Kata Emosi dan Struktur Semantik Wahyu Widhiarso Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2004
1
Kata Emosi
1.1
Kata
Withgenstein (dalam Katsof, 1998) mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah batas bahasa mereka. Pernyataan tersebut mengandung maksud bahwa apa yang dikenali sebagai dunia oleh manusia adalah apa yang dapat dibahasakan oleh manusia melalui simbol berupa kata-kata. Kata selalu melekat kepada realitas karena kata adalah label yang dikenakan kepada realitas setelah realitas tersebut dapat terbahasakan oleh manusia. Menurut Aminuddin (2001) keterkaitan kata dengan realitas dapat terjadi dalam tiga bentuk, bentuk tersebut antara lain: 1. Kata sebagai simbol (words as symbols). Simbol adalah sesuatu yang merujuk atau mengingatkan pada sesuatu yang lain karena alasan hubungan, asosiasi, kebetulan berdasarkan konvensi dalam sebuah budaya. Kata sebagai simbol menjelaskan rumusan bahwa kata merupakan simbol dari sebuah objek tertentu yang menjelaskan hubungan antara kata dan simbol tersebut dibangun oleh konvensi sosial dalam sebuah budaya (Leech, 2003). 2. Kata sebagai atribut objek (words as attribute). Kata merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah objek. Dengan demikian kelengkapan sebuah objek terdiri dari bentuk konkrit objek tersebut dan bentuk abstrak objek tersebut yaitu berupa kata yang menggambarkannya. 1
3. Kata sebagai objek (words as object). Kata-kata adalah objek itu sendiri karena kata diterima sebagai sesuatu yang ada dalam pikiran seperti halnya objek-objek konkrit lainnya. Rumusan ini tampak ketika individu mendengar sebuah kata yang terucap, individu tersebut akan mereaksi kata tersebut sebagai objek itu ada di dalam dunia nyatanya. Kata sebagai objek banyak terlihat pada pikiran masa anak-anak pada tahap operasional konkrit seperti yang ditemukan oleh Piaget dan Vigotsky (Ginsburg, 1979). Piaget dan Vigotsky melaporkan bahwa penerimaan anak-anak terhadap nama dan objek tidak dapat dibedakan lagi. Bagi anak-anak kata meja atau kursi adalah sebuah objek realitas yang independen bukan sebagai simbol dari realitas yang lain. Pernyataan Withgenstein di muka juga diperjelas melalui fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Kata-kata adalah bagian dari bahasa yang digunakan oleh manusia untuk menerima, mengolah, serta menyampaikan informasi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia selalu menggunakan media bahasa karena individu tidak mungkin melakukan interaksi dengan individu yang lain tanpa menggunakan bahasa (Sumaryono, 1993). Sebagai media dalam berpikir, kata-kata sangat terkait erat dengan pikiran. Proses berpikir adalah proses asosiasi antara konsep atau simbol satu dengan konsep lain yang diakhiri dengan penarikan kesimpulan (Taylor, dalam Rakhmat, 1996). Keterkaitan antara kata dan bahasa dapat dipetakan dalam tiga pendapat (Psikomedia, Juni 2000), tiap pendapat tersebut didasarkan pada variabel yang menjadi penyebab dan akibat. 1. Kata-kata mempengaruhi pikiran Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangan individu terhadap realitas. Pikiran individu dapat dikondisikan melalui kata yang digunakan olehnya ketika mengasosiasikan simbol-simbol dalam berpikir. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Whorf dan Saphir (Rakhmat, 1996). Whorf (dalam Rakhmat, 1996) mengambil contoh Bangsa Jepang yang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam menjelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas. 2. Pikiran mempengaruhi kata Pendukung pendapat ini adalah Piaget (dalam Ginsburg, 1979). Melalui 2
observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognisi anak. Piaget melihat bahwa perkembangan aspek kognisi anak akan mempengaruhi luasnya kata-kata yang digunakannya. Semakin tinggi perkembangan kognisi anak semakin luas kata-kata yang digunakannya. 3. Kata-kata dan pikiran saling mempengaruhi Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget, yang mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognisi. Kata-kata dan pikiran memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi kata-kata merupakan media yang digunakan untuk memahami dunia serta digunakan dalam proses berpikir, di sisi yang lain pemahaman terhadap kata-kata merupakan hasil dari aktifitas pikiran (Forrester, 1996). Melalui beberapa uraian di muka, peneliti menyimpulkan bahwa kata adalah sebuah simbol dari realitas. Sebuah kata tidak dapat berdiri sendiri karena didahului oleh adanya sebuah realitas yang disimbolkan oleh kata-kata tersebut. Pada tahap selanjutnya kata dan pikiran saling terkait satu sama lain, aktifitas berpikir tidak terlepas dari kata-kata karena aktifitas berpikir selalu membutuhkan adanya simbol berupa kata-kata untuk diasosiasikan. Sebaliknya pikiran juga mempengaruhi kata-kata karena hasil dari aktifitas berpikir adalah kesimpulan berupa kata-kata.
1.2
Emosi
Emosi berasal dari kata e-movere yang berarti menggerakkan. Emosi menggambarkan adanya kecenderungan manusia untuk bertindak yang secara sederhana dirumuskan sebagai aktivasi simpatetik, fight or flight, (melawan atau melarikan diri). Rumusan ini kemudian meletakkan emosi dalam dua kutub yang berlawanan yaitu kutub posistif dan kutub negatif, kenyamanan dan ketidaknyamanan, yang disebabkan oleh evaluasi yang dilakukan oleh pikiran terhadap stimulus eksternal atau stimulus imajinatif (Greenspan, 1998). Emosi negatif yang berbeda, misalnya marah dan takut dibedakan oleh interpretasi pikiran terhadap stimulus yang diimpresi oleh individu. Wierzbicka (1995) melihat bahwa emosi adalah kerja kognisi yang berbasis pada perasaan 3
(cognitively based feelings). Individu secara otomatis selalu menilai dan mengevaluasi hal apa saja yang mereka hadapi, yakni mendekati sesuatu yang menurut mereka baik, menjauhi yang buruk, serta menolak sesuatu yang tidak menarik baginya. Penilaian dan pengevaluasian tersebut antara satu individu dengan individu lainnya berbeda-beda. Perbedaan penilaian tersebut menyebabkan adanya perbedaan pengalaman emosi antar individu. Melalui gagasan ini, kemudian para ahli menyatakan bahwa pengalaman emosi dapat dipengaruhi oleh proses penilaian (appraisal ). Fokus utama pendekatan ini adalah menempatkan anteseden pengalaman emosi tidak hanya berkisar pada ciri-ciri stimulus (stimulus features) berupa situasi yang dapat menimbulkan emosi saja akan tetapi juga menekankan pada aspek penilaian individu terhadap situasi tersebut (Cacioppo, 1999). Penekanan konsep emosi pada aspek penilaian ini diawali oleh Arnold yang dikenal sebagai pencetus pendekatan kognisi modern terhadap emosi, yang jika dilacak pada masa perkembangan filsafat, termasuk aliran Filsafat Hellenistik (Cornelius, 2000). Arnold menjelaskan bahwa emosi adalah tendesi perasaan untuk melangkah pada objek yang nyaman dan menjauhi objek yang tidak memberi kenyamanan yang merupakan hasil evaluasi individu terhadap situasi yang mereka hadapi (Strongman, 1996). Dinamika psikologis yang menjadi kata kunci dari pendekatan ini adalah istilah appraisal (penilaian, evaluasi), yang menyatakan bahwa emosi adalah hasil dari penilaian kognisi (emotion as cognitive appraisal ). Moffat (dalam Davis, 2001) melalui perspektif computational model mengatakan bahwa emosi dan kognisi sangat berkaitan erat. Moffat menempatkan emosi dalam pusat pikiran (core of mind) yang bertentangan dengan pandangan Plato yang melihat bahwa emosi sebagai distraktor pikiran, dan Darwin yang melihat emosi sebagai kapasitas manusia sebagai produk dari evousi sejarah dan perkembangan individu. Moffat menempatkan emosi sebagai bagian dari sistem penalaran (reasoning system) (Davis, 2001). Oatly dan Jenkins (dalam Strongman, 1996) juga melihat pentingnya dimensi penilaian dalam memunculkan emosi individu dengan menambahkan adanya aspek yang turut terlibat, yaitu tujuan yang hendak dicapai individu. Oatly dan Jenkins melihat bahwa pengalaman emosi muncul ketika suatu peristiwa turut mempengaruhi tujuan yang hendak dicapai oleh individu. Munculnya 4
