ADIL SEBAGAI SYARAT PERMOHONAN IZIN POLIGAMI (Studi Atas Persepsi Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: AHMAD SUFIYAN 107044202484
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011M / 1432H
ADIL SEBAGAI SYARAT IZIN POLIGAMI (Studi Atas Persepsi Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI ) Oleh:
Ahmad Sufiyan 107044202484
Di Bawah Bimbingan Pembimbing:
Drs.H.Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. 196911211994031001
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL ASY-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2011 M/1432 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah mencantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Mei 2011
Ahmad Sufiyan
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Adil Sebagai Syarat Izin Poligami (Studi Atas Persepsi Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur), telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal AsySyakhshiyyah.
Jakarta, Juni 2011 Dekan;
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
1. Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris
: Hj. Rosdiana M.A NIP. 196906102003122001
3. Pembimbing : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat SH, MA. NIP. 196911211994031001 4. Penguji I
: Sri Hidayati, M.Ag. NIP. 197102151997032002
5. Penguji II
: Drs.Djawahir Hejazziey, SH, MA. NIP. 195510151979031002
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puja serta puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, Tuhan yang mengatur seluruh kehidupan dan penguasa seluruh kehendak hati manusia. Shalawat serta salam semoga tetap dilimpahkan selamanya kepada uswah hasanah kita yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana memaknai hidup ini sesungguhnya, tak lupa kepada keluarganya, sahabat dan umatnya yang senantiasa kukuh dan istiqomah dalam memegang sunnahnya sampai hari pembalasan. Selama penyusunan skripsi ini dan selama penulis belajar di Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis banyak mendapat bantuan dan sumbangan motivasi dari bebagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
2.
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam: Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA, dan Hj. Rosdiana MA yang selalu memberikan bimbingan, motivasi kepada penulis, sehingga penulis mampu merampungkan skripsi ini.
i
3.
Dosen Pembimbing: Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH, di tengah kesibukannya, beliau telah banyak meluangkan waktu serta memberikan arahan dan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini. Dosen Penasehat Akademik: Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag yang memberikan arahan dalam pemberian judul skripsi ini.
4.
Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah banyak memberikan ilmunya serta berbagai kemudahan.
5.
Kepala dan seluruh staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Jakarta yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam penulisan ini.
6.
Hakim Pengadilan Jakarta Timur: Bapak Drs. H. Nemin Aminuddin M.H yang telah membantu penulis dalam wawancara, Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Jakarta Timur: Bapak Fahrurozi selaku, dan juga Bapak Hisni Mubarak pegawai Pengadilan Agama Jakarta Timur yang sangat membantu penulis dalam memperoleh data-data yang penulis buuthkan.
7.
Ayahanda H. Abdul Hadi Zaini dan Ibunda Hj. Nurfiah, yang selama ini selalu menjaga, merawat, mendidik, mendorong serta membimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.
8.
Saudara-saudara, ka Ria dan suami, ka Zizah dan Suami, ka Rohma dan suami, ka Ida dan suami, bang Zaki, Azmi dan seluruh Keluarga Besar Bani Nashir yang penulis cintai, mereka juga selalu memotivasi dan mendoakan penulis.
ii
9.
Kepada kawan seperjuangan AKI 2007, semoga perjuangan dan persahabatan kita semakin erat walaupun jauh di mata.
Akhirnya, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT dan mudah-mudahan semua yang telah penulis lakukan mendapat ridha Allah SWT, semoga skripsi ini bermanfaat. Amiin.
Jakarta, Juni 2011 M Rajab 1432 H
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.………………..…………...………….…………….…….i DAFTAR ISI…………..………………………......……………..………………iv BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang……………….…….…..…….……………1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………..…….……7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………….9 D. Metode Penelitian…………………………………….…..10 E. Review Studi Terdahulu………………………………….12 F. Sistematika Penulis………………………………….……12
BAB II
: KONSEP ADIL SEBAGAI SYARAT POLIGAMI A. Poligami dalam Islam.........................................................14 B. Hak Istri-Istri dalam Poligami............................................24 C. Adil Syarat untuk Poligami................................................30 D. Prosedur Izin Poligami.......................................................38
BAB III
: HAKIM PENGADILAN AGAMA SEBAGAI PEJABAT PEMBERI IZIN POLIGAMI A. Peradilan
Agama
Sebagai
Lembaga
Pemberi
Izin
Poligami..............................................................................42 B. Hakim Peradilan Agama Sebagai Pejabat Pemberi Izin Poligami..............................................................................56
iv
C. Proses
Pengambilan
Putusan
Hakim
Peradilan
Agama................................................................................68 BAB IV
: PEMAHAMAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR TENTANG KONSEP ADIL DALAM BERPOLIGAMI A. Konsep
Adil
Sebagai
Syarat
Izin
Poligami
Menurut
Hakim…………………………………………………….76 B. Alasan Hakim dalam Memberi Izin Poligami……………78 C. Analisis Penulis...………………………………………...79 BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan...……………………………………….…....87 B. Saran-Saran...……………………………………….…....89
DAFTAR PUSTAKA...……………………………………….….......................90 LAMPIRAN : A. Surat Permohonan Wawancara B. Surat Telah Wawancara C. Pedoman Wawancara D. Hasil Wawancara E. Surat Permohonan Izin Poligami
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. Sebuah dambaan dan keinginan besar bagi ikatan hasil perkawinan yang sah antara pria dan wanita menjadi sebuah bentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, dan ingin juga membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Memiliki keturunan yang dapat membahagiakan, rezeki yang mencukupi, dan kebaikan keluarga lainnya. Untuk mewujudkan tersebut, Allah sebagai pencipta antara pria dan wanita, membuat sebuah aturan yang mengikat bagi keduanya yang akan mendatangkan kemaslahatan dalam kehidupan sehari-harinya. Karena pada hakikatnya aturan Allah sejalan dengan fitrah dan bentuk ciptaannya sesuai dengan kenyataan yang senantiasa berubah dalam segala ruang, situasi, dan kondisi. Islam adalah agama yang mengatur kehidupan rumahtangga. Dalam Islam, rumahtangga merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan merupakan faktor utama dalam membina masyarakat. Dari sebuah rumah tangga, segala persoalan kehidupan manusia timbul. Merupakan kehendak Allah untuk memulai adanya kehidupan manusia diatas bumi melalui suatu keluarga. Salah satu perhatian Islam terhadap keluarga adalah diciptakannya aturan dan syariat yang luwes, adil, dan bijaksana. Andaikata aturan ini dijalankan dengan jujur dan setia, maka tidak akan ditemukan adanya pertentangan dan pertikaian. Kehidupan keluarga akan berjalan damai.
1
2
Kedamaian ini tidak saja dapat dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh anggota masyarakat sekitar.1 Allah tidak akan melarang sesuatu yang diperlukan dalam keadaan terpaksa, atau sesuatu yang menarik kemaslahatan, baik kemaslahatan umum maupun kemaslahatan khusus. Allah tidak akan melarang sesuatu yang merupakan kebutuhan alamiah manusia dengan suatu yang akan memberikan kesempurnaan ahlak. Islam sebagai agama yang diturunkan dari sisi Allah, tentu tidak akan melarang suatu yang akan merugikan wanita, keluarga dan masyarakat. Justru Islam ingin melindungi kaum wanita, keluarga, masyarakat dari segala keburukan dan ketersia-siaan.2 Kedatangan Islam memberikan landasan dan dasar yang kuat untuk mengatur serta membatasi keburukan dan madharatnya yang terdapat dalam masyarakat yang melakukan poligami. Poligami adalah sistem yang cukup dominan sebelum datangnya Islam, kemudian datanglah Islam dengan membolehkan poligami ketika poligami itu merupakan sistem yang sangat kuat didalam kehidupan masyarakat Arab yang merupakan konsekuensi dari tabiat biologis dan realita sosial mereka. 3 Hak poligami dapat diberikan kepada suami yang sanggup melaksanakannya, karena jika tidak, hal tersebut akan membuat kesengsaraan dan penderitaan bagi
1
Abdutawwab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs Monogami Barat, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. 1, hal. 6 2
Abdutawwab, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs Monogami Barat, hal.
57 3
Karam Hilmi Farhat, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani, dan Yahudi, (Jakarta: Darul Haq, 2007), hal. 20.
3
kaum wanita. Syarat poligami pada dasarnya sama dengan monogami tapi yang paling utama adalah: 1. Sanggup memberi nafkah, bagi seorang suami diwajibkan oleh syara’ baginya untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya yang meliputi sandang, pangan, dan papan, walaupun itu dapat dipikul bersama-sama dengan istri. 2. Sanggup memberi nafkah batin, syarat bolehnya nikah dan poligami adalah masih mampu memberikan nafkah batin, kalau tidak maka tidak boleh poligami, karena itu dapat berakibat buruk bagi wanita yang dinikahi. 4 3. Mampu berbuat adil, maka bagi seorang suami yang ingin berpoligami harus memperlakukan semua istri dengan adil. Setiap istri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya. Namun bila ia merasa bahwa tidak mampu memperlakukan dengan adil, maka dia harus menahan dirinya untuk menikah dengan hanya satu orang istri.5 Akibat poligami, terkadang akan menimbulkan kecemburuan antar wanita yang dinikahi, karena ditimbulkan dari perasaan sakit istri pertama dan menimbulkan harapan istri yang baru. Kecemburuan itu mungkin akan berkurang bila ada ketegasan seorang suami untuk bersikap adil antara istri-istrinya. Karena sikap adil akan membuat istri-istri akan merasa puas terhadap perlakuan suami kepada mereka,
4
Sufyan Raji Abdullah, Poligami dan Eksistensinya, (Bekasi, Pustaka Al-Riyadl, 2004), hal. 45.
5
Abdurrahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta; 1992), cet. 1, hal. 45.
4
namun apabila suami tidak adil terhadap istri-istrinya akan berakibat kecemburuan antara mereka yang berakbitkan pertengkaran antar keduanya. Maka tidak berlebihan bahwa adil itu sangat penting sebagai syarat dalam poligami. Bagi seorang laki-laki yang ingin berpoligami, maka dia harus mengikatkan pada dirinya pada hukum yang lain. Kita ketahui bahwa hukum poligami itu adalah mubah, dan kemubahan tersebut ada kewajiban yang harus diyakinan pada diri hati suami sebelum menginginkan poligami dan melaksanakannya setelah melakukannya. Adapun kewajiban itu adalah sikap adil antar istri-istrinya. Maka apabila seorang suami tidak berlaku adil, maka itu menandakan ketidakberesan dari suami itu sendiri dan itu timbul karena salah pada prakteknya bukan konsep poligami itu sendiri. Apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan, maka akan muncul kerusakan hukum syariat ketika diambil secara parsial (tidak utuh) tanpa memperhatikan kondisi secara menyeluruh, dan orang yang mengambil hukum dari Allah, maka dia harus mengambil ketentuan dari Allah secara menyeluruh 6 Islam datang untuk mensyaratkan poligami dengan adil, Islam membatasi poligami dan tidak membiarkannya mengikuti keinginan laki-laki. Menurut Imam Jarir ath-Thabari tentang ayat ketiga surat an-Nisa bahwa apabila takut tidak berlaku adil terhadap dua, tiga, empat orang, kemudian kalian hanya menikahi seorang saja atau cukup dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki, maka itu lebih dekat untuk tidak berbuat zhalim dan berat sebelah. Bahkan dengan demikian kewajiban
6
Karam Hilmi Farhat, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani, dan Yahudi, hal. 39.
5
nafkah akan lebih ringan, satu orang istri akan membutuhkan nafkah lebih sedikit dibanding dua, tiga, atau empat orang istri.7 Menurut mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi tentang ayat 129 surat an-Nisa, bahwa keadilan yang dibebankan pada manusia disesuaikan dengan kemampuannya. Dengan syarat harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menegakkan keadilan, sebab faktor terbesar yang mendorong untuk cenderung berbuat adil adalah tidak lain kecenderungan jiwa dan hati yang tidak dapat dikuasai oleh seorang jika tidak dapat menguasai pengaruh-pengaruh yang alami. Atas dasar ini Allah memberikan keringanan dan menjelaskan bahwa jika keadilan yang sempurna tidak akan ditegakkan, maka hendaknya tidak benar cenderung kepada istri yang dicintai dan mengabaikan istri yang lainnya, yang mana seakan-akan tidak bersuami dan tidak pula diceraikan. Maka paling tidak hendak membuat para istri rida atas perlakuannya.8 Di Indonesia, suami yang ingin berpoligami, maka dia harus memohonkan izin ke Pengadilan Agama untuk diperiksa dan diputus oleh Hakim. Dalam hal ini dilibatkan campurtangan Pengadilan Agama, poligami tidak lagi sebagai tindakan individual affair. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan kekuasaan negara yakni mesti adanya izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan Agama dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan tetap
289.
7
Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, (Kairo: Darul Ma’arif, t.th), jilid. 7, hal. 531.
8
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: CV Toha Putra, 1993), jilid. V, hal.
6
dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah.9 Dalam Islam, bahwa suami yang akan berpoligami tidak perlu mendapatkan izin dari Pengadilan Agama tapi cukup dengan suami tersebut mampu berbuat adil kepada istri-istrinya. Namun, melihat demi kemaslahatan pihak suami dan istri maka poligami perlu mandapatkan izin dari Pengadilan Agama. Di Pengadilan Agama, terdapat ketentuan bahwa apabila suami akan mengajukan izin poligami terdapat persyaratan, yaitu harus adil terhadap istri-istrinya, sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia mengatur bahwa Hakim dapat memberi izin dengan syarat yang salah satunya adalah mampu berbuat adil antara istri-istrinya. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, menyatakan bahwa seorang yang hendak beristri lebih dari satu harus mendapatkan izin dari Pengadilan. Untuk mendapatkan izin tersebut, harus melalui proses Pengadilan dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam hukum positif. Memperhatikan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 5 (1) huruf c dinyatakan bahwa: “adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka”. Pada pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 menyebutkan bahwa “apabila seorang suami bermaskud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”.
9
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989. Jakarta: Sinar Grafika, 2007, ed. 2, cet. 4. hal. 43.
7
Bila dilihat secara tekstual dari Undang-Undang diatas jelas bahwa suami harus berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, namun sayangnya pada Undang-Undang ini tidak ada penjelasan secara lengkap tentang apa yang dimaskud dengan adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Dalam mengajukan permohonan suami ke Pengadilan Agama, diatur secara tertulis ke Pengadilan, maka Hakim Pengadilan yang akan memeriksa permohonan. Dengan melihat ini, penulis amat tertarik untuk mengangkat sebuah tema dengan judul “Adil Sebagai Syarat Izin Poligami (Studi Atas Persepsi Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur) ”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah. 1. Pembatasan Masalah. Adil dalam poligami menurut Hukum Islam memang adalah sebuah syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan berpoligami. Adapun prosedur berpoligami di Indonesia harus menyerahkan permohonan kepada Pengadilan. Dan dalam pemeriksaan di Pengadilan Agama, maka hakimlah yang akan memeriksa permohonan tersebut. Karena penulis menyadari pembahasan pada skripsi ini sangat luas, maka untuk membatasi tersebut
penulis membatasi
masalah dalam skripsi ini, yaitu: a. Pemahaman Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang adil dalam poligami.
