui perilaku, sikap juga dapat diketahui melalui pengetahuan, keyakinan, dan perasaan terhadap suatu objek tertentu. Jadi, sikap bisa diukur karena kita dapat melihat sikap seseorang dari yang sudah disebutkan sebelumnya. Sikap berasal dari kata “aptus” yang berarti dalam keadaan sehat dan siap melakukan aksi / tindakan atau dapat dianalogikan dengan keadaan seorang gladiator dalam arena laga yang siap menghadapi singa sebagai lawannya dalam pertarungan. Secara harfiah, sikap dipandang sebagai kesiapan raga yang dapat diamati (Sarwono, 2009). Berikut adalah beberapa definisi sikap dari para ahli: a) Menurut Allport, sikap merupakan kesiapan mental, yaitu suatu proses yang berlangsung dalam diri seseorang, bersama dengan pengalaman individual masing-masing,
mengarahkan dan menentukan respon terhadap berbagai objek dan situasi (Sarwono, 2009). b) Sikap merupakan reaksi evaluatif yang disukai atau tidak disukai terhadap sesuatu atau seseorang, menunjukkan kepercayaan, perasaan, atau kecenderungan perilaku seseorang Zanna & Rempel, 1988 (dalam Sarwono, 2009) c) Sikap merupakan kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan mengevaluasi entitas tertentu dengan beberapa derajat kesukaan atau ketidaksukaan (Eagly & Chaiken, 1993, dalam Sarwono, 2009) d) Sikap merupakan evaluasi terhadap beberapa aspek perkataan sosial Baron & Byrne, 2006 (dalam Sarwono, 2009) e) Menurut Thurstone, Likert, dan Osgood sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Azwar, 2012). f) LaPierre (1934) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan (Azwar, 2012). g) Secord & Backman (1964) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya (Azwar, 2012). Dari definisi-definisi mengenai sikap diatas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kecenderungan dan keyakinan seseorang terhadap suatu hal yang bersifat mendekati
(positif) atau menjauhi (negatif) ditinjau dari aspek afektif & kognitif dan mengarahkan pada pola perilaku tertentu. Sedangkan definisi sikap terhadap operasi peneliti simpulkan sebagai kecenderungan dan keyakinan individu mengenai operasi yang bersifat mendekati (positif) dan menjauhi (negatif) ditinjau dari aspek afektif dan kognitif dan mengarahkan pada pola perilaku tertentu. 2.1.2 Komponen Sikap Thurstone berpendapat tentang adanya komponen afektif pada sikap, Rokeach berpendapat pada sikap adanya komponen kognitif dan konatif (Walgito, 2011). Sedangkan komponen sikap menurut Mar’at 1984 (dalam Rahayuningsih, S. U., 2008) mencakup tiga hal yaitu: 1. Komponen kognitif berhubungan dengan belief (kepercayaan dan keyakinan), ide, konsep. Bagian dari kognitif yaitu: persepsi, stereotype, opini yang dimiliki individu mengenai sesuatu. 2. Komponen afeksi berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang, menyangkut perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Afeksi merupakan komponen rasa senang atau tidak senang pada suatu objek. 3. Komponen perilaku / konatif merupakan komponen yang berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap objek sikap.
2.1.3
Fungsi Sikap Menurut Baron, Byrne, dan Branscombe (dalam Walgito, 2011), terdapat lima fungsi sikap sebagai berikut.
