56 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:56−68
KONJUNGSI BAHASA ACEH (SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN SEMANTIK) oleh Irmawati* ABSTRAK Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi ragam konjungsi dalam bahasa Aceh; (2) mendeskripsikan bentuk dan makna konjungsi bahasa Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian adalah penelitian deskripstif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah data lisan dan tulisan. Data lisan diperoleh melalui lima orang penutur asli bahasa Aceh (berumur 20 s.d. 60 tahun) dan peneliti sendiri yang juga merupakan penutur asli. Data tulisan diperoleh melalui sejumlah buku berbahasa Aceh. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak dan metode cakap. Metode simak dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa, sedangkan metode cakap dengan cara percakapan antara peneliti dan penutur selaku informan penelitian. Kedua metode ini dipilih untuk menjaring data konjungsi bahasa Aceh. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Jenis-jenis konjungsi bahasa Aceh meliputi konjungsi koordinatif, subordinatif, korelatif, dan antarkalimat. (2) Bentuk konjungsi bahasa Aceh adalah bentuk morfemis. Konjungsi itu dipilah menjadi dua bagian, yaitu konjungsi monomorfemis dan polimorfemis. Makna konjungsi bahasa Aceh meliputi makna aditif, adversatif, kausal, dan temporal. Makna aditif meliputi 1) urutan, 2) gabungan, 3) keserempakan, 4) keinklusifan atau keikutsertaan, 5) keseluruhan, 6) pilihan, 7) beberan, 8) pencontohan atau pengibaratan, 9) ketidakpastian, dan 10) penjelas atau atribut. Makna adversatif meliputi 1) pertentangan, 2) kebalikan, 3) kenyataan, 4) pengakuan, 5) pembetulan, 6) perbandingan, 7) kemiripan. Makna kausal meliputi 1) sebab, 2) tujuan, 3) persyaratan, 4) pengandaian, 5) akibat, 6) persesuaian, dan 7) kesimpulan. Makna temporal meliputi makna yang menyatakan waktu 1) sebelum, 2) sesudah, 3) bersamaan, 4) batas akhir, dan 5) rentang. Kata Kunci: konjungsi, bahasa Aceh, struktur, semantik
* Penulis adalah Mahasiswa MPBSI Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
57
Konjungsi Bahasa Aceh... (Irmawati) ABSTRACT
The objectives of this research are describing about (1) kind of conjunctions in Acehnese; (2) form and meaning of Acehnese conjunction. This research is qualitative approach. Kind of this research is qualitative descriptive research. The data research is oral data and writing data. The oral data obtained from five Acehnese native speaker ( 20 s.d. 60 years old ) and the researcher as a native speaker too. Writing data obtained from the books using Acehnese language. Data collected using listening and speaking method. Listening method is done by listening to the language, while the speaking method carried out by the researchers and speakers as informants of the study. Both of this method is chosen to collect Acehnese conjunction data. The result of this research explained as follow. (1) kind of conjunctions in Acehnese are coordinative, subordinative, correlative, and inter-sentences. (2) form of conjunctions in Acehnese is morphemic. Acehnese conjunctions consist of two parts: mono-morphemic and poly-morphemic. Acehnese conjunction means additive, adversative, causal, and temporal. Meaning additives include 1) the order, 2) combined, 3) simultaneity, 4) inclusiveness or participation, 5) overall, 6) selection, 7) explanation, 8) parable, 9) uncertainty and 10) descriptors or attributes. Adversative meaning include 1) conflict, 2)reverse, 3) the fact, 4) recognition, 5) rectification, 6) ratio, 7) similarity. Causal significance includes 1) cause, 2) goals, 3) requirements, 4) assumption, 5) effects, 6) compatibility, and 7) conclusions. Temporal meaning includes the meaning that states the time 1) before, 2) after, 3) simultaneously, 4) deadline, and 5) range. Key Words: conjunction, Acehnese, structure, semantics Pendahuluan Penelitian ini berkenaan dengan bahasa Aceh, selain memiliki fungsi sebagai sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia serta pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia, digunakan oleh masyarakat Aceh sebagai sarana komunikasi antarsesama. Sebagai alat komunikasi, bahasa Aceh, sebagaimana bahasa-bahasa yang lain di dunia ini, digunakan untuk menyampaikan pesan atau amanat dari penyapa (pengirim) kepada pesapa (penerima). Komunikasi dengan menggunakan bahasa dapat dikatakan berhasil jika pesan atau amanat yang disampaikan penyapa dapat diterima pesapa persis seperti yang diinginkan oleh penyapa. Dengan demikian, agar komunikasi dapat berhasil dengan baik, bahasa yang digunakan tentulah harus baik dan benar sehingga tercapai komunikasi yang efektif dan efisien. Tidak baik dan benarnya penggunaan bahasa tentulah dapat menyebabkan terjadinya kegagalan dalam berkomunikasi. Munculnya kegagalan dalam komunikasi ver-