8
b. Mampu berlaku adil yang menjadi salah satu syarat izin poligami dalam pasal 5 ayat 1 point c Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Perumusan Masalah. Lelaki yang ingin berpoligami akan menemukan kesulitan untuk berbuat adil terhadap istri-istrinya, karena itu adalah sifat naluriah manusia akan bersifat lebih tertarik pada salah seorang istrinya yang lain. Karena terdapat kesulitan tersebut, maka suami harus dapat menyakinkan dan membuktikan bahwa dirinya dapat berlaku adil dalam masa poligaminya didepan Hakim Pengadilan Agama. Maka dalam hal ini Hakim sangat berperan sebagai pejabat yang dapat memberikan izin poligami. Namun, dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawainan yang mengharuskan suami berlaku adil terhadap istri-istri, belum disebutkan secara jelas dalam mengartikan kata adil. Maka untuk merumuskan masalah diatas, penulis menyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: a. Bagaimana pendapat Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam mengartikan adil sebagai syarat poligami? b. Bagaimana Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur memperoleh keyakinan bahwa pemohon dapat berlaku adil dalam berpoligami?
9
c. Apa yang menjadi tolok ukur dan kriteria adil dalam poligami menurut Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. 1. Tujuan Penelitian. Secara garis umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan peringatan bahwa begitu pentingnya sikap adil dalam berpoligami, sebagai upaya untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, kekal, sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan untuk pengkhususannya, maka tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk: a. Mengetahui konsep adil menurut Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur sebagai syarat berpoligami. b. Mengetahui keyakinan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memberikan izin bagi pemohon untuk berpoligami. c. Mengetahui tolok ukur dan kriteria adil dalam poligami menurut Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur.
2. Manfaat Penelitian.
10
Sudah menjadi keinginan penulis, bahwa penelitian ini dapat memajukan dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan Islam lebih dalam lagi, terutama dalam bidang kekeluargaan yang terdapat banyak masalah di masyarakat.
D. Metode Penelitian. 1. Jenis Penelitian. Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan jenis penelitian kualitatif yang difokuskan kepada pemahaman Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur mengenai adil yang menjadi syarat untuk izin poligami, dan menghasilkan data deskriptif. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan.
2. Pengumpulan Data. a. Data primer yakni, data-data yang diperoleh dari hasil wawancara kepada Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. Adapun metode yang dipakai adalah metode penelitian lapangan (field research) yaitu, suatu teknik pengumpulan data dimana penulis langsung melakukan ke lapangan untuk memperoleh data yang jelas (obyektif). Adapun instrumen pengumpulan data tersebut adalah: 1) Wawancara, yaitu melakukan interview kepada pihak yang diangaap dapat memberikan informasi untuk penelitian ini, dalam hal ini adalah
11
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan pihak lain yang dapat memberikan informasi pada penelitian ini. 2) Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data di lapangan yang dilakukan dengan cara mencatat, merangkum data yang ada di lokasi penelitian. b. Data skunder, yaitu data yang diambil dari pustaka yang dapat menunjang data primer dengan menggunakan metode (library research) yaitu suatu teknik pengumpulan data dimana penulis melakukan kunjungan ke perpustakaan untuk mendapatkan sumber tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang sedang dibahas.
3. Analisa Data. Dalam penganalisaan data menggunakan data deskriptif analitis yaitu teknik analisa di mana penulis menjabarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara di lapangan kemudian menganalisa dengan berpedoman pada sumber data tertulis yang didapat dari perpustakaan. Sedang dalam penyusunan tulisan berpedoman pada prinsip-prinsip yang diatur dalam buku Pedoman Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, Desertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan pengecualian ayat-ayat Al-Quran dan sekaligus Hadis Rasul SAW.
12
E. Review Studi Terdahulu. Chuzaimah, Esensi Keadilan dalam Poligami (Tinjauan Hukum Islam),. Pada skripsi ini menerangkan esensi keadilan menurut tinjauan Hukum Islam, dan jenis penelitiannya adalah normatif sehingga tidak mengetahui bagaimana realitas yang terjadi di masyarakat. Untuk membedakan, maka pada skripsi ini penulis akan memaparkan realita akan pemahaman Hakim tentang adil dalam poligami yang ada pada Pengadilan Agama tentang keadilan sebagai syarat poligami. Heli Nurhalimah, Analisis Putusan Sidang Uji Materil Poligami dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. (Studi Kasus di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia). Dalam skripsi ini, penulis menganalisa putusan hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang uji materil poligami. Adapun penulis dalam skripsi ini menggambarkan sebuah konsep adil sebagai syarat poligami yang tidak di bahas pada skripsi Heli Nurhalimah. Tajun Nasroh Qurti, Esensi dan Eksitensi UU No. 1 tahun 1974 terhadap Poligami. (Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor). Pada skripsi ini penulis menggambarkan kenyataan poligami yang terjadi pada masyarakat Rumpin yang melakukan poligami. Adapun penulis memfokuskan pada dasar Hakim yang memberikan izin untuk poligami dalam memahami konsep adil.
13
F. Sistematika Penulisan. Bab kesatu
:Pada
bab
ini,
berisi
latar
belakang
dari
penulisan
skripsi ini, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, studi review. Bab kedua
:Pada bab ini, berisi poligami dalam Hukum Islam, persyaratan
dalam poligami, adil syarat untuk poligami, prosedur izin poligami di Pengadilan Agama. Bab ketiga
:Pada bab ini, berisi Pengadilan Agama sebagai lembaga pemberi
izin poligami, hakim sebagai pejabat pemberi izin poligami, proses pengambilan keputusan Hakim Peradilan Agama. Bab keempat :Pada bab ini, konsep adil sebagai syarat poligami menurut Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, alasan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memberi izin poligami. Bab kelima
:Pada bab ini, berisi kesimpulan, saran-saran, daftar pustaka dan
lampiran-lampiran.
BAB II KONSEP ADIL SEBAGAI SYARAT POLIGAMI
A. Poligami dalam Islam. 1. Pengertian. Poligami merupakan gabungan kata poly atau polus yang berarti banyak, dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Sehingga apabila kedua kata tersebut digabungkan maka akan berarti yang banyak atau dengan kata lain poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa istri dalam waktu bersamaan dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan berpoligami adalah menjalankan atau melakukan poligami.2 Term poligami ini sebenarnya punya makna umum, yaitu memiliki dua orang atau lebih istri dalam waktu bersamaan. Adapun kebalikan dari bentuk
1
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopdi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 1999), cet. 6 jil. 4 hal. 107. 2
W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal. 693.
14
15
perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan di mana suami hanya memiliki satu orang istri.3 Dan dalam kitab-kitab fikih, para ulama menulisnya dengan “ta‟addud alzaujat” yang bila diartikan “ta‟adud” adalah bilangan dan “zaujat” adalah kata jamak dari istri. Maka apabila kedua kata tersebut digabungkan menjadi arti perkawinan yang mempunyai lebih dari seorang istri.
2. Dasar Hukum. Tentang hukum poligami, para ulama melihat dalil al-Qur’an surat an-Nisaa:
)٣ /
(
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S: an-Nisaa/4:3). Menurut jumhur ulama, yang diuraikan oleh Ali al-Shabuni, ayat tersebut mengisyaratkan untuk kebolehan (ibahah), bukan wajib. Hal serupa juga ditemui
3
Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami, (Yogyakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), cet. 1, hal. 71.
16
dalam ayat yang menyatakan tentang makan dan minum, seperti “kuluu wasyrabuu”.4 Menurut Yusuf al-Qardhawi bahwa poligami tidaklah wajib atau sunah, tetapi makruh. Dan bagi laki-laki yang tak mampu dalam ekonomi dan berbuat adil, hukumnya menjadi haram. Dengan pertimbangan sosial dan individu, dalam Islam poligami boleh (mubah).5 Sementara Wahbah al-Zuhaily berpendapat, poligami terkait dengan syarat dan kondisi tertentu, sebab umum dan khusus. Sebab umum adalah ketika jumlah laki-laki lebih sedikit daripada jumlah perempuan, dan ini beraspek sosial spiritual atau kesempatan bagi perempuan untuk menikah dan menghindarkannya dari penyimpangan, penyakit berbahaya seperti aids, atau untuk kepentingan dakwah dan sebagainya. Sementara sebab khusus adalah istri mandul atau sakit, suami membenci istrinya, sementara perceraian makruh, syahwat lelaki lebih besar daripada perempuan.6 Menurut Muhammmad Abduh berpendapat bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami bukan poligami. Poligami diaharamkan karena
4
Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Minal Qur‟an, jus. 1, hal 192.
5
Yusuf al-Qardhawi, Sistem Masyarakat Islam dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Dalam Muhammad Hafiz, Pelaksanaan Poligami di Indonesia dalam Pandangan Muhammad Shahrour, (Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum), hal. 26. 6
Wahbah al-Zuhaily , al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hal. 162.
17
menimbulkan dharar seperti konflik antar istri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja.7 Poligami menurut Sayyid Qutub adalah rukhsah, ini sesuai dengan realitas fitrah dan kehidupan dan menjaga masyarakat dari kecendrungan untuk lepas kendali atau hidup dalam kejenuhan. Ikatan atau syarat ini akan melindungi suami istri dari kehancuran dan kerusakan, melindungi istri dari penganiayaan dan kezaliman, melindungi kehormatan dan harga diri wanita dari kehinaan karena tiadanya perlindungan dan kehati-hatian dan menjamin keadilan di dalam menghadapi tuntutan kebutuhan yang vital. Apabila ada seseorang melakukan penyimpangn di dalam menggunakan rukhsah ini dengan menjadikannya sebagai kesempatan untuk menjadikan kehidupan suami dan istri sebagai panggung kesenangan hidup dengan berpindah-pindah dari istri kepada istri yang lain sebagaimana halnya orang yang berganti-ganti kekasih, maka bentuk poligami dengan motivasi seperti ini sama sekali bukan dari ajaran Islam, bahkan tidak mengimplementsikan ajaran Islam.8 Menurut Rasyid Ridha mengatakan sebagaimana dikutip oleh Masyfuk Zuhdi 9 sebagai berikut:
7
Rasyid Ridha Tafsir al-Manar, jus 4 hal 346.
8
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilail Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992). Hal 118.
9
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT. Gita Karya, 1988), cet. 1, hal. 12.
18
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudarat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati,dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligimis. Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istriistrinya, maupun konflik antar istri beserta anak-anaknya masing-masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligimis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati atau dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa menganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Menurut Quraish Shihab10 poligami sama sekali bukan sunnah. Anggapan bahwa poligami itu sunnah berakar dari kekeliruan dalam memahamai ayat dan sunnah Nabi, dengan alasan yaitu: Surat an-Nisaa ayat 3 sama sekali bukan anjuran apalagi perintah poligami. Ayat ini tidak menganjurkan apalagi mewajibkan berpoligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Poligami dalam ayat itu merupakan pintu
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Insani, 2000), hal. 582.
19
kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa saja yang sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Berkaitan dengan kata amar yang terdapat dalam ayat ini, semua ahli hukum sepakat bahwa tidak semua perintah dalam al-Qur’an menunjukkan kewajiban, sebaimana ditunjukkan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh. Kata perintah dalam alQur’an ada yang menunjukkan wajib, seperti perintah mendirikan salat, sunnah seperti perintah untuk tahajud, dan mubah seperti perintah makan dan minum. Dalam kaitannya dengan ayat ini, kata “nikahilah” menunjukkan hukum boleh tapi itupun dengan syarat yang berat. Walaupun Nabi dalam delapan tahun terakhir hidupnya berpoligami, tidak lantas bisa dikatakan bahwa poligami itu sunnah Nabi, menurut Quraish Shihab “tidak semua apa yang dilakukan Rasul SAW perlu diteladani sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi umatnya. Bukanlah Rasul SAW antara lain wajib bangun salat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau bila tertidur”.
3. Syarat-Syarat. a. Jumlah Istri dalam Poligami. Poligami tidak dibenarkan lebih dari empat istri. Batas kuantitatif ini menjadi syarat sahnya nikah. Barang siapa mengawini wanita untuk dijadikan istri yang kelima atau keenam dan seterusnya, maka
20
perkawinannya dipandang tidak sah dan mesti difasakh. Dalam poligami juga tidak boleh mengumpulkan antara saudara perempuan dan bibi istri dalam satu pernikahan. Jumhur ulama termasuk pula di dalamnya para sahabat dan tabi’in dan Ibnu Abbas menyatakan bahwa batas maksimal menikahi perempuan adalah empat. Begitu pula dengan pandapat Imam Malik. Dan pendapat tersebut juga dikeluarkan oleh Imam Syafi’i, Ibnu Katsir, Ibnu Majah dalam Sunan-nya, dan hampir ulama klasik. Adapula yang mengatakan bahwa poligami boleh dilakukan sampai sembilan orang, yaitu pendapat dari Mazhab Syiah. Sementara Zhahiriah berpendapat boleh sampai delapan belas. Perbedaan ini muncul karena penafsiran kalimat “matsna wa tsulatsa wa ruba‟” dalam ayat 3 surat an-Nisaa. Menurut mazhab Syiah, kalimat “matsna wa tsulatsa wa ruba‟” menunjukkan penjumlahan, sehingga jiga ditambahkan, maka hasilnya adalah sembilan. Sedangkan bagi kelompok Zhahiri, delapan belas karena kata “wau” dalam kalimat tersebut berarti “dikali” sehingga dua kali dua kali tiga kali empat. Dan menurut jumhur berpendapat bahwa huruf “wau” dalam surat an-Nisaa ayat 3 barmakna
21
“au” yang artinya “atau”.11 Pendapat ini dikuatkan dengan qarinahnya yaitu hadis Nabi: Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafi yang telah masuk Islam, sedang ia mempunyai 10 istri dan lalu Nabi bersabda:
)
(
b. Dapat Berlaku Adil. Poligami dapat dilakukan dengan catatan berlaku adil. Batasan ini tidak menjadi syarat sahnya perkawinan. Barang siapa mengawini wanita sebagai istri kedua, ketiga, keempat, sedang ia khawatir untuk berbuat zalim, maka perkawinannya tetap dipandang sah. Hanya ia berdosa jika benar-benar berbuat zalim. Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi istri untuk keempatnya. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya dua orang, maka ia haram menikahi istri untuk ketiganya. Dengan ini sesuai dengan hadis Nabi:
11
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir: al-Jami‟ Baina Fanniy alRiwayah wa al-Diroyah, (Libanon, Dar al Ma’rifah, tt), jilid. 1, hal. 532.
22
)
(
Dari Abu Hurairah RA. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan bahunya miring. (Hadis diriwaytkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi. An-Nasaai, dan Ibnu Hibban).12 Keadilan mutlak persoalan cinta memang tidak akan dapat diwujudkan oleh manusia manapun. Prof. Dr. M. Quraish Sihab membagi pengertian cinta atau suka menjadi dua bagian, yakni suka yang lahir atas dorongan perasaan dan suka yang lahir atas dorongan akal. Obat pahit tidak disukai siapapun, ini berdasarkan perasaan setiap obat yang sama akan disukai atau dicari dan diminum karena akal sisakit mendorongnya menyukai obat itu walau ia pahit. Demikian juga suka atau cinta dalam diri seseorang dapat berbeda. Yang tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah keadilan dalam cinta atau suka berdasarkan perasaan. Sedangkan suka yang berdasarkan akal dapat diusahakan manusia, yakni memperlakukan istri dengan baik, membiasakan diri untuk menerima segala kekurangankekurangannya, memandang segala aspek yang ada padanya, bukan hanya aspek keburukannya atau kebaikannya saja. Ini yang dimaksud dengan
12
Imam Malik, al-Muwatta. Tahqiq Muhammad Fu’ad al-Baqi (tt: ttp, tth). Hal. 362.
