PROGRAM KONVERSI DARI BBM KE BBG UNTUK KENDARAAN Agus Hartanto, Vita Susanti, Ridwan Arief Subekti, Hendri Maja Saputra, Estiko Rijanto, Abdul Hapid Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI Komplek LIPI Bandung, Jl Cisitu No.21/154D, Gd 20, Lt 2, Bandung, Jawa Barat 40135, Indonesia
Abstrak Populasi kendaraan di Indonesia yang berbahan bakar minyak (BBM) setiap tahunnya semakin meningkat sedangkan cadangan minyak sendiri semakin menipis dan harus impor. Kenaikan pemakaian BBM untuk kendaraan tersebut menyebabkan subsidi BBM dan polusi udara juga akan meningkat. Tingginya harga minyak mentah, menyebabkan pemerintah harus memberikan subsidi BBM, tahun 2011 pemerintah mengalokasikan dana APBN sebesar Rp 92,79 triliun untuk subsidi BBM dan melihat perkembangan harga minyak dunia akhir akhir ini, subsidi tersebut bisa lebih dari Rp 100 Triliun. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan sebagai pengganti BBM untuk kendaraan. Salah satu bahan bakar alternatif tersebut adalah bahan bakar gas (BBG). Perkembangan kendaraan berbahan bakar gas alam (NGV) di luar negeri sangat pesat. Negara-negara di kawasan Asia yang NGV-nya sangat berkembang adalah Pakistan, Iran dan India. Dibanding perkembangan pemakaian NGV di luar negeri, Indonesia sangat tertinggal. Hingga saat ini, pelaksanaan program konversi BBM ke BBG untuk kendaraan kurang berhasil dilihat dari jumlahnya yang kurang dari 5000 unit NGV. Permasalahan yang menghambat perkembangan NGV tersebut antara lain karena jumlah SBBG yang masih sedikit, pasokan gas yang kurang, hingga hambatan para pemakai yang takut menggunakan BBG. Dampak dari pemakaian BBG sudah banyak dilakukan kajian yang memberikan kesimpulan bahwa banyak memberikan keuntungan, yaitu pengurangan pemakaian BBM yang juga memberikan pengurangan subsidi dan pengurangan emisi. Bagi pengguna akan memberikan keuntungan karena harga BBG lebih murah dibanding harga BBM dan memberikan peluang usaha gas dihulu dan di hilir yang akan meningkatkan lapangan kerja. Dengan adanya berbagai keuntungan tersebut maka Indonesia perlu menata ulang pemakaian energy terutama BBM dan BBG untuk kendaraan. Agar konversi pemakaian BBM ke BBG untuk kendaraan dapat berjalan dengan baik, direkomendasikan untuk mencanangkan konversi tersebut sebagai program nasional. I.
Pendahuluan Dari tahun ke tahun jumlah kendaraan yang menggunakan BBM di Indonesia semakin meningkat. Jika di tahun 2000 jumlah kendaraan sekitar 5 juta unit, untuk tahun 2009 sudah meningkat lebih dari 3 kalinya yaitu sekitar 18 juta unit, dan dari perkembangan kendaraan tersebut lebih dari 60% adalah kendaraan penumpang yang mencapai sekitar 10 juta unit. Dengan kenaikan jumlah kendaraan, menyebabkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) meningkat, jika ditahun 2000 keperluan BBM untuk transportasi sekitar 20.000 kilo liter, ditahun 2009 sudah 1
