KONSEP ADIL DALAM IZIN POLIGAMI (Analisis Yurisprudensi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Perkara No. 205/Pdt. G/2008 PA.Bks) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh: AHMAD NAFI’I NIM: 107044201863
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 1432 H/2011 M
KONSEP ADIL DALAM IZIN POLIGAMI (Analisis Yurisprudensi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Perkara No. 205/Pdt. G/2008 PA.Bks) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh: AHMAD NAFI’I NIM: 107044201863
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 195505051982031012
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 1432 H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul KONSEP ADIL DALAM IZIN POLIGAMI (Analisis Yurisprudensi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Perkara No. 205/Pdt. G/PA. Bks) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Syakhsiyah Administrasi Keperdataan Islam.
Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 195003061976031001
Sekretaris
: Hj. Rosdiana, MA NIP. 196906102003122001
Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012 Penguji I
: Dr. Asmawi, M. Ag NIP. 197210101997031003
Penguji II
: Dr. Yayan Sopyam, M. Ag NIP. 196810141996031002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang dajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli hasil karya saya, atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 04 Mei 2011
Ahmad Nafi’i NIM: 107044201863
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan sekalian alam, yang telah memberikan rahmat, karunia dan berbagai nikmatnya, terutama nikmat iman, Islam serta sehat wal „afiat, hanya dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Khatimul Anbiya wa al-Mursalin, Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliah sampai zaman terang benderang seperti sekarang ini. Semoga tercurahkan pula kepada keluarga dan sahabat-sahabat beliau, mudah-mudahan kita termasuk bagian dari umatnya yang akan mendapat syafa‟at di akhirat nanti. Proses penyelesaian skripsi ini adalah karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak memberikan perhatian, bimbingan, kritik, saran dan banyak meluangkan waktunya dalam membimbing dengan penuh kesabaran. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Hj. Rosdiana, MA., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah.
i
3. Segenap bapak dan ibu dosen prodi Ahwal Syakhshiyah, khususnya pada konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam (AKI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis baik langsung maupun tidak langsung. 4. Segenap jajaran karyawan akademik fakultas dan universitas berikut jajaran karyawan perpustakaan fakultas dan universitas. 5. Umi dan Abiku, Hj. Aliyah binti H. Adih dan H. Arsyad bin H. Muhur yang dicintai yang tak pernah jemu mendoakan dan senantiasa memberikan didikan, kasih sayang, semangat, perhatian, dorongan serta bantuan keuangan dalam menyelesaikan proses penulisan ini. 6. Para staf di Pengadilan Agama Bekasi yang memberikan kerjasama yang amat memuaskan kepada penulis. 7. Kakak-kakakku, Tuti Alawiya beserta suami, H. Adang beserta isteri, Nur Qomariyah beserta suami dan adikku Ahmad Baihaki yang selalu memberikan motifasi dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Teman-teman seperjuangan angkatan 2007
Program
Studi
Ahwal
Al-
Syakhshiyyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, yang selalu membantu dan bekerja sama dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Teman-teman terdekatku Siti Muthia, Khomaruddin, Ahmad Zamahsary, Abdullah, Muhammad Ferdyansyah, Ahmad tohari dan lainnya yang telah memberikan semangat, motifasi, kerjasama dan selalu membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. ii
10. Kepada insan yang amat kucintai, terima kasih atas segala pengorbanan, doa, semangat dan segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga semua kenangan indah yang telah kita lalui bersama akan menjadi kenangan yang indah di dalam memori. 11. Terakhir, terima kasih banyak kepada semua pihak yang terlibat dan telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini sehingga selesai. Demikian penulis menyelesaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, harapan penulis semoga Allah SWT membalas semua jasa kalian. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang berkaitan maupun pada pembaca pada umumnya.
Ciputat, 6 April 2011 M, 2 Jumadil Akhir 1432 H
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian......................................................... 6 D. Review Kajian Terdahulu ................................................................. 7 E. Metode Penelitian ............................................................................. 8 F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 10
BAB II
LANDASAN TEORITIS TENTANG POLIGAMI A. Pengertian, Dasar Hukum, Sejarah, Syarat-syarat dan Hikmah Poligami............................................................................................ 12 B. Pendapat Ulama Tentang “Ta‟ddud al-Zaujah” ............................... 24 C. Konsep Adil Dalam Poligami Menurut Perspektif Hukum Islam .... 27 D. Konsep Adil Dalam Poligami Menurut Undang-undang N0. 1 Tahun 1974 dan KHI ........................................................................ 52 E. Pandangan Feminisme Terhadap Konsepsi Adil Berpoligami ........ 58
iv
BAB III
IZIN POLIGAMI SEBUAH AMBIVALENSI HUKUM A. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Bekasi .................................. 63 B. Landasan Yuridis Putusan Pengadilan Agama ................................. 66 C. Penetapan Pengadilan Agama Dalam Perkara Izin Poligami ........... 68 D. Prosedur Penetapan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami ............. 69 E. Analisis Tentang Keadilan Poligami ................................................ 76
BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................... 78 B. Saran ................................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 81 LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya hukum keluarga di Indonesia mengandung asas perkawinan monogami, tetapi peraturan tersebut tidak bersifat mutlak hanya bersifat pengarahan
kepada
terbentuknya
perkawinan
monogami
dengan
jalan
mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapuskan sama sekali praktik poligami.1 Hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami atau beristeri lebih dari satu orang, sepanjang persyaratan keadilan di antara isteri dapat terpenuhi dengan baik. Karena hukum Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana cara pelaksanaannya agar poligami dapat dilaksanakan, maka kita memang diperlukan dan tidak merugikan dan tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap isteri, maka hukum Islam di Indonesia perlu mengatur dengan rinci.2 Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling sering dibicarakan, sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis, dan ketidakadilan jender. Tapi pada sisi lain poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki
1
Sumiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hal. 77 2
A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000), cet. Ke- 4, hal. 170
1
2
sandaran-sandaran normatif yang tegas dan dipandang salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.3 Menurut Undang-Undang ini adalah perkawinan yang bersifat monogami, namun demikian beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan terpenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh Undang-Undang perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu.4 Pengadilan harus melakukan pemeriksaan sejak diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Pengadilan juga harus memanggil dan mendengarkan alasan-alasan isteri mengizinkan suaminya melakukan poligami. Apabila alasan-alasan itu sudah terpenuhi, maka pengadilan harus meneliti apakah apakah ada atau tidaknya syarat-syarat tertentu secara kumulatif. Pada pasal 4 ayat 1 Undang-Undang perkawinan menyebutkan bahwa seseorang yang ingin beristeri lebih dari satu orang maka ia harus mengajukan permohonana poligami kepada pengadilan setempat. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 menerangkat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonana izin, yaitu:
3
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 156 4
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 161
3
1. Adanya persetujuan dari isteri; 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.5 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 57 juga menyebutkan alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal tersebut berbunyi: “Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: 1. Isteri tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri; 2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.6 Apabila syarat-syarat secara tersebut sudah terpenuhi, maka pengadilan barulah memberi izin kepada pemohon untuk melakukan perkawinan lebih dari satu orang. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut, maka perkawinan tersebut berdasarkan hukum dan pada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana terdapat dalam pasal 44 dan 45 Undang-Undang perkawinan. Karena syarat yang tertulis pada pasal 4 ayat 2 adalah bentuk dasar aktualisasi hukum tetap ada juga sebagai asas untuk meminimalisir terjadinya poligami yang tidak dilaksanakan dengan alasan tetap. Maka kemudahan 5
Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 2
6
Kompilasi Hukum Islam, DIRBENPERA, DEPAG, 2002, hal. 34
4
memperoleh izin poligami dalam prakteknya di Pengadilan Agama menimbulkan persepsi inkonsistensi Pengadilan Agama dalam memberikan izin poligami karena secara fakta memberikan mengizinkan pemohon berpoligami meskipun tidak sesuai dengan ketentuan alasan dan syarat perundang-undangan.7 Dalam pandangan fiqih, poligami yang didalam kitab-kitab fiqih disebut dengan ta‟addud al-Zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Hal ini menunjukan bahwa para ulama sepakat tentang kebolehan poligami, namun dengan persyaratan yang bermacam-macam. Dalam kitab al-Mabsut, yang ditulis as-Sarakhsi tidak ditemukan tentang asas perkawinan tetapi hanya keharusan suami yang berpoligami untuk berlaku adil kepada para isterinya.8 Dalam kitab al-Muwatha, karya Imam Malik hanya ditulis kasus seorang pria bangsa Saqif yang masuk Islam dan memiliki isteri sepuluh dan ternyata nabi hanya menyuruh untuk mempertahankan empat saja.9 Dengan syarat berlaku adil, walaupun menurut Syafi‟i keadaan tersebut hanya bisa dilakukan menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi isteri di malam atau siang hari, bukan keadilan secara batin seperti kecenderungan hati kepada salah seorang isteri, yang tidak dapat tersanggupi oleh manusia.10
7
Amiur Nuruddiin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 10
8
Syam ad-Din al-Sarakhsi, al-Mabsut, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1409-1989), v. 217
9
Imam Malik, Al- Muwatha, Tahqiq Muhammada Fu‟ad al-Baqi (tt: ttp, tth), hal. 362
10
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, cet ke-3, (Jakarta: Kencana Media Group, 2006), hal. 158
5
Disinilah menurut penulis walaupun boleh poligami dengan segala ketentuan dan persyaratan baik dalam agama maupun perundang-undangan, kecenderungan suami tidak dapat berlaku adil sulit, maka perlu adanya pertimbangan dengan seksama. Beranjak dari latar belakang permasalahan diatas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah judul “Konsep Adil Dalam Izin Poligami (Analisis Yurisprudensi Putusan Izin Poligami No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks)"
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dari uraian di atas banyak sekali permasalahan yang muncul, untuk menghindari pembahasan yang sangat luas itu maka penulis menguraikan dasar-dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam mengabulkan permohonan izin poligami pada putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks. 2. Perumusan Masalah Dalam pandangan fiqih, keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan yang
bersifat
materil
yang
dapat
dikontrol
suami
dan
menjadi
kesanggupannya, seperti perlakuan baik, pembagian waktu dalam bermalam, dan pemberian nafkah hidup. Sedangkan yang berhubungan dengan hati, maka dia tidak mungkin dapat malakukannya, karena berada di luar kontrol suami atau di luar kesanggupannya, seperti: perasaan cinta dan kecenderungan
6
hati. Maka dalam hal ini suami tidak dituntut mewujudkannya karena berada di luar kekuasaan manusia yang mustahil dapat dipenuhinya. Namun dari realita yang ada di masyarakat seorang suami tidak dapat berlaku adil kepada isteri-isterinya yang menjadi kesanggupannya, seperti perlakuan baik, pembagian waktu dalam bermalam, dan pemberian nafkah hidup. Apalagi diluar kesanggupannya, seperti: perasaan cinta dan kecenderungan hati. Untuk mempertegas arah pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis merinci masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan, yaitu: a. Hal-hal apa yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memberikan izin poligami pada putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks? b. Bagaimana konsep keadilan menurut hakim dalam memberi izin poligami dalam putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian a. Mengetahui hal-hal yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan yang dipergunakan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami pada putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks b. Mengetahui konsep keadilan menurut hakim dalam memberi izin poligami dalam putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks
7
2. Manfaat Penelitian a. Secara akademik, menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum perdata serta mengembangkan ilmu dibidang syariah, khususnya dalam bidang perkawinan dan mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara pemberian izin poligami. b. Secara praktis, agar masyarakat mengetahui gambaran pengaturan poligami dalam hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia.
D. Review Kajian Terdahulu Sudah cukup banyak studi yang dilakukan seputar hukum perkawinan poligami baik ditinjau menurut perspektif hukum Islam maupun perundangundangan. Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat penulis. Walaupun objek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar, misalnya judul skripsi Analisis Yuridis Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tentang Permohonan Izin Poligami (No. 137/Pdt.G/2005/PA.JT) dan (No. 3303/Pdt.G/2005/PA.JT), yang disusun oleh Anita Harun Tagun 1427 H/2006 M. skripsi ini lebih fokus kepada proses penyelesaian pemeriksaan perkara permohonana izin poligami di PA. Jaktim dengan alasan-alasan dua putusan. Sementara Awaludin Dalam skripsinya menuliskan tentang Urgensi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Terhadap Perilaku Izin Poligami (Studi
8
Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Barat) tahun 1428 H/2007 M. Skripsi ini lebih fokus kepada adanya kepada kesesuaian prosedur dan persyaratan dalam mengajukan izin poligami di PA. Jakbar dengan UU No. 1 Tahun 1974, tanpa melihat hukum Islam dan hukum positif lainnya di Indonesia. Dari kajian terdahulu, seluruhnya mengambil dari kajian mengenai poligami sepengetahuan penulis belum ada penelitian lain yang menjadikam judul penelitian “Konsep Adil Dalam Izin Poligami (Analisis Yurisprudensi Putusan Izin Poligami No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks)"
E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Data Dilihat dari segi datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma-norma, atau aturan-aturan dari kasus yang diteliti, oleh karena itu penulis berupaya mencermati mengenai izin poligami yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama. Dilihat dari segi tujuan dalam penelitian termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian lapangan yang menggambarkan data-data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. 2. Sumber Data Secara umum data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer sebagai data utama dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan
9
wawancara terhadap pihak yang terkait dengan permasalahan yang penulis bahas. Sedangkan data sekunder adalah putusan Pengadilan Agama Bekasi No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks dan beberapa dokumentasi hukum yang terkait dengan permasalahan izin poligami 3. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam menghimpun seluruh data dan fakta yang menunjang permasalahan adalah sebagai berikut: a. Studi Putusan Yurisprudensi Studi putusan yurisprudensi yaitu teknik pengumpulan putusan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosoial yang sama.11 Dalam hal ini, studi putusan yuresprudensi yang dilakukan adalah studi putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 205/Pdt. G/2008/PA.Bks. b. Studi Kepustakaan (Library Research) Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh landasan teoritis berupa konsep dari beberapa literatul yang terkait dengan materi pokok permasalahan yang akan penulis bahas, baik dari buku-buku karangan ilmiah, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kompilasi
11
155
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-1, hal.