23
cenderung atau condong kepada yang kamu cintai dan jangan juga terlalu cenderung mengabaikan yang kamu kurang cintai. 13
c. Izin di Pengadilan Agama. Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan bahwa suami yang akan berpooligami harus mendapatkan izin dari istrinya dan memberikan jaminan keadilan dalam rumah tangga, sebagaimana dalam pasal 3 ayat 2: “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” dan pasal 4 ayat 1 “Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.”.
4. Alasan-Alasan. Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin ini sesuai dengan pasal 57 Kompilasi Hukum Islam:
13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hal. 582.
24
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas dapat dipahami bahwa alasannya mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumahtangga yang bahagia dan kekal atau sakinah mawaddah dan rahmah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami istri maka dapat dianggap rumahtangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia.
B. Hak Istri-Istri dalam Poligami. 1. Mahar. Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang wanita berupa harta atau yang serupa dengannya ketika dilaksanakan akad. Utamanya adalah pemberian kepada seorang wanita walaupun sebagian darinya atau sedikit daripada meninggalkannya dalam suatu akad. Hal ini tidak membatalkan keabsahannya. Yang terpenting adalah sesuatu yang diberikan seorang laki-laki kepada wanita. Seolah-olah ini adalah pengibaratan dari kebiakan niat seorang laki-laki kepada
25
perempuan, dan permulaan keterikatan yang baik antara keduanya, yang berasaskan kecintaan dan kerelaan serta hubungan yang baik. Islam tidak membatasi jumlah mahar yang akan diberikan kepada istri. Hal ini merupakan atas kesepakatan antara suami dan istri, sesuai dengan kerelaan istri diberikan mahar tersebut dan juga memperhatikan kemampuan dari suami. Mahar bukan dijadikan sebagai harga perempuan, tetapi mahar dijadikan untuk membahagiakannya, Allah berfirman:
(
/
(…
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (Q.S: an-Nisaa/4:4). 2. Nafkah. Nafkah bagi istri-istri dalam poligami sama dengan apa yang menjadi hak nafkah kepada seorang istri, dalam pemberian nafkah para ulama berpendapat bahwa harus terdapat adil. Dalam hal belanja harian suami wajib menyamakan di antara istri-istrinya. Sebagaian ulama berpendapat bahwa selama suami telah memenuhi kewajiban nafkah sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan istri, tidak mesti dalam jumlah yang sama banyak, karena masing-masing telah mendapatkan apa yang mencukupi bagi kehidupannya.14
14
Ibnu Qudamah, al-Mughniy, dalam Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), ed. 1, cet. ke-2. hal. 178.
26
Kata nafkah dari kata bahasa Arab nafaqah, secara etimologi mengandung arti berkurang, juga berarti hilang atau pergi. Bila seorang dikatakan memberikan nafkah membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilenyapkan atau dipergikan untuk kepentingan orang lain. Bila kata ini dihubungkan dengan perkawinan mengandung arti sesuatu yang dikeluarkan dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang. Dengan demikian, nafkah istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam masa perkawinannya. Yang termasuk dalam pengertian nafkah menurut yang disepakati ulama adalah belanja untuk keperluan makan yang mencakup sembilan bahan pokok pakaian dan perumahan atau dalam bahasa sehari-hari disebut sandang, pangan dam papan.15 Hukum membayar nafkah untuk istri, baik dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumahtangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan istri. Dasar kewajiban nafkah diatur dalam Al-Quran, yaitu: Ayat Al-Quran yang menyatakan kewajiban perbelanjaan terdapat dalam surat Al-Baqarah:
15
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, hal. 165.
27
(
/
(
Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.(Q.S: Al-Baqarah/2: 233). Adapun ayat yang mewajibkan perumahan adalah terdapat surat At-Talaq:
(
)
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. (Q.S: At-Talaq/ 65: 6). Yang menyebabkan wajib memberikan nafkah yaitu adanya ikatan perkawinan, hubungan kerabat sebagai hak milik. Nafkah yang wajib diberikan itu dalam bentuk: a. Makanan atau minuman dan yang sehubungan dengannya. b. Pakaian yang layak dan memadai. c. Tempat tinggal yang layak meskipun rumah sewa d. Perabot dan perlengkap rumahtangga lainnya. 16 Kewajiban adil dalam memberikan pakaian untuk istri-istrinya. Dalam penyedian rumah tempat tinggal suami harus adil. Menyediakan sebuah tempat
16
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam. Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), cet. Ke-2, hal. 98.
28
tinggal tersendiri bagi setiap istrinya. Suami dibolehkan menempatkan beberapa orang istri dalam satu rumah, kalau istri-istrinya itu sudah menyepakatinya, namun tidak boleh menempatkan mereka dalam satu tempat tidur.17
3. Qasm. Qasm menggilir bergaul di antara istri dengan istri lain, yang menjadi patokan pada kesempatan bergaul adalah malam hari, karena malam itulah waktu untuk bergaul antara suami istri menurut biasanya, sedangkan siang hari adalah waktu untuk mencari nafkah. Dengan demikian secara sederhana qasm itu berarti bergiliran kesempatan bermalam. Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang wajibnya suami menyamakan qasm diantara istri-istrinya. Dan ini sesuai dengan hadis Nabi:
( ) Dari Aisyah RA: adalah Rasulullah SAW melakukan penggiliran diantara kami, kemudian beliau bersabda: Ya Allah, inilah bentuk penggiliran yang dapat aku lakukan, dan janganlah Engkau mencela aku dalam hal yang aku tidak mampu melakukannya. Abu Daud berkata: yang dimaksud tidak mampu melakukannya yaitu hati. (Hadis
17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, hal. 178.
29
diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasaai, dan Ibnu Hibban).18 Adapun cara penggiliran itu ditetapkan ulama sedemikian rupa, yaitu bila suami menyediakan rumah untuk masing-masing istrinya dapat mengunjungi rumah-rumah istrinya itu untuk bermalam secara bergiliran sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Qasm itu berlaku untuk setiap saumi meskipun dia tidak dalam keadaan yang memungkinkan untuk melakukan hubungan seksual, seperti sedang sakit atau dalam kondisi impoten dan keadaan lainnya yang tidak mungkin bergaul dengan istrinya. Alasannya ialah yang menjadi dasar bagi penggiliran itu adalah bergaul secara baik dalam kehidupan rumahtangga. Demikian pula berlaku untuk semua istri meskipun istri itu tidak mampu melayani kebutuhan seksual suaminya, seperti dalam kondisi yang sudah tua atau sakit atau halangan lainnya, dengan alasan yang sama.19 Suami hanya boleh bermalam dengan istri yang sudah ditentukan gilirannya. Tidak boleh suami mengunjungi istrinya di luar gilirannya di waktu malam, kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak, sedangkan kunjungan biasa, seperti singgah atau keperluan lainnya. Dan seorang istri boleh menyerahkan gilirannya kepada salah seorang di antara madunya bila yang demikian dilakukan atas dasar kerelaan, dan untuk itu tidak perlu menuntut penggantian waktu yang
18
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisyaburi, al-Maktabah al-Syamilah; Shahih Muslim, (al-Ishdar al-Tsani, al-Qism: Kutub al-Mutun), Juz. 7, hal. 378. 19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, hal. 180.
30
lain. Demikian pula dalam keadaan tertentu, seperti sakit yang tidak memungkinkan keluar rumah, suami dapat tinggal di rumah salah seorang istrinya di luar gilirannya dengan syarat istri-istri yang berhak atas giliran itu memberikan persetujuan.20
C. Adil Syarat untuk Poligami. 1. Pengertian. Banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang memiliki pengertian yang kompleks dan sukar untuk merumuskannya secara baku. Oleh karena istilah tersebut menyangkut hal yang abstrak, bersifat relatif dan memiliki unsur subyektifitas. Kata adil misalnya, ketika dipahami lebih dari satu orang, maka mereka akan berbeda penilaian tentang adil yang dimaksud. Adil menurut suatu masyarakat, juga belum tentu adil bagi masyarakat yang lain. Adil bagi orang sekarang belum tentu adil untuk orang yang hidup di masa datang. 21 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adil mengandung banyak arti: a. Tidak berat sebelah, tidak memihak, b. Berpihak kepada yang benar, c. Berpegang kepada kebenaran, d. Sepatutya, tidak sewenang-wenang.
20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, hal. 180. 21
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Lampiran UU No. 1 tahun 1974, (Jakarta: Tintamas, 1975), hal. 13.
31
Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain baik dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda sama lain Dalam poligami diisyaratkan bagi suami untuk berlaku adil, menurut Muhammad Husein al-Zahabi mendefinisikan adil sebagai adanya persamaan dalam memberikan nafkah dan pembagian hari terhadap sesama istri dalam batas yang mampu dilakukan oleh manusia. Selanjutnya Mustafa al-Sibai mengatakan bahwa keadilan material seperti yang diperlukan dalam poligami adalah keadilan material seperti yang berkenaan dengan tempat tinggal, pakaian, makanan, minum, perumahan dan lain-lain. 22 Menurut Quraish Shihab23 secara umum ada empat konsep keadilan. Pertama, adil dalam arti “sama”. Maksud persamaan yang dikehendaki oleh konsepsi tersebut adalah persamaan dalam hak. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat an-Nisaa:
)
(
Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
22
Lihat: Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigana, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 172. 23
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran; Tafsir Ma‟udui Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 114-116.
32
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S: an-Nisaa/4: 58). Kata adil dalam ayat ini, bila diartikan “sama”, hanya mencakup sikap dan perlakuan Hakim pada saat proses pengambilan keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud nyata kezaliman. Setiap suami wajib melaksanakan keadilan terhadap istri-istrinya. Dan prinsip keadilan itu ialah persamaan diantara dua yang sama. Dan persamaan di antara istri-istri itu menjadi hak dari setiap istri, sebagai haknya dalam statusnya sebagai istri, dan
memperhatikan sebab apapun yang berhubungan dengan dirinya.
Karena hubungan suami dengan masing-masing istrinya itu adalah hubungan suami istri. Dan atas landasan ini tidak ada perbedaan anatara gadis dan janda, istri lama atu istri baru, istri yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik ataupun yang buruk.24 Konsep adil yang kedua adalah adil yang ditunjukkan untuk pengertian “seimbang”. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi kehadirannya. Keadilan ini identik dengan kesesuaian (keproposionalan), bukan lawan kata kezaliman. Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua unit agar seimbang. Bisa
24
Abdul Nasir Taufiq al-Attar, Poligamy Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial, dan PerundangUndangan, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), hal. 206.
33
saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Infithar:
(
(
Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. (Q.S: al-Infithar/82: 6-7). Konsep adil yang ketiga adalah adil yang berarti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian ini pulalah yang mengandung suatu pemahaman bahwa pengabaian terhadap hak-hak yang seharusnya diberikan kepada pemiliknya dapat dikatakan suatu kezaliman. Yang keempat adalah adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Konsep adil ini berarti memelihara kewajaran atas keberlanjutan eksistensi, tidak mencegah kelanjutan
eksistensi
dan
perolehan
rahmat
sewaktu
terdapat
banyak
kemungkinan untuk itu. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh mahluk itu dapat meraihnya. Dilihat dari definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa para ulama di atas mendefinisikan adil yang hanya sebatas dapat dihitung dengan angka-angka yang
34
menjadi bagian setiap masing-masing istri atau yang bersifat kuantitatif. Padahal menurut fatwa Abduh, bahwa adil dalam poligami itu bersifat kaulitatif, seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak dapat diukur dengan angkaangka. Maka di sini dibutuhkan sifat adil yang kualitatif bagi setiap istri-istri. Sifat adil yang kualitatif memang sangatlah susah.
2. Dasar Hukum. Para ulama sepakat berdasarkan dalil yang kuat bahwa berlaku adil terhadap semua istri adalah kewajiban seorang suami, sekaligus dihalalkan poligami, sebagaiamana dalam surat an-Nisaa, keadilan yang dimaskud adalah keadilan yang bersifat materialistis yang dapat mengontrol suami yang menjadi kesanggupannya, seperti perlakuan baik, pembagian waktu dalam bermalam dan pemberian nafkah hidup. Setiap istri berhak mendapatkan hak-haknya dari suami berupa kemesraan hubungan jiwa, dan nafkah berupa pakaian, makanan, tempat tinggal dan lainlain. Dalam poligami, hak setiap istri sama saja, karena dalam suasana poligami, istri-istri sama haknya terhadap kebaikan suami. Adil antara istri-istri itu hukumnya wajib, berdasarkan Firman Allah SWT menyebutkan dalam surat anNisaa:
35
)
/
(
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S: an-Nisaa/4:3). Menurut Quraish Shihab, memahami ayat tersebut dengan mengatakan bahwa jika suami takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain yatim itu, maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai dengan selera kamu. Bahkan kamu dapat melakukan poligami sampai batas empat orang perempuan sebagai istri pada waktu bersamaan. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, baik dalam hal materi maupun nonmateri, baik lahir maupun batin maka kawinilah seorang saja atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Demikian itu, yakni menikahi selain perempuan yatim dan mencukupkan satu orang istri, itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Persyaratan berlaku adil terhadap istri-istri yang dimadu tersebut merupakan persyaratan mutlak dari Allah SWT dan ia tertera dengan tegas dalam ayat tersebut.25
25
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hal. 582.
36
.)١٢٩:٤/
(.
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S: an-Nisaa/4:129). Menurut mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi tentang ayat 129 surat anNisaa, bahwa keadilan yang dibebankan pada manusia disesuaikan dengan kemampuannya. Dengan syarat harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menegakkan keadilan, sebab faktor terbesar yang mendorong untuk cenderung berbuat adil adalah tidak lain kecenderungan jiwa dan hati yang tidak dapat dikuasai oleh seorang jika tidak dapat menguasai pengaruh-pengaruh yang alami. Atas dasar ini Allah memberikan keringanan dan menjelaskan bahwa jika keadilan yang sempurna tidak akan ditegakkan, maka hendaknya tidak benar cenderung kepada istri yang dicintai dan mengabaikan istri yang lainnya, yang mana seakan-akan tidak bersuami dan tidak pula diceraikan. Maka paling tidak hendak membuat para istri rida atas perlakuannya.26
26
289.
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: CV Toha Putra, 1993), jilid. V, hal.
37
Allah menurunkan ayat yang mengandung prinsip “kalau kamu khkawatir akan tidak berlaku adil, maka hendaklah kamu menikah dengan seorang saja”. Sebenarnya keterangan dalam ayat tersebut telah cukup, tetapi demi kemaslahatan, al-Quran menjelaskan bagaimana pelaksanaannya, dan diketahui tentang standar keadilannya yang dituntut dalam ayat itu dan diberi ketentuan dua pekara: 1. Yang dinilai adalah niat dan amal yang baik, Allah tentu mengetahuinya. Niat yang baik dan dilaksanakan dengan maksud yang baik, dan dibarengi dengan perbuatan yang baik inilah yang dituntut 2. Menurut asalnya keadilan adalah persamaan antara dua yang bersamaan. Keadilan itu menghendaki persamaan antara istri-istri itu, dalam makanan, pakaian, nafkah, tempat tinggal, hubungan dengan suaminya, kasih dan sayangnya. Sehingga setiap istri jangan sampai mendapat lebih banyak dari yang lainnya.27 Sifat adil yang menjadi syarat bolehnya berpoligami pada ayat pertama bukanlah sifat adil pada ayat kedua dimana setiap orang tidak akan mampu melakukannya. Adil pada ayat pertama adalah adil yang dapat dilakukan, seperti menyamakan rumah, nafkah, dan gilliran menginap. Disini adil merupakan suatu tanggungjawab dan suatu perintah yang harus direalisasikan. Sedangkan pada ayat kedua yaitu adil yang setiap orang tidak akan sanggup melakukannya yakni adil yang bersifat maknawi. Ia hanya berkaitan dengan getaran jiwa dan berada diluar
27
Abdul Nasir Taufiq al-Attar, Poligamy Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial, dan PerundangUndangan, hal. 152.
