FAKULTAS Biologi | Universitas Jenderal Soedirman
KONSERVASI BAGI ESTUARI SEGARA ANAKAN Wahyu Budi Setyawan1, 2 Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jakarta Program Studi Teknik Geologi, FT Kebumian dan Energi, Univ Trisakti, Jakarta Email :
[email protected] 1
2
ABSTRAK Kondisi geologi kawasan di sekitar estuari Segara Anakan membuat estuari tersebut cenderung terus mengecil karena sedimentasi dan ekspansi mangrove. Kecenderungan itu dipacu juga oleh aktifitas manusia di daerah aliran sungai, terutama Citanduy, yang bermuara di Segara Anakan. Banyak pihak yang menginginkan Segara Anakan tetap lestari. Kawasan Segara Anakan juga dikenal secara internasional dan pernah menjadi lokasi contoh bagi beberapa program kerjasama internasional. Upaya mempertahankan luas perairan Segara Anakan pun pernah dilakukan dengan program penyodetan aliran sungai Citanduy dengan biaya Asian Development Bank (ADB) meskipun penyodetan itu tidak terlaksana. Namun, sampai sekarang kawasan Segara Anakan belum masuk sebagai Kawasan Lindung Nasional di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008. Ada kemungkinan, hal itu disebabkan karena belum dipahaminya nilai konservasi dari Segara Anakan oleh yang berwenang mengambil keputusan di tingkat daerah. Dengan mengungkapkan sejarah perkembangan dan memberikan gambaran kondisi ekosistem Segara Anakan, serta melakukan analisis terhadapnya berdasarkan ketentuan umum penetapan kawasan lindung dan peraturan pemerintah tersebut, kawasan estuari yang satusatunya di pesisir selatan Pulau Jawa dan memiliki memiliki ekosistem mangrove terluas di Pulau Jawa itu, diharapkan mendapat peluang menjadi salah satu kawasan lindung nasional. Kata kunci : estuari, mangrove, konservasi, Segara Anakan
PENDAHULUAN Umum diketahui bahwa kawasan estuari adalah kawasan muara sungai, yang dikawasan tersebut bertemu dan interaksi sistem fluvial darat dan regim laut terbuka yang didomimasi oleh gelombang atau pasang surut, yang menghasilkan dinamika morfologi dan sedimen yang kompleks (Wal et al., 2002). Estuari Segara Anakan yang terletak di kawasan pesisir selatan Pulau Jawa (Gambar 1), yang memiliki sejarah perkembangan yang panjang dan bukan estuari yang biasa. Menurut Setyawan (2002) perkembangan Segara Anakan diawali dari sebuah teluk dengan mulut yang menghadap ke timur dengan Pulau Nusakambangan sebagai barier di sebelah selatannya dan sebuah bukaan di bagian barat pulau tersebut. Perkembangan mencapai bentuknya yang sekarang, sebuah estuari, terjadi melalui berbagai tahap perubahan kondisi lingkungan. Perhatian terhadap bentuk Segara Anakan pertama kali dilakukan oleh
Hadisumarmo pada tahun 1964 (Bird, 1982). Hadisumarmo mencatat perubahan konfigurasi garis pantai Segara Anakan dari tahun 1900 sampai tahun 1964. Ia mencatat pertambahan luas areal mangrove yang sangat cepat ke zona pasang surut. Pada tahun 1976, Proyek Pengembangan Cekungan Sungai Citanduy (The Citanduy River Basin Development Project, CRBMP) mengajukan usulan untuk mengkoversi lagoon Segara Anakan dari estuari pasang surut berair payau menjadi danau air tawar. Tujuannya adalah untuk mendapatkan daerah pertanian (White et al., 1989). Hal itu terjadi karena studi tentang ekologi dan perikanan di Segara Anakan sangat terbatas. Perhatian terhadap Segara Anakan meningkat pada tahun 1980-1981 karena kawasan tersebut terpilih sebagai daerah kerja bagi Program Pelestarian dan Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir LIPIUNU (United Nation University) fase II (Bird and Ongkosongo, 1980).
