KONSEP ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM Sovia Mas Ayu, MA. Email:
[email protected]
Abstrak Agama Islam berfungsi pada diri penganutnya sebagai panduan dan tuntunan atau hudan li alnas (petunjuk bagi kehidupan manusia). Penyampaian ajaran agama oleh Nabi SAW meliputi dua bentuk: Pertama, bentuk ta’lim (pengajaran), Kedua, bentuk uswah hasanah (contoh yang baik). Ta’lim (pengajaran) sangat diperlukan, untuk antisipasi kemajuan dan perkembangan kehidupan umat dan pertanggungjawaban keilmuan. Posisi ilmu dalam agama Islam sangat kokoh, menuntut dikuasai oleh setiap umatnya, sekalipun dalam batas tertentu sesuai dengan kemampuannya. Pemahaman terhadap al-Islam tidak bisa lepas dari pemahaman terhadap sumber ajarannya, yaitu Al-Qur‟an dan al-Sunnah serta lingkungannya (manusia dan alam sekitar), maka proses pembelajaran terhadap kedua sumber itu, perlu dilakukan secara terintegrasi dalam berbagai sudutnya. Penelitian ini akan mengkaji tentang konsep Islam rahmat lil alamin yang dimaksud dalam al-Quran pada kurikulum pendidikan Islam untuk membentuk Islam Kaffah pada diri peserta didik yang ada di lembaga pendidikan formal. Jenis penelitian deskriptif kualitatif digunakan untuk menggambarkan konsep pendidikan Islam yang dapat mengimplementasikan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin menuju al-Islam kaffah yang dimaksud dalam al-Quran tersebut. Simpulan penelitian ini adalah konsep Islam rahmatan lil alamin untuk membentuk pribadi Islam kaffah dalam kurikulum pendidikan Islam di sekolah diberikan secara terintegrasi dan terus menerus sesuai fungsi manusia sebagai abd Allah (habluminallah) dan sebagai khalifah di bumi (hablumminannas). Kata kunci : Islam rahmatan lil alamin, Islam Kaffah, Kurikulum Pendidikan Islam
A. PENDAHULUAN Islam adalah satu dari tiga agama samawi yang diturunkan langsung oleh Allah SWT melalui wasilah nabi yang diutusNya. Tidak ada satupun makhluk yang mengetahui kebutuhan dasar manusia yang dapat membawa keselamatan diri, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan kecuali Allah SWT sebagai khalik atau pencipta-Nya. Manusia diciptakan, dibentuk, dan diberi kemampuan melebihi makhluk Allah lainnya dengan satu tujuan akhir yaitu agar mengabdi dan menyembah kepada-Nya, dalam al-Quran disebutkan : 1
“dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembahku”.
(QS. Ad-
Dzariat (51): 56)
Manusia dilahirkan ke dunia dalam kondisi lemah, tidak berdaya, belum mengetahui sesuatu apapun. Allah memberikan bekal kepadanya berupa pendengaran, penglihatan, dan hati :
“dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl (16):78) . as-sam’a atau pendengaran adalah hal pertama yang bisa digunakan manusia untuk mengetahui sesuatu, al-absor atau penglihatan adalah hal kedua yang digunakan manusia untuk memahami dan memperjelas apa yang sudah didengar/diketahui sebelumnya, dan al-afidah atau hati sebagai penentu tentang apa yang telah didengar/diketahui dan dilihat/dipahami apakah bermanfaat untuknya atau akan menimbulkan mudharat bila menggunakannya. Mengetahui dan memahami merupakan bagian dalam kegiatan dan proses belajar manusia untuk menjadi manusia paripurna disebut sebagai manusia yang kaffah dalam Islam. Menurut Immanuel Kant, manusia hanya akan menjadi manusia, dapat hidup sebagai manusia, melalui pendidikan. Belajar dan menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahat, mencari ilmu sampai negeri cina, adalah beberapa hadist Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan keutamaan manusia untuk terus mencari ilmu. Bahkan Allah meninggikan derajat umat manusia yang senang mencari ilmu “yarpa’i Allah alladzina aamanuu minkum wa alladziina uutu al-ilma darajaat”. (QS. Al-Mujadilah: 11) Tujuan akhir dari proses belajar didunia adalah menjadi hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya sebagai khalifah di dunia (QS. Al-Baqarah (1): 30). Khalifah diartikan sebagai wakil atau pengganti untuk menunaikan amanah dan menegakkan hukum-hukum-Nya di dunia ini. Untuk mengetahui dan memahami hukum-hukum tersebut melalui sebuah proses yang disebut 2
belajar atau pembelajaran. Belajar dapat dilakukan dimana saja. Tidak terbatas tempat dan waktu bahkan dianjurkan untuk keluar dari negeri atau tempat tinggal dengan maksud untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman dan pada akhirnya dapat menjadi pribadi muslim yang kaffah. Tripusat pendidikan atau tiga tempat yang selalu terjadi proses belajar didalamnya yaitu rumah atau keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tiga tempat ini harus dikondisikan lebih dahulu sebelum kita menyusun materi berikutnya. Rumah atau keluarga sebagai tempat pertama manusia belajar mendengar, mengetahui, melihat, dan memahami. Sekolah atau lembaga pendidikan sebagai lanjutan dari proses belajar sebelumnya dan memiliki sistem yang mengaturnya, dan masyarakat sebagai lingkungan sosial terdekat setelah rumah/keluarga. Kandungan ajaran Islam meliputi hukum-hukum aqidah/keyakinan, hukum-hukum ibadah/amaliyah, hukum-hukum akhlak/etika, dan hukum-hukum muamalah/amaliyah aammah. Ajaran-ajaran tersebut dapat lebih baik dipahami dan kemudian dikembangkan dengan bantuan ilmu pengetahuan, baik ilmu syar‟iah, sains dan tekhnologi dan lainnya. Agama Islam berfungsi sebagai panduan dan tuntutan umatnya dalam menjalani kehidupan (hudan li al-nas), baik sebagai pribadi ataupun sebagai bagian dari masyarakat sosialnya. Kehidupan yang komplek tersebut dijalani manusia untuk tujuan akhir yaitu menyembah kepadaNya. Manusia yang dijanjikan masuk surga dalam al-Quran (QS. Muhammad (47):12) adalah mereka yang bukan sekedar beriman tapi disertai dengan beramal shalih. Keimanan dan beramal shalih akan semakin sempurna bila dilengkapi dengan ilmu pengetahuan, dan Allah menjanjikan derajat yang lebih tinggi bagi umat-Nya yang senang mencari ilmu lebih dari yang lainnya. Inilah pentingnya iman, ilmu dan amal dalam diri seorang muslim untuk mencapai predikat kaffah. B. Konsep Islam Rahmatan lil Alamin membentuk muslim Kaffah Islam kaffah diambil dari kata udkhuluu fi as-silmi kaaffah yang artinya masuklah kalian dalam Islam secara kaffah. Kata as-silmi secara bahasa berarti kedamaian dan keselamatan, sedangkan kaffah berarti secara menyeluruh tanpa kecuali. Keharusan berislam secara kaffah ini berarti perintah kepada orang yang beriman agar melaksanakan seluruh ajaran Islam didasari dengan penyerahan diri, ketundukan, dan keikhlasan kepada Allah SWT.
