KOORDINASI ANTARA PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(Skripsi)
Oleh : NOVA ZOLICA PUTRI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
ABSTRAK
KOORDINASI ANTARA PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh Nova Zolica Putri
Penyidikan yang dilakukan Polri harus berada dalam koordinasi Kejaksaan yang dalam hal ini dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum ini mempunyai tugas melaksanakan koordinasi terhadap penyidikan yang dilakukan oleh Polri. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah : (1). Bagaimanakah Koordinasi antara Penydik Polri dan Jaksa Penuntut Umum dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi ? (2). Apakah Faktor yng menjadi kendala koordinasi antara Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut Umum dalam hal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ? Pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris, sedangkan sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data melalui studi pustakaan, dan studi lapangan. Pengolahan data dengan cara editing dan sistematisasi data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu diinterpretasikan untuk dianalisis secara kualitatif dan penarikan kesimpulan secara induksi. Responden pada penelitian ini adalah 1 orang Kasubnit 1 Tipikor, 1 orang Jaksa Fungsional dan 1 orang Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Jurusan Pidana. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam skripsi ini, bahwa penyidikan terhadap tersangka pelaku tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh Polri lebih mengutamakan kegiatan penyidikan dan wewenangnya, kewenangan Penyidik Polri yang diatur dalam Pasal 7 ayat 1 KUHAP dan selanjutnya apabila proses penyidikan sudah selesai dan semua bukti serta syarat sudah terpenuhi maka berkas-berkas tersebut diserahkan kepada kejaksaan sebagai penuntut umum. Dari hasil penelitian diatas diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan Koordinasi antara Penydik Polri dan Jaksa Penuntut Umum dan Faktor yng menjadi kendala koordinasi antara Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut Umum dalam hal
Nova Zolica Putri Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah : (1) Koordinasi penyidik polri dan jaksa penuntut umum berjalan dengan baik selama proses yang dilakukan masih sesuai dengan KUHAP yaitu Pasal 183 dan 184 KUHAP.(2) Terjadinya pengembalian berkas perkara untuk disempurnakan oleh penyidik Polri apabila masih ada kekurangan. (3) Efisiensi dalam pelimpahan berkas perkara untuk disempurnakan oleh penyidik Polri. (4) Permasalahan batas waktu dalam hal penyempurnaan berkas perkara oleh penyidik Polri yang telah dikoreksi oleh JPU dan penelitian berkas oleh JPU. (5) Fasilitas yang menunjang kelancaran pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh Polri belum memadai sehingga penyidikan sering terhambat. Melihat kenyataan tersebut yang menjadi saran penulis adalah untuk pihak penyidik polri agar pelaksanaan koordinasi dapat berjalan dengan lebih baik. Pelaksanaan koordinasi hendaknya memperhatiakn efisiensi waktu mengingat terdapatnya asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan maka dalam hal penyelesaian perkara pidana dalam penyidikan harus memperhatikan asas tersebut. Adanya pengaturan tentang batas waktu bagi penyidik Polri untuk menyempurnakan berkas perkara, disediakan biaya yang memadai bai penyidik polri dan JPU agar dapat menunjang pelaksanaan koordinasi, mengefektifkan koordinasi formal dan informal antara penyidik Plri dan JPU. Kata Kunci : Koordinasi, Penyidik Polri, JP
KOORDINASI ANTARA PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh NOVA ZOLICA PUTRI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM Pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP
Nova Zolica Putri dilahirkan di Lampung Barat pada tanggal 8 Febuari 1994, yang merupakan anak kedelapan dari delapan bersaudara pasangan Bapak Nawar Ahmad dan Ibu Rotnawati.
Pendidikan yang telah diselesikan adalah Sekolah Dasar Negeri 1 Kenali Kecamatan Belalau dan selesai pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Belalau Kabupaten Lampung Barat dan selesai pada tahun 2009, kemudian menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Bandar Lampung pada tahun 2012.
Pada tahun 2012 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di organisasi kemahasiswaan pada Fakultas Hukum Universitas Lampung yaitu Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKM-F) Mahasiswa Pengkaji Masalah Hukum (MAHKAMAH) dan diangkat sebagai Wakil Ketua Devisi Debat selama periode pada tahun 2013 dan 2014, dan penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan pada Himpunan Mahasiswa Hukum Pidana (HIMA PIDANA) sebagai Anggota Bidang Kajian dan Penelitian pada tahun 2014.
!
"
1
# # $ $ '(& ) *+ ,
$ % )% -./0!
#
% 2
2
!