emosi pada konteks ini disebabkan oleh adanya evaluasi individu terhadap peristiwa tersebut berdasarkan tujuan yang hendak dicapai (Albin, 1986). Emosi tergolong positif jika mengarah pada pencapaian tujuan, dan emosi tegolong menjadi negatif jika menghambat pencapaian tujuan. Pendapat Oatly dan Jenkins menurut peneliti juga sejalan dengan pendapat Clore dan Ortony (1991) yang mendeskripsikan bahwa pengalaman emosi individu bergantung pada situasi yang mereka hadapi. Emosi adalah reaksi positif atau negatif kepada lingkungan karena sesuatu yang berada dalam lingkungan mengundang individu untuk memberikan penilaian kepadanya. Emosi dibangun oleh kerja kognisi yang melakukan interpretasi terhadap situasi. Clore dan Ortony kemudian membagi faktor kognisi ini menjadi tiga aspek yaitu: peristiwa (events), agen (agents), dan objek (objects). Gagasan mengenai pentingnya aspek penilaian individu juga didukung oleh pernyataan Frijda (1986) yang menambahkan adanya unsur sensasi inderawi individu. Menurut Frijda (1986), hadirnya emosi dalam diri individu lebih disebabkan oleh pengenalan kognisi terhadap situasi sosial oleh sensasi indera manusia. Evaluasi terhadap situasi yang dihadapi individu merupakan hasil dari aktivitas kognisi, sehingga kognisi kemudian menjadi salah satu aspek yang menjadi bagian penting dalam pengalaman emosi individu (Morgan dan Heisse, 1999). Schachter (dalam Strongman 1996) mengatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi emosi adalah faktor kognisi. Faktor kognisi terlihat pada upaya Individu dalam mempersepsi, menafsirkan, dan mengklasifikasikan kemunculan kondisi fisiologis kemudian mengkaitkannya dengan situasi yang dialaminya. Bower (dalam Strongman, 1996) lebih jauh lagi memfokuskan konsep mengenai aktifitas kognisi pada aspek pemaknaan individu yang diistilahkan dengan jaringan makna (relational meaning). Ia mengatakan bahwa emosi memiliki sebuah jaringan makna yang berhubungan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan ide, aktifitas otonomi, aktifitas otot, pola ekspresi, serta peristiwa yang dialami individu. Keberadaan unsur jaringan makna pada pengalaman emosi manusia juga di dukung oleh Lazarus (1991) yang mengatakan bahwa premis utama para peneliti yang melakukan pendekatan emosi sebagai penilaian kognisi adalah penilaian terhadap stimulus emosi meliputi jaringan makna, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kondisi 5
lingkungan saat ini (conditions present in the environment), tujuan pribadi (personal goals), keyakinan (beliefs), serta sumber daya penyesuaian (adaptational resources). Adanya unsur jaringan makna dalam pengalaman emosi manusia, menurut peneliti mengindikasikan adanya keterkaitan yang besar antara emosi dengan kata yang dipakai dalam menggambarkan emosi tersebut karena setiap kata memuat unsur-unsur makna di dalamnya. Scachter yang terkenal dengan teori emosi dua faktor (two factor theory) mengatakan bahwa pengalaman emosi bergantung pada faktor bangkitnya fisiologis individu (physiological arousal ) dan penilaian kognisi individu terhadap situasi (cognitive appraisal of the situation). Dengan demikian emosi individu dapat dipetakan menjadi dua faktor, yaitu faktor arousal menentukan aktif-pasifnya sebuah emosi sedangkan faktor kognisi menentukan evaluasi berupa nyaman tidaknya sebuah emosi. Melalui paparan beberapa ahli di muka dapat disimpulkan bahwa aktivitas penalaran dalam emosi yang tercermin pada penilaian dan evaluasi individu berkaitan dengan beberapa hal, misalnya terkait dengan peristiwa yang dialami individu (Arnold, dalam Cornellius, 2000), terkait dengan tujuan individu (Oatly dalam Strongman, 1996), terkait dengan kondisi fisiologis (Schachter, dalam Strongman 1996) serta terkait dengan penilaian situasi sosial berdasarkan sensasi inderawi (Frijda, dalam Strongman, 1996) dan budaya masyarakat (Schimmack, dkk., 2002). Pada akhirnya aktivitas penalaran tersebut membuahkan sebuah label yang merupakan status psikologi dari situasi-situasi tersebut yang dinamakan dengan kosa kata emosi (emotion lexicon)
1.3
Kata Emosi
Emosi ialah suatu perasaan yang dialami oleh seseorang ketika menghadapi situasi tertentu. Secara semantik, orang yang mengalami emosi itu disebut sebagai pelaku. Kata emosi merupakan bagian dari pemahaman individu terhadap pengalaman emosinya. Dalam bahasa sehari-hari, pengalaman emosi secara sederhana diartikan sebagai status perasaan yang dilabeli dengan kata marah, benci, atau senang (Hess, 2001). Cara individu dalam mengekspresikan status perasaan ini beraneka ragam, tergantung kepada pengalaman yang pernah dialaminya, antara lain :
6
1. Ekspresi non verbal, yaitu ungkapan non verbal ini disampaikan melalui ekspresi wajah, gerakan tangan, mata, dan bahasa tubuh yang lain. 2. Ekspresi verbal, yaitu ungkapan emosi melalui sebuah kata yang dianggap mampu menggambarkan atau mewakili emosi yang dirasakannya. Kata emosi secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu emosi yang berhubungan dengan peristiwa yang baik (emosi positif) dan emosi yang berhubungan dengan peristiwa yang buruk (emosi negatif). Emosi dalam kelompok pertama meliputi kata-kata seperti gembira, senang, riang, dan bangga. Emosi dalam kelompok kedua yang disebut juga sebagai emosi negatif mencakup kata-kata seperti sedih, marah, malu, takut, dan kecewa (Wijokongko, 1997). Kosa kata emosi adalah label-label verbal yang digunakan untuk menggambarkan dan mengekspresikan status emosi (emotional state) yang dialami individu (Ortony dan Clore, dalam Morgan dan Heisse, 1988). Bahasa Indonesia memiliki banyak ragam kosa kata emosi. Tiap kosa kata emosi memiliki sinonim atau kesamaan arti misalnya kesal dan sebal (KBBI, 1984). Dalam bahasa Indonesia label ini dapat berupa: 1) kosa kata yang menggambarkan emosi murni (marah, sedih), 2) kosa kata yang menggambarkan perilaku ketika emosi muncul (menangis, tertawa), 3) kosa kata sebagai metafora suasana hati (tercabik, berbunga). Kata emosi dalam tiap bahasa banyak sekali ragamnya. Beberapa kata emosi kerap dicampuradukkan dengan kata lain yang sebenarnya tidak berkaitan dengan status emosi, misalnya tertawa dan menangis. Tertawa adalah sebuah bentuk kata kerja yang menggambarkan perilaku individu ketika berada pada status emosi gembira. Untuk menghindari tumpang tindih pemakaian kata emosi dengan kata yang lain, dari hasil penelitiannya Shalif, (1988) mendapatkan keterangan bahwa ada beragam bentuk kata yang kerap dikaitkan dengan emosi. Kata-kata itu terbagi menjadi tiga kategori, yaitu: • Emosi nyata (misalnya marah atau takut); • Emosi yang menggambarkan perilaku (tertawa atau menangis); • Emosi yang spesifik (mood, perasaan, sensasi).