1
SEMINAR NASIONAL | Biodiversitas dan Bioteknologi Sumberdaya Akuatik
Gambar 1. Kawasan Segara Anakan tahun. Dikutip dari Ardli dan Wolff (2009).
Pada tahun 1982 dimulai program The Assosition of South East Asian Nation (ASEAN)-United Stated (US) Coastal Resources Management Project (CRMP) yang memunculkan rencana pengelolaan terintegrasi dengan Segara Anakan sebagai salah satu lokasi contoh. ASEAN-US CRMP bertujuan meningkatkan kemampuan negara-negara ASEAN untuk mengembangkan dan menerapkan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir. Bersama program tersebut banyak dilakukan studi tentang fungsi ekologi dan ekonomi lagoon Segara Anakan (White et al., 1989). Antara tahun 1987 dan 1990, dilakukan suatu seri studi yang besar mengenai struktur dan fungsi ekologi, sosial dan ekonomi Segara Anakan sebagai dasar bagi penyusunan rencana pengelolaan kawasan pesisir (Coastal Zone Management, CZM) (ASEAN/US CRMP and DGF, 1992). Sejak saat itu, perhatian terhadap sumberdaya perikanan dan kondisi ekosistem mangrove di Segara
2
Anakan sangat tinggi. Isu lingkungan terbesar adalah makin menyempitnya areal Segara Anakan karena sedimentasi. Muatan sedimen terbesar masuk ke Segara Anakan berasal dari sungai Citanduy. Untuk menstabilkan lagoon Segara Anakan, CRBMP mengajukan berbagai proposal kegiatan seperti penyodetan sungai Citanduy, pengerukan dan pengadukan sedimen. Proposal kegiatan untuk menstabilkan atau konservasi Segara Anakan yang paling kontroversi adalah rencana penyodetan aliran sungai Citanduy dengan biaya ADB (Asian Development Bank). Proyek yang dimulai tahun 1996 dan berakhir tahun 2006 itu gagal mewujudkan rencana penyodetan sungai Citanduy karena ditentang banyak pihak yang khawatir akan mengganggu kawasan wisata di Pangandaran (ADB, 2006). Pada tahun 2008, Pemerintah Rupublik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
FAKULTAS Biologi | Universitas Jenderal Soedirman
nasional. Hal yang ironis muncul ke permukaan. Kawasan lagoon Segara Anakan yang telah menarik perhatian banyak pihak dan bahkan pernah dijadikan lokasi pilot proyek bagi proyek pengelolaan kawasan pesisir terpadu ASEAN itu, dan bahkan ingin dikonservasi dengan biaya ADB dengan program penyodetan Sungai Citanduy ternyata di dalam lampiran Peraturan Pemerintah tersebut belum tercantum sebagai kawasan lindung nasional. Makalah ini tidak bermaksud memberi jawaban tentang mengapa hal ini dapat terjadi, tetapi akan memberikan gambaran tentang nilai konsevasi dan konservasi apa yang pantas bagi Segara Anakan. BAHAN DAN METODA Daerah yang menjadi topik pembahasan makalah ini adalah kawasan estuari dan lahan basah yang terdapat di sebelah utara Pulau Nusakambangan (Gambar 1), yang membentang mulai dari Cilacap di bagian timur sampai ke muara Citanduy di bagian barat, yang secara umum dikenal sebagai kawasan estuari Segara Anakan. Dalam makalah ini, gambaran tentang estuari Segara Anakan diperoleh dengan mempelajari berbagai