bal kadangkala disebabkan oleh kesalahan penggunaan konjungsi. Oleh karena itu, penetapan dan pengetahuan kaidah konjungsi dapat menghindari atau sedikitnya mengurangi kegagalan komunikasi verbal. Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi pada kenyataannya mempunyai kepaduan antarunsurnya. Unsur yang satu dihubungkan dengan unsur yang lain sehingga ada hubungan antara unsur yang sedang diungkapkan dengan unsur yang telah diungkapkan dan dengan unsur yang akan diungkapkan. Hal ini dibuktikan oleh jarangnya kita menggunakan hanya satu unsur dalam berkomunikasi. Kita sering menggabungkan unsur-unsur bahasa, yakni menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, dan paragraf dengan paragraf. Salah satu alat yang digunakan untuk menggabungkan unsur-unsur bahasa itu adalah konjungsi. Setiap bahasa memiliki konjungsi yang sifatnya khas. Kekhasan tersebut dapat dilihat
58 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:56−68 dari segi jumlah konjungsi, bentuk, fungsi, makna, dan distribusi konjungsi. Dengan kata lain, setiap bahasa memiliki kekhasan dalam bidang konjungsi, baik pada tataran sintaksis maupun pada tataran semantis. Bahasa Lampung dialek Tulang Bawang, misalnya, jika dilihat dari segi jumlah konjungsi, memiliki konjungsi koordinatif, konjungsi subordinatif, konjungsi korelatif, dan konjungsi antarkalimat (Nurlaksana, dkk. 2000:20-45). Jika dilihat dari segi makna, konjungsi-konjungsi bahasa Lampung dialek Tulang Bawang juga memiliki beragam makna. Sebagaimana bahasa Lampung dialek Tulang Bawang (Nurlaksana, dkk. 2000:2045), bahasa Aceh juga memiliki konjungsi seperti ngön, atawa, tapi, watèe, ‘oh, sigohlom, meunyoe, adak, adakpi, dan mangat. Konjungsi-konjungsi ini memiliki kekhasan tersendiri. Jika dilihat dari segi makna, beberapa konjungsi tersebut, meskipun memiliki makna yang sama, tidak dapat saling dipertukarkan penggunaannya dalam kalimat. Selain itu, posisi-posisi konjungsi tersebut juga tidak bersifat bebas dalam kalimat. Artinya, konjungsi-konjungsi tersebut ada yang dapat menempati posisi awal, tetapi mungkin tidak dapat menempati posisi tengah atau posisi akhir. Konjungsi adak pada kalimat Adak meule buku, lôn jôk keu jih saboh tidak dapat digunakan dalam kalimat seperti *Lôn jôk keu jih saboh, adak meule buku. Akan tetapi, konjungsi meunyoe dalam kalimat Meunyoe beuhe droeneuh, neuci tamöng lam uteuen nyan dapat saja digunakan dalam kalimat seperti Neuci tamöng lam uteuen nyan meunyoe beuhe droeneuh. Kasus yang sama juga terjadi dalam penggunaan konjungsi mangat. Konjungsi mangat dapat saja digunakan dalam kalimat Jih jeumöt that jimeurunoe mangat caröng, tetapi tidak dapat digunakan seperti dalam kalimat *Mangat caröng, jih jeumöt that jimeurunoe. Munculnya perbedaan penggunaan konjungsi seperti dalam kalimat-kalimat yang telah disebutkan disebabkan oleh adanya kaidah tertentu yang dimiliki oleh bahasa Aceh. Berdasarkan uraian di atas, dapat dika-
takan bahwa bahasa Aceh, layaknya bahasabahasa yang lain, juga memiliki kekhasan penggunaan konjungsi. Kekhasan tersebut dapat dilihat pada berbagai tataran, seperti pada tataran sintaksis atau pada tataran semantis. Oleh karena itu, judul penelitian ini adalah “Konjungsi Bahasa Aceh: Suatu Kajian Struktur dan Semantik”. Kajian teori Bahasa Aceh mempunyai penutur dan wilayah pemakaian terbesar yang memiliki empat dialek geografis, yakni dialek Aceh Besar, dialek Pidie, dialek Aceh Utara, dan dialek Aceh Barat (Asyik, 1978:1). Dialek Aceh Utara dianggap sebagai dialek yang standar karena memiliki jumlah pemakai yang paling banyak, dipahami oleh semua penutur bahasa Aceh, paling banyak diteliti, dan secara sintaksis paling lengkap, khususnya berkaitan dengan penggunaan enklitik pronomina. Berkaitan dengan dialek, hasil penelitian lain menyebutkan bahwa selain dialek yang disebutkan oleh Asyik di atas, terdapat pula dialek Daya yang merupakan hasil penelitian Alamsyah tahun 2001 (Safriandi, 2010:14). Dialek ini digunakan di Kabupaten Aceh Jaya. Bahasa Aceh, sebagai salah satu bahasa daerah yang ada di Aceh, merupakan bagian dari kebudayaan yang hidup sehingga patut diinventarisasi dan dikembangkan sebagai sarana untuk mendukung bahasa Indonesia dan budaya daerah, serta mendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Hal ini sesuai dengan fungsi bahasa Aceh sebagai sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia serta pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia (Wildan, 2010:4). Kata Tugas Dalam studi kebahasaan disebutkan bahwa konjungsi merupakan bagian dari kata tugas. Oleh karena itu, sebelum dijelaskan ihwal konjungsi, terlebih dahulu dalam bagian ini dijelaskan ihwal kata tugas yang meliputi ciriciri dan jenis-jenisnya secara sepintas. Kata tugas merupakan salah satu kelas kata selain nomina, verba, adjektiva, dan adverbia.