7
Hess (2001) menjelaskan bahwa pada beberapa budaya, kata emosi dapat menjadi rancu ketika dihubungkan dengan kondisi fisiologis. Hess (2001) mengambil contoh bahwa budaya Tahiti memberi label kerinduan terhadap rumah (homesickness), yang dalam budaya lain dianggap hal yang dapat diwakilkan pada emosi sedih, tetapi bagi budaya Tahiti digambarkan sebagai bentuk ketidaknyamanan secara fisik (physical illness). Dengan demikian sebuah kata dilihat sebagai kata emosi atau bukan kata emosi sangat tergantung pada cara budaya menafsirkan kata tersebut. Dineen (dalam Mulyadi, tanpa tahun) mengusulkan empat komponen yang perlu diperhatikan dalam membatasi makna kata emosi: 1. Munculnya perasaan tertentu dalam diri pelaku di dalam pusat emosi yang merupakan bagian tubuh yang kerap dijadikan acuan pada saat mengalami emosi. Bagi bahasa Melayu misalnya, pusat emosi ini ialah hati, bagi bahasa Jepang adalah perut, pada Bahasa Inggris pusat emosi adalah jantung, pada sebuah suku di Afrika adalah pusat emosi terletak pada anus. Segala sesuatu yang tidak terjadi di luar pusat emosi adalah bukan kata emosi. 2. Penilaian terhadap emosi. Komponen ini mengimplikasikan adanya situasi dan tindakan yang dinilai atau dievaluasi oleh individu sehingga menyebabkan munculnya perasaan dalam diri pelaku. 3. Adanya pencetus yang menimbulkan kemunculan emosi dalam diri pelaku. Dalam hal ini, banyak faktor yang dapat menjadi penyebabnya seperti pujian atau makian oleh orang yang belum dikenal, atau situasi ditinggalkan kekasih. 4. Reaksi terhadap emosi. Jenis reaksi yang muncul bergantung pada pencetus emosi seperti tertawa, menangis, menyembunyikan diri, atau beberapa tindakan lain. Beberapa komponen tersebut sangat penting untuk membedakan antara emosi dengan kata lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini keempat uraian tersebut dilihat dipakai sebagai acuan untuk menentukan apakah sebuah kata akan dilibatkan dalam penelitian yang akan dilakukan ataukah tidak dilibatkan.
8
Tiap budaya memiliki kata emosi yang menunjukkan kekhasan budaya tersebut. Ada dua pendapat yang bertentangan dalam kajian tentang kata emosi dalam perspektif lintas budaya, yaitu : • Kata emosi dalam bahasa yang berbeda dapat dipadankan Pendapat ini didasarkan pada keyakinan bahwa konsep emosi dasar sama dalam semua bahasa di dunia atau universal. Oleh sebab itu, konsep emosi seperti gembira, sedih dan takut diterima secara universal sebagai kategori pelakuan yang berbeda. • Konsep emosi dalam bahasa yang berbeda tidak dapat dibandingkan. Pendapat ini mensyaratkan bahwa konsep emosi dibentuk oleh keunikan budaya masing-masing. Dengan hal demikian, setiap bahasa mempunyai kata yang mengandung konsep budaya yang relevan dan masyarakat pendukungnya. Contohnya, emosi malu dalam Bahasa indonesia tidak dapat diparalelkan dengan shame (Inggris), whakamaa (Maori), haama (Tahiti), atau haji (Jepang). Untuk menjawab apakah sebuah kata emosi antar budaya dapat dipadankan ataukah tidak dengan kata emosi yang berasal dari budaya lain, Russel (dalam Strongman, 1996) mengemukakan hipotesis yang berkenaan dengan persamaan dan perbedaan emosi dalam konteks lintas budaya beserta kategori dan dimensinya secara integral di dalamnya. Hipotesis tersebut dapat digunakan untuk menjawab apakah sebuah kata emosi dapat dipandankan dengan kata emosi lain dalam budaya yang berbeda. Hipotesis itu antara lain: • Kategori dasar emosi secara universal itu ada, akan tetapi dalam konteks kategori yang lebih kecil terdapat kemungkinan adanya perbedaan. • Kategori dasar emosi secara universal itu ada, akan tetapi struktur kognisi yang digunakan tiap budaya dalam mengevaluasi situasi terdapat adanya perbedaan. Melalui hipotesis yang dipaparkan oleh Russel tersebut tampak bahwa emosi universal pada tataran yang lebih besar benar-benar ada, akan tetapi pada tataran yang lebih spesifik, tiap budaya memiliki emosi yang dapat dikatakan tidak dimiliki oleh budaya yang lain. Faktor bahasa dilihat sebagai faktor yang dominan dalam menentukan kespesifikan emosi.
9
Bahasa adalah pemicu adanya perbedaan karakter dan domain status yang digambarkan oleh sebuah kata emosi (affective lexicon) di tiap budaya. Konsep emosi mencerminkan struktur kognisi dan struktur sosial pada budaya masyarakat pendukungnya. Wierzbicka (1995) mengatakan bahwa perbedaan sebuah kata emosi antara satu budaya dengan budaya lainnya dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya: • Gramatika Wierzbicka (1995) mengatakan bahwa tata bahasa (grammar) turut menentukan struktur kognisi pemakai bahasa. Wierzbicka mengambil contoh dalam tata bahasa Inggris, misalnya to bear grudge (merasa dendam) dan to feel sorry (merasa menyesal). Dari aturan tata bahasa, To bear tidak dapat disambung dengan kata sorry, demikian juga sebaliknya to feel tidak dapat diikuti dengan grudge. Tata bahasa secara tidak langsung menuntun pemakainya untuk memaknai kata emosi. • Skenario kognisi Unsur skenario kognisi membedakan ukuran dan karakter sebuah kata emosi (emotion term). Skenario kognisi inilah yang mempengaruhi individu pada sebuah budaya untuk melakukan penalaran terhadap sebuah situasi yang mereka hadapi. Selain kedua hal yang dikemukakan oleh Wierzbicka (1995) di muka terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi adanya perbedaan sebuah kata emosi dalam satu budaya dengan budaya lainnya, misalnya : • Efek Cookie Cutter Efek Cookie Cutter adalah efek budaya dalam memotong realitas secara arbritari yang kemudian mengklasifikasikannya dalam kategori yang berbeda-beda pada kata-kata dalam bahasa mereka (Albrecht, 1986). • Pengenalan situasi Tiap reaksi emosi menghasilkan efek yang mengkomunikasikan informasi sosial kepada orang lain. Dengan kata lain, reaksi emosi bergantung tidak hanya pada pengenalan terhadap situasi tetapi juga pengenalan terhadap cara orang lain mengenal situasi tersebut (Frijda, 1986). 10
Kata emosi berkaitan erat dengan status emosi karena merupakan objek yang diwakili kata emosi. Dengan demikian kategori-kategori kata emosi tidak terlepas dari cara status emosi dikategorikan. Pengkategorian yang sering digunakan oleh para peneliti adalah kategori berdasarkan konsep emosi dasar manusia. Oleh karena itu sebuah kata emosi tidak akan jauh berbeda dengan status emosi dasar manusia sehingga sebuah kata emosi akan menjadi subordinat dari kata emosi yang mampu menggambarkan emosi dasar manusia. Misalnya kata emosi murka dan dendam akan menjadi sub ordinat dari kata emosi marah. Melalui uraian di muka dapat disimpulkan bahwa kata emosi adalah label yang dipakai oleh individu untuk menggambarkan sebuah status emosi. Sebaliknya, disamping sebagai penggambaran, kata emosi juga menjadi premis yang digunakannya untuk memahami status emosi. Penggambaran ini sangat bergantung kepada penafsiran dan pemahaman terhadap situasi dan kondisi fisiologis yang dialami individu pada proses penafsiran dan pemahaman tergantung kepada bahasa yang ia pakai. Faktor budaya dalam mempengaruhi pemaknaan individu terhadap emosi kemudian turut berpengaruh ketika budaya memiliki pola tersendiri dalam menentukan keterkaitan antara status emosi dengan kata-kata emosi.
