Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
KONSEP LIVABILITY RUSUNAWA BAGI PEDAGANG KAKI LIMA STUDI KASUS: RUSUNAWA PENJARINGAN SARI DAN RUSUNAWA DUPAK BANGUNREJO, KOTA SURABAYA Chintia Putri Agnesi1), Ispurwono Soemarno2) dan Purwanita Setijanti3) 1) Program Studi Magister Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia e-mail:
[email protected] 2) Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember 3) Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Keberadaan pedagang kaki lima tidak dapat dipisahkan oleh sebuah kota. Pedagang kaki lima yang umumnya termasuk dalam golongan masyarakat berpenghasilan rendah, seringkali menempati ruang publik dan tempat ilegal untuk berjualan. Permasalahan pedagang kaki lima akibat keterbatasan ekonomi juga mempengaruhi tempat dimana mereka tinggal, banyak pedagang kaki lima yang tinggal di tempat berjualan dan kawasan ilegal. Rumah susun merupakan salah satu alternatif solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan di perkotaan. Umumnya rusunawa dirancang bagi MBR secara keseluruhan. Jika mayoritas penghuni berprofesi sebagai pedagang kaki lima, maka diperlukan perlakuan tertentu pada rusunwa untuk dapat livable dan mampu mewadahi kebutuhan penghuni bagi berprofesi sebagai pedagang kaki lima secara tepat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami tujuan pembangunan rusunawa agar tidak hanya sekedar menyediakan perumahan sebagai solusi dari permukiman kumuh saja, namun juga mengedepankan kualitas hidup terkait dengan aspek livability pada rusunawa. Penelitian ini dilakukan di Rusunawa Penjaringan Sari dan Dupak Bangunrejo Kota Surabaya. Teknik penelitian dilakukan dengan observasi lapangan, penyebaran kuisioner dan wawancara secara mendalam di lokasi studi. Metode yang digunakan dalam menganalisa adalah analisa deskriptif kualitatif dan menggunakan teori livable perkotaan dan permukiman sebagai acuan dasarnya. Penelitian menunjukkan bahwa perencanaan rusunawa belum sepenuhnya memperhatikan keberadaan pedagang kaki lima dan tingkat pencapaian kriteria livability juga belum optimal. Hasil penelitian ini adalah konsep livability rusunawa bagi pedagang kaki lima. Sehingga, dengan adanya konsep ini diharapkan penyediaan rusunawa lebih memperhatikan eksistensi pedagang kaki lima dan dapat meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik dan berkelanjutan. Kata kunci: livability, pedagang kaki lima, rusunawa
PENDAHULUAN Keberadaan pedagang kaki lima tidak dapat dipisahkan oleh sebuah kota. Pedagang kaki lima yang umumnya termasuk dalam golongan masyarakat berpenghasilan rendah, seringkali menempati ruang publik, ruang jalan, area trotoar dan tempat-tempat ilegal untuk berjualan. Keterbatasan ekonomi dan kurangnya modal mengkondisikan mereka untuk berjualan di area-area tersebut karena tidak mampu untuk memiliki atau menyewa tempat formal untuk berjualan. Kehadiran pedagang kaki lima memberikan pengaruh langsung dari kegiatan berdagangnya, baik pada tata ruang kota maupun estetika dan keindahan kota. ISBN : 978-602-97491-9-9 B-17-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