mencapai 37.000 kili liter. Dengan semakin besarnya konsumsi BBM maka diperlukan produksi minyak yang lebih besar, tetapi dalam kenyataannya produksi minyak di dalam negeri sejak tahun 2000 mengalami penurunan, sehingga sejak tahun 2005, Indonesia menjadi importir minyak. Tingginya harga minyak mentah dunia, menyebabkan pemerintah harus memberikan subsidi BBM. Untuk tahun 2011, pemerintah mengalokasikan dana APBN sebesar Rp 92.79 triliun untuk subsidi BBM dan melihat perkembangan harga minyak dunia akhir-akhir ini, subsidi bisa tembus Rp100 triliun. Sehingga semakin banyak populasi kendaraan di Indonesia dimasa mendatang, menjadi semakin besar juga subsidi BBM yang harus dialokasikan pemerintah setiap tahunnya. Selain masalah sumber energi dan subsidi tersebut, muncul juga permasalahan pencemaran lingkungan dari hasil pembakaran BBM pada kendaraan, seperti gas CO2, PM10, dan PB. Data dari Departemen Perhubungan, polusi CO2 yang dihasilkan pada tahun 2003 dari sistem transportasi sebesar 168 juta ton, jika sejalan dengan bertambahnya kendaraan pada tahun 2007 menjadi sekitar 324 juta ton. Perkembangan pencemaran lingkungan tersebut memberikan dampak yang tidak baik bagi kesehatan penduduk. Sektor penyumbang emisi terbesar adalah sektor pembangkit listrik dan transportasi, sehingga diperlukan penanganan khusus. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada pertemuan negara-negara berkembang (Group of 77), berjanji akan mengurangi emisi sebesar 26% pada tahun 2020. Untuk tindak lanjut dari pidato Presiden tersebut perlu kejelasan pembagian kontribusi pengurangan emisi disetiap sektor. Dari sektor transportasi sumber masalah emisi adalah bahan bakarnya, BBM yang digunakan menghasilkan polusi yang besar. Untuk itulah perlu adanya penggantian bahan bakar yang ramah lingkungan, salah satunya adalah BBG (bahan bakar gas). Gas yang dimaksud di sini adalah compressed natural gas (CNG). CNG dipilih karena cadangannya yang masih sangat banyak seperti yang diutarakan dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia) dengan cadangan gas alam sekitar 165 TCF, sehingga tidak perlu mengimpor. Jika menggunakan LPG maka kita harus mengimpor dari luar karena kebutuhan dalam negeri lebih besar dari keperluan dan tentu saja akan membebani pemerintah. Gas yang lain yang bisa digunakan sebagai bahan bakar adalah hidrogen, tetapi hidrogen ini teknologinya masih sangat rumit dan perlu waktu yang lama untuk mengembangkannya. Selain karena cadangan dari gas masih cukup banyak dan harganya yang lebih murah dibandingkan dengan BBM, yaitu 2/3 dari harga bensin subsidi (premium) atau sekitar 1/3 dari premium non subsidi. Kalau dibandingkan dengan Negara-negara yang populasi NGV nya berkembang sangat pesat, harga BBG di Indonesia jauh lebih mahal. Dilihat dari cadangan gas yang banyak dan harganya yang murah, polusi yang dihasilkan oleh CNG lebih kecil dibandingkan dengan bensin dan LPG. Maka alternative untuk menggunakan BBG sebagai pengganti BBM merupakan salah satu pilihan yang perlu dilaksanakan oleh pemerintah. II. Perkembangan Kendaraan menggunakan BBG (NGV) II.1 Perkembangan NGV di dunia Perkembangan kendaraan berbahan bakar gas alam (NGV) di luar negeri sangat pesat. Negara-negara di kawasan Asia yang NGV-nya sangat berkembang adalah Pakistan, Iran dan India. Hal ini terjadi karena sumber daya gas yang melimpah 2