2
Struktur dan Dimensi Kosa Kata Emosi
Pada konteks emosi, Frijda (dalam Strongman, 1996) membedakan antara dimensi, hierarkhi dan kategori emosi. Emosi memiliki kategori, dapat diartikan bahwa emosi dapat dibentuk dalam kelas-kelas atau golongan yang berbeda berdasarkan situasi yang diacu. Emosi memiliki hierarkhi, menjelaskan bahwa ragam emosi memiliki tingkatan-tingkatan, sedangkan emosi memiliki dimensi, menjelaskan bahwa emosi merupakan campuran dari beberapa unsur, misalnya kenyamanan atau aktifitas (Moore dkk., 2002). Secara harfiah, dimensi adalah bagian atau ukuran yang terdapat di dalam sebuah objek (KBBI, 1984). Dimensi tersebut memuat unsur-unsur pembentuk dimensi yang dinamakan dengan struktur (Morgan dan Heise, 1988). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dimensi kosa kata emosi memiliki struktur emosi berupa unsur-unsur semantik (Romney dkk., 2003). Mauro dkk., (1992) mengusulkan beberapa dimensi emosi yang memuat 11
sekaligus struktur emosi yang dapat diidentifikasi sebagai struktur semantik kosa kata emosi. Dimensi beserta unsur di dalamnya tersebut terbukti dapat diterapkan pada beberapa budaya. Dimensi tersebut antara lain : 1) dimensi kenikmatan (pleasantness) yang terdiri dari unsur kesenangan, kenyamanan dan mendapatkan apa yang didapatkan. 2) Dimensi perhatian (attentional activity) yang memuat unsur perhatian dan pertimbangan. 3) Dimensi kemantapan (certainty) yang memuat unsur pemahaman, prediksi dan keyakinan. 4) Dimensi kemampuan koping (coping ability) yang memuat unsur kemampuan koping. 5) Dimensi kendali (control) yang memuat unsur kendali diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. 6) Dimensi tanggung jawab (responsibility) yang memuat tanggung jawab pada diri, orang lain dan lingkungan. 7) Dimensi antisipasi pengaruh (anticipated effort) yang memuat penggunaan (exertion) dan pengaruh. Dimensi emosi dapat digunakan untuk melakukan studi tentang emosi dalam berbagai macam tipe data yang telah didapatkan, misalnya ekspresi wajah, ekspresi vokal, adegan perilaku, serta makna kata emosi. Teknik dimensi (dimensional technique) juga merupakan salah satu pendekatan sistematik untuk menggambarkan status emosi dalam kerangka kerja yang nyata (Cowie, 1999). Penggunaan dimensi emosi sebagai acuan dalam menelaah sebuah emosi telah menampakkan hasil yang konsisten, sehingga penggunaan dimensi dalam kajian emosi menjadi pertimbangan yang penting (Lazarus, 1991). Penelitian tentang emosi dapat dilakukan melalui beberapa model dimensi, yaitu model dua dimensi sampai tiga dimensi dan lebih dari tiga dimensi, yang dapat diorganisasikan dalam pola sirkular, kanonikal, serta spatial, yang tergantung pada penekanan yang dipakai dalam melihat cara merespon emosi diorganisasikan secara psikologis. Struktur yang terdapat pada tiap dimensi terbagi menjadi dua pandangan yaitu pandangan unipolar dan bipolar. Pandangan unipolar melihat bahwa kenyamanan dan ketidaknyamanan merupakan dua hal yang berbeda, yang dibedakan oleh tinggi rendahnya intensitasnya. Sebuah pengalaman emosi dapat terukur memiliki kenyamanan dan ketidaknyamanan yang tinggi atau rendah. Pandangan bipolar melihat bahwa kenyamanan dan ketidaknyamanan bukan sebagai dua variabel yang berbeda, melainkan satu variabel yang bersifat kontinum dari yang paling tinggi, netral, kemudian paling ren12
dah. Melalui mekanisme secara bipolar dapat dilihat bahwa tiap dimensi kosa kata emosi memiliki struktur semantik yang terpolarisasi dalam dua kutub, misalnya nikmat-pahit, tinggi-rendah atau aktif-pasif (Romney dkk., 1997). Faktor penilaian dapat digunakan untuk melakukan kajian terhadap pembedaan dan pengkategorian emosi dalam menentukan dimensi emosi. Roseman (dalam Cacioppo, 1999) melihat bahwa penilaian terhadap sesuatu yang tidak diinginkan (unexpectedness), status situasi (situational state), status motivasi (motivational state), peluang (probability), potensi kendali (control potential ), sumber masalah (source problem), dan agen (agency) telah mampu membedakan 17 macam emosi, yang juga dibuktikan oleh Scherer dalam satu studi lintas budaya yang menemukan bahwa dimensi penilaian mampu juga membedakan kategori besar emosi. Ahli lain yaitu Frijda (1986) juga merumuskan pengalaman emosi berdasarkan penilaian kognisi yang kemudian merekomendasikan empat dimensi, antara lain: 1) kenikmatan (pleasantness), tentang nikmat tidaknya individu ketika situasi terjadi, 2) perhatian (attention), tentang apa yang menjadi pusat perhatian pada situasi, 3) agen (Agency), tentang keyakinan apakah pelaku dalam kendali ataukah tidak, 4) kepastian (certainty), tentang kejelasan situasi dan apakah hasil yang muncul dapat diprediksi ataukah tidak.Lang (dalam Strongman, 1996) melakukan studi pada pengorganisasian konsep emosi (conceptual organization of emotion) mengatakan bahwa pengetahuan individu tentang emosi terorganisasi secara heirarkhis dengan superordinat emosi positif dan negatif. Konsep yang mendasari pemakaian superordinat positif-negatif adalah manifestasi dari perilaku mendekat dan menghindar (approach-withdraw ) yang merupakan pemahaman dasar terhadap emosi. Pandangan para ahli terhadap dimensi emosi antara satu ahli dengan ahli lainnya berbeda-beda. Pandangan tersebut antara lain terdiri dari dua sampai lima dimensi. Tabel 2.1 Rangkuman Struktur Kosa Kata Emosi
13
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kenyamanan Kenyamanan Pusat perhatian Keamanan diri Keseriusan Kedekatan dengan sebuah objek Harapan terhadap kekuatan Mobilisasi Energi Frustrasi Keterlibatan pada situasi Penghargaan terhadap diri Keyakinan keutamaan diri Respek pada objek Kewaspadaan Harapan pribadi Masalah daya tarik
Contentment (Pleasure - Sorrow ) Contentment (Pleasure - Sorrow ) Concern (Love - Hate) Security (Fear - Serenity) Play (Seriousness - Frolic) Belonging (Attachment - Solitude) Will power (Volition - Surrender ) Energy (Rigor - Flimsiness) Frustration (Anger - Leniency) Involvement (Interest - Boredom) Self Respect (Pride - Shame) Eminence (Superiority - Inferiority) Respect (Adoration - Scorn) Vigilance (Wariness - Dreaminess) Expectancy (Surprise - Routine) Attraction (Disgust - Desire)
(dikutip dari Shalif, 2000) Shalif (2000) mengajukan 15 struktur kosa kata emosi yang dapat digunakan untuk meninjau sebuah kata emosi. Struktur tersebut adalah rangkuman yang diperoleh dari studinya mengenai emosi dalam kehidupan sehari-hari. Struktur tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Pandangan dua dimensi . Pandangan dua dimensi diwakili oleh Watson (dalam Morgan dan Heisse, 1988) yang mengatakan bahwa kajian tentang emosi dapat memakai dua dimensi, yaitu masalah dimensi kenyamanan (pleasant - unpleasant) dan dimensi tegangan (activation-deactivation). Tabel 2.2 Dimensi dan Struktur Emosi Berdasarkan Stimulus Evaluation Check
14
dimensi struktur keaslian (novelty) kecepatan familiaritas prediksi kenyamanan kebermaknaan relevansi probabilitas harapan dukungan urgensi potensi koping penyebab : agen penyebab : motif kendali kekuatan penyesuaian standar kompatibilitas eksternal internal
emosi senang
emosi jijik
emosi sedih
emosi takut
emosi marah
rendah terbuka menengah tinggi
