Konversi BBM ke BBG: Belajar dari Pengalaman Sebelumnya Oleh: Hadi Setiawan1
Pendahuluan Kekayaan gas alam Indonesia yang besar dan melimpah, jumlah subsidi bahan bakar minyak (BBM)/energi yang sangat besar, dan kondisi Indonesia yang sudah menjadi net importir minyak menjadi beberapa alasan bagi Indonesia untuk segera melakukan program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG). Gambar 1. Cadangan Gas Bumi Indonesia
Keterangan: Kondisi per 1 Januari 2011 Sumber: Ditjen Migas diunduh dari http://www.migas.esdm.go.id/ Cadangan gas bumi Indonesia mencapai 152,89 TSCF merupakan jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah gas yang sudah diproduksi. Pada tahun 2012 saja jumlah produksi gas kita hanya sekitar 3,17 TSCF (hanya sekitar 2,07% dari total cadangan gas bumi atau hanya 3,03% dari total cadangan terbukti).2 Ditambah lagi, jumlah yang dikomsumsi di dalam negeri hanya separuh dari jumlah produksi. Kondisi ini membuat Indonesia menjadi negara eksportir gas 1
2
Peneliti Muda pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan, email:
[email protected]. Artikel telah dimuat dalam Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) Edisi 1 Tahun 2014. Data dari Ditjen Migas.
nomor 7 di dunia pada tahun 2012.3 Hal ini berarti Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan gas sebagai bahan bakar pengganti BBM. Nilai subsidi BBM yang sudah mencapai sekitar 22,8% dari jumlah total realisasi penerimaan pajak tahun 2013, bahkan jika ditambah dengan subsidi listrik maka nilainya menjadi sekitar 33,8% adalah suatu nilai yang tidak rasional karena sebagian besar subsidi tersebut justru dinikmati oleh orang yang mampu. Walaupun dilakukan kenaikan harga BBM bersubsidi pada pertengahan 2013, hal itu ternyata tidak terlalu membawa perubahan yang signifikan pada jumlah subsidi BBM tahun 2014. Jika pada APBN-P 2013 jumlah subsidi BBM sebesar Rp209,9 triliun maka pada tahun 2014 nilainya menjadi Rp210,7 triliun (sekitar 18,98% dari target penerimaan pajak). Jadi dapat dikatakan bahwa sekitar 1/5 uang pajak dari rakyat hanya “dibakar” di kendaraan. Alangkah jauh lebih bermanfaatnya jika uang pajak rakyat yang “dibakar” tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur, untuk pengentasan kemiskinan, untuk penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya. Grafik 1. Besaran Subsidi Tahun 2009 s. d. 2014 (dalam triliun rupiah) 400 350 300
39,8
250
0
94,6
100
51,6
71,4 Non energi Listrik
52,8
150
50
48,3
90,4
200
100
39,9
43,5 49,5 45 2009
57,6
165,2
211,9
209,9
210,7
BBM
82,4 2010
2011 2012 2013 APBN-P APBN-P APBN-P
2014
Sumber: Nota Keuangan APBN, beberapa terbitan. Harga BBM bersubsidi yang murah menjadi salah satu penyebab konsumsi BBM yang sangat besar padahal supply di Indonesia sudah sangat terbatas. Efeknya, Indonesia menjadi salah satu net importir minyak sehingga neraca perdagangan minyak dan gas (migas) selalu mengalami defisit. Pada tahun 2013 saja neraca perdagangan migas mengalami defisit sebesar US$12,6 miliar yang 3
www.indexmundi.com, diakses tanggal 28 Februari 2014.
berdampak pada defisitnya neraca perdagangan secara keseluruhan sekitar US$4,1 miliar. Pada kuartal tiga 2013, defisit neraca perdagangan ini bahkan sampai mengganggu kondisi ekonomi kita (nilai kurs rupiah melemah, pertumbuhan ekonomi melambat, dan sebagainya). Semua kondisi tersebut mendorong kita untuk kembali menjalankan program konversi BBM ke BBG yang sudah pernah dilakukan sebelumnya di beberapa kota yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Cirebon, Bogor, dan Palembang. Walaupun dapat dikatakan program konversi yang dijalankan di beberapa kota tersebut gagal tetapi seharusnya kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman kegagalan tersebut.