serta dukungan yang kuat dari pemerintahnya, yaitu berupa pemberian subsidi dan pemberian kredit untuk pembelian NGV. Konversi dari BBM ke BBG di negara tersebut berlatar belakang makin meningkatnya harga BBM dan tingkat polusi yang tinggi di negara tersebut. Populasi di Iran pada awalnya sangat kecil, tetapi sejak tahun 2006 populasinya meningkat sangat cepat dan melampaui India. Data terakhir untuk perkembangan NGV di dunia yang menduduki peringkat pertama adalah Pakistan dengan jumlah NGV sebanyak 2,7 juta unit. Diikuti Iran dan Pakistan sebanyak 1,95 juta dan 1,9 juta NGV. Indonesia tidak termasuk ke dalam top 10 populasi NGV di dunia.(Tabel 1) Tabel 1. Top 10 NGV di Dunia
Sumber: Global 2011, www.iangv.org
Data Desember 2010 jumlah NGV di Indonesia sebanyak 5.262 unit atau setara dengan 0,008% dari populasi jumlah kendaraaan yang menggunakan BBM. Untuk di Pakistan dengan jumlah NGV sebanyak 2,5 juta setara dengan 61,14% dibandingkan dengan populasi kendaraan yang menggunakan BBM. II.2. Perkembangan NGV di Indonesia Dengan berbagai manfaat tersebut Departemen Perhubungan sudah mengkaji mengenai konversi dari BBM ke BBG pada kendaraan sejak tahun1980 dan pada tahun 1988 di Jakarta sudah mulai dilakukan program percontohan. (lihat Tabel 2) Tabel 2 perkembangan NGV di Indonesia. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tahun 1988 1990 1997 2007 2007 2008 2009 2009 2010
Kota Jakarta Jakarta Bandung Jakarta Surabaya Jakarta Bogor Palembang Surabaya
Jumlah NGV 500 90 80 1.755 500 840 1.001 666 500
Selain di Jakarta, program konversi dari BBM ke BBG untuk kendaraan telah dilaksanakan di berbagai kota. Di Bandung sejak tahun 1997 telah melaksanakan program tersebut, tetapi kendalanya pasokan gas yang tidak menentu dan tidak 3
tersedianya spare part konverter kits sehingga masyarakat beralih kembali ke BBM. Untuk daerah Surabaya, masyarakatnya lebih paham akan manfaat konversi ke BBG sehingga mereka dengan swadaya mengkonversi kendaraan mereka menggunakan BBG. Pada tahun 2004, diperkirakan jumlah NGV di Indonesia hanya 500 unit. Oleh sebab itu, sejak tahun 2007 pemerintah mulai menggalakkan lagi program konversi ke BBG dengan membagikan konverter kits untuk taksi dan bajaj di Jakarta. Pada tahun 2009, pemerintah kota Bogor mendapatkan bantuan konverter kits dari pemerintah. Tetapi sampai saat ini 1.001 konverter kits yang dibagikan belum digunakan karena tidak tersedianya SPBG di Bogor. III. Permasalahan Konversi dari BBM ke BBG di Indonesia Dibanding perkembangan pemakaian NGV di luar negeri, Indonesia sangat tertinggal. Hingga saat ini, pelaksanaan program konversi BBM ke BBG untuk kendaraan kurang berhasil dilihat dari jumlahnya yang kurang dari 5000 unit kendaraan berbahan bakar gas atau NGV. Hal ini disebabkan beberapa kendala seperti berikut. 1) Pasokan Gas Meskipun sumber gas di Indonesia sangat banyak, namun pada kenyataannya quota gas untuk transportasi tidak ada. Gas yang ada sudah habis untuk industri dan pembangkit listrik, bahkan pembangkit listrik masih kekurangan pasokan gas. Untuk itulah diperlukan adanya quota gas untuk transportasi oleh pemerintah. 