3
Kata kaffah berasal dari bahasa Arab, yang dalam kamus al-Munjid berarti kelompok atau secara keseluruhan. Demikian pula dalam a Dictionary of Moderen Written Arabic kata kaffah diartikan sebagai totality, entirety (keseluruhan, semuanya). Al-Jalalain menafsirkan kaffah sebagai masuk ke dalam Islam dengan seluruh keadaan lahir maupun batin. Hal ini juga sejalan dengan tafsiran al-Wajiz yang menuliskan masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, tidak sebagian-sebagian, dan mengamalkan seluruh hukum-hukumnya, dan tidak bersikap munafik. Dari penjelasan tersebut, dan dikaitkan sebab-sebab turun ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa perintah masuk Islam secara kaffah tersebut menegaskan tentang keharusan orang-orang mukmin menjalankan ajaran Islam itu dengan segenap lahir (jasmani) maupun batinnya (rohaninya), tidak setengah-setengah, bersatu padu, dan mencakup seluruh aspek ajarannya, baik yang berhubungan dengan unsur-unsur lahiriah jasmaniah maupun unsur-unsur rohaniah, baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun urusan akhirat. Pandangan ini senada dengan definisi manusia kaffah (utuh) yang dikemukakan oleh Dahlan, M.D. bahwa manusia utuh menurut pandangan yang tuntas mencerminkan manusia kaffah, dalam arti satunya niat, ucap, pikir, perilaku, dan tujuan, yang direalisasikan dalam hidup bermasyarakat. Semua itu akan dimintakan pertanggung jawab dihadapan Allah SWT. Satunya niat, ucap, pikir, perilaku, dan tujuan itu, akan membebaskan manusia dari konflik diri yang akan mengarah kepada kepribadian terbelah. Manusia kaffah dalam kehidupan masyarakat bagaimanapun, tidak akan terbawa-bawa dan terpengaruh oleh hasutan apapun. Pengertian manusia utuh/kaffah tersebut jelas mencerminkan unsur-unsur kepribadian kaffah yang berupa aspek rohaniah dan jasmaniah. Niat, pikir dan tujuan merupakan aspek rohaniah, sedangkan ucap dan perilaku adalah aspek jasmaniah atau lahiriah. Keseluruhan unsur tersebut harus terpadu pada diri seseorang. Konsep Islam kaffah diyakini oleh seluruh umat Islam sebagai suatu keharusan. Namun wujud kongkrit dari konsep Islam kaffah dalam kehidupan di muka bumi dimungkinkan berbeda sebagai implikasi dari pemahaman konsep dan latar belakang kehidupan manusia. Menjalankan Islam secara kaffah erat kaitannya dengan pemaknaan berbagai ketentuan hukum dalam alQur‟ān dan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam dan dapat dipelajari melalui proses belajar dan mengajar. Tulisan ini mencoba menawarkan konsep Islam Kaffah dalam kurikulum pendidikan Islam berhubungan dengan tujuan akhir penciptaan manusia sebagai hamba Allah SWT. 4
Islam kaffah makna harfiahnya adalah Islam secara menyeluruh, yang Allah „azza wa jalla perintahkan dalam Al-Qur`an surat Al-Baqarah (1) : 208. Perintah ini berlaku kepada kaum mu`minin seluruhnya. Allah „Azza wa Jalla berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian.” Memeluk dan mengamalkan Islam secara kaffah adalah perintah Allah SWT. yang harus dilaksanakan oleh setiap mukmin, siapapun dia, dimanapun dia, apapun profesinya, dimana pun dia tinggal, dizaman kapan pun dia hidup, baik dalam sekup besar ataupun kecil, baik pribadi atau pun masyarakat. Pada ayat yang sama, kita dilarang mengikuti jejak langkah syaithan, karena sikap mengikuti jejak-jejak syaithan bertolak belakang dengan Islam yang kaffah. Islam kaffah dapat diartikan menjalankan Islam dengan seluruh aspeknya, terkait urusan iman, akhlak, ibadah, muamalah, urusan pribadi, rumah tangga, masyarakat, negara, dan yang lainnya yang sudah diatur dalam Islam. Islam secara kaffah sudah pernah dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, yaitu generasi para shahabat Nabi baik secara zhahir maupun secara bathin. Secara zhahir tampak dalam berbagai amalan mereka, baik dalam urusan ibadah, akhlak, maupun muamalah. Secara bathin terlihat dalam keikhlasan, kebenaran dan kejujuran iman, dan takwa. Semua itu telah diterapkan para shahabat Rasulullah SAW dibawah bimbingan langsung Nabi SAW secara berkesinambungan dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Umat Islam sekarang ini sedang mengalami berbagai krisis dengan berbagai bentuknya. Mengalami kemerosotan diberbagai bidang. Umat Islam mengalami kemerosotan dalam bidang ibadah, sehingga setiap hari semakin banyak orang yang dengan terang-terangan tidak mau shalat. Semakin hari akhlaq kaum muda-mudi muslimin dan muslimat semakin jauh dari bimbingan Islam, cenderung meniru dan mengekor kaum kuffar. Begitu pula keamanan negeri kita semakin hari semakin tidak menentu, semakin tidak jelas arahnya. Begitu juga masyarakat mengeluh terkait dengan perekonomian mereka. Terasa setiap hari semakin sempit rezki atau perekonomian ummat ini tidak barakah, semakin hari kita menyaksikan hal yang seperti ini. Dari 5
sisi aqidah, kaum muslimin juga mengalami kemerosotan. Semakin bermunculan berbagai aqidah yang bertentangan dengan aqidah Islam yang haq. Memahami masalah tersebut, hakikat pendidikan yang berusaha memanusiakan manusia yang benar-benar menjadi manusia yang paripurna, utuh, berakhlak karimah, seimbang, insan kamil, ibad arrohman, kaffah, muttakin, harus mendapat perhatian yang lebih dalam menjalankan setiap fungsi untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia tersebut sesungguhnya berpijak pada landasan ideologis Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia, yang menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, yang menunjukkan bahwa sila ketuhanan ini harus melandasi dan menjiwai seluruh sila-sila lainnya. Ini berarti bahwa seluruh gerak kehidupan bangsa Indonesia, dan seluruh aspek kegiatan dalam segala bidangnya harus dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan. C. Konsep Kurikulum Pendidikan Islam Hakikat pendidikan secara umum adalah proses perubahan menjadi lebih baik. Pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia dapat dikategorikan dengan pendidikan hati (qalbu) dalam Islam. Hati (qalbu) merupakan salat satu potensi yang mempunyai peranan penting dalam memahami