38
kemampuan manusia. Karena itu ini bukanlah suatu tanggungjawab dan bukan suatu taklif.28 Menurut Abdurrahman al-Jaziri, bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena, sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang sedang kasih sayang itu adalah naluriah. Adalah suatu wajar jika suaminya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia.29
D. Prosedur Izin Poligami. Di Indonesia, suami yang ingin berpoligami, maka dia harus memohonkan izin ke Pengadilan Agama untuk diperiksa dan diputus oleh Hakim. Dalam hal ini dilibatkan campurtangan Pengadilan Agama, poligami tidak lagi sebagai tindakan individual affair. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan kekuasaan negara yakni mesti adanya izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan Agama dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan tetap
28
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala Mazahib al-Arba‟ah, (Beirut; Dar al-Fikr, t.t.h), hal. 239-240.
29
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala Mazahib al-Arba‟ah, hal. 239.
39
dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun perkawinan dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah.30 Poligami di Indonesia, sesuai dengan pasal 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut: Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi syaratsyarat sebagai berikut: 1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anakanak mereka Pada pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Dan juga pasal 56 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Adapun tatacara permohonan izin poligami di Pengadilan Agama diatur sebagai berikut:
30
43.
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989, hal.
40
1. Poligami atau seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang istri harus harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama dan ini sesuai dengan pasal 56 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. 2. Permhonan izin poligami merupakan kewenangan relatif Peradilan Agama yang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya sesuai dengan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 3. Surat permohonan harus memuat: a. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon yaitu suami dan termohon yaitu istri atau istri-istri. b. Alasan-alasan untuk beristri lebih dari seorang c. Petitum. 4. Permohonan izin poligami merupakan perkara contentius, karena harus ada persetujuan istri. Karena itu, perkara ini diproses di kepaniteraan gugatan dan didaftar dalam register induk perkara gugatan. 5. Pemanggilan pihak-pihak, Pengadilan Agama harus memanggil dan mendengar pihak suami dan istri ke persidangan. Panggilan dilakukan menurut tatacara pemanggilan yang diatur dalam hukum acara perdata biasa dan ini diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan. 6. Pemeriksaan izin poligami dilakukan oleh Majlis Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya dan ini sesuai dengan pasal 42 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Pemerikasaan dapat dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut pertimbangan Hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, pemerikasaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup sesuai dengan pasal 17 ayat 1 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 7. Upaya perdamaian dapat dilakukan pada sidang pertama pemeriksaan perkara izin poligami dalam usaha hakim untuk mendamaikan dan ini sesuai dengan pasal 130 ayat 1 HIR, dan apabila perdamaian tersebut tercapai, maka perkara tersebut dicabut kembali oleh pemohon. 8. Dalam hal pembuktian, Hakim meriksa mengenai: a. Ada tidaknya alasan suami yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, sebagai syarat alternatif yaitu: 1) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; 2) Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau 3) Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
41
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan ataupun tertulis yang harus dinyatakan didepan sidang. c. Ada atau tidaknya kemampuan suami dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. d. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan memperhatikan: 1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau 2) Surat keterangan pajak penghasilan, atau 3) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. 9. Apabila sudah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan didepan sidang, kecuali dalam hal istri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya. Dan persetujuan dari istri tidak diperlukan lagi dalam hal: 10. Istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian; atau 11. Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun; atau 12. Karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian Hakim Pengadilan Agama. 13. Jika Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang, dengan putusan ini maka suami dan istri dapat melakukan upaya hukum berupa mengajukan banding atau kasasi. 14. Membayar biaya dalam perkara dibebankan kepada pemohon dan ini sesuai dengan pasal 89 ayat 1 Undang-Undang No 7 tahun 1989 tetntang Peradilan Agama. 15. Adapun pelaksanaan poligami, bagi Pegawai Pencatat Nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum ada izin dari Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.31
31
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. 6, hal. 241-243.
BAB III HAKIM PENGADILAN AGAMA SEBAGAI PEJABAT PEMBERI IZIN POLIGAMI
A. Peradilan Agama Sebagai Lembaga Pemberi Izin Poligami. 1. Pengertian. Istilah Peradilan dalam bahasa arab adalah “qadha” yang berarti memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan. Adapun dalam bahasa Belanda peradilan diterjemahkan dengan “rechtprack” dan dalam bahasa “judiciary”.
diterjemahkan
Inggris dengan
Peradilan dari suku kata adil yang secara
terminologis diartikan sebagai “segala sesuatu mengenai perkara pengadilan”.1 Peradilan didefinisikan sebagai proses daya upaya dalam mencari keadilan. Pengadilan secara etimologi adalah badan yang melakukan Peradilan, yaitu memeriksa dan memutus perkara sengketa hukum dan pelanggaran hukum atau Undang-Undang.2 Menurut Subekti, Peradilan, Pengadilan, dan mengadili, juga bisa digunakan dalam istilah kekuasaan kehakiman.3
1
W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), cet. 7, hal.
2
R. Subekti dan R. Tjitro Soedibyo, Kamus Hukum, ( Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 88.
3
R. Subekti dan R. Tjitro Soedibyo, Kamus Hukum, hal. 83.
16
42
43
Jika kata Peradilan atau Pengadilan disatukan dengan kata agama, maka pengertian Peradilan Agama adalah: kekuasaan negara dalam memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antar orangorang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Adapun Pengadilan Agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu Majlis Hakim atau Mahkamah. Peradilan Agama adalah salahsatu di antara tiga Peradilan khusus di Indonesia. Dua Peradilan lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Kusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.4
2. Asas Peradilan Agama. Menurut Yahya Harahap di dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 terdapat beberapa asas umum pada lingkungan Peradilan Agama. Asas umum itu merupakan fundamen dan pedoman umum dalam melaksanakan penerapan seluruh jiwa dan semangat Undang-Undang itu. Ia dapat dikatakan sebagai 4
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Jakarta, 2003), hal. 5.
44
karakter yang melekat pada keseluruhan rumusan pasal-pasal di dalam UndangUndang tersebut. Asas-asas umum itu adalah: Asas personalitas keislamaan, maksudnya yang dapat ditundukan kepada kekuasaan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya memeluk agama Islam. Sedangkan pemeluk agama lain tidak tunduk kepada kekuasaan badan Peradilan tersebut Asas kebebasan melekat pada Hakim dan badan Peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan salah satu kekuasaan Negara yang bebas dari campurtangan kekuasaan Negara lainnya dari pihak luar. Hakim dalam lingkungan Peradilan Agama merupakan pejabat dan badan (organ) yang melaksanakan sebagian kekuasaan Negara, yaitu kekuasaan kehakiman. Ia adalah Hakim Negara dan Pengadilan Negara. Bukan Hakim dan Pengadilan golongan rakyat tertentu. Ia berkewajiban menegakkan hukum dan keadilan, khususnya Hukum Islam di kalangan rakyat yang beragama Islam.5 Asas wajib mendamaikan penyelesaian yang terbaik adalah dengan cara perdamaian. Hukum Islam mementingkan penyelesaian perselisihan dengan cara berdamai, sebelum dengan cara putusan Pengadilan, karena putusan Pengadilan dapat menimbulkan dendam yang mendalam, terutama bagi pihak yang dikalahkan. Untuk itu sebelum diperiksa Hakim wajib berusaha mendamaikan
5
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003,) cet. 4, hal. 163.
45
kedua belah pihak terlebih dahulu. Apabila hal ini dilakukan oleh Hakim bisa berakibat bahwa putusan yang dijatuhkan batal demi hukum.6 Asas kewajiban Hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara sangat sejalan dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam. Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan “’islah”. Karena itu, Hakim Peradilan Agama harus mengemban fungsi mendamaikan. Sebab walau bagaimanapun adilnya suatu putusan, namun akan tetapi lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian.7 Asas sederhana, cepat dan biaya ringan meliputi tiga aspek. Sederhana, berhubungan dengan prosedur penerimaan sampai dengan penyelesaian suatu perkara. Cepat, berhubungan alokasi waktu yang tersedia dalam proses peradilan. Biaya ringan, berhubungan dengan keterjangkauan biaya perkara oleh para pencari keadilan. Asas ini tercantum dalam pasal 4 ayat 2 “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, biaya ringan”. Asas persidangan terbuka untuk umum mengandung pengertian bahwa setiap pemeriksaan yang berlangsung dalam sidang Pengadilan memperkenankan kepada siapa saja yang berkeinginan untuk menghadiri, mendengarkan, dan menyaksikan jalannya persidangan. Asas ini mencerminkan sifat dan suasana keterbukaan, memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk menghadiri
6
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), ed.2, cet.4, hal. 56. 7
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 164.
46
persidangan sesuai dengan daya tampung yang tersedia. Hal ini memungkinkan jalannya persidangan pemeriksaan perkara dapat dilakukan secara jujur (fair trial). Namun demikian, tidak semua sidang pemerikasaan perkara terbuka untuk umum dan ini sesuai dengan pasal 59 ayat 1 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup.” Ini menandakan bahwa pada dasarnya sidang pemeriksaan di Pengadilan terbuka untuk umum, namun dalam hal yang ditentukan oleh Undang-Undang atau karena pertimbangan Hakim, maka dilakukan pengecualian.8 Asas legalitas maksudnya semua tindakan yang dilakukan berdasarkan hukum. Ia memiliki makna yang sama dengan bertindak menurut aturan-aturan hukum (rule of law). Asas ini menunjukkan tentang pengakuan terhadap otoritas dan supremasi hukum, oleh karena Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Berkenaan dengan hal ini, maka kekuasaan kehakiman berfungsi untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republilk Indonesia. Hakim sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, dalam tindakannya, dilakukan menurut ketentuan hukum. Tindakan pemanggilan 8
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 166.
47
para pihak, penyitaan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan, dan eksekusi putusan, seluruhnya dilakukan menurut hukum. Asas legalitas tercantum dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No, 14 tahun 1970 Jo. Undang-Undang No. 35 tahun 1999 “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang”.9 Asas aktif memberi bantuan ialah Pengadilan dalam hal ini Hakim yang memimpin persidangan, bersifat aktif dan bertindak sebagai fasilitator. Di dalam ketentuan pasal 58 ayat 2 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 dinyatakan “Pengadilan membantu para pencari keadilan segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya Peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim, bersifat aktif, pengambil inisiatif, dan menjadi fasilitator dalam persidangan.10 Menurut Yahya Harahap rincian formal yang tercakup dalam pemberian bantuan itu adalah sebagai berikut: a. Membuat gugatan bagi yang buta huruf. b. Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”. c. Menyarankan penyempurnaan surat kuasa. d. Menganjurkan perbaikan surat gugatan. e. Memberi penjelasan tentang alat bukti yang sah. f. Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban. g. Bantuan memanggil saksi secara resmi. h. Memberi bantuan upaya hukum. i. Memberi penjelasan tatacara verzet dan rekovensi.
9
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 167.
10
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 167.
48
j. Mengarahkan dan membantu merumuskan perdamaian.
3. Kedudukan Peradilan Agama. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan negara dapat dibedakan menjadi 3 bidang atau yang biasa disebut dengan (trias politica) yaitu pemisahan kekuasaan menjadi 3 bidang yaitu: a. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundangundangan. b. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan perundangperundangan. c. Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk menegakkan peraturan perundangundangan. Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh Presiden sesuai dengan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar. Kekuasaan legislatif dilakasanakan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan oleh badan kehakiman sesuai dengan pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
49
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
4. Kewenangan Peradilan Agama. Kewenangan bisa juga disebut dengan kompetensi atau kekuasaan. Kewenangan Peradilan dalam kaitannya dengan hukum acara, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang ”Kewenangan Relatif” dan ” Kewenangan Absolut”11 Kewenangan relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan Pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Negri Bandung dengan Pengadilan Negri Tangerang satu jenis yaitu sama-sama lingkungan Peradilan Umum tingkat pertama. Antara Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Pengadilan Agama Jakarta Timur satu jenis yaitu sama lingkungan Peradilan Agama tingkat pertama. Wewenang Relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara Pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pasal 118 H.I.R. menyangkut kekuasaan relatif dalam bahasa Belanda disebut ”distributie van rechtmacht”. Azaznya adalah ”yang berwenang adalah Pengadilan Negri tempat tinggal tergugat”. Azaz ini dalam bahasa latin dengan sebutan ”actor sequitur
11
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, hal. 25.
50
forum rei”. Pasal 17 B.W menyatakan bahwa tempat tinggal seorang adalah tempat dimana seorang menempatkan pusat kediamannya. Mungkin akan lebih jelas apabila dikemukakan, bahwa tempat tinggal seorang dilihat dari kartu penduduk orang tersebut.tempat tinggal adalah dimana seorang berdiam dan tercatat sebagai penduduk. Sedang tempat kediaman adalah dimana seorang berdiam, mungkin dirumah peristirahatannya di Puncak.12 Jadi gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggal tergugat. Kalau penggugat Pengadilan Agama tinggal di Yogyakarta sedang tergugat bertempat tinggal di Surabaya maka gugatan diajukan ke Pengadilan Agama Surabaya. Kiranya tidak layak apabila tergugat harus mengahadap ke Pengadilan Agama di tempat penggugat tinggal. Tergugat tidak dapat dipaksa untuk menghadap ke Pengadilan Agama ditempat penggugat tinggal, hanya karena ia digugat oleh penggugat, yang tentu belum terbukti kebenaran gugatannya.13 Kewenangan absolut menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan Peradilan. Dilihat dari macam-macam Pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili. Dan dalam bahasa Belanda disebut (attributie van rechtmacht).14 Kompetensi absolut suatu badan Peradilan adalah atribusi
12
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, (Mandar Maju, 2005), hal. 12.
13
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006), hal. 86. 14
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, hal. 11.
51
kekuasaan berbagai jenis peradilan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. 15 Pasal 10 ayat 1 Undang-undang No. 14 tahun 1970 menjelaskan 4 macam lingkungan Peradilan di Indonesia, yaitu: a. Peradilan Umum b. Perdilan Agama c. Peradilan Militer d. Peradilan Tata Usaha Negara Menurut pasal 10 ayat 2 dan ayat 11 ayat 2 dari Undang-Undang tersebut, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dan ia mempunyai organisasi, administrasi, dan keuangan tersendiri oleh karena masing-masing lingkungan Peradilan tersebut terdiri dari Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung. Disamping Mahkamah Agung sebagai puncak dan pemegang kekuasaan tertinggi dan pengawas tertinggi badan-badan peradilan pasal 10 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 menetapkan dan membedakan empat lingkungan peradilan, masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Pembagian kewenangan masingmasing lingkungan peradilan, telah diatur kemudian dalam Undang-Undang sebagai Undang-Undang pelaksana tersebut ditentukan batas bidang kewenangan mengadili masing-masing peradilan. 15
Kamarusdiana dan Nahrowi, Hukum Acara Perdata Buku Daras, (Jakarta: Fakultas Syariah UIN, 2006), hal. 23.