2) Harga Gas Sebelum keluarnya KepMen ESDM No. 2932 K/12/MEM/2010 mengenai harga jual BBG, di Jakarta terdapat dua jenis harga gas untuk kendaraan dalam hal ini CNG (Compressed Natural Gas). Harga gas Pertamina Rp. 2.562/lsp atau liter setara premium sedangkan harga gas PGN (Perusahaan Gas Negara) adalah Rp. 3.600/lsp. Karena perbedaan harga ini, maka SPBG yang menjual gas lebih mahal kekurangan konsumen yang diakibatkan konsumennya beralih ke SPBG yang menjual gas lebih murah. Hal ini berakibat buruk karena terjadi antrian panjang dan SPBG harus beroperasi terus menerus, sehingga perawatannya terabaikan. Sejak 15 Desember 2010 sudah diberlakukan KepMen ESDM No. 2932 K/12/MEM/2010 dimana harga BBG untuk transportasi di wilayah Jakarta ditentukan Rp. 3.100/lsp sehingga tidak ada perbedaan harga lagi. Walaupun sudah sama harganya, tetapi para pengusaha masih berusaha untuk minta kenaikan dari harga tersebut, karena dengan harga tersebut marginnya sangat kecil. 3) Kualitas Gas Kualitas Gas saat ini sudah ditentukan dengan surat keputusan Menteri ESDM, tetapi pelaksanaan dilapangan belum ada yang melakukan pengetesan. Salah satu keluhan dari Bus Trans Jakarta adalah kandungan air terlalu tinggi, sehingga setiap 6 bulan diperlukan pembersihan tangki Gas. 4) SPBG SPBG yang ada selama ini sangat sedikit, sedangkan populasi NGV di Jakarta semakin meningkat dan tidak sebanding dengan pertumbuhan SPBG, sehingga terjadi antrian yang cukup panjang pada saat pengisian BBG. Hal ini mengakibatkan banyak kendaraan yang tadinya menggunakan BBG jadi beralih kembali menggunakan BBM karena enggan mengantri. 5) Kit Konverter 4
Kit konverter yang digunakan di Indonesia saat ini berasal dari berbagai negara, seperti Argentina, Cina dan India. Spare part atau suku cadang untuk peralatan konversi tersebut tidak tersedia di Indonesia. Jika ingin membelinya harus dalam jumlah besar dan waktu yang diperlukan untuk pengiriman juga lama. Akibatnya kendaraan yang mengalami kerusakan sangat sulit diperbaiki karena sulitnya pengadaan spare part dan pada akhirnya kendaraan tersebut kembali lagi menggunakan BBM. 6) Standar Di Indonesia standar yang digunakan untuk peralatan konversi bahan bakar gas (CNG) pada kendaraan adalah SNI 7407 : 2009. Standar ini mengacu pada beberapa standar dari luar negeri seperti AS/NZ 2739 : 2009, ISO 15500 : 2001, dan sebagainya. Namun butir-butir yang diacu pada SNI tidak selengkap yang ada pada standar-standar tersebut, sehingga SNI masih belum dapat dijadikan sebagai patokan. Contohnya adalah pada SNI ada bagian yang membahas mengenai instalasi, tetapi pada kenyataannya di lapangan para installer merakit peralatan konversi tersebut mengikuti panduan dari vendornya masing-masing, sehingga tata letak peralatan konversi pada kendaraan satu dengan yang lainnya berbedabeda tergantung dari vendor dan luasnya ruang yang ada pada kendaraan. 7) Pengujian Selama ini di Indonesia tidak ada suatu lembaga atau badan yang menguji peralatan konversi, yang ada hanya pengujian pada tabung yang dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja. Sebelum digunakan pada kendaraan, peralatan konversi yang diimpor harus diuji terlebih dahulu. Sehingga dapat diketahui kelayakan penggunaan peralatan tersebut. 