konsep manusia yang utuh, dan hati (qalbu) yang memerintahkan perilaku baik/buruk manusia. Sabda Rasulullah SAW “..alaa wa inna fi al-jasadi mudhghatan, idza shalahah shalahah al-jasadu kulluhu, wa idza fasadat fasada al-jasadu kulluhu, alaa wahiya al-qolbu. Berdasarkan pendapat al-Ghazali, terdapat 4 potensi/dimensi yang mempengaruhi perilaku al-qalbu, al-ruhu, an-Nafasu, dan al-aqlu. Hakikat pendidikan dalam persfektif agama, yaitu agama Islam bertujuan mengemas pengembangan pribadi secara utuh. Tujuan yang ingin dicapai bukan sekedar kecerdasan nilainilai intelektual (kognitif), tapi lebih ditekankan pada pencapaian kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual (akhlak). Kepribadian Islam adalah kepribadian yang berorientasi dan berakhir pada terbentuknya insan kamil yaitu manusia paripurna yang mampu mengintegrasikan dirinya dalam berbagai aspek kehidupan. Landasan struktur kepribadian Islam adalah fitrah. Sebagimana sabda Rasulullah SAW “setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR. Bukhori dan Muslim). Fitrah juga bermakna sebagai wujud 6
organisasi dinamis yang terdapat dalam diri manusia dan terdiri atas sistem-sistem psikopisik yang dapat menimbulkan tingkah laku. Aktualisasi fitrah ini yang kemudian menimbulkan tingkah laku yang disebut dengan kepribadian. Pendidikan sebagai proses pengembangan fitrah tersebut harus dikemas dengan baik, terencana, dan bertujuan untuk membentuk insan kamil yaitu insan paripurna yang memahami Islam berdasarkan sumber al-Quran dan al-Hadist. Dalam khazanah bahasa Arab, istilah pendidikan biasa diterjemahkan dengan beberapa kosa kata, di antaranya tarbiyah, tadris, ta'dib, tahdib, dan ta'lim. Kosa kata tersebut populer dan biasa digunakan untuk mengungkapkan istilah pendidikan. Dan dari kelima kosa kata tersebut yang paling populer dan paling banyak digunakan adalah lafaz tarbiyah. Pendidikan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh pendidik untuk mengembangkan segenap potensi anak didiknya secara optimal. Potensi ini mencakup jasmani dan rohani, sehingga melalui pendidikan, seorang anak didik dapat mengoptimalkan pertumbuhan fisiknya agar memiliki kesiapan untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya, dan dapat mengoftimalkan perkembangan rohaninya, agar dengan totalitas pertumbuhan fisik dan perkembangan psikhisnya secara serasi dan harmoni, dia dapat menjalankan tugas hidupnya dalam seluruh aspeknya, baik sebagai anggota masyarakat, sebagai individu maupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Tugas pendidik yang dikemukakan oleh Soejono: "Pendidik ialah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan kepada anak didik, dalam perkembangan jasmani dan rokhaninya, agar mencapai kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan sebagai individu atau pribadi". i Keseimbangan antara pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani tersebut pada gilirannya akan membentuk totalitas kepribadian yang utuh dan paripurna. Allport mengatakan: "Personality is the dynamic organisation within individual of those psycho-physical system that determine his characteristic of behavior and thought”. Kepribadian merupakan organisasi atau kesatuan yang dinamis tentang sistem jasmani dan rohani dalam diri seseorang, yang dapat menentukan karakteristik perilaku dan fikirannya. Ini menujukkan bahwa keutuhan manusia bergantung kepada kemampuannya mengintegrasikan antara segala aspek jasmaniah dan segenap aspek rohaniahnya. Oleh sebab itu, pendidikan harus memperhatikan seluruh potensi rohani dan jasmani yang ada pada diri anak didik itu. Indonesia sebagai negara yang terus-menerus berupaya menyempurnakan sistem pendidikannya, selalu 7
memperbaharui berbagai kebijakan dan perundang-undangan sistem pendidikan nasionalnya, agar pendidikan benar-benar mampu menjadi agen pembaharuan dan kemajuan bagi bangsa dan negaranya dengan tetap berlandaskan pada prinsip keseimbangan antara aspek jasmani dan rohani, aspek fisik-material dan mental-spiritual, sehingga setiap warga negaranya memperoleh kesejahteraan lahir dan batin. Hal ini tampak jelas pada fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia, sebagaimana yang termaktub dalam USPN No. 20, Tahun 2003, Pasal 3: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." Dengan melihat fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut, pendidikan kita berupaya mengembangkan potensi jasmani dan rohani peserta didik. Potensi rohani yang dikembangkannya ialah: potensi iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, demokratis, mandiri dan bertanggung jawab. Potensi jasmaninya adalah sehat, cakap, dan kreatif. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia tersebut sesungguhnya berpijak pada landasan ideologis Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia, yang menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, yang menunjukkan bahwa sila ketuhanan ini harus melandasi dan menjiwai seluruh sila-sila lainnya. Ini berarti bahwa seluruh gerak kehidupan bangsa Indonesia, dan seluruh aspek kegiatan dalam segala bidangnya harus dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa ini juga sekaligus menegaskan bahwa negara Indonesia bukanlah negara atheis yang menjauhkan nilai-nilai ketuhanan dari kehidupan berbangsa dan bernegara, juga bukan negara sekuler yang memisahkan urusan kenegaraan dan kemasyarakatan dari urusan keagamaan, tetapi justeru nilai-nilai keagamaan harus mewarnai berbagai aspek kehidupan di negara ini. Masyarakat Indonesia menyatakan dirinya beragama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Djahiri bahwa agama sebagai rujukan normatif utama bukan hanya karena tuntutan normatifimperatif semata melainkan juga karena secara faktualnya manusia/masyarakat Indonesia selalu menyatakan diri beragama (sekalipun hanya "akuan" saja) serta selalu menetapkan rujukan kelayakan/kepatutan dari rujukan norma dan budaya agama (haram, halal, 8