1. Fungsi pengetahuan Sikap membantu kita untuk menginterpretasi stimulus baru dan menampilkan respon yang sesuai. Contohnya, karyawan baru harus diberi informasi sebelum masuk kerja, agar selalu ramah dan santun terhadap setiap klien, agar kerja sama bisa lebih maksimal dan terjaga. 2. Fungsi identitas Sikap terhadap kebangsaan Indonesia (nasionalis) yang kita nilai tinggi, mengekspresikan nilai dan keyakinan serta mengkomunikasikan “siapa kita”. Dalam pertemuan resmi antar masyarakat Indonesia dengan luar negeri, orang Indonesia memakai kebaya atau batik untuk mencerminkan budaya dan identitas kita sebagai rakyat Indonesia. 3. Fungsi harga diri Sikap yang kita miliki mampu menjaga atau menigkatkan harga diri. Misalnya, ketika ada perkumpulan yang mengharuskan kita berhadapan dengan banyak orang, sikap kita harus tetap terjaga untuk menjaga harga diri. 4. Fungsi pertahanan diri (ego defensive) Sikap berfungsi melindungi diri dari penilaian negatif tentang diri kita. Misalnya, sikap kita harus tetap ramah terhadap atasan sekalipun kita tidak suka padanya, agar kita tetap terus bekerja di perusahaannya. 5.
Fungsi memotivasi kesan (impression motivation) Sikap berfungsi mengarahkan orang lain untuk memberikan penilaian atau kesan yang positif tentang diri kita. Contohnya, menjaga sikap seperti bahasa tubuh ketika pertama kali masuk ke lingkungan baru agar memberi kesan baik dan positif.
2.2 Persepsi Ketidakpastian 2.2.1 Definisi Persepsi Teori Bem (1975) mengenai persepsi diri dapat dipandang sebagai teori yang sangat terbatas, yang berkaitan dengan keadaan khusus mengenai atribusi. Teori persepsi diri adalah teori yang berkaitan dengan pengertian individu mengenai atribusi dirinya sendiri dan merupakan laporan atau catatan semacam pengetahuan diri. Konsep model utama yang dibangun Bem adalah proses persepsi diri, yang merupakan analisis fungsional tentang kejadian dari teori penguatan Skinner. Hal utama dari analisis Bem yang orisinil adalah fenomena pada atribusi diri, dibutuhkan pengetahuan diri yang baru, tidak diperlukan motivasi atau aspek kognitif dari pengetahuan diri yang lain. Ia mengemukakan bahwa individu menjadi tahu tentang sikap, kepercayaan, dan atribusi melalui observasi perilaku di lapangan dalam hubungannya dengan tuntutan lapangan. Secara singkat, dalam analisis fungsi perilakunya, karena dipersepsikan secara bebas, tidak terkekang oleh tekanan lingkungan atau hambatan, perilaku dilihat sebagai refleksi dalam kaitannya dengan atribusi diri. Sebaliknya, apabila dihambat oleh lingkungan, perilaku tidak akan dilihat oleh actor sebagai refleksi keadaan internal, sifat, ataupun sikap (Walgito, 2011). 2.2.2 Persepsi Ketidakpastian
Ketidakpastian menurut Mishel (dalam Kang, 2002) dapat didefinisikan sebagai situasi yang melibatkan kognisi dimana subjek tidak dapat menetapkan nilai – nilai pada suatu kejadian atau objek dan tidak dapat memprediksikan hasil secara akurat karena kurangnya sinyal, dan informasi yang tidak jelas dan tidak tepat. Mishel mengemukakan teori Uncertainty in Illness yaitu ketidakpastian pada penyakit yang diderita. Menurut Mishel, meskipun ketidakpastian berawal dari hanya satu aspek diri, namun dapat menyebar menyebar ke aspek lain. Ketidakpastian semakin besar dengan meningkatnya gangguan – gangguan ke aspek identitas diri dan kehidupan seseorang (Mishel, dalam Davis, 2011). Menurut teori Mishel (dalam Ko, 2005) ada tiga antecedent (hal yang mendahului) utama pada ketidakpastian yaitu 1. Stimulus frame. Tiga variable yang digunakan untuk mengukur stimulus pada model ini adalah karakteristik penyakit, sejarah penyakit, dan pengobatan-pengobatan selama perawatan. Tiga komponen dari stimulus frame adalah: -
Informasi pada gejala-gejala yang berkaitan dengan sensasi fisik
-
Peristiwa / kejadian yang familiar berkaitan dengan lingkungan perawatan kesehatan
-
Kecocokan kejadian dimana stimulus nya terprediksi dan stabil
2. Structure providers. Komponen stimulus frame secara positif dipengaruhi oleh structure providers yang menurut Mishel didefinisikan sebagai antecedents / pendahulu dari ketidakpastian yang mencakup: -
Autoritas yang dapat dipercaya
-
Dukungan social
-
Edukasi
3. Kapasitas kognisi. Antecedent ketiga secara positif mempengaruhi evaluasi pada stimulus frame. Kurangnya informasi yang didapatkan dan ketidakpahaman informasi mempersulit individu untuk mengkategorikan atau menyusun elemen pada penyakit dan operasinya.