Konjungsi Bahasa Aceh... (Irmawati) Kata tugas berbeda dengan nomina, verba, adjektiva, dan adverbia. Kelas kata ini hanya memiliki arti gramatikal, tetapi tidak memiliki arti leksikal. Dengan kata lain, kata tugas ditentukan bukan oleh kata itu secara lepas, melainkan oleh kaitannya dengan kata lain dalam frase atau kalimat (Alwi, dkk., 2003:287). Jika verba seperti makan dapat diberikan arti berdasarkan kodrat kata itu sendiri, yaitu memasukkan sesuatu ke dalam mulut, dikunyah, lalu ditelan (Pusat Bahasa, 2008:616), tentu saja untuk kata tugas hal yang sama tidak dapat dilakukan. Hampir semua kata tugas juga tidak dapat menjadi dasar untuk membentuk kata yang lain. Jika dari verba dasar dapat diturunkan kata lain seperti mendatangi, mendatangkan, dan kedatangan, tidak demikian halnya dengan kata tugas seperti dan atau dari. Konjungsi Konjungsi sebagaimana kata tugas yang lain merupakan kata tugas yang memiliki makna gramatikal dan bersifat tertutup. Ada banyak pengertian konjungsi yang telah dipaparkan oleh para ahli bahasa. Sibarani (1994:48) menyebutkan bahwa konjungsi merupakan partikel penghubung dua unsur linguistik (kata, frase, klausa, kalimat, atau paragraf) yang dapat dibuktikan atau dikenali menjadi dua klausa atau lebih. Hal senada tentang pengertian konjungsi juga dikemukakan oleh Alwi, dkk. (2003:296) dan Kridalaksana, (2001:117), yaitu kata tugas yang berfungsi menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat: kata dengan kata, frase dengan frase, atau klausa dengan klausa. Berdasarkan pengertian konjungsi yang disebutkan di atas, terdapat satu kesamaan, yaitu menghubungkan kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, atau paragraf dengan paragraf. Sibarani (1994) menyebutkan bahwa selain kedua prinsip umum tersebut, ada tiga prinsip khusus yang dapat digunakan untuk membedakan konjungsi dan preposisi. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut. (1) Apabila kata atau frase setelah partikel itu
59 dapat disisipi (diinterupsi) dengan fungsi sintaksis atau bagian dari fungsi sintaksis seperti subjek dan predikat untuk membentuk konstruksi predikatif atau klausa, partikel itu disebut konjungsi. (2) Apabila kata atau frase setelah partikel itu dapat diparafrase menjadi klausa partikel itu disebut konjungsi. (3) Partikel sebelum nomina temporal seperti kemarin, besok, dan sekarang juga disebut konjungsi dengan syarat nomina temporal itu dapat diparafrase atau diinterupsi menjadi klausa meskipun menimbulkan perbedaan makna. Quirk et al. (Sibarani, 1994:40-41) menyebutkan bahwa ada enam ciri sintaksis koordinator, yaitu: (1) koordinator klausa yang hanya terdapat pada posisi awal klausa; (2) klausa koordinatif bersama dengan klausa yang mengikutinya tidak dapat dipindahkan ke depan; (3) koordinator tidak dapat didahului oleh konjungsi lain; (4) koordinator dapat menghubungkan konstituen-konstituen klausa; (5) koordinator dapat menghubungkan lebih dari dua konjungsi; (6) koordinator dapat menghubungkan klausa subordinatif; (7) koordinator dapat menghubungkan lebih dari dua klausa; Menurut posisinya, Kridalaksana (2005:102-104) mengklasifikasikan konjungsi sebagai berikut. (1) Konjungsi Intrakalimat Konjungsi intrakalimat adalah konjungsi yang menghubungkan satuan-satuan kata dengan kata, frase dengan frase, atau klausa dengan klausa. Dalam bahasa Indonesia konjungsi-konjungsi yang dimaksud adalah sebagai berikut. agar jangan-jangan padahal agar supaya jangankan sambil akan tetapi, jangankan sampai alih-alih selang sampai-sampai andaikata jika seakan-akan asal jikalau seandainya
60 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:56−68 asalkan atau bahwa bahwasanya baik…ataupun baik…maupun hingga dan
kalau sedang kalau-kalau sedangkan kalaupun sehingga karena sekalipun kecuali sekiranya kendati sementara oleh karena itu, yakni manakala tetapi,