data terpublikasi. Kemudian, gambaran tentang Segara Anakan tersebut dipelajari untuk mengetahui berbagai keistimewaannya, yang selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk mempelajari berbagai kemungkinan penetapannya sebagai Kawasan Lindung Laut dan Pesisir menurut Salm dan Clark (1989), dan kemungkinan menetapkannya sebagai kawasan konservasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 (PP No. 26 Tahun 2008) tentang Tata Ruang Wilayah Nasional. HASIL DAN PEMBAHASAN Estuari Segara Anakan Hadisuwarno tahun 1964 memberikan catatan awal bentuk Segara Anakan, dan berkesimpulan bahwa pembentukan penghalang yang berupa endapan pasir, yang ditandai dengan progradasi pematang pantai berarah timur laut dari Cilacap,
mengurangi jalan masuk dari arah timur dari suatu teluk yang besar, menghasilkan lagoon yang besar dengan suatu jalan keluar ke laut di ujung barat Pulau Nusakambangan. Perkembangan selanjutnya adalah lagoon tersebut berkurang kedalamannya karena siltasi dan berkurang luasnya karena ekspansi mangrove hingga mencapai bentuknya sekarang (Bird, 1982). Setyawan (2002) berdasarkan hasil analisis kondisi geologi kawasan Cilacap menyebutkan bahwa pada 18.000 BP, ketika air laut berada 180200 meter di bawah posisi sekarang, Kawasan Segara Anakan merupakan bagian dari Sistem Aliran Sungai Citanduy (SASC), dan daerah Kroya di sebelah timurnya adalah bagian bagian dari Sistem Aliran Sungai Serayu (SASS). Pembentukan Segara Anakan dimulai sekitar 5000 BP ketika air laut berada 5 meter di atas posisi sekarang. Ketika itu kawasan Segara Anakan merupakan sebuah teluk setengah tertutup yang disebut sebagai Teluk Citanduy Hipotetis (Hypothetical Citanduy Bay), yang merupakan laut setengah tertutup (semi-enclosed coastal sea) dengan mulut menghadap ke timur dengan sebuah celah mengarah ke selatan di ujung barat Pulau Nusa Kambangan (Gambar 2). Di sebelah timurnya, di depan mulut teluk tersebut, terdapat Teluk Kroya Hipotetis (Hypothetical Kroya Bay) yang membuka ke arah selatan menghadap ke Samudera Hindia. Ketika muka laut turun ke posisi sekarang, luas perairan kedua teluk tersebut berkurang, diiringi dengan pembentukan dataran pantai Citanduy dan Kroya. Pada fase awal, Teluk Kroya Hipotetis sangat terlindung dari proses marin yang berasal dari Samudera Hindia. Seiring dengan pembentukan dataran Kroya, kondisi Teluk Kroya Hipotetis semakin terbuka terhadap proses marin dari Samudera Hindia, dan akhirnya berubah menjadi lingkungan pantai pasir berenergi tinggi (High Energy Coastal Environment). Keadaan ini ditunjukkan dengan kehadiran pematang pantai (beach ridges) yang sejajar garis pantai, dan spit Cilacap. Kedua bentang alam tersebut menunjukkan lingkungan pantai berenergi tinggi (Boyd et al., 1992).
3
SEMINAR NASIONAL | Biodiversitas dan Bioteknologi Sumberdaya Akuatik
Gambar 2. Sketsa kondisi geologi kawasan Cilacap dan sekitarnya pada 5000 BP. Dikutip dengan perbaikan dari Setyawan (2002).