terbuka rendah rendah rendah
rendah rendah terbuka terbuka
tinggi terbuka rendah rendah
rendah terbuka menengah terbuka
terbuka tinggi sesuai konduktif rendah
tubuh tinggi terbuka terbuka menengah
terbuka tinggi terbuka menghalangi rendah
tubuh tinggi tak sesuai mengalangi tinggi
tugas tinggi terbuka menghalangi menengah
terbuka intent terbuka terbuka tinggi
terbuka terbuka terbuka terbuka terbuka
terbuka kelalaian rendah rendah menengah
alamiah terbuka terbuka rendah rendah
terbuka tidak suka tinggi menengah tinggi
terbuka terbuka
terbuka terbuka
terbuka terbuka
terbuka terbuka
terbuka terbuka
Pandangan tiga dimensi. Pandangan tiga dimensi dikemukakan oleh Wundt (dalam Lazarus, 1991) yang mengajukan tiga dimensi dalam melakukan analisa terhadap emosi, yaitu 1) kenyamanan (pleasantness), menjelaskan dengan nyaman tidaknya emosi, 2) ketegangan (tension), menjelaskan ketegangan fisiologis pada saat emosi muncul, 3) kebangkitan (arousal ), menjelaskan kegairahan aktifitas pada saat emosi muncul. Ortony dkk. (dalam Strongman) membagi juga emosi menjadi tiga dimensi yaitu: 1) konsekuensi terhadap peristiwa (consequence of events) misalnya antara menyenangkan dan tidak menyenangkan, 2) aksi perantara (action of agents) misalnya antara disetujui dan tidak disetujui, 3) aspek dari objek (aspect of object) misalnya antara disukai dan tidak disukai.
Pandangan empat dimensi. Davitz (dalam Strongman, 1999) yang telah menyusun sebuah Kamus Makna Emosi (Dictionary of Emotinal Meaning) mengajukan empat dimensi yang berguna dalam membedakan beberapa kata emosi, antara lain 1) aktivasi (activation-deactivation), 2) hubungan (relatednon related ), 3) kenikmatan (pleasure-displeasure), 4) kompetensi (comptenceincomptence).
15
Pandangan lima dimensi. Roseman (1979) yang membangun teori tentang emosi dari 200 tulisan pengalaman emosi memaparkan 5 dimensi emosi yaitu 1) evaluasi (positif-negatif) yang menjelaskan tentang motivasi untuk menjauh atau mendekat pada situasi, 2) kehadiran (hadir-absen) yang menjelaskan bahwa situasi yang dihadapi individu sesuai dengan motivasinya ataukah tidak, 3) kepastian (pasti-mungkin) yang menjelaskan bahwa situasi yang dihadapi subyek adalah pasti atau hanya sebatas kemungkinan 4) kepantasan (pantas-tidak pantas) yang menjelaskan bahwa apakah individu layak mendapatkannya ataukah tidak, 5) pelaku (diri sendiri-orang lain) yang menjelaskan siapa yang memulai situasi yang terjadi. Pandangan lima dimensi juga digagas oleh Scherer (tanpa tahun) yang mengusulkan lima dimensi beserta struktur yang ada didalamnya yang berguna untuk membedakan pengalaman emosi satu dengan emosi lainnya. Kelima dimensi tersebut dinamakan dengan Stimulus Evaluation Check (SEC). Dimensi tersebut terdiri dari: 1) uji kebaruan (novelty check ) yang menjelaskan perubahan internal dan eksternal, 2) uji kenyamanan (instrinsic pleasantnes check ) yang menjelaskan nikmat tidaknya sebuah pengalaman emosi, 3) uji kebermaknaan tujuan (goal significance check ) yang menjelaskan apakah emosi mampu memberi dukungan terhadap tercapainya tujuan. 4) uji potensi koping (potential coping check ) yang menjelaskan kemampuan individu untuk mengendalikan emosi, 5) uji kompatibilitas (compatibility check ) yang membandingkan standar internal-eksternal dengan standar yang lain. Ditambahkan oleh Scherer (tanpa tahun) bahwa setiap kelompok emosi dapat ditinjau berdasarkan lima dimensi ini. Lima dimensi beserta strukturnya dalam meninjau emosi dapat dilihat pada Tabel 2.2 Dari berbagai uraian yang mengenai dimensi emosi yang dikemukakan oleh para ahli di muka, peneliti menekankan pada teori emosi dalam tiga dimensi. Hal ini dikarenakan pengalaman manusia secara umum dapat dikategorikan dalam tiga dimensi. Rumusan ini sesuai dengan pendapat Spinoza dan De Rivera (dalam Shalif, 1999) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi yang berpengaruh dalam penilaian manusia yaitu: ketekunan (persistence), upaya (attainment) serta keperluan (necessity) dapat diturunkan menjadi 3 dimensi emosi yaitu : 1) gairah (desire) yang menjelaskan perubahan aktifitas individu pada saat hadirnya emosi, 2) kenikmatan (pleasure) yang menjelaskan seberapa jauh individu dapat menikmati emosi yang muncul, 3) penderitaan (pain) yang menjelaskan seberapa jauh individu merasa terganggu dengan 16
kehadiran emosi Tabel 2.3 Kemiripan dimensi emosi dengan dimensi Semantik Differensial Pembagian emosi menjadi tiga dimensi juga sering dipakai dalam beberapa penelitian-penelitian empirik misalnya penggunaan tiga dimensi yang dipakai oleh Osgood (1957) dalam menyusun semantik differensial, yaitu : Evaluasi, Potensi, dan Aktivitas. Ketiga dimensi tersebut sudah dibuktikan konsistensinya pada beberapa budaya. Shalif (1998) melihat bahwa ada kesamaan antara dimensi umum yaitu tindakan manusia dan dimensi emosi memiliki kesamaan dengan dimensi yang dipaparkan oleh Osgood (1957) dalam metode semantik differensial yang disusun. Kesamaan antara dimensi emosi dan dimensi dalam teknik semantik differensial menjadi alasan yang kuat bagi peneliti untuk menggunakan teknik semantik differensial dalam menelaah kosa kata emosi. Teknik semantik differensial adalah metode untuk mengukur reaksi dan penilaian individu terhadap stimulus berupa kata atau konsep dalam sebuah perbandingan (rating) dalam skala bipolar. Dengan menggunakan teknik semantik differensial nilai semantik tiap kosa kata emosi akan dapat dipahami secara sistematis. Kajian tentang emosi dalam dunia modern kerap menggunakan pendekatan semantik differensial dari Osgood (1957) karena memiliki tiga faktor analisis yang mirip dengan dimensi-dimensi yang ada di dalam emosi (Barret dan Fossum, 2001). Dari paparan di muka dapat disimpulkan bahwa ketiga dimensi semantik diferensial memiliki unsur-unsur yang menjelaskan struktur semantik kosa kata emosi yang stabil jika diuji pada berbagai budaya. Melalui uraian beberapa ahli mengenai dimensi emosi beserta struktur yang terdapat di dalamnya, peneliti menyederhanakan menjadi tiga dimensi kosa kata emosi yang terbukti lebih stabil jika diuji pada lintas budaya. Rangkuman dimensi dan struktur emosi tersebut antara lain : Dimensi Evaluasi. Dimensi evaluasi menjelaskan penilaian terhadap kenikmatan yang pada kata emosi. Dimensi ini merupakan dimensi yang paling utama karena mengacu pada konsep emosi secara dasar yang diformulasikan pada fight-fligt (Mauro dkk., 1992). Di dalam dimensi evaluasi ini termuat: 1) unsur kenyamanan yang menjelaskan unsur kenikmatan yang dirasakan indi-
17
vidu ketika menghadapi sebuah situasi yang menimbulkan emosi (Altariba, 2003), 2) unsur konsekuensi yang menjelaskan apakah konsekuensi sebuah emosi dinilai mengganggu atau tidak (Ortony, Clore, Collins, dalam Morgan dan Heisse, 1988). Konsekuensi negatif dibuktikan dengan adanya ketenangan atau kestabilan dan sebaliknya konsekuensi positif menimbulkan kegelisahan atau ketidakstabilan. 3) Unsur pemeliharaan diri yang menunjukkan apakah sebuah emosi menimbulkan kesantaian atau kecemasan. Unsur ini didapatkan dari Oatley (dalam Long, tanpa tahun) yaitu pemelirahaan pribadi (self-preservation) menunjukkan unsur kecemasan di dalam sebuah kata emosi.