10
Hukum Islam serta peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas. c. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis yurisprudensi yang dilakukan yaitu studi putusan Pengadilan Agama Bekasi No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam penulisan proposal skripsi ini.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan proposal skripsi ini kurang lebih penulis uraikan sebagai berikut: Bab I
Merupakan
pendahuluan
yang
memuat
beberapa
sub-bab,
diantaranya adalah: Letar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penulisan dan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II
Didalamnya mengurai landasan teoritis mengenai poligami yang menyangkut tentang: pengertian poligami, dasar hukum poligami, syarat-syarat poligami dan hikmah poligami, pendapat ulama tentang “Ta‟ddud al-Zaujah”, konsep adil dalam poligami menurut
11
perspektif hukum Islam, konsep adil dalam poligami menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI. Bab III
Merupakan pemaparan tentang izin poligami sebuah ambivalensi hukum yang di dalamnya terdiri dari: Deskripsi putusan Pengadilan Agama Bekasi, landasan yuridis putusan Pengadilan Agama, penetapan Pengadilan Agama dalam perkara izin poligami, prosedur penetapan hukum Islam terhadap izin poligami, analisis penulis tentang keadilan poligami
Bab IV
Adalah bab penutup yang berisikan kesimpulan sebagai rumusan jawaban dari perumusan masalah dan saran-saran yang terkait serta beberapa saran yang diharapkan dapat berguna khususnya bagi penulisan umumnya bagi masyarakat.
BAB II LANDASAN TEORITIS TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian, Dasar Hukum, Syarat-syarat dan Hikmah Poligami 1. Pengertian Poligami Kata-kata poligami terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologinya “poli” artinya “banyak” dan “gami” artinya “istri”. Jadi poligami itu artinya beristeri banyak. Sedangkan secara terminologinya, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri. Atau seorang laki-laki beristeri lebih dari satu orang.1 Kata poligami berasal dari bahasa Yunani pecahan dari kata “poly” yang artinya banyak, dan “gamein” yang berarti pasangan, kawin atau perkawinan. Secara epistemologis poligami adalah “suatu perkawinan yang banyak” atau dengan kata lain adalah suatu perkawinan yang lebih dari seorang, seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu pada waktu yang bersamaan.2 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian poligami
adalah “ikatan perkawinan yang salah satu pihak
1
Zaleha Kamaruddin, Kamus Istilah Undang-Undang Keluarga Islam, (Kuala Lumpur: Zebra Editions Sdn Bhd, 2002), Cet. Ke-1, hal. 14 2
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996) Cet. Ke-7, h. 799
12
13
memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu yang bersamaan”.3 Term poligami ini sebenarnya mempunyai makna umum, yaitu memiliki dua orang isteri atau lebih dalam waktu yang bersamaan. Adapun kebalikan dari perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan dimana suami hanya memiliki seorang isteri.4 Dalam Islam poligami mempunyai arti memiliki isteri lebih dari satu, dengan batasan umum yang telah ditentukan. Al-Qur‟an memberi penjelasan empat untuk jumlah isteri meskipun ada yang mengatakan lebih dari itu. perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran tentang ayat yang menyatkan boleh berpoligami.5 Opini masyarakat Islam mengenai kebolehan berpoligami yaitu anggapan jumlah perempuan yang semakin bertambah dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang ada, tersebutkan dalam rasio perbandingan 1:3. Dengan alasan tersebut para ulama berpendapat bahwa tujuan ideal dalam Islam dalam perkawinan adalah monogami. Tentang konsep poligami yang jelas-jelas tertulis dalam ayat Al-Qur‟an itu, menurut sebagian mereka adalah hanya karena tuntutan zaman ketika masa nabi, yang ketika itu banyak anak yatim atau janda yang ditinggal bapak atau suaminya. Sedangkan sebagian pendapat 3
4
5
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 18 Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, ( Yogyakarta: Pustaka Al-kautsar, 1999), cet. Ke-1, h. 71
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. Ke-1, h. 119
14
yang lain meyatakan bahwa kebolehan berpoligami hanyalah bersifat darurat atau kondisi terpaksa, karena agama adalah memberikan kesejahteraan (mashlahat) bagi pemeluknya. Sebaliknya, agama mencegah adanya darurat atau kesusahan. Darurat dikerjakan jika hanya sangat terpaksa.6
2. Dasar Hukum Poligami a. Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam Mengenai dasar penetapan hukum poligami sendiri terpengaruh dengan proses sejarah poligami dan juga hal-hal yang berkaitan dengan konsep tujuan berpoligami. Bangsa Arab dan non Arab sebelum Islam datang sudah terbiasa berpoligami. Ketika Islam datang, Islam membatasi jumlah isteri yang boleh dinikahi. Islam mengajarkan dan memberikan arahan untuk berpoligami yang adil sejahtera.7 Allah SWT membolehkan berpoligami sampai empat orang isteri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Adapun adil dalam melayani isteri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran, dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu orang isteri saja.8 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. AnNisaa ayat 3 yang berbunyi: 6
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, h. 117
7
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, h. 119
8
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. Ke-1, hal.129-130
15
3 4
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S. An-Nisa/4: 3) Apabila seorang laki-laki merasa tidak mampu berlaku adil, atau tidak memiliki harta untuk membiayai isteri-isterinya, dia harus menahan diri dengan hanya menikah dengan satu orang saja. Sayyid kutub berpandangan bahwa sering kali terjadi dalam kehidupan
hal-hal
yang tidak
dapat
dipungkiri
dan
dilewatkan
keberadaannya, seperti halnya melihat masa subur laki-laki yang berlangsung hingga umur 70 tahun atau diatasnya, sementara kesuburan seorang perempuan terhenti ketika mencapai umur 50 tahun atau sekitanya. Maka dari itu, terdapat jarak waktu 20 tahun masa subur lakilaki dibandingkan masa subur perempuan.9 Imam Malik berkata dalam al-Muwatha‟ bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang mempunyai sepuluh isteri. Maka Rasulullah SAW bersabda: 9
Abu Usamah Muhyidin dan Abu Hamid, Legalitas Poligami Menurut Sudut Pandang Ajaran Islam, (Yogyakarta: Sketsa, 2006), cet. Ke-1, h. 28
16
10
Artinya: “Dari Usman bin Muhammad bin Abi Suwayd: Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata kepada Ghailan bin Salamah ketika masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang isteri. Beliau bersabda kepadanya: Pilihlah empat orang diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya”. (HR. Daruquthni) Dalam hadits lain, Imam Daruquthni meriwayatkan:
11
Artinya: Dari Ar-Rabi‟ bin Qais berkata: “Sesungguhnya kakeknya Haris bin Qais telah memeluk agama Islam dan ia memiliki delapan orang isteri, maka Rasulullah SAW memerintahkan kepadanya untuk memilih empat isteri saja dari mereka”. (HR. Daruquthni)
Mempunyai isteri lebih sari satu sangatlah penting bagi seorang suami untuk berlaku seadil mungkin terhadap isteri-isterinya. Karena tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk menciptakan keluarga yang sejahtera, suami dan isteri-isterinya serta anak-anaknya dapat hidup rukun, damai dan berkasih sayang. Sebagaimana yang dimaksudkan dalam alQur‟an surat ar-Ruum ayat 21:
10 11
Ali bin Umar Daruquthni, Sunan Daruquthni, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jil. 2, h. 166 Ali bin Umar Daruquthni, Sunan Daruquthni, h. 166
17
21 30
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfiki.” (QS. Ar-Ruum/30: 21) Ayat selanjutnya yang berkaitan dengan perkawinan poligami yaitu yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 129:
129 4
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa/ 4: 129)
Kalau dilihat pada surat an-Nisa ayat 3 dan 129 yang telah disebutkan diatas, dengan jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan yang dianut dalam Islam pun adalah monogami. Namun, kebolehan poligami apabila syarat-syarat yang menjamin keadilan seorang suami kepada isteriisterinya, baik adil dalam segi material maupun dari segi spiritual.
18
Islam
memandang
poligami
lebih
banyak
membawa
madharat/resiko dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watakwatak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anaknya, maupun konflik antara isteri beserta anaknya masing-masing.12 Oleh karena itu asas perkawinan dalam Islam adalah menganut asas monogami. b. Poligami Dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia Penetapan dasar hukum mengenai poligami selain yang tertera dalam surat an-Nisaa ayat 3 mengenai kebolehan poligami, juga didasari oleh aspek-aspek perundang-undangan yang ada. Dalam Pasal 3, 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sangat mengakomodir semua hal yang bersangkutan mengenai poligami berikut juga persyaratannya. Pada dasarnya Undang-Undang perkawinan di Indonesia menganut prinsip monogami, prinsip tersebut tercantum dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:
12
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), cet. Ke- 37, h. 538
19
“Pada asasnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.13
Walaupun dalam Undang-Undang perkawinan telah menganut prinsip monogani tetapi dalam pelaksanaannya prinsip ini tidak berlaku mutlak, dalam Undang-Undang perkawinan di Indonesia tetap diperbolehkan poligami dengan persyaratan yang sangat ketat, dan hanya orang-orang yang tertentu saja yang dapat melakukannya.14 Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan aturan tentang kebolehan beristeri lebih dari seorang terdapat dalam pasal 3,4 dan 5 yang berisikan alasan serta syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beristeri lebih dari seorang. Pasal 3 ayat (2) menerangkan bahwa: “Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari
seorang
apabila
dikehendaki
oleh
pihak-pihak
yang
bersangkutan”. Ayat ini jelas sekali bahwa Undang-Undang perkawinan telah melibatkan Peradilan Agama sebagai instansi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seseorang.15
13
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), cet,. Ke- 37, hal. 538 14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 156
15
Amiur Nuruddiin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, hal. 156
20
Kemudian dalam Pasal 4 ayat (1) menerangkan bahwa: “Apabila seorang suami yang akan melakukan poligami, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan: “Alasan-alasan pengadilan mengizinkan seorang suami berpoligami apabila: 1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai
seorang
isteri;
2.
Isteri
mendapat
cacat
badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan 3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Alasan di atas bernuansa fisik kecuali alasan yang ketiga. Alasan yang ketiga terkesan suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal, maka alternatifnya adalah poligami. Dalam pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memberikan sejumlah persyaratan bagi seoarang suami yang akan beristeri lebih dari satu.16 Diantaranya adalah: a. Adanya persetujuan dari isteri pertama; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya; dan c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. Namun
apabila
isteri-isterinya
tidak
mungkin
dimintai
dalam
perjanjiannya, tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, dan sebab-sebab lain
16
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006), cet. Ke- 1, h. 47
21
yang mendapat penilaian dari hakim pengadilan, maka suami tidak dapat memerlukan persetujuan dari isterinya.17 Perlu kita ketahui bahwa pada Pasal 4 adalah persyaratan alternatif, artinya salah satu harus ada untuk dapat melakukan poligami. Sedangkan Pasal 5 adalah persyaratan kumulatif, dimana seluruh persyaratan harus dipenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami. 3. Sejarah Poligami Poligami sama tuanya dengan sejarah kehidupan manusia, yaitu sebelum agama Islam datang. Sehingga dapat dikatakan bahwa poligami merupakan hal yang biasa terjadi atau telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orangorang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Jerman, Cekoslovakia, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah Negara-negara yang berpoligami. Dengan demikian bangsa-bangsa timur seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang berpoligami, sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut
17
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
22
Islam, seperti Afrika, Cina, India, dan Jepang.18 Maka tidaklah benar jika poligami hanya terbatas di negeri-negeri Islam. Sebenarnya Kristen pun tidak melarang adanya poligami, sebab di dalam Injil tidak ada satu pun dengan tegas melarang poligami. Para pemeluk Kristen bangsa Eropa, dahulu mempunyai adat istiadat hanya boleh kawin dengan seorang wanita saja. hal ini disebabkan karena sebagian besar bangsa Eropa penyembah berhala, yang kemudia didatangi oleh agama Kristen, adalah orang-orang Yunani dan Romawi yang terlebih dahulu mempunyai kebiasaan yang melarang poligami. Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat istiadat nenek moyang mereka tetap dipertahankan dalam agama Naru itu. jadi sistem monogami yang mereka jalankan bukanlah berasal dari agama Kristen semata, tetapi merupakan warisan agama berhala (Paganisme). Kemudian gereja mengambil alih paham yang berkembang dalam masyarakat dan akhirnya melarang poligami dan dinyatakan sebagai aturan agama.19
4. Syarat-syarat Poligami Mengenai syarat-syarat poligami, seperti yang dijelaskan pada Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang perkawinan menyebutkan bahwa seorang yang ingin beristeri lebih dari satu orang maka ia harus mengajukan permohonana
18
Hasan Aedy, Poligami Syari‟ah dan Perjuangan Kaum Perempuan, (Bandung: Alfabeta, 2007), cet. Ke-1, h. 60 19
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. Ke-1, h. 270-271
23
poligami kepada pengadilan setempat. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 menerangkat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonana izin, yaitu: a. Adanya persetujuan dari isteri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteriisteri dan anak-anak mereka; c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.20 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 57 juga menyebutkan alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal tersebut berbunyi: “Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak menjalankan kewajibannya sebagai isteri. b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.21 Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan tentang poligami meskipun dengan alasan yang sangat ketat jelaslah bahwa asas UndangUndang perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka.22
20
Undang-Undang Pokok Perkawinan, hal. 2
21
Kompilasi Hukum Islam, DIRBENPERA, DEPAG, 2002, hal. 34
22
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 156
24
5. Hikmah Poligami Setiap ayat yang diturunkan oleh Allah SWT pasti terdapat hikmah yang dapat diambil oleh manusia. Karena setiap permasalahan pasti terdapat hikmah di dalamnya, demikian pula ketika Allah menurunkan ayat tentang poligami. Mengenai hikmah poligami, antara lain adalah sebagai berikut: a. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul; b. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri, sekalipun isteri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai isteri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapt disembuhkan; c. Untuk menyelamatkan suami dari hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya; d. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di masyarakat yang jumlah wanitanya lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang sangat lama.