Perkembangan spit Cilacap menyebabkan Teluk Citanduy Hipotetis tertutup dan merubahnya menjadi sebuah lagoon. Inilah awal Segara Anakan. Terbentuknya perairan yang lebih tenang tersebut memacu pengendapan sedimen dan ekspansi mangrove. Perairan teluk itu berubah dari lingkungan laut menjadi lingkungan lagoon. Lagoon tersebut mendapat suplai muatan sedimen yang besar terutama dari Sungai Citanduy. Sedimentasi di dalam estuari dan ekspansi mangrove membuat luas perairan estuari terus mengecil. Pada tahun 1978 sisa kawasan perairan Teluk Citanduy Hipotesis yang dikenal sebagai Segara Anakan tinggal perairan terbentuk segi tiga di sebelah utara bagian barat Nusakambangan (Gambar 3). Kecenderungan makin mengecilnya perairan itu terus berlanjut, sehingga sekarang hanya berbentuk alur yang lebar (Gambar 1). Sekarang yang dimaksud sebagai kawasan Segara Anakan dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu bagian barat, bagian tengah dan bagian timur. (Holtermann et al., 2009; Yuwono et al., 2007). Kawasan barat meliputi kawasan tubuh air di bagian barat, tempat bermuaranya Sungai Citanduy, Cibeureum dan Cikonde; bagian timur meliputi kawasan perairan alur Sungai Donan dan Sapuregel; sedang kawasan tengah adalah kawasan penghubung antara
4
perairan barat dan perairan timur. Di bagian tengah hanya ada saluran penghubung antara perairan barat dan timur (Gambar 1). Keadaan perairan Segara Anakan yang semakin menyempit ini telah diperkirakan sebelumnya pada tahun 1987 oleh ECI (PRC Engineering Consultante, Inc) yang menyatakan bahwa ”sedimentasi diperkirakan akan mengisi lagoon dan hanya menyisakan saluran-saluran sempit” (ASEAN/US CRMP & DGF, 1992). Bird (1982) menyebutkan bahwa perubahan garis pantai dari peta tahun 1900, 1924 dan 1940 serta suatu seri foto tahun 1946, 1961 dan 1964 dari Hadisumarno tahun 1964 menunjukkan ekspansi mangrove yang sangat cepat di atas endapan lumpur pasang surut. Kekhawatiran akan tertutupnya perairan Segara Anakan oleh ekspansi mangrove telah dikemukakan oleh banyak penulis sejak tahun 1980-an (Bird, 1982; Napitupulu dan Ramu, 1982; Pudjoarinto, 1982). Holtermann et al. (2009), dengan merangkum Purba tahun 1991 dan Ardli dan Wolff tahun 2008, menyatakan bahwa perubahan total Segara Anakan dari 6.440 ha pada tahun 1903 menjadi 930 ha pada tahun 2004. Perubahan yang besar terjadi dalam periode 1970-an sampai 1990-an. Penyebab utama perubahan tersebut adalah muatan sedimen dalam jumlah besar yang masuk dari aliran Sungai Citanduy.
FAKULTAS Biologi | Universitas Jenderal Soedirman
Gambar 3. Kawasan Segara Anakan pada tahun 1978. Dikutip dengan modifikasi dari Ardli dna Wolff (2009).
Ekosistem di Kawasan Estuari Segara Anakan Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang dominan di kawasan Segara Anakan. Hutan mangrove di Segara Anakan itu adalah satu kawasan
hutan mangrove yang terluas di Pulau Jawa (Surjowinoto, 1982; ASEAN/US CRMP & DGF, 1992; Yuwono et al., 2007), meskipun luas areal mangrove sejak tahun 1980-an sampai sekarang terus menyusut (Tabel 1).
Tabel 1. Perubahan luas kawasan mangrove di Segara Anakan Tahun
Luas (ha)
1983
24.000,0
Sunaryo (1982), Surjowinoto (1982)
1987
15.827,6
Ardli & Wolff (2009)
1995
10.974,6
Ardli & Wolff (2009)
2004
9.271,6
Ardli & Wolff (2009)
2006
9.237,8
Ardli & Wolff (2009)
Dari perkembangan luas perairan Segara Anakan, kita mengetahui bahwa ekspansi areal mangrove di Segara Anakan sangat cepat. Bird (1982) bahkan menyebutkan dalam periode 1900-1964 ekspansi mangrove
Referensi
di Segara Anakan termasuk satu dari beberapa kawasan mangrove dengan ekspansi mangrove paling cepat di dunia. Namun, kenyataan yang kita temui adalah mangrove di kawasan Segara Anakan makin
5
SEMINAR NASIONAL | Biodiversitas dan Bioteknologi Sumberdaya Akuatik
sempit karena konversi areal mangrove sebagian besar telah dikonversi menjadi sawah. Ardli dan Wolff (2009) menyebutkan bahwa dari tahun 1987 sampai 2006, seluas 1.159 ha kawasan perairan estuari yang berubah menjadi areal mangrove, tetapi kemudian lebih banyak, 7.748 ha, kawasan mangrove yang
dikonversi menjadi persawahan tambak semi-intensif, pemukiman dan lain-lain. Sekitar 44% total areal mangrove tahun 1987 telah dikonversi menjadi persawahan. Pola ekspansi mangrove dan konversi areal mangrove menjadi persawahan dari tahun 1987 – 2006 itu dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Perkembangan Segara Anakan dan perubahan tataguna lahan di kawasan Segara Anakan. Dikutip dengan modifikasi dari Ardli dan Wolff (2009).