Alwi, dkk. (2003:297) mengklasifikasikan empat kelompok konjungsi berdasarkan perilaku sintaksisnya dalam kalimat yaitu 1) konjungsi koordinatif, 2) konjungsi korelatif, 3) konjungsi subordinatif, 4) konjungsi antarkalimat. Adapun contoh-contoh konjungsi koordinatif adalah sebagai berikut: dan penanda hubungan penambahan serta penanda hubungan pendampingan (2) Konjungsi Ekstrakalimat atau penanda hubungan pemilihan Konjungsi ekstrakalimat terbagi lagi men- tetapi penanda hubungan perlawanan jadi dua jenis, yaitu: melainkan penanda hubungan perlawanan (a) konjungsi intratekstual yang meng- padahal penanda hubungan pertentangan hubungkan kalimat-kalimat dengan sedangkan penanda hubungan perlawanan kalimat atau paragraf dengan paragraf, yaitu: Jenis-jenis konjungsi korelatif adalah sebagai akan tetapi bahwa berikut: apalagi bahkan baik...maupun... begitu biarpun demikian tidak hanya...tetapi juga... meskipun demikian o leh karena itu bukan hanya...melainkan juga... biarpun begitu sebaliknya demikian...sehingga... dan sekalipun begitu sedemikian rupa...sehingga... dan lagi sekalipun demikian apa(kah)...atau... dalam pada itu sebelumnya entah...entah... di samping itu selain itu jangankan...pun... itu pun selanjutnya kecuali sementara itu Adapun konjungsi subordinatif dibagi menjadi kemudian sesudah itu 13 kelompok seperti berikut ini: lagi pula sesungguhnya (a) konjungsi sobordinatif waktu lebih-lebih lagi setelah itu a) sejak, semenjak, sedari maka sungguhpun demikian b) sewaktu, ketika, tatkala, sementara, maka itu sungguhpun begitu begitu, seraya, selagi, selama, serta, malah tambahan lagi sambil, demi malahan tambahan pula c) setelah, sesudah, sebelum, sehabis, mana lagi walaupun demikian selesai, seusai mana pula meskipun begitu d) hingga, sampai (b) konjungsi subordinatif syarat : jika, (b) konjungsi ekstratekstual yang mengkalau, jikalau, asal(kan), bila, manakala hubungkan dunia di luar bahasa dengan (c) konjungsi subordinatif pengandaian: wacana, yaitu: andaikan, seandainya, umpamanya, adapun maka sekiranya. alkisah maka itu (d) Konjungsi subordinatif tujuan: agar, arkian mengenai supaya, biar. begitu sebermula (e) Konjungsi subordinatif konsesif: biarhatta syahdan pun, meski(pun), walau(pun), sekalipun, hubaya-hubaya omong-omong (nonstandar) sungguhpun, kendati(pun). teringatnya (f) Konjungsi subordinatif perbandingan:
61
Konjungsi Bahasa Aceh... (Irmawati)
seakan-akan, seolah-olah, sebagaima(j) Konjungsi subordinatif cara: dengan, tanpa. na, seperti, laksana, ibarat, daripada, (k) Konjungsi subordinatif komplemenalih-alih. tasi: bahwa. (g) Konjungsi subordinatif sebab: sebab, (l) Konjungsi subordinatif atributif : yang. karena, oleh karena, oleh sebab. (m) Konjungsi subordinatif perbandingan: (h) Konjungsi subordinatif hasil : sehingga, sama...dengan, lebih...dari(pada). sampai (sampai), maka(nya). (i) Konjungsi subordinatif alat: dengan, Konjungsi antarkalimat dalam bahasa Indonetanpa. sia adalah sebagai berikut.
Konjungsi
Makna
biarpun demikian/begitu sekalipun demikian/begitu walaupun demikian/begitu meskipun demikian/begitu sungguhpun demikian/begitu
Menyatakan Pertentangan
kemudian, sesudah itu, setelah itu, selanjutnya
Menyatakan kelanjutan dari peristiwa atau keadaan pada kalimat sebelumnya
tambahan pula, lagi pula, selain itu
Menyatakan adanya hal, peristiwa, atau keadaan lain di luar dari yang telah dinyatakan sebelumnya
sebaliknya
Mengacu ke kebalikan dari yang dinyatakan sebelumnya
sesungguhnya, bahwasanya
Menyatakan keadaan yang dinyatakan sebenarnya
malah(an), bahkan
Menguatkan keadaan yang dinyatakan sebelumnya
(akan) tetapi, namun
Menyatakan sebelumnya
kecuali itu
Menyatakan keeksklusifan dan keinklusifan
dengan demikian
Menyatakan konsekuensi
oleh karena itu, oleh sebab itu
Menyatakan akibat
sebelum itu
Menyatakan kejadian yang mendahului hal yang dinyatakan sebelumnya