&
34(3 +)5)
! " #
"
$ $
% &'( ) # ' *+,) $
SANWACANA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbilalamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul :
KOORDINASI ANTARA PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari adanya kendala, hambatan dan kesulitan-kesulitan. Namun dengan adanya keterlibatan berbagai pihak yang telah menyumbangkan bantuan, bimbingan, dan petunjuk serta saran maupun kritik bagi penulisan skripsi ini, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Allah SWT yang senantiasa memberikan pertolongan dan kemudahan disaat penulis mendapatkan kesulitan, terima kasih atas nikmat-Mu yang tak terhingga. 2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana dan sekaligus selaku pembimbing 1 yang banyak memberikan saran dan motivasi serta meluangkan waktu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang banyak memberikan saran dan motivasi serta meluangkan waktu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., sebagai Pembahas I atas segala kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini . 6. Bapak Gunawan Jatmiko,S.H., M.H., sebagai Pembahas II atas segala kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini. 7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. 8. Wanku Nawar Ahmad adalah ayah terbaikku yang mengajariku kebaikan dari kecil hingga dewasa, selalu menyayangiku dan mencintaiku, memberiku motivasi dan membentuk kepribadianku, terima kasih atas jerih payah dan usaha wan yang tak kenal lelah sehingga aku dapat menyelesaikan skripsi ini dan Emakku yang selalu menjadi alasanku untuk sukses. Terimakasih selalu mendoakanku agar aku sukses dan menggapai cita-cita ku. Terima kasih Wan Emak, semoga kelak aku bisa membalas kebaikan dan membahagiakan kalian. 9. Abang-abangku, abang ijal, abang ji, abang ja, abang anis, kakak ris, kakak d, kakak win, dan kakaku resi, aku sangat menyayangi kalian. Kalian akan selalu menjadi abang yang tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun.
10. Terima kasih untuk abang Ja yang selalu ada dan siap membantu dan memberi pengarahan kepadaku agar aku menjadi orang yang sukses kelak. Terimakasih atas jerih payah dan usaha abang ja yang tak kenal lelah agar bisa membantu wan dan emak untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan membantu membiayai adik-adikmu hingga kami sukses. Dan terimakasih kepada engah yang selalu menjadi pelengkap hari-hariku, selalu menjadi semangatku setelah emak. Emak memang tidak memberikan aku sosok kakak perempuan tetapi melalui abang ja allah hadirkan engah ditengah-tengah keluarga besar kami. Engah adalah sosok istri, anak, dan kakak yang luarbiasa hebat. Thank you for everything. Semoga Allah membalas semua ketulusan yang abang ja dan ngah lia berikan dan semoga Allah segera memberikan keturunan yang soleh/soleha yang membanggakan abang ja,ngah lia dan kita semua.aamiin 11. Terimakasih kepada kakak ris dan kakak d yang selalu mengerti apa yang aku butuhkan. Terimakasih untuk perhatian dan kasih sayang yang kalian berikan. Aku sangat menyayangi kalian dan sangat bersyukur memiliki kakak seperti kalian. Dan terimakasih untuk kakak win,dan kakak ku resi. Walaupun kalian berdua terkadang membuat aku kesal dan terkadang tidak mengerti yang aku ingin, aku butuh, dan aku harapkan, tetapi kalianpun kakak yang luarbiasa. Terimakasih sudah mau direpotkan olehku selama ini. 12. Terima kasih kepada Keponakanku Tersayang Neng, Dea, Caca, Fina, Keysha, Lody, Gilang, Dafa dan Okta yang juga salah satu semangatku. beserta keluarga besarku yang telah memberi dukungan agar aku dapat menyelesaikan pendidikanku.
13. Terimakasih kepada Hardiansah, S.H.,M.H., yang sudah membantu mulai dari pembuatan judul. Terimakasih juga sudah memberikan semangat, motivasi dan hal-hal yang sangat menyenangkan. 14. Terimakasih kepada Dopdon Kurniawan Sinaga, S.H., atas bantuannya selama penulisan skripsi ini, yang sudah memberikan banyak masukan. Terimakasih sudah menjadi pembimbing yang hebat dalam pembuatan skripsi ini. 15. Sahabat dan teman seperjuangan dari awal menjadi mahasiswa sampai sekarang. Terima kasih atas segala kebersamaanya selama di Fakultas Hukum Unila yang selalu memberikan cerita yang menyenangkan dan moment tak terlupakan: Denty, Rahma, Oci, Ratna, Shelly, Sheilla, Mimi, Yose, Rike, Tira, Ulin, Tiaranita, Rika, Redo, Varun, Ica, Tia, Yasinta, dan Tiara Erdi yang selalu menjadi partnerku dalam segala hal serta yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya penulis ucapkan terimakasih. 16. Terimakasih kepada Ines Septia Gumay, S.H.,M.H., , Andi Mekar Sari, S.H.,M.H., , Annisa Diah P.H, S.H.,M.H., , Nunik Iswardhani, S.H., untuk kebersamaan selama di Fakultas Hukum. kalian bukan hanya senior di kampus, tetapi kalian juga adalah sosok kakak dan teman yang sangat menyenangkan dan sangat banyak membantu. 17. Terimakasih kepada keluarga
KKN Tulang Bawang Barat Ucen, Meifra,
Bayu, Rio, Intan, Oci, Elliza, Ratu, Emil, Nona, dan Ayu yang sudah memberikan banyak kenangan indah selama mengabdi di Desa Unyil. Aku akan selalu merindukan masa-masa indah yang pernah kita lewati bersama.