Gambar 2.1 Mishel’s Theoritical Model Sumber: Nai-Ying Ko, 2005
Stimulus frame adalah karakteristik stimulus yang dipersepsikan oleh individu. Kapasitas kognitif adalah kemampuan pasien untuk memproses informasi. Structure providers adalah penyedia perawatan kesehatan atau suatu kelompok yang mendukung yang mempengaruhi pasien secara positif dan negative. Stimuli frame, cognitive capacities, dan structure providers adalah antecedents ketidakpastian. Ketidakpastian bisa menjadi positif atau negatif (suatu keuntungan / kesempatan atau bahaya). Inference adalah bagaimana pasien melihat diri mereka sebagai bagian dari lingkungan dan ilusi, salah satunya bisa menyebabkan bahaya yang membuat ketidakpastian menjadi negative
atau kesempatan sebagai hal yang positif. Penggunaan mekanisme coping terhadap adaptasi ketidakpastian operasi. Menurut teori, ketidakpastian berkembang dari beberapa variabel antecedents (penyedia struktur, kerangka stimulus, dan kapasitas kognitif), yang ditengahi dengan karakteristik kepribadian dan penilaian utama. Penengah antara ketidakpastian dan hasil dari ketidakpastian mencakup: keoptimisan (Christman, 1990); harapan (Hilton, 1994); penguasaan (Mishel, 1991); dan mencari informasi (Rosenbaum, dalam Albertsen, 2009). Mishel (2006) memaparkan dalam teori Uncertainty in Illness menarik dari model proses
informasi
dan
penelitian
kepribadian
dari
disiplin
psikologi,
yang
mengkarakteristikkan ketidakpastian sebagai keadaan kognitif akibat dari sinyal atau tanda-tanda yang tidak mencukupi untuk membentuk skema, atau representasi internal pada peristiwa atau situasi tertentu. Menurut Mishel, proses penilaian tiap individu pada ketidakpastian adalah apa saja yang membahayakan dan apa saja kesempatan yang dapat terjadi, atau apa saja hasil negatif dan positif yang terjadi. Menurut Mishel, teori ketidakpastian adalah peristiwa di persepsikan tidak pasti karena individu tidak dapat menentukan hal-hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Ketidakpastian terjadi ketika individu tidak dapat menetapkan nilai-nilai yang pasti pada objek
/
peristiwa
mengkategorisasikan
tersebut
karena
ketidakpastian
kurangnya sebagai
tanda
sesuatu
dan
yang
informasi. baru,
Mishel
kompleksitas,
ambiguitas, dan ketidakterdugaan dan kurangnya informasi. Menurut Mishel (1983), pasien dengan edukasi yang tinggi lebih memiliki kemampuan dalam mengakses informasi
mengenai
operasi
dan
penyakitnya
sehingga
ketidakpastian dalam diri (Mishel, 1988 dalam Madeo, dkk 2012).
