1
ABSTRAK KONSUMERISME DALAM UPACARA PERKAWINAN BATAK TOBA DI KOTA DENPASAR Perkawinan bagi suku Batak Toba merupakan ikatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan beserta kaum kerabat pihak laki-laki (paranak) dengan kaum kerabat perempuan (parboru). Melalui upacara perkawinan, komunitas Batak Toba boleh memasuki dalihan na tolu. Selain sebagai jembatan untuk memasuki dalihan na tolu, upacara perkawinan juga merupakan syarat untuk dapat melakukan siklus hidup. Untuk mencapai tujuan itu, komunitas Batak Toba di Kota Denpasar tetap melangsungkan upacara perkawinan secara adat Batak Toba. Meskipun demikian praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar sudah dipenuhi dengan konsumerisme. Fenomena ini sudah menjadi kebiasaan dan mereka lakukan secara sadar seakan-akan suatu keharusan. Berdasarkan fenomena ini perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui: bentuk konsumerisme, faktor terjadinya konsumerisme, dan implikasi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar sehingga komunitas Batak Toba tidak larut dalam konsumerisme yang berkepanjangan. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dan pengumpulan data dilakukan secara observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Untuk menjaga nama baik dan kerahasiaan informan, beberapa informan dalam penelitian ini memakai nama samaran. Sedangkan informan yang tidak perlu dirahasiakan, namanya ditulis seperti penulisan biasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar tampak kompleks dan mahal karena harus menghabiskan waktu yang panjang dan juga biaya yang banyak. Bentuk konsumerisme yang mereka lakukan dalam upacara perkawinan yaitu, upacara dilangsungkan di tempat yang mewah, mengundang banyak orang, mengonsumsi objek yang tidak perlu, jumlah mahar yang besar, dan menghabiskan durasi yang panjang. Perilaku ini terjadi karena faktor globalisasi, gaya hidup, budaya populer, media massa, dan pemahaman yang kurang akan upacara perkawinan itu sendiri. Implikasi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar menguatnya sifat individualis, menguatnya sifat materialis, dan menguatnya sifat globalis. Dari penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa, terjadinya konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar karena terjadinya pergeseran nilai guna dan nilai tukar menjadi nilai tanda dan nilai simbolik. Pergeseran ini terjadi karena gaya hidup, citra, gengsi sebagai gaya hidup modern. Budaya konsumerisme menjadi hal yang biasa dan dianggap menjadi suatu keharusan. Melalui tulisan ini disarankan kepada tokoh adat, tokoh agama, Pemerintah Daerah di Sumatera Utara dan juga masyarakat Batak Toba umumnya melakukan suatu kerjasama untuk mengurangi praktik upacara perkawinan yang semakin konsumerisme. Kata kunci:
konsumerisme, upacara perkawinan Batak Toba, globalisasi.
2
ABSTRACT CONSUMERISM IN BATAK TOBA WEDDING CEREMONY IN THE CITY OF DENPASAR Marriage for the ethnic of Batak Toba is a bond between a man and a woman as well as to tie together the relatives of the man (paranak) with the relatives of the woman (parboru). Through the marriage ceremony, Batak Toba community are able to enter into dalihan na tolu. Besides as a bridge to enter dalihan na tolu, marriage ceremony is also a requirement to be able to commit life cycle. In order to achieve the purpose, Batak Toba communities in the city of Denpasar still solemnize the marriage according to Batak Toba tradition. The practice of Batak Toba traditional wedding ceremony in the city of Denpasar has been filled with consumerism. This phenomenon has become a habit and the Batak Toba people do it consciously as if a must. Based on the phenomena, it is urgent to conduct a research to note the form of consumerism, the factors of being consumerism and the implications of consumerism in a marriage ceremony of Batak Toba community in Denpasar so that through this research, the community of Batak Toba in Denpasar do not lose themselves into a prolonged consumerism. Research method performed in this study is qualitative methods and data collection was done by doing observation, in-depth interviews and documentation. Data analysis was conducted through qualitative and interpretative. To keep the confidentiality and the name of informants secret, some informants use a pen name (pseudonym), while informants who do not need to be kept secret, their names were written as usual writing in this study. This study found that the form of consumerism in Batak Toba traditional wedding ceremony in Denpasar seem complex and expensive because the people have to spend a long time and also cost a lot. The form of consumerism shows from the habit of the Batak people who solemnize marriage in a luxurious place, inviting a lot of people, consume unnecessary object and high brideprice. This behavior occurs because of globalization, lifestyle, popular culture, mass media and the lack of understanding about the marriage itself. The implications of consumerism in Batak Toba traditional wedding ceremony in Denpasar leads to individualist, materialist and globalist. This research concluded that Batak Toba communities solemnize consumerism in wedding ceremony. Consumerism in Batak Toba Wedding ceremony in the city of Denpasar use to happen because the value of use and change shift and serve as simbolic value. The shifting in change and use caused by the lifestyle, image, prestige as modern lifestyle. Culture of consumerism become commonplace and considered to be a necessity. This paper sugest the leading figure in religion, culture and custom holder, the local stakeholder in Sumatera and the all the Batak people to make a good cooperation in improving consumerism in Batak Toba wedding ceremony, so the people do not getting lost in the culture of consumerism. Keywords: consumerism, Batak Toba traditional wedding ceremony, globalization
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perkawinan pada suku Batak Toba merupakan suatu pranata yang mengikat
seorang laki-laki dan seorang perempuan. Selain itu, perkawinan juga mengikat hubungan kaum kerabat pihak laki-laki (paranak) dengan kaum kerabat dari perempuan (parboru).Karena itu menurut adat kuno seorang laki-laki tidak bebas memilih jodohnya (Bangun, 1982: 102).Perkawinan yang dianggap ideal yaitu seorang anak laki-laki dengan anak perempuan saudara pria ibunya (matrilateral cross cousin) dalam bahasa daerah disebut marpariban.Namun dalam kenyataan akhir-akhir ini kawin marpariban sudah semakin berkurang kuantitasnya (Bruner, 1986: 164). Untuk melaksanakan perkawinan, suku Batak Toba mempunyai cara atau proses perkawinan yang dimulai dengan meminang dalam bahasa daerahmarhusip hingga upacara puncak “memberi dan menerima adat”. Sepintas diperhatikan seluruh proses ini merupakan hal yang lumrah, dan sudah sering dilaksanakan tetapi jika diamati lebih jauh sebenarnya pelaksanaan upacara tersebut tidak ada yang baku, bermacam-macam model tergantung dari tokoh adat setempat dan kedua “hasuhuton” (kedua belah pihak) yaitu pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan. Bagi suku Batak Toba, adat perkawinan merupakan hal yang sangat penting,
sebab
melalui
upacara
ini
keluarga
bersangkutan
berhak
4
mengadakansiklus hidup seperti menyambutanak yang baru lahir,perkawinan, kematian, dan lain-lain. Keluarga yang belum melangsungkan upacara adat perkawinan dalam bahasa Batak Toba mangadati tidak berhak memberi adat kepada orang lain dan juga tidak berhak menerima adat dari orang lain. Upacara perkawinan merupakan jembatan yang mempertemukan tungku yang tiga dalam bahasa daerahdalihan na tolu pihak pengantin laki-laki dengan dalihan na tolu pihakpengantin perempuan (Siahaan, 1982: 58). Dalihan na tolu secara harafiah ialah tungku yang tiga yang merupakan lambang sistem sosial masyarakat Batak. Tungku adalah tempat memasak yang terdiri atas tiga buah batu yang dijadikan penopang alat masak dan di atas tungku ini diletakkan alat memasak makanan. Ketiga batu itu sama tinggi dan sama besar supaya ada keseimbangan, menunjukkan bahwa ketiga unsur dalihan na tolu(dongan tubu, hula-hula, dan boru) sama penting dan harus seimbang yang membedakannya adalah peran. Dalihan na tolu adalahDongan tubu atau dongan sabutuha yaitu pihak yang semarga, boru yaitu pihak yang menerima isteri, dan hula-hula yaitu pihak yang memberi isteri. Ketiga unsur ini tidak ada yang lebih penting, dengan kata lain hula-hula, dongan tubu, dan boru ketiganya samaperlunya (Sinaga, 2012: 20). Secara adat seluruh masyarakat Batak harus masuk ke dalam dalihan na tolu. Sesuai dengan prinsipnya segala upacara adat harus berdasarkan adat dalihan na tolu. Jika ada salah satu unsur dalihan na tolu tidak lengkap, maka upacara adat yang dilaksanakan adalah cacat atau bercela. Merupakan suatu hal yang sangat perlu dijaga hubungan baik antara boru, dongan tubu dan hula-
5
hulasehingga segala upacara adat dapat berlangsung dengan sempurna. Kesempurnaan suatu adat Batak diukur dari kelengkapan dan hubungan baik antara dalihan na tolu (Siahaan, 1982: 52). Di era globalisasi upacara perkawinan Batak Toba mengalami banyak pergeseran.Sebelum globalisasi upacara perkawinan merupakan hal yang sakral, tetapi akibat globalisasi kesakralan itu semakin memudar.Pada kehidupan tradisional masyarakat membuat tahapan-tahapan yang harus dilewati setiap orang. Upacara tersebut sebagai legitimasi untuk memasuki tahap baru. Tahapantahapan itu harus secara berurutan dan diperankan orang tertentu, namun di era globalisasi tahapan itu sudah bisa diubah dan pemerannya dapat dipertukarkan bahkan diperankan oleh orang lain yang mendapat bayaran. Menurut Piliang(2011: 13) akibat globalisasi segala macam citraan dapat dilihat setiap orang, rahasia pribadi menjadi milik umum, segala perbuatan dapat dilakukan semua orang sehingga upacara-upacara menjadi kehilangan makna sosiologisnya. Upacara yang dilakukan menuju pernikahan sampai ke hari pernikahan dipenuhi dengan makna. Makna-makna yang terdapat dalam proses ini mengalami perubahan akibat globalisasi. Salah satu contoh dapat dilihat dari proses awal pernikahan yaitu marhusip. Marhusip
merupakan acara yang dilakukan oleh
keluarga pihak laki-laki dengan keluarga pihak perempuan yang sangat rahasia sekali tentang rencana anak mereka untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini sangat rahasia karena dimungkinkan rencana perkawinan tersebut batal untuk dilangsungkan, untuk itu sangat dirahasiakan.Tetapi pada saat sekarang marhusip
6
bukan lagi rahasia empat mata antara pihak keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan tetapi sudah transparan kepada khalayak umum. Ketika segala sesuatunya transparan dan berputar dalam sirkuit global, maka hukum yang mengatur masyarakat global bukan lagi hukum kemajuan, melainkan hukum orbit seperti yang dikatakan Jean Baudrillard (dalam Piliang, 2011: 132). Menurut hukum orbit, segala sesuatu berputar secara orbital dan global, berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Pada upacara adat perkawinan Batak, makna-makna yang terkandung dalam seluruh proses upacara perkawinan sudah tidak jelas. Kebanyakan proses itu dilakukan berdasarkan kebiasaan bahkan pencitraan bukan berdasarkan makna sebenarnya. Budaya lain yang bukan miliknya dikonsumsi seakan-akan identitasnya akibat globalisasi.Misalnya pola makanprasmanan yang disajikan pada pelaksanaan upacara perkawinan. Dengan sistem prasmanan peran dalihan na tolu sudah memudar, dan hormat menghormati menjadi hilang. Seperti pendapat Robertson (dalam Barker, 2004: 115), globalisasi sebagai proses yang menghasilkan dunia tunggal. Masyarakat di seluruh dunia menjadi saling tergantung di semua aspek kehidupan: politik, ekonomi, dan kultural. Semua aspek kehidupan ini berkembang melampaui batas tradisional dan mengikat satuan masyarakat yang sebelumnya terpisah dan sekarang menjadi satu sistem global. Globalisasi bukan hanya soal ekonomi saja namun juga makna kebudayaan yang terkandung dalam masing-masing budaya lokal.Nilai dan makna yang
7
terdapat dalam kebudayaan semakin terjerat dalam jaringan yang luas. Budaya lokal mengidentifikasikan dirinya dengan proses global sehingga sulit dibedakan budaya lokal dan budaya global (Barker, 2004:116). Globalisasi sudah mempengaruhi pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba sehingga mengakibatkan pergeseran makna.Namun demikian, upacara ini masih tetap berlangsung sampai saat ini dengan alasan jika satu keluarga belum melaksanakan adat perkawinan, maka seluruh keturunannya di kemudian hari tidak boleh melakukan adat perkawinan.Merupakan suatu hal yang memalukan bagi suatu keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum melaksanakan adat perkawinan.Dengan demikian bagaimanapuncaranya setiap keluarga selalu berusaha untuk melaksanakan adat perkawinannya. Komunitas Batak Toba yang berdomisili di Kota Denpasar pada tahun 2014 menurut data dari gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) dan gereja HKI (Huria Kristen Indonesia)ada sejumlah1.204 jiwa (lihat tabel 4.5). Dari kuantitas pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasaryaitu, tahun 2012 sebanyak tujuh pasangan, 2013 sebanyak enam pasangan, dan tahun 2014 sebanyak delapan pasangan (lihat tabel 5.1). Biaya yang digunakan dalam satu upacara perkawinan minimal Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah) bahkan sampai miliaran Rupiah. Selain menghabiskan biaya yang tidak sedikit, juga menghabiskan waktu yang sangat panjang. Tokoh adat dan juga keluarga yang melangsungkan pernikahan menginginkan pelaksanaannya secara ringkas, namun dalam kenyataannya malah menjadi
bertele-tele. Sangat sedikit upacara
8
perkawinan Batak yang sederhana. Atas dasar alasan tersebut perlu dilakukan penelitian. Yang menarik tentang adat ini, kemana orang Batak Toba pergi merantau, ke kota atau ke luar negeri adatnya selalu dibawa, bahkan sering terjadi adat lebih kuat dari agama (Castles, 1940: xviii-xix).Bagi suku Batak Toba tidak beragama bukan soal, namun kalau tidak “ber-adat” merupakan masalah yang sangat besar. Adat merupakan suatu kebanggaan bagisuku Batak Toba untuk menunjukkan identitas yang sebenarnya. Pada perkembangan akhir-akhir ini hubungan antara adat dan agama sangat erat sekali ibarat dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan namun selalu beriringan. Pelaksanaan adat selalu diikuti oleh agama dalam hal ini agamakristen, dan pelaksanaan agama selalu diwarnai oleh adat.Yang menjadi masalah pelaksanaannya yang konsumerisme menghabiskan biaya ratusan juta bahkan ada sampai milyaran rupiah. Untuk menanggung biaya yang tidak sedikit ini usaha yang dilakukan yaitu, (1).Meminta bantuan dari keluarga dalam bahasa daerah disebut papungu tumpak.Jumlah yang terkumpul biasanya sangat kecil tidak mencukupi untuk menutupi biaya pesta perkawinan;(2). Meminjam ke pihak yang lain. Untuk mendapatkan pinjaman tentu mempunyai syarat misalnya punya jaminan sehingga tidak semua boleh mendapatkannya;(3). Menjual harta berharga yang dimiliki.Hal ini yang sering dilakukan para orang tua untuk melaksanakan upacara perkawinan anaknya.Menjual harta berharga misalnya perhiasan, kenderaan, tanah, dll. Perilaku yang menjual harta berharga seperti ini merupakan hal yang biasa bagi
9
komunitas Batak Toba. Upacara perkawinan menjadi hal yang sangat utama bagi kehidupan mereka. Pelaksanaan upacara perkawinan yang menggunakan biaya besar tetap dilakukan di daerah rantau untuk menunjukkan identitas.Kebanggaan untuk menunjukkan identitas di daerah rantau bagi suku Batak sangat berbeda dengan suku lain. Suku Batak mempunyai misi budaya (cultural mission) untuk membangun kerajaan-kerajaan pribadi didaerah rantau sehingga mereka memerlukan tanah, rumah, dan anak.Misi budaya adalah seperangkat tujuan yang didasarkan pada nilai-nilai yang dominan dari pandangan dunia (cosmology) dari suatu masyarakat tertentu, dimana anggota masyarakat itu diharapkan untuk mencapainya (Pelly, 1994: 293). Dalam buku Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing (1994), Pelly menjelaskan bahwa suku Minangkabau mempunyai misi budaya dalam hal merantau untuk memperkaya dan memperkuat alam Minangkabau.Oleh karena itu dalam kosmologi Minangkabau mengenal dua alam yaitu alam Minangkabau (Minangkabau world) dan alam rantau (migration world).Suku Minangkabau mempunyai misi budaya merantau dan hasil misi merantau dibawa ke alam Minangkabau disebut dengan istilah migrasi yang berputar (Pelly, 1994: 294). Berbeda dengan misi budaya Minangkabau, suku Batak mempunyai misi budaya merantau untuk memperluas kampung halamandan mendirikan kerajaan pribadi (sahala harajaon). Kosmologi mereka tentang alam rantau (bona ni ranto) yang dikuasai merupakan bagian integral dari alam kampung halaman (Pelly, 1994: 295). Misi budaya yang memandang daerah
10
rantau merupakan perluasan kampung halaman untuk mendirikan kerajaankerajaan pribadi (sahala harajaon), berimplikasi dalam pelaksanaan segala upacara adat yang dilaksanakan di daerah rantau.Upacara-upacara adat diusahakan seperti pelaksanaan upacara yang dilakukan seorang raja dengan penuh kemewahan sehingga upacara perkawinan menggunakan biaya yang tinggi. Pelaksanaan upacara perkawinan memerlukan biaya yang tinggi disebabkan sifat konsumerisme yang ada.Konsumerisme dapat terjadi dari segi kuantitas (jumlah yang dikonsumsi melebihi yang dibutuhkan) dan juga segi kualitas (kualitas tertentu). Sifat konsumerisme tersebut dapat diamati dari objek yang dikonsumsi bukan hanya berdasarkan nilai guna dan nilai utilitas tetapi lebih didominasi nilai tanda dan nilai simbol. Nilai tanda dan nilai simbol sangat perlu untuk menunjukkan identitasnya di daerah rantau. Seperti yang diutarakan Piliang (2012: 142), manusia mengonsumsi objekobjek bukan sekedar menghabiskan nilai guna dan nilai utilitasnya, tetapi juga untuk mengkomunikasikan makna-makna tertentu.Demikian juga dalam upacara perkawinan Batak Toba banyak objek yang dikonsumsi di luar nilai guna budaya adat Batak. Contoh-contoh ini dapat dilihat dari: cenderamata yang dalam adat perkawinan Batak tidak mengenal hal itu. Contoh yang lain mendatangkan artis dengan bayaran mahal. Contoh-contoh ini tidak ada kaitannya dalam upacara perkawinan namun dalam pelaksanaannya cenderamata dan mengundang artis seakan kebutuhan primer.Padahal jika diperhatikan lebih jauh hal itu hanya merupakan pencitraan semata.
11
1.2
Rumusan Masalah Proses yang panjang dan juga biaya yang tinggi selalu menjadi masalah di
setiap acara perkawinan Batak Toba namun belum ada jalan keluarnya. Sebagian tetap mempertahankan, sebagian tidak setuju akan proses yang panjang dan biaya yang tinggi namun belum berhasil memperbaikinya. Penelitian ini bersifat emansipatoris sebagai ciri kajian budaya dengan mencari bentuk, penyebab konsumerisme dan juga mencari makna-makna yang terkandung dalam upacara perkawinan tersebut. Untuk memfokuskan penelitian, masalah yang akan diteliti adalah a. Bagaimana bentuk konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di KotaDenpasar? b. Mengapa terjadi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar? c. Apaimplikasikonsumerismedalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman yang lengkap tentang
konsumerisme dalam upacara perkawinan
Batak Toba di KotaDenpasar.Dengan demikian, penelitian ini bertujuan agar komunitas Batak Toba di Kota Denpasar tidak semakin hanyut dalam budaya konsumerisme dalam melaksanakan upacara perkawinannya.
12
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui bentuk konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar. 2. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhikonsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di KotaDenpasar. 3. Mengetahuiimplikasi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba diKota Denpasar.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis Diharapkan dari penelitian ini memberikan sumbangan: 1) Pengetahuan teoretis tentang proses upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba. 2) Referensi ilmiah bagi peneliti selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan: 1) Menumbuhkan kesadaran yang benar tentang perkawinan Batak Toba. 2) Menyadarkan esensi sebuah perkawinan khususnya Batak Toba. 3) Dapat diambil solusi terhadap perbedaan pandangan antara kelompok yang ingin mempertahankan bentuk yang sekarang dan kelompok yang mau mengubah dengan model baru atau kembali seperti model awal.
13
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Penelitian yang membahas tentang konsumerisme terkait upacara
perkawinan di Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana sepengetahuan penulis belum ada.Hanya ada relatif sedikit karya menyangkut konsumerisme tetapi tidak terkait upacara perkawinan. Dari judul yang sedikit itu, di antaranya sebagai berikut:“Upacara Ngaben Massal Masyarakat Desa Pakraman Sudaji, Kecamatan Sawan, kabupaten Buleleng: Sebuah Kajian Budaya” oleh Nyoman Sukraaliawan (2007).Tesis tersebut bukan secara spesifik membahas tentang konsumerisme tetapi ada kaitannya dengan konsumerisme. Dalam tesis tersebut dijelaskan bahwa upacara ngaben yang dilakukan masyarakat di desa pakraman Sudaji, secara massal untuk menekan biaya.Ngaben massal digagas oleh prajuru desa pakraman Sudaji yang pertama kali dilakukan tahun 2004.Upacara ngaben massal ini diikuti 360 sawa dan 12 clan (soroh) dan mendapat penerimaan baik dari masyarakat bersangkutan. Upacara ini dapat diterima karena prosesi dari upacara ngaben massal pada prinsipnya sama dengan upacara ngaben pada umumnya. Faktor yang menarik pada masyarakat yaitu faktor efisiensi biaya, kepraktisan dalam penggunaan sarana prasarana upacara ngaben.
14
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Nyoman Sukraaliawan dengan penulis yaitu sama-sama menginginkan efisiensi biaya dan kepraktisan upacara perkawinan Batak Toba. Namun perlu dijelaskan bahwa untuk melaksanakan perkawinan massal bagi masyarakat Batak sangat tidak mungkin disebabkan peranan dalinan na tolu akan menjadi hilang. Perbedaan yang lain adalah dalam upacara ngaben massal lebih terfokus secara keagamaan sedangkan upacara perkawinan Batak Toba terfokus kepada adat istiadat bukan dari sudut keagamaan. Penelitian lain yang ada kaitannya denganupacara perkawinan Batak Toba yaitu tesis Situmorang (2006) yang berjudul “Simbolisme dalam Budaya Batak Toba: Studi Kasus Upacara Perkawinan di Kota Denpasar”. Dalam penelitiannya Situmorang menyimpulkan bahwa upacara perkawinan masyarakat Batak merupakan peristiwa simbolik. Bentuk simbol dalam upacara perkawinan Batak Toba diproduksi oleh sistem kepercayaan melalui mekanisme bahasa dan mitos, pola transformasi simbol melalui mekanisme logika analogi, asosiasi dan kias. Tipologi simbol dalam upacara perkawinan Batak Toba yaitu simbol metafisis, simbol material, dan simbol lingual.Beberapa simbol dalam upacara perkawinan masih tetap dalam bentuk aslinya tetapi banyak juga sudah mengalami pergeseran. Simbol-simbol dalam budaya Batak senantiasa mengalami proses rekonstruksi, dekonstruksi, sesuai dengan dinamika kekuatan dan kekuasaan sosial turut memberi bobot pemaknaan sebuah simbol. Melalui penelitian tersebut terbukti bahwa melalui upacara perkawinan terjadi “pasar
15
makna” merupakan medium bagi proses pertukaran atau transaksi makna melalui interpretasi simbol. Persamaan tesis Situmorang dengan tesis penulis yaitu sama-sama melakukan penelitian upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar. Perbedaanya, Situmorang meneliti dari sudut simbol sedangkan penulis meneliti dari sudut konsumerisme.Namun demikian tesis tersebut sangat membantu penulis untuk melakukan penelitian terlebih untuk menganalisis simbol-simbol yang digunakan dalam upacara perkawinan Batak Toba. Pada Januari 2014, Sibarani melakukan penelitian penyebab pergeseran pelaksanaan
upacara
perkawinan
Batak
Toba
di
Kota
Pekanbaru
(http://sibaranimelin.blogspot.com/2014/01/pergeseran-perspektif-dan-budayapada.html, diakses tanggal, 18 Agustus 2014). Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa pergeseran upacara perkawinan terjadi disebabkan: faktor agama, kemajemukan asal dan etnis dalam suatu daerah, difusi adat yaitu percampuran adat antar etnis misalnya perkawinan antar etnis, pengaruh globalisasi, dll. Pada kenyataannya pelaksanaan upacara perkawinan dijadikan sebagai ajang penunjuk prestise dan penentu taraf kehidupan sosial dan ekonomi setiap keluarga. Para keluarga yang melangsungkan upacara perkawinan, mereka berlomba-lomba untuk memprioritaskan penanda (gedung pernikahan) sebagai penentu taraf kehidupan keluarga. Selain itu, dekorasi pada pelaminan tidak lagi berciri khas adat Batak, serta penjemputan pengantin menggunakan mobil mewah yang menjadi cermin westernisasi, penyajian makanan yang mulai menghilangkan
16
ciri khas Batak, dll. Penelitian ini sangat membantu penulis untuk melihat konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar. Pada tanggal 20 Agustus 2011 para ketua marga Batak di Palembang melakukan lokakarya adat Batak tentang pelaksanaan upacara perkawinan yang difasilitasi oleh panitia jubileum 150 tahun HKBP di Distrik XV Sumatera Bagian Selatan (Sinaga, 2012: 269). Lokakarya ini diselenggarakan dalam rangka mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba dengan tidak menghilangkan dan meniadakan esensi nilai adat Batak.Lokakarya tersebut menghasilkan suatu deklarasi yaitu, (1).Jumlah ulos herbang (ulos yang harus diberikan pihak pengantin perempuan kepada pihak pengantin laki-laki) maksimal 25 buah, dan ulos taripar (ulos yang dititipkan pihak pengantin laki-laki untuk diberikan pihak pengantin perempuan kembali kepada pihak pengantin lakilaki di hari pelaksanaan upacara) ditiadakan. (2). Panandaion (perkenalan) yang diberikan pihak laki-laki maksimal 25 keluarga, yang berhak menerima hanya yang hadir dalam upacara perkawinan tersebut, dan panandaion disampaikan langsung oleh pengantin di dampingi orang tua pengantin laki-laki. Deklarasi yang dilakukan di Palembang ini sangat berguna untuk membandingkan pelaksanaan upacara perkawinan di Kota Denpasar. Timbulnya deklarasi tersebut diakibatkan konsumerisme yang sudah menggejala pada upacara perkawinan Batak Toba di Kota Palembang. Model lokakarya menjadi salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi konsumerisme. Pada tahun 2008 Siska Purkasih melakukan penelitian tentang “Masalah Konsumerisme di Kalangan Remaja”.Siska melakukan penelitian di Mall Taman
17
Anggrek dan plaza Indonesia.Dalam penelitiannya remaja menghabiskan waktu 3 sampai 4 kali dalam satu minggu ke mall.Biasanya pada malam Minggu, mall elit pasti ramai dan didominasi para remaja. Mereka menghabiskan uang Rp. 100.000,- ke atas. Mereka sering mampir dan berbelanja walaupun tidak sangat berkepentingan, mereka suka melihat-lihat model yang baru keluar.Merek suatu barang merupakan hal yang sangat penting demi gengsi. Dari penelitian yang dilakukan, Siska Purkasih membuat beberapa kesimpulan diantaranya, pertama, perilaku konsumsi manusia tidak lepas dari kondisi sosial dan budaya manusia tinggal.Kedua, semakin banyak konsumsi, semakin banyak pula produksi.Ketiga, adanya penyeragaman budaya, ada rambut ideal, kulit ideal, ras ideal, singkatnya ada batasan tentang idealitas; dan keempat, masyarakat hampir tidak bisa lepas dari peran objek sebagai perumus eksistensi (status, prestise, kelas).(http://siskapurkasih. blogspot.com/2008/10/ masalahkonsumerisme-di-kalangan-remaja.html, diakses tanggal, 10 Agustus, 2014). Penelitian yang hampir sama dengan yang dilakukan Siska Purkasih di atas yaitu penelitian yang dilakukan Fajar Riski (2012) yang berjudul, “Konsumerisme di Kalangan Remaja”. Penelitiannya dilakukan di Tunjungan Plaza atau sering disingkat dengan T.P. Plaza ini merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya yang berdiri pada tahun 1986.Tunjungan Plaza terletak di jalan Basuki Rachmat Surabaya dan mempunyai 4 bangunan utama yaitu Tunjungan Plaza I – IV.Plaza ini berada di bawah naungan PT. Pakuwan Jati Tbk. Dalam penelitian itu dijelaskan, semakin berkembangnya plaza, maka manusia terjebak pada kompleksitas ragam komoditi yang hendak dikonsumsi
18
baik secara sadar maupun tidak sadar.Hal ini terjadi tidak terlepas dari konstruksi sosial yang dibangun dalam lingkungan manusia itu sendiri.Salah satunya yaitu peradaban modern yang tumbuh dari perkembangan umat manusia telah menunjukkan kemajuan.Selain dari kemajuan yang berdampak positif, ada juga yang berdampak kurang baik bagi kehidupan manusia berupa perubahan budaya, salah satunya adalah budaya konsumtif. Budaya konsumtif lebih mudah menjangkit kalangan remaja karena secara psikologi remaja masih berada dalam proses mencari jati diri dan sangat sensitif terhadap pengaruh luar. Hal ini sesuai dengan penelitian Reynold yang menyimpulkan remaja usia 16 tahun sampai dengan 18 tahun membelanjakan uangnya lebih banyak untuk keperluan menunjang penampilan diri. Adanya fasilitas-fasilitas dan tempat perbelanjaan menambah akses remaja untuk berperilaku konsumtif. Supaya diakui keberadaannya dalam lingkungannya maka ia harus menjadi lingkungannya dengan cara mengkonsumsi dan menikmati semua fasilitas yang telah tersedia. Hal ini dilakukan para remaja semata-mata ingin diperhatikan dan ingin menunjukkan bahwa remaja sudah bisa menjadi dewasa, bisa hidup dan bergaul layaknya orang dewasa. Perilaku konsumtif ini akan terus menjadi kebiasaan gaya hidup remaja di Indonesia. (http://fajar_ riski_s-fib11.web.unair.ac.id/artikel, diakses tanggal, 12 agustus 2014). Persamaan penelitian yang dilakukan Siska Purkasih dan Fajar Riski tentang konsumerisme di kalangan remaja dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama mengambil tema konsumerisme. Perbedaannya yaitu objek kajian yang berbeda, Siska Purkasih dan Fajar Riski mengambil objek
19
remaja sedangkan penulis mengkaji satu suku bangsa yaitu Batak Toba. Selain objek yang berbeda, cara menganalisisnya juga berbeda, Siska Purkasih dan Fajar Riski menganalisis secara positivistik sedangkan penulis menganalisisnya secara kajian budaya. Alfitri
dalam
artikelnya
“Budaya
Konsumerisme
Masyarakat
Perkotaan”dalam majalah Empirika, volume XI, No. 01, 2007 membahas tentang konsumerisme masyarakat di perkotaan. Dalam artikel tersebut,Alfitri membuat kesimpulan sebagai berikut, pertama, munculnya pusat-pusat perbelanjaan di perkotaan mempengaruhi perilaku keluarga dan masyarakat yang mengarah kepada perilaku konsumtif. Kedua, perubahan perilaku ini dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan yang dibentuk secara sistematis oleh media massa dan juga penampilan dan gaya pajangan pusat-pusat perbelanjaan yang mengadopsi dari berbagai hasil penelitian yang mendalam dan panjang. Ketiga, masyarakat yang berpenghasilan rendah dapat memicu penurunan mutu dan kualitas hidup dan sering melahirkan tindakan kriminal dan kehancuran rumah tangga. Persamaan artikel ini dengan penelitian penulis yaitu sama-sama mengkaji pola hidup masyarakat yang konsumerisme.Perbedaannya, Alfitri membahas konsumerisme dari kehidupan masyarakat perkotaan secara umum, sedangkan penulis meneliti secara spesifik upacara perkawinan Batak Toba. Selain itu, artikel yang
dihasilkan
Alfitri
memandang
konsumerisme
itu
dari
positivistiksedangkan penulis menelitinya dari pandangan kajian budaya.
sudut
20
Dalam buku Perkawinan Adat Dalihan Natolu(2012) Richard Sinaga mendeskripsikan tahap-tahap yang akan dilakukan dalam proses perkawinan Batak Toba. Selain proses perkawinan, dalam buku tersebut dibahas tentang penyederhanaan pesta perkawinan adat dalihan na tolu dan kriteria efektivitas dan efisiensi untuk upacara pesta perkawinan adat dalihan na tolu. Menurut Richard, upacara perkawinan di daerah perantauan sudah bergeser apalagi dalam hal penggunaan waktu. Sepintas kelihatan sangat efisien tetapi jika diamati upacara yang dilakukan tidak bermakna kultural dan terkesan sebagai “sandiwara” yang perlu dicermati untuk diakhiri. Persamaan kajian Richard Sinaga dengan penelitian yang dilakukan yaitu sama-sama mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan inefisiensi pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba. Inefisiensi yang terjadi mengakibatkan konsumerisme dalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut. Perbedaannya, Richard mengkaji secara umum sedangkan penulis fokus di Kota Denpasar. Perbedaan yang sangat nyata yaitu sudut pandang positivistik yang dilakukan Richard, sedangkan penulis meneliti dari sudut kajian budaya. Haryanto Soedjatmiko dalam bukunya Saya Berbelanja Maka Saya Ada Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumerisme (2008) menyatakan, seturut perkembangan revolusi industri, orientasi produksi adalah menghasilkan barang secara kuantitas sehingga ada istilah produksi massal. Produksi massal ditentukan oleh produsen.Pada masa sekarang, memproduksi ditentukan oleh konsumen.Apa yang diproduksi lebih ditentukan oleh apa yang ingin dikonsumsi. Manusia merupakan makhluk yang bebas untuk mengkonsumsi
21
apapun. Melalui iklan manusia ditawari apa yang dibutuhkan dan apa yang diharapkan sehingga terjadi perubahan “wants” berubah menjadi “needs”, yang awalnya berbentuk keinginan berubah menjadi kebutuhan. Kebebasan manusia untuk mengonsumsi apa saja mengakibatkan konsumsi sebagai bentuk identitas diri. Istilah yang disebut Haryanto Soedjatmiko “semakin aku mengonsumsi, semakin nyatalah jati diriku”. Konsumerisme menjadi makna baru yaitu sebagai gaya hidup. Keunggulan konsumerisme sebagai gaya hidup yaitu tidak memutlakkan kemampuan membeli seseorang pada masa sekarang, manusia dapat mengonsumsi melalui bentuk kredit. Kelebihan dari konsumerisme yaitu menawarkan kepada konsumen berbagai kesempatan dan pengalaman.Sebelumnya konsumen belum menikmati bahkan belum mengenal sesuatu objek tetapi dengan konsumerisme, manusia berkesempatan untuk memilikinya. Di pihak lain konsumen digiring ke arah tujuan yang telah ditentukan yaitu kepentingan kapitalis. Kondisi ini oleh Haryanto Soedjatmiko disebut paradoks konsumsi. Kesamaan pembahasan Haryanto Soedjatmiko dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu sama-sama membahas tentang pola hidup konsumerisme. Buku ini sangat membantu untuk menambah wawasan penulis mendalami pola hidup konsumerisme. Perbedaanya, dalam buku tersebut dijelaskan gaya hidup konsumerisme dengan berbelanja secara fokus, sedangkan penulis meneliti objek dan juga makna yang ada dalam upacara perkawinan Batak Toba.
22
2.2
Konsep
2.2.1
Konsumerisme Konsumerisme berbeda dengan konsumsi walau kedua istilah itu
berhubungan.Konsumsi berkaitan dengan pemakaian barang dan jasa untuk kehidupan yang layak pada suatu masyarakat.Konsumsi merupakan keharusan bagi manusia untuk bertahan hidup sedangkan konsumerisme bukan keharusan tetapi suatu konstruksi sosial. Menurut Piliang, (2011: 415), konsumerisme adalah manipulasi tingkah laku
para
konsumen
melalui
berbagai
aspek
komunikasi
pemasaran.
Konsumerisme merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ideologi ekonomi kapitalisme, di dalamnya kebudayaan diciptakan sebagai bagian dari logika pasar dan komoditi.Konsumen terperangkap dalam berbagai konstruksi tanda, citra dan simbol dengan irama produksi, pergantian dan keusangan terencana, serta dengan berbagai pesona, daya tarik yang ditawarkan.Konstruksi tersebut mengakibatkan terancamnya nilai-nilai dan ideologi masyarakat tradisional. Konsumerisme yang menjadikan suatu ideologi membuat seseorang atau sekelompok orang melakukan proses konsumsi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar atau tidak sadar dan berkelanjutan. Manusia mengonsumsi objek-objek bukan hanya berdasarkan nilai guna dan nilai utilitasnya, tetapi juga mempertontonkan makna-makna tertentu (Piliang, 2012: 142).Demikian halnya dalam upacara perkawinan Batak Toba, objek-objek yang dikonsumsi tidak selamanya berdasarkan nilai guna tetapi lebih didominasi nilai simbol.
23
Terkait dengan konsumerisme, Baudrillard berpandangan skeptis dan fatalis terhadap pengontrolan objek.Menurut Baudrillard (dalam Piliang, 2012: 142) konsumer tidak mengontrol objek tetapi sebaliknya yang terjadi objek yang mengontrol konsumer.Mereka menjadi mayoritas yang diam, yang menempatkan dirinya dalam relasi subjek-objek, bukan sebagai pencipta tetapi semacam jaring laba-laba, yang menjaring dan mengkonsumsi segala yang ada di sekitarnya. Konsumerisme merupakan suatu budaya yang merupakan bentuk khusus dari budaya materi yang mulai berkembang pada masyarakat Eropa dan Amerika pada pertengahan abad ke-20.Menurut Lury(1998: 8) hubungan antara kekayaan ekonomi dan partisipasi dalam budaya materi sangat komplek dan penuh variabel historis. Tidak ada hubungan langsung antara tingkat ekonomi terhadap kepemilikan sesuatu barang, persepsi barang kebutuhan dan kemewahan, pemahaman mengenai kebutuhan atau keinginan. Budaya konsumen memberikan kondisi-kondisi, di dalamnya dipahami bahwa identitas diri bukan saja berhubungan dengan barang-barang milik pribadi, tetapi identitas diri itu sendiri menyatakan diri sebagai barang milik. Pola konsumsi seseorang boleh menjadi jalan untuk mengekspresikan identitas sosial, dan kalau perlu politiknya. Budaya konsumen mengakibatkan ketidakseimbangan yang terjadi dalam hubungan individu pada dirinya sendiri, perasaan agensi dan kecenderungan rasa memiliki terhadap pengelompokan sosial. Masyarakat digiring untuk memperjelas diri mereka dalam pengertian benda-benda yang mereka miliki, dan benda menjadi citra diri (Lury, 1998: 10).