18. Terimakasih kepada sahabat yang selalu bersama dari tahun-ketahun dan selalu memberikan motivasi : Siska, Ulpah, Ria, Dara, Nenek, Septa, Jeca, Maya. 19. Almamater tercinta yang telah memberikan wawasan dan pengetahuan yang luas kepadaku. 20. Untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, karena itu sangat diperlukan adanya kritik dan saran dari berbagai pihak yang dapat membangun dan dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Bandar Lampung,
Februari 2016
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ....................................................... 9 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 10 D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ...................................................... 11 E. Sistematika Penulisan ......................................................................... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Koordinasi ......................................................................... 15 B. Pengertian Polri ................................................................................... 16 C. Pengertian Jaksa Penuntut umum ...................................................... 18 D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ...................................................... 19 E. Faktor Penghambat Penegakan Hukum .............................................. 22
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ............................................................................ 25 B. Sumber dan Jenis Data ........................................................................ 26 C. Penentuan Narasumber ........................................................................ 27 D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ...................................... 28 E. Analisis Data ........................................................................................ 29
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Koordinasi Antara Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut Umum dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi ................................................... 31 B. Faktor yang menjadi kendala Koordinasi Antara Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut umum dalam Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi ........... 44
V. PENUTUP A. Simpulan .............................................................................................. 52 B. Saran..................................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat.
Berbagai bentuk ragam peradaban masyarakat, belum tentu hukum itu selalu ditaati atau dipatuhi oleh anggota masyarakat, sehingga mengakibatkan ada pelanggaran maupun kejahatan (tindak pidana – crime) yang dilakukan secara perorangan, secara berkelompok, secara terorganisir maupun tidak terorganisir, yang pada perbuatan pelanggaran maupun kejahatan tersebut menghasilkan beragam jenis tindak pidana.1 Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal saat ini adalah masalah korupsi. Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan, karena para pelakunya menggunakan metoda yang semakin canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaan yang terselubung dan terorganisasi.2
Syaiful Ahmad Dinar, KPK dan Korupsi (Dalam Studi Kasus), Jakarta Cintya Press, 2012hlm. 1. Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm 1.
2 Indonesia merupakan salah satu dari
negara berkembang yang perlu untuk
melaksanakan pembangunan disegala bidang. Pembangunan bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur baik spritual maupun material yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mencapai tujuan, maka bangsa indonesia perlu melakukan pembangunan disegala bidang khususnya bidang hukum meliputi penertiban badan-badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing, meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum kearah tegaknya hukum, ketertiban dan kepastian hukum.
Korupsi ibarat kanker yang mengancam proses pembangunan dengan berbagai akibat, antara lain merugikan keuangan dan perekonomian negara sehingga menghambat pembangunan nasional. Korupsi juga menjadi kendala investasi dengan meningkatkan berbagai resiko bagi investor yang berasal dari dalam maupun luar negeri, karena pelaku bisnis bekerja dan berurusan dalam lingkungan masyarakat yang korup. Bukan hanya berkaitan pada banyaknnya waktu yang terbuang tetapi juga pada besarnya uang yang harus di keluarkan dalam proses investasi, khususnya saat berhubungan dengan aparatur pemerintah yang berwenang dalam hal tersebut.3
Korupsi telah ada sejak adanya peradaban masyarakat dari ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Bahkan perkembangan korupsi di Indonesia saat ini sudah sangat membahayakan pembangunan dan menghambat kemakmuran dalam mencapai
Juni Sjafrein Jahja, Say No To Korupsi, jakarta: Vismedia,2012, hlm.1
3 tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sebab, perlakuan korupsi sangat luar biasa sudah menjangkit dan menyebar keseluruh lapisan masyarakat.4
Istilah korupsi ini pertama kali hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam Peraturan Peguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukkan juga dalam Undang-undang Nomor 24/Prp/1960 tentang pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini kemudian dicabut dan diganti oleh Undangundang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 (dua) tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian di ubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tanggal 21 November 2001.5
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus yang mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum. Seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan
menekan
seminimal
mungkin
terjadinya
kebocoran
dan
penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.6
Dalam Pasific Economy and Risk Consultancy, disebutkan bahwa pada tahun 2005 Indonesia menempati urutan paling pertama sebagai negara terkorup di
Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012, hlm.1. Darwin Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm.1. Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 2.
4 Asia.7 Selain itu, berdasarkan survey yang dilakukan oleh transparency.org pada tahun 2012 sebuah lembaga independen dari 146 (seratus empat puluh enam) negara juga mencatat bahwa ada sepuluh negara terkorup di dunia salah satunya adalah Indonesia.
Bertitik tolak dari uraian diatas jelas bahwa pemberantasan korupsi bukanlah perkara yang mudah dan segera dapat diatasi. Karena sistem penyelenggaraan pemerintah yang mentabukan transparansi dan mengedepankan kerahasiaan dan ketertutupan dengan menipiskan akuntabilitas publik dan mengedepankan pertanggungjawaban vertikal yang dilandaskan pada primordialisme, yang menggunakan sistem rekruitmen, mutasi dan promosi atas dasar koncoisme baik yang didasarkan kepada kesamaan etnis, latar belakang politik atau politik balas jasa. Keadaan ini semakin dipersulit lagi dan hampir merupakan keputusan ketika kita menyaksikan pula aparatur penegak hukum dari hulu ke hilir terlibat ke dalam jaringan korupsi yang seharusnya dijadikan musuh penegak hukum atau sasaran penegak hukum itu sendiri.8
Meningkatnya kasus korupsi di Indonesia, jelas-jelas merugikan keuangan negara dan membuat proses hukum yang dilaksanakan terkesan diabaikan, hal inilah yang menimbulkan opini bahwa sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi tidak tersentuh hukum, sehingga dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan guna memperteguh pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu diantaranya membuat, memperbaiki dan merevisi peraturan-peraturan mengenai
7
Komisi Permberantasan Korupsi, Memahai untuk Membasmi Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korpsi, 2006, hlm 1. Eddy Rifai, Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Bandar Lampung: Justice Publisher, 2014, hlm 73.