mengecilkan
keadaan
Dari penjelesan di atas mengenai persepsi ketidakpastian dapat disimpulkan bahwa persepsi ketidakpastian adalah situasi dimana individu tidak dapat menetapkan nilai pada objek atau kejadian tertentu dan tidak dapat memprediksi hasil – hasil yang akan terjadi secara akurat karena ketidakjelasan, kerumitan, ketidakterdugaan dan kurangnya informasi. 2.2.3
Faktor-Faktor Persepsi Ketidakpastian Faktor-faktor persepsi ketidakpastian, digunakan untuk skala MUIS (Mishel’s Uncertianty in Illness Scale) untuk membuat item – item pernyataan. Seperti dijelaskan oleh Mishel, (dalam Albertsen, 2009) faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ambiguity: ketidakjelasan mengenai operasi bagi dirinya, ketidakjelasan mengenai kondisi penyakit yang tidak jelas dan sering berubah – ubah 2. Complexity: kompleksitas dan kerumitan mengenai operasi, prosedur dan perawatan operasi bagi dirinya. 3. Lack of Information: informasi yang sedikit dan kurangnya informasi mengenai operasi bagi dirinya 4. Unpredictability: kemampuan pasien untuk memprediksikan mengenai hasil operasi dan memprediksikan gejala penyakit.
2.3 Identitas Ego 2.3.1 Definisi Identitas Ego
Teori identitas ego dari Erik Erikson berangkat dari psikoanalisa, tetapi mencakup pengaruh lingkungan social lebih luas dan aspek perkembangan social perluasan dari teori Freud psikoseksual. Menurut Freud, ego adalah suatu aspek kepribadian yang berhubungan dengan realita. ego dikembangkan oleh pikiran sebagai barisan utama dalam berinteraksi pada dunia luar. Identitas ego menurut tahapan perkembangan psikososial Erikson, menjadi isu remaja yang paling besar, dimana konflik dan krisis tersebut baru dialami oleh remaja dan berkembang hingga dewasa. Tiap tahapan perkembangan psikososial menurut Erikson, saling berhubungan dan tumbuh pada diri individu secara berkaitan satu sama lain. Semua tahapan perkembangan psikososial adalah proses yang berlangsung secara terus menerus dan saling berhubungan (Erikson, 1994). Identitas ego adalah salah satu bagian dari perkembangan manusia yang dimulai dari anak-anak hingga dewasa. Pembentukan identitas ego mencakup perpaduan antara kemampuan, kepercayaan, dan identifikasi menjadi suatu keterkaitan, sesuatu yang unik dan utuh yang menciptakan rasa kontinuitas pada masa lalu dan arahan untuk masa depan. Identitas ego juga biasa disebut “perasaan”, “sikap”, “resolusi” dan lain-lain. Cara lain dalam menafsirkan identitas adalah sebagai self-structure yaitu sekumpulan dorongan internal, kemampuan, kepercayaan, dan sejarah individu. Semakin baik individu membangun struktur, semakin individu menyadari keunikan dan persamaan dengan orang lain, kelemahan dan kekuatan dirinya. Struktur identitas ego bersifat dinamis, unsur-unsur terus menerus ditambahkan dan dikesampingkan (Kroger dan Marcia, 2011).
Identitas ego dapat juga disebut sebagai self growth atau pertumbuhan diri. Individu membentuk identitas ego dari berbagai aspek seperti fisiologis, psikologis, biologis, dan social. Aspek-aspek tersebut di integrasi secara penuh oleh kesadaran dan ego yang matang. Pertumbuhan diri juga berasal dari pengalaman-pengalaman subjektif yang mencakup perilaku, pikiran, dan perasaan. Pengalaman-pengalaman subjektif tersebut membentuk identitas ego terutama komitmen yang semakin matang. Perkembangan identitas ego berkaitan dengan kejadian-kejadian dalam kehidupan (Geise, 2008). Identitas bisa dilihat dalam dua bentuk, pertama identitas sosial dan kedua identitas pribadi. Identitas soial adalah dimana individu mengkategorikan dan membedakan diri mereka ke dalam suatu kelompok sosial tertentu dengan menjadi anggota di dalamnya dan menyamakan nilai-nilai kelompok pada dirinya. Identitas pribadi yaitu jika individu membedakan dirinya dengan individu lain dimana tiap individu memiliki keunikan masing-masing dan tidak dapat diubah sekalipun dalam kelompok (Fearon, 1999). Berikut ini adalah beberapa definisi identitas ego (Fearon, 1999). 1. Identitas ego adalah konsepsi-konsepsi seseorang mengenai siapa mereka, orang seperti apakah mereka, bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain (Hogg & Abrams, 1988) 2. Identitas ego dideskribsikan sebagai cara individu dan grup mendefinisikan diri mereka dan didefinisikan orang lainberdasarkan ras, etnik, agama, bahasa, dan budaya (Deng, 1995).