Dimensi Aktifitas. Dimensi aktifitas menandakan ekspresi emosi dalam perilaku motorik atau reaksi fisiologis. Dimensi aktifitas memuat beberapa unsur kata emosi, antara lain : 1) unsur keaktifan yang menandakan intensitas dan frekuensi tindakan pada saat pengalaman emosi (Osgood, 1957; Davitz dalam Strongman, 1999), 2) unsur keteraturan aktifitas yang menunjukkan pengendalian. Keteraturan dan kedinamisan aktifitas menunjukkan bahwa individu mampu mengendalikan emosi (Scherer, tanpa tahun). 3) Unsur ketegangan yang menunjukkan intensitas reaksi fisiologis tubuh (Schacter dalam Morgan, 1995; Ortony, Clore and Collins dalam Long, tanpa tahun). Unsur kekuatan menunjukkan adanya unsur kekuasaan, keyakinan terhadap diri dan dominasi pada emosi (Russel, 2003; Morgan & Heise, 1988; Scherer, tanpa tahun). 4) Unsur kegairahan yang menunjukkan adanya unsur semangat dan motivasi dan mendorong individu menjadi bergairah pada saat munculnya emosi. Unsur ini diturunkan dari gagasan Shalif (1988), mengenai dimensi fasilitasi emosi dalam meningkatkan dan menurunkan performansi aktifitas individu. Unsur gairah juga menunjukkan adanya unsur keseriusan pada emosi Feldman, Barret dan Russel (dalam Christie, 2001). Tabel 2.4 Rangkuman Struktur dan Dimensi Kosa Kata Emosi Dimensi Potensi. Dimensi potensi menjelaskan adanya sumber kekuatan pada pengalaman emosi yang memuat: 1) unsur kekuatan yang berkaitan dengan persepsi terhadap status individu (Kemper dalam Heise dan Weir, 1999). Misalnya penurunan kekuatan akan menyebabkan munculnya emosi cemas dan takut. 2) Unsur kecepatan yang menggambarkan perubahan tin-
18
dakan pada saat emosi berlangsung (Schneider, 1996). Unsur kecepatan juga menunjukkan adanya kepentingan yang segera dipenuhi (urgency) (Frijda, 1986; Scherer, tanopa tahun) 3) unsur atraksi yang menunjukkan tampilan apakah sebuah emosi dinilai kasar atau halus. Heider (1991) membuktikan unsur ini mampu membedakan emosi sayang dan cinta dengan emosi lainnya. 4) Unsur kemantapan yang menggambarkan kestabilan dan keseimbangan individu dalam mengendalikan emosi (Smith dan Ellsworth, dalam Mauro dkk., 1992). Rangkuman ketiga dimensi kosa kata emosi beserta strukturnya dapat dilihat pada Tabel 2.4. Penggunaan model tiga dimensi, misalnya tiga dimensi dalam semantik differensial, lebih mencapai hasil analisis yang maksimal dibanding dengan dua dimensi atau lebih dari tiga dimensi dalam melakukan analisis terhadap emosi. Shaver dkk. (dalam Morgan dan Heise 1988) dari hasil penelitiannya terhadap kata emosi secara murni, menyimpulkan tiga dimensi lebih menggambarkan status emosi secara komprehensif dibandingkan dengan dua dimensi. Averill (dalam Morgan dan Heisse, 1988) juga mengemukakan bahwa tiga dimensi lebih tepat jika digunakan untuk mendefinisikan status emosi dibandingkan dengan dua dimensi. Melalui uraian di muka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan kemiripannya, kosa kata emosi membentuk tiga dimensi yang terdiri dari dimensi evaluasi, potensi dan aktifitas yang memuat unsur semantik yang bipolar. Tiap dimensi tersebut terdiri dari struktur semantik kosa kata emosi yang merupakan unsur-unsur pembentuk dimensi tersebut. Dimensi evaluasi memuat unsur kenyamanan, kelembutan dan kecemasan, dimensi aktifitas memuat keaktifan, tegangan dan daya serta dimensi potensi memuat kekuatan, kecepatan dan kemantapan.
3
Kajian Semantik Kosa Kata Emosi
Semantik adalah bagian dari kajian semiotika (ilmu tanda) yang mempelajari tentang simbol dan tanda dalam kajian lingusitik yang mempelajari struktur bahasa. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu to signify, yang berarti memaknai. Menurut Bauerle (1979) secara teknis kata semantik kemudian diartikan sebagai studi tentang makna. Ditambahkan oleh Bauerle 19
(1979), analisis semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman manusia. Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan di dalam Encyclopedia Britannica (1965), yang mengatakan bahwa semantik adalah studi tentang hubungan antara linguistik dengan hubungan proses mental dalam aktifitas komunikasi. Proses mental yang dimaksudkan di sini adalah proses penalaran dalam memberikan simbol dalam bahasa. Oleh karena luasnya bidang yang berkaitan dengan semantik, George (dalam Pateda, 2001) menggambarkan posisi semantik terletak pada daerah perpotongan antara linguistik, psikologi, logika, dan filsafat. Laventhal (dalam Strongman, 1996) mengatakan bahwa untuk mempelajari emosi, beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: 1. Studi harus diawali dengan paparan verbal (verbal report) pengalaman subjektif individu. 2. Emosi adalah bentuk pemaknaan individu karena yang dihasilkan dari aktifitas kognisi yang melakukan pemaknaan. Oleh karena itu studi mengenai emosi hendaknya menyentuh bentuk kognisi (form of cognition). Ada bermacam-macam tipe dalam proses kognisi dan sistem pemaknaan yang selalu berubah dan berkembang 3. Makna dibentuk oleh proses sistem persepsi (perceptual processing system) sehingga untuk menghasilkan satu analisis yang akurat dan tidak terjebak pada analisis yang terlalu umum, diperlukan pembedaan antara kajian tentang kata emosi dengan kata-kata lain di luar emosi. 4. Analisis kata emosi dilakukan dengan mempertimbangkan peta kata (lexical maps) Analisis kata emosi bukanlah analisis terhadap kata-kata secara independen melainkan analisis sebuah kata dalam satu jaringan kata emosi (emotion clusters) sehingga sebuah status emosi dapat digambarkan dengan beberapa kata. Rumusan ini akan membebaskan peneliti dari penilaian ketat yaitu one word = one emotion, satu kata emosi mewakili satu emosi (Heider, 1991). Melalui bukti empirik dari penelitian langsung tentang kelompok kata (lexical cluster ) dalam bahasa Indonesia, Brandt dan Boucer (dalam Heider, 1991), 20