B. Pendapat Ulama Tentang “Ta’ddud al-Zaujah” Dalam pandangan fiqih, poligami yang di dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan ta‟addud al-Zaujat yang artinya bertambahnya jumlah isteri. Dengan demikian ta‟addud al-zaujah berarti dapat dikatakan perkawinan yang tidak terbatas dalam waktu yang bersamaan. Sebenarnya hal tidak lagi menjadi
25
persoalan. Hal ini menunjukan bahwa para ulama sepakat tentang kebolehan poligami, namun dengan persyaratan yang bermacam-macam. Dalam Islam ta‟ddud al-zaujah mempunyai isteri lebih dari satu, dengan batasan umum yang telah ditentukan di dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 3 yang menjelaskan empat untuk jumlah isteri. Namun terdapat perbedaan yang disebabkan karena perbedaan penafsiran tentang ayat tersebut, yakni:
3 4 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa: 3)
Maksud dari kata dua-dua, tiga-tiga dan empat-empat. Ulama ahli bahasa sepakat, bahwa kalimat-kalimat itu adalah kalimat hitungan, yang masing-masing menunjukkan jumlah yang disebut itu. matsna berarti: dua, dua; tsulasa berarti: tiga, tiga; ruba‟ berarti: empat, empat. Jadi maksud dari ayat di atas adalah kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai sesukamu dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Zamakhsyari berkata: omongan ini ditunjukkan kepada orang banyak, yang diulang masing-masing orang yang hendak kawin itu berkehendak untuk berpoligami sesuai dengan hitungan itu. Misalnya: engakau mengatakan kepada
26
orang banyak: bagikanlah uang ini 1000 dirham misalnya dua dirham, dua dirham, tiga dirham, tiga dirham atau empat dirham, empat dirham. Jika omongan itu disebutkan dalam bentuk tunggal (ifrad), maka tidak mempunyai arti, misalnya engkau mengatakan: bagikanlah uang ini dua dirham. Tetapi jika engkau mengatakan: dua dirham, dua dirham maka maknanya berarti masing-masing mendapatkan dua dirham saja, bukan empat dirham. Jadi, menurut ayat ini kawin lebih dari empat itu adalah haram. Dan semua ulama ahli fiqih telah sepakat atas perkara tersebut. Sedangkan para ahli bid‟ah (orang yang membuat model dalam agama), menyatakan bahwa kawin Sembilan itu boleh, karena dalam ayat di atas dipergunakan “wawu” (dan) liljam‟i untuk menggabungkannya, yakni 2+3+4=9. Al-„allamah al-Qurtubi berkata: ketahuilah bahwa bilangan yang terdapat pada ayat di atas (matsna, tsulatsa, ruba‟) tidak dibolehkannya kawin Sembilan, sebagaimana pengertian orang yang jauh dari pengertian al-Qur‟an dan alSunnah, dan menentang yang menjadi kesepakatan ulama-ulama terdahulu, dengan beranggapan bahwa “wawu” disini adalah liljam‟i. Aku (Shabuni) mengatakan bahwa: Ijma‟ ulama menetapkan haram kawin lebih dari empat. Masa mereka yang telah berijma‟ itu telah berlalu, sebelum datangnya orang-orang belakang yang banyak menyimpang itu. oleh karena itu anggapan mereka ini sama sekali tidak berharga, bahkan menunjukkan kebodohannya.23
23
Mu‟ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), cet. Ke- 1, h. 361-363
27
C. Konep Adil Dalam Poligami Menurut Perspektif Hukum Islam 1. Pengertian Adil Banyak sekali istilah dalam bahasa Indonesia yang memiliki pengertian yang kompleks dan sulit untuk merumuskan secara baku. Kata adil misalnya, ketika dipahami lebih dari satu orang, maka mereka akan berbeda penilaian tentang adil yang dimaksud. Adil menurut dia belum tentu adil juga bagi masyarakat yang lain. Adil menurut orang sekarang, belum tentu adil untuk orang yang hidup di masa mendatang.24 Adil secara bahasa adalah musytaq dari kata „adala, ya‟dilu, „adalan fahuwa „aadilun. Al-„Adl berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain. Istilah lain dari al-„adl adalah alQisth, al-Mitsl, dan al-Mizan. Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, maupun dari segi ukuran sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Dengan kata lain adil berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran. Ada juga yang mengartikan adil itu dengan “wad‟u al-Syai fi mahallihi” (meletakkan sesuatu pada tempatnya).25 Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu benang merah bahwa adil kata adil mengandung dua pengertian. Pertama, adil berarti berbuat sama
24
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Lampiran UU No. 1 Tahun 1974, (Jakarta:Tintamas, 1975), h. 13 25
Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, h. 25-26
28
terhadap siapa pun, tidak memihak atau tidak berat sebelah.26 Adil jenis ini disebut dengan adil komutatif. Bahwa setiap orang akan diperlakukan sama tanpa melihat latar belakangnya. Bentuk keadilan komutatif ini bisa relevan dalam satu konteks, tetapi belum tentu dalam konteks yang lain. Misalnya dalam pembagian waris. Keadilan jenis ini tidak berlaku, karena adil menurut hukum yang berlaku adalah tidak menyamakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki mendapatkan dua bagian sedangkan perempuan mendapatkan satu bagian saja. Pengertian adil yang kedua yaitu i‟tau kulli dzi haqqin haqqah (berbuat kepada orang lain apa yang menjadi haknya). Adil jenis ini disebut juga dengan keadilan distrebutif. Setiap seseorang akan diperlakukan sama sesuai dengan apa yang menjadi haknya. Misalnya, seorang suami akan membedakan perlakuan terhadap isteri baru, yang masih gadis dengan isterinya yang pertama yang sudah tidak gadis. Maka ia akan bermukim lebih lama di rumah isteri yang baru itu. Abdul Karim Usman mengemukakan bahwa, keadilan disteributif adalah keadilan hukum. Ia mengatakan: “la yatahaqqaqu al‟adlu fi al-hukmi alla biisholi kulli dzi haqqin haqqahu (keadilan hukum tidak akan tercapai kecuali dengan memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya)”.27
26
Abd. Karim Usman, Ma‟alim al-Tsaqaafahal-Islamiyyah, (Beirut:Muassasah al-Risalah, 1982), h. 78 27
Abd. Karim Usman, Ma‟alim al-Tsaqaafahal-Islamiyyah, h. 80
29
2. Konsep Adil Menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah a. Konsep Adil Menurut Al-Qur’an Al-Qur‟an yang secara harfiyah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal baca tulis lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur‟an al-Karim, bacaan yang sempurna dan mulia itu. Khusus mengenai pembahasan tentang keadilan, banyak teks alQur‟an yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk keadilan sesuai dengan konteks yang sedang dibicarakan. Keadilan diungkapkan oleh al-Qur‟an antara lain dengan kata-kata al-„adl, al-Qist, al-Mizan atau menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim dari kezaliman. Kata al-„adl yang berarti sama, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih, Karena jika ada hanya satu pihak tidak terjadi “persamaan”. AlQist arti asalnya adalah “bagian”. Dan bagian biasanya dapat diperoleh oleh satu pihak saja, karena itu kata al-Qist lebih umum dari pada kata al„adl, dan karena itu pula ketika al-Qur‟an menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata al-Qist itulah yang digunakan. Sebagaimana yang disebut dalam firman Allah SWT:
30
135 4
...
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu”. (Q.S an-Nisa:135(. Sedangkan kata al-Mizan merupakan derivasi dari kata “wazn” yang berarti “timbangan”. Oleh karena itu kata al-Mizan sering digunakan sebagai kata menunjukan alat untuk menimbang. Namun dapat ula diartikan “keadilan”, karena bahasa seringkali menyebut “alat” untuk makna hasil penggunaan alat itu.28 Jadi pembicaraan tentang keadilan dalam al-Qur‟an tidak hanya dalam proses penetepan hukum atau terhadap pihak berselisih, melainkan al-Qur‟an juga menuntut keadilan terhadap dirinya sendiri, baik ketika berucap, menulis atau bersikap batin.29
152 6
.... ....
“....dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu)....”. (QS Al-An‟am: 152)
28
M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udu‟I Atas Berbagai Permasalahan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), cet. Ke-13, h. 114 29
M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udu‟I Atas Berbagai Permasalahan Umat, h. 113
31
Lebih rinci lagi, Rifyal Ka‟bah menyebutkan beberapa ayat yang berbicara tentang keadilan sebagai berikut:30 1) Keadilan yang berhubungan dengan tauhid. Seperti firman Allah SWT:
18 3
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang
berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS Al-Imran: 18). Jadi, keyakinan akan keesaan Allah SWT merupakan suatu bentuk keadilan menusia terhadapnya, karena Dialah yang menciptakan dan memberikan kehidupan kepada manusia. Ayat ini turun ketika Rasulullah SAW berada di Madinah. Pada saat itu ada dua orang cendikiawan dari Syam yang berkunjung ke Madinah. Salah seorang berkata, “alangkah persisnya keadaan kota ini dengan kota yang akan melahirkan nabi akhir zaman”. Kemudian, ketika bertemu dengan Rasulullah SAW, mereka berdua melihatnya adanya sifat-sifat kenabian yang melekat pada dirinya. Kedua bertanya, “anda Muhammad?”, “Ya!” jawab nabi, “Anda Muhammad?”, Tanya mereka lagi, “Ya!” tegasnya. Keduanya berkata lagi, “kami ingin
30
86
Rafyal Ka‟bah, Politik dan Hukum Dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), h. 84-
32
menanyakan kepadamu tentang suatu kesaksian, yang jika kamu memberitahu kami tentang hal itu, maka kami akan beriman, dan membenarkan segala ucapanmu, lalu Rasulullah SAW berkata kepada keduanya, “(kalau begitu) tanyalah (kepadaku)!”. Keduanya pun bertanya seraya mengujinya, “sebutkanlah kepada kami kesaksian apa yang paling agung dalam kitab Allah?”, untuk menjawabnya, lalu turunlah ayat diatas dan akhirnya keduanya pun masuk agama Islam.31 2) Keadilan juga terkait dengan meletakkan sesuatu pada pada tempatnya, seperti yang disebutkan pada ayat berikut ini:
5 33
..
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” (QS alAhzab: 5) Ayat di atas menunjukan bahwa penempatan nama ayah di belakang nama menunjukkan sikap yang adil. Ada pendapat bahwa orang yang menisbatkan dirinya kepada seseorang padahal dia bukan bapaknya, dan dia menganggapa hal tersebut sah-sah saja, maka ia dianggap kafir, tetapi jika ia dalam hatinya menganggap hal tersebut
31
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dar alFikr, 2003), vol. 2, h. 192
33
tetap perbuatan dosa, maka ia masih tetap dianggap muslim yang kufur nikmat.32 Adapun kebiasaan masyarakat barat yang juga diikuti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengganti nama ayah dibelakang nama kecil dengan nama suaminya, dapat dikatakan sebagai perilaku yang tidak adil, karena dia menghubungkan diri kepada orang yang bukan asal-usulnya. Bagaimana pun sebagai pria dan wanita itu berasal dari ayahnya sendiri, bukan dari suaminya.33 3) Keadilan adalah sebagian dari ketakwaan. Siapa pun harus berlaku adil kepada diri sendiri, orang tua atau kerabat. Seperti firman Allah SWT:
135 4
...