3. Identitas ego didefinisikan sebagai pemahaman dan harapan diri yang cenderung stabil dan spesifik (Wendt, 1992). 4. Identitas ego adalah komitmen dan identifikasi dalam diri yang dibentuk dari berbagai pengalaman apa yang terbaik dan bernilai, apa yang harus dilakukan, apa yang saya setujui dan ditentang (Taylor, 1989). 5. Identitas ego sebagai struktur diri internal yang mencakup self-constructed, suatu dorongan, kemampuan, kepercayaan yang dinamis, dan sejarah individu. (Marcia, 1980). 6. Identitas ego adalah rasa sadar pada diri yang berkembang dan dibentuk dari interaksi social sehingga individu menyadari keunikan dirinya yang berbeda dari orang lain (Erikson, 1994). Dari definsi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa identitas ego adalah pengenalan diri dan pemahaman diri secara utuh agar dapat mengetahui keunikan kita yang membedakan diri kita dengan orang lain dan dapat mengkategorikan diri kita dalam kelompok social tertentu. Menurut Erikson, sebagai sebuah potret diri, identitas ego terdiri dari berbagai potongan (Santrock, 2007): a) Identitas pekerjaan / karir:Jalur karir dan pekerjaan yang ingin diikuti b) Identitas politik: Apakah seseorang itu memiliki aliran politik yang konservatif, liberal, atau berada di antara keduanya c) Identitas religious: Keyakinan spiritual seseorang d) Identitas relasi: apakah seseorang itu hidup melajang, menikah, bercerai, atau hidup bersama.
e) Identitas prestasi / intelektual: sejauh mana seseorang termotivasi untuk berprestasi dan menjadi seorang yang intelek. f) Identitas seksual: apakah seseorang itu heteroseksual, homoseksual, atau biseksual. g) Identitas budaya / etnis: bagian dari dunia atau Negara manakah seseorang itu berasal dan seberapa intensifkah orang itu beridentifikasi dengan warisan budayanya h) Minat: hal – hal yang gemar dilakukan seseorang, termasuk olahraga, music, da hobi i) Kepribadian: karakteristik keoribadian individu (introvert, ekstrovert, cemas atau santai, bersahabat atau bermusuhan, dan seterusnya). j) Identitas fisik: gambaran tubuh seseorang.
