PERMOHONAN IJIN POLIGAMI (Studi Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari'ah
Oleh : M. TARGHIBUL HASAN NIM. 21107013
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA TAHUN 2012
MOTTO
”KUNCI TERCAPAINYA KESUKSESAN ADALAH BELAJAR DAN BELAJAR DARI KEGAGALAN”
”JANGAN MENJADI ORANG PANDAI JIKA TAK PERNAH MAU BELAJAR”
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Ø
Tuhan Yang Maha Esa
Ø
Untuk Bapak dan Ibuku tercinta Haji Ahmad Said dan Nayiroh yang selalu memberikan dukungan dan do’a
Ø
Untuk adik dan kakakku Ikul, Sahil, Maftukhin dan Salis
Ø
Dosen pembimbingku Drs. H. Mubasirun, M.Ag
Ø
Sahabat-sahabatku di UKM SSC STAIN Salatiga angkatan 2007
Ø
Sahabatku Eko Haryanto, S.PdI
KATA PENGANTAR
Bismillahir rahmanir rahim Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam pencipta langit dan bumi beserta isinya yang telah memberikan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta Banyubiru penulis sampaikan kepada pemimpin umat dan penutup para Rasul, Muhammad SAW yang telah membimbing dan mendidik manusia dari masa kegelapan menuju masa yang sangat terang benderang dengan syariatnya yang lurus. Skripsi yang berjudul “PERMOHONAN IJIN POLIGAMI (Studi Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL)” ini, Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari'a pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ) Salatiga. Dalam skripsi ini, penulis akan memaparkan: Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami, Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia
terhadap
penetapan
Pengadilan
Agama
Salatiga
No.
0525/pdt.G/2010/PA.SAL) tentang izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya dan Apa dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga menetapkan izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya kepada suami. penulis mengucapkan terima kasih kepada Yang terhormat: 1. Ketua STAIN Salatiga Bpk. DR.Imam Sutomo, M.Ag 2. Bapak Drs. H. Mubasirun, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini. 3. Segenap Hakim, Panitera, serta Pegawai Pengadilan Agama Salatiga yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
4. Untuk Bapak dan Ibuku tercinta Ahmad Said dan Nayiroh yang slalu memberikan dukungan dan do’a 5. Untuk adik dan kakak ku Ikul, Sahil, Maftukhin dan Salis yang selalu memberi dukungan. 6. Untuk Ita Anjarwati yang selalu menungguku 7. Sahabat ku Eko Haryanto, S.PdI, yang telah memberikan motivasi dan memberikan masukan. sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga segala amal yang telah diperbuat akan menjadi amal saleh, yang akan mendaptakan pahala yang setimpal dari Allah SWT, kelak dikemudian hari. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.Amin.ya rabbal ‘alamin Salatiga, 15 Augustus 2012
Penulis
ABSTRAKSI
Hasan, M. Targhibul.2012. Permohonan Ijin Poligami (Studi Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Drs. H. Mubasirun, M.Ag Kata kunci: Permohonan Ijin Poligami (Studi Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL). Penelitian ini membahas tentang. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami, Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL) tentang izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya dan Apa dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga menetapkan izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya kepada suami. adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami, untuk mengetahui dasar hukum penetapan perkawinan poligami dan untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam dan Perundangundangan di Indonesia Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang digunakan adalah penelitian analisis penetapan (deskriptif analisis) dengan pendekatan yuridis empiris. Teknik pengumpulan data melalui dokumentasi, wawancara, dan obeservasi (pengamatan). Metode analisis datanya menggunakan teknik analisis deskriptif. Jenis data yang dipergunakan adalah data primer dan alternatif. Sumber data adalah sumber data primer melalui wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Salatiga dan dokumen (arsip penetapan nomor No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL), sedangkan sumber data alternatif adalah pasal 4 ayat (2) UU No.1 Th.1974 tentang Peradilan Agama dan syarat kumulatif pasal 5 ayat (1) UU No.1 Th.1974. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalam memutuskan perkara ijin poligami nomor No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL hakim telah menggunakan Kompilasi Hukum Islam. Penerapan Kompilasi Hukum Islam tersebut didukung oleh proses persidangan yang teliti dalam menilai saksi dan bukti serta persidangan tentang kewenangan mengadili dalam bidang keijin poligamian telah memenuhi seperti yang tertuang dalam UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
DAFTAR ISI
JUDUL.................................................................................................................i PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................iii PENGESAHAN KELULUSAN......................................................................iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.......................................................v MOTTO..............................................................................................................vi PERSEMBAHAN.............................................................................................vii KATA PENGANTAR.....................................................................................viii ABSTRAK.........................................................................................................x DAFTAR ISI.....................................................................................................xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...................................................................1 B. Rumusan Masalah.............................................................................6 C. Tujuan Penelitian..............................................................................6 D. Kegunaan Penelitian.........................................................................7 E. Penegasan Istilah..............................................................................7 F. Telaah Pustaka……………………………………………………..8 G. Metode Penelitian………………………………………………...10 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian................................................10 2. Sumber Data …………………………………………………..10 3. Metode Pengumpulan data .......................................................10 4. Analisis Data..............................................................................11 H. Sistematika Penulisan.....................................................................12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Poligami dalam Perspektif Islam ......................................14 1. Pengertian Poligami ………………………...............................14 2. Bentuk-bentuk Hubungan suami isteri ………………………...15 3. Dasar Hukum Poligami................................................................18 4. Alasan Poligami …….................................................................20 5. Batas Maksimal Wanita yang Dapat Dipoligami ……………... 22 B. Poligami dalam Perspektif Undang-Undang ………………………25 C. Pandangan Islam terhadap seorang Isteri yang tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami ………..27 D. Etika dan kebebasan seksual dalam Islam ………………………….29 BAB III
PAPARAN DATA
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga…..…………………36 1. Lahirnya Pengadilan Agama Salatiga..........................................36 2. Perkara di Pengadilan Agama Salatiga ……………………........38 3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Salatiga ……….………44 4. Penyelesaian Perkara Poligami di Pengadilan Agama ………... 46 B. Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/Pdt. G/2010 Tentang Diterimanya Ijin Poligami …………………….………….51 1. Permohonan Ijin Poligami Perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL ………………………51 2. Proses Penyelesaian Perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL ………………………………..53 3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim …………………………..54
4. Dasar Hukum …………………………………………………55 5. Penetapan Majelis Hakim Atas perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL ………………..55 BAB IV ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL TENTANG DITERIMANYA IJIN POLIGAMI A. Penyelesaian Terhadap Perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL ……………………………56 B. Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Menetapkan Perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL ……….63 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.......................................................................................69 B. Saran.................................................................................................71 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan Agama yang sempurna, Islam tidaklah otoriter dalam menghadapi fenomena yang ada, tetapi lebih lentur dalam konteks kemaslahatan untuk terciptanya masyarakat rahmatan lilalamin yang diridloi Allah SWT. Pernikahan merupakan peristiwa yang sakral, dan Islam mengaturnya dengan tata cara yang diatur oleh syari’at untuk memuliakan makhluknya sesuai dengan tujuan diciptakannya manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk yang lainnya. Jika ada surga di dunia maka surga itu adalah pernikahan yang bahagia, tetapi jika ada neraka di dunia adalah rumah tangga yang penuh pertengkaran dan kecurigaankecurigaan yang menakutkan diantara suami istri (Adhim, 1998:28). Allah SWT. Menciptakan manusia dengan baik, di mana Allah menciptakan seorang laki-laki dari jenisnya sendiri, agar dia merasa tentram di sisinya, kemudian Allah mengikat mereka berdua dengan tali pernikahan, kasih sayang dan cinta (AsSanan, 1998:21) Sebagaimana firman Allah SWT.:
Artinya: “Maha suci Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan semuanya baik dari apa yang ditumbuhkan di muka bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Q.S. Yasin: 36) (Departemen Agama RI, 2005:801) Dalam Islam perkawinan mempunyai tujuan yang jelas dan ada etika yang harus dijaga dan dipatuhi oleh suami sitri. Misalnya untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan (Drajat, 1982:121). Dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pernikahan dilakukan dengan tujuan untuk kebahagiaan yang kekal dan abadi. Begitu juga dalam KHI dijelaskan bahwa tujuan pernikahan yaitu Sakinah, Mawaddah, Warahmah (Abdurrahman, 1999:114). Islam membuat konsep untuk kebaikan manusia supaya kehidupannya terhormat sesuai dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri, karena rumah tangga yang bahagia dan sejahtera memang menjadi dambaan setiap orang. Ketenangan dan kebahagian yang penuh dengan rasa kasih dan sayang dalam kehidupan suami Istri perlu dipertahankan sepanjang hayatnya. Dengan demikian keluarga yang dibinanya akan muncul sebagai komponen masyarakat sesuai dengan cita-cita (Al-Quthb, 1999:116). Ketika pasangan tersebut tidak mampu lagi mengemban tanggung jawab dan menegakkan kehidupan sesuai tuntutan syariat Islam, yaitu mencurahkan kasih sayang dan mendapatkan kebahagiaan, maka dalam situasi semacam ini, pasangan tersebut tidak lagi layak meneruskan bahtera rumah tangga.
Untuk
menjaga keutuhan rumah tangga dan kebahagiaan bersama, maka apabila terjadi hal-hal yang
tidak
diinginkan,
salah
satu
pihak
harus secepatnya
mencari solusi
permasalahannya. Apabila sang istri tidak bisa memberikan keturunan atau melayani suami dengan layak, sebuah alternatif yang bisa ditawarkan oleh syari’at Islam yaitu poligami. Berkenaan dengan poligami, KHI mengatur dengan kriteria sang istri tidak
bisa memberi keturunan, tidak bisa melayani suami atau cacat badan dan sakit yang tidak bisa disembuhkan (Al-Quthb, 1999:11). Berkenaan dengan poligami, UU No.1 tahun 1974 dalam Pasal 3 memuat beberapa ketentuan sebagai berikut : 1. Pada dasarnya dalam suatu perkawinan, seseorang hanya mempunyai seorang istri, wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 2. Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Di dalam masyarakat begitu banyak alasan yang menyebabkan sesorang melakukan poligami. Dari hal-hal yang sepele yang terkadang tidak dapat diterima dengan akal pikiran dan bertentangan dengan nilai keadilan dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan sampai kepada hal-hal yang memang diperbolehkan oleh syariat serta tidak menodai rasa keadilan dan hati nurani. Salah satunya adalah karena alasan seorang isteri tidak mampu memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri terhadap suami. Hal ini menjelaskan agar manusia tidak terjerumus ke dalam jurang yang penuh dengan kenistaan, serta membedakan antara manusia dan hewan dalam menyalurkan hasrat biologisnya (Hakim, 2000:15). Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi Tuhan dengan kecenderungan seks (libido seksualitas). Oleh karena itu Tuhan menyediakan wadah yang legal untuk terselenggaranya penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat kemanusiaan. Akan tetapi, perkawinan tidaklah semata-mata dimaksudkan untuk menunaikan hasrat biologis tersebut. Rumusan tujuan perkawinan diatas dapat diperinci sebagai berikut:
1. Menghasilkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat manusia.
2. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih. 3. Memperoleh keturunan yang sah.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan. Dalam syari’at Islam lebih disukai bila laki-laki hanya mempunyai seorang isteri, bahkan kalau mungkin ia tetap mempertahankannya sampai akhir hayatnya. Perkawinan yang diajarkan Islam harus menciptakan suasana yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Suasana yang sulit dilaksanakan seandainya seorang laki-laki memiliki lebih dari seorang (Hakim, 2000:113). Poligami merupakan salah satu bentuk aturan hidup yang ada sebelum Islam. Biasanya, poligami dilakukan oleh orang-orang perkasa atau memiliki kekuasaan, seperti para raja dan atau para panglima perang. Tradisi poligami kala itu dijadikan sebagai bentuk keperkasaannya seseorang. Banyak para raja yang memiliki banyak isteri dan selir. Hal ini sudah lumrah dilakukan oleh kaum-kaum terdahulu sebelum Islam datang (Husein, 1999:2). Poligami bukanlah suatu hal yang dianjurkan dalam agama Islam, sebaliknya juga bukan merupakan suatu larangan. Tetapi Islam memberikan peluang untuk berpoligami sebagai upaya untuk mengatasi kepentingan yang bertalian dengan kemaslahatan masyarakat dan para pelakunya dan bukan sebagai ajang coba-coba atau sekedar untuk menyalurkan seks semata. Poligami adalah rahmat Allah SWT. kepada manusia yang telah disediakan untuk mengatasi kesulitan dan merupakan jalan keluar bagi mereka yang belum atau tidak menemukan tujuan yang didambakan dalam perkawinan baik yang pertama maupun yang selanjutnya. Dan Islam tidak sepenuhnya
menghapus poligami, walaupun Islam menghapus poliandri. Alih-alih itu Islam membatasinya sampai empat orang isteri. Lagi pula Islam menetapkan syarat dan batasannya, dan tidak mengizinkan setiap orang mempunyai beberapa isteri (Muthahari, 2003:217). Meski Islam sudah mengatur masalah ini, namun kerap kali timbul permasalahan dari sebagian orang yang berpoligami. Hal ini bisa terjadi karena para isteri yang tidak pandai merebut hati suami, atau karena ketidaktahuan dan kesalahan suami dalam menginterpretasikan hukum tersebut sehingga dapat mendorong suami memperlakukan isteri-isterinya dengan tidak adil (Muthahari, 2003:6). Dengan alasan-alasan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikabulkannya permohonan izin poligami di Pengadilan Agama, maka yang menjadi perhatian penulis ialah tentang izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu memenuhi kewajibanya kepada suami, hal (alasan) tersebut menjadi pertanyaan penulis, apakah ketidakmampuan seorang isteri dalam memenuhi kewajiban terhadap suami itu dapat diqiyaskan dengan syarat yang ada dalam pasal 4 ayat (2) sub (b) UU No. 1 Tahun 1974 yaitu “Apabila isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan”, dan terlebih lagi seorang isteri tidak sanggup menjalankan kewajibanya kepada suami, dan suami telah mengetahuinya. Dan selama itu pula si isteri dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri dengan dikaruniai 5 orang anak. Akan tetapi Pengadilan Agama Salatiga memutuskan untuk menerima dan mengabulkan permohonan poligami tersebut. Untuk mengetahui keadaan sebenarnya dalam menyelesaikan perkara tersebut maka penulis perlu mengadakan penelitian dan analisa dalam skripsi dengan judul: Permohonan Ijin Poligami (Studi Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL)
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang ada diatas, agar lebih praktis maka dalampenelitian dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami? 2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL) tentang izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya? 3. Apa dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga menetapkan izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya kepada suami? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami 2. Untuk mengetahui dasar hukum penetapan perkawinan poligami 3. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia D. Manfaat penelitian Studi ini diharapkan sekurang-kurangnya dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara teoritis : untuk menambah hazanah keilmuan mengenai izin poligami. Maka dengan itu dapat dijadikan salah satu bahan untuk melakukan kajian atau penelitian lanjutan bagi akademis atau penelitian berikutnya. 2. Secara praktis : dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tentang izin poligami yang mungkin terjadi dikemudian hari. Bagi praktisi hukum, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sebuah kontribusi pemikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan sebagai masukan bagi para pejabat yang
berkompeten dalam menangani dan melaksanakan tugasnya, khususnya hakim Pengadilan Agama Salatiga. E. Penegasan istilah Untuk memahami judul sebuah skripsi perlu adanya pendefinisian judul secara operasional agar dapat diketahui secara jelas dan Untuk menghindari terjadinya kesalahfahaman dalam pengertian maksud dari judul di atas, maka penulis memberikan definisi yang menunjukkan ke arah pembahasan sesuai dengan maksud yang dikehendaki dengan maksud dari judul tersebut adalah sebagai berikut : 1. Poligami : Ikatan perkawinan di mana salah satu pihak mempunyai atau menikah beberapa lawan jenis (Sudarsono, 1999:148). Suatu perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama (Soemiyati, 1999:74). 2. Hukum Islam : Peraturan yang bersumber dari hukum fiqih yang berdasarkan 3. Menurut Bapak Drs. H. Musaddad Zuhdi Wawancara pada hari selasa, 4 Desember 2012 jam 12.30 WIB. “Penetapan : Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum dari Pengadilan Agama Salatiga”. 4. Pengadilan Agama Salatiga : Badan peradilan khusus untuk orang beragama Islam dalam lingkup wilayah Kota Salatiga yang memeriksa dan memutus tentang perceraian, talak, waris, wasiat, wakaf, hibah dan lain-lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. F. Tinjauan pustaka Dalam pembahasan mengenai poligami. Penulis dalam penelitian ini akan mengacu pada beberapa literatur, baik berupa buku maupun skripsi. Beberapa buku yang dianggap dapat mewakili dan dijadikan referensi dalam penyusunan skripsi ini, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. DR. Musfir Aj-Jahrani (1996) dalam bukunya yang berjudul Poligami dari Berbagai Persepsi. Dalam buku ini dijelaskan tentang definisi, jenis, sejarah dan hikmah poligami. Disamping itu juga dijelaskan tentang berbagai pendapat ulama terkait dengan poligami. 2. DR. Abdul Nasir Taufiq Al ‘Atthar (1976) dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Dra. Chadidjah Nasution dengan judul Poligami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial Dan Perundang-Undangan. Dalam buku ini dijelaskan tentang tinjauan agama, sosial, dan perundang-undangan terhadap poligami. Lebih menarik buku ini menjelaskan tentang berbagai argumen beberapa pihak yang pro dan kontra terhadap poligami dan mensinergikan antara poligami dengan tatanan sosial dalam masyarakat. 3. Haidar Abdullah (2003) dalam bukunya yang berjudul Kebebasan Seksual dalam Islam. Buku inimenjelaskan tentang etika seksual dalam Islam disamping mendeskripsikan tentang etika seks yang dianut oleh dunia barat. Dijelaskan pula tentang asas monogamy dan poligami dalam perkawinan. Menariknya buku ini mengkorelasikan poligami dengan kontrol populasi masyarakat. 4. Michele Weiner Davis (2004) dalam bukunya “The Sex-Starved Marriage, A Couple ‘s guide to Boosting Their Marriage Libido” yang kemudian diterjemhkan oleh Susi Purwoko dengan judul yang sama. Dalam buku ini dijelaskan secara gambling tentang pernikahan dan problema seksnya. Dipaparkan juga tentang petunjuk bagi para lelaki yang mempunyai libido seks yang rendah dan tinggi. Buku ini dijadikan pedoman untuk mendapatkan gambaran tentang hiperseks dan mencari solusinya. 5. dr Boyke Dian Nugraha, DSOG dengan bukunya yang berjudul “Problema Seks dan Organ Intim”. Dalam bukunya dijelaskan tentang berbagai persoalan kelainan seks
dan dampak yang ditimbulkan, serta berusaha menyodorkan solusinya, seperti onani, gay, keperawanan, WTS, biseks, hiperseks, alat kelamin, dan lain-lain. Buku ini seolah menjadi penjelas bahwa hiperseks merupakan salah satu kelainan atau problema seksual. 6. Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu: a. adanya persetujuan dari istri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material); c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial). Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan G. Metode Penulisan Skripsi a. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yakni sebuah penelitian yang menggunakan informasi yang diperoleh dari buku atau kutipan dengan mengkaji penetapan hakim Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL b. Sumber Data 1. Sumber Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen, yaitu penetapan hakim No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL tentang isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya kepada suami sebagai salah satu alasan di diperbolehkannya poligami. 2. Sumber Data Skunder Sumber data skunder yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah bukubuku penunjang yang berkaitan dengan skripsi ini. 3. Metode Pengumpulan Data a) Dokumentasi Pengumpulan data dokumentasi diperlukan karena sumber data tidak hanya tempat dan orang, tetapi juga ada arsip – arsip dan dokumen,. Oleh karena itu, penulis menggunakan metode documenter (Arikunto, 1998:236). yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa tulisantulisan, buku, artikel-artikel yang relevan dengan tema penulisan skripsi ini. Dokumentasi utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar penetapan PA No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL b) Study kepustakaan (library) Yaitu sebuah tehnik pengumpulan data melaui kepustakaan yakni dengan membaca dan mengkaji antara satu buku dengan buku yang lainnya, ini dimaksudkan untuk menggali data literatur yang dapat dipastikan sebagai landasan teoritis bagi permasalahan yang dibahas. 4. Metode Analisis Data Dalam menganalisis data penulis menggunakan metode Content Analisys,(Muhadjir, 1996:46). yakni mengnganalisis mengenai isi dari sebuah
keputusan. Segala pendekatan dalam skripsi ini penulis menggunakan pendekatan tekstual yuridis (Muhadjir, 1996:159-160). Yaitu suatu cara pendekatan maslah dengan meneliti dan mengkaji yang berdasarkan pada teksteks yang mempunyai relevansi dengan permaslahn yang sedang di bahas baik berupa kitab suci al-Qur’an, al-Hadits, kitab-kitab keagamaan maupun bukubuku kepustakaan lainnya
H. Sistematika Penulisan Skripsi Sebagai karya ilmiah skripsi ini disusun dengan menggunakan sistematika tertentu sehingga secara global materi penulisan terbagi menjadi beberapa bab, yang secara keseluruhan dikemukakan sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan Bab ini adalah bagian pembuka yang memuat Latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penulisan skripsi, dan sistematika penulisan skripsi. BAB II : Ketentuan Umum Tentang Poligami dalam Islam Bab ini berisi pengertian umum Poligami (Pengertian, dasar hukum, alasanalasan poligami), Pandangan Islam terhadap poligami dan Pandangan Islam terhadap seorang Isteri yang tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami. Bab ini merupakan landasan teori yang dipergunakan untuk melangkah ke bab selanjutnya. BAB III : Gambaran Umum Pengadilan Agama Kota Salatiga dan Penetapan No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL Pada bab ini penulis mengemukakan kedalam tiga sub bab, yaitu sekilas gambaran
dan kompetensi PA Salatiga, Penetapan PA Salatiga tentang
diperbolehkannya poligami karena alasan Isteri tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami dan isi amar penetapan serta dasar penetapan PA Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL BAB IV : Analisis Penetapan PA Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL tentang diperbolehkannya Poligami dengan alasan Isteri tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami. Pada bab ini penulis akan menganlisis beberapa permasalahan tentang putusan isi
amar
serta
dasar
penetapan
Pengadilan
Agama
Salatiga
No.
0525/pdt.G/2010/PA.SAL, yang memperbolehkan poligami dengan alasan suami Isteri tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami
dan
akan
dikemukakan
pula
pandangan
penulis
tentang
diperbolehkannya poligami dengan alasan Isteri tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami. BAB V: Penutup berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Poligami dalam Perspektif Islam 1. Pengertian Poligami Kata Poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata Poli atau Polus yang artinya banyak, dan kata gamain atau gamus yang berarti kawin atau perkawinan, maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Namun dalam Islam poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan umumnya dibolehkan sampai empat wanita ( Nasution, 2002:284). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami diartikan dengan ikatan perkawinan dimana yang laki-lakinya boleh mengawini beberapa wanita dalam
waktu yang sama (Departemen P dan K, 1994:261). Poligami juga diartikan sebagai perkawinan lebih dari seorang istri (Mujib, 1994:261). Menurut Ny. Soemiyati,SH, poligami diartikan sebagai perkawinan antara seorang laki-laki dengan wanita lebih dari seorang dalam jangka waktu yang sama (Soemiyati, 1999:47). Dalam pengertian umum yang berlaku dimasyarakat, perkawinan poligami itu diartikan dengan perkawinan seorang laki-laki dengan banyak wanita.