Bentuk konjungsi Berbicara masalah bentuk berarti tidak terlepas dari istilah morfem yang dibicarakan dalam morfologi. Morfem merupakan satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian yang lebih kecil (Kridalaksana, 2001:141). Morfem ada yang monomorfemik dan ada pula yang polimorfemik. Konjungsi monomorfemik merupakan
pertentangan
dengan
keadaan
konjungsi yang terdiri dari satu morfem dasar, sedangkan konjungsi polimorfemik merupakan konjungsi yang terdiri dari dua morfem atau lebih (Sibarani, 1994:56). Lebih lanjut, Sibarani (1994:57) menyebutkan bahwa konjungsi monomorfemik dapat dipilah berdasarkan jumlah suku katanya. Berbeda dengan konjungsi monomorfemik, konjungsi polimorfemik dapat dipilah berdasarkan gabungan kata dengan afiks, gabungan kata dengan kata. Pemilahan
62 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:56−68 konjungsi polimorfemik ini tidak bersifat tetap. Artinya, pemilahan dapat dikembangkan berdasarkan korpus data yang tersedia. Makna Konjungsi Berkaitan dengan makna konjungsi, ada banyak ahli mengemukakannya, diantaranya Halliday (dalam Sibarani, 1994), Alwi, dkk. (2003), Kridalaksana (2005), dan Chaer (2006). Berikut ini ditampilkan makna-makna konjungsi secara umum dalam bahasa Indonesia. 1. Makna Penjumlahan 2. Makna perlawanan 3. Makna pemilihan 4. Makna waktu 5. Makna syarat 6. Makna pengandaian 7. Makna tujuan
8. Makna konsesif 9. Makna pembandingan 10. Makna penyebaban 11. Makna hasil 12. Makna cara 13. Makna alat 14. Makna komplementasi 15. Makna atributif 16. Makna perbandingan 17. Makna harapan Selain sejumlah makna yang telah disebutkan di atas, Halliday (dalam Sibarani, 1994:27-28) juga menyebutkan sejumlah makna konjungsi. Makna-makna konjungsi ini diklasifikasi ke dalam 4 kelompok besar jenis konjungsi, yaitu aditif, adversatif, kausal, dan temporal. Rincian makna tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Jenis konjungsi Konjungsi Aditif
Konjungsi adversatif
Konjungsi kausal
Konjungsi temporal
Makna - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Negatif Gabungan Alternatif Penekanan Eksposisi Pencontohan Perbandingan Penekanan Pertentangan Pengakuan Pembetulan Pengakuan Pembetulan Pembebasan Sebab Akibat Tujuan Syarat Patokan Setelah Serempak Sekarang Sebelum Konklusif Segera Berulang Kekhususan Duratif Batas akhir Ringkasan
Konjungsi Bahasa Aceh... (Irmawati) Metode Penelitian Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu suatu pendekatan yang melihat objek penelitian dalam kondisi yang alamiah, peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitiannya lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2005:1). Data penelitian ini berupa data lisan dan data tulisan. Data lisan merupakan data utama yang diperoleh melalui metode simak dan metode cakap sehingga benar-benar merupakan data yang alami tanpa ada rekayasa penggunaan bahasa oleh penutur. Namun demikian, untuk mengecek kesahihan data, peneliti memanfaatkan narasumber yang berjumlah lima orang dengan kriteria sebagai berikut. 1. Penutur asli bahasa Aceh. 2. Berusia 20 s.d 60 tahun. 3. Sehat fisik dan psikisnya. Data tulisan merupakan data tambahan yang diperoleh melalui sejumlah dokumen resmi dan karya ilmiah hasil penelitian seperti buku-buku, skripsi, tesis, dan disertasi. Selain itu, data dalam bentuk tulisan juga dikumpulkan melalui sejumlah karya sastra berbahasa Aceh, seperti nyanyian-nyanyian, ca-e, hadihmaja, dan hikayat. Untuk melengkapi data yang diperoleh dari data lisan dan data tulisan, peneliti juga menggunakan data buatan. Data buatan diperoleh melalui teknik instrospeksi dan elisitasi. Hal ini dibenarkan karena peneliti sendiri adalah penutur asli bahasa Aceh. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data lisan. Data tersebut diperoleh dengan menggunakan metode simak dan metode cakap. Metode simak dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa, sedangkan metode cakap dilakukan dengan cara percakapan antara peneliti dan penutur selaku informan penelitian. Sudaryanto (1988:2-9) menyebutkan bahwa kedua metode tersebut memiliki teknik masing-masing.