Kemudian, dari merangkum berbagai hasil penelitian, Yuwono et al. (2007) menyebutkan bahwa vegetasi mangrove di kawasan Segara Anakan sangat bervariasi dengan jumlah jenis lebih dari 17 spesies. Segara Anakan adalah tempat tinggal bagi berbagai jenis hewan yang bernilai ekonomi dan ekologi penting, seperti ikan, udang dan kepiting bakau. Dilaporkan bahwa terdapat lebih dari 45 spesies ikan dan 18 spesies kepiting bakau. Kawasan Segara Anakan juga memiliki nilai penting bagi kemajuan
6
ilmu pengetahuan. Tomascik et al. (1997) menyebutkan bahwa kawasan hutan mangrove di Segara Anakan mungkin adalah kawasan hutan mangrove yang dipelajari sangat intensif. Sejak tahun 1980-an, ketika kawasan Segara Anakan disiapkan sebagai lokasi studi Fase II dari Proyek pengelolaan kawasan pesisir United Nation University (UNU) dan LIPI, kawasan Segara Anakan banyak menarik perhatian para peneliti. Kemudian, kawasan Segara Anakan dipilih sebagai model bagi Perencanaan Pengelolaan Kawasan Pesisir (Coastal Zone Management
FAKULTAS Biologi | Universitas Jenderal Soedirman
Planing) dari CRMP (Coastal Resources Management Project) yang merupakan kegiatan ASEAN dan Amerika Serikat tahun 1982 sampai 1990. Di samping semua itu, kawasan Segara Anakan juga sering dipakai sebagai lokasi penelitian mahasiswa untuk mencapai gelar kesarjanaannya, baik tingkat sarjana, magister maupun doktor. Semua kegiatan ilmiah tersebut mencerminkan pentingnya kawasan Segara Anakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Nilai Konservasi Anakan
Kawasan
Segara
Terkait dengan upaya perlindungan suatu kawasan tertentu, Salm dan Clark (1989) menyatakan bahwa kawasan lindung dapat dirancang untuk, yaitu : 1) Melindungi ekosistem penting atau tipe habitat yang khas, 2) Melindungi diversitas species atau genetik, 3) Melindungi aktifitas biologi yang intens atau hebat, 4) Melindungi habitat kritis bagi spesies atau kelompok spesies tertentu, 5) Melindungi nilai budaya (tempat-tempat bersejarah, suci dan wisata tertentu), 6) Melindungi fasilitas penelitian atau kondisi alamiah dasar (natural baseline condition). Apabila kriteria-kriteria tersebut kita terapkan untuk kawasan Segara Anakan, maka kawasan tersebut pantas dilindungi karena alasanalasan berikut: 1) Adanya ekosistem mangrove yang merupakan kawasan mangrove yang terbesar di Pulau Jawa. 2) Sebagai satu-satunya estuari di pesisir Selatan Pulau Jawa yang menghadap ke Samudera Hindia, maka diversitas spesies atau genetik di kawasan Segara Anakan menjadi penting. 3) Sebagai satu-satunya estuari di pesisir Selatan Pulau Jawa,
dan kawasan mangrove yang terluas di Pulau Jawa, kawasan Segara Anakan merupakan kawasan yang penting bagi penelitian dan pendidikan. Kemudian, tingkat pentingnya kawasan Segara Anakan untuk dikonservasi dapat juga kita tinjau berdasarkan kriteria-kriteria World Heritage. UNESCO menetapkan sepuluh kriteria yang dapat dipakai sebagai dasar penetapannya. Berkaitan dengan kondisi alam, terdapat kriteria-kriteria nomor (vii), (viii), (ix) dan (x) (UNESCO, 2004). Kriteria-kriteria tersebut adalah: 1) Kriteria nomor (vii): mengandung