Pengalaman Indonesia Sebelumnya Susanti, dkk. (2011)4 menuliskan dalam bukunya tentang pengalaman beberapa kota dalam menjalankan program konversi. Pertama di Jakarta, Pemerintah DKI Jakarta telah mengharuskan penggunaan BBG bus Transjakarta dan angkutan umum lainnya pada tahun 2006 melalui Perda DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 dan juga mengatur target penggunaan BBG setiap tahunnya (Tabel 1). Pada tahun 2015 diharapkan 15.563 angkutan umum telah menggunakan BBG, namun kenyataan pada saat ini yang konsisten menggunakan BBG hanyalah bus Transjakarta, sedangkan jenis angkutan umum lainnya termasuk bajaj semakin berkurang jumlah yang menggunakan BBG. Tabel 1. Target Konversi BBM ke BBG Jakarta Jenis Angkutan Umum Bus besar – Busway Bus sedang Bus kecil - Mikrolet Bus kecil – APB Bus kecil – KWK Taksi Bajaj
2011
300 100 300 2.000 100
2012 50 50 1.000 200 1.000 3.000 1.000
2013 100 100 1.500 250 1.500 5.000 2.000
2014 200 200 2.000 250 2.000 5.000 3.000
2015 350 350 1.910 346 1.438 7.169 4.000
Sumber: Dinas Perhubungan DKI Jakarta dalam Susanti, dkk., 2011.
4
Susanti, dkk. 2011. Kebijakan Nasional Program Konversi dari BBM ke BBG untuk Kendaraan. LIPI Press. Jakarta
Program konversi di Jakarta kurang berhasil disebabkan antara lain (i) sangat terbatasnya pasokan gas untuk transportasi; (ii) jaringan pipa gas di Jakarta yang masih sangat minim, akibatnya SPBG yang ada sangat terbatas dan jaraknya juga jauh sehingga para pemilik kendaraan angkutan umum tersebut malas untuk mengisi BBG; (iii) posisi SPBG tersebut sebagian besar tidak dilewati oleh rute angkutan umum; dan (iv) sebagian SPBG yang ada masih menggunakan teknologi slow fill sehingga memerlukan waktu lama untuk pengisian 1 tangki BBG (sekitar 30 menit) sehingga antrian menjadi panjang. Sementara di Bandung, pengalaman program konversi telah dimulai pada tahun 1997 melalui Program Langit Biru. Pada tahap awal sebanyak 35 angkutan kota dan 45 mobil dinas menggunakan BBG. Tetapi program ini tidak bertahan lama karena banyaknya kendala yang dihadapi, yang antara lain (i) di Bandung tidak ada jaringan pipa gas sehingga menyulitkan pasokan BBG, (ii) tidak ada suku cadang dan bengkel atau teknisi khusus untuk konverter kit dan kendaraan yang dikonversi sehingga apabila konverter kit rusak dilakukan kanibalisme efeknya jumlah konverter kit lama-kelamaan habis, dan (iii) teknologi pengisian SPBG yang ada adalah slow fill sehingga para sopir angkutan kota yang menggunakan BBG menjadi tidak sabar. Program konversi juga sudah di mulai pada tahun 2003 di Cirebon. Program ini dilakukan dengan inisiatif sendiri dari pengusaha angkutan kota, karena pengusaha menilai bahwa dengan menggunakan BBG akan dapat menghemat biaya mereka. Hal ini ditunjang oleh infrastruktur di Cirebon yang dilalui oleh jaringan pipa gas dan kondisi masyarakatnya yang sudah terbiasa menggunakan gas. Tetapi pada kenyataannya program konversi di Cirebon juga tidak dapat bertahan lama karena terkendala teknologi yang tersedia di SPBG hanyalah teknologi slow fill, dan sulitnya mencari spare part pengganti konverter kit yang rusak serta ketiadaan bengkel khusus konverter kit. Kementerian Perhubungan juga melakukan program konversi di Bogor dengan menyumbangkan 1.001 konverter kit bagi angkutan kota pada tahun 2009. Tetapi sampai dengan saat ini, konverter kit tersebut belum dapat dipergunakan karena tidak adanya SPBG di Bogor. Ketiadaan SPBG tersebut disebabkan oleh tidak adanya jaringan pipa gas yang memenuhi syarat untuk dapat dibangun SPBG.