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benarbenar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu”. (Q.S anNisa:135(. Dari bantuknya ayat yang menjelaskan tentang keadilan, menurut Quraish Shihab secara umum ada empat konsep keadilan, dan konsep ini juga yang dipegang oleh para ulama. Yang pertama, adil dalam arti “sama”. Maksud persamaan yang dikehendaki oleh konsepsi tersebut adalah persamaan dalam hak. Kedua, keadilan yang ditunjukan untuk 32
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj, h. 253
33
Rafyal Ka‟bah, Politik dan Hukum Dalam Al-Qur‟an, h. 85
34
pengertian “seimbang”. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju pada suatu tetentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oeh setiap bagian. Keadilan disini identik dengan kesesuaian, bukan lawan kezaliman. Keseimbangan tidak mengharuskan kadar dan syarat bagi semua unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.34 Konsep adil yang ketiga adalah adil yang berarti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian inilah yang mengandung pemahaman bahwa pengabaian terhadap hak-hak yang seharusnya diberikan kepada pemiliknya dapat dikatakan suatu kezaliman. Yang ke emapat adalah adil yang dinisbatkan kepada ilahi. Konsepsi adil ini berarti memeilihara kewajaran atas keberlanjutan eksistensi, tidak kelanjutkan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. keadilan ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikannya. Keadilannya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh mahluk itu dapat meraihnya.35 34
M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udu‟I Atas Berbagai Permasalahan Umat, h. 114-115 35
M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udu‟I Atas Berbagai Permasalahan Umat, h. 116
35
b. Konsep Adil Menurut al-Sunnah Salah satu sumber hukum terpenting dalam Islam setelah al-Qur‟an adalah al-Sunnah. Menurut para ulama, al-Sunnah merupakan
wahyu
Allah selain al-Qur‟an, yang tidak kalah pentingnya dengan al-Qur‟an. Dikatakan wahyu, sebab al-Sunnah adalah sekumpulan praktek keagamaan yang berasal dari seorang utusan Allah, yang membawa syari‟atnya. Karena itu segala tindakannya merupakan suatu amaliah yang tidak lepas dari peran dia sebagai penyambung antara Allah dan makhluknya.36 Dengan bahasa lain, al-Sunnah merupakan wahyu yang ghair alMatluw
(tidak
dibacakan),
melainkan
hanyalah
berupa
wahyu
dimanifestasikan dalam pekerjaan, perkataan dan ketetapan Rasulullah SAW. Karena itu al-Sunnah berbeda dengan al-Qur‟an yang lafaz dan maknanya dari Allah, sehingga al-Sunnah dapat saja disampaikan dari sisi mananya saja, yang tidak persis sama dari redaksi yang diterima dari sebelumnya. Sedangkan al-Qur‟an tidak demikian, al-quran harus sama dengan redaksinya, tidak boleh ditambah atau dikurang.37 Dengan demikian posisi al-Sunnah sama pentingnya dengan alQur‟an, oleh karena itu banyak hukum al-Qur‟an yang butuh penjelasan
36
Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits Wa al-Muhadditsun aw-„Inayat al-Ummah al-Islamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Kairo: Syirkah Syahamah, tth), h. 11 37
Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits Wa al-Muhadditsun aw-„Inayat al-Ummah al-Islamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 15
36
lebih lanjut dari al-Sunnah, atau bahkan al-Sunnah menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur‟an.38 Banyak hal yang dibicarakan dalam al-Sunnah. Segala segi kehidupan dari mulai persoalan pribadi hingga dalam persoalan sosial dapat ditemukan di dalamnya. Banyak ulama dari generasi ke generasi yang mengkaji kandungannya, bahkan banyak diantara mereka yang mengawal sekuat tenaga kehujjahan al-Sunnah sebagai hukum ke dua setelah al-Qur‟an. Salah satu tema yang dibicarakan dalam al-Sunnah adalah keadilan. Berbagai riwayat yang menjelaskan tentang adil itu penting, menunjukkan bahwa tema ini mendapat perhatian yang cukup segnifikan dari al-Sunnah. Sebab sudah menjadi tabi‟at manusia tidak mau diperlakukan tidak adil. Karena itu siapapun yang dapat mewujudkan keadilan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, dia termasuk orang yang istimewa, baik dihadapan Allah maupun dihadapan manusia pada umumnya. Dalam khazanah ilmu hadis, ilmu yang mengkaji riwayat dan kandungan hadis, dikenal istilah „adalah seorang rawi sebagai salah satu syarat bagi sebuah hadis. Menurut pakar disiplin ilmu hadis, „adalah merupakan derivasi dari kata „adalah, ya‟dili, „adlan wa „adalalatan.39 Itu berarti suatau sifat yang dimiliki oleh seorang mubaligh yang berakal sehat, 38
Adil Muhammad Darwis, Nazarat fi al-Sunnah wa Ulum al-Hadits, (Kairo:Kulliyah Da‟wah al-Islamiyyah, 1998), h. 32 39
Ibrahim Anis dkk, Mu‟jam al-Wasit, (tt: tpn, tth), h. 617
37
dia juga harus selam dari hal-hal yang menyebabkan kefasikan
dari
rusaknya kehormatan diri, yang kuat ingatannya (tidak mudah lupa), dia juga harus hafal jika ia menceritakan dari hafalannya dan ia terpecaya tulisannya jika menceritakan dari tulisannya, yang mengetahui terhadap apa yang merusak makna jika ia meriwayatkan dengan apa yang ditulisnya tersebut.40 Jadi dalam perspektif ilmu hadis, ilmu yang mengkaji alSunnah, orang yang adil disini adalah orang yang memiliki sifat-sifat tersebut. Sama halnya dengan al-Qur‟an didalam al-Sunnah juga terdapat tiga kata yang biasa digunakan untuk menunjukkan makna keadilan. Ketiga kata itu adalah al-„adl, al-Qist dan al-Mizan. Masing–masing kata ditunjukkan kepada pengertian adil sesuai dengan konteks yang sedang dibicarakan. Khusus kata al-‟adl, banyak riwayat yang berkaitan dengan kata al-„adl yang ditujukan kepada makna keadilan. Diantaranya adalah:
41
40
Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Syuyuthi, Tadrib al-Rawi fa Syarh Taqrib anNawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), h. 163 41
Muhammad bin Ismail al-Bukahri, al-Jami‟ al-Sahih al-Mukhtasar, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), juz. 2, h. 144
38
Artinya: Dari Abi Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “tujuh orang yang akan mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari kiamat, yaitu imam yang adil, pemuda yang tumbuh berkembang dalam ibadah kepada Tuhannya, orang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dan dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul ddan berpisah karenanya, dan seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan dan cantik menawan, dan ia berkata kepada wanita itu: “Saya takut kepada Azab Allah”, dan seorang yang bersedakah secara sembunyi, sampai-sampai tangan kirinya sendiri tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan seorang laki-laki yang berlinang air mata dalam kesendiriannya”. (HR. Al-Bukhaari). Imam Ibnu Hajar berpendapat bahwa kata al-„adil pada redaksi hadis di atas merupakan isim fail (pelaku) dari kata al-„adl. Dalam satu riwayat juga ada yang menggunakan istilah al-Imam al-„adl sebagai kata pengganti dari dari kata al-Imam al-„adil, yang oleh Imam Ibnu Abdil Barr dianggap lebih kuat maknanya, karena orang yang berlaku adil disebut dengan menggunakan kata bendanya, yakni al-„adl.42 Adapun yang dimaksud dengan Imam ialah orang yang memiliki jabatan yang besar. Masuk dalam pengertian ini juga setiap orang yang berkuasa atas berbagai urusan kaum muslimin. Sedangkan pengertian dari adil itu sendiri ialah orang yang mengikuti perintah Allah SWT dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan tanpa melampaui batas, tidak lebih dan tidak kurang.43
42
Ibu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari: Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1374 H), juz. 2, h. 144 43
Ibu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari: Syarh Sahih al-Bukhari
39
Masih tentang keadilan yang menggunakan kata al-„adl adalah hadis berikut:
44
Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “tiga orang yang tidak akan ditolak doanya, yaitu orang yang berpuasa sehingga ia berbuka, imam yang adil, dan doanya orang yang dizalimi. Allah mengangkat doa tersebut ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit, lalu Tuhan berkata: “sesunggugnya aku yang akan menololngmu”. (HR. Ibnu Majah). Selain kata al-„adl untuk menunjukkan makna keadilan, hadis juga sering menggunakan kata al-Qist, seperti hadis berikut:
45
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil mendapat tempat yang mulia di sisi Allah, kedua tangannya disamping orang-orang yang berlau adil dalam menghukumi, dan terhadap keluarga mereka, dan terhadap apa yang mereka kuasai”. (HR. Muslim). Imam Nawawi mengatakan, baahwa yang dimaksdu al-Muqsitun adalah al-„adilun (orang-orang yang adil). Kata al-Qist yang dibaca kasrah qafnya berarti al-„adl. Adapun al-Qasthu dengan dibaca fathah huruf qafnya berarti menyimpang, seperti yang diungkapkan dalam surat al-Jin 44
Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), vol. 1,
45
Muslim bin Hijjaj, Sahih Muslim, (Beirut: Dar ihya al-Taurats, tth), vol. 2, h. 1458
h. 547
40
ayat 15: “wa ammal qosithuna fakanu lijahannama hathoba (adapun orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka jahannam)”.46
47
Artinya: Dari Ibn al-Musayyab, dia mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Demi zat yang juwaku berada dalam genggamannya, hampir saja aku turun diantara kalian Ibnu Maryam (Nabi Isa AS) sebagaimana orang memutuskan perkara (hakim) yang berlaku adil , mematahkan salib, membunuh babi, dan meninggalnya jizyah, dan harta berlimpah ruah, hingga tidak ada seorangpun yang menerimanya”. (HR. Muslim). Di samping kedua kata di atas, yakni kata al-„adl dan al-Qist, kata al-Mizan juga bisa digunakan untuk pengertian keadilan. Al-Mizan secara bahasa berarti timbangan atau neraca. Al-Mizan juga dapat diberi makna al„adl (keadilan) oleh karena dengan timbangan yang benar itulah salah satu pihak tidak merasa terzalimi, sehingga keduanya merasakan keadilan.
48
46
Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Taurats al-„araby, 1392 H), vol. 12, h.
47
Muslim bin Hijjaj, Sahih Muslim, h. 85
48
Muslim bin Hijjaj, Sahih Muslim, vol. 1, h. 161
211
41
Artinya: Dari Abu Musa RA, beliau berkata: “Rasulullah SAW berdiri di tengah-tengah kita dengan memberikan lima kalimat, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak tidur, dan tidak patut baginya tidur, Dia menurunkan dan menaikkan timbangan, diangkat kepadanya amal yang dilakukan di malam hari sebelum datanya amal di siang hari, dan juga sebaliknya”. (HR. Muslim) Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Qist pada redaksi hdis adalah al-Mizan, karena al-Qist itu berarti al-„adl, dan dengan al-Mizan (neraca atau timbangan) itulah terwujudnya keadilan.49 Dalam sebuah hadis dikatakan:
50
Artinya: Dari Abu Darda RA, dari Nabi SAW bersabda: “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat timbangannya dari pada ahklak yang baik”. (HR. Abu Daud). 3. Adil Berpoligami Menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah a. Adil Berpoligami Menurut Al-Qur’an Berbicara poligami tidak akan lepas dari pembahasan mengenai surat an-Nisa ayat 3. Ayat tersebut disamping dalil naqli dari al-Sunnah oleh
mayoritas
umat
dijadikan
sebagai
landasan
teologis
bagi
dibolehkannya praktek poligami, sehingga perilaku tersebut diyakini illegal dan diakui oleh agama. Ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
443
49
Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, vol. 3, h. 13
50
Abu Daud Sulaiman bin Asy‟ats, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), vol. 3, h.
42
3 4
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saj, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa: 3) Ayat di atas tidak saja berbicara mengenai kebolehan menikahi wanita lebih dari satu, tetapi juga berbicara mengenai kewajiban wali agar tidak berbuat aniaya terhadap anak yatim yang berada dalam asuhannya.51 Karena berdasarkan kronologisnya, ayat ini masih terkait dengan ayat sebelumnya, yakni an-Nisa ayat 2, dimana ayat tersebut memerintahkan kepada wali untuk tidak memakan harta anak yatim dan memberikan harta tersebut kepadanya jika anak tersebut sudah baligh. Disamping itu juga para wali gemar menukar barang-barang anak yatim yang baik dengan yang buruk atau mereka memakan harta anak yatim yang tercampur di dalam harta mereka. Bahkan lebih dari itu, mereka bahkan menikahi anak yatim yang berada dalam perlindungannya dengan tujuan ingin menguasai harta dan memenuhi hawa nafsu seksualnya, karena
51
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), vol. 2, h. 179
43
itulah kemudian turun surat an-Nisa ayat 3. Ayat tersebut mencegah para wali berbuat zalim terhadap anak yatim. diungkapkan dalam satu riwayat dari Imam Bukhari, Muslim, Nasa‟i, al-Baihaqi dan lainnya, bahwasanya ketika Urwah Bin Zubair pernah bertanya kepada bibinya, Aisyah Ra. Tentang sebab turunnya ayat “wa inkhiftum alla tuqsitu……..(an-Nisa: 4)”. Lalu Aisyah menjelaskan, ayat ini turun berkenaan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan walinya. Kemudian walinya itu ingin mengawininya, tetapi tanpa mahar yang pantas baginya, ahirnya mereka dilarang untuk menikahi yatim tersebut, tetapi dipersilahkan menikahi wanita lain yang mereka sukai dua, tiga atau empat.52 Dalam riwayat lain, juga dari Aisyah Ra, beliau menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai banyak isteri, lalu ketika hartanya habis dan dia tidak sanggup lagi menafkahi isteri-isterinya, ia berkeinginan mengawini anak yatim yang berada dalan perwalian dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk membiayai kebutuhan isteri-isterinya. Ada beberapa persoalan yang terangkum dalam ayat ke tiga surat an-Nisa tersebut. Diantaranya adalah persoalan terhadap penafsiran terhadap pengertian atau konsep adil berpoligami yang terkandung di dalamnya. Ayat tersebut berbunyi: “fain khiftum alla ta‟dilu fawahidah aw
52
Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi, Al-Jami‟ Li ahkam al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), vol. 5, h. 11
44
ma malakat aymanukum” yang artinya “bahwa jika sang suami tersebut takut tidak mampu berlaku adil kepada isteri-isterinya, maka wajib baginya menikahi seorang isteri saja, atau menikahi budak-budak yang ada dalam kekuasannya. Menurut al-Maraghi, pengertian khauf (takut) pada ayat tersebut adalah adanya dugaan kuat (zan) atau keraguan (syak) dalam diri suami bahwa dia tidak mampu berlaku adil. Karena itu yang diperbolehkan menikahi wanita lebih dari satu ialah suami yang yakin mampu berlaku adil, yang tidak ada keraguan sama sekali.53 Sedangkan hal-hal dimana suami wajib berlaku adil, sebagaimana dikatakan Imam al-Qurtubi seraya mengutip pendapat ad-Dahhak adalah dalam hal al-Mail (kecondongan perlakuan), mahabbah (cinta), al-Jima‟ (persetubuhan), al-„isyrah (pergaulan) dan al-Qasmu (giliran bermalam).54 Menurut penafsiran tersebut bahwa suami yang tidak dapat memenuhi keadilan, terutama dalam membangun husnul mu‟asyarah (hubungan pergaulan yang harmonis) dalam hal-hal tersebut, terlarang untuk berpoligami. Akan tetapi jika dilihat secara sekilas, masih belum ada kejelasan tentang adil yang dimaksud dalam penggalan ayat tersebut. Apakah keadilan tersebut hanya menyangkut aspek materi atau lahir semata? Tidak mencakup immateri atau batin? Ataukah kedua-daunya?. Jika ditinjau 53
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 180
54
Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi, Al-Jami‟ Li ahkam al-Qur‟an, h. 20
45
sambungan ayat tersebut, yakni “dzalika adna alla ta‟ulu” maka akan Nampak jelas pengertian adil yang dimaksud. Setidknya penggalan ayat itu menyebutkan sesuatu yang menjadi penyebab dilarangnya berpoligami karena dianggap tidak berlaku adil, baik lahir maupun batin. Ada dua pendapat dalam penafsiran pada penggalan ayat tersebut di atas. Menurut pendapat pertama, yakni dari Zaid bin Aslam, Sufyan bin Uyaynah dan Imam Syafi‟i, bahwa yang dimaksud dengan “dzalika adna alla ta‟ulu” (yang demikian itu lebih mendekati kepada tidak membuat aniaya) adalah “dzalika adna alla taksuru iyalukum”, artinya, pilihan monogami, hanya menikahi isteri satu saja. Dalam hal ini pendapat pertama lebih menekankan kepada keadilan terhadap materi. Tampaknya ada beberapa ilmuan yang lebih condong terhadap pendapat pertama ini, diantaranya adalah Arij Abdurrahman alSannan. Ia mengatakan bahwa adil berpoligami adalah menyamakan isteri dalam hal bermalam (menggilir) dan semua jenis nafkah lahir baik makan, minum, pakaian maupun tempat tinggal.55 Sedangakan pendapat kedua lebih menitikberatkan pada tidak berbuat zalim, dan tidak ada cara yang layak bagi sikap “tidak berlaku zalim” kepada isteri-isteri kecuali dengan berbuat adil terhadap mereka bukan hanya berbuat persoalan nafkah lahir semata, melainkan juga nafkah
55
Arij Abdurrahman al-Sannan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, (Jakarta: Global Media Cipta, 2002), h. 43
46
batin. Karenanya meraka menafsirkan penggalan ayat diatas dengan جوْ ُروْا ُ َ َالتdan َالتَ ِميُْلوْاyang berarti jangan berat sebelah atau condong sebelah, yang membuat kalian berbuat zalim. Sehingga kalua dari sini, akan sulit sekali bagi seorang suami untuk dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Penafsiran ini juga diperkuat denagn firman Allah:
129 4
......