2.3.2 Karakteristik Identitas Ego Menurut Erikson 1968 (dalam Kumru dan Thompson, 2003) untuk menentukan status identitas ego pada diri seseorang, ada 2 kriteria variable yang terdiri dari krisis dan komitmen, yang diaplikasikan ke pilihan pekerjaan, agama, dan ideology politik. Menurut Erikson, 19868 (dalam Bartoszuk dan Pittman, 2009) inti dari pembentukan identitas adalah individu melakukan eksplorasi pada berbagai alternatif pada suatu daerah tertentu dan membuat keputusan dan komitmen yang berarti bagi kehidupannya. Ada dua definisi berbeda mengenai eksplorasi pada identitas. Pertama, eksplorasi menurut Marcia (dalam Dumas, Ellis, dan Wolfe, 2012) mengidentifikasi dua proses
yang mendasari perkembangan identitas ego hasil pengembangan dari Erikson, pertama adalah self-exploration (yang biasa disebut Erikson krisis) atau eksplorasi diri yang berarti individu telah mempertimbangkan pilihan-pilihan yang berbagai alternatif yang bermakna dalam dirinya. Menurut Erikson (1968) eksplorasi disebut juga krisis yang terjadi pada individu, yaitu memilah-milah pilihan di kehidupannya sebelum berkomitmen atau menjatuhkan pilihan. Eksplorasi ini disebut exploration in-breadth. Definisi eksplorasi kedua seperti yang dikemukakan oleh Meeus, Iedema, et al, 2002 (dalam Crocetti, Rubini, Meeus, 2008) bahwa eksplorasi adalah suatu penggalian dan pencarian informasi mengenai salah satu pilihan atau komitmen yang sudah ditentukan. Meeus meyakini bahwa individu yang sudah berkomitmen akan melanjutkan eksplorasi pada daerah pilihannya. Individu yang sudah berkomitmen pada suatu hal di dalam kehidupannya, secara aktif ia akan mengeksplor komitmen yang sudah ditetapkan dengan merefleksi pilihannya, menggali informasi mengenai pilihan tersebut, dan membicarakan pilihan tersebut dengan orang lain. Ketika individu sudah menentukan pilihan atau berkomitmen pada daerah dalam hidupnya, mereka akan melakukan in-depth exploration, penggalian dan eksplorasi pada pilihan yang sudah ia tentukan. Individu cenderung akan menjaga komitmen mereka dengan mencari tahu informasi-informasi pilihan tersebut. Ketika individu sudah tidak ingin berkomitmen dengan pilihan sebelumnya, maka ia melakukan reconsideration of commitment, yaitu pencarian alternatif pilihan lain dan menentukan pilihan baru. Pada fase inilah individu mengeksplorasi alternatif lain dan tidak mengeksplorasi pilihan yang sudah mereka tentukan sebelumnya (Meeus dkk, 2010).
Karakteristik identitas ego berikutnya adalah komitmen. Komitmen pada identitas menurut Marcia (dalam Dumas, Ellis, dan Wolfe, 2012) yaitu individu sudah memilih suatu pilihan dari berbagai alternatif dan menentukan jalan hidup untuk dirinya. Komitmen terjadi apabila individu sudah mempertimbangkan pilihan-pilihan berbeda atau mengeksplorasi alternatif. Identitas terus berubah dan akan mengalami revisi di sepanjang kehidupan. Manusia akan mempertimbangkan ulang dan megubah komitmen pada daerah-daerah di kehidupannya karena berbagai hal. Berubahnya komitmen mendorong individu untuk mencari alternatif lain. Konseptualisasi pertimbangan ulang komitmen, sama seperti definisi eskplorasi dari Marcia (1966), mencakup investigasi berbagai komitmen baru (Crocetti, Rubini, Meeus, 2008). Identity achievement dan identity diffusion adalah dua status yang berlawanan menurut teori Erikson. Identity achievement bisa