8) SDM SDM yang menangani instalasi converter kits masih sangat sedikit dan masih belum bersertifikasi karena tidak ada badan yang mengeluarkan sertifikasi. Para SDM/teknisi tersebut dilatih langsung oleh vendor yang mengeluarkan converter kits. 9) Monitoring Evaluasi Sejak dicetuskannya program konversi BBM ke BBG pada kendaraan pada tahun 1988 hingga saat ini belum dilakukan monitoring dan evaluasi pada kendaraan yang menggunakan BBG, sehingga mengalami kesulitan untuk mendapatkan data populasi kendaraan. 10) CDM Salah satu manfaat dari konversi BBM ke BBG pada kendaraan adalah pengurangan emisi. Pengurangan emisi yang diperoleh dapat di konversi ke CDM (clean development mechanism), sehingga 1 ton CO2 yang dikurangi dapat menghasilkan $10. Pengurangan emisi CO2 ini dijual dalam bentuk Certified Emission Reduction (CER) ke negara-negara maju yang paling banyak menghasilkan emisi CO2. IV. Manfaat Konversi dari BBM ke BBG IV.1.Umum Konversi dari BBM ke BBG mempunyai banyak manfaat, yaitu mengurangi pemakaian BBM, mengurangi pencemaran udara, menguntungkan pengguna dan memberikan peluang usaha. (gambar 1)
5
Gambar 1. Manfaat Konversi dari BBM ke BBG Secara lebih rinci manfaat konversi BBM ke BBG dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Mengurangi penggunaan BBM dan subsidi Dengan mengkonversi bahan bakar kendaraan dari BBM ke BBG, akan mengurangi pemakaian BBM yang berarti mengurangi impor minyak dan tentu saja subsidi yang dialokasikan pemerintah untuk BBM menjadi berkurang. 2. Mengurangi pencemaran lingkungan Bahan bakar gas emisinya sangat kecil dibanding dengan bensin, penggunaan BBG dapat mengurangi emisi CO sebesar 95%, emisi CO2 sebesar 25%, emisi HC sebesar 80%, dan emisi NOx sebesar 30%. Hal ini akan berdampak positif bagi lingkungan karena ikut serta dalam pengurangan pemanasan global. 3. Peluang usaha Apabila konversi dari BBM ke BBG ini berjalan dengan lancar maka industri dari hulu ke hilir termasuk industri konversi di dalam negeri akan semakin berkembang. Hal tersebut secara otomatis akan berdampak positif bagi penyerapan tenaga kerja di dalam negeri. 4. Bagi pemakai Bagi pengguna kendaraan berbahan bakar gas (NGV/natural gas vehicle) akan menghemat pengeluaran pembelian bahan bakar karena harga BBG jauh lebih murah dibandingkan harga BBM. Selain itu, pengguna NGV juga menghemat pengeluaran untuk perawatan kendaraan karena BBG tidak menghasilkan kerak pada mesin dan busi lebih bersih dan tahan lama, serta knalpot dan peredam suara umurnya lebih panjang IV.2. Perhitungan Potensi Keuntungan Berdasarkan data jumlah kendaraan dari BPS tahun 2010, untuk mobil penumpang pada tahun 2009 berjumlah 10,3 juta unit, bus sebanyak 2,7 juta unit, truk sebanyak 5,1 juta unit dan yang paling banyak adalah jumlah kendaraan roda 2 yaitu 52,4 juta unit. Dari data BPS tersebut dapat dibayangkan seberapa besar subsidi BBM yang harus ditanggung oleh pemerintah. Perkiraan besarnya subsidi BBM 6