Namun demikian bila ditinjau dari segi sosial ekonomi, kegiatan pedagang kaki lima ini secara tidak langsung membantu masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup hingga status sosial ekonomi. (Iswanto, 2007) Permasalahan para pedagang kaki lima akibat keterbatasan ekonomi tidak hanya mempengaruhi lokasi persebaran dimana mereka berjualan saja, namun juga mengenai tempat dimana mereka tinggal. Tidak sedikit dari mereka yang tinggal di kawasan permukiman informal dan ilegal seperti mendirikan rumah non permanen di area sempadan sungai dan lahan-lahan kosong, bahkan tidak sedikit pula yang tinggal di tempat berjualannya. Hal tersebut berdampak pada kekumuhan kota. Mengacu pada Yudohusodo (1991) kebijakan pembangunan rumah susun sederhana sewa merupakan salah satu alternatif solusi dalam mengatasi permasalahan permukiman di perkotaan. Rusunawa menjawab permasalahan terkait keterbatasan lahan untuk permukiman dan tingginya harga lahan di perkotaan. Pembangunan rumah susun memiliki tujuan untuk mewadahi masyarakat berpenghasilan rendah dalam meningkatkan kualitas dan taraf hidup yang lebih baik. Untuk itu, jangan sampai pembangunan rusunawa justru menciptakan lingkungan kumuh baru. Livability adalah kondisi lingkungan dan suasana yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktivitas yang dilihat dari berbagai aspek. Prinsip-prinsip dari konsep livability memiliki tujuan untuk peningkatan kualitas hidup dan lain sebagainya pada perumahan yang merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat di seluruh dunia. Dalam lingkup lokal, salah satu visi pembangunan perkotaan Indonesia dalam KSNP 2015 yang telah dirumuskan oleh Bappenas (2012) yaitu kota berkelanjutan dan berdaya saing untuk kesejahteraan masyarakat: Smart City, Livable City, dan Green Economy City. Dalam mewujudkan kota yang livable, tidak lepas hubungannya dengan keberadaan kawasan permukiman. Dengan tercapainya permukiman yang livable, maka kota tersebut akan lebih mudah dalam mencapai kesejahteraan bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini konsep livability dijadikan pedoman dalam mengidentifikasi apakah rumah susun sederhana sewa dapat memenuhi kriteria livable sebagai solusi dari permukiman kumuh di kota, serta bagaimana konsep livability pada rumah susun sederhana sewa berdasarkan kebutuhan dari pedagang kaki lima sebagai penghuni rumah susun. Penelitian ini dilakukan di rusunawa Penjaringan Sari 2 dan rusunawa Dupak Bangunrejo. Rusunawa Penjaringan Sari 2 secara administratif termasuk dalam wilayah Kelurahan Penjaringan Sari, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya. Rusun ini terdiri atas 3 blok rusun. Setiap blok terdiri atas 4 lantai. Seluruh hunian di rusun ini memiliki luas 21m 2. Total jumlah penghuni sebanyak 288 KK dan terdapat 12 KK yang berprofesi sebagai PKL dengan jenis makanan siap saji. Rusun Dupak Bangunrejo secara administratif termasuk dalam Kelurahan Dupak, Kecamatan Bubutan, Kota Surabaya. Rusunawa Dupak Bangunrejo terdiri dari dua tahap pembangunan, yaitu tahap pertama terdiri dari blok A dan B yang didirikan pada tahun 1989. Tahap kedua terdiri dari empat blok, yakni blok C, D, E dan F yang didirikan pada tahun 1990. Setiap blok terdiri atas 3 lantai yang semuanya difungsikan sebagai hunian, dengan luas 18m2 per unitnya. Total jumlah penghuni sebanyak 150 KK dan terdapat 6 KK yang berprofesi sebagai PKL dengan jenis makanan siap saji METODE Analisa studi kasus dilakukan dengan observasi lapangan. Kuisioner disebarkan pada sejumlah penghuni rusunawa yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima dengan jenis makanan siap saji. Wawancara juga dilakukan untuk mengindentifikasi secara mendalam mengenai aktivitas pedagang kaki lima dan kekurangan maupun kelebihan rusunawa dalam
ISBN : 978-602-97491-9-9 B-17-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