24
Upacara perkawinan Batak Toba yang sudah dilaksanakan secara berulang-ulang sepintas kelihatan merupakan hal yang wajar. Dikatakan wajar karena sudah umum melaksanakan dalam bentuk yang sama yaitu konsumerisme. Mereka bukan lagi mengontrol objek tetapi sudah dikontrol objek akibat ideologi kapitalis.Objek yang dikonsumsi melebihi dari segi kuantitas dan juga kualitas. Selain dikontrol objek, yang dikonsumsi bukan hanya objek tetapi juga tingkah laku dan pola pikir. Seperti yang dikemukakan Piliang (2012: 145) akibat kemajuan ekonomi di Indonesia gaya hidup juga berkembang sebagai fungsi dari diferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi. Konsumsi bukan sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia tertentu, tetapi juga berkaitan dengan simbolik untuk menandai kelas, status atau simbol sosial tertentu.Yang dikonsumsi bukan sekedar objek, tetapi juga maknamakna sosial yang tersembunyi di baliknya. Masyarakat konsumen memaknai konsumsibukan berdasarkan kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, tetapi yang dibutuhkan adalah hasrat untuk mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas melalui mekanisme penandaan
(Hidayat,
2012:
62).
Pada
masyarakat
konsumen
individu
menunjukkan identitas melalui tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki dan tampilkan dalam interaksi sosial. Tanda merupakan cerminan aktualisasi diri individu yang paling meyakinkan.
25
2.2.2 Upacara Perkawinan Batak Toba Upacara merupakanserangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan.Dalam kehidupan sehari-hari contoh upacara yaitu, upacara penguburan, upacara perkawinan, upacara pengukuhan kepala suku, upacara potong gigi, dan sebagainya(http://catatansenibudaya.blogspot.com/2012/05/definisi-upacaraadat.html, diakses tanggal, 7 Agustus 2014).Demikian halnya upacara perkawinan Batak Toba merupakan serangkaian tindakan dalam hal proses perkawinan yang dilakukan secara turun-temurun. Perkawinan adalah perpaduan dua kelompok (pihak) antara pihak laki-laki dan pihak perempuan menjadi satu kerabat. Jadi perkawinan dalam tulisan ini bukan hanya sekedar perpaduan antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan,tetapi perkawinan itu dalam arti yang luas (Siahaan,1982: 58).Upacara perkawinan pada suku bangsa Batak umumnya merupakan acara yang sakral dan membutuhkan waktu juga biaya yang banyak. Suku bangsa Batak mempunyai 6 (enam) rumpun yaitu: Batak Toba, berdiam di sekitar danau Toba; Batak Mandailing, berdiam di sekitar Tapanuli Selatan; Angkola, mendiami Angkola dan Sipirok; Batak Karo, berdiam di Tanah Karo; Batak Simalungun, berdiam di Simalungun; dan Pakpak, berdiam di Dairi/Pakpak, Sumut (Bangun, 1982: 94-95). Masing-masing rumpun ini mempunyai upacara perkawinan yang agakberbeda, namun secara prinsip adalah sama. Penelitian ini khusus meneliti upacara perkawinan Batak Toba yang dilakukan di Kota Denpasar.
26
Pelaksanaan upacara perkawinan di daerah perkotaan dan juga di daerah asal (Tapanuli) prinsipnya sama walaupun dalam teknisnya ada sedikit perbedaan di sana-sini. Perbedaan-perbedaan itu diakibatkan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap teknis pelaksanaannya.Umumnya upacara perkawinan tersebut dari awal sampai akhir terdapat konsumerisme.Konsumerisme merupakan manipulasi tingkah laku para konsumen melalui berbagai aspek komunikasi pemasaran.Yang dikonsumsi tidak lagi sekedar objek, tetapi juga makna-makna sosial yang tersembunyi di baliknya (Piliang, 2011: 145).
2.2.3
Konsumerisme dalam Upacara Perkawinan Batak Toba Konsumerisme merupakan perilaku etnik Batak Toba dalam upacara
perkawinan yang mengkonsumsi secara berlebihan atau tidak sepantasnya dari sudut kuantitas dan kualitas, baik berbentuk materi ataupun non materi. Konsumerisme dalam bentuk materi terjadi dalam hal: (1). Jumlah mahar atau sinamot yang tinggi; (2). Tempat pelaksanaan pesta perkawinan di gedung yang mewah; (3). Mengundang banyak orang; (4). Menggunakan perlengkapan mewah. Selain konsumerisme dalam bentuk materi, pelaksanaan upacara Batak Toba di Kota Denpasar juga terjadi konsumerisme non materi.Hal ini dapat diamati dari: (1). Pola pikir yang ingin cepat; (2). Tindakan yang ingin cepat; (3). Pekerjaan yang diukur berdasarkan untung rugi; (4). Meniru perilaku orang lain di luar budayanya tanpa mengerti makna dari perilaku tersebut: (5). Menggunakan tahapan-tahapan yang panjang.
27
Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar, orang kaya berusaha untuk mengonsumsi objek yang berbeda dari yang biasa, sebaliknya orang yang kurang mampu dari segi ekonomi berusaha untuk mengikuti gaya orang kaya mengonsumsi objek yang sama untuk menunjukkan identitasnya. Perilaku yang mengonsumsi objek bukan berdasarkan hanya nilai guna tetapi juga nilai simbol mengakibatkan konsumerisme dalam pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba. Jadi yang dimaksud dengan konsumerisme perkawinan Batak Toba yaitu pelaksanaan upacara perkawinan yang dilakukan suku bangsa Batak Toba melebihi
kemampuan
dirinya
baik
dari
sudut
kuantitas
maupun
kualitas.Kemampuannya dipaksakan baik secara materi maupun non materi diluar kewajaran.Ketidakwajaran
yang
dilaksanakan
secara
berulang-ulang
menjadikannya seakan-akan suatu keharusan,yang tidak pantas menjadi pantas karena sudah terbiasa dilaksanakan.Hal-hal seperti inilah yangdisebut sebagai konsumerisme yang akan diteliti dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.
2.3
Landasan Teori Sebagai landasan untuk menganalisis masalah yang akan diteliti dalam
penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yaitu, teori konsumerisme, teori praktik sosial, dan teori hipersemiotika secara eklektik.
28
2.3.1 Teori Konsumerisme Manusia dalam kehidupan sehari-hari memiliki kebutuhan. Pada awalnya manusia hanya mengambil dari alam yang tersedia segala sesuatu apa yang dibutuhkan. Pada perkembangan selanjutnya seperti yang diutarakan Marx, manusia bukan hanya mengambil apa yang tersedia dari alam untuk dikonsumsi sendiri melainkan untuk dijual di pasaran demi keuntungan. Komoditas lebih bermakna sebagai nilai tukar daripada nilai guna (Soedjatmiko, 2008: 20). Marx dalam teorinya terutama tertuju pada produksi. Menurut Marx bahwa konsumsi atas sesuatu yang secara fungsional dianggap berguna akan dilegitimasikan sebagai kebutuhan, sedangkan konsumsi yang terkait dengan kemewahan dianggap sebagai kemerosotan moral (Wiedenhoft, 2012:821). Berbeda dengan Marx yang memahami komoditas sebagai proses produksi, Veblen banyak memerhatikan kebutuhan orang untuk membuat pembedaanpembedaan sosial dengan memamerkan objek-objek konsumen. Kelas atas mengonsumsi secara berlebihan untuk menunjukkan kelasnya sedangkan kelas di bawahnya berusaha untuk meniru kelas di atasnya. Dorongan untuk meniru ini memicu efek mengalir ke bawah artinya kelas atas menjadi penentu konsumsi baik untuk kelasnya sendiri dan juga kelas di bawahnya. Walaupun kelas bawah meniru konsumsi kelas atas, kelas atas akan menyingkirkan objek tersebut dan memilih objek yang baru untuk menunjukkan kelasnya. Dengan demikian Veblen menyimpulkan, dengan mengonsumsi objek, sesungguhnya manusia sedang mengonsumsi bermacam-macam makna yang terkait dengan kelas (Wiedenhoft, 2012:825).
29
Berpijak dari pendapat Marx yang menyatakan bahwa objek mempunyai nilai guna dan nilai tukar, Baudrillard menggantinya dengan nilai tanda dan nilai simbolik. Menurut Baudrillard (dalam Hidayat, 2012: 61), fungsi utama objek konsumen bukanlah berdasarkan kegunaan atau manfaat, tetapi yang diutamakan adalah nilai tanda atau nilai simbolik yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup belbagai media. Pada masyarakat konsumer objek bukan saja untuk dikonsumsi, tetapi juga diproduksi lebih banyak untuk menandakan status. Konsumsi bukan untuk mencari homogenisasi tetapi diferensiasi, sehingga barang mewah yang dimiliki untuk menunjukkan status bukan kebutuhan ekonomi (Lubis, 2014: 179). Konsumsi berbeda dengan konsumerisme walau keduanya saling berkaitan. Konsumsi merupakan sebuah tindakan (an act) sedangkan konsumerisme merupakan sebuah cara hidup (a way of life). Konsumsi merupakan cermin aksi yang nyata, sedangkan konsumerisme terkait dengan motivasi yang terkandung di dalamnya. Konsumerisme adalah sebuah ekspresi budaya dan manifestasi dari tindakan konsumsi (Soedjatmiko, 2008: 29). Konsumerisme merupakansuatu ideologi dimana makna
kehidupandi-
tentukan oleh apa yang dikonsumsi, bukan apa yang dihasilkan. Menurut Herbert Marcuse (dalam Storey, 2006: 145), ideologi konsumerisme mendorong kebutuhan palsu dan manusia mengenali dirinya dalam komoditasnya.Manusia mencari dirinya melalui makanan tertentu, minuman tertentu, barang tertentu, pakaian tertentu dan seterusnya.Komunitas Batak Toba di Kota Denpasar mencari identitasnya melalui objek yang dikonsumsi dalam upacara perkawinan.
30
Mengonsumsi objek tertentu menandakan bahwa seseorang sama dengan orang lain yang mengonsumsi objek itu dan orang akan berbeda dengan orang lain yang mengonsumsi objek lain. Kondisi yang demikian oleh Ritzer disebut dengan kode yang mengontrol apa yang dikonsumsi dan apa yang tidak dikonsumsi. Orang akan meniru konsumsi orang lain agar dirinya menyerupai (sama) orang yang ditiru. Sebaliknya orang akan mengonsumsi objek yang berbeda dengan orang lain memberikan tanda bahwa dia berbeda dari orang lain (Ritzer, 2004: 138). Pada suku Batak Toba, yang mempunyai ekonomi lebih baik akan selalu mencari konsumsi yang berbeda dari yang lainnya sedangkan orang yang berekonomi lemah akan meniru (ingin menyamai) konsumsi orang kaya sehingga terjadi konsumerisme. Gaya hidup konsumerisme merupakan gaya hidup yang didorong oleh logika hasrat dan keinginan ketimbang logika kebutuhan. Budaya konsumerisme sangat berhubungan dengan lingkungan urban, karena di perkotaan ruang untuk konsumsi itu sangat mendukung. Di dalam gaya hidup konsumerisme, objekobjek dikonsumsi sebagai medium untuk menyatakan identitas diri, status, simbol sebagai logika tanda (Piliang, 2011: 238). Dalam upacara perkawinan Batak Toba objek
dan
tanda
banyak
dikonsumsi
demi
menunjukkan
identitasnya.Konsumerisme dapat terjadi dari segi kuantitas (jumlah yang dikonsumsi melebihi kebutuhan) dan juga kualitas (kualitas tertentu).Teori konsumerisme digunakan untuk menganalisis bentuk konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba yang terjadi di Kota Denpasar.
31
2.3.2 Teori Praktik Sosial Teori praktik sosial dikemukakan oleh Pierre Felix Bourdieu (19302002).Konsep
penting
dalam
teori
praktik
Bourdieu
yaitu,
habitus,
arena/ranah/medan (field), kekerasan simbolik (symbolic violence), modal (capital), dan strategi (strategy) (Lubis, 2014: 102).Konsep habitus merupakan kunci dalam sintesa teoritis Bourdieu.Menurut Bourdieu habitus merupakan suatu sistem melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal, disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif (Lubis, 2014: 115).Habitus merupakan pembatinan nilai-nilai sosial budaya yang beragam dan rasa permainan (feel for the game) yang melahirkan bermacam gerakan yang disesuaikan dengan permainan yang sedang dilakukan. Habitus adalah nilai yang meresap ke dalam pikiran, perasaan dan estetika seseorang, sehingga memengaruhi dan menentukan nilai selera seseorang (Saifuddin dalam Fashri, 2014: xiii). Habitus merupakan produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu.Habitus bukan bawaan alamiah atau kodrat tetapi merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat. Proses pembelajarannya sangat halus, tak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam atau pemberian (Takwin, dalam Harker, dkk. 2009: xix). Individu bukanlah agen yang sepenuhnya bebas,
32
dan juga bukan produk pasif dari struktur sosial (Saifuddin dalam Fashri, 2014: xiii). Habitus berkaitan erat dengan field, karena praktik-praktik atau tindakan agen merupakan habitusyang dibentuk oleh field, sehingga habitus dipahami sebagai aksi budaya.Field dalam konsep Bourdieu yaitu medan, arena atau ranah merupakan ruang sebagai tempat para aktor/agen sosial saling bersaing untuk mendapatkan berbagai sumber daya material ataupun kekuatan (power) simbolis. Persaingan dalam ranah bertujuan untuk memastikan perbedaan dan juga status aktor sosial yang digunakan sebagai sumber kekuasaan simbolis (Lubis, 2014: 108). Teori praktik sosial digunakan untuk membedah pelaksanaan upacara perkawinan Batak toba yang sangat dipengaruhi oleh habitus,field, dan modal. Adat bagi suku Batak Toba merupakan habitus seperti yang dimaksud oleh Bourdieu. Anak sejak kecil sampai dewasa hidup dalam habitus adat, dirinya menjadi agen yang tidak sepenuhnya bebas dan juga bukan produk pasif dari struktur sosial atau hanya menerima saja. Pelaksanaan upacara perkawinan berkaitan dengan modal dalam arti luas dan juga field atau medan, arena, ranah. Para agen berusaha untuk memenangi ranah dengan modal yang dimiliki.Teori praktik ini digunakan untuk membahas faktor-faktor yang terkait dengan konsumerisme perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.
2.3.3 Teori Hipersemiotika
33
Teori hipersemiotika diambil dari pemikiran Piliang yang bermakna melampaui berkaitan dengan relasi-relasi
yang lebih kompleks antara tanda,
makna, dan realitas, khususnya relasi simulasi. Hipersemiotika ini merupakan penyempurnaan semiotika linguistik struktural dari Saussure yang dipadukan dengan hiperrealitas.Menurut Piliang (2012: 52) perbedaan antara hipersemiotika dengan post-strukturalisme dan juga dekonstruksi terletak pada penekanannya. Hipersemiotika menekankan aspek-aspek melampaui atau berlebihan pada wacana semiotika. Semiotika (semiotic) berasal dari bahasa Yunani “semion” yang berarti tanda. Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics menyatakan bahwa semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Dalam semiotika akan dipelajari relasi antara komponenkomponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya. Dalam teori semiotika yang diutarakan Saussure (dalam Piliang, 2012: 46-48) terdapat beberapa prinsip dasar yaitu, struktural, kesatuan, konvensional, sinkronik, representasi, kontinuitas. Pandangan strukturalisme yang diutarakan Saussure mendapat kritikan dari penganut poststrukturalisme.Misalnya Umberto Eco menyatakan bahwa semiotika pada prinsipnya dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan dan kepalsuan, singkatnya semiotika itu merupakan teori kepalsuan.Berangkat dari teori ini, Piliang membuat suatu teori hipersemiotika. Arti hiper dalam hipersemiotika adalah: di atas, berlebihan, atau di luar atau terlampau melampaui batas.
34
Hipersemiotika berarti melampaui semiotika yang berusaha melampaui batas oposisi biner di dalam bahasan dan kehidupan sosial, yaitu benteng oposisi biner yang secara konvensional dibangun antara struktur/perkembangan, konvensi/perubahan, fisika/metafisika, sinkronik/diakronik, penanda/petanda, langue/parole, tanda/realitas. Teori hipersemiotika mengembangkan prinsip: perubahan dan transformasi, imanensi, perbedaan (difference), permainan bahasa (language game), simulasi, dan diskontinuitas (Piliang, 2012: 49-51). Teori semiotika yang dikemukakan Saussure digunakan untuk menganalisa hubungan antara penanda dan petanda.Banyak tanda-tanda yang sangat terikat dengan sistem pada upacara perkawinan Batak Toba sehingga semiotika Saussure sangat cocok untuk menganalisisnya. Sedangkan penanda yang tidak berhubungan dengan petanda atau melebihi tanda seperti yang diutarakan Saussuredianalisis melalui teori hipersemiotika yang dikemukakan Piliang. Teori semiotika dan hipersemiotika ini digunakan untuk membedah implikasi konsumerisme upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.Teori hipersemiotika digunakan untuk menganalisis tanda-tanda yang digunakan dalam upacara perkawinan Batak Toba karena tanda-tanda tersebut banyak yang melebihi dari tanda yang sebenarnya yang tidak dapat dianalisis hanya dengan teori semiotika.
35
2.4
Model Penelitian Penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut Globalisasi
Adat Batak
Di Denpasar
Tradisi
Pakem
Bentuk konsumerisme
Konsumerisme dalam Upacara Perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar
Faktor konsumerisme
Gaya hidup Budaya Populer Media massa Kurangnya pemahaman Kurangnya transmisi budaya
Implikasi konsumerisme
Gambar 2.1 Model Penelitian Keterangan model penelitian: : :
Pengaruh sepihak Pengaruh timbal balik
Upacara perkawinan Batak Toba merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk memasuki dalihan na tolu.Upacara perkawinan menjadi tradisi yang dilakukan komunitas Batak Toba baik di daerah asal maupun di daerah
36
perantauan. Praktik upacara perkawinan memiliki pakem yang harus mereka ikuti. Akibat globalisasi, pakem ini mengalami pergeseran sehingga menimbulkan perilaku yang konsumerisme. Perilaku konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dipengaruhi beberapa faktor diantaranya, (1). Globalisasi, yaitu terintegrasinya berbagai elemen dunia kehidupan ke dalam dunia tunggal berskala dunia (Piliang, 2011: 22). Globalisasi menjadi suatu ekspansionisme sistem ekonomi kapitalis; (2). Gaya hidup, yaitu cara setiap orang untuk memaknai kehidupannya dengan cara mengekspresikan benda-benda sebagai objek pengaktualisasian diri kehidupan sehari-hari (Piliang, 2011: 322); (3). Budaya populer, yaitu budaya yang diproduksi secara komersil dan konsumer menerima saja tanpa berpikir hal itu akan berubah di waktu yang akan datang (Barker, 2004: 50); (4). Media massa, yaitu lembaga-lembaga komunikasi yang memproduksi dan mendistribusikan teks-teks secara luas,
dalam konteks lahir dan
berkembangnya modernitas kapitalis (Barker, 2014: 165); (5). Kurangnya pemahaman tentang makna upacara perkawinan Batak Toba; dan (6). Kurangnya transmisi budaya kepada generasi muda. Konsumerisme dalam upacara perkawinan menjadi suatu kebiasaan yang mereka lakukan secara sadar. Makna upacara perkawinan mengalami pergeseran akibat dari globalisasi yang membawa bentuk ideologi kapitalis. Dalamideologi kapitalis, kebudayaan diciptakan sebagai bagian dari logika pasar dan komoditi.Manusia mengonsumsi objek bukan hanya berdasarkan nilai guna saja tetapi juga berdasarkan simbol.Yang dikonsumsi bukan hanya objek (materi)
37
tetapi juga pola pikir dan tingkah laku kaum kapitalis. Fokus penelitian ini selanjutnya dituangkan dalam rumusan masalah terkait dengan bentuk konsumerisme, alasan konsumerisme, dan juga implikasi konsumerisme itu sendiri. BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Rancangan Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif.Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dengan cara mendeskripsikan dengan kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2014: 9). Selanjutnya Moleong membuat karakteristik tentangciri khas penelitian kualitatif yaitu: (1). Latar alamiah; (2). Manusia sebagai alat (instrumen); (3). Metode kualitatif; (4).Analisis data secara induktif; (5).Teori dari dasar (grounded theory); (6).Deskriptif; (7). Lebih mementingkan proses daripada hasil; (8). Adanya batas yang ditentukan oleh fokus; (9). Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data; (10).Desain bersifat sementara; dan (11).Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama (Moleong, 2014: 8-13). Melalui metode ini data dapat dikumpulkan untuk menjawab permasalahan konsumerisme upacara perkawinan Batak Toba dikota Denpasar.
38
3.2
Lokasi penelitian Peneliti memilih lokasi penelitian di Kota Denpasar dengan beberapa
pertimbangan: 1.
Di antara kota dan kabupaten yang ada di Provinsi Bali, Kota Denpasar banyak didiami etnik Batak Toba. Dari segi tujuan merantau Batak Toba Kota Denpasar tidak termasuk sebagai tujuan. Daerah tujuan merantau Batak Toba adalah Kota Medan, Jabodetabek, Pekan Baru, Batam, dan Kalimantan. Walau bukan daerah tujuan merantau ada ribuan etnik Batak Toba yang tinggal dan bekerja di Kota Denpasar.
2.
Pelaksanaan upacara adat Batak Toba di KotaDenpasar masih diikuti secara bersama-sama (belum mengelompok). Hal ini dapat dilihat dari keikutsertaan paguyuban yang menaungi seluruh etnik Batak di Bali.Paguyuban itu adalah IKBB (Ikatan Keluarga Batak Bali), menaungi seluruh warga Batak (Toba, Simalungun, Pakpak, Karo, Mandailing).Setiap acara puncak perkawinan Batak, pengurus paguyuban ini selalu diundang dan menghadiri upacara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa etnik Batak diKota Denpasar masih satu paguyuban.
3.
Etnik Batak Toba yang berdomisili di luarKota Denpasar yang masih sekitar Provinsi Bali, biasanya tempat yang dipilih untuk melangsungkan upacara perkawinanadalah di Kota Denpasar. Dengan demikian walau penelitian dilakukan hanya di Kota Denpasar secara tidak langsung sudah meneliti semua upacara perkawinan Batak Toba se Provinsi Bali.
39
3.3
Teknik Penentuan Informan Informan penelitian dilakukan secara purposif yaitu dengan menentukan
informan yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba. Peneliti mewawancarai informan yang sudah ditentukan sebelumnya (terlampir) yang menguasai informasi tentang pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dan juga yang berkaitan dengan upacara perkawinan tersebut. Peneliti juga mewawancarai keluarga/pengantin yang sudah melaksanakan upacara perkawinandan kalangan muda sebagai generasi penerus budaya Batak Toba. Informan yang sudah ditentukan sebelum penelitian, ada beberapa di antaranya yang diganti karena faktor penguasaan permasalahan. Informan dalam penelitian ini ada dua macam yaitu, informan kunci dan informan pelaku. Seperti yang diutarakan Bungin (2012: 108), informan kunci yang digunakan disesuaikan dengan struktur sosial saat pengumpulan data dilakukan.Tokoh kunci merupakan orang yang selalu menguasai informasi yang terkait dengan masalah yang diteliti.Informan berikutnya yaitu informan pelaku yang ditentukan bersamaan dengan perkembangan review dan analisis hasil penelitian saat penelitian berlangsung. Selain faktor penguasaan masalah, ada juga keluarga
sebagai
pelaku
upacara
perkawinan
Batak
Toba
yang baru
melangsungkan upacara perkawinan di mana sebelumnya keluarga tersebut tidak masuk sebagai informan.
3.4
Jenis dan Sumber Data
40
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif sedangkan data kuantitaf digunakan sebagai penunjang. Data kualitatif dalam penelitian ini berbentuk uraian, cerita pendek, keterangan-keterangan yang terkait dengan upacara perkawinan Batak Toba di KotaDenpasar. Sumber data dalam penelitian ini yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah dari informan yang mempunyai pengetahuan tentang upacara perkawinan Batak Toba. Informasi yang bersifat umum dilakukan dengan wawancara formal sedangkan informasi yang menyimpan kerahasiaan (berkaitan dengan konsumerisme) dilakukan wawancara mendalam secara penyamaran (Bungin, 2012: 111). Demikian juga identitas informan, sebagian menggunakan nama samaran untuk menjaga kerahasiaan, sedangkan informan yang tidak perlu dirahasiakan, daftarnya dilampirkan sesuai dengan yang umumnya. Selain informasi dari informanyang mengetahui upacara perkawinan, juga diminta informasi dari orang yangmelaksanaan upacara perkawinan itu sendiri.Keluarga yang melakukan upacara perkawinan juga termasuk sebagai informan primer. Peneliti terlibat aktif dalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut untuk mengamati dan menganalisis pelaksanaan dan makna-makna yang ada dalam upacara tersebut.Keterlibatan secara aktif untuk mengetahui lebih dekat dan mendalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut. Data sekunder juga digunakan dalam penelitian ini sebagai data pelengkap dan pembanding.Sumber data sekunder yang dimaksud adalah berupa data dalam bentuk laporan, arsip, buku, artikel ilmiah, hasil seminar, dan lain-lain yang
41
berupa dokumen yang ada kaitannya dengan penelitian ini.Data-data ini sangat membantu peneliti untuk mengetahui sejarah, falsafah, dan latar belakang dari upacara perkawinan Batak Toba tersebut. 3.5
Instrumen Penelitian Dalam penelitian kualitatif kedudukan peneliti sangat rumit. Hal ini
menjadi rumit karena peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, penganalisis, penafsir data sampai pelapor hasil penelitian.Boleh dikatakan instrumen
penelitian
ini
segalanya
adalah
manusia
(Moleong,
2014:
168).Demikian halnya dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah manusia yaitu peneliti sendiri. Peneliti mencatat segala informasi yang berguna dalam mendapatkan data yang berhubungan dengan masalah penelitian. Sebagai instrumen pembantu, peneliti membuat buku harian, pedoman wawancara, alat perekam dan juga kamera digital. Alat bantu ini untuk mempermudah pengumpulan, penyeleksian, dan penganalisisan data. Data-data yang sudah terkumpul langsung dianalisis dan ditafsirkan hingga menjadi suatu hasil penelitian.
3.6
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang valid peneliti melakukan beberapa teknik
pengumpulan data. Teknik ini berkaitan dengan pendekatan penelitian, permasalahan dan teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini.Teknik yang dimaksud adalah observasi, wawancara, dan studi kepustakaan.
42
3.6.1 Observasi Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra. Pengamatan yang dilakukan dikaitkan antara yang dihasilkan pancaindra yang satu dengan pancaindra yang lain. Dengan demikian observasi merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin, 2012: 118). Pada tahap observasi ini, peneliti dalam hal ini penulis mengamati secara langsung proses upacara perkawinan. Observasi dilakukan penulis terhadap proses upacara perkawinan, perilaku komunitas Batak Toba di dalam melaksanakan upacara perkawinan, dan juga materi yang dikonsumsi selama pelaksanaan upacara perkawinan. Proses perkawinan dimulai dari marhusip atau diskusi antara orang tua laki-laki dan orang tua perempuan sampai kepada acara puncak upacara perkawinan. Proses ini perlu diobservasi karena pelaksanaan upacara perkawinan sangat ditentukan oleh apa yang didiskusikan kedua belah pihak pada saat marhusip. Selain proses upacara, perilaku dan objek yang dikonsumsi komunitas Batak Toba dalam upacara perkawinan perlu untuk diobservasi. Perilaku memengaruhi
konsumerisme
dalam
upacara
perkawinan,
sebaliknya
konsumerisme memengaruhi perilaku dalam upacara perkawinan. Perilaku konsumerisme akan tercermin dalam objek yang mereka konsumsi yang berkaitan dengan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.
43
Pengamatan langsung ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang belum terungkap dalam wawancara.Hasil pengamatan dapat juga sebagai pembanding data yang diperoleh dari hasil wawancara terkait dengan konsumerisme.Teknik yang digunakan dalam tahap observasi ini adalah observasi partisipasi yaitu penulis ikut aktif dalam upacara tersebut.
3.6.2 Wawancara Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan penanya. Maksud diadakannya
wawancara
seperti
yang
diutarakan
Lincoln
dan
Guba
adalahmengkonstruksi tentang orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian kebulatan yang sudah dialami; memproyeksikan kebulatan-kebulatan yang diharapkan untuk dialami; memverifikasi, mengubah dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain; dan memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dilakukan peneliti untuk pengecekan informasi (Lincoln dan Guba, dalam Moleong, 2014: 186). Wawancara dilakukan kepada orang yang menguasai tentang upacara perkawinan Batak Toba. Selain orang atau tokoh yang mengetahui upacara perkawinan Batak Toba, juga diwawancarai pelaku (pengantin baru), orang tua atau keluarga yang sudah pernah melakukan upacara perkawinan yang bukan termasuk ke kelompok tokoh. Wawancara yang dilakukan kepada orang yang dianggap tokoh dengan pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara.
44
Peneliti membuat kerangka yang akan ditanyakan sewaktu wawancara, kerangka tersebut sebagai petunjuk garis besar saja agar isi wawancara tetap dalam pokokpokok yang direncanakan. Berbeda dengan jenis wawancara kepada tokoh, wawancara kepada orang atau keluarga yang melakukan upacara perkawinan dilakukan dengan pendekatan wawancara pembicaraan informal. Wawancara pembicaraan informal menurut Patton (dalam Moleong, 2014: 186) yaitu wawancara yang dilakukan secara wajar atau pada latar alamiah, pewawancara dengan yang diwawancarai berjalan seperti biasa bahkan yang diwawancarai tidak menyadari bahwa dirinya sedang diwawancarai.Pendekatan ini dilakukan peneliti untuk mendapatkan informasi yang alamiah. Hal ini dilakukan karena pelaku tidak akan secara terus terang menginformasikan apa yang dilakukan jika dirinya mengetahui sedang diwawancarai. Untuk itu dilakukan wawancara secara informal dan identitas pelaku juga dirahasiakan atau memakai nama samaran. Selain pelaku dan tokoh yang mengetahui upacara perkawinan juga diwawancarai pihak gereja dan juga kaum pemuda. Gereja tidak bisa dipisahkan dengan upacara perkawinan Batak Toba.Sangat relevan untuk mengetahui bagaimana pandangan gereja tentang konsumerisme upacara perkawinan tersebut.Demikian juga pihak pemuda etnik Batak Toba juga diwawancarai bagaimana pandangan para pemuda tentang upacara perkawinan Batak Toba.
3.6.3 Studi Kepustakaan
45
Studi kepustakaan adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian. Studi kepustakaan digunakan untuk mengetahui sejarah, filosofi, makna asli, pergeseran-pergeseran pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba.Kepustakaan ini sangat membantu peneliti untuk menguji, menafsir, membandingkan hasil penelitian. Literatur yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk buku-buku yang membahas tentang upacara perkawinan Batak Toba. Studi kepustakaan ini sangat membantu pengetahuan danwawasan peneliti serta berfungsi sebagai sumber data sekunder. Data-data yang didapatkan dari literatur digunakan untuk melengkapi data yang didapatkan melalui observasi dan wawancara.
3.7
Metode dan Teknik Analisis Data Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesa. Sedangkan tujuan analisis data adalah untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan mengkategorikan (Moleong, 2014: 281). Pekerjaan untuk menganalisis data dilakukan sejak dimulai penelitian secara intensif hingga selesai proses penelitian. Proses analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data baik melalui wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Data dianalisis, dipelajari, ditelaah, dan diseleksi sejak observasi dengan cermat sehingga data yang digunakan adalah
46
benar-benar yang dapat dipertanggungjawabkan.Setiap data yang diperoleh baik melalui wawancara, observasi, dan studi kepustakaan disederhanakan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan disajikan secara sistematis. Setelah selesai penyeleksian tentang keabsahan data selanjutnya data digolong-golongkan untuk menjawab rumusan masalah: bentuk konsumerisme, faktor yang mempengaruhi konsumerisme dan implikasi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar. Penggolongan dilakukan untuk mempermudah penafsiran data dari hasil sementara menjadi kesimpulan berbentuk teks yang mudah dipahami.Penafsiran sangat perlu untuk mengetahui tindakan yang dilakukan, objek yang digunakan, simbol-simbol yang ada, makna yang ada dalam upacara perkawinan Batak Toba. Melalui penafsiran ini dapat diketahui bentuk-bentuk konsumerisme yang terjadi baik pola pikir, tingkahlaku dan objek yang digunakan dalam upacara tersebut. Tahap selanjutnya dari analisis kualitatif ini adalah penarikan kesimpulan. Proses yang benar mulai dari persiapan penelitian, selama penelitian, dan penganalisisan data sehingga menghasilkan kesimpulan yang benar. Kesimpulan akhir untuk menjawab rumusan masalah, bagaimana bentuk konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba; faktor-faktor apa yang terkait dengan konsumerisme; dan apa implikasikonsumerisme upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.
3.8
Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Untuk memudahkan pembaca mengerti hasil penelitian ini disajikan dalam
bentuk naratif (informal) dan bagan (formal). Peneliti juga menggambar-
47
kan/menjelaskan hasil analisis data dilengkapi dokumentasi yang tersedia secara rinci dan tuntas. Interpretasi penelitian disesuaikan dengan teks dan konteks upacara perkawinan Batak Toba. BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Profil Kota Denpasar Denpasar merupakan kota metropolitan, pusat pendidikan, pusat pariwisata
dan juga pusat perdagangan. Nama Denpasar dapat bermaksud pasar baru, yang awalnya merupakan pusat kerajaan Badung. Perkembangan yang terjadi menjadikan Denpasar menjadi pusat pemerintahan kabupaten Badung bahkan pada tahun 1958 Denpasar menjadi pusat pemerintahan propinsi Bali. Dijadikannya Denpasar pusat pemerintahan tingkat II Badung dan juga pusat pemerintahan tingkat I Bali menyebabkan Denpasar mengalami kemajuan yang sangat pesat baik dari sudut fisik, ekonomi, maupun sosial budaya. Karena perkembangannya
sehingga
status
Denpasar
ditingkatkan
menjadi
kota
administratif(http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/51/ name/bali/ detail/ 5171/kota-denpasar, diakses, 11 Agustus 2014). Pada tanggal 15 Januari 1992 lahirlah Undang-undang nomor 1 tahun 1992 tentang pembentukan Kota Denpasar. Menteri dalam negeri meresmikan Denpasar menjadi satu kota otonom pada tanggal 27 Pebruari 1992. Babak baru terjadi bagi Propinsi Bali karena ada pengembangan yang dulunya 8 daerah tingkat II menjadi 9 daerah tingkat II. Demikian juga bagi Kota Denpasar
48
merupakan babak baru dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan walaupun daerah tingkat II paling bungsu di Propinsi Bali. Pembangunan yang dilakukan di segala bidang menjadikan Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat industri dan juga pusat pariwisata. Hal ini berkaitan dengan letak Kota Denpasar yang berada di Pulau Bali seperti yang terlihat dalam peta di bawah ini.
Gambar 4.1 Peta Pulau Bali
49
(http://wisata.balitoursclub.com/wp-content/upload/2012/08/Peta-WilayahBali.jpg, diakses, 13 April 2015)
Letak Kota Denpasar yang sangat strategis menguntungkan dari segi ekonomis dan juga dari segi kepariwisataan karena merupakan titik sentral berbagai kegiatan sekaligus sebagai penghubung untuk kabupaten lainnya. Kota Denpasar terletak di antara 08° 35" 31'-08° 44" 49' lintang selatan dan 115° 10" 23'-115° 16" 27' Bujur timur, yang berbatasan dengan: di sebelah Utara Kabupaten Badung, di sebelah Timur Kabupaten Gianyar, di sebelah Selatan Selat Badung dan di sebelah Barat Kabupaten Badung. Penduduk Kota Denpasar sangat heterogen, hampir seluruh etnis yang ada di Indonesia terdapat di pulau Bali umumnya, dan di Kota Denpasar khususnya. Walaupun penduduknya sangat heterogen, etnis Bali boleh menerima etnis pendatang dan tinggal berdampingan di Kota Denpasar. Hampir tidak ada kasus yang ditimbulkan karena masalah Sara (suku, agama, dan ras). Etnis Bali sangat terbuka dan bersifat multikulturalis dengan seluruh etnis yang datang ke Bali. Sikap multikulturalisme mengakibatkan orang betah di Denpasar, baik yang berasal dari domestik maupun mancanegara. Faktor keamanan dan kenyamanan mengakibatkan orang luar betah di Kota Denpasar baik yang bekerja secara menetap maupun yang berlibur. Hal ini sangat berkaitan dengan kondisi penduduk di Kota Denpasar.Perkembangan penduduk Kota Denpasar dapat dilihat pada tabel 4.1.
50
Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Kota Denpasar Berdasarkan Jenis Kelamin Per Kecamatan Dari Tahun 2009 – 2013 Kecamatan Denpasar Barat Denpasar Timur Denpasar Selatan Denpasar Utara Total Tahun 2013 2012 2011 2010 2009
Penduduk Laki- Pendududuk Jumlah laki Perempuan 102.626 101.623 204.249 67.757 66.189 133.946 97.363 95.527 192.890 89.350 88.019 177.369 357.096 351.358 708.454 344.466 336.453 680.919 319.839 309.749 629.588 316.655 305.246 621.901 350.904 327.682 678.586
(Sumber:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar, Tahun 2013) Dari data di atas terlihat bahwa jumlah penduduk di masing-masing kecamatan yang ada di Kota Denpasar, semuanya mengalami pertambahan penduduk. Pertambahan penduduk ini diakibatkan dua faktor yaitu, pertumbuhan secara alamiah atau kelahiran dan juga migrasi penduduk ke Kota Denpasar. Migrasi penduduk terjadi ke Kota Denpasar karena kota ini merupakan pusat pemerintahan, pusat pendidikan (lihat tabel 4.2), pusat bisnis, dan juga pusat wisata. Selain pertumbuhan penduduk yang terjadi di setiap kecamatan, hal lain yang menarik diperhatikan yaitu, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan di setiap kecamatan. Untuk mengetahui faktor penyebab mengapa lebih banyak laki-laki dari perempuan perlu diadakan penelitian lebih lanjut.
51
Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Kota DenpasarBerdasarkan Pendidikan Tahun 2013 Pendidikan Tidak/ Belum sekolah Belum tamat SD Tamat SD SLTP SLTA D-1/II Akademi/D-III/ Sarjana Muda D-IV/S-1 Strata II Strata III Total
Denpasar Denpasar Denpasar Denpasar Utara Barat Timur Selatan 29.483 33.207 24.087 33.060
Jumlah 119.837
20.695 25.469 21.763 52.552 4.022 4.370
23.678 26.532 25.352 62.863 5.643 6.224
15.304 16.344 15.158 41.067 3.505 3.586
23.086 22.161 21.163 62.005 6.151 5.910
82.763 90.506 83.436 218.487 19.321 20.090
17.061 1.790 164 177.369
18.817 1.772 161 204.249
13.202 1.566 127 133.946
17.294 1.887 173 192.890
66.374 7.015 625 708.454
(Sumber:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar, Tahun 2013) Penduduk yang berpendidikan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) mempunyai jumlah yang paling banyak yaitu 218.487 orang. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa program pemerintah yaitu, Wajar (Wajib belajar) 12 tahun sangat sukses di kota ini. Kesuksesan inisesuai dengan sebutan Kota Denpasar sebagai kota pendidikan. Selain kesuksesan pendidikan, kerukunan beragama relatif terjaga dengan baik. Pemeluk agama yang paling banyak di Kota Denpasar adalah agama Hindu (lihat tabel 4.3) kemudian disusul agama Islam.