(premium) untuk 80% dari mobil penumpang, 20% dari truk dan 100% dari kendaraan roda 2 untuk tahun 2020 diperkirakan mencapai lebih dari Rp150 triliun. Dari data BPS tahun 2010 kemudian diprediksikan kenaikan jumlah kendaraan dari 2010-2020 dengan besarnya kenaikan sebanyak 5%. Dari data prediksi jumlah kendaraan tersebut kemudian dikonversi ke NGV sebesar 5% dari data 80% jumlah mobil penumpang dan dari data 20% jumlah truk. Jumlah NGV pada tahun pertama (tahun 2012) sebanyak 0,53 juta unit yang terdiri dari mobil penumpang dan truk. Tiap tahun jumlah NGV makin bertambah dan pada tahun 2020 akan ada NGV sebanyak 5,83 juta unit. Hal ini akan tercapai apabila konversi ke NGV berjalan lancar. Dengan mengkonversi sebagian kendaraan maka penggunaan BBM (premium) juga berkurang dan tentu saja akan mengurangi subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan menggunakan asumsi seperti pada tabel 3, pada tahun 2012 saja pengurangan penggunaan BBM sebesar 1,76 juta kilo liter/tahun, dan hal ini setara dengan pengungan subsidi BBM sebesar 6,17 triliyun rupiah. Semakin besar jumlah kendaraan yang dikonversi maka semakin besar juga pengurangan subsidi. Tabel 3 dengan asumsi sebagai berikut: Harga premium bersubsidi Rp. 4.500 Harga premium non subsidi Rp. 8.000 Harga konverter kits Rp. 10.000.000 Konsumsi BBG untuk mobil penumpang 10 lsp/hari Konsumsi BBG untuk truk 20 lsp/hari Jumlah hari dalam 1 tahun 300 hari 1 MMSCFD = 25,62 klsp Pada Table 4 terlihat bahwa pengurangan subsidi selama 9 tahun sebesar 312,76 triliyun rupiah, dengan investasi converter kits selama 9 tahun sebesar 58,28 triliyun rupiah. Agar program ini berjalan dengan lancar, pemerintah juga harus bisa memenuhi pasokan gas. Untuk tahun 2012 saja diperlukan BBG sebesar 1,76 juta klsp/tahun atau setara dengan kebutuhan BBG perhari sebesar 229,4 MMSCFD. Untuk tahun 2020 diperlukan BBG sebesar 18,96 juta klsp/tahun atau setara dengan kebutuhan BBG perhari sebesar 2.467,35 MMSCFD. Selain diperlukan pasokan gas yang mencukupi, diperlukan juga ketersediaan SPBG. Dengan asumsi 1 SPBG dapat melayani 750 NGV maka akan didapat hasil sebagai berikut seperti Tabel 5. Tabel 5. Pertumbuhan SPBG Tahun 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Jumlah SPBG 713 1,459 2,240 3,058 3,915 4,813 5,753 6,738 7,770
Pada tahun 2012 diperlukan 713 SPBG, tiap tahun makin meningkat jumlah SPBG nya sehingga pada tahun 2020 sudah tersedia 7.770 SPBG untuk melayani 5,83 juta NGV. Besarnya populasi SPBG akan menumbuhkan industri peralatan untuk SPBG, sehingga akan menyerap tenaga kerja yang besar. 7
Tabel 4. Hasil Perhitungan Konversi ke NGV
mobil penumpang dan truk [juta unit]
mobil penumpang dan truk memakai premium [juta unit]
konsumsi premium [juta liter/hr]
konsumsi premium [juta kl/th]
2012
17.35
10.69
117.55
35.26
2013
18.01
11.19
122.64
2014
18.70
11.72
2015
19.42
2016
Konversi ke NGV [juta unit]
Penurunan pemakaian premium [juta kl/th]
Penurunan subsidi [triliun Rp/th]
investasi konverter kit [Triliun Rp]
kebutuhan BBG [juta klsp/th]
kebutuhan BBG [MMSCFD]
123.42
0.53
1.76
6.17
5.35
1.76
229.40
36.79
128.77
1.09
3.60
12.61
5.60
3.60
468.75
127.99
38.40
134.39
1.68
5.52
19.33
5.86
5.52
718.53
12.27
133.60
40.08
140.28
2.29
7.53
26.34
6.14
7.53
979.27
20.18
12.85
139.49
41.85
146.47
2.94
9.62
33.67
6.43
9.62
1251.50
2017
20.97
13.46
145.68
43.70
152.96
3.61
11.80
41.31
6.73
11.80
1535.81
2018
21.81
14.10
152.17
45.65
159.78
4.31
14.09
49.30
7.05
14.09
1832.79
2019
22.68
14.78
158.99
47.70
166.94
5.05
16.47
57.65
7.39
16.47
2143.08
2020
23.60
15.48
166.15
49.85
174.46
5.83
18.96
66.37
7.74
18.96
2467.35
Tahun
subsidi [Triliun Rp/th]
8
V.