pemenuhan kriteria livability. Analisa dilakukan dengan metode kualitatif dan perumusan konsep livability dilakukan dengan analisa triangulasi. RUSUNAWA DAN KONSEP LIVABILITY Rusunawa Menurut Yudohusodo (1991) rumah merupakan tempat darimana manusia berangkat dan kemana ia dapat selalu kembali setelah menjalani kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan kepastian hidup manusia. Selain daripada itu rumah berfungsi sebagai tempat tinggal, dimana manusia dapat mengharapkan keintiman dan kehangatan hidup manusiawi. Yudohusodo juga mengungkapkan bahwa arti rumah bagi manusia, akan sama juga dalam pengertiannya untuk rumah susun. Budiharjo (2006) menjelaskan bahwa dalam proses perencanaan rumah susun terdapat tiga faktor yang harus dipahami sebelumnya, yakni: makna/hakekat rumah, fungsi rumah, dan ciri hakiki perumahan bagi manusia. Dengan memahami ketiga faktor diatas, diharapkan rumah susun dapat menampung aspek-aspek kehidupan masyarakat dengan segala aktivitas yang ada di dalamnya, sehingga kedepannya rumah susun tidak akan mubazir. Dari paparan mengenai aspek-aspek dalam pembangunan rusunawa diatas, dapat dilihat bahwa rumah susun untuk dapat mampu mewadahi secara tepat perlu adanya pendekatan khusus mengenai siapa calon penghuni rumah susun tersebut. Pedagang kaki lima tentunya memiliki kebutuhan yang berbeda dari penghuni rumah susun pada umumnya, baik dari segi aktivitas, sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga diperlukan penanganan khusus terkait dengan aktivitas dan kebutuhan penghuni yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima. Konsep Livability P. Evans, ed. (2002, dalam Timmer & Seymoar, 2006) menyatakan: “The coin of livability has two faces. Livelihood is one of them. Ecological sustainability is the other. Livelihood means jobs close enough to decent housing with wages commensurate with rents and access to the services that make for a healthful habitat. Livelihoods must also be sustainable. If the quest for jobs and housing is solved in ways that progressively and irreparably degrade the environment of the city, then the livelihood problem is not really being solved. Ecological degradation buys livelihood at the expense of quality of life, with citizens forced to trade green space and breathable air for wages. To be livable, a city must put both sides of the coin together, providing livelihoods for its citizens, ordinary as well as affluent, in ways that preserve the quality of the environment.” (p.3) Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa livability dapat diibaratkan sebagai sebuah mata uang yang memiliki dua wajah/sisi. Pada satu sisi livability berkaitan erat dengan keberlanjutan penghidupan masyarakat dan di sisi lain livability juga berkaitan dengan keberlanjutan ekologi. Untuk menjadi kota yang livable, maka kedua sisi koin tersebut harus diletakkan secara seimbang. Menyediakan livelihoods yang berkelanjutan, dalam arti menyediakan perumahan yang layak dengan harga sewa yang sempadan dengan upah kerja. Lingkungan perumahan yang lokasinya dekat dengan tempat bekerja dan memiliki akses pada layanan infrastruktur dasar sehingga dapat membangun habitat yang sehat. Dalam penyelesaian masalah terkait dengan keberlanjutan penghidupan masyarakat, kebijakan yang diambil harus tetap memperhatikan kualitas lingkungan.
ISBN : 978-602-97491-9-9 B-17-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