52
Mengenai adanya empat lingkungan Peradilan sebagai pelaksana fungsi dan kewenangan. Batas antara masing-masing lingkungan ditentukan oleh bidang yurisdikasi yang dilimpahkan Undang-Undang. Dalam batas-batas tersebutlah masing-masing melaksanakan fungsi kewenangan mengadili. Tujuan dan rasio penentuan batas kewenangan atau kempetensi setiap lingkungan Peradilan agar terbina suatu pelaksanaan kekuasaan tertib antar masing-masing lingkungan. Masing-masing berjalan pada rel yang telah ditentukan untuk dilalui. Disamping untuk membina kewenangan yang tertib dapat juga memberi ketentraman dan kepastian bagi masyarakat pencari keadilan. Dengan adanya pembatasan kompetensi absolut bagi masing-masing lingkungan Peradilan memberi arah yang pasti bagi setiap anggota masyarakat pencari keadilan untuk mengajukan perkara.16 Adapun susunan Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung b. Lingkungan Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, dan Mahkamah Agung c. Lingkungan Peradilan Militer adalah Mahkamah Militer, Mahkamah Militer Tinggi, dan Mahkamah Agung d. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan Mahkamah Militer Agung
16
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Pustaka Kartini, 1997). hal. 92-93.
53
Dalam pasal 49 ditentukan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berwenang dan bertugas mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenang dan tugas Pengadilan Agama dalam tingkat banding, juga menyelesaiakan sengketa yurisdikasi.17 Pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UndangUndang No. 7 tahun 1989 menyebutkan wewenang Pengadilan Agama adalah: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah. Bidang perkawinan yang menjadi kewenangan dan kekuasan Pengadilan Agama adalah yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu: a. Izin beristri dari seorang
17
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 13.
54
b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat c. Dispensasi kawin d. Pencegahan perkawinan e. Penolakan perkawinan oleh PPN f. Pembatalan perkawinan g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri h. Perceraian karena talak i. Gugatan perceraian j. Penyelesaian harta bersama k. Mengenai pengasuhan anak-anak l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua p. Pencabutan kekuasaan wali q. Penunjukan orang lain sebagai wali di pengadilan dalam hal kekuasaan wali dicabut r. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 8 tahun yang ditinggal kedua orangtuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya s. Pembebanan kewajiban ganti rugi terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya t. Penetapan asal usul seorang anak u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawianan campuran v. Pernyatan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU no 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain
55
Bidang kewarisan yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama disebutkan dalam pasal 49 ayat 3 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama: a. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris b. Penentuan mengenal harta peninggalan c. Penentuan bagian masing-masing ahli waris d. Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut Tentang wakaf, tidak dijelaskan secara rinci. Hal ini berarti masalah wakaf yang tersebut dalam UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menganut asas hukum Islam yang universal. Maksudnya, masalah wakaf tersebut tidak dibatasi dalam hal tertentu saja bagaimana tersebut dalam PP No. 28 tahun 1977, Lembaran Negara No. 1938 tahun 1977 jo. PERMENDAGRI No 6 tahun 1977. perwakafan yang diatur dalam UU No 7 tahuun 1989 tentang Peradilan Agama ini meliputi sah tidaknya barang wakaf. Mengenai sedekah diartikan memberikan barang tetap maupun bergerak yang segera dihabis dipergunakan atau tidak habis dipergunakan kepada orang lain tanpa
imbalan dan tanpa
dan
syarat
apapun melainkan
semata-mata
mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah SWT. Pada umunya sedekah ini dapat menjelma dalam bentuk zakat, infaq, sedekah jariah untuk pembangunan rumah sakit, tempat-tempat ibadah, pondok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
56
B. Hakim Peradilan Agama Sebagai Pejabat Pemberi Izin Poligami. 1. Pengertian. Hakim dalam segi bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka memberi tiga definisi Hakim, yaitu: a. Orang yang mengadili perkara (di Pengadilan atau Mahkamah) b. Pengadilan c. Juri penilai.18 Hakim adalah pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang bebas dari campurtangan kekuasaan Negara yang lain, dalam hal ini Pemerintah. Ia dituntut memiliki integritas pribadi yang kuat untuk menggunakan kebebasannya sebagai pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman, oleh karena pembinaan dan pengawasannya sebagai pegawai negeri dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Agama. Pembinaan dan pengawasan terhadap Hakim itu, tidak boleh mengurungi kebebasan Hakim dalam menerima dan memutus perkara. Demikian halnya tuntutan itu bagi badan Peradilan Agama, yang intinya adalah Hakim, oleh karena pembinaan dan pengawasannya dibidang organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Menteri Agama, sampai masa peralihan berakhir.19
18
19
Artikel diakses pada: http://www.lexregis.com/?menu=news&idn=434
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), cet. 4.. hal. 163.
57
Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman.Kekuasaannya berbeda-beda di berbagai negara. Pasal 31 Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengartikan Hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang. Hakim merupakan unsur utama dalam Pengadilan. Bahkan ia identik dengan Pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan kehakiman. Demikian halnya, keputusan
Pengadilan
diidentikan dengan keputusan Hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan Hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan. Di Indonesia, idealisasi Hakim tercermin dalam simbol-simbol kartika (takwa), cakra (adil), candra (berwibawa), sari (berbudi luhur), dan tirta (jujur). Sifat-sifat yang abstrak itu dituntut untuk diwujudkan dalam bentuk sikap Hakim yang konkret, baik dalam kedinasan maupun diluar kedinasan. Hal itu merupakan kriteria dalam melakukan penilaian terhadap prilaku Hakim.20 Hakim dalam lingkungan Peradilan Agama merupakan pejabat dan badan (organ) yang melaksanakan sebagian kekuasaan Negara, yaitu kekuasaan kehakiman. Ia adalah Hakim Negara dan Pengadilan Negara. Bukan Hakim dan
20
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 163.
58
Pengadilan golongan rakyat tertentu. Ia berkewajiban menegakkan hukum dan keadilan, khususnya Hukum Islam di kalangan rakyat yang beragama Islam. Personalitas Hakim Peradilan Agama meliputi pengetahuan Hukum Islam dan keterampilan menerapkan hukum dengan integritas pribadinya. Tugas Hakim memerlukan disiplin diri yang melebihi tugas dibidang lain. Hakim adalah orang yang sangat kesepian dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Dalam menghadapi perkara yang diajukan kepadanya, dia tidak mempunyai kawan maupun lawan. Dia tidak bisa meminta nasehat ke kiri atau ke kanan untuk meminta pertimbangan. Dia hanya bisa berbisik pada hati nuraninya sendiri, dan tentu saja kepada Tuhan. Hakim Peradilan Agama harus terus menerus berusaha untuk mencapai tuntutan personalitasnya. Secara keuangan, oragnisasi, dan sarana, pemerintah membantu. Akan tetapi, masyarakat harus pula menumbuhkan iklim untuk itu, iklim di mana Peradilan Agama dimungkinkan berkembang secara wibawa.21
2. Syarat Hakim. Dalam hal pengangkatan seorang Hakim, dalam literatur fikih para ahli memberikan syarat-syarat untuk mengangkat seseorang menjadi Hakim, walau
21
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 86.
59
ada perbedaan pendapat tentang syarat-syarat yang mereka berikan, dan ada pula yang disepakati. Syarat yang dimaksud adalah ada enam:22 a. Laki-laki yang merdeka Hakim wanita dan yang masih anak kecil tidak sah menjadi hakim, menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Sedang dalam tentang Hakim wanita, Hanafiah tidak membolehkan wanita menjadi Hakim dalam masalah pidana dan qisas. Alasannya karena dalam kedua hal tersebut kesaksiannya tidak dapat diterima. Ibnu Jarir ath-Thabari, berpendapat bahwa memperbolehkan wanita menjadi secara mutlak. Dan ini berarti membolehkan wanita memeriksa semua kasus, termasuk hudud dan qisas. Dan mengemukakan bahwa tujuan diangaktnya Hakim adalah untuk menegakkkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, jabatan Hakim itu boleh diberikan kepada saja, asalkan ia mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik dan benar. Indonesia menganut prinsip yang membolehkan wanita diangkat menjadi Hakim yang dipekerjakan pada Pengadilan Agama dan Mahkamah Sya’riah. b. Berakal (mempunyai kecerdasan), Syarat ini disepakati seluruh ulama. Hakim haruslah orang cerdas, bijaksana, mampu memperoleh penjelasan dan menanggapi suatu yang muskil. 22
TM. Hasbi Ash-Shiddiqiey, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hal. 43-46.
60
c. Beragama Islam Adapun alasan keislaman seseorang menjadi syarat seorang hakim adalah, karena keislaman merupakan syarat untuk menjadi saksi atas seorang muslim, demikian jumhur ulama. Karenanya Hakim bukan muslim tidak boleh memutus perkara orang muslim. d. Adil Hakim haruslah orang yang terpelihara dari perbuatan-perbuatan haram, dipercaya kejujurannya, baik di waktu tenang, baik di waktu marah atau di waktu tenang dan perkataannya harus benar. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara Imam Hanafi dan Syafi’i, golongan Hanafiyah berpendapat bahwa putusan Hakim yang fasik adalah sah asal sesuai dengan
syara’
dan
undang-undang.
Sedangkan
Syafi’iyah
tidak
membolehkan mengangkat seorang fasik menjadi Hakim, alasannya karena orang fasik tidak diterima sebagai saksi. e. Berpengetahuan luas Mengetahui segala pokok hukum dan cabang-cabangnya, Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang hukum agar dia memperoleh jalan mengetahuhi hukum-hukum yang harus diberikan bagi perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, Hanafi membolehkan muqalid menjadi Hakim sesuai pendapat Ghazali karena mencari orang adil dan ahli ijtihad sangat sulit. Yang penting diangkat oleh penguasa.
61
f. Sempurna pancaindera Mendengar, melihat, dan tidak bisu, orang bisu tidak boleh diangkat menjadi Hakim karena orang bisu tidak bisa menyebut putusan yang dijatuhkannya. Demikian pula orang tuli tidak dapat mendengar keterangan para pihak sedang orang buta tidak dapat melihat orang-orang yang berperkara. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Untuk dapat diangkat sebagai
calon Hakim Pengadilan
Agama,
seseorang
harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. sarjana syariah dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam; f. sehat jasmani dan rohani; g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan h. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia. Adapun yang menjadikan pembeda bagi Hakim di lingkungan Peradilan Agama dengan lingkungan Peradilan yang lain menurut Yahya Hararahap dalam tulisannya di buku Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989 adalah mutlak harus beragama Islam. Sedang pada Peradilan yang
62
lain, agama tidak dijadikan sebagai syarat. Tentang syarat beragama Islam bagi Hakim dilingkungan Peradilan Agama, memang ada yang beranggapan bahwa syarat tersebut menutup pintu bagi yang non Islam untuk menjadi Hakim di lingkungan peradilan Agama. Padahal lingkungan Peradilan Agama sesuai dengan ketentun pasal 3 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, termasuk dalam Peradilan Negara. Berarti sudah tentu dia adalah milik semua bangsa tanpa kecuali. Akan tetapi bila ditinjau dari ditinjau dari kekhususan yang dilekatkan oleh Undang-Undang, Peradilan Agam memiliki ciri dan bidang tertentu yang sangat berkaitan dengan faktor yakni: a. Faktor personalita ke-Islaman, b. Dan faktor hukum yang diterapkan, khusus hukum Islam. Bila memperhatikan kekhusuan yang melekat pada kedua faktor tersebut, beralasan disejajari dengan ketentuan syarat ke-Islaman bagi mereka yang akan duduk berfungsi menegakkan hukum dalam Peradilan Agama. Dari segi etis tersebut maka menjadi janggal apabila hukum yang diterapkan adalah hukum Islam dan hal itu khusus diperlakukan bagi yang beragama Islam, sedang Hakim yang menerapkan bukan beragama Islam.23
3. Tugas Hakim.
23
117.
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989, hal.
63
Hakim Peradilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan hukum perdata Islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-cara yang diatur dalam hukum acara Peradilan Agama. Adapun tugas pokok Hakim di Pengadilan Agama menurut Mukti Arto terbagi menjadi tiga bidang yaitu: a. Tugas yustisial b. Tugas non-yudistisial c. Tugas Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Adapun dalam bidang yustisial menurut Mukti Arto 24 tugas Hakim dapat dirinci sebagai berikut: a. Membantu mencari keadilan. Dalam perkara perdata, Pengadilan membantu para pencari keadilan untuk dapat tercapainya Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan pasal 5 ayat 2 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman b. Mengatasi segala hambatan dan rintangan. Hakim wajib mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan pasal 5 ayat 2 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, baik yang berupa teknis maupun yuridis.
24
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, cet. 6, hal 30.
64
Hambatan teknis diatasi dengan kebijaksanaan Hakim karena jabatannya menerapkan hukum acara yang berlaku dan menghindari hal-hal yang dilarang dalam hukum acara, karena dinilai akan menghambat atau menghalangi obyektifitas hakim atau jalannya Peradilan. c. Mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa. Perdamaian adalah lebih baik daripada putusan yang dipaksakan. Dalam perkara perceraian, lebih-lebih jika sudah ada anak, maka Hakim harus lebih sungguh-sungguh dalam upaya perdamaian sesuai dengan pasal 15 ayat 2 HIR/ pasal 154 Rbg. d. Memimpin persidangan Dalam memimpin persidangan yang sesuai dengan pasal 15 ayat 2 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman Hakim melakukuan: 1) Menetapkan hari sidang 2) Memerintahkan memanggil para pihak 3) Mengatur mekanisme sidang 4) Mengambil prakarsa untuk kelancaran sidang 5) Melakukan pembuktian 6) Mengakhiri sengketa. e. Memeriksa dan mengadili perkara Dalam memeriksa dan mengadili perkara, maka Hakim wajib untuk mengkonstatir yaitu membuktikan benar tidaknya peristiwa atau fakta
65
yang diajukan para pihak dengan pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah, menurut hukum pembuktian, yang diuraikan dalam duduknya perkara dan berita acara persidangan. Hakim juga wajib mengkualifikasir peristiwa atau fakta yang telah terbukti, yaitu menilai peristiwa itu termasuk hubungan hukum apa atau yang mana, menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstarting itu untuk kemudian dituangkan dalam pertimbangan hukum. Kemudian Hakim wajib menetapkan hukumnya yang kemudian dituangkan dalam amar putusan. Pelaksanaan tugas memeriksa dan mnegadili tersebut harus dicatat secara lengkap dalam berita acara persidangan dan berdasarkan BAP tersebut maka disusun keputusan yang memuat: 1) Tentang duduk perkara yang menggambarkan pelaksanaan tugas Hakim dalam mengkonstatir kebenaran fakta atau peristiwa yang diajukan. 2) Tentang pertimbangan hukum yang menggambarkan pokok pikiran Hakim dalam mengkualifikasir fakta-fakta yang telah terbukti tersebut. Di sini Hakim akan merumuskannya secara rinci, kronoligis dan berhubungan satu sama lain dengan didasarkan pada hukum atau peraturan perundangan-perundangan yang secara tegas disebutkan oleh Hakim. 3) Amar putusan yang memuat hasil akhir sebagai konstitusi atau penentuan hukum atas peristiwa atau fakta yang telah terbukti. f. Meminutir berkas perkara Minutering atau minutasi ialah suatu tindakan yang menjadikan semua dokumen perkara menjadi dokumen resmi dan sah. Minutasi dilakukan oleh pejabat atau petugas Pengadilan sesuai dengan bidangnya masing-
66
masing, namun secara keseluruhan menjadi tanggungjawab Hakim yang bersangkutan. g. Mengawasi pelaksanaan putusan Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan. Hakim wajib mengawasi pelaksanaan putusan agar putusan dapat dilaksanakan dan perikeadilan tetap terpelihara. h. Memberikan pengayoman kepada pencari keadilan Hakim wajib memberikan rasa aman dan pengayoman kepada pencari keadilan. Pendekatan secara manusiawi, sosiologis, psikologis, dan filososfis yang religius, disamping pendekatan juridis dapat memberikan rasa aman dan pengayoman kepada para pihak sehingga putusan Hakim akan lebih menyentuh kepada rasa keadilan yang didambakan. i. Menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. j. Mengawasi penasehat hukum. Hakim wajib mengawasi penasehat hukum yang berpraktek di Pengadilan Agama. Tugas pengawasan ini bersifat membantu Pengadilan. Apabila terjadi peyimpangan atau pelanggaran kode etik dan hukum
67
profesi yang dilakukan oleh penasehat hukum maka dilaporkan ke Pengadilan Negri dimana ia terdaftar sebagai penasehat hukum. Adapun tugas Hakim dalam bidang non yudistisial yaitu; a. Tugas pengawasan sebagai Hakim pengawas bidang. b. Turut melaksanakan hisab, rukyat dan mengadakan kesaksian hilal. c. Sebagai rohaniawan sumpah jabatan. d. Memberikan penyuluhan hukum. e. Melayani riset untuk kepentingan ilmiah. f. Tugas-tugas lain yang diberikan kepadanya.25 Adapun tugas Hakim dalam Tugas Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yaitu: a. Konstatiring meliputi: 1) Memeriksa identitas para pihak 2) Memeriksa kuasa hukum para pihak (jika ada) 3) Mendamaikan para pihak 4) Memeriksa syarat-syaratnya sebagai perkara 5) Memeriksa seluruh fakta yang dikemukakan para pihak 6) Memeriksa syarat-syarat dan unsur-unsur setiap fakta 7) Memeriksa alat-alat bukti sesuai tata cara pembuktian 8) Memeriksa jawaban, sangkalan, keberatan dan bukti-bukti pihak lawan 9) Mendengar pendapat atau kesimpulan masing-masing pihak 10) Menerapkan pemeriksaan sesuai hukum acara yang berlaku b. Kualifisir yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan, yang meliputi: 1) Mempertimbangkan syarat-syarat formil perkara 2) Merumuskan pokok perkara 25
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Hal. 36.