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian....". (QS. AnNisa: 129). Ayat di atas menurut penafsiran Sayyid Qutb adalah bahwa keadilan yang dituntut dalam ayat ini menyatakan terlarangnya poligami ini dikhawatirkan keadilan itu tidak dapat terealisasi, yaitu keadilan dalam bidang muamalah, pemberian nafkah, pergaulan dan seluruh bentuk urusan lahiriah, yang tidak dapat seoarang isteri pun dikurangi haknya dalam urusan ini dan tidak seorang pun dari merekan yang lebih diutamakan dari pada yang lain.56 Dari uraian di atas seolah ada dua kontradiksi. Di satu sisi al-Qur‟an membolehkan poligami, yakni sesuai dengan surat an-Nisa ayat tiga dengan catatan dapat berlaku adil, akan tetapi di sisi lain al-Qur‟an juga manafikan suami dapat berlaku adil sesuai dengan ayat 129 surat an-Nisa. 56
Arij Abdul Rahman as-Sanan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, (Jakarta: PT Global Media Cipta Publishing, 2003), h. 114
47
Untuk mengurai kontradiksi antar kedua ayat tersebut, menurut Arij Abdurrahman al-Sinnan surat an-Nisa ayat 129 itu berbicara dalam konteks keadilan yang berada di luar kemampuan atau kesanggupan suami, yaitu soal kecenderungan hati. Sedangkan surat an-Nisa ayat 3 berbicara dalam konteks keadilan yang wajib diwujudkan oleh suami, karena berada dalam kesanggupan suami, yakni salah satunya adalah al-Qasmu (menggilir) dan nafkah lahir.57 Menurut penulis, pandangan Arij tersebut terlalu menafikan keadilan dalam konteks nafkah batin. Padahal nafkah batin tidak kalah pentinnya dengan nafkah lahir. Oleh karena itu agama juga memerintahkan kepada suami untuk menggauli isterinya dengan baik (al-mu‟asyarah bil al-ma‟ruf). Isteri yang tidak diperlakukan dengan baik nafkah batinnya akan merasa tertekan dan tidak merasakan kebahagiaan, yang justru menjadi tujuan utama dalam sebuah pernikahan.58 Sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:
21 30
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan 57
58
Arij Abdurrahman al-Sannan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, h. 51
Siti Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Diterbitkan atas Kerjasama LKAJ Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999), h. 14-15
48
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Ruum: 21). Dengan demikian, keadilan batin juga harus dipenuhi semaksimal mungkin oleh sang suami meskipun dia tidak dapat berlaku adil seratus persen. Hal itu sejalan dengan prinsip dasar bahwa suami tidak boleh berbuat zalim kepada isteri-isterinya sebagaimana yang terkandung dalam keumuman pengertian dalam surat an-Nisa ayat 3 tersebut. Adapun penafian berlaku adil oleh surat an-Nisa ayat 129 bukan berarti mentolerir suami yang tidak berlaku adil dalam hal batin. Seperti yang dikemukakan oleh Imam al-Maraghi, “Berlaku adil terhadap suami isteri hampir tidak mungkin dapat dilakukan, karena itu seorang suami dapat dilakukan, karena itu seorang suami harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk mewujudkan keadilan tersebut, agar tidak ada seorang isteripun yang merasa terzalimi. Dan akhhirnya Allah memberikan keringanan untuk berlaku adil terhadap hal-hal yang dia senggupi dengan catatan mengerahkan segenap kemampuannya, karena terkadang perihal kecondongan hati tumbuh begitu saja, dan hal ini di luar kemampuan manusia, karena itu Allah memaafkan hal itu, dan menjelaskan bahwa adil yang sempurna (100%) tidak akan mampu dilakukan, karena itu sang suami tidak terbebani untuk melakukannya”.59 Dari uraian di atas, jelaslah bahwa tidak berbuat zalim adalah sebagai perwujudan keadilan terhadap isteri-isteri yang dipoligami menjadi kewajiban bagi suami sesuai dengan kemampuannya. Adil dalam materi haruslah sesuai dengan hak-hak seorang isteri, sedangkan kecondongan masalah hati yang terkandung di luar batas kesangggupan seorang suami 59
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 173
49
dalm batas-batas tertentu dapat ditolerir. Sebagaimana yang dikatakan dalam surat an-Nisa ayat 129, “fala tamilu kull al-mail” yang artinya “maka janganlah kalian terlalu condong kepada isteri yang lebih kalian cintai dan mengabaikan isteri-isteri yang lain”. “fatadzarahu ka almullaqah”, yang artinya “sehingga kalian menjadikan merekan tergantung, seolah-olah mereka bukan wanita yang dinikahi dan juga tidak ditalak”. b. Adil Berpoligami Menurut Al-Sunnah Di dalam al-Sunnah banyak dijelaskan mengenai tata cara pergaulan Rasulullah SAW dengan isteri-isterinya, baik dalam hal yang bersifat umum, yakni perlakuan dalam konteks tata cara perkawinan dan pergaulannya,
maupun
secara
khusus
yang menyangkut
masalah
mekanisme atau cara perlakuan dalam konteks berpoligami. Oleh karena itu dalm kehidupan rumah tangga Rasulullah SAW mempraktekkan dua bentuk tersebut, perkawinan pada umumnya dan juga poligami. Di satu sisi praktek perkawinan Rasulullah SAW yang bersifat umum, dan bentuk ini banyak menyangkut hal-hal yang selain praktik beliau dalam berpoligami, contohnya dalam masalah mahar, rukun nikah, fasakh, khitbah, cara memilih jodoh, perwalian, radha‟ah, adab jima‟, hadhanah, dan lain sebagainya. Namun disisi lain terdapat praktik perkawinan Rasulullah SAW yang khusus berkaitan dengan tata cara pergaulan dalam berpoligami. Riwayat yang berkaitan dengan hal tersebut
50
jumlahnya lebih sedikit dibanding dengan praktik perkawinan yang bersifat umum yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Imam an-Nasai dalam Sunannya sedikit membahas mengenai persoalan tata cara Rasulullah SAW bergaul dengan isteri-isterinya dalam konteks berpoligami. Pernah ketika isteri Rasul menuntut keadilan terhadap Aisyah. Para isteri Rasul tersebut menganggapnya lebih condong kepada Aisyah, lalu beliau bersabda:
Artinya: Dari Aisyah Ra, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ummu Salamah jangan engaku sakiti aku karena Aisyah, karena sesunggunya demi Allah tidak pernah ada wahyu yang turun kepada aku ketika aku besama wanita kecuali (ketika aku bersama) dia”. (HR an-Nasai). Dari keterangan hadis di atas, nampaknya Ummul Mukminin Aisyah Ra mendapat perlakuan yang lebih istimewa dari Rasulullah SAW disbanding dengan Ummul Mukminin yang lain. Menurut al-Suyuthi, perlakuan Rasulullah SAW yang demikian itu lebih dilatarbelakangi adanya kedudukan Aisyah Ra yang sangat mulia di sisi Allah, oleh karena itu wahyu turun ketika beliau sedang bersamanya, dan hal yang seperti itu tidak pernah terjadi kepada Ummul Mukminin lainnya.60
60
Al-Suyuthi, Sunan al-Nasai bi Syarh al-Suyuthi wa Hasyiyah al- Sanay, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), vol. 4, h. 71
51
Sungguhpun
demikian
Rasulullah
SAW
tetap
berusaha
semampunya untuk tidak berbuat zalim terhadap isteri-isterinya, agar tidak ada diantara mereka yang merasa begitu tersakiti. Pada waktu kesempatan beliau pernah berdoa ketika usai menggilir isteri-isterinya:
Artinya: “Ya Allah ini adalah usaha yang sanggup saya lakukan, maka janganlah engkau hinakan aku atas apa yang Engkau perintahkan sedangkan aku tidak sanggup melakukannya”. (HR. An-Nasai). Karena itu menjadi keharusan bagi suami untuk berlaku adil dalam hak-hak isteri yang bersifat lahiriyyah dan juga perlakuan hati sebatas kemampuannya. Kecondongan hati yang tidak nerlebih-lebihan masih ditolerir, tetapi tidak ditolerir jika kecondongan hati tiu berlebih-lebihan sehingga keadaan isteri-isteri yang lain terabaikan. Karena itu Rasulullah memperingatkan perlakuan tersebut dengan sabdanya:
Artinya: Dari Abu Hurairah Ra. Dari Rasulullah SAW bersabda: “siapa saja yang mempunyai dua orang isteri kemudian ia lebih condong dari pada salah satu dari yang lainnya, maka ia akan datang pada hari kiamat kelak dengan salah satu pundaknya yang miring”. (HR. An-Nasai). Wahbah Zuhaili menjelaskan, bahwa perlakuan adil terhadap isteriisteri itu ada dua bentuk, perlakuan yang bersifat fisik, dan non fisik. Allah
52
hanya mewajibkan belaku adil dalam hal perlakuan fisik, tidak pada yang non fisik, seperti cinta, kecondongan gairah, dan lain sebagainya. Tetapi tetap saja suami tidak boleh condong kepada salah satu isteri sehingga isteri-isteri yang lain merasa terzalimi.