63 Dalam penelitian ini, baik metode simak maupun metode cakap, keduanya akan digunakan dengan rincian teknik sebagai berikut. 1. Untuk metode simak, teknik yang digunakan adalah teknik sadap, teknik SLC, teknik SBLC, dan teknik rekam, dan teknik catat. 2. Untuk metode cakap, teknik yang digunakan adalah teknik pancing, teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat. Hasil Penelitian Setelah sejumlah korpus data dianalisis, ditemukan jenis-jenis konjungsi bahasa Aceh yang meliputi konjungsi koordinatif, subordinatif, korelatif, dan antarkalimat. Konjungsi koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua unsur atau lebih yang sama pentingnya atau memiliki status yang sama. Konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua klausa atau lebih dan klausa itu tidak memiliki status sintaksis yang sama. Konjungsi korelatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua kata atau frase, atau klausa yang memiliki status sintaksis yang sama. Konjungsi antarkalimat adalah konjungsi yang menghubungkan antara satu kalimat dan kalimat yang lain. Konjungsi-konjungsi tersebut dideskripsikan dengan menyertakan contoh penggunaannya dalam konteks kalimat. Kalimatkalimat yang ditampilkan akan disertai dengan singkatan DT dan DL. DT adalah singkatan dari data tulisan, sedangkan DL adalah data lisan. Dalam bahasa Aceh tedapat konjungsi koordinatif. Adapun konjungsi koordinatif dalam bahasa Aceh adalah sebagai berikut. Berdasarkan tabel tersebut, dapat dikatakan bahwa ada 8 buah konjungsi koordinatif dalam bahasa Aceh. dalam penggunaannya, konjungsi-konjungsi tersebut menghubungkan dua unsur atau lebih yang sama pentingnya atau memiliki status yang sama. Konjungsi-konjungsi tersebut terdapat dalam data berikut
64 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:56−68 No. Urut 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Konjungsi Koordinatif
Arti
teuma ngön barô tapi atawa seureuta padahai cuma
kemudian/lalu dan kemudian tetapi/namun atau serta padahal tetapi
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dikatakan bahwa ada 8 buah konjungsi koordinatif dalam bahasa Aceh. Dalam penggunaannya, konjungsi-konjungsi tersebut menghubungkan dua unsur atau lebih yang sama pentingnya atau memiliki status yang sama. Konjungsikonjungsi tersebut terdapat dalam data berikut. (1) Lheueh jibeudöh éh, teuma ji-jak u dapu jijak rhah pingan sira ji-taguen bu. (DL) Setelah bangun tidur, lalu dia pergi ke dapur untuk mencuci piring sambil memasak nasi.’ (2) Sabab nyankeuh, ma ngön yahjih that sayang keu jih. (DT, Budiman Sulaiman, dkk. 2002. hlm. 3) ‘Sebab itulah ibu dan ayahnya sangat sayang padanya.’ (3) Meunyoe hana buet lé, barô jih jijak meu’èn. (DT, Budiman Sulaiman, dkk. 2002. hlm. 2) ‘Kalau sudah selesai semua pekerjaan rumah, kemudian dia bermain.’ (4) Kön greuda, tapi cit let. (DL) ‘Bukan rakus, tetapi memang suka.’ (5) Meunan cit rumoh-rumoh sikula, meunasah, seumeujid le nyang hanyöt atawa reulöh. (DT, Budiman Sulaiman, dkk. 2002. hlm. 23) ‘Begitu juga rumah-rumah sekolah, menasah, masjid banyak yang hanyut atau rusak.’ (6) Geutanyoe bandum cit ka phang-phoe seureuta ka deuk troe. (DT, Budiman Sulaiman, dkk. 2002. hlm. 18) ‘Kita semua memang sudah morat-marit dan senang susah. (7) Jih hana jijak lé sikula padahai caröng. (DL) ‘Dia tidak sekolah lagi, padahal pintar.’
(8) Kah jeut kajak u rumoh jih malam nyoe, cuma bèk jula-jula that kawo. (DL) ‘Kamu boleh pergi ke rumah dia malam ini, tetapi jangan terlalu larut malam pulang.’ (9) Lheuh jibeudöh éh, teuma ji-jak u dapu ji-jak rhah pingan sira ji-taguen bu. (DL) ‘Setelah bangun tidur, lalu dia pergi ke dapur untuk mencuci piring sambil memasak nasi.’ (10) Meunyoe reudôk atawa ujeuen, lôn hana jadèh lôn wo u gampông ngön honda, tapi ngön moto mantöng. (DL) ‘Jika mendung atau hujan, saya tidak jadi pulang ke kampung dengan sepeda motor, tetapi dengan mobil saja.’ Konjungsi-konjungsi bahasa Aceh memiliki fungsi dan distribusi tersendiri jika digunakan dalam kalimat. Dari segi fungsi, konjungsi koordinatif bahasa Aceh dapat digunakan sebagai penghubung dalam empat tataran, yaitu frase koordinatif, klausa koordinatif, klausa subordinatif, dan kalimat majemuk. Dari segi distribusi, konjungsi koordinatif sebagian dapat terletak di awal dan di tengah kalimat. Fungsi konjungsi koordinatif dalam bahasa Aceh adalah sebagai penghubung dalam frase koordinatif seperti ngon dan atawa. Sebagai penghubung klausa koordinatif seperti padahai, tapi, dan Cuma. Sebagai penghubung klausa subordinatif seperti lheueh dan sira. Sebagai penghubung kalimat majemuk bertingkat seperti dalam kalimat : ‘Oh lheueh jipeusaneut tika-tika eh, teuma jipareksa buku-buku peulajaran nyang peureulee bak uroe nyan.