menemukan bahwa kajian mengenai kata emosi melalui kelompok kata lebih mendapatkan makna yang signifikan daripada satu kata secara independen. Dengan melibatkan adanya dimensi pada emosi, peneliti melihat bahwa analisis kata emosi juga diharapkan tetap melibatkan pembagian kategori besar berupa emosi dasar manusia. Berdasarkan paparan Ekman (Smith dan Bond, 1993), ada beberapa kategori emosi dasar yang konsisten dalam berbagai budaya. Kajian mengenai emosi akan menghasilkan satu paparan yang lebih tepat jika melibatkan emosi dasar. Beberapa ahli yang mengungkapkan emosi dasar manusia dapat dilihat pada Tabel 2.5. Gambar 1. Contoh Hasil Analisis Kosa Kata Emosi dengan menggunakan teknik multidimensional scaling. Dikutip dari Heider, K. G. 1991. Landscape of Emotion: Mapping Three Culture of Emotion in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. Multidimensional adalah cara yang digunakan untuk merepresentasikan metode semantik differential dalam bentuk peta. Peta ini memaparkan posisi kata emosi dalam aksis-aksis (absis-ordinat) yang merupakan faktor dari semantik differential yaitu evaluasi, potensi, dan aktivitas. Melalui pendekatan ini dapat menangkap kespesifikan budaya dalam memaknai kata emosi dalam bahasa budaya tersebut (Heider, 1991). Penggunaan metode multidimensional scaling digunakan oleh Morgan dan Heisse (1988), untuk menganalisis struktur-struktur yang ada dalam emosi, dipakai oleh Averill (1982), untuk melakukan rating pada suasana hati, dipakai oleh Lorr dan Shea (1979 dalam Heider, 1991) dengan metode self-repoted emotion. Teknik hierarchical cluster pernah dipakai oleh Lutz pada tahun 1982 dalam menganalisis kata emosi Bahasa Ifaluk di Samoa (Heider, 1991). Teknik ini menggambarkan bahwa kata emosi memiliki beberapa tingkatan yang membentuk sebuah taksonomi emosi. Contoh hasil analisis Teknik hierarchical cluster dapat dilihat pada Gambar 2 Teknik hierarchical cluster menghasilkan data berbentuk diagram yang berbentuk jaringan cabang beserta ranting kata emosi. Cabang adalah terbesar adalah kategori kata emosi yang lebih dasar, sedangkan ranting-ranting kecilnya adalah kata emosi yang lebih spesifik. Ide dasar yang digunakan oleh NSM adalah mendeskripsikan makna yang 21
kompleks dari sebuah istilah dengan menyederhanakannya. Misalnya dengan menggubahnya dalam sebuah parafrase yang sederhana dan mudah untuk dipahami daripada dengan memahami langsung dari istilah awalnya. Metode ini dinamakan reduksi parafrase (paraphrase reductive). Tidak ada istilah teknis, simbol logika, atau matematika digunakan dalam metode ini. Hanya kata-kata dari bahasa dasar (ordinary natural language) saja yang digunakan untuk menggambarkannya. Gambar 2.3 Contoh Hasil Analisis Kosa Kata Emosi dengan menggunakan teknik Natural Semantic Metalanguage (NSM). Dikutip dari Mulyadi. Tanpa tahun. Konsep Emosi dalam Bahasa Melayu. Wierzbicka (1995), penggagas pendekatan ini mengatakan bahwa melakukan (do), karena (because), atau baik (good ) misalnya, adalah semantik dasar yang mampu menjelaskan makna beraneka kata serta konstruksi gramatikalnya. Kata-kata seperti ini mudah dipahami artinya karena berdasarkan pengalaman bahasa dasar (ordinary linguistic experience) (Wierzbicka, 1995). Meskipun kata-kata ini didapatkan dari istilah Bahasa Inggris, namun semuanya dapat diterapkan pada bahasa-bahasa lain. Wierzbicka sendiri telah melakukan studi perbandingan dengan Bahasa Rusia, Perancis, Jerman, Polandia, Italia, Jepang Melayu, Jepang, Cina, Maori, Mbula dan beberapa bahasa lainnya dan menyimpulkan bahwa kata-kata bebas dari budaya. Dari metode-metode yang sudah ada, teknik semantik diferensial digunakan dalam penelitian untuk menganalisis sebuah kata emosi sekaligus membandingkannya dengan kata emosi lain dalam sebuah peta kata emosi. Kelebihan teknik semantik diferensial adalah (a) adanya kesamaan antara dimensi emosi dengan dimensi yang tertera dalam teknik semantik diferensial. Gagasan inilah yang menjadi alasan yang kuat bagi kalangan pengkaji masalah emosi untuk menggunakan teknik semantik diferensial. Teknik semantik diferensial adalah metode untuk mengukur reaksi dan penilaian individu terhadap stimulus berupa kata atau konsep dalam sebuah perbandingan (rating) dalam skala bipolar. Dengan menggunakan teknik semantik diferensial maka unsur semantik tiap kosa kata emosi akan dapat dipahami secara sistematis. (b) Respon individu terhadap emosi dapat diformulasikan dalam pola bipolar. Penggunaan pasangan kata evaluasi bipolar (evaluatif bipolar word pair ) dapat menjangkau dimensi-dimensi fundamental yang mendasari pemahaman 22
orang terhadap dunia. Ketika orang diberikan rangsangan berupa status psikologi yang penuh konflik, bertentangan, tidak konsisten dengan kepercayaan, tidak harmonis, serta tidak stabil, maka sistem afeksi individu akan menciptakan satu organisasi konseptual dalam struktur bipolar. Tiap kata emosi memiliki kekhasan tersendiri karena tiap kata memiliki sebuah domain semantik tersendiri dalam menjelaskan sebuah status psikologis individu. Oleh karena pengaruh budaya sedemikian besar pada terbentuknya kata emosi maka diperlukan sebuah teknik analisis yang berlandaskan pada keunikan bahasa (specific language) berupa analisis semantik secara independen pada sebuah budaya. Untuk menyederhanakan kerumitan di dalam sebuah kata emosi maka analisis yang dilakukan akan melibatkan dimensidimensi emosi.