2. Bentuk-bentuk Hubungan Suami Isteri Di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa bentuk hubungan suami isteri antara lain; poligami, yaitu seorang suami yang memiliki banyak istri, poliandri, seorang istri yang memiliki banyak suami, dan gabungan antara poligami dan poliandri. Di samping itu ada peraturan suami istri tunggal (monogami) dan juga Free Sex yang melegalisasi wanita bebas bagi laki-laki tanpa perkawinan yang sah (Aj-Jahrani, 1996:32). Adapun penjelasan mengenai bentuk-bentuk hubungan suami isteri tersebut adalah sebagai berikut: a. Seorang Suami Memiliki Banyak Istri (Poligami). Peraturan perkawinan poligami sudah dikenal sebelum Islam
di
setiap masyarakat yang berperadaban tinggi maupun masyarakat yang masih terbelakang, baik penyembah berhala maupun bukan. Dalam hal ini, seorang laki-laki diperbolehkan menikah dengan lebih dari seorang istri. Aturan seperti itu sudah berlaku sejak dahulu pada masyarakat Cina, India, Mesir,
Arab Persia, Yahudi, Sisilia, Rusia, Eropa Timur, Jerman, Swiss, Austria, Belanda, Denmark, Swedia, Inggris, Norwegia, dan lain-lain (Aj-Jahrani, 1996:34). Di kalangan Arab sebelum Islam, seorang laki-laki berhak menikahi sejumlah wanita yang dikehendaki tanpa ikatan maupun syarat. Di dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Ghailan bin salamah ats-Tsaqafi ketika masuk Islam masih memiliki sepuluh orang istri, Naufal bin Mu’awiyah memiliki lima orang istri, dan Tsabit bin Qais memiliki delapan orang istri sebelum memeluk Islam. Masyarakat Yahudi pun membolehkan poligami tanpa batas jumlah wanita yang di nikahinya.Di dalam Taurat diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. memiliki 700 orang istri wanita merdeka dan 300 orang istri dari kalangan budak; dan Nabi Daud a.s. memiliki 99 orang istri. Dengan demikian dapat dikatakan secara umum, bahwa poligami telah dikenal pada berbagai bangsa sebelum Islam tanpa batasan ataupun ikatan. Umat manusia berbeda dalam membatasi jumlah istri sehingga muncullah aturan liki di Cina bahwa seorang laki-laki boleh menikahi wanita hingga 130 orang. Selain itu, raja-raja bangsa Khazar meperbolehkan seorang laki-laki memiliki istri hingga 25 orang. Dalam masyarakat tertentu, poligami tidak dibatasi, sedangkan dalam masyarakat lain dibatasi jumlahnya. Dalam masyarakat dunia ketiga, para pengusaha tidak dibatasi oleh ketetapan jumlah istri yang telah ditentukan. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa praktik poligami banyak terjadi di kalangan masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Poligami jarang terjadi di lingkungan masyarakat yang terbelakang karena mereka
telah terbiasa
memiliki seorang
istri (monogami),
terutama
yang
pekerjaannya berburu dan mengumpulkan buah-buahan. Banyak kalangan ulama berpendapat bahwa poligami berkembang seiring dengan laju perkembangan budaya dan peradaban suatu masyarakat (Aj-Jahrani, 1996:36). b. Seorang Istri Memiliki Banyak Suami (Poliandri). Dalam sistim perkawinan poliandri, banyak laki-laki dibolehkan mengawini seorang istri dan itu merupakan hak mereka yang diakui oleh masyarakat. Poliandri banyak terjadi di daerah selatan dan utara India dan di beberapa wilayah Rusia. Di daerah India, kakak beradik boleh mengawini bersama seorang wanita. Jika laki-laki tertua menikahi seorang wanita, maka saudara laki-lakinya yang lain turut memiliki wanita tersebut. Pemuda yang tidak memiliki saudara-saudara akan sulit mendapatkan pasangan hidup. Di dalam komunitas masyarakat India, seorang wanita boleh memiliki lima, enam, atau sepuluh orang suami. Bahkan, dia boleh bersuami lebih dari sepuluh laki-laki dengan syarat laki-laki yang bersangkutan bersaudara atau masih memiliki hubungan kekerabatan. c. Gabungan Poligami dengan Poliandri Jenis perkawinan yang menggabungkan poligami dan poliandri terjadi pada golongan tertentu dari laki-laki menggauli golongan tertentu dari wanita sebagai suami istri dengan hak yang di akui antara mereka. Perkawinan seperti ini terjadi dalam masyarakat primitif, seperti masyarakat daerah pegunungan Tibet, pegunungan Himalaya India, dan Australia.
Di daerah-daerah tersebut tidak jarang juga terjadi seorang laki-laki yang menggauli adik dan kakak sendiri. Perkawinan yang seperti itu mereka namakan sebagai perkawinan persaudaraan yang terbagi dalam dua jenis, yaitu: 1) Diperbolehkanya laki-laki mengawini beberapa wanita, baik saudaranya sendiri maupun orang lain. 2) Diperbolehkannya seorang laki-laki mengawini saudaranya sendiri demi persaudaraan seperti yang terjadi di kepulauan Polinesia dan India. Di selatan India, yaitu di masyarakat suku Taudan, jika seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki, maka dia sekaligus menjadi istri dari adik-adik suaminya. Dan mereka juga sekaligus menjadi suami dari adik-adik wanita tersebut. Anak pertama yang lahir bernasab kepada saudara tertua, dan anak kedua bernasab kepada adiknya, begitu seterusnya. 3. Dasar Hukum Poligami a. Dasar Hukum Poligami dalam Al-Qur’an Islam sebagai syari’at terakhir, universal serta merupakan rahmat bagi seluruh alam telah mengabsahkan poligami yang telah berjalan jauh sebelumnya. Hanya saja pengabsahan ini disertai dengan pembatasan dan persyaratanpersyaratan tertentu, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT, surat An-Nisa ayat 3 :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak bisa berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya). Maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(QS. An Nisa: 3) (Departemen Agama RI, 1999:115). Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan kamu sekali-kali kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”.(QS. An Nisa: 129) (Departemen Agama RI, 1999:143-144). b. Dasar Hukum Poligami dalam Hadits Bagi mereka yang berpoligami tetapi tidak berlaku adil berarti mereka telah melakukan tindak kezaliman. Nabi memberikan gambaran (ancaman) terhadap mereka yang zalim seperti dalam sabdanya :
(Abu al-Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisabury, 1992:1902)
Hadis ini menginformasikan bahwa seorang suami yang berpoligami tidak adil terhadap para isterinya akan menjadi pincang sebagai tanda yang tidak bisa diingkari nanti di hari pembalasan. Meskipun hukuman ini bersifat moral, tetapi seorang yang memiliki kualitas ketaqwaan yang baik tidak akan melakukan kezaliman tersebut 4. Alasan Poligami Islam merupakan aturan yang sesuai dengan fitrah dan diciptakannya manusia
dan
sejalan
kepentingan
kehidupannya.
Islam
juga
sangat
memperhatikan moralitas manusia, memelihara kebersihan masyarakat, serta mencegah timbulnya materialisme yang mendorong terjadinya kerusakan ahlak dan masyarakat. Allah SWT menjadikan usrah (keluarga sebagai tonggak kehidupan), kaidah
pembangunan,
asas
pertumbuhan
sosial
kemasyarakatan,
dan
perkembangan peradaban. Demikian Allah mengokohkan bangunan keluarga dan masyarakat dengan pondasi yang kuat untuk melindungi keluarga dari apa yang
dapat
melemahkannya,
diantara
kaidah-kaidah
tersebut
adalah
disyariatkannya poligami, Islam membolehkan seorang muslim menikahi perempuan hingga empat orang dengan syarat hal itu bukan hanya dituturkan sebagai sarana mengumbar hawa nafsu laki-laki (Aj-Jahrani, 1996:66). Menurut Abdurrahman, ada beberapa alasan berpoligami yang diterima di antaranya adalah: a. Mengikuti Rasullullah tatkala wajar beliau meninggalkan seorang isteri tanpa ada keraguan. Rasullah adalah teladan yang baik bagi kaum muslimin dalam semua urusan kecuali hal yang dikhususkan bagi beliau.