D. Konsep Adil Berpoligami Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI 1. Poligami Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI Salah satu payung hukum bagi praktik perkawinan di Indonesia adala Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang ini adalah suatu hasil usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu hukum yang memiliki kekuatan absolut yang berlaku bagi setiap warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang merupakan hasil dari sebuah unifikasi yang unik yang mengakomodir berbagai varian keagamaan yang berkeTuhan Yang Maha Esa.61 Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam, KHI lebih merupakan upaya kodifikasi dan unifikasi hukum fiqih dari berbagai mazhab yang menjadi acuan semua hakim Peradilan Agama dalam memutuskan perkara. Hal itu dilakukan karena adanya problem teknis yustisial Peradilan Agama, yakni kelangkaan hukum materiil Islam secara positif yang dapat dijadikan rujukan
61
Hazairin, Tinjauan Mengenai Indang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: Tintamas, 1975), h. 5
53
bagi para hakim.62 Menurut Marzuki Wahid, kebanyakan materi KHI ini banyak ditemukan pula dalam UU No. 1 Tahun 1974, UU N0. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan perkawinan jo UU No. 32 Tahun 1954 dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan.63 Salah satu tema hukum yang dibahas dalam kedua peraturan di atas, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI adalah masalah poligami atau suami yang mempunyai isteri lebih dari satu. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tema hukum tersebut masuk dalam pembahasan BAB 1 mengenai dasar perkawinan, tepatnya pada Pasal 3 sampai 5, 64 yaitu sebagai berikut: Pasal 3 ayat (1), “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Ayat (2), “Pengadilan Dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal 4 ayat (1), “Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Ayat (2), “Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 62
Rumadi & Marzuki Wahid, Fikih Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2001), cet. Ke-1, h. 188 63 Rumadi & Marzuki Wahid, Fikih Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 195 64 Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia; Dilengkapi Dengan Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Arkola, tth), h. 6-7
54
Pasal 5 ayat (1), “Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 4 ayat (1) UndangUndang ini, harus dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut: a). Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, b). Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, c). Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka”. Pasal 5 ayat (2), “Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a Pasal ini tidak diperlukan bagi suami apabila isteri/isteri-isteri tidak mungkin dimintai persetujuannyadan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapatkan penilaian dari hakim Pengadilan “.65 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tema hukum tersebut masuk dalam satu bab khusus yaitu bab IX Pasal 55, 56, 57, 58 dan 59 yang memaparkan tentang pembahasan khusus beristeri lebih dari satu (poligami). Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: Pasal 55 ayat (1), “Beristeri lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan, terbatasnya hanya sampai empat isteri”. Ayat (2), “syarat utama beristeri dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya”. Ayat (3), “Apabila syarat utama yang terlah disebutkan dalam ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beriteri lebih dari seorang”. Pasal 56 ayat (1), “Suami yang hendak beristeri dari seorang harus dapat izin dari Pengadilan Agama”. Ayat (2), “ Pengajuan permohonan izin yang dimaksud pada ayat (1) menurut tata cara sebagaimana yang telah diatur dalam bab VIII Peraturan Pemerintah N0. 9 Tahun 1975”. Ayat (3). “Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum”. Pasal 57, “Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seoarang apabila: 65
Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia; Dilengkapi Dengan Kompilasi Hukum Islam, 6-
7
55
a). Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri b). Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c). Isteri tidak dapat melahirkan keturunan”. Pasal 58 ayat (1), “Selain syarat utama yang disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 ayat (1) UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. Ayat (2), “Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri/isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama”. Ayat (3), “Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isteri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri/isteri-isteri sekurang-kurangya 2 tahun atau karena ada sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim”. Pasal 59, “dalam hal ini suami tidak mau tidak mau memberikan persetujuan , dan permohonan izin untuk mempunyai isteri lebih dari seorang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur Pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi”.66 Dalam paparan Pasal demi Pasal di atas, maka dapat dilihat bahwa peraturan poligami yang ada di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak ada perbedaan yang signifikan dengan yang ada di dalam KHI. Keduanya mengatur tentang mekanisme tata cara bagaimana agar poligami diakui oleh hukum, namun dalam Undang-Undang tersebut tidak mengatur perihal tentang bagaimana sikap Pengadilan terhadap isteri yang 66
196-197
Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia; Dilengkapi Dengan Kompilasi Hukum Islam, h.
56
tidak mau memberikan izin, sedangkan suami ingin sekali menikah lagi (poligami), sebagaimana yang telah diatur dalam dalam Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam.
2. Konsep Adil Berpoligami Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI Mengenai pembahasan „adil‟ dalam berpoligami mendapat tempat tersendiri dalam pembahasan kedua peraturan tersebut, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun Tahun 1974 dan KHI. Adalah Pasal 5 ayat 1c yang menegaskan bahwa suami yang hendak mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk beristeri lebih dari satu maka harus ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri/isteri-isteri dan anak-anak mereka.67 Terkait dengan itu, isteri yang hendak dipoligami diberi hak privasi untuk mengatakan setuju atau tidak berdasarkan pada penilaian isteri akan kesanggupan sang suami dapat berlaku adil. Jika sekiranya sang suami tidak dapat berlaku adil, maka isteri boleh mengemukakan penolakannya, dan sidanglah yang akan memutuskan apakah permohonan sang suami akan dikabulkan atau ditolak. Ketika sang suami mengajukan kepada Pengadilan, kedua peraturan tersebut juga meminta suatu indikasi logis yang menjamin adanya kemampuan suami dalam hal nafkah lahir/materi, agar jika dikabulkan, suami
67
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), h. 23
57
benar-benar sudah siap materi, seperti nafkah, tempat tinggal, pakaian dan sebagainya yang akan dijadikan bekal untuk menafkahi isteri/isteri-isteri dan anak-anaknya. Hal ini sejalan dengan yang tercantum di dalam Pasal 41c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan dari UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu: a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau b. Surat penghasilan, atau c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. Jadi, mengenai persoalan nafkah materi ini pihak pengadilan dapat menilai apakah suami tersebut layak beristeri lagi atau tidak. Sedangkan untuk keadilan secara keseluruhan meliputi juga kecondongan hati dalam membagi hak-hak isteri-isteri dan anak-anaknya, sang suami harus mengemukakan suatu persyaratan atau janji di Pengadilan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu: “ada atau tidaknya bahwa jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri/isteri-isteri dan anakanak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu”. Dalam KHI juga diatur bagaimana mekanisme agar sang suami dikabulkan permohonannya. Salah satu yang ditegaskan dalam KHI adalah menjadikan adil sebagai syarat utama diterima atau tidaknya permohonan tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2), dan juga adanya kepastian bahwa suami mampu manjamin keperluan hidup
58
isteri/isteri-isteri dan anak-anaknya, sebagai antisipasi agar tidak menjadi kezaliman.
E. Pandangan Feminis Terhadap Konsepsi Adil Berpoligami Seputar poligami mengalami tarik menarik antara dua kubu yang mainstream yang saling berseberangan. Di satu sisi, Feminis sebagai kubu yang terdepan membela hak-hak perempuan, menuntut keadilan, anti terhadap kekerasan yang berbasis gender (gendere related violence) baik terhadap pisik maupun
psikis,
dan
menggugat
terhadap
pemahaman-pemahaman
atau
pembacaan teks yang bias gender. Di sisi lain, para ulama sebagai kaum pemegang otoritas dari masa ke masa yang mayoritas laki-laki tidak ada hentinya mengkampanyekan
kebolehan
poligami,
bahkan
banyak
yang
mempraktekannya.68 Banyak persoalan yang menjadi target sasaran kaum feminis, yang diantaranya adalah institusi poligami, hijab, kepemimpinan yang dikhususkan di tangan laki-laki, nilai kaum wanita setengah dari pria baik dalam kesaksianm aqiqah dan warisan. Di Indonesia, gerakan feminis banyak bermunculandan lebih agresif dari gerakan-gerakan sebelumnya setelah orde baru jatuh. Menurut Tati Hartimah, kelangkaan literature mengenai sejarah pergerakan wanita Indonesia, para peneliti menghadapi kesulitan yang sangat serius ketika membahas sepak terjeng 68
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Yogyakarta: Fajar pustaka, 2006), h. 29
59
pergerakan tersebut. Karena itu dapat dipastikan dengan benar sejarah lahir dan perkembangannya.69 Salah satu pemikir feminis di Indonesia yang cukup representative pada era sekarang adalah Siti Musdah Mulia, di samping masih banyak lagi pemikirpemikir yang lain baik dari kalangan pria seperti K.H Husein Muhammad, maupun dari kalangan wanita seperti Warda Hafidz, Yenny Zannuba Wahid dan lain-lain. Gagasan Musdah dinilai cukup aplikatif dan paling representatif dalam menghadapi paham yang sudah mapan. Salah satu yang dugugat oleh Musdah adalah pemahaman terhadap institusi poligami yang dianut oleh kaum ortodoks. Menurutnya, banyak yang menjadikan surat an-Nisa ayat 3 sebagai landasan bagi praktek poligamio tanpa mengkaji lebih dalam ayat-ayat yang lain yang berkaitan dengannya. Padahal tidak mudah dan tidak secepat itu memutuskan
persoalan
poligami.
Perlu
upaya
pendekatan
lain
dalam
memahaminya, yakni dengan melihat kon teks turunnya ayat, dan kaitannya dengan ayat-ayat yang lain.70 Di samping itu, menurut pandangannya, perlu juga memperhatikan ayat lain dalam memahami surat an-Nisa ayat 3 tersebut, diantaranya adalah surat anNisa ayat 129. Ayat tersebut menegaskan bahwa keadilan dalam hal cinta atau immateri tidak mungkin dapat dilakukan oleh suami. Suami yang berpoligami 69
Tim Penulis PSW (Pusat Study Wanita) UIN Syarif Hidayatullah, Pengantar Kajian Gender, (Diterbitkan atas kerjasama PSW dengan McGill-ICIHEP, 2003), H. 86 70
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Diterbitkan atas kerjasama Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Solidaritas Perempuan, dan The Asia Foundation, Jakarta, 1999), h. 31
60
tidak mungkin dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya, terutama dalam bidang immateri, meski dia telah berusaha seoptimal mungkin.71 Kalangan feminis tetap beranggapan bahwa institusi poligami yang sudah mengakar kuat dalam tradisi patriarchat merupakan suatu bentuk ketidakadilan , bahkan penghinaan terhadap wanita. Karena menjadi sebuah kesimpulan umum bahwa tidak mungkin suami dapat berlaku adil sebagaimana yang dikatakan oleh surat an-Nisa ayat 129. Dikatakan tidak adil dan penghinaan, oleh karena poligami akan menyakiti psikis isteri dan penderitaan psikis tersebut tentu akan lebih berat dirasa dari pada sekedar penderitaan materi. Belum lagi problem psikologis akibat konflik internal antara isteri dan keluarga lainnya. Jika demikian, bagaimana mungkin poligami dikatakan adil, padahal Islam mengajarkan prinsip laa dharara wala dhirara (janganlah berbuat aniaya terhadap diri sendiri dan orang lain). Analiis kritis kalangan feminis terhadap institusi poligami ini pada hakikatnyaadalah perwujudan pembelaan terhadap hak-hak wanita agar tidak tertindas dalam kungkungan tradisi patriarkat yang cenderung kurang melindungi hak-hak mereka. Menurut mereka adil dalam konteks berpoligami bukan hanya ditekankan pada aspek materi semata, melainkan juga pada hak-hak immateri si isteri, karena hakikat dari berlaku adil adalah tidak ada pihak-pihak yang terzalimi sehingga hak-haknya terabaikan.72
71
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h. 80
72
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h. 32
61
Selama ini permasalahan poligami terkesan hanya dipahami dari sudut kepentingan lelaki belaka. Meski pada kenyataannya para pelaku poligami bersikukuh untuk membela poligami dan mencari berbagai legalimitas dari aneka sumber. Dapat dipahami bahwa poligami merupakan bentuk konstruksi kuasa laki-laki yang mengaku superior dengan nafsu menguasai perempuan. Rasyid Ridha mengatakan bahwa poligami secara alamiah bertentangan dengan tujuan perkawinan, sebab pada dasarnya perkawinan adalah antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Poligami hanya untuk keadaan yag sangat darurat, selain itu juga disertai dengan persyaratan yang sangat ketat, tidak boleh mengandung ketidakadilan. Ketika poligami menimbulkan lebih banyak madharat dari pada manfaat, maka para hakim dapat mengharamkan adanya poligami. Rasyid Ridha juga melihat poligami sebagai persoalan sosial yang penegasan status hukumnya tidaklah sederhana. Berbagai pertimbangan tersebut mencakup persoalan watakdan potensi antara laki-laki dan perempuan, dan bagaimana hubungan keduanya dari sudut perkawinan dan tujuannya.73 Izin poligami menurut beberapa hakim pada dasarnya bukan hak, tetapi sebagai jalan darurat yang ditempuh karena keterpaksaan. Jika tidak ada kondisi darurat, izin itu sangat boleh jadi ditutup. Perspektif jender membantu hakim untuk memaknai apa arti kondisi darurat itu. Sebab, hal itu bisa menjadi Pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai kehendak suami. Analisis jender membantu 73
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Mesir: Daarul Manar, 1999), h. 284
62
hakim untuk menggeser patokan dari memenuhi ke perlindungan maksimal bagi isteri. Hakim juga dapat mengukur sejauhmana poligami tak memunculkan proses pemiskinan isteri yang ditinggal poligami seperti isteri pertama. Ada dua hal yang terkait sensitivitas jender yang sepatutnya dimiliki oleh hakim dalam kasus permohonan izin poligami. Pertama, sikap kehati-hatian hakim untuk idak begitu saja mempercayai pengaukuan izin yang diberikan isteri di muka sidang. Faktanya hakim harus berulang-ulang bertanya kepada isteri untuk memastikan tidak adanya unsur ancaman dan paksaan dalam pemberian izin poligami tersebut. Kedua, sikap empati kepada isteri yang mungkin saja akan dirugikan atau terabaikan setelah suaminya menikah lagi.74
74
Arskal Salim, Euis Nurlaelawati, Leis Marcoes Natsir dan Wahdi Sayuti, Demi Keadilan dan Kesetaraan, (Jakarta: PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah dengan The Asia Foundation, 2009), h.79
BAB III IZIN POLIGAMI SEBUAH AMBIVALENSI HUKUM
A. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Pengaturan poligami di Indonesia telah diatur oleh pemerintah dalam rangka melindungi warga Negara khususnya perempuan dari tindak ketidakadilan melaului Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 3, 4 dan 5. Dan sejak diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, telah diatur beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang laki-laki yang hendak berpoligami harus seizin isteri pertama. Meski kalimat ini tidak tercantum secara eksplisit, akan tetapi banyak sumber agama Islam yang mengarah ke sana. Mengenai kasus yang ada, penulis meneliti satu putusan poligami di Pengadilan Agama Bekasi. Berikut deskripsi putusan izin poligami dengan nomor: 205/Pdt.G/2008/PA.Bks, yang penulis kemukakan sebagai berikut: 1. Ringkasan Kasus Adalah Zulkarnain bin Kairul Muluk Al-Hatta (nama samaran dari perkara No. 205/Pdt.G/2008/PA.Bks), berstatus menikah dengan Siti Zubaidah
binti
Abdul
Qadir
(nama
samaran
dari
perkara
No.