Sedangkan di Palembang program konversi dimulai pada tahun 2009 dengan adanya bantuan konverter kit sebanyak 666 dari Pemerintah Pusat yang diperuntukkan bagi angkutan kota. Tetapi hanya sebanyak 53 unit saja yang dipasang, karena terkendala letak SPBG yang jauh dari rute angkutan kota, ketakutan akan meledaknya tabung BBG, ketakutan akan berkurangnya kinerja mesin, tidak adanya suku cadang konverter kit, dan layanan purna jual yang jelek. Khusus untuk Surabaya program konversi ternyata cukup berhasil. Program yang diprakarsai oleh para pengusaha taksi pada tahun 2007 ini dilakukan dengan cara memberikan konverter kit kepada supir taksi dan cara pembayarannya dicicil pada saat pembelian BBG. Kemudian pada tahun 2010, Pemerintah Pusat juga turut serta memberikan 500 konverter kit bagi angkutan kota. Sampai saat ini program ini masih bertahan di Surabaya dan diharapkan semakin berkembang.
Pelajaran yang Diperoleh Potensi gas alam yang sangat besar dan manfaat-manfaat lainnya yang diperoleh dari program konversi membuat Indonesia sangat potensial untuk mengembangkan BBG sebagai bahan bakar pengganti BBM. Pengalamanpengalaman “kegagalan” program konversi BBM ke BBG di beberapa kota memberi pelajaran untuk pengembangan program konversi selanjutnya. Dari pengalaman sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kegagalan program konversi di beberapa kota antara lain disebabkan oleh supply/pasokan gas yang sulit/terbatas, jumlah SPBG yang sangat sedikit dan lokasi nya yang tidak strategis, infrastruktur jaringan pipa gas yang masih sangat terbatas, teknologi pengisian BBG yang sangat lama (sekitar 30-40 menit), harga BBM yang masih murah, suku cadang dan teknisi konverter kit (layanan purna jual) yang sangat jarang, dan ketakutan pengguna BBG. Oleh karena itu, setidaknya terdapat tiga hal yang harus dilakukan agar program konversi ini dapat berjalan sukses, yaitu (i) pengadaan konverter kit, (ii) jaringan distribusi termasuk pengadaan SPBG, dan (iii) ketersediaan pasokan gas.5 Pengadaan konverter kit. Agar program konversi ini menarik, Pemerintah harus ikut campur tangan dengan memberikan subsidi pengadaan konverter kit 5
Setiawan. 2013. Konversi Bahan Bakar Minyak ke Bahan Bakar Gas Pada Sektor Transportasi: Mungkinkah Dilakukan. Bunga Rampai Energi. Jakarta.