fenomena alam yang luar biasa atau keindahan alam yang luar biasa dan estetika yang penting, 2) Kriteria nomor (viii): menjadi contoh terkemuka yang mewakili tahapan utama sejarah bumi, termasuk rekaman kehidupan, proses geologi yang sedang berlangsung secara signifikan membentuk bentang alam atau kenampakan geomorfik atau fisiografik yang penting, 3) Kriteria nomor (ix): menjadi contoh terkemuka mewakili proses-proses ekologi dan biologi penting yang sedang berlangsung dalam evolusi dan perkembanagn ekosistem darat, air tawar, pesisir dan laut dan komunitas tumbuhan dan hewan, 4) Kriteria nomor (x): mengandung habitat alamiah yang penting dan berarti bagi kawasan konservasi insitu untuk deversitas biologi, termasuk yang mengandung spesiesspesies yang terancam punah yang memiliki nilai universal terkenal dari sudut pandang saint dan konservasi.
7
SEMINAR NASIONAL | Biodiversitas dan Bioteknologi Sumberdaya Akuatik
Bila kita mengacu pada kriteria-kriteria tersebut, maka kawasan Segara Anakan memiliki hal-hal berikut yang mungkin dapat diunggulkan : 1) Sebagai estuari di daerah tropis basah. Keistemewaan apa yang menonjol di Segara Anakan dibandingkan dengan estuari-estuari lain di dunia belum diketahui. Dengan penetapan kawasan Segara Anakan sebagai kawasan konservasi, peluang untuk mempelajari keistimewaan kawasan Segara Anakan menjadi terbuka, khususnya yang berkaitan dengan biodiversitas. Patut dicatat bahwa ditetapkannya kawasan Segara Anakan sebagai tempat pelaksanaan beberapa kerjasama internasional menunjukkan adanya keistimewaan dari kawasan tersebut. Estuari Ribble di Inggris adalah salah satu contoh estuari yang menjadi kawasan konservasi (Wal et al., 2002). 2) Sebagai tempat tersimpannya rekaman perubahan kondisi lingkungan dari kondisi lingkungan laut ke kondisi lingkungan estuari di daerah tropis. Uraian sejarah perubahan lingkungan di kawasan tersebut dari Teluk Citanduy Hipotetis ke Estuari Segara Anakan yang sekarang, mengisyarakatkan adanya rekaman perubahan kondisi lingkungan di kawasan tersebut sejak 5000 BP. Status Kawasan Lindung Bagi Kawasan Segara Anakan Untuk dapat menentukan status kawasan lindung bagi kawasan Segara Anakan, kita perlu meninjau PP Nomor 26 Tahun 2008. Menurut peraturan pemerintah tersebut, dalam Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional tentang Kawasan Lindung Nasional, status kawasan lindung yang
8
cocok bagi Segara Anakan adalah ”Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya” (Pasal 51, huruf a). Selanjutnya, menurut Pasal 52, ayat (3) kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya yang sesuai bagi Segara Anakan adalah ”Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya” (huruf b) dan ”Taman wisata alam dan taman wisata alam laut” (huruf h). Kriteria penetapan bagi kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya disebutkan dalam Pasal 57, ayat (2) sebagai berikut: a b
Memiliki ekosistem khas, baik di lautan maupun di perairan lainnya; dan Merupakan habitat alami yang memberikan tempat atau perlindungan bagi perkembangan keaneka ragaman tumbuhan dan satwa.