5 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menjerat koruptor dari jeratan hukum. Keberhasilan menjerat pelaku Tindak Pidana Korupsi sangat bergantung pada aparat penegak hukum.
Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memberikan ekstensifikasi kewenangan kepada polisi selaku salah satu aparat penegak hukum mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tugas memelihara dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perindungan serta pelayanan pada masyarakat terhadap suatu tindak pidana, sebagai unsur ketentuan dari pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yaitu : “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang unutuk melakukan penyidikan”. Salah satu tugas kepolisian adalah melakukan penyidikan dibidang tindak pidana korupsi yaitu masalah yang tidak luput suatu negara yang sedang berkembang, termasuk indonesia dimana korupsi tersebut karena latar belakang politik, sosial ekonomi dan budaya. Selain dari akibat kondisi tersebut juga disebabkan oleh karena lemahnya mekanisme kontrol atau lemahnya iman seseorang yang dapat menjadi peluang bahkan pendorong terjadinya korupsi.” Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 6 KUHAP bahwa Penyidik adalah9: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. 9
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi Kedua), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm 80.
6 Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) menjelaskan tentang Penyidikan, sebagai berikut10: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tidak pidana korupsi. Namun demikian Penyidik Polri wajib memperhatikan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tetang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut : “Dalam hal ditemukannya tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibetuklah tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.”
Tugas dan wewenang kepolisian dalam melakukan penyidikan berhak menerima laporan dan pengawasan atas suatu tindak pidana sesuai ketentuan KUHAP terutama ketentuan yang terdapat pada Pasal 7 ayat (1),
wewenang penyidik antara lain : a. Menerima laporan atas pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm.32
7 c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanpa pengenal diri tersangka.
Pemahaman penyidikan yang telah disinggung dalam pejelasan diatas, bahwa penyidik itu untuk mencari dan mengungkap keterangan atau informasi. Informasi itu bukan saja hanya terbatas kepada kiblat ketentuan yang ada dalam rumusan peraturan perundang-undangan saja tetapi lebih kepada penyidik harus mampu membongkar pelanggaran hukum yang sebenarnya.11
Informasi-informasi yang dibutuhkan untuk mengungkap adanya pelanggaran hukum itu antara lain dapat diukur dengan ukuran sebagai berikut12: a. Korbannya siapa b. Bagaimana caranya pelaku yang belum diketahui identitasnya itu melakukan dugaan tindak kejahatan.
Penyidikan adalah langkah panjang yang harus dilakukan oleh polri yang penyidik, langkah aplikasi pengetahuan tentang dua wilayah hukum yaitu wilayah hukum yang normatif dan wilayah hukum yang progresif sosiologis.13
Masalah yang sering timbul dalam proses penyidikan tidak pidana yang dilakukan oleh Polri yang penyidik selalu mengalami pasang surut. Pasang surut itu dapat berbentuk tidak segera tuntasnya penyidikan dengan beberapa catatan, misalnya selesainya pemberkasan. Tetapi apabila dicermati masih mengandung kelemahankelemahan yang sangat fatal misalnya kesalahan menuliskan dasar hukum
,Ibid., hlm. 33 Ibid Ibid., hlm. 36
8 penyidikan yang biasanya berupa kesalahan penulisan angka pada register laporan polisinya.14
Dalam hal penyidikan atau penegakan hukum perkara pidana di Indonesia, masyarakat selalu mengambil peran sebagai “pengawas” kinerja aparat kepolisian sebagai penyidik, dan aparatur kejaksaan sebagai penuntut umum. Masyarakat selalu menggunakan momen demikian ini dengan cara meminta penjelasan tentang proses perjalanan penegakan hukum yang sedang terjadi melalui berbagai lembaga yang dipercaya yang mampu memberi penjelasan yang profesional dan dianggap lebih mumpuni, sehingga dua instansi yang terlibat dalam penanganan perkara ini, yaitu Polri sebagai penyidik, dan Jaksa sebagai Penuntut umum harus semakin meningkatkan profesionalismenya pada masing-masing peran yang berbeda namun padu.15
Profesionalisme atau tidak profesionalismenya penanganan permasalahan penegakan hukum pidana di Indonesia biasanya dapat diukur dari apakah berkas itu sering dinyatakan P.18 atau tidak P.18 oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun demikian, secara jujur harus kita akui pula bahwa bukan berarti kalau berkas perkara itu bolak-balik ke penyidik dengan alasan P.18 atau P.19, yaitu karena berkas perkaranya memang kurang lengkap atau kurang memenuhi syarat. Akan tetapi, kadang pula ada kepentingan oleh oknum Jaksa yang sengaja membuat situasi demikian untuk alasan yang tidak terpuji. Kemudian ukuran lainnya adalah sering munculnya gugatan praperadilan atas perkara yang sedang ditanganinya.