atau memberikan dana talangan pengadaan konverter kit yang nantinya akan dibayar oleh pembeli konverter kit dengan cara mencicil ketika membeli BBG (harga BBG sudah termasuk cicilan konverter kit - Gambar 2). Selain itu, pada tahap awal Pemerintah juga harus memastikan bahwa layanan purna jual, bengkel, dan teknisi untuk konverter kit tersedia di lapangan. Selanjutnya jika pasar konverter kit sudah terbentuk maka kemungkinan besar layanan purna jualnya juga akan tersedia dengan sendirinya. Gambar 2. Skema Pengadaan Konverter Kit
Keterangan: 1. Konsumen mendapatkan konverter kit dari produsen/penjual secara cuma-cuma 2. Konverter kit dibayar oleh Pemerintah sebagian dengan dana subsidi dan sebagian lagi dibebankan kepada konsumen melalui pembelian BBG yang didalamnya terdapat komponen harga konverter kit 3. Konsumen membayar BBG ke SPBG yang di dalamnya terdapat komponen pembelian konverter kit 4. SPBG membeli BBG dari Pertamina/PGN/Supplier Gas Swasta yang didalamnya ada komponen harga konverter kit 5. Pertamina/PGN/Supplier Gas Swasta membayar ke pemerintah porsi konverter kit dari hasil penjualan BBG
Pipa jaringan distribusi dan pengadaan SPBG. Pemerintah juga harus turut berperan dalam pembangunan jaringan pipa distribusi gas dan pengadaan SPBG. Untuk tahap awal adalah pembangunan jaringan pipa gas di lokasi-lokasi yang sudah direncanakan sebelumnya, termasuk pembangunan jaringan pipa di dalam kota. Pembangunan infrastruktur ini dapat dilakukan dengan menggunakan dana APBN/APBD atau menggunakan skema kerja sama pemerintah dengan swasta (KPS) ataupun melalui penugasan kepada BUMN. Sedangkan untuk pengadaan SPBG dapat di dilakukan oleh Pemerintah melalui dua skema sehingga dapat menarik minat pengusaha agar mau berinvestasi dalam pembangunan SPBG, yaitu (i) melalui penerusan pinjaman dan (ii) melalui pemberian penjaminan pinjaman.
Dalam skema penerusan pinjaman, Pemerintah dapat meneruskan fasilitas pinjaman murah atau hibah dari luar negeri yang banyak disediakan oleh negara maju atau lembaga internasional bagi teknologi ramah lingkungan atau energi ramah lingkungan ke pengusaha-pengusaha SPBG dengan suku bunga kredit yang murah dan akses/skema yang mudah. Sementara dalam skema pemberian penjaminan pinjaman, skema penjaminan yang diterapkan pada KUR dapat dijadikan contoh untuk kredit pembangunan SPBG. Pemerintah memberikan penjaminan atas sebagian pinjaman, misalnya sebesar 50% - 80% melalui perusahaan penjamin. Di samping itu untuk membuka pasar bisnis SPBG, Pemerintah dapat menugaskan kepada BUMN (Pertamina atau PGN) untuk menjadi pionir. Setelah pasar bisnis ini terbentuk, maka pasti pengusaha akan mau terjun untuk membangun SPBG. Ketersediaan pasokan gas. Suplai BBG harus dapat dijamin oleh Pemerintah. Caranya dapat dilakukan melalui tangan SKK Migas yang mengatur mengenai peruntukan gas. Misalnya memanfaatkan bagian gas yang diterima oleh pemerintah untuk dipergunakan pada sektor transportasi. Untuk memastikan program ini berhasil, maka ketiga faktor tersebut harus dibarengi dengan kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi, misalnya dengan melakukan pola subsidi tetap, dimana subsidi BBM yang diberikan per liter nya adalah tetap (misal Rp1.000 atau Rp2.000). Sehingga masyarakat akan mau beralih dari menggunakan BBM menjadi menggunakan BBG karena harga BBM menjadi tidak menarik lagi.
Penutup Belajar dari pengalaman-pengalaman yang didapat dari program konversi BBM ke BBG yang sudah dilakukan sebelumnya membuat kita mengetahui apa saja kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki dan apa saja yang harus dilakukan agar program konversi dapat berhasil. Dengan kemauan yang kuat dari Pemerintah dan peran serta dari seluruh pemangku kepentingan, maka niscaya program konversi BBM ke BBG ini akan berhasil. Keberhasilan program konversi akan membuat Indonesia dapat menikmati manfaat dari pengalihan anggaran subsidi BBM yang sebelumnya sebagian besar dinikmati oleh orang mampu menjadi lebih
bermanfaat bagi pembangunan ekonomi dan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.