Pasal 57, ayat (80) menyebutkan bahwa, Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf h ditetapkan dengan kriteria : a
b c
d
Memiliki daya tarik fisik alam berupa tumbuhan, satwa dan ekosistemnya yang masih asli, serta formasi geologi yang indah, unik dan langka; Memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata; Memiliki luas yang cukup untuk menjamin pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk dimanfaatkan bagi wisata alam, dan Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan wisata alam.
Dari peninjauan terhadap PP No. 20/2008 itu, terlihat bahwa kawasan Segara Anakan berpeluang untuk ditetapkan sebagai: (1). Kawasan suaka alam laut, atau (2) Taman Wisata Alam Laut. Faktor kunci dalam menentukan pilihan konservasi tersebut adalah kondisi kawasan Segara Anakan sebagai estuari di daerah tropis basah dan keberadaan ekosistem mangrove yang merupakan
FAKULTAS Biologi | Universitas Jenderal Soedirman
satu unit ekosistem mangrove yang terluas di Pulau Jawa. Bagi Pulau Jawa yang padat penduduk dan makin langka sumberdaya alam yang masih bersifat alamiah, kawasan Segara Anakan yang sekarang merupakan sebuah estuari dengan ekosistem mangrovenya adalah sangat penting. KESIMPULAN Kawasan Segara Anakan adalah satu-satunya estuari di pesisir selatan Pulau Jawa dan memiliki sejerah yang panjang. Sejarah pembentukannya dimulai dari masa sekitar 5000 BP ketika muka laut berada sekitar 5 meter di atas muka laut sekarang dan Teluk Citanduy Hipotetis (Hypothetical Citanduy Bay) yang merupakan laut setengah tertutup (semi-enclosed coastal sea) terbentuk bersama dengan Teluk Kroya Hipotetis (Hypothetical Kroya Bay) di sebelah timurnya. Perkembangan selanjutnya, Teluk Kroya Hipotetis berubah semakin terbuka terhadap proses marin dari Samudera Hindia dan akhirnya menjadi lingkungan pantai pasir berenergi tinggi. Di pihak lain, Teluk Citanduy Hipotetis berkembang menjadi semakin tertutup dan menjadi sebuah lagoon seiring dengan perkembangan spit Cilacap yang pembentukannya merupakan bagian dari proses perubahan di Teluk Kroya Hipotetis. Selanjutnya, sedimentasi dan ekspansi vegetasi mangrove di dalam kawasan lagoon membuat kedalaman dan luar perairan lagoon itu semakin berkurang, dan akhirnya sekarang telah berubah menjadi sebuah estuari dalam bentuk alur yang lebar. Sekarang, ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan adalah satu unit kawasan ekosistem mangrove yang terluas di Pulau Jawa, dan memiliki arti penting secara ekologi; memiliki nilai ekonomi dan sosial bagi masyarakat setempat, dan penting bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, dan dikenal secara internasional. Dari sudut pandang konservasi, keadaan tersebut menyebabkan kawasan Segara Anakan memiliki nilai konservasi tinggi secara nasional. Lingkungan estuari dan ekosistem mangrovenya perlu
dilindungi. Kawasan tersebut pantas untuk dijadikan kawasan lindung, yaitu sebagai Kawasan Suaka Alam Laut, atau Taman Wisata Alam Laut. Sementara itu, perlu studi lebih jauh tentang ekologi dan biodiversitas di kawasan Segara Anakan untuk mengetahui apakah kawasan tersebut pantas untuk diperjuangkan menjadi kawasan World Heritage. PUSTAKA ADB (Asian Development Bank), 2006. Indonesia: Segara Anakan Conservation and Development Project, ADB Completion Report. Asian Development Bank, 42 p. [http://www.adb.org/Documents /PCRs/INO/22043-INO-PCR.pdf]. Accessed: 13 May 2010. Ardli, E.R. and Wolff, M., 2009. Land use and land cover change affecting habitat distribution in the Segara Anakan lagoon, Java, Indonesia. Reg Environ Change, 9, 