Mengacu pada Narang (2011), dalam livability terdapat tiga elemen penting yang saling terkait, yakni: 1. resilience (ketahanan) 2. inclusiveness (inklusivitas) 3. authenticity (keaslian) Dalam upaya mewujudkan visi pembangunan perkotaan Indonesia, Bappenas (2012) telah memaparkan mengenai benchmarking livable city dalam Rancangan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional 2025. Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa ketersediaan sarana dan prasarana serta kualitasnya menjadi peranan penting dalam mewujudkan sebuah kota yang livable. Dalam program pengadaan perumahan baik landed housing maupun vertical housing seperti rumah susun, aspek-aspek diatas dapat dijadikan dasar pedoman. PEDAGANG KAKI LIMA Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh McGee dan Yeung (1977) pedagang kaki lima terdorong untuk bekerja dalam sektor ini karena kurangnya kesempatan ekonomi dan tingkat pendidikan. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa meskipun para pedagang kaki lima berlatarbelakang pendidikan yang rendah, bukan berarti mereka adalah kelompok berpendidikan terburuk di sebuah kota. Pemberdayaan pedagang kaki lima dengan pelatihan dan pendidikan non-formal, dapat membantu mereka untuk memperbaiki diri dan meningkatkan pengatahuan dan skill. Sehingga mereka dapat lebih melayani masyarakat dan dapat keluar dari sektor ini di masa mendatang. Selanjutnya dikemukakan bahwa pedagang kaki lima dikelompokkan menjadi empat berdasarkan jenis dagangannya, yaitu: 1. Makanan yang tidak diproses dan semi olahan (unprocessed and semi processed food), makanan yang tidak diproses termasuk makanan mentah seperti buah dan sayur, sedangkan makanan semi proses adalah beras. 2. Makanan siap saji (prepared food), yaitu pedagang makanan dan minuman yang sudah dimasak. 3. Barang bukan makanan (non food items), kategori ini terdiri dari barang-barang dalam skala yang luas, mulai dari tekstil hingga obat-obatan. 4. Jasa (service), terdiri dari beragam aktifitas seperti jasa perbaikan sol sepatu dan tukang potong rambut. Jenis komoditas ini cenderung menetap. Lebih lanjut Mc. Gee dan Yeung mengemukakan bahwa dari keempat jenis dagangan diatas, masing-masing memiliki perbedaan sistem pemasaran dan kebutuhan khusus terkait dengan ruang dan aktivitas persiapannya. Karakteristik dari pedagang kaki lima makanan adalah kegiatan utama dimana pedagang terlibat langsung dalam tahap persiapan, pengolahan dan penjualan makanan yang mereka masak ataupun minuman. Namun seringkali terbatas dalam penyediaan fasilitas untuk penyimpanan dan pengolahan bahan makanan. HASIL DAN PEMBAHASAN Aktifitas dan Kebutuhan Pedagang Kaki Lima Dalam pola pelayanan dimana pedagang kaki lima berjualan terdapat tiga jenis pola layanan, yakni unit PKL tidak menetap (keliling), unit PKL setengah menetap dan unit PKL menetap. Berdasarkan jawaban responden mengenai lokasi tempat berjualan, responden dari rusunawa Penjaringan Sari 2 yang berjualan di area rusun sebanyak 41% dan responden yang berjualan keliling ada sebanyak 42% sedangkan yang berjualan menetap di lokasi lain hanya terdapat 17%. Mayoritas responden dari rusunawa Dupak Bangunrejo berjualan di area rusun ISBN : 978-602-97491-9-9 B-17-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
dengan persentase sebesar 67%, sedangkan yang berjualan menetap di lokasi lain terdapat 17% serta yang berjualan keliling hanya terdapat 16%. Responden yang memilih untuk berjualan di area di rusun dikarenakan mempertimbangkan efektifitas waktu. Mereka berpendapat bahwa dengan berjualan di rusun mereka telah memiliki pelanggan tetap, berbeda dengan berjualan keliling yang tidak menentu pembelinya. Selain itu dengan berjualan di dekat rumah mereka dapat melakukan aktifitas lain seperti menjaga anak disela-sela waktu berjualan.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1. Pedagang Kaki Lima di Rusunawa Dupak Bangunrejo (a & b), Pedagang Kaki Lima di Rusunawa Penjaringan Sari 2 (c & d).