52
Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Kota DenpasarBerdasarkan Agama Tahun 2013 Agama Islam Kristen Katolik Hindu Budha Konghuchu Kepercayaan Total
Denpasar Selatan 50.633 12.519 6.065 118.773 4.847 45 8 192.890
Denpasar Denpasar Timur Barat 26.883 66.595 5.849 10.684 3.373 5.055 96.343 117.621 1.443 4.252 41 33 14 9 133.946 204.249
Denpasar Utara 37.943 6.886 3.222 123.328 5.920 56 14 177.369
Jumlah 182.054 35.938 17.715 456.065 16.462 175 45 708.454
(Sumber:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar, Tahun 2013) Penduduk asli Kota Denpasar adalah suku Bali dan beragama Hindu. Hal ini sangat terlihat jelas dari jumlah penduduk Kota Denpasar didominasi penduduk yang beragama Hindu. Namun walaupun pemeluk agama Hindu lebih banyak, seluruh agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia dapat berjalan dengan baik di Kota Denpasar. Hampir tidak ada gangguan yang sangat berarti di dalam pelaksanaan ritual keagamaan sesuai dengan agama yang dipercayai masing-masing penduduk. Pekerjaan yang paling banyak digeluti penduduk Kota Denpasar adalah karyawan swasta. Hal ini terjadi disebabkan Kota Denpasar merupakan pusat perdagangan, sehingga memerlukan tenaga karyawan dalam hal perdagangan. Banyaknya swalayan, toko-toko besar dan kecil sehingga penduduknya banyak bekerja sebagai karyawan (lihat tabel 4.4).
53
Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Kota DenpasarMenurut Pekerjaan per Kecamatan Tahun 2013
No Nama Pekerjaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Belum/ tidak bekerja Mengurus rumah tangga Pelajar/Mahasiswa Pensiunan PNS TNI Polri Petani/Pekebun Peternak Nelayan/Perikanan Karyawan Wiraswasta Total
Denpasar Denpasar Denpasar Denpasar Jumlah Selatan Timur Barat Utara 39.071 27.467 41.728 36.082 144.348 20.653
13.924
23.600
20.175
78.352
37.332 2.319 6.864 1.238 306 1.338 115 989 56.981 25.684 192.890
24.722 2.088 6.613 340 881 1.363 46 29 37.221 19.252 133.946
39.828 3.047 7.900 1.102 882 684 37 68 54.655 30.718 204.249
34.186 2.542 8.062 213 1.020 1.559 61 44 47.352 26.073 177.369
136.068 9.996 29.439 2.893 3.089 4.944 259 1.130 196.209 101.727 708.454
(Sumber:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar, Tahun 2013) Data di atas menunjukkan, pekerjaan yang paling banyak digeluti masyarakat Kota Denpasar adalah karyawan swasta, disusul dengan tidak bekerja dan pelajar/mahasiswa. Hal ini berkaitan erat dengan Kota Denpasar sebagai pusat perdagangan di Propinsi Bali. Selain pusat perdagangan, Kota Denpasar juga merupakan kota wisata. Sebagai kota wisata, tentumemerlukan sarana dan prasarana sebagai faktor pendukung. Hotel-hotel, villa, restoran, biro perjalanan, dan lain-lain yang berkaitan dengan wisata memerlukan karyawan yang banyak. Hal ini menjadi
54
penyebab sehingga penduduk Kota Denpasar lebih banyak menjadi karyawan swasta. Pekerjaan pertanian, perkebunan, perikanan sudah hampir ditinggalkan karena pekerjaan demikian kurang menjanjikan dan lahan untuk pertanian dan perkebunan sudah habis beralih fungsi menjadi tempat hunian dan usaha lainnya.
4.2
Komunitas Batak Toba di Kota Denpasar
4.2.1
Jumlah Anggota Komunitas Komunitas merupakan suatu perkumpulan dari beberapa orang untuk
membentuk suatu organisasi yang memiliki kepentingan bersama. Komunitas dapat bersifat territorial atau fungsional. Di dalam komunitas, masing-masing individu saling berhubungan antara satu sama lain. Jumlah anggota komunitas Batak Toba yang ada di Kota Denpasar dari hari ke hari semakin bertambah. Hal ini berkaitan dengan perkembangan Kota Denpasar yang sangat pesat, menjadikan orang berlomba-lomba untuk mengadu nasib di daerah pariwisata dunia ini. Komunitas Batak Toba yang memiliki pola merantau yang tinggi tidak mau ketinggalan, juga ingin mengadu nasib di Kota Denpasar. Fenomena ini dapat dilihat dari jumlah komunitas Batak Toba di Kota Denpasar dari tahun ke tahun semakin meningkat. Tahun 2014 jumlah orang Batak Toba di Kota Denpasar lebih dari 1.200 jiwa. Data tentang jumlah komunitas Batak Toba di Kota Denpasar tidak ada yang lengkap. Paguyuban IKBB (Ikatan Keluarga Batak Toba di Bali) tidak dapat mencatat secara lengkap karena setiap kepala keluarga masuk ke dalam perkumpulan marga lebih dari satu kumpulan. Kumpulan marga yang diikuti satu
55
keluarga Batak minimal 4 kumpulan marga yaitu, (1). Kumpulan marga suami (dongan tubu), (2). Kumpulan marga isteri (hula-hula), (3). Kumpulan marga ibu dari suami (tulang), (4). Kumpulan marga ibu dari isteri (tulang rorobot). Banyaknya kumpulan marga yang harus diikuti setiap keluarga Batak mengakibatkan hitungan orang Batak Toba di Denpasar menurut hitungan IKBB menjadi dobel. Oleh karena itu penulis menggunakan data orang Batak Toba melalui data yang dimiliki gereja (lihat tabel 4.5). Data gereja yang digunakan yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Denpasar dan HKI (Huria Kristen Indonesia) Denpasar. Suku Batak Toba umumnya menganut agama Kristen, dan gereja yang menjadi tempat beribadah bernama HKBP. Di Kota Denpasar, selain gereja HKBP ada juga gereja yang berbentuk kesukuan Batak Toba bernama HKI. Selain dari kedua gereja ini ada juga orang Batak Toba menjadi anggota dari, Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB),
gereja kharismatik, gereja katolik,
Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), Islam, dan Hindu, namun jumlahnya sangat kecil. Oleh karena itu penulis menggunakan data orang Batak Toba di Kota Denpasar dari gereja kesukuan yang ada di Denpasar (HKBP dan HKI) di mana jemaatnya 99,% adalah Batak Toba.
56
Tabel 4.5 Jumlah AnggotaKomunitas Batak Toba di Kota Denpasar Berdasarkan kelompok Orang Tua, Pemuda-pemudi, dan Anak-anak No. Kelompok
1
Kaum Bapak
Jemaat HKBP (jiwa) 270
Jemaat HKI (jiwa) 29
Jumlah
Dalam (%)
299
24,8
2
Kaum ibu
296
31
327
27,2
3
Pemuda
119
25
144
11,9
4
Pemudi
86
9
95
7,9
5
Anak-anak laki-laki
153
20
173
14,4
6
Anak-anak perempuan
144
22
166
13,8
Total
1.068
136
1.204
100,0
(Sumber: Gereja HKBP Denpasar dan HKI Denpasar, Tahun 2014) Dari data di atas terlihat bahwa jumlah orang tua lebih banyak yaitu sejumlah 52% disusul anak-anak sejumlah 28, 2% dan yang paling sedikit adalah pemudapemudi sejumlah 19,8%. Pemuda-pemudi menduduki yang paling sedikit diakibatkan banyak mahasiswa anak jemaat kedua gereja ini kuliah di luar pulau Bali, demikian juga mereka yang sudah selesai kuliah lebih banyak mencari pekerjaan di luar pulau Bali.
4.2.2 Sejarah Masuknyadi Kota Denpasar Informasi dari Hasibuan orang yang sudah lama tinggal di Kota Denpasar mengakui bahwa orang Batak yang pertama di Denpasar adalah pak Tobing. Pada
57
tahun 1938, Tobing ditempatkan salah satu perusahaan untuk bekerja di Bali,usianya baru 17 tahun waktu datang ke Kota Denpasar. Dia menikah dengan perempuan suku Bali sehingga dia dengan mudah mendapatkan tanah baik melalui pemberian dari pihak mertua maupun dengan cara pembelian. Pada saat itu harga tanah di Denpasar masih murah sehingga Tobing boleh memiliki tanah yang luas. Merupakan suatu misi budaya (cultural mission) bagi orang Batak untuk membangun kerajaan di daerah rantau dengan cara memiliki tanah, rumah dan anak (Pelly, 1994: 293). Setelah beberapa tahun tinggal di Kota Denpasar, Tobing berhasil melakukan misi budaya dengan mempunyai tanah yang luas, rumah, dan juga isteri dan anak. Keberhasilan ini menjadikan keluarganya betah tinggal di Denpasar sampai akhir hidupnya. Tobing meninggal pada tanggal, 14 Mei 1998. Sesuai dengan perkembangan Kota Denpasar, orang Batak semakin hari semakin bertambah di daerah ini, baik karena faktor kelahiran secara alamiah, penempatan kerja, ataupun karena faktor urbanisasi. Karena jumlahnya semakin banyak, pada tahun 70-an orang Batak berkumpul untuk membangun satu gereja. Gereja merupakan identitas bagi orang Batak, selain untuk tempat beribadah gereja juga berfungsi sebagai wadah untuk bersosialisasi budaya (Siahaan dalam Siburian, 2012 : 243). Organisasi gereja yang dibentuk bernama HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang berkantor pusat di Tarutung Sumatera Utara. Menurut penuturan Tobing: “pada hari Selasa, 7 April 1972 orang Batak berkumpul di rumah Simatupang isteri boru Hutabarat. Inilah perkumpulan orang
58
Batak yang pertama secara formal membicarakan tentang pendirian gereja HKBP. Peserta yang hadir sepakat untuk mendirikan satu gereja.” Untuk mendirikan bangunan gereja membutuhkan lahan dan keamanan, sehingga peserta meminta kesediaan Tobing untuk menjual sebagian tanahnya sebagai lahan pendirian gereja. Dengan senang hati Tobing mau memberikan tanahnya sekitar 400 Meter sebagai tempat untuk mendirikan bangunan gereja yang berlokasi di Jalan Sudirman Gang Karya Bakti II No. 10 Denpasar. Lokasi ini sangat cocok dari segi keamanan karena berada di lokasi Komando Resort Militer 163 Wira Satya Denpasar. Pada tahun 1974 gereja HKBP di Kota Denpasar resmi mulai dibangun. Karena perkembangan jemaat yang semakin banyak, gereja ini tidak dapat lagi menampung jemaatnya sehingga tempat ibadah di pindah ke jalan Pulau Belitung No. 6 Denpasar. Sedangkan gereja lama yang berlokasi di Jalan Sudirman Gang Karya Bakti II No. 10 dijadikan menjadi rumah dinas pendeta. Perkembangan
komunitas
Batak
Toba
yang
semakin
banyak
mengakibatkan pembentukan kumpulan-kumpulan marga. Kumpulan marga yang pertama terbentuk sesuai dengan penuturan Hasibuan, yaitu kumpulan Sitorus Pangulu Ponggok se-Bali. Kumpulan marga ini terbentuk pada bulan Pebruari 1979 di rumah O. Hasibuan. Untuk menjalin ikatan persaudaraan, kumpulan marga ini mengadakan arisan sebulan sekali, diadakan di rumah masing-masing anggota secara bergantian. Arisan kumpulan marga merupakan suatu tradisi bagi Batak Toba di daerah perkotaan untuk menjalin hubungan persaudaraan di antara satu kelompok marga.
59
Hampir semua marga yang ada di Batak Toba mempunyai kumpulan arisan marga. Dalam arisan marga, selalu diawali dengan kebaktian singkat dan dilanjutkan dengan informasi tentang keadaan masing-masing anggota. Dalam wadah kumpulan marga ini orang Batak Toba mendapat informasi tentang adat istiadat, kondisi kampung halaman, perkembangan politik di kampung halaman, kondisi politik di daerah rantau, dan juga informasi-informasi lainnya yang perlu untuk diinformasikan. Kumpulan arisan marga merupakan wadah yang harus dimasuki setiap suku Batak. Orang yang tidak masuk ke dalam kumpulan marga yang terbentuk akan dikucilkan dari kelompok marganya, dan disebut sebagai orang dalle. Sebutan dalle merupakan sebutan yang mengejek seseorang yang tidak mau bergabung dengan suku Batak. Selain membentuk arisan kumpulan marga, orang Batak di Kota Denpasar juga sudah mulai dapat melangsungkan upacara pesta perkawinan. Upacara perkawinan Batak yang pertama di Kota Denpasar dilaksanakan pada tanggal, 15 Desember 1978 yaitu, Aholin Simanjuntak dengan isterinya Lumina Napitupulu. Orang tua Lumina Napitupulu pada saat itu sebagai kepala kantor perindustrian di Bali, sehingga upacara perkawinan puterinya dapat dilaksanakan di kantor perindustrian yang berlokasi di Jalan Topati Denpasar. Jumlah orang Batak yang menghadiri upacara perkawinan tersebut sekitar 40 keluarga. Upacara perkawinan dilaksanakan secara sederhana dan diikuti seluruh etnis Batak (Toba, Simalungun, Mandailing, Karo, dan Pakpak) seluruh Bali.
4.2.3 Pola Pemukiman
60
Pemukiman komunitas Batak Toba di daerah asal Tapanuli biasanya secara mengelompok. Mereka menempati satu kesatuan teritorial yang dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu klen. Wilayah pemukiman ini dalam bahasa daerah disebut dengan huta (Bangun, 1982 : 98). Huta bagi orang Batak selain untuk wilayah tempat tinggal juga berfungsi sebagai perwujudan kerajaan. Semua orang Batak adalah raja, dan setiap raja mempunyai wilayah teritorialnya masingmasing. Huta atau tempat tinggalbagi suku Batak merupakan hal yang utama untuk menunjukkan identitasnya. Seperti yang diutarakan Pelly (1994: 47) untuk menunjukkan simbol status (hasangapon) orang Batak dapat memperolehnya dari rumah atau tempat tinggal dan anak. Simbol status ini merupakan hal yang utama yang harus diperoleh sebagai misi budaya setiap orang Batak di perantauan. Sama halnya di tempat lain, orang Batak di Kota Denpasar mengutamakan kemajuan anak dan juga tempat tinggal (rumah). Bagi orang Batak, salah satu tolok ukur kesuksesan di bidang ekonomi harus mempunyai rumah sendiri. Berbeda dengan suku Batak yang tinggal di daerah asal, orang Batak yang tinggal di Kota Denpasar mempunyai huta atau pemukiman secara diaspora atau menyebar. Pemukiman berbentuk diaspora diakibatkan kedatangan suku Batak ke Kota Denpasar datang secara berangsur-angsur bukan secara mengelompok. Selain datangnya yang berangsur-angsur, pemukiman yang berbentuk diaspora diakibatkan harga tanah yang mahal di Kota Denpasar sehingga untuk memilikilahan yang cukup luas sebagai tempat tinggal secara mengelompok merupakan hal yang sangat sulit.
61
4.2.4 Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi suku Batak. Orang tua suku Batak jika bertemu dengan temannya yang paling banyak dibicarakan adalah tentang anak baik keadaan kesehatannya, sekolahnya, dan pekerjaannya. Anak merupakan salah satu sumber kehormatan (hasangapon) bagi suku Batak (Pelly, 1994: 47). Karena sumber kehormatan, maka orang tua selalu berusaha untuk memajukan anaknya melalui pendidikan. Tingkat pendidikan komunitas Batak Toba di Kota Denpasar dapat di lihat dari tabel 4.6 di bawah ini: Tabel 4.6 Jumlah AnggotaKomunitas Batak Toba di Kota Denpasar Berdasarkan Pendidikan No. Tingkat sekolah
1
Belum sekolah
Jemaat HKBP (jiwa) 74
Jemaat HKI (jiwa) 11
Jumlah
Dalam %
74
6,1
2
TK/SD
149
29
149
12,4
3
SMP
102
4
102
8,5
4
SMA
632
57
532
44,2
5
Diploma/Sarjana
247
35
347
28,8
Total
1.204
136
1.204
100,0
(Sumber: Gereja HKBP Denpasar dan Gereja HKI Denpasar, Tahun 2014) Data di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan SMA sebanyak 44,2%, menduduki peringkat yang paling banyak disusul diploma/sarjana sebanyak 28,8%. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan bagi orang Batak merupakan hal
62
yang utama dalam kehidupannya. Program Wajib Belajar (Wajar) 12 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah secara nasional, bagi suku Batak bukan hal yang baru. Sejak tahun delapan puluhan wajib belajar 12 tahun bagi suku Batak sudah berjalan dengan baik. Pendidikan yang dimiliki berkaitan dengan jenis pekerjaan yang mereka lakoni dalam kesehariannya. Sesuai dengan perkembangan Kota Denpasar sebagai daerah pusat pemerintahan Provinsi Bali, pusat pendidikan, pusat perdagangan dan daerah pariwisata mengakibatkan penduduknya sangat sedikit bekerja dalam bidang pertanian. Sama halnya dengan suku Batak Toba, hampir tidak ada yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Mata pencaharian lebih banyak sebagai karyawan yang berkaitan dengan pariwisata dan wirausaha yang juga berkaitan dengan pariwisata. Gambaran tentang mata pencaharian suku Batak Toba dapat dilihat pada tabel 4.7di bawah ini.
Tabel 4.7 Jumlah AnggotaKomunitas Batak Toba di Kota Denpasar Berdasarkan Mata Pencaharian No. Jenis pekerjaan
Jemaat HKBP (jiwa)
Jemaat HKI (jiwa)
Jumlah
Dalam %
1
PNS
118
4
122
10,1
2
TNI/Polri
8
3
11
0,9
3
Karyawan
227
20
247
20,5
4
Wirausaha
151
17
168
13,9
5
IbuRumahTangga
162
20
182
15,1
6
Pelajar
339
61
400
33,2
63
7
Balita
63
11
74
6,3
Total
1.068
136
1.204
100,0
(Sumber: Gereja HKBP Denpasar dan HKI Denpasar, Tahun 2014) Pekerjaan yang paling banyak dilakoni komunitas Batak Toba di Kota Denpasar adalah sebagai karyawan. Pekerjaan ini erat kaitannya dengan Kota Denpasar sebagai pusat perdagangan. Karena pusat perdagangan, tentu bisnis perdagangan memerlukan tenaga kerja. Selain kota perdagangan, Kota Denpasar juga sebagai pusat pariwisata sehingga memerlukan banyak tenaga kerja yang bergerak di bidang pariwisata.
4.2.5Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial Sistem kekerabatan suku Batak dengan memperhitungkan keturunan secara patrilineal. Kelompok kekerabatan dihitung berdasarkan atas dasar, satu ayah, satu kakek atau satu nenek moyang (Bangun, 1982: 106). Setiap suku Batak Toba dapat menjelaskan silsilah dirinya sendiri mulai dari nenek moyangnya sampai kepada keturunannya. Untuk mengetahui silsilah ini dapat dilihat dari masingmasing tarombo yang ditulis setiap marga. Tarombo merupakan silsilah orang Batak Toba mulai dari nenek moyangnya, dirinya sendiri, dan juga keturunannya. Yang masuk dalam tarombo ini adalah kaum laki-laki yang sudah berkeluarga. Setiap orang Batak membubuhkan nama marga bapaknya di belakang namanya. Marga menunjukkan kelompok kekerabatan yang meliputi orang yang mempunyai satu nenek moyang dan tidak boleh saling mengawini (Bruner, 1986:
64
159). Marga merupakan suatu kebanggaan bagi orang Batak sehingga orang Batak lebih suka dipanggil marganya daripada namanya. Dalam hubungan sosial sehari-hari, terlebih dalam pelaksanaan adat Batak, orang Batak Toba diatur oleh unsur dalihan na tolu. Dalam dalihan na tolu unsur kekerabatan diatur dengan, somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru. Arti dari struktur tersebut adalah, bersikap sembah dan hormat kepada hula-hula (pemberi isteri), hati-hati (bijaksana) terhadap saudara yang semarga, dan kasih sayang kepada boru (penerima isteri). Seperti yang diutarakan oleh Simanjuntak (2011: 221), orang Batak menghormati
hula-hulanya
karena
dialah
yang
memberi
isteri.
Isteri
adalahpemberi keturunan bagi keluarga suami artinya bahwa hula-hula telah memberi berkat kepada keluarga laki-laki melalui puterinya. Kepada saudara semarga (dongan tubu) harus hati-hati
karena mereka tinggal
dalam
perkampungan yang sama, halaman yang sama, ladang yang sama. Dengan demikian hampir setiap saat bertemu sangat rentan kecemburuan, persaingan dan perkelahian. Untuk menghindari hal-hal yang demikian maka perlu kehati-hatian. Sedangkan kepada kelompok boru
yaitu pengambil isteri harus bersikap
mangelek maksudnya membujuk, mengambil hati, mengasihi karena si puteri sudah “dijual” kepada marga lain. Sang puteri tidak mendapat apa-apa lagi dari ayah dan saudaranya. Selain itu pihak boru diharapkan sebagai sumber ekonomi bagi hula-hula dalam hal tumpak(sumbangan), tenaga, dan sebagainya. Praktik dalihan na tolu dapat dilihat pelaksanaannya dalam kumpulan marga-marga. Masing-masing marga membentuk suatu perkumpulan marga di
65
daerah perantauan. Demikian juga di Kota Denpasar ada beberapa perkumpulan marga dalam bahasa daerah disebut punguan marga. Setiap perkumpulan marga, unsur dalihan na tolu secara otomatis terbentuk. Perkumpulan marga ini dibentuk akibat jumlah suku Batak semakin banyak. Melihat semakin banyaknya punguan marga, tanpa ada organisasi atau paguyuban yang menaungi semua marga ini lalu pada bulan Juli 2008, Brigjen Pol (purnawirawan) Drs A. Sitanggang, SH pada waktu itu bertugas di Bali sebagai Direktur Intelijen Keamanan Polda Bali prihatin melihat punguan-punguan marga Batak masih bersifat sektoral. Sitanggang menyampaikan ide untuk membentuk suatu paguyuban yang dapat mengakomodir semua marga-marga yang ada di Bali umumnya dan di Denpasar khususnya. Pemikiran yang diutarakan Sitanggang mendapat sambutan sangat positif dari tokoh-tokoh marga lain, sehingga pada tanggal 15 September 2008 para tokoh-tokoh suku Batak Toba berkumpul di Lapotuak (sejenis warung) Jalan Tukad Batanghari No. 44 Panjer, Denpasar. Pada pertemuan itu sepakat untuk membentuk paguyuban Batak sehingga dibentuk formatur yang bertugas untuk memilih pengurus inti. Pada rapat pengurus disepakati yang masuk dalam Ikatan Keluarga Batak di Bali (IKBB) terdiri dari lima sub-etnis yaitu, Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak. Paguyuban IKBB dalam anggaran dasarnya bertujuan untuk: (1). Memelihara, menjaga dan melestarikan budaya Batak sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa; (2). Memberdayakan dan mengakomodir potensi warga Batak untuk ikut serta berperan aktif membangun dan memajukan wilayah Bali;
66
(3). Menciptakan dan meningkatkan rasa persaudaraan di antara sesama anggota dan masyarakat lingkungan. Dari sub-etnis yang masuk anggota IKBB (Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak) masih ada lagi sub-sub etnisnya. Batak Toba mempunyai sub-sub etnis sebanyak 30 kumpulan marga, Mandailing mempunyai sub etnis (paguyuban) yang bernama Saroha. Pada paguyuban Saroha, Batak Mandailing masuk ditambah Batak sub-etnis lain (Toba, Karo, Simalungun, dan Pakpak) yang beragama Islam. Etnis Karo membentuk paguyuban tersendiri yaitu margasilima(Karo-karo, Ginting, Perangin-angin, Sembiring, Tarigan, Sebayang, dll.). Margasilima menjadi wadah berkumpulnya seluruh orang Batak Karo yang ada di Bali. Etnis ini belum membentuk kumpulan marga-kumpulan marga tersendiri karena jumlahnya belum banyak. Walaupun belum membentuk kumpulan marga-kumpulan marga secara tersendiri, namun sudah membentuk satu gereja kesukuan di Kota Denpasar yaitu Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Batak Simalungun mempunyai kesamaan marga denganBatak Toba sehingga sangat gampang untuk bergabung secara kumpulan marga dengan Batak Toba. Marga-marga yang ada di Simalungun, misalnya, Sinaga, Purba, Damanik, Saragih juga sama dengan marga yang ada di Toba. Perbedaan yang ada hanya dalam bahasa. Untuk menunjukkan identitasnya, Batak Simalungun juga sudah mempunyai gereja tersendiri di Denpasar yaitu, Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).
67
Demikian juga Pakpak memilih bergabung dengan kumpulan margamarga yang ada di Batak Toba. Selain jumlahnya yang masih sedikit, margamarga yang ada di Pakpak ada persamaannya dengan marga yang ada di Toba. Dengan adanya persamaan marga dengan Toba sehingga tidak mengalami kesulitan untuk bergabung dengan saudaranya yang semarga. Karena persamaan marga tersebut, Pakpakdan Toba tidak mempermasalahkan perbedaan etnis (Batak Toba dan Batak Pakpak). Jumlah yang masih sedikit, Pakpak belum mempunyai gereja kesukuan tersendiri seperti yang ada di daerah asal Dairi Sumatera Utara. Gereja kesukuan Pakpak adalah, Gereja Kristen ProtestanPakpak Dairi (GPPD), namun di Denpasar dan Bali umumnya GPPD belum ada.
Ikatan Keluarga Batak Toba di Bali (IKBB) terdiri dari sub etnik: 1. Batak Toba terdiri dari,Siraja Oloan, SirajaSonang,
Toga
Manurung,
Toga Simamora, Toga Nainggolan, SitorusPanguluPonggok,
Silau
Raja,
Simanjuntak, Panjaitan, Toga Aritonang, Raja Napitupulu, SilahiSabungan, SihombingLumbantoruan, Toga Siregar, SonakMalela, Toga Simatupang, Parna,
Toga
Sihombing,
SirajaPanggabean, Sihubil&Sitompul,
BorborMarsada,
SirajaLumbantobing, Toga
SibaraniSipartanoNaborngin, Tuan
Naipospos,
Dibangarna,
Tuan
SiraitButar-butar,
SitumorangSipituAma, Pasaribu, PurajaLaguboti, Raja Sitempang. 2. Batak Karo membentuk kumpulan marga Silima 3. Batak Mandailing dan juga Batak yang beragama Islam membentuk kumpulan Saroha
68
4. Batak Simalungun bergabung dengan kumpulan marga yang ada di Batak Toba 5. Batak Pakpak bergabung dengan kumpulan marga yang ada di Batak Toba (Sumber: Paguyuban IKBB, Tahun 2014)
4.2.6Kepercayaan Sebelum agama Kristen masuk ke Tapanuli, suku Batak sudah mempunyai agama. Mereka sudah mempercayai adanya sesuatu yang menciptakan dunia ini. Seperti yang diutarakan oleh Raja Patik Tampubolon dalam bukunya“Pustaha Tumbaga Holing Adat Batak – Patik Uhum” bahwa suku Batak mempercayai adanya Mula Jadi na Bolon. Mula Jadi na Bolon tidak berawal dan tidak berakhir, yang menciptakan langit dan bumi (Tampubolon, 2002: 31). Suku Batak juga mempercayai bahwa Si Raja Batak merupakan leluhur orang Batak yang bermukim di kaki gunung Pusuk Buhit yaitu Sianjur Mula-mula (Sinaga, 1997: 40). Namun kedatangan Si Raja Batak dengan rombongannya ke Pusuk Buhit mempunyai beberapa versi, ada yang mengatakan datang dari Thailand kemudian ke Semenanjung Malasya, lalu menyeberang ke pedalaman Sumatera. Ada juga yang mengatakan dari India melalui Barus, dan yang lain mengatakan dari Alas Gayo dan tertarik untuk tinggal di pinggir danau Toba. Sewaktu terjadinya pengkristenan, mulai tahun 1861 oleh misi zending Eropah seiring dengan penjajahan Belanda waktu itu, kepercayaan kepada Mula Jadi na Bolon berganti dengan kepercayaan Barat (Kristen). Kepercayaan kepada Mula Jadi na Bolon dianggap sebagai animisme, sehingga misi untuk
69
mengkristenkan daerah Tapanuli sangat mudah dilaksanakan. Agama asli Batak yaitu Parmalim yang percaya kepada Mula Jadi na Bolon ikut dijajah oleh Eropah dan menggantinya dengan agama kristen. Misi zending untuk menyebarkan agama Kristen di Tapanuli diiringi dengan pendirian sekolah, dan rumah sakit (Schreiner, 2002: 8). Zending di Tapanuli dapat berhasil karena dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan juga perekonomian. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Pelly (1994: 49), pada tahun 1090 jumlah sekolah yang dibangun di daerah Tapanuli ada sebanyak 470 buah, di Padang sebanyak 62 buah, di Bengkulu sebanyak 2 buah, Palembang sebanyak 36 buah, Jambi sebanyak 6 buah, Pesisir Sumatera sebanyak 29 buah, Aceh sebanyak 10 buah, dan di Riau, Bangka, Lampung belum ada. Sekolah yang terbanyak dibangun berada di daerah Tapanuli, yang merupakan program zending. Sekolah yang dibangun oleh zending tujuan utama adalah untuk mempercepat perkembangan penginjilan di Tapanuli. Seperti yang dikatakan oleh Simanjuntak (2012: 280), orang Batak dididik para misionaris agar dapat membaca, menyanyi, dan bertani. Apabila sudah dapat membaca, maka mereka dapat membaca sendiri Alkitab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Batak. Dengan demikian tujuan utama pengembangan pendidikan di kalangan orang Batak oleh zending Jerman, adalah memperlancar misi zending agar orang Batak dapat menginjili diri sendiri dan juga temannya dengan membaca. Pembangunan dalam bidang pendidikan yang dilakukan zending sangat berdampak kepada pola hidup masyarakat Batak termasuk kepada kepercayaan
70
asli Batak. Agama BatakParmalim yang mempercayai Mula Jadi na Bolon dengan mudah digantikan dengan Kristen. Penggantian agama ini dilakukan oleh kaum zending dengan menyatakan agama Batak adalah animisme. Seperti yang dikatakan Schreiner (2002: 11) suku Batak membuka diri terhadap misi zending, dan membiarkan diri dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda. Suku Batak mulai mengalami perubahan dunia baru, baik dari sudut agama maupun dari sudut pemerintahan, sehingga suku Batak melepaskan agama mereka sendiri dan menjadi Kristen. Agama Kristen menjadi agama yang sah bagi penjajah Belanda dan juga masyarakat Batak umumnya. Kristen Batak mempunyai gereja sendiri yang khas yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). HKBP diambil dari nama empat orang misionaris yaitu, H: Pendeta Heine; K: Pendeta Klammer; B: Pendeta Betz, dan P: Pendeta Van Asselt. Huruf V tidak ada pada tulisan Batak yang ada adalah huruf P, sehingga nama Van Asselt dibuat (dibaca) menjadi Pan Asselt. Sesuai dengan penelitian Pedersen (dalam Schreiner, 2002: 9) gereja HKBP menurut jumlah anggota adalah gereja protestan yang paling besar di Asia Tenggara. HKBP dapat menjadi gereja yang besar karena Batak Toba dengan bangga menunjukkan identitasnya melalui gerejanya baik di daerah asal maupun di daerah perantauan. Identitas individu akan melekat pada diri seseorang sepanjang orang bersangkutan mengintegrasikan dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Suatu kelompok sosial memiliki identitas selama masih terdapat individu-individu yang memeliharanya sebagai sistem sosial (Barker, 2004: 171). Demikian halnya suku Batak Toba di Kota Denpasar, umumnya tetap menganut agama Kristen baik
71
protestan maupun katolik. Jika ada komunitas Batak Toba yang bukan agama Kristen hal itu terjadi karena perkawinan campuran. Agama Kristen sudah menyatu dengan budaya Batak Toba, sangat sulit dibedakan antara agama Kristen dengan budaya Batak Toba. Agama Kristen dan budaya Batak Toba pada masa kini ibarat dua sisi mata uang logam yang selalu bersamaan, tidak bisa dipisahkan. 4.3
Profil Kebudayaan Batak Toba Suku Batak mempunyai daerah asal di Sumatera Utara yang berbatasan
dengan Aceh di sebelah Utara dan Sumatera Barat di sebelah Selatan. Suku Batak mempunyai sub-suku-suku bangsa yaitu, (1) Toba, mendiami daerah tepi danau Toba, pulau Samosir, Asahan, Silindung, Barus, Sibolga, Pahae, dan Humbang; (2) Simalungun, tinggal di daerah Simalungun; (3) Pakpak, mendiami Dairi; (4)Karo, mendiami tanah Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang, dan sebagian Dairi; (5) Angkola, mendiami Angkola dan Sipirok, sebagian Sibolga, Batang Toru, dan Padang Lawas; (6) Mandailing, mendiami Mandailing, Ulu, Pakatan dan sebagian Padang Lawas. Dalam kehidupan sehari-hari, masing-masing sub-suku-suku Batak mempunyai bahasa tersendiri dan juga logat yang khas. Logat Toba dipakai oleh orang Toba dan mempunyai kemiripan dengan logat Angkola dan Mandailing. Logat Karo dipakai oleh orang Karo, logat Pakpak dipakai oleh orang Pakpak, dan logat Simalungun dipakai orang Simalungun. Dari antara logat yang ada, logat Toba dan Karo yang sangat jauh perbedaannya dibanding dengan sub-suku Batak lainnya.
72
Suku Batak mempercayai satu nenek moyang, yaitu Si Raja Batak. Dari cerita suci (tarombo) yang masih dipercaya sampai saat ini menyebutkan bahwa seluruh suku Batak merupakan turunan Si Raja Batak dan bermukim pertama kali di kaki gunung Pusuk Buhit yaitu Sianjur Mula-mula (Sinaga, 1997: 40). Karena perkembangan keturunannya semakin banyak, dan sumber makanan semakin berkurang sehingga keturunan Si Raja Batak berpencar ke daerah Humbang, Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak. Akibat perpindahan ini sehingga menyebabkan suku Batak mempunyai sub-suku-suku.
4.3.1 Sistem Kepercayaan Kepercayaan asli Batak ialah aliran parbaringin. Aliran parbaringin disebut juga agama Batak. Akibat masuknya agama Kristen dan Islam, sekitar tahun 1870 raja Sisinga Mangaraja memperbaharui agama Batak menjadi agama Parmalim. Menurut Helbig (dalam Sidjabat, 1982: 326) raja Sisinga Mangaraja XII memperbaharui agama Batak atau Parbaringin menjadi agama Parmalim bertujuan untuk menjaga unsur-unsur agama Batak kuno terbina dalam menghadapi agama Kristen, Islam dan penjajah Belanda. Usaha untuk mempertahankan agama asli suku Batak tidak berhasil akibat gencarnya penyiaran agama Kristen dan Islam pada abad ke-19. Agama Kristen masuk ke Tapanuli disiarkan zending Jerman, dan ke daerah Karo oleh zending Belanda. Agama Islam disiarkan oleh suku Minangkabau, sehingga suku Batak yang berdekatan dengan daerah Minangkabau (Mandailing dan Angkola) umumnya menganut agama Islam.
73
Agama asli suku Batak yaitu Parbaringin dengan mudah diganti oleh agama luar karena Belanda sebagai penjajah menginginkan pergantian tersebut. Suku Batak menganggap segala milik penjajah merupakan hal yang super sehingga membuka diri terhadap misi zending, dan membiarkan diri dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda. Suku Batak mulai mengalami perubahan dunia baru, baik dari sudut agama maupun dari sudut pemerintahan, sehingga suku Batak melepaskan agama mereka sendiri dan menjadi Kristen. Agama Kristen menjadi agama yang sah bagi penjajah Belanda dan juga masyarakat Batak umumnya (Schreiner, 2002: 11). Kepercayaan asli Batak mempunyai konsep bahwa alam ini diciptakan oleh Debata Mulajadi na Bolon (dalam bahasa Toba), Dibata Kaci-kaci (dalam bahasa Karo). Debata Mulajadi na Bolon tinggal di atas langit dan merupakan maha pencipta. Pada masa kini kepercayaan terhadap Debata Mulajadi na Bolon sudah digantikan dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa akibat pengaruh agama Kristen dan Islam.Pengaruh agama asli dalam pelaksanaan adatistiadat sering terjadi menggunakan kata Debata Mulajadi na Bolon untuk kata Tuhan Yang Maha Kuasa.
4.3.2 Sistem Kemasyarakatan Suku Batak tidak mengenal stratifikasi sosial seperti kelas bangsawan dan rakyat jelata. Dalam kehidupan sehari-hari perbedaan hanya terlihat dalam: (1) berdasarkan umur; (2) pangkat dan jabatan pekerjaan; (3) sifat keaslian; dan (4) status kawin (Bangun, 1982: 110). Pelapisan berdasarkan umur terlihat dalam
74
upacara adat dan pembagian harta warisan. Yang berhak memberikan saran dan keputusan dalam upacara adat adalah orang yang sudah berkeluarga, demikian juga tentang harta warisan hanya yang sudah berkeluarga mendapat bagian sedangkan anak-anak belum diperhitungkan. Sistem pelapisan sosial berdasarkan pangkat dan jabatan pekerjaan seharihari terjadi juga dalam suku Batak. Lapisan yang terhormat adalah dukun, tukang, pemusik (pargonsi).Profesi seperti ini disegani dalam masyarakat karena mereka dianggap memiliki kekuatan sakti. Sistem pelapisan sosial berdasarkan sifat keaslian maksudnya keberadaan penduduk apakah dirinya penduduk asli atau pendatang. Perbedaan keaslian ini bagi suku Batak sangat jelas kelihatan dalam pelaksanaan adat. Setiap upacara adat yang dilaksanakan di suatu kampung harus melalui persetujuan orang asli di kampung tersebut, oleh sebab itu pendatang harus selalu hormat kepada penduduk asli. Sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin sangat jelas bagi suku Batak. Orang yang belum kawin tidak mendapat hitungan dalam tarombo atau silsilah, selain itu juga belum dapat melaksanakan segala upacara adat. Apapun statusnya, dan berapa pun umurnya jika belum kawin statusnya disamakan dengan anak-anak, artinya masih dalam bimbingan orang tua. Dalam kehidupan sehari-hari, suku Batak Toba mempunyai sistem kekerabatan yang teratur melalui dalihan na tolu. Dalihan na tolu menjadi suatu norma yang mengatur kekerabatan dalam suku Batak. Untuk masuk menjadi anggota dalihan na tolu harus melalui upacara perkawinan. Setiap kali orang
75
Batak dewasa yang saling tidak mengenal bertemu, mereka selalu martarombo dan martutur yaitu proses penelusuran silsilah untuk menentukan hubungan kekerabatan di antara mereka (Bruner, 1986: 165). Setiap orang Batak dalam kehidupan sehari-hari mempunyai hubungan kekerabatan di antara yang satu dengan lainnya. Hal ini terjadi disebabkan seluruh orang Batak mempunyai satu nenek moyang yang sama yaitu Si Raja Batak. Hubungan kekerabatan suku Batak dapat diambil dari tiga sudut yaitu, dongan tubu, hula-hula, dan boru. Setiap suku Batak yang mempunyai marga yang sama disebut sebagai dongantubu, dan setiap orang yang mempunyai marga yang sama dengan pihak ibu atau isteri disebut hula-hula, sedangkan orang yang mengambil isterinya satu marga dengan kita disebut boru. Hubungan kekerabatan ini berlaku dalam pelaksanaan adat-istiadat juga dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang sudah di jelaskan di atas, yang masuk dalam dalihan na tolu adalah orang yang sudah melakukan upacara perkawinan. Demikian juga dalam upacara-upacara adat Batak, yang boleh turut berbicara dalam urusan keluarga hanya yang sudah berkeluarga (Bruner, 1985: 165). Oleh karena itu perkawinan merupakan hal yang sangat perlu dalam suku Batak agar boleh masuk ke dalam dalihan na tolu.