235-243. ASEAN/US CRMP and DGF (Assosiation of Southeast Asian Nation/United State Coastal Resources Management Project, Directorate General of Fisheries, Indonesia), 1992. The Integrated Management Plan for Segara Anakan-Cilacap, Central Java, Indonesia. ICLARM Tech. Rep. 34, 100 p. Bird, E.C.F. and Ongkosongo, O.S.R., 1980. Environmental Changes on the Coast of Indonesia. The United Nations University, Tokyo, 52 p. Bird, E.C.F., 1982, Management problem in tropical estuaries. In: E.C.F. Bird, A. Soegiarto and K.A. Soegiarto (eds.), Proceeding of the workshop on coastal resources management on the Cilacap region, pp. 6 – 16, The Indonesian Institute of Sciences and The United Nation University, Jakarta 1982. Boyd, R., Dalrymple, R. and Zaitlin, B.A., 1992. Classification of clastic coastal depositional environment. Sedimentary Geology, 80, 139150. Holtermann, P., Burchard, H. and Jennerjahn, T., 2009. Hydrodynamic of the Segara
9
SEMINAR NASIONAL | Biodiversitas dan Bioteknologi Sumberdaya Akuatik
Anakan lagoon. Reg Environ Change, 9, 245-258. Napitupulu, M. and Ramu, K.L.V., 1982. Development of the Segara Anakan area of Central Java. In: E.C.F. Bird, A. Soegiarto and K.A. Soegiarto (eds.) Proceeding of the workshop on coastal resources management on the Cilacap region, pp. 66 – 82, The Indonesian Institute of Sciences and The United Nation University, Jakarta. Pudjoarinto, A., The invasion of newly formed land in the Segara Anakan area by mangrove species. In: E.C.F. Bird, A. Soegiarto and K.A. Soegiarto (eds.), Proceeding of the workshop on coastal resources management on the Cilacap region, pp. 114 – 121, The Indonesian Institute of Sciences and The United Nation University, Jakarta, 1982. Salm, R.V. and Clark, J.R., 1989. Marine and Coastal Protected Areas: a guide for planners and managers. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Gland, Switzerland, 302 p. Setyawan, W.B., 2002. Development of Segara Anakan: a preliminary study. Proceedings of the 31st IAGI Annual Convention, Surabaya. Sunaryo, I., 1982. A floristic study of mangrove forest in Segara Anakan. In: E.C.F. Bird, A. Soegiarto and K.A. Soegiarto (eds.), Proceeding of the workshop on coastal resources management on the Cilacap region, pp. 132 – 145, The Indonesian Institute of Sciences
10
and The United Nation University, Jakarta. Surjowinoto, M., 1982. The Cilacap mangrove ecosystem. In: E.C.F. Bird, A. Soegiarto and K.A. Soegiarto (eds.), Proceeding of the workshop on coastal resources management on the Cilacap region, pp. 57 – 65, The Indonesian Institute of Sciences and The United Nation University, Jakarta. Tomascik, T., Mal, A.J., Nontji, A. and Moosa, M.K., 1992. The Ecology of The Indonesia Sea Part Two, The Ecology of Indonesia Series vol. VIII. Periplus Edition, Singapore. UNESCO, 2004. World Heritage, the Criteria for Selection. [http://whc.unesco.org/en/criteri a/]. Accessed: 22 February 2010. Wal, D. van der, Pye, K. and Neal, A., 2002. Long-term morphological change in the Ribble Estuary, northwest England. Marine Geology, 189, 249-266. White, A.T., Martosubroto, P., and Sadorra, M.S.M. (eds.), 1989. The coastal environmental profile of Segara Anakan-Cilacap, South Java, Indonesia. ICLARM Technical Reports 25. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines, 82 p. Yuwono, E., Jennerjahn, T.C., Nordhaus, I., Riyanto, E.A., Sastranegara, M.H. and Pribadi, R., 2007. Ecological status of Segara Anakan, Indonesia: a mangrove-fringed lagoon affected by human activities. Asian Journal of Water, Environment and Pollution, v. 4, n. 1, 61-70.