68
3) Mempertimbangkan beban pembuktian 4) Mempertimbangkan keabsahan peristiwa sebagai peristiwa 5) Mempertimbangkan secara logis, kronologis, dan juridis fakta-fakta hukum menurut hukum pembuktian 6) Mempertimbangkan jawaban, kaberatan dan sangkalan-sangkalan serta bukti-bukti lawan sesuai hukum pembuktian 7) Menemukan hubungan hukum peristiwa-peristiwa yang terbukti dalam petitum 8) Menemukan hukumnya, baik hukum tertulis maupun yang tak tertulis dengan menyebutkan sumber-sumbernya. 9) Mempertimbangkan biaya perkara. c. Konstituiring yang dituangkan dalam amar putusan meliputi: 1) Menetapkan hukumnya dalam amar putusan 2) Mengadili seluruh petitum 3) Mengadili tidak lebih dari menentukan lain
petitum, kecuali
Undang-Undang
4) Menetapkan biaya perkara.26
C. Proses Pengambilan Keputusan Hakim Peradilan Agama. 1. Musyawarah Majelis Hakim. Musyawarah Majelis Hakim merupakan perundingan yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap suatu perkara yang diajukan kepadanya dan sedang diproses dalam persidangan Pengadilan Agama yang berwenang. Musyawarah Majelis Hakim dilaksanakan secara rahasia, maksudnya apa yang dihasilkan dalam Majelis Hakim hanya diketahui oleh anggota Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut sampai putusan dibacakan. Tujuan diadakannya
26
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Hal. 36-37.
69
Musyawarah Majelis Hakim adalah untuk dapat menyamakan persepsi agar terhadap perkara yang sedang diadili itu dapat dijatuhkan putusan yang seadiladilnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.27 Ketua Majelis Hakim memimpin rapat dengan memberikan kesempatan pertama berbicara kepada anggota Majelis yang junior untuk mengemukakan pendapatnya, kemudian baru Hakim yang senior dan terakhir Ketua Majelis Hakim itu sendiri. Dalam Musyawarah Majelis Hakim, setiap Hakim mempunyai hak yang sama dalam hal: a. Mengonstatir peristiwa hukum yang diajukan oleh para pihak kepadanya dengan melihat, mengakui, atau membenarkan telah terjadi peristiwa yang diajukan. b. Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan pihk-pihak kepadanya. Peristiwa yang telah dikonstatirnya itu sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi harus dikualifisir. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang dianggap benar-benar terjadi itu teramsuk hubungan hukum mana dan hukum apa, dengan kata lain harus ditemukan hubungan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. c. Mengkonstituir yaitu menetapkan hukumnya ataui memberikan keadilan kepada para pihak yang berperkara.28 Jika dua orang Hakim anggota Majelis berpendapat sama terhadap, maka Hakim yang kalah suara harus menerima pendapat yang telah sama itu. Hakim yang kalah itu dapat menuliskannya dalam buku yang khusus disediakan dan disimpan oleh Ketua Pengadilan Agama yang bersifat rahasia. Apabila masingmasing Hakim berbeda pendapat yang masing-masing Hakim memilki pendapat
27
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, hal. 276.
28
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, hal. 275.
70
yang sama kuat dan sama akurat analisis yuridis, satu sama lain tidak mendukung dalam perkara yang dihadapinya, maka perkara tersebut dapat diselesaikan dengan alternatif yaitu: a. Persoalan tersebut dibawa ke rapat pleno Hakim yang ada di Pengadilan Agama tersebut yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Agama dan rapat ini tertutup dan rahasia. b. Ketua Majelis Hakim karena jabatannya dapat mempergunakan hak vetonya dalam menyelesaikan perkara tersebut, dengan catatan pendapat Hakim yang tidak sependapat tersebut dicatat dalam buku catatan yang rahasia.
2. Interpretasi Hukum oleh Hakim. Untuk menjamin kepastian hukum harus ada kodifikasi, yaitu usaha untuk membukukan peraturan-peraturan yang tertulis yang masih berserak-serak ke dalam suatu buku secara sistematis, maksudnya adalah untuk mewujudkan kepastian hukum bagi masyarakat. Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang terhadap Undang-Undang agar ruang lingkup kaidah dapat searah dengan peristiwa tertentu. Penafsiran Hakim mengenai peraturan hukum merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pemahaman terhadap peristiwa yang konkret yang dapat diterima oleh masyarakat. Penggunaan penafsiran Undang-Undang ini dengan baik, mensyaratkan Hakim dengan sungguh-sungguh memahami berbagai macam metode penafsiran hukum, atau
71
Undang-Undang, antara lain metode gramatikal, teleologis, sistematis, historis, komperatif, faturistik, restriktif, dan ekstensif, serta metode contrario.29 Penafsiran undang-undang secara gramatikal atau tata bahasa yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam Undang-Undang yang bertitik tolak pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam UndangUndang. Dalam hal ini Hakim wajib mencari arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum. Oleh karena itu dipergunakan kamus bahasa atau meminta bantuan dari para ahli bahasa. Penafsiran undang-undang secara sisitematis suatu cara yang mengharuskan Hakim untuk memperhatikan hubungan suatu perkataan yang hendak ditafsirkan dalam rangka yang lebih besar, dengan kalimatnya yang merupakan suatu pasal. Akan tetapi pasal-pasal tersebut mempunyai hubungan lagi dengan beberapa pasal lainnya mengenai suatu hal yang tertentu, yang ada sangkut-pautnya dengan beberapa hal dalam hubungan yang lebih luas lagi. Akhirnya dengan penafsiran ini orang dapat memperolah gambaran atau pandangan yang luas dan jelas tentang arti suatu perkataan dalam undang-undang bahwa undang-undang tidak terlepas, tetapi akan selalu hubungannya antara yang satu dengan lainnya sehingga seluruh perundang-undangan itu merupakan kesatuan tertutup, yang rapi dan teratur.
29
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), ed. 1, cet. 1. hal. 179.
72
Penafsiran undang-undang secara historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu undang-undang itu dibuat. Tiap ketentuan undang-undang mempunyai sejarah tersendiri dan dengan sejarah pembentukan undang-undang itu, Hakim dapat meneliti dan mempelajari maksud dari pembuatan undang-undang. Penafsiran ini dapat dilakukan oleh Hakim dengan cara menyelidiki asal-usul peraturan perundang-undangan
yang
bersangkutan. Caranya ialah dengan melihat dari suatu sistem hukum dahulu pernah berlaku yang sekarang tidak berlaku lagi. Penafsiran historis ada macam: 1) Penafsiran menurut sejarah hukum yaitu merupakan suatu cara penafsiran hukum dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala suatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Penafsiran tersebut adalah penafsiran tersebut adalah penafsiran menurut sejarah penetapan perundang-undangan. 2) Penafsiran menurut sejarah hukum yaitu penafsiran yang menyelidiki maksud dari pembuat Undang-Undang dalam menetapkan peraturan perundang-undangan atau siapa yang membuat rancangan UndangUndang. Penafsiran sistematis yang dimaksud penafsiran sistematis ialah suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada perundangundangan hukum lainnya, atau membaca penjelasan suatu perundanganundangan, sehingga mengerti apa yang dimaksud.30 Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan yang pertama-
30
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. 8, hal. 101.
73
tama dimulai dari penafsiran menurut kata dan tata bahasa, penafsiran menurut sejarah, kemudian penafsiran sosiologis. Penafsiran sosiologis sangat penting sekali bagi Hakim terutama kalau diingat banyak Undang-Undang yang dibuat jauh daripada waktu dipergunakan. Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi ialah penafsiran secara resmi. Penafsiran ini dilakukan oleh pembuat Undang-Undang itu sendiri atau oleh instansi yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan tidak boleh siapapun dan pihak manapun. Penafsiran ini sifatnya subyektif, penafsiran yang dilakukan oleh pembuat Undang-Undang sendiri diikuti dalam penjelasan Undang-Undang sebagai lampiran dan tambahan Lembaran Negara dari UndangUndang yang bersangkutan. Penafsiran perbandingan ialah suatu penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, antara hukum nasional dengan hukum asing dan hukum kolonial.
3. Penemuan Hukum oleh Hakim. Secara teoritis, penemuan hukum (rechtssvinding law) adalah suatu teori yang memberikan arah bagaiamana cara menemukan aturan yang sesuai untuk suatu peristiwa hukum tertentu, dengan cara penyelidikan yang sistematis terhadap sebuah aturan dengan mengehubungkan antara satu aturan dengan aturan yang lainnya. Penemuan hukum sebenaranya merupakan proses pembentukan hukum
74
oleh Hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. 31 Menurut pandangan Amir Syamsuddin penemuan hukum (rechtssvinding) merupakan proses pembentukan hukum dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa berdasarkan kaidah atau metode tertentu, interpretasi, argumentasi atau penalaran (redenering), konstruksi hukum dan lainlain. Kaidah dan metode tersebut digunakan agar penerapan aturan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses tersebut dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum.32 Dalam Islam penemuan hukum disebut dengan ijtihad yang berasal dari bahasa arab dari kata jahada yang berarti bersungguh sungguh. Ijtihad bila diartikan adalah sebagai kegiatan atau usaha dengan cara bersungguh-sungguh untuk menemukan hukum yang belum ada yang dilakukan oleh seorang mujtahid. Adapun ijtihad menurut para ahli usul fiqh dalam memberikan definisi diantaranya adalah pendapat Imam asy-Syaukani dalam bukunya “Irsyadul Falah” memberikan definisi sebagai berikut:
31
Lihat Alga, Rechtsaanvang, (Drukkerij Elinwijk BV, Utrecht, 1975), hal. 219. dalam Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), cet.1. hal. 127. 32
Amir Syamsuddin, Penemuan Hukum, dalam Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), cet.1. hal. 127.
75
Mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum).33 Sehubungan dengan hal ini, seorang Hakim dapat berijtihad dengan sempurna apabila: 1) Memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang ilmu hukum dan ilmu sosial lainnya; 2) Harus mengetahui dengan baik al-Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas, bahasa arab dan tata aturan ijtihad yang telah diterapkan oleh syariat Islam. 3) Mengetahui putusan yurispudensi, dan peraturan perundang-undangan lain yang ada kaitannya dengan pelakasanaan hukum di Indonesia. Dengan demikian Hakim Peradilan Agama dalam menciptakan hukum-hukum baru tidak boleh lepas dari ijtihad sebagaimana yang telah ditentukan oleh syara’, sehingga putusan-putusan yang ditetapkan oleh Hakim Peradilan Agama itu dapat menentukan isi hukum yang hidup di Indonesia yang sesuai dengan falsafah Pancasila.
33
Irsyad al-Fuluh, hal. 250. dalam Yusuf al-Qardhawi, Ijitihad dalam Syariat Islam Beberapa Pandangan Analitis tentang Ijtihad Kontemporer. Penerjemah: Achmad Syathori, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), hal. 2.
BAB IV PEMAHAMAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR TENTANG KONSEP ADIL DALAM BERPOLIGAMI
A. Konsep Adil Sebagai Syarat Izin Poligami Menurut Hakim. Adil sebagai dalam izin poligami adalah adil dalam arti yang mendekati adil yang hakiki atau sempurna. Adil yang hakiki adalah hanya Allah SWT yang bisa, tapi adil dalam hal ini adalah adil yang memungkinkan manusia pada umumnya dapat melakukannya. Keadilan yang sempurna tidak akan bisa dilakukan oleh manusia, karena manusia juga terdapat kekurangan, dan jangan mengharapkan keadilan yang sempurna dalam poligami. Dan juga adil dalam poligami menurut Hakim adalah yang bersifat proposional, bahwa setiap orang mendapatkan hak sesuai dengan haknya, atau memberikan sesuatu sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga dengan ini dapat mengurangi kezaliman suami terhadap istri-istri. Adapaun adil menurut Hakim dapat terbagi menjadi 2 bentuk: a. Adil dalam bentuk materi yaitu adil yang mengenai tentang nafkah antar istriistri dan anak-anak, sehingga tidak ada kecemburuan antar masing-masing. Seperti, apabila istri pertama diberi uang sejumlah satu juta rupiah karena tinggal di kota yang segala bahan perbelanjaan mahal, dan istri kedua tinggal di desa yang sedikit murah dan diberi uang belanja sebanyak lima ratus rupiah. Maka dalam hal ini, suami tidak boleh membagi yang menonjol.. b. Adil dalam bentuk yang dapat dinilai yaitu adil yang dapat dinilai oleh seorang yang tidak terlalu menonjol apabila ada perbedaan pemberian dalam 76
77
hal segalanya. Seperti dalam hal pembagian giliran (qasm) yang harus sama, apabila istri pertama tiga hari, maka istri kedua tiga hari juga yang dilihat dari segi kebutuhan. Dan juga rasa kasih sayang antar istri-istri yang tidak boleh menonjol atau lebih berpihak dari pada yang lain. Adapun kriteria adil dalam poligami adalah kembali kepada makna adil yang seperti di atas yaitu, dilihat dari dua bentuk adil yaitu adil dalam hal materi dan dalam hal penilaian, dan juga adil yang proposional yang meletakan sesuatu pada tempatnya.