205/Pdt.G/2008/PA.Bks), dengan kutipan akta nikah nomor: 143/07/VII/2000 tanggal 02 Juli 2000 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cirebon. Dari hasil pernikahannya, mereka dikaruniai dua orang anak bernama Nurul Syamsiyah (nama samaran dari perkara No. 205/Pdt.G/2008/PA.Bks) lahir tanggal 14
63
64
April 2001 dan Faris Zulkarnain (nama samaran dari perkara No. 205/Pdt.G/2008/PA.Bks) lahir tanggal 22 Januari 2005. Kehidupan rumah tangga pemohon dan termohon diliputi kerukunan dan keharmonisan sebagaimana layaknya suami isteri, sampai suatu saat Zulkarnain bin Kairul Muluk Al-Hatta berkenalan dengan Nur Lailawati binti Budi Priyanto (nama samaran dari perkara No. 205/Pdt.G/2008/PA.Bks), umur 23 tahun, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Komplek Ciputat Baru Jl. Teratai Buntu Blok AA No. 3A Rt 001/06, Kelurahan Sawah Lama, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang. Mereka sepakat untuk membina hubungan mereka kejenjang pernikahan meskipun tahu bahwa Zulkarnain bin Khairul Muluk Al-Hatta telah mempunyai isteri dan anak, dan calon isteri kedua juga menyatakan tidak akan mengganggu gugat harta bersama antara pemohon dan termohon. 2. Duduk Perkara Tersebutkan bahwa Zulkarnain bin Khairul Muluk Al-Hatta sebagai pemohon dan Siti Zubaidah binti Abdul Qadir serta Nur Lailawati binti Budi Priyanto sebagai calon isteri ke dua pemohon. Pemohon meminta izin kepada Pengadilan Agama Bekasi untuk menikah ke dua kali dengan cara poligami dengan alasan karena pemohon berkemampuan untuk beristeri lagi serta menghindari hal-hal yang tidak diinginkan oleh agama dan pemohon akan sanggup berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
65
3. Pertimbangan Pertimbangan-pertimbangan hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam perkara poligami nomor: 205/Pdt.G/2008/PA.Bks yakni, mengabulkan permohonan pemohon dan menetapkan memberikan izin kepada pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan seorang perempuan bernama Nur Lailawati binti Budi Priyanto. Didasari atas pertimbangan pemohon berkemampuan untuk beristeri lagi dan sanggup berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anaknya serta tidak akan membedakan satu sama lain. Kemudian pemohon telah menyatakan kesediaan atas tanggung jawab dalam membina rumah tangganya di masa yang akan datang. Pertimbangan selanjutnya yaitu Majelis Hakim menimbang keterangan saksi-saksi yang menyatakan sesuai dengan termohon nyatakan. Pertimbangan poligami juga dikuatkan dengan jawaban lisan yang pada intinya disimpulkan bahwa termohon membenarkan dalil-dalil pemohon serta tidak keberatan untuk memberikan izin kepada pemohon untuk menikah lagi dengan perempuan yang bernama Nur Lailawati binti Budi Priyanto demi kemaslahatan dan untuk menghindari hal-hal yang melanggar agama, setelah Majelis Hakim mendengar pernyataan termohon dan kedua saksi agar lebih baik jika pemohon diizinkan untuk menikah lagi (poligami), Majelis Hakim juga melihat tidak adanya halangan secara hukum Islam dan perundangundangan di Indonesia, maka Majelis Hakim mengabulkan permohonan tersebut.
66
B. Landasan Yuridis Putusan Pengadilan Agama Permohonan izin poligami merupakan suatu dilema hukum yang disebabkan adanya perbedaan mengenai persyaratan yang terdapat dalam hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia. Persyaratan yang dimaksud dalam hukum Islam yaitu beragama Islam, baligh, berakal, dewasa pikiran, tidak terdapat halangan perkawinan/perwalian. Kemudian syarat yang tidak kalah pentingnya dalam perkawinan adalah adanya mahar (mas kawin).1 Lain halnya dengan persyaratan perkawinan dalam hukum positif yaitu harus berdasarkan perundang-undangan yang berlaku baik memenuhi persyaratan materiil dan persyaratan formil. Permohonan izin melakukan poligami dalam ilmu hukum disebut juga dengan istilah “Voluntaire Jurisdictie” yaitu perkara yang berisi tuntutan hak dan tidak mengandung sengketa. Permohonan izin poligami ini tidak akan diberikan melainkan dengan pertimbangan yang sangat matang melalui prosedur perundang-undangan yang berlaku. Proses pertimbangan perizinan tersebut merupakan langkah jitu hakim Pengadilan Agama dalam upaya menjalankan sistem perundang-undangan yang formal dan juga sebagai upaya memperlihatkan eksistensi absolut hakim sebagai penengah atau pemberi solusi hukum.
1
Kamarusdiana dan Laenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), cet. Ke-1, h. 6
67
Hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam pemberian izin poligami di Pengadilan Agama Bekasi dalam menjatuhkan putusan tersebut yaitu: 1. Untuk bisa mengajukan izin poligami, pemohon telah menyerahkan alat-alat bukti berupa: a. Foto copy kutipan akta nikah pemohon dengan termohon no. 143/07/VII/2000 tertanggal 02 Juli 2000 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Cirebon (bukti P-1). b. Surat pernyataan akan menggauli isteri-isterinya secara adil menurut hukum Islam (bukti P-2). c. Surat pernyataan persetujuan dari termohon untuk menikah lagi dengan seorang perempuan yang bernama Nur Lailawati binti Budi Priyanto (bukti P-3). 2. Perimbangan Majelis Hakim merujuk Pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Undang-Undang ini merupakan bentuk hasil usaha permasalahan perkawinan atau sejenisnya dalam kerangka hukum baku, yang bisa menjadi pedoman menyelesaikan perkara perkawinan. Dalam Undang-Undang ini diatur dalam Pasal 3, Pasal 4 ayat (1) dan (2) dan Pasal 5 ayat (1) dan (2). 3. Pertimbangan Majelis Hakim merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, peraturan pemerintah ini adalah penjelasan atau pelaksanaan dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 4. Pertimbangan Majelis Hakim merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang lahir dari para ulama yang tersebar diseluruh nusantara. Dengan
68
bertujuan selain mempositifkan syari‟at Islam dalam bidang keperdataan, juga mengkodifikasikan kitab-kitab fiqih yang digunakan di Pengadilan Agama. 5. Kemudian pertimbangan Majelis Hakim juga merujuk pada al-Qur‟an surat an-Nisa (4) ayat 3 sering dijadikan dalil oleh sebagian umat Islam dengan melakukan poligami. Hal ini juga diakui oleh Pengadilan Agama Bekasi sehingga Majelis Hakim dalam setiap pemberian izin poligami mengambil sandaran hukum pada ketentuan ayat di atas.
C. Penetapan Pengadilan Agama Dalam Perkara Izin Poligami Penetapan Pengadilan dalam perkara izin poligami umumnya mengandung amar penetapan tunggal, yaitu penetapan berupa pengabulan atau penolakan permohonan pemohon untuk melakukan perbuatan hakim: 1. Mengabulkan atau menolak permohonan pemohon untuk menikah lagi. 2. Mengabulkan atau menolak permohonan izin poligami yang diajukan oleh pemohon. Selanjutnya dalam putusan poligami No. 205/Pdt.G/2008/PA.Bks, mutlak dikabulkan melalui pertimbangan-pertimbangan yang panjang. Karena semua prosedur yang harus dijalankan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penetapan Majelis Hakim dalam putusan yang berbunyi: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
69
2. Menetapkan memberi izin kepada Zulkarnain bin Khairul Muluk Al-Hatta untuk menikah lagi dengan seorang perempuan yang bernama Nur Lailawati binti Budi Priyanto. 3. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 156.000,- (seratus lima puluh enam ribu rupiah). Jika melihat sifat hukum dari penetapan tersebut dapat dikategorikan penetapan tersebut berupa penetapan konstitutif yang berarti menciptakan keadaan hukum baru bagi pemohon, yaitu diberikannya izin kepada pemohon untuk menikah lagi dengan cara poligami dengan wanita yang tercantum dalam surat permohonan. Meslipun pemohon masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan isteri pertamanya.
D. Prosedur Penetapan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami Prosedur perkara permohonan izin untuk melakukan poligami di Pengadilam Agama Bekasi dilakukan melalui beberapa tahap tertentu yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang, antara lain: 1. Tahap Permulaan Tahap Permulaan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: Permohonan poligami menurut hukum diajukan secara tertulis atau lisan (membawa bukti nikah berupa Buku Kutipan Akta Nikah atau Duplikat Kutupan Akta Nikah). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 73 UndangUndang No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3
70
Tahun 2006. Dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yang berbunyi: “Apabila seorang suami bermaksud beristeri lebih dari seoarang maka ia wajib menunjukkan permohanan secara tertulis kepada Pengadilan”.2
Ketentuan tersebut di atas diatur pula dalam Pasal 118 ayat 1 HIR Pasal 142 ayat 1 Rbg. Namun pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis maka kepadanya diberikan dispensasi untuk mengajukan permohonan izin poligami secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 120 ayat 1 HIR Pasal 114 ayat 1 Rbg, yang berbunyi” “Bagi penggugat/pemohon yang tidak bisa menulis atau hanya baca tulis, maka gugatan/permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan. Kemudian Panitera membantu mencatat segala sesuatu, yang dikemukakan oleh penggugat/pemohon tersebut. Selanjutnya gugatan/permohonan itu diserahkan kepada kepada salah satu Hakim yang memeriksa/menelitidan menanyakan
kepada
penggugat/pemohon
kebenaran
isinya,
lalu
ketua/Hakim menanda tangani gugatan/ permohonan tersebut”.
Dalam hal ini penulis akan membahas putusan perkara nomor: 205/Pdt. G/2008/PA.Bks atas nama Zulkarnain bin Khairul Muluk Al-Hatta. Menurut hasil penelitian terlihat bahwa permohonan izin poligami tersebut telah dilakukan secara tertulis di atas kertas bermaterai cukup atau di atas
2
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12.
71
kertas bersegel. Apa yang telah dilaksanakan oleh pemohon tersebut telah sesuai dengan maksud Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang menghendaki permohonan izin poligami harus dilakukan secara tertulis. Adapun isi permohonan tersebut menurut Hukum Acara Perdata yang berlaku di Pengadilan Agama meliputi: a. Identitas Pemohon Identitas pemohon
yang dimaksud adalah nama lengkap,
tempat/tanggal lahir, umur, agama, pekerjaan, kewarganegaraan dan tempat tinggal. Dalam berkas permohonan sebagaimana yang termuat dalam perkara di atas telah memuat identitas pemohon sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang. b. Fundamentum Petendi Berisi penjelasan tentang keadaan/peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar/alasan gugat. Adapun alasan dari pemohon mengajukan permohonan poligami menurut hasil penelitian penulis adalah karena pemohon berkemampuan untuk menikah lagi dan mampu menjamin kebutuhan anak-anak dan isteriisterinya serta menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki oleh agama. Terhadap alasan poligami sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi: 1) Adanya persetujuan dari isteri;
72
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. c. Petitum Berisi tuntutan yang diminta oleh penggugat/pemohon agar dikabulkan oleh hakim. 1) Pendaftaran Permohonan Dengan Biaya Setelah permohonan dinilai telah lengkap memuat syarat-syarat yang ditentukan Hukum Acara di atas, maka selanjutnya pemohon harus mendaftarkan permohonan izin poligami tersebut kepada kepaniteraan Pengadilan Agama. Kemudian pemohon dikenakan kewajiban untuk membayar biaya perkara. Menurut hasil penelitian di Pengadilan Agama Bekasi, penulis mendapat data bahwa biaya perkara yang ditanggung oleh Pemohon meliputi: biaya pendaftaran, panggilan-panggilan, materai dan redaksi. Namun bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pihak
73
polisi/camat daerah setempat ytang berkepentingan tinggal, sesuai dengan ketentuan Pasal 237 HIR Pasal 273 Rbg.3 2) Penetapan Majelis Hakim Pengadilan
Agama
Bekasi
telah menerima
pendaftaran
permohonan izin poligami, maka Pengadilan Agam Bekasi menetapkan tiga orang hakim yang bertugas memeriksa dan mengadili perkara tersebut, serta dibantu oleh soerang panitera pengganti. Hal ini dilakukan untuk menjamin pemeriksaan perkara yang objektif guna memberikan perlindungan kepada pencari keadilan. Sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 untuk semua perkara yang masuk ke Penngadilan Agama Bekasi harus mengeluarkan penetapan seperti itu. 3) Penetapan Hari Sidang Penetapan hari sidang paling lambat setelah satu bulan permohonan tersebut didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Bekasi, maka Pengadilan harus menyidangkan perkara tesebut dan harus menetapkan hari dan tanggal atas persidangan perkara permohonan itu dikabulkan, dalam surat penetapan. Dalam surat penetapan tersebut memuat pula tentang perintah juru sita yang ditunjuk untuk memanggilpemohon, termohon dan
3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), cet. Ke-1, h. 17
74
sekaligus para saksi yang dibutuhkan dalam perkara tersebut. Hal ini telah dilakukan oleh Pengadilan Agama Bekasi sebagaimana yang termuat dalam surat penetapan.