b. Bila istri menderita suatu penyakit yang berbahaya, seperti lumpuh, ayan atau penyakit menular lainnya. c. Bila istri lanjut usia dan sedemikian lemahnya sehingga tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai istri. d. Bila suami mendapatkan bahwa istrinya memiliki sifat buruk dan tidak dapat diperbaiki lagi. e. Bila istri terbukti mandul setelah melalui pemeriksaan medis, serta istri sakit ingatan. f. Bila istri pergi dari rumah suaminya dan membangkangnya serta suami sulit untuk memperbaikinya. g. Pada masa perang dimana kaum laki-laki banyak yang terbunuh meninggalkan wanita yang sangat banyak jumlahnya. h. Selain hal-hal tersebut di atas, bila seorang laki-laki (suami) itu merasa bahwa dia tidak dapat bekerja tanpa adanya istri kedua serta dia memiliki harta yang cukup untuk membiayainya, maka sebaiknya ia mengambil istri yang lain (Abdurrahman, 1990:211). Sedangkan menurut undang-undang, alasan diperbolehkannya poligami telah diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974. 5. Batas Maksimal Wanita yang Dapat Dipoligami Kita telah mengerti bahwa Al-Qur’an menetapkan berlakunya poligami Al-Qur’an juga memberikan batasan tentang jumlah wanita yang boleh dipoligami. Dalam menetapkan poligami serta merumuskan batas-batasnya, Islam mempunyai tujuan jangka panjang, yaitu meratakan kesejahteraan keluarga, dan untuk menjaga ketinggian nilai dari masyarakat Islam dan
meningkatkan budi pekerti kaum muslimin (Al-Atthar, 1976:194). Adapun mengenai batas-batas poligami adalah sebagai berikut : a. Pembatasan jumlah istri dalam poligami Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3, memberikan pembatasan dalam hal berpoligami yaitu dua, tiga atau empat dan tidak boleh melebihi dari jumlah tersebut. Barang siapa yang khawatir akan tidak berlaku adil kalau sampai empat, supaya dicukupkannya sampai tiga saja , dan kalau tiga itupun masih khawatir akan tidak berlaku adil, supaya dicukupkan dua saja, dan kalau yang dua itu pun masih juga dikhawatirkan akan tidak adil, maka hendaklah menikah dengan seorang saja. Oleh karena itu, barang siapa yang masih ingin lebih dari empat istri, maka tidak ada jalan lagi baginya dalam Islam, kecuali kalau dia berani melanggar batas-batas yang dititipkan oleh Allah SWT dan mengerjakan yang haram. Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang penafsiran an-Nisa’ ayat 3 tersebut, antara lain: 1) Kelompok yang menafsirkan bahwa kawin berapapun jumlahnya diperbolehkan. Kelompok ini berpendapat, pertama, kalimat “an-Nisa’” dalam ayat tersebut menunjukkan pemahaman bilangan-bilangan tanpa batas. Kedua, kalimat matsna, tsulasta, dan ruba’ pada ayat tersebut tidak layak dijadikan alasan untuk mentakhshish (membatasi) bilangan perempuan yang boleh dikawini dari kalimat nisa’ , yang tergolong kalimat ‘am (menunjukan bilangan umum). Pemahaman yang mengatakan bahwa
wanita yang boleh dikawini itu hanya sebatas empat saja kurang tepat. Karena hanya mengkhususkan sebagian(menyebutkan 2,3 dan 4), bukan berarti hukum sebagian lain (bilangan lebih dari empat) tidak berlaku lagi. Ketiga, huruf wawu disana mengindikasikan penjumlahan sehingga kawin sampai sembilan (2+3+4) bahkan delapan belas (2+2+3+3+4+4) pun dipandang absah-absah saja. Keempat, alasan ini diperkuat dengan hadits yang menganjurkan untuk senantiasa mengikuti apa yng dilakukan oleh Rasulullah SAW. Padahal, Rasul kawin lebih dari empat. Dengan demikian, kawin lebih dari empat adalah termasuk sunnah yang dianjurkan Rasul. 2) Kelompok yang membatasi kebolehan mengawini wanita hanya sampai empat. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada kisah seorang sahabat yang bernama Ghailan. Sebelum masuk Islam, ia mempunyai sepuluh orang istri. Setelah Ghailan masuk Islam, Rasulullah menyuruh untuk menetapkan istrinya hanya sampai empat saja. Sedangkan yang lainnya diceraikan atas perintah Rasul. 3) Kelompok yang melarang poligami. Kelompok ini mewakili ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh yang berpendapat bahwa poligami hukumnya tidak boleh. Kelompok ini berasalan bahwa di zaman modern ini sulit bahkan tidak ada orang yang bisa berlaku adil kepada istri-istri mereka (Yasid, 2005: 346-350). Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya ialah supaya suami datang ketempat istrinya sedikitnya sekali empat hari, dan mungkin hal ini sesuai dengan peredaran bulanan dalam mens wanita, karena
biasanya menstruasi itu lamanya satu minggu dalam satu bulan, jadi seorang laki-laki meninggalkan istrinya yang dalam keadaan menstruasi dan pergi ke rumah yang lain yang ahkirnya pada minggu keempatnya dia datang lagi dan menemukan istrinya dalam keadaan suci (Yasid, 2005: 196). Pembatasaan ini untuk menjadi alasan bagi seorang laki-laki yang senang dengan wanita karena jumlah empat ini sudah dapat mencukupi bermacam-macam jenis wanita, menurut biasanya dan seorang laki-laki berhak utuk memilih istrinya yang tinggi, yang rendah, yang kurus dan yang gemuk atau yang putih, yang sawo matang, yang kuning dan yang kemerahmerahan atau yang beragama , yang cantik, yang kaya dan yang bangsawan atau yang tabi’atnya kasar, halus, suka menurut dan yang tengah-tengah. b. Kriteria wanita yang bisa di poligami Ajaran Islam tidak melupakan ekses yang timbul dari poligami itu, terutama bahwa poligami itu membangkitkan perasaan cemburunya wanita, Islam menetapkan poligami untuk memelihara keluarga muslim dan memelihara kaum wanita. Oleh sebab itu agama Islam melarang seorang laki-laki mengumpulkan dua orang wanita yang kakak beradik, atau ibu dan anaknya, atau seorang wanita dengan saudara ayahnya atau dengan saudara ibunya untuk dipoligam. Dengan demikian keluarga muslim itu dapat memelihara berlangsungnya kasih sayang di dalamnya, dan mempersempit pengaruh perasaan cemburu agar tidak sampai melewati wanita-wanita yang dimadu itu, dan bukan menjadi alat untuk memutuskan silaturrohim antara anggota-anggota keluarga yang dekat dan yang jauh (Yasid, 2005: 198).
B. Poligami dalam Perspektif Undang-Undang Menurut Undang-Undang Perkawinan pasal 4 (2), poligami boleh dilakukan oleh seseorang dengan alasan: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan (Rofiq, 2000:171). lihat juga pasal 57 KHI jo. ps. 41a PP). Karena pada prinsipnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, maka poligami diperbolehkan apabila memenuhi syaratsyarat yang telah termuat dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 4 (1), yang isinya sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berbuat adil terhadap istri-istri dan anakanak. Yang dimaksud adil di sini adalah, bahwa setiap istri berhak mendapatkan hak-haknya dari suaminya, berupa kemesraan hubungan jiwa, dan nafkah berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal dan lain-lain, yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada setiap suami. Dalam hal ini, sama saja haknya, istri satu-satunya, atau salah seorang dari dua, tiga, atau empat istri. Dan kalau istri-istri itu banyak, maka suami bertugas supaya berlaku adil antara
mereka, karena dalam suasana poligami itu, istri-istri itu sama haknya terhadap kebaikan suami (Al-Attar, 1976:193). Adil antara istri-istri, apabila penulis cermati itu hukumnya adalah wajib, berdasarkan ayat Al-Qur’an (yang telah kita kemukakan diatas), dan juga berdasarkan Sunnah Nabi SAW. dan ijma’, pendapat yang telah disetujui oleh ulama-ulama muslimin. Adapun perkawinan yang dilarang, juga telah dijelaskan dalam UndangUndang Perkawinan pasal 8, antara lain: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas. 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau bapak tiri. 4. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan. 5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. 6. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin (Abdurrahman, 1990:67).
C. Pandangan Islam terhadap seorang Isteri yang tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami Ada beberapa faktor yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi kemampuan seksualitas seseorang diantaranya adalah faktor biologis, misalnya
hormon, obat-obatan dan penyakit. Disamping itu, kita juga dapat mempelajari bagaimana tubuh manusia bekerja selama melakukan hubungan seks. Dari faktorfaktor tersebutlah manusia bisa memahami “mesin seksual” seseorang yang sedang bekerja dengan baik atau tidak dan apa yang menyebabkan hal tersebut. Ketika tubuh tidak berfungsi dengan benar dan seks tidak menjadi pengalaman yang bisa dinikmati, mudah sekali terlihat mengapa pada akhirnya seseorang berhenti menginginkannya. Kenyataannya banyak orang yang mengalami masalah seksual. Menurut suatu kajian besar yang diterbitkan dalam Journal of the American Medical Association, hampir sepertiga wanita Amerika berkata bahwa mereka tidak mengalami orgasme secara teratur, dan 23 persen mengatakan tidak menikmati seks. Sekitar sepertiga pria Amerika mengatakan mereka selalu mengalami masalah ejakulasi dini. Secara keseluruhan, 43 persen wanita dan 31 persen pria mengatakan bahwa mereka memiliki satu atau lebih masalah seks (Michele, 2004:47). Berikut ini adalah di antara beberapa masalah seksual yang bisa mempengaruhi gairah seksual. 1. Masalah pada rangsangan Wanita yang mengalami masalah pada rangsangan seksual tidak merasa gembira atau nikmat ketika dirangsang secara seksual. Mungkin ini disebabkan oleh tidak memadainya rangsangan. Pasangannya tidak mengetahui cara menyentuh untuk membuatnya terangsang atau ia tidak cukup mengenal tubuhnya agar bisa memberi intruksi pada pasangannya. Atau oleh faktor-faktor fisiologis, misalnya kurangnya aliran darah ke daerah alat kelamin atau ketidakmampuan untuk melumasi vagina dengan cukup.
2. Masalah pada orgasme Ketika wanita mengalami kelainan orgasme, mereka tidak mampu mencapai orgasme setelah rangsangan atau gairah seksual yang memadai dilakukan. Termasuk di dalam kategori ini adalah wanita yang tidak pernah mengalami orgasme, serta mereka yang mengalami masalah orgasme secara terus menerus atau berulang. 3. Kelainan nyeri seksual Kelainan nyeri seksual termasuk Dispareunia (nyeri kelamin yang terus menerus atau berulang yang menyertai hubungan seksual) dan Vaginismus (kejang tidak disengaja pada dinding vagina secara terus menerus atau berulang yang mengganggu terjadinya penetrasi atau hubungan seksual). 4. Kelainan ejakulasi Keluhan seksual nomor satu pada pria adalah ejakulasi dini. Ketika ejakulasi terjadi sebelum atau segera sesudah penetrasi, pria yang mengalami ejakulasi dini seakan-akan merasa hanya sedikit atau sama sekali tidak memiliki kendali atas ejakulasinya. Karena kinerja seksual selama melakukan hubungan seringkali menjadi tolak ukur pria dalam mengukur kekuatan seksualnya, maka ejakulasi dini inilah yang sering kali memunculkan rasa malu, frustasi dan kadang terjadi penghindaran terhadap hubungan seksual. 5.
Disfungsi ereksi Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan seseorang untuk mencapai atau mempertahankan ereksi cukup lama untuk mencapai hubungan seks yang saling memuaskan. Kelainan ini cukup umum terjadi, dan kebanyakan
pria mengalaminya pada suatu saat dalam kehidupan mereka. Kecuali jika kelainan ini bersifat kronis atau berulang, biasanya kelainan ini tidak menjadi masalah. Penuaan usia lebih memungkinkan terjadinya disfungsi ereksi. 52 persen pada pria berusia empat puluh tahun sampai tujuh puluh tahun tidaklah berarti bahwa disfungsi ini tidak bisa dihindari, bahkan pada pria berusia tujuh puluh atau delapan puluh tahun. D. Etika dan kebebasan seksual dalam Islam Berbeda dengan barat, Islam memandang seks sebagai sebuah naluri manusia. Seperti yang dikutip Abu Fathan dalam bukunya, Fikr al-Islam, Muhammad Ismail Mengatakan, “Dalam diri manusia terdapat suatu potensi kehidupan atau kebutuhan hidup (thaqat al-hayawiyyah)”. Potensi kebutuhan ini senantiasa mendorong manusia melakukan perbuatan dan menuntut pemuasan. Bentuk manifestasinya ada dua macam, yaitu : 1. Kebutuhan yang menuntut adanya pemenuhan yang tidak dapat di tunda, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka matilah manusia. Manifestasi semacam itu disebut kebutuhan jasmani atau Hajat al-‘Udhawiyah. Contohnya: makan, minum, bernafas, buang hajat dan sejenisnya. 2. Kebutuhan yang menuntut adanya pemuasan. Jika tidak terpenuhi maka tidak menimbulkan kematian pada manusia. Hanya saja ia akan mengalami kegelisahan sampai terpenuhinya kebutuhan tersebut. Manifestasi semacam ini disebut naluri atau gharizah yakni aktifitas yang berupa getaran-getaran perasaan alamiah yang mendorong adanya tuntutan pemuasan (Fathan, 2004:23). Adapun Gharizah jenisnya yaitu ada tiga:
a. Gharizat al-Baqa’ atau naluri untuk mempertahankan diri. Setiap manusia pasti mempunyai naluri ini, baik secara nyata, seperti nekad menghadapi kawanan perampok, mengendalikan setir bila mobilnya akan menabrak maupun penampakan secara halus seperti mendebat pendapat orang yang bertentangan dengannya. b. Gharizat al-Tadayyun atau naluri untuk beragama atau menuhankan sesuatu. Apapun agama atau kepercayaan seseorang, mereka pasti membutuhkan “ibadah-ibadah” ritual untuk memenuhi nalurinya ini. c. Gharizat al-Nau’ atau naluri untuk mempertahankan keturunan. Ringkasnya, naluri ini adalah naluri seksual. Pelampiasannya dengan berpandangan, berpegangan sampai berhubungan seks dengan lawan jenis (Fathan, 2004:2324). Sebagaimana uraian di atas, kebutuhan jasmani dengan naluri sangat jauh berbeda. Dari segi munculnya dorongan tuntutan pemuasan keduanya juga berbeda. Dorongan terhadap kebutuhan jasmani bersifat internal. Seseorang timbul rasa ingin makan karena lapar, tidak perlu dirangsang dengan makanan yang lezat-lezat. Sedangkan dorongan munculnya gharizah adalah dari luar (Eksternal). Contohnya pemikiran atau kenyataan yang dapat di indera dan merangsang perasaan sehingga menuntut pemuasan. Gharizat al-nau’ misalnya, seseorang bisa dirangsang oleh pemikiran tenteng wanita cantik atau gambar-gambar porno sehingga ingin melakukan hubungan seks. Tanpa adanya rangsangan tersebut ia tidak akan membutuhkan pelampiasan.