dosa, pahala, dll). Atas kenyataan itu, seharusnya nilai-nilai keagamaan itu senantiasa ditransfer dan diinternalisasikan pada setiap warganegara secara sungguh-sungguh melalui pendidikan, agar terwujud warganegara yang berwatak atau berkepribadian yang kaffah (utuh/paripurna), yakni: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan memiliki rasa tanggung jawab. Namun demikian, dewasa ini akibat dahsyatnya gelombang arus globalisasi, sebagai konsekuensi logis dari gencarnya arus informasi antar benua, atau antar negara, melalui berbagai media informasi dengan teknologi canggih, telah terjadi perang pemikiran dan hegemoni kebudayaan yang satu atas kebudayaan yang lain, dengan membawa nilai-nilai yang diusungnya, yang mengalahkan nilai-nilai luhur sebelumnya, terutama nilai keagamaan, seperti yang terjadi di Indonesia. Terjadinya tawuran antar pelajar, tawuran antara mahasiswa, antar warga desa yang satu dengan yang lain, penyalahgunaan narkoba dan obatobat terlarang, pergaulan bebas antar pelajar atau mahasiswa, tindakan kekerasan mahasiswa senior terhadap yuniornya, kekerasan dalam rumah tanggga, menjamurnya perbuatan korupsi di kalangan pejabat, dan berbagai tindak kriminal lainnya, semua itu mengindikasikan telah tergusurnya nilai-nilai luhur kegamaan dari bangsa ini, dan jika dibiarkan, hal ini akan menghantarkan bangsa ini menuju kehancurannya. Dalam upaya mempertahankan nilai-nilai keagamaan inilah, pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20, Tahun 2003, memberikan penekanan khusus tentang Pendidikan Keagamaan, pada Bagian Kesembilan, Pasal 30 yang memuat lima pasal, yang menggambarkan perhatian dan tentang tanggung jawab pemerintah terhadapnya baik pada lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat. Realitas tersebut menuntut agar pendidikan keagamaan baik di sekolah maupun di luar sekolah, dilaksanakan secara professional dan berakar pada sumber dasar agama itu, yang telah dicontohkan pelaksanaan operasioanalnya oleh Nabi Allah yang diutus untuk mendidik umatnya agar menjadi umat yang paripurna, yang seimbang antara aspek jasmani dan rohaninya, lahir maupun batinnya, sehingga dapat menjalankan segala tugas hidupnya baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial maupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Keberhasilan para nabi dalam mendidik umatnya menjadi umat yang utuh, umat terbaik, yang mampu menyeimbangkan antara hubungan dirinya dengan Tuhannya dan hubungan dirinya dengan masyarakat dan lingkungannya.
9
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan. Setiap pendidik harus memahami perkembangan kurikulum, karena merupakan suatu formulasi pedagogis yang paling penting dalam konteks pendidikan. Dalam kurikulum akan tergambar bagaimana usaha yang dilakukan membantu siswa dalam mengembangkan potensinya berupa fisik, intelektual, emosional, dan sosial keagamaan dan lain sebagainya. Dengan memahami kurikulum, para pendidik dapat memilih dan menentukan tujuan pembelajaran, methode, tekhnik, media pengajaran, dan alat evaluasi pengajaran yang sesuai dan tepat. Untuk itu, dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan sistem pendidikan ditentukan oleh semua pihak, sarana dan organisasi yang baik, intensitas pekerjaan yang realistis tinggi dan kurikulum yang tepat guna. Oleh karena itu, sudah sewajarnya para pendidik dan tenaga kependidikan
bidang
pendidikan
Islam
memahami
kurikulum
serta
berusaha
mengembangkannya. Kurikulum dalam pendidikan Islam, dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka. Selain itu, kurikulum juga dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai pendidikan. Sedangkan M. Arifin memandang kurikulum sebagai seluruh bahan pelajaran yang harus disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan. Dari ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum dapat dikatakan sebagai petunjuk arah dan batasan yang dilalui seorang pendidik dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Nasution
menyatakan,
diantaranya: Pertama,
ada
beberapa
penafsiran
kurikulum
sebagai
produk
lain
tentang
(hasil
kurikulum,
pengembangan
kurikulum); Kedua, kurikulum sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari oleh siswa (sikap, keterampilan tertentu); dan ketiga, kurikulum dipandang sebagai pengalaman siswa. Pengertian kurikulum dalam pandangan modern tersebut merupakan program pendidikan yang disediakan oleh sekolah yang tidak hanya sebatas bidang studi dan kegiatan belajarnya saja, akan tetapi meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan pribadi siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan sehingga dapat meningkatkan 10
mutu kehidupannya yang pelaksanaannya tidak hanya di sekolah tetapi juga di luar sekolah. pengertian kurikulum berikutnya nampak lebih berkembang disesuaikan dengan perkembangan kemajuan baik ilmu, peradaban, dan tekhnologi. Jika diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam yaitu menjadikan orang orang muslim semakin mengenal Tuhannya dan selalu menyembah kepada-Nya. Melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap, maka proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu kepada konseptualisasi manusia paripurna (insan kamil) yang strateginya telah tersusun secara sistematis dalam kurikulum pendidikan Islam. Kurikulum pendidikan Islam dapat dicirikan sebagai berikut : Pertama, Agama dan akhlak merupakan tujuan utama. Segala yang diajarkan dan di amalkan harus berdasarkan pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah serta ijtihad para ulama. Kedua, Mempertahankan pengembangan dan bimbingan terhadap semua aspek pribadi siswa dari segi intelektual, psikologi, sosial, dan spiritual. Ketiga, Adanya keseimbangan antara kandungan kurikulum dan pengalaman serta kegiatan pengajaran. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa sebagai inti dari ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum yang dapat memotivasi siswa untuk berakhlak atau berbudi pekerti luhur, baik terhadap Tuhan, terhadap diri dan lingkungan sekitarnya. Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan Hadist Nabi SAW. Oleh karena itu dalam menyusun dasar-dasar kurikulum pendidikan Islam harus pula berdasarkan pada sumber ajaran tersebut. Dasar-dasar kurikulum pendidikan Islam antara lain pertama dasar agama, bagaimana kurikulum diharapkan dapat menolong siswa untuk membina iman yang kuat, teguh terhadap ajaran agama, beraklak mulia dan melengkapinya dengan ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat; kedua dasar falsafah bahwa pendidikan Islam harus berdasarkan wahyu Tuhan dan tuntutan Nabi SAW serta warisan para ulama; ketiga dasar psikologis bagaimana kurikulum tersebut harus sejalan dengan ciri perkembangan siswa, tahap kematangan dan semua segi perkembangannya; dan keempat dasar sosial bahwa kurikulum diharapkan turut serta dalam proses kemasyarakatan terhadap siswa, penyesuaian mereka dengan lingkungannya, pengetahuan