dicapai oleh individu apabila ia sudah mengalami periode krisis dan sudah berkomitmen pada bidang pekerjaan dan segala bidang dalam hidupnya. Sedangkan orang yang masih dalam fase identity diffusion belum mengalami periode krisis, dan masih kurang berkomitmen dengan bidang-bidang yang ada. Dia belum mempertimbangkan berbagai pilihan dari bidang pekerjaan dan minat yang ada. Individu bisa mencapai tingkat kedawasaan identitas (mature adult identity) apabila dia sudah mengeksplorasi berbagai pilihan dan sudah berkomitmen pada suatu hal dalam hidupnya. Sedangkan individu yang tingkat eskplorasi dan komitmen pada dirinya rendah, maka ia tergolong identity diffused, yaitu sering dilemma dan berubah-
ubah pilihan dan nilai kehidupannya (Marcia, 1966 dalam dalam Dumas, Ellis, dan Wolfe, 2012). 2.3.3 Identitas Ego Dewasa Menurut Erikson (1968), pembentukan identitas ego adalah tugas perkembangan utama pada remaja, namun identitas ego sendiri dimulai dari masa anak-anak, remaja, dan dewasa. Identitas ego terus berkembang dan dapat berubah disepanjang rentang kehidupan. Pengalaman-pengalaman yang terjadi ketika remaja membentuk suatu rencana untuk masa depan, dan identitas ego yang dibentuk ketika remaja dan dewasa muda, mengakibatkan arah dan tujuan hidup yang jelas di masa yang akan datang. Perkembangan identitas ego dibangun oleh kejadian masa lampau, masa kini dan masa depan yang di integrasi menjadi suatu keseluruhan (Fadjukoff, 2007). Identitas ego bukan hanya krisis yang dialami oleh remaja saja, namun identitas ego adalah krisis di seluruh kehidupan individu. Krisis yang dimaksud Erikson adalah krisis sejarah di kehidupan manusia, dimana krisis tersebut saling berkaitan. Kualitas identitas ego di usia-usia dewasa, bergantung dengan kualitas identitas ego yang dibentuk di masa remaja. Elemen-elemen diri pada masa anak-anak hingga dewasa adalah elemen yang tak terpisahkan. Elemen tersebut saling berhubungan dan bersatu menjadi suatu pertumbuhan diri yang sehat dan matang, apabila pertumbuhan diri sudah matang, maka semakin besar kesempatan untuk terbentuk achievement identity (Erikson, 1994). Erikson (1968) mengkonseptualisasikan perkembangan identitas ego sebagai tahapan psikososial dan tugas utama bagi remaja yang bias berdampak pada konflik tahapan-tahapan di usia selanjutnya seperti intimasi, generativitas dan integritas. Sebagai
struktur internal, identitas ego mencakup pengalaman-pengalaman yang dianggap penting disepanjang kehidupan. Identitas ego di masa remaja memainkan peran determinan yang sangat penting bagi identitas di usia dewasa. Dalam usia dewasa madya menurut Erikson, isu generativitas sedang berlangsung. Ekslplorasi dan komitmen pada usia 40-60 juga berhubungan dengan generativitas. Generativitas berarti memberikan tanggung jawab, ilmu, dan perlakuan yang baik bagi generasi selanjutnya. Eksplorasi yang terjadi di usia dewasa madya juga berhubungan dengan mortalitas, mengingat banyak munculnya penyakit degenerative pada usia tersebut. Komitmen agar dapat mencapai krisis generativitas bagi generasi berikutnya menandakan bahwa individu pada dewasa madya harus sehat agar dapat mengerahkan seluruh kemampuan dan tanggung jawabnya untuk generasi selanjutnya. Komitmen dan eksplorasi mengenai kesehatan pun harus tetap terjaga untuk menyeimbangkan konflik di usia tersebut (Fadjukoff, 2007).