2. Pemeriksaan Perkara Dimuka Sidang Proses pemeriksaan perkara di muka Pengadilan Tingkat Pertama dilakukan menurut ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu dimulai dengan tahapan-tahapan berikut: a. Pembacaan surat permohonan/gugatan, kemudian dilanjutkan dengan jawaban termohon serta duplik dari termohon atas replik pemohon tersebut. b. Pembuktian c. Acara pembuktian ini dimulai dari pemeriksaan alat-alat bukti sebagai berikut: 1) Alat bukti surat, baik berupa akta (akta otentik dan akta di bawah tangan)dan surat-surat lainnya yang bukan akta. 2) Pemeriksaan bukti saksi-saksi, yang dimulai deri pemeriksaan saksisaksi yang diajukan oleh pemohon, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh termohon.4 3) Pemeriksaan lapangan (hal ini jika diperlukan).
4
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. Ke-4, h. 154-165.
75
3. Putusan dan Penetapan Putusan atau penetapan dalam perkara permohonan izin poligami dijatuhkan setelah adanya proses pembuktian, dikarenakan penetapan merupakan proses akhir dari pemeriksaan perkara permohonan izin poligami. Adapun isi penetapan tersebut berupa pengabulan atau penolakan. Dalam proses pemeriksaan ini terdapat pengecualian tertentu, antara lain: a. Pemeriksaan permohonan izin poligami tidak diperlukan adanya jawaban termohon , Repkik atau Duplik, sebagaimana dilakukan dalam perkara permohonan perceraian. Hal ini terjadi karena dalam perkara permohonan izin poligami tidak ada kedudukan selaku termohon atau pemohon atau tergugat, dengan demikian maka sudah cukup jika Majelis Hakim telah mengetahui dari permohonan pemohon. b. Pemohon materiil harus diperiksa oleh Majelis Hakim, dan tujuannya untuk mengetahui kebenaran dari isi permohonan pemohon. Dalam perkara objek penelitian penulis terlihat pemohon telah diperiksa langsung dalam persidangan untuk mengetahi kebenaran dari isi permohonan pemohon. c. Bahwa setelah pemohon diperiksa maka tindakan selanjutnya yang harus dilakukan oleh Majelis Hakim adalah memeriksa alat bukti yang diajukan oleh pemohon. Alat bukti tersebut menurut hasi penelitian penulis meliputi surat-surat sebagai berikut:
76
1) Foto copy duplikat kutipan akta nikah pemohon dan termohon (P-1) 2) Foto copy kartu keluarga pemohon dan termohon (P-2) 3) Surat pernyataan pemohon bersedia berlaku adil (P-3) 4) Surat tidak keberatan dari temohon bermaterai (P-4) 5) Surat keterangan penghasilan pemohon (P-5).
E. Analisis Penulis Tentang Keadilan Poligami Setelah penulis melakukan pnelitiam dan menganalisa masalah tersebut serta dari pemaparan bab demi bab, maka penulis beranggapan bahwa persoalan poligami bukanlah persoalan yang mudah diputuskan mana yang benar dari berbagai pendapat yang dikemukakan. Para ulama berpendapat bahwa berikap adil dari segimateri merupakan suatu harga mati yang tidak bisa ditawar lagi bagi suami yang ingin melakukan poligami, sedangkan keadilan immateri adalah persoalan lain, dalam artian dapat ditawar lagi, namun demikian seorang suami juga tidak boleh berlaku condong (berat sebelah) hatinya kepada salah seorang atau sebagian isteri-isterinya, sehingga isteri-isteri yang lain merasakan sakit hati dan tertekan psikisnya. Hal ini sesuai dengan penggalan ayat surat an-Nisa ayat 129, “janganalah kalian terlalu menyayangi salah satu isteri kalian, sedangkan isteri yang lainnya terkatungkatung. Sesungguhnya jika kalian berbuat adil dan bertakwa, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
77
Dengan demikian pada hakikatnya kedua ayat tersebut, yakni surat anNisa ayat 3 dan ayat 129 tidak saling bertentangan. Bahkan maksud sari kandungan kedua ayat tersebut saling melengkapi satu sama lain, sehingga dapat ditemukan suatu kesimpulan bahwa berbuat adil meliputi materi dan non materi juga harus dipenuhi, hanya saja jika ada sesuatu yang bersifat non materi yakni kecondongan hati, cinta atau kasih sayang yang terkadang di luar batas kemampuan manusia, oleh agama dianggap sebagai suatu yg di kesanggupan kemampuan manusia. Akan tetapi seorang suami perlu mempertimbangkan kemungkinankemungkinan terjadinya ketidak adilan yang akan ia perbuat secara matang. Karena fakta banyak fakta yang membuktikan bahwa suami yang melakukan poligami kemudian gagal membangun rumah tangga yang bahagia dan harmonis. Yang timbul adalah keadaan rumah tangga yang dihiasi dengan rasa penuh dengki dan permusuhan. Kemudian
mengenai
kasus
yang
terdapat
pada
nomor
205/Pdt.G/2008/PA.Bks setelah penulis menganalisis kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hakim kurang teliti dan kurang adil dalam memutuskan perkara, karena hakim hanya melihat dari persetujuan dari isteri pertama dan surat keterangan dapat berlaku adil yang mana hal tersebut dilihat dari pihak suami serta surat keterangan mampu menjamin keperluan hidup isteriisteri dan anak-anaknya.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian yang telah penulis paparkan secara panjang lebar pada babbab sebelumnya, maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis akan menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang penulis teliti, diantaranya sebagai berikut: 1. Hasil keputusan Pengadilan Agama Bekasi mengenai izin poligami telah sesuai dengan ketentuan hukum Islam dan perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memutus perkara poligami nomor 205/Pdt. G/2008/PA.Bks, antara lain: a. Pertimbangan Majelis Hakim merujuk pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Undang-Undang ini merupakan bentuk hasil usaha dalam mengatur permasalahan perkawinan atau sejenisnya, yang bisa menjadi pedoman atau acuan menyelesaikan permasalahan perkawinan. b. Pertimbangan Majelis Hakim merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Peraturan Pemerintah ini adalah sebagai penjelas atau pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berikut ketentuan pidana jika terjadi pelanggaran hukum di dalam pelaksanaannya. c. Pertimbangan Majelis Hakim merujuk pada Kompolasi Hukum Islam (KHI), KHI ini lahir dari semangat para ulama yang tersebar diseluruh
78
79
Indonesia, yang bertujuan adalah selain mempositifkan hukum syariat Islam dalam bidang keperdataan, juga untuk mengkodifikasikan kitab fiqih yang digunakan di Pengadilan Agama. d. Pertimbangan Majelis Hakim juga merujuk pada al-Qur‟an Surat an-Nisa ayat 3 dalam setiap pemberian izin poligami, mengambil sandaran hukum pada ketentuan ayat di atas. 2. Konsep adil dalam berpoligami menurut hakim kembali kepada ajaran Islam yaitu keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan yang bersifat materi yang dapat di kontrol suami dan menjadi kesanggupannya, seperti perlakuan baik, pembagian waktu dalam bermalam, dan pemberian nafkah hidup. Sedangkan yang
berhubungan
malakukannya,
dengan
karena
hati,
berada
maka diluar
dia kontrol
tidak
mungkin
suami
atau
dapat diluar
kesanggupannya, seperti: perasaan cinta dan kecenderungan hati. Maka dalam hal ini suami tidak dituntut mewujudkannya karena berada diluar kekuasaan manusia yang mustahil dapat dipenuhinya. Kemudian hakim melihat keadilan dari putusan dengan cara melihat surat pernyataan yang dibuat oleh suami untuk dapat berlaku adil dan surat pernyataan mampu menjamin keperluan isteri-isteri dan anak-anaknya.
80
B. Saran Sebagai catatan akhir dari penelitian ini maka penulis ingin memberikan saran, diantaranya: 1. Kepada Majelis Hakim: Agar lebih teliti dan berhati-hati dalam memutus perkara poligami agar tujuan dari perkawinan tersebut dapat dijaga. 2. Kepada Pemerintah: a. Aturan tentang pengajuan perkara poligami di Indonesia diharapkan lebih diperketat lagi, dengan bertujuan untuk meminimalisir terjadinya praktek poligami yang dilakukan secara diam-diam dan alasan-alasan yang dapat merugikan salah satu pihak. b. Adanya persetujuan anak yang telah dewasa bagi pihak yang ingin melakukan poligami karena salah satu akibat dari poligami tersebut adalah anak. c. Meninjau kembali masalah pidana dan denda bagi pihak yang melanggar ketentuan poligami karena pidana dan denda ini masih dianggap remeh sehingga masih banyak yang melanggarnya. 3. Bagi mereka yang inin berpoligami agar merenungkan salah satu sabda Nabi SAW: “Bertakwalah kepada Allah dalam (urusan) wanita. Karena kalian mengawini mereka atas amanat Allah, dan kalian menghalalkan „farji‟ mereka dengan kalimat Allah”. (HR. Ibnu Majah).
DAFTAR PUSTAKA
al Sarakhsi, Syam ad-Din, , al-Mabsut, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1409-1989. al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al-Bari: Syarh Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar alMa‟rifah, 1374 H, juz. 2. al-Bukahri, Muhammad bin Ismail, al-Jami‟ al-Sahih al-Mukhtasar, Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987, juz. 2. Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006, cet. Ke- 1. al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Beirut: Dar Ihya al-Taurats al-„araby, 1392 H, vol. 12. al-Qurtubi, Muhammad bin Ahmad, Al-Jami‟ Li ahkam al-Qur‟an, Beirut: Dar alFikr, 1987, vol. 5. al-Quzwaini, Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikr, 2004, vol. 1. al-Syafi‟i, Muhammad ibn Idris, , al-Umm, Juz V, Beirut: Dar al-Tarbiyyah, tth. al-Syamilah Al-Maktabah, , Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an. al-Syuyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, Tadrib al-Rawi fa Syarh Taqrib an-Nawawi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth. Arto,Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, cet. Ke-4. as-Sanan, Arij Abdul Rahman, Memahami Keadilan Dalam Poligami, Jakarta: PT Global Media Cipta Publishing, 2003. as-Sanan, Arij Abdurrahman, , Memahami Kaedilan Dalam Poligami, Jakarta: PT. Global Media Cipta Publishing, 2003. Asy‟ats, Abu Daud Sulaiman bin, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, vol. 3. Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 1Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.
81
82
Daruquthni, Ali bin Umar, Sunan Daruquthni, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, jil. 2. Darwis, Adil Muhammad, Nazarat fi al-Sunnah wa Ulum al-Hadits, Kairo:Kulliyah Da‟wah al-Islamiyyah, 1998. Depdikbud, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Djalil, A. Basiq, “Peradilan Agama Di Indonesia”, Jakarta: Kencana, 2006. Ghazaly, Abd. Rahman, “Fiqh Munakahat”, Jakarta: Prenada Media, 2003. Hamidy, Mu‟ammal dan Manan, Imron A. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam AshShabuni, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985, cet. Ke- 1. Hartono Ahmad Jaiz, Wnita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007, cet. Ke-1. Hasan Aedy, Poligami Syari‟ah dan Perjuangan Kaum Perempuan, Bandung: Alfabeta, 2007, cet. Ke-1. Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet. Ke-1. Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Lampiran UU No. 1 Tahun 1974, Jakarta:Tintamas, 1975. Hijjaj, Muslim bin, Sahih Muslim, Beirut: Dar Ihya al-Taurats, tth, vol. 2. Kamaruddin, zaleha, “Kamus Istilah Undang-Undang Keluarga Islam”, Kuala Lumpur: Zebra Editions Sdn Bhd, 2002. Kompilasi Hukum Islam, DIRBENPERA, DEPAG, 2002. Malik, Imam, Al- Muwatha, Tahqiq Muhammada Fu‟ad al-Baqi, tt: ttp, tth. Maraghi, Ahmad Mustafa, al-, Tafsir al-Maraghi, vol. 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1974. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2006, cet. Ke-1. Muhyidin, Abu Usamah dan Hamid, Abu, Legalitas Poligami Menurut Sudut Pandang Ajaran Islam, Yogyakarta: Sketsa, 2006, cet. Ke-1.
83
Mulia, Musdah, Pandangan Islam Tentang Poligami, Diterbitkan atas kerjasama Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Solidaritas Perempuan, dan The Asia Foundation, Jakarta, 1999. Naisaburi, Shahih Muslim, Juz VII, al-Ishdar al-Tsani, al-Qism: kutub al-Mutum. Nuruddin, Amiur dan Akmal Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, cet ke-3, Jakarta: Kencana Media Group, 2006. Qurtubi, Muhammada bin Ahmad, al-, al-Jami‟ Li Ahkam al-Qur‟an, vol. 5, Beirut: Dar al-Fikr, 1987. Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Mesir: Daarul Manar, 1999. Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, Yogyakarta: Fajar pustaka, 2006. Rofiq, A , “Hukum Islam di Indonesia”, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000. Rumadi & Wahid, Marzuki, Fikih Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2001, cet. Ke-1. Salim, Arskal, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, Jakarta: PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah dengan The Asia Foundation, 2009. Sani, Abdullah, Hakim dan Keadilan Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Subekti, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Sumiati, “Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Yogyakarta: Liberty, 1986. Suprapto, Bibit, Liku-liku Poligami, Yogyakarta: Pustaka Al-kautsar, 1999, cet. Ke-1. Syihab, M. Quraisy, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udu‟I Atas Berbagai Permasalahan Umat, Bandung: Mizan, 2003, cet. Ke-13. Tim Penulis PSW (Pusat Study Wanita) UIN Syarif Hidayatullah, Pengantar Kajian Gender, Diterbitkan atas kerjasama PSW dengan McGill-ICIHEP, 2003. Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia; Dilengkapi Dengan Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Arkola, tth.
84
Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia; Dilengkapi Dengan Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Arkola, tth. Undang-Undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Usman, Abd. Karim, Ma‟alim al-Tsaqaafahal-Islamiyyah, Beirut:Muassasah alRisalah, 1982. Zuhaili, Wahbah, Tafsir Munir, cet. III, Damaskus: Daar al-Fikr, 1991.