65
Konjungsi Bahasa Aceh... (Irmawati) (DT, Budiman Sulaiman, dkk. 2002. hlm. 8) yang artinya: Sesudah dirapikan tempat tidur, lalu diperiksa buku-buku pelajaran yang diperlukan hari itu. Konjungsi subordinatif dalam bahasa Aceh ada 73 buah. Fungsi utama konjungsi subordinatif adalah untuk menghubungkan klausa subordinatif dengan klausa superordinatif. Berbeda dengan konjungsi koordinatif, konjungsi subordinatif dalam bahasa Aceh tidak ada yang menghubungkan dua kata sehingga membentuk frase. Dari segi posisinya, konjungsi-konjungsi subordinatif ada yang menempati posisi awal dan tengah kalimat. Dengan demikian, konjungsi-konjungsi subordinatif dalam bahasa Aceh memiliki fungsi dan distribusi tersendiri jika digunakan dalam kalimat dan berbeda dengan konjungsi koordinatif. Dari segi fungsi, konjungsi subordinatif dalam bahasa Aceh dapat digunakan sebagai penghubung dalam kalimat majemuk bertingkat, kemungkinan unsur lain yang digunakan konjungsi subordinatif, serta
pemarkah fungsi sintaksis klausa subordinatif. Konjungsi subordinatif bahasa Aceh pada umumnya dapat menempati dua posisi, yaitu di tengah dua konjuin yang biasanya berupa klausa dan di awal kalimat yang diikuti oleh klausa subordinatif yang dimarkahinya. Kedua posisi itu mungkin terjadi karena konjungsi subordinatif bersama dengan klausa yang mengikutinya, yang biasanya mengikuti klausa superordinatif, dapat dikedepankan untuk mendapat penekanan. Konjungsi korelatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua kata, frase, atau klausa yang memiliki status sintaksis yang sama. Yang dimaksud dengan status sintaksis yang sama adalah konstituen yang terletak sebelum dan sesudah konjungsi korelatif memiliki fungsi sintaksis yang sama. Konjungsi korelatif terdiri dari dua bagian yang dipisahkan oleh satu kata, frase, atau klausa yang dihubungkan. Konjungsi korelatif dalam bahasa Aceh sebagai berikut.
KONJUNGSI KORELATIF No. Urut 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Konjungsi Korelatif
Arti
bôh… atawa kön…, tapi nyang…nyang makén…makén kön cuma…, tapi alèh…alèh leubèh…dari bak…gèt leubèh…nibak
baik… maupun bukan…, melainkan yang…yang semakin…semakin bukan hanya…melainkan entah…entah lebih…dari daripada…lebih baik lebih…daripada
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa ada 9 buah konjungsi korelatif dalam bahasa Aceh. Kesembilan konjungsi itu dikatakan konjungsi korelatif karena konstituen-konstituen yang dihubungkan oleh konjungsi-konjungsi tersebut memiliki status sintaksis yang sama.
Konjungsi antarkalimat (konjungsi kohesif) merupakan konjungsi yang menghubungkan antara satu kalimat dan kalimat yang lain. Kenyataan ini tentu saja berbeda dengan ketiga jenis konjungsi yang disebutkan sebelumnya yang berfungsi menghubungkan konstituen dalam satu kalimat.
66 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:56−68 No. Urut 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
KONJUNGSI ANTARKALIMAT Konjungsi Antarkalimat Arti sabab nyankeuh oleh sebab itulah sabab nyang sebab yang teuma meunyoe namun jika akhéjih akhirnya dudoe nibak nyan kemudian meunyoe/meungnyoe meunan jika demikian meunan cit begitu juga jadi jadi seunelheuh akhir bitpi/pih meunan walaupun begitu bak watèe nyan ketika itu saweub nyan oleh sebab itu seubeutôijih sebenarnya laén nibak nyan selain daripada itu ‘selain itu’ silaén nyan selain itu kareuna nyankeuh oleh karena itulah lheuh nyan sesudah itu seulaén nibak nyan selain dari itu bah pih lagèe nyan walaupun begitu selanjutjih selanjutnya lom pi dan lagi pasai nyankeuh karena itulah, sebab itulah
Ada tiga ciri konjungsi kohesif yang perlu diperhatikan. Pertama, konjungsi itu mempraduga kalimat sebelumnya; kedua, konjungsi itu dapat berada di awal kalimat atau mampu sebagai pemarkah awal kalimat; ketiga, konjungsi itu dapat berfungsi sebagai penghubung antarkalimat (Sibarani, 1998:105). Konjungsi bahasa Aceh berjumlah 109 buah. Konjungsi ini dipilah menjadi dua bagian, yaitu konjungsi monomorfemis sebanyak 55 buah dan polimorfemis sebanyak 54 buah. Konjungsi monomorfemis adalah konjungsi yang terdiri dari satu morfem; morfem itu merupakan morfem dasar. Konjungsi polimorfemis adalah konjungsi yang terdiri dari dua morfem atau lebih. Dalam penelitian ini makna konjungsi bahasa Aceh dibagi empat, yaitu makna aditif, adversatif, kausal, dan temporal. Pembagian ini merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Halliday yang dikutip Sibarani dalam tesisnya, “Konjungsi Bahasa Batak