11
dan kemahiran mereka dalam membina umat dan bangsanya. Dasar agama menjadi dasar utama dalam menyusun kurikulum pendidikan Islam. Prinsip-prinsip penyusunan kurikulum pendidikan Islam, diantaranya: prinsip relevansi yaitu
adanya kesesuaian pendidikan dengan lingkungan hidup murid, relevansi dengan
kehidupan masa sekarang dan akan datang, dan relevansi dengan tuntutan pekerjaan; prinsip efektifitas yaitu bagaimana agar kurikulum dapat menunjang efektifitas guru yang mengajar dan peserta didik yang belajar; prinsip efisiensi adalah agar kurikulum dapat mendayagunakan waktu, tenaga, dana, dan sumber lain secara cermat, tepat, memadai dan dapat memenuhi harapan; prinsip kesinambungan adalah saling hubungan dan jalin menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan; prinsip fleksibilitas artinya ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan di dalam bertindak yang meliputi fleksibilitas dalam memilih program pendidikan, mengembangkan program pengajaran, serta tahap-tahap pengembangan kurikulum; dan prinsip integritas antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman, dan aktivitas yang terkandung di dalam kurikulum, begitu pula dengan pertautan antara kandungan kurikulum dengan kebutuhan murid dan masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut menjadi pertimbangan dan saling berkaitan pada saat penyusunan kurikulum. Dalam menjalankan kurikulum khususnya dalam menunjang proses belajar mengajar, hal terpenting yang harus diperhatikan olah seorang guru adalah sebagai berikut: a)
Aspek Materi Diantara prinsip pengembangan kurikulum ada prinsip relevansi yang harus menjadi
pertimbangan bagi penentuan suatu materi. Agar materi yang diberikan bermanfaat bagi kehidupan anak didik, hendaknya materi tersebut harus sesuai dengan tuntutan zaman, kesempurnaan jiwa anak didik tanpa melupakan esensi ajaran Islam itu sendiri. b)
Aspek Tujuan Dalam prinsip pengembangan kurikulum hal ini sangat berkaitan dengan prinsip
efektifitas. Dengan semakin banyaknya tujuan yang harus dicapai, akan mendorong efektifitas proses yang akan dilaksanakan. Sebagai suatu rancangan, tentu ada rencana yang dapat tercapai. Dan sebaiknya tujuan yang akan dicapai harus jelas dan memang benar-benar sesuai dengan
12
segala komponen yang berpengaruh terhadap pendidikan itu sendiri. Jangan sampai apa yang diajarkan dan proses pelaksanaannya sangat berbeda dengan tujuan yang diharapkan. c)
Aspek Lembaga Banyak orang beranggapan bahwa mengelola lembaga pendidikan agama tidak perlu
mendapat perhatian dan penanganan khusus. Karena out-put-nya kurang dapat diandalkan untuk berkompetensi dalam masyarakat jika dibanding out-put lembaga pendidikan lain. Secara administratif, lembaga pendidikan Islam yang benar-benar menerapkan manajemen pendidikan dengan baik sangat jarang sekali. Salah satu hal yang sangat berkaitan dengan lembaga pendidikan adalah lingkungan pendidikan yang menjadi salah satu sarana seorang anak dapat memperoleh pendidikan dengan baik. Lingkungan pendidikan juga berhubungan dengan kelengkapan sarana dan prasarana. Fasilitas yang baik akan menstimulus keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran. Keberhasilan para nabi dalam mendidik umatnya menjadi umat yang utuh, umat terbaik, yang mampu menyeimbangkan antara hubungan dirinya dengan Tuhannya dan hubungan dirinya dengan masyarakat dan lingkungannya, di antaranya adalah karena mereka menggunakan pendekatan yang sesuai dengan pendekatan yang diajarkan Allah SWT kepada mereka, terutama yang berkaitan langsung dengan pendidikan, yaitu tilawah ayat (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (pembersihan jasmani dan rohani dari segala kotoran), dan ta’lim kitab wa hikmah (mengajarkan kitab Al-Quran dan hukum-hukum serta ilmu terapan). Al-Kilani merinci ruang lingkup materi pada masing-masing pendekatan tersebut. Pendekatan tilawah al-ayat (membaca/mengkaji ayat) meliputi ayat-ayat al-Quran tentang fenomena alam, dan fenomena sosial manusia. Fenomena alam mencakup alam raya (makrokosmos), dan diri manusia (mikrokosmos). Pendekatan tazkiyah (pembersihan dan penumbuh-kembangan) meliputi pembersihan dan penumbuh-kembangan diri, yang mencakup kemampuan akal, kemampuan kehendak/kemauan, kemampuan mendengar dan melihat, pembersihan jasmani (tubuh). Tazkiyah itu mencakup juga pembersihan dan penumbuhkembangan bidang-bidang yang umum, yang meliputi: bidang agama (keyakinan/ketauhidan), bidang pengetahuan, bidang politik, bidang sosial, bidang ekonomi, bidang sastera dan seni, bidang lingkungan hidup (memakmurkan bumi dan kebersihan), dan bidang kebudyaan dan peninggalan. Pendekatan talim kitab wa hikmah (pengajaran kitab dan hikmah), seperti judulnya, 13