Tolak ukur adil adalah bersifat abstrak dalam hal yang dapat diukur dan yang dapat dinilai, namun dapat ditarik pemahaman bahwa tolak ukur adil poligami adalah jangan ada kezaliman berupa keberpihakan yang dibuat suami terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Karena pada dasarnya dalam poligami akan menimbulkan dua saingan dua istri yang akan berontak, karena pada awalnya hak istri penuh yang diberikan suami dan dengan poligami hak tersebut akan terbagi menjadi dua, sehingga akan menimbulkan berontakan antar istri-istri apabila suami tidak dapat berlaku adil. Adil ini sangat penting dalam poligami, sehingga dijadikan syarat untuk mengajukan izin poligami di Pengadilan. Syarat ini karena sesuai dengan UndangUndang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang merujuk pada al-Qur’an surat anNisaa ayat 3 dan juga ayat 129, yang sudah barang tentu al-Qur’an itu kebenarannya tidak bisa dibantah lagi. Adil menjadi syarat poligami adalah juga karena dalam poligami akan menimbulkan rasa kecemburuan antar istri-istri apabila suami tidak
78
berlaku adil. Karena apabila suami yang sekaligus menjadi kepala keluarga berbuat adil, itu akan bisa menutup kezaliman yang dibuatnya.
B. Alasan Hakim dalam Memberi Izin Poligami. Alasan yang diberikan Hakim dalam izin poligami adalah melihat maslahah (kebaikan) dan mudharat (kerusakan) bagi keluarga yang akan berpoligami. Dengan melihat maslahah dan mafsadat bagi keluarga, apakah seorang suami akan dapat berlaku adil atau tidak, maka ini akan membuat pengaruh terhadap kelangsungan kehidupan keluarganya dengan cara mempertimbagkan apakah suami memang layak untuk berpoligami secara adil. Hakim dalam memberi alasan juga sesuai dengan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: 1. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; 2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Alasan izin poligami juga sesuai dengan pertimbangan hukum, yang diperoleh Hakim selama di depan persidangan, berupa keyakinan atau persangkaan Hakim, dengan cara mendengar keterangan pemohon, termohon, dan saksi-saksi. Dalam hal ini Hakim mendengar keterangan pemohon (suami) apakah pemohon memang betul-
79
betul sudah siap untuk dapat berlaku adil dalam keluarga yang poligami, dapat menerima konsekuensi kedepannya apabila antara istri tidak akur. Begitu pula dengan termohon (istri) apakah termohon sudah siap untuk dibagi hak-haknya, dan menerima dengan rela bila suami beristri dua. Dan juga kepada saksi-saksi apakah suami dalam keseharian berakhlak baik sehingga tidak mungkin akan menzalimi hak-hak istri, dan suami mampu berlaku adil dalam hal keuangan.
C. Analisis Penulis. Dalam menaganalisa pemahaman Hakim tentang adil sebagai syarat izin poligami, penulis merujuk kepada hasil wawancara penulis terhadap Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang menghasilkan data deskriptif. Dengan melihat hasil wawancara yang penulis dapati, maka dapat dianalisa bahwa pendapat adil menurut Hakim sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Quraish Shihab mengartikan adil dalam pengertian “seimbang”. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang didalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi kehadirannya. Keadilan ini identik dengan kesesuaian (keproposionalan), bukan lawan kata kezaliman. Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi
80
semua unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.1 Dalam memahami kata adil tersebut menurut penulis, Hakim menggunakan interpretasi gramatikal yaitu penafsiran Undang-Undang secara gramatikal atau tata bahasa yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam Undang-Undang yang bertitik tolak pada arti perkataanperkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam undang-undang. Dalam hal ini Hakim wajib mencari arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum. Oleh karena itu dipergunakan kamus bahasa atau meminta bantuan dari para ahli bahasa. Dalam wawancara yang penulis lakukan, Hakim dalam mengartikan adil terlebih dahulu menjelaskan arti dari kata perkata dan kemudian menguraikannya secara gamblang. Apabila dilihat dari sifat adil tersebut yang proposiaonal ini sesuai untuk diterapkan kedalam keluarga yang berpoligami, karena dengan adil ini bisa meniadakan kecemburuan sosial antar istri-istri. Dapat diambil contoh apabila istri pertama memiliki dua orang anak yang masih sekolah yang perlu uang sekolah sehingga membutuhkan kebutuhan yang lebih banyak, dan istri yang kedua belum mempunyai anak yang sedikit kebutuhannya. Maka dengan adil yang proposional suami akan melihat kebutuhan masing-masing istri.
1
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran; Tafsir Ma’udui Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 114-116.
81
Namun apabila adil tersebut diartikan dengan arti “sama” ini sulit untuk diterapkan dalam keluarga yang berpoligami. Karena tidak setiap istri memiliki kebutuhan yang sama, pasti ada yang membedakannya. Dan juga bila diartikan dengan arti “sama” maka suami tidak mungkin bisa untuk melakukannya. Karena sama itu menututu suami untuk dapat menyamaratakan segala hal. kaulitatif Adil disini juga adalah adil yang dapat dinilai (kuantitatif) bukan (kuantitatif). Adil dalam hal yang bersiftat kuantitatif maksudnya adalah adil yang dapat nilai kadarnya seperti pemberian nafkah, bergiliran malam, pembagian hari pergi bersama istri. Sedangkan adil yang bersifat kualitatif adalah dalam hal kasih sayang, cinta, perhatian terhadap para istri. Adil seperti sulit untuk dilaksanakan suami. Keadilan yang dituntut kepada seorang suami dalam poligami terhadap para istrinya bukanlah keadilan yang mutlak. Yang dimaksud hanyalah sikap adil seorang suami terhadap istri-istrinya sebatas yang masih berada dalam lingkaran kemampuan seorang manusia untuk merealisasikannya. Sebab Allah SWT tidak membebani manusia kecuali dalam batas-batas kesanggupannya dan ini sesuai dengan firman Allah SWT:
)
:/
(…
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S: al-Baqarah/2: 286). Bila dilihat dari subtansi adil dalam poligami, maka diambil pemahaman bahwa subtansi adil tersebut adalah iman dan takwa kepada Allah SWT yang berada di
82
dalam hati suami. Dengan iman dan takwa yang terdapat dalam hati suami, maka ia akan lebih adil dalam bersikap kepada istri-istri dan anak-anaknya. Karena iman dan takwa akan mengawal dan menuntut suami untuk dapat berlaku adil, dan juga ini adalah dijadikan barometer terhadap adil. Adapun indikasi bahwa iman dan takwa akan membantu manusia untuk berlaku adil yang terdapat dalam hati suami yaitu seperti; suami dalam memberikan nafkah kepada istri-istri yang memiliki perbedaan kebutuhan, maka dengan iman dan takwa yang terdapat dalam hati suami akan menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Apabila istri pertama memilki prilaku tercela, dan istri kedua mempunyai ahlak yang terpuji, maka dengan iman dan takwa yang terdapat dalam hati suami ia akan menilai sesuatu yang baik dan yang buruk. Iman dan takwa kepada Allah dalam berlaku adil terdapat dalam perintah Allah SWT dalam firman-Nya dalam surat al-Maidah ayat 8 yang berbunyi:
)٨ ٥
(
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah/5: 8).
83
Pada ayat tersebut simpul keadilan diarahkan kepada peringatan keras dalam menegakkan keadilan, agar seorang jangan sampai terjebak oleh pengaruh hawa nafsu dan pengaruh kebencian, sehingga ia melakukan ketidakadilan. Hakikat keadilan yang dibicarakan dalam ayat-ayat ini bukan lagi berkaitan dengan aspek formal, tetapi sudah menjurus kepada aspek material, yang menekankan bahwa penegakkan keadilan adalah kewajiban kepada Allah SWT. Oleh karena itu ia harus bebas dari segala pengaruh yang akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan dari kebenaran. 2 Adil ini sangat penting untuk suami jalankan, menurut Hakim yang penulis wawancarai adalah karena pada umunya manusia apabila hak seseorang diambil oleh oranglain maka haknya akan berkurang, dan dia akan berontak dan merasa tersaingi oleh orang tersebut. Maka menurut penulis adil sangat penting sekali, karena dengan adil akan mencegah kezaliman yang dibuat oleh suami terhadap istri. Alasan-alasan Hakim dalam memberikan izin untuk suami berpoligami sebagaimana telah penulis wawancarai bahwa Hakim dalam menerima apabila suami telah memenuhi persyaratan yang disyaratkan oleh Undang-Undang sebagaimana yang terdapat dalam pasal 4 ayat 2: “Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan”.
2
dalam Amiur Nuruddin, Keadilan dalam al-Qur’an, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2008), hal. 58.
84
Alasan izin tersebut ditolak apabila dalam faktanya istri dipaksa. Terkadang istri dipaksa oleh suami untuk menandatangani izin poligami dengan berbagai cara, dan ada juga kasus surat pernyataan itu dipalsukan oleh suami. Alasan tersebut dapat ditolak juga karena syarat-syarat izin poligami yang terdapat dalam Undang-undang tidak terpenuhi baik dari suami maupun dari istri. Menurut penulis pendapat Hakim memang sudah cukup alasan untuk memutuskan apakah izin poligami itu diterima atau ditolak, bahkan dengan melihat adanya pemalsuan surat pernyataan dan adanya paksaan dari suami terhadap istrinya, menurut penulis ini sudah masuk kedalam masalah pidana. Menurut penulis dalam memberikan alasan-alasan, Hakim menggunakan penafsiran sosiologis yaitu penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan yang pertama-tama dimulai dari penafsiran menurut kata dan tata bahasa, penafsiran menurut sejarah, kemudian penafsiran sosiologis. Penafsiran sosiologis sangat penting sekali bagi Hakim terutama kalau diingat banyak Undang-Undang yang dibuat jauh daripada waktu dipergunakan. Dengan metode ini Hakim sebelum memutuskan izin poligami terlebih dahulu membaca gejala-gejala yang terjadi di masyarakat. Dalam
memutuskan
izin
poligami
menurut
analisa
penulis,
Hakim
mempertimbangkan hukum dengan melihat posita, petitum dan bukti-bukti yang terjadi dalam persidangan. Posita merupakan penjelasan tentang keadaan atau peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugat. Posita memuat:
85
1. Alasan yang berdasarkan fakta atau peristiwa hukum 2. Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam keputusan nanti.3 Biasanya dalam hal izin poligami, posita memuat: 1. Keterangan telah terjadinya pernikahan 2. Identitas istri yang akan dinikahi lagi (poligami) 3. Kemampuan suami dalam hal biaya rumah tangga 4. Kemampuan suami akan berlaku adil 5. Pernyataan termohon rela untuk suami menikah kembali 6. Pernyataan dari orangtua dan calon istri rela untuk pemohon menikah dengannya Petitum dituangkan dalam isi suarat permohonan yang suami ajukan kepada Pengadilan. Isi petitum adalah tuntutan atau permintaan pemohon untuk dikabulkan oleh Hakim. Adapun isi petitum dalam hal izin poligami biasanya terkait dengan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon 2. Menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi (polygami) dengan calon isteri kedua Pemohon bernama 3. Menetapkan harta sebagaimana terurai dalam posita nomor 7 di atas adalah harta bersama Pemohon dan Termohon 4. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon 5. Atau menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya Bukti-bukti atau pembuktian mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian yang berlaku. Dalam hal poligami yang dibuktikan adalah slip gaji suami dimana
3
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Hal. 40.
86
tempat suami bekerja, karena dengan slip ini Hakim dapat melihat bahwa suami akan dapat memberikan kebutuhan para istri. Tapi ada juga suami yang tidak memiliki bukti slip gaji dan dalam hal ini suami dapat mengajukan saksi yang bisa memberikan keterangan bahwa suami benar bisa mencukupi kebutuhan para istri. Keterangan istri pertama ini sangat diperlukan dalam persidangan, dengan mendengarkan keterangan istri pertama Hakim akan mengetahui apakah istri menyetujui suaminya untuk menikah kembali. Menanyakan sendiri kepada istri yang memberi persetujuan tentang keadaan sosial ekonomi yang sebenarnya kehidupan keluarga mereka serta tingkah lakunya Adapun para saksi dimajukan kedepan sidang adalah dalam upaya Hakim untuk mengetahui bagaimana keseharian suami dan istri. Sedapat mungkin Hakim mendapatkan data-data bahwa ahlak dan sikap hidup orang yang bersangkutan benarbenar terpuji dalam lingkungan kehidupan masyarakat sekitarnya. Memperoleh data ini tidak sulit dengan jalan memanggil dan mendengar dari tetangga yang bersangkutan. Hakim juga menggunakan persangkaan yaitu kesimpulan Hakim yang ditarik atau sebagai hasil dari pemeriksaan. Persangkaan Hakim harus dan hanya memperhatikan hal-hal yang penting, teliti, tertentu dan sesuai hubungan satu sama lainnya. Dalam hal ini Hakim mencari kesimpulan motif dari permohonan dan persetujuan itu. Sebab bisa saja menjurus kepada motif yang negatif. Dari semua analisa yang penulis tulis di atas dapat ditarik benang merah dalam memutuskan keputusan, Hakim sebelumnya melihat, menilai dan mempertimbangkan
87
terlebih dahulu maslahat dan mafsadat yang akan timbul dikemudian hari. Maslahat yaitu suatu hal-hal yang dapat menimbulkan kebaikan, sedangkan mafsadat suatu halhal yang dapat menimbulkan keburukan. Maka dengan melihat maslahat dan mafsadatnya, Hakim ingin memutuskan keputusan yang seadil-adilnya bagi semua pihak, baik pihak pemohon, termohon, calon istri kedua ataupun keluarga masingmasing. Seperti Hakim menilai kemaslahatan yang akan timbul apakah apabila dengan poligami kehidupan keluarganya akan baik-baik saja, tidak ada perselisahan diantara istri-sitri dan anak-anak mereka, menjadi keluarga yang harmonis. Ataukah sebaliknya apakah dengan suami berpoligami kehidupan keluarganya akan hancur, suami tidak mampu dalam memberikan nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya, adanya perselisihan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah pembahasan secara mendetail pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Hakim pada Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam mengartikan adil dalam poligami adalah adil yang bersifat proposional, yaitu adil yang menyesuaikan dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dalam artian bahwa suami dalam memberikan nafkah dan lain-lain menyesuaikan dengan kebutuhan tiap-tiap istri. Seperti apabila istri pertama mempunyai dua orang anak yang membutuhkan berbagai macam keperluan sehingga yang dibutuhkan lebih besar, sedangkan istri kedua belum mempunyai anak yang tidak perlu berbagai macam keperluan sehingga kebutuhan tersebut relatif sedikit. Maka dengan adil yang bersifat proposional ini, menurut Hakim suami akan melihat kebutuhan masing-masing istri. Dan Hakim juga mengartikan adil sebagai sikap suami dalam usaha mendekati kesempurnaan adil yang hakiki. Namun, sudah diketahui bahwa adil yang hakiki hanya Allah yang bisa menjalankan. Dan disini manusia dituntut untuk berusaha dan berupaya bagaimana bisa untuk mendekati kesempurnaan tersebut, sehingga kemampuan disini adalah kemampuan manusia pada umumnya dapat melakukannya. 88
89
2. Dalam hal Hakim memperoleh keyakinan suami akan berlaku adil adalah dengan persangkaan Hakim yang didahului dengan pembuktian di depan persidangan. Pembuktian ini meliputi tentang mendengarkan keterangan pemohon (suami) yaitu dengan bertanya tentang kesiapan suami akan berlaku adil terhadap istri-istrinya, termohon (istri) yaitu dengan bertanya tentang kesiapan
istri
yang
akan
dimadu
dengan
menggambarkan
segala
konsekuensinya, dan para saksi. Dan juga Hakim melihat bukti surat-surat yang berupa slip gaji apabila bekerja disebuah instansi pekerjaan dan suratsurat lain yang Hakim anggap perlu dibuktikan di persidangan. Hakim juga tidak mengenyampingkan untuk bertanya tentang prilaku atau sikap pemohon keseharaiannya di keluarga dan masyarakat. Dengan ini maka Hakim akan menemukan apakah terdapat unsur negatif yang akan timbul setelah adanya izin poligami. Dengan keyakinan ini Hakim akan dapat memutuskan apakah pemohon layak atau tidaknya mendapatkan izin poligami, dengan cara menimbang maslahat dan mafsadat yang akan timbul dari poligami ini. 3. Adapun tolok ukur menurut Hakim adalah sesuatu yang abstrak dan sulit untuk dijabarkan. Namun Hakim menitikberatkan pada pengertian adil tersebut yang menurut Hakim adalah adil yang proposional. Dan juga jangan sampai suami itu dapat berbuat kezaliman kepada istri. Adapun kriteria adil menurut Hakim dikembalikan kepada pengertian adil yang seperti di atas yaitu adil yang bersifat proposional yang menyesuaikan kebutuhan istri. Maka dengan ini menurut Hakim akan mewujudkan adil yang ideal bagi suami yang
90
menciptakan keluarga yang sejahtera, nyaman dalam keluarga, antara istri dengan istri dan anak dengan anak yang rukun dan harmonis tanpa ada percekcokan satu sama lain.