Toba: Sebuah Kajian Struktur dan Semantik”. Konjungsi aditif adalah konjungsi yang memarkahi makna yang berhubungan dengan keterangan tambahan. Konjungsi adversatif adalah konjungsi yang memarkahi makna yang berhubungan dengan pertentangan atau perbedaan. Konjungsi kausal adalah konjungsi yang memarkahi makna yang berhubungan dengan sebab akibat. Konjungsi temporal adalah konjungsi yang memarkahi makna yang berhubungan dengan waktu. Simpulan dan Saran Jenis-jenis konjungsi dalam bahasa Aceh meliputi konjungsi koordinatif, subordinatif, korelatif, dan antarkalimat. Bentuk konjungsi bahasa Aceh adalah bentuk morfemis dan berjumlah 109 buah. Konjungsi itu dipilah menjadi dua bagian, yaitu konjungsi monomorfemis sebanyak 55 buah dan polimorfemis sebanyak 54 buah. Makna konjungsi bahasa Aceh meliputi makna aditif, adversatif, kausal,
67
Konjungsi Bahasa Aceh... (Irmawati) dan temporal. Makna aditif meliputi 1) urutan, 2) gabungan, 3) keserempakan, 4) keinkluisifan atau keikutsertaan, 5) keseluruhan, 6) pilihan, 7) beberan, 8) pencontohan atau pengibaratan, 9) ketidakpastian, 10) penjelas atau atribut. Makna adversatif meliputi 1) pertentangan, 2) kebalikan, 3) kenyataan, 4) pengakuan, 5) pembetulan, 6) perbandingan, 7) kemiripan. Makna kausal meliputi 1) sebab, 2) tujuan, 3) persyaratan, 4) pengandaian, 5) akibat, 6) persesuaian, dan 7) kesimpulan. Makna temporal meliputi makna yang menyatakan waktu 1) sebelum, 2) sesudah, 3) brsamaan, 4) batas akhir, dan 5) rentang. Disarankan kepada peneliti lain agar dapat melakukan penelitian serupa, tetapi berkaitan dengan kaidah pemakaian konjungsi bahasa Aceh. ini perlu dilakukan karena sejauh pengetahuan penulis, belum ada referensi bahasa Aceh yang membahas masalah ini. DAFTAR PUSTAKA Ali, Zaini dkk. 1983. Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Aceh. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Asyik, Abdul Gani. 1972. “Atjehnese Morphology”. Tesis tidak diterbitkan. Malang: IKIP.
Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Daud, Bukhari dan Mark Durie. 2002. Kamus Basa Aceh. Jakarta: Rineka Cipta. Durie, Mark. 1985. A Grammar of Achenese Sentence on The Basis of A Dialect of North Aceh. Holand: Foris Publication. Djunaidi, Abdul. 2000. Tata Bahasa Aceh. Jakarta: PPBHSI. Halliday, M.A.K. 1985. Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold. Hanafiah, M.A. dan Makam I. 1984. Struktur Bahasa Aceh. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ibrahim, Ridwan dan Wildan (Eds.) Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Banda Aceh: Geuci. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. --------------2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramaedia Pustaka Utama.
Kushartanti, dkk. (Ed.). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Asyik, Abdul Gani. 1978. Bunyi Bahasa dalam Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kata Tiruan Bunyi Bahasa Aceh. Banda Aceh: Fakultas Keguruan Lombard, Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman dan Ilmu Pendidikan Unsyiah. Iskandar Muda. Jakarta:KPG. Asyik, Abdul Gani. 1987. A Contextual Grammar of Acehnese Sentences. Dissertation University of Michigan.
Moleong,
Ba’dulu, Abdul Muis dan Herman. 2005. Morfosintaksis. Jakarta: Rineka Cipta.
Muslich, Masnur. 2008. Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Tata Bahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.
Lexy.2007. MetodologiPenelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
68 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:56−68 Nurlaksana, dkk. 2000. Kata Tugas Ba- Sibarani, Robert. 1994. “Konjungsi Bahasa Batak Toba: Sebuah Kajian Struktur hasa Lampung Dialek Tulang dan Semantik”. Disertasi Unpad. Bawang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sudaryanto. 1988a. Metode dan Aneka Teknik Depdinas. Analsis Bahasa Data. Yogyakarta: Masyarakat Linguistik IndoneOphuysen, Ch. A. 1983. Tata Bahasa Melayu. sia Konisariat UGM. Terjemahan oleh T.W. Kamil dari Maleisch Spraakkunts. 1910. JaSudaryanto. 1988b. Metode Linguistik: Mekarta: Jambatan. tode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: GaQuirk, et al. 1985. A Comprehensive Grammar jah Mada University Press. fo The English Language. London: Longman. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian KualiPusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa In- tatif. Bandung: CV Alfabeta. donesia. Jakarta: Pusat Bahasa DeSulaiman, Budiman dkk. 1985. Struktur Bapartemen Pendidikan Nasional. hasa Aceh: Morfologi dan Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Safriandi. 2010. “Analisis Konstruksi Kalimat Pengembangan Bahasa. Bahasa Aceh Dialek Aceh Barat Berdasarkan Teori Tata Bahasa Kasus”. Tesis tidak diterbitkan. Wildan. 2010. Kaidah Bahasa Aceh. Banda Aceh: Geuci. Banda Aceh: PPs Unsyiah.