Kesalahan ide barat mengenai seks, yang diwakili yang diwakili oleh pendapat Freud adalah memasukkan gharizat al-nau’ atau naluri seksual tersebut kedalam hajat al-‘udhawiyyah atau kebutuhan jasmani. Bahkan lebih dari itu, mereka menganggap naluri seks adalah sumber dari naluri-naluri lain. Memang pelampiasan naluri tersebut dilaksanakan secara fisik (hubungan seks). Namun tidaklah seseorang menemui kematian sebagaimana halnya tidak makan dan minum, bila tidak berhubungan seks. Ide mereka memang didasarkan fakta betapa berperannya seks dalam kehidupan. Islam juga tidak mengingkari itu. Al-Quran menyiratkan dalam Surat Ali ‘Imron ayat 14 sebagai berikut:
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apaapa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis mas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran: 14) (Departemen Agama RI, 1999:77). Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wanita sebagai kecintaan pada dunia diletakkan oleh Allah pada posisi pertama, sebelum anak dan harta. Hal ini mengandung arti, bahwa naluri seksual seseorang terhadap kaum wanita memegang peranan penting dibandingkan dengan naluri yang lain. Wanita sebagai subyek maupun obyek seksual lebih berharga dan berperan dari pada ‘hiburan’ yang lain. Nabi SAW sendiri pernah bersabda mengenai lebih
utamanya wanita, terutama wanita yang shalehah dibanding harta di dunia, “Dunia seisinya adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shaleh”.(HR Baihaqi) (Fathan, 2004:26). Islam adalah agama yang sempurna, setiap perbuatan manusia pasti sudah diatur dalam hukum yang tergali dari al-Quran dan Sunnah Nabi. Demikian pula mengenai hubungan seks, Al-Quran dan Sunnah juga memberikan tuntunan yang jelas. Ada beberapa aturan dasar mengenai kehidupan seks dalam Islam sebagai berikut : a. Secara naluri pria tertarik pada wanita dan sebaliknya. b. Pada badan manusia terdapat empat erotis yang dapat membangkitkan birahi. Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk menutupinya, terutama bagi wanita agar tidak menimbulkan fitnah. c. Islam mewajibkan menutup aurat, karena aurat ini sebagian besar merupakan tempat alat-alat kelamin bagian luar. d. Islam melarang seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrimnya berkhalwat (berduaan atau bersunyi-bersunyian). Karena dalam keadaan demikian nafsu birahi keduanya bisa terangsang. e. Islam melarang perzinaan karena tidak beradab dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. f. Islam melarang perbuatan cabul seperti pemuasan seks dengan sejenis, onani atau masturbasi. g. Islam menganjurkan menikah untuk menyalurkan naluri seks seseorang. Tapi bila yang belum mampu kawin, lebih baik berpuasa untuk mengendurkan nafsunya.
h. Islam menganjurkan khitan pada umatnya sebagaimana dilakukan Nabi Ibrahim a.s. i.
Islam mewajibkan mandi junub bagi yang junub, yaitu orang yang mengeluarkan mani(ketika mimpi basah atau berhubungan)atau berhubungan (walaupun tidak mengeluarkan mani).
j.
Mewajibkan suami istri melakukan hubungan seks secara wajar. Dilarang menyetubuhi istri lewat jalan dubur.
k. Islam melarang menyetubuhi istri yang sedang haid. l.
Allah menerangkan proses terjadinya janin dalam rahim, yaitu berkat pertemuan antara sel lelaki yang disebut Spermatozoa dan sel perempuan yang disebut Ovum atau sel telur. Sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an dan ajaran agama, serta riset
psikoanalis, dorongan seksual adalah titik lemah manusia yang tidak dapat dihentikan dengan menggunakan nasihat atau undang-undang. Dorongan tersebut harus diarahkan pada jalan yang semestinya. Dalam hal ini, bukan berarti jika dorongan seksual itu tidak dapat dihentikan, lalu tidak ada lagi batasan, undangundang dan aturan. Kita mengetahui bahwa di dunia barat selama berabad-abad, diberitakan secara luas bahwa menjadi budak dari hawa nafsu adalah bertentangan dengan moral, ketenangan batin, mengganggu ketertiban masyarakat, dan merupakan suatu penyakit dan penyimpangan. Sampai akhirnya keluar keputusan pelarangan penyaluran kebutuhan biologis, karena hal itu dipandang sebagai suatu perkara yang bertolak belakang dengan kesucian diri, nilai-nilai moral, dan ketenangan jiwa.
Kekeliruan mereka yang bermaksud menghalangi pembunuhan dorongan seksual adalah: mereka memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada manusia. Mereka tidak memperhatikan perbedaan mencolok antara manusia dengan binatang.mereka tidak memperhatikan bahwa dalam diri manusia terdapat kecenderungan
yang tidak terbatas. Manusia, jika memiliki kesempatan dalam
mengumpulkan harta, meraih kekuasaan politik, menguasai orang lain, dan juga dalam berbagai perkara seksual, maka mereka tidak akan berhenti dan akan selalu berusaha untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya. Sebagaimana dapat kita baca dalam catatan sejarah, banyak raja yang memiliki beratus-ratus selir yang cantik dan sempurna, namun tatkala mereka mendengar ada seorang wanita yang cantik, mereka akan merasa gelisah dan memerintahkan para pengawalnya untuk segera mendatangkan wanita tersebut. Contoh lain adalah kondisi Eropa sekarang ini, dimana masyarakatnya telah melepas dan mencabut berbagai ikatan dan batas-batas moral. Hal itu bukan meredam dorongan seksual masyarakat, namun justru semakin mengobarkan nafsu seksual mereka. Dengan demikian, tidak sepatutnya mengekang dan membunuh nafsu seksual dan tidak sepantasnya pula melepaskanya secara bebas. Masyarakat masih belum mampu memenuhi kebutuhan biologisnya secara rasional dan tanpa melanggar syariat. Dari satu sisi, hal ini disebabkan adanya berbagai krisis ekonomi, dan dari sisi lain disebabkan adanya mitos dan khurafat, tradisi yang salah, dan berbagai sebab lainnya yang menyebabkan para pria harus membujang selama 10 sampai 15 tahun setelah usia akil baligh.
BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA KOTA SALATIGA DAN PENETAPAN NO. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Kota Salatiga 1. Lahirnya Pengadilan Agama Salatiga Pengadilan Agama Salatiga adalah merupakan Pengadilan yang ada sejak zaman Kolonial Belanda yang dibentuk berdasarkan Staatsblad Tahun 1882 Nomor : 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor : 116 dan 610. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1949 Pengadilan Agama Salatiga pada saat itu diketuai oleh K. Irsyam dan berkantor di serambi masjid Al-Atiq berpindah di Jl.
Diponegoro 72 Salatiga diatas sebidang tanah seluas 1730 m2 luas bangunan gedung 362,60 m2. Itulah sedikit gambaran lahirnya Pengadilan Agama Salatiga yang hingga saat ini masih menjadi pilar kekuasaan kehakiman di Indonesia khususnya di wilayah Kota Salatiga. Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, Lembaran Negara 1957 Nomor 99 tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah di luar Jawa dan Madura, merupakan landasan hukum bagi pembentukan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia (Achmad Roestandi dkk, 1991:1). Pada saat itu terdapat tiga bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu: a. Stb. 1882 Nomor 152 jo. Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 yang mengatur Peradilan Agama di Jawa dan Madura; b. Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 yang mengatur Peradilan Agama di Jawa dan Madura; c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang mengatur Peradilan Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 1970, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, peradilan dilakukan “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat, badan-badan yang melakukan peradilan secara
organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah kekuasaan masingmasing departemen yang bersangkutan dan Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian Peradilan Agama, dan memberikan status yang sama dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia. Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan lebih memperkokoh keberadaan Pengadilan Agama. Pada tahun 1989, lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mandiri, sederajat dengan pengadilan di lingkungan peradilan lainnya serta terwujudnya kodifikasi dan unifikasi di bidang Peradilan Agama. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 telah mengatur definisi Peradilan Agama sebagaimana pasal 1 angka 1 sebagai berikut (Gatot Supramono, 1993:6): “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam”. Dengan definisi di atas tampak jelas bahwa lembaga peradilan dimaksud khusus diperuntukkan bagi umat Islam saja. hal itu menunjukkan pula bagi umat Islam yang berperkara dapat menyelesaikannya melalui peradilan yang hakim-hakimnya beragama Islam serta diselesaikan menurut ajaran Islam, walaupun tidak seluruh macam perkara merupakan wewenang Peradilan Agama. 2. Perkara di Pengadilan Agama Salatiga Berbicara tentang perkara yang ada di Pengadilan Agama Salatiga , ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di antaranya mengenai kewenangan mengadili di Pengadilan Agama Salatiga , yaitu:
a. Kewenangan Relatif (Kompetensi Relatif) Kewenangan relatif, yaitu mengatur tentang pembagian kekuasaan mengadili antar pengadilan yang serupa atau sejenis. Wewenang relatif ini akan menjawab pertanyaan pengadilan yang berada di mana yang berwenang untuk mengadili perkara yang bersangkutan. Jadi dalam hal ini berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Dalam kewenangan relatif ini, berdasarkan keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/010/SK/III/1996 tanggal 6 maret 1996 Pengadilan Agama Salatiga hanya berwenang menyelesaikan perkara yang daerah hukumnya berada di Kota Salatiga yang meliputi: 1. Kotamadya Salatiga yang terdiri dari empat kecamatan: a) Kecamatan Sidorejo, b) Kecamatan Sidomukti, c) Kecamatan Tingkir, d) Kecamatan Argomulyo 2. Kabupaten Semarang yang terdiri dari Sembilan kecamatan yaitu : a) Kecamatan Bringin, b) Kecamatan Bancak, c) Kecamatan Suruh, d) Kecamatan Susukan, e) Kecamatan Kaliwungu, f) Kecamatan Pabelan, g) Kecamatan Tuntang, h) Kecamatan Tengaran,
i) Kecamatan Getasan b. Kewenangan Mutlak (Kompetensi Absolut) Kewenangan mutlak (kompetensi absolut), yaitu wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan yang lain (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama). Dengan demikian wewenang yang mutlak ini menjawab pertanyaan badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa yang bersangkutan (Rasaid, 1999:19). Dalam hal kewenangan mutlak ini, Pengadilan Agama Salatiga berpedoman pada ketentuan UU No. 7/1989 jo. UU No. 3/2006 serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku antara lain: UU No. 1/1974, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Permenag No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, berdasarkan hukum Islam yaitu: 1) Bidang Perkawinan Salah satu yang tercakup dalam kekuasaan mutlak pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah bidang perkawinan. Kekuasaan badan peradilan di bidang tersebut semakin bertambah, terutama sejak berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974, yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Menurut penjelasan pasal 49
ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989, yang dimaksud dengan bidang perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, antara lain adalah (Bisri, 2000:222): a) Ijin beristeri lebih dari seorang; b) Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) Tahun, dalam hal rang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; c) Dispensasi kawin; d) Pencegahan perkawinan; e) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; f) Pembatalan perkawinan; g) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri; h) Perceraian karena talak; i) Gugatan perceraian j) Penyelesaian harta bersama k) Mengenai penguasaan anak-anak; l) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak
yang
seharusnya
bertanggung
jawab
tidak
memenuhinya; m) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri; n) Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; o) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; p) Pencabutan kekuasaan wali;
q) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; r) Menunjuk seorang wali oleh pengadilan dalam hal seorang anak belum cukup berumur 18 (delapan belas) Tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya; s) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; t) Penetapan asal usul seorang anak; u) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; v) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. 2) Bidang Kewarisan, Wasiat dan Hibah Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di bidang kewarisan mencakup empat hal, yaitu: 1. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris; 2. Penentuan mengenai harta peninggalan (tirkah); 3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris dari harta peninggalan itu; 4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. 3) Bidang Wakaf dan Shadaqah Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di bidang wakaf berkaitan dengan ketentuan PP. Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan milik, ketentuan pasal 17 Peraturan Menteri Agama
Nomor 1 Tahun 1978 yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama berkewajiban menerima dan menyelesaikan perkara-perkara tanah menurut syari’at Islam. Dengan
adanya
Undang-undang
Nomor
3
Tahun
2006,
kewenangan pengadilan Salatiga semakin diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari’ah dan infaq. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus. Dalam
penjelasannya,
infaq
adalah
perbuatan
seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia) , atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subnanahu Wata’ala. Sedangkan yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
1) bank syari’ah; 2) lembaga keuangan mikro syari’ah;
3) asuransi syari’ah; 4) reansuransi syari’ah; 5) reksa dana syari’ah; 6) obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; 7) sekuritas syari’ah; 8) pembiayaan syari’ah; 9) pegadaian syari’ah; 10) dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan 11) bisnis syari’ah. Dengan semakin luasnya kewenangan absolut Pengadilan Agama Salatiga menandakan bahwa semakin menambah eksistensi dan kepercayaan negara kepada Pengadilan Agama Salatiga , selain itu menambah semakin kokohnya keberadaan Pengadilan Agama Salatiga di Indonesia. 3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Salatiga Struktur organisasi Badan Peradilan Agama diatur berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 11 Tahun 1978 tentang susunan organisasi dan tata kerja Pengadilan Agama, yang kemudian disempurnakan di dalam buku Pedoman dan Tata Kerja Departemen Agama Daerah Tahun 1986/1987. Kemudian disempurnakan lagi dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Bab II mengenai Susunan Pengadilan Agama, yang terakhir pelaksanaannya diatur dalam Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 303 Tahun 1990, Keputusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor: KMA/004/SK/11/1992 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1996. Untuk lebih jelasnya penulis akan paparkan struktur organisasi Pengadilan Agama Salatiga beserta nama-nama yang menduduki dalam jabatan tersebut. Ketua
: Drs. H.Umar Muchlis
Wakil Ketua
: Drs. H. Musaddad Zuhdi
Hakim-hakim
: 1. Drs. Jaenuri 2. Drs. H. Machmud, SH. 3. Dra. Hj. Farida, SH. 4. H.Suyanto, SH. 5. Muhsin, SH.