Ibid., hlm. 58 Ibid., hlm. 102
9 Walaupun kedua alasan tersebut bukan menjadi ukuran sesungguhnya, tidak dapat dipungkiri bahwa sering terjadi interest personal yang berpengaruh negatif terhadap jalannya proses perkara penegakan hukum itu sendiri oleh perbutan yang kurang terpuji. Kedua alasan inilah yang sering terjadi dan dapat menjadi tolok ukur permasalahan penyidikan perkara pidana di Indoesia, di samping masalahmasalah lain yang sering juga terjadi.16
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka penulis mencoba mengkaji tentang hal diatas dalam bentuk skripsi dengan judul “ Koordinasi antara Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut Umum dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: a. Bagaimanakah Koordinasi antara Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut Umum dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi? b. Apakah faktor yang menjadi kendala koordinasi antara Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut Umum dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?
2. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini meliputi substansi penelitian mengenai Koordinasi Antara Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut Umum dalam Penanganan Tindak Ibid., hlm. 103
10 Pidana Korupsi, yang merupakan ruang lingkup kajian hukum pidana. Wilayah penelitian yaitu bertempat di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Lampung dan Kepolisian daerah Lampung. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2015.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui Koordinasi antara Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut Umum dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi. b. Untuk mengetahui Faktor yang menjadi kendala Koordinasi antara Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut Umum dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dalam penulisan skripsi ini dengan mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis yakni sebagai berikut :
a. Kegunaan Teoritis
Kegunaan penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dalam pengkajian ilmu hukum mengenai putusan pengadilan serta mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar, dan cuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh penulis.
11 b. Kegunaan Praktis
Kegunaan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan ilmu hukum pidana dan khususnya analisis pemidanaan serta bermanfaat bagi penegak hukum dan rekan-rekan mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan Hukum Pidana khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan masyarakat umum.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya berguna untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang di anggap relevan oleh peneliti.17 Berdasarkan hal tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Teori Koordinasi Koordinasi adalah suatu usaha kerja sama antara badan, instansi, unit dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu, sehingga terdapat saling mengisi, saling membantu dan saling melengkapi.
Menurut Topo Santoso dalam studinya tentang Hubungan Polisi dan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlakunya Kitab Undang-undang
Hukum
Acara
Pidana,
Koordinasi
Fungsional,
yaitu
pemberitahuan dimulainya penyidikan, pemberitahuan dihentikannya penyidikan, 17
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum, Jakarta: Bumi Aksara 1983, hlm. 25.
12 perpanjangan penahanan, serta penyerahan berkas perkara yang jika belum lengkap dilakukan prapenuntutan.18
b. Teori Faktor-faktor Penghambat Penegakan Hukum Menurut Soerjono Soekanto faktor penghambat penegakan hukum adalah sebagai berikut:19 1. Faktor Perundang-undangan (Substansi Hukum) 2. Faktor Penegakan Hukum 3. Faktor sarana dan Fasilitas 4. Faktor Masyarakat 5. Faktor Kebudayaan
2. Konseptual Kerangka konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan di teliti.20
Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Koordinasi adalah perihal mengatur suatu organisasi dan cabang-cabangnya sehingga peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan dan simpang siur.
http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-75728.pdf, Diakses Pada Tanggal 4 Agustus 2015 Pukul 20.00 WIB. 19 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Citra Niaga, Jakarta, 1993, hlm. 5. 20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 132.
13 b. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan.21 c. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. d. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.22 e. Penanganan adalah suatu proses, cara, perbuatan menangani, penggarapan, penyelesaian satu atau serangkaian proses pekerjaan. f. Tindak pidana adalah setiap perbuatan yang di ancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang di sebut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan perundang-undangan lainnya.23 g. Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi (bersama-sama) yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi.
E Sistematika Penulisan Agar mempermudah memahami terhadap isi skripsi ini secara keseluruhan, maka diperlukan penjelasan mengenai sistematika penulisan yang bertujuan untuk mendapat suatu gambaran jelas tentang pembahasan skripsi yang dapat dilihat dari
Fokusindo Mandiri, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Bandung: hlm 215. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi Kedua), Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hlm 75. 23
Rocky Marbun, at al kamus hukum lengkap, Jakarta: visi media, 2012, Hlm. 311.
14 hubungan antara satu bagian dengan satu bagian lainnya secara keseluruhan. Sistematikanya sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dankonseptual sebagai acuan dalam membahas skripsi serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini merupakan pengantar pemahaman kedalam pengertian-pengertian umum tentang pokok bahasan antara lain pengertian tetang Koordinasi, Penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum dan Tindak Pidana Korupsi.
III. METODE PENELITIAN Pada bagian ini menjelaskan langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, sumber dan jenis data, cara pengumpulan data dan serta analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini berisi tentang pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap permasalahan yang ada dalam penulisan skripsi ini dengan studi kepustakaan dan studi lapangan.
V. PENUTUP Pada bagian ini berisikan kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian dan pembahasan serta berisikan saran-saran penulis yang diberikan berdasarkan penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian skripsi ini.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Koordinasi
Arti koordinasi menurut Money dan Reily, bahwa koordinasi adalah penyelarasan secara teratur atau penyusunan kembali kegiatan-kegiatan yang saling bergantung dari individu-individu untuk mencapai tujuan bersama. mendefinisikan
koordinasi
sebagai
suatu
proses
24
MC. Farland
dimana
pimpinan
mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur diantara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan didalam mencapai tujuan bersama.