meliputi pengajaran pengetahuan tentang Kitab al-Qur'an, dan pengajaran tentang ilmu-ilmu hikmah, yakni ilmu-ilmu aplikatif yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan tempat, seperti ilmu fiqih, ilmu dakwah, ilmu perang dan lain-lain sebagai hasil dari pemberdayaan daya fikir/nalar manusia. Termasuk hikmah juga adalah Sunnah Nabi SAW. Berdasarkan paparan tersebut, tampaklah bahwa materi-materi yang diajarkan melalui ketiga pendekatan tersebut bersifat menyeluruh (kaffah) yang jika dijalankan secara profesional akan dihasilkan lulusan yang memiliki kepribadian kaffah itu sendiri. Nilai-nilai ajaran Islam ini begitu penting karena berkaitan dengan karakter manusia itu sendiri. Keberhasilan Nabi SAW dalam mendidik umatnya ini, di antaranya adalah karena sejalan dengan fitrah manusia itu sendiri, yang tercipta dengan membawa berbagai potensi yang diberikan Tuhan kepadanya. Dengan demikian, pendidikan keagamaan akan berhasil apabila si pendidik mengenal terlebih dahulu karakteristik dan potensi yang dimiliki anak didiknya. Lalu potensi-potensi tersebut dioptimalkan melalui pendidikan keagamaan secara integratif, sehingga dihasilkan outcomes, anak didik yang utuh-paripurna, yang dapat menjalankan tugas-tugas hidupnya baik sebagai individu, makhluk sosial maupun sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia menurut al-Syaibani memiliki tiga dimensi seperti segi tiga yang sama panjang sisinya, yaitu badan, akal, dan ruh. Lebih lanjut dia menegaskan: "Ini adalah merata (dimensi) pokok dalam kepribadian insan. Islam bertindak meneguhkan dan memantapkan lagi bentuk wujudnya. Sebab insan menurut Islam bukan hanya lembaga tubuhnya, atau hanya akal, atau hanya ruhnya, tetapi keseluruhan itu semua, tiap unsur saling melengkapi". Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa ketiga unsur itu memiliki kekhasan tersendiri dalam fungsinya pada diri manusia, dan satu sama lain saling melengkapi sebagai satu kesatuan yang membentuk kepribadian manusia. Pendidikan berupaya mengoptimalkan ketiga-ketiganya secara simultan dan terintegrasi. Namun kenyataannya, pendidikan nasional masih terjebak pada aspek kognisi tingkat rendah, di mana anak lebih banyak dijejali teori-teori dan konsep-konsep keilmuan, dan kurang disentuh aspek afeksinya, sehingga mereka menjadi manusia yang pandai tetapi tidak memiliki akhlak mulia dalam perilaku sehari-harinya. Hal ini akan membahayakan masa depan bangsa. Karena itu segenap lembaga pendidikan harus segera mengorientasikan pendidikannya pada pembentukan kepribadian kaffah, yang menurut Sauri bahwa kepribadian kaffah atau manusia 14
yang utuh itu adalah manusia yang benar-benar manusia yang berwujud dalam keseimbangan antara: cerdas otaknya, lembut hatinya, dan terampil tangannya, yang operasionalnya dalam bentuk: bekerja cerdas, bekerja ikhlas, bekerja puas, bekerja tuntas dan berkualitas. ii Manusia kaffah yang dimaksud dalam al-Quran adalah mereka yang memahami Islam bukan sekedar rutinitas ritual ibadah hablum min Allah, tapi berupa perbuatan hablum min an-Nas. D. Manusia dan Pendidikan Manusia sebagai makhluk yang diberikan kelebihan oleh Allah dengan suatu bentuk akal pada diri manusia yang tidak dimiliki makhluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal pikirannya manusia memerlukan pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran. Hubungan manusia dengan pendidikan sangat erat karena mempunyai ikatan yang tidak dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidupnya. Manusia disebut juga “Homo Sapiens ” yang artinya sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan. Salah satu insting manusia adalah selalu cenderung ingin mengetahui segala sesuatu disekelilingnya, yang belum diketahuinya. Berawal dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa. Dari rasa ingin tahu maka timbulah ilmu pengetahun yang bermanfaat untuk manusia itu sendiri. Dalam hidupnya manusia digerakan sebagian oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu dan sebagian lagi oleh tanggung jawab sosial dalam bermasyarakat. Manusia bukan hanya mempunyai kemampuan–kemampuan, tetapi juga mempunyai keterbatasan–keterbatasan. Manusia tidak hanya memiliki sifat–sifat yang baik namun juga mempunyai sifat–sifat yang kurang
baik.
Menurut
pandangan
pancasila
manusia
mempunyai
keinginan
untuk
mempertahankan hidup dan menjaga kehidupan lebih baik. Setiap manusia itu membutuhkan pendidikan. Karena melalui pendidikan manusia dapat mempunyai kemampuan–kemampuan untuk mengatur dan mengontrol serta menentukan dirinya sendiri. Melalui pendidikan pula perkembangan kepribadian manusia dapat diarahkan kepada yang lebih baik. Dan melalui pendidikan kemampuan tingkah laku manusia dapat didekati dan dianalisis secara murni. Kemampuan seperti itulah yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lainnya. Manusia dapat tumbuh dan berkembang melalui pendidikan, karena manusia dapat tumbuh berkembang melalui suatu proses alami menuju kedewasaan baik itu bersifat jasmani maupun 15
bersifat rohani. Oleh sebab itu manusia memerlukan Pendidikan demi mendapatkan perkembangan yang optimal sebagai manusia. Dalam ajaran Agama Islam memandang bahwa manusia sebagai tubuh, akal dan hati nurani. Potensi dasar manusia yang dikembangkan itu tidak lain adalah bertuhan dan cenderung kepada kebaikan bersih dari dosa, berilmu pengetahuan serta bebas memilih dan berkreasi. Kemampuan kreatif manusia pun berkembang secara bertahap sesuai ukuran tingkat kekuatan dan kelemahan unsur penunjang kerativitas seperti pendengaran, pengelihatan serta pola piker manusia tersebut. Berdasarkan undang – undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. E. Implementasi Islam rahmatan lil alamin dalam kurikulum pendidikan Islam untuk membentuk Muslim Kaffah Islam dengan kitabnya al-Quran adalah panduan dan tuntutan manusia dalam kehidupannya. Agama Islam diturunkan melalui wasilah Rasulullah Muhammad SAW., yang disampaikan kepada manusia melalui 2 bentuk, yaitu: Pertama, bentuk taklim atau pengajaran. Penyampaian ajaran Islam melalui taklim ini sebagaimana dalam al-Quran (QS. Al-Baqarah (2): 129) melalui tiga tahapan: tilawah, taklim, dan tazkiyah. Bentuk taklim ini sangat diperlukan sebagai antisipasi perkembangan dan kemajuan peradaban manusia dan pertanggungjawaban ilmiah. Karakteristik ilmu yang bersifat penjelasan (bayan) dan pemikiran, juga bersifat parsial dan detail. Ilmu memiliki posisi yang kokoh dalam ajaran Islam, walaupun memiliki batas tertentu sesuai dengan kemampuan. Islam tidak membenarkan satu keyakinan dan amal sholih tanpa didukung oleh penjelasan ilmiah keilmuwan.