Rekomendasi Konversi dari BBM ke BBG sangat banyak manfaatnya, baik dari segi penghematan bahan bakar maupun penghematan subsidi. Kita juga berperan serta dalam penyelamatan lingkungan karena emisi yang dihasilkan oleh NGV sangat kecil sekali. Selain itu, besarnya pengurangan emisi gas dapat dikonversi ke CDM dan hal ini juga akan menjadi pendapatan daerah bagi daerah yang bersangkutan. Untuk itu, perlu komitmen yang kuat dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam program konversi dari BBM ke BBG untuk kendaraan. Program konversi dari BBM ke BBG untuk kendaraan akan berjalan dengan lancar apabila mendapat dukungan penuh dari pemerintah, yaitu berupa peraturan yang mendukung program konversi ini dan peraturan tersebut juga harus menguntungkan bagi pengguna, pengusaha, dan industri di dalam negeri. Selain itu, diperlukan juga dukungan dari pemerintah berupa menyediakan fasilitas/infrastruktur seperti jaringan pipa gas, pendirian SPBG di lokasi yang belum ekonomis, bantuan kit konverter untuk angkutan kota. Dengan demikian, pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan program konversi dari BBM ke BBG untuk kendaraan ini. Sehingga secara garis besar rekomendasi yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Rekomendasi Peraturan a) Jadikan konversi dari BBM ke BBG menjadi program nasional b) Peraturan pemerintah mengenai alokasi gas untuk kebutuhan dalam negeri lebih diutamakan daripada mengekspor gas; c) Peraturan pemerintah mengenai pengalihan subsidi BBM ke BBG dilakukan secara bertahap; d) Peraturan pelaksana mengenai insentif pajak bagi kendaraan-kendaraan yang ramah lingkungan lebih dirinci lagi. e) Kontrak pasokan gas untuk SPBG tidak diberlakukan batas atas dan batas bawah. f) Sosialisasi 2. Rekomendasi Koordinasi Perlu ada tim koordinasi untuk program konversi dari BBM ke BBG secara nasional. Tim koordinasi ini bertugas untuk mengkoordinir dan mengatur/mengarahkan dinasdinas terkait dan tim koordinasi direkomendasikan berada di bawah Wakil Presiden.
Gambar 9. Skema Koordinasi Program Konversi
9
3. Rekomendasi Teknis - Memperbanyak infrastruktur saluran gas (pipa atau sistem Mother Daughter); - Peningkatan SBBG, Dipasang oleh pemerintah untuk lokasi-lokasi baru. Lokasi-lokasi yang belum ekonomis harus didirikan SPBG oleh pemerintah untuk memancing para konsumen; - Menggunakan sistem pembaca RFID untuk system monitoring dan evaluasi. - Penelitian dan pengembangan untuk peralatan SPBG dan kit konverter perlu dibuat program yang diarahkan untuk dapat menuju industri peralatan tersebut. Sosialisasi juga sangat diperlukan agar program ini berjalan dengan lancar. Dengan adanya sosialisasi, maka masyarakat umum, pemegang kepentingan dan para pihak terkait akan lebih mengerti mengenai program konversi ini, sehingga masyarakat tidak merasa ketakutan lagi menggunakan BBG. Yang ada dipikiran masyarakat mengenai BBG adalah berbahaya karena tabungnya mudah meledak. Padahal, kecelakaan NGV yang pernah terjadi, bukan disebabkan ledakan tabung gas tetapi penyebab utamanya adalah terjadi korsleting kabel listrik dan gas hanya mempercepat kebakaran saja, bukan penyebab utamanya. Dan NGV yang meledak tersebut tabung gasnya masih utuh. VI. Penutup Sebagai bahan bakar alternatif pengganti BBM, CNG memiliki banyak kelebihan yang antara lain adalah harganya lebih murah, ramah lingkungan dan dapat mengurangi subsidi pemerintah untuk BBM. Namun karena masih banyak terkendala masalah, hingga saat ini pelaksanaan program konversi BBM ke BBG untuk kendaraan kurang berhasil. Untuk itu perlu penataan ulang pemakaian energi terutama BBM dan BBG untuk kendaraan. Salah satu cara untuk memacu pertumbuhan NGV di Indonesia perlu adanya suatu program nasional konversi BBM ke BBG untuk kendaraan dengan dikoordinasi langsung oleh Wakil Presiden.
REFERENSI 1. BPS, 2010. “Statistik Indonesia”. Jakarta: Biro Pusat Statistik. 2. ESDM, 2010. “The Hanbook of Indonesia’s Energy Economic Statistics”. Jakarta: Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 3. Global 2011, www.iangv.org 4. Vita Susanti dkk, 2010. “Pengurangan Subsidi BBM dan Polusi Udara Melalui Kebijakan Program Konversi dari BBM ke BBG untuk Kendaraan di Propinsi Jawa Barat”. Journal of Mechatronics, Electrical Power, and Vehicular Technology, Vol. 01, No 2. Bandung: Puslit Telimek. 5. Vita Susanti dkk, 2011. “Kebijakan Nasional Program Konversi dari BBM ke BBG untuk Kendaraan”. Jakarta: LIPI Press. 6. MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia)
10