Mc.Gee dan Yeung (1977) mengemukakan bahwa karakteristik dari pedagang kaki lima makanan adalah kegiatan utama dimana pedagang terlibat langsung dalam tahap persiapan, pengolahan dan penjualan produk makanan mereka. Berdasarkan hasil observasi lapangan, aktifitas dalam mempersiapkan bahan baku rata-rata dimulai pada pukul 6 pagi hingga pukul 7.30 pagi. Responden belanja bahan baku di pasar terdekat. Di blok D lantai dasar rusunawa Penjaringan Sari 2, setiap pagi digunakan sebagai tempat los pasar, tempat pedagang sayur bermotor yang datang dari luar. Keseluruhan PKL yang tinggal di rusunawa Dupak Bangunrejo, berbelanja bahan baku di pasar Dupuk Bangunsari yang lokasi tidak jauh dari rusunawa. Aktifitas pengolahan masakan bergantung pada pukul berapa responden akan memulai berjualan. Untuk responden yang mulai berjualan di pagi hari, terbiasa memulai aktifitas pengolahan/masak pada pukul 3 pagi. Aktifitas persiapan jualan dilakukan sekitar 1 jam sebelum waktu target berjualan. aktifitas ini meliputi mempersiapkan dan membersihkan sarana dagang yang akan digunakan seperti gerobak, meja, pikulan, kios, keranjang, dan lain sebagainya. Aktifitas dagang dari keseluruhan responden rata-rata dimulai di pagi hari. PKL makanan seperti nasi pecel, nasi campur, rujak dan soto biasanya dimulai pada pukul 8 pagi hingga sore hari. Beberapa responden yang berjualan di area rusun juga biasanya waktu ISBN : 978-602-97491-9-9 B-17-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
jualannya lebih lama, bahkan bisa dimulai dari pagi dan selesai pada malam hari, karena disela-sela waktu berjualan mereka tetap dapat melakukan aktifitas lain di rumah. Penghuni rusun yang telah berprofesi sebagai PKL sejak belum tinggal di rusun, berpendapat bahwa terdapat perubahan yang positif maupun negatif. Perubahan yang positif antara lain, terpenuhinya kebutuhan akan infrastruktur dasar seperti jaringan listrik dan air bersih. Sedangkan perubahan negatifnya adalah tempat masak dan jualan yang menjadi terbatas. Mayoritas mereka merasa luasan dapur di tiap unit hunian dirasa kurang untuk mewadahi aktifitas mereka dalam mengolah masakan. Lokasi rumah yang berada di lantai 2 hingga 4 mempersulit mereka dalam mempersiapkan masakan yang sudah matang dan telah siap untuk dijual. Selanjutnya perubahan yang terjadi adalah target pembeli yang semakin menurun. Berbeda kondisi dengan mereka yang berjualan keliling, walaupun tempat tinggal mereka pindah ke rusunawa, namun target pembelinya mereka sendiri yang menentukan, apakah para siswa sekolah, pejalan kaki, warga umum, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil analisa jawaban kuisioner, tidak semua pedagang kaki lima yang tinggal di rusun membutuhkan tempat produksi khusus PKL di area rusun. Rata-rata responden yang setuju dengan kebutuhan akan ruang khusus kegiatan produksi adalah mereka yang kegiatan produksinya menggunakan alat-alat masak yang relatif besar, seperti pedagang kue, bakso, soto dan mie ayam. Sedangkan mereka yang menjawab tidak membutuhkan ruang khusus produksi merasa kondisi rumah mereka saat ini sudah cukup dapat mewadahi aktifitas mereka. Budaya persaingan antar pedagang masing dapat dirasakan di kedua rusun, rata-rata responden memiliki caranya sendiri untuk memasak terutama pada penggunan bumbu yang umumnya dirahasiakan oleh masing-masing pedagang. Selain budaya persaingan antar PKL, hal ini menunjukkan adanya upaya dari setiap responden untuk beraktualisasi dalam hal pengolahan makanan. Pemenuhan Kriteria Livability Pembahasan mengenai pemenuhan kriteria livability rusunawa dikaji dalam beberapa aspek, meliputi infrastruktur, lingkungan, budaya, pendidikan, kesehatan dan stabilitas. Dari hasil perhitungan persentase rata-rata pencapaian pemenuhan kriteria livability di kedua rumah susun, hasilnya dikategorikan menjadi 3, yaitu: 0-33% : Kurang 34-67% : Sedang 68-100% : Baik