16
“dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran,
penglihatan,
dan
hati,
semuanya
itu
akan
diminta
pertanggungjawabannya”. (QS. Al-Isra: 36) Kedua, bentuk uswah hasanah. Penyampaian ajaran Islam melalui uswah hasanah sebagaimana dalam QS al-ahzab 21 “sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”. Ayat tersebut menjelaskan dengan tegas bahwa uswah hasanah adalah cara yang dilakukan manusia menuju harapan pertemuan dengan Allah SWT. Manusia memiliki tiga potensi dasar dalam dirinya, meliputi potensi panca indera, potensi hati, potensi nurani. Apabila ketiga potensi tersebut diimplementasikan secara bersama maka akan melahirkan pribadi muslim yang kaffah yaitu kesatuan diri secara fisik, kesatuan perasaaan, dan kesatuan nurani. Pemahaman terhadap Islam berarti belajar memahami sumber ajarannya yaitu al-Quran dan al-hadist. Proses pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut dilakukan secara terintegrasi dalam berbagai sudut dan pandangan beberapa disiplin ilmu. Aspek yang digunakan dapat dimulai dari memahami aspek kebahasaan sampai kepada aspek kedalaman makna yang tersembunyi. Pengakuan akan keunggulan nilai-nilai ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin membuktikan bahwa Islam dapat diterima disetiap lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Beberapa tahapan konsep implementasi Islam rahmatan lil alamin dalam kurikulum pendidikan Islam terbagi dalam beberapa fase berikut: Pertama, fase tingkat dasar TPA, TK. SD. Pada tingkat dasar ini bentuk taklim meliputi beberapa komponen berikut : hapalan, bacaan, tulisan sederhana, dan imla/dikte. Bentuk uswah hasanah meliputi pemberian contoh tentang hal-hal sederhana yang siswa lakukan dalam kesehariannya. Kedua, fase pemahaman makna secara bahasa dan istilah. Pada fase ini kegiatan pembelajaran meliputi makna kosa kata (mufradat), dan makna secara umum (global). Fase ini merupakan materi ajar ditingkat SLTP dan SLTA. Ketiga, fase pendalaman pemahaman yang lebih luas, meliputi studi tafsir al-Quran dan syarah hadist. Fase ini disebut sebagai fase pendalaman pemahaman karena dalam proses pembelajarannya menggunakan berbagai macam pendekatan yang biasa dipakai dalam berbagai 17
macam disiplin ilmu pengetahuan tanpa meninggalkan pola yang diterapkan pada fase sebelumnya. Beberapa pendekatan yang digunakan antara lain melalui pendekatan kebahasaan, pendekatan sosial atau tafsir bi al-ilm., dan pendekatan rasa sebagai cara menyatukan spirit kebersamaan atau tafsir al-Isyariy. Pendekatan kebahasaan dan pendekatan sosial dimaksudkan untuk pembangunan pikiran dan rasio, sedangkan pendekatan ketiga digunakan dengan maksud untuk menumbuhkan rasa etik dan estetik. Keempat, fase pendalaman terhadap teks ajaran yang dipandang kontradiksi (ikhtilaf al-nushuh). Baik antara al-Quran dengan al-Quran dan al-Quran dengan hadist. Kelima, fase internalisasi nilai. Fase ini bersifat individual dimaksudkan untuk memperoleh karakter agamis dan moralis sesuai ajaran Islam. Keenam, fase pendalaman pemahaman teks yang berhubungan dengan ibadah, seperti thaharah, salat, zakat, haji, dan lainnya. Keenam fase ini akan lebih mudah dalam memahaminya apabila dilakukan secara simultan dan terencana dengan baik.
Mewujudkan siswa yang berkepribadian kaffah merupakan tujuan utama pendidikan. Karena itu, segenap lembaga pendidikan memiliki tugas untuk mewujudkan hal tersebut melalui proses pendidikan yang dijalankannya, baik pada tingkatan makro maupun tingakatan mikro. Hal ini menuntut adanya strategi dan pendekatan yang sesuai. Pendekatan tersebut adalah pendekatan yang sejalan dengan misi Nabi Muhammad SAW dalam surat al-Jum‟ah, ayat 2, yakni: tilawah ayat, tazkiyah dan ta’lim kitab wa hikmah, karena beliau telah menjalankannya secara konsekwen, sehingga dapat melahirkan sosok-sosok pribadi kaffah, pribadi unggul, yang rahmatan lil-‘alamin.
Evaluasi konsep Islam kaffah dalam kurikulum dan terimplementasi dalam diri peserta didik dapat dilihat pada kemampuan mereka sebagai berikut: 1.
Hifz al-Din (perlindungan terhadap keyakinan agama). Islam mengajarkan kepada manusia untuk menciptakan sikap hormat dan menjaga keyakinan yang ada, agar dalam masyarakat yang berada di dalam naungan ajaran agama. Agama yang bervariasi dapat hidup berdampingan secara damai, saling menjaga dan menghormati, tidak terjadi saling intervensi dan interpolasi ajaran, sehingga keyakinan masing-masing tergambar jelas, (QS. al-Kafirun 18
(109): 1-6). Ajaran Islam juga melarang ada pemaksaan untuk memeluk agama di luar keyakinannya, (QS. al-Baqarah (2): 256). Dampaknya adalah membuahkan kerjasama yang seimbang antara ummat beragama dalam kegiatan sosial, ekonomi, pertahanan, keamanan, lingkungan hidup dan lain sebagainya, yang digambarkan oleh (QS. Al-Mumtahanah (60): 8). 2.
Hifz al-Nafs (perlindungan terhadap keselamatan jiwa). Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati keamanan dan keselamatan diri manusia, dan menjamin tetap dihormatinya kemuliaan, martabat manusia sebagai anugerah dari Allah SWT. Dampaknya adalah terjaminnya ketentraman dan kondisi masyarakat yang santun dan beradab (masyarakat madani/civil socity, (QS. al-Anam (6): 151), (QS. al-Baqarah (2): 179).
3.
Hifz al-‘Aql (perlindungan terhadap eksistensi akal). Akal adalah dimensi paling penting dalam kehidupan manusia. Keberadaannya menjadi pembeda utama dengan makhluk lain serta menjadi alasan mengapa Allah menetapkan kewajiban-kewajibanNya kepada manusia. Akal juga amat menentukan baik buruknya perilaku hidup dan peradaban. Ajaran Islam mengajarkan untuk memelihara dan mengembangkan kejernihan pemikiran manusia serta amannya produk pemikiran manusia, sehingga tidak mudah kegalauan dan kebingungan yang dapat menimbulkan keberingasan. Oleh karena itu apapun yang dapat merugikan fungsi pemikiran, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik, dicegah dalam ajaran Islam. Perlindungan terhadap kerusakan pemikiran maupun fungsi aka manusia merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat yang menginginkan kemajuan, sebab hal ini merupakan kebutuhan semua orang, tanpa memandang suku, bangsa maupun agama. (QS. Al-Maidah (5):90).