Hakikat Koordinasi, bertujuan untuk menyatukan dan menyesuaikan kegiatankegiatan, menghubungkan satu sama lain, menyangkutpautkan sehingga kegiatankegiatan tersebut menjadi suatu unit kerja. Dalam rangka meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan produktifitas kerja, koordinasi harus dilakukan di semua tin gkatan, baik di pusat maupun didaerah, bahkan dalam kesatuan-kesatuan administratif, seperti bidang, seksi, bagian, sampai dengan kesatuan-kesatuan yang paling kecil.
Soerwarno Haryadiningrat, Study Ilmu Administrasi dan Managemen, 1998, hlm.88.
16 B. Pengertian Penyidik Polri
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah “pejabat Polisi Negara”. Memang dari segi diferesiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instasi kepolisian. Cuma agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, harus memenuhi “syarat kepangkatan” sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2). Menurut penjelasan Pasal ayat (2), kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum.25
Dalam hal penyidikan melakukan tindakan pemeriksaan penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah, penyitaan benda, pemeriksaan surat, pemeriksaan saksi , pemeriksaan ditempat kejadian, Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan atau tindakan lain menurut ketentuan KUHAP. la membuat berita acara yang dikuatkan dengan sumpah jabatan dan ditandatangani oleh penyidik dan semua orang yang terlibat. (Pasal 8 jo 75 KUHAP).
Setiap pejabat Polisi adalah penyidik yang karena kewajibannya berwenang untuk menerima laporan atau pengaduan tentang tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri dan mengadakan tindakan lain menurut hukum, ia dan barang bukti menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau dan menanyakan
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika, 2015, hlm. 111.
17 serta memeriksa tanda pengenal diri dan mengadakan tindakan lain menurut hukum, ia dapat pula bertindak atas perintah penyidik melakukan penangkapan, melarang meninggalkan tempat penggeledahan dan menyita.
Atas pelaksanaan tindakan tersebut penyelidik membuat dan menyampaikan laporan kepada penyidik (Pasal 4-5 KUHAP). Sedangkan yang dimaksudkan dengan pejabat penyelidik adalah merupakan wewenang dan tugas utama polri dari pangkat prada sampai jendral dalam rangka mencari kejahatan yang terjadi dalam masyarakat.
Menurut Pasal 2A. PP Nomor 58 Tahun 2010 syarat kepangkatan pejabat polisi republik Indonesia yang diberi wewenang untuk menjadi penyidik adalah sebagai berikut : a. Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara. b. Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun. c. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal. d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan e. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kepolisian Negara republik Indonesia bertujuan untuk menjamin ketertiban dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
18 Negara dan tercapainya tujuan Nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (pasal 2 UU No.2 tahun 1997).
Menurut pasal 15 UU Nomor 28 tahun 1997 tugas dari Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. Menerima laporan dan pengaduan. b. Melakukan Tindakan pertama ditempat kejadian c. Menganbil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang d. Mencari keterangan dan barang bukti e. Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional f. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum. g. Mencegah dan menanggulangi timbulnya penyakit masyarakat. h. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan Pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat.
C. Pengertian Jaksa Penuntut Umum
Di zaman Mataram (abad 17) istilah Jaksa dipakai sebagai nama pejabat yang melaksanakan peradilan terhadap perkara padu, yaitu perkara mengenai kepentingan perseorangan yang tidak dapat lagi didamaikan secara kekeluargaan oleh Hakim desa setempat.26
Menurut Pasal 1 ayat (6) a dan b, jo Pasal 13 KUHAP jaksa adalah pejabat yang diberikan wewenang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan
26
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Penerbit Alumni, 1983, hlm. 169.
19 putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi Jaksa sebagai Penuntut Umum berwewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatur juga tugas jaksa sebagai penuntut umum dalam bidang prapenuntutan. Tugas jaksa dalam bidang prapenuntutan diatur dalam Pasal 14 huruf (b) KUHAP yang mengatur tentang wewenang jaksa sebagai penuntut umum.27 Selain itu tugas jaksa dalam melakukan prapenuntutan dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-undang No. 16 Tahun 2004 yang menyatakan “dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan”.
Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah
menerima
pemberitahuan
dimulainya
penyidikan
dari
penyidik,
mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dishonest (ketidakjujuran).
R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bogor, Politeia, 1997.
20 Dari sudut pandang hukum, kejahatan Tindak Pidana Korupsi mencakup unsurunsur sebagai. berikut : a. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, dan sarana. b. memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. c. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pengertian tindak pidana korupsi berasal dari kata “tindak pidana” dan “korupsi”. Pembentuk
undang-undang
menggunakan
istilah
straafbaarfeit
untuk
menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan secara rinci mengenai strafbaarfeit tersebut. Dalam bahasa Belanda Straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu strafbaar dan feit.28 Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagai dari kenyataan”, sedangkan straafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah tentu tidak tepat. Oleh karena itu bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi bukan kenyataan, perbuatan, atau tindakan.29
Menurut Sudarto, istilah strafbaarfeit diterjemahkan dengan perbuatan pidana, perbuatan itu adalah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan.30 Perbuatan tersebut menunjuk kepada akibat maupun yang menimbulkan akibat. Jadi mempunyai makna abstrak yakni menunjukkan dua keadaan konkrit yaitu adanya kejadian tertentu dan adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. Menurut Tresna sebagaimana dikutip oleh Guse 28
Osman Simajuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Jakarta, Gramedia Widiasarana 1995, hlm. 29. 29 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta,Sinar Grafika, 2005, hlm. 5. 30 Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A dan I B, Purwokerto, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 1990,hlm. 35.