4.3.3 Pola Perkampungan Kampung dalam bahasa daerah disebut huta merupakan tempat tinggal yang dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu klen. Dalam satu huta terdapat beberapa rumah yang saling berhadap-hadapan dan di depan rumah disediakan
76
halaman untuk mengadakan upacara perkawinan, upacara kematian dan sebagainya. Huta dikelilingi dengan tembok huta disebut dengan parik yang terbuat dari tanah dan di atas tembok ditanami bambu. Tanaman bambu bertujuan untuk penghangat huta dan juga menjaga keamanan dari ancaman musuh. Pada masa sekarang, bentuk huta sudah tidak dikelilingi tembok lagi. Perkampungan umumnya sudah terbuka tidak dikelilingi parik huta. Parik hutamenjadi hilang disebabkan alat untuk penghangat sudah diganti oleh selimut dan peperangan antar kampung sudah tidak ada lagi sehingga fungsi parik ni huta tidak diperlukan lagi. Selain alasan tersebut, jumlah penduduk yang semakin bertambah, sehingga parik digunakan untuk lahan pertanian dan juga tempat tinggal. Walaupun bentuk huta berubah, namun pola perkampungan suku Batak masih mengelompok. Biasanya nama huta itu dibuat sesuai dengan marga atau klen yang berdiam di huta tersebut. Masing-masing klen mempunyai nama huta tersendiri.
4.3.4 Kesenian Setiap sub-suku-suku yang terdapat dalam Suku Batak mempunyai kesenian tersendiri. Dari perbedaan-perbedaan itu ada persamaan-persamaan di antaranya, memiliki tortor dan juga ulos.Tortor adalah sejenis tarian yang dimiliki komunitas Batak sedangkan ulos yaitu kain yang ditenun yang fungsinya sebagai alat untuk penghangat badan.Tortor dan ulos merupakan hasil seni yang hampir selalu ada di setiap pelaksanaan upacara adat suku Batak.
77
Tortor Batak dalam pelaksanaannya selalu dimulai dengan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan juga penyembahan kepada khalayak umum. Hal ini menunjukkan bahwa suku Batak selalu hormat kepada Pencipta dan juga sesama manusia. Setelah tortor penyembahan, dilanjutkan dengan tortor liat-liat, yaitu berkeliling di sekitar tempat yang disediakan, menunjukkan mereka sudah menguasai wilayah tersebut. Penguasaan wilayah sangat perlu untuk menunjukkan kekuasaan di wilayah bersangkutan. Selanjutnya tortor diakhiritortor hasahatan, artinya keinginan suku Batak yang melakukan tortor sampai kepada tujuan. Ulos pada awalnya merupakan tenunan tangan para perempuan dewasa di daerah Batak. Akibat modernisasi, ulos sudah dapat diproduksi secara massal oleh pabrik, sehingga nilai ulos menjadi murah. Walaupun sudah diproduksi secara massal, masih ada beberapa jenis ulos yang tetap diproduksi dengan tenunan tangan. Tentu ulos yang ditenun dengan tangan mempunyai harga yang lebih tinggi dari ulos yang diproduksi mesin.
78
BAB V BENTUK KONSUMERISME DALAM UPACARA PERKAWINAN BATAK TOBA DI KOTA DENPASAR
Bentuk adalah yang tercitra dalam kognisi seseorang atau segala sesuatu yang ada di dalam kehidupan manusia dan mempunyai makna tertentu. Hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi, tetapi sosial yang didasarioleh kesepakatan atau konvensi sosial (Hoed, 2008: 3).Bentuk konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar mencakup objek material dan objek formal. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal konkret ataupun hal yang abstrak. Objek formal, yaitu sudut pandangan dari mana objek material itu disorot (Surajiwo, 2009: 5). Bentuk konsumerisme yang terjadi dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasaryaitu, dilangsungkan di tempat yang mewah, mengundang banyak orang, mengonsumsi objek pendukung secara berlebihan, memberikan mahar yang mahal, dan menghabiskan durasi yang panjang.
5.1
Praktik Upacara Perkawinan Batak Toba
79
Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar sangat bervariasi baik dari segi tempat upacara, jumlah orang yang diundang dan tahapan pelaksanaan. Terjadinya variasi ini diakibatkan tidak ada tempat khusus untuk melangsungkan upacara perkawinan seperti di Kota Jakarta dan Kota Medan sehinga mereka menggunakan berbagai macam tempat sebagaimana yang terlihat dalam tabel 5.1. Tabel 5.1 Keluarga yang Melangsungkan Upacara Perkawinan Tahun 2012 s/d 2014 No
Waktu Pelaksanaan
Nama keluarga
1.
17 Maret 2012
Jerry Tahan Martua Lubis/SarahHutabarat
2.
14 April 2012
3.
4 Agst. 2012
4.
24 Agst. 2012
5.
10 Nop. 2012
6.
15 Nop. 2012
7.
7 Des. 2012
8.
22 Juni 2013
9.
5 Sept. 2013
Tempat upacara
Gedung Wanita Nari Graha Mario Frederick Gedung Sitompul/Evelina Wanita Nari Hotmaria Simanjuntak Graha Ivan Munara Hutapea/ Gedung Henry Wijayanti Wanita Nari Graha Harry Mulia Simarmata/ Gedung Anita Christina Napitupulu Wanita Nari Graha Andreas Martadinata Restoran Ginting/Ni Nyoman Dania Hongkong M. Panjaitan Garden Ganda Pakpahan/ Diana Gedung Asian Siregar Wanita Nari Graha Daniel Richat Siallagan/ Restoran Sarawaty Manullang Hongkong Garden Nelson Aprianus Tahik/ Restoran Vera Triyati Siregar Hongkong Garden Hitler Simamora/ Luci Aula Korem Hasian Silalahi 163 Denpasar
Jumlah undangan (orang) ± 450
Jumlah biaya (Rp.)
± 450
± 125 juta
± 500
± 135 juta
± 800
± 180 juta
± 900
± 450 juta
± 500
± 150 juta
± 700
± 400 juta
±600
±450 juta
± 500
±110 juta
±120 juta
80
12 Sept. 2013 10 Okt. 2013
James Priestley Hasugian/ Emyta Dewi Harso Bayu Santoso/ Santi Sriwulan Tambunan
12.
23 Nop. 2013
Pantun Nainggolan/ Ni Kadek Sri Widani
13.
16 Nop. 2013
Jun Rico Laurencius Nainggolan/Yunita Khristyani
14.
22 Peb. 2014
Andri Ello Silitonga/ Linda Christina Br. Tambunan Yonas Bestow Hutahaean/Yuli Yohana Br. Napitupulu Jihan Moonen/ Yuliana Normauli Br. Hasibuan Ricky Panggabean/ Eva Br. Simanjuntak
10. 11.
15.
16. 17.
18.
19.
20. 21.
22 Maret 2014 22 Maret 2014 25 April 2014 16 Agst. 2014 27 Sept. 2014
Toho Jefta Hutauruk/ Sotardodo Lambok Ruth Br. Naibaho Tambos Hutauruk/ Putri Sion Br. Nababan
29 Nop. 2014 20 Des. 2014
Saut Gultom/ Faraumania Br. Siregar Kelvin Anggara/Loide Tiara Sere Br. Siahaan
GSM HKBP Denpasar Gedung gereja HKI Denpasar Aula Angkatan Laut Sesetan Gedung Wanita Nari Graha Restoran Hongkong Garden Gedung Wanita Nari Graha Harrads Hotel Chapel Restoran Hongkong Garden Restoran Hongkong Garden Gedung Wanita Nari Graha Hotel Inna Bali Beach Hotel The Mulia
±200
±45 juta
± 150
±35 juta
±350
±90 juta
± 400
± 120 juta
±600
±500 juta
±600
±180 juta
±500
±1,3 milyar
±1200
±3 milyar
±800
±500 juta
±400
±110 juta
±600
±450 juta
±600
±3 milyar
(Sumber: Gereja HKBP Denpasar, Tahun 2014) Dari data di atas terlihat bahwa tempat dan jumlah orang yang diundang sangat bervariasi, dan kecenderungannya dari hari ke hari semakin konsumerisme. Orang kaya melangsungkan upacara perkawinan di tempat yang lebih mewah dan mengundang lebih banyakorang.Hal ini dilakukan untuk menunjukkan selera dan kelasnya
dalam
masyarakat
seperti
yang
diutarakan
Bourdieu
(dalam
81
Featherstone, 2008: 42), selera selalu mengklasifikasikan orang atas pilihan dan gaya hidup. Selera, pilihan konsumsi dan praktik gaya hidup berkaitan dengan pekerjaan dan posisi kelas tertentu dan dalam waktu tertentu dalam suatu masyarakat.Dari data di atas urutan kemewahan tempat yaitu, Hotel The Mulia, Hotel Harrads, Restoran Hongkong Garden, Hotel Inna Bali Beach, yang menengah adalah Gedung Wanita Nari Graha, dan kelas bawah adalah Aula Korem 163 Wira Satya Denpasar,Aula Angkatan Laut Sesetan, dan gedung serba guna gereja. Dalam komunitas Batak Toba, status seseorang dapat dilihat dari praktik upacara perkawinan yang dilaksanakan. Orang yang mempunyai banyak modal (ekonomi, sosial, dan budaya) seperti yang dimaksudkan Bourdieu, akan melaksanakan upacara perkawinan sangat berbeda dengan orang yang memiliki sedikit modal. Orang kaya akan mensuplai benda-benda baru, mode baru, dan benda-benda bermerek. Hal ini perlu dilakukan untuk memapankan jarak antara kelas atas dan kelas bawah (Featherstone, 2008: 43). Sebaliknya, masyarakat kelas bawah berusaha untuk mengikuti gaya yang ditampilkan kelas atas. Usaha pengejaran yang dilakukan oleh kelas bawah tidak akan berhasil disebabkan kelas atas akan terus menginvestasikan barang-barang baru dengan penciptaan diferensi. Konsumsi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penciptaan gaya hidup yang dimuati dengan nilai tanda dan makna simbolik sehingga menyebabkan gaya hidup konsumerisme. Gaya hidup konsumerisme seperti yang diutarakan Piliang (2011: 238) yaitu, gaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi secara terus
82
menerus
lewat
mekanisme
tanda,
citra,
dan
makna-makna
simbolik.
Konsumerisme juga merupakan budaya belanja yang didorong oleh logika hasrat dan keinginan, ketimbang logika kebutuhan. Demikian halnya dalam praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar, budaya konsumerisme seakanakan menjadi suatu keharusan. Praktik pelaksanaan upacara perkawinan dipenuhi dengan tanda, citra, dan makna-makna simbolik. 5.1.1 Tempat Pelaksanaan Suku Batak Toba umumnya memeluk agama Kristen, sehingga upacara perkawinan dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama Kristen. Menurut agama Kristen, perkawinan itu sakral dikarenakan suami hanya boleh memiliki satu isteri, sebaliknya isteri hanya boleh memiliki satu suami. Selain itu, suami tidak boleh menceraikan isterinya dan juga sebaliknya, isteri tidak boleh menceraikan suami dengan alasan apapun kecuali karena kematian. Dengan demikian hanya kematian yang boleh menceraikan suami isteri dalam keluarga Kristen. Upacara perkawinan Kristen yang sangat sakral memerlukan tempat yang sakral juga (bukan sembarangan) tempat yang dianggap sakral adalah di dalam gereja. Gereja merupakan tempat yang sakral bagi orang Kristen sehingga upacara perkawinan secara keagamaan dilaksanakan umumnya di dalam gedung gereja. Upacara perkawinan secara agama yang dilakukan dalam gereja tidak memerlukan biaya yang tinggi (biasanya hanya berbentuk ucapan syukur) karena gedung gereja bukan tempat komersil, dan setiap jemaat yang memerlukan fasilitas di gereja tidak pernah disewakan seperti gedung-gedung umum lainnya.
83
Perkembangan akhir-akhir ini, tempat pelaksanaan upacara perkawinan secara agama bukan hanya di dalam gedung gereja lagi. Hotel-hotel yang ada di Bali sudah memfasilitasi hotelnya dengan membangun kapel, (bahasa Inggris chapel),
yaitu
sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat untuk
persekutuan dan ibadah bagi orang Kristen. Pihak hotel memfasilitasi hotelnya dengan sarana prasarana yang sangat lengkap demi mendapatkan untung yang sebanyak-banyaknya. Berdirinya kapel yang merupakan produk kapitalis mengakibatkan biaya upacara perkawinan secara keagamaan menjadi tinggi, pelaksanaan yang dilakukan dalam gereja maksimal Rp. 5 juta, sedangkan pelaksanaan yang dilakukan di kapel memerlukan biaya ratusan juta bahkan sampai miliaran Rupiah. Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba yang dilakukan di kapel yang diikuti penulis pada hari Sabtu, 20 Desember 2014 di Hotel The Mulia Nusa Dua. Pihak keluarga pengantin perempuan berasal dari suku Batak Toba tinggal di Kota Surabaya, sedangkan pihak keluarga laki-laki etnis Tionghoa tinggal di Kota Denpasar. Yang menanggung biaya upacara lebih banyak pihak perempuan, dan dia merupakan pengusaha sukses juga orang Batak terkaya di Kota Surabaya. Upacara perkawinan yang dilakukan secara keagamaan dipimpin oleh: Ephorus HKBP (pimpinan tertinggi di HKBP) yang didatangkan dari kantor pusat Tarutung Sumatera Utara. Selain mendatangkan ephorus, juga mendatangkan Praeses HKBP distrik XVII IBT dari Surabaya (pimpinan tertinggi di HKBP Indonesia Bagian Timur) dan juga mendatangkan pendeta HKBP yang ada di sekitar Surabaya dan Bali. Mereka didatangkan
pihak keluarga pengantin
84
perempuan dengan memfasilitasi sarana dan prasarana yang dibutuhkan, tentu dengan jumlah yang sangat besar. Pimpinan HKBP mau melayani upacara pemberkatan perkawinan di kapel bukan di dalam gedung gereja seperti umumnya.Menurut penuturannya:“Ingkon terbuka do hita manjalo hamajuan. Di negara maju, mamasu-masu di hotel nunga somal”. (Kita harus terbuka akan kemajuan zaman. Di negara maju, upacara pemberkatan perkawinan sudah biasa di lakukan di hotel). (wawancara, 20 Desember 2014).Penuturan ini menunjukkan bahwa pihak gereja menyetujui upacara perkawinan secara agama dilakukan di kapel.Upacara perkawinan yang dilakukan di hotel tentu memerlukan biaya yang cukup tinggi. Informasi yang diperoleh dari panitia upacara perkawinan, biaya yang dikeluarkan keluarga perempuan untuk membiayai upacara perkawinan anaknya secara agama Kristen sebesar 1,5 milyar Rupiah. Menurut panitia, biaya sebesar itu lebih banyak peruntukannyauntuk penginapan sebanyak 100 orang yang diundang dari luar Bali. Penginapan yang dipesan tergantung dari status/jabatan orang yang diundang sehingga harganya berbeda antara satu dengan lainnya mulai dari harga Rp. 3.000.000,- sampai Rp. 25.000.000,- satu malam. Undangan dari luar Bali menginap antara satu malam sampai tiga malam. Sehingga total biaya untuk penginapan sekitar Rp. 500.000.000,- Biaya yang lain yaitu, untuk resepsi setelah upacara perkawinan diperuntukkan untuk 600 orang, biaya satu orang Rp.500.000,- sehingga totalnya Rp. 300.000.000,-. Biaya lain yang besar adalah tiket pesawat para undangan dari luar Bali, uang saku, sewa kapel secara paket,
85
dan juga biaya artis yang didatangkan dari ibu kota untuk menghibur acara, sehingga total keseluruhan diperkirakan sebesar Rp. 1,5 milyar. Upacara perkawinan yang dilakukan di Hotel The Mulia Nusa Dua, baru secara agama belum secara adat. Upacara adat dilakukan di Jakarta dengan mengundang 1.000 orang dan dilangsungkan pada bulan Pebruari 2015. Biaya yang dihabiskan sebanyak Rp. 1,5 milyar sehingga total keseluruhan biaya yang habis dalam satu upacara perkawinan tersebut sekitar Rp. 3 milyar. Fenomena konsumerisme di atas sesuai dengan pendapat Baudrillard (dalam Hidayat, 2012: 62), menyatakan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai tanda dan nilai simbol, dan bukan karena kebutuhan atau hasrat mendapatkan kenikmatan. Pada masyarakat konsumen, konsumsi sebagai pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan semata namun lebih dari fungsi itu adalah seperangkat hasrat untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas melalui mekanisme penandaan. Nilai tanda dan nilai simbol dapat dilihat pada upacara perkawinan secara agama di kapel seperti terlihat pada gambar 5.1. Pimpinan gereja menyetujui pemberkatan nikah di luar gereja mengakibatkan kesakralan perkawinan dan juga kesakralan gereja hilang. Uang juga berkuasa di gereja sehingga keinginan orang kaya yang melangsungkan pemberkatan perkawinan (upacara perkawinan secara agama Kristen) di luar kepantasan menjadi pantas. Pihak gereja tidak berusaha mencegah konsumerisme bahkan punya andil sehingga terjadi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.
86
Gambar 5.1 Pemberkatan perkawinan secara Gereja di Kapel The Mulia Nusa Dua (Dok.: Mangihut Siregar, 2014) Pemimpin upacara perkawinan secara agama Kristen adalah pendeta. Pendeta bukan jabatan tetapi tahbisan, namun dalam perkawinan di atas yang memimpin upacara perkawinan keagamaan adalah Pimpinan tertinggi di HKBP. Seperti yang dikatakan Bourdieu (Dalam Lubis, 2014b: 110), seorang yang memiliki kapital yang sangat kuat cenderung mempertahankan situasi (konservatif) dan melindungi doxa (opini) sehingga struktur sudah mapan, struktur yang menguntungkannya tidak dipertanyakan lagi. Orang tua pengantin bernama Tahan adalah orang kaya dalam ekonomi, orang bergelar tinggi (professor), dan juga orang yang disegani di kalangan suku Batak di wilayahnya. Dari sudut modal (ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik) seperti konsep Bourdieu, dalam keluarga bersangkutan modal berbaur menjadi
87
satu. Untuk mempertahankan posisinya sehingga pelaksanaan pemberkatan perkawinan anaknya didatangkan pimpinan tertinggi HKBP dan juga pendetapendeta HKBP yang ada di Surabaya dan Bali demi pelipatgandaan modal yang sudah
dimilikinya.Upacara
perkawinan
dijadikan
sebagai
arena
untuk
mempertahankan posisi kekuasaan. Kebiasaan bagi komunitas Batak Toba, seusai upacara perkawinan secara agama kemudian dilanjutkan dengan upacara perkawinan secara adat. Pada masyarakat
sederhana atau mereka yang tinggal di daerah asal Tapanuli,
pelaksanaan upacara perkawinan dilangsungkan di halaman rumah. Komunitas Batak Toba yang tinggal di Kota Denpasar untuk melangsungkan upacara perkawinan bukan lagi di halaman rumah tetapi di gedung pertemuan atau hotel berbintang. Objek pendukung yang sangat banyak tersedia di Kota Denpasar, mengakibatkan komunitas Batak Toba mempunyai banyak pilihan sesuai dengan selera masing-masing. Pilihan yang banyak sebagai tempat untuk melangsungkan upacara perkawinan bukan membantu masyarakat melainkan menciptakan hasrat yang tak pernah terpuaskan. Hasrat yang tak pernah terpuaskan berimplikasi kepada budaya konsumerisme yang dipraktikkan dalam upacara perkawinan.
5.1.2 Jumlah Orang yang Diundang Semakin tinggi status orang kecenderungannya mengundang orang semakin banyak untuk datang mengikuti upacara perkawinan. Semakin banyak orang yang diundang, semakin besar juga biaya yang akan dihabiskan.Menurut penuturan O.
88
Hasibuan, upacara perkawinan Batak Toba pertama kali yang dilakukan di Kota Denpasar yaitu pada tanggal, 15 Desember 1978: “Tempat pelaksanaan upacara perkawinan secara adat dilakukan di gedung kantor perindustrian Bali, jalan Topati Denpasar. Jumlah undangan hanya sekitar 70 orang karena jumlah orang Batak saat itu baru ada sekitar 40 keluarga. Unsur dalihan na tolu disesuaikan dengan situasi dan kondisi belum lengkap seperti saat sekarang. Semua orang Batak baik Toba, Simalungun, Pakpak, Karo, Mandailing datang.” (wawancara, 15 Desember 2014). Penuturan ini memperlihatkan bahwa pada awal pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dilakukan dengan sangat sederhana. Bertambahnya jumlah orang Batak di Kota Denpasar serta fasilitas kota yang tersedia, sehingga para pelaku upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar umumnya mengundang ratusan bahkan ribuan orang. Praktik ini sesuai dengan yang dikatakan Piliang (2011: 238) di perkotaan fasilitas untuk konsumsi dibangun secara intensif. Kota menjadi lingkungan utama untuk gaya hidup konsumerisme. Perkembangan Kota Denpasar yang begitu pesat didukung oleh sarana prasarana yang dibangun berdampak kepada konsumerisme upacara perkawinan Batak Toba. Banyaknya gedung sebagai alternatif pelaksanaan upacara perkawinan mengakibatkan setiap melaksanakan upacara perkawinan pihak keluarga dari perempuan dan laki-laki mengundang banyak orang (lihat tabel 5.1). Kehadiran banyak orang untuk menghadiri upacara perkawinan menentukan status sosial dari keluarga yang melaksanakan upacara perkawinan. Semakin banyak orang yang hadir dalam upacara perkawinan dengan pelayanan yang baik dari keluarga yang melaksanakan upacara maka keluarga bersangkutan mendapat status sosial semakin tinggi dalam bahasa daerah semakin sangap.
89
Sangap atau hasangapon merupakan kehormatan yang menjadi salah satu dari tujuan hidup suku Batak. Sedangkan tujuan hidup lainnya adalah hagabeon atau punya keturunan, dan hamoraon yaitu kekayaan. Dengan melaksanakan adat upacara perkawinan, mendatangkan banyak orang, melayani dengan baik, satu dari tiga tujuan hidup Batak Toba sudah tercapai. Akibat dari pemahaman ini orang Batak Toba berusaha untuk melaksanakan upacara perkawinan dengan mengundang banyak orang.
5.1.3 Objek Pendukung yang Digunakan Objek pendukung dalam upacara perkawinan Batak Toba yaitu objek yang dikonsumsi bukan merupakan keharusan. Jika objek ini ditiadakan tidak mengurangi makna upacara perkawinan tersebut, namun objek ini seakan-akan menjadi suatu keharusan. Menurut pernyataan Tambunan, salah satu tokoh adat suku Batak: “Anggo pesta ni halak hita nunga biasa di Denpasar on mambahen artis, kenang-kenangan, dekorasi, mobil pengantin, video, dohot angka na asing. Na jolo dang apala songon on hebona, anggo nuaeng nunga godang na so niantusan be angka lapatan na. Molo sinungkun angka dongan, alasanna nga songon i na masa… nunga sude mambahen songon i…. tontu… niihuthon ma.” (Pelaksanaan upacara perkawinan Batak di Denpasar sudah biasa mendatangkan artis, pemberian cenderamata, dekorasi yang berlebihan, mobil pengantin secara khusus, video, dan lain-lain. Dulu pelaksanaan pesta tidak seheboh ini, kalau sekarang sudah banyak yang tidak kita mengerti maksudnya. Kalau ditanya kepada teman-teman, jawabnya sudah begitu biasanya…..sudah semua melakukan demikian…sehingga …semuanya akhirnya mengikutinya).” (wawancara, 4 Desember 2014). Tuturan ini menunjukkan bahwa praktik konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba sudah terbiasa dilaksanakan. Menggunakan jasa artis
90
untuk menghibur menjadi kebutuhan seakan-akan keharusan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Baudrillard (dalam Lubis, 2014: 179), pada masyarakat konsumer objek bukan hanya dikonsumsi, tetapi diproduksi lebih banyak untuk menandakan status, bukan untuk kebutuhan. Hampir tidak ada upacara perkawinan Batak Toba secara adat yang dilakukan di Kota Denpasar yang tidak menggunakan jasa artis (lokal atau luar daerah). Padahal dalam pelaksanaannya, tidak ada kaitan antara artis dengan upacara perkawinan, melainkan hanya sekedar untuk mendapatkan hiburan. Seperti yang diutarakan oleh Lamhot yang melakukan upacara perkawinan pada hari Sabtu, tanggal 29 Nopember 2014. Upacara perkawinannya dilaksanakan di Inna Bali Beach, dan mengundang 600 orang. Menurut Lamhot, saat pelaksanaan upacara perkawinannya biaya yang dikeluarkan untuk artis sebanyak Rp. 85 juta, dan untuk M.C. sebanyak Rp. 25 juta. Artis yang diundang tiga orang (trio) dari Jakarta ditambah satu orang pemain musik. Masing-masing mendapat honor Rp. 15 juta ditambah biaya tiket pesawat pulang pergi dan biaya penginapan di Hotel Inna Bali Beach selama 2 malam, sehingga total biaya untuk artis, M.C dan pemain musik sebesar Rp. 120 juta. Lamhot menggunakan jasa artis dari Jakarta bukan dari Kota Denpasar, menurut penuturanya: “Kita sudah bosan menyaksikan artis lokal, untuk mengubah suasana ya …kita undang dari Jakarta. Pesta kawin kan hanya sekali… apa salahnya kalau kita buat yang terbaik. Masalah biaya kan… ya… hanya menambah sedikitnya. Undangan pasti lebih puas mendengar artis ibu kota daripada artis lokal.” (wawancara, 2 Januari 2015).
91
Penuturan ini menggambarkan bahwa Lamhot ingin menunjukkan kelasnya dengan mendatangkan artis dari Jakarta. Hal ini sesuai dengan pendapat Baudrillard bahwa konsumsi tidak dapat dipahami sebagai konsumsi nilai guna, tetapi terutama sebagai konsumsi tanda (Sarup, 2011: 254). Mendatangkan artis dari Jakarta dengan biaya yang tidak sedikit menandakan bahwa Lamhot mempunyai kedudukan yang tinggi di tengah komunitas Batak. Melalui upacara perkawinan, Lamhot mempertukarkan modal ekonomi kepada modal sosial. Dari segi ekonomi, Lamhot memiliki modal yang cukup karena dia orang kaya, namun dari segi sosial dia memiliki modal yang sedikit karena Lamhot belum masuk ke dalam struktur dalihan na tolu. Seperti yang diutarakan Bourdieu (dalam Fashri, 2014: 109), bahwa modal dapat dipertukarkan satu sama lain. Demikian halnya, Lamhot menukarkan modal ekonominya untuk mencapai modal yang lain dalam ranah upacara perkawinan. Selain menyajikan hiburan dari artis, objek pendukung yang seakan-akan menjadi keharusan yaitu pemberian cenderamata kepada setiap undangan yang sudah ikut menghadiri upacara perkawinan. Cenderamata juga tidak ada kaitannya dari segi adat dengan upacara perkawinan Batak Toba, namun dalam praktiknya, sudah menjadi hal yang umum untuk memberikan cenderamata. Biaya yang dikeluarkan untuk mengadakan cenderamata juga tidak sedikit, sampai puluhan juta Rupiah. Objek pendukung lain yang tidak ada kaitannya dengan upacara perkawinan yaitu dekorasi panggung pengantin secara berlebihan. Tradisi orang Batak Toba dalam pelaksanaan adat adalah berhadap-hadapan antara keluarga
92
pihak laki-laki dengan keluarga pihak perempuan. Akibat keadaan gedung yang tersedia di Kota Denpasar yang sudah didesain menggunakan panggung dan posisinya pisah dari para undangan umum sehingga memerlukan dekorasi. Dekorasi yang biasa digunakan yaitu dengan memakai bunga plastik atau bunga hidup. Jika menggunakan dekorasi plastik biayanya di bawah Rp. 10 juta, sedangkan menggunakan dekorasi yang dilengkapi dengan bunga hidup biayanya di atas Rp. 10 juta. Tempat pelaksanaan upacara perkawinan bagi orang Batak Toba memerlukan tempat yang luas yang dapat menampung banyak orang. Tempattempat seperti ini yang cocok tentu di halaman rumah seperti di desa di daerah Tapanuli. Di Kota Denpasar, halaman rumah orang Batak Toba yang dapat menampung ratusan orang tidak ada sehingga harus mencari tempat khusus selain halaman rumah. Karena tempat upacara perkawinan bukan di halaman rumah sendiri melainkan di salah satu gedung, tentu memerlukan angkutan sebagai transportasi, dalam bahasa sehari-hari disebut mobil pengantin. Dalam kenyataannya, mobil pengantin bukan sekedar sebagai transportasi melainkan fungsi yang lain yaitu gengsi. Mobil yang biasa digunakan sebagai mobil pengantin hanya mobil yang bermerek dengan biaya berkisar Rp. 3 juta hingga Rp. 5 juta. Walaupun keluarga pengantin mempunyai mobil sendiri, jika mobilnya bukan merek mahal, itu tidak digunakan sebagai mobil pengantin tetapi menyewa mobil yang bermerek demi gengsi. Realitas di atas sesuai dengan yang diutarakan Soedjatmiko (2008: 94) bahwa pada saat sekarang, orang mengkonsumsi sesuatu bukan lagi karena
93
pertimbangan nilai guna dan nilai tukar, melainkan demi status dan identitas dalam masyarakat. Konsumsi berkaitan dengan penciptaan gaya hidup yang tercermin dengan nilai tanda dan makna simbolik sehingga mengakibatkan gaya hidup konsumerisme (Piliang, 2011: 238).Akibat pergeseran dari nilai guna menjadi
nilai
status
dan
identitas
dalam
masyarakat,
mengakibatkan
konsumerisme semakin subur, dan akhirnya konsumerisme dianggap menjadi wajar seperti yang terlihat dalam Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Suasana pelaksanaan upacara pesta perkawinan di Inna Bali Beach, 29 Nop. 2014 (Dok.: Mangihut Siregar, 2014) Gambar di atas merupakan kondisi tempat pelaksanaan upacara pesta Perkawinan. Para undangan berdiri untuk menyambut kedatangan pengantin memasuki panggung kehormatan. Suasana kemewahan terlihat mulai dari ruangan, bangku, meja, panggung, dan bunga-bunga hidup menghiasi ruangan upacara.
94
5.1.4 Jumlah Mahar yang Diberikan Mahar adalah mas kawin yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Dalam bahasa daerah Batak Toba mahar disebut dengan tuhor atau sinamot. Pada awalnya, mahar itu berbentuk: kerbau, kuda, emas, dan perak namun seiring dengan perkembangan zaman, benda-benda seperti di atas diganti dengan uang. Hal ini berkaitan dengan efisiensi dan efektifitas sehingga bendabenda itu diganti dengan uang. Pemberian mahar bagi suku Batak berhubungan dengan prinsip patrilineal, artinya garis keturunan dihitung melalui garis laki-laki. Perempuan harus meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi keluarga suaminya. Sebagai pengganti nyawa puterinya yang sudah pergi mengikuti suaminya harus nyawa, tetapi bukan lagi nyawa manusia namun diganti dengan nyawa binatang, boleh dengan kerbau, kuda, atau babi (Sihombing, 1997: 284). Itu sebabnya mahar itu selalu diukur dengan nyawa binatang sebagai pengganti perempuan yang sudah kawin. Namun pada saat sekarang hal itu tidak terjadi lagi karena sudah digantikan dengan uang. Jumlah uang yang digunakan sebagai mahar seorang perempuan bagi suku Batak sangat bervariasi, mulai dari: Rp. 10 juta, Rp. 20 juta, Rp. 50 juta, dan Rp. 100 juta. Faktor yang berpengaruh terhadap jumlah mahar yang akan diberikan kepada keluarga perempuan diantaranya: (1). Keadaan ekonomi keluarga lakilaki. Semakin kaya pihak laki-laki biasanya jumlah mahar yang diberikan kepada pihak perempuan semakin besar; (2). Status perempuan yang mau kawin. Perempuan yang mempunyai status tinggi misalnya mempunyai pendidikan
95
tinggi, pekerjaan baik, semakin tinggi juga mahar yang akan diterimanya; (3). Jarak dari tempat tinggal keluarga perempuan ke tempat upacara perkawinan. Semakin jauh jarak tempat upacara perkawinan dari tempat tinggal keluarga perempuan, semakin tinggi juga mahar yang akan diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan; (4). Gengsi. Faktor gengsi dalam pemberian jumlah mahar juga sangat berpengaruh. Pihak laki-laki sangat malu memberikan mahar yang sedikit kepada pihak perempuan. Dengan berbagai cara pihak laki-laki akan berusaha memberikan jumlah mahar yang banyak. Pihak laki-laki sebagai pemberi mahar akan malu jika menantunya menerima mahar sedikit. Jumlah mahar perempuan bagi komunitas Batak menjadi pertarungan gengsi baik bagi pihak keluarga laki-laki juga keluarga perempuan. Keluarga perempuan akan berusaha agar mahar puterinya “dihargai” dengan harga yang tinggi sehingga harga diri keluarga besar pihak perempuan terangkat dengan jumlah mahar tersebut. Sebaliknya apabila mahar puterinya rendah berarti “nilai jual” puterinya rendah dan juga harga diri keluarga besarnya menjadi rendah. Praktik pemberian jumlah mahar ini sering terjadi pembohongan publik. Hal ini terjadi apabila pihak keluarga laki-laki adalah keluarga miskin. Untuk menjaga gengsi puterinya, orang tua perempuan menyuruh pihak laki-laki untuk berbohong. Dari segi kemampuan ekonomi pihak laki-laki tidak sanggup memberikan sejumlah uang yang diminta pihak perempuan, namun demi gengsi pihak laki-laki disuruh berbohong mau memberikan mahar yang besar dan diumumkan di depan umum sewaktu upacara perkawinan (lihat gambar 5.3).
96
mahar yang diberikan pihak laki-laki di depan khalayak umum sebenarnya adalah uang dari pihak perempuan.
Gambar 5.3 Pemberian mahar oleh pihak keluarga laki-laki ke pihak keluarga perempuan (Dok.: Mangihut Siregar, 2014) Mahar dalam praktiknya berfungsi sebagai penunjukan status baik bagi keluarga perempuan juga keluarga laki-laki. Semakin tinggi jumlah mahar yang diberikan semakin tinggi juga status keluarga kedua belah pihak. Risma sebagai orang tua perempuan mau menanggung mahar yang akan diberikan pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Menurut penuturan Risma: “Pogos do tondong on, nunga masihaholongan boru niba dohot anakna. Maila hita molo tarida pogos tondong i. Asa sangap nasida dohot hita, nitambaan ma hepengna i, asa godang begeon ni halak. Boha bahenon, tondongta na ma nasida ala ni pesta on. Manang na boha pe molo pogos tondong i dohot do iba maila. Porlu do tutupon hahurangan ni tondong tu
97
angka na torop.” (Besan ini miskin, anak saya dengan anaknya sudah saling mencintai. Kita malu jika orang lain tau bahwa besan kita miskin. Agar sama-sama terhormat, kita tambahkan aja uang itu agar banyak di dengar orang. Biar bagaimanapun mereka sudah menjadi keluarga kita karena pesta ini. Kalau besan itu miskin, kita pun ikut merasa malu. Perlu ditutupi kekurangan besan ini kepada khalayak umum. (Wawancara, 2 Desember 2014). Penuturan ini menggambarkan bahwa orang tua si perempuan mau menambah uangnya sendiri sebagai mahar puterinya untuk menghindari rasa malu. Penuturan ini sesuai dengan apa yang disebut Bourdieu (dalam Lubis, 2014: 107) tentang konsep medan (field) sebagai tempat para agen/aktor sosial saling bersaing. Orang tua perempuan mau memberikan uangnya sendiri sebagai mahar puterinya yang seharusnya dia yang menerima dari orang tua laki-laki untuk mendapatkan berbagai sumber daya material ataupun kekuatan simbolis.Uang akan dibagikan kepada seluruh kerabat pihak perempuan. Dia tidak mempersoalkan kerugiannya yang penting harga dirinya terjaga. Mahar yang besar yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan mengakibatkan biaya upacara perkawinan itu semakin tinggi. Mereka tidak berusaha untuk mengurangi jumlah mahar malah sebaliknya berusaha memperbesar jumlah mahar dengan tujuan untuk menambah harga diri. Demi harga diri berbohong pun akan dilakukan oleh kedua belah pihak.
5.1.5 Durasi Upacara Perkawinan Upacara perkawinan bagi komunitas Batak mempunyai tahapan-tahapan. Setelah seorang laki-laki mencintai seorang perempuan dan kedua insan tersebut sepakat akan melangsungkan perkawinan, maka si laki-laki akan memberitahukan rencana tersebut kepada orangtuanya. Apabila orang tuanya setuju akan maksud
98
anaknya, kemudian si orang tua akan menyuruh orang untuk melakukan penjejakan kepada orang tua si perempuan. Apabila pertemuan penjejakan itu bersambut, dilanjutkan dengan marhusip. Menurut adat kuno, marhusip sangat rahasia sekali dan dilakukan oleh saudara kandung dari orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan. Marhusipdalam bahasa Indonesia sama artinya dengan berbisik,sangat rahasia sebab di dalam acara ini akan dibicarakan hal-hal pokok yang akan dilakukan dalam upacara perkawinan. Apabila terdapat kecocokan pembicaraan dalam marhusip maka upacara perkawinan dapat dilanjutkan dengan marhata sinamot, sebaliknya apabila tidak terdapat kesepakatan, rencana perkawinan tersebut akan batal. Untuk menghindari rasa malu apabila batal, sehingga acara marhusip ini sangat rahasia sekali dan dilakukan di rumah pihak perempuan (Sihombing, 1997: 60). Jangka waktu marhusip dengan marhata sinamot boleh satu hari, satu minggu, satu bulan, tidak ada patokan yang pasti marhusip dengan marhatasinamot dilakukan dalam waktu yang berbeda. Acara marhata sinamot juga dilakukan di rumah orang tua perempuan. Yang ikut menghadiri upacara ini adalah orang tua laki-laki dan juga keluarga dekatnya. Demikian juga pihak perempuan, dalam upacara marhata sinamot akan dihadiri keluarga dekatnya. Jumlah orang yang hadir dalam acara ini sekitar 50 orang sampai 100 orang. Pada saat marhata sinamot pihak laki-laki menyediakan makanan untuk makan bersama. Biasanya pada acara ini akan dipotong babi yang lengkap denganna margoar atau potongan-potongan daging yang akan dibagikan kepada
99
kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan). Acara marhata sinamot akan membahas jumlah mahar, makanan yang akan disediakan, jumlah undangan yang akan hadir, tempat pelaksanaan puncak upacara perkawinan, tanggal pelaksanaan, dan juga hal-hal lain yang berhubungan dengan upacara perkawinan. Seusai marhata sinamot, masing-masing pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan akan melakukan pertemuan dalam bahasa daerah disebut martonggo raja dan marria raja. Martonggo raja dan marria raja dilakukan untuk Persiapan masing-masing pihak, tuan rumah juga menyiapkan makanan untuk semua orang yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara martonggo raja dan marria raja akan dibicarakan teknis pelaksanaan upacara perkawinan bagi masing-masing pihak (laki-laki dan perempuan). Masing-masing petugas akan dibagi dalam acara ini sesuai dengan peran hula-hula, dongan tubu, dan boru. Setelah tiba pada acara puncak upacara perkawinan sesuai dengan pembicaraan di waktu marhata sinamot, masing-masing peran akan dilakukan sesuai dengan prinsip dalihan na tolu. Pagi harinya sekitar jam 7.00 acara dimulai dengan marsibuha-buhai. Marsibuha-buhai adalah acara berdoa bersama antara keluarga pihak laki-laki dan juga pihak perempuan beserta dengan keluarga dekatnya. Acara dimulai dengan makan bersama lengkap dengan daging babi na margoar(lihat gambar 5.4).