4.
Hifz al-Nasl (perlindungan terhadap keturunan). Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati sistem keluarga (keturunan), sehingga masing-masing orang mempunyai nisbah dan garis keluarga yang jelas demi kepentingan di dalam masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang tenteram dan tenang, (QS. al-Rum (30): 21).
5.
Hifz al-Mal (perlindungan terhadap harta). Islam mengajarkan untuk menjamin perkembangan ekonomi masyarakat yang saling menguntungkan, menghormati dan menjaga kepemilikan yang sah sehingga akan tercipta dinamika ekonomi yang santun dan beradab (economical civility). Untuk itu Islam mengajarkan tata cara memperoleh harta; seperti
19
hukum bolehnya jual beli disertai persyaratan keridlaan dua belah pihak dan tidak ada praktik riba dan monopoli, (QS. Al-Baqarah (2): 275), (QS. al-Nisa (4): 29). Jika kelima hal tersebut diatas terimplementasi sebagai hasil dari sebuah kurikulum, maka keragaman pengamalan dan perilaku umat Islam dan bahkan keragaman perilaku manusia secara umum sepanjang relevan dan masih dalam garis- batas ajaran Islam dapat membentuk insan kamil atau insan paripurna yang kaffah (menyeluruh) dalam memahami ajaran Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Uraian ini menggambarkan kepada kita, bahwa implementasi konsep Islam kāffah tidak bisa satu warna (monolitik) tetapi dapat beragam sepanjang memenuhi berbagai prinsip dalam syariat Islam. Pemahaman seperti ini akan mengantarkan kepada sikap tasāmuh (toleran dalam perbedaan) dan tawassut (moderat). E. KESIMPULAN Islam kaffah adalah bentuk dari manusia paripurna atau insan kamil dalam Islam. ber Islam secara kaffah berarti menerima dan menjalankan Islam berdasarkan ajaran yang bersumber dari al-Quran dan al-hadist. Mencapai predikat kaffah sebagaimana tuntutan agama tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan keikhlasan, kerendahan hati, dan kesungguhan dalam menjalankannya. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan tidak berdaya, lemah, dan belum mengetahui sesuatupun. Allah membekali manusia dengan tiga potensi dasar berupa pendengaran, penglihatan, dan hati. Ketiga potensi tersebut dapat berkembang sempurna melalui proses pendidikan. Pendidikan yang baik apabila tujuan akhirnya adalah membuat manusia semakin dekat kepada-Nya. Agama Islam menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut dan akan mengangkat derajat manusia yang rajin dan mencintai ilmu khususnya ilmu pengetahuan yang akan menghantarkannya semakin mengenal tuhannya. Proses pendidikan yang dapat diambil dari upaya Rasulullah SAW menyebarkan agama Islam melalui 2 (dua) bentuk atau cara, yaitu dalam bentuk taklim atau pengajaran melalui tiga tahapan: tilawah, taklim, dan tazkiyah; dan dalam bentuk uswah hasanah. Manusia memiliki tiga potensi dasar dalam dirinya, meliputi potensi panca indera, potensi hati, potensi nurani. Apabila
20
ketiga potensi tersebut diimplementasikan secara bersama maka akan melahirkan pribadi muslim yang kaffah yaitu kesatuan diri secara fisik, kesatuan perasaaan, dan kesatuan nurani. Membentuk pribadi muslim yang kaffah merupakan proses yang harus dilakukan secara terus menerus. Proses tersebut terbagi dalam beberapa fase antara lain fase tingkat dasar TPA, TK, dan SD yang dilakukan dalam bentuk taklim. Fase kedua berupa pemahaman makna secara bahasa dan istilah meliputi makna kosa kata (mufradat), dan makna secara umum (global). Fase ketiga berupa pendalaman pemahaman yang lebih luas, meliputi studi tafsir al-Quran dan syarah hadist. Fase keempat yaitu dalam bentuk pendalaman terhadap teks ajaran yang dipandang kontradiksi (ikhtilaf al-nushuh). Fase kelima dalam bentuk internalisasi nilai, dan fase keenam berupa pendalaman pemahaman teks yang berhubungan dengan ibadah, seperti thaharah, salat, zakat, haji, dan lainnya. Keberhasilan proses pendidikan dalam membentuk Islam kaffah yaitu Islam yang rahmatan lil alamin dapat dilihat dalam diri manusia apabila manusia tersebut memiliki sikap perlindungan terhadap keyakinan agama, sikap perlindungan terhadap keselamatan jiwa, sikap perlindungan terhadap eksistensi akal, sikap perlindungan terhadap keturunan, dan sikap perlindungan terhadap harta.
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan Terjemahnya. Tt. Departemen Agama Republik Indonesia. Semarang: PT. Karya Toha Putra. Allport, Gordon .(1964). Pattern and Growth in Personality. New York: Holt, Rinehart and Winston. Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 2001. Tafsir al-maraghi, vol. 1. Bayrut: Dar al-Fikr. Arifin, HM, . 1991. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers. Cet I. As-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy. 1984. Falsafah Pendidikan Islam, (Terj.Hassan Langgulung), Jakarta: Bulan Bintang. Daradjat, Zakiyah, dkk. 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Cet.ke-3. Djahiri, AK. 2006. Esensi pendidikan nilai moral dan PKN di era globalisasi. Bandung: Laboratorium PKN FPIPS UPI. Kama, Abdul Hakam. 2000. Pendidikan Nilai. Bandung: MKDU Press. 21
Mujib, Abdul. 1999. Fitrah dan kepribadian Islam: sebuah pendekatan psikologis. Darul Falah. Mukhtar, Aflatun. 2001. Tunduk kepada Allah:fungsi dan peran agama dalam kehidupan manusia. Jakarta: Paramadina. Nasution, S. 1994. Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara. Cet.I. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN. 1983. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Ramayulis, H. 2006. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia. Cet. Ke-5. Shihab, Quraish. 2000. Tafsir al-misbah: pesan, kesan, dan keserasian al-Quran .vol. 1. Ciputat : Lentera Hati. Shihab, Quraish. 1996. Wawasan al-Quran: Tafsir tematik atas pelbagai persoalan. Bandung:Mizan Pustaka. Soejono, Agus. 1980. Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum. Bandung: CV. Ilmu.
22