Gambar 2. Diagram Tingkat Pemenuhan Kriteria Livability ISBN : 978-602-97491-9-9 B-17-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
Pada dasarnya, kebutuhan akan infrastruktur dasar di kedua lokasi studi telah terlayani dengan baik. Hanya saja masih terkendala hambatan-hambatan teknis yang menyebabkan pemenuhan kriteria livability belum mencapai tingkat pemenuhan yang baik sekali. Sistem drainase dan sanitasi di rusunawa Penjaringan Sari 2 secara rata-rata masuk dalam kategori yang cukup baik, hanya terkadang masih terjadi penyumbatan pada pipa-pipa air kotor. Terkait dengan sistem drainase dan sanitasi, rusunawa Dupak Bangunrejo memiliki masalah yang berbeda, yakni drainase yang ada belum mampu menampung jumlah debit air terutama ketika musim penghujan. Masalah banjir ini sangat mempengaruhi produktivitas dan kelancaran responden untuk berjualan. Jaringan listrik dan penerangan di rusunawa Penjaringan Sari 2 kondisinya dapat dinilai lebih baik daripada rusunawa Dupak Bangunrejo, hal ini berhubungan dengan perancangan desain blok hunian rusun yang mempertimbangkan bukaan yang lebar di beberapa sisi bangunan. Dengan banyaknya sinar matahari yang masuk, penerangan alami pada selasar blok rusun dan unit rumah bisa masuk secara maksimal. Hal ini memberikan manfaat bagi penghuni rusun karena dapat menghemat penggunaan energy. Sarana taman bermain anak, olahraga dan rekreasi belum terfasilitasi dengan baik di kedua rusun. Berdasarkan hasil survey, adanya taman kunang-kunang di dekat rusunawa Penjaringan Sari 2 belum sepenuhnya dapat memfasilitasi anak-anak penghuni rusun untuk bermain. Lokasinya berada di luar kompleks rusunawa menyebabkan penghuni rusun khawatir akan keamanan anak-anak mereka bila jauh dari pengawasan. Oleh sebab itu, anakanak penghuni rusun hanya bisa bermain di selasar hunian masing-masing blok. Kurangnya pengetahuan akan manfaat yang dapat dihasilkan oleh sistem IPAL membuat instalasi IPAL di rusunawa Penjaringan Sari 2 tidak berfungsi dengan semestinya. Kondisi ekonomi penghuni rusun juga menjadi hambatan dari program ini. Mayoritas penghuni rusunawa adalah masyarakat berpenghasilan rendah, mereka tidak mampu untuk menanggung biaya operasional dari sistem IPAL ini. Budaya adalah salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan vertical housing. Budaya gotong royong masih dapat dirasakan eksistensinya di kedua rusun. Hubungan baik yang terjalin antar warga penghuni rusun menjadi kunci utama agar budaya gotong royong dapat terus berjalan. Bila warga rusun menjadi pribadi yang individualis, maka hubungan antar sesama penghuni rusun tidak dapat menjadi guyub. Kelompok-kelompok sosial seperti PKK, kelompok pengajian dan arisan merupakan kegiatan pendukung yang dapat menjalin silaturahmi antar warga rusun. Pelayanan sarana pendidikan dasar di kedua rusunawa telah terlayani dengan baik, mudah diakses dan dicapai. Fasilitas pendidikan non formal seperti perpustakaan dan taman bacaan telah tersedia di kedua rusun, hanya saja minat dari anak-anak penghuni rusun yang dirasa kurang. Kegiatan pemberdayaan maysrakat terkait dengan kegiatan berdagang, lebih rutin diadakan dan aktif di rusunawa Penjaringan Sari 2 dibandingkan dengan rusunawa Dupak Bangunrejo. Kualitas kesehatan dari penghuni rusunawa Penjaringan Sari 2 dan Dupak Bangunrejo tergolong cukup baik. Tidak terdapat penyakit menular, jauh dari sumber penyakit dan pencemaran lainnya. Sarana kesehatannya juga dalam kondisi yang baik, bersih, mudah dicapai dan setiap penghuni dilayani dengan baik. Sarana bagi lansia dan disable dinilai lebih baik kondisinya pada rusunawa Penjaringan Sari 2, walaupun secara fisik kurang diperhatikan, namun keberadaan lansia di sana sangat di perhatikan. Seperti adanya program senam bagi lansia, tamasya bersama, dan lain sebagainya. Konsep Livability Rusunawa bagi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan hasil analisa triangulasi, konsep livability yang dapat diterapkan pada rumah susun sederhana sewa bagi pedagang kaki lima adalah sebagai berikut:
ISBN : 978-602-97491-9-9 B-17-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
A. Pemenuhan kebutuhan PKL di rusunawa 1. Mengoptimalkan ruang bersama di lantai dasar sebagai ruang workshop. 2. Memberikan pelatihan manajemen pemasaran bagi PKL sehingga mereka dapat mengembangkan usahanya secara mandiri 3. Mengoptimalkan space pada ruang dapur 4. Memfasilitasi PKL dengan area berjualan khusus di area rusun yang diperuntukkan hanya bagi PKL yang tinggal di rusun. 5. Penyediaan jaringan gas agar menjaga keamanan dalam kegiatan produksi/masak B. Konsep livability rumah susun sederhana sewa bagi pedagang kaki Lima Infrastruktur 1. Menyediakan jaringan jalan yang aman bagi lansia dan disable 2. Dilengkapi dengan jalur petunjuk bagi disable 3. Memberikan fasilitas maintenance pada ssistem sanitasi secara berkala Kesehatan dan Lingkungan 1. Menyediakan taman bermain diarea rusun 2. Membedakan shaft sampah plastik dan organik 3. Memanfaatkan ruang-ruang luar yang tidak fungsikan sebagai tempat pemanfaatan sampah rumah tangga 4. Dalam perencanaan lokasi pembangunan rusun, perlu diperhatikan aksesibilitas pada sarana perniagaan Pendidikan 1. Mengoptimalkan fasilitas taman bacaan/perpustakaan 2. Menyediakan taman bacaan dengan desain yang dapat menarik minat anak-anak 3. Memberikan program pelatihan dan pembinaan dengan pemberitahuan secara menyeluruh Stabilitas dan Budaya Memfasilitasi blok rusun dengan pos keamanan yang juga dapat dimanfaatkan sebagai ruang bersama. Selain berfungsi sebagai sarana keamanan, fasilitas ini bisa memberikan kesempatan bagi penghuni untuk berkomunikasi dan bermusyawarah. KESIMPULAN Pemenuhan kriteria livability dikedua lokasi studi telah terfasilitasi pelayanan dasar namun adanya hambatan dan kendala teknis yang menyebabkan pemenuhan tiap kriteria tidak maksimal. Berdasarkan hasil penelitian, terjadi perubahan secara fisik dan non fisik ketika penghuni rusun yang sebelum tinggal di rusun telah berjualan, antara lain: target konsumen, terfasilitasi pelayanan dasar yang dapat mendukung kegiatan berdagang dan terdapat keterbatasan ruang untuk mewadahi kebutuhan produksi makanan. Mayoritas penghuni memiliki privasi dalam aktifitas produksi makanan yang tidak ingin diganggu oleh penghuni lain. Dalam perencanaan rumah susun, aksesibilitas terhadap sarana perdagangan lebih dipertimbangkan. Bagi pedagang kaki lima, jarak antara tempat tinggal, tempat berjualan dan sarana perdagangan seperti pasar, kios, dsb sangat mempengaruhi aktifitas dan juga pengeluaran.
ISBN : 978-602-97491-9-9 B-17-8
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan dan Pembangunan nasional (2012), Rencana Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional, Badan Perencanaan dan pembangunan Nasional, Jakarta Budihardjo, Eko, (2006), Sejumlah Masalah Permukiman Kota, Cetakan ke 5, PT. Alumni, Bandung. Iswanto, Danoe (2007), Tinjauan Keberadaan pedagang kaki Lima (PKL), Aspek Pedestrian Area, dan Parkir di Kawasan Solo Grand Mall (SGM), Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman, ENCLOSURE Volume 6 No. 2. Juni 2007 McGee, T.G & Yeung, Y.M, (1977), Hawkers in Southeast Asian Cities : Planning for the Bazaar Economy, International Development Research Centre, Ottawa Narang, Shipra (2011), Decoding the Livable City. The Philips Center for Health and Wellbeing Insight Series on Livable Cities, nr.I, Philips Publication, Amsterdam Timmer, Vanessa & Seymoar, Nola-Kate, (2006), The World Urban Forum 2006. Vancouver Working Group, Discussion Paper. Her majesty the Queen in Right of Canada and the International Centre for Sustainable Cities, 2004. March 2005. Diakses pada http://www.cscd.gov.bc.ca/lgd/intergov_relations/library/wuf_the_livable_city.pdf tanggal 15 May 2013 Yudhohusodo, Siswono, (1991), Rumah untuk Seluruh Rakyat, Yayasan Padamu Negeri, Jakarta
ISBN : 978-602-97491-9-9 B-17-9