100
Gambar 5.4 Acara marsibuha-buhai di rumah orang tua perempuan (Dok.: Mangihut Siregar, 2014) Dalam gambar di atas terlihat orang tua perempuan dan orang tua laki-laki berjabatan tangan seusai kedua belah pihak saling memberikan makanan. Pihak boru atau orang tua laki-laki memberikan daging babi kepada orang tua perempuan, selanjutnya dibalas oleh pihak hula-hula atau pihak perempuan memberikan ikan mas kepada pihak laki-laki. Saling memberi atau berbalasan merupakan prinsip dalam dalihan na tolu. Setelah marsibuha-buhai selesai, mereka berangkat ke gereja secara bersama untuk melangsungkan upacara perkawinan secara agama Kristen. Setelah upacara perkawinan secara agama di gereja, dilanjutkan dengan upacara perkawinan secara adat. Upacara adat di Kota Denpasar biasanya dilaksanakan di gedung yang besar agar dapat menampung ratusan orang sampai ribuan orang. Upacara adat dilangsungkan mulai pagi sampai malam hari tidak ada waktu istirahat, artinya tahapan acara itu berlangsung secara estafet. Acara
101
terakhir adalah paulak une dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Pihak lakilaki datang ke rumah pihak perempuan untuk menyatakan upacara berjalan dengan baik. Balasan dari pihak perempuan adalah tingkir tangga yaitu pihak perempuan datang ke rumah pihak laki-laki untuk mengenal tempat tinggal pihak laki-laki. Menurut pengalaman penulis, upacara perkawinan Batak Toba dalam praktiknya di Kota Denpasar memerlukan waktu yang panjang sampai berbulanbulan. Dalam durasi yang panjang ini diperlukan tenaga, waktu, pikiran, dan dana yang cukup banyak. Durasi yang panjang berdampak kepada biaya yang tinggi karena semua acara dilakukan dengan makan bersama. Semakin panjang durasi yang digunakan, semakin banyak biaya yang dihabiskan.
5.2
Ragam Konsumerisme dalam Upacara Perkawinan Batak Toba
5.2.1 Konsumerisme dalam Pola Pikir Manusia melakukan sesuatu tindakan dilatarbelakangi oleh apa yang ada di dalam pikirannya. Pikiran menjadi penentu untuk melakukan sesuatu dan juga untuk tidak melakukan sesuatu. Pola pikir seseorangakan dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat di mana seseorang itu hidup, dan pola pikir masyarakat akan dipengaruhi oleh pola pikir masing-masing individu. Dengan demikian pola pikir individu dengan kelompok (masyarakat) saling mempengaruhi (Koentjaraningrat, 1981: 187). Pola pikir kelompok merupakan salah satu dari tiga wujud kebudayaan seperti
yang
diutarakan
oleh
Koentjaraningrat
(1987:
5).
Menurut
102
Koentjaraningrat, kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu ide, tindakan, dan hasil (materi). Pola pikir manusia masuk ke dalam wujud ide yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto karena berada dalam alam pikiran masyarakat bersangkutan. Pola pikir dapat diketahui melalui kata-kata, tulisan yang dapat disimpan berbentuk buku atau alat lainnya. Kebudayaan ide oleh Koentjaraningrat disebut juga sebagai adat tata kelakuan yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Tata kelakuan itu saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya disebut dengan sistem budaya atau cultural system dalam bahasa Indonesia disebut adat istiadat. Adat istiadat menjadi pranata yang mengatur suatu masyarakat untuk bertindak dalam kehidupan keseharian. Adat-istiadat seakan-akan bawaan yang tidak boleh diubah padahal adat-istiadat tersebut merupakan hasil konstruksi masyarakat bersangkutan (Barker, 2004: 39). Upacara perkawinan merupakan salah satu unsur dari adat-istiadat Batak Toba yang harus ditempuh setiap keluarga. Upacara perkawinan menjadi hal yang sangat perlu dilakukan karena setiap orang untuk boleh masuk menjadi anggota dalihan na tolu harus lebih dahulu melakukan upacara perkawinan. Upacara perkawinan merupakan pintu atau jembatan untuk memasuki dalihan na tolu (Siahaan, 1982: 58). Pelaksanaan adat istiadat umumnya dilakukan dengan gotong royong di antara unsur dalihan na tolu.Dalihan na tolu yang terdiri dari, dongan tubu (semarga), hula-hula (pemberi isteri), dan boru (penerima isteri) mempunyai
103
posisi atau pembagian tugas yang jelas. Masing-masing posisi itu tidak boleh dipertukarkan. Prinsip dalihan na tolu yaitu masing-masing keluarga dalam pelaksanaan adat-istiadat mempunyai posisi yang jelas. Sesuai dengan namanya, dalihan dalam bahasa Indonesia disebut tungku mempunyai tiga kaki untuk dapat berdiri dengan teguh. Posisi keluarga dalam dalihan na tolu mempunyai kedudukan yang berbeda-beda (tidak setara) seperti gambar: 5.5.
Hula-hula .
Dongan tubu
Boru Gambar: 5.5 Bentuk dalihan na tolu
Pada gambar di atas ada garis terputus-putus menunjukkan bahwa posisi dongan sabutuha di tengah (netral). Dalam dalihan na tolu, posisi abang, adik, ayah, anak, kakek, cucu (satu marga) adalah setara. Setiap orang yang masuk dalam dongan tubu, apapun kedudukan dalam keseharian (pejabat, orang kaya, intelektual, dll.) jika sudah masuk ke dalam dalihan na tolu kedudukannya adalah setara.
104
Berbeda dengan posisi dongan tubu yang setara, posisi boru dalam segitiga tersebut terlihat berada di bawah. Hal ini menunjukkan bahwa posisi boru lebih rendah. Boru bertugas untuk mengerjakan segala keperluan adat-istiadat. Boru menjadi tulang punggung dalam pelaksanaan adat baik dari segi tenaga maupun biaya. Sebaliknya, hula-hula mempunyai posisi yang paling tinggi. Hula-hula bagi suku Batak diibaratkan wakil Tuhan.Hula-hula merupakan orang yang memberi berkat ibarat Tuhan sehingga posisinya di atas (lebih tinggi). Seperti yang di jelaskan dalam Bab IV, posisi hula-hula harus dihormati karena dialah yang memberi isteri. Isteri adalah pemberi keturunan bagi keluarga suami sehingga pihak yang memberi isteri(hula-hula) wajib untuk dihormati. Posisi masing-masing ketiga unsur dalihan na tolu(dongan tubu, hula-hula, dan boru) sudah jelas tidak boleh dipertukarkan. Walaupun tidak boleh dipertukarkan bukan berarti pada suku Batak Toba memiliki kasta atau kelas atas dan kelas bawah. Posisi itu sifatnya temporer bukan permanen artinya, setiap keluarga suku Batak Toba akan menduduki ketiga posisi tersebut(dongan tubu, hula-hula, dan boru) tergantung konteks adat-istiadat yang dilakukan. Pelaksanaan adat-sitiadat dalam masyarakat Batak mempunyai aturan yang jelas, siapa mengerjakan apa, siapa menerima dan memberikan apa. Misalnya, untuk memasak makanan dalam pelaksanaan adat-istiadat adalah pihak boru. Bagi orang Batak, mengerjakan pekerjaan sebagai posisi boru bukan hanya sebagai tugas tetapi juga berfungsi sebagai hak. Pihak boru akan keberatan apabila hula-
105
hula (yang sedang melakukan upacara adat) tidak mempercayakan kepada pihak boru untuk mengurus yang berkaitan dengan upacara tersebut. Demikian pihak hula-hula yang mempunyai posisi lebih tinggi, mereka harus dihormati. Pihak hula-hula tidak boleh diremehkan, apabila pihak boru kurang hormat terhadap hula-hula, maka pihak hula-hula tidak akan menghadiri kegiatan adat yang dilakukan. Jika salah satu unsur dari dalihan na tolu tidak ada, maka adat istiadat yang dilakukan itu akan timpang (kurang sempurna). Oleh karena itu setiap keluarga Batak Toba selalu menjaga hubungan yang baik di dalam dalihan na tolu (Siahaan, 1982: 52). Pembagian tugas yang sangat jelas dalam dalihan na tolu sudah bergeser akibat globalisasi. Seperti penuturan Hasibuan sebagai salah satu tokoh adat Batak di Kota Denpasar: “Nuaeng on na maol na ma luluan songon na jolo marsiurupan. Na sasintong na kan ….boru do lao manghobasi sipanganon di pesta, alai anggo nuaeng ndang masa be i, boru holan simbol sambing na ma. Songon i nang hula-hula, dilompa do dengkena laho pasahatonna tu boruna, alai anggo di kota on, nunga dipakateringhon sude, goar na ma dengke ni hula-hula, anggo na patupahon ndang hula-hula be.”(Saat sekarang, tidak ditemukan lagi saling gotong royong. Yang sebenarnya kan …boru yang menyiapkan segala makanan untuk pesta, tetapi saat sekarang bukan lagi, peran boru hanya tinggal simbol. Demikian juga hula-hula, dengke yang akan diberikan ke pihak boru harus dimasak sendiri, tetapi sekarang di kota ini dengke bukan hula-hula lagi yang memasak tetapi semuanya dimasak pihak katering. Hanya sebutannya dengke dari hula-hula, yang menyediakan sebenarnya bukan lagi hulahula).(wawancara, 10 Desember 2014). Dari tuturan ini terlihat bahwa masing-masing peran dalihan na tolu sudah bergeser akibat globalisasi. Seperti yang dikatakan Piliang (2011: 235) bahwa globalisasi di satu sisi menciptakan semacam homogenisasi budaya yaitu penyeragaman cara, pola dan gaya hidup, yang terintegrasi ke dalam budaya
106
global. Demikian halnya dalam pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba yang dilakukan di Kota Denpasar, mereka mengonsumsi pola pikir budaya global yang ingin cepat, efisien yang bukan miliknya. Dalam budaya global, ideologi yang terselubung di dalamnya adalah kapitalisme global. Kapitalisme global mengkonstruksi cara berpikir masyarakat, komoditi dijadikan sebagai cara untuk membangun perbedaan dan identitas diri di tengah masyarakat. Konsumsi dalam masyarakat kapitalisme global bukan hanya sekedar nilai guna tetapi juga nilai-nilai simbolik. Konsumsi berkaitan dengan penciptaan gaya hidup yang dimuati dengan nilai tanda dan makna simbolik sehingga mengakibatkan gaya hidup konsumerisme (Piliang, 2011: 238). Pada masyarakat Batak Toba tradisional, pelaksanaan upacara perkawinan dilakukan secara kebersamaan dan kesamaan. Kebersamaan yang dimaksud yaitu unsur dalihan na tolu berperan aktif secara bersama-sama bukan hanya satu unsur saja. Pihak dongan tubu dan boru secara bergotong royong mengumpulkan biaya untuk keperluan upacara, sedangkan pihak hula-hula memberi doa restu (berkat) dalam bahasa daerah disebut memberi pasu-pasu.Sedangkan arti kesamaan yaitu, bentuk upacara perkawinan antara satu keluarga dengan keluarga lain bentuknya sama walaupun ada perbedaan itu hanya dalam hal-hal kecil saja. Kebersamaan dan kesamaan boleh dilakukan karena mereka merasa seperasaan dan sepenanggungan. Pada masyarakat perkotaan, kebersamaan dan kesamaan sudah ditinggalkan dan digantikan dengan proses penciptaan diferensi secara terus menerus lewat mekanisme tanda, citra, dan makna-makna simbolik. Menurut Piliang (2011: 238)
107
budaya konsumerisme berkaitan dengan lingkungan urban, karena di perkotaan ruang-ruang untuk konsumsi secara terus-menerus dibangun. Karena fasilitas yang sangat lengkap untuk konsumsi, masyarakat dikonstruksi menjadi masyarakat konsumeris. Selanjutnya kebersamaan dan kesamaan menjadi hilang pada masyarakat perkotaan diganti dengan manusia individualis. Seperti yang disebutkan Piliang (2011: 232) manusia global mempunyai salah satu ciri manusia individualis (homo individualis). Manusia homo individualis adalah manusia
yang
mengutamakan ego ketimbang kebersamaan, mencintai diri sendiri (ego-philia) ketimbang masyarakat (socio philia).Semangat kebersamaan dan kesamaan diganti dengan semangat individualis dan perbedaan. Demikian halnya pada masyarakat Batak Toba dalam pelaksanaan upacara perkawinan di Kota Denpasar yang awalnya memiliki pola pikir kebersamaan dan kesamaan di daerah asaldiganti dengan pola pikir diferensi atau perbedaan. Pola pikir diferensimerupakan pola pikir dari budaya luar yang dikonsumsi oleh masyarakat Batak Toba di Kota Denpasar. Pola pikir diferensi atau perbedaan mengakibatkan terjadinya konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba.
5.2.2 Konsumerisme dalam Tingkah Laku Dari
pembagian
wujud
kebudayaan
seperti
yang
dikemukakan
Koentjaraningrat, tingkah laku masuk ke dalam wujud yang kedua yaitu wujud aktifitas. Wujud ini sering disebut sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, bergaul antara satu dengan yang lain. Aktivitas ini
108
boleh diobservasi, di foto, dan didokumentasikan. Bentuknya lebih konkrit dari wujud yang pertama (Koentjaraningrat, 1987: 6). Tingkah laku didorong oleh pola pikir seseorang. Seseorang bertindak atau berperilaku atas apa yang ada di dalam pikirannya. Tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh tingkah laku masyarakat di mana dia hidup, sebaliknya tingkah laku masyarakat dipengaruhi oleh tingkah laku masing-masing individu. Singkatnya, tingkah laku individu dan masyarakat saling mempengaruhi. Masyarakat
Batak
Toba
tradisional
dalam
kehidupan
sehari-hari
mempunyai pilosofi: Manat unang tartuktuk, dadap unang tarrobung artinya, Berhati-hati agar tidak tersandung, pelan-pelan agar tidak terperosok. Tingkah laku kehati-hatian merupakan hal yang sangat diperlukan dalam bertindak. Dalam kehidupannya, suku Batak tidak mengenal cepat dan tepat melainkan prinsip kehati-hatian. Tindakan yang buru-buru atau ingin cepat tidaklah diinginkan suku Batak, hal ini dapat dilihat dari perumpamaan: Molo humarojor tata indahanna, molo humalaput matombuk hudonna artinya, Orang yang buru-buru bertindak, nasi yang dimasak akan tetap mentah,
109
orang yang ingin cepat-cepat, periuknya akan menjadi bocor. Tindakan yang humarojor dan humalaput sama-sama tidak menghasilkan nasi yang enak seperti yang diharapkan, melainkan nasi yang mentah (tetap beras). Tingkah laku yang buru-buru akan menghasilkan hasil yang tidak diharapkan. Tindakan yang hati-hati (pelan-pelan) sudah ditinggalkan pada saat sekarang diganti dengan tindakan cepat. Seperti penuturan Tulus sewaktu upacara perkawinan anaknya: “Asa pos roha pintor ni bayar do sude angka gedung, katering, musik baru pe pinaboa tu tondong. Ai molo so jolo dipastihon i, biar roha dipakke halak….jadi pintor ni boking ma.I na ma na somal, jolo lengkap na ma gedung dohot katering baru pe asa dipatupa ulaon marhata sinamot. Anggo halak hita na di kota on nunga masiantusan i, dang adong be ketersinggungan songon na di hita an.” (Agar pasti, kita bayar duluan biaya gedung, katering, dan musik baru diberitahu sama besan. Kalau belum dibayar, takutnya tempat itu digunakan orang….sehingga langsung aja dibayar. Hal yang demikian sudah terbiasa, lebih dulu dipastikan tempat, katering baru dilanjutnya marhata sinamot. Orang kita di kota ini sudah saling mengerti akan hal itu, tidak ada lagi ketersinggungan seperti di daerah asal).(wawancara, 12 Desember 2014). Penuturan ini sesuai dengan yang dikatakan Piliang (2011: 232) bahwa dunia kehidupan manusia pada saat sekarang dikuasai oleh waktu dan kecepatan. Kecepatan ini diakibatkan oleh pertumbuhan sains, teknologi, moneter, produksi dan konsumsi yang semakin cepat. Faktor kecepatan yang dibuat manusia itu mengakibatkan manusia terbawa arus kecepatan produksi, konsumsi, industri dan kehilangan tempat dan ruang untuk refleksi, perenungan, meditasi atau spritualitas. Pepatah yang menyatakan, siapa cepat dia dapat berlaku juga pada orang Batak Toba dalam pelaksanaan upacara perkawinan. Tindakan yang cepat, tidak mau repot, meninggalkan perumpamaan, Molo humarojor tata indahanna, molo
110
humalaput matombuk hudonna.Untuk mengejar kecepatan ini sering tahapan upacara perkawinan berlawanan dengan adat yang berlaku pada suku Batak Toba. Kecepatan yang sudah biasa dilakukan yang bertentangan dengan adat yaitu penentuan tempat upacara perkawinan. Pada saat sekarang sudah terbiasa lebih dulu ditentukan tempat dan tanggal upacara perkawinan sebelum dilakukan marhusip dan marhata sinamot. Marhusip merupakan acara yang sangat rahasia antara pihak orang tua lakilaki dan pihak orang tua perempuan calon pengantin. Acara marhusip tidak diketahui keluarga besar karena sifatnya masih sangat rahasia, dan masih tahap penjejakan di antara kedua belah pihak. Jika dalam penjejakan ini ada kesesuaian tentang pelaksanaan upacara adat perkawinan kemudian dilanjutkan dengan marhata sinamot.Apabila dalam marhusip tidak ada kecocokan di antara kedua belah pihak maka upacara perkawinan batal dilaksanakan. Untuk menghindari rasa malu apabila tidak ada kecocokan antara pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan, sehingga marhusip itu sangat dirahasiakan. Kecocokan keinginan di antara kedua belah pihak antara pihak laki-laki dan pihak perempuan dalam marhusip, kemudian dilanjutkan dengan marhata sinamot.Marhata sinamot adalah acara yang membicarakan tentang jumlah mahar yang akan diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pada saat marhata sinamot, kedua belah pihak sudah mengundang keluarga besarnya untuk membicarakan upacara perkawinan. Secara bersama dibicarakan tanggal pelaksanaan upacara, tempat pelaksanaan, menu yang akan dihidangkan, jumlah orang yang akan diundang, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan upacara
111
perkawinan tersebut. Pada suku Batak, kebersamaan dan saling menghormati merupakan hal yang sangat perlu dijaga. Akibat faktor kecepatan, tahapan marhusip dan marhata sinamot sudah terbiasa dilangkahi oleh salah satu pihak (baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan) yang menjadi tuan rumah. Dalam pelaksanaannya pada saat sekarang sudah lebih dahulu ditentukan gedung atau hotel sebagai tempat pelaksanaan upacara baru diadakan marhata sinamot bahkan marhusip. Kebersamaan dan saling menghargai sudah dihilangkan. Hal ini dapat terjadi karena tempat pelaksanaan upacara tidak boleh sembarangan, tetapi harus dapat menampung banyak orang. Upacara perkawinan pada suku Batak Toba dapat dilaksanakan di tempat keluarga laki-laki maupun pihak perempuan tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Namun di daerah perkotaan yang menjadi tuan rumah kelihatannya semu diakibatkan tempat pelaksanaan upacara sudah di sewa (bukan milik salah satu pihak pengantin) tetapi milik orang lain. Sikap ingin cepat tidak mau repot dapat dilihat dari perilaku menyewa tempat pelaksanaan upacara, memesan makanan katering, pendeknya semuanya serba pesan. Tingkah laku yang tidak mau repot, meninggalkan rasa kegotong royongan, ingin cepat berdampak kepada konsumerisme. Tingkah laku yang demikian merupakan tingkah laku orang luar yang dikonsumsi suku Batak Toba di Kota Denpasar. Akibat globalisasi pola pikir masyarakatluar juga dikonsumsi secara terus-menerus mengakibatkan konsumerisme dalam tingkah laku.
112
5.2.3 Konsumerisme dalam Materi Materi atau kebudayaan fisik seperti yang diutarakan Koentjaraningrat (1987: 6) merupakan seluruh hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Wujud ini sifatnya konkret, dapat diraba, difoto dan dilihat. Ketiga wujud kebudayaan ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kebudayaan ide dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Sebaliknya, kebudayaan fisik mempengaruhi pola tingkah laku dan juga cara berpikir sesuatu masyarakat. Ketiga wujud kebudayaan (ide, tingkah laku, dan hasil karya) saling mempengaruhi. Pada masyarakat perkotaan, salah satu sifatnya adalah manusia kebendaan (homo materialis). Seperti yang diutarakan Piliang (2011: 233) masyarakat kota yang berlandaskan
prinsip ekonomi, manusia dikuasai oleh materi. Subjek
dikuasai oleh objek bahkan subjek tahluk kepada objek. Eksistensi manusia ditentukan oleh objek (status, prestise, kelas). Manusia terkurung dalam budaya permukaan, penampakan, gaya hidup, citra yang membangun budaya benda (material culture). Dalam kehidupannya sehari-hari, manusia mengonsumsi objek-objek konsumen. Kelas atas mengonsumsi secara berlebihan untuk menunjukkan hierarki kelasnya, sedangkan kelas bawah berusaha meniru gaya kelas atas. Usaha untuk meniru ini disebut Veblen (dalam Wiedenhoft, 2012: 825) mengalir ke bawah, yaitu kelas atas menjadi penentu bagi semua konsumsi yang terjadi di bawahnya. Dalam kenyataannya, usaha yang dilakukan oleh kelas bawah meniru
113
kelas atas akan gagal karena kelas atas selalu mengonsumsi yang baru yang berbeda dengan kelas di bawahnya. Pola mengalir ke bawah seperti yang diutarakan Veblen berimplikasi kepada hasrat yang tidak pernah puas. Kelas bawah berusaha mengejar agar sama dengan cara meniru konsumsi kelas atas sedangkan kelas atas berusaha untuk mengonsumsi objek baru yang berbeda dengan kelas bawah. Objek kebaruan merupakan cara kelas atas untuk tetap menjaga eksistensi kelasnya untuk menjaga jarak dengan kelas di bawahnya. Dampak dari pola mengalir seperti yang diutarakan Veblen mengakibatkan konsumerisme di antara setiap lapisan (atas dan bawah). Kelas atas selalu mencari objek yang berbeda dari yang biasa, sedangkan kelas bawah berusaha mengejar kesamaan dengan kelas yang di atasnya. Usaha yang dilakukan kelas atas untuk mencari perbedaan dengan mengonsumsi objek baru tidak akan bertahan lama sebab kelas bawah akan mengejarnya dengan cara mengkonsumsi objek tersebut, demikian juga sebaliknya usaha yang dilakukan kelas bawah untuk mengejar kelas atas tidak akan pernah tercapai disebabkan kelas atas selalu berusaha akan objek-objek kebaruan sebagai simbol untuk perbedaan kelas. Pada awal pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar seperti yang sudah diutarakan pada Bab IV, yang berlangsung pada tanggal, 15 Desember 1978 yaitu, Aholin Simanjuntak dengan isterinya Lumina Napitupulu dilaksanakan secara sederhana. Upacara itu dilakukan di kantor perindustrian Jalan Topati Denpasar. Pelaksanaannya sangat sederhana sekali sebab pola mengalir ke bawah seperti yang diutarakan Veblen belum ada.
114
Akibat faktor globalisasi dan juga semakin banyaknya orang yang kaya dari suku Batak Toba yang tinggal di Kota Denpasar mengakibatkan mereka berlomba-lomba untuk mengonsumsi objek-objek yang mengelilingi mereka. Orang kaya berusaha untuk menunjukkan kelasnya dengan mengonsumsi objek yang lebih mewah dari yang sudah biasa seperti terlihat dalam gambar 5.6.
Gambar 5.6 Salah satu meja yang dipenuhi dengan buah (Dok.: Mangihut Siregar, 2014) Buah yang terlihat dalam gambar 5.6 merupakan buah yang disediakan untuk para undangan. Jumlah meja tempat menghidangkan buah ada lima meja, dan semua buah yang disediakan didominasi buah import, sangat sedikit buah lokal. Dari penuturan panitia: “biaya untuk penyediaan buah lebih dari Rp. 10.000.000,-.”
115
Kue yang terlihat dalam gambar 5.7 merupakan makanan pembuka sebelum diadakan makan bersama pada saat upacara adat. Dalam gambar itu tersedia kue yang cukup banyak dengan beberapa pelayan melayani para tamu. Demikian juga kue besar yang disediakan yang menyimbolkan hari pernikahan keluarga seperti terlihat pada gambar 5.8. Kue yang tinggi bukan hanya simbol hari pernikahan namun juga sebagai simbol kemewahan. Kue bagi komunitas Batak bukan merupakan makanan resmi melainkan sekedar cemilan.
Gambar 5.7
Gambar 5.8
Kue yang dihidangkan
Kue yang disediakan
sebelum upacara adat dimulai (Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
setinggi 1 meter (Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Kue yang disediakan ini tidak ada kaitannya dengan upacara adat perkawinan Batak Toba. Tetapi karena upacara perkawinan dilaksanakan di hotel dan pihak hotel menawarkan kue satu paket dengan ruangan yang digunakan,kue menjadi materi yang harus dikonsumsi karena sistem yang berlaku di tempat pelaksanaan upacara.
116
Materi yang lain
dan juga selalu dikonsumsi yaitu, dekorasi ruangan
pelaksanaan upacara perkawinan. Seperti yang terlihat dalam gambar 5.9, tanaman bunga hidup menghiasi seluruh areal panggung utama.
Gambar 5.9 Panggungpengantinpenuh dengan bunga hidup (Dok.: Mangihut Siregar, 2014) Bunga sering diidentikkan dengan cinta kasih. Selain cinta kasih bunga juga diidentikkan dengan keindahan. Cinta kasih dan keindahan yang disimbolkan dengan bunga pada gambar di atas sudah melebihi (hiper) dari biasanya. Seluruh panggung kehormatan dihiasi dengan penuh bunga hidup. Bunga yang digunakan bukan hanya sekedar simbol cinta kasih juga keindahan tetapi sudah menyimbolkan kemewahan.
117
Seperti yang dikatakan Piliang (2012: 53), sebuah tanda dikatakan melampaui atau hipersemiotika ketika telah keluar dari batas prinsip, sifat, alam, dan fungsi tanda yang normal sebagai alat komunikasi dan penyampaian informasi. Tanda dapat juga dikatakan melampaui ketika ia telah kehilangan kontak dengan realitas yang dipresentasikannya; atau ketika ia telah kehilangan fungsi informasinya. Demikian halnya ruangan yang dihiasi dengan banyak bunga, bukan hanya sekedar menandakan cinta, tetapi lebih dari cinta ada tanda kemewahan. Kemewahan
yang
ditandai
dengan
bunga
menjadi
objek
untuk
menunjukkan status, prestise, dan simbol-simbol sosial. Objek membentuk perbedaan-perbedaan sosial dan menaturalisasikannya melalui perbedaanperbedaan pada tingkat pertandaan (Piliang, 2012: 138). Objek-objek yang dikonsumsi menjadi sarana yang sangat efektif bagi setiap orang untuk menunjukkan identitasnya.
118
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KONSUMERISME DALAM UPACARA PERKAWINAN BATAK TOBA DI KOTA DENPASAR
Faktor adalah sesuatu menyebabkan sesuatu yang lain terjadi. Faktor yang mempengaruhi terjadinya konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar yaitu, globalisasi, gaya hidup, budaya populer, media massa, pemahaman yang kurang akan makna upacara perkawinan, dan kurangnya transmisi budaya.
6.1
Globalisasi Globalisasi merupakan suatu proses bukan sesuatu yang otomatis terjadi.
Ia lahir dari perilaku manusia dan gagasan yang lahir dari berbagai interaksi antar manusia, antar masyarakat, dan antar negara yang pada awalnya dimulai dari bidang ekonomi. Pada saat awal istilah globalisasi belum digunakan tetapi istilah yang digunakan adalah sistem ekonomi global. Perkembangan yang pesat di bidang ekonomi menjadi bibit globalisasi (Hoed, 2008: 101). Ekonomi modern membuat batas negara menjadi pudar karena beberapa faktor diantaranya: pertama, karena perkembangan kapitalisme yang bergeser dari pusat modal ke periferi sebagai akibat dari kolonialisme dan ekspansi. Modal bukan hanya ditanam di negara asal tetapi juga di negara lain. Kedua, perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi semakin maju sehingga lalu lintas informasi, barang, dan orang menjadi lebih cepat.
119
Ketiga,perkembangan industri pariwisata akibat perbaikan ekonomi dan kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi sehingga pertukaran manusia dan pertukaran gagasan dan informasi antarnegara menjadi lebih tinggi frekuensinya (Hoed, 2008: 101). Globalisasi merupakan proses terintegrasinya berbagai elemen dunia kehidupan ke dalam sistem tunggal berskala dunia (Piliang 2011: 22). Globalisasi merupakan konsekuensi dari dinamisme dan karakter mengglobal yang melekat pada lembaga-lembaga modernitas. Giddens (dalam Barker 2014: 110) mengibaratkan lembaga-lembaga modernitas dengan “mesin besar” (juggenaut) yang lepas kendali dan melibas habis apapun yang menghalangi jalannya. Globalisasi menjadi suatu ekspansionisme sistem ekonomi kapitalis, sistem informasi global, sistem negara-bangsa, dan tatanan dunia yang didukung militer. Pada pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar, faktor globalisasi dapat terlihat dalam beberapa halyaitu, sistem penyajian makanan dengan prasmanan. Prasmanan merupakan cara penyajian makanan di mana para tamu mengambil sendiri hidangan yang disediakan pada meja. Cara prasmanan dimulai oleh orang Perancis sehingga sering juga disebut cara makan dengan ala perancis. Lama kelamaan sistem menghidangkan makanan yang praktis ini mulai populer di Amerika Serikat pertengahan abad ke-19. Sistem prasmanan menghilangkan rasa gotong royong dan menumbuhkan rasa individualisme yang tinggi. Dari satu sisi sistem prasmanan sangat praktis tetapi di balik kepraktisannya ada ideologi kapitalis yang menguasai seperti terlihat pada gambar 6.1.
120
Gambar 6.1 Para tamu mengantri untuk mengambil makanan secara prasmanan (Dok.: Mangihut Siregar, 2014) Menurut pernyataan Risma: “Anggo nuaeng on nunga tenang hita, na penting adong hepeng. Laho mangaloppa makanan dang pola porlu be godang tenaga songon na di hita an, nunga adong Katering. Sude perlengkapan nunga rade..jadi …dang pola porlu be mangido pangurupion tu dongan. Oloan loja mangelek-elek halak … ni papesanhon ma ba.”(Pada saat sekarang kita sudah tenang, yang penting ada uang. Untuk memasak tidak perlu lagi memerlukan tenaga yang banyak-banyak seperti di kampung sana, sudah ada katering. Alat-alat sudah lengkap…ya …tidak perlu lagi minta tolong sama teman. Masak mau capek minta tolong orang lain…dipesan aja).(wawancara, 10 Desember 2014). Penuturan ini memperlihatkan bahwa uang menjadi segala-galanya, karena segala sesuatu dapat diselesaikan dengan uang. Seperti yang dikemukakan Piliang (2011: 232), salah satu ciri manusia kota global adalah manusia individual (homo individualis). Manusia mengutamakan ego ketimbang kolektivitas, yang mencintai diri sendiri ketimbang masyarakat. Semangat kolektivitas digantikan
121
oleh semangat individualisme. Manusia dipaksa untuk menggunakan hitunganhitungan ekonomi sebagai landasan pola pikir. Saling membantu tidak diperlukan lagi. Pola pikir yang demikian mengakibatkan sifat individualisme sebagai pondasi dari kapitalisme di mana kapitalisme merupakan rohnya globalisasi. Sistem prasmanan dalam upacara perkawinan Batak Toba mengakibatkan antrian yang panjang para undangan untuk mengambil makanan. Antrian panjang terjadi karena pola makan dalam upacara perkawinan Batak Toba harus secara serentak. Para undangan harus menunggu susunan acara sesuai dengan aturan adat, sehingga semua tahapan-tahapan adat diikuti secara bersama. Kebiasaan pada komunitas Batak Toba, makan harus secara bersama-sama setelah urutan acara makan tiba. Merupakan hal yang kurang sopan jika para tamu makan secara bertahap atau tidak bersama-sama. Akibat sistem makan yang mengharuskan secara bersamaan sehingga antrian yang panjang tidak dapat dihindari. Selain sistem prasmanan dalam upacara perkawinan Batak Toba, faktor globalisasi yang lain yaitu penggunaan alat-alat musik Eropa seperti terompet, keyboard (organ tunggal), gitar, band yang digunakan untuk menghibur para undangan. Menurut penuturan Tambunan, salah seorang tokoh adat Batak sekaligus ketua IKBB (Ikatan Keluarga Batak Bali) di Kota Denpasar mengatakan: “dang niantusan be adat Batak di Bali on, nunga sibahen bahen na be, jala godang do halak hita maniru na so niantusanna, ala songon i dibahen halak, ba songon ima dibahen. Godang na asal dipambahen, boasa dibahen songon i….alus ni angka dongan… nunga somal songon i. Ala songon i dibahen dongan, ba…niihuthon ma.”(Susah untuk mengerti pelaksanaan upacara adat Batak di Bali ini sebab masing-masing
122
melakukan sesuka hatinya, banyak juga yang meniru sesuatu tanpa mengetahui mengapa orang lain melakukan hal yang demikian, melainkan hanya ikut-ikutan. Banyak yang dibuat secara asal-asalan, mengapa dilakukan seperti itu…jawaban mereka…sudah biasa demikian. Karena orang lain berbuat demikian, ya…kita ikuti aja).(wawancara, 20 Desember 2014). Faktor ikut-ikutan meniru orang lain tanpa mengetahui mengapa orang lain melakukan hal demikian menjadi suatu kebiasaan.
Seperti
yang
diutarakan
Hoed (2008: 102) globalisasi bukanlah sekedar soal ekonomi, tetapi juga gejala budaya, yakni terbentuknya dan tersebarnya “kebudayaan dunia” di berbagai negara. Dengan kata lain adanya suatu kebudayaan baru sedang merebak dan melanda seluruh dunia. Yang menjadi pertanyaan “kebudayaan dunia” ini sebenarnya berasal dari mana? Kebudayaan global itu datang dari luar dan berasal dari negara-negara maju. Kemajuan teknologi terlebih teknologi informasi sehingga menguasai media massa internasional. Negara maju mengalirkan kebudayaannya ke negara-negara tertinggal. Dalam praktik upacara perkawinan Batak Toba, alat musik yang digunakan secara umum adalah musik Barat, sedangkan musik asli yang dimiliki Batak Toba hanya sekedar pelengkap. Musik Barat dianggap menjadi miliknya karena sudah digunakan hampir setiap saat.Seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini, para ibu sedang berdansa dengan senang hati setelah pasangan suami isteri resmi melaksanakan upacara adat pernikahan. Pihak keluarga pengantin memberi saweran uang kepada undangan yang ikut berdansa mengikuti iringan musik Barat sehingga suasana semakin meriah. Dansa tersebut tidak berkaitan dengan upacara adat melainkan hanya sekedar hiburan belaka (lihat gambar 6.2).
123
Gambar 6.2 Para tamu berdansa mengikuti iringan musik organ tunggal (Dok.: Mangihut Siregar, 2014) Globalisasi dilihat sebagai homogenitas budaya, yaitu penyeragaman kebudayaankebudayaan yang sesungguhnya berbeda menjadi budaya tunggal.Selain dari homogenitas budaya akibat globalisasi, juga terjadi penguatan budaya lokal. Seperti yang diutarakan Piliang (2011: 236), dalam globalisasi juga terjadi proses pertukaran, saling pengaruh, hibriditas dan silang budaya yang jauh lebih kompleks. Misalnya dalam hal makanan, pakaian, seni, arsitektur yang bersinggungan dengan globalisasi di lingkungan urban, cenderung mendorong ke arah reinterpretasi budaya lokal tersebut, sehingga ia tampil secara lebih kaya dan kreatif. Demikian juga pada upacara perkawinan Batak Toba, walau sistem makanan prasmanan yang nota bene makanannya dipesan dari katering ada
124
sebagian makanan yang harus dimasak komunitas Batak yaitu makanan sangsang danarsik ikan mas. Arsik ikan mas adalah sejenis ikan tawar yang warna kulitnya seperti mas sehingga disebut ikan mas danada juga warnanya hitam, direbus sampai kering seperti terlihat pada gambar 6.3.Sangsang adalah daging babi yang dicincang secara halus yang merupakan salah satu makanan khas Batak seperti terlihat pada gambar 6.4. Kedua jenis makanan tersebut menjadi makanan yang hibrid di daerah perkotaan.
Gambar 6.3 Makananarsik ikan mas yang disediakan di meja prasmanan (Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Gambar 6.4 Makanan sangsang yang disediakan di meja prasmanan (Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Kedua jenis makanan (arsikikan mas dan sangsang) dalam setiap acara adat Batak Toba selalu disediakan. Globalisasi menjadikan makanan iniberpenampilan semakin kaya dan kreatif. Selain penampilan yang kreatif juga cara masaknya yang kreatif sehingga menghasilnya rasa yang semakin enak dan tahan lama. Apapun makanan yang disediakan tanpa kehadiran sangsang dan arsikikan mas bagi orang Batak belum sempurna. Kedua makanan ini merupakan makanan yang hibrid bagi orang Batak.