B. Saran-Saran Dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran atau masukan yang mungkin penulis dapat berikan bagi Hakim: 1. Sebaiknya Hakim dalam memutuskan izin poligami lebih peka terhadap sensitivitas jender yang sepatutnya dimiliki oleh hakim dalam kasus permohonan izin poligami. Pertama, sikap kehati-hatian hakim untuk tidak begitu saja mempercayai pengakuan izin yang diberikan istri di depan persidangan. 2. Sebaiknya Hakim dalam memutuskan izin poligami lebih melihat dampak baik dan buruk apabila diterimanya izin poligami, karena tidak sedikit karena poligami kehidupan keluarga terpecahbelah, bahkan sampai berujung perceraian.
91
Daftar Pustaka
Abdul Nasir Taufiq al-Attar, Poligamy Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial, dan Perundang-Undangan. Jakarta: Bulan Bintang, t.th. Abdullah, Sufyan Raji, Poligami dan Eksistensinya. Bekasi, Pustaka Al-Riyadl, 2004. Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah. Beirut; Dar al-Fikr, t.t.h. Abdurrahman, Perkawinan dalam Syariat Islam. Jakarta: Rineka Cipta,1992, cet. 1. Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2007, cet. 2. Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi. Semarang: CV Toha Putra, 1993, jilid. V. Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2008, cet.1. Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, cet. 6. Ash-Shiddiqiey, TM. Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997. , Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Assamluti, Nabil Muhammad Taufik, Pengaruh Agama terhadap Struktur Keluarga. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987.
92
As-Shona’ani, Muhammad bin Ismail, Subulussalam. Bandung: Dahlan, t.th. Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. 4. Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam. Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-Negara Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005, cet. ke-2. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopdi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 1999), cet. 6 jil. 4. Farhat, Karam Hilmi, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani, dan Yahudi. Jakarta: Darul Haq, 2007. Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat. Bogor: Kencana 2003, ed. 1, cet. 1. Haikal, Abdutawwab, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs Monogami Barat. Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993, cet. 1. Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. ed.2, cet.4. Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Pustaka Kartini, 1997. Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989. Jakarta: Sinar Grafika, 2007, ed. 2, cet. 4. Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari. Kairo: Darul Ma’arif, t.th, jilid. 7. Ihromi, T.O (Penyunting), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
93
Kamarusdiana dan Nahrowi, Hukum Acara Perdata Buku Daras. Jakarta: Fakultas Syariah UIN, 2006. R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006, cet. 8 Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh. Mesir: Maktabah Dakwah Al-Islamiyah, 1990. Manan, Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam. Jakarta: Kencana, 2007, ed. 1, cet. 1. , Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2008. cet. 5. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1988. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigana. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2006. Prodjidokoro,R. Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung, 1980). Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Jakarta, 2003. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Insani, 2000. Soebkti, Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta, 1977. Soekamto, Sojono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:PT Raja Grafindo Persa, 2004, cet ke-8 Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.
94
Sutantio, Retnowulan, Hukum Acara Perdata. Mandar Maju, 2005. Sutarmadi, A. dan Mesrani, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga. Faklutas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007, ed. 1, cet. ke-2. Zuhdi, Masjfuk, Studi Islam Jilid 3: Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993, cet ke-2. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Pedoman Wawancara
1. Apakah hakim pernah menangani izin poligami? Bisa ceritakan! 2. Alasan apa yang biasa banyak suami ajukan untuk izin poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur? 3. Adakah izin poligami yang diterima dan ditolak? Alasan! 4. Apakah dengan alasan tersebut menurut hakim pemohon memang pantas menerimanya? Alasannya! 5. Bagaimana pendapat hakim tentang adil dalam poligami? 6. Adakah pendapat ulama yang hakim rujuk dalam mengartikan adil dalam poligami? Jelaskan! 7. Bagaimana hakim menanggapi pendapat tentang adil dikalangan para feminis yang menyebutkan adil tersebut harus yang sempurna? 8. Kenapa adil menjadi syarat izin poligami? 9. Apa yang menjadi kriteria adil sehingga mendapat izin? 10. Apa yang menjadi tolak ukur adil? 11. Bagaimana adil yang ideal dalam poligami? 12. Bagaimana hakim mendapatkan keyakinan dari pemohonan bahwa dia akan berlaku adil?
Hasil Wawancara
Nama
: Drs. H. Nemin Aminuddin S.H. M.H.
Jabatan
: Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
Tanggal
: 11 Mei 2011
1. Apakah hakim pernah menangani izin poligami? Bisa ceritakan! Saya pernah menangani izin poligami dengan perkara bahwa pemohon (suami) adalah suami yang memang kalau dilihat dari kemampuan ekonomi dia termasuk cukup untuk memenuhi kebutuhan istri, ini terbukti bahwa suami memiliki usaha yang cukup mapan yaitu memiliki perusahan. Dan yang unik adalah bahwa termohon (istri) mengizinkan suami untuk menikah lagi karena suami dalam berhubungan suami istri terlalu berlebihan, bagi sikap suami seperti over dan istri tidak sanggup untuk melayaninya. Bagaimana tidak, dalam sehari suaminya dapat melakukan hubungan suami istri samapi 3 samapi 4 kali.
2. Alasan apa yang banyak suami ajukan untuk izin poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur? Alasan yang banyak diajukan pemohon (suami) dalam izin poligami yaitu karena istri tidak bisa melayani suami dengan baik. Dan istri menganggap bahwa apabila suami tidak menikah kembali atau yang kedua kali dia akan berbuat zina kepada perempuan yang lain, dan juga akan menelantarkan anak-anaknya dan keluarga. Dengan melihat perkara yang di atas bahwa istri sepertinya 50% mengizinkan dan 50% terasa susah untuk mengizinkan.
3. Adakah izin poligami yang diterima dan ditolak? Alasan!
Alasan izin dapat diterima apabila telah memenuhi persyaratan yang disyaratkan oleh Undang-Undang, dan Hakim melihat apakah pemohon (suami) memang pantas untuk menerimanya. Alasan izin ditolak apabila dalam faktanya istri dipaksa. Terkadang istri dipaksa oleh suami untuk menandatangani izin poligami dengan berbagai cara, dan ada juga kasus surat pernyataan itu dipalsukan oleh suami menurut saya ini akan masuk kedalam perkara pidana. Dan alasan ditolak karena juga tidak cukup alasanalasan yang sesuai dengan Undang-Undang.
4. Apakah dengan alasan tersebut menurut hakim pemohon memang pantas menerimanya? Alasannya! Hakim dalam memberikan izin poligami dapat diterima atau ditolak, dengan cara melihat maslahah dan mafsadat yang timbul karena poligami. Dari segi maslahahnya, apakah dengan poligami akan lebih baik dan tidak menimbulkan permasalahan yang akan terjadi antara istri pertama dengan istri kedua dan antara anak dengan anak. Dari segi mafsadatnya, apakah dengan poligami keluarga yang dibina akan hancur atau tidak, akan menimbulkan kezaliman yang dibuat oleh suami
5. Bagaimana pendapat hakim tentang adil dalam poligami? Adil yang dikehendaki oleh Undang-Undang Perkawinan adalah adil dalam arti yang mendekati dan yang memungkinkan para suami dapat melakukannya, dan ini adalah adil yang dapat diartikan dengan materi dan adil yang dapat dinilai. Adil dalam bentuk materi itu seperti pemberian nafkah kepada para istri, bergiliran pada malam hari. Adil yang dapat dinilai dalam artian dalam pemberian sesuatu tidak terlalu menonjol.
6. Adakah pendapat ulama yang hakim rujuk dalam mengartikan adil dalam poligami? Jelaskan!
Coba anda baca di kitab-kitab fikih para ulama, saya tidak jauh dari pendapat para ulama. Dalam mengartikan ini saya juga mengartikan adil yang bersifat proposional, yaitu memberikan hak kepada yang seharusnya, dengan menyesuaikan kebutuhan tiap-tiap istri.
7. Bagaimana hakim menanggapi pendapat tentang adil dikalangan para feminis yang menyebutkan adil tersebut harus yang sempurna? Seperti tadi dibilang, bahwa kalau memang menuntut adil yang sempurna pasti tidak bisa, karena adil yang sempurnanya hanyalah Allah yang bisa. Sebagai manusia kita hanya menjalankan yang sesuai dengan kesanggupan kita saja, dan juga jangan terlalu mengharapkan adil yang sempurna.
8. Kenapa adil menjadi syarat izin poligami? Adil menjadi syarat izin poligami karena Undang-Undang Perkawinan yang memerintahkan untuk dapat berlaku adil. Dan Undang-Undang tersebut merujuk kepada al-Qur’an yang sudah pasti kebenarannya. Dan juga kenapa adil menjadi syarat izin poligami, karena manusia pada umumnya apabila haknya terbagi menjadi dua akan merasa memiliki saingan dan terganggu. Maka dari itu suami harus berlaku adil agar mencegah itu.
9. Apa yang menjadi kriteria adil sehingga mendapat izin? Adil yang ideal bisa di kembalikan arti dari adil tersebut, yaitu adil proposional yang menyesuaikan kebutuhan dari tiap-tiap istri. Dan metelakan sesuatu pada tempatnya. Bisa diibaratkan bahwa peci itu ditempatkan di atas kepala, maka jangan diletakkan di bawah kaki, itu akan menjadikan zalim.
10. Apa yang menjadi tolak ukur adil? Tolak ukur ini sifatnya abstrak susah untuk diukur, namun bisa kita ambil kesimpulan bahwa dalam poligami jangan sampai suami berbuat zalim terhadap istri-istri maupun anak-anak berupa melebih-lebihkan pemberiannya. Dan ini hanya adil yang dapat dinilai.
11. Bagaimana adil yang ideal dalam poligami? Adil yang proposional, sehingga membentuk keluarga yang sejahtera, nyaman dalam keluarga. Dalam keluarga antara istri kepada istri dan anak kepada anak terjalin keharmonisan dan tidak ada perselisihan diantara maisng-masing.
12. Bagaimana hakim mendapatkan keyakinan dari pemohonan bahwa dia akan berlaku adil? Dalam hal ini saya melihat dari pembuktian yang dikemukakan depan sidang berupa mendengarkan keterangan pemohon (suami), termohon (istri), dan para saksi-saksi. Dan juga merujuk kepada pengertian adil yang saya utarakan tadi.
Hal : Ijin Poligami
Jakarta, ..............
Kepada Yth. Ketua Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta Timur Jakarta Timur
Assalamu'alaikum wr. wb.
Kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
:
Umur
:
Pekerjaan
:
Tempat kediaman di
:
tahun, agama Islam
Dususn
RT.- RW.- Kecamatan
Kabupaten Jakarta
Timur, sebagai Pemohon;
Dengan hormat, Pemohon mengajukan permohonan ijin polygami berlawanan dengan :
Nama
:
Umur
:
Pekerjaan
:
Tempat kediaman di
:
tahun, agama Islam
Dusun ... RT. ... RW. ... Kecamatan ... Kabupaten Jakarta
Timur, sebagai Termohon;
Adapun alasan/dalil - dalil permohonan Pemohon sebagai berikut :
1. Bahwa pada tanggal .............., Pemohon dengan Termohon melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan ( Kutipan Akta Nikah Nomor tanggal .............. ); 2. Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon bertempat tinggal di rumah ............., selama pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri namun belum dikaruniai keturunan ;
3. Bahwa Pemohon hendak menikah lagi (polygami) dengan seorang perempuan : Nama
:
Umur
:
Pekerjaan
:
Tempat kediaman di
:
tahun, agama Islam
Dusun ... RT. ... RW. ... Desa ... Kecamatan ...
Kabupaten Malang, sebagai "calon istri kedua Pemohon"; yang akan dilangsungkan dan dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama , karena isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, isteri tidak dapat melahirkan keturunan, Oleh karenanya Pemohon sangat khawatir akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh norma agama apabila Pemohon tidak melakukan polygami.
4. Bahwa Pemohon mampu memenuhi kebutuhan hidup isteri-isteri Pemohon beserta anak-anak, karena Pemohon bekerja sebagai
dan mempunyai penghasilan setiap
harinya / bulannya rata-rata sebesar Rp. ,- ( rupiah);
5. Bahwa Pemohon sanggup berlaku adil terhadap isteri-isteri Pemohon; 6.
Bahwa antara Pemohon dan Termohon selama menikah memperoleh harta sebagai berikut :
7. Bahwa Termohon menyatakan rela dan tidak keberatan apabila Pemohon menikah
lagi dengan calon isteri kedua Pemohon tersebut;
8. Bahwa calon isteri kedua Pemohon menyatakan tidak akan mengganggu gugat harta benda yang sudah ada selama ini, dan tetap menjadi milik Pemohon dan Termohon;
9. Bahwa orang tua Calon Isteri Kedua Pemohon menyatakan rela atau tidak keberatan apabila Pemohon menikah dengan anaknya;
11. Bahwa antara Pemohon dengan calon isteri kedua Pemohon tidak ada larangan melakukan perkawinan, baik menurut syariat Islam maupun peraturan perundangundangan yang berlaku, yakni :
a. Calon isteri kedua Pemohon dengan Termohon bukan saudara dan bukan sesusuan, begitupun antara Pemohon dengan calon isteri kedua Pemohon; b. Calon isteri kedua Pemohon berstatus perawan dalam usia ... tahun dan tidak terikat pertunangan dengan laki-laki lain; c. Wali nikah calon isteri kedua Pemohon (ayah Pemohon II bernama X, umur tahun, warga negara Indonesia, agama Islam, pekerjaan X, tempat kediaman di .nya) bersedia untuk menikahkan Pemohon dengan calon isteri kedua Pemohon;
12. Bahwa berdasarkan uraian dalil tersebut diatas permohonan Pemohon telah memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4 dan 5 serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan;
Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta Timur segera memanggil pihak-pihak dalam perkara ini, selanjutnya memeriksa dan mengadili perkara ini dengan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon; 2. Menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi (polygami) dengan calon isteri kedua Pemohon bernama ; 3. Menetapkan harta sebagaimana terurai dalam posita nomor 7 di atas adalah harta bersama Pemohon dan Termohon ; 3. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon; 4. Atau menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya;
Demikian atas terkabulnya permohonan ini, Pemohon menyampaikan terima kasih. Wassalamu'alaikum wr. wb.
Hormat Pemohon,