21 Prayudi, menggunakan istilah peristiwa pidana sebagai terjemahan dari strafbaarfeit dan mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan penghukuman.31
Memperhatikan UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 maka Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dari dua segi, yaitu :32 a. Korupsi Aktif Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang Korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ( Pasal 2 UU No 31 Tahun 1999) dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ( Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999) dan sebagainya.
b. Korupsi Pasif Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannnya yang bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 5 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001 ). Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang di serahan kepanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkaranya yang di serahkan kepada pengadilan untuk diaili ( Pasal 6 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001 ) dan sebagainya. Guse Prayudi, Tindak Pidana Korupsi Dipandang Dalam Berbagai Aspek, Yogyakarta, Pustaka Pena, 2010, hlm. 5. 32 Darwan Prins, Op. Cit., hlm. 2.
22 Unsur tindak pidana korupsi, adalah sebagai berikut :33 Unsur Objektif : 1. Setiap orang; 2. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi; 3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Berdasarkan Pasal 2 sampai Pasal 17 dan Pasal 21 sampai Pasal 24 UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pelaku tindak pidananya adalah Setiap orang, yang berarti orang perseorangan dan Korporasi. Dalam UU No 3 Tahun 1971 pelaku Tindak Pidana Korupsi yaitu orang perseorang saja. Pelaku Tindak Pidana Korupsi menurut KUHP adalah “ Barang siapa “ yang berarti orang perseorang ( swasta atau pegawai negeri ).
E. Faktor-fakorPenghambat Penegakan Hukum
Praktek penyelenggaraan penegakan hukum dilapangan sering kali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu, suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu bertentangan dengan hukum.
Hal yang mendasari penegakan hukum adalah pemahaman bahwa setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang 33
Komisi Pemberantasan Korupsi,Memahami Untuk Membasmi (Buku Saku untuk Memahami TindakPidana Korupsi), Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, hlm. 25.
23 memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk akan membimbing dan mengarahkan sikap dan prilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri prilaku dan perbuatannya. Selain untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertangung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya di hadapan hukum yang diakui bersama.34
Secara umum dilihat dari segi fungsional, pengoprasian dan penegakan sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar terwujud harus melalui beberapa tahap yaitu :35 1. Tahap formulasi, yaitu tahap perumusan atau penetapan pidana oleh pembuat undang-undang ( sebagai kebijakan legislatif). 2. Tahap aplikasi, yaitu tahap pemberian pidana oleh penegak hukum ( sebagai kebijakan yudikal). 3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh instansi yang berwenang ( sebagai kebijakan eksekusi).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut diatas dapatlah ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok dari pada penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
35
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm.14. Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung, hlm.157.
24 Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1) Faktor Hukumnya Sendiri, yang didalam tulisan ini akan dibatasi pada Undang-undang saja. 2) Faktor Penegakan Hukum,yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3) Faktor Sarana dan Fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4) Faktor Masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5) Faktor Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, ciptaan dan rasa yang didasarkan pada rasa karsa manusia didalam pergaulan hidup.
25
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Metodelogi berasal dari kata dasar metode dan logi, metode artinya cara melakukan sesuatu dengan teratur (sistematis), sedangkan logi artinya ilmu yang berdasarkan logika berpikir. Metodelogi penelitian artinya yaitu ilmu tentang cara melakukan penilitian dengan teratur.36
Dalam upaya untuk mendapatkan jawaban permasalahan yang diajukan dalam melakukan penelitian ini maka penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, yaitu :
1. Pendekatan Yuridis Normatif Dilakukan dengan cara mengkaji atau menelaah dan mempelajari bahan-bahan kepustakaan yang berupa teori-teori, konsep-konsep maupun yang berupa peraturan-peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
36
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandar Lampung: PT Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 57.
26 2. Pendekatan Yuridis Empiris Dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi-informasi tentang kenyataan yang terjadi dilapangan, guna mendapatkan fakta-fakta yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas.
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dilihat dari sudut sembernya di bedakan antara data yang di peroleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka.37 Adapun di dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat di dalam membahas skripsi ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang di gunakan di dalam penelitian ini maka jenis data yang di gunakan dalam penelitian ini di bedakan menjadi dua, yaitu:
1. Data Primer Data primer adalah data empiris yang di peroleh langsung dari sumber data dan metode pengumpulan data primer dengan cara, yaitu:38 wawancara yang di lakukan dengan responden yang sudah di tentukan atau tokoh kunci (key person).
2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang di peroleh melalui studi kepustakaan bahan-bahan hukum, jenis data sekunder yang di gunakan dalam penulisan ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, terdapat dalam peraturan perundang-undangan: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
38
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:UI-Pres, 2007, hlm. 11. Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm.170.
27 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. 5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.
b.Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisis serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang akan di bahas di dalam skripsi ini.
c.Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi, petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain berupa kamus besar bahasa Indonesia, media masa, artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet, yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.