Panitera/ Sekretaris
: Drs. H. Jamali
Wakil Panitera
: Hj. Robikah Maskimayah, SH
Wakil Sekretaris
: M. Nur Agus Achmadi, SH
Panmud Permohonan : Handayani, SH Panmud Gugatan
: Mamnukhin, SH
Panmud Hukum
: Dra. Widad
Kasubbag Kepeg
: Mir’atul Hidayah, S.HI
Kasubbag Keuangan : Siti Hindunyati Kasubbag Umum
: M. Azim Rozi
Panitera Pengganti
: 1. Miftah Jauhhara, SH
2. H. Fadlan Hasyim, S.Ag 3. Imam Yaskur, BA 4. Hj. Wasilatun, SH 5. Fitri Ambarwati, SH. Juru Sita
: Khalim Mudrik, M
Juru Sita Pengganti
: 1. Danang Prasety. N 2. M. Nawal Annaji
4. Penyelesaian Perkara Poligami di Pengadilan Agama Pengadilan Agama Salatiga dalam menangani perkara poligami berpedoman pada pasal 3, 4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974, pasal 40-44 PP No. 9 Tahun 1975, pasal 55-59 Kompilasi Hukum Islam. Hal ini juga sesuai dengan hukum acara permohonan ijin poligami di Pengadilan Agama. Tata cara permohonan ijin poligami diatur sebagai berikut: a. Poligami harus ada ijin dari Pengadilan Agama Seorang suami yang hendak beristeri lebih dari seorang (poligami) harus mendapat ijin lebih dahulu dari Pengadilan Agama (pasal 56 ayat (1) KHI). b. Kewenangan relatif Pengadilan Agama Permohonan ijin untuk beristeri lebih dari seorang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1) UU No. 1/1974). c. Surat permohonan 1) Surat permohonan ijin beristeri lebih dari seorang harus memuat: a) nama, berumur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohon, atau isteri/isteri-isteri;
b) alasan-alasan untuk beristeri lebih dari seorang; c) petitum 2) Permohonan ijin poligami merupakan perkara kontentius, karena harus ada (diperlukan) persetujuan isteri. Karena itu, perkara ini diproses di Kepaniteraan Gugatan dan didaftar dalam Register Induk Perkara Gugatan. d. Pemanggilan pihak-pihak 1) Pengadilan Agama harus memanggil dan mendengar pihak suami dan isteri ke persidangan. 2) Panggilan dilakukan menurut tata cara pemanggilan yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasalpasal yang berkaitan.
e. Pemeriksaan 1) Pemeriksaan permohonan ijin poligami dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya (pasal 42 ayat (2) PP. No. 9/1975). 2) Beristeri lebih dari seorang pada dasarnya, pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut pertimbangan hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, pemeriksaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup (pasal 17 ayat (1) UU No. 14/1970).
f. Upaya damai 1) Pada sidang pertama pemeriksaan perkara ijin poligami, hakim berusaha mendamaikan (pasal 130 ayat (1) HIR). 2) Jika tercapai perdamaian, perkara dicabut lagi oleh pemohon. g. Pembuktian 1) Pengadilan Agama kemudian memeriksa mengenai: a) ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, sebagai syarat alternatif (pasal 4 (2) UUP No. 1/1974, pasal 41 (a) PP. No. 9/1975 dan pasal 57 KHI) yaitu: (1) bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; (2) bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau (3) bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan. b) ada atau tidak adanya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, yang harus dinyatakan di depan sidang (pasal 41 (b) PP. No. 9/1975). c) ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak (pasal 41 (c) PP. No. 9/1975) dengan memperhatikan: (1) surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau (2)
surat keterangan pajak penghasilan; atau
(3)
surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
d) ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu (pasal 41 (d) PP. No. 9/1975). 2) Sekalipun ada persetujuan tertulis dari isteri, persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan di depan sidang, kecuali dalam hal isteri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya.
3) Persetujuan dari isteri tidak diperlukan lagi (pasal 58 (3) KHI) dalam hal: a) isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian, atau b) tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangya 2 (dua) tahun; atau c) karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan Agama. h. Penetapan 1)
Apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristeri lebih dari seorang (pasal 43 PP. No. 9/1975).
2) Terhadap penetapan ini, baik isteri maupun suami dapat mengajukan banding atau kasasi (pasal 61 UU No. 7/1989). i. Biaya perkara
Biaya dalam perkara ini dibebankan kepada pemohon (pasal 89 ayat (1) UU No. 7/1989). j. Pelaksanaan poligami Pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum ada ijin dari Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 44 PP. No. 9/1975). B. Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/Pdt. G/2010 Tentang Diterimanya Ijin Poligami Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 11 Agustus 2010
telah
menyelesaikan dan menjatuhkan penetapan perkara Nomor No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL yang mana perkara ini dijadikan dasar obyek penelitian penulis. 1. Permohonan Ijin Poligami Perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL Surat permohonan ijin poligami perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL yang diajukan oleh Fathkur Rokhman Bin Ismail adalah sebagai berikut: Fathkur Rokhman Bin Ismail, berumur 42 Tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, pendidikan SLTA, bertempat tinggal di Dusun Manggisan RT 16/04Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang , selanjutnya disebut Pemohon; --------------------------------- Melawan --------------------------------Sugiyatun Binti Ngadilan, berumur 40 Tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Dusun Manggisan RT 16/04 Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, selanjutnya disebut Termohon;
Posita: a. Pemohon telah melangsungkan akad nikah dengan Termohon pada tanggal 06 April 1998 di hadapan Pejabat Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, yang terdaftar sesuai dengan kutipan Akta Nikah Nomor: 209/33/IV/1998. b. Setelah menikah Pemohon dan Termohon telah hidup bersama selama ± 12 tahun dan tinggal bersama di rumah milik Pemohon dan Termohon di Dusun Manggisan RT 16/04 Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang dan antara Pemohon dan Termohon telah dikaruniai 5 orang anak yang masing-masing bernama Jihan Husna berumur 12 Tahun, Khotijah berumur 10 tahun, Ismail berumur 8 tahun, Yaenab berumur 5 tahun dan Ibrohim berumur 3 tahun dan antara Pemohon dan Termohon belum pernah bercerai; c. Pemohon bermaksud beristeri lagi/poligami dengan seorang perempuan bernama: Dwi Diyanti binti Ngadimin alm, Berumur 25 Tahun, Agama Islam, Pekerjaan Wiraswasta, Status Perawan, bertempat tinggal di Dusun Manggisan RT 16/04 Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang; d. Maksud Pemohon beristeri lagi tersebut karena semula pemohon dan Termohon hidup bersama di Tegalwaton selama ± 12 Tahun dan sudah dikaruniai 5 orang anak, akan tetapi dalam masalah kebutuhan bathin/seksual Termohon kurang memuaskan atau tidak bisa memenuhi kehendak
Pemohon, kalau Pemohon menghendaki hubungan seksual, Termohon menolak karena alasan takut dan tidak mau berhubungan seksual. e. Bahwa antara Pemohon dengan calon isteri kedua tersebut tidak ada halangan untuk menikah, dan Pemohon sudah mendapat persetujuan secara tertulis dari Termohon untuk menikah lagi dengan calon isteri kedua tersebut; f. Untuk menjamin kehidupan rumah tangga kelak Pemohon bersedia berlaku adil, dan mempunyai penghasilan rata-rata setiap bulannya sebesar Rp 4.000.000.- (empat juta rupiah); g. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Salatiga agar membuka sidang dan kemudian menetapkan sebagai berikut: Primer: a. Mengabulkan permohonan Pemohon; b. Menyatakan memberi ijin kepada Pemohon Fathkur Rokhman Bin Ismail, untuk beristeri lebih dari seorang/poligami dengan seorang perempuan bernama Dwi Diyanti binti Ngadimin alm; c. Membebankan biaya perkara sesuai peraturan yang berlaku; 2. Proses Penyelesaian Perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL Majelis Hakim yang menangani perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL telah memanggil kedua belah pihak untuk menghadap ke persidangan dan kedua belah pihak hadir di persidangan, kemudian Majelis Hakim berusaha menasehati Pemohon untuk tidak mengajukan poligami, namun tidak berhasil, sehingga
pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan Pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh pemohon; Dalam persidangan Termohon telah memberikan jawaban lisan, bahwa Termohon berhubungan suami isteri dengan Pemohon merasa takut berhubungan badan dan tidak mau melayani dan Termohon menyatakan bahwa kondisinya sekarang dalam keadaan sehat wal’afiat. Atas jawaban Termohon tersebut, Pemohon dalam dupliknya membenarkan jawaban tersebut sedang selanjutnya termohon tidak mengajukan dupliknya. 3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya mengungkapkan bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana yang telah diuraikan dalam surat permohonan. Selain itu, berdasarkan pada permohonan Pemohon yang dikuatkan dengan keterangan Termohon bahwa selama dalam pernikahan antara Pemohon dengan Termohon telah dikaruniai 5 orang anak, dan termohon dalam keterangannya tidak mampu untuk melayani kebutuhan biologis dari Pemohon dan Termohon tidak terdapat cacat badan yang dapat menghalangi untuk menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Majelis Hakim juga mempertimbangkan bahwa syarat komulatif untuk beristeri lebih dari seorang dalam pasal 5 ayat (1) UU tahun 1974 telah dipenuhi oleh Pemohon dan syarat alternatife telah dipenuhi maka Majelis berpendapat bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
4. Dasar Hukum
Adapun dasar hukum yang dipedomani Majelis Hakim adalah syarat alternatif sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Kompilasi Hukum Islam, maupun syarat Kumulatif sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 . Pasal 4 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974. Pasal 88 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989. PP No. 50 Tahun 2009 Kompilasi Hukum Islam Selain itu, karena perkara permohonan ijin poligami termasuk dalam bidang perkawinan, maka biaya perkaranya dibebankan kepada Pemohon. 5. Penetapan Majelis Hakim Atas perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL Dalam menyelesaikan perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL Majelis Hakim mengeluarkan penetapan yang isinya adalah: 1. Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan; 2. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang sebesar Rp 191.000,- (seratus sembilan puluh satu ribu rupiah).