125
6.2
Gaya Hidup Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari gaya hidup. Gaya
hidup merupakan cara setiap orang untuk memaknai kehidupannya dengan cara mengekpresikan benda-benda sebagai objek pengaktualisasian diri kehidupan sehari-hari. Seperti yang dikatakan Piliang (2011: 322), gaya hidup merupakan salah satu bentuk pembedaan sosial dalam kehidupan masyarakat, dan pembedaan itu mengandalkan identitas kelompoknya pada sistem citra. Citra hanya berfungsi apabila digunakan di dalam praktik sosial. Dalam praktik sosial, citra berfungsi sebagai penciptaan perbedaan atau pembedaan sosial. Citra berkembang, bereproduksi sekaligus pemangsa dan penghancur batas-batas sosial yang telah dibangun sebelumnya. Seperti yang dikatakan Baudrillard (dalam Piliang, 2011: 322) citra dan gaya hidup beredar di dalam orbitnya sendiri, yang tidak ada hubungannya lagi dengan dunia realitas. Pada masa sekarang citraan mengambil alih sepenuhnya dunia realitas, sehingga citraan (simulakrum) tersebut dianggap menjadi realitas. Pengertian yang lebih luas tentang gaya hidup diutarakan oleh Bourdieu (dalam Piliang, 2011: 323), ia melukiskan gaya hidup sebagai ruang gaya hidup yang sifatnya plural. Dalam ruang tersebut masyarakat membangun kebiasaan sosialnya. Gaya hidup melibatkan: modal, kondisi objektif, habitus, disposisi, praktik, gaya hidup, sistem tanda, dan struktur selera. Gaya hidup adalah produk habitus yang diproduksi secara sistematis melalui skema habitus dan praktik. Gaya hidup dipengaruhi oleh modal yang dimiliki. Menurut Bourdieu (dalam Featherstone, 2008: 209) selera terhadap berbagai benda budaya berfungsi
126
sebagai tanda kelas. Masyarakat yang mempunyai modal tinggi mempunyai selera yang berbeda dengan masyarakat modal rendah. Gaya hidup ditentukan oleh modal yang dimiliki seseorang baik modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Gaya hidup berhubungan dengan satu kelompok gaya hidup dengan kelompok-kelompok lainnya yang dilaksanakan dalam ruang sosial sebagai medan sosial. Gaya hidup sebagai perebutan posisi diekspresikan melalui perebutan atau perjuangan pada tingkat tanda, yang membentuk oposisi dan perbedaan pada tingkat semiotik. Perbedaan itu oleh Deleuze & Guattari (dalam Piliang, 2011: 327) dibangun bukan untuk menunjukkan identitas, melainkan sebagai perbedaan untuk perbedaan itu sendiri. Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang. Orang yang mempunyai banyak modal, baik modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik akan melaksanakan upacara perkawinan anaknya melebihi dari yang sudah biasa dilakukan orang lain. Hal ini dilakukan untuk menjaga posisi yang dimilikinya. Seperti penuturan Tingkos, pada saat menikahkan anaknya tanggal, 8 Desember 2008. Tingkos bekerja di kantor Pekerjaan Umum Propinsi Bali. Beliau sudah termasuh sebagai pimpinan di tempat dia bekerja. Selain mempunyai pekerjaan yang bagus, Tingkos merupakan tokoh agama Kristen dan juga tokoh adat bagi komunitas Batak. Dengan demikian Tingkos memiliki cukup modal baik modal ekonomi, sosial dan modal budaya.
127
Upacara adat perkawinan anaknya dilaksanakan di Restoran Hongkong Garden. Pada saat itu biaya untuk konsumsi Rp. 125.000,- per orang, dan undangan yang hadir sebanyak 800 orang sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk makan sebanyak Rp. 100.000.000,-. Menurut pengakuan Tingkos, biaya yang dihabiskan untuk upacara perkawinan anaknya
mulai dari proses awal
sampai hari puncak sebanyak Rp. 400.000.000,-. Selain upacara adat perkawinan yang dilakukan di Kota Denpasar, pihak keluarga perempuan juga melakukan resepsi perkawinan anaknya di tempat keluarga perempuan yaitu di Kota Balikpapan Kalimantan. Menurut penuturan Tingkos yang juga hadir pada resepsi perkawinan anaknya di Kalimatan, biaya yang dikeluarkan pihak keluarga perempuan diperkirakan lebih dari Rp. 100.000.000,-. Pihak perempuan masih melakukan acara resepsi perkawinan di Balikpapan Kalimantan disebabkan banyak undangan pihak perempuan yang tidak boleh hadir ke Kota Denpasar. Sebagai rasa kepuasan orang tua perempuan akan upacara perkawinan anaknya, dan sekaligus mengumumkan bahwa puterinya sudah melangsungkan upacara perkawinan di Kota Denpasar, maka resepsi juga dilakukan di Kalimantan dengan mengundang banyak orang. Menurut
penuturan
Tingkos
bersama
dengan
isterinya,
mereka
melaksanakan upacara perkawinan anaknya di Restoran Hongkong Garden agar para undangan puas dan senang. Keluarga Tingkos merupakan keluarga yang pertama sekali melaksanakan upacara perkawinan Batak Toba di Restoran Hongkong Garden. Prinsip Tingkos dalam pelaksanaan upacara perkawinan anaknya:
128
“Segala bocoran tutup, unang adong kesempatan laho manghata. Ai molo halak hita mura hian do manghata…sude do neang…tiba ma di ibana ulaon…tong do sai adong na hurang. Usahahononton do ba…asa unang dihata na deba iba. Pengalaman ni angka dongan naung marulaon….sai adong do hata ni halak na so tabo begeon.”(Hindari segala cemoohan, jangan ada kesempatan orang untuk mengeluarkan omongan kurang enak. Kalau sama orang kita, sangat gampang menilai orang….semua gampang…tiba waktu dia yang melakukan upacara…tetap aja ada yang kurang. Kita berusaha agar jangan ada cemoohan orang. Pengalaman teman yang sudah melangsungkan pesta….selalu ada omongan dari orang luar yang tidak enak di dengar). (wawancara, 5 Desember 2014). Penuturan ini menggambarkan bahwa Tingkos berusaha meminimalisir segala omongan yang kurang menyenangkan saat anaknya melangsungkan upacara perkawinan. Dia berusaha untuk menunjukkan kelasnya di antara komunitas Batak yang ada di Kota Denpasar. Seperti yang dikatakan Featherstone (2008: 43), untuk tetap menjaga jarak, masyarakat kelompok atas tetap menginvestasikan barang-barang (informasi) baru dengan tujuan untuk memapankan kembali jarak masyarakat yang telah ada sebelumnya. Pemapanan jarak itu dilakukan dengan pilihan konsumsi dan gaya hidup. Menurut Bourdieu (dalam Featherstone, 2008: 42) selera konsumsi dan praktik gaya hidup berkaitan dengan pekerjaan dan kedudukan di tengah masyarakat. Posisi mapan yang sudah dimiliki Tingkos selama ini perlu dipertahankan dengan gaya hidup yang ditampilkan dalam upacara perkawinan. Bagi komunitas Batak, apabila suatu keluarga yang mempunyai banyak modal, tetapi pelaksanaan upacara adatdilaksanakan dengan sangat sederhana, maka keluarga tersebut akan mendapat omongan yang tidak menyenangkan dari teman sesamanya. Omongan yang sering didapatkan adalah sebutan keluarga pelit, orang yang tidak tau menghormati hula-hula, dan juga keluarga yang tidak
129
tau adat. Untuk meminimalisir sebutan seperti itu, maka Tingkos berusaha melaksanakan
upacara
perkawinan
anaknya
dengan
mewah.
Tingkos
menunjukkan kelasnya dengan membuat suatu gaya hidup yang berbeda saat itu bagi komunitas Batak. Setelah Tingkos melakukan upacara perkawinan anaknya di Restoran Hongkong Garden, komunitas Batak Toba yang ada di Kota Denpasar sudah semakin banyak yang mengikuti gaya hidup Tingkos. Seperti yang dikatakan Featherstone (2008: 43) masyarakat kelas bawah akan mengejar benda-benda kebutuhan masyarakat atas. Demikian halnya bagi komunitas Batak Toba yang ada di Kota Denpasar, Restoran Hongkong Garden bukan lagi hanya konsumsi kelas atas tetapi juga sudah menjadi konsumsi masyarakat menengah. Komunitas Batak Toba yang sudah banyak melangsungkan upacara perkawinan di Restoran Hongkong Garden dan juga hotel lain mengakibatkan gaya hidup orang kaya dan miskin dalam penggunaan tempat upacara perkawinan tidak berbeda lagi. Untuk menunjukkan perbedaan, orang kaya membuat beberapa gaya hidup seperti yang dilakukan keluarga Tulus pada saat pelaksanaan upacara perkawinan anaknya pada hari Jumat, 25 April 2014.Tulus merupakan seorang pengusaha yang sukses di Papua. Walaupun usahanya di wilayah Papua, namun Tulus tetap memilih tinggal di Kota Denpasar. Pada saat upacara perkawinan puterinya, Tulus membuat beberapa perbedaan dengan yang sudah biasa dilakukan komunitas Batak Toba di Kota Denpasar. Perbedaan-perbedaan yang dilakukan di antaranya, makan bersama dengan sistem prasmanan sewaktu martumpol di gereja. Martumpol adalah acara
130
ikat janji sebelum upacara pemberkatan nikah secara agama di gereja. Biasanya komunitas Batak menyediakan lampet yaitu kue khas Batak sebagai makanan ringan saat martumpol. Selain makanan, Tulus juga mendatangkan 5 orang artis dari Jakarta sebagai penghibur dalam acara martumpol. Mendatangkan artis saat martumpol merupakan hal baru bagi komunitas Batak Toba di Kota Denpasar. Setelah selesai martumpol, kemudian dilanjutkan dengan upacara perkawinan menurut agama Kristen. Biasanya setelah upacara perkawinan menurut agama selesai,
pada hari yang sama jugadilangsungkan upacara
perkawinan secara adat. Namun Tulus melakukan upacara perkawinan anaknya secara agama berbeda waktu dengan pelaksanaan upacara perkawinan secara adat. Pada saat upacara perkawinan secara agama dilakukan, Tulus mendatangkan para keluarga dekatnya dari Tapanuli Sumatera Utara untuk menghadiri perkawinan anaknya. Selain dari Tapanuli, Tulus juga mendatangkan teman kerja, para kolega dan juga karyawannya dari Papua untuk menghadiri upacara perkawinan anaknya secara agama Kristen di Kota Denpasar. Menurut
penuturan
Tulus,
upacara
perkawinan
secara
gereja
dilangsungkan di Bali, sedangkan upacara perkawinan secara adat di Jakarta adalah:“Agar semua kebagian, teman-teman di Bali kebagian secara gereja… terus yang di Jakarta…secara adat, adil kan?” (Wawancara, 14 Desember 2014).Pernyataan ini mau menunjukkan gaya hidup Tulus di dua kota yaitu di Kota Denpasar dan juga di Kota Jakarta. Seperti yang diutarakan Piliang (2011: 322), gaya hidup merupakan salah satu bentuk pembedaan sosial dalam kehidupan masyarakat. Tulus menunjukkan pembedaan sosial di dua wilayah dengan
131
melibatkan modal yang dia miliki. Dari segi biaya, dia mengeluarkan dua kali lipat dari yang seharusnya, namun itu bukan masalah demi menunjukkan gaya hidupnya. Acara resepsi yang dilangsungkan di Restoran Hongkong Garden pada tanggal 25 April 2014 dihibur artis Batak Toba dari Jakarta sebanyak 15 orang.Selain mendatangkan artis Batak Toba yang banyak dari Jakarta, Tulus juga menyajikan makanan yang mewah bagi para undangan. Biaya makan yang menggunakan paket dengan ruangan tempat pelaksanaan resepsi sebesar Rp.300.000 per orang. Jumlah undangan yang hadir saat itu sebanyak 1.200 orang. Dengan demikian biaya hanya untuk makan pada saat resepsi sebesar Rp. 360.000.000,-. Pada tanggal, 3 Mei 2014, keluarga Tulus dan juga keluarga pihak lakilaki sepakat untuk melangsungkan upacara perkawinan anak mereka secara adat Batak Toba di Jakarta. Alasan mereka mengadakan upacara adat di Jakarta disebabkan para keluarga dekat dari kedua pihak (laki-laki dan perempuan) lebih banyak tinggal di Jakarta. Agar para keluarga itu dapat menghadiri upacara adat sehingga diadakan di Jakarta. Pada saat upacara perkawinan secara adat yang dilangsungkan di Jakarta, Tulus mendatangkan artis Batak sebanyak 100 orang, dan semuanya artis tersebut dibayar dengan besaran honor yang berbeda. Besaran honor ditentukan dengan kesenioran dan juga kepopuleran masing-masing artis. Informasi yang diperoleh dari panitia, bahwa biaya untuk artis mulai dari tiket pesawat, penginapan ditambah dengan honor berjumlah Rp. 400.000.000,-. Jika ditotal keseluruhan
132
biaya upacara perkawinan anaknya mulai dari Kota Denpasar sampai biaya di Jakarta diperkirakan menghabiskan biaya sebesar Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar Rupiah). Menurut penuturan Tulus,alasan mendatangkan begitu banyak artis saat ucapara perkawinan puterinya: “Mengundang artis satu hingga tiga orang kan sudah biasa, kita mau memuaskan para undangan dengan hal yang baru. Yang di kampung kita datangkan ke sini, kasihan mereka ….sudah capek kerja di kampung….ya sekali-sekali kita undang jalan-jalan. Pesta ini kesempatan…ya sekalian aja. Semua fasilitas kita tanggung….” (wawancara, 14 Desember 2014) Penuturan Tulus yang menyatakan bahwa dia mengundang banyak artis untuk menghibur undangan dengan tujuan agar para undangan senang. Sebenarnya mendatangkan artis yang banyak bukan hanya sekedar menyenangkan undangan, sebab jika tujuan untuk menyenangkan para undangan cukup hanya satu sampai tiga orang saja. Namun Tulus melakukan hal yang lebih dengan mendatangkan artis sampai bilangan 100 orang dengan tujuan untuk menunjukkan gaya hidupnya berbeda dengan orang lain.
Seperti yang dikatakan Bourdieu (dalam
Featherstone, 2008: 209), selera terhadap berbagai benda budaya berfungsi sebagai tanda kelas. Masyarakat yang mempunyai modal banyak mempunyai selera yang berbeda dengan masyarakat modal rendah. Mendatangkan artis sebanyak tiga orang sudah biasa, Tulus membuat yang luar biasa sehingga modal ekonomi yang sudah dia miliki selama ini bertambah dengan modal sosial yang dia peroleh dari masyarakat. Demikian juga mengenai keluarga yang didatangkan dari kampung halaman untuk menghadiri upacara perkawinan anaknya di Kota Denpasar dan di
133
Jakarta, bukan sekedar menyenangkan hati para keluarganya yang dari kampung tetapi dia juga ingin menunjukkan siapa dirinya terhadap keluarganya dari kampung. Seperti yang disebutkan Pelly (1994: 295) orang Batak mempunyai misi budaya tentang daerah rantau sebagai perluasan kampung halaman untuk mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi (sahala harajaon). Tulus mau menunjukkan bahwa
dia
sudah
berhasil
melaksanakan
misi
budaya
tersebut.
Dia
menunjukkannya dalam pelaksanaan upacara perkawinan puterinya terhadap keluarganya dari kampung dengan gaya hidup yang berbeda dengan komunitas Batak lainnya. Gaya hidup yang ditunjukkan komunitas Batak Toba dalam melaksanakan upacara perkawinan untuk menunjukkan identitas, sekaligus melepaskan hasrat untuk berbeda. Seperti yang dilakukan Tahan saat melangsungkan upacara perkawinan puterinya secara keagamaan pada hari, Sabtu, 20 Desember 2014. Puterinya melangsungkan upacara perkawinan keagamaan di kapel milik Hotel The Mulia Nusa Dua. Menurut penuturan Tahan untuk memilih kapel Hotel The Mulia sebagai tempat pemberkatan perkawinan puterinya: “Borunta siangkangan dison do tarpasu-pasu, jadi asa adil, adekna pe tapatupa ma tong dison . Ai dos do gelleng…. dang mungkin bedabedahononhon. Undangan pe pasti do sungkun-sungkun tu iba molo dang dison pinatupa ulaon on. Parengkelan ni halak ma iba molo gabe mundur ulaon niba sian naung adong hian.”(Puteri yang pertama melangsungan pemberkatan perkawinan juga di hotel ini, jadi biar adil adeknya pun juga di sini. Anak itu kan semua sama ….tidak mungkin dibeda-bedakan. Para undangan pun pasti akan bertanya-tanya apabila pesta ini tidak dilangsungkan di sini. Orang akan menertawakan kita apabila pesta menjadi menurun dari yang sudah pernah kita langsungkan). (wawancara, 21 Desember 2014).
134
Penuturan ini menunjukkan bahwa Tahan mempunyai kasih sayang yang sama terhadap anak-anaknya melalui tempat upacara perkawinan yang sama seperti yang terlihat pada gambar 6.5. Namun jika ditelusuri lebih jauh, melangsungkan pemberkatan perkawinan di Hotel The Mulia Nusa Dua bukan sekedar untuk menunjukkan kasih sayang yang sama terhadap anak melainkan penunjukan gaya hidup yang berbeda dari komunitas Batak umumnya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Bourdieu (dalam Piliang, 2011: 323), gaya hidup sebagai ruang gaya hidup yang sifatnya plural. Dalam ruang tersebut masyarakat membangun kebiasaan sosialnya. Demikian halnya keluarga Tahan yang sudah terbiasa menunjukkan gaya hidupnya sangat berbeda dengan masyarakat kelas bawah. Modal banyak yang sudah dimiliki Tahan membuat dia mempunyai selera yang berbeda dengan masyarakat rendah, dengan demikian posisi yang sudah dicapai Tahan selama ini semakin mantap di tengah komunitas Batak Toba.
Gambar 6.5 Melepasburung merpati sebagai tanda kesetiaan (Dok. Mangihut Siregar, 2014)
135
Pemilihan tempat untuk melaksanakan upacara perkawinan secara keagamaan atau sering disebut pemberkatan perkawinan bukan sekedar bertujuan menyenangkan anak dan undangan. Kalau tujuannya hanya untuk menyenangkan anak dan undangan mengapa harus dilaksanakan di Bali? Para undangan harus capek datang ke Bali meninggalkan keluarga dan juga pekerjaannya. Demikian juga halnya tentang orang yang memimpin upacara perkawinan keagamaan, mengapa harus Ephorus, begitu banyak pendeta HKBP yang lain yang berada di sekitar Surabaya dan Bali, mengapa bukan mereka yang memimpin upacara tersebut? Di balik penuturan Tahan untuk menyenangkan anak dan para undangan, sebenarnya tujuannya adalah untuk menunjukkan gaya hidupnya yang berbeda dengan yang lain. Tahan melipatgandakan modal-modal yang dimilikinya sehingga semakin mantap kemapanan posisi yang sudah dia miliki selama ini. Posisi yang sudah mapan selalu dia jaga dengan membuat hal yang baru di dalam pelaksanaan upacara perkawinan anaknya.
6.3
Budaya Populer Budaya populer sangat berkaitan dengan konsumerisme sebab di dalam
budaya populer terkandung ideologi ekonomi kapitalis. Dalam ideologi kapitalis kebudayaan diciptakan sebagai bagian dari logika pasar dan komoditi. Kebudayaan dikonstruksi atas dasar prinsip perbedaan; penampilan, gaya, gaya hidup yang selalu dibuat berubah dengan tempo yang cepat (Piliang, 2011: 415). Untuk melihat budaya populer harus melalui praktik-praktik yang dilakukan masyarakatnya bukan melalui teks-teks para pembaca (Fiske, 2011: 50).
136
Budaya populer merupakan produksi budaya dengan nilai-nilai yang dianggap rendah, bawah, murahan, vulgar, umum, dan rata-rata. Populer berkaitan dengan kelompok massa atau masyarakat kebanyakan yang dikendalikan oleh kelompok elit tertentu dengan sistem industri budaya. Budaya populer akan mengancam keberadaan nilai-nilai dan ideologi yang masyarakat miliki dan akan diganti oleh ideologi baru yaitu ideologi budaya populer. Menurut Piliang (2011: 420), ideologi populer menggiring berbagai wacana ke dalam bentuk pendangkalan, sifat permukaan, penampakan luar dan perayaan citra. Ideologi ini merayakan citra ketimbang makna, kulit luar ketimbang isi, penampilan ketimbang esensi, popularitas ketimbang intelektualitas. Oleh karena itu ideologi popularitas menghambat pencerahan dan pencarian identitas sebab masyarakat digiring ke dalam penampakan luar bukan kepada esensi.Pencarian identitas menjadi persoalan dalam budaya populer sebab identitas individu dan gaya hidup masyarakat dikonstruksi oleh kelompok elit tertentu (produser, kapitalis, bintang) sebagai bagian dari industri dan komoditi budaya. Identitas yang dikembangkan selalu identitas yang dikonstruksi secara sosial oleh elit budaya, dengan demikian identitas otentik masyarakat menjadi hilang. Budaya populer merupakan budaya yang diproduksi secara komersial dan konsumermenerima saja tanpa berpikir hal itu akan berubah di waktu yang akan datang. Budaya populer dipandang sebagai makna dan praktik yang dihasilkan oleh audien pop pada saat konsumsi (Barker, 2004: 50). Konsumsi merupakan hal yang penting sebab dalam budaya populer orang akan melihat bagaimana caranya
137
menggunakan dan mengubah produk-produk industri menjadi budaya populer yang melayani kebutuhan masyarakat (Barker, 2014: 211). Menurut Hidayat (2012: 117), budaya populer mempunyai karakter khas yaitu, bersifat massal, dangkal, mengedepankan penampakan ketimbang makna dan kedalaman. Lebih menerima simbol status, prestise, penampilan dan gaya ketimbang manfaat atau makna yang sebenarnya. Penampilan-penampilan seperti ini dapat dilihat setiap hari dalam kehidupan masyarakat dalam hal, merek mobil, merek hand phone, tempat belanja, tempat kecantikan, tempat makan yang mengutamakan nilai tanda dan nilai simbol. Pada kehidupan masyarakat di era postmodern, fenomena yang timbul adalah tumbuhnya budaya populer. Masyarakat mementingkan nilai tanda dan nilai simbol dari pada nilai guna dan nilai tukar. Orang lebih mementingkan penampilan dari pada kedalaman, merayakan kesenangan dari pada kekhusukan, mengutamakan gaya dari pada esensi. Praktik budaya populer juga terjadi pada upacara perkawinan Batak Toba. Hal ini dapat diamati melalui objek-objek yang dikonsumsi selama pelaksanaan upacara perkawinan. Contoh-contoh itu berupa cenderamata, mobil pengantin, baju pengantin,mendatangkan artis, dan lain-lain. Cenderamata pada awalnya adalah sesuatu yang dibawa oleh seorang wisatawan ke asalnya sebagai benda kenangan. Cenderamata sering juga disebut souvenir, tanda mata, atau kenang-kenangan. Cenderamata dapat berbentuk, kaos, dompet, topi, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Pada saat sekarang cenderamatabukan hanya digunakan sebagai kenangan para wisatawan, dalam
138
praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar, cenderamata menjadi kebudayaan popular seperti terlihat pada gambar 6.6. Hampir semua upacara perkawinan menggunakan cenderamata.
Gambar 6.6 Cenderamata yang akan dibagikan kepada para undangan (Dok. Mangihut Siregar, 2014) Komunitas Batak tidak mengenal cenderamata, yang ada adalah ulak ni tandok.Ulak ni tandok merupakan benda yang diberikan kepada undangan yang membawa padi atau beras di dalam tandok. Ulak ni tandok menjadi tanda ucapan terimakasih berbentuk sepotong daging atau uang. Ulak ni tandok diberikan pada saat acara adat sudah berjalan, di mana para undangan memasuki tempat upacara adat.
139
Pada praktiknya, ulak ni tandok tetap berjalan dalam upacara perkawinan, demikian juga cenderamata. Bedanya, ulak ni tandok diberikan secara adat dan orang yang berhak menerimanya adalah orang tertentu, sedangkan cenderamata diberikan sebelum upacara adat dan yang berhak menerimanya tidak terbatas, artinya kepada siapa saja yang hadir dalam upacara tersebut. Cenderamata seakan menjadi keharusan yang tidak ada hubungannya dengan upacara adat melainkan sekedar nilai tanda dan nilai simbol. Demikian juga penggunaan mobil pengantin dalam upacara perkawinan. Dari segi nilai guna, mobil pengantin digunakan sekitar 2 jam dan fungsinya sebagai tranportasi. Dalam praktiknya, mobil pengantin bukan sembarang mobil, biasanya yang digunakan adalah mobil yang bermerek BMW, Volvo, Alphart, dan lain-lain yang mempunyai gengsi tinggi seperti yang terlihat dalam gambar 6.7. Mobil pengantin yang terlihat dalam gambar adalah merek toyota alphart. Mobil dalam hal ini bukan hanya berfungsi sebagai transportasi tetapi mempunyai nilai tanda dan nilai simbol.
140
Gambar 6.7 Mobil yang digunakanpengantin (Dok. Mangihut Siregar, 2014) Tanda mobil dalam gambar 6.7 sudah meninggalkan prinsip struktur yang memandang segala sesuatu dibangun oleh sebuah struktur yang tetap, stabil, berulang, mengikat, dan abadi. Penanda (signifier) mobil bukan hanya mempunyai petanda (signified) transportasi tetapi sebagai gengsi. Seperti yang diutarakan Piliang (2012: 251), tanda mempunyai karakter terbuka, dinamis, subversif dan kontradiktif yang disebut dengan hipersemiotika. Mobil sudah melebihi struktur tanda konvensional sebagai alat transportasi. Hampir sama dengan mobil pengantin, baju pengantin yang digunakan hanya dipakai satu hari. Karena modelnya yang dirancang khusus untuk baju pengantin sehingga pemakaiannya sangat jarang. Biasanya keluarga pengantin memakai baju pengantin pada saat upacara perkawinannya dan juga saat
141
membawa anaknya dibabtis atau lepas sidi di gereja. Dengan demikian baju pengantin sangat jarang digunakan. Dalam praktiknya, baju pengantin menjadi budaya popular upacara perkawinan Batak Toba. Baju pengantin perempuan digunakan sebanyak hitungan jari dalam hidupnya tetapi harus dibeli dengan harga yang mahal. Bahan yang digunakan biasanya adalah kain songket mulai dari harga satu juta sampai puluhan juta. Tidak lazim bagi komunitas Batak Toba pengantin perempuan memakai baju biasa melainkan harus baju khusus yang bermerek untuk digunakan pada saat upacara perkawinan. Dalam budaya konsumerisme, tanda-tanda sangat banyak melebihi (hiper) sebagai bagian dari budaya komoditi dan budaya konsumerisme kapitalis. Budaya dikonstruksi menjadi berbentuk dusta, ilusi, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisial, kedangkalan, permukaan dikemas dalam wujud komoditi lewat strategi hipersemiotika. Pada akhirnya, tanda itu menjadi suatu kepalsuan (Piliang, 2012: 58).Tanda baju pengantin bukan hanya mempunyai tanda melindungi tubuh dan kecantikan, namun lebih dari tanda itu, baju pengantin juga menandakan simbol. Demikian juga halnya mengenai artis yang fungsinya hanya hiburan. Setiap pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba, jasa artis menjadi kebutuhan primer. Komunitas Batak Toba dalam melaksanakan upacara perkawinan disuguhi hiburan-hiburan yang hanya menyenangkan para undangan seperti yang terlihat pada gambar 6.8. Dalam praktiknya dapat diamati saat pelaksanaan penyampaian ulos dari pihak hula-hula kepada pengantin. Pada saat sekarang saat
142
menyampaikan ulos nasehat-nasehat tentang berumah tangga dan juga doa harapan para orang tua hilang diganti dengan hiburan.
Gambar 6.8 Artis Batak sedang menghibur para tamu (Dok. Mangihut Siregar, 2014) Menurut adat kuno, pihak hula-hula (dan seluruhrombongannya) sebelum menyampaikan ulos kepada pengantin didahului nasehat dan doa pengharapan, pada masa sekarang diganti dengan hiburan. Penuturan yang selalu dituturkan pelaku adat saat memberikan ulos seperti di bawah ini: “amang pande nami….na jinou manogot…pinataru botari…nang so hudok…nunga diboto ho. Dison jongjong do hami rombongan ni hula-hula, ro mangadopi gokhon dohot jou-jou ni pamoruon nami. Nuaeng naeng pasathon ulos siganjang rambu, sibahen na las tu boru nami dohot hela nami, bahen damang ma musik na hombar tu si”.(Hai para pemusik…yang dipanggil pagi hari…dan dipulangkan sore hari…walau belum saya ucapkan…engkau sudah mengerti.Kami bersama rombongan berada di sini untuk menghadiri undangan boru kami. Sekarang kami mau menyampaikan ulos kepada boru dan hela kami, tolong buatkan musik yang sesuai untuk hal itu).(pengamatan, 29 Nopember 2014).
143
Penuturan ini menggambarkan bahwa komunitas Batak Toba pada masa sekarang menunjukkan penampilan luar saja.Seperti yang dikatakan Hidayat (2012: 117), pada masa sekarang orang mempunyai karakter khas yaitu, bersifat massal, dangkal, mengedepankan penampakan ketimbang makna dan kedalaman. Lebih menerima simbol status, prestise, penampilan dan gaya ketimbang manfaat atau makna yang sebenarnya.
Makna penyampaian ulos pada masa sekarang bukan
untuk menasehati dan menyayangi lagi, namun yang diutamakan adalah kegembiraan, kebahagiaan, kesenangan semata. Setelah penuturan itu, pemusik memainkan musiknya bersama lagu-lagu yang menghibur. Ucapan selamat, nasehat, dan juga doa pengharapan disatukan menjadi sebuah tarian. Makna mangulosi bergeser menjadi sebuah acara hiburan semata. Kesuksesan upacara perkawinan diukur dari meriahnya pesta dan kelihaian artis penghibur. Semakin top artis yang menghibur, semakin meriah upacara perkawinan. Pelaksanaan upacara perkawinan yang didominasi hiburan artis menunjukkan simbol status, prestise, penampilan dan gaya ketimbang manfaat atau makna yang sebenarnya.
6.4
Media Massa Media massa adalah sarana komunikasi massa di mana proses
penyampaian pesan, gagasan, atau informasi dilakukan kepada orang banyak (publik) secara serentak.Menurut Barker (2014:165), media massa adalah lembaga-lembaga komunikasi yang memproduksi dan mendistribusikan teks-teks secara luas, dalam konteks lahir dan berkembangnya modernitas kapitalis. Fungsi
144
media massa yaitu menyediakan informasi, hiburan, dan pendidikan. Media massa dapat dipahami dalam terminologi teks,relasi antara teks dengan audiens, ekonomi politik dan pola-pola makna budaya. Dalam penyampaian pesan, media massa sering dilihat sebagai pihak yang membawa selera publik hingga ke tingkat yang terendah demi memaksimalkan rating sementara audiens merupakan kumpulan orang yang pasif menerima mentah-mentah pesan yang disampaikan (Barker, 2014: 166). Hal seperti ini sering terjadi apalagi masyarakat yang menjadi audiensnya masih dalam tingkat pendidikan yang rendah. Semua informasi yang dikonstruksi oleh produsen dikonsumsi secara mentah-mentah dan dianggap menjadi kebenaran yang mutlak. Kaum produsen tidak menghiraukan pesan apa yang disampaikannya kepada konsumen mendidik atau pembodohan yang penting ideologi kapitalisnya sampai kepada tujuan. Bahasa iklanyang menjadi bahasa komunikasi mempunyai struktur bahasanya sendiri. Dalam iklan realitas dikonstruksi menjadi penipuan, dan penipuan itu dilakukan melalui bahasa. Menurut Piliang (2012: 322), secara struktural iklan terdiri dari tanda-tanda, yaitu unsur terkecil bahasa yang terdiri dari penanda, yaitu gambar, foto, dan petanda, yaitu konsep atau makna yang ada di balik penanda tersebut. Penanda-penanda tersebut dapat digunakan melukiskan realitas dan sebaliknya juga dapat memalsukan realitas. Lebih jauh dikatakan Piliang, dalam iklan biasanya terdapat tiga elemen, yaitu gambar objek atau produk yang diiklankan, gambar benda-benda di sekitar objek yang diiklankan, serta tulisan atau teks yang memberikan keterangan
145
tertulis, yang satu sama lain saling mengisi dalam menciptakan ide, gagasan, konsep atau makna sebuah iklan. Dalam iklan terdapat tingkatan-tingkatan makna yang kompleks, mulai dari makna eksplisit, yaitu makna yang tampak atau denotatif, serta makna lebih mendalam, yang berkaitan dengan pemahaman ideologi dan kultural atau konotatif. Iklan sangat efektif untuk mempengaruhi persepsi orang tentang sebuah produk. Karena begitu efektifnya iklan untuk memasarkan sebuah produk melalui cara mempengaruhi konsumen, perusahaan mau mengeluarkan biaya yang sangat besar hanya untuk mengubah persepsi dan hasrat membeli masyarakat. Iklan mempunyai hubungan timbal balik dengan perubahan masyarakat sendiri. Seperti penuturan Lasma, dia sepakat dengan suaminya melangsungkan perkawinan di Kapel Harrads Hotel: “Hari itu kan …kita lihat di TV ada nikah… terus acaranya di kapel. Ya…asyik juga ini, viewnya laut pikirku. Lalu…ngomong-ngomong sama calon suami setuju juga. Kalau orang tua ma…awalnya tidak setuju, terus kita jelasin…ya, akhirnya mereka menyetujui juga, soalnya kan …yang menanggung biaya semuanya adalah suami saya, mau ngak mau orang tua kita … ngikut aja.” (wawancara, 10 Desember 2014). Penuturan Lasma menunjukkan bahwa dia bersama suaminya melaksanakan upacara perkawinan di Kapel Harrads Hotel terpengaruh dengan media televisi. Perilaku Lasma sesuai dengan yang dikatakan Piliang (2012: 328), dalam masyarakat konsumer dewasa ini berkembang logika baru konsumsi, yang secara mendasar mengubah model hubungan antara manusia dan objek atau produk. Di dalam masyarakat, objek berkembang sedemikian rupa sehingga tidak lagi terikat pada logika utilitas, fungsi dan kebutuhan, melainkan pada apa yang disebut logika tanda dan logika citra. Orang pada saat sekarang membeli tanda, citra atau
146
tema yang ditawarkan di balik sebuah produk, bukan lagi nilai utilitas produk tersebut. Masyarakat konsumer tidak dapat dipisahkan dengan ideologi kapitalisme global. Kapitalisme global dibangun di atas iklim persaingan yang tinggi antara perusahaan dan produser. Kebudayaan dikonstruksi atas dasar prinsip perbedaan; penampilan, gaya, gaya hidup yang selalu dibuat berubah dengan tempo yang semakin tinggi (Piliang, 2011: 416). Setiap orang dalam kelompok berusaha untuk mencari nilai tambah (value added) dengan cara mengonsumsi barang-barang yang berbeda dengan orang lain. Hal ini lebih banyak terdapat pada masyarakat perkotaan walau masih dalam batas-batas yang masih dapat diterima oleh kelompoknya (Abdullah, 2010: 36). Dalam bukuSaya Berbelanja Maka Saya Ada Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumerisme, Soedjatmiko (2008) menyatakan, seturut perkembangan revolusi industri, orientasi produksi adalah menghasilkan barang secara kuantitas sehingga ada istilah produksi massal. Produksi massal ditentukan oleh produsen. Pada masa sekarang, memproduksi ditentukan oleh konsumen. Apa yang diproduksi lebih ditentukan oleh apa yang ingin dikonsumsi. Manusia merupakan makhluk yang bebas untuk mengonsumsi apapun. Melalui iklan manusia ditawari apa yang dibutuhkan dan apa yang diharapkan sehingga terjadi perubahan “wants” berubah menjadi “needs”, yang awalnya berbentuk keinginan berubah menjadi kebutuhan. Kebebasan manusia untuk mengonsumsi apa saja mengakibatkan konsumsi sebagai bentuk identitas diri. Istilah yang disebut Haryanto Soedjatmiko
147
“semakin aku mengonsumsi, semakin nyatalah jati diriku”. Konsumerisme menjadi makna baru yaitu sebagai gaya hidup. Keunggulan konsumerisme sebagai gaya hidup yaitu tidak memutlakkan kemampuan membeli seseorang pada masa sekarang, manusia dapat mengonsumsi melalui bentuk kredit. Kelebihan dari konsumerisme yaitu menawarkan kepada konsumen berbagai kesempatan dan pengalaman. Sebelumnya konsumen belum menikmati bahkan belum mengenal sesuatu objek tetapi dengan konsumerisme, manusia berkesempatan untuk memilikinya. Di pihak lain konsumen digiring ke arah tujuan yang telah ditentukan yaitu kepentingan kapitalis. Kondisi ini oleh Soedjatmiko disebut paradoks konsumsi. Dalam masyarakat kapitalis, kebaharuan sangat diperlukan untuk mendefenisikan status sosial dalam masyarakat. Untuk itu suplai benda-benda baru, mode baru, perebutan benda-benda bermerek sangat diperlukan. Kelas bawah berlomba mengejar secara terus-menerus kelompok masyarakat atas, sedangkan masyarakat kelompok atas akan terus menginvestasikan barang-barang baru dalam upaya memapankan kembali jarak masyarakat yang sudah ada sebelumnya (Featherstone, 2008: 43). Kondisi yang berlomba-lomba untuk mengonsumsi benda-benda baru mengakibatkan posisi kelas bawah semakin jauh jaraknya dengan kelas atas. Kelas bawah berusaha mengejar kelas atas, sedangkan kelas atas berusaha menjauhkan jarak dari kelas bawah. Seperti yang diutarakan Piliang (2011: 128) bersamaan dengan berkembangbiaknya kapital, berkembang biak pula getarangetaran libido yang dihasilkan. Nilai guna barang dihubungkan dengan mesin
148
hasrat, tidak untuk sekedar membebaskan hasrat tersebut, akan tetapi untuk menciptakan hasrat baru lewat mesin hasrat di dalam pasar bebas, yang menuntut pemuasan selanjutnya yang tanpa akhir. Agar hasrat tetap terbangun, kaum kapital memanjakan konsumen dengan majalah-majalah budaya-konsumen, surat-surat kabar, buku-buku, program televisi dan radio yang menekankan perbaikan diri, transformasi pribadi, bagaimana untuk mengelola hak milik, bagaimana untuk membangun gaya hidup, dll. Untuk menyampaikan ideologi kaum kapitalis ini menurut Bourdieu (dalam Featherstone, 2008: 43) perlu ada perantara budaya baru, yaitu mereka yang terlibat dalam bidang media, desain, mode, periklanan, dan dalam berbagai bidang pekerjaan informasi, mereka yang pekerjaannya memberikan pelayanan dan produksi, pemasaran serta pengembangbiakan benda-benda simbolik. Peran media massa dalam praktik upacara perkawinan Batak Toba sangat besar sekali. Informasi-informasi yang disediakan kaum kapitalis melalui iklaniklan mengakibatkan budaya konsumerisme. Iklan-iklan yang mendominasi pelaksanaan upacara perkawinan terlihat dalam hal:katering, salon kecantikan pengantin bersama dengan mobil pengantin dan bunga hias, sound sistem, musik dengan penyanyi, tempat pelaksanaan upacara perkawinan, dan lain-lain. Untuk mendapatkan informasi yang cukup lengkap, kaum kapitalis menyediakan berbentuk majalah konsumen, surat kabar, buku-buku, iklan di radio, iklan di televisi, dan informasi dari mulut ke mulut. Kapitalis menawarkan pilihan-pilihan dengan sistem paket. Konsumen terperangkap dengan ideologi kapitalisme yaitu mengonsumsi produk kaum kapitalis dengan prinsip perbedaan;
149
penampilan, gaya, gaya hidup yang selalu dibuat berubah dengan tempo yang semakin tinggi (Piliang, 2011: 416). Komunitas Batak Tobasemakin konsumeris dalam melaksanakan upacara adat perkawinan akibat dukungan media massa. Media massa mempublikasikan produk-produk kapitalis yang tersedia di Kota Denpasar. Kota Denpasar sebagai kota dunia memberi peluang yang cukup besar bagi komunitas Batak Toba untuk mengkonsumsi objek yang ditawarkan. Seperti yang dikatakan Abdullah (2010: 36), setiap orang dalam kelompok berusaha untuk mencari nilai tambah (value added) dengan cara mengkonsumsi barang-barang yang berbeda dengan orang lain, hal ini lebih banyak terdapat pada masyarakat perkotaan. Kota Denpasar yang dipenuhi dengan objek-objek konsumsi didukung oleh
media
massa
mengakibatkan
komunitas
Batak
Toba
berperilaku
konsumerisme. Perilaku konsumerisme menjadi budaya komunitas Batak Toba dalam upacara perkawinan salah satunya
diakibatkan hasil konstruksi media
massa. Media massa menjadi sumber rujukan bagi komunitas Batak Toba di Kota Denpasar
untuk
membuat
pilihan-pilihan
konsumsi
demi
menunjukkan
identitasnya.