4
Penutup
Emosi adalah fenomena yang dikonstruksi oleh budaya (Schimmack dkk., 2002), persoalan inilah yang menjadi perhatian beberapa peneliti yang tertarik pada masalah emosi dengan mengkaitkannya pada unsur kespesifikan budaya dan lebih menekankan pada bahasa sebagai media individu dalam memaknai status emosi yang dialaminya. Untuk mengimplementasikan gagasan tersebut dalam tingkatan yang lebih aplikatif, kajian emosi dengan memperhatikan masalah budaya dan bahasa dapat diarahkan pada analisis kata-kata emosi yang merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari emosi itu sendiri. Emosi mewadahi individu untuk berhubungan dengan dunia, tetapi hubungan ini tidak lengkap sampai emosi dikaitkan dengan status kognitif individu yang memberikan sebuah label berupa kata-kata pada emosinya (Frijda, dalam Strongman, 1996). Thoits menjelaskan bahwa emosi adalah isyarat respon individu terhadap situasi kompleks, yang terdiri dari perubahan fisiologis, gerak ekspresif, serta label emosi (Thoits dalam Strongman, 1996). Label emosi beserta struktur konotatifnya dapat mendikte cara (dictate the way) individu dalam melihat situasi dan bagaimana mengevaluasi situasi yang memunculkan emosi. Dapat disimpulkan bahwa kata emosi tidak lahir dengan sendirinya secara 23
tiba-tiba tanpa didahului adanya sebuah realitas (berupa status emosi) yang dilambangkan dengan kata tersebut. Ketika unsur budaya yang mulai memberikan pengaruh pada pembentukan kata emosi tersebut, maka yang terjadi adalah rumusan bahwa sebuah kata emosi dalam satu budaya memiliki keunikan yang tidak dapat dibandingkan dengan kata emosi dalam budaya lain. Oleh karena itu untuk memahami sebuah status emosi dalam sebuah budaya diperlukan telaah mengenai kata emosi yang digunakan dalam bahasa tersebut. Banyak penelitian mengenai emosi dalam konteks lintas budaya sudah dilakukan (Morgan dan Heise 1988). Dimensi yang digunakan dalam mengurai kosa kata emosi dalam sebuah budaya adalah tiga dimensi yang digagas oleh Osgood (1957). Penggunaan model tiga dimensi ini lebih mencapai hasil analisis yang maksimal dibanding dengan dua dimensi atau lebih dari tiga dimensi dalam melakukan analisis terhadap emosi. Ketiga dimensi tersebut sudah dibuktikan konsistensinya pada beberapa budaya. Shalif (1998) melihat bahwa ada kesamaan antara dimensi umum yaitu tindakan manusia dan dimensi emosi memiliki kesamaan dengan dimensi yang dipaparkan oleh Osgood (1957) dalam metode semantik differensial yang disusun. Shaver dkk. (dalam Morgan dan Heise 1988) dari hasil penelitiannya terhadap kata emosi secara murni, menyimpulkan tiga dimensi lebih menggambarkan status emosi secara komprehensif dibandingkan dengan dua dimensi. Averill (dalam Morgan dan Heisse, 1988) juga mengemukakan bahwa tiga dimensi lebih tepat jika digunakan untuk mendefinisikan status emosi dibandingkan dengan dua dimensi. Memahami struktur semantik kata emosi akan memberikan banyak manfaat. Kata emosi mengandung unsur bahasa spesifik (language specific) yang dipengaruhi oleh faktor budaya. Dengan memahami makna semantik kosa kata emosi yang sesuai dengan bahasa individu, upaya pemahaman emosi dengan menggunakan kerangka atau aspek emosi dari bahasa lain yang memungkinkan mengandung unsur bias budaya, dapat dihindari. Carpenter (2000) menjelaskan bahwa banyak klien yang ditangani oleh psikolog memiliki masalah dengan emosi mereka. Para klien ini memiliki keterbatasan dalam mengenali, menggambarkan dan mengemukakan emosinya. Dengan memahami struktur semantik sebuah kata emosi, maka psikolog lintas budaya dapat menuntun klien memberi nama dan menggambarkan emosinya. Pengetahuan tentang unsur semantik kosa kata emosi berguna bagi para 24
psikolog lintas budaya untuk mengenali dan merefleksikan emosi yang diungkapkan oleh klien secara verbal dengan lebih tepat.
5
Referensi 1. Albrecht, K. 1986. Brain Power. London : John Wiley and Sons. 2. Altarriba, J., Basnight, D. M., Canary, T. M. 2003. Emotion representation and perception across cultures. In W. J. Lonner, D. L. Dinnel, S. A. Hayes, and D. N. Sattler (Eds.), Online Readings in Psychology and Culture (Unit 4, Chapter 5) 3. Bamberg, M. 2000. The Role of Language in the Construction of Emotions. In S. Niemeier and R. Dirven (Eds.), The Language of Emotions. Amsterdam, The Netherlands: John Benjamins. 4. Boster, J. 1998. Emotion Terms and Facial Expressions: A CrossCultural Comparison. Philadelphia: PA 5. Carpenter, K.M. 2000. Alexithymia, Gender and Response to Depressive Simptomp. www. findarticles.com 6. Carver, C.S. 2002. Pleasure As a Sign You Can Attend To Something Else: Placing Positive Feelings Within a General Model of Affect. Manuskrip publikasi. 7. Christie, C.I. 2002. Multivariate Discrimination of Emotion-Specific Autonomic Nervous System Activity. Thesis Master of Science In Psychology. Virginia Polytechnic Institute and State University 8. Cowie. R. 1999. Describing the Emotional State Expressed in Speech. http://www.qub.ac.uk/en/isca/proceedings/pdfs/cowie.pdf 9. Doi, T. 1995. Anatomi Dependensi (terjemahan). Jakarta : Gramedia
10. Frijda. H. 1986. The Emotions. Cambridge: Cambridge University Press. 11. Heider, K.G. 1991. Landscape of Emotion: Mapping Three Culture of Emotion in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. 25
12. Heise, D.R., Calhan, C. 1995. Emotion Norms in Interpersonal Events. Social Psychology Quarterly. 58: 223-240 13. Heise, D.R. 2000. Facial Expression of Emotion as a Means of Socialization. Hasil penelitian. Department of Sociology, Indiana University. tidak dipublikasikan. 14. Heise, D.R. and Weir, B. 1999. A Test of Symbolic Interactionist Predictions About Emotions in Imagined Situations. Symbolic Interaction Journal, 22. 1999: 139-161 15. item Izard, C. E., Kagan, J. and Zajonc, R. E. 1990. Emotion, Cognition and Behavior. Cambridge : Cambridge University Press 16. Izutsu, T. 1993. Konsep-konsep Etika religius dalam Quran. gyakarta: Tiara Wacana
Yo-
17. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1984. Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan. 18. Lazarus, R.S. 1991. Emotion and Adaptation. Oxford: Oxford University Press. 19. Long, C. Tanpa tahun. Emotion: Theoretical Foundations. www.ruebenstrunk.de/emeocomp/4e.HTM 20. Lutz, C. 1985. Depression and the Translation of Emotional Worlds. in Culture and Depression : Studies in the Anthropology and CrossCultural Psychiatry of Affect and Disorder. Kleinma, A. and Good, B. (eds). California : University of California Press. 21. Mauro, R., Sato, K., Tucker, J. 1992. The Role Appraisal in Human Emotions : A Cross-Cultural Study. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 62, No. 2, 301-317. 22. Morgan, L. J. 1995. The Definition of a Problem: Emotion Theory in the Nineties. http://www.sfu.ca/ wwwpsyb/issues/1995/spring/morgan.htm 23. Morgan. R dan Heisse. H. 1998. Structure Of Emotions. Social Psychology Quarterly. Volume 51. No.1. 19-31. 26
24. Osgood, C. 1957. Semantic Differential. Urbana: University of Illinois. 25. Romney, A. K., Moore, C., Rusch, C.D. 1997. Cultural universals: Measuring the Semantic Structure of Emotion terms in English and Japanese. Journal Proc. National Academi Science USA. Vol. 94, pp. 54895494 26. Russell, J. A. 1980. A circumplex model of affect. Journal of Personality and Social Psychology, 39, 1161-1178. 27. Scherer, K. Tanpa tahun. Toward a Dynamic Theory of Emotion : The Component Process Model of Affective State. Manuskrip untuk dipublikasikan 28. Shalif. 1988. The Emotions And The Dimensions Of Discrimination Among Them In Daily Life. Disertasi. Barilan University Ramatgan. Israel. www.shalif.com/psychology/diserta1.htm 29. Sharoff, S. 2002. Emotions in Crosslinguistic Perspective. www.linguistlist.org/issues/12/12-3169.html 30. Strongman, K.T. 1996. The Psychology of Emotion. West Sussex: John Willey and Sons 31. Sugiyono, 2002. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Eresco 32. Tellegen, A., Watson, D., Clark, L.A. 1999. Further Support for Hierarchical Model Of Affect: Reply to Green and Salovey. Psychological Science. Vol.10. No. 4 July. 1999 33. Watson, D. and Tellegen, A. (1985). Toward a consensual structure of mood. Psychological Bulletin, 98, 219-235 34. Widden, S.C., Russel, J. Tanpa tahun. Developmental Trends in Childrens Use of Emotion Terms. 35. Wierzbicka, 1995. Emotion and Facial Expression: A Semantic Perspective. Journal Culture and Psychology. 1. 227-258. 36. Wierzbicka, 1999. Emotions Across Language and Culture. Cambridge : Cambridge University Press
27