C.Penentuan Narasumber
1. Penentuan Narasumber Narasumber adalah orang yang menjadi sumber informasi. Adapun yang menjadi narasumber yang akan diwawancarai adalah: 1. Jaksa Kejaksaan Tinggi Lampung
: 1 Orang
28 2. Polisi pada Kepolisian Daerah Lampung
: 1 Orang
3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Jurusan Pidana. : 1 Orang __________+ Total Jumlah Responden
: 3 Orang
D.Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
1.Metode pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan dua cara yaitu: a.
Studi Kepustakaan (library research)
Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media masa, dan bahan hukum tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.
b.
Studi Lapangan (Field Research)
Studi lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.
29 2.Pengolahan Data Data yang di peroleh baik dari hasil studi kepustakaan dan wawancara selanjutnya diolah dengan menggunakan metode: a. Editing yaitu memeriksa data yang di peroleh untuk segera mengetahui apakah data yang diperoleh itu relevan dan sesuai dengan masalah. Selanjutnya apabila ada data yang salah akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan diadakan penambahan. b. Interpretasi yaitu mengadakan penafsiran terhadap data yang dikumpulkan. c. Sistematika data adalah penyusunan data secara sistematis yaitu sesuai dengan pokok bahasa sehingga memudahkan menganalisis data.
Tahap-tahap pengolahan data tersebut bertujuan untuk mempermudah dalam menganalisis serta mempermudah menarik kesimpulan.
E. Analisis Data
Analisis data di lakukan secara kualitatif, komprehensif, dan lengkap. Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis,39
Dari hasil analisis tersebut dapat di lanjutkan dengan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode teori induktif, yaitu cara berpikir dalam menarik kesimpulan yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian di
39
Ibid., Hlm. 127
30 lanjutkan dalam pengambilan kesimpulan yang bersifat umum, serta dapat di ajukan saran-saran.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, meliputi : 1. Koordiasi antara penyidik dan penuntut umum berupa pemberian kewenangan kepada Kepolisian sebagai instansi penyidik tunggal tanpa campur tangan Jaksa sebagai penyidik atau penyidik lanjutan maupun sebagai koodinator alatalat penyidik. Selain itu Jaksa dijernihkan wewenangnya sebagai instansi Penuntut Umum,yang mana Jaksa hanya berwenang untuk melakukan penuntutan saja dan tidak dibenarkan lagi ikut campur tangan dalam proses penyidikan.
2. Faktor yang menghambat koordinasi antara penyidik polri dan jaksa penuntut umum dalam penanganan tindak pidana korupsi disebabkan oleh Penyidik sering tidak dapat memenuhi petunjuk penuntut umum ataupun petunjuknya sulit dimengerti penyidik, sehingga menyebabkan berkas perkara bolak-balik penuntut umum ke penyidik dan sebaliknya. Selain itu banyak berkas perkara yang dikembalikan penuntut umum untuk disempurnakan penyidik, tidak dikembalikan lagi ke penuntut umum.
53 B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah duiraikan diatas maka penulis memberikan saran sebagai berikut : 1. Kerjasama antara kepolisian dan jaksa dalam penyidikan tindak pidana korupsi sebaiknya ditingkatkan lagi, agar dalam menguak kasus korupsi dapat berjalan dengan baik dan tidak berhenti ditengah jalan. 2. Perlunya kualitas penyidik polisi yang berkaitan dengan penyidikan tindak pidana korupsi agar proses penyidikan dapat berjalan lancar dan sesuai prosedur.
54
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Literatur :
Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: Grafindo Persada.
Dewantara, Nandan Agung. 1987. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana. Jakarta: Aksara Persada. Hamzah,Andi. 2010. Asas – Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Harahap, H Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan penerapan Kuhap. Jakarta: Sinar Grafika. H.M Agus, Santoso. 2001. Hukum Moral dan Keadilan. Jakarta: Kencana. Marpaung, Ledeng. 1999. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh.Jakarta: Sinar Grafika. Moeljatno.2008. Asas Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Nashriana. 2012. Perlindunga Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Rasjidi, Lili. 2007. Pengantar Filsafat Hukum. Bandung: Mondar Maju. Rifai, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Sambas, Nandang. 2010. Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. Bandung: Graha Ilmu. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.
55 Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bogor: Politeia. Sudarto.1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni. ----------.1990. Hukum Pidana 1. Semarang: Yayasan Sudarto FH UNDIP. Santoso, Topo. 2001. Mengagas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Asyamil. P.A.F Lamintang. 2012. Hukum Penintesier Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang.2011. Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan. Jakarta: Sinar Grafika. ----------.2012. Delik-Delik Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika. ----------.2014. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Prasetyo, Teguh. 2013. Hukum Pidana. Jakarta:Rajawali Pers. Prasetyo, teguh. 2011. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana. Bandung : Nusa Media. Waluyo, Bambang. 2014. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.
Perundang-undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Republik Indonesia tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Republik Indonesia Tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Republik Indonesia Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Internet :
Wikipedia, DefinisiCendekiawan, http://id.m.wikipedia.org/wiki/cendekiawan diakses pada tanggal 25 oktober 2014, pukul 22.00 wib. Hadisti, Teori Keadilan Menurut Para Ahli, 29 maret http://hadisti.blogspot.com/2012/11/Teori-Keadilan-menurut-paraahli.html(13.00)
2014,