6.5
Kurangnya Pemahaman Tentang Makna Upacara Perkawinan Batak Toba Upacara perkawinan Batak Toba merupakan hal yang sangat penting
karena melalui upacara ini seseorang boleh memasuki adat dalihan na tolu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada Bab I dan Bab V. Melakukan upacara
150
perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk masuk ke dalam dalihan na tolu. Masuk menjadi anggota dalihan na tolu merupakan cita-cita setiap orang Batak sehingga dirinya dapat disebut sebagai orang Batak yang sempurna secara adat. Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar secara umum dilakukan dengan prinsip ikut-ikutan. Seperti penuturan Bonar, salah seorang keluarga yang baru melangsungkan upacara perkawinan anaknya. menurut penuturan Bonar, dia melaksanakan itu dengan prinsip: “Eme na masak digagat ursa, ia i na masa, ba ima ni ula. Molo so niihuthon na masa songon na binahen ni dongan, didok iba paasing-asingkon. Anggo didok rohangku hian ndang pola songon i bahenon, alai angka dongan tubu mandok songon i… niihuthon ma. Iba hurang mangantusi do di adat, jadi pinasahat ma sude tu angka dongan tubu. Boha didok nasida, iba selalu manolopi ma.”(Melakukan sesuatu karena orang lain sudah melakukan demikian. Kalau tidak diikuti, malu disebut ketinggalan zaman. Kalau menurut saya bukan begini yang dilaksanakan,tetapi para dongan tubu mengatakan demikian…kita ikut aja. Saya kurang mengerti adat, sehingga seluruh pelaksanaan upacara ini kita serahkan kepada dongan tubu. bagaimana baiknya menurut mereka, saya menyetujui aja).(wawancara, 18 Desember 2014). Penuturan ini menunjukkan bahwa Bonar melakukan bentuk upacara adat seperti yang sudah dilakukannya hanya untuk menghindari rasa malu. Mengapa dia lakukan begitu, apa tujuannya, dia sendiri tidak mengerti namun tetap dilakukannya. Prinsip melakukan sesuatu karena ikut-ikutan atau kekurang pahaman sering terjadi dalam pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba sehingga mengakibatkan konsumerisme. Komunitas Batak Toba melakukannya tidak paham akan makna yang dilakukannya serta relevansinya dengan upacara perkawinan. Mereka melakukannya disebabkan manusia sekitar melakukan hal
151
yang demikian. Upacara perkawinan dianggap pemberian(given) bukan hasil konstruksi sehingga untuk mempertanyakan kebiasaan menjadi hal yang tabu. Praktik melaksanakan sesuatu atas dasar ketidakpahaman sama halnya dengan melakukan pekerjaan yang sia-sia. Mereka melakukan hanya sebatas kulit luarnya saja atau lebih populer sebagai gaya hidup dan bukan esensi dari pada upacara perkawinan itu sendiri. Akibatnya komunitas Batak Toba jatuh ke dalam budaya konsumerisme. Menurut Piliang (2011: 416), budaya konsumerisme adalah budaya konsumsi yang ditopang oleh penciptaan diferensi secara terus menerus lewat penggunaan objek-objek komoditi. Objek yang dikonsumsi didorong oleh logika hasrat dan keinginan bukan berdasarkan kebutuhan seperti terlihat pada gambar 6.9. Dalam budaya konsumerisme diciptakan rasa ketidakpuasan abadi sehingga manusia dikonstruksi akan perasaan yang selalu kurang, tidak lengkap akan kepemilikan objek sehingga manusia selalu didorong menjadi masyarakat konsumer.
152
Gambar 6.9 Suasana ruangan restoran Hongkong Garden yang digunakan tempat melangsungkan upacara perkawinan (Dok. Mangihut Siregar, 2014) Masyarakat konsumer menurut Piliang (2011) adalah masyarakat tontonan, yaitu masyarakat yang ingin selalu mempertontonkan penampilannya secara narsistik kepada orang lain. Dengan menunjukkan penampilannya, manusia menemukan eksistensinya di tengah masyarakat. Kehidupan manusia dikondisikan agar selalu berpindah dari satu hasrat ke hasrat yang lain. Manusia dikonstruksi untuk mengikuti arus produksi dan reproduksi hasrat dengan mengkonsumsi tanda, citra, dan benda-benda yang dimodifikasi secara terus menerus. Komunitas Batak ingin mempertontonkan praktik upacara perkawinan yang dia lakukan demi menemukan eksistensinya. Selain sebagai masyarakat tontonan, mereka juga ingin menonton orang lain untuk mengetahui hal yang baru dipertontonkan. Mereka menonton orang lain tanpa mengerti mengapa orang lain
153
tersebut mengonsumsi objek yang baru ditonton. Dari tontonan tersebut mereka menirunya dan mempertontonkannya kepada yang lain tanpa mengerti apa makna dari yang dipertontonkan. Ketidakmengertian akan hal yang baru mereka tonton dan mereka tiru lalu dipertontonkan kepada orang lain. Kebaharuan perlu diketahui untuk menunjukkan eksistensi diri. Keinginan menonton dan ditonton mengakibatkan pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba semakin hari semakin konsumerisme.
6.6
Kurangnya Transmisi Budaya kepada Generasi Muda Transmisi budaya adalah penyebaran atau pewarisan pesan dari satu
generasi ke generasi berikutnya secara estafet. Transmisi budaya merupakan cara manusia untuk menjaga budayanya sehingga tetap lestari. Pewarisan budaya ini bukan sekedar menyampaikan atau memberikan sesuatu yang berbentuk material, tetapi jauh lebih penting adalah menyampaikan nilai-nilai yang dianggap terbaik dan menjadi pedoman yang baku dalam suatu masyarakat. Untuk melakukan transmisi budaya, masyarakat kuno secara umum melakukannya dengan bahasa lisan, sedangkan dengan tulisan sangat terbatas sekali. Menurut Abdullah (2009: 58) pada kehidupan sekarang ini sistem nilai tradisional mulai digantikan oleh sistem nilai modern sehingga sistem referensi tidak lagi berkiblat pada tradisi melainkan nilai-nilai modernitas dengan logika yang berbeda. Nilai tradisional yang ada di masyarakat sebelumnya digantikan oleh tradisi dalam TV.
154
Hilangnya tradisi masyarakat menurut Abdullah dapat terjadi karena tiga hal yang saling berkaitan: (1). Proses transformasi keluarga tradisional ke modern dengan nilai-nilai dan hubungan-hubungan sosial yang berubah. Hubungan emosional seseorang terganti dengan kehadiran media dan barang-barang elektronik, sehingga anak bukan lagi pewaris tradisi melainkan wakil dari sebuah tradisi yang jauh lebih besar yaitu alat kekuasaan baru yang mengendalikan sistem sosial dan moral; (2). Berubahnya tata nilai dalam masyarakat di mana kehidupan bukan hanya melanjutkan naluri masa lalu, tetapi menjadi arena negosiasi berbagai tata nilai yang tidak hanya lokal, nasional tetapi juga bersifat global; (3). Lemahnya peran pusat-pusat kebudayaan sebagai pengendali dan pewaris sistem nilai. Pusat-pusat kebudayaan itu termasuk institusi adat dan keagamaan. Seperti penuturan Bonar, semua anaknya yang sudah lahir dan besar di Kota Denpasar tidak suka untuk mengikuti upacara perkawinan Batak Toba. Alasan anak-anaknya tidak suka mengikuti upacara perkawinan:
“Bosan kalau
ikut ke pesta, dari pagi sampai malam itu..itu saja. Sudah bahasanya kita ngak ngerti,…tidak efisien, pemborosan dan membosankan”. (Wawancara, 27 Desember 2014). Penuturan ini memperlihatkan bahwa kalangan muda komunitas Batak Toba kurang tertarik akan pelaksanaan upacara perkawinan. Mereka menginginkan yang efisien baik dari segi ekonomi apalagi dari segi waktu. Upacara perkawinan yang dilakukan selama ini mereka pandang pemborosan. Mereka tidak mengerti makna-makna yang terkandung dalam upacara tersebut karena diperankan dalam bahasa daerah.
155
Bahasa seperti yang dikemukakan Barker (2004: 171) adalah alat untuk mengerti konsep kedirian dan identitas seseorang. Manusia belajar menggunakan bahasa yang telah digunakan sebelumnya dalam konsteks hubungan sosial dengan orang lain. Seseorang terbentuk sebagai individu dalam masyarakat melalui bahasa yang dimiliki secara bersama. Pengetahuan yang kurang dengan bahasa daerah menjadikan para pemuda Batak Toba yang lahir di kota tidak tertarik untuk mewarisi upacara perkawinan Batak Toba. Mereka mau mengikuti upacara perkawinan hanya sekedar melihat hiburan yang disuguhkan para artis dan juga keindahan-keindahan yang tersedia dalam upacara tersebut.Para pemuda Batak terlena dengan keterpesonaan hiburan, kemeriahan acara tanpa mengerti makna upacara perkawinan itu sendiri. Selain pengetahuan bahasa yang kurang, gaya hidup para pemuda sudah dipengaruhi hidup di kota. Hidup di kota dipenuhi dengan informasi digital sehingga komunikasi antar manusia tidak lagi berlangsung secara alamiah tetapi lewat mediasi teknologi digital. Interaksi secara tatap muka diganti dengan interaksi yang diperantarai oleh media seperti komputer, internet dan telepon seluler. Memori alamiah pikiran seperti rasa (sense), perasaan (feeling) sekarang diambil alih oleh komputer, mesin pengingat, catatan elektronik, atau agenda digital (Piliang, 2011: 231). Manusia kota sebagaimana yang diutarakan Piliang, hidup dalam skala global. Manusia kota global mempunyai ciri-ciri: (1). Manusia ekonomi, artinya segala hubungan diukur berdasarkan prinsip kalkulasi ekonomi; (2). Manusia individualis, yaitu yang mementingkan ego dari kolektivitas; (3). Manusia
156
kecepatan, dunia kehidupan dikuasai oleh waktu dan kecepatan; (4). Manusia Tipe-A
yaitu,
manusia
yang
memperpendek
durasi
kehidupan
dan
menggabungkan beberapa unsurnya menjadi satu; (5). Manusia digital, yaitu manusia yang mengurangi komunikasi face to face tetapi cenderung bersifat elektronis dan digital; (6). Manusia penyendiri, yaitu manusia yang mengalami kesendirian di tengah keramaian karena tidak berdialog dengan manusia lain; (7). Manusia kebendaan, yaitu manusia yang dikuasai oleh materi; (8). Manusia tanda, kepemilikan objek sebagai tanda mendefenisikan status sosial seseorang; (9). Manusia citraan, manusia kota berlomba-lomba menjadi citraan untuk menemukan eksistensinya; dan (10). Manusia informasi, manusia di kota sangat menggantungkan diri pada keberadaan informasi baik radio, TV, dan internet. Pemuda komunitas Batak yang tinggal di Kota Denpasar menjadi pemilik budaya kota global. Mereka tidak menginginkan suatu kegiatan
yang tidak
menguntungkan secara ekonomi, sehingga segala sesuatu mempunyai hitungan yang sangat rinci. Praktik seperti ini sangat bertentangan dengan upacara perkawinan Batak Toba, sebab dalam upacara perkawinan tidak ada perhitungan secara ekonomi. Segala sesuatu dilakukan secara bersama dan peran masingmasing sesuai dengan prinsip dalam dalihan na tolu. Akibat kekurangtertarikan para pemuda Batak untuk mempelajari adatnya mengakibatkan transmisi budaya seakan terputus. Keterputusan transmisi ini sering terjadi dalam pelaksanaan upacara saat sekarang di mana pemeran dari upacara tersebut diambil dari orang lain. Orang lain yang dimaksudkan adalah orang yang tidak punya hubungan dalam upacara tersebut, tetapi karena orang
157
yang sepatutnya memerankannya tidak mengetahuinya sehingga terpaksa diperankan orang lain. Contoh peran ini adalah parhata, yaitu orang yang mengatur prosesi upacara adat mulai dari awal sampai akhir.Peran parhata di daerah perkotaan sering digantikan orang yang tidak berkaitan dengan dalihan na tolu pemilik upacara perkawinan. Parhata terpaksa “dibeli”
untuk mengatur
pelaksanaan upacara adat agar dapat berjalan dengan baik. Kurangnya transmisi budaya ini berdampak pada konsumerisme karena para keluarga muda atau generasi penerus kurang mengetahui makna-makna upacara perkawinan tersebut. Para keluarga muda atau keluarga yang sudah lahir di kota melaksanakan upacara tersebut hanya dengan tujuan boleh masuk ke dalam dalihan na tolu. Pemahaman yang demikian mengakibatkan pelaksanaan upacara perkawinan dilakukan hanya dengan simbolisasi, asal-asalan, kesenangan tanpa mengetahui esensi upacara yang sebenarnya.
158
BAB VII IMPLIKASI KONSUMERISME DALAM UPACARA PERKAWINAN BATAK TOBA DI KOTA DENPASAR
Secara umum implikasi adalah akibat langsung atau konsekuensi dari sesuatu. Dalam hal ini, implikasi yang terjadidari konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar yaitu menguatnya individualisme, menguatnya materialisme, dan menguatnya globalisme.
7.1
Menguatnya Individualisme Individualisme merupakan sifat manusia yang melihat kepentingan
individu di atas kepentingan sosial. Manusia mementingkan keegoannya daripada kolektivitas, mencintai diri sendiri dibanding masyarakat. Semangat kolektivisme diganti dengan semangat individualisme (Piliang, 2011: 232). Semangat individualisme perlu ditunjukkan untuk memperjelas eksistensi seseorang dalam hidupnya. Dalam hidup individualisme, gaya hidup, selera, citra seseorang dipertontonkan melalui barang-barang konsumer untuk menemukan makna kehidupan. Individu dalam budaya konsumen menurut Featherstone (2008: 205) disadarkan dengan objek yang dikonsumsi. Kesadaran ini berlaku kepada semua kalangan baik kaum muda dan kaum tua; kaya dan miskin; laki-laki dan perempuan. Mereka mencari pengalaman baru dan yang terbaru dalam hidupnya yang harus dihidupi dan harus bekerja keras untuk menikmati, mengalami dan mengekspresikannya.
159
Perbedaan gaya hidup seseorang dapat diamati dari praktik selera akan objek yang dikonsumsi. Menurut Bourdieu (dalam Featherstone, 2008: 204) selera akan berbagai benda budaya berfungsi sebagai tanda kelas. Orang yang mempunyai banyak modal mempunyai selera yang berbeda dengan yang memiliki modal sedikit. Modal mempunyai peranan penting dalam selera konsumsi. Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dipengaruhi oleh banyaknya modal (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolis) yang dimiliki para pelaku. Semakin banyak modal yang dimiliki semakin tinggi selera konsumsi yang dilakukan. Seperti yang dilakukan Tulus sewaktu melangsungkan upacara perkawinan puterinya pada tanggal 25 April 2014. Menurut penuturan Tulus seperti yang sudah diuraikan pada Bab VI, mereka menghabiskan biaya sampai 3 milyar rupiah hanya untuk melakukan upacara perkawinan puterinya. Tulus mau menghabiskan dana sebesar itu dengan alasan: “Nunga sude mananda iba di Bali on, angka dongan pe godang do na di Jakarta, Papua, dohot na di bona pasogit. Sapala na marpesta ingkon las do roha ni angka na ginokhon. Jala…. ndang mungkin pilit-pilliton angka dongan, ingkon sude do nasida undangon.Anggo masalah biaya do …martupa doi muse, siluluan do hepeng.” (Saya sudah terkenal di Bali ini, teman-teman banyak di Jakarta, Papua, dan juga di kampung halaman. Prinsip saya, kalau melakukan pesta, para undangan harus puas. Kemudian …. Tidak mungkin para rekan-rekan dipilih-pilih, harus semua mereka kita undang. Kalau masalah biaya…pasti ada jalan keluarnya, uang ada kalau dicari). (wawancara, 12 Desember 2014). Ungkapan ini menunjukkan bahwa Tulus merupakan orang terkenal baik di kalangan komunitas Batak maupun para pejabat di Bali, Jakarta, Papua dan di daerah asalnya. Untuk menunjukkan kelasnya terhadap semua undangan, Tulus membuat gaya hidup sendiri.Tulus tidak memikirkan implikasi yang dilakukannya terhadap komunitas Batak Toba secara umum di Kota Denpasar. Dia hanya
160
memikirkan dirinya sendiri, karena dia mampu sehingga Tulus mengonsumsi secara berlebihan. Seperti yang dikatakan Featherstone (2008: 207), dalam budaya konsumen sifat individualis selalu dianjurkan. Sifat individualis ini perlu untuk melakukan diferensiasi, untuk mendorong permainan perbedaan dan akhirnya disahkan secara sosial. Gaya dan individualitas merefleksikan selera dan kelas seseorang dalam masyarakat. Individualisme perlu dilestarikan untuk mengejar perbedaan dengan individu lain dan juga kelompok lain. Dalam budaya konsumerisme seperti yang diutarakan Piliang (2011: 251) konsumsi bukan hanya sebagai lalu lintas kebudayaan benda, tetapi lebih dari situ konsumsi menjadi sebuah panggung sosial, yang di dalamnya terjadi perebutan makna-makna sosial dan perang posisi di antara masing-masing anggota yang terlibat. Tulus melakukan hal yang baru dan berbeda dari komunitas Batak umumnya
untuk
tetap
mempertahankan
posisi
terhormat
yang
sudah
disandangnya selama ini. Dia mengakumulasi modal yang sudah dimiliki (ekonomi dan sosial) dan mendapatkan penambahan modal budaya. Praktik upacara perkawinan yang dilakukan Tulus berimplikasi kepada upacara-upacara selanjutnya. Seperti yang dikatakan Veblen (dalam Wiedenhoft, 2012: 825), kelas atas menggunakan konsumsi berlebihan untuk membuat perbedaan dengan kelas di bawahnya sedangkan kelas bawah meniru konsumsi kelas yang di atasnya. Dorongan untuk meniru ini oleh Veblen mengakibatkan efek mengalir ke bawah. Kelas atas menjadi penentu konsumsi, kelas bawah berusaha mengejar konsumsi kelas atas. Kesamaan tidak tercapai karena kelas atas selalu memilih objek baru untuk membedakannya dengan kelas di bawahnya.
161
Pertarungan posisi melalui konsumsi bukan hanya terjadi dalam kelompok atau
kelas
tetapi
juga
dalam
masing-masing individu.
Masing-masing
mempertontonkan kebaharuan dan perbedaan dalam objek konsumsi. Kesamaan dan kebersamaan dihindari untuk menunjukkan identitasnya. Budaya individualis merupakan implikasi dari budaya konsumerisme. Budaya konsumerisme sangat berkaitan dengan tempat tinggal masyarakat yang ditempati. Pada masyarakat yang sangat tradisional belum mengenal budaya konsumerisme, namun masyarakat yang sudah dimasuki modernisasi apalagi yang tinggal di perkotaan, konsumerisme menjadi kebudayaan. Hal ini terjadi disebabkan karena di daerah perkotaan ruang-ruang atau fasilitas-fasilitas untuk konsumsi secara terus menerus dibangun. Para kaum kapitalis bersaing secara ketat untuk memajukan perusahaannya. Ujung tombak yang digunakan kapitalis yaitu iklan, teknologi kemasan, pameran, media massa, diferensiasi produk, dan lain-lain. Masyarakat konsumen menjadikan objek-objek konsumsi bukan sekedar memiliki manfaat (nilai guna) dan harga (nilai tukar) seperti yang dikatakan oleh Mark. Menurut Marx objek mempunyai dua nilai dasar yaitu, nilai guna (usevalue) dan nilai tukar (exchange-value).Nilai guna adalah nilai yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan kegunaan atau manfaat, setiap objek memiliki manfaat atau kegunaan bagi kepentingan manusia. Nilai tukar adalah nilai yang diberikan kepada obejk-objek produksi berdasarkan ukuran nilai gunanya. Dalam masyarakat kapitalis, menurut Marx, setiap objek adalah komoditas yang memiliki nilai guna dan nilai tukar.
162
Berpijak dari pendapat Marx, Baudrillard (dalam Hidayat, 2012: 61) berpendapat dua nilai yang dimiliki objek yaitu nilai guna dan nilai tukar sudah berganti menjadi nilai tanda dan nilai simbol. Melalui objek-objek atau komoditas-komoditas itu seseorang yang hidup dalam masyarakat konsumen menemukan makna dan eksistensi dirinya. Dengan demikian fungsi utama dari objek-objek konsumen bukan lagi hanya dalam kegunaan atau manfaat, tetapi lebih dari situ adalah nilai tanda atau nilai simbol yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup di berbagai media. Baudrillard menyatakan, bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai tanda dan nilai simbol, dan bukan karena kebutuhan atau hasrat mendapatkan kenikmatan. Dari pernyataan ini, Baudrillard bukan bermaksud menafikan pentingnya kebutuhan. Namun Baudrillard mau menekankan bahwa dalam masyarakat konsumen, konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan semata atau hasrat mendapat kenikmatan namun lebih dari fungsi itu adalah seperangkat hasrat untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan (Hidayat, 2012: 62). Seperti penuturan Lamhot sewaktu melaksanakan upacara perkawinan pada hari Sabtu, 29 Desember 2014 di hotel Inna Bali Beach. Lamhot sudah berkeluarga sekitar 20 tahun silam. Secara gereja, mereka sudah melaksanakan upacara perkawinan, namun dari sudut adat Batak Toba belum sah diterima sebagai anggota keluarga dalihan na tolu karena belum melangsungkan upacara adat perkawinan. Upacara perkawinanan secara agama mempunyai selang waktu
163
begitu lama dengan pelaksanaan upacara perkawinan secara adat karena ketidak sepakatan antara pihak keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Setelah adanya kesepakatan di antara kedua belah pihak (keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan), akhirnya upacara perkawinan diadakan pada hari Sabtu, 29 Nopember 2014. Biaya upacara perkawinan secara adat ditanggung oleh Lamhot dan dibantu oleh saudara-saudara dekatnya. Lamhot merupakan wirausahawan yang cukup berhasil sehingga dia sanggup untuk membiayai upacara perkawinannya. Sewaktu ditanyakan mengapa baru sekarang melangsungkan upacara perkawinan, jawaban Lamhot: “Selama ini ngak kepikir untuk urusan adat, kita kira.… kalau sudah selesai pemberkatan secara gereja, ya… sudah cukuplah. Ternyata utang adat sama hula-hula belum selesai. setiap kita mengikuti undangan orang Batak, teman-teman selalu menyinggung adat kita… kapan melangsungkan adat? ya…kadang minder juga kita. Sekarang pikiran kita sudah plonglah…. utang adat sudah beres.” (wawancara, 2 Januari 2015). Penuturan
Lamhot
menunjukkan
bahwa
sebenarnya
dia
tidak
begitu
menginginkan untuk melangsungkan upacara perkawinan secara adat. Namun kendala yang dihadapi dalam pergaulan sehari-hari sesama komunitas Batak Toba karena ketidakmasukan Lamhot dalam dalihan na tolu sehingga dengan terpaksa harus dilakukan upacara perkawinan tersebut. Satu-satunya cara untuk masuk dalam dalihan na tolu seperti yang diutarakan Siahaan (1982: 58), harus melangsungkan upacara perkawinan secara adat. Awalnya upacara perkawinan secara adat tidak begitu penting bagi Lamhot, namun pelaksanaannya dilakukan dengan cukup mewah. Kemewahan ini terlihat seperti yang sudah dijelaskan pada Bab V tentang upacara perkawinan Lamhot. Mereka mendatangkan artis tiga orang dari Jakarta ditambah M.C. total
164
biaya sudah Rp. 120.000.000,- hanya untuk penghibur. Biaya untuk makan 600 orang sebesar Rp. 150.000.000,-. Menurut penuturannya, total biaya yang dihabiskan pada upacara perkawinan tanggal 29 Nopember 2014 sebesar Rp. 480.000.000,Biaya yang dikeluarkan Lamhot untuk upacara perkawinannya sebesar Rp. 480.000.000,- seharusnya boleh lebih murah sebab ada beberapa urutan upacara tidak dilakukan lagi. Hilangnya beberapa urutan upacara disebabkan keluarga Lamhot sewaktu melakukan upacara perkawinan sudah lebih dahulu mempunyai anak (gabe) artinya bukan baru kawin tetapi sudah lama berkeluarga namun belum melakukan upacara adat. Dalam budaya Batak Toba, keluarga yang sudah lama berkeluarga
(gabe) upacara adatnya disebut pasahat sulang-sulang
pahompu. Sedangkan keluarga yang baru menikah dan langsung mengadakan upacara perkawinan secara adat tanpa terlebih dahulu memiliki anak disebut mangadati. Tahapan yang hilang dalam upacara pasahat sulang-sulang pahompu adalah, marhata sinamot yaitu membicarakan jumlah mahar yang akan diberikan pihak laki-laki ke pihak perempuan; marsibuhabuhai, yaitu acara makan bersama pada waktu pagi hari sambil berdoa di rumah keluarga perempuan sebelum upacara perkawinan dilakukan; paulak une yaitu keluarga laki-laki mendatangi pihak perempuan menyatakan bahwa puterinya sudah cocok sebagai isteri anaknya, tingkir tangga yaitu pihak keluarga perempuan mendatangi keluarga pihak laki-laki untuk mengenal rumah puterinya yang baru kawin. Keempat acara tersebut
(marhata
sinamot,
sibuhabuhai,
paulak
une,
dan
tingkir
165
tangga)memerlukan biaya yang cukup besar. Namun Lamhot tidak perlu melakukan keempat acara tersebut sebab dia sudah gabe(sudah punya anak) sebelum melangsungkan upacara perkawinan. Lamhot dalam melangsungkan upacara perkawinannya disebut pasahat sulang-sulang pahompu.
Acara pasahat
sulang-sulang pahompubiasanya
dilakukan secara sederhana dan dihadiri undangan yang tidak begitu banyak, namun Lamhot mengadakan upacara perkawinan tetap meriah. Berdasarkan hasil wawancara, Lamhot bersama isterinya melakukan dengan meriah dengan alasan: “Kami sangat senang sudah selesai pesta kawin, biaya yang habis itu bukan masalah. Uang gampang dicari….. yang penting kita sama seperti yang lain sebagai orang Batak penuh” (wawancara, 2 Januari 2015). Ungkapan Lamhot ini merupakan kepuasan hatinya setelah selesai melangsungkan upacara perkawinan secara adat. Dia tidak mempermasalahkan berapa pun biaya yang dihabiskan demi identitas dirinya sebagai orang Batak. Seperti yang diutarakan Baudrillard (dalam Piliang, 2012: 138) konsumsi dapat digunakan sebagai proses menggunakan atau mendekonstruksi tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek oleh para konsumer, dalam rangka menandai relasi-relasi sosial. Objek juga dapat menentukan status, prestise, dan simbol-simbol sosial tertentu bagi para pemakainya. Sama halnya dengan Lamhot, melangsungkan upacara perkawinan dengan istilah bahasa daerah pasahat sulang-sulang pahompu dilakukan dengan sangat mewah dan meriah. Hal ini untuk menunjukkan statusnya. Dia mengonsumsi objek-objek bukan sekedar menghabiskan nilai guna dan nilai utilitasnya, tetapi
166
juga untuk mengomunikasikan makna-makna tertentu. Sebagaimana yang disebutkan John Sturrock (dalam Piliang, 2012: 142), manusia menggunakan objek untuk mengomunikasikan/merepresentasikan/menandai/mengirim pesan. Dengan demikian manusia mengontrol objek sebagai alat dalam proses pertandaan dan komunikasi sosial. Lamhot menyadari betul upacara perkawinan yang dilakukan sudah melebihi dari yang biasa dilakukan komunitas Batak Toba di Kota Denpasar. Namun dia tetap melakukannya untuk menunjukkan gaya hidup, prestise, kemewahan dan status sosialnya seperti yang terlihat dalam gambar 7.1. Objek yang dikonsumsi bukan sekedar menandakan kegunaan, tetapi lebih dari kegunaan ada tanda prestise dan kemewahan.
Gambar 7.1 Tata rias pengantin (Dok. Mangihut Siregar, 2014)
167
Salah satu objek yang digunakan lamhot sebagai bukti prestise dan kemewahan yaitu rias pengantin. Secara umum, komunitas Batak Toba yang melangsungkan upacara adat perkawinan bagi yang sudah mempunyai anak (gabe) biasanya tata rias pengantin dilakukan secara sederhana.Berbeda dengan biasanya, Lamhot mendandani isterinya lebih dari yang baru menikah. Tata rias yang dilakukan isterinya dengan mendandani kepalanya penuh dengan bunga dan bukan asal bunga, tetapi dengan bunga melati. Seperti yang diutarakan Piliang (2012: 248), sifat tanda dinamis, bergerak, tidak mapan dan tidak konvensional. Tidak semua tanda mengikuti konvensi baku, tidak semua makna terstruktur, dan tidak semua pikiran patuh pada struktur. Tanda selain terputus dari aturan dan struktur, juga terputus dari realitas itu sendiri, dan bergerak di dalam ruang-ruang hiper-realitas. Tata rias pengantin bukan hanya sebagai keindahan, lebih dari tanda tersebut ada tanda yang lain yaitu gengsi. Demikian juga tentang tanda tidak memiliki makna tetap; justru makna dibangun di dalam hubungan dua sisi antara penutur dan penyimak, penyampai dan penerima. Makna tidak dapat dijamin; selalu ambivalen dan ambigu. Makna bukan produk bahasa pasti yang telah berhenti (Bakhtin, dalam Barker, 2004: 75). Walaupun makna tidak dapat dijamin namun makna menunjukkan sesuatu ada artinya bagi orang yang menggunakannya. Makna sebagai pemandu untuk tindakan sebagai penjelasan dan pembenaran akan tindakan tersebut (Barker, 2014: 168).
168
Tindakan yang dilakukan Lamhot dalam pelaksanaan upacara perkawinan dengan kemewahan dan kemeriahan mempunyai makna tersendiri. Dia menyadari yang dilakukannya sudah melebihi (hiper) dari yang seharusnya. Melebihi mempunyai arti yang sama dengan konsumerisme. Konsumerisme dilakukan Lamhot seperti yang dituturkannya di atas untuk mengikuti gaya komunitas Batak Toba di Kota Denpasar. Gaya hidup komunitas Batak Toba di Kota Denpasar dalam melaksanakan upacara perkawinan melebihi dari kepatutan. Mereka menyadari hal itu, namun tetap melakukannya demi gengsi. Konsumerisme menjadi budaya bagi komunitas Batak Toba yang dipraktekkan dalam upacara perkawinan. Praktek budaya konsumerisme dimaknai sebagai gengsi.
7.2
Menguatnya Materialisme Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu
dalam kehidupan ini diukur dengan materi atau kebendaan semata. Mereka hanya mementingkan kebendaan, misalnya uang, harta, dsb. Sifat yang materialis ini lebih umum dijumpai pada masyarakat di kota karena wajah kota pada masa sekarang cenderung mengglobal. Artinya, ada kecenderungan homogenisasi wajah kota-kota dunia di mana semakin tampak keseragaman, kesamaan, keidentikan yang menggiring homogenisasi budaya serta penjajahan budaya misalnya, McDonaldisasi, cocacolanisasi, dll. (Piliang, 2011: 232). Menurut Piliang, salah satu ciri dari manusia kota adalah materialis di mana dalam membangun kota didasarkan atas prinsip ekonomi, manusia dikuasai
169
oleh materi. Objek menguasai subjek, dan eksistensi manusia ditentukan oleh objek. Manusia mencari eksistensinya lewat kepemilikan objek-objek (status, prestise, kelas) dengan pola dan tempo pengaturan tertentu, dan hal ini merupakan hakekat dari budaya konsumerisme. Budaya konsumerisme seperti yang diutarakan Piliang (2004: 296) yaitu budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan perbedaan secara terusmenerus lewat penggunaan citra, tanda, dan makna simbolik dalam proses konsumsi. Budaya konsumerisme membuat manusia mementingkan keinginan (want) dari pada kebutuhan (need). Materi atau barang-barang diproduksi sebagai cara untuk mengeksplorasi dorongan-dorongan hasrat pada diri manusia yang tanpa batas. Menurut Piliang, salah satu dasar dari produktivitas hasrat di dalam sistem kapitalisme global adalah kondisi yang diciptakannya sehingga hasrat seolah-olah menjadi kebutuhan. Ada upaya yang secara terus-menerus menjadikan hasrat menjadi kebutuhan dengan cara menciptakan kebutuhan yang bukan esensial menjadi esensial. Kaum kapitalis menciptakan perasaan kurang atau tidak sempurna kepada setiap orang, manusia dikonstruksi untuk mengonsumsi objek yang diproduksi kapitalis, sehingga produksi kapitalis dapat berlanjut dengan baik. Kapitalis menjalankan misinya dengan cara memproduksi mesin hasrat, di mana mereka menciptakan berbagai macam keinginan dan ketidakpuasan yang abadi. Ketidakpuasan merupakan fundasi dari konsumerisme dan manusia mencari makna kehidupannya melalui barang-barang konsumer. Melalui objek
170
atau materi yang dikonsumsi manusia memperlihatkan eksistensinya terhadap manusia lain. Komunitas Batak Toba yang tinggal di Kota Denpasar, sangat konsisten untuk tetap melangsungkan upacara perkawinan secara adat. Hal ini tetap mereka lakukan sebagai proses untuk memasuki dalihan na tolu seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Praktik pelaksanaan upacara perkawinan yang dipenuhi dengan konsumerisme berimplikasi terhadap sifat yang materialisme. Kesuksesan suatu upacara diukur dengan kemewahan dan kemeriahan sedangkan esensi upacara kurang diperhatikan. Seperti penuturan Tambunan selaku ketua IKBB (Ikatan Keluarga Batak di Bali), praktik upacara perkawinankomunitas Batak di Bali sudah jauh dari makna yang sesungguhnya. Mereka melaksanakannya atas kesenangan semata, tidak mengerti akan apa yang dilakukan. Hal ini dapat dilihat seperti penuturannya di bawah ini: “Ai so niantusan be adat di Denpasar on, sude nunga sibahen baenna, asal dipambahen na ma adat i, na penting mangadati, manortori, marende i, na so adong hubunganna tu adat i.Lomona be do mambahen pestana…dang boi oraan i, soadong dope kesepakatan ni hita Batak taringot tu adatta asa sarupa nian.” (Pelaksanaan upacara adat di Denpasar sudah kacau, masing-masing melakukannya sesuka hatinya. Adat dilangsungkan secara asal-asalan, ada yang berdansa, bernyanyi yang tidak ada hubungannya dengan upacara adat, yang penting upacara adat dilakukan. Masing-masing membuat pestanya sesuka hati…hal itu tidak bisa dilarang, karena tidak ada kesepakatan bentuk adat yang sama di daerah ini. (wawancara, 20 Desember 2014). Pernyataan ini menunjukkan bahwa esensi upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar sudah bergeser dari aslinya. Pergeseran ini terjadi karena budaya konsumerisme yang sudah menyatu dengan praktik upacara perkawinan
171
BatakToba. Seperti yang dikatakan Abdullah (2010: 36), pada masyarakat perkotaan setiap orang dalam kelompok berusaha untuk mencari nilai tambah (value Added) dengan cara mengonsumsi barang-barang yang berbeda dengan orang lain. Perilaku mengonsumsi barang-barang yang berbeda dengan orang lain berdampak kepada budaya konsumerisme. Budaya konsumerisme merupakan budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi secara terus menerus lewat penggunaan citra, tanda, dan makna simbolik. Budaya konsumerisme yang terjadi dalam praktek upacara perkawinan Batak Toba dapat dilihat dari: jumlah orang yang diundang, semakin banyak orang yang diundang maka semakin besar juga materi yang dihabiskan; tempat upacara adat, semakin bergengsi tempat upacara semakin bergengsi juga orang yang melakukan; kemewahan, semakin mewah upacara yang dilakukan semakin tinggi citra yang didapat para pelaku.Praktik upacara perkawinan diukur dari objek yang dihabiskan dan berapa uang yang digunakan. Pandangan-pandangan yang demikian berimplikasi terhadap sifat materialisme. Sifat materialisme berkaitan dengan persaingan yang timbul dalam praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar. Persaingan merupakan hal yang wajar dan sangat positif di dalam kehidupan global. Melalui persaingan dalam hal bisnis kaum kapitalis menciptakan objek baru. Kebaharuan menjadi hal yang selalu dikejar kaum kapitalis untuk menguasai keinginan konsumen. Konsumen menjadi subjek yang tinggal diam menerima keinginan-keinginan yang disuguhkan kapitalis.