BAB IV
ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL TENTANG DITERIMANYA IJIN POLIGAMI
A. Penyelesaian Terhadap Perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL Pengadilan Agama Salatiga dalam menyelesaikan perkara permohonan ijin poligami berpedoman pada pasal 3, 4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974, pasal 40-44 PP No. 9 Tahun 1975, pasal 55-59 Kompilasi Hukum Islam. Perkara permohonan ijin poligami Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL telah diselesaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga dengan dikeluarkannya penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL yang menerima permohonan ijin poligami Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail. Proses penyelesaian perkara permohonan ijin poligami Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL sebagaimana tata cara penyelesaian
perkara permohonan ijin poligami di Pengadilan Agama adalah
sebagai berikut: 1. Upaya damai Majelis Hakim yang menangani perkara permohonan ijin poligami No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL telah melakukan pemanggilan para pihak yaitu Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail dan Termohon Sugiyatun binti Ngadilan untuk hadir dalam persidangan. Kedua pihak tersebut hadir dalam persidangan dan Majelis Hakim berusaha menasehati Pemohon agar tidak mengajukan permohonan ijin poligami. Hal ini sesuai dengan pasal 130 ayat (1) HIR, pasal
154 R.Bg dan pasal 14 ayat (2) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang upaya damai pada setiap permulaan sidang perkara perdata. Usaha Majelis Hakim untuk menasehati pemohon tidak berhasil, sehingga proses pemeriksaan dilanjutkan dengan pembacaan surat permohonan ijin poligami Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail. 2. Pembacaan permohonan Setelah Majelis Hakim mengupayakan upaya damai kepada Pemohon ijin poligami tidak berhasil, proses pemeriksaan dilanjutkan dengan pembacaan permohonan Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail yang dalam surat permohonan ijin poligami No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL memuat: a.
Identitas para pihak (nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohon, atau isteri/isteri-isteri. Surat permohonan ijin poligami Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail adalah: Identitas Pemohon, Fathkur Rokhman Bin Ismail, berumur 42 Tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, pendidikan SLTA, bertempat tinggal di Dusun Manggisan RT 16/04Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Identitas Termohon, Sugiyatun Binti Ngadilan, berumur 40 Tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Dusun Manggisan RT 16/04 Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang.
b. Posita (Alasan-alasan) untuk beristeri lebih dari seorang Alasan Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail mengajukan permohonan ijin poligami adalah:
1) Pemohon kurang puas terhadap masalah bathin atau seksual terhadap Termohon. 2) Pemohon telah mendapatkan ijin tertulis dari Termohon. 3) Pemohon mempunyai kemampuan untuk menjamin kehidupan rumah tangga kelak. 4) Pemohon bersedia berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak. c. Petitum (tuntutan yang diminta), yaitu: 1) Mengabulkan permohonan Pemohon; 2) Menyatakan memberi ijin kepada Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail, untuk beristeri lebih dari seorang/poligami dengan seorang perempuan bernama Dwi Diyanti binti Ngadimin; 3) Membebankan biaya perkara sesuai peraturan yang berlaku; Berdasarkan surat permohonan Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail yang diajukan di Pengadilan Agama Salatiga, yang pada dasarnya surat permohonan tersebut berisi identitas para pihak, posita (alasan-alasan) dan petitum (tuntutan yang diminta), ketiganya sudah saling berkaitan satu sama lain, sehingga syarat formal suatu permohonan yang berlaku di Pengadilan Agama sudah terpenuhi. Surat permohonan ijin poligami Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL kemudian dibacakan oleh Majelis Hakim di persidangan yang pada intinya Pemohon tetap mempertahankan isi permohonan ijin poligami tersebut. Proses persidangan selanjutnya yaitu mendengarkan jawaban Termohon Sugiyatun binti Ngadilan. 3. Jawaban Termohon
Termohon Sugiyatun binti Ngadilan memberikan jawaban atas permohonan yang diajukan oleh Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail secara lisan di depan persidangan (sesuai pasal 121 ayat (2) HIR/pasal 145 (2) R.Bg jo pasal 132 ayat (1) HIR/pasal 158 (1) R.Bg yang menyatakan bahwa jawaban dapat dilakukan secara tertulis atau lisan) yang menerangkan bahwa Termohon tidak dapat sanggup melakukan hubungan suami isteri dan setiap berhubungan Termohon tidak mau melayani dengan alasan takut . Termohon dalam persidangan juga menyatakan bahwa kondisinya sehat. Atas jawaban Termohon tersebut, kemudian Majelis Hakim melanjutkan proses persidangan dengan mendengarkan tanggapan (replik) Pemohon. 4. Replik Pemohon Atas jawaban Termohon, Pemohon dalam repliknya membenarkan semua
jawaban atau
keterangan
yang disampaikan Termohon dalam
persidangan. Berdasarkan proses jawab-menjawab yang terjadi di persidangan, Majelis Hakim perlu adanya pembuktian, karena jawaban Termohon yang disampaikan kepada Majelis Hakim dibenarkan oleh Pemohon. Hal ini sesuai dengan pasal 174 HIR, pasal 311 R.Bg, pasal 1925 BW dan pasal 1916 ayat (2) No. 4 BW yang menyatakan bahwa pengakuan murni di muka sidang merupakan bukti yang sempurna terhadap yang melakukannya, dan bersifat menentukan karena tidak memungkinkan pembuktian lawan. Dengan adanya pembenaran atau pengakuan jawaban Termohon oleh Pemohon, maka sudah tepat apabila Majelis Hakim melanjutkan proses persidangan dengan pembuktian. 5. Penetapan
Berdasarkan tahap-tahap proses persidangan di atas, Majelis Hakim yang menangani perkara permohonan ijin poligami No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL memberikan penetapan yang berupa penetapan yang isinya: a. Menyatakan permohonan Pemohon dapat diterima; b. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang hingga kini terhitung sebesar Rp 191.000,- (seratus sembilan puluh satu ribu rupiah). Sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama, perkara permohonan ijin poligami adalah termasuk perkara kontensius, yakni perkara gugatan/permohonan yang didalamnya mengandung sengketa antara pihak-pihak yang berperkara, maka keputusan Majelis Hakim Pengadilan Agama yang menangani perkara permohonan ijin poligami adalah “penetapan”. Hal ini juga sama yang dikatakan Drs. H. A. Mukti Arto, SH (1996:41) yang menyatakan bahwa “perkara ijin ikrar talak dan poligami meskipun dengan istilah permohonan, tetapi karena mengandung sengketa maka termasuk perkara kontensius dan bertanda G”, maka penetapan Majelis Hakim adalah dengan memberikan “penetapan”. Isi penetapan pertama perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL yang amarnya berbunyi “Menyatakan permohonan Pemohon dapat diterima”, sesuai dengan macam-macam amar penetapan pengadilan adalah tepat. Hal ini didasarkan pada persyaratan suatu permohonan dapat diterima apabila persyaratan formal suatu gugatan atau permohonan terpenuhi. Surat permohonan ijin poligami yang diajukan oleh Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL di Pengadilan Agama Salatiga, sudah memenuhi syarat formal suatu permohonan yang di
dalamnya memuat identitas para pihak, posita (alasan-alasan) dan petitum (tuntutan yang diminta), ketiga hal tersebut sudah saling berkaitan. Berdasarkan uraian di atas, amar penetapan pengadilan untuk perkara permohonan ijin poligami No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL adalah “Menerima permohonan Pemohon” dan “Menyatakan permohonan Pemohon dapat dikabulkan”. Amar penetapan “Menyatakan permohonan Pemohon dapat diterima”, sangat tepat karena penulis mendasarkan hal tersebut pada persyaratan permohonan dapat diterima apabila syarat formal suatu perkara (gugatan maupun permohonan) terpenuhi dan pokok perkara sudah diperiksa atau sudah diadili. Permohonan ijin poligami perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL berdasarkan surat permohonannya sudah memenuhi syarat formal suatu permohonan dan dalam proses persidangannya pokok perkara sudah diperiksa oleh Majelis Hakim. Permohonan ijin poligami perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL menurut penulis amar putusannya lebih
tepat “Mengabulkan permohonan
Pemohon”, karena alasan yang diajukan Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail dalam surat permohonan ijin poligaminya memenuhi syarat alternatif yang tercantum dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu pengadilan memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Isi penetapan kedua yang membebankan biaya perkara kepada Pemohon sudah sesuai dengan pasal 89 ayat (1) UU No. 7/1989 yang menyatakan bahwa biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon. Perkara permohonan ijin poligami adalah termasuk perkara dalam bidang perkawinan, maka sudah tepat apabila Majelis Hakim membebankan biaya perkara permohonan ijin poligami No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL kepada Pemohon.
B. Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Menetapkan Perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL Berdasarkan pasal 62 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, segala penetapan dan putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dalam pertimbangan hukum, hakim juga harus mempertimbangkan dasar hukum yang berlaku di Pengadilan Agama. Suatu pertimbangan hukum harus menggambarkan tentang bagaimana hakim dalam mengkwalifisir fakta/kejadian, penilaian hakim tentang fakta-fakta yang diajukan, hakim mempertimbangkan secara kronologis dan rinci setiap item baik dari pihak penggugat/pemohon maupun dari pihak tergugat/termohon, memuat dasar-dasar hukum yang dipergunakan oleh
hakim dalam menilai fakta dan memutus perkara baik hukum tertulis maupun tidak tertulis (misalnya: dalil-dalil syar’i dan sebagainya). Pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam perkara permohonan ijin poligami No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL adalah: 1. Berdasarkan pada permohonan Pemohon yang dikuatkan dengan keterangan Termohon bahwa selama dalam pernikahan antara Pemohon dengan Termohon telah dikaruniai 5 orang anak, dan Termohon dalam keterangannya tidak sanggup untuk melayani kebutuhan biologis Pemohon, Pemohon ijin poligami Fatkhur Rokhman bin Ismail yang telah menikah dengan Termohon Sugiyatun binti Ngadilan dan sudah dikaruniai 5 orang anak (Jihan Husna berumur 12 Tahun, Khotijah berumur 10 tahun, Ismail berumur 8 tahun, Yaenab berumur 5 tahun dan Ibrohim berumur 3 tahun). Isteri Pemohon (Termohon Sugiyatun binti Ngadilan, 40 tahun) tidak terdapat cacat badan yang dapat menghalangi untuk menjalankan kewajibannya sebagai isteri namun tidak mampu untuk melayani kebutuhan biologis dari Pemohon.. 2. Untuk mengajukan poligami, harus dipenuhi syarat alternatif sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, pasal 41 huruf (a) PP. No. 9 Tahun 1975, dan Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, pengadilan
memberikan ijin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 41 huruf (a) PP. No. 9 Tahun 1975, ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah: a. bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam, Pengadilan Agama memberikan ijin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: 1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; 2) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3) isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Selain syarat alternatif di atas, syarat Kumulatif juga harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 41 huruf (a), (b) dan (c) PP No. 9 Tahun 1975 dan pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka. Pasal 41 huruf (a), (b) dan (c) PP No. 9 Tahun 1975;
a. ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi ialah: 1) bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; 2) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3) isteri tidak dapat melahirkan keturunan. b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan: 1) surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau 2) surat keterangan pajak penghasilan, atau 3) surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan. d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, untuk memperoleh ijin Pengadilan Agama harus dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Dasar (alasan) yang diajukan Pemohon ijin poligami Fatkhur Rokhman bin Ismail perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL yaitu: a. Pemohon kurang puas terhadap masalah bathin atau seksual terhadap Termohon. b. Pemohon dengan calon isteri (Dwi Diyanti binti Ngadimin) telah kumpul bersama sebagaimana layaknya suami isteri. c. Pemohon telah mendapatkan ijin tertulis dari Termohon. d. Pemohon mempunyai kemampuan untuk menjamin menjamin kehidupan rumah tangga kelak. e. Pemohon bersedia berlaku adil terhadap anak dan isteri-isteri. Alasan-alasan yang diajukan Pemohon tersebut memenuhi syarat kumulatifnya saja, sedangkan syarat alternatifnya juga terpenuhi. Sesuai Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 4 ayat (2) UU, Pasal 41 huruf (a) PP. No. 9 Tahun 1975, Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam yang disebut dengan syarat alternatif dan pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 41 huruf (a), (b) dan (c) PP No. 9 Tahun 1975 dan pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang disebut syarat kumulatif, untuk memperoleh ijin poligami dari pengadilan syarat keduanya tersebut harus terpenuhi. Dasar
hukum
poligami
yang
digunakan
pengadilan
dalam
menyelesaikan perkara permohonan ijin poligami yang meliputi syarat alternatif dan syarat kumulatif, keduanya harus dipenuhi. Pengaturan hukum mengenai poligami tersebut dimaksudkan untuk merealisasikan kemaslahatan yaitu
terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi yang diridhai Allah SWT dan didasarkan pada cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut harus dihilangkan atau setidaknya dikurangi. 3. Syarat kumulatif telah dipenuhi oleh Pemohon dan syarat alternatif tersebut juga terpenuhi, maka Majelis berpendapat bahwa permohonan tersebut dikabulkan dan oleh karenanya permohonan tersebut patut untuk dapat diterima. Permohonan ijin poligami perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL oleh Majelis Hakim diterima, menurut penulis sangat tepat karena suatu perkara dikabulkan apabila: a. Penegasan identitas para pihak jelas. b. Posita (pokok permasalahan) jelas. c. Petitum sesuai dengan posita. Berdasarkan surat permohonan Pemohon Fatkhur Rokhman bin Ismail, ketiga syarat suatu perkara diterima, sehingga sangat tepat apabila perkara permohonan ijin poligami No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL dikabulkan oleh Majelis Hakim.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dengan melihat dan mencermati uraian bab pertama sampai dengan bab keempat skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang menyebabkan seorang suami mengajukan poligami dalam perkara permohonan ijin poligami No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL sebagai berikut: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri b. Isteri tidak mau lagi berkumpul dengan suami dengan alasan takut c. Isteri mempunyai trauma yang mendalam mengingat sudah mempunyai 5 anak 2. Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL a. Tinjauan Hukum Islam tentang poligami Islam sebagai syari’at terakhir, universal serta merupakan rahmat bagi seluruh alam telah mengabsahkan poligami yang telah berjalan jauh sebelumnya. Hanya saja pengabsahan ini disertai dengan pembatasan dan persyaratanpersyaratan tertentu tinjauan Perundang-undangan di Indonesia tentang poligami. Menurut Undang-Undang Perkawinan pasal 4 (2), poligami boleh dilakukan oleh seseorang dengan alasan: 1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan poligami diperbolehkan apabila memenuhi syarat-syarat yang telah termuat dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 4 (1), yang isinya sebagai berikut: 1)
Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
2)
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istriistri dan anak-anaknya.
3)
Adanya jaminan bahwa suami akan berbuat adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
3. Pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam perkara permohonan ijin poligami No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL adalah a. Terpenuhi syarat alternatif sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, pasal 41 huruf (a) PP. No. 9 Tahun 1975, dan Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam. Diantaranya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: 1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; 2) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Terpenuhi syarat Kumulatif juga harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 41 huruf (a), (b) dan (c) PP No. 9 Tahun 1975 dan pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
c. Pasal 121 ayat (2) HIR/pasal 145 (2) R.Bg jo pasal 132 ayat (1) HIR/pasal 158 (1) R.Bg yang menyatakan bahwa jawaban dapat dilakukan secara tertulis atau lisan) yang menerangkan bahwa Termohon tidak dapat sanggup melakukan hubungan suami isteri dan setiap berhubungan Termohon tidak mau melayani dengan alasan takut d. Pasal 174 HIR, pasal 311 R.Bg, pasal 1925 BW dan pasal 1916 ayat (2) No. 4 BW yang menyatakan bahwa pengakuan murni di muka sidang merupakan bukti yang sempurna terhadap yang melakukannya, dan bersifat menentukan karena tidak memungkinkan pembuktian lawan. Dengan adanya pembenaran atau pengakuan jawaban termohon oleh pemohon. B. Saran-saran 1. Untuk Hakim Pengadilan Agama Salatiga Permohonan ijin poligami di Pengadilan Agama adalah termasuk perkara kontensius walaupun dengan istilah permohonan, maka hendaknya para hakim yang menangani perkara poligami mempertimbangkan dasar hukumnya sehingga penetapan yang dikeluarkan nantinya akan sesuai dengan rasa keadilan. 2. Untuk Masyarakat Walaupun beristeri lebih dari seorang (poligami) diperbolehkan oleh Islam namun harus berlaku adil dalam lahir maupun bathin serta mampu dalam segi ekonomi. C. Penutup Meskipun tulisan ini telah diupayakan secermat mungkin namun mungkin saja ada kekurangan dan kekeliruan. Menyadari akan hal itu, penulis mengharap kritik dan saran menuju kesempurnaan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1990. Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Abu Fathan , Muhammad. 2004. Seks Islami Panduan Untuk Pasangan Menikah, Bandung: Marja. Abdullah, Haidar. 2003. Kebebasan Seksual dalam Islam, Cet. ke-1, Jakarta: Pustaka Zahra. Adhim, M. Fauzil, 1998. Kado Perkawinan Untuk Istriku, Yogyakarta: Mitra Pustaka. A-Sanan, Ariij binti Abdurahman. 2006. Memahami Keadilan dalam Poligami. Jakarta, Darus Sunnah Press. Al-Attar, Abdul Nasir Taufiq. 1976. Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang Undangan, Terj: Khotijah Nasution, Jakarta: Bulan bintang. Aj-Jahrani, Musfir Husain. 1996. Nazaratun fi Ta’addudi az-Zaujat, Penerj. Muh. Suten Ritonga “Poligami dari Berbagai Persepsi”, Jakarta: Gema Insani Press. Aj-Jahrani, Musfir.1996 . Poligami dari Berbagai Persepsi, Jakarta: Gema Insani Press. Departemen Agama RI. 1995. Al Qur’an dan Terjemahannya, Semarang : CV. Toha Putra. Al-Ghazali, Imam. 1993. Etika Perkawinan (Membentuk Keluarga Bahagia), Alih Bahasa Abu Asma Anshari, Jakarta: Pustaka Panji Mas. Al-Quthb, Muhammad. 1999. Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, Bandung: Cv. Diponegoro. Ali, Mohammad Daud. 2002. Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, cet 2. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, cet. 12. Arto, Mukti. 1996. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1. Ash Shieddieqy. 2001. Tengku Muhammad Hasbi, Al-Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, cet. 2. As-Sya’rawi, Syaikh Mutawalli. 2010. Fiqh Al-Mar’ah Al-Muslimah (Fikih Perempuan (Muslimah)), Penj. Yessi HM. Basyaruddin, LC., Amzah, cet. 1. Azwar, Saifuddin. 1998. Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1.
Bisri, Cik Hasan. 2000. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, cet. 3. Depag RI. 2000. Al-‘Aliyy, Al-Qur'an dan Terjemahnannya, Bandung: Diponegoro. Depag RI. 1993. Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Al-Waah, Drajat, Zakiyah. 1982. Pembinaan Remaja, Jakarta: Bulan Bintang. Hakim, Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia. Husein, Abdurrahman. 2007. Hitam Putih Poligami. Jakarta : Lembaga Penerbit. Fakultas Ekonomi UI. Hamka. 1981. Tafsir al-Azhar, Jilid IV, Jakarta: Yayasan Nurul Islam. Harahap, M. Yahya. 2010. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika. Lubis, Sulaikin. 2005. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana. Michele. 2004. Sex Starved Marriage, Terj. Susi Porwoko, Petunjuk Untuk Meningkatkan Gairah Seks dalam Pekawinan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Muhadjir, Noeng.1996. Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarsin. Manan, Abdul. 2000. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah. Muhtar Yahya dan Fatckur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: PT. Al Maarif, tt. Muthahari, Murtadha, 2003. Hijab:Citra Wanita Terhormat. Pystaka Zahra:Jakarta Mujib, M. Abdul, et. al.1994. Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus. Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2002.Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara. Nasution, Khairuddin. 2002. Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muh. Abduh, Yogyakarta: Aca Nemia. Poerdarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976. Rasaid, M. Nur. 1999. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika. Ridhwi, Sayyid Muhammad, 1990. Marriage & Morals in Islam, Penerj. Muhammad Hasyim, Jakarta: Lentera..
Roestandi, Achmad dan Muchjidin Effendie S. 1991.Komentar Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989: Tentang Peradilan Agama, Bandung: Nusantara PressYayasan Islam Nusantara. Rofiq, Ahmad. 2000. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Shihab, M. Quraish. 2005.. Tafsir al-Misbah, Tangerang: Lentera Hati. Soekanto, Soerjono. 1978. Kamus Hukum Adat, Bandung: Alumni. Sudarsono.1999..Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta. Suma, Muhammad Amin. 2004 .Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Soemiyati. 1999. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, Yogyakarta: Liberti. Supramono, Gatot. 1993. Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Bandung: Alumni. Suprapto, Bibit,. 1990. Liku-liku Poligami, Yogyakarta: Al-Kautsar. Sutantio, Retno Wulan. 1979. Wanita dan Hukum, Bandung: Alumni. Taufiq Al ‘Atthar, Abdul Nasir. 1976. Poligami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-undangan, Jakarta : PT. Bulan Bintang. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, Jakarta: Balai Pustaka. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Yasid, Abu. 2005. Fiqh Realitas: Respon Ma’had Aly terhadap Wacana Hukum Islam Kopntemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zed, Mestika. 2004.. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonsia.
RIWAYAT HIDUP
Nama
: M. Targhibul Hasan
NIM
: 21107013
Tempat/Tgl.lahir
: Kab. Semarang, 11 Agustus 1987
Alamat
: Karangrejo Pabelan Kec. Pabelan Kab. Semarang
Pendidikan
: 1. MI Pabelan (1995-2001) 2. MTs Negeri Salatiga (2001-2004) 3. MAN 2 Salatiga (2004-2006) 4. S1 Jurusan AHS STAIN Salatiga (2007- Sekarang)