2.4 Perkembangan Dewasa Madya Masa dewasa merupakan salah satu fase dalam rentang kehidupan individu setelah masa remaja. Pada penelitian ini, difokuskan perkembangan masa dewasa madya. 2.4.1 Dewasa Madya Menurut Hurlock (2008), rentang usia dewasa madya pada umumnya berkisar antara usia 40-60 tahun, dimana pada usia ini ditandai dengan berbagai perubahan fisik
maupun mental. Fisik sudah mulai agak melemah, termasuk fungsi-fungsi alat indra. Cirri-ciri masa dewasa madya menurut Hurlock yaitu: 1. Perubahan fisik yang demikian pesat. Pada masa dewasa madya, terjadi perubahan kondisi fisik yang cukup pesat, namun bukan perubahan yang menuju kesempurnaan / kemajuan, namun perubahan yang mengarah kepada penurunan dan kemunduran, yang juga akan mempengaruhi kondisi psikologisnya. 2. Masa yang ditakuti. Umumnya pada usia dewasa madya, mereka tidak lagi merasa menarik secara seksual dan memunculkan kekhawatiran akan kehilangan daya tarik bagi pasangan mereka. Perasaan takut dan kekhawatiran ini dapat mengganggu psikologisnya. 3. Usia berbahaya Di usia dewasa madya, fisik mereka mulai rentan terhadap penyakit, juga kondisi psikologis yang cenderung menjadi lebih peka, yang berarti mudah tersinggung, tertekan, stress, hingga depresi. 2.5 Kerangka Berpikir Identitas ego menurut Erikson (1950) berangkat dari teori psikoanalisa yang berfokus pada perkembangan psikososial. Ego adalah pusat pada diri manusia karena ego adalah struktur diri yang dihadapkan pada dunia nyata dan dihadapkan pada pengalaman hidup. Ego manusia terbentuk dan semakin matang seiring bertambahnya usia. Menurut Erikson, 1968 (dalam Kumru dan Thompson, 2003) ada dua kriteria yang hadir dalam pembentukan identitas ego: eksplorasi (biasa disebut krisis) dan komitmen. Eksplorasi adalah proses dimana manusia memikirkan banyak hal dan mengkaji nya satu persatu, memilah-
milah serta mencoba hal tersebut, dan mencoba berbagai peran di rentang kehidupan. Komitmen adalah sejauh mana manusia menanamkan dan menentukan nilai / tujuan dalam hidupnya dan mengekspresikannya dengan tindakan atau suatu kepercayaan. Orang yang sudah melakukan eksplorasi pada segala hal di kehidupannya, dan sudah berkomitmen, ialah yang identitas egonya tinggi atau sudah mencapai status achieved identity (pencapaian identitas). Menurut Erikson, orang yang sudah berkomitmen pasti sudah melakukan trial-and-error. Bagi individu yang sudah melewati masa krisis, mereka telah mencoba segala hal dengan berbagai konsekuensi yang ada. Beda hal dengan mereka yang tidak berani eksplorisasi, mereka tidak biasa mencari berbagai alternatif bagi dirinya, mungkin juga tidak berani dalam mengambil risiko dan hidup dalam ketidaktahuan atau ketidakpastian karena belum mencoba. Peneliti akan mencari tahu apakah hal tersebut memprediksikan persepsi terhadap ketidakpastian, karena orang yang belum pernah bereksplorasi berbagai alternatif di hidupnya dan berkomitmen mengenai suatu hal, mereka tidak tahu apa yang terjadi dan mengalami ketidakpastian karena tidak pernah mencoba. Pasien yang tinggi pada komitmennya, berarti mereka sudah mennetukan nilai dan tujuan pada hidupnya. Ketidakpastian terjadi ketika adanya berbagai konsekuensi yang terjadi dan kita tidak dapat memastikan dan memprediksi apa yang akan terjadi. Kurangnya pemahaman mengenai sesuatu juga menimbulkan ketidakpastian dalam diri. Setiap orang memiliki persepsi ketidakpastian yang berbeda, tergantung dari struktur dirinya dan dukungan eksternal. Persepsi adalah salah satu bagian dari komponen kognitif seseorang. Persepsi ketidakpastian ini menyebabkan individu menyikapi suatu hal. Dalam penelitian ini, ingin mengetahui apakah persepsi ketidakpastian mampu memprediksikan sikap pasien terhadap operasi medis, lalu bagaimana korelasi prediksinya.
Penelitian ini juga ingin mengetahui apakah identitas ego dan persepsi ketidakpastian secara bersama mampu memprediksikan sikap pasien terhadap operasi medis atau tidak. Mishel (2006) mengemukakan jika persepsi ketidakpastian didukung oleh pengetahuan masing-masing individu menghasilkan sikap pasien terhadap bidang kesehatan. Pada BAB 1 diuraikan bahwa identitas ego dibentuk oleh kognisi seseorang. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa identitas ego mendukung persepsi ketidakpastian seseorang dalam menyikapi hal tertentu.