172
Kebaharuan dikonstruksi kaum kapitalis untuk mensukseskan ideologinya, dan di dalamnya persaingan sangat mendukung terciptanya kebaharuan. Kebaharuan ditawarkan kepada masyarakat setiap saat melalui iklan. Iklan sangat efektif dalam mempengaruhi persepsi orang-orang tentang sebuah produk. Kaum kapitalis mempertontonkan seakan-akan dirinya malaikat yang baik hati dan sangat dermawan. Mereka ada untuk memenuhi apa yang dibutuhkan konsumen, konsumen diteror dengan ketakutan: takut ketinggalan zaman, takut kelihatan tua, dan lain-lain yang tidak menyenangkan. Iklan menjadi kekerasan simbolik seperti yang diistilahkan Bourdieu, yaitu kekerasan yang halus dan tak tampak di mana di dalamnya penuh dengan kebohongan, kekeliruan dan menyesatkan. Persaingan sangat menguntungkan kaum kapitalis sedangkan bagi konsumen persaingan menjadikan hidupnya yang semakin konsumeris. Konsumen berlomba meraih kebaharuan dan nilai yang lebih dari pesaingnya. Nilai lebih dan kebaharuan dari saingannya merupakan tolok ukur dalam budaya konsumerisme. Hampir sama dengan nilai lebih dan kebaharuan seperti yang diutarakan di atas, persaingan pada komunitas Batak Toba dapat dijumpai dalam praktek adat istiadatnya. Seperti yang diutarakan Pasaribu (2011: 252) dalam hal pembangunan tugu, alasan komunitas Batak umumnya untuk membangun tugu adalah alat pemersatu kelompok, marga atau cabang marga. Jika benar hal ini menjadi tujuan adalah sangat positif, namun yang menjadi pertanyaan, apakah membangun tugu harus dengan megah? Apakah tidak ada cara yang lain untuk mempersatukan
173
kelompok? Menurut Pasaribu di dalam kegiatan pembangunan tugu bukan hanya bertujuan untuk mempersatukan, namun juga muncul unsur persaingan. Persaingan dalam komunitas Batak disebut dengan toal. Toal dimaknai sangat negatif karena dilakukan bukan berdasarkan kemampuan dan keikhlasan melainkan keterpaksaan dan kecongkakan. Seperti yang diutarakan Pasaribu dalam pembangunan tugu unsur toal juga muncul. Para anggota yang masuk dalam kelompok tugu tersebut lebih banyak yang harus berhutang demi persaingan. Persaingan harus dimenangkan salah satunya dengan cara kecongkakan. Praktik upacara perkawinan di Kota Denpasar juga dipenuhi dengan persaingan. Persaingan ini dapat terjadi antara sesama saudara dekat, saudara semarga, dan juga antara marga yang berbeda. Persaingan terjadi akibat pertaruhan harga diri. Seperti penuturan orang tua Susan: “Molo marulaon iba, ingkon sadenggan-dengan na do baenon. Molo dang boi dumenggan sian dongan, minimal songon na binahen ni dongan. Molo binahen di toru ni dongan, lea roha ni halak tu iba. Molo tung pe pogos iba, ba...unang ma dijongkal halak, molo dang boi dipuji…ba unang ma dihata halak.” (Kalau melakukan upacara adat, harus dilakukan sebaikbaiknya. Apabila tidak bisa lebih baik, minimal sama dengan yang sudah dilakukan teman. Jika dilakukan lebih sederhana dari yang sudah umum, orang memandang kita lebih rendah. Kalaupun saya miskin, ya.. jangan sampai dijengkal orang, kalau tidak bisa dipuji…ya, jangan sampai dicemehkan).(wawancara, 16 Desember 2014). Penuturan ini menggambarkan bahwa orang tua Susan melakukan upacara perkawinan puterinya untuk menjaga harga diri. Seperti yang dikatakan Bourdieu (dalam Lubis, 2014: 108), persaingan dalam ranah bertujuan untuk memastikan perbedaan dan juga status aktor sosial yang digunakan sebagai sumber kekuasaan simbolis. Melalui upacara perkawinan, orang tua Susan membuat tanda, simbol,
174
ide, dan nilai, yang digunakan sebagai interaksi antara individu dan masyarakat. Harga diri harus dipertaruhkan, jangan sempat dipandang rendah hanya karena pelaksanaan adat. Hal ini sangat berkaitan dengan pandangan bahwa semua orang Batak adalah raja dan anak raja. Gelar raja yang disandang semua orang Batak: raja ni hula-hula, yaitu semua kelompok yang masuk kepada pemberi perempuan; raja ni dongan tubu, yaitu kelompok yang masuk dalam satu marga; raja ni boru, yaitu kelompok penerima isteri, raja ni dongan sahuta, yaitu kelompok masyarakat sekitar atau tetangga; dan raja ni parhobas, yaitu kelompok yang mengerjakan hal-hal yang diperlukan dalam upacara adat. Jabatan raja yang melekat pada semua orang Batak berimplikasi kepada persaingan di antara masing-masing raja. Persaingan itu bukan untuk mencari yang lebih baik, tetapi yang timbul adalah kecongkakan. Posisi hula-hula, boru dan dongan tubu mempunyai posisi yang berbeda, di mana hula-hula lebih tinggi dan boru lebih rendah seperti yang sudah dijelaskan dalam Bab V. Posisi itu akan bertukar artinya tidak ada satu keluarga yang selalu menempati posisi hula-hula, boru, dan dongan tubu secara terus menerus dalam setiap upacara adat. Pertukaran posisi itu tergantung dari situasi dan kondisi upacara yang dilaksanakan. Sebutan raja dan anak raja yang dimiliki semua komunitas Batak Toba berimplikasi kepada persaingan yang sangat ketat di antara masing-masing kelompok.
Persaingan
dalam
kehidupan
sehari-hari
tetap
terjadi
demi
menginternalisasikan gelar raja yang disandangnya. Persaingan dimaknai bukan sekedar
untuk
dimenangkan
tetapi
juga
harus
dipertontonkan.
Untuk
175
mempertontonkan persaingan tersebut komunitas Batak Toba melakukannya di luar kemampuannya dengan toal atau kecongkakan hati. Sehingga komunitas Batak Toba memaknai persaingan sebagai kecongkakan.
7.3
Menguatnya Globalisme Kehidupan konsumeris selalu mencari objek konsumsi yang baru dan yang
berbeda. Budaya konsumerisme menjadi arena untuk pembentukan citra, status sosial, gaya hidup, dan cara diferensiasi status sosial yang berbeda-beda. Barangbarang konsumer menjadi cermin tempat para konsumer untuk menemukan makna kehidupan (Piliang, 2011: 152). Makna kehidupan manusia bukan diukur melalui relasi dengan sesama manusia melainkan dari kepemilikan dan penggunaan benda-benda dan gaya hidup. Benda yang dikonsumsi bukan dilihat berdasarkan hanya nilai guna melainkan nilai tanda yang ada di dalam objek tersebut. Untuk menemukan objek yang baru dan berbeda, konsumer mencari melalui media. Media sudah siap menunggu para pasien konsumer dengan berbagai macam resep yang tertera di dalam media. Media melalui iklannya sudah dipenuhi ideologi kapitalis yang mencari keuntungan dengan berbagai cara dan berimplikasi kepada konsumer yang larut dalam hegemoni kapitalis. Kaum kapitalis berhasil melakukan misinya yang didukung oleh informasi. Dalam masyarakat informasi, barang-barang mewah melimpah di mana nilai guna dan nilai tukar digantikan oleh nilai tanda dan nilai simbolik. Seperti yang diutarakan Baudrillard (dalam Lubis, 2014: 179), objek bukan saja untuk
176
dikonsumsi, akan tetapi diproduksi lebih banyak untuk menandakan status, bukan sebagai kebutuhan. Dengan demikian objek menjadi tanda dan nilai kebutuhan menjadi ditinggalkan. Nilai tanda dan nilai simbolik banyak dimiliki oleh masyarakat Barat dan Amerika, dan masyarakat yang berada di luarnya mengadaptasikan diri untuk memiliki objek dari kedua benua tersebut. Sikap mengadaptasikan diri terhadap objek konsumsi orang luar (Barat dan Amerika) menjadikan paham globalisme terhadap masyarakat di luar kedua benua tersebut. Globalisme dilakukan untuk memenuhi hasrat akan budaya konsumerisme. Konsumen tidak puas akan produk yang diproduksi kelompoknya sehingga dirinya selalu mencari yang berbeda dan yang terbaru dari kelompok orang lain. Sikap untuk mencari yang berbeda dan terbaru didukung oleh faktor globalisasi. Globalisasi seperti yang disebut Robertson (dalam Boli, 2012: 551) yaitu mengacu pada penempatan dunia dan intensifikasi kesadaran akan dunia ini sebagai satu kesatuan utuh. Dunia sudah menjadi satu kerangka acuan bagi aktoraktor sosial. Aktor lokal mengadaptasi yang universal untuk memenuhi keperluan hidupnya. Globalisasi menciptakan setiap tempat sama dengan tempat lainnya hasilnya terbentuk homogenisasi budaya. Homogenisasi budaya merupakan implikasi dari budaya konsumerisme. Para konsumer mengadaptasi dirinya dengan budaya luar untuk mendapatkan nilai tanda dan nilai simbolik. Nilai tanda dan nilai simbolik banyak dimiliki masyarakat Eropah dan Amerika sehingga masyarakat lain mengadaptasi budaya tersebut. Sama halnya dengan komunitas Batak Toba di Kota Denpasar juga
177
mengadaptasi budaya Barat menjadi miliknya. Pengadaptasian budaya Barat ini dapat dilihat dari: tempat upacara perkawinan secara agama dilangsungkan di kapel; upacara perkawinan secara adat dilangsungkan di hotel; sistem penyajian makanan dengan prasmanan; pelaksanaan upacara bukan secara gotong royong melainkan dengan sistem upah, dll. Seperti penuturan Sabar sewaktu mengadakan upacara perkawinan anaknya Susan dengan memesan segala keperluan upacara perkawinan adat. Alasan orang tuanya adalah: “Nuaeng on nunga mura, tinggal martelepon sude rade. Sadihari ni telepon pintor diantar do”.(Pada masa sekarang sudah gampang,
tinggal
telepon
semua
ada.
Kapan
kita
hubungi
langsung
diantar).(wawancara, 16 Desember 2014). Pernyataan ini menggambarkan bahwa orang tua Susan tidak ingin repot, tetapi menginginkan yang praktis. Seperti yang diutarakan Piliang (2011: 232), salah satu ciri manusia kota global adalah manusia kecepatan (homo dromos).Dunia kehidupan manusia dikuasai oleh waktu dan kecepatan. Hal yang praktis atau ingin cepatbukan budaya komunitas Batak. Mereka melakukan prosesi adat-istiadat secara tahap demi tahap dan dikerjakan secara gotong royong. Masa sekarang, sifat gotong royong dalam pelaksanaan upacara adat sudah semakin hilang digantikan oleh manusia individualis (homo individualis) akibat globalisasi dan perkembangan kehidupan masyarakat di kota. Salah satu ciri masyarakat kota adalah sibuk, semua orang melakukan kegiatannya sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Berbeda dengan masyarakat yang hidup di pedesaan, orang desa yang mengatur jadwal apa yang akan dikerjakan sedangkan masyarakat kota, jadwal yang mengatur apa yang akan
178
mereka kerjakan. Akibat jadwal yang sudah terprogram bagi masyarakat kota sehingga apapun yang akan dilakukan di luar program merupakan hal yang susah untuk dilaksanakan. Selain faktor kesibukan, masyarakat kota mempunyai ciri pekerjaan yang sudah terspesialisasi. Mereka sudah terbiasa untuk mengerjakan dalam satu bidang pekerjaan tertentu sehingga untuk melaksanakan pekerjaan yang lain akan mengalami kesulitan. Untuk mengatasi kendala kesibukan dan juga kemampuan mengerjakan berbagai macam pekerjaan, komunitas Batak Toba mengadaptasi dirinya dengan budaya luar.Proses pengadaptasian diri ini berimplikasi terhadap globalisme. Kebutuhan yang terus berkembang dan tak pernah terpuaskan di dalam praktek upacara perkawinan Batak Toba,implikasinya mereka mencari objek konsumsi dari segala penjuru. Budaya yang ingin cepat atau praktis mereka adaptasi dari budaya Eropah dan Amerika. Proses mencari ini berimplikasi kepada globalisme yaitu paham yang mencari kebutuhan dari segala sudut dunia. Globalisme timbul akibat hasrat manusia yang terus berkembang dan tidak pernah terpuaskan. Melalui objek konsumsi, manusia menemukan citra dirinya. Citra berkaitan erat dengan konsumerisme. Pada masyarakat konsumer, suatu objek tidak terikat lagi kepada logika utilitas, fungsi dan kebutuhan tetapi sudah didominasi apa yang disebut dengan logika tanda dan logika citra. Menurut Baudrillard (dalam Piliang, 2012: 328) pada masa sekarang, orang bukan lagi membeli barang berdasarkan nilai utilitas, tetapi yang dibelinya adalah tanda, citra atau tema yang ditawarkan di balik sebuah produk.
179
Konsumsi menjadi sistem tanda yang membuat perbedaan kultural secara terus-menerus, melalui produk-produk yang dikonsumsi berdasarkan nilai tanda. Tanda dikonstruksi melalui iklan sehingga orang membeli produk bukan hanya pemenuhan kebutuhan tetapi juga membeli makna-makna simbolik. Konsumer dikondisikan untuk lebih terpesona dengan makna-makna simbolik dari pada fungsi utilitas sebuah produk (Piliang, 2012: 328). Citra menjadikan sebuah benda yang tidak berguna menjadi sangat berguna, yang tidak diperlukan menjadi perlu, yang tidak dibutuhkan menjadi dibutuhkan. Menurut Heidegger (dalam Piliang, 2011: 198) pada masa sekarang manusia dikelilingi oleh citraan-citraan. Akibat perkembangan citraan eksistensi manusia berubah menjadi sebagai ontologi citraan. Manusia diserang oleh berbagai macam citraan dari segala penjuru, sehingga citraan menjadi cermin untuk berkaca mencari eksistensi diri. Dalam praktiknya, upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar tidak lepas dari citra. Citra itu dipertontonkan kepada orang lain untuk menunjukkan kelas, status,
dan gaya hidupnya melalui upacara perkawinan.
Seperti penjelasan yang diutarakan Susan yang melaksanakan upacara perkawinan pada hari Jumat, 21 Nopember 2014. Pekerjaan susan adalah sebagai pedagang baju dan dia mempunyai tiga toko sebagai tempat jualannya. Suami Susan adalah orang yang bekerja di tokonya dengan kata lain adalah mantan karyawannya. Orang tua Susan tinggal di rumahnya setelah pensiun sebagai guru. Biaya hidup kedua orangtuanya ditanggung oleh Susan. Suami Susan sudah yatim piatu dari sejak SD, dengan demikian tulang punggung dalam rumah tangga adalah Susan.
180
Upacara perkawinannya dilaksanakan di gedung Graha Girsang Pekayon – Bekasi. Rencana awal, upacara ini dilaksanakan di Kota Denpasar, tetapi para keluarga orang tua Susan menginginkan diadakan di Bekasi agar mereka lebih banyak boleh hadir. Keinginan hadir secara beramai-ramai timbul akibat informasi dari orang tua Susan yang menyebutkan puterinya Susan adalah pengusaha sukses di Kota Denpasar. Citra sukses ini sudah memasyarakat di kalangan keluarga besar Susan. Mereka mau menonton kesuksesan itu dan orang tua Susan mau mempertontonkan kesuksesan puterinya. Akibat keinginan keluarga Susan terlebih orang tuanya sehingga permintaan itu dilakukan. Setelah upacara perkawinan di Bekasi, mereka juga melaksanakan resepsi perkawinan di Denpasar pada hari Sabtu, 6 Desember 2014. Menurut penuturan orang tua Susan, alasan melangsungkan upacara perkawinan dengan kemewahan: “Maila iba doba tu angka keluarga na di Jakarta molo dang denggan pesta niba. Hape iba nunga ditanda halak, boru on pe nunga jotjot mangurupi angka tondong, anggo hepeng i do siluluan do i. Dang diboto halak sian dia biaya nion…tauna kan…boru on diboto nasida pengusaha.” (Malu kepada keluarga yang di Jakarta kalau pesta adat tidak bagus atau mewah. Padahal puteri saya ini sudah sering memberi bantuan kepada keluarga, kalau uang bisa dicari. Orang tidak tau dari mana sumber biaya… taunya orang … anak ini seorang pengusaha).(wawancara, 16 Desember 2014). Kata “malu” dari penuturan orang tua Susan menunjukkan citra keluarganya. Dia tidak memikirkan dari mana uang itu dikumpulkan puterinya yang penting citra keluarganya terjaga. Seperti yang dikatakan Heidegger (dalam Piliang, 2011: 198), pada masa sekarang manusia dikelilingi oleh citraan-citraan. Manusia diserang oleh berbagai macam citraan dari segala penjuru, sehingga citraan
181
menjadi cermin untuk berkaca mencari eksistensi diri. Susan menginginkan upacara itu dilaksanakan secara sederhana dan tempatnya di Kota Denpasar, namun demi citra orang tuanya dan keluarganya, Susan dengan terpaksa menyetujui upacara perkawinan dilangsungkan di Bekasi dengan kemewahan. Dari penuturan Susan bersama dengan suaminya, mereka menghabiskan biaya sekitar Rp.500.000.000,-. Biaya ini sudah termasuk ongkos keluarga dekatnya dari Tapanuli, gedung, konsumsi, dan juga hal-hal yang berkaitan dengan
upacara
perkawinan.
Untuk
menanggulangi
uang
sebesar
Rp.
500.000.000,- tersebutSusan harus menjual satu buah tokonya seharga Rp. 300.000.000,- dan sisanya dari uang simpanannya dan sumbangan dari keluarga yang terkumpul Rp. 15.000.000,Menurut penuturan Susan bersama dengan suaminya, alasan mereka menyetujui keinginan orang tua: “Bapak ini kan gengsinya tinggi, sedikit-sedikit…omongnya kita malu. Saya sudah bolak-balik memohon agar dilakukan di Denpasar aja… dan acaranya sederhana saja, tapi bapak ngak mau. Ya sudahlah…dari pada bapak marah dan sakit, dimauin aja. Hanya sekalinya kita pesta kawin….masak gara-gara ini orang tua malu.” (wawancara, 21 Desember 2014). Penuturan ini menunjukkan bahwa Susan mau membiayai upacara perkawinannya demi menyenangkan orang tua. Dari segi adat Batak Toba, seharusnya yang menanggung biaya perkawinan adalah orang tua laki-laki tetapi karena suaminya sudah yatim piatu sehingga Susan harus bersedia membiayai upacara perkawinannya. Dari segi kemampuan ekonomi, upacara perkawinan Susan sudah di luar kewajaran. Susan harus menjual satu tokonya untuk membiayai upacara
182
perkawinannya.Demi citra keluarga hal yang tidak wajar menjadi wajar. Seperti yang diutarakan Heidegger (dalam Piliang, 2011: 198) bahwa citra mengelilingi kehidupan manusia, sehingga eksistensi manusia berubah sebagai ontologi citraan. Citra menjadi cermin untuk berkaca mencari eksistensi diri. Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dipenuhi dengan citra seperti yang dilakukan oleh orang tua Susan. Objek yang dikonsumsi bukan hanya didasarkan atas kebutuhan melainkan didominasi oleh tanda yaitu tanda citra. Komunitas Batak Toba terpengaruh dengan makna simbolik daripada fungsi utilitas sebuah produk. Makna citra menjadi tujuan hidup yang dipraktikkan melalui upacara perkawinan. Tujuan hidup komunitas Batak ada tiga: (1). Hagabeon, yaitu mempunyai keturunan yang banyak; (2). Hamoraon, yaitu kekayaan dari sudut ekonomi; dan (3). Hasangapon, yaitu kehormatan yang diperoleh dari masyarakat sekitar. Citra masuk ke bagian hasangapon. Dengan demikian bagi komunitas Batak citra sangat perlu karena citra dimaknai sebagai kehormatan yang menjadi salah satu tujuan hidup dari orang Batak Toba.
183
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian seperti yang sudah diuraikan pada masing-
masing bab dalam tesis ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan upacara perkawinan secara adat tetap dipertahankan. Upacara ini tetap bertahan karena satu-satunya cara untuk masuk ke dalam dalihan na tolu harus melalui upacara perkawinan.
Setelah seseorang masuk ke dalam dalihan na tolu, dia berhak
mengadakan siklus hidup seperti menyambut anak yang baru lahir, perkawinan, memasuki rumah, kematian dan lain-lain. Dalihan na tolu merupakan pertalian keluarga yang mengatur hubungan kekerabatan antara satu sama lain. Dalam dalihan na tolu seseorang akan memiliki kedudukan sebagai: (1).Hula-hula yaitu pemberi isteri; (2). Boru yaitu pihak pengambil isteri; (3). Dongan sabutuha atau dongan tubu yaitu orang yang satu marga. Setiap orang Batak akan pernah menduduki ketiga posisi (hula-hula, boru, dan dongan tubu) tergantung situasi upacara yang dilangsungkan. Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar pada saat sekarang merupakan fenomena konsumerisme. Bentuk konsumerisme ini tampak sangat kompleks karena harus mengikuti prosesi yang panjang. Tahapan-tahapan itu dimulai darimarhusip, marhata sinamot, martumpol, martonggo raja/marria raja, pemberkatan secara agama, pesta unjuk, paulak une, dan tingkir
184
tangga.Prosesi ini menghabiskan waktu berbulan-bulan sehingga memerlukan biaya yang cukup banyak. Selain prosesi yang panjang, bentuk konsumerisme yang lain yaitu, tempat upacara perkawinan dilakukan di gedung mewah, mengundang banyak orang, mengonsumsi objek pendukung yang tidak perlu, dan memberikan mahar yang besar. Konsumerisme yang dilakukan komunitas Batak Toba di Kota Denpasar dalam upacara perkawinan bukan hanya terjadi dalam hal materi tetapi juga berlaku dalam pola pikir dan tingkah laku. Konsumerisme dalam pola pikir yang mereka lakukan yaitu meninggalkan kebersamaan dan kesamaan diganti dengan pola pikir diferensi atau perbedaan. Pola pikir diferensi merupakan pola pikir dari budaya luar yang mereka konsumsi dan mengakibatkan terjadinya konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar. Demikian juga dalam tingkah laku, mereka meninggalkan kehati-hatian dan menggantinya dengan tingkah laku ingin cepat, tidak mau repot, meninggalkan rasa kegotongroyongan berdampak kepada konsumerisme. Tingkah laku ingin cepat merupakan produk luar yang mereka konsumsi secara terus menerus berdampak terhadap konsumerisme. Konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dilatarbelakangi oleh pergeseran dari nilai guna dan nilai tukar menjadi nilai tanda dan nilai simbolik. Mereka mengonsumsi sesuatu bukan didasarkan karena nilai guna melainkan didominasi oleh pengaruh gengsi, prestise, gaya hidup, identitas diri, dan status. Ciri ini merupakan ciri hidup masyarakat modern.
185
Terjadinya konsumerisme dipengaruhi beberapa faktor di antaranya, globalisasi, yaitu terjadinya penyeragaman kebudayaan-kebudayaan menjadi kebudayaan tunggal. Globalisasi menjadi suatu ekspansionisme sistem ekonomi kapitalis, informasi global terhadap negara-negara tertinggal.Budaya global yang diproduksi oleh negara Eropa dan Amerika dikonsumsi oleh komunitas Batak Toba dalam praktik upacara perkawinan sehingga kelihatannya budaya import tersebut menjadi budayanya sendiri; gaya hidup, melalui praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasarmereka mengonsumsi objek bukan hanya berdasarkan nilai guna tetapi didominasi oleh nilai tanda; budaya populer, mereka mementingkan penampilan dari pada kedalaman, merayakan kesenangan dari pada kekhusukan, mengutamakan gaya dari pada esensi; media massa, menjadi sumber rujukan komunitas Batak Toba untuk membuat pilihan-pilihan konsumsi
dalam
upacara
perkawinan
demi
menunjukkan
identitasnya;
pemahaman yang kurang, ketidaktahuan akan makna upacara perkawinan berdampak kepada perilaku yang meniru orang lain tanpa mengerti akan hal yang ditiru; transmisi budaya yang kurang, kaum muda mempunyai sudut pandang yang berbeda yaitu dari segi ekonomi tidak efisien dan efektif akan praktik upacara perkawinan akhirnya mereka tidak tertarik untuk mempelajarinya. Budaya konsumerisme yang dimiliki komunitas Batak Toba dalam praktik upacara perkawinan di Kota Denpasar berimplikasi terhadap perilaku mereka sehari-hari. Implikasi konsumerisme yang terjadi dalam upacara perkawinan mengakibatkan semakin individualisme. Semakin banyak modal, semakin tinggi selera konsumsi yang dilakukan. Pertarungan posisi melalui konsumsi terjadi
186
dalam setiap kelompok dan juga individu. Masing-masing mempertontonkan kebaharuan dan perbedaan dalam objek konsumsi. Kebersamaan dan kesamaan selalu dihindari untuk menunjukkan identitas di tengah masyarakat. Demikian halnya komunitas Batak Toba, mereka mengonsumsi objek secara berlebihan dalam praktik upacara perkawinannya. Mengonsumsi secara berlebihan dan berlangsung secara terus menerus mengakibatkan konsumerisme menjadi suatu budaya. Budaya konsumerisme mereka maknai sebagai gengsi. Melalui sifat konsumerisme yang dipraktikkan dalam upacara perkawinan, komunitas Batak Toba menemukan identitasnya. Konsumerisme dalam praktik upacara perkawinan juga berimplikasi semakin materialisme. Materialisme merupakan pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu dalam kehidupan diukur dengan materi atau kebendaan semata. Objek menguasai subjek, dan eksistensi manusia ditentukan oleh objek. Kesuksesan suatu upacara diukur dari kemewahan dan kemeriahan, sedangkan esensi upacara kurang diperhatikan. Sifat materialisme berkaitan dengan persaingan yang timbul dalam praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar. Persaingan dalam komunitas Batak disebut dengan toal. Toal dimaknai sangat negatif karena dilakukan bukan berdasarkan kemampuan dan keikhlasan melainkan atas keterpaksaan dan kecongkakan. Persaingan sangat ketat bagi komunitas BatakTobakarena mereka seluruhnya adalah raja. Gelar raja dan anak raja yang disandang seluruh orang Batak Toba mengakibatkan persaingan itu harus dimenangkan dan dipertontonkan salah satunya dalam praktik upacara perkawinan. Untuk memenangkan dan
187
mempertontonkan persaingan tersebut mereka melakukan di luar kemampuannya dengan toal atau kecongkakan hati. Dengan demikian makna persaingan bagi komunitas Batak adalah toal atau kecongkakan. Implikasi yang lain dari konsumerisme adalah semakin globalisme. Globalisme merupakan pandangan hidup yang mengadaptasikan dirinya dengan kebudayaan luar atau global. Manusia tidak puas akan objek yang diproduksi kelompoknya sehingga dirinya selalu mencari yang berbeda dan baru dari kelompok lain.Objek yang dikonsumsi bukan berdasarkan nilai guna melainkan nilai tanda yang ada di dalam objek tersebut.Nilai tanda dan nilai simbolik banyak dimiliki oleh masyarakat Barat dan Amerika, sehingga masyarakat Batak Toba mengadaptasikan dirinya untuk memiliki objek dari kedua benua tersebut. Globalisme dilakukan untuk memenuhi hasrat akan budaya konsumerisme. Globalisme timbul akibat hasrat manusia yang terus berkembang dan tidak pernah terpuaskan. Melalui objek konsumsi dalam upacara perkawinan, komunitas Batak Toba menemukan citra dirinya. Citra menjadikan sebuah benda yang tidak berguna menjadi sangat berguna, yang tidak diperlukan menjadi perlu, yang tidak dibutuhkan menjadi dibutuhkan. Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar tidak lepas dari citra. Citra mereka pertontonkan untuk menunjukkan kelas, status, gaya hidupnya melalui upacara perkawinan. Objek yang dikonsumsi bukan hanya didasarkan atas kebutuhan melainkan didominasi oleh tanda yaitu tanda citra. Makna citra menjadi tujuan hidup yang dipraktikkan melalui upacara perkawinan Batak Toba.Citra merupakan bagian hasangapon(kehormatan). Oleh sebab itu bagi
188
komunitas Batak Toba, citra sangat perlu dijaga karena mereka memaknainya sebagai salah satu dari tujuan hidupnya yaitu kehormatan.
8.2
Saran Praktik upacara perkawinan Batak Toba di kota Denpasar semakin hari
semakin konsumeris. Untuk menghindari perilaku yang hanyut dalam konsumsi berlebihan, penulis memberikan saran: 1).
Kepada tokoh adat Perlu adanya suatu kesepakatan dari masing-masing tokoh marga-marga
Batak yang ada di Kota Denpasar untuk membuat suatu model upacara perkawinan Batak Toba. Model yang disepakati nantinya menjadi patokan untuk dilakukan secara bersama oleh komunitas Batak Toba sehingga mereka melakukan upacara bukan secara kesenangan semata tetapi dilaksanakan secara sederhana tanpa mengurangi esensi yang sebenarnya. Untuk mencapai ini dapat melalui seminar, diskusi, simposium yang tujuannya mengambil suatu kesepakatan yang tidak hanyut dalam konsumerisme. 2).
Kepada Pihak gereja Pencerahan melalui khotbah dari mimbar sewaktu kebaktian di gereja
merupakan salah satu cara yang sangat efektif. Para pengkhotbah dalam khotbahnya menyadarkan para jemaat bahwa upacara perkawinan Batak Toba yang dilakukan di Kota Denpasar selama ini sudah di luar kepatutan. Jemaat perlu disadarkan akan hal itu sehingga mereka sadar dan mau mengubah perilaku yang sudah sering di praktikkan.
189
3).
Kepada Pihak pemerintah daerah di sekitar Sumatera Utara Praktik upacara perkawinan yang sudah konsumerisme dimulai dari daerah
asal yaitu Sumatera Utara. Perilaku yang konsumerisme semakin bertambah di daerah perkotaan akibat fasilitas yang sangat mendukung. Oleh karena itu pemerintah daerah Sumatera Utara perlu mengadakan suatu usaha baik melalui seminar, penyuluhan, diskusi untuk menyadarkan masyarakatnya sehingga praktik upacara tidak konsumeris. Tradisi yang sudah dilakukan di daerah asal akan berimplikasi kepada masyarakat pendukungnya yang pergi merantau ke daerah kota. 4).
Kepada Pihak orang tua yang akan menikahkan anak Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba sangat ditentukan oleh orang
tua. Upacara perkawinan menurut adat Batak Toba merupakan tanggung jawab orang tua laki-laki. Orang tua menjadi penentu akan hal-hal yang berkaitan dengan upacara perkawinan yang akan dilangsungkan oleh masing-masing pasangan baru. Oleh karena itu, melalui tulisan ini diharapkan para orang tua komunitas Batak Toba yang akan melangsungkan upacara perkawinan anak di masa mendatang agar jangan hanyut dalam budaya konsumerisme yang dipraktikkan dalam upacara perkawinan. Upacara perkawinan hendaknya dilakukan sesuai dengan fungsi dan makna dari upacara tersebut, sehingga unsur budaya Batak Toba ini dapat lestari sesuai dengan fungsi dan tujuannya.
190
DAFTAR PUSTAKA: Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Alfitri. 2007. Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan. Empirika, volume XI, No. 01. Bangun, Payung. 1982. “Kebudayaan Batak” (dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Koentjaraningrat, editor, Jakarta: Djambatan, hlm. 94-116). Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori & Praktik. (Nurhadi Pentj). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Barker, Chris. 2014.Kamus Kajian Budaya. (B. Hendar Putanto Pentj). Yogyakarta: Kanisius. Boli, John dan Frank J. Lechner. 2012. “Teori Globalisasi” (dalam Teori Sosial Dari Klasik Sampai Postmodern, Bryan S. Turner, editor, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 548-581). Bruner, Edward. 1986. “Kerabat dan Bukan Kerabat” (dalamPokok-pokok Antropologi Budaya, T.O. Ihromi, editor, Jakarta: Gramedia, halaman 159-178). Bungin, H.M. Burhan. 2012.Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Castles, Lance. 1940. Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915 – 1940. (Maurits Simatupang, Pentj). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisa Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya. Densin, Norman K. danYvonna S. Lincoln. 2009. Hand Book of Qualitatif Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra. Featherstone, Mike. 2008. Postmedernisme dan Budaya Konsumen. (Misbah Zulfa Elizabeth, Pentj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fiske, John. 2011. Memahami Budaya Populer. (Asma Bey Mahyudin, Pentj). Yogyakarta: Jalasutra
191
Harker, Richard, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes. 2009. “Posisi Teoretis Dasar” (Dalam (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, Richard Harker, dkk., editors. (Pipit Maizier, Pentj.) Yogyakarta: Jalasutra, halaman 1-32). Hidayat, Medhy Aginta. 2012. Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Yogyakarta: Jalasutra. Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok. Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers. Lubis, Akhyar Yusuf. 2014a. Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen.(Hasti T. Champion, Pentj). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Moleong, Lexy J. 2014. Metolodogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Norris, Christopher. 2003.Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. (Inyiak Ridwan Muzir, Pentj). Yogyakarta: Ar-ruzz. Pasaribu, Amudi. 2011. “Pembangunan Tugu Dipandang dari Segi SosialEkonomi” (dalam Pemikiran Tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara, Bungaran Antonius Simanjuntak, editor, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, halaman 247-261). Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: PT Pustaka LP3ES. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Berlari Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital. Jakarta: Grasindo. Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batasbatas Kebudayaan. Bandung: Matahari. Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: Matahari.
192
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. (Muhammad Taufik, Pentj). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sagala, Mangapul. 2008. Injil dan Adat Batak. Jakarta. Yayasan Bina Dunia. Santoso, Listiyono, Dkk. 2012. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Sarup, Madan. 2011. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme & Posmodernisme. (Medhy Aginta Hidayat Pentj).Yogyakarta: Jalasutra. Schreiner, Lothar. 2002. Adat dan Injil.(P.S. Naipospos Pentj).Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan Na Tolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta: Grafina. Siburian, Sahat P. 2012. “Representasi Identitas dalam Ritus Kristen Batak” (dalam Konsepku Membangun Bangso Batak: Manusia, Agama, dan Budaya, Bungaran Antonius Simanjuntak, editor. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, halaman 233-254) Sidjabat, W.B. 1982. Ahu Si Singamangaraja. Jakarta: Sinar Harapan. Sihombing, T.M. 1997. Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat. Jakarta: Tulus Jaya. Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2011. “Kemajuan Pendidikan dan Cita Kemerdekaan di Tanah Batak (1861-1940)” (dalam Pemikiran Tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara, Bungaran Antonius Simanjuntak, editor, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, halaman 274-292). Simanjuntak, I. 2011. “Pesta Adat di Kalangan Suku Batak Toba yang Beragama Kristen” (dalam Pemikiran Tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara, Bungaran Antonius Simanjuntak, editor, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, halaman 119-132). Sinaga, Richard. 1997. Leluhur Marga-Marga Batak dalam Sejarah, Silsilah dan Legenda. Jakarta: Dian Utama. Sinaga, Richard. 2012. Perkawinan Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama dan Kerabat.
193
Situmorang, Manginar Torang. 2006. “Simbolisme dalam Budaya Batak Toba: Studi Kasus Upacara Perkawinan di kota Denpasar” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Soedjatmiko, Haryanto. 2008. Saya Berbelanja, Maka Saya Ada Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris. Yogyakarta: Jalasutra. Storey, John. 2006.Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop.(Laily Rahmawati Pentj).Yogyakarta: Jalasutra. Strinati, Dominic. 2009. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. (Abdul Muchid Pentj). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Sukraaliawan, Nyoman. 2007. “Upacara Ngaben Massal Masyarakat Desa Pakraman Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng: Sebuah Kajian Budaya” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Surajiyo. 2009. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. Takwin, Bagus. 2003. Akar-Akar Ideologi Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdie. Yogyakarta: Jalasutra. Tampubolon, Raja Patik. 2002. Pustaha Tumbaga Holing Adat Batak – Patik Uhum Buku I dan II. Jakarta: Dian Utama dan Kerabat. Wiendenhoft, Wendy. 2012. “Teori-Teori Konsumsi” (dalam Handbook Teori Sosial, George Ritzer & Barry Smart, editors. (Imam Muttaqien, dkk. Pentj). Jakarta: Penerbit Nusa Media, halaman 817-849). Purkasih, Siska. 2008. Masalah Konsumerisme di Kalangan Remaja.http://siskapurkasih.blogspot.com/2008/10/masalahkonsumerisme-di-kalangan-remaja.html,diakses tanggal, 10 Agustus 2014 Riski, Fajar. 2012. Konsumerisme di Kalangan Remaja.http://fajar_riski_sfib11.web.unair.ac.id/artikel,diakses tanggal, 12 Agustus 2014, http://catatansenibudaya.blogspot.com/2012/05/definisi-upacara-adat.html, diakses tanggal, 7 Agustus 2014 http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/51/ detail/ 5171/kota-denpasar, diakses tanggal, 11 Agustus 2014
name/bali/
http://sibaranimelin.blogspot.com/2014/01/pergeseran-perspektif-dan-budayapada.html, diakses tanggal, 18 Agustus 2014
194
http://wisata.balitoursclub.com/wp-content/uploads/2012/08/Peta-WilayahBali.jpg, diakses, 13 April 2015 Lampiran 1 DAFTAR INFORMAN No. Nama
L/P
Keterangan
L
Usia Pendidikan (Tahun) 62 SMA
1.
M. Tambunan
2.
O. Hasibuan
L
68
S1
Tokoh adat
3.
M. Sinambela
L
50
SMA
Tokoh adat
4.
Pdt. N. Hutasoit
P
45
S1
Tokoh agama
5.
Lamhot (samaran)
L
50
S1
Pelaku
6.
Isteri Lamhot
P
49
S1
Pelaku
7.
Tingkos (samaran)
L
70
S1
Pelaku
8.
Isteri Tingkos
P
65
SMA
Pelaku
9.
Alex
L
26
S1
Pemuda
10.
Reni
P
26
S1
Pemudi
11.
Tulus (samaran)
L
63
S1
Pelaku
12.
Isteri Tulus
P
60
S1
Pelaku
13.
Tahan (samaran)
L
61
S3
Pelaku
14.
Isteri Tahan
P
60
S3
Pelaku
15.
Bonar (samaran)
L
66
S1
Pelaku
16.
Sabar (samaran)
L
65
S1
Pelaku
17.
Isteri Sabar
P
65
SMA
Pelaku
18.
Susan (samaran)
P
28
S2
Pelaku
19.
Suami Susan
L
26
SMA
Pelaku
Tokoh adat
195
20.
Lasma (samaran)
P
30
S1
Pelaku
21.
Risma (samaran)
P
62
SMA
Pelaku
Lampiran 2 PEDOMAN WAWANCARA A.
Gambaran umum lokasi penelitian
1.
Sudah berapa lama bapak/ibu tinggal di Denpasar?
2.
Berapa anak bapak/ibu yang sudah berkeluarga?
3.
Di mana anak ibu/bapak mengadakan upacara perkawinan (dalam atau luar kota Denpasar)?
4.
Apa pekerjaan ibu/bapak sehari-hari?
5.
Gedung mana yang bapak/ibu gunakan untuk melakukan upacara adat perkawinan?
B.
BENTUK KONSUMERISME UPACARA PERKAWINAN BATAK TOBA
1.
Berapa jumlah biaya yang habis untuk perkawinan anak ibu/bapak?
2.
Bagian mana dari pengeluaran itu yang membutuhkan biaya yang paling besar?
3.
Di gedung mana sering digunakan untuk pesta adat perkawinan Batak Toba?
4.
Bagaimana tahapan-tahapan upacara perkawinan Batak Toba di Denpasar?
5.
Berapa orang biasanya yang diundang untuk menghadiri upacara perkawinan?
6.
Bolehkah bapak/ibu jelaskan apa-apa saja perlengkapan yang digunakan dalam upacara tersebut?
C.
FAKTOR-FAKTOR YANG TERKAIT DENGAN KONSUMERISME
1.
Apa saja yang dipersiapkan pihak pengantin perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan upacara perkawinan?
2.
Mengapa harus mengundang banyak orang dalam upacara perkawinan?
196
3.
Mengapa pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba memerlukan biaya yang banyak?
4.
Bagaimana pandangan anak-anak bapak/ibu terhadap pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba?
5.
Menurut bapak/ibu apa penyebab terjadinya konsumerisme upacara perkawinan Batak Toba?
6.
Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang konsumerisme yang terjadi dalam upacara perkawinan itu?
D.
MASALAH
IMPLIKASI
KONSUMERISME
UPACARA
PERKAWINAN BATAK TOBA DI DENPASAR. 1.
Bagaimana pandangan bapak/ibu terhadap pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Denpasar?
2.
Menurut bapak/ibu, bagaimana makna upacara perkawinan Batak Toba yang dilakukan di Denpasar?
3.
Mohon penjelasan bapak/ibu, bagaimana pandangan kaum muda tentang upacara perkawinan Batak Toba di Denpasar?
4.
Bagaimana relasi pelaksanaan upacara perkawinan terhadap sistem sosial masyarakat Batak Toba di Denpasar.
5.
Bagaimana tanggaban bapak/ibu terhadap biaya yang banyak dan waktu yang panjang dalam pelaksanaan upacara perkawinan Batak di Denpasar?
197